HUBUNGAN SIFAT TANAH DENGAN TIPE VEGETASI MANGROVE DI DESA BLANAKAN, KABUPATEN SUBANG
Oleh: RACHMAWATI
A14050076
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN
RINGKASAN
Rachmawati. A14050076. Hubungan Sifat Tanah dengan Tipe Vegetasi Mangrove di Desa Blanakan, Kabupaten Subang. Di bawah bimbingan SUDARSONO dan BASUKI SUMAWINATA
Mangrove merupakan ekosistem khas perairan tropik dan subtropik dengan peranan yang sangat penting untuk keseimbangan alam. Namun saat ini hutan mangrove menjadi sasaran eksploitasi akibat tuntutan pembangunan yang menitikberatkan pada kepentingan ekonomi. Lebih dari separuh (57,6%) luas hutan mangrove di Indonesia dalam keadaan rusak parah, di sekitar Pantai Utara Jawa hutan mangrove telah lama terkikis oleh kebutuhan penduduknya terhadap lahan (Noor dkk, 1999). Kondisi hutan mangrove yang relatif masih baik di sekitar Pantai Utara Jawa adalah di Desa Blanakan, sehingga mangrove di daerah tersebut perlu dilestarikan. Salah satu upaya pelestarian daerah mangrove ini adalah dengan melakukan penelitian mengenai kondisi lingkungannya, salah satu yang penting adalah kondisi tanah, karena tanah sebagai media tumbuh mangrove. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat dan ciri tanah yang mempengaruhi pertumbuhan mangrove di Desa Blanakan serta mengetahui hubungan sifat tanah dengan perbedaan tipe vegetasi mangrove yang tumbuh di Desa Blanakan.
Terdapat 4 zona yang diteliti berdasarkan jenis vegetasi yang tumbuh di lokasi tersebut, yaitu Zona 1 (BSR1) vegetasi Avicennia marina, Zona 2 (BSR2) vegetasi Rhizophora mucronata, Zona 3 (BSR3) vegetasi Jeruju, dan Zona 4 (BSR4) vegetasi Sonneratia acida. Sampel tanah yang diteliti adalah morfologi tanah dan sifat kimia tanah.
Secara morfologi, kondisi tanah pada keempat zona tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Keempat zona termasuk ke dalam jenis Hydraquent.
Sifat kimia yang memiliki pengaruh terhadap perbedaan vegetasi mangrove adalah nilai daya hantar listrik (DHL/EC), persentase kadar air lapang, persentase kejenuhan kation-kation, persentase ESP, nilai SAR, dan kematangan tanah.
Nilai DHL/EC, persentase ESP, dan nilai SAR menunjukkan pengaruh dari air laut/air asin. Kematangan tanah keempat zona tergolong mentah sampai sangat mentah. Dari zona 1 hingga zona 4, kematangan tanah semakin rendah artinya tanah semakin mentah.
SUMMARY
Rachmawati. A14050076. Effect Of Soil Properties With Mangrove Vegetation Types in Villages Blanakan. Supervised by SUDARSONO and BASUKI SUMAWINATA
Mangrove ecosystem is a typical marine tropics and subtropics with a very important role for the balance of nature. However, currently the target of exploitation of mangrove forests due to the demands of development which focuses on economic interests. More than a half of the mangrove forest area in Indonesia in a bad damaged state, around the North Coast of Java, has long been eroded by the needs of its population to the land. Mangrove forests that relatively in good condition on the north coast of Java is in the village Blanakan, so the mangroves in the area need to be in the preserve.
This study aims to determine the nature and characteristics of soil that affect the growth of mangrove land the village and to know the relationship of the soil properties with different types of mangrove vegetation that grows in the village Blanakan.
There are 4 zones studied based on the type of vegetation growing in these locations. Zone 1 (BSR1) with vegetation Avicennia marina, zone 2 (BSR2) with Rhizophora mucronata vegetation, zone 3 (BSR3) with vegetation Jeruju, and zone 4 (BSR4) with vegetation Sonneratia acida. The sample of soil that have been researched are morphological and chemical properties.
All of soil conditions are not significantly different by morphology. Those all zones are type Hydraquent soil.
Chemical properties which have an influence on mangrove vegetation difference are the Electrical Conductivity (DHL/EC), water content at field condition, percentage saturation of the cations, the percentage of ESP, and SAR values, and value of soil.
The DHL/EC, the percentage of ESP, and SAR values show the influence of sea water. Zone 1 had the soil more ripe than zone 2, 3, and 4.
Cation saturation of each zone has its own characteristics. A base saturation zone was dominated by sodium saturation and followed by increasing the depth of soil. Zone 1 showed many salt-free and the salt free content increased from the upper to the lower layer.
Base saturation in zone 2, between the top layer of soil is different from the middle layer and bottom layer. The top layer of soil in zone 2 was dominated by the saturation of magnesium, but in the middle layer and bottom layer was dominated by sodium saturation. Sodium saturation in zone 2 further decreased, this suggest that salt-free in this zone was diminishing compared to zone 1.
HUBUNGAN SIFAT TANAH DENGAN TIPE VEGETASI MANGROVE DI DESA BLANAKAN, KABUPATEN SUBANG
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pertanian
pada Program Studi Manajemen Sumberdaya Lahan
Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh: RACHMAWATI
A14050076
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Penelitian : Hubungan Sifat Tanah dan Tipe Vegetasi Mangrove di Desa Blanakan, Kabupaten Subang.
Nama Mahasiswa : Rachmawati Nomor Pokok : A14050076
Disetujui oleh:
Pembimbing Utama Pembimbing Anggota
Prof. Dr Ir Sudarsono, M.Sc. 19510729 197703 1 001
Dr Ir Basuki Sumawinata, M.Agr. 19570610 198103 1 003
Ketua Departemen
Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
Dr Ir Syaiful Anwar, M.Sc. 19621113198703 1 003
RIWAYAT HIDUP
Rachmawati lahir di Jakarta pada tanggal 02 Juli 1987
sebagai anak bungsu dari pasangan Bapak Lukman (alm) dan
Ibu Indah Hartika. Lulus dari SMA Negeri 1 Bogor dan
tercatat sebagai mahasiswa di IPB pada tahun 2005.
Penulis memulai pendidikan formal di SDN Cilebut V
Kabupaten Bogor pada tahun 1993 sampai dengan 1999.
Melanjutkan ke jenjang berikutnya di SLTP Negeri 2 Kota
Bogor pada tahun 1999 sampai dengan 2002. Tahun ajaran 2002/2003 diterima di
SMA Negeri 1 Kota Bogor dan lulus pada tahun 2005.
Penulis di terima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI, kemudian
diterima di Program Studi Manajemen Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian
pada tahun 2007.
Selain kegiatan akademik di IPB, penulis aktif dalam organisasi ekstra
kampus yaitu Himpunan Mahasiswa Islam sebagai pengurus komisariat hingga
tataran cabang Bogor.
Untuk menyelesaikan studinya di Fakultas Pertanian, penulis melakukan
penelitian yang berjudul “Hubungan Sifat Tanah dengan Tipe Vegetasi
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT atas limpahan dan karunia-Nya
kepada penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan Sifat Tanah dan Tipe Vegetasi Mangrove di Desa Blanakan, Kabupaten Subang”. Skripsi ini merupakan laporan hasil penelitian yang telah dilakukan selama kurang lebih 1 tahun.
Penelitian yang dilaksanakan di Kabupaten Subang ini mencari hubungan
sifat tanah dengan tipe vegetasi mangrove yang tumbuh di Desa Blanakan.
Didapatkan dari hasil penelitian ini sifat tanah yang menjadi ciri khas pada
masing-masing vegetasi mangrove tumbuh. Terdapat empat zona berdasarkan tipe
vegetasi mangrove di Desa Blanakan, sehingga didapatkan pula empat sifat tanah
yang berbeda. Diharapkan penelitian ini dapat membuka wawasan pembaca
mengenai kondisi tanah khusus tanaman mangrove dengan ciri khas yang
berbeda-beda, sehingga upaya pelestarian hutan mangrove dapat
dioptimalisasikan.
Terima kasih atas dukungan dan bantuan berbagai pihak yang akan terlibat
untuk kelancaran penelitian ini, khususnya:
1. Dosen pembimbing skripsi, Prof. Dr Ir Sudarsono dan Dr Ir Basuki
Sumawinata yang telah membimbing dan menuntun saya dalam penelitian
dan penyusunan skripsi ini.
2. Orang tua, suami tercinta, serta keluarga yang telah memberikan support.
3. Teman-teman yang telah membantu saya dalam survei lapang dan penelitian
di laboratorium, Sdr. Ivong Verawaty (MSL 2006), Sdr. Oni Suwartika (MSL
2006), Sdr. M. Giri Wibisono (MSL 2006), Mba Apong, dan segenap staf
Bagai pepatah ”Tak ada gading yang tak retak” begitu pula dalam hal penulisan skripsi ini, sehingga diharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun untuk perbaikan penulis kedepannya.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL x
DAFTAR GAMBAR xi
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Tujuan Penelitian 2
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Hutan Mangrove dan Lingkungannya 3
2.2. Vegetasi Mangrove 5
2.3. Sifat dan Jenis Tanah Daerah Hutan Mangrove 6
2.4. Deskripsi Lokasi Penelitian 9
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian 12
3.2. Metode Penelitian 13
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Vegetasi Mangrove Blanakan 17
4.2. Tanah 18
4.3. Pembahasan Umum 39
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan 42
5.2. Saran 43
DAFTAR PUSTAKA 44
x
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
Teks
1 Kriteria Pematangan Tanah Rawa Berdasarkan Nilai-n 8 2 Kelas-kelas Penggenangan untuk Zonasi Mangrove di Malaysia
dan Digunakan dalam Studi Mangrove di Indonesia 8
3 Metode Pengukuran Sifat Kimia Tanah 16
4 Sifat Kimia Tanah yang Mempengaruhi Perbedaan Tipe Vegetasi
Mangrove di Desa Blanakan, Kabupaten Subang 38
5 Jenis Tanah Blanakan Kategori Sub Group Berdasarkan Soil
xi
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
Teks
1 Lokasi Desa Blanakan, Kabupaten Subang 12
2 Penggunaan Lahan Daerah Penelitian 13
3 Peta Lokasi Penelitian, Blanakan, Subang 15
4 Grafik Tingkat Kemasaman Tanah (pH H2O), Blanakan Subang 20 5 Grafik Nilai Daya Hantar Listrik (DHL/Ec) Tanah, Blanakan Subang 22 6 Grafik Nilai Persentase Kadar Air Tanah Blanakan, Subang 23 7 Grafik Persentase Pasir, Debu, dan Klei, serta Kematangan (n-value)
Tanah Blanakan, Subang 24
8 Grafik KTK; Kandungan Na, K, Mg, dan Ca; Kejenuhan Basa; Persentase ESP; dan Nilai SAR Tanah Blanakan Subang 28
9 Grafik Kejenuhan Kation-Kation 30
10 Grafik Kandungan Fe (ppm) Tanah Blanakan Subang 34 11 Grafik S-Tersedia, Persentase C-Organik, P-tersedia, dan Persentase
N-Total Tanah Blanakan, Subang 36
1
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Ekosistem mangrove atau hutan bakau termasuk golongan ekosistem pantai
atau komunitas bahari dangkal yang sangat menarik, sebagai ciri khas perairan
tropik dan subtropik. Penelitian mengenai hutan mangrove lebih banyak dilakukan
daripada ekosistem pantai lainnya.
Ekosistem mangrove merupakan ekoton (daerah peralihan) yang unik, yang
menghubungkan kehidupan biota daratan dan lautan. Mangrove umumnya
tumbuh pada pantai-pantai yang terlindung atau pantai yang datar. Biasanya pada
daerah yang mempunyai muara sungai besar dan delta dengan aliran airnya
banyak mengandung lumpur dan pasir. Sebaliknya mangrove tidak tumbuh di
pantai yang terjal dan bergelombang besar dengan arus pasang surut yang kuat
karena pada daerah tersebut tidak memungkinkan adanya endapan lumpur dan
pasir, substrat yang diperlukan untuk pertumbuhannya.
Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan penting
di wilayah pesisir dan kelautan serta memiliki peranan yang besar untuk
keseimbangan alam. Selain memiliki mempunyai fungsi ekologis, antara lain
sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan
(nursery ground) berbagai macam biota, penahan abrasi pantai, pemecah angin
dan gelombang tsunami, penyerap limbah dan pencegah intrusi air laut, hutan
mangrove juga mempunyai fungsi ekonomis seperti penyedia kayu, obat-obatan,
bahan penyamak kulit, bahan perahu, bahan atap, habitat budidaya perikanan
tambak, tempat berkembang biak ikan, udang, burung, monyet, buaya, dan satwa
liar lainnya yang di antaranya endemik sehingga menjadi daerah ekowisata.
Berdasarkan kemampuan daya dukung (carrying capacity) dan kemampuan
alamiah untuk memperbaharui (assimilative capacity), hutan mangrove menjadi
sasaran kegiatan eksploitasi sumberdaya alam dan pencemaran lingkungan akibat
tuntutan pembangunan yang lebih menitikberatkan kepentingan ekonomi. Kondisi
ini berdampak pada kerusakan ekosistem mangrove yang ditunjukkan dengan
semakin berkurangnya luas dan penurunan daya dukungnya. Lebih dari separuh
(57,6%) luas hutan mangrove di Indonesia dalam keadaan rusak parah, di
2
antaranya 1,6 juta ha dalam kawasan hutan dan 3,7 ha di luar kawasan hutan
(Anwar dan Gunawan, 2006). Hutan mangrove mengalami degradasi yang cukup
nyata, yaitu sekitar 200 ribu hektar/tahun akibat kegiatan konversi menjadi lahan
tambak, penebangan liar, dan sebagainya (Dahuri, 2002).
Noor dkk (1999) mengemukakan bahwa di Indonesia, hutan-hutan mangrove
yang luas terdapat di seputar Dangkalan Sunda yang relatif tenang dan merupakan
tempat bermuara sungai-sungai besar, yaitu di Pantai Timur Sumatra, dan Pantai
Barat serta Selatan Kalimantan. Di Pantai Utara Jawa, hutan-hutan ini telah lama
terkikis oleh kebutuhan penduduknya terhadap lahan. Meskipun begitu, upaya
pelestarian hutan mangrove di Pantai Utara Jawa tetap dilakukan.
Peranan mangrove yang sangat penting tidak dapat diimbangi dengan
pertumbuhan mangrove yang lestari. Data dan informasi mengenai daya dukung
ekologis mangrove masih kurang memadai. Penelitian ini diharapkan
menghasilkan informasi tentang lingkungan abiotik, khususnya tanah mangrove
yang mempengaruhi pertumbuhan mangrove. Informasi ini diharapkan juga
menjadi referensi dalam upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan hutan
mangrove di Blanakan secara lestari, karena hanya di daerah Blanakan inilah
hutan mangrove masih dalam kondisi baik dibandingkan mangrove di sepanjang
Pantai Utara Jawa lainnya.
1.2. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui sifat dan ciri tanah yang mempengaruhi pertumbuhan mangrove di
Desa Blanakan.
2. Mengetahui hubungan sifat tanah dengan perbedaan tipe vegetasi mangrove di
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Hutan Mangrove dan Lingkungannya.
Macnae (1968) dalam bukunya menyebutkan, kata ‘mangrove’ merupakan
kombinasi antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove . Dalam
bahasa Inggris, kata mangrove digunakan untuk komunitas tumbuhan yang
tumbuh di daerah jangkauan pasang surut dan untuk individu-individu spesies
tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut. Sedang dalam bahasa Portugis kata ’mangrove’ digunakan untuk menyatakan individu spesies tumbuhan, sedangkan kata ’mangal’ digunakan untuk menyatakan komunitas tumbuhan tersebut. Sedangkan menurut FAO, kata mangrove sebaiknya digunakan untuk individu
jenis tumbuhan maupun komunitas tumbuhan yang hidup di daerah pasang surut.
Menurut Watson (1928), pembentukan mangrove dimulai dengan
pengendapan lumpur di daerah pantai yang dibawa oleh aliran sungai, bercampur
dengan pasir sebagai hasil erosi pantai. Watson juga mengatakan bahwa jenis
mangrove yang pertama tumbuh adalah jenis Avicennia, kemudian disusul jenis
Sonneratia. Penyebaran jenis Sonneratia umumnya dibantu oleh air dan
berkembang pada tanah yang banyak mengandung bahan organik bercampur
lumpur. Vegetasi berikutnya yang berkembang adalah jenis Bruguiera,
Rhizophora, dan Casuarina.
Menurut Snedaker (1978) dalam Kusmana dkk (2003), hutan mangrove
adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis
sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa, hidup di suatu lingkungan yang
mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan kondisi tanah
anaerob. Sedangkan menurut Tomlinson (1986), kata mangrove berarti tanaman
tropis dan komunitasnya yang tumbuh pada daerah intertidal. Daerah intertidal
adalah wilayah di bawah pengaruh pasang surut sepanjang garis pantai, seperti
laguna, estuarin, pantai dan river banks. Mangrove merupakan ekosistem yang
spesifik karena pada umumnya hanya dijumpai pada pantai yang berombak relatif
kecil atau bahkan terlindung dari ombak, di sepanjang delta dan estuarin yang
dipengaruhi oleh masukan air dan lumpur dari daratan.
4
Menurut Irwan (2007), mangrove menghendaki lingkungan tempat tumbuh
yang agak ekstrim yaitu membutuhkan air asin (salinitas tinggi), berlumpur dan
selalu tergenang, yaitu daerah yang berbeda dalam jangkauan pasang surut seperti
di daerah delta, muara sungai, atau sungai-sungai pasang berlumpur. Sedangkan
di pantai berpasir atau berbatu atau karang berpasir dan memiliki arus yang kuat
pertumbuhan vegetasi mangrove tidak akan baik. Dengan demikian secara ringkas
dapat didefinisikan bahwa hutan mangrove adalah tipe hutan yang tumbuh di
daerah pasang surut (terutama pada pantai yang terlindung, laguna, muara sungai)
yang tergenang pasang dan bebas genangan pada saat surut yang komunitas
tumbuhannya bertoleransi terhadap garam. Sedangkan ekosistem mangrove
merupakan suatu sistem yang terdiri atas organisme (hewan dan tumbuhan) yang
berinteraksi dengan faktor lingkungannya di dalam suatu habitat mangrove.
Kusmana dkk (2003) menyebutkan ekosistem mangrove terbentuk dari
unsur-unsur, seperti: 1). Spesies pohon dan semak yang benar-benar memiliki habitat
terbatas di lingkungan mangrove (exclusive mangrove); 2). Spesies pohon dan
semak yang mampu hidup di lingkungan mangrove dan di luar lingkungan
mangrove (non-exclusive mangrove); 3). Biota yang hidupnya berasosiasi dengan
lingkungan mangrove baik biota yang keberadaannya bersifat menetap ataupun
sekedar singgah mencari makan maupun biota yang keberadaannya jarang
ditemukan di lingkungan mangrove; 4). Berbagai proses yang terjadi di ekosistem
mangrove untuk mempertahankan keberadaan ekosistem mangrove itu sendiri; 5).
hamparan lumpur yang berada di batas hutan sebenarnya dengan laut; 6). Sumber
daya manusia yang beradam di sekitar ekosistem mangrove.
Menurut Watson (1928) karakteristik mangrove secara umum tidak
dipengaruhi oleh iklim, tetapi dipengaruhi oleh pasang surut air laut (tergenang air
laut pada saat pasang dan bebas genangan air laut pada saat surut), mangrove
tumbuh membentuk jalur sepanjang garis pantai atau sungai dengan substrat
anaerob berupa klei (firm clay soil), gambut (peat), berpasir (sandy soil) dan tanah
koral, memiliki struktur tajuk tegakan hanya dengan satu lapisan tajuk (berstratum
tunggal). Komposisi jenis mangrove dapat homogen (hanya satu jenis) atau
heterogen (lebih dari satu jenis). Jenis-jenis kayu yang terdapat pada areal yang
5
kondisi tanahnya, intensitas genangan pasang surut air laut dan tingkat salinitas.
Penyebaran jenis mangrove membentuk zonasi. Zona paling luar berhadapan
langsung dengan laut pada umumnya ditumbuhi oleh jenis-jenis Avicennia spp
dan Sonneratia spp (tumbuh pada lumpur yang dalam, kaya bahan organik). Zona
pertengahan antara laut dan daratan pada umumnya didominasi oleh
jenis-jenis Rhizophora spp. Sedangkan zona terluar dekat dengan daratan pada
umumnya didominasi oleh jenis-jenis Bruguiera spp.
2.2. Vegetasi Mangrove
Watson (1928) mengidentifikasi vegetasi mangrove berdasarkan batang,
daun, dan bunga. Vegetasi Avicennia marina/Avicennia intermedia Griffith atau
Api-api memiliki batang dengan cabang-cabang horizontal yang menunjukkan
pertumbuhan yang terus menerus. Pepagan (kulit batang) halus keputihan sampai
dengan abu-abu kecoklatan dan retak-retak. Memiliki akar nafas
(pneumatophores) yang muncul dengan ketinggian 10-30 cm dari substrat serupa
paku yang panjang dan rapat, muncul ke atas lumpur di sekeliling pangkal
batangnya. Ciri-ciri daun Avicennia marina yaitu berbentuk tunggal, bertangkai,
berhadapan, bertepi rata, berujung runcing atau membulat; helai daun seperti
kulit, hijau mengkilap pada permukaan atas daun, abu-abu atau keputihan di sisi
bawahnya, tulang daun umumnya tidak terlihat jelas.
Identifikasi vegetasi Rhizophora mucronata menurut Watson (1928)
memiliki ciri khas akar tunjang yang besar dan berkayu serta akar udara/nafas
yang tumbuh dari percabangan bagian bawah. Rhizophora mucronata atau yang
biasa disebut bakau kurap oleh penduduk setempat mempunyai batang yang
bersisik kasar seperti kurap, kulit batang gelap hampir hitam dengan retakan
melingkari batang. Daun Rhizophora mucronata tebal memiliki kulit dengan
gagang daun berwarna hijau, daun berbentuk elips melebar hingga bulat
memanjang dan ujungnya meruncing.
Identifikasi vegetasi Jeruju hitam (Acanthus ebracteatus) menurut Watson
(1928) memiliki akar tunggang berwarna putih kekuningan. Daun berbentuk
lanset lebar/bulat panjang/ lonjong dengan ujung meruncing dan berduri tajam,
6
berbentuk zigzag/bergerigi. Bunga Jeruju majemuk berbentuk bulir berwarna
putih yang biasanya berjatuhan. Buahnya berbentuk kapsul kecil/bulat telur
berwarna coklat kehitaman.
Identifikasi vegetasi Sonnetaria acida menurut Watson (1928), memiliki
akar yang berbentuk kabel di bawah tanah dan muncul ke permukaan sebagai akar
nafas yang berbentuk kerucut tumpul dengan ketinggian mencapai 20 cm.
Identifikasi batang yaitu berkulit kayu berbentuk lurus yang tidak ditopang
dengan tajuk menyebar dan ranting berjumbai, kulit batang relatif halus berwarna
krem hingga coklat. Pada tanaman yang telah dewasa terdapat retakan-retakan
pada kulit batangnya. Daun Sonneratia acida memiliki kulit dan tersusun tunggal
bersilangan, berbentuk oblong sampai bulat telur terbalik. Bunga Sonneratia
berbentuk seperti lonceng, soliter/sendiri berwarna ungu dengan 6 sepal dan 6
kelopak. Buah Sonneratia acida berbentuk oval pada saat masak berwarna hijau
tua dan pepat pada bagian atas buahnya.
2.3. Sifat dan Jenis Tanah Daerah Hutan Mangrove.
Karakteristik tanah mangrove dapat dibedakan menjadi dua kategori yaitu
halic hydraquent dan halic sulfaquent (Tomlison, 1986). Sedangkan keadaan
tekstur tanah secara umum sangat halus dengan kadar partikel-partikel koloid
yang tinggi. Kesuburan tanah mangrove tergantung dari endapan yang dibawa
oleh air sungai, yang umumnya kaya akan bahan organik dan mempunyai nilai
nitrogen tinggi. Kehadiran bahan-bahan organik yang dibawa air sungai tersebut
sangat menentukan tekstur tanah pada tempat di mana bahan-bahan tersebut
diendapkan. Perubahan tekstur yang cepat dan tiba-tiba menyebabkan
terganggunya vegetasi yang ada di tempat tersebut. Topografi tanah pada
komunitas mangrove pada umumnya landai atau bergelombang dengan tanahnya
yang bertekstur klei, klei berdebu dan lom. Topografi hutan mangrove
mempengaruhi intensitas dan seringnya penggenangan yang mengakibatkan
perbedaan kadar garam dalam tanah.
Tomlison (1986) juga mengatakan bahwa hutan mangrove dapat ditemukan
di pesisir pantai wilayah tropis sampai sub tropis, terutama pada pantai yang
7
hutan mangrove dapat berkembang dengan baik pada habitat dengan jenis tanah
berlumpur, berlom, atau berpasir, dengan bahan bentukan berasal dari lumpur,
pasir atau pecahan karang koral. Habitat mangrove tergenang air laut secara
berkala, dengan frekuensi sering (harian) atau hanya saat pasang purnama saja,
frekuensi genangan ini akan menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove.
Selain dipengaruhi oleh air laut, habitat mangrove juga menerima pasokan air
tawar yang cukup, baik berasal dari sungai, mata air maupun air tanah yang
berguna untuk menurunkan kadar garam dan menambah pasokan unsur hara dan
lumpur. Kondisi air di habitat mangrove dengan air payau dengan salinitas sekitar
2-22‰ sampai dengan asin yang bisa mencapai salinitas 38 ‰.
Sitorus dan Djokosudardjo (1979) menyatakan bahwa pengaruh air pasang
yang mengandung garam-garam terlarut akan mewarnai susunan kimia tanah di
daerah tersebut sebagai hasil pertukaran dan penyerapan kation-kation oleh koloid
tanah. Selanjutnya Matondang (1979) menyatakan bahwa tanah yang dipengaruhi
air asin dapat dicirikan oleh sifat halik tanah yang biasanya dapat didekati dari
daya hantar listrik (DHL), persentase kejenuhan natrium (ESP) atau nisbah
jerapan natrium (SAR).
Hardjowigeno (1986) juga menyatakan bahwa tanah daerah mengrove
dicirikan oleh tiga hal, yaitu: salinitas tanah yang tinggi, tingkat kematangan tanah
yang rendah, serta mengandung tanah klei masam (cat clay). Klei masam (cat
clay) adalah klei dalam tanah yang mengandung sejumlah sulfida atau sulfat. Hal
ini terjadi karena pengaruh pasang air laut atau air payau pada saat pembentukan
tanah ini dan proses pasang surut selanjutnya.
Menurut Wiradinata (1992), salinitas tanah tinggi disebabkan karena
pengaruh air payau atau air asin pada saat tanah daerah mangrove terbentuk.
Tanah daerah mangrove dengan salinitas tinggi umumnya mempunyai DHL
sebesar 20-35 mmhos/cm pada 250C atau kadar garam 0.80% sampai lebih. Tanah tersebut umumnya memiliki nilai alkalinitas yang tinggi dengan nilai Na-dd
mencapai lebih dari 15% dan nisbah jerapan Na (SAR)-nya sekitar 15-40. Nilai
SAR dan ESP tanah menentukan tingkat sodisitas tanah, dimana pada tanah
non-sodik persentase ESP berkisar antara 0-5%, pada tanah non-sodik persentase ESP
8
sodik. Nilai kematangan tanah (n-value) daerah mangrove yang dipengaruhi
pasang surut berkisar antara 1.4 sampai dengan 2.0, sedangkan yang
kadang-kadang dipengaruhi pasang surut n-value berkisar antara 0.7 sampai dengan 1.4.
Semakin rendah n-value tanah menunjukkan tanah tersebut semakin matang dan
sebaliknya semakin tinggi n-value tanah menunjukkan tanah tersebut semakin
mentah. Kisaran nilai kematangan tanah adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Kriteria Pematangan Tanah Rawa Berdasarkan Nilai-n
Tingkat Pematangan Nilai-n Kandungan air (%)
Mentah (totally unripe)
Agak mentah (practically unripe)
Agak mentah (half ripe)
Hampir matang (nearly ripe)
Matang (ripe)
>2.0 1.4-2.0 1.0-1.4 0.7-1.0 <0.7 >80 70-80 60-70 50-60 <50
(Sumber: Pons dan Zonneveld, 1965)
Menurut Sitorus dan Djokosudardjo (1979) daerah pasang surut mempunyai
aneka ragam sifat-sifat kimia terutama dalam susunan kation pada kompleks
jerapan tanah. Susunan kation dinilai berdasarkan urutan dominasi kation-kation
(K, Na, Ca, dan Mg) pada kompleks jerapan tanah. Terdapat 3 model susunan
kation berdasarkan tingkat dominasinya yaitu Model I (Na>Mg>Ca atau K),
Model II (Mg>Ca>Na atau K) dan Model III (Ca>Mg>Na atau K). Model I
terdapat di daerah dekat laut/pantai atau muara sungai-sungai utama (daerah
pengaruh air laut); semakin menjauhi laut atau sungai-sungai utama (daerah
pengaruh payau) susunan kation mengikuti Model II dan daerah yang lebih jauh
lagi (daerah pengaruh air tawar) mengikuti Model III.
Zonasi mangrove menurut Watson (1928) juga dipengaruhi oleh tipe
penggenangan. Watson (1928) membagi tipe penggenangan yang mempengaruhi
zona pertumbuhan mangrove ke dalam lima kelas, seperti pada Tabel 2 di bawah
ini:
Tabel 2. Kelas-kelas Penggenangan untuk Zonasi Mangrove Menurut Watson 1928
Kelas Diairi oleh Ketinggian dalam feet (m) Frekuensi
Penggenangan/bulan 1 2 3 4 5
All high tide Medium high tide Normal high tide Spring high tide Abnormal (equinoctial tide) 0-8 (2.44) 8-11 (3.35) 11-13 (3.96) 13-15 (4.57) 15 56-62 45-59 20-45 2-20 2
9
Pada tabel 2. di atas, penggenangan kelas 1 digenangi oleh seluruh pasang
(all high tide). Spesies predominan dalam lingkungan ini adalah Rhizophora
apiculata, R. Stylosa, dan R. Mucronata. Rhizophora mucronata menempati
daerah di bawah pengaruh air tawar yang besar, sementara pada R. apiculata dan
R. stylosa berada pada kondisi asin.
Penggenangan kelas 2 digenangi oleh pasang menengah (medium high tide).
Spesies predominan dalam lingkungan ini adalah Avicennia alba, A. Marina,
Sonneratia alba, dan R.mucronata.
Penggenangan kelas 3 oleh pasang normal (normal high tide), sebagian
besar spesies tumbuh dengan subur pada kondisi ini. Sebagian besar spesies
ekosistem mangrove masuk dalam kelas ini. Sebagian besar spesies ada (memiliki
diversitas paling tinggi). Spesies yang umum adalah Rhizophora spp (sering
mendominasi), Ceriops tagal, Xylocarpus granatum, Lumnitzera littorea, dan
Excoccaria agallocha.
Penggenangan kelas 4 dimana penggenangan hanya selama pasang tertinggi
(spring tide). Daerah biasanya terlalu kering untuk Rhizophora spp. Tetapi
mungkin ada dalam jumlah kecil. Spesies umum adalah Bruguiera spp.
Xylocarpus spp, Lumnitzera littorea dan Excoccaria agallocha.
Penggenangan kelas 5 yaitu penggenangan hanya selama pasang
equinoctial. Spesies predominan adalah Bruguiera gymnorhiz (mendominasi),
Intsiabijuga, Nypa fruticans, Heritiera littoralis, Excoccaria agallocha,
Rhizophora apiculata (jarang), dan Xylocarpus granatum (jarang).
Kemudian Watson (1928) juga membagi tipe-tipe hutan mangrove ke dalam 5
tipe, yaitu: tipe Api-api-Perepat, tipe Berus, tipe Lenggadai, tipe Bakau, dan tipe
Tumu. Tipe Api-api-Perepat biasanya didominasi oleh Avicennia, Sonneratia,
Bruguiera, dan Rhizophora. Tipe Berus umumnya didominasi oleh Bruguiera dan
Avicennia. Tipe Lenggadai didominasi oleh Bruguiera dan Rhizophora, Tipe
Bakau didominasi oleh Rhizophora dan tipe Tumu didominasi oleh Bruguiera.
2.4. Deskripsi Lokasi Penelitian.
Secara administrasi pemerintahan Kecamatan Blanakan memiliki 9 desa,
10
Muara, Rawa Mekar, Rawa Meneng, dan Tanjung Tiga. Desa Blanakan dipilih
karena memiliki kawasan mangrove dengan kondisi cukup baik dibandingkan
dengan kondisi mangrove di sepanjang Pantai Utara Jawa lainnya.
Kawasan hutan mangrove yang menjadi lokasi penelitian termasuk ke dalam
wilayah Kecamatan Blanakan dengan luas sekitar 80.581 ha atau 42% dari total
luas Kabupaten Subang. Secara geografis Kecamatan Blanakan terletak antara
1070311’-10705’ Bujur Timur dan 6011’-6049’ Lintang Selatan dengan jarak terjauh antara utara sampai selatan kurang lebih 65 km dan arah barat sampai
timur kurang lebih 41 km.
Wanawisata Blanakan atau lokasi penelitian memiliki luas 131,7 ha dengan
batas hutan mangrove Blanakan adalah sebelah selatan berbatasan dengan Desa
Ciasem, sebelah utara berbatasan dengan laut Jawa, sebelah barat berbatasan
dengan Desa Jaya Mukti dan sebelah timur berbatasan dengan Desa Langensari.
Berdasarkan Perum Perhutani (1993) penguasaan informasi teritorial BKPH
Ciasem Pamanukan, RPH Tegal Tangkil, diketahui bahwa daerah Resort Polisi
Hutan (RPH) Tegal Tangkil bertopografi datar: Desa Blanakan diketahui
bertopografi pantai, memiliki ketinggian wilayah 0-2 meter di atas permukaan
laut.
Kawasan hutan mangrove Blanakan memiliki tekstur klei alluvial abu-abu,
berundak, dan terumbu koral. Menurut Wahab (2003), berdasarkan klasifikasi
curah hujan menurut Schmidt dan Ferguson, kecamatan Blanakan termasuk ke
dalam wilayah tipe iklim D. Secara umum Kabupaten Subang beriklim tropis
dengan curah hujan rata-rata per tahun berkisar antara 1.600-2.300 mm dengan
suhu rata-rata 270C. Wilayah hutan mangrove Blanakan memiliki rat-rata curah hujan 1.328 mm pertahun, pada malam hari suhu 21,80C dan siang hari mencapai 340C, dan kelembaban udara berkisar antara 73%-81%.
Mangrove di Blanakan berada di sekitar muara sungai sampai dengan pesisir
laut. Menurut Watson (1928) mangrove di daerah muara memiliki perbedaan
dengan pesisir laut, di muara umumnya dibatasi dengan jenis Avicennia berdaun
kusam dan Sonneratia dengan karakteristik daun berwarna hijau keabu-abuan
sedangkan pada daerah pesisir karakteristik dedaunan mangrove umumnya padat
11
Kondisi mangrove di Blanakan sudah dimanfaatkan bagi masyarakat untuk
12
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada Bulan Agustus-September Tahun 2011. Lokasi
penelitian dilaksanakan di kawasan hutan mangrove Wanawisata Penangkaran
Buaya yang terletak di Desa Blanakan, Kecamatan Blanakan, Kabupaten Subang.
Lokasi penelitian dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Lokasi Desa Blanakan, Kabupaten Subang
Berdasarkan Peta Tanah, Desa Blanakan memiliki empat jenis tanah yaitu
Tanah Aluvial Hidromorf, Tanah Aluvial Kelabu Tua, Tanah Asosiasi Glei
Humus Rendah dan Aluvial Kelabu, dan Regosol Coklat. Namun, lokasi
penelitian yang berada di ujung desa Blanakan, memiliki jenis tanah Aluvial
Hidromorf.
13
Berdasarkan penggunaan lahan, daerah penelitian didominasi oleh tumpang
sari hutan mangrove dengan tambak masyarakat. Sehingga apabila kita lihat pada
gambar 2. terdapat petakan-petakan yang ditumbuhi oleh mangrove dan
dikelilingi oleh parit yang telah dijadikan tambak. Berikut ini kondisi penggunaan
lahan lokasi penelitian.
Gambar 2. Penggunaan Lahan Daerah Penelitian
3.2. Metode Penelitian
Penelitian dilakukan secara survei langsung ke lokasi penelitian dan
melakukan analisis tanah di Laboratorium Tanah IPB Bogor.
Survei langsung ke lokasi penelitian untuk mengamati sifat-sifat tanah,
mengamati kondisi air tanah, identifikasi vegetasi mangrove, dan mengambil
sampel tanah untuk dilakukan analisis laboratorium.
Penelitian ini dilakukan pada petakan asli yang belum dijadikan tambak oleh
penduduk sekitar. Petakan asli umumnya hanya dimanfaatkan oleh penduduk
sekitar untuk mencari kayu bakar.
Petakan asli ditumbuhi oleh beberapa jenis mangrove seperti Avicennia,
14
berdasarkan perbedaan vegetasi mangrove yang tumbuh pada petakan asli
tersebut. Namun, untuk zona Bruguiera tidak dilakukan penelitian disebabkan
zona tersebut tidak dapat dijangkau karena tergenang air yang cukup tinggi. Selain
itu, pada ekosistem mangrove juga terdapat jeruju. Jeruju pada daerah penelitian
relatif tidak terganggu sehingga pengambilan sampel tanah juga dilakukan pada
zona bervegetasi jeruju.
Pertama dilakukan adalah penentuan zona untuk pengambilan sampel.
Penentuan zona ini dilakukan pada survei pertama dengan melakukan penentuan
titik-titik GPS pada daerah penelitian (track) dengan interval per 200-500 m. Hasil
track pada lokasi penelitian dapat dilihat pada gambar 3 yang ditandai dengan titik
merah beserta penomoran track GPS.
15
Kemudian dilakukan identifikasi vegetasi mangrove yang tumbuh di daerah
tersebut. Setelah itu, dilakukan pengambilan sampel tanah yang dipisahkan
menjadi 10 lapisan per 10 cm. Pengambilan sampel tersebut dilakukan secara
komposit. Lokasi pengambilan sampel dapat dilihat pada gambar 3 di atas yang
ditandai dengan titik hijau. Rata-rata tanah mangrove di daerah ini memiliki 2
lapisan, yaitu lapisan atas dengan warna yang lebih kelam 0-10 cm dan lapisan
kedua 10-100 cm. Berdasarkan horisonisasinya maka penelitian ini mengambil 3
sampel tanah pada masing-masing zona vegetasi mangrove. Sampel pertama pada
tanah dengan kedalaman 0-10 cm, sampel kedua dengan kedalaman tanah 40-50
cm, dan sampel ketiga dengan kedalaman 90-100 cm.
Sifat tanah yang diamati secara langsung yaitu Sifat Morfologi Tanah yang
meliputi: horisonisasi dengan ketebalan masing-masing lapisan/horizon, warna
masing-masing lapisan, tekstur masing-masing lapisan, struktur tanah di lapang,
konsistensi tanah, kedalaman solum dan air tanah, sifat perakaran, dan Daya
Hantar Listrik (DHL/EC) lapang.
Analisis laboratorium yang dilakukan yaitu untuk mengetahui sifat fisik dan
kimia tanah, serta sifat air tanah. Berikut ini analisis laboratorium yang dilakukan
untuk meneliti sifat tanah mangrove berdasarkan Petunjuk Teknis Analisis Kimia
Tanah, Tanaman, Air, dan Pupuk oleh Balai Penelitian Tanah.
Tabel 3. Metode Pengukuran Sifat Kimia Tanah
No Sifat Kimia Tanah Metode Pengukuran
1 Kemasaman (pH) Pengukuran dengan pH meter
2 C-organik Walkey and Black
3 N-Total Kjeldhal
4 P-Tersedia P Molibdat-Vanadat, Pengukuran
Sprektrofoto meter
5 Ca-dd dan Mg-dd Ekstraksi NH4OAc, pH 7.0,
Pengukuran AAS
6 K-dd dan Na-dd Ekstraksi NH4OAc, pH 7.0,
Pengukuran Flamefoto Meter
7 KTK Ekstraksi NH4OAc, pH 7.0, Titrasi
HCL
8 Al-dd Ekstraksi KCl, titrasi NaOH dan
titrasi HCl
9 H-dd Ekstraksi KCl, titrasi HCl
10 Fe Ekstraksi NH4OAc, pH 4.8,
Pengukuran AAS
16
No Sifat Kimia Tanah Metode Pengukuran
Pengkuran Spektrofoto meter
12 Tekstur Pipet
13 SAR Perhitungan
14 ESP Perhitungan
15 n-value Perhitungan
16 Kadar air lapang Oven
17 DHL Larutan Tanah dengan EC meter
Kondisi vegetasi mangrove diamati secara langsung di lapang dengan melihat
katerkaitannnya dengan lingkungan sekitarnya khususnya kondisi tanah lokasi
17
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Vegetasi Mangrove Blanakan
Daerah penelitian ditumbuhi beberapa jenis tanaman mangrove, beberapa
mangrove telah dibudidayakan oleh masyarakat sekitar untuk dijadikan tambak.
Berdasarkan identifikasi vegetasi mangrove di lokasi penelitian, terdapat 4 jenis
mangrove yang tumbuh asri (relatif tidak terganggu) yaitu Avicennia (zona
1/BSR1), Rhizophora (zona 2/BSR2), Sonneratia (zona 4/BSR4), dan Bruguiera.
Kemudian vegetasi yang juga identik dengan ekosistem mangrove adalah jeruju
(zona 3/BSR3). Sehingga diambil 4 zona sesuai dengan vegetasi yang tumbuh,
yaitu zona Avicennia, Rhizophora, Sonneratia, dan Jeruju. Adapun zona yang
ditumbuhi oleh Bruiguera tidak dilakukan pengambilan sampel karena kondisi
tanah yang selalu tergenang dengan kedalaman yang tidak dapat diperkirakan dan
kondisi lapang yang berbahaya.
Pada zona Avicennia marina banyak ditemukan serasah dan lumpur pada
lapisan atas tanahnya dengan kedalaman mencapai 30 cm. Zona ini dikelilingi
parit dengan air yang relatif tidak mengalir dan paling dekat dengan muara atau
aliran sungai dibandingkan zona lainnya. Zona Avicennia termasuk ke dalam tipe
penggenangan 2 dimana dipenuhi dengan lumpur dan terpengaruh oleh aliran
sungai.
Pada daerah yang ditanami Rhizophora ditemukan pula serasah namun tidak
sebanyak pada daerah Avicennia. Serasah tersebut berupa serasah kering tanpa
lumpur. Zona Rhizophora lebih jauh dari muara atau sungai/aliran sungai/laut
dibandingkan zona Avicennia. Daerah ini juga dikelilingi parit yang airnya relatif
tidak mengalir. Tipe penggenangan 2 sampai 3 dimana terdapat lumpur yang juga
mendapat sedikit pengaruh dari aliran sungai/laut.
Jeruju dan Sonneratia hidup pada parit-parit yang dialiri oleh air/air relatif
mengalir dengan kondisi tanah yang tergenang. Zona ini memiliki tipe
penggenangan 4 dan 5 dimana tanahnya klei hasil pencucian dari aliran sungai.
Selanjutnya zona Sonneratia acida memiliki tipe penggenangan 4 dan 5 dengan
tanah klei dipengaruhi oleh aliran air sungai.
18
4.2. Tanah
Morfologi tanah yang dilihat langsung di lapang adalah.horisonisasi tanah,
warna tanah, tekstur, struktur, jumlah ukuran bandingan karat, perakaran, horison
penciri, konsistensi, dan DHL/Ec lapang.
Tanah pada zona 1 (BSR1) dengan vegetasi Avicennia marina memiliki 2
horison/lapisan, yaitu lapisan pertama dengan kedalaman 0-10 cm dan lapisan
kedua pada kedalaman 10-100 cm. Warna tanah yang terdiri dari hue (spektrum
yang dominan) pada lapisan 0-10 cm dan lapisan 10-100 cm berwarna Gley 1,
value (gelap terang) pada lapisan 0-10 cm sebesar 2,5 dan pada lapisan 10-100 cm
sebesar 5, serta chroma (kemurnian warna) pada lapisan 0-10 cm sebesar 12 dan
pada lapisan 10-100 cm sebesar 10 Y. Tekstur di lapang menunjukkan bahwa
tanah lokasi 1 memiliki tekstur klei berdebu baik pada lapisan 0-10 cm maupun
pada lapisan 10-100 cm. Tanah pada zona 1 ini tidak mengandung bahan kasar
dan tidak memiliki struktur dari 0-100 cm. Sistem perakaran di zona 1 kasar dan
sedikit pada kedalaman 0-50 cm. Tidak memiliki horison penciri dan pada kondisi
basah konsistensi ditetapkan dengan dua parameter, yaitu kelekatan dan
plastisitas. Tanah zona 1 pada kondisi basah di lapisan 0-10 cm dan lapisan
10-100 cm adalah tidak lekat dan tidak plastis, sedangkan pada kondisi lembab
konsistensi kedua lapisan sangat teguh dimana masa tanah sangat tahan terhadap
remasan. Pada kondisi kering, konsistensi kedua lapisan sangat keras sekali
(extremely hard) dimana tanah sangat tahan terhadap tekanan (masa tanah tidak
dapat dipecahkan dengan tangan).
Tanah pada zona 2 (BSR2) memiliki 2 horison/lapisan, yaitu lapisan
pertama dengan kedalaman 0-10 cm memiliki warna tanah 10YR 2/1 dan lapisan
kedua pada kedalaman 10-100 cm memiliki warna tanah GY1 5/5 . Tekstur di
lapang menunjukkan bahwa tanah zona 2 memiliki tekstur klei berdebu baik pada
lapisan 0-10 cm maupun pada lapisan 10-100 cm. Tanah pada zona 2 tidak
mengandung bahan kasar dan tidak memiliki struktur dari kedalamn 0-100 cm.
Sistem perakaran pada zona ini kasar dan sedang terdapat pada kedalaman 0-60
cm. Sistem perakaran tersebut hanya dapat ditemukan pada tanah-tanah yang
19
konsistensi tanah zona 2 pada kondisi basah di lapisan 0-10 cm dan lapisan
10-100 cm adalah tidak lekat dan tidak plastis, sedangkan pada kondisi lembab
konsistensi kedua lapisan sangat teguh dimana masa tanah sangat tahan terhadap
remasan. Pada kondisi kering, konsistensi kedua lapisan sangat keras sekali
dimana tanah sangat tahan terhadap tekanan (masa tanah tidak dapat dipecahkan
dengan tangan).
Tanah pada zona 3 (BSR3) memiliki 2 horison/lapisan, yaitu lapisan
pertama dengan kedalaman 0-50 cm memiliki warna tanah GY1 3/10 dan lapisan
kedua pada kedalaman 50-100 cm memiliki warna tanah GY1 4/5. Tekstur di
lapang menunjukkan bahwa tanah zona 3 memiliki tekstur klei berdebu baik pada
lapisan 0-50 cm maupun pada lapisan 50-100 cm. Tanah zona 3 tidak
mengandung bahan kasar dan tidak memiliki struktur dari 0-100 cm. Sistem
perakaran pada zona 3 adalah kasar dan sedikit serta halus dan sedikit.
Konsistensi tanah zona 3 pada kondisi basah di lapisan 0-50 cm dan lapisan
50-100 cm adalah tidak lekat dan tidak plastis, sedangkan pada kondisi lembab
konsistensi kedua lapisan sangat teguh dimana masa tanah sangat tahan terhadap
remasan. Pada kondisi kering, konsistensi kedua lapisan sangat keras sekali
dimana tanah sangat tahan terhadap tekanan (masa tanah tidak dapat dipecahkan
dengan tangan).
Tanah pada zona 4 memiliki 3 horison/lapisan, yaitu lapisan pertama dengan
kedalaman 0-5 cm memiliki warna tanah 10YR 3/4, lapisan kedua pada
kedalaman 5-40 cm memiliki warna tanah GY 1 2,5/12 dan pada lapisan ketiga
kedalaman 40-100 cm memiliki warna tanah GY 1 3/5. Tekstur di lapang
menunjukkan bahwa tanah di zona 4 pada ketiga kedalaman memiliki tekstur klei
berdebu. Tanah zona 4 tidak mengandung bahan kasar dan tidak memiliki struktur
dari 0-100 cm. Sistem perakaran pada zona 4 adalah kasar dan sedikit serta tidak
memiliki horison penciri. Konsistensi tanah di zona 4 pada kondisi basah untuk
ketiga lapisan adalah tidak lekat dan tidak plastis, sedangkan pada kondisi lembab
konsistensi ketiga lapisan sangat teguh dimana masa tanah sangat tahan terhadap
remasan. Pada kondisi kering, konsistensi ketiga lapisan sangat keras sekali
dimana tanah sangat tahan terhadap tekanan (masa tanah tidak dapat dipecahkan
20
Hasil analisis sifat kimia tanah daerah penelitian merupakan gambaran
tentang kesuburan dan potensi wilayah yang diteliti. Sifat-sifat tanah tersebut
merupakan parameter untuk diuji hubungannya dengan vegetasi mangrove yang
terbentuk. Analisis dilakukan terhadap 23 sifat tanah, baik sifat fisik maupun sifat
kimia, mencakup tanah lapisan atas, tanah lapisan tengah, dan tanah lapisan
bawah. Sifat kimia tanah tersebut meliputi pH H2O, C-Organik, N-Total,
P-Tersedia, Ca-dd, Mg-dd, K-dd, Na-dd, Total Basa, KTK, KB, Al-dd, H-dd, Fe,
S-tersedia, Ec, Salinitas dan tekstur tanah.
Sifat Kimia Tanah Kemasaman Tanah
Tanah pada zona 1 (BSR1) dengan vegetasi Avicennia memiliki pH di atas 5
yaitu pH 5,6-6,6 yang menunjukkan bahwa tanah tersebut memiliki tingkat
kemasaman sedang hingga rendah. Nilai pH tanah terkecil terdapat pada lapisan
atas, sedangkan nilai pH tertinggi terdapat pada lapisan tengah seperti yang
[image:31.595.109.512.337.793.2]terlihat pada Gambar 4 di bawah ini.
Gambar 4. Grafik Tingkat Kemasaman Tanah (pH H2O), Blanakan Subang.
Zona 2 (BSR2) dengan vegetasi Rhizophora mucronata memiliki nilai pH
4,6-6,1 yang menunjukkan bahwa tanah tersebut memiliki tingkat kemasaman
yang tinggi hingga sedang. Nilai pH terkecil terdapat pada lapisan tengah,
sedangkan nilai pH tertinggi terdapat pada lapisan bawah.
BSR1.1 BSR1.5 BSR1.10 BSR2.1 BSR2.5 BSR2.10 BSR3.1 BSR3.5 BSR3.10 BSR4.1 BSR4.5 BSR4.10
pH H2O 5,0 6,6 5,6 5,7 4,6 6,1 4,8 5,5 6,9 4,8 5,0 5,3
0,0 1,0 2,0 3,0 4,0 5,0 6,0 7,0 8,0
Nila
i
pH
T
a
na
h
21
Kemasaman tanah pada zona 3 (BSR3) dengan vegetasi jeruju dan zona 4
(BSR4) dengan vegetasi Sonneratia acida dapat dilihat pada gambar 4 di atas,
dimana pada zona 3 pH tanah berkisar antara 4,8-6,9 yang menunjukkan bahwa
tanah pada zona ini memiliki tingkat kemasaman yang tinggi hingga sangat
rendah. Nilai pH terkecil terdapat pada lapisan atas, sedangkan nilai pH tertinggi
terdapat pada lapisan bawah. Nilai pH pada zona 4 berkisar antara 4,8-5,3 yang
menunjukkan bahwa tanah pada zona 4 memiliki tingkat kemasaman yang tinggi.
Zona 4 memiliki tingkat kemasaman paling tinggi dibandingkan dengan tanah
pada keempat zona lainnya. Nilai pH terkecil pada zona 4 terdapat pada lapisan 1
sedangkan nilai pH tertinggi terdapat pada lapisan bawah.
Pengamatan berdasarkan nilai pH pada keempat lokasi menunjukkan bahwa
pengaruh genangan, aerasi tanah, dan aliran air baik dari sungai/muara/laut yang
menyebabkan nilai pH pada keempat lokasi berbeda-beda. Tanah dengan vegetasi
Avicennia marina memiliki aerasi yang paling baik dibandingkan dengan ketiga
jenis tanah lainnya, selain itu aliran air berpengaruh pada tanah ini karena kondisi
di lapang terlihat bahwa tanah ini memiliki masa kering/tidak tergenang pada
musim kemarau panjang. Sedangkan pada tanah dengan vegetasi Rhizophora
mucronata yang cenderung lebih kering jika diamati di lapang memiliki pH
dengan batas minimum kemasaman tinggi, hal ini dikarenakan lokasi tanah
Rhizophora mucronata relatif sedikit sekali dipengaruhi oleh aliran air. Tanah
dengan vegetasi Jeruju memiliki rentang kisaran nilai pH yang paling tinggi
dibandingkan dengan zona lainnya, tanah ini terpengaruh oleh aliran air namun
selalu tergenang. Kondisi yang hampir serupa juga ditemukan pada kondisi tanah
dengan vegetasi Sonneratia acida, dimana tanah selalu tergenang. Zona Jeruju
dan Sonneratia acida pada sekitar pukul 17.00 WIB (sore hari) mengalami
kenaikan air pengaruh pasang hingga mencapai 30 cm. Penyebab zona Sonneratia
acida lebih rendah dibandingkan dengan zona Jeruju, dimungkinkan karena zona
Sonneratia acida dekat dengan zona yang selalu tergenang sedangkan zona Jeruju
dikelilingi oleh zona mangrove yang telah dibudidayakan sehingga aerasi sekitar
22
Daya Hantar Listrik (DHL)/EC
Nilai Daya Hantar Listrik (DHL/EC) dari lapisan atas ke lapisan bawah
pada tanah zona 1 semakin meningkat dengan nilai berkisar antara 7,63 mS/cm
sampai dengan 13,7 mS/cm, seperti yang ditunjukkan pada gambar 5 di bawah ini.
Nilai DHL terkecil pada zona 1 terdapat pada lapisan atas, sedangkan nilai
tertinggi terdapat pada lapisan bawah. Nilai DHL pada zona 1 tergolong rendah
dibandingkan dengan nilai DHL pada tanah mangrove secara umum. Hal ini dapat
menunjukkan bahwa keempat zona dipengaruhi oleh air laut dan air sungai
dengan kecenderungan dari zona 1 ke zona 4 pengaruh air laut semakin berkurang
[image:33.595.111.515.95.817.2]dan pengaruh air sungai semakin meningkat.
Gambar 5. Grafik Nilai Daya Hantar Listrik (DHL/EC) Tanah, Blanakan Subang
Daya hantar listrik untuk zona 2 (BSR2) vegetasi Rhizophora mucronata
memiliki nilai DHL/EC yang lebih rendah dibandingkan dengan zona 1 dengan
nilai berkisar 4,12 mS/cm sampai dengan 8,12 mS/cm. Hal ini juga menunjukkan
bahwa lokasi zona 2 lebih sedikit dipengaruhi air payau/asin dibandingkan dengan
zona 1, karena lokasi zona 2 yang juga relatif lebih jauh dengan sungai
dibandingkan zona 1. Nilai DHL/Ec pada zona 2 mengalami peningkatan dari
lapisan atas ke lapisan bawah, dengan nilai terkecil terdapat pada lapisan atas dan
nilai tertinggi terdapat pada lapisan bawah.
Zona 3 (BSR3) dengan vegetasi jeruju memiliki nilai rata-rata DHL yang
lebih rendah lagi dibandingkan dengan nilai DHL pada zona 1 dan zona 2. Nilai BSR1.5 BSR1.10 BSR2.1 BSR2.5 BSR2.10 BSR3.1 BSR3.5 BSR3.10 BSR4.1 BSR4.5 BSR4.10 EC (mS/cm) 7,63 11,13 13,70 4,12 7,30 8,12 4,90 6,05 6,96 3,11 3,65 5,62
0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 12,00 14,00 16,00
Nila
i
DH
L
/E
C
T
a
na
h
23
DHL zona 3 berkisar antara 4,9 mS/cm sampai dengan 6,96 mS/cm, dengan nilai
DHL terkecil terdapat pada lapisan atas dan nilai DHL tertinggi terdapat pada
lapisan bawah. Sedangkan pada zona 4 memiliki nilai rata-rata DHL paling
rendah dibandingkan dengan ketiga zona lainnya, yaitu berkisar antara 3,11
mS/cm sampai dengan 5,62 mS/cm. Nilai DHL semakin meningkat dari lapisan
atas ke lapisan bawah.
Dari hasil pengamatan DHL/EC menunjukkan bahwa dari zona Avicennia
marina hingga zona Sonneratia acida sedikit sekali dipengaruhi oleh air asin, hal
ini karena lokasi penelitian berjarak cukup jauh dengan laut. Aliran air yang
mempengaruhi keempat lokasi ini berasal dari aliran sungai dan air cenderung
payau.
Kadar Air
Persentase kadar air keempat zona sangat tinggi, hal ini karena keempat
zona saat pengambilan sampel berada pada kondisi tergenang.
Persentase kadar air lapang pada zona 1 paling kecil jika dibandingkan
dengan zona lainnya. persentase kadar air dari lapisan atas ke lapisan bawah pada
tanah di zona 1 (BSR1) semakin menurun dengan persentase kadar air berkisar
antara 88,86% sampai dengan 95,15%, hal ini dapat dilihat pada gambar 6. berikut
ini. Rendahnya nilai persentase kadar air pada zona ini kemungkinan dipengaruhi
oleh kerapatan tanaman, dimana pada zona ini kerapatan tanaman sangat tinggi
dibandingkan dengan zona lainnya. Selain itu, serasah dan lumpur pada lapisan
[image:34.595.107.515.540.734.2]atas tanah yang tebal dapat menghambat air yang masuk ke tanah.
Gambar 6. Grafik Nilai Persentase Kadar Air Tanah Blanakan, Subang BSR1.1 BSR1.5 BSR1.10 BSR2.1 BSR2.5 BSR2.10 BSR3.1 BSR3.5 BSR3.10 BSR4.1 BSR4.5 BSR4.10
% Kadar Air 95 93 89 120 104 101 124 121 110 183 117 137
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200
%
K
a
da
r
Air
24
Gambar 6 di atas juga menunjukkan persentase kadar air pada zona 2, zona
3, dan zona 4 dengan persentase kadar air di atas 100%. Persentase kadar air pada
zona 2 berkisar antara 101,22% sampai 120,23% dengan nilai persentase yang
semakin menurun dari lapisan atas ke lapisan bawah. Persentase kadar air pada
zona 3 sebesar 110,12% sampai 124,42% dengan nilai persentase yang semakin
menurun dari lapisan atas ke lapisan bawah. Pada zona 4 persentase kadar air
berkisar antara 117,32% sampai dengan 182,91%. Persentase kadar air terkecil
pada zona 4 terdapat pada lapisan tengah sedangkan persentase kadar air tertinggi
terdapat pada lapisan atas.
Tekstur
Tekstur pada tanah zona 1 didominasi oleh klei dengan kandungan yang
semakin meningkat dari lapisan atas ke lapisan bawah, berkisar antara 62,2%
sampai dengan 71,1%. Rata-rata persentase klei pada zona 1 paling kecil
dibandingkan dengan rata-rata persentase klei pada ketiga zona lainnya.
Sedangkan persentase debu memiliki nilai berkisar antara 25,9% sampai 37,1%,
nilai persentase debu semakin menurun dari lapisan atas ke lapisan bawah.
Sebaliknya pada persentase pasir, nilainya semakin meningkat dari lapisan atas ke
lapisan bawah dengan persentase pasir berkisar antara 0,66% sampai 2,34%
[image:35.595.106.512.407.722.2]seperti yang ditunjukkan pada gambar di bawah ini.
Gambar 7. Grafik Persentase Pasir, Debu, dan Klei, serta Kematangan (n-value) Tanah Blanakan, Subang
BSR1.1 BSR1.5 BSR1.10 BSR2.1 BSR2.5 BSR2.10 BSR3.1 BSR3.5 BSR3.10 BSR4.1 BSR4.5 BSR4.10 % Pasir 0,72 0,66 2,34 0,69 0,92 0,67 1,05 1,00 0,58 0,72 4,01 1,06 % Klei 62,23 73,42 71,09 77,18 75,78 75,46 75,43 74,45 82,24 92,24 73,35 76,19 % Debu 37,06 25,92 26,57 22,13 23,31 23,87 23,53 24,55 17,18 7,04 22,64 22,75
n-value 1,6 2,7 2,3 3,2 2,3 3,0 3,0 2,8 4,0 4,8 3,4 4,0
0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 80,00 90,00 100,00
Nila
i
25
Komposisi tekstur pada zona 2 didominasi oleh klei dengan persentase
berkisar antara 75,5% sampai dengan 77,2%. Persentase klei mengalami
penurunan dari lapisan atas ke lapisan bawah. Komposisi tekstur tertinggi kedua
yaitu debu dengan nilai persentase berkisar antara 22,1% sampai 23,9%.
Kecenderungan persentase debu semakin meningkat nilainya dari lapisan atas ke
lapisan bawah. Komposisi pasir sangatlah kecil pada tanah di zona 2, berkisar
antara 0,67% sampai dengan 0,92%. Persentase pasir terkecil terdapat pada
lapisan bawah, sedangkan persentase pasir tertinggi terdapat pada lapisan tengah.
Tekstur tanah pada zona 3 masih didominasi oleh klei dengan nilai
persentase berkisar antara 74,4% sampai dengan 82,2%. Persentase klei terkecil
terdapat pada lapisan tengah dan persentase klei tertinggi terdapat pada lapisan
bawah. Persentase debu pada tanah zona 3 berkisar antara 17,2% sampai dengan
23,5%. Nilai persentase debu terkecil terdapat pada lapisan bawah dan persentase
debu tertinggi terdapat pada lapisan tengah. Persentase pasir tanah zona 3 sebesar
0,58% sampai 1,05% dengan nilai persentase debu yang semakin menurun dari
lapisan atas ke lapisan bawah.
Tanah zona 4 masih didominasi oleh klei dengan persentase sebesar 73,4%
sampai dengan 92,2%. Nilai persentase klei pada lapisan atas adalah nilai
persentase tertinggi hingga mencapai 92%, sedangkan nilai persentase klei
terkecil terdapat pada lapisan tengah. Komposisi tekstur zona 4 berikutnya adalah
debu dengan nilai persentase berkisar antara 7,04% sampai dengan 22,8%. Nilai
persentase debu meningkat dari lapisan atas ke lapisan bawah. Persentase pasir
pada zona 4 memiliki nilai rata yang lebih tinggi dibandingkan dengan
rata-rata persentase pasir ketiga zona lainnya. Nilai persentase pasir berkisar antara
0,72% sampai 4,01% dengan nilai terkecil terdapat pada lapisan atas dan nilai
tertinggi terdapat pada lapisan tengah.
Apabila kita perhatikan gambar 7 di atas, terlihat komposisi tekstur keempat
zona didominasi oleh klei, hal ini disebabkan karena aliran air yang tenang
menuju ke laut (hilir) banyak membawa dan mengendapkan klei. Nilai persentase
klei ini juga mengalami peningkatan dari zona 1 ke zona 4. Rata-rata persentase
klei terkecil terdapat pada zona 1, sedangkan rata-rata persentase terbesar terdapat
26
kenaikan persentase pasir dari zona 1 ke zona 4. Rata-rata persentase pasir terkecil
terdapat pada zona 1, sedangkan rata-rata persentase terbesar terdapat pada zona
4. Hal ini berbeda dengan persentase debu, dari zona 1 ke zona 4 nilai persentase
debu semakin menurun. Rata-rata persentase debu terbesar terdapat pada zona 1,
sedangkan rata-rata persentase debu terkecil terdapat pada zona 4.
Kematangan Tanah (n-value)
Nilai kematangan suatu tanah berhubungan dengan besarnya air yang diikat
oleh klei. Menurut tabel 1, kematangan tanah juga dapat kita lihat dari kadar air
lapang tanah tersebut. Kematangan tanah daerah ini umumnya relatif rendah atau
termasuk ke dalam kelompok tanah belum matang, hal ini ditunjukkan pada nilai
n-value/nilai kematangan yang sangat tinggi yaitu lebih besar dari 1, pada tanah
yang ditanami Avicennia/zona 1 memiliki nilai kematangan tanah 1,6-2,4 dengan
n-value terkecil terdapat pada lapisan atas dan n-value tertinggi terdapat pada
lapisan tengah. Zona 2 memiliki rata-rata n-value tanah yang lebih tinggi
dibandingkan dengan rata-rata n-value tanah zona 1, hal ini menunjukkan zona 2
tanahnya lebih mentah dibandingkan dengan zona 1. Besarnya n-value zona 2
sebesar 2,28 sampai 3,15 dengan n-value terkecil terdapat pada lapisan tengah dan
n-value tertinggi terdapat pada lapisan atas. Kematangan tanah zona 3 berkisar
antara 2,78 sampai 3,96, dengan n-value terkecil terdapat pada lapisan tengah dan
n-value tertinggi terdapat pada lapisan atas. Nilai kematangan terendah pada tanah
zona 4 dengan nilai kematangan berkisar antara 3,39 sampai 4,8 dengan n-value
terkecil terdapat pada lapisan tengah dan n-value tertinggi terdapat pada lapisan
atas. Secara berurutan dapat kita amati bahwa rata-rata n-value tanah dari zona 1
ke zona 4 semakin meningkat sesuai dengan peningkatan persentase klei pada
tanah keempat zona, hal ini menunjukkan bahwa dari zona 1 ke zona 4 tanahnya
semakin mentah. Kematangan tanah semakin rendah seiring dengan
meningkatnya kadar air lapang.
Kapasitas Tukar Kation
Nilai KTK pada tanah di zona 1 (BSR1) berkisar antara 23,9 me/100 gram
sampai dengan 33,2 me/100 gram. Nilai KTK terkecil terdapat pada lapisan atas,
sedangkan nilai KTK tertinggi terdapat pada lapisan tengah. Nilai KTK tanah
27
KTK pada lapisan atas tanah zona 2 lebih tinggi dibandingkan dengan lapisan
tengah tanah, sedangkan nilai KTK pada lapisan tengah lebih rendah
dibandingkan dengan lapisan bawah. Nilai KTK tanah zona 3 berkisar antara 28,7
me/100 gram sampai dengan 31,5 me/100 gram. Nilai terkecil terdapat pada
lapisan atas dan lapisan bawah, sedangkan nilai tertinggi terdapat pada lapisan
tengah. Nilai KTK tanah zona 4 berkisar antara 25 me/100 gram sampai dengan
36,7 me/100 gram, dengan nilai terkecil terdapat pada lapisan tengah dan nilai
tertinggi terdapat pada lapisan atas. Peningkatan KTK pada zona 1, zona 2, dan
zona 3 seiring dengan peningkatan kandungan klei dalam tanah. Pada zona 4,
peningkatan KTK terjadi secara acak. Berdasarkan nilai KTK tanah, keempat
zona tidak berbeda signifikan.
Kation Basa
Zona 1 memiliki kandungan kalium, magnesium, kalsium, dan natrium yang
mengalami peningkatan dari lapisan atas ke lapisan bawah. Kandungan basa-basa
pada zona ini sesuai dengan kenaikan pH dari lapisan atas ke lapisan bawah.
Kandungan Basa-basa ini berpengaruh pada nilai persentase kejenuhan natrium
(ESP) dan nisbah jerapan natrium (SAR). Nilai ESP dan nilai SAR dari lapisan
atas ke lapisan bawah mengalami kenaikan. Persentase ESP tanah di zona 1
berada di atas 50% yang menunjukkan bahwa tanah ini termasuk ke dalam
kelompok tanah sangat sodik. Nilai SAR pada zona ini tergolong sangat rendah,
hal ini berkaitan dengan DHL/Ec dan Na yang dipengaruhi oleh air laut.
Persentase KB pada lapisan atas ke lapisan bawah mengalami peningkatan dengan
nilai berkisar 97,4% sampai dengan 162%.
Pada zona 2, Kandungan Na berkisar antara 11,6 me/100 gram sampai
dengan 18,3 me/100 gram. Kandungan Na ini lebih rendah dibandingkan dengan
kandungan Na pada zona 1. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh air laut lebih
sedikit diterima oleh tanah pada zona 2 dibandingkan dengan zona 1. Sedangkan
nilai K pada zona ini berkisar antara 0,7 me/100 gram sampai dengan 1,03 me/100
gram. mengalami kenaikan dari lapisan atas ke lapisan bawah. Kandungan Ca
mengalami penurunan dari lapisan atas ke lapisan bawah. Kandungan Mg pada
zona 2 berkisar antara 14,7 me/100 gram sampai 17,2 me/100 gram dengan nilai
28
amati kandungan basa-basa pada zona 2 tidak mengikuti perubahan pH tanah,
dimana seharusnya kandungan Ca semakin meningkat mengikuti kenaikan pH dan
kandungan Mg terdapat pada lapisan yang memiliki pH tertinggi. Perbedaan ini
mungkin disebabkan karena rentang nilai pH yang tinggi sehingga variasi menjadi
tinggi dan error semakin tinggi. Berdasarkan gambar 8, dapat kita ketahui nilai
ESP dan SAR mengalami kenaikan dari lapisan atas ke lapisan bawah. Persentase
ESP tergolong tinggi artinya tanah tergolong sodik, dan nilai SAR zona 2 masih
tergolong rendah. Persentase KB pada lapisan ini berkisar antara 75,4% sampai
104% dengan nilai terkecil terdapat pada lapisan tengah dan nilai tertinggi
[image:39.595.109.514.95.831.2]terdapat pada lapisan atas.
Gambar 8. Grafik KTK; Kandungan Na, K, Mg, dan Ca; Kejenuhan Basa; Persentase ESP; dan Nilai SAR Tanah Blanakan Subang.
Pada zona 3 yang mengalami kenaikan nilai dari lapisan atas ke lapisan
bawah terlihat pada kandungan K dan kandungan Ca sesuai dengan kenaikan pH
tanah zona tersebut. Kandungan Na pada zona 3 berkisar antara 11,1 me/100 gram
sampai dengan 13 me/100 gram dengan nilai terkecil terdapat pada lapisan tengah
dan nilai tertinggi terdapat pada lapisan bawah. Kandungan Na lebih rendah
dibandingkan dengan tanah zona 1 dan tanah zona 2, yang menunjukkan bahwa
tanah zona 3 lebih sedikit dipengaruhi oleh air laut dibandingkan dengan tanah BSR1.1 BSR1.5 BSR1.10 BSR2.1 BSR2.5 BSR2.10 BSR3.1 BSR3.5 BSR3.10 BSR4.1 BSR4.5 BSR4.10 KTK 23,94 33,24 28,24 39,83 30,19 34,54 28,69 31,51 28,71 36,67 24,97 28,80 Na 11,29 18,61 24,85 11,60 15,56 18,28 11,44 11,12 13,04 6,99 6,49 9,98 K 0,49 0,57 0,63 0,67 0,96 1,03 0,88 0,88 0,89 0,42 0,33 0,39 Mg 11,30 17,38 20,03 17,22 14,66 15,88 14,70 15,24 13,83 15,04 10,03 11,24 Ca 0,25 0,31 0,38 0,52 0,33 0,30 0,31 0,41 0,63 0,85 0,62 0,60 KB 97,44 110,90 162,44 75,37 104,38 102,70 95,27 87,77 98,86 63,55 69,94 77,09 %ESP 47,14 55,97 87,99 29,13 51,55 52,91 39,88 35,29 45,40 19,05 26,00 34,66 SAR 3,32 4,42 5,50 2,75 4,02 4,54 2,95 2,81 3,43 1,75 1,99 2,90 0,00
20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 120,00 140,00 160,00 180,00
Nila
i
29
zona 1 dan tanah zona 2. Kandungan Mg zona 3 berkisar antara 13,8 me/100 gram
sampai dengan 15,2 me/100 gram, kandungan Mg terkecil terdapat pada lapisan
bawah dan kandungan Mg tertinggi terdapat pada lapisan tengah. Persentase
kejenuhan basa zona 3 kurang dari 100% dengan kisaran nilai 87,8% sampai
dengan 98,9%, dengan nilai KB terkecil terdapat pada lapisan tengah dan nilai KB
tertinggi terdapat pada lapisan bawah. Persentase ESP zona ini berkisar antara
35,3% sampai dengan 45,4% tergolong ke dalam tanah sodik, persentase ESP
terkecil terdapat pada lapisan tengah dan tertinggi terdapat pada lapisan bawah.
Nilai SAR zona 3 pada lapisan atas sampai lapisan bawah semakin meningkat.
Kandungan Na pada zona 4 berkisar antara 6,49 me/100 gram sampai
dengan 9,98 me/100 gram dengan nilai terkecil terdapat pada lapisan tengah dan
nilai tertinggi terdapat pada lapisan bawah. Kandungan Na pada zona ini paling
rendah dibandingkan dengan keempat zona lainnya. Kandungan K berkisar antara
0,33 me/100 gram sampai dengan 0,42 me/100 gram. Kandungan K terkecil
terdapat pada lapisan tengah dan kandungan K tertinggi terdapat pada lapisan atas.
Kandungan Mg zona 4 berkisar antara 10 me/100 gram sampai dengan 15 me/100
gram, kandungan Mg terkecil terdapat pada lapisan tengah dan kandungan Mg
tertinggi terdapat pada lapisan atas. Kandungan Ca zona ini berkisar antara 0,6
me/100 gram sampai dengan 0,85 me/100 gram, dengan nilai yang semakin
menurun dari lapisan atas ke lapisan bawah. Kejenuhan basa zona 4 meningkat
dari lapisan atas ke lapisan bawah dengan nilai berkisar 63,5% sampai dengan
77,1%. Nilai ESP pada zona 4 berkisar antara 19,05% sampai dengan 34,66%
tergolong ke dalam tanah sodik, sedangkan nilai SAR yang tergolong sangat kecil
berkisar antara 1,75 sampai dengan 2,90. Nilai ESP dan SAR semakin meningkat
Gambar
Dokumen terkait
Menurut saya kelebihan Hasanah Card dibanding kartu kredit lainnya yaitu Karena Biayanya lebih murah dibandingkan dengan kartu kredit konvensional, adanya
makna saling memberi nasehat dan teguran ketika seseorang melakukan kesalahan dengan tentunya tidak melupakan tata karma dan sopan santun, dengan adanya nilai ini
a) Melaksanakan dasar Internship yang diputuskan oleh IPG KPM. b) Menguruskan surat pelantikan mentor dengan kerjasama Jabatan Pendidikan Negeri. c) Merancang
Sesuai dengan Peraturan Gubernur Sumatera Utara Nomor 54 Tahun 2011 tentang Tugas, Fungsi dan Uraian Tugas Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Sumatera
Meningkatnya minat dan bakat masyarakat terhadap Olahraga yang ada di Manado, serta kurang adanya fasilitas yang memadahi sehingga para atlit Manado harus berpindah ke
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis-jenis pewarna sintetis yang dijual di pasaran dan yang dipakai oleh pedagang kecil rninuman serta
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui motif masyarakat Surabaya menonton program acara ”Jam Malam” di Trans 7. Populasi pada penelitian ini adalah masyarakat
Pegumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik pembacaan. Data yang berupa puisi/teks diklasifikasikan berdasarkan unsur-unsur/bagian- bagian tertentu