• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemanfaatan Surimi Ikan Nila Merah (Oreochromis sp) dalam Pembuatan Sosis dengan Penambahan Isolat Protein Kedelai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemanfaatan Surimi Ikan Nila Merah (Oreochromis sp) dalam Pembuatan Sosis dengan Penambahan Isolat Protein Kedelai"

Copied!
152
0
0

Teks penuh

(1)

IDRIS YANURIZAL SUKMANA C34070094

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

PEMBUATAN SOSIS DENGAN PENAMBAHAN ISOLAT PROTEIN KEDELAI

IDRIS YANURIZAL SUKMANA C34070094

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu

Syarat Memperoleh Gelar Sarjana pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan Fakultas Perikanan dan

Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(3)

Nama : Idris Yanurizal Sukmana

NRP : C34070094

Departemen : Teknologi Hasil Perairan

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Ir. Djoko Poernomo B,Sc Dr. Dra. Pipih Suptijah MBA

NIP. 1958 0419 198303 1 001 NIP. 1953 1020 198503 2 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan

Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil

NIP. 1958 0511 198503 1 002

(4)

IDRIS YANURIZAL SUKMANA. C34070094. Pemanfaatan Surimi Ikan Nila Merah dalam Pembuatan Sosis dengan Penambahan Isolat Protein Kedelai.

Di bawah bimbingan Ir. Djoko Poernomo B.Sc dan Dr. Dra. Pipih Suptijah MBA. 2012

Ikan merupakan salah satu komoditas perairan yang sangat berpotensi untuk dimanfaatkan. Kebutuhan pasar akan ikan terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan. Salah satu ikan yang cukup digemari adalah ikan nila merah. Upaya untuk meningkatkan konsumsi dan pendayagunaan hasil perikanan khususnya ikan nila merah, dengan cara diversifikasi olahan. Sosis merupakan makanan yang sudah akrab dalam kehidupan masyarakat Indonesia karena rasanya enak. Namun, di balik kenikmatan makanan yang kaya akan zat gizi ini, terkandung lemak dan kolesterol tinggi yang bisa mengganggu kesehatan sehingga berpotensi menimbulkan penyakit jantung, stroke, dan hipertensi. Sosis yang terdapat di pasaran terbuat dari daging sapi dan ayam yang memiliki kandungan lemak relatif tinggi. Untuk menanggulangi hal tersebut maka diupayakan membuat sosis yang sehat dengan menggunakan bahan baku daging ikan nila merah.

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan diversifikasi produk perikanan, khususnya ikan nila merah menjadi produk olahan berupa sosis ikan, menentukan konsentrasi bahan pengikat (ISP) yang menghasilkan sosis terbaik (yang paling disukai panelis) dan menentukan karakteristik fisika dan kimia dari sosis ikan nila merah. Tahapan penelitian yang digunakan yaitu metode eksperimental. Metode eksperimental adalah salah satu metode yang paling tepat untuk menyelidiki hubungan sebab akibat variabel yang digunakan. Penelitian ini dilakukan dengan dua tahapan, yaitu penelitian pendahuluan berupa pembuatan surimi terbaik dan penelitian utama berupa pembuatan sosis. Tujuan penelitian pendahuluan untuk mendapatkan kekuatan gel yang terbaik pada surimi ikan nila merah. Perlakuan pada penelitian pendahuluan yaitu banyaknya pencucian daging lumat yang dilakukan (1 kali, 2 kali, dan 3 kali). Tujuan penelitian utama adalah menentukan konsentrasi bahan pengikat (ISP) yang menghasilkan sosis terbaik (yang paling disukai panelis) dan menentukan karakteristik fisika dan kimia dari sosis ikan nila merah. Hasil pencucian daging lumat yang menghasilkan karakteristik surimi terbaik ditambahkan ISP dengan konsentrasi yang berbeda, yaitu konsentrasi ISP 10%, 13%, 16% dan 19%.

(5)
(6)

Idris Yanurizal Sukmana dilahirkan di Cianjur pada

tanggal 24 Januari 1990 dari pasangan Ir. Kurnianto MM

(Alm) dan Drh. Uswatun Chasanah sebagai anak ketiga dari

empat bersaudara. Pendidikan formal penulis dimulai dari

Taman Kanak-Kanak Pertiwi 1 pada tahun 1995 dan

dilanjutkan ke jenjang selanjutnya yaitu Sekolah Dasar.

Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar pada tahun 2001 di SDN 2

Teladan Rawa Laut, Bandar Lampung. Sebelumnya, penulis bersekolah di

SD Negeri 1 Palembang dan SD Negeri Bangka 3. Penulis melanjutkan

pendidikan formal ke tingkat Sekolah Menengah Pertama. Penulis

menyelesaikan pendidikan menengah di SMP Negeri 1 Bandar Lampung

pada tahun ajaran 2001/2002 dan melanjutkan pendidikan menengah di SMP

Negeri 3 Bogor sampai tahun ajaran 2003/2004. Penulis melanjutkan Sekolah

Menengah Atas di SMA Negeri 3 Bogor sampai dengan tahun 2007. Pada

tahun 2007, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor dengan jalur SPMB

(Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) di Program Studi Teknologi Hasil

Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Selama studi di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif dalam

kepengurusan Himpunan Profesi HIMASILKAN sebagai staff divisi

Pengembangan Sumber Daya Manusia pada periode 2009 dan melanjutkan

kepengurusan selanjutnya sebagai Ketua Umum pada periode 2010. Selain

itu, penulis juga aktif dalam Himpunan Mahasiswa Peduli Pangan Indonesia

(HMPPI) tahun 2010.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan

pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan, Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian yang

berjudul “PEMANFAATAN SURIMI IKAN NILA MERAH

(7)
(8)

iii

Skripsi ini berjudul “PEMANFAATAN SURIMI IKAN NILA MERAH

(Oreochromis sp) DALAM PEMBUATAN SOSIS DENGAN

PENAMBAHAN ISOLAT PROTEIN KEDELAI” yang merupakan salah satu syarat kelulusan pada Program Strata-1 Departemen Teknologi Hasil Perairan,

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1 Bapak Ir. Djoko Poernomo B.Sc dan Ibu Dr. Dra. Pipih Suptijah, MBA

selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan

dalam penyusunan laporan skripsi.

2 Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb Dipl. Biol selaku penguji yang telah memberikan

saran yang sangat bermanfaat dalam penyusunan laporan skripsi.

3 Bapak Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil selaku Kepala Departemen

Teknologi Hasil Perairan.

4 Bapak Zacky, Ibu Emma dan Bapak Arya selaku laboran laboratorium

Departemen Teknologi Hasil Perairan dan Departemen Biokimia yang telah

ikut membantu dalam menyelesaikan penelitian ini dengan baik.

5 Isabel Patricia, Nisa Nantami dan Salman Alfaris atas kebersamaan yang luar

biasa, dimana kita saling mendukung di kala lelah, saling berbagi di kala suka

cita. Terimakasih atas jalinan persaudaraan yang semakin terjalin, semoga

kita selalu mengingat setiap langkah-langkah yang telah kita lalui bersama.

6 Keluarga besar Departemen Teknologi Hasil Perairan, staff, dosen dan Tata

Usaha (TU), serta teman-teman 43, 44 dan 45 yang telah memberikan

dorongan dan semangat.

7 Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis. Terima

kasih atas bantuan dan bimbingannya selama pelaksanaan dan penyusunan

(9)

iv

diharapkan dan semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukannya.

Bogor, Januari 2012

(10)

v

Halaman

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

1 PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

2 TINJAUAN PUSTAKA... 3

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Nila Merah ... 3

2.2 Surimi ... 4

2.3 Sosis ... 5

2.4 Bahan Pembantu ... 7

2.4.1 Bahan pengisi dan pengikat ... 7

2.4.2 Lemak ... 7

2.5 Bahan Tambahan ... 8

2.5.1 Air ... 8

2.5.2 Gula ... 8

2.5.3 Garam ... 9

2.5.4 Lada putih... 9

2.5.5 Bawang putih ... 10

2.5.6 Bawang merah ... 11

2.5.7 Jahe ... 11

2.6 Emulsi ... 11

2.7 Selongsong... 14

3 METODOLOGI ... 16

3.1 Waktu dan Tempat... 16

3.2 Alat dan Bahan ... 16

3.3 Metode Penelitian ... 16

3.3.1 Penelitian pembuatan gel ikan nila merah ... 17

3.3.2 Penelitian pembuatan sosis ikan nila merah... 19

3.4 Prosedur Analisis ... 21

3.4.1 Rendemen ... 21

3.4.2 Uji organoleptik ... 21

(11)

vi

3.4.7 Uji stabilitas emulsi ... 23

3.4.8 Analisis proksimat ... 23

3.4.9 Analisis data ... 26

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 27

4.1 Penelitian Pembuatan Gel Ikan Nila Merah (Oreochromis sp) ... 27

4.1.1 Rendemen ... 27

4.1.2 Uji lipat... 28

4.1.3 Uji gigit ... 28

4.1.4 Protein larut garam ... 30

4.1.5 Kekuatan gel... 31

4.2 Penelitian Pembuatan Sosis Ikan Nila Merah (Oreochromis sp) ... 32

4.2.1 Karakteristik sensori... 32

4.2.1.1 Warna ... 33

4.2.1.2 Rasa ... 34

4.2.1.3 Aroma ... 35

4.2.1.4 Penampakan ... 36

4.2.1.5 Tekstur ... 37

4.2.2 Karakteristik fisik ... 38

4.2.2.1 Uji lipat ... 38

4.2.2.2 Uji gigit ... 40

4.2.2.3 Kekuatan gel ... 41

4.2.2.4 Water holding capacity ... 42

4.2.3 Karakteristik kimia ... 44

4.1.3.1 Stabilitas emulsi ... 44

4.1.3.2 Proksimat ... 45

5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 49

DAFTAR PUSTAKA ... 48

(12)

vii

Nomor Halaman

1 Jenis-jenis sosis ... 6

2 Spesifikasi persyaratan mutu lada putih ... 10

3 Rendemen daging dan surimi ikan nila merah ... 27

(13)

viii

Nomor Halaman

1 Ikan nila merah (Oreochromis niloticus) ... 3

2 Emulsi minyak dalam air ... 12

3 Diagram alir penelitian pembuatan gel ikan nila merah (Oreochromis sp) .. 18

4 Diagram alir penelitian pembuatan sosis ikan nila merah ... 20

5 Histogram nilai rata-rata uji lipat gel ikan nila merah ... 28

6 Histogram nilai rata-rata uji gigit gel ikan nila merah ... 29

7 Histogram nilai rata-rata uji protein larut garam ... 30

8 Histogram nilai rata-rata uji kekuatan gel gel ikan nila merah ... 31

9 Histogram nilai rata-rata parameter warna sosis ikan nila merah... 33

10 Histogram nilai rata-rata parameter rasa sosis ikan nila merah ... 34

11 Histogram nilai rata-rata parameter aroma sosis ikan nila merah ... 35

12 Histogram nilai rata-rata parameter penampakan sosis ikan nila merah ... 36

13 Histogram nilai rata-rata parameter tekstur sosis ikan nila merah ... 37

14 Histogram nilai rata-rata parameter uji lipat sosis ikan nila merah ... 39

15 Histogram nilai rata-rata parameter uji gigit sosis ikan nila merah ... 40

16 Histogram nilai rata-rata parameter kekuatan gel sosis ikan nila merah ... 41

17 Histogram nilai rata-rata parameter WHC sosis ikan nila merah ... 43

(14)

ix

Nomor Halaman

1 Perhitungan T-statistik uji gigit dan uji lipat ... 52

2 Perhitungan ANOVA uji gigit dan uji lipat ... 52

3 Perhitungan Duncan uji gigit dan uji lipat ... 53

4 Perhitungan protein larut garam ... 53

5 Analisis ragam PLG ... 54

6 Data kekuatan gel pendahuluan ... 54

7 Analisis ragam kekuatan gel pendahuluan ... 54

8 Kurva Texture Analyze gel ikan nila merah pencucian 1 kali ... 55

9 Kurva Texture Analyze gel ikan nila merah pencucian 2 kali ... 55

10 Kurva Texture Analyze gel Ikan nila merah pencucian 3 kali ... 56

11 Perhitungan T-statistik uji kesukaan sosis ... 56

12 Perhitungan ANOVA uji kesukaan ... 57

13 Perhitungan Duncan sosis ikan ... 58

14 Data stabilitas emulsi ... 59

15 Analisis ragam stabilitas emulsi ... 59

16 Data kadar air sosis ikan nila merah ... 60

17 Data WHC sosis ikan nila merah ... 60

18 Analisis sidik ragam WHC sosis ikan nila merah ... 61

19 Data kekuatan gel utama ... 62

20 Analisis ragam kekuatan gel utama... 62

21 Perhitungan proksimat ... 63

22 Kurva Texture Analyze sosis ikan nila merah dengan penambahan isolat protein kedelai 10% ... 63

23 Kurva Texture Analyze sosis ikan nila merah dengan penambahan isolat protein kedelai 13% ... 63

24 Kurva Texture Analyze sosis ikan nila merah dengan penambahan isolat protein kedelai 16% ... 64

25 Kurva Texture Analyze sosis ikan nila merah dengan penambahan isolat protein kedelai 19% ... 64

26 Grafik kenormalan protein larut garam ... 65

(15)

x

(16)

1.1 Latar Belakang

Ikan merupakan salah satu komoditas perairan yang sangat berpotensi untuk

dimanfaatkan. Kebutuhan pasar akan ikan terus meningkat seiring dengan

peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan. Selain itu, semakin banyak

masyarakat yang beralih ke produk perikanan yang dianggap aman untuk

dikonsumsi.

Salah satu produk perikanan yang cukup digemari adalah ikan nila merah.

Produksi budidaya nila dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan kenaikan

sekitar 19,91 % per tahun, dari 46.627 ton pada 2000 menjadi 97.116 ton pada

2004. Produksi ikan nila tahun 2007 mencapai 206.904 ton, dan tahun 2008 telah

mencapai 220.900 ton. Produksi ikan nila tahun 2009 ditargetkan sebesar

295.000 ton. Tahun 2005, di Jawa Barat mampu memproduksi sebanyak

49.092 ton ikan nila atau sekitar 21,24 % dari total produksi ikan air tawar di

propinsi tersebut. Produksi ikan nila menduduki urutan kedua dari 13 jenis ikan

yang dibudidayakan. Permintaan ikan nila dalam setahun bisa mencapai

200.000 ton (Poernomo 2009).

Seiring perkembangan aktivitas dan kesibukan saat ini, makanan cepat saji

sangat diminati oleh masyarakat luas. Sosis merupakan bahan makanan yang

dikenal sejak 500 tahun sebelum masehi, terutama di kawasan jepang. Istilah

sausage (sosis) berasal dari bahasa latin salsus yang berarti digarami atau lebih

jelasnya pengawetan dengan garam. Sosis merupakan produk emulsi daging ikan

giling yang digarami, ditambah bahan pengisi dan minyak serta bumbu-bumbu,

bersifat kenyal dengan bentuk silinder berukuran seragam dengan menggunakan

pembungkus khusus (Price, 1986).

Sosis dibuat dikarenakan berbagai hal, yaitu melihat aktivitas masyarakat saat

ini yang begitu sibuk sehingga ingin mengkonsumsi makanan yang praktis. Sosis

merupakan makanan asing yang sudah akrab dalam kehidupan masyarakat

Indonesia karena rasanya enak. Namun, di balik kenikmatan makanan yang kaya

akan zat gizi ini, terkandung lemak dan kolesterol tinggi yang bisa mengganggu

(17)

hipertensi jika dikonsumsi berlebihan. Sosis yang terdapat di pasaran terbuat dari

daging sapi dan ayam yang memiliki kandungan lemak relatif tinggi

(Suratmo, 2008).

Untuk menanggulangi hal tersebut maka diupayakan membuat sosis yang

sehat dengan menggunakan daging olahan ikan. Ikan merupakan sumber protein

hewani dan juga memiliki kandungan gizi yang tinggi di antaranya mengandung

mineral, vitamin, dan lemak tak jenuh. Protein dibutuhkan tubuh untuk

pertumbuhan dan pengganti sel-sel tubuh kita yang telah rusak. Selain itu, protein

merupakan bagian utama dari susunan (komposisi) tubuh kita. Protein dalam ikan

berguna untuk mempercepat pertumbuhan badan (baik tinggi maupun berat),

meningkatkan daya tahan tubuh, mencerdaskan otak atau mempertajam pikiran

dan meningkatkan generasi/keturunan yang baik. Ikan memiliki kadar protein

yang tinggi yaitu sekitar 20 %. Di samping itu protein yang terkandung dalam

ikan mempunyai mutu yang baik, sebab sedikit mengandung kolesterol dan

sedikit lemak.

Oleh karena itu, upaya pengembangan produk olahan ikan perlu ditingkatkan,

melihat kegemaran masyarakat saat ini lebih menyukai makanan yang praktis.

Selain itu, juga meningkatkan daya terima masyarakat terhadap ikan nila merah

dan meningkatkan konsumsi masyarakat terhadap produk olahan perikanan

khususnya produk olahan ikan nila merah.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini antara lain mengembangkan diversifikasi produk

perikanan, khususnya ikan nila merah menjadi produk olahan berupa sosis ikan,

menentukan konsentrasi bahan emulsifier (ISP) yang menghasilkan sosis terbaik

(yang paling disukai panelis) dan menentukan karakteristik fisika dan kimia dari

(18)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Nila Merah

Ikan nila merah (Oreochromis sp) berasal dari Sungai Nil dan danau-danau

sekitarnya. Ikan ini diintroduksi dari Afrika untuk didatangkan ke Indonesia oleh

Balai Penelitian Perikanan Air Tawar (BPPAT) pada tahun 1969 dan menjadi ikan

peliharaan populer di kolam air tawar serta beberapa waduk di Indonesia. Nila

merah merupakan nama khas yang diberikan oleh Pemerintah melalui Direktorat

Jenderal Perikanan. Ikan nila merah potensial untuk dikembangkan karena

pertumbuhannya yang cepat, disukai masyarakat karena enak dagingnya. Ikan ini,

juga merupakan jenis ikan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan merupakan

komoditas penting dalam bisnis ikan air tawar dunia (Suyanto, 1994).

Klasifikasi ikan nila (Anonim, 2008) adalah sebagai berikut :

Filum : Chordata

Sub-filum : Vertebrata

Kelas : Osteichtyes

Su-kelas : Acanthopterigii

Ordo : Perchomorphi

Famili : Cichilidae

Genus : Oreochromis

Spesies : Oreochromis sp

Gambar ikan nila dapat dilihat pada Gambar 1.

(19)

2.2 Surimi

Surimi merupakan produk antara atau produk intermediate yang terbuat dari

hasil pencucian daging ikan. Terdapat dua perbedaan antara surimi dan daging

lumat yaitu, kapasitas pembentukan gel untuk membentuk tekstur yang diinginkan

dan daya tahan dalam penyimpanan beku yang dapat ditambahkan gula sebagai

cryoprotectants (Sonu, 1986). Setelah menjadi daging lumat, daging lumat dicuci

dengan air tawar. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan bahan-bahan yang larut

air seperti protein sarkoplasmik, enzim pencernaan, bahan organik low-molekuler

seperti trimetilamin oxide serta lemak dan darah untuk meningkatkan warna,

aroma serta meningkatkan kekuatan gel surimi (Toyoda, 1992). Surimi

merupakan bahan utama dari berbagai variasi pangan olahan seperti kamaboko,

chikuwa, satsumage, sosis ikan dan bola ikan (bakso), berkontribusi lebih 50%

dari total bahan produksi yang digunakan. Kualitas dari produk akhir bergantung

pada kualitas surimi yang digunakan. Gel merupakan karakteristik utama dari

produk berbasis surimi (Nopianti, 2011).

Proses pencucian merupakan tahapan yang penting dalam pembuatan surimi.

Frekuensi pencucian dapat memengaruhi kekuatan gel. Proses pencucian sangat

diperlukan dalam tahapan pembuatan surimi untuk mencegah protein miofibril

terdenaturasi selama penyimpanan beku. Efektifitas pencucian dapat ditentukan

oleh kandungan ion garam inorganik, protein larut air serta komponen non protein

yang hilang dari jaringan otot atau surimi tersebut (Matsumoto, 1992).

Pembentukan protein gel ada beberapa tipe atau macam yang dibentuk

oleh ikatan polipeptida. Pemanasan menyebabkan molekul saling tidak berikatan

dan interaksi antara intermolecular membentuk suatu matriks seperti gelasi.

Matriks ini mempunyai system yang cukup kompleks meliputi tipe-tipe protein,

lemak dan bahan-bahan lainnya seperti garam, nitrit, gula. Ada tiga tipe

multi-komponen gel yaitu, filled, mixed dan kompleks. Untuk filled gel, satu

makromolekul membentuk gel matriks ketika molekul lainnya berperan sebagai

pengisi pada ruang interstitial. Molekul yang sudah terisi dapat mempengaruhi

tekstur dan daya ikat air. Pada kompleks gel, matriks protein dapat dibentuk

akibat interaksi lebih dari satu komponen. Sebagai contoh, fibrinogen berinteraksi

(20)

ditambahkan pada daging olahan. Sedangkan mixed gels terbentuk akibat proses

gelasi dengan perbedaan fraksi dari protein daging atau penambahan gelling agent

(Foegeding, 1988).

2.3 Sosis

Sosis merupakan bahan makanan yang dikenal sejak 500 tahun sebelum

masehi, terutama di kawasan jepang. Istilah sausage (sosis) berasal dari bahasa

latin salsus yang berarti digarami atau lebih jelasnya pengawetan dengan garam.

Pembuatan sosis dimulani dengan proses yang sederhana yaitu proses

penggaraman dan pengeringan (Price, 1986). Berikut adalah cara pembuatan

sosis:

1) Bahan baku yang akan digunakan dalam pembuatan sosis harus dalam

keadaan segar dan mempunyai mutu yang baik. Selanjutnya dilakukan

penyiangan. Setelah itu daging dicuci bersih.

2) Daging ikan yang didapat kemudian digiling sehingga menghasilkan daging

lumat halus. Dengan menggunakan mixer, daging lumat tersebut dicampur

dengan bahan tambahan seperti tepung sebagai bahan pengisi dan minyak

sebagai fase diskontinyu yang melembutkan tekstur. Dapat juga ditambahkan

emulsifier seperti soy protein/lesitin atau protein yang lain serta bumbu yang

sudah disiapkan. Penambahan bumbu/bahan dilakukan berturut-turut dan

sedikit demi sedikit sampai adonan tercampur homogen.

3) Adonan yang sudah homogen dimasukkan kedalam stuffer, kemudian

dimasukkan kedalam casing/selongsong sosis serta diikat sesuai keinginan.

4) Selanjutnya dimasak dengan air pada suhu 400-50 0C selama 20 menit

kemudian perebusan dilanjutkan dengan suhu 800-90 0C sampai matang

selama 30 menit.

5) Sosis yang sudah matang digunting dari ikatan benangnya, kemudian

disimpan dalam tempat yang dingin.

Sosis dibagi atas enam kategori berdasarkan atas metode pembuatannya

yaitu, sosis segar, sosis asap tidak dimasak, sosis asap dimasak, sosis masak, sosis

tidak dimasak tetapi diasap dan bola daging (Price, 1986). Berikut adalah

(21)

Tabel 1 Jenis-jenis sosis

No. Jenis sosis Karakteristik Contoh

1 Sosis segar Daging segar, tidak dikuring,

digiling, berbumbu,

3 Sosis masak Dikuring atau tidak, digiling,

(22)

2.4 Bahan Pembantu

Bahan pembantu adalah bahan yang sengaja ditambahkan dengan maksud

tertentu, misalnya untuk meningkatkan konsistensi, nilai gizi, citarasa untuk

mengendalikan keasaman, kebasaan, memantapkan bentuk dan rupa. Bahan

pembantu yang digunakan adalah bahan pengisi, bahan pengikat, lemak dan bahan

tambahan lainnya.

2.4.1 Bahan pengisi dan pengikat

Bahan pengisi yang umum digunakan dalam sosis adalah tepung,

biji-bijian dan pati yang diekstraksi dari tepung-tepungan, salah satunya tepung

tapioka. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi

terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak terlarut disebut amilopektin. Fraksi

amilopektin bertanggung jawab atas keteguhan gel. Perbandingan kandungan

antara amilosa dan amilopektin berperan dalam produk olahan. Semakin besar

kandungan amilopektin atau semakin kecil kandungan amilosa bahan yang

digunakan maka semakin lekat produk olahannya (Winarno, 1997).

Tepung tapioka atau tepung kanji adalah tepung yang terbuat dari ubi kayu

atau singkong. Pembuatan dilakukan dengan cara diparut, diperas, dicuci,

diendapkan, diambil sari patinya, lalu dijemur/keringkan. Sifat tepung kanji,

apabila dicampur dengan air panas akan menjadi liat/seperti lem. Tepung tapioka

disebut juga tepung kanji atau tepung sagu (sagu singkong). Tepung tapioka akan

memiliki perlakuan berbeda untuk setiap jenis kue karena sifat yang dimiliki

tepung tersebut. Adapun sifat fisikimia pati tapioka adalah sebagai berikut, rasio

amilosa dan amilopektin adalah 17% amilosa dan 83% amilopektin, bentuk

granula semi bulat dengan salah satu bagian ujungnya mengerucut, ukuran

5-35 µm, suhu gelatinisasi berkisar antara 52-64 oC, kristalisasi 38%, kekuatan

pembengkakan sebesar 42 µm, kelarutan 31% (Nita, 2011).

2.4.2 Lemak

Sumber-sumber lemak dan minyak dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu

sumber dari tumbuh-tumbuhan yang meliputi biji-bijian dari tanaman tahunan

seperti kedelai, biji kapas, kacang tanah, rape seed dan bunga matahari serta

(23)

zaitun dan minyak kelapa. Sumber lainnya adalah sumber hewani meliputi babi,

sapi, sardine, ikan herring (Buckle et al. 1978).

Perbedaan utama antara lemak nabati dan lemak hewani adalah kandungan

sterolnya, dimana lemak nabati mengandung fitosterol dan lebih banyak

mengandung asam lemak tak jenuh sehingga umumnya berbentuk cair

sedangkan lemak hewani mengandung kolesterol (Winarno, 1997).

Lemak dan minyak adalah bahan-bahan yang tidak larut dalam air yang

berasal dari tumbuh-tumbuhan dan hewan. Lemak dan minyak yang digunakan

dalam makanan sebagian besar adalah trigliserida merupakan ester dari gliserol

dan berbagai asam lemak. Komponen-komponen lain yang mungkin terdapat,

meliputi fosfolipid, sterol, vitamin dan zat warna yang larut dalam lemak seperti

klorofil dan karotenoid. Peran daripada lemak dalam makanan manusia dapat

merupakan zat gizi yang menyediakan nafsu makan atau dapat membantu

memperbaiki tekstur dari bahan yang diolah. Istilah lemak biasanya digunakan

untuk campuran trigliserida yang berbentuk padat pada suhu ruangan sedangkan

minyak berarti campuran trigliserida cair pada suhu ruangan

(Buckle et al. 1978).

2.5 Bahan Tambahan

Bahan tambahan lain yang digunakan dalam penelitian pembuatan sosis ikan

ini antara lain garam, jahe, gula, air, lada putih, bawang putih, bawang merah,

ISP.

2.5.1 Air

Air merupakan suatu kebutuhan yang tak dapat ditinggalkan dalam proses

pembuatan pangan. Dalam pengolahan dibutuhkan air yang bermutu lebih tinggi

dibandingkan dengan kebutuhan air minum untuk meminimalisir kontaminan

dan semua bahan-bahan di dalam air yang mungkin dapat mempengaruhi

penampakan, rasa dan stabilitas hasil akhir, penyesuaian pH pada tingkat yang

diinginkan, dan mutu air yang konsisten (Buckle et al. 1978).

2.5.2 Gula

Pemberian gula akan mempengaruhi citarasa yaitu meningkatkan rasa

(24)

menetralisir garam yang berlebihan serta penambahan energi. Selain itu, gula

juga memiliki daya larut yang sangat tinggi, kemampuan mengurangi

keseimbangan kelembaban relatif (ERH) dan meningkatkan air sehingga dapat

berfungsi sebagai pengawet. Adanya glukosa, sukrosa, pati dan lain-lain dapat

meningkatkan citarasa pada makanan. Penambahan gula akan juga akan

mempengaruhi pelepasan gas karena lepasnya gas CO2 dalam

gelembung-gelembung besar (Buckle et al. 1978).

2.5.3 Garam

Garam merupakan bumbu yang biasanya ditambahkan pada pembuatan

suatu produk. Pemakaian garam NaCl biasanya lebih banyak diatur oleh rasa,

kebiasaan, dan tradisi daripada keperluan. Makanan yang mengandung garam

kurang dari 0,3% akan terasa hambar sehingga kurang disenangi

(Winarno, 1997). Selain itu, garam juga berfungsi sebagai pengawet karena

garam berperan sebagai penghambat selektif terhadap mikroorganisme pencemar

tertentu. Garam mempengaruhi aktifitas air (Aw) dari bahan, sehingga dapat

mengendalikan pertumbuhan mikroorganisme dengan suatu metode yang bebas

dari pengaruh racunnya. Penambahan garam akan menyebabkan kondisi

anaerobic yang terbentuk (Buckle et al. 1978).

2.5.4 Lada putih

Lada atau merica merupakan rempah-rempah yang sering digunakan

dalam pengolahan makanan. Lada sering ditambahkan pada saat memasak ikan

atau daging. Lada mempunyai peranan dalam dehidrasi sehingga dapat berfungsi

sebagai penghambat pertumbuhan mikroba dalam bahan pangan. Lada sangat

digemari karena memiliki dua sifat penting yaitu rasanya yang pedas dan

aromanya yang khas. Kedua sifat tersebut disebabkan kandungan bahan-bahan

kimia organik yang terdapat pada lada. Rasa pedas lada disebabkan oleh adanya

zat piperin dan piperanin serta hapisin. Persyaratan mutu lada putih menurut

(25)

Tabel 2 Spesifikasi persyaratan mutu lada putih

Sumber: SNI (1995)

2.5.5 Bawang putih (Allium sativum)

Bawang putih berfungsi sebagai penambah aroma dan untuk meningkatkan

citarasa produk yang dihasilkan. Bawang putih mengandung senyawa allisin,

yang dapat menentukan bau khas bawang putih. Bawang putih juga mengandung

beberapa vitamin seperti thiamin, niasin, riboflavin, asam askorbat, vitamin B, vitamin C. Namun mengandung β-karoten yang merupakan bentuk vitamin A dalam jumlah yang sedikit (Wibowo, 1999).

No Jenis uji Satuan Persyaratan

(26)

2.5.6 Bawang merah (Allium ascalonicum L.)

Bawang merah umumnya digunakan sebagai bumbu masak. Bawang

merah memiliki kandungan kimia sebagian besar terdiri dari air sekitar 80-85%,

protein sebesar 1,5%, lemak sebesar 0,3% dan karbohidrat sebesar 9,2%. Selain

itu, umbi bawang merah juga terdapat suatu senyawa yang mengandung ikatan

asam amino yang tidak berbau, tidak berwarna dan dapat larut dalam air. Ikatan

asam amino ini disebut dengan allin yang karena sesuatu hal berubah menjadi

allicin (Wibowo, 1999).

2.5.7 Jahe (Zingiber officinale)

Jahe dapat digunakan sebagai sebagai bumbu masak, pemberi aroma

berbagai makanan dan minuman serta bahan obat-obatan tradisional. dan aneka

keperluan lainnya. Kegunaan jahe antara lain dapat merangsang kelenjar

pencernaan, baik untuk membangkitkan nafsu makan dan pencernaan. Sifat khas

jahe disebabkan terdapatnya kandungan minyak atsiri dan oleoresin jahe.

Minyak atsiri menyebabkan aroma harum jahe, sedangkan oleoresin

menyebabkan rasa pedas. Kandungan minyak atsiri dalam jahe kering sekitar

1-3%. Komponen utama minyak atsiri jahe yang menyebabkan bau harum

adalah zingiberen dan zingiberol. Oleoresin jahe banyak mengandung komponen

pembentuk rasa pedas yang tidak menguap. Komponen dalam oleoresin jahe

terdiri atas gingerol dan zingiberen, shagaol, minyak atsiri dan resin. Pemberi

rasa pedas dalam jahe yang utama adalah zingerol. Bagian tumbuhan jahe yang

digunakan adalah rimpang. Kandungan kimia dari rimpang jahe yaitu minyak

atsiri yang terdiri dari senyawa-senyawa seskuiterpen, zingiberen, zingeron, oleoresin, kamfena, limonen, borneol, sineol, sitral, zingiberal, felandren.

Disamping itu terdapat juga pati, damar, asam-asam organik seperti asam malat

dan asam oksalat, Vitamin A, B, dan C, serta senyawa flavonoid dan polifenol

(Matondang, 2008).

2.6 Emulsi

Emulsi adalah suatu disperse atau suspense cairan dalam cairan yang lain

dengan molekul-molekul kedua cairan tersebut tidak saling berbaur tetapi saling

antagonistik. Pada suatu emulsi terdapat tiga bagian utama, yaitu bagian yang

(27)

fase diskontinu, bagian kedua disebut media pendispersi dikenal sebagai fase

kontinu yang biasanya terdiri dari air dan bagian ketiga adalah emulsifier yang

berfungsi menjaga agar butir minyak tadi tetap tersuspensi di dalam air. Senyawa

ini molekulnya mempunyai afinitas terhadap kedua cairan tersebut

(Winarno, 1997).

Pada perkembangannya memang diketahui bahwa sosis merupakan emulsi

minyak dalam air (o/w). Dalam emulsi sosis, lemak atau minyak berperan sebagai

fase diskontinyu sedangkan air berperan sebagai fase kontinyu dan protein sebagai

emulsifier. Kriteria terpenting dalam pembuatan sosis adalah kestabilan emulsi.

Suatu emulsi dikatakan stabil apabila partikel-partikel yang terdispersi tidak atau

sedikit mempunyai kecenderungan untuk bersatu lagi sehingga terbentuk lapisan

yang terpisah (Wilson, 1981).

Daya kerja emulsifier terutama disebabkan oleh bentuk molekulnya yang

dapat terikat baik pada minyak maupun air. Bila emulsifier tersebut lebih terikat

pada air atau lebih larut dalam air maka dapat lebih membantu terjadinya disperse

minyak dalam air. Sebaliknya bila emulsifier lebih larut dalam minyak terjadilah

emulsi air dalam minyak. Cara kerja dari emulsifier yakni bila butir-butir lemak

telah terpisah karena adanya tenaga mekanik (pengocokan), maka butir-butir

lemak yang terdispersi tersebut segera terselubungi oleh selaput tipis emulsifier.

Bagian molekul emulsifier yang non polar larut dalam lapisan luar butir-butir

lemak sedangkan bagian yang polar menghadap kepelarutan (air)

(Winarno, 1997). Berikut adalah gambar emulsi minyak dalam air dapat dilihat

pada Gambar 2.

(28)

Partikel lemak biasanya berukuran subselular yang tersuspensi dalam protein.

Hal ini dapat terjadi karena adanya ikatan hidrophilik yang saling berikatan dalam

air dan ikatan lipophilik yang saling berikatan dalam lemak. Protein sarkoplasma

dan myofibril dapat membentuk emulsifikasi. Protein myofibril akan lebih dahulu

diserap ke dalam permukaan lemak atau air. Protein myofibril, myosin, akan

terpisah dari aktin di dalam protein yang siap untuk diserap. Ketika protein

myofibril terlibat dalam proses emulsifikasi, protein tersebut akan kehilangan

kemampuan untuk mengikat air. Ketika partikel lemak tersebut diselubungi oleh

protein maka emulsi tersebut sudah terbentuk, emulsi ini akan stabil ketika terjadi

denaturasi protein pada saat pemasakan. Protein myofibril akan membentuk gel

yang kompak sedangkan protein sarkoplasmik akan membentuk gel yang lemah.

Oleh karena itu, protein sarkoplasmik tidak berkontribusi dalam kestabilan produk

(Price, 1986).

Protein myofibril berfungsi untuk mengikat air dalam pembesaran struktur

protein. Kemampuan mengikat air akan meningkat dengan meningkatnya jumlah

muatan negative seperti meningkatnya pH di bawah titik isoelektik. Penambahan

garam dan alkali phosphates akan meningkatkan pembesaran struktur protein.

Gerakan mekanikal selama meningkatnya pembesaran struktur protein akan

membantu ekstraksi protein terlarut yang membentuk permukaan lemak.

Pembesaran dan eksrtraksi protein akan lebih efektif pada temperature dingin

sekitar 30C (Rust, 1986).

Salah satu bahan pengemulsi adalah isolat soy protein (ISP) atau isolat

protein kedelai adalah produk dari protein kedelai bebas lemak atau berlemak

rendah yang diolah sedemikian rupa sehingga kandunan proteinnya tinggi.

Menurut definisinya, kandungan protein pada isolat protein kedelai minimum 95

%. Isolat protein kedelai sangat dibutuhkan dalam industi pangan, karena banyak

sekali digunakan untuk formulasi berbagai jenis makanan. Yang diinginkan dari

isolat protein kedelai adalah sifat fungsional proteinnya. Sifat ini menentukan

pemakaian atau fungsi produk tersebut dalam biaya, nutrisi dan proses. Isolat

soy protein memberikan emulsifikasi dan viskositas yang tinggi serta stabil pada

konsentrasi garam yang tinggi dalam proses brining. Selain itu, isolat soy

(29)

pengikat lemak dan air, menstabilkan emulsi dan menjaga struktur protein pada

masakan daging isolat soy protein mengandung pengikat air dan lemak sebagai

pembentuk tekstur produk emulsi (Young, 1980).

Struktur isolat soy protein mengandung sedikitnya 80% protein yang

terdiri dari globulin, conglycinin dan glycinin. Conglycinin merupakan kuartener

trimerik glycoprotein dengan berat molekuler 141 sampai 171 kdaltons, tersusun

dari tiga subunit yang terikat oleh interaksi hydrophobic. Conglycin memiliki

dua rangkaian intramolekular disulfide dan mengandung 5% karbohidrat.

Dengan demikian, conglycinin mengandung amphiphilik untuk membentuk

aktivitas permukaan dan ikatan rasa yang baik. Glicinin terdiri dari dua unit,

6-hydrophobical yang berasosiasi dengan bagian rantai acidic disulfide dan

subunit dasar. Amidasi dari jumlah residu aspartic dan glutamic untuk tingkat

kelarutan alkali dari subunits dasar. Subunit acidic mempunyai rata-rata satu

sampai tiga ikatan disulfide pel mole dan lebih stabil terhadap panas daripada

subunit dasar serta mempunyai satu sampai dua residu cystein. Glicinin

mengandung dua unsur, gugus thiol bebas yang terdapat pada permukaan dan

dapat dilibatkan dalam pertukaran thiol-disulfida. Contohnya, dalam gelatin

formasi dari intermolekuler-disulfida menghasilkan ikatan yang meningkat, tapi

menyebabkan polimerisasi dan mengurangi kemampuan ekstraksi dan kelarutan

(Kinsella, 1979).

2.7 Selongsong

Selongsong (casing) merupakan pembungkus yang digunakan untuk

membungkus dan membentuk sosis. Terdapat tiga jenis selongsong (casing) yang

sering digunakan dalam pembuatan sosis, yaitu alami, kolagen, serta selulosa.

Selongsong alami biasanya terbuat dari usus alami hewan. Casing ini mempunyai

keuntungan dapat dimakan, bergizi tinggi, dan melekat pada produk. Kerugian

penggunaan casing ini adalah produk tidak awet, contohnya adalah casing usus

sapi ataupun usus kerbau. Casing kolagen biasanya dibuat dari regenerasi lapisan

corium kulit jangat daging sapi. Keuntungan dari penggunaan selongsong ini

adalah dapat diwarnai, bisa dimakan, dan melekat pada produk. Casing selulosa

biasanya berbahan baku pulp. Keuntungan casing selulosa adalah dapat dicetak

(30)

dimakan. Saat ini telah dikembangkan polyamid casing, yaitu selongsong yang

terbuat dari plastik. Casing jenis ini tidak bisa dimakan, dapat dibuat berpori atau

tidak, bentuk dan ukurannya dapat diatur, tahan terhadap panas, dan dapat dicetak

(Astawan, 2008).

Selongsong diperlukan sebagai wadah pembentuk sosis dan menentukan

bentuk serta ukuran sosis yang diperlukan. Selongsong atau casing yang

digunakan dalam pembuatan sosis ada beberapa macam, yaitu selongsong alami

dan selongsong artificial atau buatan. Selongsong alami dibuat dari kolagen.

Selongsong alami dibuat dari saluran pencernaan hewan antara lain, sapi, domba

atau kambing. Selongsong alami mudah mengalami kerusakan sehingga

penyimpanan dilakukan dalam perendaman air garam dan direndam selama sehari

penuh dalam refrigerator. Hal ini menyebabkan selongsong lebih lembut dan

mudah untuk diisi. Setelah pengisian, selongsong sebaiknya dikemas dengan air

garam dan disimpan. Selongsong buatan terdiri dari selongsong kolagen, plastik

atau selulosa dan sintetik fibrosa. Selongsong kolagen bersifat alami, dapat

dimakan dan memiliki kekuatan elastisitas yang lebih besar. Penggunaan

selongsong kolagen digunakan untuk meningkatkan pendapatan dan produksi

dalam waktu yang lebih singkat. Selongsong plastik atau selulosa mempunyai

elastisitas yang kuat tetapi tidak dapat dimakan. Selongsong sintetik mempunyai

kekuatan elastisitas tinggi dan cukup mahal. Selongsong ini dapat diisi tanpa

(31)

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2011 sampai Agustus 2011

bertempat di Laboratorium Preservasi dan Pengolahan Hasil Perairan,

Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan,

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Laboratorium Pengolahan Pangan dan

Laboratorium PAU (Pusat Antar Universitas), Departemen Ilmu dan Teknologi

Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Laboratorium Biokimia, Departemen

Biokimia, Fakultas Metematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian

Bogor.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain pisau, talenan, baskom,

kain blacu, termometer, mortar, timbangan digital, food processor, grinder,

stuffer, cawan porselen, oven, desikator, tabung reaksi, gelas erlenmeyer, tabung

Kjeldahl, destilator, tabung sokhlet, pemanas, tanur, sentrifuse dingin, syringe,

selongsong lemak, labu lemak dan kondensor, homogenizer, pipet, autoclave,

texture analyzer, kertas Whatman no.1.

Bahan yang digunakan meliputi ikan nila merah (Oreochromis sp) yang

didapatkan dari kolam Budidaya Perairan Darmaga dengan ukuran size 4 dan

harga RP. 16.000/kg, gula, garam, bawang merah, bawang putih, lada putih,

lemak sapi, air es, jahe, STPP 0,25%; H2SO4 pekat, NaOH 40%, N2S2O3 5%,

asam borat (H3BO3) 4%, HCL 0,02 N.

3.3 Metode Penelitian

Tahapan penelitian yang digunakan yaitu metode eksperimental. Metode

eksperimental adalah salah satu metode yang paling tepat untuk menyelidiki

hubungan sebab akibat variabel yang digunakan. Penelitian ini dilakukan dengan

(32)

3.3.1 Penelitian pembuatan gel ikan nila merah

Tujuan penelitian pendahuluan untuk mendapatkan kekuatan gel yang

terbaik pada surimi ikan nila merah. Perlakuan pada penelitian pendahuluan yaitu

banyaknya pencucian daging lumat yang dilakukan (1 kali, 2 kali, dan 3 kali)

dengan penambahan cryoprotectant berupa STPP 0,25% untuk tiap perlakuan.

Analisis yang dilakukan untuk mengetahui hasil terbaik yaitu dengan pengujian

uji lipat, uji gigit, protein larut garam dan kekuatan gel. Selanjutnya akan

dianalisis lebih lanjut pada penelitian utama.

Prosedur penelitian pendahuluan sebagai berikut, pertama-tama ikan nila

merah disiangi dengan menghilangkan sisiknya dan dicuci bersih. Selanjutnya

ikan di-fillet untuk mendapatkan slice daging yang diteruskan dengan skinless

atau penghilangan kulit. Daging fillet yang didapatkan selanjutnya digiling dengan

menggunakan meat grinder. Untuk mendapatkan surimi, daging lumat dicuci

dengan air es dengan perbandingan daging lumat dan air es, 1 : 3. Frekuensi

pencucian adalah sebanyak 1 kali, 2 kali dan 3 kali sebagai perlakuan

pendahuluan. Selanjutnya setiap perlakuan pencucian ditambahkan cryoprotectant

berupa STPP 0,25% dari bobot daging dan dilanjutkan dengan pencampuran

menggunakan food processor dan didapatkan surimi yang siap diuji. Diagram alir

penelitian pendahuluan berupa pembuatan gel ikan nila merah dapat dilihat pada

Gambar 3.

Ikan nila merah

Pem-fillet-an Penyiangan sisik

Penggilingan Pencucian

Penghilangan kulit (skinless)

(33)

Gambar 3 Diagram alir penelitian pembuatan gel ikan nila merah (Oreochromis sp).

Pencucian 1 kali, 2 kali dan 3 kali dengan air es.

Perbandingan air es dan daging : 3 : 1 ± 10 menit

Penambahan

cryoprotectant 0,25%

Surimi Uji Protein Larut

Pencampuran sampai

homogen

Penambahan garam

Pencampuran sampai

homogen

Pemasukan dalam

cetakan gel

Perebusan dengan suhu 400-50 0C selama 20 menit dilanjutkan suhu 800-90 0C selama 30

menit

Penirisan dan pendinginan

Gel ikan nila merah

Uji Lipat

Uji Gigit

(34)

3.3.2 Penelitian pembuatan sosis ikan nila merah

Tujuan penelitian utama adalah menentukan konsentrasi bahan pengemulsi

(ISP) yang menghasilkan sosis terbaik (yang paling disukai panelis) dan

menentukan karakteristik fisika dan kimia dari sosis ikan nila merah. Hasil

pencucian daging lumat yang menghasilkan karakteristik surimi terbaik

ditambahkan ISP dengan konsentrasi yang berbeda, yaitu konsentrasi ISP 10%,

13%, 16% dan 19%. Prosedur penelitiannya adalah pertama-tama ikan nila merah

disiangi dengan menghilangkan sisiknya dan dicuci bersih. Selanjutnya ikan

di-fillet untuk mendapatkan slice daging yang diteruskan dengan skinless atau

penghilangan kulit. Daging fillet yang didapatkan selanjutnya digiling dengan

menggunakan meat grinder. Untuk mendapatkan surimi, daging lumat tersebut

dicuci dengan air es dengan perbandingan daging lumat dan air es, 1 : 3 selama

10 menit. Frekuensi pencucian menggunakan perlakuan pencucian terbaik dalam

penelitian pendahuluan Selanjutnya ditambahkan cryoprotectant berupa STPP

0,25% dari bobot daging dan dilanjutkan dengan pencampuran menggunakan food

processor dan didapatkan surimi.

Dilanjutkan dengan pencampuran bumbu-bumbu seperti gula halus,

garam, bawang merah, bawang putih, lada, jahe, tepung tapioka, lemak sapi dan

ISP sebagai perlakuan. Bahan-bahan diadon dan dimasukkan dalam stuffer untuk

dicetak. Selanjutnya, adonan yang telah dicetak direbus dengan suhu 400-50 0C

selama 20 menit dan dilanjutkan dengan perebusan kedua dengan suhu 800-90 0C

selama 30 menit. Sosis yang sudah masak selanjutnya didinginkan dan ditiriskan.

Sosis ikan nila merah siap untuk diuji.

Selanjutnya dilakukan analisis fisik untuk menentukan konsentrasi ISP

(Isolat Soy Protein) terbaik yaitu dengan pengujian sensori (warna, rasa, aroma,

tekstur, penampakan), uji lipat dan uji gigit. Selain itu, dilakukan pula analisis

kimia untuk mengetahui proksimat dari sosis ikan terbaik yang dihasilkan

meliputi kadar air, kadar abu, protein, lemak dan karbohidrat serta uji emulsi,

WHC dan kekuatan gel. Diagram alir pembuatan sosis ikan pada penelitian utama

(35)

Gambar 4 Diagram alir penelitian pembuatan sosis ikan nila merah (Oreochromis sp).

Pencampuran Ikan nila

Penyianga

Pe-fillet-an dan skinless

Penggilingan

(36)

3.4 Prosedur Analisis

Teknik pengujian ada dua cara, yaitu secara subyektif dan secara obyektif.

Analisis obyektif yang dilakukan meliputi analisis kimia dan analisis fisik.

Analisis kimia meliputi analisis proksimat dilakukan untuk sosis daging ayam

(pembanding), sosis nila merah dengan hasil penerimaan panelis terbaik yang

dihasilkan meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, dan kadar

karbohidrat. Sedangkan analisis secara subyektif dengan cara uji organoleptik.

3.4.1 Rendemen

Rendemen dihitung sebagai persentasi bobot bagian tubuh ikan nila dari

bobot awal. Adapun perumusan matematik adalah sebagai berikut:

Rendemen daging (%) = bobot daging x 100%

bobot total

3.4.2 Uji organoleptik (Rahayu 1998)

Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji kesukaan, panelis diminta

untuk memberikan tanggapan tentang tingkat kesukaan atau ketidaksukaan.

Tingkatan-tingkatannya disebut skala hedonik, dalam analisisnya

ditransformasikan menjadi skala numerik dengan angka menaik menurut tingkat

kesukaannya. Dalam penelitian ini digunakan sembilan skala hedonik yang

menunjukkan tingkat kesukaan. Pelaksanaan uji dilakukan dengan uji

perbandingan berpasangan yaitu dengan cara menyajikan sosis ikan yang

dihasilkan dengan sosis daging yang komersial dengan pemberian kode

(menggunakan bilangan acak) dan panelis diminta untuk memberikan penilaian

pada score sheet yang telah disediakan. Panelis yang dibutuhkan sebanyak 30

panelis semi terlatih. Parameter uji meliputi rasa, warna, aroma, tekstur dan daya

oles. Parameter rasa dinilai pada saat memakan sosis. Parameter warna dan aroma

dinilai dengan melihat dan mencium aroma sosis. Parameter tekstur dinilai dengan

perabaan oleh lidah pada saat selai dimakan, dan uji lipat dilakukan dengan

melipat sosis dan diamati kondisinya.

3.4.3 Daya mengikat air (DMA) (Hamm 1972 diacu dalam Wahyuni 1992)

Daya ikat air dapat diukur dengan menggunakan alat carverpress. Sampel

(37)

yaitu diantara dua plat jepitan berkekuatan 35 kg/cm2 selama 5 menit. Kertas

saring yang digunakan yaitu Whatman 1 no 40. Luas area basah yaitu luas air

yang diserap kertas saring akibat penjepitan, dengan kata lain selisih luas antara

lingkaran luar dan dalam kertas saring. Bobot air bebas (jumlah air dalam sosis

yang terlepas) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Berat air : Luas area basah  8,0

0,0948

3.4.4 Kekuatan gel (White dan Englar diacu dalam Alpis 2002)

Kekuatan gel dapat diukur dengan alat Reoner RE-3305 dengan luatan

amatan 400 x 0,01 mm; sensitifitas 0,5 v; kecepatan putar mesin 0,5 mm/s dan

kecepatan mencetak grafik 40 mm/min. Kekuatan gel memiliki satuan gramforce

(gf). Nilai konversi yang digunakan sebesar 25 gf.

3.4.5 Analisis protein larut garam (PLG) (Wahyuni 1992)

Sampel sebanyak 5 gram ditambahkan 50 ml larutan NaCl 5% kemudian

dihomogenkan dengan waring blender selama 2-3 menit, suhu dijaga agar tetap

rendah (5-8 0C). Setelah itu disentrifugasi pada 3400 x G selama 30 menit dengan

suhu 10 0C. Selanjutnya disaring menggunakan kertas saring Whatman no.1.

Filtrat ditampung dalam erlenmeyer dan disimpan pada suhu 4 0C. sebanyak 1 ml

filtrat dianalisis kandungan proteinnya dengan menggunakan metode mikro

Kjeldahl.

Kadar PLG (%) =

Keterangan:

A = Volume titrasi HCl sampel (ml) B = Volume titrasi HCl blanko (ml) fp = faktor pengenceran

3.4.6 Uji lipat dan uji gigit (Shaviklo 2006)

Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat elastisitas sosis. Uji

Lipat dan uji gigit dapat dilakukan dengan tangan dan gigitan menggunakan gigi

depan. Uji lipat dilakukan dengan melipat contoh irisan dengan tebal ± 5 mm

secara perlahan sampai terlihat retakan-retakan. Hasil irisan tersebut dilipat

dengan tangan, diantara ibu jari dan telunjuk, kemudian dilipat untuk diamati

(38)

sheet yang telah disediakan. Uji gigit dapat dilakukan dengan menggigit contoh

dengan gigi depan untuk mengevaluasi elastisitas contoh. Hasil pengamatan pada

bagian gigitan dikonversikan dengan score sheet yang telah disediakan.

3.4.7 Uji emulsi ( Sathe dan Salunkhe 1981 diacu dalam Wahyuni 1992)

Uji emulsi ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas dan stabilitas panas

emulsi. Sampel sebanyak 10 gram disuspensikan ke dalam 50 ml air. Tambahkan

minyak, aduk-aduk di dalam ruang waring blender berkecepatan tinggi selama 2

menit. Emulsi dituangkan ke dalam tabung-tabung sentrifuse. Kemudian tabung

sentrifuse ditempatkan dalam penangas air 25 °C selama 30 menit, sebelum

disentrifus. Selanjutnya tabung-tabung sentrifuse selama 20 menit dengan

kecepatan 145 rpm. Stabilitas emulsi dilakukan dengan cara suspense yang telah

diaduk dalam waring blender (seperti pada pengukuran aktivitas emulsi)

dituangkan ke dalam dua tabung sentrifuse. Emulsi tersebut dipanaskan pada suhu

80 °C selama 30 menit, lalu didinginkan dalam penangas air 25 °C, sebelum

disentrifus. Sentrifus dilakukan selama 30 menit. Aktifitas emulsi dinyatakan

dalam %. Stabilitas emulsi dinyatakan dalam % campuran emulsi setelah

pemanasan.

3.4.8 Analisis proksimat

Analisis proksimat yang dilakukan terhadap ikan patin meliputi: kadar air,

abu, protein dan lemak.

1) Analisis kadar air (AOAC 1995)

Tahap pertama yang dilakukan untuk menganalisis kadar air adalah

mengeringkan cawan porselen dalam oven pada suhu 1020-105 0C selama

30 menit. Cawan tersebut diletakkan ke dalam desikator (kurang lebih 30 menit)

hingga dingin dan ditimbang hingga beratnya konstan. Kemudian cawan dan

sampel seberat 1-2 gram ditimbang setelah terlebih dahulu dihomogenkan. Cawan

dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 1020-105 0C selama 6 jam. Cawan

tersebut dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan hingga dingin kemudian

ditimbang.

Perhitungan kadar air:

(39)

Keterangan: A = Berat cawan kosong (gram)

B = Berat cawan dengan sampel (gram)

C = Berat cawan dengan sampel setelah dikeringkan (gram)

2) Analisis kadar abu (AOAC 1995)

Tahap yang dilakuakan adalah cawan abu porselen dikeringkan di dalam

oven selama 30 menit dengan suhu 105 0C, lalu didinginkan dalam desikator

kemudian ditimbang. Sampel sebanyak 1-2 gram yang telah dihomomogenkan

dimasukkan ke dalam cawan abu porselen. Cawan abu porselen dipijarkan dalam

tungku pengabuan bersuhu sekitar 105 0C sampai tidak berasap. Selanjutnya

cawan tersebut dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 600 0C selama 2-3 jam.

Proses pengabuan dilakukan sampai abu berwarna putih. Setelah itu cawan abu

porselen didinginkan dalam desikator selama 30 menit, kemudian ditimbang

beratnya.

Perhitungan kadar abu:

% Kadar abu: x 100%

Keterangan: A = Berat cawan abu porselen kosong (gram)

B = Berat cawan abu porselen dengan sampel (gram)

C = Berat cawan abu porselen dengan sampel setelah dikeringkan

(gram)

3) Analisis kadar protein (AOAC 1995)

Prinsip dari analisis protein, yaitu untuk mengetahui kandungan protein

kasar (crude protein) pada suatu bahan. Tahap-tahap yang dilakukan dalam

analisis protein terdiri dari tiga tahap, yaitu destruksi, destilasi dan titrasi.

(1) Tahap destruksi

Sampel ditimbang seberat 0,5 gram, kemudian dimasukkan ke dalam

tabung Kjeltec. Satu butir Kjeltab dimasukkan ke dalam tabung tersebut dan

ditambahkan 10 ml H2SO4. Tabung yang berisi larutan tersebut dimasukkan ke

dalam alat pemanas dengan suhu 410 0C ditambahkan 10 ml air. Proses destruksi

(40)

(2) Tahap destilasi

Isi labu dituangkan ke dalam labu destilasi, lalu ditambahkan dengan

aquades (50 ml). Air bilasan juga dimasukkan ke dalam alat destilasi dan

ditambahkan larutan NaOH 40% sebanyak 20 ml.

Cairan dalam ujung tabung kondensor ditampung dalam erlenmeyer 125

ml berisi larutan H3BO3 dan 3 tetes indikator (cairan methyl red dan brom cresol

green) yang ada di bawah kondensor. Destilasi dilakukan sampai diperolah 200

ml destilat yang bercampur dengan H3BO3 dan indikator dalam erlenmeyer.

Perhitungan jumlah nitrogen dalam bahan:

% Nitrogen = x 100%

% Kadar protein = % Nitrogen x faktor konversi (6,25)

4) Analisis kadar lemak (AOAC 1995)

Sampel seberat 2 gram (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring dan

dimasukkan ke dalam selongsong lemak, kemudian dimasukkan ke dalam labu

lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) dan disambungkan dengan

tabung soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung

soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak. Tabung ekstraksi dipasang pada alat

destilasi soxhlet, lalu dipanaskan pada suhu 40 0C dengan menggunakan pemanas

listrik selama 16 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak didestilasi hingga

semua pelarut lemak menguap. Pada saat destilasi pelarut akan tertampung di

ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu

lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105 0C, setelah

itu labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan (W3).

Perhitungan kadar lemak:

% Kadar lemak = x 100%

Keterangan: W1 = Berat sampel (gram)

W2 = Berat labu lemak tanpa lemak (gram)

(41)

3.4.9 Analisis Data (Steel and Torrie 1980)

Rancangan percobaan yang digunakan untuk menganalisis konsentrasi

Isolat Soybean Protein adalah analisis Kruskal-Wallis. Pengolahan data dilakukan

dengan menggunakan perangkat lunak Statistical Package For Social Science

(SPSS) pada komputer.

Model Rancangan : Yij = µ + Ai + Ɛij

Keterangan :

Yij : Respon pengaruh A taraf ke-i pada ulangan ke-k

µ : Nilai tengah umum/rataan

Ai : Pengaruh faktor A pada taraf ke-i

Ɛij : Pengaruh galat percobaan

Bentuk hipotesis yang diuji adalah sebagai berikut :

H0 : Perbedaan konsentrasi ISP tidak memberikan pengaruh terhadap mutu sosis

ikan nila merah yang dihasilkan

H1 : Perbedaan konsentrasi ISP memberikan pengaruh terhadap mutu sosis ikan

nila merah yang dihasilkan

Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis ragam. Jika hasil

analisis ragam berbeda nyata, dilanjutkan dengan uji lanjut. Data hasil diuji di

analisa menggunakan statistik nonparametrik Kruskal Wallis. Apabila hasil

analisis menunjukkan adanya pengaruh nyata maka dilanjtkan dengan uji Multiple

Comparison yang bertujuan untuk mengetahui perlakuan mana saja yang

(42)

4.1 Penelitian Pembuatan Gel Ikan Nila Merah (Oreochromis sp)

Penelitian pendahuluan bertujuan untuk mendapatkan frekuensi pencucian

terbaik pada surimi ikan nila merah. Penelitian ini berupa perhitungan rendemen,

uji lipat, uji gigit, pengujian protein larut garam dan kekuatan gel. Perlakuan pada

penelitian pendahuluan yaitu banyaknya pencucian daging lumat yang dilakukan

(1 kali, 2 kali, dan 3 kali) dengan penambahan cryoprotectant berupa STPP 0,25%

untuk tiap perlakuan.

4.1.1 Rendemen

Rendemen merupakan bagian yang dapat dimanfaatkan dari suatu individu

atau biota. Semakin tinggi rendemennya maka nilai ekonomisnya pun akan

semakin tinggi pula. Hasil perhitungan rendemen daging dan surimi ikan nila

merah yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Rendemen daging dan surimi ikan nila merah (Oreochromis sp)

Bobot (gr) Rendemen

daging (%)

Bobot daging lumat dibagi 3 (gr)

Bobot surimi Ikan

utuh

daging (fillet)

Frekuensi pencucian

6000 1500 25 1 2 3 1 2 3

500 500 500 389 378 367

Rendemen Surimi (%) 19,45 18,9 18,35

Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa rendemen daging ikan nila merah

sebesar 25%, sedangkan rendemen surimi ikan nila yang dihasilkan berturut-turut

sebesar 19,45%; 18,9%; 18,35%. Rendemen daging lebih kecil jika dibandingkan

dengan hasil penelitian Filho (2010) sebesar 30%-35%. Hal ini dapat disebabkan

oleh habitat atau lingkungan dan cara makan. Setelah pencucian, rendemen akan

semakin berkurang akibat pelepasan atau hilangnya komponen-komponen lain

seperti darah, lemak, serta protein larut air. Semakin banyak frekuensi pencucian

(43)

4.1.2 Uji lipat

Uji lipat merupakan salah satu pengujian sensori awal bertujuan untuk

menentukan serta memastikan kekuatan gel dan elastisitas surimi oleh para

panelis (Shaviklo, 2006). Berdasarkan hasil analisis Kruskal Wallis dapat

diketahui nilai Asymsig > 0,05 Hal ini dapat dikatakan bahwa perbedaan

frekuensi pencucian tidak memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap nilai

pengujian uji lipat. Berikut adalah hasil pengujian uji lipat dapat dilihat pada

Gambar 5.

4,67

4,57

4,73

4,45 4,5 4,55 4,6 4,65 4,7 4,75

Pencucian 1 kali Pencucian 2 kali Pencucian 3 kali

Gambar 5 Histogram nilai rata-rata uji lipat gel ikan nila merah (Oreochromis sp)

Gambar 5 menunjukkan bahwa nilai frekuensi pencucian 2 kali

menunjukkan nilai uji lipat yang terbesar yaitu, 4,73 sedangkan nilai terkecil

ditunjukkan oleh frekuensi pencucian 1 kali sebesar 4,57. Berdasarkan Gambar 5.

dapat dilihat bahwa tendensi penilaian uji lipat terhadap produk gel ikan

mengalami kenaikan seiring dengan bertambahnya frekuensi pencucian. Uji lipat

dapat dikaitkan dengan kemampuan elastisitas produk. Elastisitas produk sosis

atau produk berbasis gel dapat disebabkan oleh kandungan protein myofibril yaitu

aktin dan miosin, kualitas air cucian, pH daging, temperatur air, kadar air,

kekuatan ionik dan tendensi hidrophilik (Sonu, 1986).

4.1.3 Uji gigit

Uji gigit merupakan salah satu pengujian sensori awal bertujuan untuk

(44)

dengan cara menggigit bagian contoh yang memiliki ketebalan ± 5 mm dengan

menggunakan gigi bagian depan dan dikonversikan ke dalam tabel yang telah

disediakan (Shaviklo, 2006). Berdasarkan hasil analisis Kruskal Wallis dapat

diketahui nilai Asymsig < 0,05 Hal ini dapat dikatakan bahwa perbedaan

frekuensi pencucian memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap nilai pengujian

uji gigit. Berikut adalah hasil pengujian uji lipat dapat dilihat pada Gambar 6.

8,47b

Pencucian 1 kali Pencucian 2 kali Pencucian 3 kali

Gambar 6 Histogram nilai rata-rata uji gigit gel ikan nila merah (Oreochromis sp)

Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscript yang berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Gambar 6 menunjukkan surimi dengan frekuensi pencucian 2 kali berbeda

nyata dengan surimi frekuensi 1 kali dan 3 kali. Nilai frekuensi pencucian 2 kali

menunjukkan nilai uji gigit yang terbesar yaitu, 8,47 sedangkan nilai terkecil

ditunjukkan oleh frekuensi pencucian 1 kali sebesar 7,27. Menurut Cross (1986)

mengatakan bahwa prinsip pengujian atau evaluasi yang berkaitan dengan tekstur

atau keempukan dapat dianalisis atau dieliminasi oleh para panelis yang dapat

dievaluasi saat itu juga. Panelis cenderung menyukai perlakuan pencucian kedua

dengan nilai tertinggi uji gigit sebesar 8,47 yang tidak terlalu keras maupun tidak

terlalu lunak. Kondisi produk seperti ini dapat terjadi karena perbedaan jumlah

jaringan daging, jumlah simpanan lemak, temperatur contoh dan lama waktu

(45)

4.1.4 Protein larut garam

Protein larut garam adalah protein yang akan larut dalam larutan garam

tertentu berupa protein miofibril. Berdasarkan hasil sidik ragam dapat diketaihui

nilai Asymsig > 0,05 Hal ini dapat dikatakan bahwa perbedaan frekuensi

pencucian tidak memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap nilai pengujian

protein larut garam. Berikut adalah hasil pengujian protein larut garam dapat

dilihat pada Gambar 7.

5,13 6,67

6,92

0 1 2 3 4 5 6 7 8

Pencucian 1 kali Pencucian 2 kali Pencucian 3 kali

Gambar 7 Histogram nilai rata-rata uji protein larut garam surimi ikan nila merah (Oreochromis sp)

Gambar 7 menunjukkan bahwa nilai frekuensi pencucian 1 kali

menunjukkan nilai uji lipat yang terbesar yaitu, 6,92 sedangkan nilai terkecil

ditunjukkan oleh frekuensi pencucian 3 kali sebesar 5,13. Kandungan protein larut

garam atau myofibril dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kualitas air

pencucian antara lain kekuatan ionik atau konsentrasi garam inorganik, pH dan

temperature. Kekuatan ionik air pencucian dapat menyebabkan daging akan

cenderung mengembang. Jika kekuatan ionik air tersebut kecil maka sel-sel

daging akan mengembang sehingga sulit mengeluarkan air dari surimi akan

menyebabkan kandungan air surimi yang relatif tinggi (Toyoda, 1992). Hal itulah

yang diduga menyebabkan semakin banyak frekuensi pencucian akan

menurunkan protein larut garam pada surimi tersebut. Menurut Hossain (2004)

mengatakan bahwa pada proses pencucian yang berlebihan setelah protein

(46)

menyebabkan kehilangan lebih lanjut protein myofibril dari daging. Oleh karena

itu, akan meningkatkan penggunaan air cucian dan treatment buangan air cucian

serta kehilangan protein myofibril lebih lanjut.

4.1.5 Kekuatan gel

Kekuatan gel merupakan salah satu indeks kualitas produk yang dapat

diukur berdasarkan spesies, musim dan perlakuan lainnya dengan satuan gf atau g

force (Kongpun, 1999). Berdasarkan hasil sidik ragam dapat diketahui nilai

Asymsig < 0,05 Hal ini dapat dikatakan bahwa perbedaan frekuensi pencucian

memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap nilai pengujian kekuatan gel.

Berikut adalah hasil pengujian gel ikan terhadap kekuatan gel yang dihasilkan

dapat dilihat pada Gambar 8.

638,13a

Pencucian 1 kali Pencucian 2 kali Pencucian 3 kali

Gambar 8 Histogram nilai rata-rata uji kekuatan gel gel ikan nila merah (Oreochromis sp)

Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscript yang berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Gambar 8 menunjukkan kekuatan gel surimi dengan frekuensi pencucian 3

kali berbeda nyata dengan surimi frekuensi 1 kali dan 2 kali, sedangkan kekuatan

gel dengan pencucian 1 kali dan 2 kali tidak berbeda nyata terhadap kekuatan gel.

Nilai frekuensi pencucian 2 kali menunjukkan nilai kekuatan gel yang terbesar

yaitu, 948,03 sedangkan nilai terkecil ditunjukkan oleh frekuensi pencucian 3 kali

Gambar

Tabel 1  Jenis-jenis sosis
Tabel 2  Spesifikasi persyaratan mutu lada putih
Gambar 2  Emulsi minyak dalam air
Gambar 3.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Bahasannya mencakup sekilas tentang integrasi sistem RF, teknik ekstraksi data dan ekstraksi informasi sektor dokumentasi, dengan fokus bahasan pada perbedaan

Kerangka karangan: “Metode sistematik untuk menyusun bagian-bagian dari topik yang akan ditulis sehingga hubungan antara satu bagian dengan bagian yang lain terlihat jelas.”..

Faktor lain yang merupakan penyebab tingginya insiden parasit di wadah budidaya ikan bawal adalah tingginya padat tebar pada wadah budidaya di kolam A dan B yang yaitu

Demikian juga halnya dengan tradisi perang topat , dari hasil wawancara dengan beberapa informan menunjukkan bahwa tradisi ini merupakan tradisi yang telah diteruskan secara turun

kan adalah: (1) setiap program peningkatan mutu pendidikan di madrasah harus dilakukan secara sistemik dan sistematik, (2) penerapan program peningkatan mutu yang dilakukan

Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenai pendekatan Latihan Keterampilan (Drill Method) pada mata pelajaran Matematika materi pokok Operasi Hitung Bilangan Bulat di

Berdasarkan hasil penelitian dan pemba- hasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa: (1) pembelajaran matematika dengan pendekat- an PBL berseting TGT efektif

78 percakapan hanya sebatas interaksi secara lisan antara orang yang berbicara (penutur) dengan orang yang diajak berbicara (petutur) yang membahas suatu hal dalam satu