ABSTRAK
ANALISIS PASAL 42 UNDANG-UNDANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN KOMANDAN
ATAS PELANGGARAN HAM BERAT YANG DILAKUKAN PASUKAN DIBAWAH KOMANDONYA
Yoan Devita Sari
Tanggung jawab komando di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia yang pelakunya dapat dituntut dan diadili berdasarkan prinsip pertanggunggungjawaban komando, merupakan bentuk tindak pidana yang bersifat extraordinary crimes, yang mana penyelesaiannya memerlukan perangkat hukum khusus di luar KUHP yang terancang untuk tindak pidana yang bersifat extraordinary crimes. Berdasarkan latar belakang tersebut maka yang menjadi rumusan masalah adalah a) Bagaimana penerapan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagai dasar hukum penuntutan pertanggungjawaban komando dan b) Apakah faktor-faktor penghambat Pasal 42 terhadap pertanggungjawaban komandan atas pelanggaran HAM berat yang dilakukan pasukan dibawah komandonya.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan masalah secara pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh langsung dari hasil penelitian lapangan dan data sekunder dari hasil studi kepustakaan yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Penentuan sampel yang akan diteliti digunakan pengambilan sampel dengan metode purposive sampling yang berarti bahwa dalam menentukan sampel penulis menyesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai, dan sampel terebut telah mewakili populasi terhadap masalah yang ada.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa Penerapan pertanggungjawaban pidana komando yang diatur dalam Pasal 42 Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 terdapat kata-kata yang tidak sesuai dengan Statuta Roma 1998 salah satunya tidak adanya unsur bertanggung jawab secara pidana, yang kemudian menimbulkan bahwa pertanggungjawaban seorang komandan militer bisa juga secara administratif atau dikenakan
pertanggungjawaban disiplin saja. Digantinya kata “harus” dengan kata “dapat” hal ini
pertanggungjawaban komando. Hal inilah yang kemudian juga menimbulkan adanya faktor penghambat dalam penegakan hukum yang berkaitan dengan Pasal 42 tentang pertanggungjawaban komando dengan menggunakan teori yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto mengenai penghambat penegakan hukum, yaitu adalah pertama, faktor hukumnya sendiri di dalam pertanggungjawaban komando faktor ini berupa faktor perangkat perundangan; kedua, faktor penegak hukum dan yang menjadi faktor penghambat pertanggungjawaban komando adalah faktor kebijakan pemerintah dan faktor parat dan penindakannya; ketiga, faktor sarana atau fasilitas, dalam pertanggungjawaban komando faktor ini berupa faktor komunikasi dan informasi; keempat, faktor masyarakat karena penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat; dan kelima, faktor kebudayaan yang didalam pertanggungjawaban komando berupa faktor kondisi sosial-budaya.
Saran yang diberikan dalam penulisan skripsi ini adalah diharapkan dalam penegakan hukum khususnya tindak pidana pelanggaran HAM berat, kepada pihak legislative untuk memperjelas
penggunaan makna kata “dapat” dalam Pasal 42 UU No. 26 Tahun 2000 yang sebenarnya
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum (rechtsstaat) dan bukan sebagai negara yang berdasarkan atas kekuasaan (machtsstaat). Tidak ada institusi maupun personalnya, baik itu militer (TNI), kepolisian (Polri), maupun sipil kebal terhadap ketentuan hukum dan perundangan yang berlaku bila melakukan suatu tindak pidana pada umumnya, termasuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan. Segala upaya untuk memberi perlindungan terhadap pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan di berbagai negara termasuk Indonesia, tidak dapat diterima begitu saja, tapi memerlukan proses panjang yang terkait dengan tiga variabel utama, yaitu adanya dinamika internasional, instrumen hukum yang ada, dan bagaimana menentukan pendekatan terhadap warisan masa lalu.
Pengertian pelanggaran HAM terdapat dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 butir 6 dan pengertian Pelanggaran HAM berat terdapat dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 yaitu dalam Pasal 104 ayat (1).
Pasal 1 butir 6 menyatakan :
“Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk
aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh UU ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku”.
Pengertian pelanggaran HAM berat diuraikan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 dalam Pasal 104 ayat (1) yang menyatakan :
“Pelanggaran HAM yang berat adalah pembunuhan massal (genoside), pembunuhan sewenang-wenang atau diluar putusan pengadilan (arbitrary/extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, deskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic descrimination).”
Pasal 104 ayat (1) dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tersebut diatas, berbeda dengan pengertian pelanggaran HAM berat yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Dalam Undang-Undang tersebut dijelaskan pelanggaran HAM berat meliputi: genoside dan kejahatan terhadap kemanusiaan (Pasal 7). Uraian pengertian dari kedua hal tersebut terdapat dalam Pasal 8 dan 9.
Indonesia yang dilakukan anak buah atau bawahan yang berada dibawah komando atau kendali efektifnya.
Tanggung jawab komando di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Serta diatur juga antara lain di dalam Konvensi Den Haag IV tahun 1907. Doktrin tentang tanggung jawab komando ini juga digunakan dalam IMT (Tokyo Tribunal dan Nuremberg Tribunal), Statuta International Criminal Tribunal for The Former Yugoslavia (ICTY), Statuta International Criminal Tribunal for The Former Rwanda (ICTR) dan Statuta International Criminal Court(ICC). Di lingkup nasional doktrin inilah yang kemudian diatur pertama kali dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia tersebut.
Pertanggungjawaban komando yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 adalah sebagai sarana untuk menuntut pertanggungjawaban komando atas pelanggaran HAM berat. Pertanggungjawaban negara atas tindakan atau perbuatan yang melanggar hukum, yang dalam hal ini adalah pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan, dapat dilakukan dengan cara mengadili para pelaku berdasarkan prinsip pertanggungjawaban komando sebagaimana telah diatur dalam ketentuan Pasal 42 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 menyebutkan bahwa :
a. Komandan militer atau seseorang tersebut mengetahui atau atas dasar keadaan saat itu seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran HAM berat; dan
b. Komandan militer atau seseorang tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan”.
Pasal 42 ayat (2) menyebutkan :
“Seorang atasan, baik polisi maupun sipil lainnya, bertanggungjawab secara pidana terhadap pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh bawahannya yang berada dibawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif, karena atasan tersebut tidak melakukan pengendalianterhadap bawahannya secara patut dan benar, yakni :
a. Atasan tersebut mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahan sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran HAM berat; atau
b. Atasan tersebut tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kewenanganya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan”.
Ditinjau dari aspek perkembangan hukum HAM, ada beberapa hal yang belum terwadahi didalam hukum nasional, khususnya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang belum mengatur kejahatan-kejahatan paling serius yaitu, genosida, kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. KUHP juga belum mengatur tentang tanggung jawab komando.
Pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia yang pelakunya dapat dituntut dan diadili berdasarkan prinsip pertanggunggungjawaban komando, merupakan bentuk tindak pidana yang bersifat extraordinary crimes, yang mana penyelesaiannya pun memerlukan perangkat hukum khusus di luar KUHP yang terancang untuk tindak pidana yang bersifatextraordinary crimes.
kategori kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh pasukan dibawah komandonya di Indonesia. Dari hasil penelitian ini akan dituangkan dalam sebuah skripsi dengan judul “Analisis
Pasal 42 Undang-Undang Pelanggaran HAM tentang Pertanggungjawaban Komandan Atas
Pelanggaran HAM Berat yang Dilakukan Pasukan Dibawah Komandonya”.
B. Perumusan Masalah dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas, beberapa permasalahan yang dapat dirumuskan dalam penulisan skripsi ini adalah :
a. Bagaimana penerapan Pasal 42 Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia tentang pertanggungjawaban komandan atas pelanggaran HAM berat yang dilakukan pasukan dibawah komandonya?
b. Apakah faktor-faktor penghambat Pasal 42 terhadap pertanggungjawaban komandan atas pelanggaran HAM berat yang dilakukan pasukan dibawah komandonya?
2. Ruang Lingkup
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan penelitian
Sesuai dengan pokok bahasan, tujuan dari penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui penerapan Pasal 42 Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia tentang pertanggungjawaban komandan atas pelanggaran HAM berat yang dilakukan pasukan dibawah komandonya.
b. Untuk mengetahui faktor-faktor penghambat Pasal 42 terhadap pertanggungjawaban komandan atas pelanggaran HAM berat yang dilakukan pasukan dibawah komandonya.
2. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah:
a. Secara Teoritis, penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran akademis atau teoritis terhadap upaya pengkajian, penelaahan dan pengembangan terhadap ilmu hukum berkaitan dengan substansi atau permasalahan pertanggungjawaban komando terhadap pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia;
legislatifnya, khususnya yang berkaitan dengan persoalan pertanggungjawaban komando dalam pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis adalah konsep–konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil–hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi–dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti. (Soerjono Soekanto, 1986: 125).
Perbuatan yang telah memenuhi rumusan delik atau tindak pidana dalam undang- undang, belum tentu dapat dipidana karena harus dilihat dulu si orang pelaku tindak pidana tersebut. Orang yang dapat dituntut di muka pengadilan dan diminta pertanggungjawabannya haruslah melakukan tindak pidana dengan kesalahan. Kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya dapat disamakan dengan pengertian pertanggungjawaban dalam hukum pidana. Didalamnya terkandung makna dapat dicelanya si pembuat atas perbuatannya. (Tri Andrisman, 2007: 106).
Unsur–unsur tindak pidana menurut Van Bemmelen adalah:
1. Dapat dipertanggungjawabkannya atas suatu perbuatan terhadap pelakunya;
2. Dapat dipertanggungjawabkannya seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya; 3. Dapat dipersalahkan sesuatu tindakan kepada seseorang oleh perbuatannya;
Pertanggungjawaban pidana atas seseorang pelaku perlu mendapat perhatian karena didasarkan pemikiran bahwa suatu tindakan yang dilakukan pasti mempunyai hubungan yang erat dengan suasana hati atau batin seseorang saat melakukan tindak pidana. Dalam mengetahui hal tersebut dapat dilihat dari kesalahan pelaku berupa kesengajaan atau kelalaian yang memenuhi unsur dari kesalahan yaitu adanya kemampuan bertanggungjawab pada pelaku, yang berarti keadaan jiwa seseorang tersebut haruslah normal, jadi dalam keadaan normal tersebut tidak ada satu pun alasan yang dapat menghapus kesalahan atau tidak adanya alasan pemaaf dalam suatu pertanggungjawaban pidana. Berdasarkan ketentuan Pasal 183 KUHAP yaitu:
“ Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana terhadap seseorang, kecuali apabila dengan sekurang- kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukan”.
Pertanggungjawaban komando (command responsibility) adalah bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap komandan militer, atasan polisi maupun atasan sipil lainnya atas tindak pidana pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia yang dilakukan anak buah atau bawahan yang berada dibawah komando atau kendali efektifnya.
dimaksud maka, komandan/atasan tersebut tidak bisa dipertanggungjawabkan komando, melainkan harus bertanggung jawab langsung atas kesengajaan yang dilakukannya tersebut.
Komandan memiliki pengendalian secara langsung dan penuh terhadap pengadilan umum maupun pengadilan militer. Dalam beberapa sistem militer, komandan tingkat atas dapat memerintahkan dilakukannya penyelidikan dan diadilinya pelaku, tetapi dalam sistem militer ini juga para pelaku berhak untuk mendapatkan pengadilan yang adil dan tidak memihak. Seorang komandan tidak dapat memerintahkan bahwa pelaku bersalah dan harus dihukum. Komandan harus memenuhi tanggung jawabnya untuk menjamin bahwa pelaku yang diduga melakukan tindak pidana diperiksa secara layak dan mendapatkan putusan pengadilan yang adil, untuk melakukan pengendalian terhadap tindakan bawahannya.
Tanggung jawab komando menggunakan unsur-unsur, dimana komandan militer tersebut harus mengetahui atas situasi yang terjadi saat itu, sedangkan tanggung jawab atasan non militer (sipil) meliputi unsur-unsur kejahatan yang terjadi berkaitan dengan aktivitas yang berada di bawah tanggung jawab atasan tersebut dan dalam kendali efektifnya, sehingga dia sepatutnya mengetahui, atau atasan tersebut secara sengaja mengabaikan informasi yang menunjukkan bahwa kejahatan tertentu telah atau akan dilakukan.
Selain itu, penerapan doktrin tanggung jawab komando dan tanggung jawab atasan tidak terbatas pada kejahatan yang terjadi di waktu perang belaka, tetapi mencakup kejahatan terhadap kemanusiaan dan hak asasi manusia yang universal yang terjadi baik di waktu perang maupun dimasa damai.
Berdasarkan hal tersebut maka baik komandan militer maupun penguasa sipil dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas kejahatan perang dan/atau kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh bawahannya baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama. Kaitannya dengan istilah tanggung jawab atasan dan tanggung jawab komandan merupakan dua hal yang berbeda, dalam hal tanggung jawab atasan berkaitan dengan pemidanaan terhadap komandan apabila memerintahkan anak buah/bawahan melakukan kejahatan perang. Sedangkan tanggung jawab komandan adalah dasar pemidanaan terhadap para komandan/atasan apabila anak buah/bawahan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya terlibat kejahatan pada waktu pelaksanan tugas.
Teori yang digunakan dalam membahas faktor-faktor penghambat dalam penerapan Pasal 42 Undang-Undang Pengadilan HAM tentang pertanggungjawaban komandan atas pelanggaran HAM berat yang dilakukan pasukan di bawah komandonya adalah teori yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto mengenai penghambat penegakan hukum, yaitu:
1. Faktor hukumnya sendiri.
2. Faktor penegak hukum.
Penegak hukum mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role). Seorang yang mempunyai kedudukan tertentu lazimnya dinamakan pemegang peranan (role occupant). Suatu hak sebenarnya wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas.
3. Faktor sarana atau fasilitas.
Penegakan hukum tidak mungkin berlangsung lancar tanpa adanya faktor sarana atau fasilitas. Sarana dan fasilitas tersebut antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan seharusnya.
4. Faktor masyarakat.
Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut.
5. Faktor kebudayaan
2. Konseptual
Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep–konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti–arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin atau akan diteliti. (Soerjono Soekanto, 1986: 132).
Ada beberapa konsep yang betujuan untuk menjelaskan pengertian dasar dari istilah–istilah yang akan dipergunakan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:
a. Analisis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa untuk mengetahui keadaan sebenarnya. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001: 43).
b. Pertanggungjawaban pidana adalah kemampuan seseorang untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dilihat dari suasana batin seseorang ketika melakukan suatu tindak pidana. (R. O Siahaan, 2008: 261 ).
c. Pelaku tindak pidana adalah orang yang telah membuat suatu tindak pidana atau melakukan tindak pidana yang memenuhi rumusan tindak pidana. (PAF Lamintang, 1996: 585).
d. Tindak pidana menurut Simons adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja atupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang–undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. (PAF Lamintang, 1996: 185).
B. Sistematika Penulisan
Pada sub bab ini agar penulisan dapat mencapai tujuan yang diharapkan dan mudah di pahami maka sistematika penulisan yang memuat uraian secara garis besar mengenai urutan kegiatan dalam melakukan penulisan bab demi bab maupun sub bab. Sistematika dalam penulisan ini yaitu:
I. PENDAHULUAN
Merupakan bab yang mengemukakan tentang latar belakang, perumusan permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teori dan konseptual serta sistematika penulisan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Merupakan bab yang mengemukakan tentang landasan-landasan teori untuk memecahkan beberapa persoalan yang berhubungan dengan skripsi ini yang terdiri dari beberapa bagian, yaitu konsep pertanggungjawaban pidana, pengertian pelaku tindak pidana, kejahatan terhadap kemanusiaan atau pelanggaran HAM berat dan tanggungjawab komando terhadap pelanggaran HAM berat.
III. METODE PENELITIAN
pertanggungjawaban komandan atas pelanggaran HAM berat yang dilakukan pasukan dibawah komandonya.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisikan hasil penelitian dan hasil pembahasan dilapangan terhadap permasalahan dalam penulisan ini yang akan menjelaskan bagaimana penerapan Pasal 42 Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia tentang pertanggungjawaban komandan atas pelanggaran HAM berat yang dilakukan pasukan dibawah komandonya, serta apa saja faktor-faktor penghambat Pasal 42 UU Pengadilan HAM terhadap pertanggungjawaban komandan atas pelanggaran HAM berat yang dilakukan pasukan dibawah komandonya.
V. PENUTUP
I. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah merupakan proses pemecahan atau penyelesaian masalah melalui tahap–
tahap yang telah ditentukan, sehingga tercapai tujuan penelitian. Pendekatan masalah adalah suatu bentuk usaha dalam melakukan usaha dalam mencapai dan mendapatkan jawaban atas permasalahan yang diajukan. Pendekatan masalah yang digunakan penulis dalam penulisan skripsi ini adalah dengan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris.
Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan cara studi kepustakaan yaitu dengan mempelajari aturan–aturan hukum, norma–norma hukum, serta teori–teori hukum yang berkenaan dan berhubungan dengan pertanggungjawaban pidana komandan militer terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pasukan dibawah komandonya sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas.
Pendekatan yuridis empiris dilakukan dengan cara penelitian ke lapangan, dengan cara melihat atau mempelajari kenyataan–kenyataan hukum dalam bentuk perasaan, perilaku, pengalaman serta pendapat responden.
B. Sumber dan Jenis Data
Sumber data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah :
pertanyaan–pertanyaan pada responden secara lisan yaitu dengan Pimpinan Militer, serta Akademisi Hukum.
2. Data sekunder yaitu data yang di peroleh dari studi kepustakaan yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier
a. Bahan hukum primer terdiri dari: UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
b. Bahan hukum sekunder terdiri dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM, Putusan Pengadilan HAM Ad Hoc Jakarta Pusat No.03/Pid.B/HAM AD HOC/2003/PN.Jakarta dalam perkara terdakwa Mayjend.Rudolf Adofl Butar-butar.
c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer seperti literatur hasil dari studi kepustakaan, hasil penelitian, pendapat sarjana dan kamus besar bahasa Indonesia.
C. Penentuan Populasi dan Sampel
Jakarta Pusat. Rincian responden yang akan memberi tanggapan dari penentuan sampel adalah sebagai berikut:
a. Anggota KOREM 043 GATAM Bandar Lampung : 2 (dua) orang b. Anggota Komnasham Jakarta Pusat : 1 (satu) orang
Jumlah : 3 (tiga) orang
Penentuan sampel dari populasi yang akan diteliti digunakan pengambilan sampel dengan metode purposive sampling berarti dalam menentukan sampel penulis benar-benar ingin menjamin, bahwa unsur-unsur yang hendak ditelitinya masuk kedalam sampel yang ditariknya, penulis menyesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai, dan sampel tersebut dianggap telah mewakili populasi terhadap masalah yang ada.
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
1. Prosedur pengumpulan data
Dalam prosedur pengumpulan data primer, penulis memakai langkah–langkah sebagai berikut: a. Untuk memperoleh data sekunder, dilakukan dengan cara studi kepustakaan yaitu membaca
dan menelaah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.
b. Untuk memperoleh data primer, dilakukan dengan cara wawancara atau interview kepada para responden.
2. Prosedur Pengolahan Data
a. Editing, yaitu memeriksa kembali mengenai kelengkapan, kejelasan dan kebenaran yang telah diterima serta hubungannya bagi penulisan.
b. Sistematisasi, yaitu melakukan penyusunan dan penempatan data pada tiap pokok bahasan secara sistematis sehingga memudahkan dalam pembahasan.
c. Klasifikasi, yaitu penggolongan data menurut jenis sumbernya dengan tujuan untuk menyajikan data secara sempurna, memudahkan rekonstruksi dan analisis data.
E. Analisis Data
Setelah semua data diperoleh, maka tahap selanjutnya adalah nenganalisis data sehingga akan diperoleh suatu keterangan yang akan dipergunakan dalam menjawab permasalahan yang ada dalam skripsi ini.
Menganalisis data, penulis menggunakan metode analisis data secara kualitatif. Analisis kualitatif yaitu analisis yang dilakukan dengan cara menguraikan data secara bermutu, berurutan, logis sehingga memudahkan pemahaman dan memperoleh kesimpulan untuk menjawab permasalahan berdasarkan hasil penelitian. Mendapatkan suatu kesimpulan dilakukan secara induktif ke deduktif,
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian–uraian terhadap seluruh pembahasan pada materi skripsi ini, maka penulis berkesimpulan:
1. Penerapan pertanggungjawaban komando terhadap pelanggaran HAM yang berat dan kejahatan perang sudah diatur dalam Pasal 42 Undang-Undang No. 26 Tahun 2000. Tetapi dalam Pasal 42 ayat (1) terdapat kata-kata yang tidak sesuai dengan Statuta Roma 1998 salah satunya tidak adanya unsur bertanggung jawab secara pidana, yang kemudian menimbulkan bahwa pertanggungjawaban seorang komandan militer bisa juga secara administratif atau dikenakan pertanggungjawaban disiplin saja. Dan juga digantinya kata
2
2. Faktor penghambat Pasal 42 terhadap pertanggungjawaban komando menggunakan teori yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto mengenai penghambat penegakan hukum, yaitu adalah pertama, faktor hukumnya sendiri di dalam pertanggungjawaban komando faktor ini berupa faktor perangkat perundangan; kedua, faktor penegak hukum dan yang menjadi faktor penghambat pertanggungjawaban komando adalah faktor kebijakan pemerintah dan faktor parat dan penindakannya; ketiga, faktor sarana atau fasilitas, dalam pertanggungjawaban komando faktor ini berupa faktor komunikasi dan informasi; keempat, faktor masyarakat karena penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat; dan kelima, faktor kebudayaan yang didalam pertanggungjawaban komando berupa faktor kondisi sosial-budaya.
B. Saran
1. Diharapkan dalam penegakan hukum khususnya tindak pidana pelanggaran HAM berat, kepada pihak legislative untuk memperjelas penggunaan makna
kata “dapat” dalam Pasal 42 UU No. 26 Tahun 2000 yang sebenarnya didalam Pasal 28 huruf a Statuta Roma, kata “shall” bermakna “harus” agar
tidak berdampak pada pengadilan yang pada akhirnya terpaksa menekankan fokus perhatiannya pada proses peradilan.
3
3. Agar ketentuan tentang tindak pidana kejahatan pelanggaran HAM berat (dan juga tindak pidana lainnya) dilengkapi dengan rumusan unsur-unsur delik yang dimaksudkan untuk memudahkan penerapan dari ketentuan atas jenis tindak pidana yang bersangkutan.
4. Agar di buat suatu ketentuan hukum acara sendiri untuk UU No. 26 tahun 2000, yang bertujuan untuk memudahkan penyelidik, penyidik, penuntut, dan proses pemeriksaan di pengadilan, yang akan menghindarkan pengertian berbeda antara penyelidik dan penyidik mengenai ketentuan tertentu dalam proses penyelidikan.
4
Abdullah, Rozali, 2002,Perkembangan HAM dan Keberadaan Peradilan HAM di Indonesia. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Andrisman, Tri. 2007. Hukum Pidana Asas–Asas Dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia.Unila.
Anonim, 2000, Undang-Undang RI No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM, Dilengkapi Dengan Undang- Undang Tentang HAM, Keputusan Presiden Tentang Komisi Hukum Nasional Dan Keputusan Presiden Tentang Komisi Ombusman Nasional. BP. Cipta, Jaya. Jakarta.
Atmasasmita, Romli, 2000,Pengantar Hukum Pidana Internasional. Rafika Aditama. Bandung.
Djunaedi Karnasudirdja, Eddy. 2006. Tanggung Jawab Seorang Atasan Terhadap Bawahan Yang Melakukan Pelanggaran HAM Berat Dan Penerapannya Oleh Pengadilan Pidana Internasional Dan Pengadilan HAM Indonesia. Tatanusa. Jakarta.
Lamintang, PAF. 1997. Dasar–Dasar Hukum Pidana Indonesia. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Mahrus Ali, dan Syarif Nurhidayat. 2011.Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat. Gramata Publishing. Jakarta.
Manan, Bagir. 2001. Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan HAM Di Indonesia. Bandung. Alumni
Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Muladi. 2002. Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia. The Habibie Center. Jakarta.
Nazir, Moh. 1985.Metode Penelitian.Ghalia Indonesia. Jakarta. Prinst, D., 2002.Peradilan Militer,Citra Aditya Bakti, Bandung.
Putusan Pengadilan HAM Ad Hoc Jakarta Pusat No.03/Pid.B/HAM AD HOC/2003/PN Jakarta.
Roichatul Aswiah, dan Sondang Friska Simanjuntak. 2007.Glosari Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat. Elsam. Jakarta.
5
. 2009.Hukum Acara Pidana. RAO Press. Jakarta
Soekanto, Soerjono. 1986.Pengantar Penelitian Hukum. UI- PRESS. Jakarta. . 1983. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum.Rajawali. Jakarta.
Soemitro, Ronny Hanitijo. 1985.Metode Penelitian Hukum.Ghalia Indonesia. Jakarta.
Subagyo, Joko. 2006.Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek. Rineka Cipta. Jakarta.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia.Balai Pustaka. Jakarta.
Tim Redaksi Fokusindo Mandiri. 2010.Undang-Undang Hak Asasi Manusia dan Pengadilan Hak Asasi Manusia. Fokusindo Mandiri. Bandung
Undang- undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia Universitas Lampung. 2008.Format Penulisan Karya Ilmiah. Universitas
Lampung. Bandar lampung.
ANALISIS PASAL 42 UNDANG-UNDANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN KOMANDAN
ATAS PELANGGARAN HAM BERAT YANG DILAKUKAN PASUKAN DIBAWAH KOMANDONYA
(Skripsi )
Oleh Yoan Devita Sari
UNIVERSITAS LAMPUNG FAKULTAS HUKUM BANDAR LAMPUNG
Pengadilan Hak Asasi Manusia Sebagai Dasar Hukum Penuntutan
Pertanggungjawaban Komando……….………50 C. Pertanggungjawaban Komando dalam Pelanggaran HAM
Berat Kategori Kejahatan terhadap Kemanusiaan………...81
V. PENUTUP
ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KOMANDAN MILITER TERHADAP PELANGGARAN HAM BERAT YANG DILAKUKAN
OLEH PASUKAN DIBAWAH KOMANDONYA
Oleh
YOAN DEVITA SARI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar
SARJANA HUKUM
Pada
Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
Judul Skripsi :ANALISIS PASAL 42 UNDANG-UNDANG PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN
KOMANDAN ATAS PELANGGARAN HAM BERAT YANG DILAKUKAN PASUKAN DIBAWAH
KOMANDONYA Nama Mahasiswa : Yoan Devita Sari No. Pokok Mahasiswa : 0852011235 Bagian : Hukum Pidana
Fakultas : Hukum
MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing
Tri Andrisman, S.H., M.H Eko Raharjo, S.H., M.H NIP.196112311989031023 NIP. 196104061989031003
1. Ketua Bagian Hukum Pidana
MENGESAHKAN
1. Tim Penguji
Ketua :Tri Andrisman, S.H., M.H. . . . .
Sekretaris/ Anggota :Eko Raharjo, S.H., M.H. . . . .
Penguji Utama :Maya Shafira, S.H., M.H. . . . .
2. Dekan Fakultas Hukum
Dr. Heriyandi, S.H., M.S.
PERSEMBAHAN
Semua yang telah ku capai saat ini adalah atas berkat Rahmat, Karunia dan
Ridho Allah SWT ..
Kupersembahkan karya sederhana ini kepada
Papa dan Mamaku tercinta, yang selalu mencurahkan ketulusan cinta dan
kasih sayang serta doa yang tiada henti bagiku.
Kakak serta Adik-adik ku yang senantiasa memberikan doa dan
dukungannya
Seseorang yang selalu memberikan ku motivasi, doa, dan semangat
untukku ku
Untuk semuanya yang telah memberikan dorongan, saran dan bantuan
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Yoan Devita Sari dilahirkan di Tanjung Karang pada tanggal 30 Desember 1990, penulis merupakan puteri kedua dari empat bersaudara pasangan Bapak Firmansyah dan Ibu Yeyen Kumalasari.
Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri 1 Sukamenanti Bandar Lampung pada tahun 2002, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SLTP Negeri 9 Tanjung Karang Bandar Lampung pada tahun 2005, Sekolah Lanjutan Tingkat Atas di SMU Perintis 1 Bandar Lampung pada tahun 2008. Penulis diterima sebagai mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Lampung pada tahun 2008. Selama menjadi mahasiswi penulis aktif dalam kegiatan organisasi internal kampus maupun kegiatan organisasi external kampus. Pada bulan Juni 2011, penulis mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Lampung.
Setiap manusia dapat memilih, pilihan yang baik maupun buruk
tetapi disetiap pilihan terdapat takdir yang telah ditetapkan Tuhan
untuk tiap umatnya.
( Yoan Devita Sari)
Kemenangan yang seeindah-indahnya dan sesukar-sukarnya yang
boleh direbut oleh manusia adalah menundukan diri sendiri.
( Ibu Kartini)
Maka nikmat tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan
SANWACANA
Assalamualaikum, wr.wb. Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
karuniaNya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis Pasal 42 Undang -Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia tentang Pertanggungjawaban Komandan Atas
Pelanggaran HAM Berat yang Dilakukan Pasukan Dibawah Komandonya”. Skripsi ini disusun
dengan maksud untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Pada penyusunan skripsi ini penulis mendapatkan bimbingan, arahan, serta dukungan dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat berjalan dengan lancar. Pada kesempatan kali ini, penulis ingin menyampaikan terimakasih yang setulus- tulusnya kepada:
1. Bapak Dr. Heriyandi, S.H., M.S selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung. 2. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H. , M.H selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas
Hukum Universitas Lampung.
3. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H. Selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Bapak Eko Raharjo, S.H., M.H selaku dosen Pembimbing II yang telah meluangkan banyak waktu untuk dapat memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis.
6. Bapak Budi Rizki, S.H., M.H selaku Dosen Pembahas II yang telah memberikan saran dalam penyempurnaan skripsi ini.
7. Ibu Kingkin Wahyuningdiah, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Akademik.
8. Bapak Ruslam, bapak Yantoro serta bapak Sriyana yang telah berkenan meluangkan waktu untuk menjadi responden penulis dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
9. Papa dan Mama tersayang. Papa Firmansyah dan Mama Yeyen Kumalasari, yang tiada henti mendoakanku dan selalu memberi motivasi bagiku agar menjadi orang yang sukses serta tiada henti mencurahkan seluruh cinta dan kasih sayangnya dari masih dalam kandungan hingga kini aku menuju proses pendewasaan, insyallah bisa mewujudkan harapan papa mama dan tidak mengecewakan kalian.. Gumayanti, ayuk ipar ku yang sering memberi dukungan,tempat curhat-curhatan, cepet lahiran ya yuk..
Ii Ati Anggraini, ii Rini Ayu, ii Rina yang memberikan dorongan agar tetap tabah dan kuat, dan selalu siap sedia menyediakan pundak sebagai tempat mencurahkan segala isi hati, banyak hal yang harus dicapai ya ii.. I love you ii ku. . . dan sepupu yang begitu banyak yang tidak bisa disebutkan satu per satu, but special for Mitha dan Yinyin yang selalu banyak tanya, sekolah yang bener ya dek, buat papa mama bangga dengan kita..
12. Untuk someone yang tidak bisa disebutkan namanya yang pernah meluangkan waktu, doa, semangat, kesetiaan dan kesabaran yang tiada henti, Terimakasih atas cinta kasih yang udah kamu kasih buat aku, kamu menginspirasi aku untuk lebih cepat nyelesaiin ini semua dan selalu mengingatkan agar tawakal jalanin hidup, selalu meyakinkan agar selalu percaya bahwa Allah pasti memberikan jalan terbaik, dan selalu meyakinkan bahwa ada jalan disetiap masalah ini dan ada hikmah dibalik setiap keputusan yang kita ambil.. terimakasih
banyak…
13. Sahabat-sahabat terbaikku Osin Sirbalaka, Siti Hardiyanti, S.H., Emak Rogate Taruli Nababan, tempat mencurahkan keluh kesah saat suka dan duka, teman terbaik yang telah banyak mencurahkan perhatian agar tetap semangat dalam menyelesaikan skripsi ini. Makasih yaa ayank-ayank ku, selalu bantu cariin solusi buat aku di setiap permasalahan pelik, pasti bakal kangen banget dengan kebersamaan selama ini, becanda-becandanya, marah-marahnya, sedihnya, sampe berantemnya dan nangis bareng.. love you all..
15. Untuk semua anak–anak Teater Pelopor yang tidak dapat disebutkan satu persatu, untuk kakak- kakak senior Teater Pelopor yang udah pada sukses, kak Ardi, kak Arif, kak Peter, kak Tofik, kak Toge, makasih atas semua dukungan dan perhatiannya.
16. Seluruh dosen, staf serta karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan bantuannya selama ini.
Akhir kata, atas bantuan, dukungan serta doa yang telah diberikan, penulis ucapkan terima kasih. Tak ada manusia yang sempurna, karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT, begitu juga dengan penulis hanya mampu mengucapkan maaf apabila ada salah yang terbesit selama ini.
Bandar Lampung, 7 Mei 2012