ISOLASI DAN KARAKTERISASI ENZIM
PENDEGRADASI SERAT PENINGKAT KUALITAS
BUNGKIL INTI SAWIT UNTUK PAKAN
AYAM PEDAGING
HERU HANDOKO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Pendegradasi Serat Peningkat Kualitas Bungkil Inti Sawit untuk Pakan Ayam Pedaging adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Februari 2010
Enzymes to Improve Palm Kernel Cake Quality for Broiler. Under the supervisions of NAHROWI, SUMIATI and AGUS SETIYONO.
The utilization of palm kernel cake (PKC) as poultry diets is restricted due to the fibre content. This study was designed to improve the nutritive value of PKC in broiler diet by adding enzymes from soil moulds. This study consisted of 3 experiments, in the first experiment, the best mould was obtained by combination of enrichment culture technique and measuring enzymes activities. The enzymes were characterized before applying to PKC, and the data were analized descriptively. In the second experiment, a completely randomized design with five levels of enzymes addition to PKC based on the best isolated of mould enzymes at concentration of 0; 0.5; 1.0; 1.5; and 2.0 mL of enzymes g-1 of PKC. Each treatment consisted of 4 replicates used to measure total sugar solubility and metabolizable energy. To determine the metabolizable energy, 20 of male broiler (6 weeks of ages) using force feeding method was carried out. Data were analized using analysis of variance (ANOVA) and if there were significant difference, the data were further tested using least significant different (LSD) test. In the third experiment, 200 of day old commercial Cobb broiler chickens were randomly distributed into five dietary treatments, each consisted of four replicates and each replicate consisted of ten birds. The treatments of diets were R0 (the diet contained 0% of PKC), R1 (the diet contained 10% of PKC without enzymes), R2 (the diet contained 10% of PKC treated enzymes), R3 (the diet contained 15% of PKC without enzymes), and R4 (the diet contained 15% of PKC treated enzymes). The enzymes addition was 2.0 mL filtrate g-1 of PKC. Data were analized using ANOVA and if there were significant difference, followed using LSD test. The results showed that all of five isolated moulds had FP-ase activities, but only isolate F had mannanase. FP-ase and mannanase of isolate F (11 d) were optimum at pH 6, incubation temperature at 50 ºC and the stabilities of both were untill 40 ºC. The enzymes addition did not affect the PKC’s total sugar solubilities, however, the addition of 2.0 mL g-1 of PKC significantly increased metabolizable energy. The levels of PKC did not affect the consumption of the broiler reared at the starter as well as finisher periods. Utilization of PKC treated enzymes in the diets had no affect the body weight gain, final body weight, duodenum and jejunum weight of broiler. However, broiler fed PKC treated enzymes had better feed conversion ratio (FCR) compared with that of broiler received PKC without enzymes treatments. FCR of broiler fed 15% of PKC treated enzymes was similar with that of broiler received 10% of PKC in the diet. It concluded that addition of enzymes from strain F moulds could improve nutritive value of PKC and utilization of 15% PKC treated enzymes could be applied in broiler diet.
Peningkat Kualitas Bungkil Inti Sawit untuk Pakan Ayam Pedaging. Dibimbing oleh NAHROWI, SUMIATI dan AGUS SETIYONO.
Bungkil inti sawit (BIS) merupakan hasil samping dari pengolahan kelapa sawit menjadi minyak pangan. Penggunaan BIS sebagai bahan pakan telah banyak dilakukan, namun introduksinya seringkali memunculkan masalah. Hal tersebut disebabkan oleh kandungan serat BIS yang tinggi, terlebih lagi jika diberikan pada unggas yang mempunyai keterbatasan dalam mensekresikan enzim pencerna serat. Penelitian ini dirancang dengan tujuan untuk mengisolasi enzim dari kapang yang mampu mendegradasi serat sehingga dapat meningkatkan nilai nutrisi BIS dan penggunaan BIS dalam ransum dapat ditingkatkan tanpa mempengaruhi penampilan produksi ayam pedaging.
Percobaan tahap 1 dilakukan untuk mendapatkan isolat kapang yang mampu mendegradasi serat BIS. Produksi enzim dilakukan pada beberapa waktu fermentasi (4; 7; 11; dan 14 hari) menggunakan isolat kapang yang diperoleh pada proses isolasi. Peubah yang diukur adalah nilai aktivitas enzim (FP-ase dan mannanase). Filtrat enzim terbaik kemudian dikarakterisasi pada beberapa pH dan suhu inkubasi. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif. Pada percobaan tahap kedua, beberapa taraf penambahan filtrat enzim dilakukan untuk mempelajari perubahan nilai nutrisi BIS. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 5 perlakuan taraf penambahan filtrat enzim, yaitu: 0; 0.5; 1.0; 1.5 dan 2.0 mL /g BIS; atau setara dengan aktivitas enzim sebesar 0; 17.2; 34.4; 51.6; 68.8 IU /mL FP-ase; dan 0; 0.07; 0.13; 0.20; 0.27 IU /mL mannanase per 1 000 g BIS) dengan 4 ulangan. Peubah yang diamati adalah total gula terlarut dan energi metabolis. Pengukuran energi metabolis dilakukan menggunakan 20 ekor ayam pedaging jantan umur 6 minggu. Data dianalisis menggunakan analisis ragam, dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil jika terdapat pengaruh yang nyata. Percobaan tahap ketiga dilakukan menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 5 perlakuan ransum yaitu: R0 (ransum tanpa BIS); R1 (ransum yang mengandung 10% BIS); R2 (ransum yang mengandung 10% BIS yang ditambahkan enzim); R3 (ransum yang mengandung 15% BIS); dan R4 (ransum yang mengandung 15% BIS yang ditambahkan enzim). Masing-masing perlakuan menggunakan sebanyak 4 kali ulangan. Penambahan enzim dilakukan sebanyak 2.0 mL /g BIS (68.8 IU FP-ase dan 0.27 IU mannanase per 1 000 g bungkil inti sawit). Sebanyak 200 ekor anak ayam strain Cobb digunakan sebagai unit percobaan. Peubah yang diamati adalah penampilan produksi, bobot dan panjang organ pencernaan serta pengamatan histologi hati dan usus halus. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam, jika terdapat pengaruh yang nyata dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (kecuali data pengamatan histologi: secara deskriftif).
nyata (p<0.05) meningkatkan kandungan energi yang termetabolis pada BIS. Pada percobaan ketiga, diperoleh hasil bahwa penggunaan 10% BIS yang ditambahkan enzim dapat dilakukan pada fase starter tanpa mempengaruhi konsumsi ransum, pertambahan bobot badan dan konversi ransum. Pada fase finisher, penggunaan 10% BIS (dengan atau tanpa penambahan enzim) dan 15% BIS (dengan penambahan enzim) dalam ransum menghasilkan pertambahan bobot badan yang sama dengan kontrol, namun konversi ransum menurun (p<0.05). Penggunaan sampai dengan 15% BIS (dengan atau tanpa enzim) dalam ransum tidak mempengaruhi bobot relatif karkas, gizzard, hati, empedu, limpa, pankreas dan lemak abdomen, duodenum, jejunum dan caeca ayam umur 5 minggu. Namun penggunaan 15% BIS (tanpa enzim) secara nyata (p<0.05) meningkatkan bobot relatif ileum. Penggunaan BIS 10% (tanpa enzim) secara nyata (p<0.05) meningkatkan panjang relatif duodenum dan jejunum, sementara penggunaan BIS 15% (tanpa enzim) meningkatkan panjang relatif duodenum (p<0.05). Penggunaan 10% BIS (dengan enzim) tidak mempengaruhi panjang relatif duodenum, jejunum, ileum dan caeca, sementara penggunaan 15% BIS yang ditambahkan enzim nyata (p<0.05) meningkatkan panjang relatif jejunum. Penambahan enzim pada BIS mampu memperbaiki kondisi histologi usus halus ayam pedaging.
Penggunaan enzim isolat F yang difermentasi selama 11 hari pada percobaan ini mampu meningkatkan nilai nutrisi BIS. Penggunaan 15% BIS yang ditambahkan enzim dalam ransum dapat dilakukan tanpa mempengaruhi penampilan produksi ayam pedaging, namun yang terbaik adalah penggunaan sebanyak 10% BIS yang ditambahkan enzim dalam ransum.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2010
Hak cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a.Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b.Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
ISOLASI DAN KARAKTERISASI ENZIM
PENDEGRADASI SERAT PENINGKAT KUALITAS
BUNGKIL INTI SAWIT UNTUK PAKAN
AYAM PEDAGING
HERU HANDOKO
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Ternak
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:
Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Juli 2008 dan bertempat di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Laboratorium Terpadu Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan dan Kandang Percobaan C Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, serta di Bagian Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah pengolahan pakan dan aplikasinya, dengan judul Isolasi dan Karakterisasi Enzim Pendegradasi Serat Peningkat Kualitas Bungkil Inti Sawit untuk Pakan Ayam Pedaging.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Nahrowi, MSc, Dr. Ir. Sumiati, MSc dan drh. Agus Setiyono, MS PhD selaku pembimbing yang telah banyak memberi arahan dan saran; selanjutnya kepada Dr. Ir. Dwierra Evvyernie Amirroenas, MS MSc selaku penguji Luar Komisi pada ujian Tesis; serta kepada Dr. Ir. Erika B Laconi, MS yang telah banyak memberi motivasi dan saran. Ucapan yang sama disampaikan kepada Dekan Fakultas Peternakan Universitas Jambi dan Rektor Universitas Jambi yang telah memberikan izin studi. Selanjutnya juga kepada Ditjen Dikti Depdiknas melalui pengelola Program Hibah Kompetisi (PHK)-A2 Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Jambi, serta kepada Depdiknas dan Pemda Propinsi Jambi atas bantuan Beasiswa Pendidikan yang telah diberikan.
Penghargaan dan ucapan terima kasih disampaikan kepada Dr. Yatno, SPt MSi, Syahruddin SPt MSi, Anwar Effendi H SPt MSi, Windu Negara SPt MSi, Lendrawati SPt MSi, Sofia Sandi SPt MSi, mbak Lela, mbak Lanjar, mas Supri, Lie, Rudi, Dede dan Ratih W SPt, atas bantuan dan semua keceriaan serta kebersamaannya, serta kepada Ugan yang telah membantu pemeliharaan ayam dan pengumpulan data. Ucapan yang sama juga disampaikan kepada Dr. Ir. Suryahadi DEA, Dr. Ir. Bambang B Santoso MSc.Agr, Ir. Bambang Sumpeno MP, Ir. Edi Susiawan MSi dan Dr. Ir. Suparjo MP atas inspirasi, motivasi dan kebersamaannya, serta kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Rasa hormat dan terima kasih tulus disampaikan kepada segenap keluarga besar di Jambi, atas do’a, kasih sayang dan dukungan moril maupun materil kepada penulis. Rasa haru dan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada istri tercinta Yesi Olva Artissa SPd atas kasih sayang, kesabaran, pengertian dan motivasi yang tiada hentinya, serta kepada kedua putraku tersayang; Nawfal Abyaz Sadat dan Lutfi Aqeel Daiyan, maafkan ayah tidak bisa mendampingi kalian untuk beberapa momen bahagia di masa kecilmu.
Akhir kata, semoga apa yang telah diberikan kepada penulis akan mendapatkan imbalan dari-Nya sebagai amal ibadah. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2010
pasangan Bapak T Hadiwardoyo (Alm) dan Ibu Ngati Minanti Kasih. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara.
x
Kelapa Sawit dan Hasil Sampingnya ... ... 3
Kandungan Nutrien Bungkil Inti Sawit ... 4
Penggunaan Bungkil Inti Sawit sebagai Pakan ... 6
Upaya Peningkatan Nilai Nutrisi Bungkil Inti Sawit ... 9
Polisakarida Bukan Pati pada Bungkil Inti Sawit ... 11
Kapang Pendegradasi Polisakarida ... 12
Aplikasi Mannanase pada Pakan Unggas ... 15
Hubungan Enzim pada Pakan dengan Saluran Pencernaan Unggas ... 16
Energi Metabolis ... 17
Penampilan Produksi Unggas dan Faktor yang Mempengaruhinya ... 19
Histologi Usus Unggas ... 21
BAHAN DAN METODE ... 24
Tahap 1: Isolasi Kapang, Produksi dan Pengukuran Aktivitas Enzim ... 25
Tahap 2: Penambahan Filtrat Enzim terhadap Nilai Nutrisi BIS ... 29
Tahap 3: Penggunaan BIS yang Ditambahkan Enzim dalam Ransum Ayam Pedaging ... 32
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 39
Tahap 1: Isolasi Kapang, Produksi dan Pengukuran Aktivitas Enzim ... 39
Isolasi Kapang ... 39
Produksi Crude Enzymes Isolat Kapang Hasil Seleksi ... 40
Pengaruh Lama Fermentasi terhadap Aktivitas Enzim ... 41
Seleksi Isolat dan Karakterisasi Enzim ... 44
Tahap 2: Penambahan Filtrat Enzim terhadap Nilai Nutrisi BIS ... 49
Total Gula Terlarut ... 49
Energi Metabolis ... 50
Tahap 3: Penggunaan BIS yang Ditambahkan Enzim dalam Ransum Ayam Pedaging ... 54
Penampilan Produksi Ayam Pedaging Fase Starter (0–3 Minggu) ... 54
xi
Bobot Relatif Pankreas dan Lemak Abdomen ... 66
Bobot Relatif dan Panjang Relatif Usus Halus dan Caeca ... 67
Keadaan Histologi Hati ... 72
Keadaan Histologi Usus Halus ... 74
SIMPULAN DAN SARAN ... 81
DAFTAR PUSTAKA ... 82
xii
1 Produksi kelapa sawit dan hasil sampingnya di Indonesia ... 4
2 Kandungan nutrien pada bungkil inti sawit ... 5
3 Kandungan asam amino pada bungkil inti sawit ... 5
4 Kandungan mineral pada bungkil inti sawit ... 7
5 Komponen gula pada bungkil inti sawit dengan beberapa metode ekstraksi ... 12
6 Beberapa jenis kapang penghasil enzim mannanase ... 14
7 Kandungan nutrien bahan penyusun ransum ... 33
8 Komposisi bahan pakan penyusun ransum perlakuan ... 34
9 Kandungan nutrien ransum perlakuan yang digunakan dalam percobaan .. 35
10 Aktivitas enzim (IU /mL) beberapa isolat hasil seleksi pada beberapa periode (hari) fermentasi ... 42
11 Pengaruh penambahan filtrat enzim terhadap total gula terlarut bungkil inti sawit ... 50
12 Rataaan energi termetabolis (kkal/kg) bungkil inti sawit pada ayam pedaging jantan ... 51
13 Rataan konsumsi ransum, bobot badan, pertambahan bobot badan dan konversi ransum ayam pedaging fase starter (0–3 minggu) ... 54
14 Rataan konsumsi ransum, bobot badan, pertambahan bobot badan dan konversi ransum ayam pedaging fase finisher (3–5 minggu) ... 61
15 Rataan bobot potong (g/ekor), bobot relatif (%) karkas dan bobot relatif (g/100 g bobot botong) organ dalam ayam pedaging umur 5 minggu ... 64
16 Rataan bobot relatif (g/100 g bobot potong) dan panjang relatif (cm/100 g bobot potong) usus halus dan caeca ayam pedaging umur 5 minggu ... 68
17 Rataan scoring gambaran histologi hati ayam perlakuan ... 74
xiv
1 Proporsi dalam proses pengolahan kelapa sawit ... 3
2 Dugaan struktur galaktomannan pada bungkil inti sawit ... 11
3 Kondisi pH pada saluran pencernaan unggas ... 17
4 Alur tahapan percobaan ... 24
5 Preparasi substrat dan polisakarida mannan dari bungkil inti sawit untuk proses fermentasi dan pengujian aktivitas mannanase ... 26
6 Tahapan isolasi dan pemurnian kapang ... 27
7 Tahapan produksi enzim dari isolat kapang ... 28
8 Isolat kapang hasil seleksi ... 39
9 Produksi enzim pada beberapa periode fermentasi menggunakan kapang hasil isolasi ... 40
10 Aktivitas optimal FP-ase isolat F yang difermentasi selama 11 hari; (a) pada suhu (ºC); (b) pada pH; (c) stabilitas relatif pada suhu (ºC) setelah diinkubasi selama 30 menit ... 45
11 Aktivitas optimal mannanase isolat F yang difermentasi selama 11 hari; (a) pada suhu (ºC); (b) pada pH; (c) stabilitas relatif pada suhu (ºC) setelah diinkubasi selama 30 menit ... 47
12 Konsumsi ransum, pertambahan bobot badan dan konversi ransum ayam pedaging pemeliharaan fase starter ... 56
13 Konsumsi ransum, pertambahan bobot badan dan konversi ransum ayam pedaging pemeliharaan fase finisher ... 60
14 Histologi hati ayam pedaging ... 73
xv 1 Kurva standar yang digunakan dalam penentuan total gula terlarut
pada absorbansi 490 ηm ... 95
2 Analisis ragam rataan total gula terlarut (g/ 100 g BIS) ... 95
3 Analisis ragam dan uji beda nyata terkecil rataan energi metabolis
semu (kkal/kg) ... 95
4 Analisis ragam dan uji beda nyata terkecil rataan energi metabolis
semu terkoreksi nitrogen (kkal/kg) ... 96
5 Analisis ragam dan uji beda nyata terkecil rataan energi metabolis
murni (kkal/kg) ... 96
6 Analisis ragam dan uji beda nyata terkecil rataan energi metabolis
murni terkoreksi nitrogen (kkal/kg) ... 97
7 Analisis ragam rataan konsumsi ransum (g/ekor/21 hari) fase starter ayam pedaging umur 0–3 minggu ... 97
8 Analisis ragam dan uji beda nyata terkecil rataan bobot badan
(g/ekor/21 hari) ayam pedaging fase starter (umur 3 minggu) ... 98
9 Analisis ragam dan uji beda nyata terkecil rataan pertambahan bobot badan (g/ekor/21 hari) ayam pedaging fase starter (0–3
minggu) ... 98
10 Analisis ragam dan uji beda nyata terkecil rataan konversi ransum
ayam pedaging fase starter (0–3 minggu) ... 99
11 Analisis ragam rataan konsumsi ransum (g/ekor/14 hari) fase finisher ayam pedaging umur 3–5 minggu ... 99
12 Analisis ragam dan uji beda nyata terkecil rataan bobot badan
(g/ekor) ayam fase finisher (umur 5 minggu) ... 99
13 Analisis ragam dan uji beda nyata terkecil rataan pertambahan bobot badan (g/ekor/14 hari) ayam pedaging fase finisher (3–5
minggu) ... 100
14 Analisis ragam dan uji beda nyata terkecil rataan konversi ransum
ayam pedaging fase finisher (3–5 minggu) ... 100
15 Analisis ragam rataan bobot potong (g /ekor) ayam pedaging umur
xvi 17 Analisis ragam rataan bobot relatif (g/ 100 g bobot potong) gizzard
ayam pedaging umur 5 minggu ... 101
18 Analisis ragam rataan bobot relatif (g/ 100 g bobot potong) hati
ayam pedaging umur 5 minggu ... 102
19 Analisis ragam rataan bobot relatif (g/ 100 g bobot potong) empedu
ayam pedaging umur 5 minggu ... 102
20 Analisis ragam rataan bobot relatif (g/ 100 g Bobot Potong) limpa
ayam pedaging umur 5 minggu ... 102
21 Analisis ragam rataan bobot relatif (g/ 100 g bobot potong)
pankreas ayam pedaging umur 5 minggu ... 102
22 Analisis ragam rataan bobot relatif (g/ 100 g bobot potong) lemak
abdomen ayam pedaging umur 5 minggu ... 103
23 Analisis ragam rataan bobot relatif (g/ 100 g bobot potong)
duodenum ayam pedaging umur 5 minggu ... 103
24 Analisis ragam dan uji beda nyata terkecil rataan bobot relatif (g/
100 g bobot potong) jejunum ayam pedaging umur 5 minggu ... 103
25 Analisis ragam dan uji beda nyata terkecil rataan bobot relatif (g/
100 g bobot potong) ileum ayam pedaging umur 5 minggu ... 103
26 Analisis ragam dan uji beda nyata terkecil rataan bobot relatif
(g/100 g bobot potong) caeca ayam pedaging umur 5 minggu ... 104
27 Analisis ragam dan uji beda nyata terkecil rataan panjang relatif (cm/ 100 g bobot potong) duodenum ayam pedaging umur 5 minggu ... 104
28 Analisis ragam dan uji beda nyata terkecil rataan panjang relatif
(cm/ 100 g bobot potong) jejunum ayam pedaging umur 5 minggu .... 105
29 Analisis ragam rataan panjang relatif (cm/100 g bobot potong)
ileum ayam pedaging umur 5 minggu ... 105
30 Analisis ragam rataan panjang relatif (cm/100 g bobot potong)
caeca ayam pedaging umur 5 minggu ... 106
xvii 33 Konversi ransum selama pemeliharaan ... 107
34 Pembuatan sediaan preparat histologi ... 107
Latar Belakang
Bahan pakan unggas di Indonesia sebagian besar adalah impor, misalnya
jagung. Impor jagung pada tahun 2005 dan 2006 sebesar 1.2 juta ton pertahun
(Deptan 2010). Jika produksi jagung Nasional tidak juga mengalami peningkatan,
diprediksi kebutuhan jagung untuk unggas pada tahun 2010 dan 2020
masing-masing sebesar 4 dan 8 juta ton (Deptan 2005). Isu pengembangan sumber energi
alternatif yang renewable (bio ethanol) menggunakan bahan dasar jagung menjadi
kendala dan perlu suatu solusi yang tepat, terutama dalam upaya pemenuhan
kebutuhan pakan. Persaingan dalam pemenuhan kebutuhan ini dikuatirkan
menyebabkan peningkatan biaya produksi ternak karena harga pakan relatif
meningkat. Salah satu strategi yang dapat dilakukan untuk mengatasinya adalah
penggunaan pakan lokal hasil samping agroindustri.
Penggunaan dan optimasi bahan pakan lokal telah banyak dilakukan,
namun introduksinya seringkali memunculkan masalah karena kandungan serat
yang tinggi, keseimbangan asam amino yang rendah dan terdapatnya anti nutrisi.
Pemilihan pakan alternatif perlu dilakukan secara selektif dan bijaksana dengan
mempertimbangkan beberapa kriteria antara lain; tersedia secara kontinyu, tidak
bersaing dengan manusia dan akan sangat menunjang bila terkonsentrasi pada
suatu tempat. Satu diantaranya adalah bungkil inti sawit (BIS) sebagai hasil
samping pengolahan minyak pangan.
Ketersediaan BIS di Indonesia cukup besar, hal ini terlihat dari luas area
perkebunan kelapa sawit pada tahun 2008 seluas 7 juta hektar lebih dengan total
produksi minyak mencapai 18.1 juta ton per tahun (Deptan 2010) dan diprediksi
produksinya akan terus bertambah. Berdasarkan data tersebut diperkirakan
ketersediaan BIS sebanyak 2 juta ton per tahun. Ditinjau dari aspek nutrien, BIS
memiliki bahan kering sebesar 89.28%, protein kasar 16.50%, serat kasar 19.24%,
lemak 5.69%, abu 4.69%, dan energi termetabolis (pada ayam pedaging) sebesar
1 816 kkal/kg (Jaelani 2007).
Meskipun bisa diberikan langsung pada unggas, penggunaan BIS dibatasi
oleh kemampuan unggas yang rendah dalam mensekresi enzim pendegradasi serat
Panigrahi & Powell 1991) disebabkan kandungan serat kasar BIS yang tinggi
berupa ikatan β (1,4)-D-mannan yang merupakan polimer mannosa (Daud &
Jarvis 1992). Kandungan polisakarida bukan pati (PBP) pada BIS memiliki
struktur yang terdiri dari 78% ikatan mannosa, 12% selulosa dan 3% untuk
masing-masing arabinoxylans dan (4-O-methyl)-glucuronoxylans (Düsterhöft et
al. 1992), banyak ditemukan berupa glucomannan dan galactomannan (Carré
2002). Hal tersebut menyebabkan nilai nutrisi dan nilai kecernaan yang rendah
jika BIS diberikan pada unggas. Karena itu perlu dilakukan pengolahan terhadap
BIS untuk memperbaiki kualitasnya.
Pengolahan secara biologis (fermentasi), oleh beberapa peneliti terdahulu
dinyatakan mampu memperbaiki nilai nutrisi BIS. Fermentasi yang telah
dilakukan menggunakan berbagai jenis kapang, diantaranya menggunakan
Aspergillus niger (Nicolás-Santiago et al. 2006), Rhyzopus oligosporus (Amri
2007) dan Trichoderma reesei (Iyayi & Aderolu 2004; Jaelani 2007). Pengolahan
lain yang dapat dilakukan adalah penggunaan enzim (Daskiran et al. 2004; Sekoni
et al. 2008).
Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut, upaya peningkatan nutrisi BIS
pada penelitian ini dilakukan menggunakan enzim yang dihasilkan oleh kapang
yang diisolasi dari tanah dan dari ampas BIS yang telah mengalami perombakan
oleh mikroorganisma. Proses produksi enzim dilakukan pada medium cair
menggunakan substrat berupa ampas BIS dari proses ekstraksi dan isolasi protein
BIS (Yatno 2009) sebagai satu-satunya sumber karbon dalam medium. Enzim
diisolasi dan aktivitasnya diukur, isolat terbaik kemudian dikarakterisasi.
Kemampuan enzim memecah ikatan serat dan peningkatan nilai nutrisi BIS
dievaluasi menggunakan ayam pedaging.
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk:
1. mengisolasi kapang penghasil enzim yang mampu menghidrolisis serat BIS
2. mempelajari pengaruh penambahan enzim pada perubahan nilai nutrisi BIS
3. mengkaji penampilan produksi dan keadaan histologi usus ayam pedaging
Kelapa Sawit dan Hasil Sampingnya
Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tanaman daerah hutan
hujan tropik (10° dari katulistiwa) yang berasal dari Afrika Barat. Habitat alami
kelapa sawit adalah di daerah beriklim panas yang lembab pada ketinggian 500 m
di atas permukaan laut dengan suhu optimum pertumbuhan antara 22 °C–32 °C
serta curah hujan rata-rata antara 1 600 mm (minimum) sampai 2 500–3 500 mm
per tahun (Schultz 2001).
Kelapa sawit merupakan salah satu komoditi non migas dari sektor
pertanian andalan Indonesia. Deptan (2010) melaporkan bahwa luas tanam kelapa
sawit tahun 2008 mencapai 7 014 007 hektar dengan produksi crude palm oil
(CPO) sebesar 18 106 395 ton (20% dari tandan buah segar yang dihasilkan).
Menurut Devendra (1998) yang diacu dalam Sinurat (2003), bahwa dalam proses
pengolahan buah sawit menjadi crude palm oil (CPO) akan menghasilkan hasil
samping berupa lumpur sawit, bungkil inti sawit dan serabut sawit (Gambar 1)
yang berpotensi untuk digunakan sebagai bahan pakan ternak.
Gambar 1 Proporsi dalam proses pengolahan kelapa sawit.
Tandan buah segar
Bungkil inti sawit (2.3%) Minyak inti
sawit Lumpur sawit
(2% kering) Tandan kosong
(55–58%)
Cangkang (8%) Inti sawit
(4–5%) Minyak kasar
(CPO) (18–20%) Serat buah
Indonesia memiliki perkebunan sawit yang tersebar di beberapa pulau
besar (Tabel 1). Sumatera merupakan penghasil CPO terbesar yaitu 14 107 898
ton (69.88%) diikuti Kalimantan 3 232 832 ton (25.95%) dan Sulawesi sebesar
574 998 ton (2.95%), serta sisanya 190 667 ton dihasilkan di pulau lainnya
(1.22%).
Tabel 1 Produksi kelapa sawit dan hasil sampingnya di Indonesia*
Daerah Total Produksi TBS1 (ton)
Hasil Samping (ton)
Lumpur Sawit2
Serabut Sawit3
Bungkil Inti Sawit4
Sumatera 70 539 490.00 3 526 974.50 8 464 739.00 1 622 408.00 Kalimantan 16 164 160.00 808 208.00 1 939 699.00 371 775.70 Sulawesi 2 874 990.00 143 749.50 344 999.00 66 124.77 Lainnya 953 335.00 47 666.75 114 400.00 21 926.71
Indonesia 90 531 975.00 4 526 598.75 10 863 837.00 2 082 235.00
Keterangan : * : Deptan (2010), data tahun 2008 diolah
1
: TBS = tandan buah segar ; 2 = 5% dari total produksi ; 3 = 12% dari total produksi ; 4 = 2.3% dari total produksi (Devendra 1998 diacu dalam Sinurat 2003)
Tabel 1 memperlihatkan bahwa secara kuantitas, produksi bungkil inti
sawit yang dihasilkan cukup banyak. Hal ini merupakan potensi yang cukup
menjanjikan sebagai pakan ternak bila dimanfaatkan dengan baik.
Kandungan Nutrien Bungkil Inti Sawit
Bungkil inti sawit merupakan hasil samping industri pengolahan kelapa
sawit menjadi minyak pangan, mempunyai kandungan nutrien yang cukup baik
untuk dijadikan sebagai bahan pakan ternak. Asam amino lisina menjadi faktor
pembatas pada penggunaan bungkil inti sawit sebagai bahan pakan, yang diikuti
dengan asam amino yang mengandung sulfur (metionina, sisteina) dan triptofan
(Alimon 2005). Kandungan nutrien pada BIS dapat dilihat pada Tabel 2,
kandungan asam amino pada Tabel 3, sedangkan kandungan mineral pada BIS
Tabel 2 Kandungan nutrien pada bungkil inti sawit
Neutral detergent fibre; EB = Energi bruto; EM = Energi metabolis.
A = Simanjuntak (1998)
B = Jaelani (2007); SF = Sebelum fermentasi; F = Setelah fermentasi C = Alimon (2005)
*
= Chong (1999)
Tabel 3 Kandungan asam amino pada bungkil inti sawit
Asam amino
= Simanjuntak (1998) ; SF = Sebelum fermentasi; F = Setelah fermentasi
c
= Yeong et al.(1983) diacu dalam Sue (2005)
d
= Nwokolo et al. (1976)
e
= Hasil Analisis Laboratorium Terpadu IPB (2007)
f
Penggunaan Bungkil Inti Sawit sebagai Pakan
Pemanfaatan hasil samping pengolahan kelapa sawit berupa bungkil inti
sawit, serat sawit dan lumpur sawit menjadi pakan ternak telah dilakukan di
Malaysia (Zahari & Alimon 2005), Indonesia (Sinurat 2003) dan Afrika. Bahan
pakan tersebut diberikan langsung baik dalam bentuk campuran ketiganya
maupun terpisah. Selain mencampur ketiga jenis pakan tersebut, kadangkala juga
dicampur bahan lain terutama yang mengandung karbohidrat yang tinggi, mineral
dan vitamin.
Zumbado (1999) melaporkan bahwa minyak sawit mempunyai kandungan
AMEn sebesar 4 230 kkal/kg dengan nilai kecernaan 83.3% pada unggas. Dewi
(1998) menyatakan bahwa minyak sawit dapat digunakan sampai 10% dalam
ransum ayam pedaging dengan adanya peningkatan pada pertambahan bobot
badan, konsumsi, konversi ransum, bobot karkas dan lemak abdomen. Aritonang
(1986) menyatakan bahwa beberapa hasil olahan kelapa sawit yang paling banyak
digunakan sebagai pakan ternak ialah minyak sawit (CPO) terutama yang
kualitasnya rendah seperti Palm Stearin (PS) dan juga berupa hasil ikutan yaitu
bungkil inti sawit (BIS). Kedua bahan ini ternyata cukup baik, PS sebagai sumber
energi pada ransum babi dan ayam, sedangkan BIS sebagai sumber protein.
Beberapa studi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pengujian nilai nutrisi
bungkil inti sawit telah banyak pada berbagai jenis ternak dan memberikan efek
yang cukup baik terhadap penampilan produksinya. Selanjutnya dinyatakan
bahwa penggunaan bungkil inti sawit adalah untuk substitusi bungkil kelapa
dalam ransum ternak ruminansia, karena bungkil inti sawit mengandung protein
dan energi yang tinggi serta imbangan mineral yang serasi bagi ternak ruminansia
(Aritonang 1986). Kandungan mineral pada bungkil inti sawit dapat dilihat pada
Tabel 4.
Hasil penelitian Carvalho et al. (2006) menunjukkan bahwa penggunaan
BIS (solvent extract) yang tinggi dalam pakan sapi perah tidak mempengaruhi
konsumsi dan produksi susu. Penggunaan BIS pada sapi potong dan sapi perah
dilaporkan dapat menekan biaya pakan (Umunna et al. 1980; Carvalho et al.
Tabel 4 Kandungan mineral pada bungkil inti sawit
Mineral Kandungan
A B
Kalsium (%) 0.21–0.34 0.29
Fosfor (%) 0.48–0.71 0.79
Magnesium (%) 0.16–0.33 0.27
Kalium (%) 0.76–0.93 -
Sulfur (%) 0.19–0.23 -
Kuprum (ppm) 20.5–28.9 28.5
Zink (ppm) 40.5–50.0 77.0
Iron (ppm) 835–6130 4.05
Mangan (ppm) 132–340 225.0
Molibdenum (ppm) 0.70–0.79 -
Selen (ppm) 0.23–0.30 -
Keterangan : A = Alimon (2005)
B = Yeong et al. diacudalamSue (2005) dan Aspar (2005)
Pada kelinci yang sedang bertumbuh, penggunaan BIS sampai dengan
40% dapat dilakukan tanpa mempengaruhi konsumsi dalam hal menggantikan
bungkil kedele dalam ransum. Penggunaan 30% BIS tidak mempengaruhi
pertambahan bobot badan, konversi ransum dan karkas yang dihasilkan
(Orunmuyi et al. 2006).
Kandungan serat yang tinggi mengakibatkan rendahnya palatabilitas, dan
ketiadaan beberapa asam amino esensial menyebabkan keterbatasan penggunaan
BIS dalam ransum ternak. Terdapatnya faktor pembatas dan kandungan manan,
galaktormanan, xylan dan arabinoxylan menyebabkan penggunaannya pada
unggas sangat terbatas, namun demikian penggunaan BIS pada unggas telah
banyak dilaporkan. Onwudike (1986) melaporkan bahwa penggunaan BIS sebagai
pengganti bungkil kacang tanah dalam ransum ayam pedaging fase awal dapat
dilakukan hingga 28%, sedangkan untuk fase akhir sebanyak 35% tanpa
menurunkan pertambahan bobot badan dan konversi ransum, menurunkan bobot
lemak abdominal namun meningkatkan bobot gizzard. Aritonang (1986)
melaporkan bahwa penambahan lisina dan metionina pada ransum yang
menggunakan BIS 45% dapat memperbaiki pertumbuhan anak ayam.
Penggunaan sampai dengan taraf 30% bungkil inti sawit (BIS) dalam
ransum ayam pedaging fase finisher (3–8 minggu) tidak mempengaruhi bobot
karkas namun meningkatkan bobot relatif gizzard (Okeudo et al. 2005). Pada
bungkil inti sawit (BIS) 0%, 15%, 30% dan 45% dalam ransum tidak
mempengaruhi rataan konsumsi pakan. Penggunaan BIS sampai dengan 30%
tidak mempengaruhi konversi ransum, pertambahan bobot badan dan bobot badan
akhir yang diperoleh, namun secara nyata meningkatkan bobot relatif gizzard
(Okeudo et al. 2006). Panigrahi dan Powell (1991) menyatakan bahwa
penggunaan BIS sampai 50% dalam ransum dapat dilakukan pada ayam pedaging
tanpa memberikan efek negatif, namun pemberiannya perlu disuplementasi
dengan minyak nabati yang cukup tinggi (Panigrahi 1991).
Percobaan dengan menggunakan ayam pedaging fase finisher juga
dilakukan oleh Ezieshi dan Olomu (2004). Hasil yang diperoleh menunjukkan
bahwa meskipun tidak berpengaruh nyata, namun penggantian jagung dengan BIS
dalam ransum cenderung menurunkan pertambahan bobot badan, sedangkan
konsumsi ransum cenderung meningkat pada penggantian 50% jagung (64%
dalam ransumnya). Selanjutnya dilaporkan terjadi penurunan secara nyata
terhadap retensi bahan kering, protein dan lemak. Ezieshi dan Olomu (2008)
melaporkan bahwa penggunaan BIS sampai dengan 30% (pengganti 50% jagung)
dalam ransum ayam pedaging (hybro broiler) umur 5 minggu dapat dilakukan
tanpa mempengaruhi retensi protein kasar dan serat kasar, retensi bahan kering
meningkat. Secara umum dinyatakan bahwa penggunaan BIS menurunkan biaya
produksi (ransum), namun menurunkan pertambahan bobot badan dan konversi
ransum.
Onwudike (1988) melaporkan bahwa penggunaan BIS dalam ransum
ayam petelur sebaiknya tidak melebihi 40%. Namun sebaliknya pada penelitian
yang dilakukan oleh Perez et al. (2000), menyatakan bahwa penggunaan BIS pada
ayam petelur strain White Leghorn umur 18 minggu sampai taraf 50% dalam
ransum tidak mempengaruhi konversi penggunaan ransum, konsumsi ransum,
tingkat kematian dan bobot telur yang dihasilkan.
Osman (1996) diacu dalam Simanjuntak (1998) melaporkan BIS dapat
digunakan di dalam ransum unggas hingga 20%. Chong (1999) menyarankan
penggunaan BIS dalam ransum sebesar 12.5% untuk ayam pedaging dan 25%
untuk ayam petelur. Sundu et al. (2008) menyatakan bahwa penambahan enzim
gizzard (28%) pada ayam. Selanjutnya dinyatakan bahwa hal tersebut juga
meningkatkan berat dan panjang duodenum serta meningkatkan ukuran usus
halus.
Upaya Peningkatan Nilai Nutrisi Bungkil Inti Sawit
Mengingat beberapa keterbatasan yang dimiliki oleh BIS sebagai pakan
ternak, maka beberapa peneliti telah melakukan upaya perbaikan kualitas dengan
menerapkan teknologi tertentu, seperti pengolahan secara fisik, kimia, fermentasi
dan penggunaan enzim maupun kombinasinya. Fermentasi terjadi karena enzim,
yakni zat yang dihasilkan sel hidup yang menyebabkan berlangsungnya
reaksi-reaksi kimia tertentu (Pelczar Jr & Chan 1986). Simanjuntak (1998) melaporkan
bahwa fermentasi dapat dilakukan untuk meningkatkan nutrien pada bahan yang
berkualitas rendah, fermentasi merupakan salah satu cara pengolahan dalam
rangka pengawetan bahan serta cara untuk mengurangi bahkan menghilangkan zat
racun yang terkandung pada suatu bahan. Mirwandhono dan Siregar (2004)
melaporkan adanya peningkatan kandungan bahan kering, protein dan serat kasar
pada hasil fermentasi BIS menggunakan kapang Aspergillus niger, Trichoderma
viridae dan Rhyzopus oligosporus. Siregar dan Mirwandhono (2004) melaporkan
bahwa fermentasi menggunakan Aspergillus niger (3% dari bahan kering BIS)
secara nyata mampu meningkatkan kandungan protein dari 15.03% menjadi
18.50%. Selanjutnya dilaporkan bahwa penggunaan 2% Aspergillus niger pada
fermentasi BIS secara nyata meningkatkan kandungan energi bruto pada BIS yaitu
dari 1 661 kkal/kg (BIS sebelum fermentasi) menjadi 1 837 kkal/kg (setelah
fermentasi). Amri (2007) melakukan fermentasi pada BIS menggunakan Rhyzopus
oligosporus dan menggunakannya sebagai bahan penyusun pakan sebanyak 15%
dan 18% melaporkan hasil berupa peningkatan secara nyata pada konsumsi dan
pertambahan bobot badan ikan mas (Cyprinus carpio L). Jaelani (2007)
melaporkan bahwa penggunaan BIS yang difermentasi menggunakan kapang
Trichoderma reesei dapat dilakukan sampai taraf 15% dalam ransum ayam
pedaging tanpa mengganggu bobot badan, konsumsi dan konversi ransum serta
persentase bobot karkas. Selanjutnya dilaporkan bahwa kecernaan mannan
melalui fermentasi pada BIS mengalami peningkatan (dari 8.33% menjadi
fermentasi BIS selama 14 hari mampu memperbaiki nutrien dengan adanya
kecenderungan peningkatan komponen gula (55.8% menjadi 60.2%), protein
(16% menjadi 21.11%), energi bruto dari 2 610 kkal/kg menjadi 2 840 kkal/kg
dan menurunkan kandungan serat kasar dari 14.45% menjadi 9.17%. Selanjutnya
dilaporkan substitusi jagung dengan BIS fermentasi sampai 50% pada ayam
petelur (strain Isa Brown) umur 24 minggu tidak mempengaruhi konsumsi dan
efisiensi ransum serta produksi telur yang dihasilkan, namun hal tersebut nyata
menurunkan hen day production.
Cara lain meningkatkan nilai nutrisi pada BIS adalah dengan
menggunakan enzim. Iyayi dan Davies (2005) menyatakan bahwa penggunaan
enzim pada BIS sebagai penyusun ransum ayam pedaging mampu memperbaiki
beberapa komponen nutrien (protein, lemak dan serat), memberikan keuntungan
secara ekonomis dengan memecah ikatan polisakarida non pati dengan
meningkatkan kecernaan pada BIS. Sundu et al. (2006) menyatakan bahwa
penggunaan enzim komersial pada bungkil kelapa yang digunakan sebagai bahan
penyusun ransum ayam pedaging secara nyata meningkatkan kecernaan nutrien,
pertambahan bobot badan, konversi ransum dan konsumsi ransum. Ng dan Chong
(2002) melaporkan bahwa penggunaan enzim [Allzyme VegproTM (Alltech Inc.,
KY), RonozymeTM VP (Hoffmann-La Roche Ltd., Basel) dan mannanase
(Alltech Inc., KY)] juga mampu meningkatkan nilai nutrisi BIS. Selanjutnya
dinyatakan bahwa suplementasi enzim pada penggunaan BIS sampai taraf 40%
meningkatkan konsumsi dan efisiensi penggunaan protein ransum pada ikan Red
Hybrid Tilapia.
Penggunaan enzim komersil Gamanase dan Hemicell mannanase (Sundu
et al. 2004) dan PKCase-Alltech Inc., KY (Chong 1999) telah dilakukan untuk
meningkatkan nilai nutrisi BIS. Sundu et al. (2004) menyatakan bahwa
penambahan enzim pada BIS secara nyata meningkatkan efisiensi dan daya cerna
nutrien serta menurunkan viskositas nutrien dalam saluran pencernaan (jejunum).
Chong (1999) melaporkan bahwa penggunaan enzim PKCase secara nyata
mampu meningkatkan pelepasan gula-gula pada BIS, PKCase yang digunakan
mengandung aktifitas enzim masing-masing 107 000 U per g α-galactosidase, 2
per g mannanase. Penggunaan 2% enzim PKCase pada BIS secara nyata
meningkatkan pertambahan bobot badan pada ayam pedaging umur tiga minggu
dan energi termetabolis (AME dan TMEn), meningkatkan konsumsi ransum pada
ayam pedaging umur enam minggu.
Polisakarida Bukan Pati pada Bungkil Inti Sawit
Fraksi serat merupakan komponen utama penyusun dinding sel tanaman.
Umumnya penggunaan bahan pakan sumber karbohidrat asal nabati adalah yang
banyak mengandung pati. Kandungan karbohidrat berupa polisakarida seperti
selulosa, hemiselulosa, pentosan dan oligosakarida seperti stachiose dan raffinose
pada pakan unggas mempunyai nilai kecernaan yang rendah (NRC 1994).
Polisakarida bukan pati (PBP) merupakan komponen serat yang terdiri dari
selulosa dan polimer non selulosa. Polimer non selulosa ini terdiri dari
arabinoxylan, β-glucan, mannan, galactan dan xyloglucan (Choct 1996).
Düsterhöft (1992) mengemukakan struktur kimia BIS berupa ikatan mannosa
sebanyak 78%, 12% selulosa, arabinoxylans dan (4-O-methyl)-glucuronoxylans
masing-masing 3% menyebabkan penggunaan dalam ransum unggas menjadi
terbatas.
Chong (1999) melaporkan bahwa 57.1% dinding sel pada BIS merupakan
mannosa (dari mannan) dengan rataan sebesar 41.45%. Tafsin (2007) menyatakan
bahwa komponen gula dari polisakarida BIS tersusun dari galaktosa, glukosa dan
mannosa. Selanjutnya dinyatakan bahwa polisakarida pada BIS berupa ikatan
galaktomannan, dengan komponen terbanyak berupa manosa diikuti oleh
galaktosa dan glukosa. Kandungan mannosa yang terdapat pada ekstrak BIS
sebesar 49–74%. Dinyatakan lebih lanjut bahwa rasio komponen monosakarida
antara galaktosa dan mannosa pada ekstrak BIS dengan menggunakan pelarut
berupa akuades dan NaOH 0.05 N berkisar antara 1:1 sampai 1:5. Pendugaan
struktur ikatan β(1,4)-D-mannan pada dinding sel BIS menurut Tafsin (2007)
adalah struktur linear.
→ 4)-β-D-manp-(1→4)-β-D-manp-(1→4)-β-D-manp-(1→4)-β-D-manp-(1→4)-(1→ 6 6
↑ ↑ α-D-galp α-D-galp
Struktur mannan yang terdapat pada BIS merupakan struktur linear,
dimana rantai utama berupa –(1→ 4)-β-D-manp dan mempunyai rantai sisi α
-D-galp dengan ikatan (1 → 6). Rasio komponen galaktosa dan mannosa berdasarkan
hasil analisis komponen gula mendekati 1:3 (Gambar 2). Selanjutnya dilaporkan
bahwa dengan bermacam cara ekstraksi menunjukkan hasil yang berbeda pada
komponen gula (Tabel 5) yang terdapat dalam BIS (Tafsin 2007).
Tabel 5 Komponen gula pada bungkil inti sawit dengan beberapa metode ekstraksi
Bahan Ekstraksi Komponen gula (ppm) Mannosa
(%)
Galaktosa Glukosa Mannosa
Akuades 664.20 51.65 786.30 52.35
(13) (1) (15)
NaOH 0.05 N 607.50 68.58 666.10 48.80
(9) (1) (10)
NaOH 0.1 N 772.70 95.66 57.15 3.37
(8) (1) (0.6)
Akuades + Kaca 296.80 58.26 986.80 73.54
(5) (1) (17)
NaOH 0.05 N + Kaca 386.50 48.38 980.70 68.19
(8) (1) (20)
NaOH 0.1 N + Kaca 466.50 61.26 873.10 62.33
(8) (1) (14)
Keterangan : Angka dalam kurung menunjukkan rasio komponen gula terhadap glukosa berdasarkan analisis menggunakan HPLC (Tafsin 2007)
Kapang Pendegradasi Polisakarida
Mikroorganisma berupa yeast maupun kapang dapat ditemui secara
alamiah pada berbagai tempat, ada yang bersifat patogenik dan ada yang
menguntungkan, dengan karakteristik yang berbeda-beda (Barnett et al. 2000).
Nutrien yang terkandung pada media tumbuh (sebagai sumber karbon), juga
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisma. Dilaporkan
sejumlah mikroorganisma yang diisolasi dari tanah mampu menghasilkan enzim
endosulfan (Siddique et al. 2003). Beberapa jenis kapang menghasilkan enzim
pendegradasi ikatan polisakarida dinding sel tanaman telah dilakukan oleh peneliti
terdahulu. Beberapa diantaranya dengan menggunakan jenis kapang Postia
placenta (Clausen et al. 1991), Gloephyllum trabeum (Ritschkoff 1996),
Phanerochaete chrysosporium (Keller et al. 2003); Sclerotium rolfsii (Sachslehner
et al. 1998; Moussa & Tharwat 2007).
Penggunaan mikroba penghasil enzim pendegradasi polisakarida (berupa
selulosa, hemiselulosa, pektin dan xylan) telah banyak dilaporkan. Penggunaan
mikroba yang banyak digunakan adalah dari jenis kapang Aspergillus sp. (De
Vries & Visser 2001; La Grange et al. 2001; Iyayi 2004; Siregar & Mirwandhono
2004; Bauer et al. 2006; De Nicolás-Santiago et al. 2006; Nipa et al. 2006),
Penicillium sp. (Farrell et al. 1996 diacu dalam Sachslehner et al. 1998; Iyayi
2004), Rhyzopus oligosporus (Amri 2007); Saccharomyces serevisiae (La
Grange et al. 2001; Zhang 2005) serta Trichoderma reesei (Harjunpää 1998;
Nogawa et al. 1999; La Grange et al. 2001; Aro et al. 2001; Palonen 2004; Jaelani
2007).
Kapang yang digunakan dalam fermentasi substrat BIS dilaporkan oleh
beberapa peneliti dapat meningkatkan nilai nutrisi BIS. Jaelani (2007) melaporkan
bahwa fermentasi BIS menggunakan Trichoderma reesei menyebabkan kenaikan
kandungan ADF dan protein kasar, namun terjadi penurunan NDF dan
hemiselulosa serta penyusutan bahan kering. Aplikasinya dalam ransum ayam
pedaging menyebabkan peningkatan penggunaan energi (energi metabolis murni),
total gula dan peningkatan kecernaan mannan. Selanjutnya dinyatakan bahwa
penggunaan BIS hasil fermentasi T. reesei dapat digunakan dalam ransum ayam
pedaging sebanyak 15% tanpa mempengaruhi bobot badan, konsumsi dan
konversi ransum serta presentase karkas yang dihasilkan.
Amri (2007) melakukan fermentasi menggunakan Rhyzopus oligosporus
pada BIS dan menggunakannya sebagai bahan penyusun pakan ikan Mas
(Cyprinus carpio L). Penggunaan BIS fermentasi sebanyak 15% dan 18% secara
nyata meningkatkan konsumsi dan pertambahan bobot badan, angka konversi
pakan yang diperoleh tidak berbeda nyata dengan penggunaan 12% BIS tanpa
Tabel 6 Beberapa jenis kapang penghasil enzim mannanase
Organisma Suhu pH Substrat Aktivitas
Aplikasi Mannanase pada Pakan Unggas
Peningkatan nilai nutrisi dari proses fermentasi lebih diakibatkan oleh
aktivitas enzim yang diproduksi oleh kapang, yang mampu mendegradasi fraksi
polisakarida pada substrat yang digunakan pada proses fermentasi. Penggunaan
enzim secara sendiri-sendiri ataupun kombinasi beberapa enzim pendegradasi
serat pakan yang mengandung polisakarida bukan pati menunjukkan terjadinya
penurunan viskositas digesta (Gűnal & Yaşar 2004; Meng et al. 2004; Meng et al.
2005) dan meningkatkan nilai energi metabolis ransum serta peningkatan
kecernaan nutrien (Pettersson et al. 1990; Choct et al. 1995; Dänicke et al. 1997;
King & Moughan 1998; Choct et al. 1999; Whitehead 2000; Daskiran et al.
2004).
Penggunaan enzim mannanase komersial pada unggas dilakukan oleh
beberapa peneliti (Odetallah et al. 2002; Saki et al. 2005; Wu et al. 2005; Lee et
al. 2005; Maria et al. 2006). Menurut Jackson et al. (2004) bahwa penggunaan
hemicell (enzim β-mannanase) dengan dosis 50 MU per ton (1 MU = 106 unit)
memberikan respon terbaik pada pertambahan bobot badan (Saki et al. 2005; 5
kg/ton; strain Arian) dan konversi ransum pada ayam pedaging jantan strain Cobb.
Lee et al. (2003) melaporkan bahwa penggunaan enzim (β-mannanase) dapat
meningkatkan pertambahan bobot badan dan konversi ransum, selain itu juga
berpengaruh baik pada penurunan laju viskositas digesta pakan. Daskiran et al.
(2004) menambahkan bahwa terjadi peningkatan efisiensi penggunaan ransum,
daya cerna dan energi termetabolis pada pakan yang mengandung β-mannan
(Guar gum).
Penggunaan enzim (β-mannanase) yang dihasilkan oleh Bacillus subtilis
5H pada bungkil kelapa mampu menurunkan kandungan serat kasarnya sebesar
14% (dari 34.53% menjadi 20.53%) dan meningkatkan nilai energi metabolis
sebesar 18% (dari 3 218 menjadi 3 751 kkal/kg), namun terjadi peningkatan kadar
lemak (18.75% menjadi 29.25%) dan BETN (37.45% menjadi 42.10%).
Dilaporkan terjadi peningkatan daya cerna protein, serat kasar dan lemak.
Selanjutnya dinyatakan bahwa suplementasi enzim meningkatkan konsumsi dan
konversi ransum. Penggunaan bungkil kelapa dapat diberikan sampai level 20%
Penggunaan bungkil kelapa sawit sampai 40% dalam ransum dapat
dilakukan tanpa mempengaruhi pertambahan bobot badan dan konsumsi pakan.
Namun dilaporkan terjadi penurunan efisiensi penggunaan nutrien pada ransum
yang mengandung bungkil kelapa sawit 30–40%. Daya cerna nutrien pakan
(kecuali lemak) dan nilai viskositas juga menurun seiring dengan peningkatan
level bungkil kelapa sawit di dalam ransum. Penggunaan enzim mannanase pada
BIS secara nyata mampu meningkatkan daya cerna nutrien dan memperbaiki
angka konversi ransum pada ayam pedaging (Sundu et al. 2004).
Hubungan Enzim pada Pakan dengan Saluran Pencernaan Unggas
Hanya sedikit informasi yang menyebutkan di bagian mana enzim dapat
bekerja dan beraktivitas dengan pengaruh yang menguntungkan. Belum diketahui
peran enzim yang utama terdapat di bagian mana, apakah pada bagian tembolok,
proventriculus, gizzard, duodenum, ileum atau rectum, atau bahkan pada semua
bagian saluran pencernaan. Informasi ini akan menguntungkan karena akan
membantu dalam pemilihan dan penggunaan enzim yang sesuai dengan substrat
target pada kondisi tertentu yang terjadi di lapangan dengan hasil yang paling
tepat dan efisien. Jenis enzim yang digunakan untuk unggas misalnya, bisa sangat
berbeda kalau peran utamanya di bagian tembolok saja, jika dibandingkan dengan
bagian lain setelahnya (proventriculus atau lainnya), terutama sekali pada
hubungan antara kemampuannya untuk mensintesis protein dan kondisi keasaman
(pH) di saluran pencernaan dengan pH optimal aktivitas enzim yang diberikan.
Dengan demikian, perlu dipertimbangkan dalam aplikasinya, bahwa enzim
tertentu akan mempunyai kemampuan yang berbeda pada setiap jenis ternak
(Marquardt & Brufau 2007). Enzim yang diberikan pada pakan ternak unggas
hendaknya mampu dipertahankan stabilitasnya pada pH tertentu, mengingat
bahwa kondisi saluran pencernaan unggas di awal proses pencernaan pakan cukup
rendah (Gambar 3).
Suplementasi enzim pada makanan ternak selain meningkatkan kecernaan
pakan berserat pada unggas (Choct et al. 1995; Mathlouthi et al. 2002b;
Marquardt & Brufau 2007), penggunaannya juga mengurangi polusi lingkungan
yang ditimbulkan dari ekskreta yang dihasilkan seperti fosfat dan nitrogen
menguntungkan jika dilakukan pada bahan pakan yang memiliki energi metabolis
yang rendah, terutama pada pakan dengan kandungan polisakarida bukan pati
(PBP) yang larut dalam air yang tinggi. Pakan yang dimaksud biasanya
menghambat laju pertumbuhan. Selain dapat meningkatkan energi metabolis
pakan, penggunaan enzim dilaporkan dapat menurunkan ukuran saluran
pencernaan sehingga nutrien tercerna dapat diserap dengan mudah untuk
memenuhi kebutuhan ternak akan nutrien serta dapat meningkatkan status
kesehatan ternak (Mathlouthi et al. 2002b; Marquardt & Brufau 2007) dengan
cara menyeimbangkan mikroba yang menguntungkan dalam saluran pencernaan
(Choct et al. 1995; Mathlouthi et al. 2002b).
Gambar 3 Kondisi pH pada saluran pencernaan unggas (Gauthier 2002).
Energi Metabolis
Penentuan energi metabolis bahan makanan (Sibbald 1976; Sibbald 1979;
Sibbald 1983; Sibbald & Wolynetz 1985) pada ayam dilakukan dengan cara
mengukur selisih energi bruto pada pakan dan ekskreta yang dikoreksi dengan
energi bruto ekskreta endogenous ayam yang dipuasakan, disebut sebagai nilai
energi metabolis murni. Namun untuk mendapatkan nilai tersebut, pemberian
makanan pada ternak dilakukan secara paksa. Metode Sibbald dalam penentuan
energi metabolis memiliki keuntungan antara lain jumlah bahan makanan uji yang
dibutuhkan sedikit, melibatkan sedikit analisis kimia, waktunya singkat dan biaya
Metode lain yang dapat dilakukan adalah metode konsumsi secara sukarela
untuk menentukan nilai energi metabolis murni dengan pemberian pakan selama
4–6 jam (Parsons et al. 1984). Sebelumnya Farrel (1978) mengembangkan suatu
metode untuk menentukan energi metabolis semu pada ayam yang dilakukan
dengan memberikan masa adaptasi pakan pada ayam percobaan untuk
menghabiskan bahan makanan (berbentuk pellet sebanyak 70–100 g) dalam waktu
satu jam.
Sibbald (1979) menyatakan bahwa nilai energi metabolis semu diperoleh
dari selisih kandungan energi pakan dengan energi yang terkandung pada ekskreta
(feses dan urin). Energi metabolis semu terkoreksi nitrogen (EMSn) menggunakan
energi bruto pada ekskreta ayam yang dipuasakan sebagai nilai untuk mengoreksi
penentuan nilai energi metabolis. Hal ini berkaitan dengan adanya produk dari
aktivitas saluran pencernaan dalam mencerna dan menyerap nutrien berupa fecal
metabolic dan urinary endogenous energy excretions (NRC 1994) yang
dipengaruhi oleh umur dan jenis unggas. Hill dan Anderson yang diacu dalam
NRC (1994) mengasumsikan bahwa sebagian nitrogen yang tidak diretensi akan
keluar dalam bentuk asam urat, sedangkan nitrogen yang teroksidasi secara
sempurna (nitrogen yang ter-retensi) memiliki nilai energi yang setara dengan
8.22 kkal/g nitrogen.
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kandungan energi metabolis
antara lain; variasi dan karakteristik sumber bahan pakan unggas baik secara fisik
maupun kimia, pengaruh musim dan fase pertumbuhan, pengolahan terhadap
pakan, saat pemanenan, kondisi dan lama waktu penyimpanan. Kandungan energi
dan protein yang tersedia ditentukan juga oleh anti nutrisi berupa polisakarida
bukan pati (PBP), tannin, alkyl resorcinol, protein inhibitor, α-amilase inhibitor,
senyawa alkaloid, phytohaemagglutinin, saponin dan lathyrogen (Hughes 2003).
Polisakarida bukan pati yang terkandung pada pakan mempunyai pengaruh
terhadap saluran pencernaan (Iji 1999; Hughes 2003) terutama pada struktur dan
fungsinya (Iji et al. 2001). Kandungan PBP yang tidak dapat dicerna pada pakan
menentukan nilai energi dan nutrien lain yang dapat dicerna (Hughes & Choct
Nilai energi metabolis dipengaruhi oleh penggunaan asam-asam amino
dalam tubuh, misalnya untuk sintesa protein sebagai sumber energi (Tillman et al.
1991). Ransum yang menggunakan sumber energi berupa minyak nabati yang
tinggi dilaporkan mempunyai nilai kecernaan lemak, protein dan energi metabolis
terkoreksi nitrogen yang lebih baik daripada ransum yang menggunakan sumber
energi berupa karbohidrat yang tinggi (Adrizal et al. 2002). Sakomura et al.
(2005) melaporkan bahwa keakuratan dalam prediksi penentuan kebutuhan energi
metabolis harian dipengaruhi oleh temperatur lingkungan pemeliharaan, yang
dapat mempengaruhi komposisi tubuh dan efisiensi penggunaan energi untuk
protein dan deposisi lemak. Konsumsi ransum dan keseimbangan energi
termetabolis pada ayam pedaging juga dipengaruhi oleh lama waktu terang
(Ohtani & Leeson 2000).
Nilai energi metabolis (kkal/kg) semu, energi metabolis semu terkoreksi
nitrogen, energi metabolis sejati dan energi metabolis sejati terkoreksi nitrogen
pada BIS hasil fermentasi menggunakan T. reesei secara nyata lebih tinggi
daripada BIS yang tidak difermentasi (Jaelani 2007). Menurut Sibbald (1989),
nitrogen endogenous merupakan nitrogen yang terkandung dalam ekskreta yang
berasal dari selain bahan pakan, yakni berasal dari peluruhan sel mukosa usus,
empedu dan berbagai saluran pencernaan lainnya.
Penampilan Produksi Unggas dan Faktor yang Mempengaruhinya
Pertumbuhan unggas dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya yaitu;
kandungan energi dan protein dalam ransum (Smith & Pesti 1998; Corzo et al.
2005a; Forbes 2007) serta imbangan nutrien (Hidalgo et al. 2004; Corzo et al.
2005a; Corzo et al. 2005b). Kandungan PBP sebagai anti nutrisi (Choct & Kocher
2000) dapat menurunkan proses pencernaan dan penyerapan nutrien; temperatur
lingkungan (Yalcin et al. 1997; Cooper & Washburn 1998; Pope & Emmert 2002;
Laganá et al. 2007); strain unggas (Yalcin et al. 1997; Smith & Pesti 1998); jenis
kelamin (Corzo et al. 2005a) dan sumber energi dan protein pakan (Shelton et al.
2005) dan faktor lain seperti kerusakan atau hilangnya nutrien dalam saluran
Konsumsi Ransum
Konsumsi ransum didefinisikan sebagai jumlah ransum yang dimakan
dalam jangka waktu tertentu dengan tujuan untuk dapat hidup, meningkatkan
bobot badan dan berproduksi. Amrullah (2003) menyatakan bahwa kandungan
energi ransum berpengaruh terhadap konsumsi ransum, semakin tinggi kandungan
energi ransum akan menurunkan konsumsi dan sebaliknya. NRC (1994)
menyatakan bahwa selain kandungan energi, imbangan nutrien, sifat bulky pakan
dan temperatur akan mempengaruhi konsumsi ransum pada unggas. Konsumsi
ransum unggas dipengaruhi oleh fase pertumbuhan, compensatory growth
(pembatasan pemberian pakan, penyakit, percepatan laju pertumbuhan dan stres
lingkungan), genetik, kandungan energi (lemak) pakan, protein dan keseimbangan
nutrien dalam ransum, penambahan feed additive, temperatur lingkungan,
photoperiod (lama waktu terang), rasa lapar, sirkulasi udara dalam kandang dan
stocking density (Forbes 2007).
Ayam pedaging strain Cobb 500 memiliki keunggulan dalam penggunaan
protein ransum dibandingkan strain Ross, dimana pada fase starter, grower dan
finisher membutuhkan protein sebesar 22.65%, 19.65% dan 18.46%. Strain Ross
membutuhkan protein yang lebih tinggi yaitu 24.62%, 22.68% dan 20.35% untuk
masing-masing fase pertumbuhan, sehingga pemeliharaan ayam pedaging strain
Cobb 500 lebih ekonomis daripada strain Ross ditinjau dari biaya pakan yang
harus dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan protein ransum (Anonimous 2006).
Leeson dan Summers (2005) merekomendasikan kebutuhan nutrisi pada pakan
ayam pedaging strain Cobb dengan low density nutrient fase starter dengan
kandungan energi metabolis sebesar 2 850 kkal/kg, protein kasar (21%), kalsium
(0.95%), fosfor tersedia (0.45%), metionina (0.45%), metionina-sistina (0.90%)
dan lisina (1.20%). Untuk fase grower, kebutuhan nutrisinya adalah: energi
metabolis sebesar 2 900 kkal/kg, protein kasar (19%), kalsium (0.90%), fosfor
tersedia (0.41%), metionina (0.40%), metionina-sistina (0.81%) dan lisina
(1.08%).
Konversi Ransum
Konversi ransum merupakan perbandingan antara jumlah ransum yang di
tertentu; semakin kecil angka konversi yang diperoleh, maka semakin baik
efisiensi penggunaan pakan. Pertambahan umur ayam menyebabkan angka
konversi ransum juga semakin meningkat (McKinney & Teeter 2004). Konversi
ransum dipengaruhi oleh imbangan energi dan protein ransum, penambahan feed
additive, temperatur lingkungan, pembatasan waktu makan dan serangan penyakit
(Forbes 2007). Ayam pedaging jantan strain Cobb (Cobb 500) sampai minggu ke
lima pemeliharaan mampu mencapai bobot badan seberat 2 189 kg dengan rataan
pakan sebanyak 189 g per hari; PBB 62.6 g per hari dan rataan konversi ransum
sebesar 2.03. Sedang yang betina mampu mencapai bobot badan seberat 1 909 kg
dengan rataan pakan sebanyak 170 g per hari; PBB 54.5 g per hari dan rataan
konversi ransum sebesar 2.25 (Anonimous 2004). Sumber energi dan protein
ransum yang digunakan juga mempengaruhi konversi ransum (Pirgozliev et al.
2002). Meningkatnya kandungan polisakarida bukan pati (PBP) yang tidak dapat
dicerna dalam ransum juga akan menurunkan nilai energi metabolis dan
meningkatkan angka konversi ransum, hal ini terjadi karena PBP menyebabkan
viskositas pakan meningkat sehingga kesempatan penyerapan nutrien menjadi
semakin singkat (Choct et al. 1996).
Histologi Usus Unggas
Gauthier (2002) menyatakan bahwa gastrointestinal tract (GIT) atau
saluran pencernaan mempunyai dua fungsi utama yaitu sebagai; (1) pencerna dan
penyerap nutrien dan (2) pemelihara dan pertahanan terhadap infeksi mikrobial
dan viral. Dinyatakan lebih lanjut bahwa terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi performa GIT yaitu; status kesehatan (saluran pencernaan) ternak,
perangsangan terhadap kekebalan tubuh, lingkungan, kualitas dan kandungan
nutrien pakan, ada tidaknya zat yang bersifat toksin, keseimbangan mikroflora,
sekresi endogenous, zat aditif dan lain sebagainya. Dibner dan Richards (2004)
menyatakan bahwa usus halus ternak unggas relatif sederhana dan pendek,
namum memiliki efisiensi yang tinggi, dibagi atas tiga bagian yaitu duodenum,
jejunum dan ileum. Bagian jejunum merupakan tempat terjadinya pencernaan dan
penyerapan nutrien terbanyak. Selaput lendir di lumen usus halus memiliki jonjot
yang lembut dan menonjol seperti jari yang disebut dengan villi, yang berfungsi
Pada usus halus terjadi pergerakan peristaltik yang berperan dalam
pencampuran digesta dengan cairan pankreas dan empedu. Usus halus bagian
kripta lieberkűhn menghasilkan enzim amilase, protease dan lipase yang berfungsi
untuk memecah nutrien menjadi komponen yang lebih sederhana sehingga mudah
untuk diserap tubuh (Moran 1985), usus halus juga mencerna secara kimiawi dan
mentransfer material pakan dari lumen ke pembuluh darah dan limpa.
Vili terdapat di usus halus yang berfungsi untuk memperluas permukaan
penyerapan nutrien, sekresi mukus oleh sel Goblet dan sekresi hormon oleh sel
enteroendokrin. Selanjutnya dinyatakan bahwa dalam status kesehatan yang baik,
sel limfosit sebagai antibodi dalam plasma sel disekresikan ke bagian lamina
propria dan diteruskan ke bagian mukus vili usus, dimana produksi antimikroba
oleh sel-sel Paneth terjadi pada bagian dasar vili yang disebut dengan crypth. Sel
Goblet mempunyai polarisasi yang tinggi dengan mensekresikan membran yang
melindungi bagian dalam lumen usus, berupa glycoprotein yang disebut juga
dengan mucin (mengandung gula, mineral dan lectin)yang merupakan komponen
terbesar penyusun lapisan mukus pada usus yang berfungsi untuk melindungi usus
dari perlukaan secara mekanik, asam lambung serta melindungi usus dari serangan
mikroba dan virus yang bersifat patogen. Mekanisme pertahanan terhadap patogen
dilakukan oleh kelompok protein yang terdapat pada mukus yang disebut
defensin yang disekresikan oleh sel Paneth (Dibner & Richards 2004).
Selanjutnya dinyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi kondisi usus
halus (sel Goblet) adalah pakan, jika pakan yang dikonsumsi mempunyai kualitas
baik dan tidak mengandung racun maka usus akan berada dalam kondisi yang
cukup baik untuk melakukan fungsinya dalam mencerna dan menyerap makanan,
dalam arti lain bahwa usus akan merespon setiap pakan yang diberikan.
Menurut Uni et al. (2003), lama waktu akses unggas yang baru menetas
pada pakan selama 48 jam meningkatkan jumlah (densitas) dan memperbesar
ukuran sel Goblet dan produksi mucin pada usus halus (jejunum) dan menurunkan
luas permukaan villi. Choct (1996) menyatakan bahwa polisakarida bukan pati
(PBP) mempengaruhi aktivitas saluran pencernaan dan interaksinya dengan
mikroflora usus, termasuk penyerapan nutrien dan viskositas digesta meningkat,
al. (2002a) melaporkan bahwa suplementasi enzim pada pakan berserat dapat
meningkatkan ukuran vili dan rasio antara tinggi vili dengan crypt depth pada
Kerangka pemikiran pada penelitian ini dijabarkan dalam beberapa
tahapan kegiatan percobaan seperti pada diagram berikut.
Gambar 4 Alur tahapan percobaan.
Pendahuluan Persiapan substrat isolasi kapang dan produksi enzim, serta substrat
pengujian enzim (mannanase)
Penambahan enzim pada bungkil inti sawit
• Total gula terlarut
• Energi metabolis
Isolasi kapang
Produksi enzim
Pengukuran aktivitas enzim
Mannanase Filter Paper (FP)-ase
Seleksi isolat terbaik
Karakterisasi enzim
Tahap 1
Tahap 2
Tahap 3 Penggunaan bungkil inti sawit yang ditambahan enzim dalam ransum ayam pedaging
• Konsumsi, pertambahan bobot badan, konversi ransum
• Bobot relatif dan panjang relatif organ pencernaan
Percobaan ini terdiri atas tiga tahap (Gambar 4) meliputi: (1) isolasi
kapang, produksi dan pengukuran aktivitas enzim; (2) penambahan filtrat enzim
terhadap nilai nutrisi bungkil inti sawit (BIS); dan (3) penggunaan BIS yang
ditambahkan enzim dalam ransum ayam pedaging.
Tahap 1 : Isolasi Kapang, Produksi dan Pengukuran Aktivitas Enzim
Percobaan ini dilakukan untuk mendapatkan filtrat enzim dengan aktivitas
terbaik yang diproduksi oleh kapang yang berhasil diisolasi dari tanah dan sampel
(ampas) BIS yang telah mengalami pelapukan, dengan metode submerged
fermentation (pada medium cair).
Persiapan Substrat dan Polisakarida Mengandung Mannan dari BIS
Tahapan pendahuluan untuk memperoleh substrat fermentasi berupa
ampas BIS dari proses isolasi protein BIS (Yatno 2009) dan polisakarida mannan
dari BIS seperti terlihat pada Gambar 5. Hasil ekstraksi berupa cairan kemudian
dipekatkan dengan cara penguapan pada ruang tertutup menggunakan lampu pijar
sebagai sumber pemanas (41 ºC) selama 3 hari. Kemudian dilakukan dialisis
terhadap sampel dengan pelarut berupa akuades, kemudian dilakukan sentrifugasi
(12 000 G) selama 15 menit (Syahruddin 2009).
Isolasi Kapang
Sampel berupa ampas BIS yang dibiarkan pada suhu kamar selama
beberapa hari (sampai terlihat tanda-tanda kerusakan biologis/ditumbuhi kapang)
dan sampel tanah. Isolasi kapang dilakukan pada medium kultur, mengacu pada
Ramli et al. (1994) menggunakan media dan bahan campuran sebagai berikut:
0.05% K2HPO4; 0.05% KH2PO4; 0.05% MgSO4.7H2O; 0.05% KCl; 0.1%
(NH4)2SO4; 0.001% FeSO4.7H2O; dan 0.001% MnSO4 yang dilarutkan ke dalam
Gambar 5 Preparasi substrat dan polisakarida mannan dari bungkil inti sawit untuk proses fermentasi dan pengujian aktivitas mannanase.
Tahapan isolasi dan pemurnian kapang (Gambar 6) dilakukan dengan
memasukkan sampel tanah/ ampas BIS ke dalam tabung reaksi (15 cm; Ø 1.6 cm)
berisi akuades steril dengan perbandingan 1:10 (b/v). Larutan dihomogenisasi
menggunakan vortex mixer. Sebanyak 1% larutan tersebut dimasukkan ke dalam
kultur medium cair (v/v = 0.1:9.9 mL) yang mengandung 2% ampas BIS sebagai
satu-satunya sumber karbon dalam tabung reaksi. Kulturisasi kapang dilakukan
selama 4 hari pada suhu ruangan (30 oC) dengan goyangan (80 rpm). Pada akhir
masa inkubasi, sebanyak 1 lup diambil dari masing-masing kultur, lalu
ditumbuhkan pada media PDA (Potatoes Dextrose Agar) pada cawan petri (agar
plate) secara steril dalam laminar flow menggunakan metode Streak plate
Autoclave (121 ºC; 15 menit)
Penambahan 400 mL NaOH (1N) Pendinginan sampai dengan suhu kamar
Pemekatan,
Penambahan 400 mL asam asetat (0.05 N)