• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah Melalui Kebijakan Insentif Untuk Mewujudkan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Di Kabupaten Tanjung Jabung Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah Melalui Kebijakan Insentif Untuk Mewujudkan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Di Kabupaten Tanjung Jabung Timur"

Copied!
213
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL PENGENDALIAN ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH

MELALUI KEBIJAKAN INSENTIF UNTUK MEWUJUDKAN

LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

DI KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

ASNELLY RIDHA DAULAY

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertas berjudul Model Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah Melalui Kebijakan Insentif untuk Mewujudkan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, November 2016

(4)

RINGKASAN

ASNELLY RIDHA DAULAY. Model Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah Melalui Kebijakan Insentif untuk Mewujudkan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Dibimbing oleh EKA INTAN KUMALA PUTRI, BABA BARUS dan BAMBANG PRAMUDYA NOORACHMAT.

Alih fungsi lahan sawah sangat mengkhawatirkan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Lebih dari 10 000 ha sawah telah berubah menjadi penggunaan lain pada tahun 2009-2013. Ekspansi sawit dituding sebagai salah satu penyebab utama alih fungsi lahan sawah tersebut. Penelitian bertujuan menganalisis kebijakan pembangunan khususnya pertanian di Kabupaten Tanjung Jabung Timur yang mengarah kepada terjadinya alih fungsi lahan sawah serta tantangan yang dihadapi dalam melaksanakan Program Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, menganalisis luas lahan sawah yang telah beralih fungsi menjadi sawit dan perbandingan nilai land rent sawah dan sawit, menganalisis preferensi masyarakat terhadap besaran insentif ekonomi yang ditawarkan dan bentuk insentif ekonomi yang paling disukai, serta merancang model dinamis pengendalian alih fungsi lahan sawah yang berbasis instrumen kebijakan insentif. Metode yang digunakan untuk mencapai tujuan penelitian tersebut adalah dengan menggabungkan pendekatan deskriptif kualitatif, kuantitatif, teknik penginderaan jauh terhadap data Citra Landsat dan pendekatan sistem (Intrepretive Structural Model/ISM dan simulasi sistem dinamik).

Hasil penelitian menunjukkan telah terjadi inkonsistensi kebijakan pembangunan pertanian di mana awalnya (tahun 1967-2000) daerah ini dilokasikan sebagai sentra pertanian tanaman pangan namun pada tahun 2000-an sangat terbuka untuk pengembangan sawit. Inkonsistensi juga terlihat dari pelanggaran penggunaan ruang berdasarkan RTRW tahun 2011-2031, di mana lebih dari 30% peruntukan ruang sawah telah dihuni sawit. Luas sawah yang berubah fungsi menjadi sawit sebanyak 15 616 ha selama 2006-2014. Selain faktor inkonsistensi kebijakan, perbedaan land rent yang tinggi ikut menjadi penyebab. Perbandingan land rent sawah dan sawit adalah Rp 7 455 548 per ha/tahun : Rp per ha/tahun atau rasio 1:2.

Jenis insentif yang paling disukai petani padi adalah sarana produksi pertanian, kenaikan Harga Pembelian Pemerintah dan insentif berbentuk dana segar, kecuali responden di Kecamatan Nipah Panjang yang lebih memilih premi asuransi dan sertifikat lahan. Nilai rata-rata insentif yang diinginkan Rp 983/ha/tahun sehingga total dana untuk melindungi target LP2B sekitar Rp33 948

000 setiap tahunnya. Berdasarkan tiga skenario distribusi insentif, skenario I, II dan III berturut-turut menghasilkan ketersediaan lahan sawah sebanyak

ha, skenario II sebanyak ha, dan skenario III sebanyak

ha. Pemerintah daerah disarankan untuk segera membenahi kelengkapan Perda LP2B serta ketersediaan dana untuk menunjang program ini, memilih skenario yang bertujuan mengejar target perlindungan LP2B sekaligus berdampak positif bagi kenaikan land rent sawah sehingga petani memperoleh manfaat dan antusias bergabung dengan program ini.

(5)

SUMMARY

ASNELLY RIDHA DAULAY. Models to Control Paddy Land Conversion Through Incentive Policy to Achieve Sustainability‘s Food Agricultural Land in Regency of East Tanjung Jabung. Supervised by EKA INTAN KUMALA PUTRI, BABA BARUS and BAMBANG PRAMUDYA NOORACHMAT.

Paddy land conversion is very worrying in Regency of East Tanjung Jabung. More than 10 000 ha paddy land had been converted into other uses during year 2009-2013. Expansion of palm oil is accused to be a cause of that conversion. This study aims to describe government policy especially in agriculture sector that push the paddy land conversion as well as the challenges to implement the Program of Protection of Sustainability‘s Food Agricultural Land (PSFAL), to analysis the amount of paddy land had been converted to be palm oil plantation and land rent comparison between paddy and palm oil, to analyse the farmer preferences towards the value of incentive offered by government as well as their types, and to contrive the dynamic model to control paddy land conversion that base on incentive policy instrument. The methods used are by combining the descriptive qualitative and quantitative methods, the technique of remote sensing of Landsat Imaginary data as well as system approach (Intrepretive Structural Model/ISM and simulation of dynamic system).

The results show that in the past government policy was not consistent whereas this region previously (year 1967-2000) was set as the center for food agriculture plant; however in year 2000s became very open for the palm oil plantation. The inconsistency can be seen as well from the violation of spatial use bases on document of Spatial and Region Planning of East Tanjung Jabung year

- whereas more than 30% of land for paddy had been occupied by palm oil. Total paddy land converted into palm oil around 15 616 ha during year 2006-2014. Besides of inconsistency factor, the high land rent gap between paddy and palm oil also become the main causes. Land rent comparison between paddy and palm oil is IDR per ha/year: IDR per ha/year or the ratio of

The most preferable incentives according to the farmer perception are the production inputs subsidizing, the increase value of government support policy on paddy and cash payment, except for the farmers in Nipah Panjang District that prefer insurance premium and land certificate than other kind of incentives. The average incentive value expected is IDR 1 996 983/ha/year so the total fund needed to protect 17 000 ha of paddy land is around IDR per year. Based on 3 scenarios, scenario I, II and III respectively result paddy land availability of ha, ha, and ha. The Government of East Tanjung Jabung is suggested to enhance the regulation of PSFAL so it can be

well implemented and provide sufficient fund to support this program They‘re

also expected to choose the best scenario that give the high achievement of PSFAL target as well as increase the paddy land rent so the paddy farmers get benefit and be enthusiastic to join this program.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan

MODEL PENGENDALIAN ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH

MELALUI KEBIJAKAN INSENTIF UNTUK MEWUJUDKAN

LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DI

KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2016

(8)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup:

1. Dr. Sonny Harry Budiutomo Harmadi, SE, ME

(Staf Ahli Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan) 2. Dr. Ernan Rustiadi. M. Agr

(Dosen Departemen ITSL IPB Bogor)

Penguji Luar Komisi pada Sidang Promosi:

1. Prof. Dr. Ir. I Wayan Rusastra, M.S.

(Peneliti utama pada PSKEP Badan Litbang Pertanian) 2. Dr. Ernan Rustiadi. M. Agr

(9)
(10)
(11)

PRAKATA

Alhamdulillahi Robbil‘alamin Penulis ucapkan atas karunia dan kekuatan dariNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2015 ini ialah alih fungsi lahan sawah dengan judul disertasi Model Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah Melalui Kebijakan Insentif untuk Mewujudkan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Eka Intan Kumala Putri, Bapak Dr. Baba Barus dan Bapak Prof. Bambang Pramudya Noorachmat yang telah memberikan bimbingan dari proses awal hingga penyelesaian disertasi ini. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada banyak pihak yang telah membantu mengumpulkan data sekunder maupun yang bertindak sebagai pakar dalam penelitian ini, diantaranya Ir. Ahmad Maushul (Kadis Pertanian Kab. Tanjung Jabung Timur), Dr Asmadi Sa‘ad (Dosen Universitas Jambi) dan Ir Mahalya (Kabid. Sarana dan Prasarana pada Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jambi).

Penghargaan yang tinggi juga disampaikan untuk Penguji Luar ujian tertutup dan sidang promosi, yaitu Bapak Dr. Sonny Harry Budiutomo Harmadi, Dr. Ernan Rustiadi dan Prof. I Wayan Rusastra yang memberi masukan berharga sehingga disertasi ini menjadi kajian ilmiah yang lebih berbobot dan berwawasan luas. Kepada staf pengajar dan staf administrasi di Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan serta teman-teman berbagi ilmu di prodi ini, Penulis menghaturkan terima kasih atas dukungan dan doanya.

Terakhir namun sangat penting, ungkapan suka cita Penulis sampaikan kepada suami Drs. Mursyid Sonsang dan anak kami tercinta, Fathur dan Fachri yang telah amat sabar dan memberi dukungan penuh selama Penulis menyelesaikan studi di IPB. Meski kita tidak bersama lagi –untuk Papa dan Mama tercinta-, terima kasih atas pintu lebar yang dibukakan kepada Penulis sejak dulu untuk mencintai buku dan ilmu pengetahuan. Semoga pencapaian ini menjadi berkah dan Allah Swt memberi kedamaian untuk beliau berdua.

Karya ilmiah ini diharapkan memberi sumbangan yang berarti khususnya bagi masyarakat Jambi. Terima kasih.

(12)
(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL iii

DAFTAR GAMBAR iii

DAFTAR LAMPIRAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

Perumusan Masalah dan Pendekatan Masalah Tujuan Penelitian

Kebaruan Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA

Ketahanan Pangan, Kemandirian Pangan dan Kedaulatan pangan

Alih fungsi Lahan Pertanian di Berbagai Negara

Alih fungsi Lahan Sawah di Indonesia

Model Perlindungan Lahan Pertanian dan Insentif yang Diberikan

Dampak Sawit terhadap Lingkungan

State of The Art

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH DAN TANTANGAN PELAKSANAAN PROGRAM PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN

BERKELANJUTAN DI KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

Pendahuluan

Metode

Hasil

Pembahasan

Simpulan

IDENTIFIKASI SAWAH YANG BERALIH FUNGSI MENJADI SAWIT

DAN PERBANDINGAN LAND RENT SAWAH DAN SAWIT

Pendahuluan

Metode

Hasil

Pembahasan

Simpulan

ANALISA PREFERENSI PETANI TERHADAP JENIS DAN BESARAN INSENTIF PROGRAM PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DI KABUPATEN TANJUNG JABUNG

TIMUR

Pendahuluan

Metode

Hasil

Pembahasan

(14)

SISTEM DINAMIK KETERSEDIAAN LAHAN PERTANIAN PANGAN

BERKELANJUTAN DI KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

Pendahuluan

Metode

Hasil

Pembahasan

Simpulan

PEMBAHASAN UMUM

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Saran

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(15)

DAFTAR TABEL

Ketersediaan lahan pertanian (termasuk untuk produksi sawit) dan

tanaman hutan di Indonesia tahun 2005-

Perkembangan luas lahan sawah dan sawit di empat kabupaten sentra

padi di Provinsi Jambi tahun 2009 dan 2014

Opsi instrumen kebijakan untuk penataan lahan basah

Perbandingan kebijakan ekonomi pertanian di berbagai negara

Perbandingan program Conservation Easement (AS) dan PLP2B

(Indonesia)

Pertimbangan dan kriteria pemberian insentif

Banyaknya desa menurut topografi wilayah tahun 2014

Luas wilayah menurut penggunaan tahun 2014

Penggunaan lahan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur tahun 1973 –

Daerah Irigasi Rawa (DIR) di Kabupaten Tanjung Timur

Penyebaran izin lokasi perkebunan sawit di Tanjung Jabung Timur

Provinsi Jambi tahun 2005-

Penyimpangan penggunaan ruang berdasarkan peta pola ruang RTRW

Kab. Tanjung Jabung Timur tahun 2011-

Luas lahan per kecamatan yang ditetapkan menjadi LP2B di Kabupaten

Tanjung Jabung Timur

Rekapitulasi hasil validasi LP2B di Kecamatan Rantau Rasau tahun 2015

Kegiatan cetak sawah di Kabupaten Tanjung Jabung Timur tahun 2013

dan

Permasalahan pelaksanaan Program PLP2B terkait koordinasi antar

lembaga

Dana pembangunan pertanian Dinas Pertanian Kabupaten Tanjung

Jabung Timur (non belanja pegawai dan rutin) tahun 2013-

Rincian sub elemen dan elemen kunci lembaga/aktor yang terlibat,

kendala/permasalahan dan aktivitas yang dibutuhkan untuk perubahan

Reachibility Matrix final aktor/lembaga yang terlibat

Reachibility Matrix final kendala yang dihadapi

Reachibility Matrix final aktivitas yang berpengaruh untuk perubahan

Variabel tidak bebas (Y) dan variabel bebas (X) untuk menentukan

faktor-faktor yang mempengaruhi land rent sawah dan kebun sawit

Luas sawah yang berubah menjadi kebun sawit tahun 2006-2010 dan

2010-2014 di Tanjung Jabung Timur

Statistik deskripsi responden

Luas panen tanaman pangan non padi tahun 2010-

Pengalaman melakukan alih fungsi lahan sawah

Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi land rent lahan sawah di

Kecamatan Rantau Rasau

Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi land rent sawit di

Kecamatan Rantau Rasau

Satuan biaya maksimum per hektar pembangunan kebun peserta program

(16)

Statistik deskripsi responden WTA

Perbandingan penggunaan lahan untuk usaha sawah dan non sawah

(perkebunan utama) di lima kecamatan tahun 2013

Peringkat opsi insentif pertanian yang disukai petani di Kabupaten

Tanjung Jabung Timur

Peringkat opsi insentif pertanian yang disukai petani pada lima

kecamatan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur

Matriks insentif yang paling disukai per kecamatan di Kabupaten

Tanjung Jabung Timur

Kebutuhan saprodi untuk tanaman padi/ha tahun 2015

Koefisien keragaman karakteristik responden

Tabel regresi logistik

Tabel regresi logistik constant vs bid

Skenario intervensi kebijakan untuk mencapai target PLP2B

Analisis terhadap permasalahan yang dihadapi para pemangku

kepentingan terkait alih fungsi lahan sawah menjadi sawit

Fitur uji coba Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP)

(17)

DAFTAR GAMBAR

Kerangka pikir penelitian

Diagram alir proses penelitian

Perubahan luas lahan sawah, perkebunan dan pemukiman di Kabupaten

Tanjung Jabung Timur tahun 2005 dan 2011

Peta Kabupaten Tanjung Jabung Timur

Tahapan pelaksanaan PLP2B

Diagram model struktur dari elemen lembaga/aktor yang berpengaruh

dalam Program Perlindungan LP2B

Matrks Driver Power-Dependence untuk elemen lembaga/ aktor yang

berpengaruh dalam Program PLP2B

Diagram model struktur elemen kendala

Matriks Driver Power-Dependence untuk elemen kendala

Diagram model struktur untuk aktivitas yang berpengaruh

Matriks Driver Power-Dependence aktivitas dibutuhkan untuk

perubahan

Alur alih fungsi lahan sawah menjadi sawit di Kabupaten Tanjung

Jabung Timur

Peta Kecamatan Rantau Rasau

Pasar hipotetik insentif untuk Program LP2B

Distribusi jawaban ya dan tidak terhadap nilai bid

(a) Causal loop kebutuhan lahan sawah; dan (b) Causal loop

ketersediaan lahan sawah

Diagram Alir hubungan antara pertumbuhan penduduk, kebutuhan lahan

dan ketersediaan lahan sawah

Struktur sub model kebutuhan lahan sawah

Struktur sub model ketersediaan lahan sawah

Luas tanam sawit dan sawah di Kabupaten Tanjung Jabung Timur

Tahun 2013-

Pencapaian ketersediaan lahan sawah dan distribusi insentif berdasarkan

skenario I

Pencapaian ketersediaan lahan sawah dan distribusi insentif berdasarkan

skenario II

Pencapaian ketersediaan lahan sawah dan distribusi insentif berdasarkan

skenario III

Perbandingan ketersediaan dan kebutuhan lahan sawah pada (a)

skenario I; (b) skenario II; dan (c) skenario III

Produksi, kebutuhan dalam daerah dan surplus beras (kg) berdasarkan (a) skenario I; (b) skenario II; dan (c) skenario III

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Matriks gambaran kebijakan pembangunan pertanian di Kabupaten

Tanjung Jabung Timur

Foto pintu air dan kebun sawit di bekas areal sawah (Kec. Rantau Rasau)

Surat Pernyataan Memiliki LP2B

Sebaran sawit berdasarkan hasil overlay peta pola ruang Kabupaten Tanjung Jabung Timur 2011-2031 dengan peta penggunaan lahan tahun

Daftar narasumber ISM

Hasil analisis ISM

Peta penggunaan lahan sawah dan perkebunan kelapa sawit tahun 2006 di

Kabupaten Tanjung Jabung Timur

Peta penggunaan lahan sawah dan perkebunan kelapa sawit tahun 2010 di

Kabupaten Tanjung Jabung Timur

Peta penggunaan lahan sawah dan perkebunan kelapa sawit tahun 2014 di

Kabupaten Tanjung Jabung Timur

Peta penggunaan lahan sawah dan perkebunan kelapa sawit tahun

2006-2010 di Kabupaten Tanjung Jabung Timur

Peta penggunaan lahan sawah dan perkebunan kelapa sawit tahun

2010-2014 di Kabupaten Tanjung Jabung Timur

Sumber lahan untuk pengembangan perkebunan sawit di Kabupaten

Tanjung Jabung Timur

Perubahan penggunaan lahan per kecamatan di Kabupaten Tanjung Jabung

Timur

Hasil Regresi linear berganda land rent sawah dan sawit

Tabulasi hasil survei WTA

Analisa faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan responden menerima/

menolak tawaran insentif LP2B

Asumsi dan sumber data/informasi parameter yang digunakan dalam

simulasi dinamik

Hasil simulasi sistem dinamik

Model pengendalian alih fungsi lahan sawah

Fungsi POWERSIM yang digunakan dalam skenario III

Tabulasi data land rent sawah

Tabulasi data land rent sawit

Perbandingan pendapatan netto kebun sawit selama masa produksi 25

tahun

Tabulasi data Willingness to Accept

Daftar nama responden (petani padi)

Daftar nama responden (petani sawit)

Daftar nama responden survei WTA

(19)

1.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sumber daya lahan pertanian merupakan faktor penting untuk menjamin ketersediaan pangan. Namun dengan bertambahnya populasi manusia dan pengembangan infrastruktur, ketersediaan lahan pertanian menjadi terancam. Menurut laporan United Nation Environment Programme (UNEP 2014), sebanyak 80% pengembangan perkotaan dilakukan di atas lahan pertanian. Tanpa intervensi kebijakan, pemukiman dan infrastruktur akan meningkat dari 260 menjadi 420 juta hektar pada tahun 2050 atau mencakup 4-5% dari luas lahan di dunia, namun jika ada kebijakan yang kuat, peningkatannya dapat ditekan menjadi hanya 90 juta ha atau kenaikan sekitar 3% saja. Krisis sumber daya lahan juga ditandai dengan turunnya kualitas lahan, alih fungsi lahan pertanian yang lebih cepat dari pertambahan lahan pertanian baru, lahan per petani yang terfragmentasi sehingga jadi lebih sempit, penguasaan lahan yang banyak ke sekelompok kecil pemilik, keterbatasan lahan yang harus berhadapan dengan peningkatan kebutuhan untuk pangan hingga reformasi agraria yang belum berjalan dengan baik (Arifin dan Hidayat 2014, Nelson 1992). Permasalahan lahan paling menonjol di Indonesia menurut Hanafie (2010) adalah perpecahan (division), perpencaran (fragmentation) dan masalah kepemilikan (tenancy). Perpecahan dan perpencaran tanah menyebabkan sulitnya sistem pengairan dan pengawasannya namun sulit dicegah karena berkaitan erat dengan adat (pewarisan, perkawinan, hibah dan lain-lain) walau land reform yang ditetapkan tahun 1960 berusaha membatasi minimum lahan garapan.

Pendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian di berbagai negara bervariasi; di Eropa disebabkan oleh berubahnya wilayah perdesaan menjadi perkotaan hingga terjadinya perubahan politik yang mempengaruhi perubahan wilayah di Eropa Timur dan Tengah yang berdampak pada kebijakan pertanian di negara tersebut (Vliet et al. ), di China merupakan dampak dari industrialisasi dan kebutuhan tanah perumahan yang lebih besar, serta petani yang lebih memilih komoditi perkebunan seperti sayur-sayuran (Lu et al. , Xu

) dan di Indonesia akibat pertambahan jumlah penduduk yang tinggi dan fragmentasi lahan (Nurmalina 2007) yang salah satu pemicunya adalah penerapan hukum waris yang berbentuk fisik (Kementan 2013b). Menurut Niroula dan Thapa (2005), fragmentasi lahan menjadi penghalang yang kritis terhadap peningkatan produktivitas karena skala ekonomi tidak terpenuhi. Kondisi ini akhirnya mendorong petani untuk menjual lahannya atau beralih ke usaha non pertanian.

(20)

sehingga harga lahan di sekitarnya meningkat. Peningkatan harga lahan selanjutnya merangsang petani lain di sekitarnya untuk menjual lahan mereka.

Alih fungsi lahan sawah di Provinsi Jambi umumnya untuk perumahan, pertambangan, dan perkebunan terutama sawit. Tahun 2009-2013 luas lahan sawit bertambah dari 493 737 ha menjadi 593 433 ha atau naik sekitar 99 000 ha sedangkan lahan sawah pada periode yang sama menurun dari 323 ha menjadi

623 ha atau menyusut sekitar 10 000 ha (BPS 2014b, BPS 2010). Alih fungsi lahan sawah menjadi sawit juga terjadi di Bengkulu dan Sumatera Utara (Astuti et al. , Siagian et al. ) karena sawit lebih menguntungkan secara ekonomi. Menurut Wicke et al. alih fungsi lahan sawah menjadi sawit tidak sesuai dengan pendekatan penggunaan lahan yang berkelanjutan di mana lahan sawit seharusnya dibangun di atas lahan terdegradasi (degraded land), bukan berasal dari lahan pertanian lain atau hutan. Alih fungsi ini juga mengancam ketahanan pangan yang menurut Dharmawan dan Kinseng (2006) salah satu indikatornya adalah kemandirian suatu wilayah untuk berswasembada (self-sufficiency) pangan. Munculnya sawit sebagai kompetitor padi tidak terlepas dari nilai ekonomi sawit yang lebih tinggi sebagaimana diungkapkan Astuti et al. dan Siagian et al. . Salah satu cara untuk membandingkan nilai ekonomi padi dengan kompetitornya (sawit) adalah melalui nilai land rent, yaitu surplus pendapatan atas ongkos produksi atau harga input lahan (Barlowe 1978) yang mempengaruhi keputusan petani tentang komoditi pertanian yang akan ditanamnya. Menurut Rustiadi dan Wafda (2008), konversi lahan pertanian ke penggunaan lain berakar dari nilai land rent; petani akan memilih penggunaan lahan dengan hasil lebih tinggi sedangkan Feintrenie et al. menyimpulkan berdasarkan hasil penelitian di Jambi, Lampung dan Sulawesi Tengah bahwa pada dasarnya petani tidak peduli terhadap lingkungan. Petani menyadari sawit memiliki dampak negatif terhadap lingkungan namun mereka tetap akan menanam sawit sebab tanaman tersebut memberi pendapatan yang lebih tinggi, penggunaan tenaga kerja lebih rendah dan tidak dipengaruhi musim.

Penghasilan petani padi di Indonesia secara umum dinilai belum memadai. Analisis usaha pertanian di Jawa Barat menunjukkan pendapatan petani sawah/ha per sekali panen pada tahun 2010 sekitar Rp10 950 000 dan yang memiliki lahan .5 ha sekitar Rp 000. Namun petani yang memiliki lahan sawah dengan luas di atas satu hektar hanya berjumlah 1% sedangkan sebagian besar petani padi Indonesia memiliki lahan dengan kisaran 0.3– .7 ha (Sumarno dan Kartasasmita

). Pendapatan petani padi di Jambi lebih rendah dibandingkan kondisi di Jawa Barat yaitu Rp 0 per ha/panen (Jumakir et al. ). Penyusutan lahan sawah di Provinsi Jambi sekitar 10 000 ha pada periode 2009-2013 berpotensi mengurangi produksi padi sebanyak 45 000 ton. Diantara lima kabupaten yang menjadi lumbung padi Provinsi Jambi -Kabupaten Kerinci, Tanjung Jabung Timur, Tanjung Jabung Barat, Merangin dan Sarolangun-, Tanjung Jabung Timur merupakan wilayah yang sawahnya menyusut paling banyak (10 457 ha) selama 2009- namun sebaliknya luas perkebunan sawit meningkat paling tinggi yaitu 227. atau bertambah sebanyak 49 205 ha sepanjang 2009- (BPS 2010, BPS 2014b) .

(21)

biaya. Kebijakan regulasi misalnya dilakukan di negara-negara Asia Selatan guna mencegah fragmentasi lahan pertanian seperti di Bhutan dengan melarang menjual lahan yang ukurannya dua hektar atau di bawahnya dan di India yang menetapkan lahan berukuran di bawah satu unit yang distandarisasi oleh pemerintah tidak bisa ditransfer ke pihak lain. Petani yang akan menjual lahannya harus memperoleh perkiraan harga dari lembaga pemerintah dan ditawarkan pertama kali ke tetangga terdekat. Pemerintah berkewajiban membeli lahan tersebut jika tidak ada yang berminat dan kemudian dijual kepada pihak lain (Niroula dan Thapa 2005). Perlindungan lahan pertanian atau lahan konservasi (rawa atau hutan) dalam bentuk Conservation Easement, yaitu dengan menawarkan kontrak berjangka waktu tertentu disertai pembayaran uang insentif dalam jumlah yang disepakati kedua belah pihak dilakukan di Amerika Serikat (Cross et al. , Lassner 1998, Meyer et al. , Pocewicz et al. , Strong 1983) dan di Thailand dengan memberikan kredit kepada petani untuk membeli lahan pertanian tambahan (Niroula dan Thapa 2005). Kebijakan lainnya dalam bentuk pemberian insentif berupa subsidi harga jual dan kebijakan harga pendukung pertanian di Malaysia dan Brazil (Athukorala dan Loke 2009, Halfand 1999), pajak impor yang tinggi untuk produk pangan seperti yang diterapkan di Thailand dan Nigeria (Warr 2008, Oguntade 2011) dan subsidi bunga pinjaman bank agar petani bisa membeli mesin dan sarana produksi, serta investasi pemerintah yang besar untuk prasarana di area pedesaan yang dilakukan Pemerintah Jepang (Purnama 2010), tidak secara langsung melindungi lahan pertanian namun mendorong petani untuk bertahan pada lahan garapannya

Pemerintah Indonesia pernah melakukan semua upaya perlindungan lahan pertanian tersebut. Salah satu contohnya adalah mengalokasikan lahan dalam jumlah besar untuk pertanian melalui proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang berlokasi di Provinsi Papua (Obidzinski et al. ), mengeluarkan regulasi yang mengatur alih fungsi lahan sawah melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan kewajiban mengalokasikan lahan pertanian pangan berkelanjutan pada PERDA Rencana Tata Ruang Wilayah (kebijakan zonasi) baik di tingkat kabupaten maupun provinsi serta pemberian insentif untuk petani pangan/padi dalam bentuk subsidi input (pupuk, bibit dan peptisida) serta kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Melalui Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B), pemerintah mengkombinasikan dua bentuk kebijakan perlindungan lahan, yaitu melarang terjadinya alih fungsi lahan pangan sekaligus memberikan insentif kepada petani yang lahannya dilindungi.

(22)

ketidakpercayaan di kalangan petani pada sektor pertanian. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2012 tentang Insentif Perlindungan LP2B, insentif disediakan pemerintah dalam bentuk: infrastruktur pertanian, pembiayaan penelitian, pengembangan benih dan varietas unggul, kemudahan mengakses informasi dan teknologi, penyediaan sarana dan prasarana produksi pertanian, jaminan penerbitan sertipikat hak atas tanah, dan penghargaan bagi petani berprestasi tinggi.

Semua jenis insentif tersebut merupakan keputusan pemerintah yang kemungkinan berbeda dengan preferensi petani. Insentif yang didistribusikan pemerintah seringkali tidak tepat sasaran dan jumlahnya tidak memadai sehingga belum berhasil meningkatkan produktivitas, pendapatan maupun mengendalikan keinginan petani untuk melakukan alih fungsi lahan pertanian. Menurut Karki

, distribusi insentif di Bhutan gagal karena tidak adanya ukuran yang bisa dipedomani tentang pemberian insentif. Pemberian insentif yang tidak tepat dapat menimbulkan ketergantungan karena kecendrungan manusia untuk bertindak berdasarkan insentif ekonomi yang diterimanya di mana menurut Rode et al.

, kebijakan yang memberikan insentif dengan nilai yang besar akan menarik partisipasi yang lebih besar. Ulvevadet dan Hausner (2011) mengatakan kebijakan insentif bisa berjalan efektif jika regulator memiliki informasi yang baik, risiko kegagalan pemerintah rendah, dan tujuan yang diinginkan dapat dicapai dengan memberlakukan persyaratan yang sama pada kelompok/individu yang berbeda.

(23)

Perumusan Masalah dan Pendekatan Masalah

Wilayah di pantai timur Provinsi Jambi ini merupakan daerah pasang surut yang pada era Pelita I dibuka untuk menampung transmigran dari Pulau Jawa. Pemerintah Pusat membangun parit dan pintu air untuk mengantisipasi naiknya air Sungai Batanghari bersamaan dengan pencetakan ribuan hektar sawah. Kabupaten Tanjung Jabung Timur sampai tahun 2004 masih merupakan penghasil padi nomor satu di Provinsi Jambi dengan produktivitas rata-rata 3.4 ton/ha dan menyumbang 27% dari total produksi padi Provinsi Jambi. Sejak tahun 2005 produksi padi daerah ini hanya menyumbang sekitar - % atau sebagai penghasil padi kedua terbesar setelah Kabupaten Kerinci meskipun produktivitasnya meningkat menjadi 3.6 ton/ha.

(24)

tahun 2012, penyusutan luas lahan sawah dari tahun 2005 ke tahun 2011 mencapai

246 ha. Pada sisi lain penggunaan lahan untuk perkebunan (karet, sawit dan lain-lain) menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat yaitu sebanyak 72 104 ha. Data lain yang bersumber dari BPS menunjukkan pertambahan lahan sawit pada periode 2009-2013 di Tanjung Jabung Timur sebanyak 107 288 ha. Sampai saat ini belum tersedia data luas lahan sawah yang beralih fungsi menjadi sawit meskipun permasalahan ini banyak dibahas di lingkup Pemerintahan Provinsi Jambi. Hal ini merupakan salah satu alasan pentingnya dilakukannya penelitian ini, yaitu untuk mengetahui tanaman perkebunan yang menjadi ancaman utama sawah di Tanjung Jabung Timur.

Penyebab alih fungsi lahan sawah menjadi sawit karena pendapatan dari sawit lebih tinggi sedangkan produktivitas sawah per hektar rendah (yang terendah di antara kabupaten/kota lainnya dan musim tanam hanya satu kali per tahun) serta resiko gagal tanam dan panen padi yang besar. Guna menghindari kehilangan sawah yang lebih banyak, Pemerintah Daerah menerbitkan PERDA Nomor 18/2013, yang bertujuan melindungi lahan sawah sebanyak 17 000 ha dan cadangannya sebanyak 000 ha. Sebagai tindak lanjutnya, sejak tahun 2014 Dinas Pertanian Kabupaten Tanjung Jabung Timur melaksanakan validasi lahan sawah yang masuk perlindungan LP2B namun setelah dua tahun berjalan, realisasi validasi tersebut belum mencapai 50%. Banyak petani yang tidak bersedia menandatangai surat pernyataan memiliki lahan LP2B karena khawatir terikat atau tidak bisa menggunakan lahan sesuai dengan keinginan mereka.

Insentif yang disediakan dalam PERDA LP2B seharusnya dapat menjadi faktor penarik bagi petani untuk bergabung dalam program pemerintah tersebut namun realisasinya belum memuaskan. Insentif dalam PERDA yang disusun secara top down dan belum mengakomodasi harapan petani tentang jenis dan besaran insentif yang diinginkan diduga menjadi salah satu penyebab mengapa realisasi validasi LP2B rendah. Berdasarkan kondisi tersebut, penelitian ini mencoba menjawab beberapa pertanyaan berikut:

1. Bagaimanakah kebijakan pembangunan khususnya pertanian di Kabupaten Tanjung Jabung Timur yang mengarah pada terjadinya alih fungsi lahan sawah serta tantangan yang dihadapi dalam melaksanakan Program Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan?

2. Berapakah luas lahan sawah yang telah beralih fungsi menjadi sawit dan perbandingan nilai land rent sawah dan sawit?

3. Bagaimanakah preferensi masyarakat terhadap besaran insentif ekonomi yang ditawarkan dan bentuk insentif ekonomi yang paling disukai?

4. Bagaimanakah model dinamis pengendalian alih fungsi lahan sawah yang berbasis instrumen kebijakan insentif?

(25)

diperoleh informasi luas sawah menjadi sawit pada periode pengamatan tertentu. Pendekatan kuantitatif dilakukan untuk mengetahui perbandingan nilai land rent antara sawah dan sawit serta nilai insentif yang dapat diterima/disetujui petani agar mau bergabung dalam Program PLP2B, pendekatan permodelan (sistem dinamis) digunakan untuk merancang suatu model pengendalian alih fungsi lahan sawah melalui kebijakan insentif. Diagram alir proses penelitian disajikan pada Gambar 1. .

Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian adalah merumuskan Model Pengendalian Alih fungsi Lahan Sawah melalui Kebijakan Insentif untuk Mewujudkan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Tujuan khusus penelitiannya adalah:

1. Menganalisis kebijakan pembangunan khususnya pertanian di Kabupaten Tanjung Jabung Timur yang mengarah kepada terjadinya alih fungsi lahan sawah serta tantangan yang dihadapi dalam melaksanakan Program Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan

2. Menganalisis luas lahan sawah yang telah beralih fungsi menjadi sawit dan perbandingan nilai land rent sawah dan sawit

3. Menganalisis preferensi masyarakat terhadap besaran insentif ekonomi yang ditawarkan dan bentuk insentif ekonomi yang paling disukai.

4. Merancang model dinamis pengendalian alih fungsi lahan sawah yang berbasis instrumen kebijakan insentif.

Kebaruan Penelitian

(26)

biasanya metode WTA dipakai untuk menaksir nilai kompensasi bagi mereka yang terdampak negatif oleh kebijakan pemerintah. Namun dalam hal perlindungan lahan pertanian pangan, sebenarnya petani (dan masyarakat luas) memperoleh keuntungan positif jangka panjang dari kebijakan ini.

Hal baru lain dalam disertasi ini berupa informasi luas lahan perkebunan sawit yang berkembang di luar ruang peruntukannya (mengacu kepada pola ruang) dan aktor dominan yang melakukan alih fungsi lahan sawah menjadi sawit (petani atau perusahaan sawit). Selain itu juga disajikan kebaruan informasi tentang pentingnya menginternalkan intangible value sawah (dari segi lingkungan dan sosial) sebagai justifikasi memberi insentif yang lebih besar kepada petani.

(27)

2.

TINJAUAN PUSTAKA

Ketahanan Pangan, Kemandirian Pangan dan Kedaulatan pangan

Mewujudkan ketahanan pangan di suatu daerah merupakan amanat Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Pada Pasal 1 secara berurutan dijelaskan tentang Kedaulatan pangan, Kemandirian Pangan dan Ketahanan Pangan. Kedaulatan Pangan adalah hak negara secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal sedangkan Kemandirian Pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, dan sosial. Ketahanan Pangan diartikan sebagai suatu kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan dengan tersedianya pangan yang cukup.

Menurut Dharmawan dan Kinseng (2006) konsep ketahanan pangan (food security), kedaulatan pangan (food sovereignty), kemandirian pangan (food resilience) sering saling dipertukarkan. Konsep ketahanan pangan berkaitan dengan beberapa konsep turunannya, yaitu kemandirian pangan dan kedaulatan pangan. Kemandirian pangan menunjukkan kemampuan suatu kawasan untuk memenuhi kebutuhan pangannya secara swasembada (self-sufficiency) sedangkan kedaulatan pangan merujuk pada kemandirian pangan plus beberapa variabel tambahan di bidang sosio-produksi dan sosio-politis dari sebuah sistem pangan di suatu kawasan seperti siapa yang menguasai sumber-sumber pangan dan siapa yang termarjinalisasi atas sumber pangan dan pangan yang tersedia di kawasan tersebut. Sistem pangan yang dianggap berketahanan tinggi adalah sistem yang mampu menjamin ketersediaan (produksi) pangan dalam jumlah dan mutu yang memadai, aman, merata serta terjangkau sepanjang waktu.

Ketahanan, kemandirian dan kedaulatan pangan penting untuk dicapai karena jumlah penduduk Indonesia dan proporsi penduduk yang bekerja di sektor pertanian khususnya pertanian tanaman pangan sangat besar. Guna memenuhi konsumsi dalam negeri, Indonesia masih mendatangkan beras dari luar negeri. Pada tahun 2013 jumlah beras yang diimpor 472 675 ton atau senilai dengan US$246 038 (Kementan 2014). Sedangkan kebutuhan beras dan penyediaan beras nasional pada tahun tersebut menurut Nurmalina (2007) yang melakukan penghitungan dengan simulasi sistem dinamik masing-masing 32 113 584 ton dan

55 ton sehingga terdapat defisit beras sebanyak 5 680 425.44 ton pada tahun tersebut. Perdagangan beras termasuk sangat sedikit, hanya 6-7% dari total produksi dunia sehingga dikategorikan sebagai thin market yaitu pasaran suatu komoditi yang sangat sedikit dibandingkan total keseluruhan barang yang diproduksi. Eksportir beras dunia akan menghentikan/mengurangi ekspor jika ketahanan pangan negaranya berkurang (Sawit 2005).

(28)

jasa pertanian) paling banyak menguasai lahan dengan luas antara 0.20– 49 ha, yaitu sebanyak 6.73 juta rumah tangga. Kondisi ini berbeda dengan hasil sensus pertanian tahun 2003 di mana jumlah rumah tangga usaha pertanian terbanyak menguasai lahan dengan luas kurang dari 0.10 ha, yaitu sebanyak 9.38 juta rumah tangga. Rumah tangga petani di Jambi yang tergolong petani gurem (memiliki lahan pertanian kurang dari 0.5 ha) berjumlah sebanyak 101 836 rumah tangga (tahun 2003), menurun menjadi 65 499 rumah tangga (tahun 2013) atau terjadi penurunan sekitar 36.337 rumah tangga. Dari segi kepemilikan lahan sawah, petani di Jambi rata-rata memiliki lahan dengan luas 1 028.41 m atau 0.1 ha (tahun 2003). Luasan ini menurun pada tahun 2013 menjadi rata-rata 0. 963 ha per rumah tangga petani (BPS 2013).

Penetapan LP2B merupakan langkah awal untuk menjamin kontinuitas penyediaan lahan sawah (Barus et al. ). Perlindungan lahan pertanian ini akan membantu mendukung ketahanan pangan dari segi suplai ketersediaan (produksi) pangan (Dharmawan dan Kinseng 2006), meskipun belum dapat menjamin tercapainya ketahanan pangan itu sendiri karena adanya indikator lain yang juga sangat berpengaruh yaitu aksesibilitas pangan dan pemanfaatan pangan (Nurmalina 2007).

Alih fungsi Lahan Pertanian di Berbagai Negara

Alih fungsi lahan dari penggunaan satu ke penggunaan lainnya terjadi jika terdapat pergeseran fungsi land rent (Tietenberg dan Lynne 2009, Nelson 1992). Di negara berkembang banyak terjadi alih fungsi dari wilayah liar/alami menjadi area pertanian didorong oleh (i) tingginya pertambahan populasi domestik yang menuntut pertambahan pangan, (ii) terbukanya pasar ekspor untuk pertanian sehingga permintaan terhadap tanaman produksi meningkat, (iii) pergeseran dari pertanian subsisten menjadi pertanian ekspor sehingga terjadi pula peningkatan keuntungan per areal lahan pertanian, penerapan teknologi baru yang menurunkan biaya dan meningkatkan keuntungan serta penurunan biaya angkut produksi pertanian misalnya karena dibangunnya jalan menuju lahan hutan (Tietenberg dan Lynne 2009).

Lahan memiliki peran penting terhadap aktivitas ekonomi dan distribusi pendapatan antara individu dan kelompok dalam suatu masyarakat sehingga pemahaman terhadap land rent menjadi sangat penting. Menurut Jager (2009), land rent tidak hanya menyangkut pasar namun merangkul analisis sistematik tentang kelembagaan, struktur sosial dan minat yang membentuk pasar tersebut. Menurutnya, terdapat dua garis besar teori tradisi tentang land rent; pendekatan pertama memandang land rent sebagai tradisi sejarah yang bersifat tidak spesifik (historical invariant institution) yang diinterpretasikan sebagai suatu mekanisme yang natural dan pendekatan kedua menginterpretasikan land rent sebagai tradisi sejarah yang bersifat khusus (specific historical institution) yang terus berubah sepanjang waktu.

(29)

Pakar lainnya, Alfred Weber mengembangkan teori yang menekankan dua kekuatan lokasional primer yaitu transportasi dan tenaga kerja (Adisasmita 2013). Jager (2009) mengatakan pendekatan tradisional yang memandang pasar bebas dan land rent akan membawa kepada alokasi sumber daya lahan yang optimal, namun studi terbaru menunjukkan eksternalitis dan pasar tidak sempurna menghasilkan dampak tidak seperti yang diharapkan. Pendekatan baru yang mengarah kepada political economy yang menunjukkan tingkat keragaman yang tinggi, menurutnya menyajikan pemahaman yang lebih luas terhadap fenomena perkotaan yang kompleks yang terkait dengan masalah ekonomi, proses dan kelas sosial.

Menurut Rustiadi et al. , economic rent atas penggunaan sebidang lahan terbagi dua: (1) nilai instrinsik yang terkandung dalam sebidang lahan (kesuburan, topografi dan lain-lainnya) atau dikenal dengan Ricardiant Rent dan (2) nilai yang disebabkan oleh perbedaan jarak/lokasi (Location Rent). Berdasarkan teori ekonomi pertanian, lahan memiliki dua fungsi: fungsi pertama sebagai tempat berlangsungnya aktivitas ekonomi dan fungsi kedua sebagai tempat penyimpanan elemen fisik, kimia dan biologi yang dibutuhkan oleh tanaman/ternak. Sebagai sebuah faktor produksi, lahan memiliki sifat penting yaitu sebagai subjek dari Law of Diminishing Return (penambahan unit tenaga kerja atau modal dapat meningkatkan pendapatan untuk sementara waktu, namun peningkatan tersebut akan semakin berkurang sampai akhirnya tidak terdapat peningkatan pendapatan lagi), suplainya terbatas dan memiliki kualitas yang beragam (Desai 2010).

Sebelum reformasi agraria di China tahun 1978, sumber daya lahan tidak memiliki harga atau nilai namun setelah adanya pasar tanah di negara tersebut, distribusi lahan dimonopoli oleh negara dan harga lahan tidak mempresentasikan total nilai dari sumber daya lahan tersebut. Harga tanah yang rendah mendorong pemerintahan lokal untuk menguasai dan menyisihkan lahan tersebut untuk menarik investor industri. Industrialisasi dan pembangunan ekonomi negara tersebut akhirnya berdampak pada meningkatkan standar hidup yang memacu meningkatnya permintaan akan perumahan yang lebih layak (Xu 2011). Alih fungsi lahan di China secara umum disebabkan oleh urbanisasi, pertumbuhan penduduk, industrialisasi dan pembangunan ekonomi namun diklaim tidak menyebabkan turunnya produksi padi khususnya pada periode 1986-2000. Menurut Deng et al. , laju alih fungsi lahan pertanian pangan di China pada periode 1986-2000 sebanyak 0.16% sedangkan lahan pertanian pangan baru yang dicetak atas investasi pemerintah mencapai 5.7 juta ha atau 2.1% dari total lahan pangan waktu itu. Lahan pangan yang dialihfungsikan tersebut merupakan lahan yang berada di sekitar pantai dan dekat perkotaan sehingga alih fungsi tersebut dapat dijustifikasi sebab memberikan nilai ekonomi lebih besar dibanding penggunaannya sebagai lahan pertanian. Penelitian oleh Wang et al. mengungkapkan maraknya alih fungsi lahan di China disebabkan fluktuasi ekonomi dan pelaksanaan kebijakan yang lambat untuk melindungi lahan pangan.

(30)

digunakan untuk pertanian tapi beralih menyediakan jasa seperti pemandangan yang menarik atau aktivitas rekreasi (menunggang kuda) terutama di wilayah lebih makmur seperti Eropa bagian barat laut sedangkan daerah pertanian yang jauh dari kota mengalami perpindahan besar-besaran (eksodus). Juga terdapat perubahan perhatian ke arah kesadaran lingkungan yang direfleksikan dalam kebijakan penggunaan lahan dan subsidi di mana terdapat peningkatan perhatian pada manajemen lingkungan, perlindungan alam dan restorasi lanskep dibanding ke arah produksi pertanian. Selain itu sebagian wilayah Eropa terutama di bagian tengah dan timur mengalami perubahan politik dari sosialis menjadi post-sosialis yang berdampak pada penggunaan lahan pertanian. Pada masa sosialis sejumlah lahan dikumpulkan dan digabungkan menjadi tanah pertanian yang luas namun setelah masa itu berakhir, terjadi pemecahan dan privatisasi lahan. Hal ini menyebabkan banyak lahan pertanian yang ditinggalkan terutama di daerah yang jauh dan terisolasi. Penelantaran lahan ini diperburuk dengan tidak adanya jaminan kepemilikan lahan akibat politik pengembalian lahan yang baru, kurangnya keterkaitan, perhatian dan pengetahuan pertanian dari pemilik lahan, dan hilangnya subsidi produksi yang disediakan pada rezim sebelumnya. Di sebagian tempat lain terjadi kemunduran ke arah pertanian subsisten dan migrasi keluar petani-petani potensial untuk mencari pekerjaan yang bayarannya lebih baik (Vliet et al. ).

Pada wilayah Asia Selatan seperti India, Bhutan dan Pakistan, alih fungsi lahan pertanian sebagian disebabkan oleh kepemilikan lahan yang kecil yang menjadi tidak ekonomis ketika dikelola menjadi lahan pertanian (Niroula dan Thapa 2005). Dijelaskannya petani kecil tidak dapat bersaing dengan petani besar di pasar karena petani besar dengan lahan yang lebih luas dapat menjual panennya dengan margin keuntungan yang tipis dan peroleh penghasilan lebih besar. Sebaliknya petani kecil tidak mampu melakukan hal tersebut karena harus membeli input produksi dan mesin melalui kredit /pinjaman. Pupuk dan benih juga menjadi relatif mahal harganya jika dibeli dalam jumlah kecil dan biaya operasional mesin lebih tinggi jika tidak dipergunakan sesuai kapasitasnya.

Alih fungsi Lahan Sawah di Indonesia

Cepatnya alih fungsi tanah pertanian menjadi non-pertanian akan berpengaruh buruk pada: (a) menurunnya produksi pangan yang menyebabkan terancamnya ketahanan pangan, (b) hilangnya mata pencaharian petani dan meningkatkan pengangguran serta masalah sosial lainnya, dan (c) hilangnya investasi infrastruktur pertanian (irigasi) yang menelan biaya sangat tinggi (Kementan 2013b). Menurut Syamson (2011), pencegahan dan pengendalian alih fungsi lahan sawah mendesak dilakukan, karena mengancam upaya swasembada pangan nasional dan ekosistem sawah yang relatif stabil dengan tingkat erosi yang relatif kecil. Selain itu alih fungsi lahan sawah akan menyebabkan ketidakseimbangan hubungan sistematik antara pelaku usaha pertanian dan lahannya di mana sawah merupakan pengikat kelembagaan perdesaan sekaligus menjadi public good yang mendorong masyarakat perdesaan bekerja sama secara lebih produktif.

(31)

diatur dalam RTRW di mana setiap jenis tanaman pertanian memiliki alokasi lahan masing-masing dan ketentuan yang mengatur alih fungsi lahan tersebut. Menurut Wicke et al. terdapat dua pendekatan penggunaan lahan, yaitu : 1) Pendekatan Business as Usual (BAU); mengasumsikan penggunaan lahan

mengikuti cara-cara lama atau cara-cara sebelumnya seperti hilangnya tutupan hutan, perubahan lahan pertanian dan pertumbuhan lahan perkebunan mengikuti tren pada masa lalu, di mana sumber lahan untuk pengembangan perkebunan bisa dari kategori lahan yang berbeda-beda.

2) Pendekatan Sustainability; mengasumsikan penebangan hutan dihentikan, pertumbuhan lahan pertanian mengikuti proyeksi FAO tahun 2030 untuk wilayah Asia Timur dan tanaman hutan (atau HTI) tumbuh dengan laju tetap. Pendekatan ini diterapkan dengan menggunakan lahan yang terdegradasi sebagai sumber lahan baru perkebunan karena hal ini mengurangi tekanan terhadap lahan hutan dan dapat berfungsi sebagai carbon sink (pengurang emisi karbon).

Keterangan:

- Nilai negatif pada lahan pertanian dan tanaman hutan merujuk kepada persyaratan lahan tambahan pada setiap kategori di masa datang. Persyaratan tersebut harus dilengkapi untuk memenuhi permintaan produksi sawit dan karenanya dikurangi dari lahan yang tersedia saat ini.

- Jumlah lahan terdegradasi berbeda antara sistem BAU dan Sustainability karena untuk BAU laju lahan terdegradasi diasumsikan meningkat sesuai pertumbuhan tahun sebelumnya sedangkan pada sustainability diasumsikan konstan.

Pada Tabel 1, jika Indonesia melakukan pendekatan penggunaan lahan dengan cara berkeberlanjutan, maka masih tersedia lahan potensial untuk pertanian seluas 8.7 juta ha, yang bersumber dari lahan terdegradasi (Wicke et al.

). Pendekatan BAU dalam menggunakan sumber daya lahan berperan dalam meningkatkan laju alih fungsi lahan sawah, yaitu terjadinya perebutan lahan antar tanaman pertanian. Menurut Kementrian Pertanian alih fungsi lahan sawah tahun 1998-2002 mencapai 100 000 ha/tahun. Alih fungsi sawah belum dapat dicegah, salah satunya akibat penerapan RTRW oleh pemda kabupaten/kota yang kurang berpihak kepada pertanian (Kementan 2013b, Saili dan Purwadio 2012).

Menurut Pasandaran (2006) terdapat tiga faktor yang berdiri sendiri atau secara bersama-sama menentukan terjadinya alih fungsi lahan sawah, yaitu Tabel . Ketersediaan lahan pertanian (termasuk untuk produksi sawit) dan

tanaman hutan di Indonesia tahun 2005- Lahan tersedia yang bersumber dari Business as usual

(juta ha)

Sustainability

(juta ha)

1. Lahan hutan ( Forest covered land) . .

2. Lahan pertanian (Agricultural land) − . − .

3. Tanaman hutan atau HTI (Forest plantations) − . − .

4. Lahan terdegradasi (Degraded land) . .

TOTAL . .

(32)

kelangkaan sumber daya lahan dan air, dinamika pembangunan, serta peningkatan jumlah penduduk. Ditambahkannya, sistem persawahan irigasi memiliki tiga fungsi utama yang saling terkait, dan ketiganya harus tersedia dengan baik agar sawah dapat dipertahankan. Pertama, fungsi yang menopang produksi pangan seperti lahan, air, praktek bercocok tanam, dan kelembagaan. Kedua, fungsi konservasi, seperti pemeliharaan elemen-elemen biofisik (jaringan irigasi dan persawahan) dan ketiga fungsi pewarisan nilai-nilai budaya; termasuk dalam fungsi tersebut adalah kapital sosial dan kearifan lokal yang mengatur hubungan antar manusia, serta manusia dengan lingkungannya. Pengelolaan konflik dalam rangka pemanfaatan sumber daya merupakan salah satu elemen dari nilai-nilai budaya tersebut.

Faktor ekonomi berupa rendahnya harga jual padi dan land rent lahan pertanian dibandingkan dengan kegiatan sektor lain juga menjadi dorongan kuat alih fungsi lahan sawah. Penelitian Pambudi (2008) di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor menunjukkan rasio land rent sawah dengan lahan pemukiman

. Harga komoditi pangan yang rendah di Indonesia khususnya padi karena belum memasukkan nilai positive externalities lahan sawah dan produk padi sebagai faktor utama terwujudnya ketahanan pangan. Nilai intrinsik dari lahan sawah jauh lebih tinggi dari nilai pasarnya namun nilai-nilai tersebut belum tercipta pasarannya sehingga pemilik lahan/petani belum memperoleh nilai finansialnya (Tatiek 2013).

Alih fungsi lahan sawah menjadi sawit mengakibatkan menurunnya produksi beras di Provinsi Jambi. Mengacu kepada jumlah penduduk yang mencapai 3. 4 juta jiwa pada tahun 201 , maka kebutuhan beras per tahun Provinsi Jambi mencapai kg atau ton per tahunnya (angka konsumsi beras versi BPS 113. kg/kapita/tahun). Pada tahun 201 produksi padi sawah dan ladang mencapai ton (BPS 2015a) atau setara dengan

ton beras. Berdasarkan data tersebut, Provinsi Jambi surplus beras sekitar

ton. Jumlah tersebut semakin berkurang jika alih fungsi lahan sawah terus terjadi. Persaingan dalam memperebutkan sumber daya lahan di Provinsi Jambi diperkirakan dimulai sejak tumbuh pesatnya perkebunan sawit tahun 1990-an dan dicanangkannya program penanaman kembali karet tahun 2005. Pada tahun 2009 luas lahan sawah di Provinsi Jambi 177 323 ha (BPS 2010) dan tahun 2013 seluas 167 623 ha (BPS 2014b) atau menyusut sekitar 10 000 ha.

Tabel . Perkembangan luas lahan sawah dan sawit di empat kabupaten sentra padi di Provinsi Jambi tahun 2009 dan 2014

(33)

Pada periode yang sama luas lahan sawit bertambah dari 493 737 ha (2009) menjadi 593 433 ha (2013) atau naik sekitar 99 000 ha. Pertambahan luas kebun sawit terjadi di kabupaten yang secara tradisional merupakan lumbung padi Provinsi Jambi, yaitu Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan Barat, Sarolangun dan Merangin. Pada Tabel ditampilkan empat kabupaten yang mengalami kehilangan sawah tertinggi berdasarkan hasil kegiatan audit lahan Dinas Pertanian Provinsi Jambi tahun 2012 dan data BPS tahun 2014. Pada periode 2009-2013 atau selama masa empat tahun, sawah di daerah ini menyusut sebanyak 21.02%. Persentase penyusutan ini lebih rendah dari Tanjung Jabung Barat atau menduduki ranking kedua namun secara absolut, kehilangan sawah di Tanjung Jabung Timur merupakan yang tertinggi di Provinsi Jambi.

Pertumbuhan kebun sawit yang cepat didukung oleh kebijakan daerah bersangkutan seperti terlihat pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Tanjung Jabung Timur di mana alokasi lahan pengembangan sawit melebihi alokasi untuk program LP2B. Berdasarkan PP Nomor 1 Tahun 2011, agar sebuah wilayah memiliki LP2B, pemerintah kabupaten harus mengusulkannya ke pemerintah provinsi di mana usulan tersebut memuat data dan informasi tekstual, numerik, dan spasial mengenai indikasi luas baku dengan memperhatikan saran dan pendapat masyarakat (Pasal 15). Pada Gambar 2. terlihat perkebunan bertambah pesat dari tahun 2005 ke tahun 2011 sementara sawah menurun tajam.

Sumber: Audit Lahan oleh Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jambi Tahun 2012

(34)

Model Perlindungan Lahan Pertanian dan Insentif yang Diberikan

Alih fungsi lahan pertanian menjadi penggunaan lain dapat dicegah jika terdapat pemahaman yang lebih baik tentang fungsi pertanian yang tidak hanya sebagai penghasil pangan namun memiliki fungsi lain yaitu menghasilkan barang dan jasa yang tidak berbentuk komoditi seperti penyejuk udara, penyimpan air, mempertahankan komposisi tanah dan lain-lain. Fungsi pertanian dapat diklasifikasi dalam bentuk warna: fungsi hijau sebagai manejemen landskep, kehidupan liar, habitat untuk kehidupan liar serta kesejahteraannya dan lain-lain; fungsi biru berupa manejemen air, meningkatkan kualitas air, mencegah banjir, penampungan air dan pemanfaatannya sebagai energi; fungsi kuning merujuk kepada peran pertanian sebagai faktor pengikat dan penting di pedesaan, eksploitasi warisan budaya dan sejarah, menciptakan sebuah identitas regional, agroturisme dan lain-lain; serta warna putih untuk penyediaan keamanan dan ketahanan pangan (Xu 2011). Menurut Huylenbroeck et al. telah terjadi pergeseran peran pertanian khususnya pertanian tanaman pangan yang tidak sekedar menyediakan pangan namun juga untuk memberi layanan lingkungan dan lensekap, pengelolaan air dan lain-lainnya. Menurut Rustiadi et al. , mekanisme pasar dapat berujung kepada market failure (kegagalan pasar), yaitu suatu kondisi ketika sumber daya gagal didistribusikan secara produktif, adil dan efisien. Guna mencegah kegagalan pasar, intervensi pemerintah dapat dilakukan. Menurut Newburn et al. , pemberian insentif lebih efektif dalam melindungi keragaman pada lahan pribadi dibanding dengan regulasi dan penetapan zona/kawasan. Pearce dan Turner (1990) menyusun opsi instrumen kebijakan manejemen lahan basah seperti terlihat pada Tabel 2.3.

Tabel . Opsi instrumen kebijakan untuk penataan lahan basah

Opsi Instrumen Instrumen

1. Regulasi

a. Desain Perencanaan Pelarangan, zonasi dan penataan ruang, perizinan

b. Pengurangan Polusi Kontrol khusus atas penggunaan lahan, pemberlakuan standar kualitas secara khusus 2. Akuisisi dan Penataan

a. Pembelian organisasi/badan publik, lembaga amal dengan bantuan/hibah dari publik

b. Kontrak atau sewa melalui pembuatan kontrak (langsung dengan pemilik atau melalui lembaga yang terakreditasi )

c. Perjanjian dengan pemilik lahan

d. Kesepakatan tertentu 3. Insentif dan Pengenaan Biaya

a. Subsidi untuk konservasi kompensasi untuk lahan basah, kehidupan liar/kerusakan tanaman, praktik konservasi b. Insentif pajak untuk konservasi untuk lahan, input dan biaya lainnya c. Pengenaan biaya

[image:34.595.42.494.75.809.2]
(35)

Menurut Xu (2011), intervensi kebijakan dilakukan dengan cara menginternalkan ekternalitas tersebut sehingga tercapai efisiensi ekonomi. Untuk menetapkan alokasi efisiensi ekonomi, dengan cara menghitung nilai non pasar suatu sumber daya fungsi ekosistem, barang dan jasa yang dihasilkan oleh pertanian. Rustiadi et al. menawarkan mekanisme pengendalian tata ruang yang mencakup perizinan, zonasi, insentif ekonomi, pajak dan lain-lain.

Kebijakan ekonomi pertanian di berbagai negara disajikan pada Tabel 2.4. Penerapan regulasi untuk mencegah alih fungsi lahan pertanian diberlakukan hampir di semua negara. India dan Bhutan menerapkan pengetatan prosedur penjualan lahan pertanian, Pakistan melalui cara konsolidasi lahan dan pembatasan ukuran lahan di mana untuk pertanian subsistence lahannya harus 12.5 acre (setara dengan 5.06 ha) sedangkan kepemilikan skala ekonomi 50 acre (setara dengan 20.23 ha). Pemecahan di bawah ukuran tersebut dilarang (Niroula dan Thapa 2005).

Tabel . Perbandingan kebijakan ekonomi pertanian di berbagai negara

No Negara Bentuk Kebijakan Pertanian Dampak Sumber

Malaysia subsidi harga jual memicu distorsi harga sangat besar antara pasar domestik dan pasar bebas

Athukorala dan Loke

Nigeria pajak impor beras 50% mendorong produksi beras dan pengolahan paska panen

Oguntade

Amerika Serikat

Agricultural Conservation

Easements

alih fungsi lahan pertanian/terbuka terkendali

Lassner

Indonesia - insentif pertanian (ekonomi dan non ekonomi)

PP Nomor / - subsidi saprodi dan proteksi harga

namun tarif impor pangan rendah

belum memacu produktivitas, Indonesia dibanjiri produk pertanian negara lain

Hafidh (tahun tidak diketahui); - proteksi harga melalui kebijakan

harga dasar pembelian pemerintah (HDPP)

jaminan harga jual, meningkatkan produktivitas namun menurunkan daya saing beras premium, kemampuan Bulog menyerap padi terbatas karena keterbatasan anggaran

Maulana

India subsidi input, subsidi paska produksi (kebijakan Harga Pendukung Minimum (Minimum Support Price) dan Kebijakan Harga Dasar (Procurement Price)

merangsang perbaikan teknologi usaha, menjamin ketersediaan pangan, membangun sistim distribusi pangan masyarakat dan bagian dari skema kesejahteraan sosial

Vijay (2012).

Thailand regulasi ketat terhadap beras impor proteksi beras lokal, mencegah produk pertanian luar menguasai pasar domestik

Warr (2008)

China menaikkan harga beras dan menurunkan sewa lahan

belum berhasil menahan petani untuk beralih menanam sayur-sayuran yang harga pasarnya jauh lebih tinggi

Lu et al.

Jepang pajak impor tinggi, subsidi bunga bank agar petani bisa membeli mesin/sarana produksi, investasi pemerintah untuk prasarana di area pedesaan

[image:35.595.110.544.283.764.2]
(36)

Cara lain yang dilakukan di negara-negara di Asia Selatan yaitu dengan pengelolaan bersama lahan pertanian (membentuk koorporasi). Cara ini cukup berhasil sampai tahun 1970-an tapi kini tidak lagi diterapkan. Mulanya subsidi dan dana operasi berhasil menarik perhatian petani namun kemudian gagal karena konflik kepentingan, ketidakefiesiensian dalam menajemen serta pola ini tidak dikenal dalam kebudayaan masyarakat setempat (Niroula dan Thapa 2005).

Diantara kebijakan-kebijakan tersebut, Pearce dan Turner (1990) berpendapat pemberian insentif dan pengenaan biaya merupakan instrumen yang paling efektif dalam manajemen pengendalian lahan. Model kebijakan pertanian yang memberikan insentif dalam bentuk tunai di Amerika Serikat dinamakan Conservation Easement. Menurut Strong (1983) Easement berkembang pesat di AS sejak tahun 1970-an. Program Agricultural Easement umumnya dibiayai oleh pemerintah, sedangkan program Natural Resource Easement kebanyakan diinisiasi oleh pihak swasta.

.

Conservation Easement bersifat sukarela namun mengikat di mana pemilik lahan berkomitmen untuk membatasi pembangunan atau perubahan pada lahannya Tabel . Perbandingan program Conservation Easement (AS) dan PLP2B

(Indonesia)

Kategori Conservation Easement (CE)

Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B)

Konsep Dasar Perlindungan lahan terbuka/ekosistem/pangan secara sukarela, diikat perjanjian

Perlindungan lahan pertanian melalui penetapan pemerintah

Tujuan melindungi habitat, sumber air, bufer, lahan pertanian

melindungi lahan pangan; mewujudkan kemandirian, meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan petani; melindungi kepemilikan lahan pertanian pangan milik petani; dll

Kriteria lahan lahan pertanian, lahan terbuka lainnya

lahan beririgasi, lahan reklamasi rawa pasang surut dan non pasang surut (lebak), dan/atau lahan tidak beririgasi.

Penyelenggara Organisasi konservasi lahan dan Pemerintah

Pemerintah

Jenis insentif direct cash payment, keringanan pajak

keringanan PBB; pengembangan infrastruktur pertanian; pembiayaan penelitian dan

pengembangan benih/ varietas unggul;

kemudahan mengakses informasi dan teknologi; dll

Konsekuensi pembiayaan

ditanggung Land Trust, sumbangan masyarakat, dana Pemerintah

ditanggung oleh pemerintah

[image:36.595.42.481.93.804.2]
(37)

guna melindungi fungsi sosial dari lahan tersebut (Cross et al. ) sedangkan menurut Pocewicz et al. , Conservation Easement merupakan kesepakatan antara pemilik lahan dan organisasi perlindungan (Land Trust) di mana si pemilik menjual atau mendonasikan lahannya untuk mencegah pemecahan/subdivision atau pembangunan lahan. Perjanjian seperti ini memiliki kekuatan yang lebih besar untuk membatasi pemecahan lahan dan pembangunan konstruksi atau struktur jalan dibanding yang dapat dikenakan oleh regulasi pemerintah setempat (Tabel ).

Nilai kompensasi Conservation Easement secara umum dihitung dari selisih nilai lahan sebelum pembatasan pembangunan dengan nilai lahan tersebut setelah adanya pembatasan penggunaan lahan. Semakin banyak pembatasan yang dilakukan semakin tinggi nilai kompensasi yang diperoleh pemilik lahan, demikian juga sebaliknya (Lassner 1998). Menurut Anderson dan Weinhold

, harga lahan yang terikat Conservation Easement turun sekitar 35-50% dan tergantung pada ketat /longgarnya aturan dalam perjanjian tersebut. Namun hal ini berdampak positif kepada petani penyewa lahan karena sewa lahan menjadi lebih terjangkau. Pola pemberian insentif ini berbeda dengan pemberian insentif di Indonesia yang berbentuk bantuan saprodi dan sarana/prasarana pertanian lainnya. Opsi mengakuisisi lahan dalam jumlah besar untuk tujuan pertanian dilakukan pemerintah Indonesia melalui proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Provinsi Papua bagian selatan, dimulai pada tahun 2010. Tujuan dari proyek ini adalah : (1) memperkuat keamanan pangan nasional dan meningkatkan ekspor pangan; (2) mengurangi anggaran untuk impor pangan; (3) mempercepat pembangunan di wilayah timur Indonesia; dan (4) memacu pertumbuhan ekonomi lokal dan nasional. Proyek ini menargetkan produksi beras sebanyak 1.95 juta ton namun skemanya tidak jelas terutama menyangkut luas lahan yang dialokasikan dan pembangunan irigasi serta infrastruktur pertanian lainnya. Terkesan proyek ini mengartikan „food‟ sebatas sawit (sebagai penghasil CPO), yang juga termasuk bagian dari program ini (Obidzinski et al. ). Menurut Tietenberg dan Lynne (2009), penerapan zonasi (pengetatan pengambil-alihan lahan dalam suatu wilayah dan memberikan izin serta penggunaan lahan secara khusus dalam zona tersebut) juga dapat menekan negative externalities alih fungsi lahan. Contoh kebijakan zonasi di Indonesia adalah instruksi untuk membuat PERDA yang menjamin ketersediaan lahan pangan abadi di setiap provinsi, kabupaten dan kota.

Pada PP Nomor 12 Tahun 2012 dijelaskan tentang pemberian insentif secara berjenjang mulai dari pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Secara umum terlihat bahwa jenis insentif yang diberikan antara pemerintah pusat dan provinsi persis sama yaitu: a. pengembangan infrastruktur pertanian; b. pembiayaan penelitian, pengembangan benih dan varietas unggul; c. kemudahan mengakses informasi dan teknologi; d. penyediaan sarana dan prasarana produksi pertanian; e. jaminan penerbitan sertipikat hak atas tanah pada lahan pertanian pangan berkelanjutan; dan/atau f. penghargaan bagi petani berprestasi tinggi. Pada level Pemerintah Provinsi Jambi, Gubernur melalui Peraturan Nomor 14 Tahun

(38)

pembangunan perumahan serta pembangunan fisik lainnya, kecuali untuk kepentingan umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kemungkinan mengubah peruntukan tersebut terbuka hanya jika sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang dan harus mendapat persetujuan Pemerintah Kabupaten/Kota setempat. Pada Pasal 8 Peraturan Gubernur ini dijelaskan tentang pemberian insentif kepada orang atau badan hukum yang tetap mempertahankan pemanfaatan lahan untuk usaha budidaya tanaman pangan dan hortikultura secara optimal dan tidak mengalihfungsikan untuk peruntukan lain (ayat (1)) dan sebaliknya akan memperoleh disinsentif untuk orang/pihak yang sengaja rnengalihfungsikan lahan tanaman pangan dan hortikultura untuk peruntukan lain (Pasal 8 ayat (3)). Namun jenis, nilai dan pendistribusian insentif tidak dijelaskan lebih lanjut. Pada Tabel

dijelaskan pertimbangan dan kriteria pemberian insentif di level kabupaten/kota

Keberadaan UU Desa Nomor 6 Tahun 2014 dapat memperkuat partisipasi masyarakat dalam proses penetapan lahan pertanian pangan dan memperjuangkan insentif ekonomi yang memadai. Hal ini terkait dengan kewenangan desa melalui Kepala Desanya (Pasal 26) diantaranya: membina dan meningkatkan perekonomian desa serta mengintegrasikannya agar mencapai perekonomian skala produktif untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat desa; mengembangkan sumber pendapatan desa; serta mengoordinasikan pembangunan desa secara Tabel . Pertimbangan dan kriteria pemberian insentif

No Pertimbangan Kriteria Keterangan

tipologi Lahan a. lahan beririgasi; b. lahan rawa pasang surut / lebak; c. lahan tidak beririgasi

lahan rawa pasang surut / lebak memperoleh tambahan insentif

kesuburan tanah kesesuaian lahan pada komoditas tertentu yang diatur

dengan Peraturan Menteri

Lahan dengan kesuburan rendah diberikan insentif lebih banyak.

luas tanam minimal 25 Ha/ satu hamparan - irigasi a. kinerja jaringan irigasi; b.

tingkat operasi; c. pemeliharaan irigasi

Prioritas: memerlukan rehabilitasi jaringan irigasi; yang operasi dan pemeliharaannya baik (luasan maks 1.000 Ha )

tingkat fragmentasi lahan

fragmentasi pada satu hamparan Prioritas: tidak mengalami fragmentasi pada satu hamparan produktivitas usaha

ta

Gambar

Tabel  .  Opsi instrumen kebijakan untuk penataan lahan basah
Tabel  .  Perbandingan kebijakan ekonomi pertanian di berbagai negara
Tabel  .  Perbandingan program Conservation Easement (AS) dan PLP2B
Tabel  .  Pertimbangan dan kriteria pemberian  insentif
+7

Referensi

Dokumen terkait

Perubahan penggunaan lahan sawah menjadi bukan sawah di Kota Denpasar merupakan tantangan bagi ketahanan pangan, walaupun sudah dituangkan dalam peraturan Pemerintah

Penelitian bertujuan untuk menganalisis laju alih fungsi lahan sawah di Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat, menganalisis faktor apa saja yang mempengaruhi alih

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis laju alih fungsi lahan sawah di Kabupaten Deli Serdang, untuk menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya alih

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis laju alih fungsi lahan sawah di Kabupaten Deli Serdang, untuk menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya alih

dalam penelitian ini, diantaranya adalah mengetahui besar alih fungsi lahan pertanian sawah dan faktor yang mempengaruhinya, mengetahui keterse- diaan pangan, dan mengetahui

dalam penelitian ini, diantaranya adalah mengetahui besar alih fungsi lahan pertanian sawah dan faktor yang mempengaruhinya, mengetahui keterse- diaan pangan, dan mengetahui

Tujuan penelitian ini adalah untuk: menganalisis laju alih fungsi lahan sawah di Kabupaten Deli Serdang; menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya alih

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menganalisis spasial temporal alih fungsi lahan pertanian sawah ke non pertanian tahun 2012-2021 di Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi..