commit to user
COLLABORATIVE GOVERNANCEKOMISI PENANGGULANGAN AIDS
DAN LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT LOKAL DALAM KASUS
HIV/AIDS DI KOTA SURAKARTA
Disusun Oleh : Asri Swastini
D0106036
SKRIPSI
Disusun Guna Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai
Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Politik
Jurusan Ilmu Administrasi
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET
commit to user
ii
HALAMAN PERSETUJUAN
Telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Pembimbing
commit to user
HALAMAN PENGESAHANTelah diuji dan disahkan oleh Panitia Penguji Skripsi
Jurusan Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada Hari : Senin
Tanggal : 20 Desember 2010
Panitia Ujian Skripsi
1. Drs. Sonhaji, M.Si (Ketua)
NIP. 195912061988031004
2. Drs. Muchtar Hadi, M.Si (Sekretaris)
NIP. 195303201985031002
3. Drs. Sudarmo, M.A, Ph.D (Penguji)
NIP. 196311011990031002
Mengetahui,
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
commit to user
iv MOTTO
“TUHAN adalah gembalaku, takkan kekurangan aku. IA membaringkan
aku di padang yang berumput hijau, IA membimbing aku ke air yang tenang; IA
menyegarkan jiwaku.
IA menuntun aku di jalan yang benar oleh karena nama-NYA Sekalipun
aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab ENGKAU
besertaku; gadaMU dan tongkatMU, itulah yang menghibur aku.
ENGKAU menyediakan hidangan bagiku, di hadapan lawanku; ENGKAU
mengurapi kepalaku dengan minyak; pialaku penuh melimpah.
Kebajikan dan kemurahan belaka akan mengikuti aku, seumur hidupku;
commit to user
PERSEMBAHANSpecial Thanks for :
Sahabatku yang begitu setia, tak pernah meninggalkanku,
Memberi aku kekuatan yang memampukanku untuk tetap berjuang,
Terima kasih Tuhan Yesus buat semua penyertaanMu yang sangat luar biasa di hidupku…
Karya sederhana ini kupersembahkan kepada :
- Ibuku terkasih, atas segala cintanya yang begitu tulus dan terima kasih sudah
menjadi ibu sekaligus bapak yang hebat bagiku
- Semua mas dan mbakku yang kukasihi
- Ketujuh keponakan kecilku (Lintang, Jovan, Carissa, Deo, Kyla, Melody, dan Grace)
yang selalu berhasil membuatku bersemangat kembali
commit to user
vi
KATA PENGANTAR
Dengan segala kerendahan hati senantiasa penulis mengucapkan syukur
kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan kasih dan karunia-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, dengan judul
“COLLABORATIVE GOVERNANCE KOMISI PENANGGULANGAN AIDS DAN LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT LOKAL DALAM KASUS
HIV/AIDS DI KOTA SURAKARTA”.
Berbagai hambatan dan pengalaman menjadi pengalaman yang berharga
bagi penulis sebagai bagian dari proses penyelesaian studi di kampus. Berkat
bantuan dan dukungan dari berbagai pihaklah akhirnya skripsi ini dapat selesai.
Oleh karena itu, atas segala bantuan, bimbingan dan arahan yang telah diberikan
kepada penulis, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Drs. Sudarmo, M.A, Ph.D selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan masukan dan arahan yang sangat bermanfaat.
2. Bapak Drs. Harsojo Soepodo, SH, MM selaku sekretaris penuh waktu KPA
Surakarta yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan
penelitian di KPA Surakarta.
3. Bapak Drs. Prawoto Mujiyono selaku pengelola program KPA Surakarta atas
segala kebaikan hati, keramahan, informasi, kesediaan waktu dan keterbukaan
selama penelitian di KPA.
4. Ibu Hariyanti, A.Md selaku pengelola administrasi KPA yang telah sangat
commit to user
5. Semua manajer program dan staf LSM-LSM Peduli Aids Kota Surakarta :
LSM Kakak, LSM SpekHam, LSM Gessang, LSM Mitra Alam, dan LSM
Graha Mitra atas segala kerja sama dan keterbukaan informasi yang
diberikan.
6. Keluarga besar AN’06 atas pertemanan yang mengesankan.
7. Semua sahabat OSPAMA yang selalu memberi dukungan.
8. Seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam penelitian ini, yang tidak
bisa disebut satu persatu
Penulis menyadari masih banyak kelemahan dan kekurangan dari skripsi
ini karena adanya keterbatasan teknik dan pengetahuan penulis. Oleh karena itu,
segala saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan dan
semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi semua yang membacanya.
Surakarta, Desember 2010
commit to user
B.Kolaborasi Pemerintah dalam Upaya Penurunan Angka HIV/AIDS… 43
C.Kerangka Berpikir……….. 43
BAB III METODE PENELITIAN A.Lokasi Penelitian……… 46
B.Jenis Penelitian……… 48
C.Sumber Data……… 49
D.Teknik Pengumpulan Data……….. 50
E.Metode Penarikan Sampel……… 52
F. Teknik Analisis Data……… 53
G.Validitas Data……….. 55
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. HasilPenelitian………. 58
B.Pembahasan………. 75
BAB V PENUTUP A.Kesimpulan……… 97
B.Saran……… 100 DAFTAR PUSTAKA
commit to user
x
DAFTAR GAMBAR
Hal
Gambar 2.1……… 45
commit to user
DAFTAR TABELHal
Tabel 1.1……… 3
commit to user
xii ABSTRAKSI
ASRI SWASTINI. D0106036. Collaborative Governance Komisi Penanggulangan Aids dan Lembaga Swadaya Masyarakat Lokal dalam Kasus HIV/AIDS di Kota Surakarta, Skripsi. Jurusan Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2010.
Komisi Penanggulangan Aids Surakarta (KPA) berkolaborasi dengan Lembaga Swadaya Masyarakat lokal (LSM) peduli Aids melakukan secara aktif tugas mereka untuk menurunkan angka penderita Aids. Dalam proses kolaborasi diantara mereka KPA tidak bekerja secara efektif tetapi bergantung pada LSM lokal peduli Aids dalam pencarian data dan penjangkauan kelompok sasaran. KPA tidak mendukung dalam pendanaan terhadap LSM lokal tetapi pihak LSM dalam operasionalnya dapat bertahan melalui bantuan dana dari lembaga donor internasional. Pihak LSM lokal merasa KPA tidak bekerja signifikan dalam penurunan angka penderita Aids.
commit to user
ABSTRACTASRI SWASTINI. D0106036. Collaborative Governance of The Aids Prevention Commission and The Local Non-Government Organizations in Cases HIV/AIDS in Surakarta, Bachelor Thesis. The Department of Public Administration. Faculty of Social and Political Science, Sebelas Maret University, Surakarta. 2010
The Aids Prevention Commission called Komisi Penanggulangan Aids (KPA) in collaboration with any other local Non-Government Organizations
(NGO’s) caring on Aids in Surakarta have activily conducted their tasks to
alleviate the number of people suffering from Aids. In the process of collaboration among them, the KPA could not work effectivily but it is highly dependent on the
local NGO’s in particaly in collecting data and reaching the targeted group. The
KPA itself did not provide any financial support to the local NGO’s that in fact
their survival is highly dependent on the overseas funding agencies. The local
NGO’s themselves felt that the KPA did not significat work in alleviateing the
number of people with Aids. This research used triangulation ethnography methods, consisting of some qualitative methods including observation, in-depth interview, and documentation. It used combined purposive and snow-ball samplings in the data collection. The research concludes that collaboration
commit to user
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penyakit HIV/AIDS bukanlah jenis penyakit baru dalam dunia kesehatan.
Penyakit ini telah dikenal cukup lama dimana saat ini keberadaannya semakin
meluas dan dapat menyerang siapapun. AIDS adalah singkatan dari Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome yaitu sekumpulan gejala dan infeksi (atau: sindrom) yang timbul karena rusaknya
sistem kekebalan tubuh manusia.
Sekitar 170.000 sampai 210.000 dari 220 juta penduduk Indonesia
mengidap HIV/AIDS. Perkiraan prevalensi keseluruhan adalah 0,1% di seluruh
negeri, dengan pengecualian Provinsi Papua, di mana angka epidemik
diperkirakan mencapai 2,4%, dan cara penularan utamanya adalah melalui
hubungan seksual tanpa menggunakan pelindung. (www.rri.co.id/2009/06/05)
Jumlah kasus kematian akibat AIDS di Indonesia diperkirakan mencapai
5.500 jiwa. Epidemi tersebut terutama terkonsentrasi di kalangan pengguna obat
terlarang melalui jarum suntik dan pasangan intimnya, orang yang berkecimpung
dalam kegiatan prostitusi dan pelanggan mereka, dan pria yang melakukan
hubungan seksual dengan sesama pria. Sejak 30 Juni 2007, 42% dari kasus AIDS
yang dilaporkan ditularkan melalui hubungan heteroseksual dan 53% melalui
penggunaan obat terlarang. (www.rri.co.id/2009/06/05)
Berdasarkan hal ini, maka permasalahan HIV/AIDS merupakan
oleh Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional dan memiliki Strategi
Penanggulangan AIDS Nasional untuk wilayah Indonesia. Ada 79 daerah prioritas
di mana epidemi AIDS sedang meluas. Daerah tersebut menjangkau delapan
provinsi: Papua, Papua Barat, Sumatra Utara, Jawa Timur, Jakarta, Kepulauan
Riau, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Program-program penanggulangan AIDS
menekankan pada pencegahan melalui perubahan perilaku dan melengkapi upaya
pencegahan tersebut dengan layanan pengobatan dan perawatan.
(www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2009/05/06)
Diantara 8 provinsi yang diprioritaskan tersebut salah satunya adalah
provinsi Jawa Tengah. Dalam konteks provinsi Jawa Tengah perkembangan
penyebaran HIV dan AIDS semakin mengkhawatirkan dari tahun ke tahun
sehingga dapat mengancam kesehatan masyarakat dan kelangsungan hidup
manusia. Human Immunodeficiency Virus (HIV) penyebab Acquired Immuno deficiency Syndromeatau Acquired Immune Deficiency Syndrome(AIDS) adalah virus perusak sistem kekebalan tubuh manusia yang proses penularannya sulit
dipantau, meningkat secara signifikan dan tidak mengenal batas wilayah,
pekerjaan, usia, status sosial, dan jenis kelamin.
(http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2009/05/06).
Berdasarkan data yang diperoleh dari Komisi Penanggulangan Aids (KPA)
Kota Surakarta sangat terlihat bahwa HIV/AIDS dapat terjadi pada siapapun. Kota
Surakarta sendiri sebagai salah satu kota yang ada di provinsi Jawa Tengah
menempati posisi nomor dua setelah kabupaten Banyumas untuk urusan jumlah
Manajer Program The Global Fund-AIDS Tuberculosis Malaria District
Implementing Surakarta Titiek Kadarsih, hal itu harus dipandang dari sisi positif
bahwa gunung es penderita HIV/AIDS di Kota Surakarta semakin terungkap.
"Kami menargetkan pada 2015 bisa terungkap semua gunung es, mencapai 860
penderita HIV/AIDS. Jika jumlahnya lebih banyak dari itu, berarti program yang
kami kerjakan saat ini tidak tepat. Kami justru ingin menemukan
sebanyak-banyaknya penderita agar bisa diobati untuk mencegah penularan lebih besar,"
kata Titiek. Sejak Oktober 2005-Maret 2010, di Surakarta ditemukan 365 kasus
HIV/AIDS dengan 106 di antaranya meninggal. Dari jumlah penderita HIV/AIDS,
persentase terbesar ditempati wanita pekerja seksual (WPS) sebanyak 149 orang
dan ibu rumah tangga sebanyak 74 orang. (http://www.cetak.kompas.com)
Tabel 1.1 Hasil Pemetaan Data Populasi Kunci KPA Maret 2010 Kel Risiko Estimasi Data Lap Dijangkau Gap ODHA
Penasun (Idus) 270 1.309 753 556 69
WPS langsung 1.310 4.307 2.863 1.444 39
Pelanggan WPS 24.350 40.474 38.675 1.799 149
Waria 80 103 103 11 6
MSM/LSL 2.510 1.168 900 268 27
Ibu RT/Anak 74
PLHIV/ODHA 860 331 156 104 364
Sumber : Data Cakupan Maret 2010, KPA Kota Surakarta
Dari tabel tersebut dapat dilihat perkembangan kasus HIV/AIDS di Kota
Surakarta. Sampai bulan Maret 2010 ini masih terus ditemukan kasus-kasus
pengguna narkoba suntik, WPS atau wanita pekerja seks, pelanggan WPS, waria,
LSL atau laki-laki seks dengan laki-laki, sampai ibu-ibu rumah tangga dan atau
anaknya. Dari hasil pemetaan data populasi kunci yang dilakukan oleh KPA kota
Surakarta, masih terjadi gap antara estimasi, data lapangan, dan yang telah
berhasil dijangkau oleh KPA maupun LSM-LSM peduli Aids yang ada di kota
Surakarta. Gap atau selisih jumlah inilah yang menguatkan asumsi bahwa masih
banyak kasus-kasus HIV/AIDS yang belum tersentuh oleh pemerintah ataupun
institusi sosial lainnya.
Selain itu, klien HIV/AIDS kota Surakarta juga terus meningkat bahkan
dengan cukup cepat dan berkali lipat. Masih berdasarkan data cakupan Maret
2010 KPA kota Surakarta, pada bulan Oktober 2005 jumlah penderita HIV yang
tercatat hanya 2 orang saja dan terus meningkat dari waktu ke waktu sekitar 15
kali lipat hingga berjumlah 30 orang pada tahun 2009, dan sudah ada 8 penderita
HIV baru yang tercatat sampai bulan Maret 2010 ini. Sedangkan untuk penderita
AIDS peningkatannya jauh lebih cepat. Pada Oktober 2005, hanya tercatat 2 orang
penderita dan terus meningkat sampai pada tahun 2009 ditemukan ada 73
penderita AIDS. Itu berarti terjadi pelipatgandaan sampai lebih dari 36 kali, dan
telah ditemukan 11 kasus penderita AIDS baru di bulan Maret 2010. (Sumber : Data Cakupan Maret 2010, KPA Kota Surakarta)
Semakin tingginya angka HIV/AIDS di Kota Surakarta disinyalir karena
masih rendahnya kesadaran masing-masing stakeholders untuk giat melakukan sosialisasi pada wilayah kerja mereka, dan rendahnya kesadaran dari masyarakat
Selama ini, HIV/AIDS memang masih kalah populer dibanding kasus demam
berdarah meskipun sama-sama fatal akibatnya.
Untuk tahun 2010 ini anggaran yang diberikan dari APBD Surakarta untuk
program penanggulangan HIV/AIDS hanya sebesar 75 juta saja. Hal ini sangat
kecil dibanding dengan dana LSM yang berasal dari lembaga donor luar negeri,
bisa mencapai 1 miliar satu tahun untuk 5 kabupaten/kota.
Di tingkatan pusat, pemerintah memiliki Komisi Penanggulangan AIDS
Nasional yang yang berfokus pada upaya penanganan HIV/AIDS di seluruh
Indonesia, selanjutnya KPA Nasional ini memiliki cabang-cabang baik di tingkat
provinsi maupun kabupaten/kota. KPA Surakarta merupakan instansi independen
yang bertugas sebagai koordinator penanganan HIV/AIDS di kota Surakarta.
Semua Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Kota Surakarta menjadi anggota
KPA, meliputi semua dinas yang ada di Kota Surakarta, organisasi profesi seperti
IDI, Persatuan Perawat, Organda, Apindo, dan lain-lain, dan LSM peduli AIDS
yang ada di Kota Surakarta yaitu Mitra Alam (Injeksi Drug User), SpekHam
(WPS dan pelanggan), Graha Mitra (Waria), Gessang (Gay), dan Yayasan Kakak
(Anak yang Dilacurkan) sehingga diharapkan semua komponen ini bisa
mengkomunikasikan dan menginformasikan tentang bahaya HIV/AIDS.
Berdasarkan hal ini, maka KPA merupakan koordinator utama upaya penanganan
HIV/AIDS di kota Surakarta dimana selanjutnya KPA Surakarta bekerjasama
dengan stakeholders lain dengan tujuan penanggulangan HIV/AIDS dapat jauh lebih efektif. Tugas KPA hanya sebagai koordinator. Hal ini diperkuat melalui
“KPA itu tugasnya adalah untuk mengkoordinir kegiatan-kegiatan yang ada di daerah ini yang berkaitan dengan pencegahan, penanggulangan sehingga akan terwujud penurunan angka HIV. Koordinator supaya upaya kegiatan itu berjalan lancar. KPA kan bukan lembaga implementer tapi
koordinator.”
Program yang dimiliki KPA selama ini antara lain sosialisasi kepada
masyarakat maupun kelompok-kelompok beresiko melalui berbagai media,
penjangkauan pada kelompok-kelompok beresiko untuk mau memeriksakan
kesehatannya baik ke klinik IMS (inveksi menular seksual) yang ada di
puskesmas Manahan dan Sangkrah maupun ke klinik VCT (voluntary counseling and testing) yang ada di RS. Dr. Moewardi dan RS. Dr. Oen, training PE (peer educator) atau kelompok dampingan sebaya yang akan mensosialisasikan bahaya HIV/AIDS di kelompok mereka masing-masing dan training PO (peer outreach) atau petugas penjangkau yang bertugas mengarahkan teman sebaya untuk mau
periksa ke IMS dan VCT. Perkembangan kondisi terbaru kasus-kasus HIV/AIDS
di Surakarta dapat selalu dipantau oleh KPA karena KPA sebagai koordinator,
mengkoordinasi klinik-klinik dan LSM-LSM peduli Aids yang ada di Surakarta
untuk memberikan laporan bulanan kepada KPA yang selanjutnya akan
dilaporkan kepada walikota.
Kerjasama yang terjalin antara KPA dengan stakeholders lain selama ini masih hanya sebatas kesepakatan bersama, sehingga terkadangstakeholdersyang lain merasa tidak terlalu menganggap penting untuk ikut berperan aktif
menurunkan angka HIV/AIDS di Kota Surakarta atau setidaknya aktif dan
berperan menjangkau kelompok-kelompok beresiko tinggi terkena HIV/AIDS dan
sosialisasi kepada masyarakat.
Berdasar hal inilah, maka penelitian ini menekankan pada kolaborasi antar
institusi dalam upaya penurunan HIV/AIDS dan tidak memfokuskan pada
penurunan HIV/AIDS melainkan hanya menekankan pada kolaborasi antar
insitusi itu saja. Institusi yang dimaksud disini adalah KPA dengan LSM-LSM
peduli Aids yang selama ini dianggap paling berperan dalam proses
penanggulangan HIV/AIDS di Kota Surakarta. Dengan demikian, hasil penelitian
nantinya akan berfokus pada masalah kolaborasi antar institusi yang selama ini
berjalan, yaitu antara KPA dengan LSM-LSM peduli Aids mengenai sejauh mana
efektivitas kolaborasi tersebut dan tidak menitikberatkan pada hasil penurunan
angka HIV/AIDS di Kota Surakarta.
A. Rumusan Masalah
Penelitian ini akan memfokuskan kajian pada perumusan masalah, yaitu :
1. Bagaimana KPA menyelenggarakan tugas pokok dan fungsinya dalam
upaya penanganan kasus HIV/AIDS di Kota Surakarta ?
2. Bagaimana kolaborasi yang dibangun KPA dengan LSM-LSM Peduli Aids
yang ada di Kota Surakarta untuk penanganan kasus HIV/AIDS dan
B. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini yaitu :
1. Mengetahui program-program yang selama ini dilakukan oleh pihak KPA
dan LSM-LSM peduli Aids dalam upaya penurunan angka penularan
HIV/AIDS di Kota Surakarta.
2. Mengetahui efektivitas kolaborasi antara KPA dan LSM-LSM peduli Aids
dalam upaya penurunan angka penularan HIV/AIDS di Kota Surakarta.
3. Memberikan rekomendasi tentang kebijakan penanggulangan HIV/AIDS
di Kota Surakarta.
C. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Memberikan masukan dalam upaya perbaikan kinerja kebijakan dan
peningkatan kolaborasi antar instansi melalui rekomendasi kebijakan.
2. Memperluas pengetahuan dan wacana baru bagi pembaca mengenai
keadaan dan kondisi terkini HIV/AIDS di Kota Surakarta dan kolaborasi
yang terjalin selama ini.
3. Meningkatkan kompetensi penulis sebagai mahasiswa ilmu administrasi
commit to user
9 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kolaborasi
1. Pendahuluan
Teori-teori yang dipakai dalam penelitian ini banyak mengambil
dari karya-karya penelitian Sudarmo, hal ini dikarenakan teori-teori yang
ada sangat relevan dan tepat untuk diterapkan dalam penelitian skripsi ini.
Sebuah masalah yang dirasakan orang atau kelompok orang,
mungkin tidak dirasakan oleh kelompok lainnya. Namun sangat mungkin
persoalan yang terjadi di kelompok tertentu, akan berdampak bagi
kelompok lainnya, demikian seterusnya sehingga kelompok yang pertama
merasakan bahwa kemungkinan mereka akan semakin merasakan banyak
beban ketika masalah dari pihak lainnya menimpa padanya. Dalam
menangani, mengelola dan menata suatu masalah publik, sering tidak
cukup hanya dilakukan oleh unit-unit institusi-institusi pemerintah
setempat baik secara terpadu atau terkait, melainkan tidak jarang
memerlukan keterlibatan institusi non-pemerintah lainnya, termasuk
lembaga swadaya lokal (LSML) sesuai dengan pusat perhatian yang
mereka masing-masing. Ketika cara mengelola, menata dan memenej
suatu urusan adalah dengan melibatkan berbagai stakeholder dalam suatu jaringan atau kelompok, maka disinilah konsepcollaborative governance antar institusi, termasuk institusi pemerintah maupun non pemerintah,
Ketika sebuah isu menegaskan adanya kolaborasi antara institusi
maka dalam perspektif administrasi publik, seharusnya didalamnya telah
tercakup konsep collaborative governance karena paradigma administrasi publik yang menekankan nilai-nilaicitizenship dan atau demokrasi secara tidak langsung (dengan sendirinya) mempraktekan governance, meskipun dimungkinkan jugastakeholdertertentu tidak dilibatkan secara fisik tetapi kepentingan mereka seoptimal mungkin diupayakan untuk diakomodasi
dalam proses pengambilan keputusan. Dalam konteks inistakeholderbisa didefinisikan sebagai pihak (atau orang atau kelompok) yang terpengaruh
atau terkena dampak dari sebuah tindakan, program atau kebijakan atau
pihak yang memang seharusnya dilibatkan dalam proses pengambilan
keputusan suatu pemecahan suatu persoalan bersama.
Kolaborasi antar institusi menjadi isu penting dalam administrasi
publik mengingat banyak persoalan publik yang memiliki implikasi luas
yang tidak bisa ditangani secara optimal dan dipecahkan secara tuntas jika
hanya mengandalkan pada satu institusi pemerintah saja. Melalui
kolaborasi ini diharapkan persoalan atau masalah publik yang dihadapi
bisa atasi atau paling tidak bisa diminimalisir secara signifikan.
Collaborative governance muncul dan dikembangkan secara adaptif untuk merespon adanya kompleksitas dan konflik-konflik
bernuansa politik atau persolan-persoalan yang menuntut diadopsinya
nilai-nilai demokrasi, namun konsep tersebut tidak atau belum
kecenderungan bahwa dilakukannya collaborative governance didorong oleh adanya upaya pragmatisme dalam menyelesaikan masalah yang
selama ini tidak kunjung teratasi melalui penerapan teori-teori
konvensional yang selama ini dipercaya mampu mengatasi masalah
(Sudarmo, 2010).
2. PengertianCollaborative Governance
Pengertian kolaborasi secara umum bisa dibedakan ke dalam dua
pengertian: (1) kolaborasi dalam arti proses, dan (2) kolaborasi dalam arti
normative (Sudarmo, 2010). Pengertian kolaborasi dalam arti sebuah
proses merupakan serangkaian proses atau cara mengatur/mengelola atau
memerintah secara institusional. Dalam pengertian ini, sejumlah institusi,
pemerintah maupun non pemerintah (termasuk lembaga-lembaga swadaya
masyarakat setempat/atau [LSM] lokal dan lembaga-lembaga swasta lokal
maupun asing) ikut dilibatkan sesuai dengan porsi kepentingannya dan
tujuannya. Bisa saja, kolaborasi ini hanya terdiri dari institusi-institusi
pemerintah saja, LSM lokal saja, lembaga swasta saja; atau bisa juga
mencakup institusi yang berafilisasi ke pemerintah berkolaborasi dengan
LSM-LSM setempat yang didanai oleh pihak swasta/LSM/penyandang
dana dari luar negeri. Namun dalam kolaborasi ini institusi-institusi yang
terlibat secara interaktif melakukan governance bersama.Adapun porsi keterlibatanya tidak selalu sama bobotnya, mungkin saja mereka hanya
HIV/AIDS oleh LSM ke institusi pemerintah, sedangkan operasi lapangan
dalam memberikan penyuluhan dilakukan langsung oleh LSM-LSM
tersebut yang secara intensiif didanai oleh pihak asing, atau didukung oleh
pihak pemerintah dalam hal penyediaan kondom dan alat kontrasepsi
lainnya.
Sedangkan kolaborasi dalam pengertian normative merupakan
aspirasi, atau tujuan-tujuan fisolofi bagi pemerintah untuk mencapai
interaksi-interaksinya dengan para partner atau mitranya. Memang
collaborative governance bisa merupakan bukan institusi formal tetapi juga bisa merupakan a way of behaving (cara berperilaku/bersikap) institusi non-pemerintah yang lebih besar dalam melibatkan ke dalam
manajemen publik pada suatu periode (Sudarmo, 2010). Dalam hal ini
kolaborasi antara KPA Surakarta dan para LSM lokal Surakarta yang
berkepentingan dalam penurunan angka HIV/AIDS bisa juga
dikategorikan ke dalam kolaborasi dalam konteks normatif sepanjang
sama-sama memiliki aspirasi atau tujuan-tujuan yang serupa untuk
menurunkan penyebaran HIV/AIDS, walaupun masing-masing LSM
tersebut bekerja secara-sendiri-sendiri sesuai dengan ketentuan yang
mereka sepakati bersama penyandang dana masing-masing bagi LSM
tersebut. Namun demikian, jika peneliti lebih berkepentingan untuk
menganalisis atau meneliti pada kolaborasi antar institusi dalam penurunan
angka HIV/AIDS maka sifat kolaborasi ini lebih menekankan pada proses;
tujuan untuk menurunkan angka HIV/AIDS maka kolaborasi antara KPA
dan LSM peduli HIV/AIDS bisa dikategorikan sebagai kolaborasi dalam
arti normatif.
Dengan mengacu pada dua pengertian ini maka seorang peneliti
atau analis bisa memilih apakah dia akan memfokuskan kolaborasi dalam
arti proses atau dalam arti normatif. Dalam konteks hubungan kerjasama
KPA dan para LSM lokal di Surakarta yang peduli atau berkecimpung
terhadap isu tentang penderita HIV/AIDS, bisa dikategorikan sebagai
collaborative governance dalam arti proses, terutama ketika peneliti atau analis tidak ada ketertarikan untuk melihat lebh jauh hasil akhir dari
kolaborasi tersebut dalam penurunan angka HIV/AIDS. Bisa disebut
demikian karena KPA secara berkolaborasi bersama LSM-LSM peduli
AIDS ikut mengelola bagaimana berupaya menurunkan angka HIV/AIDS
di Surakarta walaupun hasil akhirnya kurang diperhitungkan, apakah dari
kolaborasi tersebut angka tersebut akan menurun atau bahkan akan
meningkat mengingat banyak faktor dari para individu rentan penyakit
menular itu sendiri yang justru ikut berkontribusi bagi peningkatan jumlah
penderita HIV/AIDS.
Pada umunya, collaboration dipandang sebagai respon organisasi terhadap perubahan-perubahan atau pergeseran-pergeseran lingkungan
kebijakan. Pergeseran-pergeseran bisa dalam bentuk jumlah aktor
kebijakan meningkat, isu-isu semakin meluas keluar batas-batas normal
kapasitas pemerintah daerah, kota dan atau pemerintah pusat terbatas
sedangkan institusi-institusi di luar pemerintah meningkat, dan inisiatif
spontan masyarakat semakin meluas dan kritis. Ketika
pergeseran-pergeseran tersebut terjadi, maka hal ini bisa dirasakan bahwa pemerintah
memiliki pilihan terbatas atau kecil dan bahkan seakan dipaksa untuk
mengikuti untuk segera menyelesaikan atau mengatasi apa yang tengah
menjadi isu tersebut; namun demikian pemerintah tetap harus
menyesuaikan dan membuat dirinya tetap relevan dengan lingkungan yang
tengah bergejolak atau berubah. Kolaborasi dalam konteks ini merupakan
cara merespon terhadap perubahan sehingga pemerintah tetap aktif dan
harus tetap efektif dalam suatu lingkungan manajemen publik yang
kompleks dengan tetap melibatkan para institusi-institusi lain yang relevan
dengan tujuan yang diinginkan.
Lebih dari itu, collaboration dipandang sebagai gambaran tentang cara menangani sesuatu isu atau persoalan tertentu yang sifatnya kabur dan
tidak jelas yang memiliki implikasi bahwa ukuran-ukuran
(standar-standar) dan relevansi dari wilayah isu yang satu ke wilayah isu lainnya
secara berbeda-beda. Dengan demikian, siapa/stakeholder mana saja yang dilibatkan atau harus dilibatkan dalam kolaborasi, dan bentuk dan proses
kolaborasi dimungkinkan akan berbeda-beda dari sebuah wilayah isu
tertentu ke isu lain dan dari satu sektor ke sektor lain. Ini untuk menggaris
bawahi bahwa kolaborasi antara institusi dalam penurunan angka
stakeholder mana saja yang terlibat atau dilibatkan, bentuk dan proses kolaborasi nya dalam isu-isu kesejahteraan petani padi, perdagangan anak,
pelacuran, dan isu tenaga kerja wanita Indonesia di luar negeri.
Satu hal yang perlu diyakini dan diterima adalah bahwa sebenarnya
kolaborasi bukanlah hal baru. Sejak lama kolaborasi telah banyak
dilakukan namun fenomena ini semakin mendapat perhatian akhir-akhir ini
terutama ketika disadari bahwa single otoritas sering tidak mampu mengatasi masalah yang dihadapi atau tidak mampu memenuhi dengan
kapasitas yang dimilikinya di era pelayanan publik seiring dengan
pergeseran paradigma pelayanan dalam administrasi publik. Namun tentu
saja setiap orang memiliki pandangan yang berbeda tentang konsepsi
kolaborasi ini, sesuai dengan perspektif displin ilmu yang mereka
gunakan.
Terkait dengan konsepsi kolaborasi, sejumlah pemerhati
mengemukakan pandangannya bahwa pemerintah sejak lama sudah
melakukan kolaborasi, yakni dalam bentuk mencari diluar batas-batas
wilayah pemerintah untuk medapatkan saran-saran atau nasehat, ahli, dan
mitra kerja yang potensial. Sebagian lainnya mengatakan bahwa
kolaborasi yang sifatnya non-hirarkhis dan non birokratis pada dasarnya
berkebalikan dari apa yang secara tradisional (hirarkis dan birokratis) telah
Apakah pemerintah melakukan atau tidak melakukan kolaborasi di
masa lampau, hampir bisa disepakati secara konsensus bahwa dalam hal
dimana lingkungan kebijakan berubah berarti bahwa pemerintah dituntut
harus mengadopsi kesepakatangovernanceyang cepat agar efektif namun bisa diterima semua pihak. Padahal, agar setiap keputusan bisa diterima
oleh semua pihak, menuntut adanya collaborative governance dalam setiap pembuatan keputusan yang melibatkan partisipasi semua
stakeholder dan mengakomodasi kepentingan semua kelompok. Ini untuk menggarisbawahi bahwa jika pemerintah daerah atau lembaga tertentu
yang berafiliasi ke pemerintah mengambil keputusan yang bisa
berpengaruh bagi kehidupan kelompok marginal, seperti pedagang kaki
lima, mereka yang terjangkit HIV atau penyakit AIDS (kaum ODHA),
kaum homoseksual, misalnya, maka melakukan kolaborasi dengaan
kelompok tersebut adalah hal yang sangat penting agar tidak terjadi
penolakan hasil keputusan tersebut oleh mereka. Atau, pemerintah dan
atau lembaga-lembaga yang berafiliasi ke pemerintah, perlu berkolaborasi
dengan lembaga-lembaga swadaya yang memfokuskan pada
persoalan-persoalan kaum marginal tersebut agar mampu memahami,
mengidentifikasi dan memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh
3. Alasan Melakukan Kolaborasi
Secara umumcollaborative governancemuncul secara adaptif atau dengan sengaja diciptakan secara sadar karena alasan-alasan sebagai
berikut: (1) kompleksitas dan saling ketergantungan antar institusi, (2)
konflik antar kelompok kepentingan yang bersifat laten dan sulit diredam,
dan (3) upaya mencari cara-cara baru untuk mencapai legitimasi politik
(Sudarmo, 2010). Fragmentasi hukum dan pemecahan masalah yang
sifatnya multi jurisdiksi merupakan dua sumber utama atau symptom
adanya kompleksitas institusi dan interdependensi. Konflik antar
kelompok kepentingan yang bersifat laten dan sulit diredam seringkali
merugikan berbagai pihak dan memerlukan tenaga dan perhatian yang
sangat besar. Sehingga tanpa melakukan collaborative governance dalam pemecahan masalah, konflik antar kelompok sulit untuk diatasi. Juga,
ketka berbagai upaya telah dlakukan dan belum membuahkan hasil, maka
kolaborasi bisa dilakukan sebagai upaya pemecahan masalah yang
memiliki legitimasi kuat karena melibatkan berbagai kelompok
kepentingan untuk secara aktif berpartisipasi dn mengambil keputusan
secara bersama-sama untuk bisa disetujui secara bersama-sama. (Sudarmo,
2010).
Terdapat banyak argumen tentang berkembangnya pentingnya
melakukan collaborative governance, antara lain adalah karena: (1) kegagalan implementasi kebijakan di tataran lapangan, (2)
regim-regim kekuasaan untuk menggunakan arena-arena institusi lainnya untuk
menghambat keputusan, (3) mobilisasi kelompok kepentingan, dan (4)
tingginya biaya dan politisasi regulasi (Sudarmo, 2010).
Disamping empat alasan tersebut diatas, terdapat dua alasan lain
atas kemunculan dan dikembangkannya collaborative governance, yakni: (1) pemikiran-pemikiran yang semakin luas tentang pluralisme kelompok
kepentingan, dan (2) adanya kegagalan akuntabilitas manajerialisme
(terutama manajemen ilmiah yang semakin dipolitisasi) dan kegagalan
implementasinya (Sudarmo, 2010).
Demikian pula, kecenderungan dilakukannya collaborative governace adalah dilatarbelakangi oleh perkembangan organisasi dan tumbuhnya pengetahuan dan kapasitas institusi atau organisasi seiring
dengan pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari lingkungan selama
organisasi tersebut bekerja dalam rentang waktu tertentu (Sudarmo, 2010).
Ketika pengetahuan semakin terspesialisasi dan terdistribusi dan ketika
infrastruktur institusi bagi pemecahan masalah dan deliberasi menjadi
semakin berkembang, kompleks dan padat, maka tuntutan dan permintaan
kolaborasi antar bagian atau institusi meningkat pula mengingat sebuah
masalah sering merdampak bagi semua bagian atau sejumlah institusi atau
masalah sejenis menjadi fokus perhatian dari berbagai institusi yang
memiliki kepentingan sejenis sedangkan mereka memiliki keahlian
berbeda-beda yang mungkin bersifat komplementer; dengan demikian
lebih direkomendasikan atau justru merupakan sebuah kebutuhan masa
kini dan masa yang akan datang.
Justru karena collaborative governance kemunculannya dan perkembangannya sifatnya adaptif (sengaja diciptakan) terhadap suatu
persoalan yang menuntut pemecahan dari berbagai pihak terkait maka
dimungkinkan bahwa bentuk-bentuk collaborative governance akan bervariasi dan mencakup banyak bentuk, yang antara lain dalam hal
manajemen, kebijakan komunitas, keterlibatan wakil rakyat, negosiasi
regulasi, dan perencanaan kolaborasi serta bentuk-bentuk lain yang
mencakup berbagai stakeholder yang harus terlibat secara normatif. Juga dalam analisis collaborative governance perlu ditegaskan batas-batas definisinya yang tentu saja bervariasi dalam hal (1) tingkat formalitasnya,
(2) tingkat durasinya, (3) tingkat fokusnya, (4) tingkat institutional
diversitynya, (4) tingkat “valence” nya, (5) tingkat stabilityatauvolatility nya, (6) tingkat inisiatifnya, dan (7) tingkat pencetusan masalah, apakah
sifatnyaprobel-drivenatauopportunity-driven (Sudarmo, 2010). Ke tujuh elemen inilah yang kemudian ikut berkontribusi dalam mendefinisikan
collaborative governance.
Terkait dengan sifat kolaborasi, hubungan collabotarive governance bisa berjalan secara terlembaga melalui kontrak-kontrak formal atau juga collaborative relationships bisa berjalan melalui kesepakatan informal. Memang sekarang telah banyak hubungan
menjelaskan, mendeskripsikan para partisipannya, mudah menggambarkan
atau menjelaskan prosedurnya, dan mudah menjelaskan tujuanya. Namun
demikian, sebaliknya jika hubungan kolaboratif dilakukan melalui
kespakatan informal maka cenderung lebih sulit untuk menganalisis
meskipun tetap bisa dilakukan. Hubungan kelompok marginal dan
Pemerintah kadang bisa formal kadang bisa informal. Namun demikian,
jika telah menyangkut persoalan keuangan atau tanggung jawab keuangan
yang harus disetorkan pedagang kaki lima (PKL) misalnya, ke pihak-pihak
tertentu termasuk pihak swasta atau perusahaan tertentu, maka hubungan
kolaborasi lebih menekankan pada kesepakatan atau kontrak formal agar
jelas garis tanggung jawabnya. Juga hubungan formal bisa terjadi terutama
antara pihak LSM kepada pihak penyandang dana; dan hubungan semi
formal bisa terjadi antara LSM dan lembaga pemerintah yang sama-sama
memfokuskan pada isu penurunan angka HIV di Surakarta.
Durasi kolaborasi bisa bersifat permanen atau sementara.
Kolaborasi yang bersifat permanen antara kelompok marginal dan
pemerintah bisa berupa hubungan hak dan kewajiban antara kedua
stakeholder. Contohnya, KPA yang pada prakteknya memerlukan kolaborasi dengan LSM-LSM lokal yang memiliki kepentingan serupa
dalam hal penurunan angka HIV, berkewajiban melaporkan hasil kerjanya
kepada Walikota Surakarta. Namun demikian, apakah kolaborasi itu akan
berjalan secara permanen atau sementara belum bisa diprediksikan
sangat tergantung pada penyandang dana dari luar negeri. Sebaliknya KPA
yang seharusnya ikut mendukung secara finansial kepada LSM-LSM lokal
peduli AIDS, institusi pemerintah tersebut belum memberikan kontribusi
finansial secara signifikan. (Sudarmo, 2010)
Fokus collaborative governnace juga bervariasi, ada yang cukup luas ada yang spesifik. Ada kecenderungan semakin spesifik fokus
kolaborasi maka semakin memudahkan dalam analisis karena unsur-unsur
yang akan dianalisis sifatnya khusus dan spesifik dan terfokus. Sebaliknya
jika fokus kolaborasi terlalu luas maka akan mempersulit analisis karena
terlalu banyak bagian yang harus dianalisis sehingga menuntut kejelian
yang amat tinggi untuk mendapatkan hasil analisis yang tajam, dalam dan
komperehensif. Collaborative governace terhadap kaum marginal pada dasarnya cukup spsesifik, namun analisis bisa meluas tergantung pada
seberapa kompleks hubungan mereka dan stakeholder lainnya dalam governance. Untuk kepentingan penelitian, peneliti atau analis bisa memfokuskan pada kolaborasi antara institusi pemerintah dengan LSM
lokal setempat peduli AIDS; atau kolaborasi antara institusi pemerintah
dengan kaum marginal lainnya.
Collaborative governance memerlukan sejumlah institusi (kelompok beserta para pemukanya) yang berpartisipasi dalamgovernance (penataan, penertiban, pembinaan, pemberdayaan atau pengelolaaan
kelompok marginal) yang semuanya ikut dianalisis terkait dengan
terkait dengan masalah yang dihadapistakeholder lainnya terutama pihak pemerintah setempat (Sudarmo, 2009a). Demikian pula ketika akan
menganalisis isu penurunan angka HIV maka perlu dilihat pula
stakeholder yang terlibat termasuk KPA dan LSM-LSM peduli AIDS se-Surakarta, serta institusi-institusi atau individu-individu tertentu yang
terlibat.
Collaborative governance juga memerlukan kejelasan “valence”
yaitu para pelaku atau pemain yang secara jelas berhubungan
bersama-sama dalam kolaborasi dan jumlah hubungan diantara mereka. Dalam
konteks collaborative governance kaum marginal maka ada beberapa pelaku yang berhubungan dengan mereka termasuk pihak pemerintah dan
sejumlah pihak swasta, dan bahkan mungkin saja partai politik tertentu
Walaupun analisis perlu membatasi, tetapi tidak mudah karena tidak
menutup kemungkinan stakeholder yang kurang diperhitungkan justru merupakan unsur penting bagicollaborative governance, misalnya, dalam hal penurunan angka HIV, analis/peneliti perlu membatasi
institusi-institusi mana saja yang benar-benar terlibat secara kolaboratif, namun
peneliti/analis perlu waspada pihak-pihak mana saja yang perlu dijadikan
informan mengingat tidak jarang sejumlah informan jauh dari perhatian
dan jangkauan peneliti/analis yang mengakibatkan data kurang akurat.
(Sudarmo, 2010)
anggota”seperti pada kolaborasi antara KPA dan LSM-LSM se Surakarta yang peduli AIDS mungkin bersifat lama atau permanen atau bisa saja tak
tentu tergantung seberapa mampu lembaga-lembaga ini mampu beroperasi
dengan topangan dana tertentu mengingat dana amat penting peranannya
bagi kesinambungan operasi mereka. Sebuah LSM bisa saja berhenti
beroperasi ketika penyandang dana tidak lagi secara berkesinambungan
mendanai aktivitasnya. Banyak LSM di Surakarta hidupnya masih
tergantung pada penyandang dana dari luar negeri. Ini berarti bahwa
kondisi keuangan yang minimal bisa mengancam kesinambungan
kolaborasi dengan KPA terutama ketika LSM tersebut berhenti beroperasi.
Semakin kurang stabil sebuah kolaborasi maka semakin besar energi yang
harus mereka curahkan melalui rasa berbagi bersama guna memelihara dan
mempertahankan kolaborasi itu sendiri. (Sudarmo, 2010)
Collaborative governance juga mencakup pengertian keterlibatan institusi-institusi mana saja yang tengah memulai usaha kerjasama, dan
apa insiatif dari masing-masing institusi (stakeholder) dalam menentukan/mendefinisikan tujuan, menilai hasil, menyebabkan
perubahan, dan sebagainya. Dengan kata lain siapa yang mempengaruhi
(atau mengajak) kepada yang lain. Maka dalam hal ini, siapa yang
memulai melakukan inistaitif bisa dilihat dari tiga aspek.Pertama,inisiatif pasti bermula dari pemain/pelaku yang memiliki tuntutan jelas untuk
mencerminkan kepentingan publik yang lebih besar. Dalam masyarakat
demokrasinya, semua pencapaian tujuan yang diperoleh dalam proses
kolaborasi tentunya bisa dinilai. Namun demikian, dalam keadaan
demokrasi sangat lemah atau pemerintahnya itu sendiri tidak demokratis
(misalnya tidak bersih, korup) atau bahkan tidak ada pemerintah, maka
menilai hasil kolaborasi sangat tidak masuk akal dan bahkan dalam secara
umum bisa kontroversial karena persyaratan yang diperlukan (yaitu
pemerintah yang demokratis) tidak dipenuhi.
Kedua, masing-masing stakeholder atau institusi yang berkolaborasi harus memiliki peran dalam menentukan tujuan-tujuan
kolaborasi. Jika ternyata instutusi lain hanya sekedar berperan sebagai
agen yang terlibat dalam mengimplementasikan agenda dari pelaku
dominan (atau pelaku utama, katakanlah menjalankan agenda pemerintah
atau agenda dari swasta besar) maka hubungan yang tercipta pasti bukan
hubungan collaborative governance (Sudarmo, 2010), tetapi bentuk hubungan yang lain yang bisa berupa kooptasi, dominasi dan mungkin saja
divide and rule yang bertentangan dengan democratic collaborative governance(Sudarmo, 2008)
Ketiga, Hubungan diantara institusi-institusi yang terlibat harus bersifatstrategic, artinya bahwa setiap institusi dalam melakukan tindakan selalu bisa dilihat secara transparan oleh institusi lainnya yang merupakan
bagian dalam kolaborasi itu dan antisipasi bahwa institusi lain akan
memberikan respon terhadap perilaku atas tindakan dari institusi tersebut,
antisipasi terhadap respon atas tindakan yang dilakukan dalam
collaborative gobernancemerupakan sebuah kelaziman yang harus terjadi (Sudarmo, 2010).
Dalam collaborative governance, apakah kolaborasi itu ditujukan untuk mempertahankan staus quo dari pihak-pihak tertentu yang ingin tetap mempertahankan keadaan yang selama ini memberikan keuntungan
dan atau mempertahankan kekuasaannya atau dominasinya sehingga
bersifat “defensive”, ataukah kolaborasi itu bertujuan untuk memperbaiki
situasi staus quo (sesuatu yang ingin dirubah dari situasi sekarang yang selama ini dipandang tidak membawa kebaikan bagi banyak/semua pihak).
Jika kolaborasi ini dilakukan untuk memperbaiki situasi yang masih
bersifatstatus quo, maka gayacollaboravetersebut merupakan kolaborasi
yang sifatnya “offensive”. Collaborative governance bisa mengambil dua bentuk ini, bisa berupa salah satu atau campuran keduanya. Demikian pula
kolaborasi antara KPA dan LSM peduli AIDS bisa mengambil
bentuk-bentuk seperti itu. Namun untuk kedepan kolaborasi yang bersifat
defensive kurang mendukung bagi terselenggaranya pelayanan penderita
AIDS atau bahkan penurunan angka AIDS sekalipun jika KPA dijadikan
sebagai institusi dominan yang menangani AIDS karena dalam tataran
praktis keberadaan lembaga ini juga masih menggantungkan kapasitas
masing-masing LSM peduli AIDS di Surakarta. Dengan demikian,
kedepan, KPA perlu menjalankan gaya kolaborasi yang offensif , yakni
masing-masing LSM peduli AIDS terutama dalam hal dukungan
pendanaan, bukan sekedar sebagai alat kepanjangan tangan KPA saja dan
meminta belas kasihan dari mereka agar kolaborasi ini menjadi lebih
optimal. (Sudarmo, 2010)
4. Ukuran Keberhasilan Kolaborasi
Provan dan Milward (dalam Sudarmo, 2010) mengajukan penilaian
efektivitas kolaborasi secara komprehensif mencakup kolaborasi pada
tatatan komunitas, tataran network dan tataran hubungan antar institusi
atau partisipasi institusi dengan dimensi untuk masing-masing ukuran yang
sangat luas dan komples. Namun penilaian ini terlalu luas sehingga
memerlukan waktu dan biaya yang tentu tidak sedikit. Ukuran lain yang
dipandang lebih relevan dengan situasi karena lingkupnya jelas dan
terukur dan sejalan dengan kepentingan penelitian ini adalah ukuran
efektivitas kolaborasi yang dikemukakan oleh DeSeve. DeSeve (dalam
Sudarmo, 2010) menyebutkan bahwa terdapat delapan item penting yang
bisa dijadikan untuk mengukur keberhasilan sebuah kolaborasi dalam
governance, yang meliputi: (1)networked strucuture, (2)commitment to a common purpose, (3) trust among the participants, (4) governance (termasuk: a) adanya saling percaya diantara para pelaku, b) ada
batas-batas siapa yang boleh terlibat dan siapa yang tidak boleh terlibat, c)
aturan main yang jelas yang disepakati bersama, dan d) kebebasan
distributive accountability/responsibility,(7) information sharing, dan (8) access to resources.
Networked structure (struktur jaringan) menjelaskan tentang deskripsi konseptual suatu keterkaitan antara elemen yang satu dengan
elemen yang lain yang menyatu secara bersama-sama yang mencerminkan
unsur-unsur fisik dari jaringan yang ditangani. Ada banyak bentuk
networked structure, seperti hub dan spokes, bintang, dan cluster (kumpulan terangkai dan terhubung) yang bisa digunakan (Sudarmo,
2010). Milward dan Provan (dalam Sudarmo, 2010) mengkategorikan
bentuk struktur jaringan ke dalam tiga bentuk: self governance, lead organizationdanNetwork administrative organization(NAO). Dari kedua macam pengkategorian, model hub dan spoke bisa disamakan denganlead organisasi; bentuk lintang bisa disamakan dengan self governance; sedangkan model cluster lebih dekat ke model network administrative organization karena yang sebenarnya model ini merupakan campuran antaraself governancedanlead organization.
Model self governence ditandai dengan struktur dimana tidak terdapat entitas administratif namun demikian masing-masing stakeholder
berpartisipasi dalam network, dan manajemen dilakukan oleh semua
anggota (stakeholderyang terlibat). Kelebihan dari modelself-governance adalah bahwa semua stakeholder yang terlibat dalam network ikut berpartisipasi aktif, dan mereka memiliki komitmen dan mereka mudah
tidak efisien mengingat biasanya terlalu seringnya mengadakan pertemuan
sedangkan pembuatan keputusan sangat terdesentralisir sehingga sulit
mencapai konsesnsus Juga disyaratkan agar bisa efektif, parastakeholder yang terlibat sebaiknya sedikit saja sehingga memudahkan saling
komunikasi dan saling memantau masing-masing secara intensif
(Sudarmo, 2010).
Model lead organization ditandai dengan adanya entitas administratif (dan juga manajer yang melakukan jaringan) sebagai anggota
network/atau penyedia pelayanan. Model ini sifatnya lebih tersentralisir dibandingkan dengan model self govenance. Kelebihanya, model ini bisa efisien dan arah jaringannya jelas. Namun masalah yang dihadapi dalam
model ini adalah adanya dominasi oleh lead organization, dan kurang adanya komitmen dari para anggota (stakeholder) yang tergabung dalam network. Disarankan juga agarnetworklebih optimal, para anggota dalam networksebaiknya cukup banyak (Sudarmo, 2010). Hal ini bisa dipahami mengapa anggota yang banyak dipandang efektif karena model ini
mengandalkan juga dukungan daristakeholderatau anggota lainnya dalam menjalankan aktivitasnya, sehingga semakin banyak dukungan semakin
efektif sebuah kolaborasi yang mnegadopsi model lead organization. Namun demikian jaringan tidak boleh membentuk hirarki karena justru
kewajiban, tanggung jawab, otoritas dan kesempatan untuk aksesibilitas
(Sudarmo, 2010).
Modelnetwork administrative organizationditandai dengan adanya entitas administrative secara tegas, yang dibentuk untuk mengelola
network, bukan sebagai “service provider” (penyedia layanan) –dan manajernya di gaji. Model ini merupakan campuran model self-governancedan modellead organization
Commitment to common purpose mengacu pada alasan mengapa sebuahnetwork atau jaringan harus ada. Alasan mengapa sebuahnetwork harus ada adalah karena perhatian dan komitmen untuk mencapai
tujuan-tujuan positif. Tujuan-tujuan-tujuan ini biasanya terartikulasikan di dalam misi
umum suatu organisasi pemerintah. Demikian pula, penurunan angka
HIV/AIDS juga memerlukan komitmen dari masing-masing institusi yang
berkolaborasi untuk mencapai tujuan tersebut. Namun komitmen
LSM-LSM tidak selalu tertuju untuk institusi pemerintah mengingat mereka
lebih merasa bertanggung jawab pada lembaga donor yang membiayai
aktivitasnya, seperti lembaga luar negeri yang pada umumnya menjadi
tempat bernaung bagi LSM-LSM lokal yang ada di Surakarta maupun
tempat lain di Indonesia. Kurangnya komitmen pada tujuan-tujuan yang
dicanangkan insitusi pemerintah yang berkomitmen untuk menurunkan
angka HIV/AIDS bisa dipandang sebagai perwujudan rendahnya
Trust among the participants (kepercayaan diantara para partisipan), didasarkan pada hubungan professional atau sosial; keyakinan
bahwa para partisipan mempercayakan pada informasi-informasi atau
usaha-usaha daristakeholderlainnya dalam suatu jaringan untuk mencapai tujuan bersama. Bagi lembaga-lembaga pemerintah, unsur ini sangat
esensial karena harus yakin bahwa mereka memenuhi mandat legislatif
atau regulatori dan bahwa mereka bisa “percaya” terhadap partener-partner (rekan kerja dalam jaringan) lainnya yang ada di dalam sebuah pemerintahan (bagian-bagian, dinas-dinas, kantor-kantor, badan-badan
dalam satu pemerintahan daerah, misalnya) dan partner-partner di luar
pemerintah untuk menjalankan aktitas-aktivitas yang telah disetujuai
bersama. Jika sudah saling curiga dan bahkan saling memfitnah, bukti
bahwa kolaborasi telah berada di ambang titik akhir. Demikian juga,
dengan mengacu pada kemungkinan adanya kolaborasi antara KPA dan
para LSM lokal peduli AIDS, KPA harus bisa percaya bahwa para
informasi atau data yang disediakan LSM ini akurat, atau ketika KPA ini
kesulitan mencari data akurat tentang jumlah penderita HIV/AIDS karena
keterbatasan kapasitasnya maka institusi ini harus yakin bahwa para LSM
lokal peduli AIDS ini mampu memberikan data-data dan segala informasi
yang diperlukannya untuk kepentingan KPA sendiri sebagai salah satu
institusi formal yang bekerja untuk pemerintah kota Surakarta pada
Adanya kepastian Governance atau kejelasan dalam tata kelola, termasuk (a) boundary dan exlusivity, yang menegaskan siapa yang termasuk anggota dan siapa yang bukan termasuk anggota. Ini berarti
bahwa jika sebuah kolaborasi dilakukan, harus ada kejelasan siapa saja
yang termasuk dalam jaringan dan siapa yang ada diluar jaringan; (b)rules (aturan-aturan) yang menegaskan sejumlah pembatasan-pembatasan
perilaku anggota komunitas dengan ancaman bahwa mereka akan
dikeluarkan jika perilaku mereka menyimpang (tidak sesuai atau
bertentangan dengan kesepakatan yang telah disetujui bersama); dengan
demikian ada aturan main yang jelas tentang apa yang seharusnya
dilakukan, apa yang seharusnya tidak dilakukan, ada ketegasan apa yang
dinilai menyimpang dan apa yang dipandang masih dalam batas-batas
kesepakatan; Ini menegaskan bahwa dalam kolaborasi ada aturan main
yang disepakati bersama oleh seluruh stakeholder yang menjadi anggota dari jaringan tersebut; hal-hal apa saja yang harus dilakukan dan hal-hal
apa saja yang seharusnya tidak dilakukan sesuai dengan aturan main yang
disepakati; (c) self determination, yakni kebebasan untuk menentukan bagaimana network akan dijalankan dan siapa saja yang diijinkan untuk menjalankannya; Ini berarti bahwa model kolaborasi yang dibentuk akan
menentukan bagaimana cara kolaborasi ini berjalan. Dengan kata lain, cara
kerja sebuah kolaborasi ikut ditentukan oleh model kolaborasi yang
pemeliharaan organisasi. Ini untuk menegaskan bahwa ciri sebuah
kolaborasi yang efektif adalah jika kolaborasi itu didukung sepenuhnya
oleh semua anggota network tanpa konflik dan pertentangan dalam
pencapaian tujuan, ketersediaan sumber daya manusia yang memiliki
kompetensi yang memenuhi persyaratan yang diperlukan dan ketersediaan
sumber keuangan/kondisi finansial secara memadai dan
berkesinambungan, terdapat penilaian kinerja terhadap masing-masing
anggota yang berkolaborasi, dan tetap mempertahankan eksistensi
masing-masing anggota organisasi untuk tetap adaptif dan berjalan secara
berkesinambungan sesuai dengan visi dan misinya masing-masing tanpa
mengganggu kolaborasi itu sendiri.
Access to authority (akses terhadap otoritas), yakni tersedianya standar-standar (ukuran-ukuran) ketentuan prosedur-prosedur yang jelas
yang diterima secara luas. Bagi kebanyakan network, network-network tersebut harus memberi kesan kepada salah satu anggota network untuk memberikan otoritas guna mengimplementasikan keputusan-keputusan
atau menjalankan pekerjaannya (Sudarmo, 2010). Ini menegaskan, jika
KPA melakukan kolaborasi dengan para LSM lokal peduli AIDS, maka ia
perlu memberikan otoritas tertentu dan jelas lingkupnya kepada LSM yang
dimaksud untuk menjalankan keputusan-keputusan KPA.
dan berbagi sejumlah pembuatan keputusan kepada seluruh anggota
jaringan; dan dengan demikian berbagi tanggung jawab untuk mencapai
hasil yang diinginkan. Jika para anggota tidak terlibat dalam menentukan
tujuannetworkdan tidak berkeinginan membawa sumber daya dan otoritas ke dalam network, maka kemungkinan network itu akan gagal mencapai tujuan. Dalam isu AIDS, KPA perlu mengajak serta LSM-LSM lokal
sebagai mitra kerjanya dalam pengambilan keputusan terkait upaya
penurunan angka HIV/AIDS di Surakarta sesuai dengan porsi dan fokus
kepedulian mereka masing-masing sehingga mereka merasa sama-sama
memiliki rasa tangung jawab bersama sesuai dengan porsi dan lingkup
fokusnya.
Information sharing (berbagi informasi) yakni kemudahan akses bagi para anggota, perlindungan privacy (kerahasiaan identitas pribadi seseorang), dan keterbatasan akses bagi yang bukan anggota sepanjang
bisa diterima oleh semua pihak. Kemudahan akses ini bisa mencakup
sistem, software dan prosedur yang mudah dan aman untuk mengakses informasi. Dalam konteks kolaborasi KPA bersama LSM-LSM lokal di
Surakarta, mereka perlu berbagi informasi maupun data yang berguna bagi
mereka, terlebih KPA yang sangat memerlukan bantuan dari LSM-LSM
lokal dalam hal penyediaan data/informasi sangat memerlukan kesediaan
LSM-LSM tersebut dalam penyediaan data/informasi tersebut; demikian
pula KPA perlu pula terbuka terhadap LSM setempat yang menjadi mitra
dengan upaya pencapaian tujuan KPA dalam hal penanggulangan
HIV/AIDS.
Access to resources (akses sumberdaya), yakni ketersediaan sumber keuangan, teknis, manusia dan sumberdaya lainnya yang
diperlukan untuk mencapai tujuan network. Dalam isu kolaborasi antar stakeholder dalam penurunan angka HIV/AIDS, pemerintah perlu mendukung LSM-LSM lokal peduli AIDS dalam hal pendanaan sehingga
kesinambungan kegiatan mereka yang sebenarnya keberadaannya amat
diperlukan oleh KPA, tidak tergantung pada kekuatan keuangan pihak luar
negri. Lemahnya kemampuan finansial dan langkanya akses sumberdaya
keuangan di dalam negeri sendiri baik ke pihak swasta maupun ke pihak
pemerintah, memperlihatkan lemahnya efektivitas kolaborasi betapapun
sumberdaya manusia dan teknis tersedia secara memadai mengingat
penanganan AIDS memerlukan dana yang amat besar, yang biasanya tak
dipunyai oleh LSM secara mandiri. (Sudarmo, 2010)
Collaborative governance memerlukan para pemimpin yang memiliki sejumlah ketrampilan (skills) tertentu: kemampuan untuk memfasilitasi pertemuan, mengusulkan dan mengontrol diskusi;
mengorganisasi ide-ide; menengahi dan mengurangi konflik; menciptakan
bidang permainan yang netral; mempertahankan agar partisipan tetap
terinformasi dan terlibat; menjaga agar diskusi tetap relevan; mendorong
kemajuan kolektif (bersama) menuju ke sebuah resolusi (pemecahan
sebuah organisasi tunggal, dan kadang bisa antipati terhadap para
pemimpin organisasi (Sudarmo, 2010). Ini menggarisbawahi bahwa
kolaborasi yang efektif dapat dilihat dari kemampuan KPA merealisasikan
sejumlah unsur-unsur yang diusulkan tersebut.
5. Hambatan Kolaborasi
Terdapat sejumlah faktor yang bisa menyebabkan gagalnya suatu
kolaborasi termasuk partsipasi aktif dari berbagai stakeholder. Studi di Canada mengenai terhambatnya jalanya suatu kolaborasi (dan juga
partisipasi) adalah karena disebabkan oleh banyak faktor, terutama
faktor-faktor budaya, faktor-faktor-faktor-faktor institusi-institusi, dan faktor-faktor-faktor-faktor politik
(Sudarmo, 2010).
Budaya. Untuk terciptanya kolaborasi yang efektif mensyaratkan para pelayan publik (dan dengan demikian para pemimpinnya) untuk
memiliki skills (ketrampilan) dan kesediaan untuk masuk ke kemitraan secara pragmatik, yakni berorientasi pada hasil. Memang memungkinkan
mengabaikan konvensi dan menjadikan segala sesuatu dilakukan dalam
sebuah kolaborasi, namun melakukan hal seperti ini dalam pelayanan
publik yang tergantung pada prosedur dan tidak bersedia mengambil
resiko tidak mungkin akan menjadikan kolaborasi sebuah kenyataan.
Ketergantungan terhadap prosedur secara berlebihan justru akan
menghambat kolaborasi dan tidak menimbulkan kemajuan bagi
Dengan kata lain, ketergantungan pada prosedur dan tidak berani
mengambil resiko merupakaan salah satu hambatan bagi terselenggaranya
efektivitas kolaborasi (Sudarmo, 2010).
Dalam pelayanan publik, “risk-reward calculus” (perhitungan
imbalan beresiko) tidak berlaku sebab pegawai (juga pemimpin) yang
berinovasi dan mereka yang beresiko gagal melalui kolaborasi dalam
rangka mencapai hasil yang lebih baik, jarang dihargai ketika mencapai
keberhasilan, dan sering harus menanggung resiko sendiri ketika
inovasinya gagal. Lingkungan seperti ini justru menciptakan penolakan
untuk melakukan pengorganisasian/penyusunan cara-cara kerja yang
fleksibel dan praktis yang sebenarnya bisa dilakukan melalui kolaborasi,
namun dalam kenyataannya justru menimbulkan ketergantungan terhadap
pihak lain. Sebaliknya, sebuah budaya yang mencakup kegagalan sebagai
bagian dari “pembelajaran organisasi” secara inovatif, justru sangat tepat bagi usaha-usaha kolaborasi (Sudarmo, 2010).
Disamping itu, mengapa kolaborasi gagal adalah masih
dipertahankanya pendekatan “top down” oleh pihak pemerintah ketika
menjalin kolaborasi dengan pihak lain, masih adanya dominasi dari pihak
pemerintah dan tidak menjalankan kesepakatan berdasarkan mentalitas
kerjasama dan egalitarian sebagaimana yang dipersyaratkan bagi
berjalannya sebuah kolaborasi (Sudarmo, 2010); juga kolaborasi gagal
diperlukan, tidak penting dan didominasi oleh kelompok dominan/pihak
pemerintah melalui pendekatan top down (Sudarmo, 2009). Kolaborasi juga bisa gagal karena kooptasi dan strategi pecah belah dengan cara
mengakomodasi kepentingan kelompok-kelompok yang pro kebijakan
pemerintah dan mengabaikan kelompok yang anti kebijakan pemerintah
(Sudarmo, 2008).
Institusi-institusi. Institusi-intsitusi yang masih terlalu ketat
mengadopsi struktur vertical, yang dengan demikian akuntabilitas institusi
dan arah kebijakannya juga bersifat vertical, tidak cocok untuk kolaborasi
karena kolaborasi mensyaratkan cara-cara kerja atau pengorganisasian
secara horizontal antara pemerintah dan non-pemerintah. Bahkan
betapapun sebuah pemerintahan mengadopsi sistem pemerintahaan
demokrasi yang biasanya bersifat “representative democracy” belum tentu
cocok bagi kolaborasi karena demokrasi mensyaratkan tingkat proses dan
derajat formalisme yang begitu besar dibanding dengan kemitraaan
horisontal. Dengan kata lain, kolaborasi yang cenderung memiliki sifat
spontanitas (yang kadang tidak memerlukan aturan ketat secara formal dan
kadang juga tidak perlu mengikuti proses tradisional yang biasa dilakukan
dalam keseharian atau sesuai standard operating procedure yang biasa terjadi dalam organisasi public yang mekanistik), tidak bisa menggantikan
tujuan-tujuan yang ditentukan secara terpusat dan kebutuhan-kebutuhan
Akuntabilitas institusi-institusi publik (organisasi-organisasi milik
pemerintah) cenderung kaku, yakni hanya mengacu pada akuntabilitas
pada organisasi atau atasan saja, atau aturan yang berlaku saja, sehingga
akuntabilitas dalam konteks ini lebih menekankan pada responsibilitas.
Padahal isu akuntabilitas sangat kompleks. Pada era dimana peran media
semakin meningkat dan pengawasan dari publik semakin gencar dan
muncul bersama-sama dari berbagai pihak, sulit dibayangkan para
pembuat kebijakan hanya akan menghadapi sedikit persyaratan dalam hal
pengkatalogan, arah, dan rasionalisasi belanja-belanja publik. Padalah
kolaborasi menghendaki persyaratan flesibilitas ketika sampai pada
penggunaan/belanja sumberdaya milik bersama/publik.
Hambatan lainnya bagi kolaborasi adalah terjadinya dan kakunya
“batasan definisi” dan “kondisi” yang ditentukan pihak pemerintah. Sering
terjadi bahwa dalam organisasi-organisasi pemerintah (public), rencana-rencana dan inisiatif-inisiatif terikat oleh harapan, prosedur, ketersediaan
dan sumbardaya yang melimpah dan duplikatif, sehingga sulit
dibayangkan menyelenggarakan bentuk kolaborasi dengan para aktor di
luar organisasi untuk memperoleh pemahaman yang sama (Sudarmo,
2010).
Disamping itu, masih ada kemungkinan hambatan lainnya adalah
tidak terlihatnya atau belum dikembangkannya strategi-strategi inovatif;
dan kalaupun ada inovasi-inovasi yang dilakukan, tidak mencerminkan
kemungkinan ada di luar pengamatan, terutama jika dana-dana tersebut
membuahkan hasil-hasil positif. Bahkan segera setelah program semakin
besar atau menjadi bagian dari filosofi yang lebih luas yang memandu
semua jenis rencana, atau jika proyek-proyek kolaborasi memburuk
(gagal), pemerintah kemungkinan akan mengintervensi dan mengatur
inisitif diluar yang kita ketahui. Proses seperti itu mungkin dikuti dengan
ukuran-ukuran akuntabilitas yang sangat ketat dan kaku, dan pada
akhirnya meninjau kembali budaya resiko dan kegagalan yang muncul dari
kolaborasi.
Politik. Kepemimpinan yang inovatif (forward-looking) adalah pemimpin yang bisa memperkenalkan berbagai macam nilai-nilai dan
tujuan-tujuan yang bisa menjadikan sebagai inti pemerintahan yang
kolaboratif, dan memberikaan inspirasi terhadap agenda yang ditentukan
di atas tetapi bisa mengarahkan pada pencapaian hasil-hasil positif melalui
kemitraaan (Sudarmo, 2010). Ini untuk menggarisbahwahi bahwa
kolaborasi bisa saja terhambat, jika para pemimpin dari
kelompok-kelompok yang berkolaborasi kurang atau tidak inovatif.
Demikian pula, kolaborasi bisa gagal karena adanya perubahan
kesepakatan yang telah disetujui diawal kesepakatan kerjasama dan