• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis konsistensi pola genetik empat generasi manggis (garcinia mangostana l.) berdasarkan marka ISSR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis konsistensi pola genetik empat generasi manggis (garcinia mangostana l.) berdasarkan marka ISSR"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

Four Generations of Mangosteen (Garcinia mangostana L.) Based on ISSR Marker. Under direction of SOBIR and DARDA EFENDI.

Mangosteen reproduces trough apomixes mechanism, from which the seed develops without fertilization. Mangosteen is an obligate apomicts and it is believed that all of its progenies may have the same genotype as their mother plant. However it was found that genetic variations occurred among mangosteen accessions. This research is aimed to study pattern of morphology variations, genetic consistency among generations and genetic variations in single plant. The study was carried out at Center for Tropical Fruit Studies (PKBT) during February – September 2009. The plant materials used four generations (P1, P2, P3, and P4) of mangosteen were taken from Wanayasa, Purwakarta according to tree height and sector (north, east, west, and west). There are three analysis: morphology, molecular by ISSR, and data. Genetic observations were conducted by using Inter Simple Sequence Repeat (ISSR) technique. Ten primers were used to amplify the genomic DNA of mangosteen. The levels of polymorphism as revealed ISSR were 70.21%. It was found that genetic and morphology variations occurred among tree of different age. Morphology variations was bigger than genetic variations among mother plant. Genetic variation also was occurred within single plant, among progenies, and between progeni and mother plant. This information may be useful to determine of optimum age of mangosteen for becoming mother plant.

Keyword: Wanayasa mangosteen, apomixes, morphological, genetic consistence, genetic variation, ISSR

(2)

BERDASARKAN MARKA ISSR

SITI NOORROHMAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

Four Generations of Mangosteen (Garcinia mangostana L.) Based on ISSR Marker. Under direction of SOBIR and DARDA EFENDI.

Mangosteen reproduces trough apomixes mechanism, from which the seed develops without fertilization. Mangosteen is an obligate apomicts and it is believed that all of its progenies may have the same genotype as their mother plant. However it was found that genetic variations occurred among mangosteen accessions. This research is aimed to study pattern of morphology variations, genetic consistency among generations and genetic variations in single plant. The study was carried out at Center for Tropical Fruit Studies (PKBT) during February – September 2009. The plant materials used four generations (P1, P2, P3, and P4) of mangosteen were taken from Wanayasa, Purwakarta according to tree height and sector (north, east, west, and west). There are three analysis: morphology, molecular by ISSR, and data. Genetic observations were conducted by using Inter Simple Sequence Repeat (ISSR) technique. Ten primers were used to amplify the genomic DNA of mangosteen. The levels of polymorphism as revealed ISSR were 70.21%. It was found that genetic and morphology variations occurred among tree of different age. Morphology variations was bigger than genetic variations among mother plant. Genetic variation also was occurred within single plant, among progenies, and between progeni and mother plant. This information may be useful to determine of optimum age of mangosteen for becoming mother plant.

Keyword: Wanayasa mangosteen, apomixes, morphological, genetic consistence, genetic variation, ISSR

(4)

SITI NOORROHMAH. Analisis Konsistensi Pola Genetik Empat Generasi Manggis (Garcinia mangostana L.) Berdasarkan Marka ISSR. Dibimbing oleh SOBIR dan DARDA EFENDI.

Manggis merupakan tanaman asli Indonesia yang memiliki sifat apomiksis. Pada tanaman apomiksis, biji yang terbentuk bukan merupakan hasil fertilisasi melainkan berasal dari embrio adventifnya sehingga progeni yang dihasilkan akan memiliki konstitusi genetik yang sama dengan induknya. Namun pada kenyataannya di lapang terdapat keragaman baik secara fenotipe maupun genotipe pada manggis. Studi keragaman genetik pada tanaman manggis dalam penelitian ini dilakukan melalui dua pendekatan yaitu analisis keragaman morfologi dan analisis molekuler. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman mofologi antar generasi, konsistensi dan keragaman genetik antar generasi, dan keragaman genetik dalam satu pohon.

(5)

PKBT 7, PKBT 9, PKBT 11, ISSRED 14, dan ISSRED 18. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan program NTSYS 2.01.

Berdasarkan penanda molekuler terdapat keragaman genetik dalam satu pohon, antar progeni, dan antara pohon induk dengan progeni. Keragaman morfologi pada pohon manggis induk lebih besar daripada keragaman genetik. Keragaman genetik dan morfologi terdapat pada pohon manggis yang berbeda umur. Pohon manggis induk yang memiliki umur lebih tua cenderung lebih beragam. Perubahan pola genetik disebabkan oleh perbedaan umur pohon. Perbedaan umur antar progeni menyebabkan perbedaan pola kemiripan genetik antara pohon induk dengan progeninya

(6)

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manggis (G. mangostana L.) yang dikenal sebagai Queen of Tropical Fruit (Popenoe 1974). Menurut Nakasone dan Paull (1999) manggis termasuk dalam famili Guttiferae yang berasal dari Asia Tenggara khususnya Indonesia, Thailand, dan Malaysia. Manggis merupakan hasil persilangan antara

G. hombroniana dan G. Malaccensis termasuk tanaman dioecious, akan tetapi keberadaan pohon jantan dan fungsinya masih dalam perdebatan (Richards 1990). Benangsari yang terdapat dalam bunga betina menurut Lim (1984) adalah steril dan biji terbentuk secara apomiksis dari embrio adventif (Specher 1919).

Apomiksis terjadi pada sel telur dimana progeni yang dihasilkan sama persis dengan induk betina. Hal ini disebabkan ketidaksempurnaan proses fertilasasi untuk menghasilkan embrio (Asker dan Jerling 1992, Koltunow 1993, Naumova 1993). Embrio dari tanaman apomiksis terbentuk dari biji melalui tahap yang berbeda yaitu secara sporofitik dan gametofitik. Manggis bersifat apomiksis obligat, biji bukan berasal dari fertilisasi dan diduga manggis mempunyai keragaman genetik sempit, sehingga diperkirakan manggis di alam hanya satu klon dan sifatnya sama dengan induknya (Verheij 1992, Richards 1990, Horn 1940). Akan tetapi kenyataan di lapang menunjukkan adanya keanekaragaman tanaman manggis (Ramage et al. 2004, Mansyah et al. 2008).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa populasi dari tanaman apomiksis tidak selalu memiliki peluang genetik yang sama bahkan dari tanaman apomiksis obligat contohnya Taraxacum (Asker dan Jerling 1992). Hasil penelitian Mansyah

(7)

dalam awal pembentukan manggis atau kemungkinan bisa diduga dalam satu tanaman manggis tersebut memang sudah beragam. Menurut Richards (1997), keragaman yang terjadi pada tanaman apomiksis disebabkan mutasi pada DNA, gagal berpisah dalam sitologi, rekombinasi somatik, mutasi kromosomal yang disebabkan atas perubahan pada material genom terkait dengan proses apomiksis.

Analisis keragaman tanaman secara umum dapat didekati dari morfologi dan molekuler. Penanda morfologi merupakan wujud nyata dari keragaman fenotipik. Namun demikian, penanda morfologi memiliki keterbatasan yaitu hanya mampu membedakan keragaman fenotipiknya yang sebenarnya merupakan faktor interaksi GxE (genetik x lingkungan), sementara potensi genetik (G) tidak mampu dideteksi secara baik. Studi keragaman genetik pada tanaman apomiksis dilakukan melalui dua pendekatan yaitu analisis tetua dengan progeninya dan analisis molekuler (Koltunow 1993). Tanaman manggis memiliki masa juvenil yang lama. Analisis progeni sulit untuk dilakukan sehingga analisis molekuler dijadikan sebagai alat alternatif untuk studi keragaman genetik manggis. Terdapat berbagai penanda DNA yang dapat digunakan untuk membedakan keragaman secara lebih akurat. Penanda DNA berbasis Polymerase Chain Reaction (PCR) menjadi teknologi pilihan karena menjanjikan efisiensi dan kepastian/akurasi dalam identifikasi. Contoh penanda DNA adalah: RAPD (Random Amplified

Polymorphic DNA), AFLP (Amplified Fragment Length Polymorphism), SSR

(Simple Sequence Repeats), ISSR (Inter Simple Sequence Repeats), RAF

(Randomly Amplified DNA Fingerprinting).

Penanda DNA yang memiliki tingkat akurasi cukup tinggi salah satunya adalah InterSimple Sequence Repeats (ISSR). Keunggulan dari penggunaan ISSR seperti mudah digunakan, cepat, murah, lebih polimorfisme jika dibandingkan dengan RAPD (Lenham dan Brennan 1999). Rata-rata polimorfisme per primer untuk ISSR 6.5 lebih tinggi jika dibandingkan dengan RAPD hanya sebesar 2.0. Selain itu ISSR lebih reliable jika dibandingkan penanda RAPD (Qian et al.

(8)

(Narayanan et al. 2007). Penanda ISSR juga diketahui telah dapat memetakan peta keterpautan genetik pada tanaman Catharanthus roseus (Gupta et al. 2007).

Berdasarkan uraian di atas, keragaman tanaman manggis masih dipertanyakan dan membutuhkan pengkajian lebih lanjut. Selain itu perlu ditelusuri dan diungkap lebih mendalam konsistensi pola genetik tanaman manggis antar generasi dan keragaman genetik dalam satu pohon.

1.2 Kerangka Pemikiran

Manggis bersifat apomiksis obligat, biji bukan berasal dari fertilisasi dan diduga mempunyai keragaman genetik sempit (Gambar 1). Manggis di alam diperkirakan hanya satu klon dan sifatnya sama dengan induknya (Cox 1996, Verheij 1992, Richards 1990, Horn 1940). Kenyataan di lapang menunjukkan adanya keragaman tanaman manggis (Ramage et al. 2004 dan Mansyah et al.

2008). Hasil penelitian tersebut diperkuat dengan penggunaan marka molekuler seperti RAPD, AFLP, dan RAF (Ramage et al. 2004, Mansyah et al. 2008, Sinaga 2008).

Sifat Tanaman Manggis Apomiksis Obligat

Seragam (teori) Beragam (empiris)

Keragaman genetik dalam satu pohon

Konsistensi dan keragaman genetik antar generasi

Analisis keragaman genetik satu pohon

Morfologi dan ISSR

Kajian keragaman dan konsistensi genetik Analisis keragaman antar

generasi

(9)

1.3 Tujuan Penelitian

1. Mengetahui keragaman morfologi antar generasi.

2. Mengetahui konsistensi dan keragaman genetik antar generasi. 3. Mengetahui keragaman genetik dalam satu pohon.

1.4 Bagan Alir Penelitian

Berdasarkan tujuan dan ruang lingkup penelitian disusun bagan alir penelitian. Bagan alir penelitian menunjukkan keterkaitan antar topik penelitian (Gambar 2).

Pengambilan sampel berdasarkan ketinggian tanaman dan sektor (utara, timur, selatan, barat)

Analisis morfologi Analisis molekuler

Keragaman morfologi antar generasi

(P1=P2=P3)

Konsistensi dan keragaman genetik antar

generasi - P1vsP2/P2' - P2vsP3/P3'

Keragaman genetik dalam satu pohon . P1-UTSB-1/2 . P2-UTSB-1/2 . P3-UTSB-1/2

Kajian keragaman dan konsistensi genetik Sampel daun dan buah dari pohon induk

P1, P2, P3

(10)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Botani Manggis (Garcinia mangostana L.)

Tanaman manggis (Garcinia mangostana L.) termasuk famili Guttiferae, merupakan tanaman yang berasal dari Asia Tenggra (Nakasone dan Paull 1999). Terdapat 400 spesies dari genus Garcinia, 40 spesies diantaranya dapat dimakan dan 6 spesies diambil buahnya (Cox 1988). Manggis memiliki jumlah kromosom 2n=4x=90, di duga allotetraploid, menurut Richards (1990) merupakan hasil persilangan dari G. hombroniana ( 2n=2x=48) dan G. malaccensis (2n=2x=42).

Tinggi tanaman manggis dapat mencapai 25 m dengan bentuk tajuk bervariasi dari bulat selindris hingga kerucut. Lebar tajuk merentang hingga 12 m. Diameter batang pohon dewasa dapat mencapai 60 cm dengan percabangan ke semua arah. Daunnya tunggal dan berpasangan di sisi ranting. Bentuk daun bulat panjang dengan ukuran panjang 13-26 cm dan lebar 6-12 cm. Helai daun kaku dan tebal memiliki tulang daun yang menonjol. Daun muda yang baru tumbuh berwarna coklat kemerahan, kemudian sesuai dengan umur pertumbuhannya berubah menjadi coklat kehijauan, hijau muda, lalu hijau tua (Tirtawinata et al.

2000).

Manggis termasuk tanaman berumah dua (dioecious), yang ditemui hanya bunga betina sedangkan bunga jantannya mengalami rudimenter (Steenis 1975, Cox 1988, Richards 1990). Bunga manggis terletak di ujung ranting, memiliki tangkai bunga yang pendek dan tebal. Kelopak bunga dan mahkota masing-masing berjumlah empat, berwarna merah kekuningan disebelah dalam dan diluar berwarna hijau kemerahan. Kelopak bertahan pada dasar buah dan pada bagian ujungnya terdapat putik bunga yang jumlahnya merupakan jumlah segmen dari dalam buahnya. Bakal biji berjumlah 4 sampai 8 buah sesuai dengan banyaknya sel telur (Steenis 1975, Rismunandar 1986, Verheij 1991).

(11)

Biji manggis bersifat poliembrioni dan nutrisi ntuk perkembangan embrionya didukung oleh nusellus dan inti endosperm. Sekitar 10% dari biji yang berkecambah akan menumbuhkan lebih dari satu tunas dan masing-masing tunas akan tumbuh pada posisi yang berlainan dan masing-masing membawa perakarannya sendiri.

2.2 Apomiksis Tanaman Manggis

Apomiksis merupakan perbanyakan aseksual melalui biji dimana biji terbentuk bukan merupakan hasil fertilisasi. Biji dari tanaman apomiksis apabila tidak mengalami mutasi mengandung embrio yang mempunyai konstitusi genetik yang sama dengan induknya. Pada tanaman apomiksis, gen untuk reproduksi seksual tidak berekspresi. Pada apomiksis fakultatif, sel nuselar tertentu mengalami reproduksi seksual, sel nuselar lain mengalami reproduksi aseksual sedangkan pada apomiksis obligat kejadian seksual dihambat (Koltunow 1993).

Reproduksi apomiksis terdiri atas diplospory, apospory, dan adventitious embriony. Diplospory adalah pembentukan kantong embrio tidak tereduksi dari

megaspore mother cell tanpa meiosis, sel telur berkembang secara partenogenetik

menjadi embrio atau sel lain dari kantung embrio dipecah dan berkembang menjadi embrio. Apospory merupakan mekanisme dimana kantung embrio tidak tereduksi muncul dari sel somatik pada nusellus atau integumen. Pada

adventitious embriony , embrio terbentuk dari sel nusellus atau integumen dengan inti diploid dan tidak melalui generasi gametofit (Ramulu et al. 1995).

(12)

Garcinia dicirikan oleh pembentukan biji tanpa pengaruh organ jantan, pembentukan embrio yang berjalan cepat sebelum terjadinya anthesis, terbentuknya proembrio adventitious dari nucellar atau integumen, terbentuknya beberapa kecambah dari satu biji atau jarang/tidak diperoleh tanaman jantan (den Nijs dan van Dijk 1993). Tanaman manggis termasuk apomiksis obligat, sehingga perbaikan genetik tidak dapat dilakukan dengan persilangan (Lim 1984, Richards 1990, Asker dan Jerling 1992).

2.3 Keragaman Manggis

Selama ini diketahui bahwa tanaman manggis memiliki keragaman genetik sempit karena mempunyai mekanisme reproduksi secara apomiksis (Horn 1940, Cox 1976, Verheij 1991). Manggis menurut Richards (1990) dikategorikan sebagai agamospermy obligat dengan reproduksi melalui sel adventif proembrio jaringan ovular. Menurut Koltunow (1993), biji fertil yang dihasilkan dari reproduksi apomiktik mengandung embrio dengan konstitusi genetik yang sama dengan tetua betina, apabila tidak mengalami mutasi. Pada reproduksi apomiksis, biji terbentuk tanpa reduksi jumlah kromosom dan fertilisasi sehingga keturunannya akan identik dengan induknya (den Nijs dan van Dijk 1993).

Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa manggis memiliki variasi baik secara morfologi maupun genetik. Berdasarkan pengamatan Mansyah et al.

(2002) pada populasi manggis di Sumatera Barat menunjukkan adanya variasi morfologi seperti panjang daun, bobot buah, tebal kulit buah, total padatan terlarut (TPT). Penelitian Mansyah et al. (2002) tersebut diperkuat oleh penelitian menggunakan RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) menunjukkan bahwa adanya variasi genetik berdasarkan hasil analisis RAPD menurut Mansyah

(13)

2.4 Analisis Keragaman

Keragaman tanaman secara umum dapat didekati dari morfologi dan molekuler. Penanda morfologi merupakan wujud nyata dari keragaman fenotipik. Namun penanda ini memiliki kelemahan karena dapat dipengaruhi oleh lingkungan. Pedoman yang digunakan untuk analisis morfologi pada manggis yaitu berdasarkan deskriptor manggis yang dikeluarkan oleh IPGRI 2003. Keterbatasan penanda morfologi adalah hanya mampu membedakan keragaman secara fenotipik untuk itu diperlukan penanda lainnya yang diharapkan memberikan hasil yang lebih akurat. Penanda molekuler langsung berintegrasi dengan genetik dan menggambarkan keadaan genom yang sesungguhnya. Dasar dari penanda ini adalah polimorfisme protein atau DNA. Terdapat berbagai penanda DNA yang telah digunakan untuk analisis keragaman manggis seperti RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA), AFLP (Amplified Fragment Length Polymorphism), SSR (Simple Sequence Repeats), ISSR (Inter Simple

Sequence Repeats), RAF (Randomly Amplified DNA Fingerprinting), dan analisis

isoenzim. Menurut Tanskley (1983) penanda molekuler dapat mendeteksi variasi genetik pada tingkat jaringan atau seluler dan polimorfismenya tidak dipengaruhi oleh lingkungan.

2.4.1 Penanda RAPD

(14)

2.4.2 Penanda SSR

Teknik SSR digunakan sebagai penanda karena mudah dan relatif murah (pada tahapan setelah ditemukan primer spesifiknya), keberadaannya melimpah dan tersebar di seluruh genom tanaman, dan dengan sampel dalam jumlah sedikit, mencukupi untuk amplifikasi dengan PCR (Ribaut et al. 2002). Salah satu teknik yang memanfaatkan mikrosatelit adalah Sequence-tagged microsatellite sites (STMSs) atau sequence-tagged sites (STS) (Puspendra et al. 2002). Keuntungan STMSs adalah menggunakan sepasang primer yang sudah didisain khusus untuk masing-masing spesies dan penanda ini bersifat ko-dominan (Puspendra et al.

2002, Hiu liu 1998). Penanda STMS memungkinkan mendapat derajat polimorfisme dan variasi yang tinggi karena sekuen DNA mikrosatelit dapat mengandung urutan basa dengan panjang berbeda-beda pada genom populasi. Bentuk berulangnya yang umum adalah dinukleotida. Frekuensinya cukup tinggi dalam genom dan lebih mudah dideteksi dibandingkan mikrosatelit dengan tri- dan tetranukleotida (Hiu Liu 1998, Scotti et al. 2002). Variasi dapat terjadi dalam ukuran panjang mikrosatelit pada lokus-lokus individu yang spesifik, sehingga penanda ini berpeluang polialelik pada individu dengan tingkat mutasi tinggi atau menyerbuk bebas menjadikan penanda ini mempunyai manfaat banyak dalam pemuliaan (Puspendra et al. 2002).

2.4.3 Penanda ISSR

Penanda ISSR merupakan marker yang berkembang lebih akhir dibanding RAPD, RFLP, dan SSR (Staub et al. 1996, Gupta dan Varshney 2000). Kelemahan dari teknik seperti RAPD mempunyai reprodusibilitas yang rendah, AFLP memerlukan biaya yang tinggi, SSR memerlukan desain primer yang khusus. Teknik ISSR mengatasi kelemahan diatas (Zietkiewiez et al. 1994, Gupta

(15)

Renz 1984). Inter Simple Sequence Repeats (ISSR) merupakan bagian mikrosatelit yang tidak mengkode protein (non koding region) sedangkan SSR merupakan merupakan daerah yang mengkode protein (Sudarsono 2008, komunikasi pribadi).

Teknik ISSR berdasarkan metode PCR (Gambar 3), mengamplifikasi DNA di antara daerah mikrosatelit dengan arah berlawanan. Penanda ini biasanya memiliki panjang primer 16-25 bp, biasanya menggunakan perulangan basa seperti di, tri, atau tetra nukleotida. Primer yang digunakan bisa Un-anchored

(Gupta et al. 1994, Meyer et al. 1993, Wu et al. 1994) atau primer Anchored

primer posisi 3’ atau 5’ (Zietkiewiez et al. 1994).

Gambar 3 Skema ISSR dengan PCR. Skema primer tunggal (AG)8, unanchored

(a), anchored pada 3’ (b), anchored pada 5’ (c) dengan DNA target

(16)

Keunggulan dari penggunaan ISSR seperti mudah digunakan, cepat, murah, dan menurut Lenham dan Brennan (1999) lebih polimorfisme jika dibandingkan dengan RAPD. Rata-rata polimorfisme per primer untuk ISSR 6.5 lebih tinggi jika dibandingkan dengan RAPD hanya sebesar 2.0. Selain itu ISSR lebih reproducible jika dibandingkan penanda RAPD (Qian et al. 2001). Penanda ISSR telah banyak digunakan untuk mempelajari polimorfisme DNA tanaman jati di India (Narayanan et al. 2007). Penanda ISSR juga diketahui telah dapat memetakan peta keterpautan genetik pada tanaman Catharanthus roseus (Gupta et al. 2002).

2.4.4 Penanda AFLP

Teknik AFLP merupakan penggabungan dari RFLP dan RAPD, berdasarkan pada amplifikasi PCR selektif fragmen restriksi dari pemotongan total DNA genomic. Teknik ini meliputi tiga tahapan, yaitu : (1) restriksi DNA dan ligasi adapter oligonukleotida, (2) amplifikasi selektif set fragmen restriksi, dan (3) analisis gel dari fragmen restriksi. AFLP marker merupakan marker dominan. Kemampuan teknik AFLP lebih tinggi dalam mendeteksi jumlah lokus-lokus polimorfik jika dibandingkan dengan RFLP dan RAPD (Powell et al. 1996), efisiensi diskriminasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan RAPD dan ISSR (Archak et al. 2003), dan menghasilkan reprodusibilitas yang tinggi (Jones et al.

(17)

III.

METODOLOGI

3.1 Bahan Tanaman

Sampel tanaman manggis berasal dari Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Purwakarta. Sampel terdiri dari tiga generasi masing-masing berjumlah satu pohon (Gambar 4). Daun dan buah diambil pada bagian ujung cabang pohon manggis yang berasal dari cabang yang berbeda dengan pengambilan sampel berdasarkan ketinggian tanaman setengah ke bawah (1) dan setengah ke atas (2) dan masing-masing ketinggian dibagi menjadi empat sektor (utara, timur, selatan, barat). Biji dari buah (Gambar 5) kemudian dikecambahkan (P2’, P3’, P4). Umur sampel pohon induk manggis P1 ± 180 tahun, P2 ( ± 150) tahun adalah anak pohon induk P1, dan P3 (± 120) tahun adalah anak pohon induk P2 (berdasarkan komunikasi dengan petani manggis Wanayasa dan perhitungan rata-rata pertumbuhan lingkar batang pohon pertahun).

Gambar 4 Lokasi pengambilan sampel pohon induk manggis di Desa Babakan, Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Purwakarta (Sumber: http://maps.google.com).

P1

P2

(18)

U S B T B T S U 2 1 P1 U S B T B T S U 2 1 P2 U S B T B T S U 2 1 P3 P2' P3' P4 Dikecambahkan pada tahun 2009

Dikecambahkan pada tahun 2009 Dikecambahkan pada tahun 1809

Dikecambahkan pada tahun 1959

Dikecambahkan pada tahun 1979

Dikecambahkan pada tahun 2009

Gambar 5 Metode pengambilan sampel daun dan buah manggis Wanayasa antar generasi berdasarkan ketinggian pohon (atas, bawah) dan pembagian sektor (utara, timur, selatan, barat).

Keterangan :

P1=Pohon induk tunggal yang dikecambahkan ± 180 tahun yang lalu, P2=Progeni dari P1 yang dikecambahkan ± 150 tahun yang lalu, P3= Progeni dari P2 yang dikecambahkan ± 120 tahun yang lalu

1=bawah, 2=atas

U=Utara, T=Timur, S=Selatan, B=Barat,

P1U1=Sampel diambil dari pohon induk P1 bagian utara bawah, T1=timur bawah, S1=selatan bawah, B1=barat bawah

P1U2= Sampel diambil dari pohon induk P1 bagian utara atas,T2=timur atas, S2=selatan atas, B2=barat atas

P2U1= Sampel diambil dari pohon induk P2 bagian utara bawah, T1=timur bawah, S1=selatan bawah, B1=barat bawah

P2U2= Sampel diambil dari pohon induk P2 bagian utara atas,T2=timur atas, S2=selatan atas, B2=barat atas

P3U1= Sampel diambil dari pohon induk P3 bagian utara bawah, T1=timur bawah, S1=selatan bawah, B1=barat bawah

(19)

P2’=Progeni dari P1 yang dikecambahkan saat ini, P3’=Progeni dari P2 yang dikecambahkan saat ini, P4=Progeni dari P3 yang dikecambahkan saat ini

P2’U1=Progeni P1 yang buahnya berasal dari sektor utara bagian bawah yang kemudian dikecambahkan saat ini, T1=timur bawah, S1=selatan bawah, B1=barat bawah,

P2’U2=Progeni P1 yang buahnya berasal dari sektor utara bagian atas yang kemudian dikecambahkan saat ini, T2=timur atas, S2=selatan atas, B2=barat atas,

P3’U1=Progeni dari P2 yang buahnya berasal dari sektor utara bagian bawah yang kemudian dikecambahkan saat ini, T1=timur bawah, S1=selatan bawah, B1=barat bawah,

P3’U2=Progeni dari P2 yang buahnya berasal dari sektor utara bagian atas yang kemudian dikecambahkan saat ini, T2=timur atas, S2=selatan atas, B2=barat atas,

P4U1=Progeni dari P3 yang buahnya berasal dari sektor utara bagian bawah yang kemudian dikecambahkan saat ini, T1=timur bawah, S1=selatan bawah, B1=barat bawah

P4U2=Progeni dari P3 yang buahnya berasal dari sektor utara bagian atas yang kemudian dikecambahkan saat ini, T2=timur atas, S2=selatan atas, B2=barat atas

3.2 Prosedur Penelitian 3.2.1 Analisis Morfologi

Pengamatan karakter morfologi pohon induk manggis dilakukan pada bulan Pebruari – Mei 2009 di Desa Babakan, Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Purwakarta dan di greenhouse PKBT IPB untuk pengamatan seedling. Hal-hal yang diamati meliputi 61 karakter morfologi seperti pohon, buah, biji, dan seedling (Tabel Lampiran 1) berdasarkan panduan diskriptor manggis (IPGRI 2003). Data morfologi hasil pengamatan kemudian diskoring.

3.2.2 Analisis Molekuler dengan Teknik ISSR

Analisis molekuler dengan teknik ISSR 41 sampel daun manggis Wanayasa terdiri atas 24 sampel daun pohon induk tiga generasi dan 17 sampel

seedling dari pohon induk dilakukan di Laboratorium Molekuler PKBT IPB pada

bulan Maret – September 2009. Analisis ini terdiri dari tiga tahap yaitu: (1) isolasi DNA, (2) pemilihan primer, dan (3) amplifikasi dan elektroforesis.

3.2.2.1 Isolasi DNA

Isolasi DNA dilakukan mengikuti prosedur CTAB oleh Doyle dan Doyle (1987) dengan beberapa modifikasi. Percobaan menggunakan sampel daun sekitar 0.15 mg. Daun digerus pada mortar yang diberi pasir kuarsa dan 0.6 -0.8 ml buffer

(20)

Pemurnian DNA dilakukan dengan penambahan 0.6-0.7 ml buffer

purifikasi/buffer CIA (Chloform : Isoamil Alcohol = 24:1 v/v), dan pemisahan fraksi di dalam campuran dilakukan dengan sentrifuse 11000 rpm selama 10 menit. Fase cair (supernatan) yang diperoleh dipindahkan ke microtube streril yang baru lalu ditambahkan 500-600 µl 2-propanol dingin, diinkubasi 40C selama 30 menit. Fase cair dibuang dan fase padat/pelet dikeringkan selama ± 1 jam. Selanjutnya pelet dilarutkan dalam 100 µl TE (1 M tris-HCl (pH 8.0); 0.5 M EDTA (pH 8.0); Aquades).

3.2.2.2 Pemilihan Primer.

Seleksi primer bertujuan untuk menyeleksi primer yang dapat menghasilkan pola pita yang polimorfik. Sebanyak 10 primer digunakan dalam mengamplifikasi DNA (Tabel 1). Primer-primer tersebut berasal dari hasil optimasi 14 primer.

Tabel 1 Daftar 10 primer yang digunakan dalam analisis ISSR

No. Primer Sekuen 5’-3’ TM (oC) No. Primer Sekuen 5’-3’ TM(oC)

1. PKBT 2 (AC)8-TT 52 6. PKBT 7 (GA)9-A 52 2. PKBT 3 (AG)8-T 46 7. PKBT 9 (GA)9-T 52 3. PKBT 4 (AG)8-AA 52 8. PKBT 11 (GT)9-C 54 4. PKBT 5 (AG)8TA 48 9. ISSRED 14 (GACA)4 54 5. PKBT 6 (AG)8TT 48 10. ISSRED 18 (GGAT)4 48

3.2.2.3 Amplifikasi dan Elektroforesis

Komposisi reaksi PCR terdiri dari DNA sampel 1 l, PCR mix 6 l, air

(21)

dengan 1% Ethidium bromide selama ± 3 menit. Hasil elektroforesis diamati dibawah UV transiluminator untuk melihat pola pita yang dihasilkan.

3.2.3 Analisis Data

Data kuantitatif dan kualitatif karakter morfologi diskoring. Data scoring tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam data biner. Begitu juga dengan data yang diperoleh dari teknik ISSR. Kemunculan pita diterjemahkan menjadi data biner. Setiap pita mewakili satu karakter dan diberi nilai berdasarkan ada tidaknya pita. Nilai 1 bila ada pita dan nilai 0 bila tidak ada pita. Pita polimorfik merupakan pita yang tidak dimiliki oleh individu manggis yang lain pada ukuran yang sama. Data biner yang diperoleh digunakan untuk menyusun matriks kesamaan genetik berdasarkan rumus Nei dan Li (1979). Berdasarkan nilai kesamaan genetik tersebut, dilakukan analisis pengelompokan data matrik (cluster analysis) dan pembuatan dendrogram pohon kekerabatan menggunakan metode UPGMA

(Unweighted Pair Group Method Arithmetic) melalui program NTSYS

(Numerical Taxonomy and Multivariate System) versi 2.01 (Rolf 1998).

Kemudian dilakukan analisis kofenetik MxComp. Analisis ini digunakan untuk membandingkan matriks kemiripan atau ketidakmiripan dengan matrik nilai kofenetik yang bertujuan mengukur tingkat hubungan antara dua matrik melalui program NTSYS. Keselarasan pengelompokan ditentukan dari kriteria goodness of fit berdasarkan nilai korelasi menurut Rohlf (1998) yaitu sangat baik (r ≥ 0.9),

(22)

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Umum Pohon induk manggis

Kondisi morfologi pohon induk manggis tiga generasi yang diamati cukup seragam sehingga cukup sulit untuk membedakan karakter spesifik yang dapat membedakan pohon manggis tiga generasi P1, P2, P3 (Gambar 6). Hal ini disebabkan secara genetik berasal dari satu pohon induk yang sama yaitu P1 dan ketiga pohon induk manggis tersebut ditanam pada lokasi yang berdekatan.

Gambar 6 Pohon induk manggis tiga generasi (P1, P2, P3) yang diambil dari Wanayasa Purwakarta.

Berdasarkan hasil pengukuran lingkar batang dengan membandingkan rata lingkar batang pohon manggis yang ditanam tahun 1992 memiliki rata-rata lingkar batang sebesar 31 cm, sehingga diperkirakan penambahan lingkar batang setiap tahunnya sebesar ± 1.5 cm. Maka bisa diperkirakan umur dari masing-masing pohon induk P1, P2, dan P3 yaitu secara berturut-turut 180, 150, dan 120 tahun (Tabel 2).

Tabel 2 Deskripsi pohon induk manggis

Parameter Lingkar batang pada 1 m di atas tanah

Tinggi pohon

(m) Perkiraan umur

P1 127 cm 30 m ± 180 tahun

P2 105 cm 15 m ± 150 tahun

P3 86 cm 13 m ± 120 tahun

(23)

4.2 Analisis Keragaman Morfologi Tiga Generasi

Analisis keragaman morfologi karakter seedling flush dilakukan pada bulan Mei - Juli 2009. Hasil pengamatan seedling (Gambar 7) menunjukkan terdapat variasi pada warna flush (daun muda). Seedling progeni P1 (P2’)

menunjukkan warna flush merah bata. Sedangkan seedling progeni P2 (P3’) memiliki warna flush cenderung keperak-perakan. Pada seedling progeni P3 (P4) terdapat variasi flush, dimana pada P4S1 mempunyai warna flush hijau kemerahan, sedangkan lainnya memiliki warna flush merah bata.

Gambar 7 Progeni dari pohon induk P1, P2, P3 dari Wanayasa Purwakarta yang dikecambahkan saat ini. U, T, S, B secara berturut-turut adalah sektor arah mata angin utara, timur, selatan, barat. Angka dibelakangnya 1=bawah, 2=atas.

Berdasarkan dendrogram (Gambar 8), P1 memiliki tingkat keragaman morfologi lebih tinggi dibandingkan dengan P2 dan P3. Begitu juga dengan P2 mempunyai keragaman morfologi lebih besar dari P3. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan umur pohon mempengaruhi penampilan fenotipenya. Tanaman yang memiliki umur lebih tua kemungkinan telah mengalami akumulasi mutasi spontan akibat pengaruh sinar kosmos, UV selama hidupnya. Mutasi spontan ini mengakibatkan kesalahan dalam replikasi DNA, kerusakan atau pengaturan kembali kromosom, delesi spontan, dan kerusakan DNA (Van Harten 1998).

P1 terlihat cenderung membentuk kelompok sendiri begitu juga dengan P2 dan P3 kemungkinan dipengaruhi oleh posisi penanaman dimana pohon induk P1

P2’U2 P2’S2 P3’T1 P3’S1

(24)

ditanam terpisah, sedangkan pohon induk P2 dan P3 ditanam berdekatan. Hal ini memperlihatkan bahwa faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap penampilan fenotipe tanaman manggis. Hal yang sama juga terjadi pada penelitian Mansyah (2002) menunjukkan adanya variasi karakter morfologi pada populasi manggis Wanayasa.

Menurut Allard (1960) bahwa penampilan karakter sangat dipengaruhi oleh perubahan faktor lingkungan yang dikategorikan sebagai karakter kuantitatif. Karakter kuantitatif dikendalikan oleh banyak gen (gen minor) yang masing-masing gen tidak memiliki kontribusi besar dalam penampilan fenotipiknya sehingga pengaruh lingkungan lebih dominan mempengaruhi penampilan fenotipiknya. Sedangkan karakter kualitatif adalah karakter yang dikendalikan oleh gen mayor yang memiliki kontribusi besar dalam penampilan fenotipiknya.

Dendrogram dibawah ini menunjukkan bahwa tingkat keragaman morfologi antar tiga generasi sebesar 18-43%. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Mansyah (2002), variasi fenotipe manggis Jawa dan Sumatra sebesar 48%. Begitu juga dengan penelitian Sinaga (2008) mengatakan keragaman morfologi manggis Tasikmalaya sebesar 37-55%.

Koefisien kemiripan

0.57 0.63 0.70 0.76 0.82

P1U1 P1U2 P1T2 P1S2 P2T2 P2U1 P3U2 P2B1 P2T1 P3S1 P2S1 P2U2 P3B1 P3B2 P2S2 P3U1 P3T1 P2B2 P3T2 P3S2

Gambar 8 Dendrogram keragaman morfologi pohon induk tiga generasi. U, T, S, B secara berturut-turut adalah sektor arah mata angin utara, timur, selatan, barat. Angka dibelakangnya 1=bawah, 2=atas.

(25)

4.3 Analisis DNA Berdasarkan Penanda ISSR

Analisis DNA pada penelitian ini menggunakan 41 sampel daun manggis berasal dari pohon induk dan progeninya (Tabel 3). DNA progeni (seedling) jumlahnya tidak sebanyak DNA pohon induk. Hal ini disebabkan tidak semua sektor dari tanaman manggis yang diamati tersebut berbuah sehingga tidak bisa dikecambahkan.

Tabel 3 Sampel DNA yang digunakan untuk analisis ISSR

Tanaman manggis Pengambilan sampel Jumlah

P1 P1U1 P1T1 P1S1 P1B1

P1U2 P1T2 P1S2 P1B2 8

P2 P2U1 P2T1 P2S1 P2B1

P2U2 P2T2 P2S2 P2B2 8

P2' P2'U2 P2'T2 P2'S2 - 3

P3 P3U1 P3T1 P3S1 P3B1

P3U2 P3T2 P3S2 P3B2 8

P3' P3'U1 P3'T1 - P3'B1

P3'U2 - P3'S2 P3'B2 6

P4 P4U1 P4T1 P4S1 P4B1

P4U2 P4T2 P4S2 P4B2 8

Total 41

Keterangan : U, T, S, B secara berturut-turut adalah sektor arah mata angin utara, timur, selatan, barat. Angka dibelakangnya 1=bawah, 2=atas.

[-] artinya tidak ada data.

(26)

tidaknya variasi dalam genotip tertentu. Perbedaan jumlah dan ukuran pita menentukan tingkat keragaman genetik manggis Wanayasa.

Tabel 4 Data primer dan jumlah pita hasil amplifikasi dengan teknik ISSR

Primer

Ukuran pita

(bp) Jumlah pita Jumlah pita DNA

Monomorfik Polimorfik

PKBT 2 250-1000 3 3 0

PKBT 3 500-1500 7 0 7

PKBT 4 250-1000 7 0 7

PKBT 5 500-1500 6 0 6

PKBT 6 500-1000 4 0 4

PKBT 7 250-1500 6 4 2

PKBT 9 250-1000 6 1 5

PKBT 11 500-1500 4 4 0

ISSRED 14 500-750 2 2 0

ISSRED 18 500-750 3 0 3

47(100%) 14(29.79%) 33(70.21%)

Berdasarkan hasil yang diperoleh pita DNA terbagi dalam dua kelompok, yaitu pita yang menununjukkan polimorfik dan pita monomorfik. Tabel 4 memperlihatkan bahwa dari 47 pita yang dihasilkan oleh 10 primer dengan menggunakan penanda ISSR diperoleh 33 (70.21%) pola pita polimorfik dan 14 (29.79%) pola pita monomorfik. Tingkat polimorfisme manggis dengan penanda ISSR lebih rendah jika dibandingkan dengan menggunakan penanda lain seperti RAPD dan AFLP yang telah dilakukan oleh Sinaga (2008) menunjukkan dengan penanda RAPD dan AFLP adalah 100%, Mansyah (2002) dengan RAPD sebesar 82.35%. Hal ini disebabkan oleh jenis primer dan penggunaan jumlah primer yang lebih sedikit pada analisis dengan teknik RAPD dan AFLP.

(27)

guanin. Adenin dan guanin penyusun dari basa purin. Hal ini menegaskan bahwa secara alami DNA manggis kebanyakan tersusun dari basa purin. Empat dari kelima primer menunjukkan tipe ISSR primer anchored dengan adenin atau timin pada ujung 3’. Kedua basa tersebut cenderung memiliki ikatan kurang stabil karena terdiri dari dua ikatan hidrogen, jika dibandingkan guanin dengan citosin yang memiliki tiga ikatan hidrogen.

4.4 Analisis Konsistensi dan Keragaman Genetik Antar Generasi 4.4.1 Perbandingan P1 vs P2 / P2’

Berdasarkan hasil analisis molekuler dengan menggunakan teknik ISSR antara pohon induk P1 dengan progeni yang dikecambahkan 150 tahun lalu (P2) dan progeni P1 yang dikecambahkan saat ini (P2’) menunjukkan terdapat perbedaan pola genetik antara P2 dengan P2’ (Gambar 9). Hal ini memperlihatkan adanya kondisi ketidakstabilan genetik antar generasi tanaman manggis.

Koefisien kemiripan

0.85 0.89 0.92 0.96 1.00

P1U1 P1S2 P1B2 P1T1 P1T2 P2U1 P2T1 P2S1 P2T2 P2B2 P2S2 P1S1 P1B1 P1U2 P2U2 P2'U2 P2'T2 P2'S2 P2B1

Gambar 9 Dendrogram pohon induk (P1), progeni P1 yang dikecambahkan 150 tahun yang lalu (P2), dan progeni P1 yang dikecambahkan saat ini (P2’) berdasarkan penanda ISSR. U, T, S, B secara berturut-turut adalah sektor arah mata angin utara, timur, selatan, barat. Angka dibelakangnya 1=bawah, 2=atas. Pada P2’, angka dan huruf ini menunjukkan asal biji dari pohon induk P1.

(28)

Pada tingkat kemiripan 86%, atau terdapat keragaman 14% terbentuk tiga kelompok besar yaitu P1 dengan P2, P1 dengan P2’, dan P2B1. Hal ini menunjukkan ada perubahan pola genetik akibat perbedaan umur pohon. Dendrogram tersebut juga menunjukkan adanya keragaman genetik dalam satu pohon induk, diantara progeni, dan antara pohon induk dengan progeni. P2B1 terlihat memisah dari kelompok asalnya P2 (Gambar 10). Kemungkinan P2B1 yang berada pada sektor barat bagian bawah mengalami mutasi titik, karena tidak terlihat penambahan atau pengurangan pasang basa setelah dianalisis dengan teknik ISSR. Mutasi ini termasuk dalam silent mutasi, sehingga secara fenotipik tidak dapat dideteksi.

Hasil analisis korelasi antara pohon induk P1 dengan progeninya yaitu P2 dan P2’ dengan menggunakan program NTSYS fungsi MxComp diperoleh nilai r sebesar 0.704 dengan goodness of fit kurang sesuai untuk menggambarkan pengelompokan data tersebut di atas (Rolf 1998).

Dendrogram di atas jika dipotong pada tingkat kemiripan 86% kemudian digambarkan pada ilustrasi pohon (Gambar 10). Pada gambar tersebut terlihat pola genetik yang sama antara pohon induk P1 dengan P2, kecuali pada sektor selatan dan barat bagian bawah.

(29)

4.4.2 Perbandingan P2 vs P3/ P3’

Begitu juga dengan progeni P2 yang dikecambahkan 120 tahun yang lalu (P3) dengan progeni P2 yang dikecambahkan saat ini (P3’) berdasarkan hasil analisis ISSR yang tertuang dalam bentuk dendrogram (Gambar 11) menunjukkan pola genetik yang berbeda.

Pada tingkat kemiripan 84% atau terdapat keragaman gentik 16%, terbentuk tiga kelompok besar yaitu P2 dengan P3, P3’, dan P3B2. Hal ini mengindikasikan terjadi perubahan pola genetik sejalan perubahan waktu. Berdasarkan hasil analisis kluster menunjukkan adanya keragaman genetik dalam pohon induk P2, antar progeni, dan pohon induk dengan progeni. P3 yang dikecambahkan 120 tahun yang lalu cenderung memiliki kemiripan secara genetik lebih besar dengan pohon induknya P2 dibandingkan dengan P3’ yang dikecambahkan saat ini. Dendrogram tersebut juga menunjukkan bahwa P3B2 terlihat memisah dengan kelompok asalnya P3. P3B2 mengalami mutasi delesi yaitu hilangnya tiga pita yaitu ukuran pita 1300 bp, 1100 bp, dan 850 bp (Gambar 13). Mutasi ini disebabkan oleh hilangnnya satu atau lebih nukleotida dari suatu gen atau kromosom. Mutasi delesi ini berada pada daerah non koding region sehingga secara fenotipik tidak terekspresi.

(30)

Koefisien kemiripan

0.70

0.77

0.84

0.91

0.99

P2U1 P2T1 P2T2 P2B2 P2S1 P3U1 P3S1 P3B1 P3S2 P2S2 P3T1 P3U2 P3T2 P2B1 P2U2 P3'T1 P3'U2 P3'S1 P3'U1 P3'S2 P3'B2 P3B2

Gambar 11 Dendrogram pohon induk P2, progeni P2 yang dikecambahkan 120 tahun yang lalu (P3), dan progeni P2 yang dikecambahkan saat ini (P3’) berdasarkan penanda ISSR. U, T, S, B secara berturut-turut adalah sektor arah mata angin utara, timur, selatan, barat. Angka dibelakangnya 1=bawah, 2=atas. Pada P3’, angka dan huruf ini menunjukkan asal biji dari pohon induk P2.

4.4.3 Perbandingan Empat Generasi

Berdasarkan hasil analisis empat generasi (Gambar 12), dendrogram terbagi menjadi tiga kelomopok besar yaitu kelompok pohon induk (P1; P2; P3),

seedling (P2’; P3’; P4) dan P3B2. Hal ini menunjukkan bahwa untuk

mendapatkan kemiripan genetik antara progeni dengan induknya pada perbanyakan biji apomiksis sebaiknya digunakan pohon induk dengan perkiraan umur pohon tidak melebihi 120 tahun. P3B2 terlihat membentuk kluster sendiri. Hal ini bisa dijelaskan dari Gambar 12, P3B2 mengalami mutasi delesi yaitu yaitu hilangnya tiga pita yaitu ukuran pita 1300 bp, 1100 bp, dan 850 bp (Gambar 13). Mutasi delesi ini terjadi pada daerah non koding region sehingga secara fenotipik tidak bisa terdeteksi.

P2

P3’

P3B2 P2 dan P3

1

2

[image:30.595.111.552.86.423.2]
(31)

Hasil analisis korelasi berdasarkan penanda ISSR dengan menggunakan program NTSYS fungsi MxComp diperoleh nilai r sebesar 0.849. Nilai korelasi ini berarti bahwa pengelompokan data manggis Wanayasa antara pohon induk dan progeninya menunjukkan sudah sesuai (memiliki nilai goodness of fit baik).

Koefisien kemiripan

0.69

0.77

0.85

0.92

1.00

[image:31.595.93.528.179.660.2]

P1U1 P1S2 P1B2 P1T1 P1T2 P2U1 P2T1 P2T2 P2B2 P2S1 P3U1 P3S1 P3B1 P3S2 P2S2 P3T1 P3U2 P3T2 P1S1 P1B1 P1U2 P2U2 P2B1 P2'U2 P2'T2 P2'S2 P3'U1 P3'S2 P3'T1 P3'U2 P3'S1 P3'B2 P4U1 P4S1 P4U2 P4T1 P4B1 P4T2 P4B2 P4S2 P3B2

Gambar 12 Dendrogram empat generasi manggis Wanayasa berdasarkan penanda ISSR. U, T, S, B secara berturut-turut adalah sektor arah mata angin utara, timur, selatan, barat. Angka dibelakangnya 1=bawah, 2=atas. Pada P2’, P3’, dan P4, angka dan huruf ini menunjukkan asal biji secara berturut-turut dari pohon induk P1, P2, dan P3.

(P2’, P3’, P4)

(32)

M P2U1 P2T1 P2S1 P2B1 P2U2 P2T2 P2S2 P2B2 P3U1 P3T1 P3S1 P3B1 P3U2 P3T2 P3S2 P3B2

Gambar 13 Pola pita DNA manggis Wanayasa dengan menggunakan primer PKBT 3 berdasarkan penanda ISSR. U, T, S, B secara berturut-turut adalah sektor arah mata angin utara, timur, selatan, barat. Angka dibelakangnya 1=bawah, 2=atas.

Berdasarkan kriteria bahwa tanaman manggis termasuk apomiksis obligat sehingga diasumsikan antar generasi manggis akan memiliki pola genetik yang sama, maka dapat dibuat model untuk menentukan pola konsistensi genetik antar generasi tanaman manggis yaitu dengan membandingkan antara P1 dengan P2 atau P2’ dan P2 dengan P3 atau P3’. Hasil analisis di atas menunjukkan adanya perubahan pola genetik akibat perbedaan umur tanaman. Perbedaan umur tanaman progeni menyebabkan perbedaan pola kemiripan genetik antara pohon induk dengan progeninya. Pola keragaman genetik itu terjadi kemungkinan disebabkan pohon induk telah mengalami akumulasi mutasi spontan yang telah berlangsung lama. Kemungkinan terjadinya mutasi spontan disebabkan oleh faktor di dalam sel maupun dari luar seperti kegagalan dalam replikasi DNA, rekombinasi dan pembentukan kembali DNA, delesi secara spontan, kerusakan DNA akibat sinar kosmos atau radiasi UV, perbedaan suhu, radioaktivitas (Van Harten 1998).

(33)

somatik dapat menyebabkan alel tertentu dapat berpindah tempat. Galur yang mengalami peristiwa ini dapat bervariasi dan berkembang tanpa intervensi seksual (Richards 1997).

Penyisipan transposable element diikuti oleh sedikit duplikasi pasangan basa pada sekuen inangnya. Pengaruh penyisipan elemen tergantung pada lokasinya. Penyisipan pada non coding región (daerah tanpa kode genetik) seperti pada intron dari gen mungkin menghalangi ekspresi gen normal. Penyisipan ke daerah kode genetik dapat menyebabkan frameshift mutation. Transposable element tidak hanya menciptakan dan memulai mutasi pada penyisipan, tetapi merupakan fokus dalam melanjutkan instabilitas (Walbot dan Cullis 1985).

Selanjutnya Walbot dan Cullis (1985) juga menjelaskan bahwa banyak mekanisme yang dapat mengintroduksi variasi genomik organisme. Genom tanaman berada dalam keadaan yang terus berubah yang terjadi baik selama siklus mitosis maupun meiosis. Mekanisme terjadinya perubahan meliputi transposisi, translokasi, amplifikasi, dan delesi. Variasi yang disebabkan oleh aktivitas

transposable element kelihatannya tidak stabil. Stres lingkungan eksternal dapat menginduksi mekanisme perubahan genomik secara cepat. Jika perubahan terjadi dalam meristem dan ditransmisikan ke gamet, variasi genomik dapat terjadi dalam satu generasi dan dapat ditransmisikan kepada generasi berikutnya.

Genom dari seluruh organisme memiliki daerah berulang yang sangat banyak dan kompleks dalam jumlah dan distribusinya. Salah satu sifat penting dari sekuen berulang ini adalah memiliki kecenderungan untuk mutasi yang lebih tinggi (Udupa dan Baum 2001). Inter Simple Sequence Repeats (ISSR) merupakan daerah specer diantara mikrosatelit yang tidak mengkode protein (non koding región). Teknik seperti ISSR ini sangat tepat digunakan untuk mendeteksi adanya ketidakstabilan genetik yang diakibatkan pengaruh mutasi seperti pada P3B2. Mutasi yang terjadi pada P3B2 adalah mutasi delesi, yaitu mutasi yang disebabkan hilangnnya satu atau lebih nukleotida dari suatu gen atau kromosom. Mutasi yang terjadi pada P3B2 berada di daerah non koding región sehingga secara fenotipik tidak dapat terdeteksi.

(34)

melalui proses yang sangat panjang dan melibatkan sejumlah rangkaian proses. Secara singkat melibatkan dua tahapan yaitu transfer informasi genetik dari DNA ke RNA (transkripsi) dan penterjemahan informasi genetik yang terdapat pada RNA ke dalam polipeptida (translasi). Banyak sekali faktor yang mempengaruhi suatu gen terekspresi. Nilai fenotipe mengandung unsur nilai genotipe, deviasi lingkungan, dan interaksi genetik dengan lingkungan. Sehingga karakter morfologi baik karakter kuantitatif maupun kualitatif bukan hanya merupakan dari ekspresi genetik, tetapi juga dipengaruhi oleh lingkungan. Keadaan lingkungan yang berbeda memberikan penampilan morfologi yang berbeda. Disamping itu sifat kuantitatif dikendalikan oleh multigen. Apabila terjadi mutasi pada salah satu gen maka belum tentu terdeteksi secara langsung pada sifat kuantitatif (Suzuki et al. 1993).

4.5 Analisis Keragaman Genetik Dalam Satu Pohon 4.5.1 Pohon induk generasi pertama (P1)

(35)

Koefisien kemiripan

0.89 0.91 0.93 0.95 0.97

P1U1

P1S2

P1B2

P1T1

P1T2

P1S1

P1B1

[image:35.595.117.489.91.321.2]

P1U2

Gambar 14 Dendrogram keragaman genetik pohon induk P1 berdasarkan penanda ISSR. U, T, S, B secara berturut-turut adalah sektor arah mata angin utara, timur, selatan, barat. Angka dibelakangnya 1=bawah, 2=atas.

Berdasarkan tingkat kemiripan 90% atau terdapat keragaman genetik 10% (Gambar 15), terbentuk tiga pola pengelompokan keragaman genetik dalam satu pohon induk P1. Kelompok pertama adalah P1U1; P1S2; dan P1B2, kedua adalah P1T1 dan P1T2, ketiga adalah P1S1; P1B1; dan P1U2. Seharusnya dalam satu pohon akan memiliki pola keragaman genetik yang sama. Diduga telah terjadi mutasi spontan semasa hidupnya yang menyebabkan terjadinya mutasi cabang pada pohon induk P1 mengingat pohon ini memiliki usia ± 180 tahun.

Gambar 15 Ilustrasi keragaman pohon induk P1 berdasarkan penanda ISSR pada tingkat keragaman 10%. U, T, S, B secara berturut-turut adalah sektor arah mata angin utara, timur, selatan, barat. Angka dibelakangnya 1=bawah, 2=atas. Warna yang sama artinya memiliki pola genetik yang sama.

1

2

[image:35.595.245.376.515.678.2]
(36)

4.3.2 Pohon induk generasi kedua (P2)

Begitu juga dengan P2, hasil analisis ISSR menunjukkan keragaman genetik dalam pohon induk P2 sebesar 3-16% (Gambar 16). Terbentuk pola keragaman genetik berdasarkan observasi ketinggian, atas dan bawah masing-masing membentuk kluster sendiri. Sedangkan pembagian sektor utara, timur, selatan, barat tidak terlihat pengaruhnya. Analisis korelasi pohon induk P2 dengan menggunakan program NTSYS fungsi MxComp diperoleh nilai r sebesar 0.769. Nilai korelasi ini berarti bahwa dendrogram yang dihasilkan kurang sesuai menggambarkan pengelompokan data tersebut.

Koefisien kemiripan

0.84 0.87 0.91 0.94 0.97

P2U1

P2T1

P2S1

P2S2

P2U2

P2T2

P2B2

P2B1

Gambar 16 Dendrogram keragaman genetik pohon induk P2 berdasarkan penanda ISSR. U, T, S, B secara berturut-turut adalah sektor arah mata angin utara, timur, selatan, barat. Angka dibelakangnya 1=bawah, 2=atas.

Terbentuk tiga pola pengelompokan keragaman genetik pohon induk P2 berdasarkan tingkat kemiripan 90% atau terdapat keragaman genetik 10% (Gambar 17). Kelompok pertama adalah P2U1; P2T1; P2S1; dan P2S2, kedua adalah P2U2; P2T2; dan P2B2, ketiga adalah P2B1. Seperti halnya pada pohon induk P1, kuat dugaan terjadinya variasi genetik dalam pohon induk P2 disebabkan oleh mutasi spontan. P2B1 berbeda dengan yang lain. Diduga P2B1 mengalami akumulasi mutasi spontan yang menyebabkan mutasi titik.

1

2

(37)

Gambar 17 Ilustrasi keragaman pohon induk P2 berdasarkan penanda ISSR pada tingkat keragaman 10%. U, T, S, B secara berturut-turut adalah sektor arah mata angin utara, timur, selatan, barat. Angka dibelakangnya 1=bawah, 2=atas. Warna yang sama artinya memiliki pola genetik yang sama.

.

4.3.3 Pohon induk generasi ketiga (P3)

Berdasarkan hasil analisis ISSR dalam bentuk dendrogram (Gambar 18), terdapat keragaman genetik dalam pohon induk P3 sebesar 2-25%. Tidak terbentuk pola keragaman genetik berdasarkan sektor arah mata angin (utara, timur, selatan, barat) dan ketinggian pohon (bawah dan atas). Hasil analisis korelasi pohon induk P3 dengan menggunakan program NTSYS fungsi MxComp diperoleh nilai r sebesar 0.959. Nilai korelasi ini berarti bahwa dendrogram tersebut sudah sangat sesuai menggambarkan pengelompokan keragaman genetik dalam pohon induk P3.

Koefisien kemiripan

0.75 0.80 0.86 0.92 0.98

P3U1

P3S1

P3B1

P3S2

P3U2

P3T2

P3T1

[image:37.595.231.397.82.226.2]

P3B2

Gambar 18 Dendrogram keragaman genetik pohon induk P3 berdasarkan penanda ISSR. U, T, S, B secara berturut-turut adalah sektor arah mata angin utara, timur, selatan, barat. Angka dibelakangnya 1=bawah, 2=atas.

1

(38)
[image:38.595.239.387.204.374.2]

Pada Gambar 19, berdasarkan tingkat kemiripan 90% atau terdapat keragaman genetik 10% terbentuk dua pola pengelompokan keragaman genetik pohon induk P3. P3B2 terlihat berbeda dengan yang lain. Kemungkinan P3B2 mengalami akumulasi mutasi spontan yang mengkibatkan terjadinyan mutasi delesi (Gambar 13).

Gambar 19 Ilustrasi keragaman pohon induk P3 berdasarkan penanda ISSR pada tingkat keragaman 10%. U, T, S, B secara berturut-turut adalah sektor arah mata angin utara, timur, selatan, barat. Angka dibelakangnya 1=bawah, 2=atas. Warna yang sama artinya memiliki pola genetik yang sama.

4.3.4 Pohon induk tiga generasi (P1, P2, P3)

(39)

bahwa dendrogram tersebut sudah sangat sesuai menggambarkan pengelompokan keragaman genetik antara pohon induk P1, P2, dan P3.

Koefisien kemiripan

0.73 0.79 0.86 0.92 0.98

[image:39.595.119.502.135.389.2]

P1U1 P1S2 P1B2 P1T1 P1T2 P2U1 P2T1 P2T2 P2B2 P3T1 P2S1 P3U1 P3S1 P3B1 P3S2 P2S2 P3U2 P3T2 P1S1 P1B1 P1U2 P2U2 P2B1 P3B2

Gambar 20 Dendrogram keragaman genetik pohon induk P1, P2, P3 berdasarkan penanda ISSR. U, T, S, B secara berturut-turut adalah sektor arah mata angin utara, timur, selatan, barat. Angka dibelakangnya 1=bawah, 2=atas.

Tingginya keragaman genetik tidak lazim pada manggis, karena dianggap tanaman yang memiliki sifat apomiksis obligat, progeni yang dihasilkan akan sama dengan induknya (Koltunow et al. 1995). Agamosperm obligat sangat jarang dan terbatas untuk beberapa diplosporous yang tidak mempunyai serbuk sari. Beberapa agamosperm obligat mungkin untuk menghasilkan variabilitas genetik melalui rekombinasi somatik dan atau berbagai bentuk autosegregasi. Oleh karena itu tidak benar bahwa agamosperm tidak menghasilkan variabilitas genetik dan tidak mempunyai potensial secara evolusi (Richards 1997).

(40)

Dari ketiga proses tersebut yang paling memungkinkan terjadinya variasi pada manggis diduga oleh adanya mutasi secara alami karena tanaman ini tidak menghasilkan polen sehingga tidak memungkinkan terjadinya fertilisasi. Mutasi somatik spontan telah berperanan penting dalam spesifikasi dan domestifikasi pada tanaman yang berkembang biak secara vegetatif seperti pada pisang (Buddenhagen 1987). Menurut Walbot dan Cullis (1985), variabilitas genetik pada tanaman apomiksis dianggap sebagai hasil dari variasi somaklonal, autosegregasi, pindah silang somatik, amplifikasi atau hilangnya materi DNA, penyusunan kembali kromosom, dan aktivitas transposon. Pada apomiksis obligat, kemungkinan juga terjadi melalui mekanisme seperti akumulasi mutasi DNA, rekombinasi somatik dari translokasi kromosom, dan mutasi terjadi akibat perubahan pada genom maternal berkaitan dengan sifat apomiksis (Richards 1977). Menurut Richards (1994), manggis (G. mangostana) berasal dari hasil persilangan antar G.hombroniana x G.malaccensis, kemungkinan G. mangostana

(41)

V.

SIMPULAN DAN SARAN

SIMPULAN

Berdasarkan penanda molekuler terdapat keragaman genetik dalam satu pohon, antar progeni, dan antara pohon induk dengan progeni. Keragaman morfologi pada pohon induk manggis lebih besar daripada keragaman genetik.

Keragaman genetik dan morfologi terdapat pada pohon manggis yang berbeda umur. Pohon induk manggis yang memiliki umur lebih tua cenderung lebih beragam. Perubahan pola genetik disebabkan oleh perbedaan umur pohon. Perbedaan umur antar progeni menyebabkan perbedaan pola kemiripan genetik antara pohon induk dengan progeninya

SARAN

1. Untuk mendapatkan keseragaman sifat pada perbanyakan biji apomiksis sebaiknya digunakan pohon induk yang memiliki diameter 86 cm dengan perkiraan umur pohon tidak melebihi 120 tahun.

(42)

DAFTAR PUSTAKA

Adolfssons S, Bengston BO. 2007. The spread of apomixes and its effect on resident genetik variations. J.Evol.Biol. 20(2007):1933-1940.

Anonim. 2009. Map data 2009 tele atlas. http://maps.google.com/. [21 Januari 2010].

Archak S, AB Gaikward, D Gautam, EVVB Rao, KRM Swamy, and JL Karihaloo. 2003. Comparative assessment of DNA fingerprinting techniques (RAPD, ISSR, and AFLP) for genetikr analysis of cashew (Anacardium occidentale L.) accessions of India. Genome 46:362-369.

Asker SE, Jerling L. 1992. Apomixis in Plants. London: CRC Press.

Cok JEK. 1988. Garcinia mangostana. Mangosteen in Garner, R, J, and Chaudari, S.A, editor. The Propagation of Tropical Fruit Trees. England: Antony Rowe Ltd.

Den Nijs APM, GE van Dijk. 1993. Apomixis in M.D. Hayward, N.O. Bosemark, I. Romagosa (Edits). Plant Breeding Principles and Prospects. London: Chapman and Hall.

Doyle JJ, Doyle JL. 1987. A rapid DNA Isolation Procedure for Small Quantities of Fress Leaf Tissue. Phytochemical Bull 19(1): 11-15.

Fords H, Richards AJ. 1985. Isozyme variations within and between Taraxacum

agamospecies in single locality. Heredity 55:289-291.

Gupta M, Chyi YS, Severson JR, Owen JL. 1994. Amplification of DNA markers from evolutionarily diverse genomes using single primers of simple sequence repeats. Theor Appl.Genet. 89:998-1006.

Gupta PK, Varshney RK, Prasad M. 2002. Molecular Markers: Principles and Methodology in: Jain SM, Brar DS, Ahloowalia BS, editor. Molecular

Techniques in Crop Improvement. Pp 9-54.

Gupta PK, Varsney RK. 2000. The development and use of microsatellite markers for genetic and analysis and plant breeding with emphasis on bread wheat. Euphitica 113:163-185.

Hiu Liu B. 1998. Statistical genomics : linkage, mapping, and QTL analysis. CRC press LLC.

Horn CL. 1940. Stimulation of growth in juvenile mangosteen plants. J.Agr Res

(43)

IPGRI. 2003. Descriptor for mangosteen (Garcinia mangostana L.). International Plant Genetic Resources Institute. Rome, Italy.

Jones CJ, KJ Edwards, S castaglione MO Winfield, F Sala, van de Weil, C Bredemeeijer, G Vosman, B Matthes, M daly, A Brettschneider, R Bettini, P Buiatti, M Maestri, E Malcevschi, A Marmiroli, N Aert, R Volckaert, G rueda, R Linacero, R Vazguez, A Karp. 1997. Reproducibility testing of RAPD, AFLP and SSR makers in Plants by a network of European laboratories. Moleculer Breeding 3: 381-390.

Jones S. 1980. Morphology and major taxonomy of Garcinia (Guttiferae). PhD Thesis, University of Leicester. Unpublished. British Museum. London. 277 p.

Kaltunow AM. 1993. Apomixis: Embriosacs and embryos formed without meiosis of fertilication in ovules. Plant Cell 5: 1425-1437.

Lanham PG, Brennan RM. 1999. Genetik characterization of gooseberry (Ribes

grossularia subgenus Grossularia) germplasm using RAPD, ISSR and

AFLP markers. J Hort Sci and Biotech 74:361-366.

Lim AL. 1984. The Embryologi of Garcinia mangostana L. (Clusicaceae). Garden Bull. Singapore. 37:93-103.

Mansyah E, Muas I, Jawal M, Sobir. 2008a. Morphological variability of apomictic mangosteen (Garcinia mangostana L.) in Indonesia : Morphological evidence of natural populations from Sumatra and Java. 4th International Symosium on Tropical and Subtropical Fruits. November. Bogor, West Java, Indonesia.

Mansyah E, Santoso PJ, Muas I, Sobir. 2008b. Evaluation of genetik diversity among and within mangosteen (Garcinia mangostana L.). 4th International Symposium on Tropical and Subtropical Fruits. November. Bogor, West Java, Indonesia.

Mansyah E. 2002. Analisis keragaman genetik manggis melalui teknik RAPD dan fenotipiknya pada berbagai lingkungan tumbuh di Jawa dan Sumatera Barat [Tesis]. Bandung: Program Pascasarjana, Universitas Padjajaran.

Meyer W, Mitcell IG, Freedman EZ, Vilgays JL. 1994. Hybridization probes for conventional DNA fingerprinting used as single primers in polymerase chain reaction to distinguish strains of Cryptococcus neoformans. J. Clin Microbiol. 31:2274-2280.

Morgante M, Hanafey M, Powell W. 2002. Microsatellites are preferentially associated with non repetitive DNA in plant genomes.

(44)

Nakasone HY, Paull RE. 1999. Tropical Fruit: Crop Production Science in Horticulture. halm 359-369.

Narayanan C, Wali SA, Shukla N, Kumar R, Mandal AK, Ansar SA. 2007. RAPD and ISSR Markes for Molecular Characterization Of Teak (Tectona Grandis) Plus Trees. Journal of Tropical Forest Science 19(4): 218–225.

Naumova TN. 1993. Apomixis in Angiosperms: Nucellar and Integumentary

Embryony. CRC Press, Boca Raton, FL.

Nei M, Li WH. 1979. Mathematical model for studying genetik variations in terms of restriction endonucleases. Proc Natl acad Sci 76(10): 5269-5273.

Popenoe W. 1974. Manual of Tropical and Subtropical Fruit. Ed ke-2. New York: Hafner Press. hlm 474.

Powell W, M Morgante, C Andre, M Hanafey, J Vogel, S Tingey, and A. Rafalski. 1996. The comparison of RFLP, RAPD, AFLP, and SSR (microsatellite) markers for germplasm analysis. Moleculer Breeding

2:225-238.

Prabowo LP. 2002. Morphological variability studies on mangosteen (Garcinia

mangostana L.) population at Trenggalek, Purworejo, Purwakarta and

Leuwiliang [Skripsi]. Bogor: Faperta, Institut Pertanian Bogor.

Purwanti A. 2002. Genetiks variability studies on mangosteen (Garcinia mangostana L.) using RAPD analysis [Skripsi]. Bogor: Faperta, Institut Pertanian Bogor.

Puspendra K. Gupta, Rajeev K. Varshney, Manoj Prasad. 2002. Molecular Markers : Principles and Methodology. In Molecular Techniques in Crop Improvement. SM. Jain S.M., D.S. Brar and B.S. Ahloowalia, editor. Netherland: kluwer academic publishers.

Qian W, Ge S, Hong DY. 2001. Genetikr variations within and among populations of a wild rice Oryza granulatafrom China detected by RAPD and ISSR markers. Theo and Apl Gen102:440-449.

Ramage CM, Sando L, Peace CP, Caroll BJ, Drew RJ. 2004. Genetik diversity revealed in the apomict fruit species Garcinia mangostana L. (mangosteen). Euphytica 136(1): 1-10.

Ramulu KS et al. 1995. Apomixis, a Clonal Reproduction through Seed: New Moleculer Genetikr Strategis at CPRO-DLO. Yves Savidan, editor. Apomixis News Letter 8.

(45)

Tolerance Improvement in Tropical maize. In Quantitative Genetikrs, genomics and Plant Breeding. Manjit S.K., editor. UK: CAB International.

Richards AJ. 1990. Studies in Garcinia dioecious tropical forest trees : agamospermy. Botanical Journal of The Linnean Society 103 : 301-308.

Richards AJ. 1997. Plant Breeding Systems. Ed ke-2. Departmen of Agricultural and Environmental Science University of Newcastle Upon Tyne. London: Chapman and Hall. hlm 529.

Rismunandar. 1986. Mengenal Tanaman Buah-buahan. Bandung: Sinar Baru.

Rolf FJ. 1998. NTSys-pc. Numerical Taxonomy and Multivariate Analysis System. Version 2.02. Exerter Software. New York.

Scotti I, F Magni, GP Paglia, M Morgante. 2002. Trinucleotide microsatellites in Norway spruce (Picea abies) : their features and the development of molecular markers. Theor Appl Genet 106: 40-50.

Sinaga S. 2008. Analisis keanekaragaman genetik dan fenotipe manggis (Garcinia

mangostana L.) dan kerabat dekatnya [Disertasi]. Bogor: Program

Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Sobir, Poerwanto R. 2007. Mangosteen genetic and improvement. International

Journal of Plant Breeding. Global Science Books 1(2): 105-111.

Sprecher MA. 1919. Etude sur la semence et la germination du Garcinia mangostana L. Rev Gen Bot 31:513-531.

Staub JE, Serquen FC, Gupta M. 1996 Genetic markers, map contruction, and their application in plant breeding. Hort Sci. 31(5):729-739.

Steenis CGGJ van. 1975. Jakarta: Flora, PT Pradnya Paramita.

Stephen SE. 1935. Some Tropical Fruits. Queensland Agriculture Journal.

Suzuki DT, Griffith AJF, Miller JH, Lewontin RC. 1993. An Introduction to Genetic Analysis. Freeman and Co.New York.

Tanaka J, F Taniguchi. 2002. Emphasized RAPD (E-RAPD): a Simple and Efficient Technique to make RAPD Band Clearer. Breeding Sci. 52:225-229.

Tanksley SD. 1983. Moleculer marker in plant breeding. Plant molec.Biol.reporter 1(1):3-5.

(46)

.

Tirtawinata MR, E Wijaya, Tuherkih. 2000. Pembibitan dan pembudidayaan manggis. Jakarta: Penebar Swadaya.

Udupa SM, baum M. 2001. High mutation rate and mutational bias at microsatellite in loci chickpea (Cicer arietium L.). MGG 265:1097-1103.

Van Harten AM. 1998. Mutation Breeding. United Kingdom: Cambridge University Press.

Verheij EMW, Coronel RE. 1992. Garcinia mangostana L. Plant Resourches of South-East Asia 2. Edible fruits and Nut. Prosea. Bogor. Indonesia.

Vos P, R Hogers, M Bleekers, M Reijans, T van de Lee, M Hornes, A Frijters, J Pot, J Peleman, E Jacobsen, J Helder, and J Bakker. 1995. AFLP: a new technique for DNA fingerprinting. Nucl Acids Res 23:4407-4414.

Walbot V, Cullis CA. 1985. Rapid genomic change in higher plants. Annual Rev. of Plant Physiol 18(22):6531-6535.

William JG, Kubeli AR, Livak KJ, Ravalsky JA, Tingey. 1990. DNA Polimorphism Amplified by Arbitrary Primer are Useful as Genetic Marker. Nuc.Acid Res 18(22):6531-6535.

Wu K, Jones R, Dannaeberger, Scolnik PA. 1994. Detection of microsatellite polymorphism without cloning. Nucleic Acids Res. 22:3257-3258.

(47)

No

. Karakter Deskripsi Keterangan

A. Identitas

1. Nama Garcinia mangostana L. (manggis)

2. Nama daerah 3. Tanggal koleksi 4. Nomor pohon B. Lokasi

4. Propinsi Jawa Barat

5. Letak lintang (latitude)

derajat lintang utara/selatan

6. Letak bujur (longitude)

derajat bujur barat/timur

7. Elevasi (altitude) meter di atas permukaan laut

8. Topografi 1. datar 2. begelombang 3. berbukit

9. Kemiringan lahan derajat 10. Kelembaban tanah persen 11. pH tanah

C. Agroklimat

12. Suhu udara derajat Celcius 13. Kelembaban udara persen

14. Curah hujan mm per tahun D.1. Deskripsi Pohona

15. Umur pohon tahun

16. Vigor pohon 3. rendah 5. medium 7. tinggi

17. Tinggi pohon meter 18. Lingkar batang

pada 50 cm di atas tanah

cm

19. Permukaan batang 1. halus 2. kasar 3. sangat kasar

20. Diameter tajuk meter

21. Bentuk kanopi 1.

pyramidal

2. spherical 3. oblong 4. elliptical

22. Kerapatan percabangan

3. jarang 5. sedang 7. rapat

23. Pola percabangan 1. tegak (erect) 2. semi tegak (semi-erect) 3. horizontal 4. tak beraturan (irregular) a

(48)

No

. Karakter Deskripsi Keterangan

D.2. Deskripsi Daunb

24. Warna daun muda 1. hijau muda 2. hijau muda kecoklat an 3. merah bata muda 4. coklat merah 5. keperak -perakan 6. varigata

25. Warna daun tua 1. hijau muda

2. hijau 3. hijau tua 4. varigata

26. Kerapatan daun 1. jarang 2. sedang 3. rapat

27. Susunan daun 1. alternate 2. opposite

28. Panjang petiole cm

29. Lebar petiole cm

30. Panjang daun cm

31. Lebar daun cm

32. Bentuk daun 1. ovate 2.

obovate 3. elliptic 4. oblong 5. laceolate

33. Bentuk ujung daun 1. acute 2.

acuminate

3. retuse 4. obtuse

34. Bentuk pangkal daun 1. oblique 2. rounded 3. cuneate 4. shortly attenua te 5. truncate

35. Tepi daun 1. rata 2. bergelombang

b

(49)

No

. Karakter Deskripsi Keterangan

36. Tekstur permukaan atas daun

0. tidak mengkilap 1. mengkilap

37. Tekstur permukaan bawah daun

0. tidak mengkilap 1. mengkilap

38. Tampilan tulang daun bagian tengah (midrib)

1. menonjol 2. kurang menonjol

3

Gambar

Gambar 11  Dendrogram pohon induk P2, progeni P2 yang dikecambahkan 120 tahun yang lalu (P3), dan progeni P2 yang dikecambahkan saat ini (P3’) berdasarkan penanda ISSR
Gambar 12 Dendrogram empat generasi manggis Wanayasa berdasarkan
Gambar 15  Ilustrasi keragaman pohon induk P1 berdasarkan penanda ISSR pada tingkat keragaman 10%
Gambar 18  Dendrogram keragaman genetik pohon induk P3 berdasarkan penanda   ISSR. U, T, S, B secara berturut-turut adalah sektor arah mata angin utara, timur, selatan, barat
+7

Referensi

Dokumen terkait

Mengembalikan rekammedik yang tidak diisi lengkap ke unit layanan terkait Mencari rekam medik yang belum kembali dari unit layanan terkait. Penyimpanan REKAM MEDIK

Oleh karena itu dalam penelitian ini peneliti ingin mengetahu seberapa besar penilaian followers terhadap akun Instagram hijab dan outfit Chic Square , seberapa

Penelitian ini dilakukan untuk menguji metode Applied Behavior Analysis sebagai sebuah metode terapi yang dilakukan ibu dalam meningkatkan kemampuan berbahasa pada anak

Istri dari Bapak I Nengah Subagia yang bernama Ni Made Sri Purnami (37 tahun) adalah seorang Ibu Rumah Tangga. Ibu Made Sri menghabiskan waktunya sehari-hari dengan mengurus anaknya,

Emha Ainun Nadjib menulis puisi “Begitu Engkau Bersujud” seakan menggambarkan keadaan sekitar dan kondisi masyarakat. Emha Ainun Nadjib bersajak dan berusaha

Media Layers Application Presentation Session Transport Network Data-Link Physical Host Layers Menjamin pengiriman data secara akurat

Temuan penelitian tersebut dapat dimaknai bahwa dosen yang memiliki kepercayaan dan resiprositas dengan rekan kerjanya dan didukung tumbuhnya budaya universitas yang

[r]