Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
Oleh :
KHALISHAH MULYANI NIM : 106044101414
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, karunia dan
hidayah-Nya kepada penulis sehingga tanpa terasa penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang merupakan tugas akhir akademisi di Konsentrasi Peradilan Agama
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Shalawat beriring salam tak lupa pula penulis sampaikan kepada Nabi Besar
Muhammad SAW yang telah menerangi bumi Allah dengan risalah yaitu Al-qur’an
dan Sunnah sehingga dapat membawa umat manusia ke arah yang lurus, melalui
petunjuk Allah tersebut.
Skripsi penulis yang berjudul “Batasan Hakim Pengadilan Agama Dalam Berijtihad Di Wilayah Yurisdiksi Pengadilan Tinggi Agama Jakarta” dengan mengucapkan Alhamdulillah akhirnya dapat terselesaikan sesuai dengan harapan
penulis. Penulis susun dalam rangka memenuhi dan melengkapi persyaratan untuk
mencapai gelar sarjana strata 1 (S1) yaitu Sarjana Syariah (S.Sy) pada Jurusan Ahwal
Al-Syakhsiyyah, Program Studi Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum.
Oleh karena itu, perkenankan penulis untuk menuangkan rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
semangat spiritual dan intelektual kepada seluruh mahasiswa/i Fakultas Syariah dan
Hukum.
2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA Ketua Program Studi Ahwal Al-Syakhsyiyyah,
yang selalu dengam sabar memberikan masukan kepada penulis sehingga
memperlancar proses penulisan.
3. Kamarusdiana, S.Ag, MH. Sekretaris Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyyah yang tak
terhitung lagi telah banyak memberikan bantuan dan dukungan kepada penulis baik
selama masa empat tahun perkuliahan maupun dalam proses penulisan skripsi ini
serta memudahkan mahasiswa dalam birokrasi dan administrasi kampus.
4. Prof. Dr. H. A. Sutarmadi selaku dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan
waktu disela-sela kesibukan kariernya dalam memberikan masukan maupun nasihat
dalam penyusunan skripsi ini.
5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah memberikan ilmunya kepada penulis selama di bangku kuliah.
6. Drs. Masrum, SH Ketua Pengadilan Agama Jakarta Pusat, Drs. Yasardin, SH., MH
Wakil Ketua Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Drs. Achmad Harun Shofa, SH
Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur dan Drs. Dede Ibin, SH Hakim Pengadilan
Agama Jakarta Pusat yang telah meluangkan waktu untuk diwawancarai demi
terselesaikannya penelitian ini. Beserta para pegawai dan staf pengadilan yang telah
yang selama hidup beliau telah memberikan cinta yang tak terhingga bahkan doa dan
munajatnya yang tak henti-hentinya kepada Allah SWT agar penulis mendapat
kesuksesan dalam kuliah dan penulisan skripsi juga kesabaran beliau yang tak
terbatas kepada penulis. Skripsi ini penulis haturkan khusus kepada ibunda.
8. Rasa ta’zim, cinta dan terima kasih yang dalam kepada ayahanda Drs. Mulyadi
Zakaria, SH.,M.Ag dan mama Dra. Erni Zurnilah, S.Ag., MH yang telah banyak
memberikan motivasi dan dukungan baik secara finansial maupun moril, keikhlasan
perhatian serta kasih sayang yang tak terhingga kepada penulis yang juga telah
mengajarkan betapa pentingnya arti kehidupan kepada penulis.
9. Saudara-saudaraku tercinta Wahyumardi, Novi Taufik, Ahmad Marzuki dan si kecil
Wildan yang telah memberi dan menjadi semangat bagi penulis selama ini.
10.Para ustadh dan Ustadhah Perguruan Diniyyah Puteri Padang Panjang dan
teman-teman seperjuangan yang telah memberikan dukungan melalui doa demi terselesainya
skripsi ini.
11.Sahabat-sahabatku tercinta di kelas PA B angkatan 2006 wa bil khusus Pipih
Muhafilah yang telah menjadi sahabat terbaik selama ini dan teman-teman lain yang
tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah bersama-sama berjuang dalam
menuntut ilmu baik dalam suasana suka maupun duka di Fakultas Syariah dan
iv masukan dan pengalaman selama ini.
Semoga amal yang telah diberikan kepada penulis dapat dibalas oleh Allah
SWT dengan pahala yang berlipat ganda. Demi kesempurnaan skripsi ini di masa
mendatang penulis menerima kritik dan saran yang membangun dari para pembaca
yang budiman. Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi setiap langkah kita. Amin.
Demikianlah sepatah kata dari penulis, semoga skripsi ini bermanfaat untuk
kita semua. Billahi fi sabilil haq fastabiqul khairat
Jakarta, 20 Agustus 2010
Penulis
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah...1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah...7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian...9
D. Metode Penelitian...10
E. Review Studi Terdahulu...13
F. Sistematika Penulisan...16
BAB II : PERKEMBANGAN EKSISTENSI PUTUSAN HAKIM AGAMA DAN TEORI IJTIHAD SERTA MUJTAHID DALAM FIQH A. Perkembangan Kekuasaan dan Kedudukan Hakim Agama di Indonesia dan Yurisperudensi...17
B. Pengertian Ijtihad, Mujtahid Dan Persyaratan Menjadi Mujtahid...30
C. Perkembangan Kekuasaan dan Kedudukan Hakim Agama di Indonesia...38
BAB III : GAMBARAN UMUM PENGADILAN AGAMA A. Sejarah Pengadilan Agama Jakarta...42
B. Selayang Pandang Mengenai Pengadilan Agama...46
1. Pengadilan Agama Jakarta Pusat...48
2. Pengadilan Agama Jakarta Selatan...49
3. Pengadilan Agama Jakarta Timur...50
C. Kewenangan Pengadilan Agama...52
D. Struktur Organisasi Pengadilan Agama...58
v i
Indonesia...60 B. Persamaan Dan Perbedaan Hakim Agama Dam Mujtahid...69 C. Batasan Hakim Agama Dalam Memutus Perkara Yang Tidak Diatur
Dalam Peraturan Perundang-Undangan...78 BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan...86 B. Saran...88
DAFTAR PUSTAKA...90 LAMPIRAN
Profil Hakim Narasumber
Laporan Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama 1. Pengadilan Agama Jakarta Pusat
2. Pengadilan Agama Jakarta Selatan 3. Pengadilan Agama Jakarta Timur
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Problematika akan semakin banyak dan rumit seiring dengan perkembangan zaman, sehingga diperlukan pula perkembangan pemikiran hukum Islam yang bersumber pada al-Qur’an dan Hadits. Masyarakat sebagai komunitas akan senantiasa mengalami perubahan dan bersifat dinamis. Perubahan tersebut dapat terjadi kapan pun dan di mana pun manusia berada. Setiap bentuk, cepat atau lambat selalu menuntut perubahan dan pembaharuan dalam berbagai bidang, termasuk bidang hukum yang merupakan salah satu institusi penting bagi kehidupan umat manusia.1
Persoalan yang dihadapi kaum muslimin yang hidup pada masa Rasulullah akan berbeda dengan persoalan pada masa selanjutnya. Pengaruh itu terjadi karena percampuran kebudayaan setempat dan lain-lain. Dengan demikian, hukum-hukum yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah akan dikembangkan, sesekali ditafsir ulang dan diperluas untuk dapat menjawab persoalan baru yang harus ditemukan jawabannya. Proses pemikiran ulang dan penafsiran ulang hukum secara independen ini dapat dikenal sebagai ijtihad.2
1
A. Qodri Azizy, Ekletisisme Hukum Nasional: Kompetisi Antara Hukum Islam dan Hukum Umum, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), h. 32
Hal ini berarti bahwa ijtihad para ulama terdahulu mesti sesuai dengan waktu dan keadaan dimana mereka berada, namun belum tentu sesuai dengan keadaan umat Islam sekarang ini.3 Terkait dengan hal ini Ibnu Qayyim al-Jauziyyah mengatakan: “Perubahan fatwa dan perbedaannya adalah karena mempertimbangkan perubahan zaman, tempat, keadaan, niat dan kebiasaan.”
Masalah perubahan dan pembaharuan hukum Islam erat kaitannya dengan masalah ijtihad. Ijtihad sebagai sebuah metode penemuan hukum Islam diartikan dengan pencurahan segenap kemampuan seseorang dalam mencari hukum-hukum
syar’i yang bersifat zhanni (dugaan kuat), dalam batas sampai dirinya merasa tidak mampu melebihi usaha itu.4
Maju mundur dan cepat lambatnya perubahan dan pembaharuan hukum Islam terletak pada kesungguhan ijtihad para mujtahid, sedangkan kemundurannya antara lain disebabkan kelemahan mereka dalam berijtihad, seperti dapat ditelusuri dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam pada masa silam.5
Sejarah pertumbuhan dan perkembangan ijtihad dalam hukum Islam telah ada sejak masa hidup Nabi Muhammad saw. Ijtihad sendiri pertama kali dilakukan oleh Nabi Muhammad saw, hal ini beliau lakukan untuk menjawab permasalahan yang terjadi dan tidak ada jawabannya dalam Al-Qur’an dan Hadist, namun ijtihad Nabi
3
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos, 1999), cet. Ke-3, h. 164
4
Muhammad al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1983), juz IV, h. 218
5
selalu dikawal oleh Allah swt. Jika ijtihad Nabi salah maka Allah akan menurunkan wahyu untuk membetulkannya.
Kemudian, banyak sahabat Nabi yang telah berijtihad tentang berbagai persoalan, terhadap hasil ijtihad yang beliau ketahui secara langsung atau melalui perantaraan sahabat lain, beliau senantiasa menentukan sikap dan kalau perlu memberikan keputusan. Ada yang beliau setujui dan ada pula yang beliau betulkan. Sikap Nabi SAW demikian disebut taqrir yakni ketetapan Nabi terhadap ijtihad shahabat. Semangat ijtihad tumbuh subur di kalangan para sahabat karena Rasulullah memang memberi peluang yang besar untuk itu. Terutama setelah beliau wafat.
Pada masa sahabat, yang digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang timbul adalah ijma’ atau konsensus Sahabat. Dalam hal ini Khalifah tidak memutuskan sendiri suatu ketentuan hukum, melainkan bertanya terlebih dahulu kepada sahabat lain, baru kemudian keputusan dapat diambil. Keputusan yang diambil dengan suara bulat lebih kuat daripada yang diputuskan oleh satu atau beberapa orang saja.6
Periode ijtihad mulai benar-benar muncul bersamaan dengan kemajuan Islam, periode ini ditandai dengan pengumpulan Hadist dan pembukuan Fiqh serta penyempurnaannya. Pada masa ini lahir tokoh-tokoh mujtahid besar yang dikenal dengan al-a’immah al-arba’ah (empat imam mazhab) yaitu Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Hambali. Dan ilmu yang telah mereka kembangkan
6
kemudian diajarkan kepada murid-murid mereka. Dengan demikian para murid inilah yang menyebarluaskan ilmu tersebut dan bahkan ikut mengembangkan ilmu yang telah ada sesuai perkembangan situasi dan kondisi.
Masa kejayaan Islam ikut menjadi faktor berkembangnya ilmu-ilmu ini seperti fiqh, tafsir, dan lain-lain. Karena pemerintah Islam menitikberatkan perkembangan ilmu pengetahuan sebagai tanda kemajuan negara. Sehingga semakin banyak orang yang belajar dan mengembangkan ilmunya.
Di samping itu, persoalan yang timbul pun semakin banyak dan kompleks sehingga butuh pemikiran panjang pula untuk memutuskan solusi terbaik. Istilah mujtahid mulai berkembang pada periode ini, di lain pihak ditakuti pula ada sembarangan orang mengambil keputusan tanpa melihat nash-nash yang telah ada sehingga muncullah batasan-batasan khusus yang harus dipenuhi oleh seseorang mujtahid hingga ia dianggap pantas untuk memutus suatu perkara yang timbul.
Sehabis periode ijtihad dan kemajuan Islam, datanglah periode taklid dan penutupan ijtihad. Hal ini ditandai dengan kemunduran peradaban Islam dan perkembangan ilmu pengetahuan yang tidak sepesat sebelumnya. Ditambah lagi dengan anggapan bahwa pintu ijtihad cukup sampai di sini sehingga tidak diperlukan lagi ijtihad. Para murid mulai silau dengan ilmu guru mereka, sehingga merasa tidak mampu melewati kemampuan gurunya.
Tambahan pula dengan adanya anggapan cukup dengan mengikuti mazhab empat yang sudah ada saja.7
Alasan lain adalah untuk mencegah orang-orang yang tidak memenuhi syarat berijtihad berani memberikan fatwa-fatwa dengan sesuka hatinya kepada masyarakat dan untuk menghindari terjadinya fatwa-fatwa yang simpang-siur dan yang tidak terkendali sehingga membingungkan umat.8
Namun, menurut Masyfuk Zuhdi, selain hal-hal positif yang disebutkan di atas dengan ditutupnya pintu ijtihad, ada akibat negatifnya pula, diantaranya:
1. Berhentinya perkembangan kemajuan Fiqh Islam yang menyebabkannya menjadi statis.
2. Umat Islam menjadi statis dan tidak kritis yang menyebabkan kemunduran dan keterbelakangan umat Islam.
3. Fokus umat Islam berpindah dari Al-Qur’an dan Hadist kepada fatwa Imam Mazhab yang dipandang seolah-olah menjadi nash.
Berkenaan dengan disyariatkannya ijtihad, Yusuf al-Qaradhawi mengatakan “Tidak ada keraguan lagi bahwa ijtihad amat dianjurkan dalam Islam”.
Sejarah awal masuknya Islam di Indonesia sangat mempengaruhi pemikiran orang Indonesia yang lebih cenderung pada pemikiran Imam Syafi’i. hal ini terus
7
Sohbi Mahsmassani, Falsafah al-Tasyri’ fi al-Islam (Filsafat Hukum dalam Islam) alih bahasa: Ahmad Sudjono (Bandung: PT. Al-Ma’rif, 1977), cet. Ke-6, h. 144
8
berlangsung dan berkembang hingga masa penjajahan Belanda dan masa awal kemerdekaan.
Hukum Islam mulai sedikit terealisasikan secara legal oleh Negara ketika disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang selanjutnya disebut UUP. Pada saat itu sangat kontrversi sehingga memerlukan kurang lebih 25 tahun untuk mensahkannya.
Dengan berkembangnya zaman, hukum Islam pun memerlukan sinkronisasi pada situasi dan kondisi di Indonesia. Masyarakat semakin lega dengan diakuinya Peradilan Agama sebagai salah satu lembaga Peradilan di Indonesia dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang selanjutnya disebut UUPA jo Undang-Undang No. 3 Tahun 2006.
Melihat kondisi sosio-culture Indonesia yang memiliki wilayah yang luas dengan beratus-ratus adat-istiadat, jumlah penduduk yang menurut perhitungan terakhir Indonesia adalah Negara yang memiliki penduduk terbanyak ke-4 di seluruh dunia, tentunya banyak sekali permasalahan yang timbul khususnya dalam bidang
ahwal al-syakhsiyyah.
Oleh karena itu, hakim-hakim di Peradilan Agama dituntut untuk memiliki wawasan serta kebijaksaan yang luas dalam memutus suatu perkara hingga tidak hanya sesuai dengan hukum Islam namun juga sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia.
terdahulu, sehingga memaksa hakim untuk membuat putusan yang bijaksana. Putusan-putusan hakim mengenai hal-hal yang baru inilah yang kemudian setelah mempunyai kekuatan hukum tetap akan menjadi yurisprudensi di Indonesia. Artinya, akan menjadi rujukan hukum bagi hakim-hakim selanjutnya jika menemukan perkara yang sama.
Kedudukan hakim agama seperti ini, secara tidak langsung mempunyai kedudukan yang sama sebagai seorang mujtahid. Namun bedanya, dalam fiqh seseorang dapat dikatakan atau menjadi mujtahid dengan berbagai persyaratan yang belum tentu dipenuhi oleh seorang hakim agama di Indonesia.
Karena itulah, berdasarkan deskripsi di atas, penulis hendak mengangkat suatu tema yang akan ditulis sebagai bahan skripsi, yaitu membahas tentang “Batasan Hakim Agama Dalam Berijtihad Di Wilayah Dalam Yurisdiksi Pengadilan Tinggi Agama Jakarta”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah
Oleh karena itu, agar pembahasan dalam skripsi ini terfokus pada permasalahan yang ingin dipecahkan, maka penulis membatasi kajian dalam penelitian ini hanya pada penelitian mengenai bagaimana seorang hakim senior yang telah berkarier lebih dari 20 (dua puluh) tahun berijtihad dalam putusannya ketika menangani perkara yang belum ada peraturan perundang-undangannya atau terhadap perkara yang bersifat substansial yang memerlukan pertimbangan khusus dalam memutus perkara yang seadil-adilnya.
2. Perumusan Masalah
Hakim dalam beracara perkara di pengadilan yaitu menerima, memeriksa, meneliti, dan eksekusi tidak boleh memutus perkara jika tidak diatur dalam Undang-Undang, khususnya hakim peradilan agama yang kebanyakan merujuk pada Kompilasi Hukum Islam. Namun, pada kenyataannya para hakim agama sering kali memutus perkara yang belum diatur oleh UU dan KHI disebabkan perkara tersebut belum diatur secara sah oleh Negara dan kadang kala bersifat substansial.
Selanjutnya untuk lebih memfokuskan permasalahan dalam latar belakang masalah tersebut di atas, akan dibuat rumusan masalah dalam skripsi ini adalah “Hakim diwajibkan menemukan hukum dalam proses peradilan sebagai ijtihad”. Bila rumusan itu dijadikan pertanyaan dapat diajukan sebagai berikut:
1. Apa instrumen dasar batasan hakim dalam memutus suatu perkara kontemporer?
3. Bagaimana pandangan hakim Pengadilan Agama di wilayah yurisdiksi PTA Jakarta tentang batasan seorang mujtahid dalam berijtihad kaitannya dengan putusan hakim dalam sebuah perkara yang belum ada peraturan perundang-undangan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk merealisasikan beberapa tujuan, antara lain: 1. Untuk mengetahui sejauhmana batasan hakim di Indonesia dalam memutus
suatu perkara kontemporer dan kaitannya dengan efektifitas hasil ijtihad seorang mujtahid dalam Fiqh.
2. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan kekuatan hasil putusan hakim peradilan agama dengan ijtihad seorang mujtahid.
3. Untuk mengetahui pandangan hakim peradilan agama mengenai ijtihad seorang mujtahid dan kaitannya dengan putusan hakim dalam sebuah perkara yang belum ada peraturan perundang-undangannya.
4. Untuk memenuhi syarat-syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) dalam program strata 1 (S1) Konsentrasi Peradilan Agama Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Adapun adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan kegunaan sebagai berikut:
Dengan adanya hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat mengenai bagaimana sebenarnya kekuatan putusan seorang hakim di Indonesia terkait dengan konteks mujtahid dalam fiqh yang mempunyai syarat-syarat tertentu. Dengan adanya informasi ini diharapkan masyarakat dapat menggunakan dan memahami bagaimana membedakan kedudukan seorang hakim yang dianggap sebagai mujtahid di Indonesia dengan kedudukan seorang mujtahid dalam konteks fiqh.
2. Fakultas
Memberikan sumbangsih hasil penelitian guna memperkaya khazanah Ilmu Peradilan dan Fiqh di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan menambah literatur kepustakaan khususnya mengenai Konteks Mujtahid.
3. Penulis
Menambah wawasan seputar dunia Peradilan dan Fiqh khususnya dalam hal kekuatan hukum masing-masingnya, baik dalam hukum positif terkait dengan putusan seorang hakim maupun dalam hukum Islam terkait dengan ijtihad seorang mujtahid.
D. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
suatu gejala serta mencari tahu hubungan antara satu gejala dengan gejala lainnya dalam masyarakat9. Penelitian yang dimaksud untuk mengeksplorasi dan mengklarifikasi serta memaparkan masalah batasan putusan hakim di Indonesia terkait konteks mujtahid dalam fiqh.
Penelitian ini akan mengerucut pada penelitian hukum empiris yang mengkaji hukum sebagai hasil dari berbagai kekuatan hukum dalam proses kajian social (Sociology of Law).10
2. Jenis Data
Untuk memperlancar penelitian, penulis menggunakan 2 (dua) sumber data. Yaitu data primer berupa data yang didapat dari sumber pertama diantaranya data hasil wawancara dari subjek penelitian, buku-buku atau kitab-kitab yang terkait dengan kedudukan dan kekuatan keputusan hakim di Indonesia dan konteks ijtihad. Sumber data yang kedua adalah data sekunder atau studi dokumentasi untuk menjelaskan konteks mujtahid secara umum, data-data tersebut berupa literatur mengenai dunia peradilan, kamus, dan lain-lain11.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan dalam penelitian hukum empiris ini adalah Pertama, penelitian kepustakaan (library Research) yaitu mengumpulkan data dari berbagai
9 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), h. 25
10Ibid., h. 133
11
macam literatur yang relevan dengan pokok masalah yang dijadikan sumber penulisan karya tulis ini12. Pengumpulan data ini juga ada yang bersifat primer seperti buku, majalah, skripsi, tesis dan disertasi. Adapula yang sekunder yaitu indeks, bibliografi, dan lain-lain.
Kedua, adalah wawancara yaitu mengumpulkan data dari para narasumber yang merupakan hakim Peradilan Agama mengenai pendapat mereka tentang Hakim Peradilan Agama yang dianggap mujtahid di Indonesia. Wawancara adalah metode yang paling efektif dalam pengumpulan data karena bertatapan langsung dengan responden untuk mendapatkan fakta dan opini, maupun persepsi diri dan saran-saran responden.13
4. Teknik Pengolahan Data
Pengolahan data adalah kegiatan merapikan data hasil pengumpulan data di lapangan sehingga siap untuk dianalisis.
a. Seleksi Data: setelah memperoleh data dan bahan-bahan penelitian baik melalui studi pustaka (dokumentasi) maupun wawancara, lalu diperiksa kembali satu persatu agar tidak terjadi kekeliruan.
b. Klarifikasi Data: setelah data dan bahan diperiksa lalu diklarifikasi dalam bentuk dan jenis tertentu, kemudian diambil kesimpulan.
5. Metode Analisis Data
12
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, h. 50
Analisis data adalah sebagai kegiatan tindak lanjut proses pengolahan data yang memerlukan ketajaman berpikir, yang berakhir pada analisi kuantitatif karena melihat gejala yang ditimbulkan, hubungan antara variabel yang jelas yang dilakukan melalui wawancara.14
Teknik analisis yang digunakan adalah konteks analisis wacana. Dalam hal ini, setiap data akan dianalisis dari beberapa sudut pandang. Dari asal sumber data tersebut, siapa yang mengeluarkan teori tersebut dan bagaimana merangkumnya menjadi suatu kesimpulan.
E. Review Studi Terdahulu
Adapun review studi terdahulu dari skripsi ini adalah: 1. Penulis : Agus Abdillah Ali
Judul : Kontribusi Hakim Peradilan Agama Dalam Proses Pembentukan Yurisprudensi (Studi Kasus di Pengadilan Agama Jakarta Selatan)
Skripsi ini membahas mengenai sejauh mana kontribusi hakim Peradilan Agama dalam pembentukan yurisprudensi, yang mencakup Sumber Hukum Peradilan Agama, Kompetensi Peradilan Agama, Asas-asas Hukum Acara Peradilan Agama. Pengertian Yurisprudensi, Kekuatan Mengikat Yurisprudensi Terhadap Hakim, Prasyarat Suatu Putusan Menjadi Yurisprudensi, Peran Yurisprudensi di Peradilan Agama. Metode Penemuan dan Penerapan Hukum, Kontribusi Hakim Dalam Memakai dan Menghasilkan Yurisprudensi, dan Analisis Hukum Yurisprudensi.
14
2. Nama: Djuheri
Judul: “Peranan Analisis Yurisprudensi Satria Effendi Dalam Pengembangan Pemikiran Hukum Islam”
Skripsi ini membahas tentang bagaimana peranan analisis yurisprudensi dalam pembentukan hukum. Skripsi ini lebih memfokuskan pembahasannya pada pemikiran Satria Effendi dalam menganalisis suatu putusan kaitannya dengan produk pengembangan hukum Islam.
3. Nama: Irwan Hermawan
Judul: Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menetapkan Hak Pemeliharaan Anak (Analisis Yurisprudensi Terhadap Putusan Nomor: 674/pdt.G/2002/PAJS)
Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah bagaimana analisis pertimbangan hakim atau metode ijtihad yang digunakan hakim dalam memutus perkara no. 674/pdt.G/2002/PAJS. Serta apa yang menjadi dasar hukum hakim sehingga menyerahkan hak pemeliharaan anak kepada ayahnya. Sehingga pada dasarnya dalam skripsi ini hanya membahas satu putusan melalui pertimbangan hakimnya.
4. Nama: Muhammad Hafizh
Judul: Wasiat Wajibah Terhadap Ahli Waris Non Muslim Dalam Perspektif Hukum Kewarisan Islam (Studi Kasus Putusan PTA.JP. No. 14/pdt.G/1994 dan MA No. 368 K/AG/1995)
Yang memfokuskan penelitian pada bagaimana kedudukan ahli waris non muslim dalam hukum Islam, posisi wasiat wajibah non muslim dalam khazanah pemikiran hukum Islam dan kedudukan putusan Mahkamah Agung yang menyatakan hak wasiat wajibah bagi ahli waris non muslim dapat dikatakan sebagai bentuk baru pembaharuan hukum kewarisan Islam di Indonesia.
Keempat skripsi ini berbeda dengan skripsi yang akan penulis angkat. Pada skripsi yang pertama khusus membahas mengenai yurisprudensi dengan penjelasannya yang mendetail, sedangkan penulis akan membahas tidak sekedar yurisprudensi namun juga menganalisis kaitannya dengan ijtihad para hakim dalam konteks ijtihad dalam fiqh.
Skripsi yang kedua, bahkan lebih spesifik lagi karena hanya membahas bagaimana pemikiran Satria Effendie dalam peranannya membentuk yurisprudensi, sedangkan skripsi yang akan penulis angkat bagaimana hakim agama berijtihad dalam putusannya sehingga berakhir menjadi yurisprudensi dalam hukum Indonesia. Dua skripsi terakhir membahas putusan hakim di Pengadilan Agama yang sangat spesifik membahas pertimbangan hakim hanya dalam putusan tersebut, berbeda dengan yang akan penulis tulis yang membahas bagaimana ijtihad hakim di Pengadilan Agama tanpa mengkhususkan hanya pada satu putusan saja.
F. Sistematika Penulisan
Bab pertama, merupakan bab pendahuluan yang didalamnya diuraikan latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, studi pendahuluan dan sistematika penulisan.
Bab kedua, memuat pembahasan yang berkaitan dengan teori kedudukan Hakim Agama di Indonesia yang menjadi landasan teori dalam penelitian. Meliputi perkembangan kekuasaan dan kedudukan hakim agama di Indonesia, yurisprudensi dan perkembangannya, pengertian ijtihad dan mujtahid, persyaratan menjadi seorang mujtahid, instrumen dasar bagi prasyarat hakim Pengadilan Agama sebagai mujtahid dan tingkatan yang harus dilalui oleh seseorang untuk menjadi seorang mujtahid.
Bab ketiga, memaparkan gambaran umum peradilan yang menjadi objek kajian penulis. Yang meliputi sejarah pengadilan agama Jakarta, profil pengadilan, kewenangan peradilan agama serta struktur organisasi pengadilan agama.
Bab keempat memaparkan hasil kajian mengenai batasan hakim dalam memutus perkara kontemporer, persamaan dan perbedaan antara hakim agama di Indonesia dengan seorang mujtahid dalam fiqh dan pandangan hakim Peradilan Agama tentang batasan seorang mujtahid dalam berijtihad kaitannya dengan putusan hakim dalam sebuah perkara yang belum ada peraturan perundang-undangannya.
BAB II
PERKEMBANGAN EKSISTENSI PUTUSAN HAKIM AGAMA DAN TEORI IJTIHAD SERTA MUJTAHID DALAM FIQH
A. Perkembangan Kekuasaan dan Kedudukan Hakim Agama di Indonesia dan Yurisprudensi
1. Perkembangan Eksistensi Putusan Hakim Agama
Indonesia adalah Negara yang majemuk termasuk dalam hal agama, namun
hanya agama Islam yang memiliki peradilan yang disebut Peradilan Agama yang
dikhususkan untuk menyelesaikan perkara bagi umat Islam Indonesia.
Umat Islam sebagai mayoritas di Indonesia sejak masa sebelum kemerdekaan
telah menggunakan hukum Islam dalam menyelesaikan perkara yang timbul.
Sehingga Peradilan Islam pun telah dipraktekkan jauh sebelum datangnya Kolonial
Belanda.
Campur tangan resmi Belanda dalam soal Pengadilan Agama mulai tampak
pada tahun 1820 dengan dikeluarkan Regenten Instructie Stbl 1820 Nomor 201 yang
menyebutkan: “Apabila ada perselisihan mengenai waris di kalangan rakyat
hendaknya diserahkan kepada alim ulama.” Pada tahun 1882 Belanda secara resmi
mengakui keberadaan Pengadilan Agama dengan dikeluarkan Keputusan Raja
Belanda Nomor 24 tahun 1882 yang dimuat dalam Stbl 1882 No. 152 dan 153
1Abdul Manan, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
tentang Pengadilan Agama di Jawa Madura. Wewenang yang ditetapkan adalah
dalam bidang perkawinan, kewarisan, wakaf dan hadhanah. Yang kemudian dikenal
dengan teori receptie in complexu.2
Kemudian terjadi perubahan politik Belanda yang berakhir pada pencabutan
wewenang Pengadilan Agama oleh Gubernur Jendral melalui Keputusan Nomor 9
Tahun 1937.3 Yaitu dalam perkara waris, hadhanah dan wakaf, sehingga pada
akhirnya Pengadilan Agama hanya menangani perkara perkawinan. Namun melalui
Stbl 638 dan 639 tahun 1937 Belanda menetapkan pembentukan Pengadilan Agama
di Kalimantan Selatan dan Timur dengan nama Kerapatan Qadhi untuk tingkat satu
dan Kerapatan Qadhi Besar untuk tingkat banding.
Dampak pertama dari pencabutan wewenang ini adalah putusan Pengadilan
Agama dianggap tidak kuat sehingga harus meminta pengukuhan Pengadilan Umum
dalam bentuk executor verklaring. Dampak kedua adalah Belanda tidak lagi
menanggung anggaran belanja, sehingga dengan tidak adanya anggaran, biaya
perkara dibebankan sepenuhnya kepada pihak yang berperkara. Ini sangat
menurunkan citra Pengadilan Agama di mata masyarakat.
Pengadilan Agama setelah kemerdekaan dipindahkan di bawah Departemen
Agama pada tanggal 25 Maret 1946 berdasarkan Ketetapan Pemerintah No. 5/SD.4
Pada tahun 1957 pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun
2
Ibid., h. 162
3
Ibid., h. 164
4
1957 yang menetapkan pembentukan Mahkamah Syari’ah tingkat satu di seluruh
wilayah tingkat II dan Mahkamah Syari’ah Propinsi untuk pengadilan tingkat
banding di setiap propinsi. Wewenang pun diperluas kembali dengan memasukkan
perkara waris, wakaf dan hadhanah. Walaupun demikian, masih terdapat kelemahan
bagi Pengadilan Agama. Pertama, perkara waris hanya dapat dilangsungkan oleh
Pengadilan Agama jika pihak yang berperkara menginginkan demikian. Kedua,
putusan Pengadilan Agama harus dikonfirmasikan kepada Pengadilan Umum.
Pada periode ini Peradilan Agama dan hakim agama belum dapat
menunjukkan perannya sebagai lembaga dan aparat yang berwenang. Kondisi gedung
yang menyedihkan, perangkat kerja yang tidak memadai dan struktur organisasi yang
tidak selayaknya dengan peradilan kontemporer. Peran seorang hakim pun masih
belum tetap karena selain sebagai hakim juga merangkap sebagai Mufti, Juru Dakwah
dan jabatan yang lain yang mengganggu mekanisme jalannya Peradilan Agama.5
Sejak tahun 1948 hingga sekarang ada lima Undang-Undang yang mengatur
tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu:
1. Undang-undang No. 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan
Badan-Badan Kehakiman dan Kejaksaan.
2. Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman.
3. Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman, yang kemudian diubah dengan Undang-Undang No.
5
35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
4. Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
5. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Amendeman Undang-Undang
No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Kemerdekaan kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang No. 19 Tahun
1948 diatur dalam Pasal 3:
1. Kekuasaan kehakiman dijalankan tidak memandang kedudukan dalam
masyarakat dari pihak yang berperkara.
2. Para hakim merdeka dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman dan hanya
tunduk kepada Undang-Undang.
3. Pemegang kekuasaan pemerintah dilarang campur tangan dalam urusan
kehakiman, kecuali dalam hal tersebut diatur dalam UUD.
4. Perselisihan kekuasaan antara pemegang kekuasaan kehakiman dengan
pemegang kekuasaan pemerintahan diputuskan sesuai yang diatur dalam UU.
Dalam Konstitusi Republik Indonesia dijelaskan bahwa kekuasaan
Kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung. Sebagai pelaksana konstitusi ini,
pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam UU ini ditetapkan 4 (empat) lingkungan
peradilan, yaitu: Pengadilan Umum, Pengadilan Agama, Pengadilan Militer dan
yang mengurus perkara masyarakat Indonesia. Pengadilan Agama adalah pengadilan
khusus yang mengurus kepentingan umat Islam dalam perkara sipil tertentu.
Masing-masing lingkungan pengadilan melaksanakan tugas peradilan dalam
dua tingkat. Yaitu pengadilan tingkat pertama yang rata-rata terdapat pada daerah
tingkat dua yaitu kotamadya atau kabupaten, yang namanya bagi Peradilan Islam
adalah Pengadilan Agama. Kemudian selanjutnya adalah pengadilan tingkat dua atau
tingkat banding yang terdapat di setiap propinsi dan berkedudukan di ibukota
propinsi yang dikenal dengan Pengadilan Tinggi Agama. Yang pada akhirnya
berakhir di Mahkamah Agung sebagai lembaga pengadilan tertinggi tingkat kasasi
dan lembaga terakhir bagi pencari keadilan.
Tentang kedudukan Hakim Peradilan Agama dalam kurun waktu ini,
dikemukakan oleh Purwo S. Gandasubrata, Wakil Ketua Mahkamah Agung RI dalam
Simposium Sejarah Peradilan Agama tanggal 5 April 1982 di Jakarta bahwa hakim
Peradilan Agama bukan lagi “Penghulu Rechter” zaman dahulu. Melainkan hakim
Negara dengan tugas mengadili perkara-perkara tertentu yang masuk
kewenangannya. Kemudian keluar Instruksi Presiden RI Nomor 12 tahun 1970
tentang Penegasan Kedudukan Hakim, yang menyatakan bahwa kedudukan hakim
agama akan sama apabila berstatus pegawai negeri.6
6
2. Yurisprudensi Dan Perkembangannya a. Yurisprudensi7
Yurisprudensi berawal dari tugas hakim yang tertera dalam Pasal 22 A.B
(Aglemene Bepaligan van Wetveging) tentang tugas hakim bahwa “Hakim yang
menolak untuk menyelesaikan suatu perkara dengan alasan bahwa peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan tidak menyebutkan, tidak jelas atau tidak
lengkap, maka ia dapat dituntut untuk dihukum karena menolak mengadili”. Dengan
demikian, Hakim mempunyai kewenangan untuk menciptakan hukum (Judge Made
Law), terutama terhadap kasus-kasus yang sama sekali belum ada hukumnya, tetapi
telah masuk pengadilan.
Kewenangan hakim untuk menetapkan hukum adalah demi keadilan, bukan
hanya demi kepastian hukum, karena hakim bukan hanya sekedar corong
undang-undang. Karena itu, dalam membuat putusan, hakim tidak hanya terpaku pada bunyi
teks undang-undang apabila dirasakan tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Artinya, apabila hukum yang tercantum dalam undang-undang sudah tidak sesuai lagi
dengan rasa keadilan dan tuntutan masyarakat, hakim dapat melakukan tindakan yang
disebut contra legem, yaitu menyimpang dari bunyi teks undang-undang dengan
memberikan pertimbangan hukum secara jelas dan tajam dari berbagai sudut pandang
kehidupan hukum dan masyarakat.8
7
Ahmad Kamil, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 8-12
Dalam kaitan dengan kedudukan yurisprudensi sebagai sumber dan
pembentukan hukum, dikenal 3 (tiga) aliran.9 Pertama, aliran legisme, yang
berpendapat bahwa yurisprudensi kurang penting, karena semua hukum sudah
terdapat dalam undang-undang yang dibuat oleh legislatif. Hakim hanya melakukan
apa yang menjadi bunyi dan kehendak undang-undang belaka (wetstoepassing).
Yaitu, suatu deduksi logis dari suatu perumusan yang luas (proposisi major) kepada
keadaan khusus (proposisi minor) untuk kemudian sampai kepada kesimpulan
(conclusio).
Kedua, aliran freie rechtsbewegung dimana hakim sama sekali tidak terikat
dengan undang-undang, karena pekerjaan hakim adalah rechtsschepping yaitu
menciptakan hukum. Karena itu, menurut aliran ini, hakim wajib memahami
yurisprudensi sebagai sumber hukum primer, sedangkan undang-undang merupakan
sumber hukum sekunder.
Ketiga, aliran rechtsvinding yang merupakan jalan tengah dari dua aliran
sebelumnya. Aliran ini berpandangan bahwa benar hakim dalam menjalankan
tugasnya terikat dengan undang-undang, tapi tidak seketat aliran legisme. Dan hakim
mempunyai kebebasan walaupun tidak sebebas aliran freie rechtsbewegung.
Sehingga hakim dalam menjalankan tugasnya, mempunyai kebebasan yang terikat
(gebonden vrijheid) atau keterikatan yang bebas (vrij gebondenheid).
Dengan demikian, tugas hakim sebenarnya adalah menemukan hukum dalam
arti menyelaraskan undang-undang dengan tuntutan zaman. Dan untuk itu, hakim
9
mempunyai wewenang untuk menafsirkan undang-undang (wetinterpretatie) dan
komposisi yang mencakup analogi (abstraksi) dan membuat pengkhususan serta
perluasan makna (rechtsverfijning).
Di samping tiga aliran di atas, A. Qodry Azizy menambahkan aliran yang
disebut rechtsvinding-plus atau legal realisme-plus. Menurut Azizy tugas hakim
sebagai penemu hukum harus mengikatkan tanggung jawabnya kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Artinya hukum yang ditemukan harus dapat dipertanggungjawabkan tidak
hanya kepada hukum dan masyarakat tetapi terutama kepada Tuhan sebagai
konsekuensi pasal 14 dan 27 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Nomor 4
Tahun 2004 yang menetapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila.10
b. Hukum Yurisprudensi
Yurisprudensi berasal dari iuris prudential (Latin), Jurisprudentie (Belanda),
Jurisprudence (Perancis), yang berarti “Ilmu Hukum”.
Dalam sistem Common Law, yurisprudensi diartikan sebagai “Suatu ilmu
pengetahuan hukum positif dan hubungan-hubungannya dengan hukum lain”.
Putusan-putusan hakim yang lebih tinggi dalam sistem ini dan diikuti secara tetap
sehingga menjadi bahagian dari ilmu pengetahuan hukum, disebut “Case Law”
sedangkan dalam Civil Law adalah “Putusan-putusan hakim terdahulu yang telah
berkekuatan tetap dan diikuti oleh para Hakim atau badan Peradilan lain dalam
10
memutus perkara atau kasus yang sama”. Sering pula kumpulan hukum itu disebut
“RECHTERRECHT” atau hukum yang sering ditimbulkan melalui putusan-putusan
hakim atau badan peradilan.11
Adapun alasan mengenai yurisprudensi dapat diterima sebagai sumber
hukum, adalah (a) Adanya kewajiban Hakim untuk menetapkan dan memutus perkara
yang diajukan kepadanya meskipun belum ada peraturan yang mengaturnya; (b)
Salah satu fungsi Pengadilan dalam pembaharuan dan pembangunan hukum ialah
menciptakan sumber hukum baru; (c) Hal yang baik dalam mencari dan menegakkan
keadilan.
Namun Prof. Subekti memiliki pandangan sendiri mengenai Yurisprudensi
yaitu “Putusan-putusan hakim atau Peradilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan
dibenarkan oleh Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Kasasi, atau putusan
Mahkamah Agung itu sendiri yang sudah berkekuatan hukum tetap”. Jadi, tidak
semua putusan hakim dapat dijadikan yurisprudensi, karena untuk masuk dalam
kategori yurisprudensi harus melalui proses “eksaminasi” dan “notasi” dari
Mahkamah Agung dengan rekomendasi sebagai putusan yang telah memenuhi
standar hukum yurisprudensi.
Di kalangan praktisi sering membedakan antara “Yurisprudensi Tetap” dan
“Yurisprudensi Tidak Tetap”. Walaupun demikian, belum ada definisi yang pastinya.
Beberapa Hakim Agung mendefinisikan Yurisprudensi Tetap yaitu “Putusan-putusan
11Paulus Effendie Lotulung, Peranan Yurisprudensi Sebagai Sumber Hukum, (Jakarta: Badan
hakim tingkat pertama, banding dan kasasi yang telah berkuatan hukum tetap, atas
perkara atau kasus yang belum jelas aturan hukumnya yang memiliki muatan
keadilan dan kebenaran, telah diikuti berulang kali oleh hakim berikutnya dalam
memutus perkara yang sama, putusan tersebut telah diuji secara akademis oleh
Majelis Yurisprudensi yang terdiri dari para Hakim Agung di Mahkamah Agung, dan
telah direkomendasikan sebagai yurisprudensi tetap yang berlaku mengikat dan wajib
diikuti oleh hakim-hakim dikemudian hari dalam memutus perkara yang sama”.
Berdasarkan proses diatas, maka tahapan-tahapan yang harus dilalui agar
suatu putusan dapat menjadi yurisprudensi adalah:
1). Adanya putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap;
2). Atas perkara atau kasus yang diputus belum ada aturan hukumnya atau
hukumnya kurang jelas;
3). Memiliki muatan kebenaran dan keadilan;
4). Telah berulang kali diikuti oleh hakim berikutnya dalam memutus perkara
yang sama;
5). Telah melalui uji eksaminasi atau notasi oleh tim yurisprudensi Hakim Agung
Mahkamah Agung RI;
6). Telah direkomendasikan sebagai putusan yang berkualifikasi yurisprudensi
Pada dasarnya, dalam penyusunan suatu putusan hakim selalu memenuhi dua
unsur atau sifat yaitu segi legalitas dan segi rasionalitas, yang kemudian menjadi
Legal Reasioning. Suatu putusan yang bersifat legal apabila dijatuhkan oleh pejabat
yang berwenang dan didasarkan pada aturan hukum yang berlaku, sedangkan sifat
rasionalitasnya terletak pada penalaran hukum yang menjadi motif sebenarnya dari
hakim dalam menjatuhkan putusan (motivering).
Putusan hakim tidak saja harus memuat norma-norma hukum sebagai
landasannya (asas legalitas), tetapi juga harus bisa menjadi aturan bagi penyelesaian
konflik dalam perkara/kasus yang dihadapi. Oleh karena itu, norma hukum tertulis
(undang-undang misalnya) tidak selalu lengkap, sebab akan selalu ketinggalan
dengan perkembangan masyarakat yang lebih cepat dan selalu memerlukan
pemecahan hukum yang “Up to date”.
Maka peranan putusan hakim yang memuat aturan bagi penyelesaian kasus
tertentu (sebagai “fomula”), akan dapat menjadi acuan dan sumber referensi bagi
penyelesaian kasus serupa di kemudian hari bila terjadi kekosongan hukum
disebabkan karena belum ada peraturan hukumnya. Sehingga yurisprudensi secara
nyata memberikan kontribusi dan partisipasi dalam pengembangan hukum.12
c. Fungsi Yurisprudensi:
1). Dengan adanya putusan-putusan yang sama dalam kasus yang serupa,
maka dapat ditegakkan adanya standar hukum yang sama, dalam hal
12
undang-undang tidak mengatur atau belum mengatur pemecahan kasus
yang bersangkutan.
2). Dengan adanya standar hukum yang sama itu, maka dapat diciptakan rasa
kepastian hukum di masyarakat.
3). Dengan diciptakan rasa kepastian hukum dan kesamaan hukum terhadap
kasus yang sama, maka putusan hakim akan bersifat dapat diperkirakan
(predictable) dan ada transparansi.
4). Dengan adanya standar hukum, maka dapat dicegah kemungkinan
timbulnya disparitas dalam putusan hakim yang berbeda dalam perkara
yang sama. Seandainya pun timbul perbedaan putusan antara hakim yang
satu dengan yang lain dalam kasus yang sama, maka hal itu jangan sampai
menimbulkan disparitas tetapi hanya bercorak sebagai variabel secara
kasuistik (kasus demi kasus).13
Menurut Yahya Harahap, Law standard Yurisprudensi mempunyai fungsi
untuk:14
1. Menegakkan terwujudnya hukum. Ketika terjadi kekosongan hukum serta
ketidakjelasan dan kelemahan hukum positif yang terkodifikasi, dapat
dilengkapi oleh putusan hakim.
13
Ibid., h. 17
14
2. Menciptakan kesatuan kerangka hukum (unified legal frame work) dan
kesatuan pendapat hukum (unified legal opinion). Dengan demikian,
yurisprudensi langsung berfungsi mewujudkan keseragaman landasan hukum
dan persepsi hukum.
3. Menciptakan kepastian penegakan hukum. Karena dalam kasus yang sama
semua pihak akan merujuk kepada standar hukum yang telah tercipta.
4. Mencegah terjadinya disparitas putusan. Tegasnya, yurisprudensi yang telah
membentuk kesatuan persepsi akan mencegah putusan yang bersifat
disparitas.
d. Kedudukan Yurisprudensi
Dalam pembentukan hukum melalui yurisprudensi ini, perlu senantiasa
diingat akan 3 (tiga) nilai dasar yang penting yaitu:
1. Nilai Filosofis, yang berarti bahwa putusan hakim harus mencerminkan
dan berintikan rasa keadilan dan kebenaran;
2. Nilai Sosiologis, yang berarti bahwa putusan hakim harus sesuai dengan
tata nilai budaya maupun nilai hukum yang hidup dan berlaku dalam
masyarakat;
3. Nilai Yuridis, yang berarti bahwa putusan hakim harus sesuai dan
mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.15
15
Mahkamah Agung dalam penyusunan Yurisprudensi Indonesia menetapkan
kriteria seleksi dalam memilih putusan-putusan hakim yang dipublikasikan: pertama,
putusan yang menarik perhatian masyarakat. Kedua, putusan yang mencerminkan
pendekatan baru terhadap suatu masalah hukum. Ketiga, putusan yang melibatkan
berbagai masalah hukum (complexitas yuridis). Keempat, putusan yang mempertegas
suatu aspek hukum. Kelima, putusan yang mencerminkan arah perkembangan hukum
nasional. Keenam, putusan yang menyangkut kepentingan masyarakat luas. Ketujuh,
putusan yang mencerminkan konsistensi pendirian Mahkamah Agung sebagai suatu
lembaga tinggi Negara.16
Yurisprudensi telah menjadi bagian dari pertumbuhan dan pembentukan
hukum di Indonesia. Bahkan ketika situasi politik dan perkembangan sosial bergerak
dalam akselerasi yang cepat, pembentukan hukum melalui yurisprudensi menjadi
keniscayaan untuk secara bersama-sama menyertai pembentukan hukum melalui
legislasi. Jadi, pembentukan hukum melalui yurisprudensi menjadi kebutuhan hukum
masyarakat, di samping telah menjadi bagian dari politik hukum nasional.
B. Pengertian Ijtihad, Mujtahid dan Persyaratan Menjadi Mujtahid 1. Pengertian Ijtihad
16
Ijtihad berasal dari kata
ﺪﻬ
artinya mencurahkan segala kemampuan ataumenanggung beban kesulitan. Bentuk kata yang mengikuti wazan ifti’al (
لﺎ ا
)menunjukkan arti berlebih (Mubalaghoh) dalam perbuatan.
Menurut Imam al-Ghazali ijtihad secara bahasa artinya “mencurahkan segala
kekuatan dan kemampuan dalam mengerjakan sesuatu yang sulit dan mengandung
beban”.
Dari pengertian kebahasaan terlihat dua unsur pokok dalam ijtihad: (1) daya
dan kemampuan, (2) objek yang sulit dan berat. Ijtihad sebagai terminologi keilmuan
dalam Islam juga tidak terlepas dari dua unsur tersebut. Akan tetapi, karena kegiatan
keilmuan lebih banyak bertumpu pada kegiatan intelektual, maka pengertian ijtihad
lebih banyak mengacu kepada pengarahan kemampuan intelektual dalam memecah
berbagai bentuk kesulitan yang dihadapi, baik yang dihadapi oleh individu maupun
umat secara menyeluruh.17
Para ahli Ushul Fiqh memberikan arti yang berbeda-beda dari sisi
terminologi. Menurut Imam as-Syaukani dalam bukunya Irsyad al-Fuhul 18, beliau
mendefinisikan ijtihad sebagai berikut:
طﺎ ﻹا
ﺔ ﺮ ﺑ
ﱢ ﻤ
ﱟ ﺮ
ﻢﻜﺣ
ﻴ
ﻰ
ﻮﻟا
لﺬﺑ
.
Artinya:
17
Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Syaukani, Relevansinya bagi Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), cet I, h. 74-75
18
“Mencurahkan kemampuan guna mendapatan hukum syara’ yang bersifat operasional
dengan cara istinbath (mengambil kesimpulan hukum).”
Imam as-Syaukani menjelaskan definisi ijtihadnya sebagai berikut:19
a. Mencurahkan kemampuan adalah sampai dirinya merasa sudah tidak mampu
lagi untuk menambah usaha.
b. Hukum syara’ mengecualikan hukum bahasa, akal dan indera. Oleh karena
itu, orang yang mencurahkan kemampuannya di bidang tersebut tidak disebut
mujtahid dalam ushul fiqh.
c. Begitu juga pencurahan kemampuan guna mendapatkan hukum ilmiah tidak
disebut ijtihad menurut Fuqaha walaupun menurut ahli ilmu kalam hal yang
demikian disebut ijtihad.
d. Dengan cara mengambil istinbath mengecualikan pengambilan hukum dari
nash yang zhahir atau penghafalan beberapa permasalahan, atau menanyakan
pada seorang mufti ataupun dengan cara mencari hukum permasalahan dari
buku-buku. Karena yang demikian ini tidak termasuk dalam ijtihad menurut
istilah kendatipun termasuk dalam ijtihad menurut bahasa.
Menurut Abi Ishaq Ibrahim as-Syairazi (w. 476H) dalam al-Luma’ fi Ushul
al-Fiqh:20
ﻰ ﺮ ﻟا
ﻢﻜ ﻟا
ﻰ
دﻮﻬ ﻤﻟا
لﺬﺑ
و
ﻮﻟا
غاﺮ ا
ءﺎﻬ ﻟا
فﺮ
ﻰ
دﺎﻬ
ا
19
Yusuf al-Qardhawi, Ijtihad Dalam Syariat Islam, (Bulan Bintang, Jakarta: 1987), h. 4
20
“Ijtihad menurut tradisi ahli fiqh diartikan dengan mengerahkan kemampuan
mujtahid dalam mencari hukum-hukum syara’.”
Al-Amidi (w. 631H) lebih mempertajam definisi ijtihad dengan ungkapan:21
ﻦ
ءﻰ ﺑ
ﻦﻈﻟا
ﻰ
ﻮﻟا
غاﺮ ﺎﺑ
صﻮ
ﻤ
ﻦﻴﻴﻟﻮ ﻷا
ح
ا
ﻰ
ﺎ أ
ﻴ
ﺪ ﺰﻤﻟا
ﻦ
ﺰ ﻟا
ﻟا
ﻦ
و
ﻰ
ﺔﻴ ﺮ ﻟا
مﺎﻜﺣﻷا
“Adapun dalam terminologi ahli ushul fiqh kata ijtihad digunakan khusus dalam arti
mencurahkan segenap kemampuan dalam mencari hukum syar’i yang bersifat
zhanny, sampai batas dirinya merasa tidak mampu lagi melebihi usahanya tersebut.”
Penambahan kata al-Faqih dalam definisi ijtihad menurut al-Syaukani
merupakan keharusan, sebab pencurahan kemampuan bukan oleh seorang faqih tidak
disebut ijtihad secara istilah. Namun menurut Yusuf al-Qardhawi “Ahli ushul yang
tidak menyebutkan kata al-Faqih dalam definisinya, sebenarnya kata itu telah tersirat
dalamnya, sebab tidak mungkin seorang yang mampu mengambil hukum dengan cara
istinbath kecuali ia adalah seorang faqih ”.22
Menurut Abdul Wahab Khallaf ijtihad adalah pencurahan daya kemampuan
untuk menghasilkan hukum (berdasarkan) dalil-dalil syara’ yang detail. Dan menurut
Muhammad Abu Zahrah ijtihad adalah pencurahan daya upaya dari seorang faqih
(ahli hukum Islam) dalam rangka mengistinbathkan hukum yang berkait dengan
hukum ‘amaliyah berdasarkan argumentasi yang detail.
21
Saif al-Din Abi al-Hasan Ali ibn Ali ibn Muhammad Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1983), juz IV, h. 218
22
Pengertian ijtihad diatas, mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
1. Upaya optimal oleh orang yang berkualifikasi mujtahid/faqih
Ijtihad tidak mungkin terlaksana tanpa adanya upaya yang sungguh-sungguh
dan optimal. Sebagai aktifitas daya nalar dalam usaha merumuskan hukum yang
berkaitan dengan perbuatan manusia, seseorang yang hendak berijtihad dituntut untuk
menguasai berbagai ilmu yang dibutuhkan.
2. Objek ijtihad adalah hukum syara’ yang bersifat amaliyah/praktis
Ijtihad dalam pengertian diatas hanya dibatasi pada masalah-masalah hukum
syara’ yang bersifat praktis/amaliyah yaitu bidang fiqh. Oleh karena itu, masalah
seperti akidah, filsafat, tasawuf yang bukan merupakan fiqh tidak termasuk objek
ijtihad.
3. Status hukum dari hasil ijtihad adalah zhanni (bersifat dugaan kuat)
Karena pelaksanaan ijtihad dilakukan melalui cara istinbath terhadap masalah
hukum yang dalilnya belum dapat dipahami secara tegas dan jelas, baik dalam
Al-Qur’an dan al-Sunnah, maka kebenaran yang dihasilkan dari ijtihad tidak bersifat
mutlak. Sebab apa yang diperoleh melalui proses ijtihad merupakan produk akal yang
tidak menutup kemungkinan adanya kesalahan.
Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan dapat dipahami ada beberapa
komponen dari hakikat ijtihad, yaitu:
Pertama: Subyek (pelaku) dari ijtihad itu, yang adalah al-faqih yang kemudian
Kedua: Mekanisme dan proses berlangsungnya ijtihad. Yaitu adanya pengerahan dan
pencurahan daya upaya serta kemampuan maksimal yang dimiliki oleh seorang
mujtahid, baik dalam bentuk penggalian hukum (istinbath al-hukm) maupun
penerapan dan aktualisasinya (tatbiq al-hukm).
Ketiga: Objek kajian yang akan dicapai dan diperoleh mujtahid. Yaitu status hukum
syar’i yang bersifat praktis (‘amali), dan yang bersifat zhanny. Ketiga komponen ini
menurut al-Ghazali disebut “Arkan al-Ijtihad”.
2. Persyaratan Mujtahid
a. Menguasai Bahasa Arab
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa seorang mujtahid secara mutlak harus
menguasai bahasa Arab dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengannya, baik dari segi tata
bahasa (nahwu), sintaksis (sarf) dan sastra (balagah). Di samping itu, mujtahid juga
harus memiliki Zauq al-‘arabiyyah (rasa bahasa arab), sehingga ia dapat memahami
seluruh aspek dan uslub (gaya bahasa) Arab.23
b. Memiliki Pengetahuan Yang Memadai Tentang Kitabullah Qur’an
al-Karim
Dengan bekal Ulum al-Qur’an ini para mujtahid dapat membedah kandungan
al-Qur’an, khususnya yang berkaitan dengan hukum-hukum syari’at yang mengatur
kehidupan manusia, baik secara eksplisit maupun implisit. Hal tersebut di atas,
23
sejalan dengan pendapat Imam Syafi’i yang menekankan bagi seorang mujtahid
untuk mengetahui dan menguasai seluruh kandungan al-Qur’an.24
Akan tetapi, al-Ghazali menganggap cukup bagi seorang mujtahid menguasai
sekitar 500 ayat hukum (ayat al-ahkam). Pendapat al-Ghazali ini didukung oleh Ibn
al-‘Arabi Ibn Qudamah dan ar-Razi.25
c. Mempunyai Pengetahuan Yang Memadai Tentang as-Sunah (al-Hadist)
Para ulama sepakat bahwa segala yang bersumber dari Rasulullah SAW baik
dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun ketetapan dan didukung oleh periwayatan
yang shahih dapat berfungsi sebagai referensi dan sumber hukum kedua setelah
al-Qur’an. Peranan Hadist ini sangat penting karena berfungsi sebagai:
1). Mubayyin (penjelas), muqarrinah (penetap), dan muakkidah (pendukung)
terhadap hukum-hukum yang dibawa oleh al-Qur’an.
2). Mufassilah (pemerinci) dan mufassirah (penjelas/tafsir), muqayyidah
(pengikat) dan mukhassis (yang mengkhususkan) terhadap teks ayat
al-Qur’an baik yang datang secara mujmal, mutlaq maupun secara ‘am.
3). Musbitah (penetap) atau munsyiah (pembentuk) terhadap hukum yang
tidak tersentuh oleh al-Qur’an.
d. Menguasai Ilmu Ushul Fiqh
24
Muhammad bin asy-Syafi’I, ar-Risalah, tahqiq: Ahmad Syakir, (Mesir:Dar al-Fikr), h. 40
25
Ushul Fiqh menempati tempat yang sangat urgen dalam memahami
penunjukan serta kandungan hukum yang dibawa oleh teks al-Qur’an maupun Hadist.
Oleh karena itu, ushul fiqh merupakan pisau analisis bagi seorang mujtahid untuk
menguak informasi hukum yang dikandung oleh kedua sumber hukum tersebut.
Di samping itu, ushul fiqh merupakan ilmu yang menjadi mediator (wasilah)
untuk memproduksi hukum-hukum fiqh, metodologi untuk memahaminya serta
mengetahui sejauhmana kualitas mujtahid sebagai subjek/pelaku ijtihad.
Hal-hal di atas adalah persyaratan primair, di samping itu ada pula persyaratan
sekunder bagi seorang mujtahid, yaitu:
a. Seorang mujtahid harus memahami persoalan (al-bara’ah al-asasiyah).
b. Seorang mujtahid diharapkan memahami maqasid al-syar’iyah.
c. Menguasai qawaid al-fiqhiyyah.
d. Seorang mujtahid mengetahui dan memahami adat istiadat dan kebudayaan
masyarakat, baik yang dapat diterima sebagai referensi dan sumber hukum
maupun yang ditolak.
e. Seorang mujtahid diharapkan dapat menguasai kasus dan peristiwa hukum
yang statusnya diperselisihkan di kalangan ulama, serta mengetahui faktor
penyebab terjadinya perbedaan pendapat tersebut.26
C. Instrumen Dasar Bagi Prasyarat Hakim Pengadilan Agama Sebagai Mujtahid
1. Al-Qur’an 2. Sunnah
Hakim terdiri dari tiga golongan. Dua golongan hakim masuk neraka dan segolongan hakim lagi masuk surga. Yang masuk surga ialah yang
mengetahui kebenaran hukum dan mengadili dengan hukum tersebut. Bila seorang hakim mengetahui yang haq tapi tidak mengadili dengan hukum tersebut, bahkan bertindak zalim dalam memutuskan perkara, maka dia masuk neraka. Yang segolongan lagi hakim yang bodoh, yang tidak mengetahui yang haq dan memutuskan perkara berdasarkan kebodohannya, maka dia juga masuk neraka. (HR. Abu Dawud dan Ath-Thahawi)
Allah beserta seorang hakim selama dia tidak menzalimi. Bila dia berbuat zalim maka Allah akan menjauhinya dan setanlah yang selalu
mendampinginya. (HR. Tirmidzi)
Bila seorang hakim mengupayakan hukum (dengan jujur) dan keputusannya benar, maka dia akan memperoleh dua pahala. Tetapi bila keputusannya salah maka dia akan memperoleh satu pahala. (HR. Bukhari)
Janganlah hendaknya seorang hakim mengadili antara dua orang dalam keadaan marah. (HR. Muslim)
Bila dua orang yang bersengketa menghadap kamu, janganlah kamu berbicara sampai kamu mendengarkan seluruh keterangan dari orang kedua sebagaimana kamu mendengarkan keterangan dari orang pertama. (HR. Ahmad)
D. Tingkatan Mujtahid dan Hasil Ijtihad Mujtahid 1. Klasifikasi Mujtahid
Para ulama ushul fiqh telah mengklasifikasikan tingkat dan peringkat seorang
mujtahid dari yang tertinggi sampai yang terendah, sebagai berikut: 27
27
a. Mujtahid al-Mutlaq yaitu seorang mujtahid yang mampu menggali
hukum-hukum syari’at dari sumber pokok al-Qur’an dan Sunnah. Metodologi yang
digunakan oleh mujtahid al-mutlaq ini adalah metode ijtihad secara mandiri,
tidak berpedoman kepada usul al-istinbath mujtahid lain.
b. Mujtahid al-Muntasib yaitu seorang mujtahid yang melakukan ijtihadnya
dengan memilih metodologi istinbath hukum seorang Imam Mazhab mutlak,
sekalipun dalam masalah furu’ ia berbeda pendapat dengan imam atau
gurunya.
c. Mujtahid Mazhab yaitu mujtahid yang mengikuti imam mazhabnya, baik
dalam masalah usul maupun furu’. Kalaupun dia melakukan ijtihad, ijtihadnya
terbatas dalam lingkup masalah yang ketentuan hukumnya tidak diperoleh
dari imam mazhab yang dianutnya.
d. Mujtahid Murajjih ialah mujtahid yang melakukan tarjih di antara beberapa
pendapat mujtahid sebelumnya, dengan tujuan untuk mengetahui pendapat
mana yang didukung oleh riwayat yang lebih shahih atau pendapat mana yang
didukung oleh dalil dan argument yang lebih kuat.
2. Hasil Ijtihad Mujtahid
a. Ijtihad Umar Bin Khattab Mengenai Penanggalan Hijriyah28
Sebelum datangnya Islam, orang Arab tidak memiliki penanggalan resmi yang
diakui oleh seluruh kabilah dan suku-suku Arab. Yaitu penanggalan yang berfungsi
28
untuk mengingat peristiwa-peristiwa yang dilalui, sesuai dengan aturan dan metode
yang jelas, yang dapat membantu mengetahui kelahiran dan kematian seseorang atau
hal-hal yang menimpa mereka.
Karena itu, para tokoh Islam kesulitan memastikan hari kelahiran mereka,
bahkan kelahiran Rasulullah pun hanya disebut dengan Tahun Gajah. Secara umum,
aturan penanggalan Arab Pra Islam belum ada aturan pasti dan masih berbeda setiap
sukunya.
Penanggalan Hijriyah mulai dipikirkan dengan serius pada Masa Khalifah
Umar yang mempermasalahkan bahwa setiap surat yang datang harus ada
penanggalannya. Untuk itu, Khalifah Umar mengumpulkan para sahabat dan
memutuskan bahwa penanggalan dimulai saat hijrahnya Rasulullah ke Madinah.
Dan bulan pertama adalah Muharram serta penghitungannya ditetapkan
bahwa permulaan bulan Muharram pada tahun pertama Hijriyah jatuh pada hari
Kamis tanggal 15 Juli 622 M. Dengan semakin canggihnya teknologi dan
kemampuan manusia semakin memudahkan kaum muslimin untuk menentukan
penanggalan hijriyah dan semakin mempermudah menentukan hubungan antara tahun
Hijriyah (Qamariyah) dan tahun Syamsiyah (Masehi).
b. Ijtihad Ibnu Taimiyah Mengenai Menjatuhkan Tiga Talak Sekaligus
Hukumnya Jatuh Talak Satu29
29
Yang dimaksud tiga talak sekaligus ialah baik satu kalimat, seperti “Engkau
tertalak tiga” maupun kalimat yang diulang-ulang, contoh “Engkau tertalak, engkau
tertalak, engkau tertalak”.
Ibnu Taimiyah menganggap ini jatuh talak satu saja. Pendapat ini sama
dengan Kaum Ahl Az-Zahir, Zubair ibn Awwam, Abd Rahman ibn ‘Auf, Ali ibn Abi
Thalib, Ibn Mas’ud dan Ibn Abbas r.a.
Ibnu Taimiyah merujuk pada surat Al-Baqarah ayat 229:
⌧
… Artinya:
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang
ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik….” (QS: Al-Baqarah: 229)
Kata
ق ﻟا
نﺎ ﺮ
ialah talak raj’i yang diartikan dua kali dalam pengertiansekali demi sekali (marrah ba’da marrah). Ungkapan ath-thalaq marrataani juga
mengandung maksud untuk tidak menjatuhkan tiga talak sekaligus, akan tetapi sekali
demi sekali.
Ibnu Taimiyah juga mendasarkan pendapatnya pada Hadist berikut:
ﻦﺑا
ﻦ
سووﺎ
ﻦ
و
ﻴ
ﷲا
ﻰ
ﷲا
لﻮ ر
ﺪﻬ
ﻰ
ق ﻟا
نﺎآ
لﺎ
سﺎ
ﺪ
سﺎ ﻟا
نإ
ﺮﻤ
لﺎ
ةﺪﺣاو
ث ﻟا
ق
ﺮﻤ
ﺔ
ﻦ
ﻦﻴ
و
ﺮﻜﺑ
ﻰﺑأ
و
ﻢ
Artinya:
“Dari Tawus, dari Ibn Abbas r.a., ia berkata: “Talak tiga pada masa Rasulullah saw., masa Abu Bakar, dan dua tahun pada masa Umar itu (hanya dianggap)satu.” Kemudian Umar berpendapat, “Sesungguhnya orang-orang itu terlalu tergesa-gesa dalam masalah (talak) yang sesungguhnya membutuhkan kesabaran. Kalau hal yang demikina itu kami biarkan terhadap mereka, maka tentu mereka akan terus menerus melakukannya.” Dalam riwayat Muslim dan lain-lain dari Tawus, sesungguhnya Abu as-Sahba’ bertanya kepada Ibnu Abbas, “Tahukah kamu kalau tiga kali talak itu dijadikan satu pada masa Rasulullah saw., Abu Bakar dan tiga tahun pada masa pemerintahan Umar?” Ibn Abbas menjawab “Ya (saya tahu).”
Menurut pemahaman Ibnu Taimiyah, talak itu rukkhsah hukumnya. Talak
pada dasarnya dilarang dan tidak diizinkan oleh Allah kecuali dalam waktu dan
bilangan yang dimaklumi. Al-Qur’an telah menerangkan jumlah bilangan talak 3 kali
dan sekaligus juga menerangkan tentang cara menyampaikan yaitu sekali demi sekali.
30
BAB III
GAMBARAN UMUM PERADILAN AGAMA DKI JAKARTA
A. Sejarah Pengadilan Agama
Bermula dari surat ketetapan Komisaris Jendral Hindia Belanda tanggal 12 Maret 1828 nomor 17, khusus untuk Batavia dibentuk satu majlis distrik yang berwenang menyelesaikan semua sengketa keagamaan, soal perkawinan dan warisan. Memang sangat mungkin Pengadilan Agama sudah ada jauh sebelum itu, namun pengakuan pertama secara resmi oleh pemerintah kolonial Belanda adalah pada tahun 1828 tersebut. Majlis distrik ini dipimpin oleh Komandan Distrik sebagai Ketua dibantu oleh para Penghulu dan Kepala Wilayah sebagai anggota.
Majlis Distrik ini pulalah yang menandai awal berdirinya Pengadilan Agama Jakarta sebagai badan peradilan yang terkait dan berada dalam sistem pemerintahan dan ketatanegaraan secara formal dengan yurisdiksi meliputi seluruh wilayah Batavia,
Meester Cornelis (Jatinegara), Bekasi dan Cikarang.
dalam Staatsblad 1882 nomor 152 tanggal 1 Agustus 1882 yang dalam pasal 1 menegaskan bahwa disamping setiap Landraad (Pengadilan Negeri) di Jawa dan Madura diadakan satu Raad Agama dengan susunan sebagaimana Pasal 2 yang menyatakan bahwa Raad Agama terdiri dari para Penghulu yang diperbantukan kepada Landraad sebagai ketua dan ulama Islam sebagai anggota.
Dengan demikian untuk Batavia, Pengadilan Agama yang tahun 1828 berbentuk majlis distrik yang diketuai oleh komandan distrik, maka pada tahun 1882 telah berubah menjadi Pengadilan Agama versi Stb 1882 nomor 152 yang dipimpin oleh seorang penghulu sebagai hakim dan Presiden Raad Agama dengan didampingi oleh para ulama sebagai anggota.
1. Raad Agama Meester Cornelis
Letak kantor Pengadilan Agama Jakarta sejak awal-awal didirikan sampai saat ini belum ada informasi yang pasti. Yang jelas bahwa sampai tahun 1942 sebagaimana dokumen yang tersimpan di Pengadilan Agama Jakarta Pusat, nama Pengadilan Agama Jakarta menggunakan nama Raad Agama Meester Cornelis. Dari dokumen ini dapat diperoleh informasi pula bahwa yurisdiksi Raad Agama Meester Cornelis meliputi Kota Praja Meester Cornelis yang mewilayahi kawedanan Meester Cornelis sendiri, kawedanan Kebayoran, Kawedanan Bekasi dan Kawedanan Cikarang serta seluruh wilayah Kota Praja Batavia.
Gubernur jendral di Batavia, hingga kotapraja Meester Cornelis ditingkatkan statusnya menjadi Kabupaten pada tahun 1924 dan dicabut kembali status tersebut untuk kemudian digabung menjadi satu dengan Batavia pada 1 Januari 1936. Jadi Pengadilan Agama Jakarta adalah Raad Agama di Meester Cornelis.
Pada saat kekuasaan atas Batavia diambil alih oleh kolonial bala tentara Dai Nippon pada tahun 1942, oleh Jepang nama Batavia diganti dengan nama Jakarta dan nama Meester Cornelis dikembalikan kepada nama Jatinegara sekaligus merubah status Meester Cornelis menjadi Siku atau Kawedanan bersama-sama dengan pembentukan Kawedanan Penjaringan, Kawedanan Mangga Besar, Kawedanan Tanjung Priuk, Kawedanan Tanah Abang, Kawedanan Gambir dan Kawedanan Pasar Senen. Kemudian berdasarkan UU yang diterbitkan oleh Bala Tentara Jepang Nomor 14 tahun 1942, nama Raad Agama Meester Cornelis secara formal diubah menjadi Sooryo Hooin Jakarta (Rapat Agama Jakarta), meskipun di tengah-tengah masyarakat sebutan Sooryo Hooin sebagai ganti Raad Agama belum sempat dikenal secara meluas.
2. Perubahan Nama Pengadilan Agama Jakarta
Barat ternyata telah ada pengadilan dengan nama Pengadilan Agama. Untuk Jakarta yang selalu menjadi Ibukota sejak berada di bawah kekuasaan Kolonial Belanda, nama Pengadilan Agama telah mengalami beberapa kali perubahan sesuai dengan perubahan nama Jakarta sebagai Ibukota sebagai berikut:
a. Sebelum tahun 1828 belum diketahui namanya secara resmi; b. Pada tahun 1828 sampai dengan1882 bernama Majlis Distrik;
c. Pada tahun 1882 sampai dengan tahun 1942 bernama Priesterraad atau
Penghoeloegerecht atau Raad Agama berkedudukan di Meester Cornelis (Jatinegara) Jakarta Timur;
d. Pada tahun 1942 sampai dengan 1945 bernama Sooryo Hooin Jakarta, berkedudukan di Jl. Bekasi Timur no. 76 Jatinegara, Jakarta Timur;
e. Pada tahun 1945 sampai dengan tahun 1959 bernama Pengadilan Agama Kota Jakarta berkedudukan di Kramat Pulo, Gg. H. Minan, Senen, Jakarta Pusat (1945–1957), kemudian pindah kedudukannya di Jl. Kemakmuran no.24, Jakarta Pusat (1957–1959);
f. Pada tahun 1960 sampai dengan tahun 1966 bernama Pengadilan Agama Istimewa Jakarta berkedudukan di Bidara Cina, no. 64, Kec. Jatinegara, Jakarta Timur;
B. Selayang Pandang Mengenai Peradilan Agama
Dasar Hukum dan Landasan Kerja Pengadilan Agama adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 24;
2. Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman; 3. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
4. Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
5. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksaan Undang-Undang Perkawinan;
6. Peraturan/Instruksi/Edaran Mahkamah Agung RI;
7. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1983 tentang Izin Perceraian Bagi Pegawai Negeri;
Tahun 1990 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kesekretariatan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama;
9. Keputusan Menteri Agama RI No. KMA/001/SK/I/1991 tanggal 24 Januari 1991 tentang Pola Pidana dalam Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama; 10.Keputusan Menteri Agama RI No. KMA/006/SK/III/1994 tentang Pengawasan
dan Evaluasi atas hasil Pengawasan oleh Pengadilan Tingkat Banding dan Pengadilan Tingkat Pertama;
11.Instruksi Dirjen Bimas Islam (Bimbingan Masyarakat Islam);
12.Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Amendemen Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
13.Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Amendemen Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Pada mulanya Pengadilan Agama di DKI Jakarta hanya ada 3 kantor yaitu di Jakarta Utara, Jakarta Tengah dan Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya sebagai Induk semua Pengadilan Agama yang ada di Jakarta.
Berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI No. 61 Tahun 1985 tanggal 16 Juli 1985 Pengadilan Tinggi Agama Surakarta dipindahkan ke Jakarta, akan tetapi realisasinya baru terlaksana pada tanggal 30 Oktober 1987. Secara otomatis Pengadilan Agama di wilayah DKI Jakarta berada di bawah wilayah hukum Pengadilan Tinggi Agama Jakarta.
1. Pengadilan Agama Jakarta Pusat
Pada awalnya, Pengadilan Agama Jakarta Pusat bernama Majlis Distrik
sebagaimana nama awal pada saat didirikan oleh Kolonial Belanda pada tahun 1828 yang kemudian bernama Priesterraad atau Penghoeloegerecht atau Raad Agama
berdasarkan stbl 1882 no. 152. Selanjutnya Pengadilan Agama Jakarta Pusat yang