• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkawinan Beda Agama di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perkawinan Beda Agama di Indonesia"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh :

Muhamad Irpan

NIM: 1111044100006

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

i Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh :

Muhamad Irpan

NIM: 1111044100006

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)
(4)
(5)

iv Dengan ini saya menyaakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memeperoleh gelar Strata Satu (S1) Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai denga ketentuan yang berlaku di Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya aau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 9 November 2016

(6)

v

MUHAMAD IRPAN. NIM: 1111044100006. Perkawinan Beda Agama di Indonesia (Studi Perbandingan Pemikiran Prof. Dr. Nurcholish Madjid dan Prof. Dr. Ali Mustafa Yaqub). Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1438 H/ 2016 M. xiii + 94 halaman.

Perkawinan merupakan hal yang penting dalam kehidupan manusia, sehingga adanya permasalahan dalam perkawinan, seperti prakek perkawinan beda agama yang belum bisa diterima oleh masyarakat, haruslah dikaji dan diteliti untuk mencapai kesimpulan hukum dari status kebolehannya yang masih bernilai ambigu. Dalam upaya mengetengahkan permasalahan ini, maka meneliti pemikiran para ahli yang pemikirannya sangat berpengaruh dalam perkembangan persepsi masyarakat, yakni Nurcholish Madjid dan Ali Musafa Yaqub yang diharapkan mampu menuntun untuk menemukan titik temu.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dialektika perdebatan pemikiran Nurcholish Madjid dan Ali Mustafa Yaqub, yakni dengan cara meneliti konsep pemikirannya dan metode istinbat yang digunakan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang termasuk jenis penelitian normatif yang bersifat deskriptif analitis. Data-data dikumpulkan melalui teknik pengumpulan data studi kepustakaan dengan menggunakan pendekatan komparatif.

Dari hasil penelitian ini, kesimpulan yang didapat dari pemikiran Nurcholish ialah bahwa menurutnya segala bentuk perkawinan beda agama adalah boleh, sepanjang yang melakukan adalah laki-laki dan perempuan, hal ini termasuk diantaranya perkawinan atas perempuan muslim dan laki-laki non-muslim, yang didasari dari argumentasi akan tidak adanya larangan yang sarih, sehingga beliau berijtihad dan menghukuminya boleh, sementara Ali menghukumi semua jenis perkawinan beda agama adalah dilarang, hal ini termasuk diantaranya perkawinan dengan perempuan ahli kitab, karena menurutnya perempuan ahli kitab yang dimaksud al-Maidah ayat 5 hanyalah terbatas pada keturunan bani israil dizaman dahulu, sehingga konteks Indonesia sekarang, perkawinan tersebut tidak dapat dibenarkan.

(7)

vi

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, Dzat yang maha kuasa dengan segala konsep nilai-Nya dan yang maha benar dengan segala logika hukum-Nya, juga tidak pernah putus rahmat dan kasih saying-Nya kepada kita semua. Ia-lah yang telah memperkenankan penulis untuk beraktivitas sebagai seorang muslim dan mahasiswa dengan sebaik-baik proses, sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini.

Lalu, sebagai seorang insan sudah sepatutnya kita berkaca, mengikuti dan menjadikan Rasulullah Muhammad saw sebagai satu-satunya panutan, beliaulah sebaik-baik insan. Rakanda yang kepadanya sudah sangat harus dan selalu kita curahkan shalawat serta salam. Karena beliau pulalah yang telah berjuang mereformasi sistem peradaban dunia, sehingga menjadikan bumi tempat yang semakin mapan dan nyaman untuk kita beribadah dan beramal soleh.

(8)

vii

memberikan keberkahan dan kebahagiaan kepada kita. Amin!

Selain itu, Penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak lainnya yang juga turut membantu, memberikan motivasi dan pengaruh positif selama masa studi ini. Oleh sebab itu, terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., Rektor Universitas Islam negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta;

2. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta;

3. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag., Ketua Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, sekaligus Dosen Pembimbing skripsi yang telah banyak meluangkan waktunya untuk memberikan pelayanan akademik, memberikan motivasi, dan memberikan masukan-masukan dalam penyusunan skripsi ini dari awal hingga akhirnya dapat terselesaikan;

4. Dr. A. Juaini Syukri, Lc, MA., Dosen Penasehat Akademik yang telah memberikan arahan-arahan semasa studi;

(9)

viii

dan Hukum Universitas Islam negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan pelayanan dan menyediakan referensi bagi penulis, mulai dalam pemenuhan tugas-tugas perkkuliahan sampai pada proses penyelesaian skripsi ini;

7. Kawan-kawan di Konsentrasi Peradilan Agama Program Studi Hukum Keluarga angkatan 2011, dan kawan-kawan program double degree pogram studi Ilmu Hukum konsentrasi Kelembagaan Negara angkatan 2013, yang telah bersama-sama berjuang dalam memperluas kelimuan dan wawasan dengan belajar bersama dan berdiskusi;

8. Keluarga Besar Korps Alumni HMI (KAHMI) Cabang Ciputat, yang telah banyak membantu penulis selama menjalani masa studi, dan memberikan pembelajaran kedewasaan dalam berorganisasi khususnya di HMI;

9. Keluarga Besar HMI Cab. Ciputat, khususnya kepengurusan periode 2016-2017 dan Keluarga Besar HMI Komisariat Fakultas Syariah dan Hukum, khususnya kepengurusan periode 2015-2016, yang telah sama-sama berjuang dan belajar dalam kematangan berorganisasi, serta memperluas jaringan dalam berkomunikasi dan berdiskusi, sehingga penulis menjadi semakin pecaya diri mengasah kemampuan soft skill sebagai upaya kemajuan;

(10)

ix

menjadi lebih kritis dan mempertajam daya nalar, serta menjadi diantara alasan akan kecintaan penulis dalam berdiskusi;

11.Keluarga Besar DEMA FSH dan HMPS Hukum Keluarga, yang juga telah memberikan pengalaman dalam berorganisasi dengan baik dilingkungan kampus, sehingga penulis dapat belajar cara mengelola sistem dengan baik; 12.Rekan-rekan kost White House dan kost H. Subuh, serta rekan-rekan

seperjuangan lainnya yang telah menemani dan memberi motivasi kepada penulis untuk terus berjuang menyelesaikan studi.

Akhirnya, penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada seluruh pihak yang turut serta dalam memberikan dukungan, dan motivasi bagi penulis dalam menjalani masa studi hingga dapa menyelesaikan skripsi ini, yang tentunya tidak dapat penulis tuliskan satu-persatu. Semoga Allah SWT membalas kebaikan semua.

Jakarta, 9 November 2016 Penulis

(11)

x

BAB II PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDOESIA A. Pengertian Perkawinan Beda Agama ………...……….…... 19

B. Rukun dan Syarat Sah Perkawinan …...………... 25

C. Regulasi Perkawinan Beda Agama di Indonesia …... 32

D. Pandangan Ulama Klasik tentang Perkawinan Beda Agama ... 37

(12)

xi

A. Perbandingan Pemikiran Nurcholish Madjid dan Ali Mustafa Yaqub ... 73 B. Perbandingan Metode Istinbat Hukum Nurcholish Madjid dan Ali

Mustafa Yaqub ... 80

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ………...…... 85 B. Saran ……….………... 87

(13)

xii

Penulisan transliterasi Arab-Latin dalam penelitian ini menggunakan transliterasi dari keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 158 tahun 1987 dan No. 0543 b/U/1987. Secara garis besar uraiannya adalah sebagai berikut:

No ARAB INDONESIA No ARAB INDONESIA

1. ا ‘ 16. ط Th’

2. ب B 17. ظ Dh

3. ت T 18. ع

4. ث Ts 19. غ Gh

5. ج J 20. ف F

6. ح H 21. ق Q

7. خ Kh 22. ك K

8. د D 23. ل L

9. ذ Dh 24. م M

10. ر R 25. ن N

11. ز Z 26. و W

12. س S 27. ه H

(14)

xiii

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan peristiwa yang sangat penting dalam masyarakat, dengan hidup bersama, kemudian melahirkan keturunan yang merupakan sendi utama bagi pembentukan negara dan bangsa.1 Mengingat pentingnya peranan hidup bersama, pengaturan mengenai perkawinan memang harus dilakukan oleh negara. Di sini, negara berperan untuk melegalkan hubungan hukum antara seorang pria dan wanita yang kemudian dijelaskan dalam pasal 1 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi bahwa “perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.2

Seiringan dengan berkembangnya masyarakat, permasalahan yang terjadi semakin kompleks. Berkaitan dengan perkawinan, belakangan ini sering tersiar dalam berbagai media terjadinya perkawinan yang dianggap problematis dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai contoh, perkawinan campuran3, perkawinan

1

Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga,. (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), h. 31 2

Abdurrahman, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentqng Perkawinan, (Jakarta: CV Akademika Pressindo, 1986), h. 64.

3

(16)

sejenis, kawin kontrak, dan perkawinan antara pasangan yang memiliki keyakinan (agama) yang berbeda.

Perkawinan beda agama adalah salah satu bentuk permasalahan yang sering kali muncul di tengah masyarakat, selain karena masyarakat belum bisa menerima sepenuhnya, perkawinan tersebut juga seringkali menghadapi masalah-masalah di kemudian hari.

Terkait perkawinan beda agama konteks keindonesiaan, maka tidak bisa dikesampingkan mengenai pemikiran Prof.Dr.Nurcholish Madjid. Cak Nur (sapaan akrabnya) berlandaskan pada pemaknaan konsep Islam ad-din, dan at-tauhid menyatakan konsep kesatuan kebenaran dalam jantung tiap-tiap agama. Cak Nur menyatakan setiap ketundukan agama yang benar adalah sikap pasrah (al-Islam) kepada Tuhan yang maha esa (at-tauhid).4 Dengan kata lain, mengesakan Allah dan sikap pasrah kepadanya adalah peran besar setiap agama yang benar. Namun, manifestasi dari pesan-pesan dasar itu beragam sesuai kebutuhan tempat dan zaman.5

Pemikiran Cak Nur tersebut bermuara pada pendapat adanya titik temu antar agama yang berkembang di dunia. Konsep titik temu merupakan ide atau prinsip yang sama, yakni ajaran bersama antar umat yang beragama berdasar pada

berkewarganegaraan Indonesia. Jadi, perkawinan campuran bukanlah perkawinan antar agama yang dimaksudkan di sini.

4

Nurcholish Madjid, Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan: Pikiran-pikiran Nurcholish Madjid “muda” (Bandung: Mizan, 1992) h.182

5

(17)

Al-Qur’an surah al-Imran ayat 64. Dalam ayat ini, menurut Cak Nur mengandung pelajaran bahwa Allah SWT memerintahkan agar Muhammad saw mengajak komunitas keagamaan yang lain, khususnya penganut kitab suci (Ahl al-kitab) untuk bersatu dalam titik pertemuan. Sebuah pelajaran yang menegaskan bahwa titik pertemuan antar agama-agama adalah prinsip ketuhanan yang maha esa.6

Sebagai seorang pemikir dan ilmuan, Cak Nur seringkali juga dianggap sebagai tokoh penyebar paham pluralisme dan toleransi antar agama, hal ini didasarkan pada kajian keilmuan beliau serta karya-karya tulisnya yang selalu bernuansa toleransi antar manusia dalam konteks Indonesia. Kemudian juga fakta-fakta tersebut yang akhirnya menghantarkan beliau untuk mendiskusikan

sampai akhirnya menerbitkan buku yang berjudul “Fiqh Lintas Agama :

Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis”7 yang dituliskannya bersama beberapa penulis lainnya. Lalu yang menarik perhatian penulis dalam konten buku karangan beliau tersebut ialah karena beliau juga membahas tentang perkawinan beda agama, dimana beliau dalam karyanya tersebut menjelaskan bahwa pentingnya inklusifitas para pemeluk agama.8

6

Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h.7 7

Buku karya Nurcholish Madjid bersama rekan-rekannya ini diterbitkan di Jakarta oleh Paramadina pada tahun 2003 dengan jumlah halaman 274, yang dituliskan dengan tujuan sebagai pedoman warga negara Indonesia dalam upaya untuk menciptakan nuansa toleransi antar umat beragama dan menghindari terjadinya disintegasi bangsa.

8

(18)

Berdasarkan pada pandangan Cak Nur yang inklusif mengenai hubungan antar agama, sehingga Cak Nur membolehkan perkawinan antar agama. hal ini berdasar pada pernyataan Cak Nur yang menyatakan bahwa secara teologis perkawinan beda agama antar laki-laki muslim dengan perempuan perempuan non-muslim adalah sah menurut Islam.9

Namun, di pihak lain, ada yang berpendapat bahwa perkawinan beda agama dilarang oleh agama sehingga tidak dapat diterima, hal ini juga didasarinya pada pasal 2 ayat (1) UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan yang menysaratkan perkwinan untuk dilangsungkan sesuai ketentuan agama, sementara agama-agama yang dalam hal ini Islam pada umumnya melarang terjadinya praktek tersebut, Diantara ilmuan sekaligus ulama yang melarang praktek perkawinan beda agama adalah Prof.Dr.Ali Mustafa Yaqub.

Sebagai salah seorang ulama Hadist yang terkenal dan keilmuannya telah diakui tidak hanya di Indonesia tapi juga oleh beberapa negara di dunia, hal ini terbukti dari keaktfian beliau dalam mengikuti atau menghadiri undangan-undangan kegiatan keislaman tingkat internasional. Lalu sebagai seseorang yang menggeluti bidang hadis yang mana diketahui bahwa hadis merupakan diantara sumber hukum Islam, maka beliaupun jarang sekali absen dalam memberikan penjelasan dan pandangannya tentang konsep dari hukum Islam, salah satu diantaranya ialah tentang hukum perkawinan beda agama, yang kemudian

9

(19)

pandangannya tersebut telah beliau tuliskan juga dalam bukunya yang berjudul

“Nikah Beda Agama dalam al-Qur’an dan Hadits”10. Dalam buku tersebut jelas

beliau memaparkan bahwa perkawinan beda agama pada umumnya adalah dilarang menurut syariat ajaran islam. Kendati demikian, beliau memaparkan bahwa perkawinan beda agama yang dimaksud sekurangnya terbagi dalam dua kategori. Pertama, perkawinan antara muslim dengan non-muslim (musyrik), dan kedua pekawinan antara muslim dan non-muslim (ahli kitab).

Kemudian, mengenai perkawinan kaum muslim dengan non-muslim (ahli kitab) terdapat dua kategori juga. Pertama, perkawinana laki-laki muslim dengan peempuan ahli kitab, dan kedua perkawinan laki-laki ahli kitab dengan perempuan muslimah. Kedua kategori ini memiliki konsekuensi hukum yang berbeda.11

Lalu buku Fiqh Lintas Agama karangan Cak Nur dan rekannya juga yang telah memicu Ali Mustafa Yaqub untuk menuliskan buku Nikah Beda Agama dalam Al-Quran dan Hadis, sebagai bentuk kritik dan bantahan atas argumentasi dalam buku tersebut. Bantahan dan kritik tersebut begitu jelas, karenanya hampir bisa dikatakan keberadaan buku karangan Ali Mustafa Yaqub itu untuk meng-counter paham dan pemikiran Cak Nur tentang perkawinan beda agama.

10

Buku karya Ali Mustafa Yaqub ini diterbitkan di Jakarta oleh Pustaka Firdaus pada tahun 2005 dengan jumlah halaman 66, yang dituliskan dengan tujuan sebagai pedoman umat, dan untuk meng-counter segala bentuk pemikiran yang dianggap menyimpang, seperti CLD KHI yang disusun oleh Musdah Mulia dan Fiqh Lintas Agama oleh Nucholish Madjid dkk.

11

(20)

B. Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah adalah kumpulan masalah-masalah yang berkaitan dengan tema yang dibahas. Ragam masalah yang muncul pada narasi latar belakang diatas akan dipaparkan sebagai berikut:

1. Bagaimana Islam memandang perkawinan beda agama?

2. Bagaiamana kedudukan hukum perkawinan beda agama yang terjadi di Indonesia?

3. Apa yang melatar belakangi kurang diterimanya perkawinan beda agama di Indonesia?

4. Apa yang dimaksud dengan terminologi ahli kitab dan musyrik dalam Al-Qur’an?

5. Bagaimana Nurcholish Madjid dan Ali Mustafa Yaqub memandang perkawinan beda agama baik secara filosofis maupun yuridis?

6. Apa yang menjadi dasar Nurcholish Madjid dan Ali Mustafa Yaqub dalam menentukan arah pemikirannya?

7. Bagaimana metode penetapan hukum yang dilakukan Nurcholish Madjid dan Ali Mustafa Yaqub?

(21)

C. Pembatasan dan Rumusan Masalah

Agar pembahasan dalam skripsi ini tidak meluas hingga menyebabkan pokok permasalahan tidak terarah, maka penulis membatasi pada permasalahan utama, yaitu:

“Hukum perkawinan yang dilangsungkan oleh pasangan yang berbeda

Agama (muslim dengan non-muslim) menurut Nurcholis Madjid dan Ali Mustafa Yaqub”

Untuk lebih memperjelas penelitian, maka perlu dirumuskan pokok permasalahan yang akan diteliti dalam skripsi ini, yaitu:

1. Bagaimana hukum perkawinan beda agama yang dilangsungkan oleh seorang muslim dengan non-muslim menurut Ali Mustafa Yaqub maupun Nurcholis Madjid?

2. Bagaimana metode istinbat hukum yang digunakan oleh Nurcholish Madjid dan Ali Mustafa Yaqub dalam menghukumi perkawinan beda agama?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

(22)

2. Untuk mengetahui metode istinbat hukum yang digunakan oleh Nurcholish Madjid dalam menghukumi perkawinan beda agama. Adapun manfaat yang hendak diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Sebagai sumbangsih pemikiran kepada semua kalangan masyarakat untuk menambah wawasan pengetahuan hukum agar ilmu tersebut tetap hidup dan berkembang khususnya yang berkaitan dengan hukum perkawinan beda agama di Indonesia.

2. Sebagai sumbangsih pemikiran terhadap para sivitas akademika agar memperkaya wawasan serta pengetahuan hukum khususnya terkait dengan hukum perkawinan beda agama di Indonesia.

3. Dan untuk pribadi sendiri, penelitian ini merupakan suatu pengajaran berharga dalam melakukan suatu telaah terhadap suatu pemikiran tentang hukum perkawinan beda agama, dan status/kedudukannya di Indonesia.

E. Tinjauan (Review) KajianTerdahulu

(23)

Yaqub ataupun Nurcholis Madjid yang menjadi objek kajian utama dalam skripsi ini.

Diantara karya skripsi yang mengkaji tentang pemikiran Nurcholish Madjid antara lain: Skripsi oleh Yulia Sandra Yani yang berjudul “Moral dan Iman dalam Pandangan Nurcholish Madjid”.12 Karya ini mencoba meneliti konsep moral dan kaitannya dengan Iman menurut Cak Nur. Kemudian Skripsi

oleh Syahrudin A yang berjudul “Analisis terhadap Pemikiran Nurcholish Madjid

tentang Perkawinan Beda Agama”.13 Yang mencoba membaha tentang perkawinan beda agama hanya dari sudut pandang Cak Nur tanpa mengkomparasikannya dengan pemikiran ilmuan lain. Lalu thesis oleh Jamiludi

Ali yang berjudul “Islam Kultural : Kajian Pemikiran Politik Nurcholish Madjid

tahun 1970-1998”,14 skripsi oleh M.Subkhan yang berjudul “Toleransi Beragama menurut Pemikiran Nurcholish Madjid”,15 skripsi oleh Mufid Ali yang berjudul

“Sistem Pendidikan Pesanten Menurut Nurcholish Madjid”,16

skripsi oleh Agus

Kuntartianto yang berjudul “Upaya Membangun Masyarakat Religius (Studi atas

12

Yulia Sandra Yani, Moral dan Iman dalam Pandangan Nurcholish Madjid, Skripsi pada tahun 2009 di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.

13

Syahrudin A, Analisis terhadap Pemikiran Nurcholish Madjid tentang Perkawinan Beda Agama, Skripsi pada tahun 2009 di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.

14

Jamiludi Ali, Islam Kultural : Kajian Pemikiran Politik Nurcholish Madjid, Thesis pada tahun 1970-1998” tahun 2010 di Universitas Indonesia.

15

M.Subkhan, Toleransi Beragama menurut Pemikiran Nurcholish Madjid, Skripsi pada tahun 2011 di Institut Agama Islam Negeri Wali Songo.

16

(24)

Pemikiran Nucholis Madjid)”,17 dan skripsi oleh Hendri Gunawan yang berjudul

“Toleransi Beragama menurut Pandangan Hamka dan Nurcholish Madjid”,18

yang kesemuanya itu tidak sama sekali menyinggung tentang perkawinan beda agama pemikiran Cak Nur.

Adapun karya-karya tentang pemikiran Ali antara lain: skripsi oleh

Muhammad Husnul Mubarok yang berjudul “Pemikiran Ali Mustafa Yaqub

tentang Arah Kiblat”,19kemudian skripsi oleh Riki Efendi yang berjudul

“Pemikiran dan aktifitas Dakwah Prof.Dr.KH.Ali Mustafa Yaqub,MA”,20 dan

skripsi oleh Muliyani Sari yang berjudul “Kontribusi Ali Mustafa Yaqub dan Ahmad Lutfi Fathullah dalam Bidang Hadis di Indonesia”,21 yang kesemuanyabelum ada yang membahas pemikiran Ali tentang perkawinan beda agama.

Jika melihat dari kajian-kajian terdahulu yang dipapakan di atas baik berupa skripsi maupun thesis, maka jelaslah bahwa penelitian yang akan diteliti dan kaji ini belum pernah dibahas atau diteliti sebelumnya. Sehingga hal ini

17

Agus Kuntartianto, Upaya Membangun Masyarakat Religius (Studi atas Pemikiran Nucholis Madjid), Skripsi tahun 2013 di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.

18

Hendri Gunawan, Toleransi Beragama menurut Pandangan Hamka dan Nurcholish Madjid, Skripsi tahun 2015 di Universitas Muhammadiyah Surakarta

19

Muhammad Husnul Mubarok, Pemikiran Ali Mustafa Yaqub tentang Arah Kiblat, Skripsi tahun 2015 di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakata.

20

Riki Efendi, Pemikiran dan aktifitas Dakwah Prof.Dr.KH.Ali Mustafa Yaqub,MA, Skripsi tahun 2009 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

21

(25)

kemudian menjadi layak dan patut untuk diteliti sebagai sumbangsih pemikiran dan karya untuk halayak umum.

F. Kerangka Teori

Perkawinan merupakan bagian kajian hukum keluarga (al-ahwal asy-syakhsiyyah) yang termasuk dalam ahkam muamalah karena melibatkan akad, sekaligus masuk dalam kategori ibadah karena perkawinan merupakan wujud penghambaan manusia terhadap tuhannya. Artinya, dalam sistem keluarga muslim, perkawinan harus dilihat dari sudut pandang norma-norma hukum keagamaan seklaigus mengindahkan adanya sistem perilaku dan perubahan sosial dalam masyarakat. Aspek muamalah dalam perkawinan memberi ruang ijtihad bagi ulama untuk memberikan jawaban hukum yang responsif terhadap perubahan sosial. Sejalan dengan pemikiran bahwa perubahan massa merupakan diantara faktor-faktor yang menuntut adanya perubahan hukum.22

Hukum Islam datang sebagai rahmat bagi manusia dan seluruh alam, tidaklah menjadi rahmat, kecuali apabila hukum Islam itu benar-benar dapat mewujudkan kemaslahatan dan kebahagiaan bagi manusia.23

Kita mengetahui bahwasanya segala syari‟at yang berkembang di dunia ini bertujuan mewujudkan kemaslahatan manusia, dan yang dimaksud dengan

22

Amir Mualim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam VI, (Yogyakarta: UII Press, 2001), h. 127

23

(26)

masalahat itu, ialah: jal-bul manfa‟ah wadaf „ul madharah yang artinya menarik kemanfaatan dan menolak kemadharatan.24 Menurut Shatibi, maslahah adalah yang membicaakan substansi kehidupan manusia, dan pencapaian apa yang dituntut oleh kualitas-kualitas emosional dan intelektualnya, dalam pengertian yang mutlak.25 Kemudian maslahah sendiri terdiri dari tiga macam, yaitu:

1. Maslahah Dharuriyah, yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan seperti ini ada lima, yaitu: memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan, dan memelihara harta. Semua itu disebut al-mashalih al khomsah. Kehidupan manusia tidak memiliki arti, apabila satu dari lima itu tidak ada. Dan segala usaha yang secara langsung menjamin atau menuju pada keberadaan lima prinsip tersebut adalah baik atau maslahah dalam tingkat dharuri. 2. Maslahah Hajiyah, yaitu maslahah yang dibutuhkan dalam bidang

ibadah, orang sedang sakit atau dalam perjalanan jauh (musafir) dalam bulan ramadhan, diberi keringanan oleh syariat untuk tidak berpuasa dengan kewajiban mengganti puasa yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain setelah ia sembuh atau setelah kembali dari perjalanannya. Semua ini disyaratkan oleh Allah SWT untuk mendukung kebutuhan dasar al-maslahah al-khomsah di atas.

24

Hasbi Ashsiddqieqy, Falsafah Hukum Islam cet-VI, h. 329 25

(27)

3. Maslahah Tahsiniyah, ialah maslahah yang kebutuhan hidup manusia kepadanya tidak sampai tingkat dharui, juga tidak sampai tingkat hajiyah, namun kebutuhan tersebut perlu dipenuhi dalam rangka memberi kesempurnaan dan keindahan bagi hidup manusia.26

G. Metode Penelitian

Metode merupakan cara yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan tertentu, misalnya untuk menguji serangkaian hipotesa dengan menggunakan teknik tertentu. Cara utama ini dipergunakan setelah peneliti memperhitungkan kewajaran, ditinjau dari penelitian dan situasi penelitian.27 Dan metode adalah proses, prinsip-prinsip dan tata cara memecahkan suatu masalah, sedangkan penelitian adalah pemeriksaan secara hati-hati, tekun dan tuntas terhadap suatu gejala untuk merambah pengetahuan manusia.28 Jadi metode penelitian dapat diartikan sebagai proses prinsip-prinsip dan tata cara untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dalam melakukan penelitian.

Dalam penelitian skiripsi ini penulis menggunakan metode penulisan sebagai berikut:

26

Wahidul Kahhar, Efektifitas Al-Mulslah dalam Penetapan Hukum Syara, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2003), h. 15

27

Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM, 1980), h. 63 28

(28)

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam skripsi ini merupakan jenis penelitian kualitatif29. Lalu pendekatan-pendekatan yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif analisis. Analisis ini akan digunakan dalam usaha mencari dan mengumpulkan data, menyusun, menggunakan serta menafsirkan data yang sudah ada. Untuk menguraikan secara lengkap, teratur dan eliti terhadap suatu obyek penelitian,30 yakni dengan menekankan pada karya dan argumentasi Nurcholis Madjid dan Ali Mustafa Yaqub tentang perkawinan beda agama. Pendekatan ini dimaksudkan untuk menelaah, mengkritik, serta diharpakan dapat memberi solusi terkait dengan perkawinan beda agama.

2. Sumber Data

Sumber data31 dalam penulisan skripsi ini terbagi menjadi sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer yang dimaksud dalam penelitian ini adalah buku “Nikah Beda Agama dalam Al-Quran dan Hadis karangan Ali Mustafa Yaqub” dan argumentasi-argumentasi beliau terkait perkawinan beda agama serta buku “Fiqh Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis dan Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang

Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan” karangan Nurcholis Madjid”,

29

Penelitian Kualitatif yaitu jenis data dan analisis data yang digunakan bersifat naratif dalam bentuk pernyataan yang menggunakan penalaran. Yayan Sopyan, Pengantar Metode Penelitian,

(Jakarta: Buku Ajar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 2010), h. 26. 30

Sudarto, Metode Penelitian Filsafat (Jakarta: Rajawali Press, 1996), h.116 31

(29)

karya-karya dan argumentasi beliau tentang perkawinan beda agama. Sedangkan sumber data sekunder diperoleh terdiri dari peraturan perundang-undangan yakni UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan sumber lainnya seperti buku-buku, surat kabar, kamus, majalah, hasil penelitian, jurnal, artikel, internet dan lain sebagainya yang dapat memberikan penjelasan data-data primer.

3. Metode Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan Penelitian kepustakaan (library research), yaitu dengan membaca, mempelajari serta menganalisa dengan metode dokumentasi atau studi dokumentasi. Dokumentasi, dari asal katanya dokumen, yang artinya barang-barang tertulis.32

4. Analisis Data

Analisis data33 yang digunakan berdasarkan pada tujuan penelitian yang ingin dicapai, maka dimulai dengan menelaah seluruh data yang sudah tersedia dari berbagai sumber yaitu pengamatan, dokumentasi dan data yang diperoleh dari pustaka dengan mengadakan reduksi data, yaitu data-data yang diperoleh dari kepustakaan yang dirangkum dengan memilih hal-hal yang pokok serta disusun lebih sistematis sehingga mudah dikendaliakan. Maka dalam hal ini penulis menggunakan analisa data kualitatif, dimana data dianalisa dengan metode

32

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek Cet. Ke-12 (Jakarta: 2002) h. 135

33

(30)

deskriptif, dengan cara mengidentifikasi, menyusun dan mengolah, menguraikan secara sistematis, kemudian dilakukan analisa dengan menjabarkan, menginterpretasikan dengan penafsiran sistematis, sosiologis, historis dan menyusun secara logis dan sistematis. Untuk menarik hasil dan kesimpulan dari penelitian inin. Penulis akan menyajikan dengan menggunakan metode deduktif.34

Metode selanjutnya adalah dengan menggunakan analisis komparatif, yaitu peneliti menganalisis dengan menggunakan logika perbandinga. Komparasi yang dibuat menggunakan komparasi fakta-fakta replikatif. Kompaasi faktaa-faka dapat dibuat konsep atau abstraksi teoritisnya sehingga dapat menyusun kategoi teoritis pula. Komparasi juga dapat menghasilkan generalisasi. Fungsi generalisasi adalah untuk membantu memperluas terapan teorinya, mempeluas daya pediksinya.35

5. Pedoman Penulisan Data

Dalam penulisan data ini, penulis berpedoman pada ketentuan penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah tahun 2012.36

34

Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan, h.140 35

Hadari Nawawi, Metode Penelitian Sosial, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997) h.139 36

(31)

H. Sistematika Penulisan

Dalam menyusun skripsi ini, peneliti membahas lalu menguraikan masalah yang dibagi dalam 5 (lima) bab, dan setiap bab berisikan beberapa sub-sub bab. Penyusunan yang seperti ini dimaksudkan agar dapat menguraikan setiap permasalahan dengan baik dan terperinci. Adapun sistematika yang dimaksud adalah sebagai berikut:

Pertama, membahas latar belakang permasalahan, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian, tinjauan (Review) kajian terdahulu, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan

Kedua, membahas tentang konsep perkawinan beda agama pada umumnya yang sesuai dengan ketentuan hukum islam dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia yang mencakup uraian tentang pengertian perkawinan, syarat sah perkawinan, pengertian perkawinan beda agama serta regulasi dan tata hukum di Indonesia.

Ketiga, membahas Biografi dan Pemikiran dari Nurcholish Madjid dan Ali Mustafa Yaqub, dimulai dari latar belakang keluarga, latar belakang pendidikan, karya-karya beliau, corak pemikiran dan pemikirannya tentang perkawinan beda agama.

(32)
(33)

BAB II

PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA

A. Pengertian Perkawina Beda Agama

1. Pengertian Perkawinan

Abdur-Rahman Al-Juzairi menyatakan kata kawin (nikah) dapat didekati dari tiga aspek pengertian (makna), yakni makna lughawi (etimologis), makna ushuli (syar‟i) dan makna fiqhi (hukum).1 Pembahasan lebih lanjut hendak mencoba menjabarkan dari masing-masing pengertian yang baru saja disebutkan. Terutama dari sudut pandang makna lughawi dan makna fiqhi (hukum). Sedangkan dari sudut pandang ushuli (syar‟i), akan dititik beratkan pada hal-hal yang bertalian erat dengan pendekatan filsafat hukum.2

Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut

bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan

kelamin atau bersetubuh. Perkawinan disebut juga “pernikahan”, berasal dari kata

nikah yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi). Kata “nikah” sendiri sering dipergunakan untuk arti persetubuhan (coitus), juga untuk arti akad nikah.3

1

Lihat Abdur-Rahman Al-Juzairi, al-Fiqh „alal-Madzahib al-Arba‟ah, (Beirut-Lubnan: Dar al-Fikr, 1990) h.2

2

Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di dunia Islam, (Rajawali press, Jakarta 2005) h.41

3

(34)

Dalam literatur Islam, yang sesungguhnya semata-mata merupakan keturunan dari istilah yang digunakan al-Qur,’an dan hadits, perkawinan lazin diistilahkan dengan sebutan an-nikah atau at-tazwij. Secara literer, nikah (kawin) artinya berkumpul atau berhimpun (adh-dhamm wa al-jam‟), di samping juga berarti bersetubuh dan akad sekaligus (al-wath‟ wa al-„aqad) yang lazim diistilahkan dengan ungkapan akad pernikahan/akad perkawinan („aqd an-nikah au „aqd at-tazwij).4

Adapun yang dimaksud dengan nikah dalam konteks syar‟i seperti diformulasikan para ulama fiqih, terdapat berbagai rumusan yang satu sama lain berbeda-beda. Jangankan atara mazhab fiqih yang berbeda aliran politik dan mazhab teologisnya, antara mazhab fiqih yang sama aliran teologis dan aliran politiknyapun tidak jarang diwarnai perbedaan. Perhatikan misalnya ta‟rif nikah yang diberikan oleh

empat mazhab (Hanafiah, Syafi’iah, Malikiah, dan Hanabilah), yang aliran politiknya

lazim dianggap sama-sama Sunni dan aliran mazhab teologisnya sama-sama dalam lingkungan Ahlus-Sunnah Wal-jama‟ah (Asy‟ariyah/Maturidiyah), toh berlainan juga dalam memberikan definisi perkawinan.5

Apalagi dihubungkan dengan para fuqaha yang beraliran politik teologis

berbeda semisal Khawarij, Syi’ah dan lain sebagainya. Karenanya, hampir mustahil

kita bisa mempertemukan berbagai definisi nikah atau perkawinan itu dalam satu rumusan yang benar-benar representatif, apalagi lengkap sempurna memuaskan

4

Muhamad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia telaah Syariah dan Qanun. (Jakarta: Lentera Hati, 2015) h. 18.

5

(35)

semua pihak. Namun sungguhpun demikian, betapapun sulit dan apapun alasannya, kita tetap penting mengenali definisi nikah atau perkawinan ini sebagai pijakan bagi pembahasan selanjutnya. Lagi pula perbedaan yang ada pada masing-masing definisi perkawinan itu pada umumnya bahkan secara keseluruhannya tidak dalam bentuk yang konfontatif melainkan perbedaan dalam hal-hal yang bersifat keberagaman.6

Atas dasar ini maka berbagai perbedaan yang ada seputar masalah perkawinan bukan suatu hal yang mustahil manakala di masa-masa mandatang justru akan memberikan sumbangsih positif bagi masing-masing negara Islam/negara berpenduduk muslim untuk saling mengadopsi hukum perkawinan yang lebih baik dan lebih adil. Penganutan paham secara ketat dan kaku kepada mazhab tertentu (taklid buta) yang pernah melanda dunia Islam dalam masa yang sangat panjang, dewasa ini mulai beralih sedikit demi sedikit menuju ke arah talfik mazhab yang kooperatif. Setidak-tidaknya dalam bidang-bidang hukum tertentu.7

Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu untuk segera melaksanakannya. Karena perkawinan dapat mengurangi kemaksiatan, baik dalam bentuk penglihatan maupun dalam bentuk perzinaan. Oang yang berkeinginan melakukan perkawinan, tetapi belum mempunyai persiapan bekal (fisik dan non-fisik) dianjurkan oleh Nabi Muhammad saw untuk berpuasa. Orang berpuasa akan

6

Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, h.44 7

(36)

memiliki kekuatan atau penghalang dari berbuat tercela yang sangat keji, yaitu perzinaan.8

Di dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

dikatakan bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang

wanita sebagai suami isteri dengan tujuan Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa“. Pengertian perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bukan hanya sekedar sebagai suatu perbuatan hukum saja, akan tetapi juga merupakan suatu perbuatan keagamaan, sehingga oleh karenanya sah atau tidaknya suatu perkawinan digantungkan sepenuhnya pada hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang dianut oleh rakyat Indonesia.9

2. Perkawinan Beda Agama

Perkawinan lintas agama sangat lumrah terjadi, praktek ini bahkan telah terjadi sejak zaman dahulu, karena kebutuhan akan adanya interaksi dan komunikasi antar manusia yang bahkan berbeda agama sekalipun inilah yang memungkinkan hal itu terjadi. Dalam konteks Islam jika menelaah sejumlah ayat al-Qur’an, maka dapatlah disimpulkan bahwa dilihat dari sudut pandang agama dalam konteks Islam, ada lima (5) macam perkawinan sepanjang sejarah umat manusia, yaitu:

a. Pekawinan antara laki-laki mukmin dengan perempuan kafirah (non-muslim), diantara contohnya ialah perkawinan nabi Nuh dengan istrinya

8

Zainudin Ali, Hukum Pedata Islam di Indonesia cet-3, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009) h.7 9

(37)

dan terutama antara nabi Luth dengan istrinya. Nabi Nuh dan nabi Luth keduanya adalah muslimin-mukminan yang amat sangat taat dan saleh; sementara masing-masing istrinya, baik istri nabi Nuh maupun istri nabi Luth, keduanya tergolong ke dalam deretan orang-orang kafir, fasik dan munafik.

b. Perkawinan antara perempuan muslimah-mukminah dengan laki-laki kafir (non-muslim), di antara contohnya ialah kasus Siti Aisyah yanhg dikawini Firaun yang bukan saja kafir musyrik melainkan juga pernah menobatkan dirinya sebagai tuhan, bahkan klaim tuhan tertinggi. Perkawinan Aisyah dan Firaun dipastikan bukan perkawinan yang dilakukan atas kamauan Aisyah, melainkan atas keterpaksaan dan dipaksanya Aisyah untuk dijadikan istri Firaun semata-mata demi menyelamatkan keluarga terutama orangtuanya dari siksaan Firaun sekiranya Aisyah tidak mau (menolak) untuk dijadikan istri Firaun.

c. Perkawinan antara pria kafir (non-muslim) dengan perempuan kafirah (non-muslim) seperti halnya perkawinan antara Abu Lahab/Abu Jahal dengan istrinya (Ummu Jamil); dan perkawinan umumnya para laki-laki kafir dengan perempuan kafir lain tentunya dipastikan sangat banyak jumlahnya, serta dianggap sangat lumrah perkawinan sesama kafir seperti itu, dan masih akan terus berlangsung hingga sekarang dan mendatang. d. Perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan muslimah, inilah

(38)

ummatan muslimatan” atau umat islam, mulai dari kebanyakan para nabi,

para wali, oang-orang yang benar (ash-shiddiqin) dan para pahlawan (al-syuhada) dan orang-orang saleh, sebagaimana juga terjadi pada kebanyakan pasangan perkawinan yang dilakukan oleh pemeluk-pemeluk agama Islam (muslim-muslimah). Umumnya masyarakat banyak membuktikan bahwa kesamaan agama dalam suatu perkawinan pada dasarnya dan dalam kenyataannya bukanlah menajdi dominasi apalagi monopoli kaum muslim-muslimah; melainkan juga sudah menjadi tradisi yang umum berlaku dihampir semua perkawinan masyarakat agama-agama lain yang mementingkan perkawinan dalam satu atap agama-agama. Inilah pula jenis perkawinan yang keberlangsungan rumah tangganya tidak menjadi/dijadikan buah bibir.

e. Perkawinan beda agama antara laki-laki muslim dengan perempuan non-muslimah sebagaimana dilakukan oleh beberapa orang sahabat besar nabi Muhammad saw, diantaranya Hudzaifah bin al-Yaman yang menikahi wania Yahudiah dari suku al-Mada’in, Utsman bin Affan yang menikahi

Nashraniyah (Na’ilah binti al-Farafishah al-Kalbiyyah) yang kemudian

(39)

perdebatan hukumnya sampai sekarang ini masih tetap bergulir atau digulirkan di tengah-tengah masyarakat.10

B. Rukun dan Syarat Sah Perkawinan

Rukun, yaitu sesuatu ysng mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti membasuh muka untuk dan takbiratul ihram unuk shalat atau adanya calon pengantin laki-laki/perempuan dalam perkawinan. Sementara syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk shalat atau menurut Islam calon pengantin laki-laki itu harus beragama Islam.11

Diskursus tentang rukun merupakan masalah yang serius diantara kalangan fuqaha. Sebagai konsekuensinya terjadi silang pendapat berkenaan dengan apa yang termasuk rukun dan mana yang tidak. Bahkan perbedaan itu juga terjadi dalam menentukan mana yang termasuk rukun dan mana yang syarat. Bisa jadi sebagian ulama menyebutnya sebagai rukun dan ulama lainnya menyebutnya sebagai syarat.12

1. Rukun Perkawinan

Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan itu terdiri atas :13

10

Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia, h. 97-100. 11

M.A. Tihami, Fikih Munakahat ,(Jakarta: Rajawali press, 2009) h.12 12

Amiur Nuraddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia cet-3, (Jakarta: Kencana,) h.60. 13

(40)

a. Adanya calon suami dan istri yang melakukan perkawinan.

b. Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita. Akad nikah akan dianggap sah apabila ada seorang wali atau wakilnya yang menikahannya,

c. Adanya dua orang saksi. Pelaksanaan akad nikah akan sah apabila dua orang saksi yang menyaksikan akad nikah tesebut

d. Sighat akad nikah, yaitu ijab kabul yang diucapkan oleh wali atau wakilnya dari pihak wanita dan dijawab oleh calon pengantin pria.

Tentang jumlah rukun ini, para ulama berbeda pendapat :

Imam Malik mengatakan bahwa rukun perkawinan itu ada lima macam, yaitu : a. Wali dari pihak perempuan

b. Mahar

c. Calon pengantin laki-laki d. Calon pengantin perempuan e. Sighat akad perkawinan.14

Imam Syafi’i berkata bahwa rukun perkawinan itu ada lima macam, yaitu : a. Calon pengantin laki-laki

b. Calon pengantin perempuan c. Wali

d. Dua orang saksi e. Sighat akad nikah.15

14

(41)

Menurut ulama Hanafiyah, rukun perkawinan itu hanya ijab dan qabul saja (yaitu akad yang dilakukan oleh pihak wali perempuan dan calon pengantin laki-laki). Sedangkan menurut segolongan yang lain rukun itu ada empat, yaitu :

a. Sighat (ijab dan qabul) b. Calon pengantin laki-laki c. Calon pengantin perempuan

d. Wali dari pihak calon pengantin permpuan.16

Pendapat yang mengatakan bahwa rukun nikah itu adalah empat, karena calon pengantin laki-laki dan calon pengantin permpuan digabung menjadi satu rukun seperti terlihat dibawah ini.

Rukun perkawinan :

a. Dua orang yang saling melakukakn akad perkawinan, yakni mempelai laki-laki dan mempelai permepuan.

b. Adanya wali

c. Adanya dua orang saksi

d. Dilakukan dengan sighat tertentu.17

Lalu dalam konteks wali secara spesifik para ulama berbeda pendapat dalam keharusan adanya wali yakni:

15

Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat 1, h.72 16

Lihat Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), h. 36

17

(42)

a. Malik berpendapat bahwa perkawinan tidak sah kecuali dengan wali dan

itu merupakan syarat sah, dalam riwayat Asyhab darinya dan Syafi’i juga

menyatakan demikian

b. Abu Hanifah, Zufar, Sya’bi dan Az-Zuhri mengatakan bahwa jika seorang wanita melakukan akad perkawinan tanpa walinya, sedangkan calon suaminya setara dengannya, maka dibolehkan.

c. Sedangkan Daud membedakan antara gadis dan janda, dia berkata

“disyaratkan adanya wali pada gadis dan tidak disyaratkan adanya wali

pada janda”

d. Berdasarkan riwayat Ibnu Al Qasim dari Malik tentang perwalian terdapat pendapat keempat, yaitu bahwa disyaratkannya wali dalam nikah adalah sunah bukan wajib. Hali itu kaena diriwayatkan darinya, bahwa dia berpendapat adanya hak warisan antara suami istri tanpa wali, dan boleh bagi seorang wanita yang tidak memiliki kemuliaan untuk mewakilkan kepada seorang laki-laki dalam menikahkannya. Dia juga mensunahkan agar seorang janda mengajukan kepada walinya untuk menikahkannya. Seolah-olah menurutnya wali itu termasuk kesempurnaan bukan rukun. Berbeda dengan ungkapan ulama Bghdad yang termasuk pengikut Malik (yaitu mereka mengatakan bahwa wali

termasuk rukun bukan syarat kesempurnaan)18

18

(43)

2. Syarat Sah Perkawinan

Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar dasar bagi sahnya perkawinan.19 Lalu syarat perkawinan juga merupakan syarat yang bertalian dengan rukun-rukun perkawinan, yaitu syarat-syaat bagi calon mempelai, wali, saksi, dan ijab kabul.20

Syarat suami

a. Bukan mahram dari calon istri b. Tidak terpaksa atas kemauan sendiri c. Orangnya tertentu, jelas orangnya d. Tidak sedang ihram.

Syarat istri

a. Tidak ada halangan syarak, yaitu tidak bersuami, bukan mahram, tidak sedang dalam iddah

b. Merdeka atas kamauan sendiri c. Jelas orangnya

d. Tidak sedang dalam berihram Syarat wali

a. Laki-laki b. Baligh

c. Waras akalnya d. Tidak dipaksa

19

Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat cet-3, h. 49 20

(44)

e. Adil

f. Tidak sedang dalam ihram Syarat saksi

a. Laki-laki b. Baligh

c. Waras akalnya d. Adil

e. Dapat mendengar dan melihat f. Bebas tidak dipaksa

g. Tidak sedang dalam berihram

h. Memahami bahasa yang digunakan dalam ijab kabul.

Syarat-syarat sighat : hendakanya dilakukan dengan bahasa yang dapat dimengerti oleh orang yang melakukan akad, penerima akad, dan saksi, shigat hendakanya menggunakan ucapan yang menunjukkan waktu akad dan saksi. Shigat hendaknya mempergunakan waktu lampau, atau salah seorang mempergunakan kalimat yang menunjukkan waktu lampau sedang lainnya dengan menunjukkan waktu yang akan datang.21

Kata sah berarti menurut hukum yang berlaku disaat perkawinan itu dilaksanakan tidak menurut tata tertib hukum yang telah ditentukan maka perkawinan itu tidak sah. Jadi dalam konteks Indonesia jika tidak mnegikuti aturan

21

(45)

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, berarti tidak sah menurut perundangan, kalau tidak menurut hukum agama berarti tidak sah menurut agama, begitu pula kalau tidak menurut tata tertib hukum adat tidak sah menurut hukum adat. Sahnya suatu perkawinan telah diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menetapkan sebagai berikut:22

1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing- masing agamanya dan kepercayaannya;

2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Lebih lanjut pada penjelasannya disebutkan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Hal ini sesuai dengan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:

1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa;

2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya

masing –masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu.23 Dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jelas terlihat bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menentukan sahnya suatu perkawinan kepada hukum agama dan kepercayaannya masing-masing pemeluknya. Setelah perkawinan dilangsungkan menurut tata cara masing-masing agama dan kepercayaannya, maka kedua mempelai

22

Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat 1, h.35 23

(46)

menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh pegawai pencatat perkawinan.24

C. Regulasi Perkawinan Beda Agama di Indonesia

Perkawinan beda agama terjadi apabila seorang pria dengan seorang wanita yang berbeda agama yang dianutnya melakukan perkawinan dengan tetap mempertahankan agamanya masing-masing. Misalnya, seorang pria beragama Islam dan seorang wanita beragama Kristen atau sebaliknya. Hal demikian pernah diatur dan dimasukkan dalam kategori perkawinan campuran beda agama.

Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 menyatakan perkawinan menurut hukum islam yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon gholiidhan untuk menaati

perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.25

Menurut Pasal 4 perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam. Artinya perkawinan yang sah adalah perkawinan yang sesuai dengan kaidah hukum islam yang berlaku.26

Dalam Ordonansi Perkawinan Kristen Pasal 75 ayat (1) menyatakan bahwa perkawinan seorang laki-laki bukan Kristen dengan seorang wanita Kristen atas permohonan kedua suami-isteri dapat dilaksanakan dengan memperlakukan

24

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2003), h.88

25

Djaja S Meliala, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan tentang Perkawinan, (Bandung: Nuansa Aulia, 2008), h. 82

26

(47)

ketentuan-ketentuan ordonansi ini dan ketentuan-ketentuan peraturan penyelenggaraan Reglemen catatan sipil untuk orang-orang Indonesia-Kristen.27

Apabila perkawinan tidak dilaksanakan menurut hukum agamanya masing-masing berarti perkawinan itu tidak sah. Perkawinan di Kantor Catatan Sipil tanpa dilakukan terlebih dahulu menurut hukum agama tertentu berarti tidak sah. Perkawinan yang dilakukan oleh Hukum Adat atau oleh aliran kepercayaan yang bukan agama dan tidak dilakukan menurut tata cara agama yang diakui pemerintah berarti tidak sah. Dengan demikian, perkawinan yang sah menurut agama yaitu perkawinan yang dilakukan menurut tata cara yang berlaku dalam agama masing-masing.

Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, di Indonesia pernah ada suatu peraturan hukum antar golongan yang mengatur masalah perkawinan campuran. Peraturan yang dimaksud adalah peraturan yang dahulu dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda yang bernama Regeling op de Gemengde Huwelijken (GHR) atau Peraturan tentang Perkawinan Campuran sebagaimana dimuat dalam Staatsblad 1898 No. 158. Regeling Of de Gemengde Huwelijken (GHR) adalah suatu peraturan perkawinan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda tentang perkawinan campuran yang termuat dalam Lembaran Negara Hindia Belanda Stb. 1898 No. 158. Pada pasal 1 GHR disebutkan perkawinan campuran adalah perkawinan antar orang-orang yang di Indonesia tunduk pada

27

(48)

hukum yang berlainan. Kemudian dalam penjelasannya dikemukakan contoh perkawinan antara seorang WNI dengan seorang bangsa Belanda atau Eropa lainnya sekalipun telah menjadi WNI serta memeluk agama Islam. Begitu pula perkawinan antara seorang Indonesia dengan seorang Tionghoa atau bangsa Timur lainnya yang tidak memeluk agama Islam sekalipun telah menjadi WNI. Sementara itu, pasal 7

ayat (2) disebutkan bahwa “Perbedaan agama, bangsa, atau asal sama sekali bukanlah

menjadi halangan untuk perkawinan”.28

Pada pasal 1 GHR dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Perkawinan

Campuran adalah “Perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk kepada

hukum yang berlainan”. Ada 3 pendapat mengenai apakah GHR berlaku pula untuk perkawinan antar agama dan antar tempat yakni, pertama, kelompok yang

berpendirian “luas” yang menganggap bahwa perkawinan campuran antar agama dan

antar tempat termasuk di dalam GHR; kedua, kelompok yang berpendirian “sempit” yang menganggap bahwa perkawinan campuran antar agama dan antar tempat tidak

termasuk di dalam GHR; dan ketiga, kelompok yang berpendirian “setengah luas

setengah sempit” yang menganggap bahwa hanya perkawinan antar agama saja yang

termasuk dalam GHR, sedangkan perkawinan antar tempat tidak termasuk di dalam GHR.29

Sudargo Gautama berpendapat bahwa istilah perkawinan campuran pada pasal 1 GHR berarti perbedaan perlakuan hukum atau hukum yang berlainan dan dapat

28

FXS. PurwaharSanto, Perkawinan Campuran Antar Agama, h. 10-13. 29

(49)

disebabkan karena perbedaan kewarganegaraan, kependudukan dalam berbagai regio, golongan rakyat, tempat kediaman, dan agama sehingga dari situ pendirian yang luaslah yang banyak didukung oleh para sarjana hukum. Namun menurut O.S. Eoh, semenjak dikeluarkannya Instruksi Presidium Kabinet No. 31/U/IN/12/1966, tidak ada lagi penggolongan penduduk kecuali dibedakan antara WNI dan WNA sehingga di Indonesia tidak mungkin lagi ada perkawinan campuran antar tempat dan antar golongan.30

Rumusan mengenai perkawinan campuran dalam GHR berbeda dengan rumusan dalam pasal 57 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang

berbunyi “Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini

ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak

berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”.

Dari ketentuan pasal 57 itu, jelas bahwa ketentuan-ketentuan GHR (STB. 1898/158) sebagaimana yang diungkapkan diawal juga tidak dapat diberlakukan lagi karena ketentuannya telah mendapat pengaturan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.

Rumusan di atas membatasi diri hanya pada perkawinan antara warga negara Indonesia dengan warga negara asing. Adapun perkawinan antara sesama warga negara Indonesia yang tunduk kepada hukum yang berlainan, termasuk perkawinan

30

(50)

antar agama, tidak termasuk dalam lingkup batasan perkawinan campuran menurut undang-undang ini.

Hal yang signifikan di dalam memahami persoalan perkawinan beda agama bukanlah soal perbedaan agama itu sendiri, tetapi soal tanggung jawab negara dalam melindungi dan menjamin hak-hak warganya. Adapun yang dipersoalkan adalah soal relasi vertikal dalam hubungan antara negara dan warga negara, bukan soal relasi horisontal yang menyangkut hubungan di antara warga negara yang beragam agama,

kepercayaan dan beragam penafsirannya.31

D. Pandangan Ulama Klasik tentang Perkawinan Beda Agama

Perkawinan beda agama pada prinsipnya adalah tidak dianjurkan bahkan dilarang, meskipun demikian dalam konteksnya perkawinan jenis ini dikategorisasikan ke dalam dua yakni perkawinan antara muslim dengan musyrik dan muslim dengan ahli kitab yang keduanya berimplikasi hukum yang berbeda.

1. Perkawinan Laki-laki Muslim dengan Perempuan non-Muslim

Pada umumnya ulama klasik sepakat bahwa perkawinan beda agama antara laki-laki muslim dengan Perempuan ahli kitab (yahudi dan nashrani) adalah boleh atau diperbolehkan dalam syariat Islam. Hal ini dilandasi pada firman firman Allah SWT :

31

(51)

Artinya : pada hari ini dihalalkan bagimu segala hal yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka. (Dan dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehomatan diantara perempuan-perempuan yang beriman dan permpuan yang menjaga kehormatan diantara oang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina, bukan untuk menjadikannya perempuan piaraan. Siapa yang kafi sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amal mereka dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi. (al-Maidah : 5).”

(52)

dari ulama salaf yang mengharamkan pernikahan tersebut di atas, maka riwayat itu dinilai tidak shahih.32

Adapun sahabat Umar yang menyuruh beberapa sahabat yang lain agar menceraikan istri-istri mereka yang ahli kitab, maka hal itu dipahami sebagai suatu kekhawatiran beliau. Sebagai Khalifah, beliau khawatir perilaku mereka akan menjadi fitnah bagi umat Islam. Atas dasar inilah, Umar mencegah mereka untuk menikahi ahli kitab, tetapi hal itu bukan berarti beliau mengharamkannya, maksud fitnah disini adalah perilaku mereka itu akan ditiru oleh anak buahnya karena mereka para pemimpin, sehingga nanti wanita-wanita Islam tidak ada yang menikahinya.33

Meskipun banyak diantara ulama yang membolehkannya, akan tetapi ulama yang melarangnya secara mutlak pun ada. Bahkan dalam konteks Indonesia Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah memfatwakan pada Fatwa MUI No.04/MUNAS VII/MUI/8/2005 bahwa haram hukumnya perkawinan antar muslim dan non-muslim baik ahli kitab maupun selainnya. Hal demikian berlandaskan pada firman Allah swt

:

32

Lihat: Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad Muhammad bin Qudamah, Al-Mughni Juz IX, (Saudi Arabia, Dar Alam al-Kutub, 1997), h. 545.

33

(53)

“Artinya : dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sampai mereka beriman. Sungguh hamba sahaya perempuan beriman lebih baik daripada perempuan musyrik, walaupun dia menaik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sampai mereka beriman. Sungguh hamba sahaya laki-laki lebih beriman lebih baik dari laki-laki musyrik walaupun mereka menarik hatimu. Mereka mengajaka ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”.(al-Baqarah : 221)

Lalu selain itu, diterangkan-Nya juga dalam surat al-Mumtahanah ayat 10 yang berbunyi :

(54)

Disamping itu mereka juga mengacu pada perkataan Abdullah bin Umar bahwa tidak ada kemusyrikan yang lebih besar daripada perempuan yang meyakini bahwa Isa bin Maryam adalah Tuhannya. Dengan demikian, perkawinan lelaki muslim dengan wanita non-muslim secara sepenuhnya haram, karena ahli kitab itu kategori kaum musyrikin. Sementara menurut Ibnu Abbas, hukum perkawinan dalam al-Baqarah ayat 221 dan al-Mumtahanah ayat 10 di atas dimana laki-laki muslim haram menikahi wanita non-muslim telah dihapus (mansukh) oleh surah al-Maidah ayat 5 yang membolehkan laki-laki muslim mengawini wanita ahli kitab. Karenanya yang berlaku adalah hukum dibolehkannya perkawinan laki-laki muslim dengan

perempuan ahli kitab.34

2. Perkawinan Laki-laki non-Muslim dengan Perempuan Muslimah

Sementara perkawinan laki-laki muslim dengan perempuan muslim diperdebatkan tentang hukum kebolehannya, maka perkawinan laki-laki non-muslim dengan perempuan muslim dalam pandangan ulama secara umum menghukuminya haram dan diantara ulama klasik tesebut tidak tedapat perdebatan terkait hal ini. Meskipun surah al-Mumtahanah ayat 10 telah di nasakh oleh surah al-Maidah ayat 5, namun karena ayat tersebut tidak menjelaskan tentang perkawinan antara laki-laki non-muslim dengan perempuan muslim, sehingga para ulama beranggapan bahwa yang diperbolehkan hanyalah perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan non-muslim tapi tidak sebaliknya.

34

(55)

Meski demikian, bukan berarti tidak ada yang memperdebatkannya dan berpandangan berbeda. Semisal Cak Nur, diantara ilmuan yang membolehkan terjadinya perkawinan antara laki-laki non-muslim dengan perempuan muslim. Pendapat seperti ini muncul karena anggapan bahwa tidak ada nash yang mengatur secara jelas perkawinan seperti ini, meskipun tidak ada yang memperbolehkan perkawinan seperti itu. Tapi menarik juga untuk dicermati, karena tidak ada larangan yang sharih.35

35

(56)

BAB III

BIOGRAFI SOSIAL INTELEKUAL NURCHOLISH MADJID DAN ALI

MUSTAFA YAQUB

A. Nurcholish Madjid

1. Biografi Sosial

Nurcholish Madjid (selanjutnya dipanggil Cak Nur seperti panggilan akrabnya), lahir pada tanggal 17 Mei 1939 di Mojoanyar Jombang, ditengah keluarga yang sederhana, „alim serta saleh. Ayahnya Abdul Madjid seorang petani di desa kecil tamatan Sekolah Rakyat (SR) dan salah seorang santri kesayangan

Kiyai Hasyim Asy’ari.1

Abdul Madjid dikenal sebagai kiyai yang lahir dari rahim NU, termasuk orang yang melawan arus utama, dan tidak masuk dalam jaringan ulama NU serta menolak bergabung dengan partai NU. Dia justru bergabung dan menjadi pendukung setia partai Masyumi yang merupakan ibu kandung partai NU sebelum akhirnya berpisah mengambil jalannya masing-masing.2 Sikap yang diambil oleh Abdul Madjid ini berpengaruh tidak hanya terhadap dirinya, tapi juga terhadap Cak Nur. Pengaruh pandangan Masyumi yang modernis lewat ayahnya

1

Lihat Dedy Amaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia : Pemikiran dan Aksi Politik, (Bandung: Zaman wacana mulia, 1998) h.122

2

(57)

masuk secara sadar ke dalam kehidupan keluarga, dan selanjutnya menyublim ke dalam pemikiran Cak Nur Kecil.3

Cak Nur mendapatkan pendidikan dasar (SR) di Mojoanyar bersamaan dengan Madrasah Ibtidaiyah di Mojoanyar, Jombang. Kemudian melanjutkan pendidikan (tingkat menengah SMP) di Pesantrren Darul Ulum, Rejoso, Jombang, akan tetapi karena dia berasal dari keluarga NU yang Masyumi, maka dia tidak betah di Pesantren yang afiliansi politiknya adalah NU ini.4 Sehingga diapun pindah ke pesantren yang modernis, yaitu KMI (Kulliyatul Mu‟allimin al -Islamiyyah), Pesantren Darus Salam di Gontor, Ponorogo.5

Setelah dinyatakan lulus dari Gontor, Cak Nur kemudian melanjutkan studinya dengan masuk ke IAIN Jakarta (sekarang UIN Syarif Hidayatullah) dan mengambil Fakultas Adab jurusan Sastra Arab, hingga akhirnya lulus dengan menyandang gelar lulusan terbaik pada tahun 1968.6

Selanjutnya pada tahun 1973, setelah kelulusannya dari IAIN, nasib mujur menghampirinya seiring kedatangan Fazlur Rahman dan Leonard Binder yang sedang mencari peserta yang tepat untuk program seminar dan lokakarya di University of Chicago yang didanai Ford Fondation. Selesai mengikuti program

3

Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan: Atikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer,( Jakarta: Paramadina 1998), h.271

4

Lihat Dedy Amaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia : Pemikiran dan Aksi Politik, h.123

5

Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan, h.271 6

(58)

tersebut, Cak Nur meminta kembali kepada Leonard Binder agar ia dapat kembali lagi dengan status mahasiswa, hingga pada bulan Maret 1978, Cak Nur kembali lagi ke Amerika Serikat mengambil program pasca sarjana di University of Chicago. Di sini Fazlur Rahman mengajaknya untuk mengambil penelitian dibidang kajian keislaman (di bawah bimbingannya) daripada kajian ilmu politik (di bawah bimbinga Leonard Binder) yang sejak awal direncanakan Cak Nur.7

Cak Nur menamatkan kuliah di University of Chicago dengan predikat cumlaude tahun 1984, dengan judul disertasi “Ibn Taymiya on Kalam and Falsafah: A Problem of Reason and Revelation in Islam” (Ibnu Taymiyah dalam Ilmu Kalam dan Filsafat: Masalah Akal dan Wahyu dalam Islam).8

Cak Nur meninggal pada 29 Agustus 2005 akibat penyakit sirosis hati yang dideritanya. Ia kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata meskipun merupakan warga sipil karena dianggap telah banyak berjasa kepada negara.9

2. Karya-kaya Intelektual

Dalam karya-karya tulis yang telah dipublikasikan oleh Cak Nur jelas sekali dapat kita lihat bagaimana cara pandang Cak Nur tentang suatu fenomena sosial yang menimpa bangsa Indonesia. Sehingga tulisa-tulisannya pun selalu

7

Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, h.85 8

Lihat Budhy Munawarrahman, Pengantar Ensiklopedi Nurcholish Madjid, 9

(59)

bernada pluralis dan toleran. Lalu diantara banyaknya karya yang telah Cak Nur torehkan beberapa diantaranya adalah:

1) Modernisasi Ialah Rasionalisasi bukan Westernisasi (1968)

2) Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP – yang merupakan pedoman bagi para kader HMI) (1969)

3) The Issue of modernization among Muslim in Indonesia, a participant point of view in Gloria Davies, ed. What is Modern Indonesia (1978) 4) “Islam in Indonesia: challenges and Opportunities” in Cyriac K (1982) 5) Khazanah Intelektual Islam (1982)

6) Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (1987)

7) Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan (1992)

8) Islam, Kerakyatan dan Keindonesiaan (1993) 9) Pintu-pintu Menuju Tuhan (1994)

10)Islam Agama Kemanusiaan (1995)

11)Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah (1995)

12)Tradisi Islam, Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan Islam di Indonesia (1997)

13)Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer (1998)

(60)

15)Pesan-pesan Taqwa Nurcholish Madjid (2000)

16)Fiqh Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis (2003)10

3. Aktifitas

1) Bidang Organisasi

a) Ketua umum PB HMI (1966-1968 dan 1968-1970)

b) Presiden PEMIAT (Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara) 1970 c) Wakil Sekjen IIFSO (International IslamicFederation of Students

Organization) tahun 1969-197111 d) Anggota Dewan Pers (1991-1997) e) Anggota MPR RI (1992-1997) f) Anggota Komnas HAM (1993-1998)

g) Anggota Dewan Riset Nasional (1994-1998)

h) Anggota Dewan Penasehat Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) (1995-1998)

i) Penerima Bintang Mahaputra (1998)

j) Ketua yayasan Wakaf Paramadina (1986-2005) 2) Bidang Akademik

a) Pendiri dan Rektor Universitas Paramadina b) Guru Besar Pemikiran Islam

10

Lihat Budhy Munawarrahman, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h. iv 11

Referensi

Dokumen terkait

- Biaya administrasi 500.000/tim, maksimal 10 hari kerja setelah mengisi form pendaftaran - Jika >10 hari tidak bayar, dianggap mengundurkan diri, jika mau daftar ulang lagi

Menutup kegiatan pembelajaran dengan berdo’a bersama V Alat/Bahan/Sumber Belajar:.. A Kerja logam,

Sebagaimana ditunjukkan dalam penelitian ini bahwa hasil ekstraksi resin pada kayu gaharu tanaman asal Jambi relatif lebih sedikit dibandingkan dengan hasil resin

Komponen system speed dan system reliability memiliki hubungan yang sangat kuat dengan komponen dasar dari Instrumen EUCS, selain itu dinyatakan valid dan berpengaruh

Garis regresi hubungan antara air lolos, aliran batang dan intersepsi dengan curah hujan pada rata-rata Tanaman Jati dan Pinus dapat dilihat pada Gambar 6. Gambar 6

Pemangkasan di dua blok pada bulan Januari dan Maret 2011 dapat selesai dalam waktu kurang dari 30 hari dengan kapasitas pemangkas melebihi kapasitas standar yang

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja pegawai kecamatan gunung pati termasuk unggul, ini dapat dilihat dari beberapa fenomena yang menunjukkan

Sintesis ini merupakan aplikasi dari reaksi Ritter, α -pinena bertindak sebagai starting material yang memiliki ikatan rangkap pada salah satu ikatan dalam