• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Perlakuan Uap Panas Dan Suhu Penyimpanan Untuk Mempertahankan Mutu Buah Mangga Arumanis (Mangifera Indica L )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Perlakuan Uap Panas Dan Suhu Penyimpanan Untuk Mempertahankan Mutu Buah Mangga Arumanis (Mangifera Indica L )"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN PERLAKUAN UAP PANAS DAN SUHU PENYIMPANAN

UNTUK MEMPERTAHANKAN MUTU BUAH

MANGGA ARUMANIS (Mangifera indica L.)

RIMBA LESTARI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Perlakuan Uap Panas dan Suhu Penyimpanan untuk Mempertahankan Mutu Buah Mangga Arumanis (Mangifera indica L.) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2016

Rimba Lestari

(4)

RINGKASAN

RIMBA LESTARI. Kajian Perlakuan Uap Panas dan Suhu Penyimpanan untuk Mempertahankan Mutu Buah Mangga Arumanis (Mangifera indica L.). Dibimbing oleh ROKHANI HASBULLAH dan IDHAM SAKTI HARAHAP.

Mangga merupakan salah satu buah tropis yang berpotensi sebagai komoditas ekspor. Adanya lalat buah jenis Bactrocera papayae pada mangga merupakan kendala utama dalam permasalahan ekspor mangga. Untuk memenuhi persyaratan ekspor atau regulasi karantina, telur lalat buah perlu didisinfestasikan dari buah mangga dan vapor heat treatment (VHT) merupakan salah satu metode disinfestasinya. Tujuan penelitian ini adalah (1) untuk mengkaji mortalitas lalat buah Bactrocera papayae secara in-vitro dan secara in-vivo, dan (2) untuk mengkaji pengaruh VHT dan suhu penyimpanan terhadap mutu buah mangga Arumanis.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni hingga Desember 2015 di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP) IPB dan Laboratorium Vapor Heat Treatment Balai Besar Peramalan Organisme Pengganggu Tumbuhan (BBPOPT) Jatisari, Jawa Barat. Kajian mortalitas telur lalat buah secara in-vitro dilakukan dengan merendam telur ke dalam air panas pada suhu 46 oC selama 5, 10, 15, 20, 25 menit dan kontrol. Kajian mortalitas telur lalat buah secara in-vivo dilakukan dengan buah mangga yang terinfestasi B. papaye lalu diberi perlakuan VHT pada suhu 47 oC selama 10, 20, 30, 40 menit dan kontrol. Pengamatan mutu buah dilakukan dengan memberi perlakuan VHT pada suhu 47 oC selama 25, 30, 35 menit dan kontrol, dan kemudian disimpan pada suhu 13±2 oC dan suhu 28±2 oC. Pengamatan perubahan mutu selama penyimpanan dilakukan setiap 3 hari.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa 100% mortalitas lalat buah B. papayae secara in-vitro pada suhu 46 oC adalah selama 10 menit. Sedangkan 100% mortalitas secara in-vivo pada suhu 47 oC adalah selama 20 menit. Lama VHT dan suhu penyimpanan serta interaksinya tidak berpengaruh signifikan terhadap susut bobot, total padatan terlarut, dan kekerasan, tetapi berpengaruh signifikan terhadap vitamin C. Perlakuan panas tidak menyebabkan kerusakan fisiologis dimana buah masih mengalami proses respirasi secara normal. Buah pada penyimpanan suhu 13±2 oC buah dapat bertahan selama 18 hari dan pada suhu 28±2 oC hanya bertahan selama 9 hari. VHT pada suhu 47 oC selama 25-30 menit efektif untuk membunuh lalat buah yang terinfestasi dalam mangga Arumanis dan VHT yang diikuti oleh penyimpanan suhu rendah (13±2 oC) dapat mempertahankan mutu buah selama penyimpanan.

(5)

SUMMARY

RIMBA LESTARI Study of Vapor Heat Treatment and Storage Temperature for Maintaining Quality of Arumanis Mango (Mangifera indica L.). Supervised by ROKHANI HASBULLAH and IDHAM SAKTI HARAHAP.

Mango is one of tropical fruit which potential as export commodity. However, the presence of fruit fly Bactrocera papayae in mango becomes the main obstacle in mango export problems. To meet the export requirements or quarantine regulations, fruit fly eggs need to the disinfected from mango fruit and

vapor heat treatment (VHT) is one of the disinfestation method. The objectives of this research were (1) to analyze the mortality of B. papayae fruit flies by in-vitro and by in-vivo, and (2) to analyze the effect of VHT and storage temperature on quality of Arumanis Mango.

This research was conducted from June to December 2015 in the Laboratory of Food Processing and Agricultural Products (TPPHP) of IPB and Laboratory of Vapor Heat Treatment of the Center for Plant Pest Forecasting Organisms (BBPOPT) Jatisari, West Java. Mortality test in-vitro was performed by soaking the eggs in hot water at temperature of 46 °C for 5, 10, 15, 20, 25 minutes and control. Mortality test in-vivo was performed by VHT at temperature of 47 °C for 10, 20, 30, 40 minutes and control. Testing on fruit quality was performed by VHT treatment at temperature of 47 °C for 25, 30, 35 minutes and control, and then stored at temperatures of 13±2 °C and room temperature of 28±2 °C. The observation of fruit quality during storage is every 3 days.

The results showed that the 100% mortality in-vitro of fruit fly B. papayae

at temperature 46 oC was 10 minutes. While 100% mortality in-vivo at temperature 47 oC was 20 minutes. Exposure time of VHT, storage temperature, and their interaction didn‟t significantly afffect weight loss, total soluble solid, hardness, but significantly affected vitamin C. VHT didn‟t cause physiological damage which the fruit is still undergoing a process of normal respiration. The fruits on storage temperature of 13±2 oC can last for 18 and 28±2 °C just can last for 9 days. VHT at temperature of 47 °C for 25-30 minutes was effective to disinfestation of fruit flies infested inside the Arumanis mango and VHT followed by low temperature storage (13±2 oC) was able to maintain mango quality during storage.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Pascapanen

KAJIAN PERLAKUAN UAP PANAS DAN SUHU PENYIMPANAN

UNTUK MEMPERTAHANKAN MUTU BUAH

MANGGA ARUMANIS (Mangifera indica L.)

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2015 ini ialah perlakuan uap panas, dengan judul Kajian Perlakuan Uap Panas dan Suhu Penyimpanan untuk Mempertahankan Mutu Buah Mangga Arumanis (Mangifera indica L.). Keberhasilan penulisan tesis ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan, dan petunjuk dari berbagai pihak.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Rokhani Hasbullah, M.Si dan Bapak Dr Ir Idham Sakti Harahap selaku pembimbing, atas kesediaan dan kesabaran untuk membimbing dan membagi ilmunya kepada penulis dalam penyusunan tesis ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh Dosen Departemen Teknik Mesin dan Biosistem IPB yang telah mengasuh dan mendidik penulis selama di bangku kuliah hingga menyelesaikan studi, serta seluruh staf Departemen Teknik Mesin dan Biosistem atas bantuan, pelayanan, dan kerjasamanya selama ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2016

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR GAMBAR xiii

DAFTAR LAMPIRAN xiii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Identifikasi Masalah 3

Tujuan Penelitian 3

Hipotesis Penelitian 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 4

Botani Tanaman Mangga 4

Karakteristik Buah Mangga Arumanis 5

Penanganan Pascapanen Mangga 6

Lalat Buah 9

Perlakuan Karantina 11

3 METODE PENELITIAN 14 Waktu dan Tempat Penelitian 14 Bahan dan Alat 14 Prosedur Penelitian 14

Rancangan Percobaan 18

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 20

Mortalitas telur B. papayae secara in-vitro 20

Mortalitas telur B. papayae secara in-vivo 21

Pengaruh VHT terhadap mutu buah 22

5 SIMPULAN DAN SARAN 29

DAFTAR PUSTAKA 30 LAMPIRAN 34

(12)

DAFTAR TABEL

1 Kandungan nutrisi mangga Arumanis per 100 gram 5 2 Pematangan buah mangga menggunakan bahan kimia 9 3 Mortalitas telur lalat buah B. papaye pada suhu 46 oC dengan lama

perendaman yang berbeda 20

4 Mortalitas telur lalat buah B. papayae pada suhu 47 oC dengan lama

perlakuan VHT yang berbeda 21

DAFTAR GAMBAR

1 Tanaman mangga 4

2 Penampakan luar dan dalam buah mangga Arumanis 5 3 Metamorfosis sempurna pada lalat buah dari telur, larva, pupa, imago 10

4 Dampak serangan lalat buah 11

5 Bagan alir proses pengujian mortalitas secara in-vitro 15 6 Bagan alir proses pengujian mortalitas secara in-vivo 16 7 Pelaksanaan perlakuan uap panas terhadap telur B. papayae pada

mangga Arumanis 16

8 Bagan alir proses pengujian mutu buah 18

9 Grafik perubahan laju respirasi pada mangga Arumanis 23 10 Grafik susut bobot mangga Arumanis selama penyimpanan 24 11 Grafik TPT mangga Arumanis pada suhu 28±2 oC dan suhu 13±2 oC 24 12 Grafik kekerasan kulit mangga pada suhu 28±2 oC dan suhu 13±2 oC 25 13 Grafik kekerasan daging mangga pada suhu 28±2 oC dan suhu 13±2 oC 26 14 Grafik vitamin C mangga Arumanis pada suhu 28±2oC dan 13±2 oC 27

DAFTAR LAMPIRAN

1 Analisis ragam tingkat mortalitas B. papayae pada suhu 46 oC dengan

lama perendaman yang berbeda 34

2 Analisis ragam tingkat mortalitas B. papayae dengan suhu pusat 47 oC

dengan perlakuan VHT yang berbeda 34

3 Analisis ragam pengaruh perlakuan VHT 47 oC dan suhu penyimpanan

terhadap laju respirasi buah mangga Arumanis 34

4 Analisis ragam pengaruh perlakuan VHT 47 oC dan suhu penyimpanan

terhadap susut bobot buah mangga Arumanis 34

5 Analisis ragam pengaruh perlakuan VHT 47 oC dan suhu penyimpanan terhadap nilai total padatan terlarut buah mangga Arumanis 34 6 Analisis ragam pengaruh perlakuan VHT 47 oC dan suhu penyimpanan

terhadap nilai kekerasan buah mangga Arumanis 35

(13)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia memiliki beragam komoditas hortikultura yang berpotensi besar untuk diekspor, salah satunya adalah mangga (Mangifera indica L.). Mangga merupakan buah tropika Indonesia yang sangat prospektif untuk dikembangkan secara komersial mengingat jumlah produksinya yang cukup tinggi dan kualitas kandungan nutrisinya yang tidak kalah dengan kualitas buah impor lainnya. Tahun 2014, produksi mangga Indonesia mengalami peningkatan sebesar 2.4 juta ton dari tahun sebelumnya yaitu sebesar 2.1 juta ton (BPS 2015).

Salah satu varietas mangga yang menjadi komoditas ekspor adalah mangga Arumanis. Varietas ini dapat diterima dengan baik karena memiliki karakteristik yang khas seperti berdaging tebal, tidak berserat, berbiji kecil, dan beraroma harum. Namun, meskipun demikian, ada pula beberapa masalah yang seringkali menyebabkan para eksportir mangga mengeluh diantaranya produk ditolak (dikembalikan) atau rusak sebelum waktunya. Kendala ekspor mangga umumnya dikarenakan penanganan pascapanen yang kurang tepat, teknologi untuk mempertahankan kualitas belum memadai, dan strategi pemasaran yang kurang optimal. Selain itu, ketatnya aturan karantina tiap-tiap negara juga menjadi masalah ekspor mangga.

Keberadaan lalat buah pada mangga merupakan kendala utama dalam permasalahan ekspor. Menurut Departemen Pertanian (2003), kerugian yang ditimbulkan oleh lalat buah mencapai 10-30% bahkan pada populasi tertinggi kerusakan yang ditimbulkannya mencapai 100%. Marlisa (2007) dalam studinya juga mengatakan bahwa pada pasar domestik, buah yang terinfestasi lalat buah selain mendatangkan kerugian karena menurunnya mutu, juga memberi andil yang cukup besar dalam penyebaran hama dan penyakit buah-buahan di tanah air sehingga sulit untuk dikendalikan. Oleh karena itu buah-buahan yang akan diekspor harus di karantina terlebih dahulu di negara asalnya untuk menjamin tidak terjadinya penyebaran hama penyakit di negara tujuan ekspor.

Berdasarkan survei ACIAR tahun 2004-2009, terdapat 63 spesies lalat buah dari seluruh wilayah Indonesia, dimana 18 spesies diantaranya termasuk kelompok Bactrocera dorsalis complex (ACIAR 2009). Menurut JFTA (1996), Negara Jepang merupakan salah satu negara yang memberlakukan aturan ketat mengenai pemasukan buah segar dari negara lain, terutama daerah yang terinfestasi lalat buah berbahaya seperti kelompok Bactrocera dorsalis complex.

Aturan tersebut tidak berlaku apabila : 1) Telah dilakukan pemusnahan lalat buah secara total dari negara atau daerah yang terinfestasi, 2) Status aman dari serangan lalat buah tersebut telah dikonfirmasi oleh pihak Jepang, 3) Daerah atau negara tersebut telah ditetapkan sebagai pest free area, dan 4) Negara pengekspor telah mengembangkan untuk disinfestasi lalat buah target.

(14)

Selain itu, penggunaan bahan fumigasi seperti metil bromida juga diketahui dapat merusak lapisan ozon sehingga teknik ini mulai ditinggalkan. Keefektifan teknik iradiasi dalam mengatasi serangan lalat buah hingga saat ini belum dapat diterima konsumen dengan baik secara luas karena faktor keamanannya yang masih diragukan. Ada negara yang mensyaratkan batas-batas produk iradiasi pada dosis tertentu dan sebagian ada juga yang melakukan penolakan terhadap produk iradiasi. Penggunaan teknik gelombang mikro juga dikenal dapat mengatasi daur hidup lalat buah. Mortalitas serangga dewasa, pupae dan larva dewasa mencapai 100 % mati dan mortalitas larva muda dan telur mencapai > 99% . Kekurangan teknik ini adalah investasi penggunaan teknik gelombang mikro cukup mahal kecuali dilakukan industri dalam skala besar.

Teknik perlakuan panas pada produk hortikultura mulai diterapkan secara luas beberapa tahun terakhir ini. Dengan alasan keamanan, efektif, dan ekonomis, teknik ini dapat digunakan sebagai alternatif dalam disinfestasi lalat buah, terutama dalam fase telur dan larva. Salah satu metode perlakuan panas yang efektif adalah perlakuan uap panas atau vapor heat treatment (VHT).

Beberapa negara yang mulai menggunakan teknik perlakuan uap panas secara komersial yaitu Jepang, Amerika Serikat, Australia, Filipina, dan Thailand (Monck dan Pearce 2007; Hansen et al. 1992). Menurut Dyck dan Ito (2010), Filipina telah mengekspor mangga Manila Super ke negara Jepang dengan mengaplikasikan perlakuan uap panas pada suhu 46 oC selama 10 menit. Sedangkan Australia telah mengekspor mangga Kensington ke Jepang dengan perlakuan uap panas 47 oC selama 15 menit. Selain itu, mangga Irwin (Taiwan), Nang Klarngwan (Thailand), serta Keitt dan Haden dari kepulauan Hawaii (Amerika Serikat) merupakan jenis mangga lainnya yang telah masuk pasar Jepang melalui pengembangan teknik perlakuan uap panas.

Metode VHT sangat potensial untuk diterapkan dan dikembangkan di Indonesia. Hasbullah (2013) mengemukakan bahwa perlakuan uap panas pada suhu 46.5 oC selama 20-30 menit efektif untuk mendisinfestasikan lalat buah pada buah Belimbing dan perlakuan VHT yang diikuti dengan penyimpanan dingin pada suhu 5-15 oC mampu mempertahankan mutu buah selama penyimpanan. Sedangkan Marlisa (2007) dalam studinya8 menyatakan bahwa perlakuan uap panas selama 20-30 menit pada suhu 46.5 oC cukup efektif dalam mendisinfestasikan telur lalat buah kelompok B. dorsalis complex yang terinfestasi di dalam mangga Gedong Gincu dan mampu mempertahankan mutu buah hingga 28 hari apabila diikuti dengan pelilinan. Nusantara (2012) juga menyatakan bahwa mortalitas larva B. carambolae mencapai 100% setelah perendaman selama 20 menit pada suhu 44-48 oC, dan perendaman pada suhu 48 o

C selama 5 menit dapat menyebabkan semua larva mati.

Batrocera papayae merupakan lalat buah yang menyerang buah mangga Arumanis. Metode perlakuan uap panas untuk disinfestasi lalat buah B. papayae

(15)

VHT dan suhu penyimpanan serta interaksi keduanya terhadap perubahan mutu buah Arumanis.

Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat diidentifikasi beberapa permasalahan, yaitu sebagai berikut :

1. Berapakah waktu yang efektif untuk mendisinfestasikan telur lalat buah? 2. Bagaimana pengaruh perlakuan uap panas dan suhu penyimpanan terhadap

mutu buah mangga Arumanis?

Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengkaji mortalitas lalat buah Bactrocera papayae secara in-vitro dengan perlakuan panas.

2. Mempelajari mortalitas lalat buah Bactrocera papayae yang terinfestasi secara in-vivo pada buah Arumanis dengan perlakuan uap panas (VHT). 3. Menganalisa pengaruh perlakuan uap panas dan suhu penyimpanan terhadap

mutu buah mangga Arumanis.

Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian ini yaitu :

1. Mortalitas lalat buah Bactrocera papayae mencapai 100% pada suhu pemanasan 47 oC selama waktu tertentu.

(16)

2

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman Mangga

Tanaman mangga berasal dari negara India dan menyebar ke wilayah Asia Tenggara pada abad ke-4 dan ke-5 sebelum Masehi. Pada tahun 1600-an, penanaman mangga dimulai di Filipina dan Indonesia (sekitar Maluku) kemudian bangsa Portugis menyebarkan tanaman mangga ke Barat pada abad ke-18 dan ke Afrika pada abad ke-19. Pada tahun 1779 dilaporkan adanya mangga di daerah Meksiko, lalu mulai ditanam di Florida, Amerika Serikat (1833), Queensland, Australia (1870), dan Italia bagian selatan pada tahun 1905 (Pracaya 2011).

Taksonomi mangga Arumanis termasuk Kingdom Plantae, Divisi Spermatophyta, Sub-divisi Angiospermae, Kelas Dicotyledoneae, Ordo Sapindales, Famili Anacardiaceae, Genus Mangifera, dan Spesies Mangifera indica L. Famili Anacardiaceae ini terdiri dari 64 genus. Genus Mangifera terdiri 62 species, sedangkan yang buahnya enak dimakan kira-kira hanya ada 16 species saja. Tinggi tanaman mangga dapat mencapai 40 m atau lebih, meski kebanyakan mangga peliharaan hanya sekitar 10 m atau kurang. Batang mangga tegak, bercabang agak kuat dan banyak, serta memiliki daun-daun lebat membentuk tajuk yang indah berbentuk kubah, oval atau memanjang dan hijau sepanjang tahun. Kulit batangnya tebal dan kasar dan warna kulit batang yang sudah tua biasanya coklat keabuan, kelabu tua sampai mendekati hitam (Pracaya 2011).

Gambar 1 Tanaman mangga

Setiap varietas mangga memiliki karakteristik yang berbeda. Contohnya perbandingan buah dan mangga Gedong Gincu dan Arumanis. Bobot buah mangga Arumanis biasanya lebih besar dibandingkan manga Gedong Gincu. Namun demikian, aroma mangga Gedong Gincu lebih harum menyengat dibandingkan dengan mangga Arumanis. Pangkal buah mangga Arumanis berwarna hijau kekuningan pada saat matang, sedangkan mangga Gedong Gincu berwarna merah keunguan. Perbedaan lain yang terlihat adalah bentuk buah mangga Arumanis berbentuk jorong dengan pucuk meruncing sedangkan mangga Gedong Gincu berbentuk bulat.

(17)

Arumanis, Golek dan Manalagi dipanen pada bulan Agustus sampai Desember, sedangkan untuk mangga Gedong Gincu umumnya dipanen pada bulan Juni dan Juli (Direktorat Jendral Bina Produksi Hortikultura 2004).

Karakteristik Buah Mangga Arumanis

Arumanis adalah salah satu varietas unggul yang telah dilepas oleh Menteri Pertanian. Mangga kultivar ini dinamai Arumanis karena aromanya yang harum dan rasanya yang manis. Setiap varietas buah mangga memiliki karakteristik fisikokimia dan kandungan nutrisi yang berbeda-beda. Informasi mengenai kandungan nutrisi mangga dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Kandungan nutrisi mangga Arumanis per 100 gram

Komposisi nutrisi Jumlah

Energi 46 kal

Protein 0.4 g

Lemak 0.2 g

Karbohidrat 11.9 g

Kalsium 15 g

Fosfor 9 g

Vitamin A 185 mg

Vitamin C 6 mg

Vitamin B1 0.08 mg

Air 86.6 g

Sumber : Satuhu (2004)

Tanaman mangga Arumanis berdaun rindang dan hijau. Daun berbentuk lonjong dan ujung runcing dengan panjang bisa mencapai 45 cm. Tanaman ini akan berbunga pada bulan Juli hingga Agustus dan umumnya dipanen pada bulan September hingga November. Penampakan bagian luar dan dalam buah mangga Arumanis dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Penampakan luar dan dalam buah mangga Arumanis

(18)

Penanganan Pascapanen Mangga

Kerusakan pascapanen buah mangga umumnya disebabkan oleh perlakuan pascapanen yang tidak tepat misalnya: teknik pemanenan yang kurang tepat, sortasi yang tidak baik, pengemasan dan pengepakan, pengangkutan dan penyimpanan yang kurang diperhatikan serta adanya serangan hama dan penyakit. Produk hortikultura seperti mangga lebih mudah rusak dibanding biji-bijian pada kondisi penanganan dan penyimpanan yang sama. Hal ini dikarenakan kadar air yanadddtuuuierng tinggi pada produk hortikultura sehingga jika tidak ditangani dengan baik selama panen, penanganan di lahan, pengangkutan, dan penyimpanan, maka komoditas ini akan mudah sekali mengalami penurunan kualitas dan pada kondisi yang ekstrim bahkan tidak layak lagi untuk dikonsumsi manusia, apalagi dijual (Ahmad 2013).

Susut penanganan pascapanen untuk produk hortikultura di negara berkembang sulit diperkirakan karena belum pernah dilakukan kajian yang komprehensif, tetapi dari berbagai laporan pihak yang kompeten, susut penanganan produk hortikultura ini bervariasi tergantung pada jenis produk dan teknologi penanganan pascapanen yang digunakan. Penurunan susut penanganan pascapanen ini sangat penting untuk dilakukan, dan bila dapat dilakukan terutama dari sisi ekonomi melalui penerapan teknologi penanganan pascapanen yang tepat guna, akan sangat membantu petani dan konsumen produk hortikultura secara bersamaan.

Panen

Pemanenan merupakan kegiatan pemisahan produk dari media tumbuhnya. Pemanenan dilakukan dengan mengumpulkan buah secepat mungkin dari lahan pertanaman pada tingkat kematangan yang tepat. Untuk menghasilkan mangga dengan mutu yang baik, pemanenan buah mangga harus dilakukan pada saat yang tepat dan dengan cara yang baik. Mangga yang siap panen dapat dilihat tingkat kematangannya meliputi umur buah, bentuk buah, tangkai buah, warna, ukuran, lapisan lilin dan lentisel pada permukaan kulit buah. Umur petik buah umumnya ditentukan dan dihitung mulai bunga mekar. Umur petik optimal pada mangga varietas Arumanis adalah 90-107 hari setelah bunga mekar (Satuhu 2004).

Cara pemanenan juga harus diperhatikan agar kualitas buah tetap terjaga, misalnya alat panen yang digunakan. Alat panen yang kurang tepat dapat melukai buah dan membuat buah menjadi semakin cepat rusak. Penanganan pascapanen mangga perlu dipertimbangkan misalnya setelah di panen mangga segera dicuci lalu dikeringanginkan atau didirikan (posisi tangkai ada di bawah) agar getahnya tidak menodai kulit mangga. Umumnya konsumen membeli mangga berdasarkan pengamatan visual sehingga jika buah tidak mulus (banyak bercak getah) dan masih berwarna hijau serta keras (berkaitan dengan kematangan buah) maka jarang dipilih.

Sortasi dan Pencucian

(19)

Pada packing house, pencucian biasanya dilakukan dengan meletakkan mangga pada konveyor berjalan yang melewati semprotan air selama ±20 menit. Pencucian dilakukan dengan hati-hati agar getah terbuang dan tidak mengalir pada kulit buah, bahkan pada mangga Kensington pekerja harus menggunakan sarung tangan agar getah tidak merusak kulit. Selain untuk membersihkan permukaan kulit buah, pencucian mangga bertujuan untuk mengurangi atau menurun panas lapang. Hal ini berguna untuk menghambat proses metabolisme yang masih tetap berlangsung walapun buah sudah dipanen (Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura 2004)

Pemutuan

Pemutuan merupakan proses memisahkan produk berdasarkan mutu yaitu, warna, bentuk, berat, tekstur, dan kebebasan buah dari kotoran atau bahan asing. Menurut standar mutu yang berlaku secara nasional adalah menurut Standar Nasional Indonesia 01-3164-1992.

Ada beberapa syarat mutu mangga yang harus dipenuhi untuk tujuan ekspor, diantaranya yaitu: permukaan kulit buah mulus (tidak ada noda atau berlubang), bebas dari luka (luka mekanis ataupun mikrobiologis), bebas dari penyakit pascapanen dan bentuk normal. Selain itu, syarat mutu tambahan untuk mangga yang akan diekspor adalah matang fisiologis, warna kuning 30-50%, tingkat kematangan merata, berat dan ukuran seragam sesuai varietasnya.

Pengemasan

Pengemasan memegang peranan yang besar dan penting dalam kehidupan sehari-hari. Perkembangan kemasan pun sesuai dengan peradaban manusia. Pengemasan yang tepat sangat diperlukan agar bahan pangan yang akan dikonsumsi bisa sampai kepada yang membutuhkannya dengan baik dan menarik. Maka dapat disimpulkan bahwa tujuan awal pengemasan dalam hal ini adalah untuk melindungi bahan pangan segar maupun bahan pangan olahan dari penyebab kerusakan, baik fisik, kimia, maupun mekanis.

Peranan pengemasan diantaranya yaitu (1) mempertahankan bahan dalam keadaan bersih dan higienis, (2) mengurangi terbuangnya bahan selama distribusi, (3) mempertahankan gizi produk yang dikemas, (4) sebagai alat penakar, media informasi dan sekaligus sebagai sarana promosi. Selain itu pengemasan juga dilakukan untuk mempermudah pengangkutan transportasi. Menurut Marlisa (2007), berdasarkan bahan yang digunakan, kemasan transportasi untuk mangga umumnya terbuat dari keranjang bambu, keranjang plastik, peti kayu atau kotak karton. Kemasan konsumen umumnya dilakukan di tingkat pedagang eceran. Seperti halnya pada apel dan pear, buah mangga dilakukan pengemasan individual menggunakan kemasan jala busa dan kertas tipis.

Penyimpanan

(20)

Namun, selama penyimpanan diperlukan suhu yang tepat karena ada kemungkinan komoditi mengalami kerusakan akibat suhu rendah (chiling injury).

Suhu ruang penyimpanan harus dijaga dengan stabil agar mendapatkan hasil yang baik. Pelayuan atau pengkeriputan akan terjadi jika kelembaban rendah, namun jika terlalu tinggi akan merangsang proses pembusukan, terutama apabila ada variasi suhu dalam ruangan. Pada beberapa jenis sayuran, diperlukan kelembaban nisbi berkisar antara 85-90% untuk menghindari pelayuan dan pelunakan. Beberapa produk bahkan memerlukan kelembaban sekitar 90-95%.

Kelembaban udara dalam ruangan pendinginan dapat dipertinggi antara lain dengan cara menyemprot lantai dengan air. Kelembaban yang tepat akan menjamin tingkat keamanan bahan yang disimpan terhadap kontaminasi mikroba. Selain kelembaban udara, ruang penyimpanan juga memerlukan sirkulasi udara yang baik. Ruang penyimpanan yang tidak dilengkapi dengan sirkulasi udara yang memadai akan memicu kerusakan yang lebih cepat pada bahan. Meskipun telah dipanen, mangga akan tetap melakukan respirasi dan agar kondisi buah tetap stabil pada suhu penyimpanan yang aman maka diperlukan aerasi yang baik untuk menghindari hot spot dan mengundang kontaminan. Buah mangga yang akan disimpan harus bebas dari lecet kulit, memar, busuk dan kerusakan lainnya. Hal ini berkaitan dengan pentingnya tahap sortasi dan pencucian serta pelilinan buah. Memar dan kerusakan mekanis bukan hanya menyebabkan bentuk dan rupa produk menjadi kurang menarik, tetapi juga memberikan kesempatan bagi organisme pembusuk untuk masuk dan merusak bahan. Sehingga produk tersebut akan mengalami lebih banyak dan lebih cepat busuk/rusak.

Mangga Arumanis dapat simpan selama 10 hari pada suhu kamar dan selama 14 hari pada suhu 15 oC (Sahirman et al. 1994). Dan menurut Ratule (1999), suhu 10 oC adalah suhu optimum penyimpanan mangga Arumanis yang terolah minimal berlapis edibel dengan penyimpanan atmosfer terkontrol.

Pematangan Buatan

Permintaan pasar akan buah yang masak optimum pada suatu periode yang terjadwal dapat dipenuhi dengan melakukan pematangan buatan, baik dalam mempercepat atau memperlambat proses pematangan buah tersebut. Berbagai keuntungan yang dapat diperoleh dari proses pematangan buatan ini diantaranya yaitu warna yang seragam dan maksimal, memperkecil terjadinya pengeriputan karena jangka waktu buah menjadi matang dan siap dipasarkan lebih singkat, sehingga presentase kehilangan airnya lebih kecil. Dampak lainnya adalah modal kembali lebih cepat karena pada saat yang ditentukan petani atau pedagang bisa menjual buah matang dari pada buah dibiarkan matang secara alami, memberikan keleluasaan pedagang besar atau pengencer dalam menjual buah matang yang diinginkan pembeli, dan mendapatkan keuntungan dari harga yang lebih tinggi pada awal, akhir atau luar musim mangga (Broto, 2003).

(21)

Pemberian bahan kimia tertentu juga dapat dilakukan untuk mengontrol pematangan buah-buahan (Tabel 2). Bahan-bahan kimia seperti karbit, gas etilen, gas asetilen dan daun-daun yang banyak memproduksi etilen, misalnya daun gamal dapat mempercepat proses pematangan buah. Etilen merupakan senyawa hidrokarbon tak jenuh yang pada suhu kamar berbentuk gas, tidak berwarna dan sedikit berbau manis. Etilen dapat diproduksi secara alami sebagai hormon pematangan pada beberapa buah seperti mangga, pisang, pepaya dan sebagainya.

Tabel 2 Pematangan buah mangga menggunakan bahan kimia Varietas Bahan pemicu Takaran dan cara Hasil

Arumanis Karbit 0.6 g/kg buah Matang 3 hari lebih awal Cengkir Asetilen 500 ppm, 24 jam Matang 3 hari lebih awal Asetaldehida 5%, direndam 10 dtk Matang 3 hari lebih awal Asetilen 500 ppm, degreening Matang 2 hari lebih awal Gedong Etanol 10, direndam 10 dtk Matang 3 hari lebih awal Etilen 50 ppm, degreening Matang 4 hari lebih awal

Sumber : Bruto (2003)

Buah mangga yang telah tua dapat masak pada suhu 21 - 24 oC dan kelembaban 85 - 90%. Pada proses masaknya buah khlorofil (warna hijau) berkurang dan terjadi pembentukan antosianin dan karotenoid dalam kulit dan daging. Keberadaan etilen dalam buah secara alami juga dipicu oleh aktivitas respirasi buah. Semakin cepat respirasinya maka etilen yang dihasilkan juga semakin banyak.

Lalat Buah Biologi dan Morfologi

Secara taksonomi, lalat buah termasuk Filum Arthropoda, Klas Insekta, Ordo Diptera, Sub-ordo Brachycera, dan Famili Tephritidae. Lalat buah merupakan contoh hama serangga yang mengalami metamorfosis sempurna dengan melalui fase telur, larva, pupa, dan imago (Borror 1992).

Telur dan larva adalah fase hidup lalat buah yang berpotensi menetap dalam buah mangga. Umumnya telur lalat buah berwarna putih atau krem kekuningan dan semakin tua umur telur maka warnanya akan semakin gelap. Menurut White dan Elson-Harris (1994), perbedaan spesies menyebabkan berbedanya ukuran dan bentuk telur. Contohnya Ceratitis capitata dan B. tryoni mempunyai bentuk telur yang memanjang dan menyempit secara bertahap, sementara itu Urophora solsitialis memiliki telur dengan ujung membulat dan meruncing pada ujung lainnya. Satu ekor B. dorsalis mampu menghasilkan 1200 – 1500 butir telur. Telur-telur ini akan diletakkan secara berkelompok dan dalam waktu 2-3 hari akan menetas.

(22)

Gambar 3 Metamorfosis sempurna pada lalat buah dari telur, larva, pupa, imago

Umumnya pupa berukuran 5 mm dan berlangsung sekitar 10 hari. Setelah itu fase dewasa mudah dikenali karena memiliki sayap dengan pola unik dan bervariasi (Vijaysegaran dan Drew 2006).

Larva lalat buah mengalami tiga tahap perkembangan instar. Khusus larva instar pertama, anterior spirakel belum menunjukkan perkembangan. Larva instar pertama berukuran sangat kecil dan mulut kait berwarna kuning atau lebih gelap. Mulut kait mempunyai 1 atau lebih preapical teeth berukuran besar. Anterior spirakel tampak seperti pori yang hanya dapat dilihat di bawah mikroskop elektron. Pada posterior spirakel hanya terdapat 2 spiracular slit. Larva instar kedua mempunyai karakteristik hampir sama dengan larva instar ketiga namun berukuran lebih kecil. Anterior dan posterior spirakel telah berkembang dengan baik. Posterior spirakel terdiri dari tiga buah spiracular slit dan dikelilingi oleh

rimae yang tersklerotisasi. Terdapat 4 rumpun spiracular hair namun jumlah rambut lebih sedikit dibanding larva instar ketiga. Sedangkan pada larva instar ketiga, merupakan instar dengan periode hidup paling lama dalam inang. Pada instar tersebut, larva memiliki sepasang anterior spirakel pada bagian prothoraks dan sepasang posterior spirakel di caudal segment. Posterior spirakel dikelilingi oleh banyak spiracular tubules. Pada sisi ventral caudal segment terdapat anus. Larva instar ketiga mempunyai kemampuan melenting. Umumnya hal ini dilakukan saat larva akan mengalami pupasi (JFTA 1996).

Bactrocera papayae

Bactrocera papayae merupakan spesies yang banyak ditemukan di sentra produksi buah di Indonesia (Sukarmin, 2010). Spesies B. papayae berkembang luas di kawasan Asia Tenggara, terutama Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia, serta dikenal juga sebagai B. conformis (Siwi et al. 2006). Beberapa tanaman inang bagi B. papayae yaitu pisang, mangga, pepaya, dan rambutan. Ciri morfologi B. papayae dapat dilihat dari thoraks yang berwarna hitam dominan pasa skutum dan mempunyai rambut supra alar di sisi anterior. Skutum ditandai dengan pita berwarna kuning di sisi lateral (lateral post sutural vittae). B. papayae

memiliki sayap dengan pita hitam pada garis costa dan garis anal, serta sel bc tampak jelas. Sedangkan abdomen terbagi dalam ruas-ruas yang jelas dimana terdapat pekten pada tergit ketiga. Selain itu, tergit ketiga juga dicirikan dengan garis melintang. Lalat betina dewasa tidak mempunyai spot hitam pada femur tungkai depan (Siwi et al. 2006).

Dampak Serangan Lalat Buah terhadap Produk Pascapanen

(23)

diekspor seringkali menimbulkan masalah yang fatal. Menurut Vayssieres et al. (2005), serangan lalat buah menimbulkan kehilangan hasil yang bervariasi. Lalat buah dilaporkan menimbulkan kerusakan mangga hingga kisaran 10-50% di Benin. Jepang waspada terhadap penyebaran lalat buah melalui komoditas pertanian impor yang masuk ke pasar Jepang. Vueti dan Leblanc (2002) melaporkan bahwa lalat buah jenis B. philippinensis telah menyebar ke wilayah Palau, sementara itu Sauers-Mullers (2005) mengatakan bahwa B. carambolae

menyebar ke Suriname, B. tryoni juga menyebar ke Papua New Guinea (Purea et al. 1997), dan Vayssieres et al. (2008) menyebutkan bahwa B. cucurbitae

menyebar ke beberapa negara kepulauan di Samudera Hindia.

Otoritas karantina Jepang berhasil mengintersepsi beberapa spesies lalat buah pada komoditas pertanian impor, seperti B. dorsalis, B. carambolae, B. papayae, B. occipitalis, dan B. philippinensis (Ebina dan Otho 2006). Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Jepang menerapkan aturan karantina yang ketat bagi produk impor yang akan masuk ke dalam negaranya. Gambar 4 memperlihatkan dampak serangan lalat buah pada buah mangga.

Gambar 4 Dampak serangan lalat buah Perlakuan Karantina

Perlakuan karantina sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya penyebaran suatu organisme pengganggu tumbuhan dari suatu daerah ke daerah lainnya melalui komoditas pertanian yang akan dikirim. Berbagai perlakuan karantina dikembangkan dengan harapan mampu mengakibatkan mortalitas yang tinggi pada serangga target. Menurut Mangan dan Hallman (1998), umumnya yang disyaratkan adalah probit 9 atau tingkat mortalitas mencapai 99.9968 %.

Kerusakan dimulai sejak lalat buah betina meletakkan telur di dalam jaringan inang. Oleh karena itu berbagai upaya dilakukan untuk mengendalikan perkembangan lalat buah ini seperti fumigasi, iradiasi, gelombang mikro, perlakuan suhu, dan lain-lain. Berbagai metode tersebut efektif dalam proses disinfestasi berbagai jenis spesies hama tanaman jika diaplikasikan sesuai aturan. Namun setiap negara mempunyai standar dan aturan mengenai batasan-batasan dosis atau lama perlakuan yang boleh digunakan.

(24)

ditinggalkan pada komoditas yang difumigasi disinyalir berbahaya bagi kesehatan manusia. Loaharanu (1999) menyatakan bahwa negara-negara maju telah menghentikan penggunaan metil bromida sejak 2005, sedangkan negara berkembang dijadwalkan tahun 2015. Penggunaan metil bromida untuk selanjutnya hanya diperbolehkan untuk keperluan karantina (dengan aturan ketat) dan tindakan darurat tertentu.

Perlakuan karantina juga dapat dilakukan dengan pemanfaatan efek gelombang frekuensi tinggi seperti teknik iradiasi dan gelombang mikro. Prinsip kerja teknik iradiasi adalah pemaparan komoditas (baik yang dikemas/curah) dengan energi radiasi ionisasi dalam jumlah dan waktu yang terkontrol untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Teknik iradiasi cukup efektif dalam mengontrol serangan lalat buah. Pada tahun 1986, Food and Drug Administration (FDA) mengizinkan penerapan radiasi hingga 1 kGy (100 krad) pada buah dan sayuran dengan tujuan untuk memperpanjang masa simpan dan memperlambat proses pembusukan. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis 0.75 kGy dapat mensterilkan serangga dan dosis yang lebih besar dari 1 kGy dapat mengontrol pembusukan. Pada tahun 1996, United States Departement of Agriculture

(USDA) dan Animal and Plan Health Inspection Service (APHIS) menyatakan iradiasi legal sebagai salah satu perlakuan karantina untuk mengontrol lalat buah.

Di sisi lain, penggunaan teknik iradiasi cukup mengkhawatirkan. Jika dosis yang digunakan melebihi aturan yang seharusnya maka produk akan mengalami perubahan kualitas bahkan bisa menyebabkan mutagen pada produk sehingga membahayakan kesehatan ketika dikonsumsi. Oleh karena itu, penggunaan iradiasi hanya diijinkan di beberapa negara tertentu dan dengan aturan yang sangat ketat.

Gelombang mikro juga sudah diaplikasikan. Microwave merupakan contoh penggunaan gelombang mikro yang mulai banyak digunakan di perkotaan negara-negara maju. Prinsip kerja gelombang mikro yaitu suatu insulator dielektrik akan menyerap energi ketika ditempatkan dalam suatu medan listrik berfrekuensi tinggi. Pengendalian hama menggunakan gelombang mikro didasarkan pada perubahan energi medan elektromagnetik menjadi energi panas yang diakibatkan oleh pergerakan atau polarisasi molekul bahan. Semua bahan terdiri atas molekul-molekul dan atom-atom yang memiliki dua polar yaitu proton yang bermuatan positif dan elektron bermuatan negatif. Bila satu medan listrik mengenai bahan maka molekul-molekul tersebut akan menimbulkan pergerakan dan menghasilkan pergerakan pada muatan listrik bahan. Saat adanya penetrasi gelombang mikro maka muatan listrik pada bahan akan menyesuaikan diri dan bergerak, dan pergerakan ini akan menghasilkan panas. Kelemahan teknik gelombang mikro salah satunya adalah mahalnya investasi awal jika tidak dilakukan dalam jumlah besar serta kurangnya kesadaran akan manfaat penggunaan gelombang mikro di masyarakat.

Vapor Heat Treatment/VHT

(25)

mengendalikan penyakit seperti antraknosa dan stem end rot tanpa menyebabkan kerusakan pada buah itu sendiri (Nusantara 2012).

Menurut JFTA (1996), penggunaan panas pada mangga dengan metode VHT dilakukan pada suhu pusat buah (dekat biji) 46.5 oC selama 10-30 menit dan terbukti efektif untuk membunuh lalat buah jenis Oriental fruit fly dan Melon fruit fly dari mangga Nang Klangwan (Thailand) dan mangga Irwin (Taiwan dan Okinawa) serta mampu mengendalikan penyakit stem end rot dari mangga Kensington. Rohaeti (2010) menambahkan bahwa pada pemanasan menggunakan uap panas selama 30 menit, mortalitas lalat buah B. carambolae mencapai 100% pada suhu di atas 43ºC, sedangkan pada suhu 46ºC tercapai pemanasan minimal 15 menit. Selain itu, proses VHT berpengaruh terhadap penurunan laju respirasi, menekan perkembangan cendawan Colletotrichum gloeosporioides, mampu mengurangi kerusakan akibat chiling injury, mampu mempertahankan nilai TPT, tidak mempengaruhi kadar air buah, susut bobot, kekerasan buah belimbing dari awal sampai akhir penyimpanan. Perlakuan VHT selama 20-30 menit dapat menekan kerusakan chiling injury pada penyimpanan 5 ºC dan menekan serangan penyakit antraknosa serta dapat mendisinfestasikan lalat buah dan tidak menyebabkan penurunan mutu buah belimbing selama penyimpanan

(26)

3

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni hingga Desember 2015 di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP) Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Vapor Heat Treatment Balai Besar Peramalan Organisme Pengganggu Tumbuhan (BBPOPT) Jatisari, Jawa Barat.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah buah mangga varietas Arumanis, telur lalat buah Bactrocera papayae, dan bahan-bahan pengujian. Buah mangga Arumanis yang digunakan berukuran 350-450 gram dengan umur panen ±90 hari setelah bunga mekar (HSBM) dan tingkat kematangan sekitar 75-85 % atau mengkal (berdasarkan subjektifitas Petani), yang diperoleh dari perkebunan mangga milik Petani, di Cirebon, Jawa Barat. Lalat buah stadia telur diperoleh dari pembiakan massal yang dilakukan di Laboratorium Vapor Heat Treatment Balai Besar Peramalan Organisme Pengganggu Tumbuhan (BBPOPT) Jatisari, Jawa Barat.

Peralatan yang digunakan adalah biotron chamber (Sanshu model STH-19P, Jepang), continuous gas analyzer (Shimadzu, IRA-107, Jepang), mesin perlakuan uap panas (Sanshu EHK-1000D, Jepang), inkubator (Sanyo MIR-254, Jepang), refraktometer (Atago, Jepang), refrigerator suhu 13±2 oC (Mitsubishi, Jepang), rheometer (Sun Scientific, CR-300, Jepang), timbangan analitik (AE Adam, PW 184), water bath (Advantec, Jepang), dan berbagai alat bantu lainnya

Prosedur Penelitian

Pengujian mortalitas B. papayae secara in-vitro

Telur merupakan stadia yang paling toleran terhadap panas pada lalat buah

(27)

Telur yang berumur 28 jam dipindahkan ke tabung kaca sebanyak 20 butir setiap perlakuan. Pengujian dilakukan dengan merendam telur ke dalam air panas pada suhu 46 oC dengan variasi waktu 5, 10, 15, 20, 25 menit dan kontrol. Telur kemudian dipindahkan ke pakan buatan dan diinkubasi pada suhu 27±2 oC setelah dikondisikan sama dengan suhu ruang. Pengamatan dilakukan dua hari setelah perlakuan perendaman untuk memastikan bahwa telur masih menetas atau tidak. Bagan alir proses pengujian mortalitas secara in-vitro diperlihatkan pada Gambar 5.

Gambar 5 Bagan alir proses pengujian mortalitas secara in-vitro

Pengujian mortalitas telur B. papayae secara in-vivo

(28)

Gambar 6 Bagan alir proses pengujian mortalitas secara in-vivo

Gambar 7 Pelaksanaan perlakuan uap panas terhadap telur B. papayae

pada mangga Arumanis Pengujian mutu buah

(29)

dengan melakukan penimbangan buah mangga berukuran seragam dan dilakukan pengukuran mutu awal. Buah yang diberi perlakuan VHT dipaparkan pada suhu pusat 47 oC yaitu selama 25, 30, 35 menit dan kontrol, selanjutnya semua sampel percobaan disimpan pada suhu dingin 13±2 oC dan suhu ruang 28±2 oC. Setelah diberi perlakuan, pengamatan mutu dilakukan pada hari ke-0, 3, 6, 9, 12, 15, dan 18. Parameter yang diamati meliputi laju respirasi, susut bobot, total padatan terlarut (TPT), kekerasan kulit dan daging buah, dan kandungan vitamin C. Bagan alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 8.

Laju respirasi

Laju respirasi buah diukur menggunakan alat continuous gas analyzer. Mangga diperlukan sebanyak 2 buah (setiap perlakuan) dengan berat ± 800-900g untuk pengujian ini. Prosedur kerjanya adalah sampel ditempatkan pada toples kaca tertutup dan disimpan pada suhu ruang. Dua buah selang yang dihubungkan dengan alat pengukur Kosmotektor disambungkan dengan dua buah selang yang terpasang ditutup toples untuk melewatkan gas CO2 dan O2. Pengukuran respirasi dilakukan 2 hari sekali hingga sampel rusak. Setiap pengamatan dilakukan 3 kali ulangan. Data yang diperoleh kemudian digunakan untuk menghitung laju respirasi dengan rumus :

Bobot sebelum dan sesudah perlakuan perlu diketahui untuk mengetahui kemungkinan adanya penurunan bobot buah. Setiap perlakuan ditimbang dengan timbangan analitik dan dibandingkan dengan hasil penimbangan sebelumnya. Total padatan terlarut (TPT)

Pengamatan ini dilakukan dengan mengambil jus dari bagian pangkal dan ujung buah lalu diukur menggunakan digital refraktometer (Atago PAL-1) dengan meneteskan jus pada prisma refraktometer. Nilai total padatan terlarut ditentukan dengan melihat angkat yang tertera pada alat dengan satuan oBrix. Hasil perhitungan kemudian dibandingkan dengan kandungan total padatan terlarut buah mangga kontrol.

Tingkat kekerasan

(30)

Kadar vitamin C

Penentuan kadar vitamin C dilakukan dengan menggunakan metode titrasi (Ranganna, 1977). Sampel sebanyak 10 g ditimbang, ditambahkan dengan HPO3 6% sebanyak 50 ml, diaduk/diblender kemudian diencerkan hingga 100 ml dan disaring. Bila hasil saringannya masih keruh dilakukan sentrifuge, lalu diambil ± 5 ml dan ditambahkan larutan dye (Dichlorofenol indofenol) ± 5-10 ml (sampai warna merah). Setengah menit dari penambahan larutan dye tersebut dimasukan ke spektrofotometer dan nilainya dapat dibaca. Panjang gelombang absorban yang digunakan 518 nm. Selanjutnya kandungan vitamin C dapat dihitung dengan rumus:

g Vit. C/100g sampel = (a x b)/(cxd) dimana,

a = Konsentrasi asam askorbat dari kurva standar x volume larutan b = Volume larutan yang dibuat x 100

c = ml larutan x 1000 yg diukur d = Berat / volume sampel

Gambar 8 Bagan alir proses pengujian mutu buah Rancangan Percobaan

(31)

empat taraf (kontrol, 25, 30, 35 menit). Faktor kedua yaitu suhu penyimpanan dengan dua taraf (13±2 oC dan 28±2 oC). Model Linear untuk percobaan adalah :

dimana,

i = Perlakuan 1, 2, 3, dan p j = Ulangan 1, 2, 3

= Respon setiap parameter yang diamati

μ = Rataan umum

= Pengaruh perlakuan pada taraf ke-i

= Pengaruh galat perlakuan pada taraf ke-i ulangan ke-j

(32)

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Mortalitas telur B. papayae secara in-vitro

Telur B. papayae yang digunakan untuk pengujian mortalitas diperoleh dari pembiakan di laboratorium. Telur-telur ini diinkubasi dalam inkubator pada suhu 27 ºC. Telur lalat B. papayae umumnya akan menetas dalam waktu 24-48 jam setelah pembiakan dan penelitian mortalitas telur dilakukan selama fase ini. Analisis ragam menunjukkan bahwa perbedaan lama perendaman menggunakan air panas suhu 46 oC berpengaruh signifikan terhadap tingkat mortalitas telur B. papayae (Lampiran 1). Hal ini menunjukkan bahwa telur B. papayae mempunyai daya tahan yang berbeda terhadap lama waktu perendaman. Hasil pengujian mortalitas telur lalat buah pada suhu 46 oC dengan variasi waktu 5, 10, 15, 20, 25 menit dan kontrol dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Mortalitas telur lalat buah B. papayae pada suhu 46 oC dengan lama perendaman yang berbeda

Hasil pengujian perendaman air panas memperlihatkan bahwa semakin lama waktu perendaman maka tingkat mortalitas telur lalat buah B. papayae semakin tinggi. Berdasarkan Tabel 3, dengan perendaman air panas suhu 46 oC mortalitas telur mencapai 100% pada lama perendaman minimal 10 menit. Hal ini dikarenakan semakin lama perendaman maka keseimbangan metabolisme pada telur lalat buah semakin terganggu. Gangguan yang dimaksud dapat berupa kerusakan di lapisan kutikula, selaput vitelin, maupun gangguan di sitoplasma sehingga sel telur mengembang, pecah dan mudahnya kehilangan air serta berakibat kepada kematian sel (Hulasare et al. 2010). Dalam studinya, Neven (2000) menyatakan bahwa lapisan kutikula sensitif terhadap perubahan temperatur. Kutikula memiliki peranan penting dalam melindungi serangga dari kondisi lingkungan dan mempertahankan keseimbangan air dalam tubuh.

Loganathan et al. (2011) menyebutkan bahwa ketahanan serangga terhadap panas ditentukan oleh spesies, posisi di inang, kombinasi suhu dan waktu paparan, serta stadia perkembangan serangga. Mortalitas telur 100% untuk spesies B. cucurbitae pada buah Melon tercapai pada suhu 46 oC selama minimal 30 menit dengan metode hot water treatment (Handayani et al. 2014). Marlisa (2007) juga mengemukakan bahwa mortalitas telur spesies B. dorsalis pada buah mangga Gedong gincu, tercapai 100% pada perendaman air panas suhu 46 oC selama minimal 10 menit. Sementara itu, menurut Heather et al. (1996 dalam Marlisa 2007) mortalitas 100% untuk spesies Ceratitis capitata terccapai pada suhu 46.5 o

(33)

Stadia perkembangan serangga untuk spesies yang berbeda juga berpengaruh terhadap tingkat ketahanan panas (Hulasare et al. 2010). Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Nusantara (2012) bahwa mortalitas larva instar ketiga spesies B. papayae pada buah mangga Gedong gincu baru tercapai 100% pada perendaman air panas selama 20 menit dengan suhu 44 oC. Shellie dan Mangan (2002) juga menyebutkan bahwa stadia yang paling tahan terhadap panas pada Anastrepha ludens (mexican fruitfly) adalah telur dan larva instar ketiga.

Mortalitas telur B. papayae secara in-vivo

Mortalitas telur lalat buah secara in-vivo dapat dilihat setelah buah mangga Arumanis diinokulasi dengan telur lalat buah, kemudian diberi perlakuan VHT suhu 47 oC, lalu didinginkan dan diinkubasi selama 48 jam. Analisis ragam menunjukkan bahwa perbedaan lama VHT suhu 47 oC berpengaruh signifikan terhadap tingkat mortalitas telur B. papayae pada buah yang diinokulasi (Lampiran 2). Hasil pengujian mortalitas secara in-vivo disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Mortalitas telur lalat buah B. papayae pada suhu 47 oC dengan lama perlakuan VHT yang berbeda

Hasil penelitian mortalitas telur B. papayae secara in-vivo ini dibandingkan dengan hasil penelitian terdahulu yaitu penelitian yang gunakan mangga Gedong gincu (Nusantara 2012) dan Melon (Iwata 2006) sebagai inang lalat buah. Dalam penelitian ini digunakan data sekunder yang bersumber dari hasil kedua penelitian tersebut untuk mengobservasi kevalidan. Diasumsikan karakteristik buah mangga Arumanis mirip dengan buah mangga Gedong gincu. Pengujian mortalitas in-vivo dilakukan pada skala kecil (small scale test) sesuai yang direkomendasikan oleh JFTA (1996).

Pengujian mortalitas secara in-vivo dilakukan menggunakan mesin VHT. Mesin VHT yang digunakan memiliki beberapa termokopel yang berfungsi sebagai sensor buah dan sensor udara. Satu buah termokopel ditusukkan ke dalam buah hingga mendekati biji yang dianggap sebagai pusat buah dan berfungsi untuk mengukur suhu dalam buah, sedangkan sensor udara diukur dengan meletakkan termokopel di permukaan atau di sekitar buah yang akan diuji. Hasil pengukuran ditampilkan pada mesin VHT.

(34)

antarspesies yang digunakan juga mempengaruhi perbedaan waktu pemaparan panas. Perlakuan panas akan menyebabkan telur lalat buah pada mangga Gedong gincu mengalami gangguan denaturasi protein, pH, dan keseimbangan ion di hemolimf lebih cepat dibanding mangga Arumanis yang berukuran lebih besar dan tebal (Nusantara 2012).

Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa mortalitas telur B. papayae

mencapai 100% setelah diberi perlakuan VHT suhu 47 oC minimal selama 20 menit. Sementara itu, menurut Nusantara (2012) mortalitas telur B. carambolae

pada buah mangga Gedong gincu mencapai 100% pada perlakuan VHT 44-48 oC minimal selama 20 menit, sedangkan Iwata (2006) mengemukakan bahwa mortalitas telur B. cucurbitae pada buah Melon mencapai 100% pada perlakuan VHT 46 oC selama 30 menit. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh tebalnya daging buah mangga Arumanis sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mendisinfestasikan telur lalat buah. Selain itu, berdasarkan penelitian pendahuluan perbedaan suhu VHT dan lama pemaparan dapat juga dikarenakan B. papayae merupakan spesies yang tahan terhadap panas dibanding B. carambolae

dan B. cucurbitae. Tingkat toleransi yang berbeda antarspesies diduga dipengaruhi oleh perubahan fisiologi pada serangga. Beberapa faktor fitokimia yang menentukan mortalitas serangga adalah perubahan metabolisme, penurunan respirasi, gangguan syaraf, sistem endokrin, dan produksi heat shock protein (Neven 2000).

Pengaruh VHT terhadap mutu buah

Laju Respirasi

Mangga Arumanis termasuk buah klimaterik. Buah klimaterik akan mengalami perubahan laju respirasi walaupun sudah dipanen. Hal ini dikarenakan setelah di panen, buah-buahan klimaterik akan terus mengalami proses pematangan. Pengukuran laju respirasi dalam penelitian ini dilakukan dengan mengukur kandungan CO2 yang dikeluarkan oleh buah dan diserap oleh toples/chamber yang dihubungkan pada alat gas analyzer. Gambar 9 menunjukkan bahwa pada hari ke-9 suhu 28±2 oC, buah mangga Arumanis yang diberi perlakuan VHT dan kontrol mengalami fase klimaterik pada waktu yang bersamaan. Puncak tertinggi mencapai 42.19 ml/kg-jam untuk produksi CO2, dimana nilai tertinggi tersebut dihasilkan oleh buah mangga Arumanis yang diberi perlakuan VHT selama 30 menit. Setelah mengalami fase klimaterik, laju produksi CO2 mengalami penurunan ketika memasuki fase senesccene hingga penyimpanan hari ke-14. Sementara itu, pada suhu penyimpanan 13±2 oC laju produksi CO2 buah mangga Arumanis tidak mengalami kenaikan dan cenderung konstan hingga penyimpanan hari ke-18.

(35)

Gambar 9 Grafik perubahan laju respirasi pada mangga Arumanis

Laju respirasi berbanding lurus dengan kematangan buah, dimana semakin tinggi laju respirasi maka kematangan pun akan meningkat. Nordey et al. (2016) mengemukakan bahwa komposisi gas, produksi etilen, dan keseimbangan air dalam bahan dapat mempengaruhi laju respirasi selama kematangan. Selain itu, laju respirasi juga dipengaruhi oleh kondisi selama penyimpanan (Mendoza et al. 2016).

Mutu Buah

Mutu buah yang diamati akibat pengaruh VHT dan suhu penyimpanan meliputi susut bobot, total padatan terlarut, kekerasan, dan vitamin C. Perubahan susut bobot mangga Arumanis selama penyimpanan diperlihatkan pada Gambar 10. Berdasarkan Gambar 10, mangga Arumanis mengalami penyusutan bobot yang terus meningkat dari hari ke hari, baik pada sampel yang diberi perlakuan maupun kontrol. Analisis ragam menjelaskan bahwa perlakuan lama VHT dan interaksi antara lama VHT dengan suhu penyimpanan tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap susut bobot mangga Arumanis namun perlakuan suhu penyimpanan mampu menekan susut bobot selama penyimpanan (Lampiran 4).

(36)

Gambar 10 Grafik susut bobot mangga Arumanis selama penyimpanan

Penurunan bobot sangat berkaitan dengan proses transpirasi. Laju transpirasi pada produk hortikultura sangat penting untuk diperhatikan dikarenakan kandungan utama bahkan bagian terbesar dari produk hortikultura segar adalah air, dan kehilangan air dalam jumlah yang cukup besar dapat berakibat pada pelayuan atau penurunan tingkat kesegaran produk. Proses metabolisme mangga selama penyimpanan juga dipengaruhi oleh suhu simpannya. Suhu yang lebih rendah akan menghambat proses metabolisme seperti respirasi dan transpirasi. Hal ini juga disampaikan oleh Wongmetha dan Ke (2012) dan Elsheikk et al. (2014) yaitu suhu dingin dapat menghambat laju metabolisme sehingga perubahan internal buah lebih lambat dan dapat memperpanjang umur simpannya.

Total padatan terlarut (TPT) mangga Arumanis setelah mendapat perlakuan VHT mengalami perubahan selama penyimpanan seperti pada Gambar 11.

(37)

Setiap produk hortikultura mengandung komponen-komponen padatan terlarut. Total padatan terlarut mencakup semua padatan yang terlarut dalam buah, termasuk gula, vitamin, dan komponen lainnya. Komponen terlarut yang paling banyak dalam buah adalah kandungan gula, sehingga banyaknya TPT yang terukur mampu merepresentasikan tingkat kemanisan daging buah. Sedikit-banyaknya kandungan TPT dalam bahan tergantung perubahan selama penanganannya, umumnya akan terus meningkat seiring kematangan. Analisis ragam menyatakan bahwa perlakuan VHT dan interaksi antara lama VHT dengan suhu penyimpanan yang diberikan tidak mempengaruhi nilai TPT, namun dipengaruhi oleh suhu penyimpanan (Lampiran 5). Hasbullah (2008) mengemukakan bahwa perlakuan panas tidak berpengaruh nyata pada perubahan nilai TPT mangga Irwin hingga 14 hari penyimpanan. Rohaeti (2010) juga menambahkan bahwa suhu penyimpanan yang rendah akan menghambat proses pematangan.

Peningkatan TPT dari hari ke hari menunjukkan bahwa proses pematangan buah masih terus berlangsung. Perubahan ini terkait dengan komposisi pati dalam daging buah dimana pada saat proses pematangan berlangsung akan terjadi perombakan pati menjadi gula sehingga berpengaruh terhadap nilai TPT buah secara alami (Ahmad 2013).

Tingkat kekerasan buah juga menjadi indikator mutu yang perlu diperhatikan karena dengan melihat nilai kekerasan ini dapat menentukan preferensi konsumen. Perubahan nilai kekerasan buah mangga Arumanis dapat dilihat pada Gambar 12 dan 13. Analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan VHT, suhu penyimpanan, dan interaksi keduanya tidak mempengaruhi kekerasan buah, baik pada suhu ruang 28±2 oC maupun suhu 13±2 oC (Lampiran 6). Menurut Winarno (2002), perubahan tekstur buah yang semula keras menjadi lunak dikarenakan selama proses kematangan terjadi perubahan komposisi dinding sel sehingga menyebabkan turunnya tekanan turgor sel dan kekerasan buah pun menurun. Terjadinya degradasi dinding sel dan hasil dari perubahan biokimia selama penyimpanan merupakan faktor yang menyebabkan penurunan nilai kekerasan buah (Jha et al. 2010; Charlos et al. 2012).

(38)

Gambar 13 Grafik kekerasan daging mangga pada suhu 28±2 oC dan 13±2 oC Penurunan kekerasan ini bukan dipicu oleh kerusakan akibat pemberian perlakuan VHT dan suhu penyimpanan, melainkan pada umumnya produk hortikultura memang akan mengalami penurunan nilai kekerasan seiring bertambahnya waktu penyimpanan. Kekerasan buah tergantung dari sifat jaringan seperti kandungan air, penyusun dasar dinding sel dan tekanan turgor pada dinding sel (Arafat 2005). Perubahan tekstur dipengaruhi oleh perombakan dinding sel (Seymour dan Gross 1996). Komposisi selulosa, hemiselulosa, lignin dan kandungan pektin juga merupakan komponen yang mempengaruhi perubahan tekstur buah selama proses pematangan (Winarno 2002; Villanueva et al. 2004). Perubahan selama pematangan buah sering dikaitkan dengan perombakan enzimatis dinding sel oleh enzim pectinesterase, poligalakturonase, dan selulase serta modifikasi pektin pada dinding sel selama pematangan buah (Marin-Rodriguez et al. 2002; White 2002).

Banjongsinsiri et al. (2004) juga melaporkan bahwa pelunakan buah diduga berkaitan dengan depolimerisasi dan solubilisasi dari zat pektin dalam lamella tengah pada dinding sel dan diyakini terlibat dalam hidrolisis dinding sel. Selain itu, aktivitas poligalakturonase (PG) dan selulase terus meningkat selama pematangan dan cenderung bertanggungjawab atas pelunakan mangga Nam Dokmai. Aktivitas β-galaktosidase pada mangga Arumanis juga meningkat selama pematangan dan berhubungan dengan peningkatan kelarutan dan depolimerisasi pektin pada dinding sel. Sebaliknya, aktivitas pektinmetilesterase (PME) dan hemiselulase mengalami penurunan pada mangga Tommy Atkins, Nam Dokmai, Arumanis, dan Keitt selama pematangan.

(39)

Gambar 14 Grafik vitamin C mangga Arumanis pada suhu 28±2 oC dan 13±2 oC Kadar vitamin C pada buah klimaterik umumnya meningkat seiring meningkatnya total padatan terlarut dalam buah. Vitamin C akan mengalami peningkatan ketika mencapai kematangan optimum dan kemudian akan menurun ketika buah memasuki fase pelayuan/pembusukan. Kusnandar (2010) juga mengatakan bahwa vitamin C mudah rusak selama pemasakan dan penyimpanan. Gambar 14 menunjukkan bahwa kenaikan kadar vitamin C pada suhu 28±2 oC terjadi pada hari ke 6 sedangkan pada suhu 13±2 oC terjadi pada hari ke 12. Perbedaan ini juga sangat berkaitan dengan struktur kimia vitamin C yang mengandung gugus-gugus reaktif yang mudah teroksidasi oleh oksigen dan rentan terhadap panas.

(40)
(41)

5

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Mortalitas telur lalat buah Bactrocera papayae secara in-vitro mencapai 100% pada suhu 46 oC selama 10 menit.

2. Mortalitas lalat buah B. papayae secara in-vivo pada buah mangga Arumanis dengan VHT pada suhu 47 oC membutuhkan waktu minimal selama 20 menit. 3. Perlakuan VHT suhu 47 oC selama 25-30 menit tidak menyebabkan kerusakan

fisiologi, dimana pola respirasi klimaterik masih berlangsung secara normal, dan juga tidak merusak buah berdasarkan parameter mutu susut bobot, total padatan terlarut, dan kekerasan.

4. Lama VHT berpengaruh signifikan terhadap kadar vitamin C, namun tidak berpengaruh signifikan terhadap susut bobot, total padatan terlarut, dan kekerasan. Semakin lama waktu VHT cenderung meningkatkan nilai total padatan terlarut dan kadar vitamin C pada buah. Sementara itu, suhu penyimpanan berpengaruh signifikan terhadap masa simpan mangga yang telah diberi perlakuan VHT.

5. Buah yang diberi perlakuan VHT dapat bertahan selama 18 hari pada penyimpanan suhu 13±2 oC dan selama 9 hari untuk suhu 28±2 oC.

Saran

(42)

DAFTAR PUSTAKA

[ACIAR] Australian Centre for International Agricultural Research. 2009. Fruit flies of Indonesia: Their Identification, Pest Status and Pest Management.

Third Training Workshop. Brisbane (AUS): International Centre for the Management of Pest Fruit Flies.

Ahmad U. 2013. Teknologi Penanganan Pascapanen Buahan dan Sayuran. Yogyakarta (ID). Penerbit Graha Ilmu.

Banjongsinsiri P, Kenney S, Wicker L. 2004. Texture and distribution of pectic substances of mango as affected by infusion of pectinmethylesterase and calcium. J Sci Food Agric 84:1493–1499 (online: 2004). DOI: 10.1002/jsfa.1782

Borror DJ, Triplehorn CA, Johnson NF. 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga. Edisi Keenam. Diterjemahkan oleh: Partosoedjono, S. dan Brotowidjoyo, M.D. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2015. Statistik Tanaman Buah-buahan dan Sayuran Tahunan Indonesia 2015. Katalog 5205010. [diunduh 2016 Nov 13]. Tersedia pada http://www.bps.go.id/.

Broto W. 2003. Mangga: Budidaya, Pascapanen, dan Tata Niaganya. Jakarta (ID): Penerbit Agro Medika Pustaka.

Charlos HP, Yahia E, Osuna MAI, Martinez PG, Sanchez MR, Aguilar GAG. 2012. Effect of ripeness stage of mango fruit (Mangifera indica L cv Ataulfo) on physiological parameters and antioxidant activity. Journal Scientia Horticulturae 135:7-13. http://dx.doi.org/10.1016/j.scienta.2011.11.027 Departemen Pertanian. 2003. Statistik Pertanian 2002. Jakarta. Departemen

Pertanian Republik Indonesia.

Direktorat Jenderal Bina Produsksi Hortikultura. 2004. Buku Tahunan Hortikultura 2003, Sentra Tanaman Buah. Departemen Pertanian. Dirjen Bina Produksi Hortikultura. Jakarta.

Dyck J, Ito K. 2010. Fruit Policies in Japan. Economic Research Service. USDA. http://ers.usda.gov/media/146665/fts34101_1_.pdf

Ebina T. and Otho K. 2006. Morphological Characters and PCR-RFLP Markers in the Interspecific Hybrids Between B. carambolae and B. papayae of the B. dorsalis Species Complex (Diptera: Tephritidae). Res Bull PI Prot Japan 42: 23-34.

Elsheikk AOK, Nour AE, Elkhalifa AEO. 2014. Effect of storage on the quality attributes of concentrates of two mango (Mangifera indica) varieties grow in Sudan. British Journal of Applied Science & Technology 4(14): 2069-2078. doi: 10.9734/BJAST/2014/9398

Fields PG, White NDG. 2002. Alternatives Tomethyl Bromide Treatments for Stored-Product and Quarantine Insects. Annu Rev Entomol 47; 331-359. Handayani ND, Lestari P, Suwandi T. 2014. Disinfestasi Bactrocera cucurbitae

Coquillett (Diptera: Tephritidae) pada Melon (Cucumis melo L.) dengan Perlakuan Air Panas. Balai Uji Terap Teknik dan Metode Karantina Pertanian. Badan Karantina Pertanian

(43)

Hasbullah R, Kawasaki S, Kojima T, Akinaga T. 2008. Effect of heat treatment on respiration and quality of Irwin mango. J. Socciety of Agricultural Structure, Vol. 9. No. 2.

Hasbullah R, Rohaeti E, Syarief R. 2013. Fruit Fly Disinfestations of Star Fruit (Averrhoa carambola L.) Using Vapor Heat Treatment (VHT). Proc. Second Asia Pacific Symp. on Postharvest Research, Education and Extension. Eds.: H.K. Purwadaria et al. Acta Hort. 1011, ISHS 2013.

Heather NW, RJ Corcoran, RA Kopittke. 1996. Hot air disinfestations of Australian„Kensington‟ mangoes against two fruit flies (Diptera: Tephritidae). Postharvest Biol. Technol. 10, 99-105.

Hulasare R, Bh. Subramanyam PG, Fields, Abdelghany AY. 2010. Heat treatment: a viable methyl bromide alternative for managing stored-product insects in food-processing facilities. In: OM Carvalho PG. Fields, C. Adler, (Eds.), Proceedings of the10th International Working Conference on Stored Product Protection, 27 June - 2 July, 2010, Estoril, Protugal, Julius-Kühn-Archiv, Berlin, Germany, pp. 661-667.

Iwata, M., Kunio, S., Kazunori, K., and Akihiko, I. 2006. Vapor Heat Treatment of Netted Melons. Research Bulletin of the Plant Protection Service. Japan. 26:45-49.

[JFTA] Japan Fumigation Technology Association. 1996. Textbook for Vapor Heat Disinfestation Test Technicans (Revised). Okinawa (JP): Japan International Coorperation Agency.

Jha SN, Narsaiah K, Sharma AD, Singh M, Bansal S, Kumar R. 2010. Quality parameters of mango and potential of non-destructive technique for their measurement – a review. Journal Food Science Technology. 47(1): 1-14. doi: 10.1007/s13197-010-0004-6.

Kusnandar, F, 2010. Kimia Pangan Komponen Makro. Penerbit Dian Rakyat, Jakarta.

Loaharanu P. 1999. International Development of Irradiation as Quarantine treatment of Freash Fruit and Vegetables. Di dalam: RCA Workshop; 1999 Apr 9; Manila.

Loganathan M, Jayas DS, Field PG, White NDG. 2011. Low and high temperature for the control of cowpea beetle, Callosobruchus maculatus (F.) (coleoptera: Bruchidae) in chicckpeas. Journal of Stored Products Reasearch. 47:244-248.

Mangan RL, and Hallman GJ. 1998. Temperature Treatments for Quarantine Security: New Approaches for Fresh Commodities. In: Hallman GJ, and Denlinger DL. (eds) Temperature Sensitivity in Insects and Application in Integrated Pest Management. Westview Press, Boulder, Colorado, pp. 201-234.

Mangan RL, Ingle SJ. 1992. Forced Hot-Air Quarantine Treatment for Mangoes Infested with West Indian Fruit Fly (Diptera: Tephritidae). J. Econ. Entomol.

85(5):1859-1864. http://dx.doi.org/10.1093/jee/85.5.1859

Gambar

Tabel 2 Pematangan buah mangga menggunakan bahan kimia
Gambar 5 Bagan alir proses pengujian mortalitas secara in-vitro
Gambar 6 Bagan alir proses pengujian mortalitas secara in-vivo
Gambar 8 Bagan alir proses pengujian mutu buah
+6

Referensi

Dokumen terkait

Jika mengacu pada hakikat musik pop, kurikulum yang diturunkan ke dalam mata kuliah-mata kuliah harus me- nyesuaikan diri dengan hakikat musik pop itu sendiri, di mana

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada pengaruh modal kerja terhadap profitabilitas pada perusahaan Food & Beverages yang tercatat di Bursa Efek

Dari gambar 4 nilai pH cenderung stabil, pada penelitian ini karena ion pada air mulai jenuh mengikat ozon dan karena terdapat zona kritis ion pada air dapat

Dampak positif dari perpindahan kampus Undip Pleburan ini adalah bertambahnya kemajemukan yang terjadi pada masyarakat Tembalang, semakin banyaknya jumlah teman yang bisa dimiliki,

suatu keterampilan pribadi atau individu yang perlu dikembangkan oleh guru dalam berhubungan dengan orang lain (Interpersonal Skill) dan keterampilan dalam

(Nata, 2001) Keberhasilan dalam pengajaran tidak hanya dilihat dari hasil belajar yang dicapai oleh siswa, tapi juga dari segi proses. Karena hasil belajar pada

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala penyertaan dan kasih Karunia-Nya yang telah diberikan kepada penulis dalam proses penyusunan skripsi yang

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa keempat formulasi dari tepung tempe kuning, tempe kedele hitam dengan bekatul putih dan bekatul merah