• Tidak ada hasil yang ditemukan

Monitoring Luas Hutan Rakyat Berdasarkan Citra Landsat : Kasus di Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Monitoring Luas Hutan Rakyat Berdasarkan Citra Landsat : Kasus di Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat"

Copied!
162
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keberadaan hutan rakyat di Pulau Jawa mulai dikenal setelah dilaksanakan proyek penghijauan yang bersumber dari dana APBN dan Inpres pada tahun 1975/1976. Dalam SK Dirjen Kehutanan No. 161/D1/1/1975 tanggal 25 Oktober 1975 ditetapkan sasaran reboisasi dan penghijauan yang arealnya meliputi hutan yang rusak, belukar, padang alang-alang, tanah kosong/gundul dan tanah-tanah terlantar serta tanah tegalan lainnya. Tujuan pembangunan hutan rakyat berawal dari upaya rehabilitasi lahan dan konservasi tanah dan ternyata hasilnya (kayu) telah dirasakan

manfaatnya oleh masyarakat sebagai tambahan penghasilan.

Dinamika perkembangan hutan rakyat berkembang semakin cepat dengan semakin tingginya permintaan kayu dari pasar, sementara persediaan kayu yang disediakan oleh hutan alam dan hutan tanaman tidak dapat memenuhi kebutuhan pasar. Luasan hutan rakyat yang terus meningkat menunjukkan dampak positif yang sangat besar yang diberikan hutan rakyat terutama bagi perekonomian masyarakat.

Data Ditjen RLPS, Kementrian Kehutanan (2009) dalam Persaki (2010) menyatakan bahwa luas total hutan rakyat di seluruh Indonesia mencapai 3.589.343 ha dengan potensi dalam bentuk standing stock sebanyak 125.627.018 m³ dan potensi siap panen dari standing stock tersebut mencapai 20.937.836 m³. Kecamatan Cikalong adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat yang mempunyai potensi kayu rakyat yang cukup besar dengan berbagai jenis kayu diantaranya adalah Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) dan Akasia (Acacia mangium). Menurut data Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Kabupaten Tasikmalaya tahun 2010, produksi kayu rakyat Kecamatan Cikalong adalah sebesar 12.457 m³.

(2)

monitoring perkembangan luasan hutan rakyat diperlukan sebagai bahan pertimbangan pemerintah daerah untuk hutan rakyat dimasukkan dalam rencana dan skala proritas dalam tata ruang dan terciptanya pengelolaan hutan rakyat yang berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Penggunaan teknologi penginderaan jauh merupakan alternatif yang sangat baik dalam membantu menyajikan informasi penutupan lahan secara cepat dibandingkan dengan cara teristis di lapangan. Keunggulan teknologi penginderaan jauh yang sudah semakin berkembang diantaranya adalah dalam hal: perangkat pengumpul data, perangkat penyaji data, memberikan gambaran unsur-unsur spasial yang komprehensif dengan bentuk-bentuk geometri relatif dan hubungan ketetanggaan yang benar, periode pengukuran (pengamatan) relatif singkat dan dapat diulang kembali dengan cepat dan konsisten (presisi), skala (akurasi data spasial) yang didapat dapat bervariasi dari yang kecil hingga besar, kecenderungan mendapatkan data yang paling uptodate (terbaru), dan biaya survey keseluruhannya (waktu, personil, dan biaya) terhitung relatif murah (Prahasta 2008).

Kemajuan teknologi penginderaan jauh dapat dibuktikan melalui

diluncurkannya satelit sumberdaya alam, seperti satelit Landsat, Alos, SPOT, Ikonos. Citra Landsat merupakan salah satu citra yang banyak digunakan oleh berbagai instansi pemerintah maupun swasta dalam pengumpulan informasi yang berbasis

(3)

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan melakukan analisis perubahan luasan hutan rakyat yang terjadi di Kecamatan Cikalong Tasikmalaya sejak 1994 berdasarkan citra Satelit Landsat resolusi 30 meter tahun 1994, 2000, 2005, 2010 dan melakukan identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan luasan hutan rakyat.

1.3 Manfaat

(4)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hutan Rakyat

Hutan adalah suatu ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannnya, dapat menghasilkan iklim mikro dan antara satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan rakyat adalah hutan yang berada di luar kawasan hutan yang dikelola oleh masyarakat atau yang sering disebut hutan milik. Hutan milik adalah hutan yang tumbuh diatas lahan yang dibebani hak milik (Undang-Undang Pokok Kehutanan No. 41 Tahun 1999). Sedangkan hutan negara adalah hutan yang tumbuh

di atas tanah yang tidak dibebani hak milik atau tanah negara. Dalam pengertian ini menjelaskan bahwa tanah negara mencakup tanah-tanah yang tidak dikuasai oleh masyarakat berdasarkan ketentuan-ketentuan atau aturan adat atau aturan-aturan masyarakat lokal (Suharjito 2000).

Ada beberapa karakteristik hutan rakyat jika ditinjau dari aspek manajemen hutan (Awang et al 2007) yaitu :

1. Hutan rakyat berada di tanah milik, dijadikan hutan dengan alasan tertentu, seperti lahan kurang subur, kondisi topografi sulit, tenaga kerja terbatas, kemudahan pemeliharaan dan faktor resiko kegagalan yang kecil.

2. Hutan rakyat tidak mengelompok, tetapi tersebar berdasarkan letak luas kepemilikan lahan, serta keragaman pola wanatani pada berbagai topografi lahan. 3. Penebangan kayu dilakukan berdasarkan kebutuhan, sehingga konsep kelestarian

hasil belum berdasarkan kontinuitas hasil yang dapat diperoleh dari perhitungan pemanenan yang sebanding dengan pertumbuhan (riap) tanaman.

4. Belum terbentuk organisasi yang profesional untuk melakukan pengelolaan hutan rakyat.

(5)

6. Belum ada perencanaan pengelolaan hutan rakyat, sehingga belum ada jaminan dari petani hutan rakyat terhadap kontinuitas pasokan kayu bagi industri.

7. Mekanisme perdagangan kayu rakyat di luar kendali petani hutan rakyat sebagai produsen, sehingga keuntungan terbesar dari pengelolaan hutan tidak dirasakan petani hutan rakyat.

Pada awalnya pembuatan hutan rakyat dimaksudkan untuk merehabilitasi lahan-lahan kritis, tetapi dengan berjalannya waktu manfaat kayu memberi peluang meningkatkan pendapatan petani. Menurut (Sumedi 2008), tujuan pembangunan hutan rakyat adalah :

1. Meningkatkan pendapatan masyarakat tani di pedesaan terutama petani di daerah kritis.

2. Memanfaatkan secara optimal dan lestari lahan yang tidak produktif untuk usaha tani tanaman pangan.

3. Meningkatkan produksi kayu bakar untuk mengatasi kekurangan energi dan kekurangan kayu perkakas.

4. Membantu penganekaragaman hasil pertanian yang diperlukan masyarakat.

5. Memperbaiki tata air dan lingkungan, khususnya pada lahan milik rakyat yang berada di kawasan perlindungan di daerah-daerah hulu suatu DAS.

Simon (2004) menyatakan bahwa keberhasilan pembangunan hutan rakyat,

akan memberikan sumbangan yang positif terhadap pembangunan nasional dalam bentuk :

1. Meningkatkan produksi kayu dan hasil hutan ikutan. 2. Memperluas aksesibilitas dan kesempatan kerja di pedesaan.

3. Memperbaiki sistem tata air dan meningkatkan perlindungan permukaan tanah dan bahaya erosi.

4. Meningkatkan proses penyerapan karbon dioksida ( ) dan polutan lain di udara karena adanya peningkatan proses fotosintesis di permukaan bumi. 5. Menjaga kadar oksigen udara tetap pada tingkat yang menguntungkan bagi

(6)

6. Menyediakan habitat yang dapat menjaga keragaman hayati, flora, dan fauna.

2.2 Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh merupakan suatu ilmu, seni, dan teknik untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer 1990). Penginderaan jauh tidak hanya mencakup pengumpulan data mentah, tetapi juga mencakup pengolahan data secara otomatis (komputerisasi) dan manual analisis citra (interpretasi) dan penyajian data yang diperoleh (Jaya 2010).

Lebih lanjut Lillesand dan Kiefer (1990) menjelaskan bahwa proses dan elemen yang terkait di dalam sistem penginderaan jauh meliputi dua proses utama yaitu pengumpulan data dan analisis data. Elemen proses pengumpulan data meliputi: 1. Sumber energi.

2. Perjalanan energi melalui atmosfer.

3. Interaksi antara energi dengan kemampuan di muka bumi. 4. Sensor dan wahana berupa pesawat terbang atau satelit.

5. Hasil pembentukan data dalam bentuk piktorial dan bentuk numerik.

Sedangkan proses analisis data meliputi:

1. Pengujian data dengan menggunakan alat interpretasi dan alat pengamatan untuk menganalisis data piktorial, dan atau komputer untuk menganalisis data sensor numerik.

2. Penyajian informasi dalam bentuk peta, tabel, dan suatu bahasan tertulis atau laporan.

3. Penggunaan data untuk proses pengambilan keputusan.

(7)

obyek yang terletak di permukaan bumi, di atmosfer (dirgantara), dan antariksa. Pengumpulan data penginderaan jauh tersebut dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, sesuai dengan tenaga yang digunakan.

Menurut Wicaksono (2006), teknik penginderaan jauh merupakan suatu cara atau metode yang sangat efektif untuk memantau sumberdaya alam, karena memiliki beberapa keuntungan antara lain:

1. Menghasilkan data sinoptik (meliputi wilayah yang luas dalam waktu yang hampir bersamaan) dalam dua dimensi dengan resolusi tinggi dan mampu menghasilkan data deret waktu (time series) dalam frekuensi yang rendah.

2. Mempunyai kemampuan untuk mendeteksi dan memberikan informasi tentang lapisan yang terpenting yaitu lapisan permukaan.

3. Pengamatan terhadap suatu objek dapat dilakukan dengan menggunakan sensor yang bersifat multi spektral, mulai dari sinar tampak (visible), inframerah (infrared), dan gelombang (microwave). Hal ini memungkinkan dilakukannya analisis multi spektral dengan mengimplementasikan berbagai model matematik untuk mendapatkan informsi yang lebih akurat.

Penginderaan jauh juga mempunyai beberapa keterbatasan antara lain:

1. Akurasi yang diperoleh lebih rendah dibanding dengan pengukuran atau pengamatan secara terestis.

2. Untuk meghasilkan citra yang memiliki informasi yang akurat, harus disertai pengecekan daerah atau objek yang diamati.

3. Waktu pendeteksian satelit terbatas hanya pada saat satelit tersebut melintas di atas lokasi pengamatan.

(8)

Data penginderaan jauh dapat berupa citra, grafik, dan data numerik. Data tersebut dapat dianalisis untuk mendapatkan informasi tentang obyek, daerah, atau fenomena yang diindera atau diteliti. Proses penerjemahan data menjadi informasi disebut analisis atau interpretasi data. Interpretasi atau penafsiran citra penginderaan jauh merupakan perbuatan mengkaji citra dan menilai arti pentingnya obyek tersebut. Interpretasi citra penginderaan jauh dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu interpretasi secara visual dan interpretasi secara digital.

2.3 Jenis-Jenis Satelit Dalam Penerapan Teknologi Penginderaan Jauh

Teknologi penginderaan jauh berkembang dengan cepat seiring dengan peluncuran berbagai satelit dengan karakteristik masing-masing yang dilakukan oleh beberapa negara di dunia, misalnya satelit SPOT-5 (Sisteme Pour l’Observation de la Terre) merupakan kelanjutan dari program seri satelit remote sensing komersial Perancis. Satelit yang dikembangkan oleh badan keruang-angkasaan Perancis CNES (Centre national d’etudes spatiales) yang bekerja-sama dengan beberapa organisasi di Eropa ini diluncurkan pada tanggal 3 Mei 2002 dengan orbit sun-synchronous, ketinggian 832 km di atas ekuator, ukuran scene (scene width) 60km x 60km, sudut inklinasi 98º, periode orbit 101 menit, dan repeat cycle setiap 26 hari (Prahasta 2008). Ikonos-2 merupakan satelit resolusi tinggi yang dioperasikan oleh Geoeye.

Satelit yang diluncurkan pada tanggal 24 September 1999 di Vadenberg Air Force Base, California, Amerika Serikat ini berorbit sun-synchronous, sudut inklinasi 98,1º,

periode orbit 98 menit, ketinggian orbit 681 km, revisit time 1 sampai 3 hari, memiliki resolusi spasial yang bervariasi (di nadir : citra multi spektral 3,2 m pankromatik 0,82 m ; di luar nadir : citra multi spektral 4 m pankromatik 1 m), dan masa operasional 8,5 tahun (Prahasta 2008).

(9)

(Prahasta 2008). Produk-produk sensor Satelit Quickbird merupakan sumber daya yang sangat baik untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan di bidang-bidang analisis perubahan lahan, pertanian, industri minyak dan gas, monitoring infrastruktur rekayasa dan konstruksi, dan kehutanan.

Satelit ALOS (Advance Land Observing Satellite) adalah satelit milik Jepang yang diluncurkan pada tahun 2006 menggunakan roket H-II dan didesain untuk dapat beroperasi selama 3-5 tahun. Satelit ALOS merupakan generasi lanjutan dari JERS-1 (the Japanese Earth Resource Satellite-1) dan ADEOS (the Advance Earth Observing Satellite) yang dilengkapi dengan teknologi yang lebih maju (JAXA 2006). ALOS dilengkapi dengan tiga instrumen penginderaan jauh, yaitu PRISM (Pancrhomatik Remote-sensing Instrument Stereo Mapping) yang memancarkan gelombang pankromatik dengan resolusi spasial 2,5 meter, AVNIR-2 (Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2) yang dilengkapi dengan kemampuan khusus yang memungkinkan satelit dapat melakukan observasi tidak hanya pada arah tegak lurus lintasan satelit, tetapi juga beroperasi dengan sudut observasi (pointing angle) hingga ± 44º, dan PALSAR (Phased-Array type L-band Synthetic Aperture Radar) yang

mempunyai kemampuan dalam melakukan pengamatan yang bebas dari tutupan awan pada siang atau malam hari.

2.4 Karakteristik Citra Landsat

(10)

fotografi konvensional karena dibutuhkan foto udara yang banyak untuk meliputi suatu kawasan yang sama.

Dibandingkan dengan generasi sebelumnya, citra Landsat TM (Thematic Mapper) mempunyai kelebihan lebih baik dari generasi citra Landsat sebelumnya. Menurut Jaya (2002) menyatakan bahwa TM merupakan alat scanning mekanis dengan MSS (Multi Spectral Scanner) yang mempunyai resolusi spektral sebanyak 7 (tujuh) band, resolusi spasial (30 m x 30 m) dan radiometrik (8 bit) yang lebih baik. Karakteristik spektral Landsat TM dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Karakteristik band pada Landsat TM Band Panjang

Gelombang

Resolusi

spasial Aplikasi

1 (0,45-0,52) µm 30 m Dirancang untuk membuahkan peningkatan penetrasi ke dalam tubuh air, dan juga untuk mendukung analisis sifat khas penggunaan lahan, tanah, dan vegetasi.

2 (0,52-0,60) µm 30 m Dirancang untuk mengindera puncak pantulan vegetasi pada spektrum hijau yang terletak di antara dua saluran spektral serapan klorofil. Tanggapan pada saluran ini dimaksudkan untuk menekankan perbedaan vegetasi dan penelitian kesuburan.

3 (0,63-0,69) µm 30 m Saluran terpenting untuk memisahkan vegetasi. Saluran ini berada pada salah satu bagian serapan antara kenampakan vegetasi dan bukan vegetasi, juga menajamkan kontras antara kelas vegetasi.

4 (0,76-0,90) µm 30 m Saluran yang peka terhadap akumulasi biomassa vegetasi yang terdapat pada daerah kajian. hal ini akan membantu identifikasi tanaman dan akan memperkuat kontras antara tanaman-tanah dan lahan-air.

5 (1,55-1,75) µm 30 m Saluran yang penting untuk penentuan jenis tanaman, kandungan air pada tanaman, dan kondisi kelembapan tanah.

6 (2,08-2,35) µm 30 m Saluran yang penting untuk pemisah formasi batuan. 7 (10,0-12,50) µm 120 m Saluran informasi termal yang dikenal bermanfaat

untuk klasifikasi vegetasi, analisis gangguan vegetasi, pemisahan kelembapan tanah, dan sejumlah gejala lain yang berhubungan dengan panas.

Sumber : Lillesand dan Kiefer (1990)

2.5 Klasifikasi Penutupan dan Penggunaan Citra Landsat untuk Identifikasi Tutupan Lahan

(11)

Lillesand dan Kiefer (1990) menjelaskan bahwa istilah penutupan lahan (land cover) berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi, sedangkan istilah penggunaan lahan (land use) berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Penutupan lahan merupakan hasil akhir dari penggunaan lahan. Penutupan lahan meliputi bukan hanya bangunan dan penutupan vegetasi atau modifikasi yang dibuat langsung oleh manusia. Sedangkan penggunaan lahan adalah setiap bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material maupun spiritual (Arsyad 1989).

Informasi penutupan atau penggunaan lahan antara lain dapat digunakan sebagai dasar pembuatan rencana tata ruang. Secara ideal, informasi penutupan lahan dan penggunaan lahan disajikan secara terpisah akan tetapi, jika data penginderaan jauh digunakan sebagai sumber informasi utama, maka akan lebih efisien untuk menggabungkan kedua informasi tersebut. Pada citra penginderaan jauh, informasi penutupan lahan umumnya mudah dikenali, sedangkan informasi penggunaan lahan tidak selalu dapat ditafsir pada citra akan tetapi dapat dideteksi dari kenampakan penutupan lahan dan dilakukan kegiatan ground check lapangan.

Klasifikasi penutupan lahan dengan mengunakan citra Landsat telah dilakukan oleh berbagai instansi seperti Badan Pertanahan Indonesia (BPN), Kementrian lingkungan Hidup (KLH), Tropenbos Internasional (TBI) yang disajikan pada Tabel

(12)

Tabel 2 Klasifikasi penggunaan lahan dan penutup lahan

4. Ladang berpindah 4. Hutan tanaman

5. Hutan lahan kering sekunder dataran rendah

5. Padang penggembalaan 5. Pertanian lahan kering

6. Hutan lahan kering sekunder pegunungan rendah

6. Rawa 6. Padang rumput

7. Hutan lahan kering pegunungan sub-alpine

7. Semak belukar 7. Semak belukar

8. Hutan rawa primer 8. Padi 8. Sawah

9. Hutan rawa sekunder 9. Perkebunan 9. Perkebunan

10. Hutan rawa primer 10. Perumahan, ladang, dan padi

10. Kebun campuran

11. Hutan mangrove primer 11. Pemukiman desa 11. Pemukiman 12. Hutan mangrove sekunder 12. Pemukiman / perkotaan 12. Lahan kosong

13. Semak/belukar 13. Kolam/tambak 13. Tubuh air

14. Semak/belukar rawa 14. Lapangan udara

15. Savana 15. Badan air

2.6 Analisis Perubahan Penutupan Lahan

Perubahan penutupan lahan terdiri dari perubahan yang bersifat tetap (land use)

(13)

perubahan sementara artinya yang berubah hanya tutupan lahannya, jenis penggunaan lahannya tetap (Lo 1995). Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang karena kegiatan manusia mengalami kondisi yang berubah pada waktu yang berbeda.

Penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Informasi penutupan lahan dapat dikenali secara langsung dengan menggunakan pengindraan jauh yang tepat. Pemantauan perubahan penutupan lahan adalah proses mengidentifikasi perubahan suatu objek atau fenomena dengan mengamatinya pada waktu berbeda. Registrasi yang akurat dari sedikitnya dua citra sangat diperlukan dalam mendeteksi perubahan. Citra tersebut dapat berupa data mentah penginderaan jauh atau dua peta klasifikasi citra yang diperoleh dari waktu yang berbeda.

Dalam pemantauan perubahan secara digital, respon spektral suatu piksel pada dua waktu yang berbeda dapat diketahui jika penutupan lahan berubah dari penutupan lahan satu menjadi penutupan lahan yang lainnya. Band yang sensitif terhadap perubahan dapat ditentukan dengan karakteristik reflektansi spektral masing-masing

band terhadap vegetasi, tanah, dan air. Analisis perubahan lahan dapat dilakukan beberapa metode diantaranya : image overlay, diferensiasi citra (image differencing), analisis komponen utama (principal component analysis), dan perbandingan hasil klasifikasi (classification comparasion) (Sunar 1996 dalam Kosasih 2002).

(14)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan September dengan mengambil lokasi penelitian di wilayah Kecamatan Cikalong, Tasikmalaya (Gambar 1). Pra pengolahan citra dilakukan pada bulan Mei 2012 sampai dengan Juni 2012.

Gambar 1 Peta administrasi Kecamatan Cikalong

3.2 Bahan dan Alat 3.2.1 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:

1. Citra Landsat Kecamatan Cikalong Tasikmalaya tahun 1994, 2000, 2005, dan 2010.

(15)

3. Tegakan hutan rakyat di wilayah Kecamatan Cikalong.

3.2.2 Alat

Alat-alat yang digunakan, yaitu: GPS Garmin 60 csx, kamera digital, alat tulis sebagai peralatan di lapangan. Sedangkan untuk analisis data, digunakan satu unit peralatan komputer dengan software ArcGIS 9.3, Erdas Imagine 9.1, Microsoft Office 2007, Google Earth.

3.3 Tahapan kegiatan penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam enam tahap, yaitu pengumpulan data, pengolahan awal citra (pre-image processing), pengambilan data di lapangan (ground check), pengolahan citra (image processing), analisis perubahan penutupan lahan, dan pengolahan data wawancara di lapangan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan luasan hutan rakyat.

3.3.1 Pengumpulan data

Data-data yang dikumpulkan meliputi: Citra satelit Landsat tahun perekaman 1994, 2000, 2005, dan 2010, Peta Rupa Bumi Indonesia daerah Tasikmalaya skala 1:25000 tahun 2000, data sebaran dan luasan hutan rakyat Kecamatan Cikalong, dan

data wawancara lapangan dengan petani responden.

3.3.2 Pengolahan awal citra (pre-image processing) 3.3.2.1 Penentuan kombinasi band citra Landsat

(16)

Keterangan: skala 1:20000

Gambar 2 Tampilan visual citra Landsat kombinasi band 5-4-3 resolusi 30 m tahun1994

3.3.2.2 Koreksi geometrik citra

Koreksi geometrik adalah suatu proses memproyeksikan data pada suatu bidang sehingga mempunyai proyeksi yang sama dengan proyeksi peta. Koreksi ini dilakukan untuk memudahkan pengecekan objek citra di lapangan, memudahkan penggabungan citra dengan sumber lain agar tidak mengalami distorsi luas atau memungkinkan dilakukan perbandingan piksel demi piksel (Jaya 2002). Koreksi geometrik dilakukan dengan menggunakan metode berdasarkan titik kontrol lapangan (Ground Control Point/GCP). Secara umum, tahapan melakukan rektifikasi adalah sebagai berikut (Jaya 2010) :

1. Memilih titik kontrol lapangan (Ground Control Point/GCP). GCP tersebut sedapat mungkin adalah titik-titik atau obyek yang tidak mudah berubah dalam jangka waktu lama misalnya belokan jalan, tugu di persimpangan jalan dan atau sudut-sudut gedung (bangunan). Hindari menggunakan belokan sungai atau delta sungai karena mudah berubah dalam jangka waktu tertentu. GCP juga harus tersebar merata pada citra yang akan dikoreksi.

(17)

3. Menghitung kesalahan (Root Mean Square Error/RMSE) dari GCP yang terpilih. Umumnya tidak boleh lebih besar dari 0,5 piksel.

4. Melakukan interpolasi intensitas (nilai kecerahan) dengan salah satu metode berikut, yaitu nearest neigbour, bilinier, dan cubic convolution, sekaligus membuat citra baru dengan sistem koordinat yang ditentukan.

Pada penelitian ini, proses koreksi geometrik dilakukan pada citra satelit Landsat resolusi 30 m tahun 1994, 2000, 2005, dan 2010. Koreksi geometrik dikakukan pada masing-masing citra untuk mencocokkan koordinat citra dengan koordinat geografis di lapangan.

3.3.2.3 Pemotongan citra (cropping)

Sebelum melakukan analisis visual dan digital citra, dilakukan pemotongan citra satelit Landsat resolusi 30 m dengan kombinasi band 5-4-3 dengan luasan sebagian daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah sesuai dengan lokasi penelitian yang akan dilakukan yaitu Kecamatan Cikalong.

3.3.2.4 Identifikasi awal tutupan lahan

Identifikasi awal citra Landsat kombinasi RGB 5-4-3 untuk mengetahui

perubahan tata guna lahan yang digunakan untuk hutan rakyat. Metode yang digunakan dalam intrepetasi awal citra adalah metode analisis visual pada citra Landsat tahun 2010 dan 2005 dan metode analisis digital pada tahun 2000 dan 1994.

Menurut Jaya (2010), analisis diartikan sebagai kegiatan penguraian dan atau penelaahan data serta hubungan antar komponen data itu sendiri, dalam hal ini adalah nilai kecerahan (Brightness Value/BV) atau nilai digital (Digital Number/DN). Analisi citra Landsat dapat menggunakan metode analisis visual dan analisis digital. Analisi visual merupakan kegiatan mengamati citra secara visual yang dilakukan oleh intrepeter dengan tujuan untuk mengidentifikasi objek dari citra tersebut.

(18)

banyak kemungkinan kandungan informasi yang ada di dalamnya (Jaya 2010). Pada citra Landsat TM yang digunakan adalah data 8 bit dengan variasi sebesar 256 level (

3.3.2.5 Pembuatan titik lokasi pengamatan

Penentuan titik lokasi pengamatan di lapangan ditentukan dengan menggunakan metode purposive sampling dengan mempertimbangkan tingkat keterwakilan dari tiap kelas dan tingkat penyebaran titik pada lokasi penelitian. Total jumlah titik lokasi pengamatan yang digunakan adalah 110 titik dengan rincian 65 titik untuk kelas hutan rakyat dan 5 titik untuk tiap kelas yang lain dengan jumlah 9 kelas.

3.3.3 Pemeriksaan lapangan (Ground check)

Pemeriksaan di lapangan bertujuan untuk mencocokkan tutupan yang telah diidentifikasi pada masing-masing citra dengan melihat kenampakan tutupan lahan yang sebenarnya di lapangan. Selain itu, pemeriksaan di lapangan juga bertujuan untuk mencari informasi tentang faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat melakukan pengolahan lahan dengan hutan rakyat. Dalam menggali informasi tersebut digunakan teknik open type interview dan nonstructured interview. Kegiatan pemeriksaan di lapangan dilakukan dengan menelusuri lokasi-lokasi pengamatan yang telah ditentukan meliputi pengambilan titik-titik pengamatan, dokumentasi contoh-contoh penutupan atau penggunana lahan, dan wawancara terhadap patani hutan rakyat di lokasi pengamatan yang telah ditentukan. Hal ini dilakukan untuk memahami serta mengenal kondisi daerah penelitian yang dilakukan.

3.3.4 Pengolahan citra satelit Landsat 3.3.4.1 Klasifikasi visual

(19)

1 Ukuran

Ukuran meliputi panjang, lebar, luas, sehingga antara objek yang satu dengan yang lain dapat dibedakan dan dibuat batasan.

2 Rona (Tone)

Rona menunjukkan perbedaan gelap terangnya suatu objek yang dipengaruhi oleh tingkat kelembaban, misalnya adanya genangan atau keadaan vegetasi penutup tanah itu sendiri.

3 Warna

Warna sangat dipengaruhi oleh reflektansi yang berbeda, dan setiap vegetasi atau tanaman dapat memberikan warna alami (true colour) maupun warna semu (false colour).

4 Tekstur

Tekstur merupakan gabungan antara rona dengan ukuran serta jarak yang satu dengan yang lain. Tekstur dapat dibedakan menjadi halus atau kasar, seragam atau tidak seragam.

5 Pola

Pola merupakan susunan suatu objek yang terjadi secara alami ataupun buatan. 6 Asosiasi

Asosiasi digunakan untuk memperhatikan keterkaitan antara suatu obyek atau

fenomena dengan obyek atau fenomena lain, yang digunakan sebagai dasar mengenali obyek yang dikaji.

3.3.4.2 Klasifikasi terbimbing (supervised classification)

Klasifikasi terbimbing adalah klasifikasi yang dilakukan dengan arahan analisis (supervised) dengan kriteria pengelompokan kelas ditetapkan berdasarkan penciri kelas (signature class) yang diperoleh analisis melalui pembuatan “training area” (Jaya 2010). Tahap ini dilakukan secara otomatis oleh komputer untuk mendapatkan hasil berupa citra yang terklasifikasi.

(20)

probability (peluang) paling kecil. Klasifikasi terbimbing disederhanakan menjadi 6 tahapan , yaitu tahap penentuan kelas contoh (training area), penandaan area contoh (signature), klasifikasi, analisis keterpisahan kelas, akurasi, serta tahap penyajian hasil (output).

3.3.4.3 Analisis separabilitas

Metode ini digunakan untuk mengetahui tingkat keterpisahan kelas yang diwakili oleh area contoh dengan mengukur jarak antar kelas secara statistik. Jarak ini digunakan untuk menggambarkan apakah kelas-kelas contoh yang diambil cukup homogen dan mempunyai ragam kecil. Ukuran keterpisahan kelas dihitung berdasarkan persamaan Transformed Divergence (TD), yaitu :

= 2000 (1 – exp ) …………(Jaya 2010) Keterangan :

TD = Transformed Divergence

= Divergence baris ke-i dan kolom ke-j

i dan j = The two signatures (classes) being compared

Hasil analisis separabilitas diukur berdasarkan beberapa kriteria yang dikelompokan ke dalam lima kelas dimana setiap kelasnya mendeskripsikan kuantitas keterpisahan tiap tutupan lahan. Kelima kelas yang diklasifikasikan dalam Jaya (2002) tersebut yaitu :

1. Tidak terpisah = <1600 2. Cukup baik = 1600 – 1699 3. Baik = 1700 – 1899 4. Sangat baik = 1900 – 1999 5. Sempurna = 2000

3.3.4.4 Uji akurasi

Pada penelitian ini, untuk mengetahui tingkat keakuratan klasifikasi tutupan lahan hasil intrepetasi citra, perlu dilakukan uji akurasi klasifikasi. Akurasi klasifikasi merupakan akurasi yang sering dianalisis menggunakan suatu matrik kontingensi, yaitu suatu matrik bujur sangkar yang memuat jumlah piksel yang diklasifikasikasi.

(21)

Akurasi klasifikasi umumnya dilakukan dengan metode overall accuracy, akan tetapi akurasi ini umumnya terlalu over estimate sehingga jarang digunakan sebagai indikator yang baik untuk mengukur kesuksesan suatu klasifikasi karena hanya menggunakan piksel-piksel yang terletak pada diagonal suatu matrik contingency. Secara matematis dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

OA = ∑

Menurut (Jaya 2010), saat ini akurasi yang dianjurkan untuk digunakan adalah akurasi Kappa. Akurasi ini menggunakan semua elemen dalam matrik. Secara matematik, akurasi Kappa ini dihitung dengan rumus sebagai berikut :

K = ∑ ∑ ∑ Keterangan :

= nilai diagonal dari matrik kontingensi baris ke-i dan kolom ke-i = jumlah piksel dalam kolom ke-i

= jumlah piksel dalam baris ke-i = banyaknya piksel dalam contoh Tabel 3 Skema perhitungan akurasi

Kelas referensi

Dikelaskan ke kelas - Jumlah Piksel

(22)

Producer’s accuracy adalah probabilitas atau peluang rata-rata (%) suatu piksel akan diklasifikasikan dengan benar dan secara rata-rata menunjukkan seberapa baik setiap kelas di lapangan telah diklasifikasi. Ukuran ini juga dapat digunakan untuk menduga rata-rata dari kesalahan omissi (omission error). Sedangkan user’s accuracy adalah probability atau peluang rata-rata suatu piksel dari citra yang telah terklasifikasi, secara aktual mewakili kelas-kelas tersebut di lapangan. Ukuran ini juga menduga kesalahan komisi (commission error).

3.3.5 Analisis perubahan tutupan lahan hutan rakyat

Analisis perubahan tutupan lahan hutan rakyat adalah proses mengidentifikasi perubahan suatu obyek atau fenomena yang dilakukan dengan membandingkan secara langsung antara citra-citra digital yang direkam pada saat yang berbeda : time series analysis. Perubahan yang terdapat pada citra-citra beda waktu tidak sekedar mengimplikasikan perbedaan di dalam karakteristik unsur-unsur di permukan bumi, tetapi juga dapat merefleksikan variasi normal yang belum terkarakteristikkan dan dapat ditemukan pada suatu periode waktu ke waktu berikutnya (Prahasta 2008).

Berdasarkan hasil dari klasifikasi citra multi waktu, selanjutnya dilakukan

analisis perubahan penutupan lahan hutan rakyat dengan cara menumpang tindihkan (overlay) citra hasil klasifikasi pada tiap waktu. Selain itu, analisis perubahan tutupan lahan hutan rakyat dapat dilakukan dengan cara diklasifikasikan secara terpisah, kemudian dilakukan perbandingan (post-classification comparasion). Dengan cara

ini, dapat mengetahui luas perubahan tutupan lahan hutan rakyat yang terjadi.

3.3.6 Identifikasi faktor-faktor penyebab berubahnya luas hutan rakyat

Pengolahan dan analisis data wawancara hasil observasi langsung ke lapangan dilakukan secara deskriptif dengan menjelaskan informasi tentang faktor-faktor yang menyebabkan perubahan dinamika perkembangan hutan rakyat. Menurut Hardjanto (2003) dalam Rato (2011), faktor yang berpengaruh terhadap pengembangan hutan rakyat di Jawa, yaitu :

(23)

2. Luas pemilikan lahan, teknologi pemanenan dan pasca panen, serta keterbatasan modal dan informasi sebagai faktor kelemahan internal.

3. Tingginya permintaan pasar, pertumbuhan industri kayu, dan infrastruktur jalan desa sebagai faktor kesempatan eksternal.

(24)

Tabel 4 Bagan alir pengolahan dan analisis data

Citra landsat tahun 1994, 2000, 2005, 2010

Citra hasi klasifikasi

Data wawancara petani responden Analisis perubahan tutupan lahan hutan

Rakyat

Data perubahan luas hutan rakyat dan faktor-faktor penyebab

Pengumpulan data

Ground Check (Cek lapangan)

Peta rupa bumi Jawa Barat skala 1:25000

Analisis hasil pengamatan lapangan :

- Klasifikasi visual

- Klasifikasi terbimbing

- Analisis separabilitas

- Akurasi kappa

Overlay

- Koreksi geometrik

- Cropping

- Identifikasi awal tutupan lahan dengan analisis visual dan digital

(25)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Keadaan Umum Kecamatan Cikalong 4.1.1 Luas dan Letak Geografis

Kecamatan Cikalong merupakan satu dari 39 kecamatan di Kabupaten Tasikmalaya. Secara geografis Kecamatan Cikalong terletak antara 7º 40’ 20’’ LS – 7º 49’ 00’’ LS dan 108º 08’ 45’’ BT – 108º 20’ 30’’ BT dengan ketinggian tempat antara 0,5 – 600 meter dari permukaan laut. Kecamatan Cikalong dibatasi oleh beberapa wilayah, yaitu :

 Sebelah Utara : Kecamatan Cikatomas.

 Sebelah Timur : Kabupaten Ciamis.

 Sebelah Selatan : Samudera Hindia.

 Sebelah Barat : Kecamatan Karangnunggal.

4.1.2 Topografi dan iklim

Topografi Kecamatan Cikalong mempunyai persentase kemiringan yang bervariasi dari mulai datar sampai curam. Topografi mempunyai prosentase kemiringan sebagai berikut :

- Kemiringan 0-2 % sebanyak 13 % dari luas wilayah - Kemiringan 3-15 % sebanyak 65 % dari luas wilayah - Kemiringan 16-40 % sebanyak 17 % dari luas wilayah - Kemiringan 41 ke atas sebanyak 5 % dari luas wilayah

Berdasarkan data dari Dinas Pekerjaan Umum ( PU ) Kabupaten Tasikmalaya, Kecamatan Cikalong mempunyai curah hujan rata-rata per bulan 260 mm, curah

(26)

4.1.3 Jenis Tanah

Keadaan jenis tanah di wilayah kerja bervariasi dari mulai podsolik merah kuning, alluvial maupun latosol. Biasanya tanah yang subur merupakan tanah dengan kompleks liat dengan humusnya tinggi yang masih belum tererosi oleh air, mempunyai produktivitas tinggi dan dapat menyediakan unsur hara yang sesuai dengan kebutuhan tanaman.

Tabel 5 Jenis tanah Kecamatan Cikalong

No Desa Jenis tanah Kepekaan terhadap erosi

1 Cikalong Latosol, podsolik Agak peka, tidak peka

2 Singkir Latosol, podsolik Agak peka, tidak peka

3 Kalapagenep Latosol, podsolik, aluvial Tidak peka, peka

4 Cibeber Latosol, podsolik Agak peka, tidak peka

5 Cikancra Latosol, podsolik, aluvial Tidak peka, peka 6 Cikadu Latosol, podsolik, aluvial Tidak peka, peka

7 Panyiaran Latosol, podsolik Agak peka, tidak peka

8 Mandalajaya Latosol, podsolik Tidak peka, peka

9 Sindangjaya Latosol, podsolik, aluvial Tidak peka, peka 10 Kubangsari Latosol, podsolik, aluvial Tidak peka, peka

11 Cidadali Latosol, podsolik Agak peka, tidak peka

12 Cimanuk Latosol, podsolik, aluvial Tidak peka, peka

13 Tonjongsari Latosol, podsolik Agak peka, tidak peka

Sumber : Kecamatan Cikalong dalam angka tahun 2012

4.1.4 Kondisi Hutan Rakyat

(27)

4.1.5 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat 4.1.5.1 Jumlah penduduk

Jumlah penduduk di Kec.Cikalong sampai dengan akhir tahun 2012 sebanyak 64.792 jiwa, terdiri dari laki-laki 31.227 Jiwa dan perempuan 33.565 Jiwa dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 19.677 KK. Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin selengkapnya tersaji dalam Tabel 6 dan berdasarkan kelompok umur pada Tabel 7.

Tabel 6 Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin di Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya

Sumber data : Kecamatan Cikalong dalam angka tahun 2012

Tabel 7 Jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur di Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya

(28)

dari jumlah penduduk secara keseluruhan. Penduduk yang berada pada usia produktif ini relatif masih mempunyai kekuatan fisik yang cukup menunjang dalam melaksanakan usaha, demikian pula dengan kekuatan mental dan pikiran yang relatif terbuka terhadap inovasi yang diperlukan dalam meningkatkan efisiensi usaha yang dilaksanakannya.

4.1.5.2 Tingkat pendidikan

Pada umumnya tingkat pendidikan di Desa Cikalong masih tergolong rendah, hal ini dapat dilihat bahwa sebagian besar penduduknya hanya sampai tamatan Sekolah Dasar (SD) saja, sebagian kecil pendidikan SLTP, SLTA dan akademik atau Perguruan Tinggi (PT) yang disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Keadaan Pendidikan Penduduk di Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya

Sumber data : Kecamatan Cikalong dalam angka tahun 2012

Tabel 8 menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Kecamatan Cikalong adalah tamatan Sekolah Dasar (SD) atau sederajat, yaitu sebanyak 19.766 orang atau 19,76 persen dari jumlah penduduk. Sedangkan penduduk yang menamatkan pendidikan perguruan tinggii hanya 1.043 orang atau 0,9 persen. hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan penduduk Kecamatan Cikalong masih relatif rendah.

(29)

Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat negeri dan swasta sebesar 4 unit, dan Perguruan Tinggi (PT) sebesar 1 unit. Perguruan tinggi (PT) disini merupakan Perguruan Tinggi Swasta cabang dari Perguruan Tinggi yang terdapat di Kota Tasikmalaya. Jumlah penduduk menurut usia kelompok pendidikan terbagi menjadi empat, yaitu kelompok usia 4-6 tahun berjumlah 713 orang, kelompok usia 7-12 tahun berjumlah 715 orang, kelompok usia 13-15 tahun berjumlah 482 orang, dan kelompok usia 19 tahun keatas berjumlah 3.425 orang.

4.1.5.3 Tingkat kesehatan

Berdatarkan data BPS Kecamatan Cikalong tahun 2010, angka harapan hidup (AHH) 68,63 Indek AHH 72,72. Sedangkan fasilitas kesehatan yang ada terdiri dari Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat) sebanyak 1 unit Poskesdes (Posko Kesehatan Desa) sebanyak 10 unit, Posyandu sebanyak 77 unit, dan jumlah apotek sebanyak 3 unit. Untuk tenaga teknis kesehatan terdiri dari Dokter sebanyak 1 orang, Bidan 21 orang, Paramedis 7 orang, dan Dukun Bayi 46 orang.

4.1.5.4 Tingkat mata pencaharian penduduk

Pada umumnya mata pencaharian penduduk Kecamata Cikalong adalah bertani

dan berkebun. Sebagian kecil masyarakat Cikalong yang mengandalkan mata pencahariannya sebagai pedagang, buruh, industri, sopir, PNS dan sebagainya yang disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Tingkat mata pencaharian penduduk di Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya

(30)

Kegiatan bertani dan berkebun telah berlangsung sejak puluhan tahun yang lalu dan berlangsung secara turun temurun di masyarakat sehingga ini menjadi kearifan lokal masyarakat sekitar. Ketersediaan lahan menjadi sangat penting dibutuhkan oleh masyarakat untuk memperoleh pendapatan karena kurangnya tingkat kualitas sumberdaya manusia dari tingkat pendidikan formal sehingga terbatasnya peluang masyarakat untuk bekerja di luar sektor bertani dan berkebun.

4.1.5.5 Sarana dan prasarana

Sarana dan prasarana yang ada di Kecamatan Cikalong antara lain:

1. Sarana perekonomian : 8 buah pasar permanen, 2 buh mini market, 166 buah toko kelontong.

2. Sarana umum : 16 buah restoran, 473 buah kedai makanan, 2 buah penginapan.

(31)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Identifikasi Tutupan Lahan di Lapangan

Pengamatan tutupan lahan di lapangan dilakukan di Kecamatan Cikalong yang terdiri dari 13 desa. Titik pengamatan yang digunakan sebanyak 110 titik dengan rincian 65 titik untuk kelas hutan rakyat dan 5 titik untuk setiap kelas tutupan lahan yang lain dengan jumlah 9 kelas. Hasil pengamatan lapangan diperoleh sebanyak 10 (sepuluh) kelas tutupan lahan. Jenis tutupan lahan di lapangan disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10 Jenis tutupan lahan hasil pengamatan lapangan

No Tutupan lahan Jumlah titik

pengamatan lapangan

Foto lapangan

1. Badan air 5

2. Hutan tanaman jati 5

(32)

Tabel 10 (lanjutan)

No Obyek tutupan lahan Jumlah titik pengamatan lapangan

Foto lapangan

4. Pemukiman 5

5. Hutan rakyat 65

6. Kebun campuran 5

(33)

Tabel 10 (lanjutan)

No Obyek tutupan lahan Jumlah titik pengamatan lapangan

Foto lapangan

8. Rawa semak 5

9. Sawah 5

10. Semak/belukar 5

Jumlah titik pengamatan lapangan 110

5.2 Analisis Visual dan Analisis Digital Citra Landsat

(34)

objek awan dan bayangannya sehingga sulit untuk mengidentifikasi objek yang ada di bawahnya.

Pada analisis digital, citra Landsat yang dipilih adalah citra tahun 1994 dan 2000. Citra yang digunakan adalah citra yang mempunyai tingkat kenampakan objek yang jelas dan tidak mengalami stripping disajikan pada Gambar 3. Proses terjadinya stripping pada citra Landsat diakibatkan karena adanya kerusakan pada sensor optik satelit tersebut sehingga menyebabkan terjadinya sejumlah garis dengan ukuran lebar beberapa piksel kehilangan datanya (DN=0).

(a) (b) Keterangan: skala 1 : 110000

Gambar 3 Citra Landsat tahun 1994 (a) dan 2000 (b)

(35)

(a) (b) Keterangan: skala 1 : 110000

Gambar 4 Citra Landsat tahun 2005 (a) dan 2010 (b)

Hasil penafsiran citra Landsat dengan metode analisis digital dapat diidentifikasi sebanyak 12 kelas tutupan lahan, yaitu: badan air, hutan tanaman, lahan

terbuka, pemukiman, hutan rakyat, kebun campuran, pertanian lahan kering, rawa semak, sawah, semak/belukar, awan, dan bayangan awan. Hasil penafsiran dengan

metode analisis digital dapat dilihat pada Gambar 11 dan Gambar 12. Sedangkan untuk hasil identifikasi penafsiran citra Landsat dengan menggunakan metode analisis visual diperoleh sebanyak 10 kelas dengan jenis kelas tutupan lahan yang sama dengan analisis digital tanpa terdapat kelas awan dan kelas bayangan awan. Hasil penafsiran dengan metode analisis visual dapat dilihat pada Gambar 13 dan Gambar 14.

(36)

dengan penduduk sekitar. Sedangkan dalam analisis digital, awan dan bayangannya yang terdapat pada citra digolongkan dalam kelas tutupan lahan sehingga objek yang berada dibawahnya tidak teridentifikasi sesuai dengan kenyataan di lapangan.

Kelas hutan rakyat pada citra Landsat memiliki warna hijau tua hingga hijau kekuningan dengan pola yang tidak teratur dan bentuk yang berbeda-beda tergantung dari luasan hutan rakyat tersebut. Adanya perbedaan kenampakan warna hutan rakyat ini dari warna hijau tua hingga hingga kekuningan dipengaruhi oleh banyaknya spesies dan jarak tanam tanaman kayu yang dibudidayakan dalam pengelolaan hutan rakyat. Pada kenampakan warna hijau hingga hijau tua, pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan cenderung dengan membudidayakan lebih dari satu jenis tanaman kayu seperti mahoni, sengon dan kelapa di suatu lokasi, dan jarak tanam yang digunakan cukup rapat. Sedangkan pada kenampakan warna hijau hingga hijau kekuningan (Gambar 5a), pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan cenderung dengan membudidayakan tanaman kayu secara monokultur di suatu lokasi. Dalam penelitian ini, kelas hutan rakyat yang banyak teridentifikasi adalah hutan rakyat campuran dengan membudidayakan dua atau lebih tanaman kayu dan tanaman

pertanian dengan kenampakan warna hijau hingga hijau tua (Gambar 5b).

(a) (b) Keterangan: skala 1 : 5000

Gambar 5 Kenampakan citra Landsat pada hutan rakyat monokultur (a) dan campuran (b)

(37)

dekat perkampungan sehingga dengan karakter citra Landsat yang memiliki resolusi spasial sebesar 30 m, untuk ketelitian hasil analisis visual perlu dilakukan pembuatan titik-titik ground check lapangan yang jumlahnya mewakili dari jumlah keseluruhan objek yang teridentifikasi hutan rakyat dan posisi titik-titik ground check lapangan yang sifatnya menyebar.

(a) (b) Keterangan: skala 1 : 2500

Gambar 6 Kenampakan citra Landsat pada kelas hutan tanaman (a) dan kebun campuran (b)

Hutan tanaman (Gambar 6a) memiliki tampilan warna hijau bercampur warna coklat dan merah yang dipengaruhi oleh jenis tanaman yang dibudidayakan adalah tanaman Jati (Tectona grandis). Tanaman Jati hidup di daerah kering dan mempunyai tutupan daun yang tidak rapat sehingga mempengaruhi terhadap tampilan rona dan warna pada citra. Kebun campuran (Gambar 6b) mempunyai tampilan warna hijau tua dengan tekstur kasar yang dipengaruhi oleh komposisi jenis yang beragam dan

(38)

(a) (b) Keterangan: skala 1 : 2500

Gambar 7 Kenampakan citra Landsat pada kelas lahan terbuka (a) dan pemukiman (b)

Hasil analisis visual citra Landsat pada kelas pemukiman (Gambar 7b) dan lahan terbuka (Gambar 7a) umunya memiliki warna kombinasi pink, merah, dan merah tua. Pada kelas pemukiman dan lahan terbuka sulit dilakukan identifikasi

karena memiliki kombinasi tampilan warna yang cukup sama. Pemukiman biasanya memiliki jaringan jalan yang tinggi sehingga jaringan jalan pada poligon pemukiman

lebih rapat dan teratur dibandingkan dengan yang lainnya.

(a) (b) Keterangan: skala 1 : 2500

Gambar 8 Kenampakan citra Landsat pada kelas sawah berair (a) dan sawah bervegetasi (b)

Pada kelas tutupan sawah cenderung lebih mudah dibedakan dengan kelas

(39)

warna biru dengan tone gelap dan tekstur halus, sedangkan pada sawah dengan fase sawah bervegetasi (Gambar 8b) memiliki tekstur halus dengan tampilan warna hijau kecoklatan. Pada analisis visual citra landsat di kelas ini memiliki kesulitan dalam membedakan antara sawah irigasi dan sawah tadah hujan. hal ini dikarenakan adanya kesamaan elemen intrepetasi yaitu berwarna biru pada sawah di fase berair dan ditanami dan hijau kecoklatan pada fase bervegetasi.

(a) (b) Keterangan: skala 1 : 2500

(40)

(a) (b) Keterangan: skala 1 : 2500

Gambar 10 Kenampakan citra Landsat pada kelas pertanian lahan kering (a) dan semak belukar (b)

Pada kelas pertanian lahan kering (Gambar 10a) memiliki tampilam kombinasi warna pink, merah, hijau, dan kuning. Kelas pertanian lahan kering dan pemukiman memiliki kesulitan dalam membedakan kedua kelas tersebut. Hal ini dikarenakan kelas pertanian lahan kering biasanya terdapat disekitar kelas pumukiman. Kelas semak belukar (gambar 10b) memiliki kombinasi tampilan warna hijau muda dan hijau tua. Adanya kombinasi warna tersebut dikarenakan beragam kombinasi jenis tanaman semak.

(41)

Gambar 11 Peta tutupan lahan Kecamatan Cikalong tahun 1994

(42)

Gambar 13 Peta tutupan lahan Kecamatan Cikalong tahun 2005

(43)

5.3 Analisis Separabilitas

Analisis separabilitas dilakukan untuk mengukur keterpisahan tiap kelas dengan melihat perbedaan digital number (DN) di setiap piksel pada masing-masing kelas tutupan lahan. Analisis ini dilakukan pada klasifikasi citra Landsat tahun 2000 dan tahun 1994. Metode yang digunakan dalam analisis ini adalah metode klasifikasi terbimbing (supervised classification). Pada proses separabilitas, metode yang dipilih yaitu transformed divergence karena metode ini baik dalam mengevaluasi keterpisahan antar kelas dan memberikan estimasi yang terbaik untuk pemisahan kelas (Jaya 2010).

Metode ini juga dapat mengukur tingkat keterpisahan tiap kelas dengan mengukur jarak antar kelas secara statistik. Semakin besar jarak antar satu kelas dengan kelas yang lain maka kelas-kelas yang diambil cukup homogen sehingga ragamnya kecil. Kombinasi band yang dipilih dalam klasifikasi ini mengacu pada komposit warna standart Departemen Kehutanan dengan kombinasi band 5-4-3 dengan warna berturut-turut red, green, blue.

Dari tabel 12 diatas menunjukkan bahwa klasifikasi citra Landsat tahun 1994

memiliki rata-rata tingkat keterpisahan sebesar 1957. Dari 66 pasangan klasifikasi tutupan lahan yang diuji, sebanyak 40 pasang mempunyai separabilitas yang sangat baik, 19 pasang mempunyai separabilitas baik, 1 pasang mempunyai separabilitas

cukup, 3 pasang mempunyai separabilitas kurang, 3 pasang mempunyai separabilitas tidak terpisahkan. Pasangan yang tidak dapat dipisahkan yaitu kelas rawa semak dengan kelas sawah dengan nilai separabilitas 1095, kelas pemukiman dengan kelas hutan rakyat dengan nilai separabilitas 1584, dan kelas lahan terbuka dengan kelas hutan rakyat dengan nilai separabilitas 1593.

(44)

kelas pemukiman yaitu kombinasi warna hijau muda dan merah. Hal ini dikarenakan beberapa pengelolaan hutan rakyat dilakukan dengan sistem pekarangan sehingga pada beberapa titik penampakan visual kelas hutan rakyat menyerupai kelas pemukiman. Pada kelas hutan rakyat yang telah dilakukan penebangan dan hutan rakyat yang baru dilakukan penanaman pasca tebangan (replanting) mempunyai penampakan rona warna yang menyerupai kelas lahan terbuka yaitu warna hijau muda dan merah muda (pink). Nilai separabilitas selengkapnya disajikan pada Tabel 11 untuk tahun 1994 dan Tabel 12 untuk tahun 2000.

Tabel 11 Matrik keterpisahan tiap kelas pada citra Landsat tahun 1994

Kelas

Sumber : Data hasil analisis akurasi klasifikasi citra Landsat tahun 1994

(45)

adanya kesamaan rona warna kedua kelas tersebut pada kelas hutan rakyat yang dikelola dengan sistem agroforestry antara tanaman sengon dengan tanaman pertanian. Selain itu, kelas pertanian lahan kering dengan kelas hutan tanaman juga tidak dapat dipisahkan dengan nilai separabilitas 1593. Nilai ini didapatkan karena kelas hutan tanaman di lokasi penelitian dikelola dengan melakukan budidaya tanaman Jati yang memiliki penampakan visual menyerupai kelas pertanian lahan yaitu kombinasi hijau muda, kuning, dan merah muda (pink).

Tabel 12 Matrik keterpisahan tiap kelas pada citra Landsat tahun 2000

Kelas

Sumber : Data hasil analisis akurasi klasifikasi citra Landsat tahun 2000

5.4 Perhitungan Uji Akurasi Hasil Klasifikasi

(46)

pada tahun yang sama dengan tahun perekaman citra yang diklasifikasi. Data acuan yang digunakan untuk menguji akurasi citra pada tahun yang lampau dapat juga menggunakan data tahun ini, namun nilai hasil klasifikasi yang dihasilkan akan cenderung kurang akurat karena adanya perbedaan tahun tersebut memiliki kemungkinan terjadinya perubahan tutupan lahan sebenarnya di lapangan sehingga nilai penghitungan akurasi pembuat (producer’s accuracy), akurasi pengguna (user’s accuracy), akurasi umum (overall accuracy), dan akurasi kappa yang dihasilkan menjadi kurang akurat.

Dalam pengujian hasil akurasi pada citra tahun perekaman tahun 1994, 2000, 2005, 2010 dilakukan dengan menggunakan data acuan titik-titik ground check lapangan tahun 2012. Hasil uji akurasi selengkapnya disajikan pada Tabel 13.

Tabel 13 Matrik kesalahan hasil klasifikasi citra Landsat tahun 1994, 2000, 2005, dan 2010

Tahun Akurasi

Kappa (%) Overall (%) User (%) Producer (%)

1994 89,03 90,32 90,93 84,45

2000 89,6 90,44 91,88 85,86

2005 93,03 95,45 92,62 97,39

2010 97,21 98,18 96,66 97,85

Sumber : Analisis akurasi citra Landsat tahun perekaman 1994, 2000, 2005, 2010

Berdasarkan Tabel 13, pada uji akurasi citra Landsat tahun 1994, nilai akurasi pembuat (producer’s accuracy) terbesar terdapat pada 3 kelas yaitu kelas badan air, awan, dan bayangan awan. Pada kelas tersebut diperoleh nilai akurasi pembuat (producer’s accuracy) sebesar 100 %. Sedangkan untuk nilai yang terkecil terdapat pada kelas lahan terbuka, yaitu sebesar 33,33 %. Hal ini dikarenakan adanya piksel kelas lain yang masuk kelas lahan terbuka, yaitu 1 piksel kelas pertanian lahan kering dan 11 piksel kelas hutan tanaman.

(47)

terdapat 2 piksel pada kelas pertanian lahan kering, 4 piksel pada kelas pemukiman, dan 3 piksel pada kelas sawah. Untuk keterangan yang lebih lengkap terdapat pada lampiran 1, sedangkan untuk melihat keakuratan dari hasil klasifikasi, diperoleh nilai overall accuracy yang diperoleh sebesar 90,32 % dengan tingkat kesalahan klasifikasi 9,68 % dan diperoleh nilai akurasi kappa sebesar 89,03 % dengan tingkat kesalahan akurasi sebesar 10,97 %.

Berdasarkan Tabel 13, diperoleh nilai akurasi kappa sebesar 87,6 % pada citra tahun 2000. Nilai ini dapat menunjukkkan bahwa tingginya nilai keakuratan klasifikasi yang dilakukan karena tingkat kesalahan dari klasifikasi adalah sebesar 12,4 %. Sedangkan nilai overall accuracy yang diperoleh sebesar 89,14 % dengan tingkat kesalahan klasifikasi 10,86 %. Kelas lahan terbuka mempunyai nilai akurasi pembuat (producer’s accuracy) terkecil yaitu sebesar 60 %. hal ini disebabkan karena adanya sejumlah piksel dari kelas lain yang masuk ke dalam kelas lahan terbuka, yaitu 1 piksel dari kelas hutan tanaman dan 3 piksel dari kelas pertanian lahan kering. Sedangkan kelas pemukiman mempunyai nilai akurasi pembuat (producer’s accuracy) terbesar yaitu sebesar 95,52 %. nilai ini menunjukkan bahwa terjadi kesalahan klasifikasi sebesar 4,48 %.

Pada klasifikasi ini, nilai akurasi pengguna (user’s accuracy) terbesar yang didapatkan terdapat pada kelas badan air yaitu sebesar 100 %. Sedangkan untuk nilai

terkecil terdapat pada kelas pertanian lahan kering yaitu sebesar 70 %. hal ini dikarenakan adanya piksel kelas pertanian lahan kering yang masuk ke kelas lain seperti pada kelas lahan terbuka sebanyak 3 piksel, kelas semak belukar sebanyak 1 piksel, kelas hutan tanaman sebanyak 6 piksel, dan kelas hutan rakyat sebanyak 5 piksel. Untuk keterangan lebih lengkap terdapat pada lampiran 2.

(48)

juga terjadi pada kelas hutan rakyat yang memiliki nilai akurasi pembuat (producer’s accuracy) sebesar 93,85 %. Dari total 65 titik pengamatan ground check lapangan, terdapat dua titik pengamatan yang masuk ke dalam kelas kebun campuran.

Dalam penghitungan nilai akurasi pengguna (user’s accuracy), kelas kebun campuran dan kelas semak belukar memiliki nilai terkecil, yaitu sebesar 71,43 %. Sedangkan kelas pemukiman memilki nilai akurasi pengguna (user’s accuracy) sebesar 83,33 %. Adanya kesalahan klasifikasi yang terlihat nilai yang dihasilkan dari penghitungan diakibatkan oleh adanya kesamaan penampakan visual dari beberapa objek yang diamati seperti kelas pemukiman dengan kelas lahan terbuka. Sedangkan untuk kelas-kelas yang lain seperti kelas badan air, hutan tanaman, lahan terbuka, hutan rakyat, pertanian lahan kering, rawa semak, dan sawah memiliki nilai akurasi pengguna (user’s accuracy) sebesar 100 %. Untuk keterangan lebih lengkap terdapat pada lampiran 3. Nilai overall accuracy yang didapatkan pada uji akurasi citra ini adalah sebesar 95,45 % dengan nilai kesalahan klasifikasi sebesar 4,15 % dan nilai akurasi kappa sebesar 93,03 % dengan nilai kesalahan klasifikasi sebesar 7,97 %.

Pada citra Landsat tahun perekaman 2010 diperoleh nilai akurasi kappa sebesar

97,21 %. Nilai ini dapat menunjukkkan bahwa tingginya nilai keakuratan klasifikasi yang dilakukan karena tingkat kesalahan dari klasifikasi yang dilakukan hanya sebesar 2,79 %. Nilai overall accuracy diperoleh sebesar 98,18 % dengan tingkat kesalahan klasifikasi 1,82 %. Terjadinya kesalahan klasifikasi pada citra diakibatkan oleh adanya commission error atau akurasi pengguna (user’s accuracy) akibat adanya area yang diklasifikasi pada kelas yang salah dan omission error atau akurasi pembuat (producer’s accuracy) akibat adanya area yang tidak diklasifikasi pada kelas yang benar. Tingginya nilai akurasi didapatkan dikarenakan hasil analisis visual yang dihasilkan dilakukan koreksi terlebih dahulu dengan bantuan software google earth pada citra GeoEye dengan tahun 2010.

(49)

saat melakukan analisis visual citra. Sedangkan untuk kelas yang lain memiliki nilai akurasi pengguna (user’s accuracy) sebesar 100 %. Sedangkan untuk nilai akurasi pembuat (producer’s accuracy), Kelas lahan terbuka memiliki nilai akurasi pembuat (producer’s accuracy) paling kecil yaitu sebesar 80 %. Adanya kesalahan tersebut karena adanya kesamaan penampakan visual citra antara kelas lahan terbuka dan kelas pemukiman sehingga menyulitkan dalam melakukan analisis visual. Dari total lima titik pengamatan ground check lapangan pada kelas lahan terbuka, terdapat satu titik yang masuk kedalam kelas pemukiman.

Adanya kesalahan akurasi juga terjadi pada kelas hutan rakyat. Kelas hutan rakyat mempunyai nilai akurasi pembuat (producer’s accuracy) sebesar 98,46 %. Adanya kesamaan penampakan visual antara kelas hutan rakyat dan kelas semak belukar menyebabkan terjadinya kesalahan klasifikasi sebesar 1,54 %. Dari total 65 titik pengamatan ground check lapangan, ada satu titik pengamatan yang masuk dalam kelas semak belukar. Untuk nilai kelas-kelas yang lain mempunyai nilai akurasi pembuat (producer’s accuracy) sebesar 100 %. Untuk keterangan lebih lengkapnya terdapat pada lampiran 4.

5.5 Analisis Perubahan Luas Hutan Rakyat Tahun 1994-2010

Dalam analisis perubahan luas hutan rakyat, metode perbandingan citra hasil klasifikasi (post classification comparasion) digunakan untuk menganalisis areal yang berubah (changed), arel yang tetap (no change), dan areal yang tidak dapat

dianalisis (no data). Areal yang berubah adalah setiap piksel pada kedua citra klasifikasi dengan lokasi yang sama tetapi memiliki perbedaan atribut klasifikasi. Areal yang tidak berubah adalah piksel dengan lokasi dan atribut klasifikasi yang sama pada kedua citra klasifikasi. Sedangkan areal yang tidak dapat dianalisis adalah areal yang tidak mempunyai informasi penutupan lahan, yaitu daerah yang tertutup awan, bayangan awan, dan null cell (Kosasih 2002).

(50)

tahun 1994 – 2010 menunjukkan bahwa hutan rakyat terus mengalami pertumbuhan luasan dengan berbagai faktor yang mempengaruhi seperti adanya kepastian lahan, kepastian pasar, adanya kelembagaan dalam petani hutan rakyat, dll.

Gambar 15 Perkembangan luas hutan rakyat dari tahun 1994 - 2010

Pada Gambar 15 menunjukkan bahwa periode tahun 1994 – 2000 terjadi dinamika perubahan luasan hutan rakyat. Luas hutan rakyat yang pada awalnya di tahun 1994 memiliki total luasan sebesar 4282,45 ha mengalami perkembangan luasan sebesar 6501,61 ha pada tahun 2000. Adanya penambahan luasan sebesar 2219,16 ha diakibatkan oleh adanya alih fungsi pengelolaan lahan oleh masyarakat terutama perubahan dari kelas kebun campuran dan pertanian lahan kering. Pada periode ini, total 1355,45 ha lahan kebun campuran dan 584,81 ha kelas pertanian lahan kering berubah menjadi kelas hutan rakyat. Perubahan tutupan lahan periode 1994 – 2000 selengkapnya terdapat pada Tabel 14 dan sebaran spasial tahun 1994-2000 dapat dilihat pada Gambar 16. Pada umumnya perubahan kelas tutupan lahan menjadi kelas hutan rakyat di periode ini diakibatkan oleh adanya success story dari masyarakat sekitar dalam melakukan pengelolaan lahan dengan hutan rakyat.

Pada analisis perubahan luas lahan hutan rakyat periode tahun 2000 - 2005, perkembangan luasan hutan rakyat berlangsung sangat cepat. Pada tahun 2000, kelas hutan rakyat yang memiliki total luas sebesar 6501,61 ha mengalami perkembangan

Tahun 1994 Tahun 2000 Tahun 2005 Tahun 2010 4282,45 ha

6501,61 ha

(51)

total luasan sebesar 8077,04 ha pada tahun 2005. Pertambahan luas hutan rakyat yang cukup siginifikan ini diakibatkan oleh semakin besarnya alih fungsi lahan yang dilakukan oleh masyarakat. Kelas kebun campuran dan kelas pertanian lahan kering yang mengalami perubahan luas yang cukup besar. Kelas kebun campuran mengalami perubahan luas sebesar 1565,41 ha dan kelas pertanian lahan kering mengalami perubahan luas sebesar 592,61 ha. Perubahan tutupan lahan periode 2000

– 2005 selengkapnya terdapat pada Tabel 15 dan sebaran spasial tahun 2000 - 2005 dapat dilihat pada Gambar 17.

Pada periode ini akses penjualan kayu rakyat telah sangat mudah dengan semakin bertambahnya jumlah pabrik pengolahan kayu sawmill. Selain itu, masyarakat telah mengetahui keuntungan budidaya tanaman kayu yang telah dibuktikan oleh sebagian masyarakat sekitar yang melakukan alih fungsi lahan yang dimilki. Alih fungsi pengelolaan lahan terjadi tidak hanya dominan pada kelas kebun campuran, namun tersebar cukup merata pada kelas-kelas yang lain, seperti kelas pertanian lahan kering dan sawah. Adanya perubahan kelas sawah menjadi kelas hutan rakyat terjadi pada jenis sawah tadah hujan. Perubahan ini diakibatkan karena

kurangnya intensitas hujan sehingga menyebabkan sawah tidak bisa ditanami padi. hal ini mengakibatkan beberapa petani lebih memilih mengelola lahannya dengan budidaya tanaman kayu fast growing dengan tanaman sengon.

(52)
(53)
(54)
(55)

Gambar 16 Peta perubahan tutupan lahan Kecamatan Cikalong tahun 1994 - 2000

(56)

Gambar 18 Peta perubahan tutupan lahan Kecamatan Cikalong tahun 2005 - 2010

5.6 Praktek Pengelolaan Hutan Rakyat 5.6.1 Tahun 1985 - 1990

Praktek pengelolaan hutan rakyat di Kecamatan Cikalong telah berlangsung sejak sekitar tahun 1985 – 1990 seiring dengan adanya program sengonisasi dari

pemerintah yang bertujuan untuk kegiatan rehabilitasi lahan. Pada masyarakat sekitar, budaya menanam telah ada sejak dahulu. Masyarakat sekitar telah mempunyai kearifan lokal terkait dengan pengolahan lahan untuk optimalisasi fungsi dan manfaat dari lahan tersebut. Hal ini terbukti sebelum adanya program sengonisasi, pada umumnya masyarakat sekitar telah mengolah lahannya dengan tanaman kelapa secara monokultur atau dicampur dengan tanaman buah-buahan. Pada waktu itu, Kecamatan Cikalong adalah pusat penghasil produk kelapa maupun olahannya seperti buah kelapa, kopra, dan gula kelapa di Kabupaten Tasikmalaya. hasil produksi kelapa tersebut dikirim ke daerah – daerah di seluruh Tasikmalaya dan Bandung.

(57)

membudidayakan tanaman sengon dengan keuntungan-keuntungan yang akan diberikan. Untuk mensukseskan program ini, pemerintah membagi-bagikan bibit sengon secara gratis ke masyarakat. Selain itu, adanya kegiatan penyuluhan secara intensif yang dilakukan oleh Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) setempat untuk meyakin kan masyarakat agar membudidayakan sengon sekaligus memberikan arahan dan masukan dalam hal teknis penanaman, perawatan hingga pemanenan.

Pada awal adanya program ini, muncul beberapa keraguan pada masyarakat akan manfaat yang bakal didapatkan dari budidaya tanaman sengon tersebut, yaitu: 1) Adanya keraguan tentang kecepatan pertumbuhan tanaman sengon. hal ini

dikarenakan, pada umumnya masyarakat hanya mengetahui tanaman kayu yang ditanam Perhutani setempat seperti tanaman jati dan mahoni yang memiliki umur panen yang lama atau mempunyai pertumbuhan riap yang kecil.

2) Adanya keraguan terkait dengan adanya akses pasar untuk kayu sengon. Pada waktu itu, masyarakat hanya mengetahui kayu yang laku di pasar adalah kayu dengan sifat keras seperti kayu jati dan kayu mahoni. Pada waktu di Kecamatan Cikalong belum ada pabrik pengolahan kayu sawmill.

3) Adanya keraguan terkait dengan kondisi masyarakat yang telah memanfaatkan lahannya untuk budidaya tanaman kelapa dan tanaman buah-buahan yang memberikan keuntungan finansial yang cukup baik untuk tingkat ekonomi

keluraga masyarakat sekitar.

Untuk meyakinkan masyarakat terkait keraguan-keraguan tersebut, PPL setempat membuat plot contoh (demplot) pada salah satu lahan masyarakat setempat. Dalam plot contoh tersebut, ditanami tanaman sengon secara monokultur dengan jarak tanam 3 m x 3 m dengan menyesuaikan kondisi lahan dalam mengatur jarak tanam sengon, serta ada penjarangan pada umur tertentu. PPL setempat juga menjanjikan adanya akses pasar kayu sengon yang akan disediakan oleh PPL setempat.

5.6.2 Tahun 1990 - 2000

(58)

masyarakat sekitar yang bernama H.Pupud. H. Pupud adalah masyarakat sekitar yang cukup lama merantau di daerah lain sehingga cukup mempunyai pengetahuan lebih diantara masyarakat sekitar tentang pengelolaan tanaman kayu dan peluang bisnis yang bakal didapatkan. Produksi bibit sengon dilakukan dengan membuat persemaian dari benih sengon yang didapatkan dari temannya saat merantau. Jarak tanam yang digunakan adalah 3 m x 3 m dengan adanya penjarangan pada umur tanaman 2 tahun. Adanya ketidakpastian pasar yang diragukan oleh masyarakat dapat dilakukan oleh H.Pupud dengan menjual hasil tanaman kayu tersebut ke pabrik kayu di Kota Tasikmalaya dan Tangerang.

Success story ini menimbulkan pergeseran mind set dari masyarakat sekitar dari yang hanya mengolah lahannya dengan tanaman kelapa, buah-buahan, dan tanaman pertanian lahan kering seperti singkong, semangka, dll, akhirnya sebagian lahan masyarakat diolah dengan budidaya tanaman sengon atau mengolah lahan dengan melakukakan tumpang sari dengan tanaman lain. Kejadian ini menunjukkan bahwa masyarakat akan menerima dan mau mengikuti program dari pemerintah jika program tersebut telah dibuktikan keberhasilannya dari penanaman hingga penjualan

produk yang dihasilkan.

Dengan semakin banyaknya masyarakat yang melakukan budidaya sengon secara monokultur atau tumpang sari, mendorong lahirnya beberapa pabrik sawmill di

daerah sekitar. Pembangunan pabrik sawmill dilakukan pertama kali oleh H.Pupud dan kemudian diikuti oleh masyarakat sekitar. Adanya pabrik sawmill ini dapat memudahkan masyarakat dalam menjual hasil tanaman kayu yang dibudidayakan. Kepastian pasar menjadi salah satu pertimbangan utama bagi masyarakat untuk mencoba membudidayakan sengon. Adanya kepastian akses pasar dan harga yang cukup tinggi dapat meyakinkan masyarakat akan keuntungan budidaya sengon.

(59)

1) Sistem tumpang sari sengon dengan hanya menanam pada ruang-ruang kosong yang masih bisa ditanami diantara tanaman kelapa dan tanaman lain yang disajikan pada Gambar 19. Pada sistem ini, masyarakat tidak mempedulikan aturan jarak tanam yang digunakan. Hal ini mengakibatkan karena kurangnya ruang tumbuh yang cukup untuk sengon sehingga menyebabkan pertumbuhan dari tanaman sengon tidak maksimal. Dalam sistem ini, masyarakat bertujuan melakukan optimalisasi manfaat dari lahan dengan memaksimalkan ruang tanam yang ada.

Gambar 19 Sistem tumpang sari dengan jarak tanam yang tidak teratur

2) Sistem tumpang sari dengan jarak tanam yang teratur. Pada sistem ini masyarakat menanam sengon di sela-sela tanaman kelapa (Gambar 20a) atau tanaman buah-buahan seperti pisang (Gambar 20b). Penggunaan sistem ini sangat

Gambar

Tabel 10  Jenis tutupan lahan hasil pengamatan lapangan
Tabel 10  (lanjutan)
Gambar 7  Kenampakan citra Landsat pada kelas lahan terbuka (a) dan
Gambar 11  Peta tutupan lahan Kecamatan Cikalong tahun 1994
+7

Referensi

Dokumen terkait