• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Rumahtangga Nelayan Dalam Mengatasi Kemiskinan (Studi Kasus Nelayan Desa Limbangan, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Strategi Rumahtangga Nelayan Dalam Mengatasi Kemiskinan (Studi Kasus Nelayan Desa Limbangan, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat)"

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)

Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat)

Oleh:

ABDUL MUGNI

A14202017

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABDUL MUGNI. STRATEGI RUMAHTANGGA NELAYAN DALAM MENGATASI KEMISKINAN. Studi Kasus Nelayan Desa Limbangan, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat (Di bawah bimbingan SAHARUDIN)

Kemiskinan pada masyarakat nelayan di Desa Limbangan dipahami sebagai ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar, yaitu kebutuhan akan sandang, pangan dan papan serta keterbatasan dalam menjangkau pelayanan pendidikan. Ciri kemiskinan pada masyarakat nelayan di Desa Limbangan dapat diidentifikasi secara fisik dan sosial. Secara fisik, kemiskinan dapat dicirikan oleh kepemilikan rumah tempat tinggal yang sangat sederhana, yaitu berupa rumah semi permanen dan rumah yang terbuat dari dinding anyaman bambu. Selain itu, dapat pula terlihat dari keterbatasan pemilikan barang-barang yang dapat menunjukkan status sosial yang tinggi seperti emas, perabotan rumahtangga yang mewah, dan lain-lain. Secara sosial, kemiskinan pada masyarakat nelayan dapat terlihat dari rendahnya tingkat pendidikan keluarga, tingkat kesehatan dan lain-lain.

Faktor-faktor penyebab kemiskinan pada masyarakat nelayan di Desa Limbangan sangat kompleks dan beragam. Faktor-faktor penyebab kemiskinan tersebut berupa perubahan cuaca dan fluktuasi musim ikan, sumberdaya manusia (SDM) nelayan yang masih rendah, adanya eksploitasi pemodal, ketimpangan dalam sistem bagi hasil, motorisasi dan kebiasaan nelayan.

(3)

(Studi Kasus Nelayan Desa Limbangan, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat)

Oleh: ABDUL MUGNI

A14202017

SKRIPSI

Sebagai Bagian Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada

Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(4)

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG

BERJUDUL “STRATEGI RUMAHTANGGA NELAYAN DALAM

MENGATASI KEMISKINAN” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA

PERGURUAN TINGGI MANAPUN UNTUK MEMPEROLEH GELAR

AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN SKRIPSI INI

BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG

BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN

OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG

DINYATAKAN DALAM NASKAH.

Bogor, Agustus 2006

Abdul Mugni

(5)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang ditulis oleh: Nama Mahasiswa : ABDUL MUGNI

Nomor Pokok : A14202017

Judul : Strategi Rumahtangga Nelayan Dalam Mengatasi Kemiskinan (Studi Kasus Nelayan Desa Limbangan, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat).

Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Ir. Saharuddin, M.Si NIP. 132 047 078

Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr. NIP. 130 422 698

(6)

i

Fenomena kemiskinan pada masyarakat nelayan di Indonesia merupakan topik yang sering diperbincangkan baik dalam karya ilmiah maupun dalam media masa. Dalam tulisan ini dijelaskan tentang faktor-faktor penyebab kemiskinan pada masyarakat nelayan dan bentuk-bentuk strategi rumahtangga nelayan dalam berusaha mengatasi faktor-faktor penyebab kemiskinan tersebut. Semua kegiatan yang berkaitan dengan penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari adanya dukungan berbagai pihak. Karena itu, saya mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan terhadap kegiatan penyusunan skripsi ini. Skripsi ini dimaksudkan sebagai syarat kelulusan studi S1 saya di Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2006

(7)

ii

Alhamdulillah. Puji syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan nikmat-Nya kepada kita semua. Atas izin dari-Nya juga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi syarat kelulusan studi S1 di Institut Pertanian Bogor. Penulisan skripsi ini mengambil judul “ Strategi Rumahtangga Nelayan Dalam Mengatasi Kemiskinan”.

Pada kesempatan ini rasa hormat dan terimakasih serta penghargaan yang tulus penulis sampaikan kepada:

1. Bapak Ir. Saharudin, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi. Atas saran dan bimbingannya.

2. Ibu Ir. Melani abdulkadir Sunito, M.Si selaku pembimbing akademik, yang selalu mendukung dan memberi semangat.

3. Ir. Martua Sihalaho, M.Si, yang telah bersedia menjadi penguji dalam ujian skripsi saya.

4. Ibu dan Ayah tercinta atas do’a dan usahanya yang tak kenal lelah memperjuangkan segalanya.

5. Keluarga tercinta (paman, bibi, kakak dan adik-adikku) atas segala do’a dan dukungannya.

6. Keluarga besar Bapak Prof. Dr. Ir. H. Dedi Fardiaz, M.Sc atas segala dorongan, bimbingan dan bantuannya.

7. Rosi Cisadesi atas semangat, dukungan, kebersamaan dan bantuannya selama penyusunan skripsi ini.

8. Masyarakat nelayan Desa Limbangan, atas kerjasama dan bantuannya. 9. Teman-teman KPM 39 atas kebersamaan dan dukungannya.

(8)

Barat. Penulis merupakan anak keempat dari sebelas bersaudara pasangan Mukamad dan Maeni. Pendidikan yang di tempuh oleh penulis pertama kali adalah SDN Srengseng III, Kecamatan Krangkeng, Kabupaten Indramayu, tahun 1990-1996. Penulis melanjutkan ke SLTPN 1 Karangampel di kota yang sama pada tahun 1996-1999. Sekolah Menengah Umum ditempuh penulis di SMUN 1 Krangkeng, pada tahun 1999-2002. Pada tahun 2002 pula, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Ujian Seleksi Masuk IPB) pada Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (KPM) sebagai angkatan 39.

Selama bersekolah, penulis aktif dalam berbagai kegiatan ekstrakurikuler seperti Pramuka, PASKIBRA, PMR, dan OSIS. Penulis pernah menjabat sebagai ketua PMR SMUN 1 Krangkeng pada tahun 2000-2001. Begitu pula pada masa kuliah, penulis aktif dalam kegiatan kemahasiswaan. Penulis pernah menjabat sebagai ketua UKM Aikido Institut Pertanian Bogor periode 2003-2004 dan, staf Biro Olahraga dan Seni MISETA periode 2003-2004 dan anggota UKM Bulutangkis tahun 2003 sampai sekarang.

(9)

iii

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

UCAPAN TERIMAKASIH ... ii

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Kegunaan Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendekatan Teoritis ... 7

2.1.1 Karakteristik Umum Masyarakat Nelayan ... 7

2.1.1.1 Stratifikasi Masyarakat Nelayan ... 7

2.1.1.2 Tipologi Nelayan ... 8

2.1.1.3 Hubungan Antar Tipe Nelayan ... 11

2.1.2 Kemiskinan Nelayan ... 12

2.1.2.1 Konsep Kemiskinan ... 12

2.1.2.2 Ciri Kemiskinan Nelayan ... 17

2.1.2.3 Faktor-faktor Penyebab Kemiskinan Nelayan ... 18

2.1.3 Strategi Rumahtangga Nelayan ... 20

2.2 Kerangka Pemikiran ... 23

2.3 Batasan Pengertian ... 27

(10)

iv

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 30

3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 30

3.4 Teknik Pengolahan dan Analisis Data ... 31

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Desa ... 33

4.1.1 Lokasi dan Keadaan Alam ... 33 4.1.2 Penduduk dan Mata Pencaharian ... 34 4.1.3 Sarana, Prasarana dan Pola Pemukiman ... 36

4.1.4 Motorisasi Peralatan Tangkap ... 39

4.1.5 Jenis Paralatan Tangkap ... 40

4.1.6 Tradisi dan Kepercayaan Masyarakat ... 44

BAB V KEMISKINAN DAN STRATEGI RUMAHTANGGA NELAYAN 5.1 Situasi Umum Kehidupan Nelayan ... 46

5.1.1 Stratifikasi Masyarakat Nelayan ... 47

5.1.2 Hubungan Antar Tipe Nelayan ... 48

5.1.3 Sistem Bagi Hasil ... 51

5.1.4 Kemiskinan Nelayan ... 61

5.2 Faktor-faktor Penyebab Kemiskinan Nelayan ... 64

5.2.1 Fluktuasi Musim Tangkapan ... 64

5.2.2 Sumberdaya Manusia (SDM) Nelayan ... 65

5.2.3 Eksploitasi Pemodal (Bakul) ... 66

5.2.4 Ketimpangan Sistem Bagi Hasil ... 67

5.2.5 Motorisasi ... 68

5.2.6 Pencemaran Lingkungan ... 69

5.2.7 Kebiasaan Nelayan ... 70

5.3 Strategi Rumahtangga Nelayan ... 72

5.3.1 Peran Anggota Keluarga ... 72

(11)

v

5.3.5 Jaringan Sosial ... 76

BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan ... 88

6.2 Saran ... 92

DAFTAR PUSTAKA ... 93

(12)

vi

Halaman

No Teks

1. Jumlah dan Persentase Penduduk Desa Limbangan, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat

Menurut Tingkat Pendidikan, 2005 ... 34

2. Jumlah dan Persentase Penduduk menurut Jenis Mata Pencaharian di Desa Limbangan ... 35

3. Bangunan Sarana Pendidikan di Desa Limbangan, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat ... 37

4. Bangunan Rumah Nelayan Menurut Jenis Rumah, Jumlah, dan Pemilik .. 39

5. Perbedaan Jenis Alat Tangkap Nelayan di Desa Limbangan Menurut Jenis ikan, Jumlah nelayan, Frekuensi menabur jaring, Wilayah operasi dan Musim ... 43

6. Pembagian Hasil Bidak pada Jenis Alat Tangkap Jaring Payang ... 53

7. Pembagian Hasil Bidak pada Jenis Alat Tangkap Jaring Kantong ... 56

8. Pembagian Hasil Bidak pada Jenis Alat Tangkap Jaring Rampusan ... 58

9. Pembagian Hasil Bidak pada Jenis Alat Tangkap Jaring Kopet ... 60

10. Kalender Musim Nelayan Desa Limbangan ... 64

11. Peralatan Tangkap Berdasarkan Jenis Ikan yang dapat di Tangkap ... 75

(13)

vii

Halaman

No Teks

1. Kerangka Studi Strategi Nelayan Dalam Mengatasi Kemiskinan ... 26

2. Bagan Alir Bagi Hasil Pada Jenis Alat tangkap Jaring Payang ... 55

3. Bagan Alir Bagi Hasil Pada Jenis Alat tangkap Jaring Kantong ... 57

4. Rumah Tempat Tinggal Nelayan Bidak ... 63

5. Kegiatan Menggorek Anak-anak Nelayan di Tempat Pelelangan Ikan ... 72

6. Struktur Jaringan Sosial: Hubungan Bidak, Juragan dan Bakul ... 77

7. Peta Mobilitas Musiman Nelayan di Desa Limbangan ... 80

(14)

viii

Halaman

No

(15)

1.1. Latar Belakang

Sumberdaya pesisir dan kelautan adalah asset yang penting bagi Indonesia. Dengan luas laut 5,8 juta Km2, Indonesia sesungguhnya memiliki sumberdaya perikanan laut yang besar dan beragam. Potensi lestari sumberdaya perikanan laut di Indonesia adalah 6,7 juta ton pertahun dari berbagai jenis ikan, udang dan cumi-cumi. Apabila potensi ini diperkirakan kedalam nilai ekonomi berdasarkan harga satuan komoditi perikanan, maka akan diperoleh nilai sebesar US $ 15 Miliar (Dahuri, 1996).

Jumlah penduduk Indonesia sekitar 210 juta jiwa. Pada saat ini setidaknya terdapat 2 juta rumahtangga yang menggantungkan hidupnya pada sektor perikanan. Dengan asumsi tiap rumahtangga nelayan memiliki 6 jiwa maka sekurang-kurangnya terdapat 12 juta jiwa yang menggantungkan hidupnya sehari-hari pada sumberdaya laut termasuk pesisir. Mereka pada umumnya mendiami daerah kepulauan, sepanjang pesisir termasuk danau dan sepanjang aliran sungai. Penduduk tersebut tidak seluruhnya menggantungkan hidupnya dari kegiatan menangkap ikan akan tetapi masih ada bidang-bidang lain seperti usaha pariwisata bahari, pengangkutan antar pulau, danau dan penyeberangan, pedagang perantara atau eceran hasil tangkapan nelayan, penjaga keamanan laut , penambangan lepas pantai dan usaha-usaha lainnya yang berhubungan dengan laut dan pesisir.

(16)

nelayan adalah masyarakat paling miskin dibanding anggota masyarakat subsisten lainnya (Kusnadi, 2002). Suatu ironi bagi sebuah Negara Maritim seperti Indonesia bahwa ditengah kekayaan laut yang begitu besar masyarakat nelayan merupakan golongan masyarakat yang paling miskin.

Pemandangan yang sering dijumpai di perkampungan nelayan adalah lingkungan hidup yang kumuh serta rumah-rumah yang sangat sederhana. Kalaupun ada rumah-rumah yang menunjukkan tanda-tanda kemakmuran (misalnya rumah yang megah dan berantena parabola), rumah-rumah tersebut umumnya dipunyai oleh pemilik kapal, pemodal, atau rentenir yang jumlahnya tidak signifikan dan sumbangannya kepada kesejahteraan komunitas sangat tergantung kepada individu yang bersangkutan. Disamping itu, karena lokasi geografisnya yang banyak berada di muara sungai, lingkungan nelayan sering kali juga sudah sangat terpolusi.

Sejak dahulu sampai sekarang nelayan telah hidup dalam suatu organisasi kerja secara turun-temurun tidak mengalami perubahan yang berarti. Kelas pemilik sebagai juragan relatif kesejahteraannya lebih baik karena menguasai faktor produksi seperti kapal, mesin alat tangkap maupun faktor pendukungnya seperti es, garam dan lainnya. Kelas lainnya yang merupakan mayoritas adalah pekerja atau penerima upah dari pemilik faktor produksi dan kalaupun mereka mengusahakan sendiri faktor atau alat produksinya masih sangat konvensional, sehingga produktivitasnya tidak berkembang, kelompok inilah yang terus berhadapan dan digeluti oleh kemiskinan (Pangemanan dkk, 2003).

(17)

memiliki ciri-ciri khusus seperti pengunaan wilayah pesisir dan lautan ( common

property ) sebagai faktor produksi, adanya ketidakpastian penghasilan, jam kerja yang harus mengikuti siklus bulan yaitu dalam 30 hari satu bulan yang dapat dimanfaatkan untuk melaut hanya 20 hari sisanya mereka relatif menganggur. Selain itu pekerjaan menangkap ikan adalah merupakan pekerjaan yang penuh resiko dan umumnya karena itu hanya dapat dikerjakan oleh laki-laki, hal ini mengandung arti anggota keluarga yang lain tidak dapat membantu secara penuh.

Kemiskinan bukanlah masalah yang baru, namun pada akhir-akhir ini kembali muncul ke permukaan sebagai akibat dari laju pertumbuhan ekonomi yang mendorong terjadinya kesenjangan yang semakin melebar antara “si kaya” dan “si miskin” (Hermanto, 1995). Problem kemiskinan merupakan suatu hal yang tidak bisa terlepas dari pembangunan suatu bangsa. Kemiskinan merupakan side effect dari lajunya pembangunan nasional tanpa ada maksud untuk menciptakannya (Dahuri, 1994).

(18)

Departemen Perikanan dan Kelautan (DKP) sebagai wujud keseriusan pemerintah dalam menangani pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan serta masalah kemiskinan nelayan. Keberadaan DKP diharapkan membawa angin segar bagi masyarakat kelautan dan perikanan, terutama masyarakat nelayan. yang selama ini menjadi korban pembangunan. Namun dalam perjalanannya, ternyata keberadaan DKP dengan program-programnya, khususnya Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) hingga saat ini belum mampu menciptakan nelayan-nelayan tangguh dan sejahtera. Hal ini didasarkan pada fakta empiris yang menunjukkan masih kurang tepatnya berbagai pendekatan yang digunakan oleh para akademisi, LSM dan birokrat dalam melaksanakan program pembangunan, terlebih program yang hanya bersifat proyek jangka pendek (Solihin, 2005).

(19)

1.2. Perumusan Masalah

Merujuk pada latar belakang yang telah diuraikan di atas, perumusan masalah yang akan ditelaah lebih lanjut dalam penelitian ini adalah mengenai kemiskinan pada masyarakat nelayan dan strategi yang dilakukan oleh rumahtangga nelayan dalam mengatasi faktor-faktor penyebab kemiskinan tersebut. Secara lebih rinci permasalahan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Faktor-faktor apa yang menyebabkan kemiskinan pada masyarakat nelayan? 2. Bagaimana strategi rumahtangga nelayan dalam berusaha mengatasi

faktor-faktor penyebab kemiskinan tersebut?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui faktor-faktor penyebab kemiskinan pada masyarakat nelayan dan mengidentifikasi usaha-usaha rumahtangga nelayan dalam mengatasi faktor-faktor penyebab kemiskinan tersebut.

1.4. Kegunaan Penelitian

(20)
(21)

2.1. Pendekatan Teoritis

2.1.1. Karakteristik Umum Masyarakat Nelayan

Nelayan dapat diartikan sebagai orang yang hasil mata pencaharian utamanya berasal dari menangkap ikan di laut. Menurut Setyohadi (1998), nelayan dikategorikan sebagai seseorang yang pekerjaannya menangkap ikan dengan menggunakan alat tangkap yang sederhana, mulai dari pancing, jala dan jaring, bagan, bubu sampai dengan perahu atau jukung yang dilengkapi dengan alat tangkap ikan. Namun dalam perkembangannya nelayan dapat pula dikategorikan sebagai seorang yang profesinya menangkap ikan dengan alat yang lebih modern berupa kapal ikan beserta peralatan tangkapnya yang sekarang dikenal sebagai anak buah kapal (ABK). Di samping itu juga nelayan dapat diartikan sebagai petani ikan yang melakukan budidaya ikan di tambak dan keramba-keramba di pantai.

2.1.1.1. Stratifikasi Masyarakat Nelayan

(22)

menempati kedudukan yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan pihak-pihak lain. Gejala tersebut menimbulkan lapisan masyarakat, yang merupakan pembedaan posisi seseorang atau suatu kelompok dalam kedudukan yang berbeda secara vertikal.

Menurut Kusnadi (2000), dengan mengamati pola-pola penguasaan asset produksi, seperti modal, peralatan tangkap, dan pasar, akan mudah mengidentifikasi adanya pelapisan sosial dalam kehidupan masyarakat nelayan. Perbedaan-perbedaan kemampuan ekonomi diantara lapisan-lapisan sosial itu diwujudkan dalam ketimpangan pemilikan barang-barang kekayaan. Di bagian-bagian tertentu dari kampung nelayan, biasanya ada satu-dua rumah yang dibangun megah. Sementara itu, kondisi rumah-rumah disekitarnya adalah sebaliknya. Jenis rumah pertama dapat diidentifikasi sebagai rumah pemilik perahu, pedagang ikan, sedangkan jenis rumah yang terakhir adalah milik nelayan miskin. Gejala demikian merupakan gejala yang paling kasat mata dalam kehidupan di kampung-kampung nelayan.

Rumah-rumah yang megah dan perhiasan emas yang dikenakan dalam penampilan sehari-hari adalah harta kekayaan yang biasa diperlihatkan orang-orang kaya. Sebaliknya, rumah yang sederhana, tidak adanya perhiasan dan banyaknya hutang ke berbagai pihak adalah bentuk dari ketiadaan harta yang bisa diperlihatkan oleh orang-orang miskin kepada masyarakat.

2.1.1.2. Tipologi Nelayan

(23)

(2001), kriteria dalam tipologi masyarakat nelayan dapat dilihat berdasarkan kapasitas teknologi (alat tangkap dan armada) maupun budaya. Dua hal tersebut (teknologi dan orientasi budaya) sangat terkait satu sama lain. Nelayan kecil mencakup barbagai karakteristik, ketika seorang nelayan belum menggunakan alat tangkap yang maju, pada umumnya diiringi oleh beberapa karakteristik budaya seperti lebih berorientasi subsistensi. Sementara itu, nelayan besar dicirikan oleh skala usaha yang besar, baik kapasitas teknologi penangkapan maupun jumlah armadanya, mereka berorientasi pada keuntungan (profit oriented), dan umumnya melibatkan sejumlah buruh nelayan sebagai anak buah kapal (ABK) dengan organisasi kerja yang semakin kompleks. Pola hubungan antar berbagai status dalam organisasi tersebut juga semakin hierarkhis. Wilayah operasinya pun semakin beragam.

Satria (2002), menggolongkan nelayan menjadi 4 (empat) tingkatan yang dilihat dari kapasitas teknologi, orientasi pasar dan karakteristik hubungan produksi. Keempat tingkatan nelayan terbut adalah:

1. Peasant-fisher atau nelayan tradisional yang biasanya lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan sendiri (subsisten). Umumnya nelayan golongan ini masih menggunakan alat tangkap tradisional, seperti dayung atau sampan tidak bermotor dan masih melibatkan anggota keluarga sebagai tenaga kerja utama.

(24)

surplus dari hasil tangkapannya karena mempunyai daya tangkap lebih besar. Umunya, nelayan jenis ini masih beroperasi diwilayah pesisir. Pada jenis ini, nelayan sudah berorientasi pasar. Sementara itu, tenaga kerja yang digunakan sudah meluas dan tidak bergantung pada anggota keluarga saja. 3. Commercial fisher, yaitu nelayan yang telah berorientasi pada peningkatan

keuntungan. Skala usahanya sudah besar yang dicirikan dengan banyaknya jumlah tenaga kerja dengan status yang berbeda dari buruh hingga manajer. Teknologi yang digunakan pun lebih modern dan membutuhkan keahlian tersendiri dalam pengoperasian kapal maupun alat tangkapnya.

4. Industrial fisher, ciri nelayan jenis ini adalah diorganisasi dengan cara-cara yang mirip dengan perusahaan agroindustri dinegara-negara maju, secara relatif lebih padat modal, memberikan pendapatan yang lebih tinggi daripada perikanan sederhana, baik untuk pemilik maupun awak perahu, dan menghasilkan untuk ikan kaleng dan ikan beku yang berorientasi ekspor.

Menurut Mubyarto, et al (1984), berdasarkan stratifikasi yang ada pada masyarakat nelayan, dapat diketahui berbagai tipologi nelayan, yaitu:

1. Nelayan kaya A, yaitu nelayan yang mempunyai kapal sehingga mempekerjakan nelayan lain tanpa ia sendiri harus ikut bekerja.

2. Nelayan kaya B, yaitu nelayan yang memiliki kapal tetapi ia sendiri masih ikut bekerja sebagai awak kapal.

(25)

4. Nelayan miskin, yaitu nelayan yang pendapatan dari perahunya tidak mencukupi kebutuhan hidupnya, sehingga harus ditambah dengan bekerja lain baik untuk ia sendiri atau untuk isteri dan anak-anaknya.

5. Nelayan pandega atau tukang kiteng.

2.1.1.3. Hubungan Antar Tipe Nelayan

Menurut Satria (2002), hubungan antar tipe nelayan dicirikan dengan kuatnya ikatan patron-klien. Kuatnya ikatan patron-klien tersebut merupakan konsekuensi dari sifat kegiatan penangkapan ikan yang penuh dengan resiko dan ketidakpastian. Bagi nelayan, menjalin ikatan dengan patron merupakan langkah yang penting untuk menjaga kelangsungan kegiatannya karena pola patron-klien merupakan institusi jaminan ekonomi. Hal ini terjadi karena nelayan belum menemukan alternatif institusi yang menjamin kepentingan sosial ekonomi mereka. Masyhuri (2001), menggambarkan bahwa pada saat hasil tangkapan kurang baik, nelayan kekurangan uang. Pada akhirnya, ia melepas barang-barang yang mudah dijual dengan harga lebih murah kepada patron. Selanjutnya, nelayan akan mencari hutang kepada patron dengan jaminan ikatan pekerjaan atau hasil tangkapan yang hanya akan dijual kepada patron dengan harga lebih rendah dari harga pasar.

(26)

memperebutkan sumberdaya perikanan dapat berlangsung di berbagai daerah pesisir.

2.1.2. Kemiskinan Nelayan

2.1.2.1. Konsep Kemiskinan

Kemiskinan secara umum dapat dibedakan dalam beberapa pengertian. Menurut Hermanto dkk. (1995), kemiskinan dapat diartikan suatu keadaan dimana seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, yaitu kebutuhan akan pangan. Sedangkan Mangkuprawira (1993) menjelaskan bahwa kemiskinan sering disebut pula sebagai ketidak berdayaan dalam pemenuhan kebutuhan pokok baik materi maupun bukan materi. Materi dapat berupa pangan, pakaian, kesehatan dan papan. Sedangkan bukan materi berbentuk kemerdekaan, kebebasan hak asasi, kasih sayang, solidaritas, sikap hidup pesimistik, rasa syukur dan sebagainya..

(27)

mereka sampai batas yang layak dan (d) rendahnya kepemilikan masyarakat miskin ke berbagai hal yang mampu menjadi modal hidup mereka, termasuk asset kualitas sumberdaya manusia (human capital), peralatan kerja, modal dana, perumahan, pemukiman dan sebagainya.

Ellis (1983) dalam Darwin (2002), menyebutkan bahwa dimensi kemiskinan dapat diidentifikasi menurut ekonomi, sosial, dan politik. Kemiskinan ekonomi adalah kekurangan sumberdaya yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang. Kemiskinan ekonomi ini terbagi menjadi dua bagian yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut adalah seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan fisik minimum. Sedangkan kemiskinan relatif adalah seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan sesuai dengan perkembangan masyarakat saat itu.

(28)

adalah kurangnya akses kekuasaan yang dapat menentukan alokasi sumberdaya untuk kepentingan sekelompok orang atau sistem sosial.

Menurut Soemardjan (1997), ditinjau dari sudut sosiologi kemiskinan dapat dilihat dari pola-polanya, yaitu:

1. Kemiskinan Individual, kemiskinan ini terjadi karena adanya kekurangan-kekurangan yang disandang oleh seorang individu mengenai syarat-syarat yang diperlukan untuk mengentaskan dirinya dari lembah kemiskinan. Mungkin individu itu sakit-sakitan saja, sehingga tidak dapat bekerja yang memberi penghasilan. Mungkin juga ia tidak mempunyai modal finansial atau modal keterampilan (skill) untuk berusaha. Mungkin juga ia tidak mempunyai jiwa usaha atau semangat juang untuk maju di dalam kehidupan. Individu demikian itu dapat mederita hidup miskin dalam lingkungan yang kaya. Namun bagaimanapun, kalau individu itu dikaruniai jiwa usaha yang kuat atau semangat juang yang tinggi niscaya ia akan menemukan jalan untuk memperbaiki taraf hidupnya.

(29)

tempat lain yang secara keseluruhan dapat dianggap komunitas atau daerah yang lebih miskin.

3. Kemiskinan Struktural, kemiskinan ini dinamakan struktural karena disandang oleh suatu golongan yang ”built in” atau menjadi bagian yang seolah-olah tetap dalam struktur suatu masyarakat. Di dalam konsep kemiskinan struktural ada suatu golongan sosial yang menderita kekurangan-kekurangan fasilitas, modal, sikap mental atau jiwa usaha yang diperlukan untuk melepaskan diri dari ikatan kemiskinan. Salah satu contoh dari golongan yang menderita kemiskinan struktural yaitu nelayan yang tidak memiliki perahu. Di dalam golongan ini banyak terdapat orang-orang yang tidak mungkin hidup wajar hanya dari penghasilan kerjanya, akibatnya mereka harus pinjam dan selama hidup terbelit hutang yang tak kunjung lunas.

4. Kemiskinan Budaya, yaitu kemiskinan yang diderita oleh suatu masyarakat di tengah-tengah lingkungan alam yang mengandung cukup banyak sumberdaya yang dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki taraf hidupnya. Kemiskinan ini disebabkan karena kebudayaan masyarakat tidak memiliki ilmu pengetahuan, pengalaman, teknologi, jiwa usaha dan dorongan sosial yang diperlukan untuk menggali kekayaan alam di lingkungannya dan menggunakannya untuk keperluan masyarakat.

(30)

suatu adaptasi atau penyesuaian, dan juga sekaligus merupakan reaksi kaum miskin terhadap kedudukan marginal mereka di dalam masyarakat yang berstrata kelas, sangat individualistis dan berciri kapitalisme. Kebudayaan tersebut mencerminkan suatu upaya mengatasi rasa putus asa dan tanpa harapan, yang merupakan perwujudan dari kesadaran bahwa mustahil dapat meraih sukses di dalam kehidupan sesuai dengan nilai-nilai dan tujuan masyarakat yang lebih luas.

Kurang efektifnya partisipasi dan integrasi kaum miskin ke dalam lembaga-lembaga utama masyarakat, merupakan salah satu ciri terpenting kebudayaan kemiskinan. Ini merupakan masalah yang rumit dan merupakan akibat dari berbagai faktor termasuk langkanya sumberdaya-sumberdaya ekonomi, segregasi dan diskriminasi, ketakutan, kecurigaan atau apati, serta berkembangnya pemecahan-pemecahan masalah secara setempat.

(31)

2.1.2.2. Ciri Kemiskinan Nelayan

Menurut Hermanto (1995), kemiskinan pada masyarakat nelayan dapat dicirikan oleh pendapatan yang berfluktuasi, pengeluaran yang konsumtif, tingkat pendidikan keluarga rendah, kelembagaan yang ada belum mendukung terjadinya pemerataan pendapatan, potensi tenaga kerja keluarga (istri dan anak) belum dapat dimanfaatkan dengan baik, dan akses terhadap permodalan yang rendah.

Menurut Kusnadi (2002), ciri umum yang dapat dilihat dari kondisi kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi dalam kehidupan masyarakat nelayan adalah fakta-fakta yang bersifat fisik berupa kualitas pemukiman. Kampung-kampung nelayan miskin akan mudah diidentifikasi dari kondisi rumah hunian mereka. Rumah-rumah yang sangat sederhana, berdinding anyaman bambu, berlantai tanah berpasir, beratap daun rumbia, dan keterbatasan pemilikan perabotan rumahtangga adalah tempat tinggal para nelayan buruh atau nelayan tradisional. Sebaliknya, rumah-rumah yang megah dengan segenap fasilitas yang memadai akan mudah dikenali sebagai tempat tinggal pemilik perahu, pedagang perantara atau pedagang berskala besar dan pemilik toko.

(32)

perumahan dan sandang dijadikan sebagai kebutuhan sekunder. Kebutuhan akan pangan merupakan prasyarat utama agar rumahtangga nelayan dapat bertahan hidup.

2.1.2.3. Faktor-faktor Penyebab Kemiskinan Nelayan

Menurut Pangemanan dkk. (2003), ada banyak penyebab terjadinya kemiskinan pada masyarakat nelayan, seperti kurangnya akses kepada sumber-sumber modal, akses terhadap teknologi, akses terhadap pasar maupun rendahnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Selain itu dapat pula disebabkan karena faktor-faktor sosial seperti pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi, rendahnya tingkat pendidikan, dan rendahnya tingkat kesehatan serta alasan-alasan lainnya seperti kurangnya prasarana umum di wilayah pesisir, lemahnya perencanaan spasial yang mengakibatkan tumpang tindihnya beberapa sektor pada satu kawasan, polusi dan kerusakan lingkungan.

Menurut Kusnadi (2000), faktor-faktor yang menyebabkan semakin terpuruknya kesejahteraan nelayan sangat kompleks, yaitu:

1. Faktor alam yang berkaitan dengan fluktuasi musim ikan. Jika musim ikan atau ada potensi ikan yang relatif baik, perolehan pendapatan bisa lebih terjamin, sedangkan pada saat tidak musim ikan nelayan akan menghadapi kesulitan-kesulitan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Faktor alamiah ini selalu berulang setiap tahun.

(33)

teknologi pengolahan hasil ikan, dampak negatif modernisasi, serta terbatasnya peluang-peluang kerja yang bisa di akses oleh rumahtangga nelayan. Kondisi-kondisi aktual yang demikian dan pengaruh terhadap kelangkaan sumberdaya akan senantiasa menghadapkan rumahtangga nelayanke dalam jebakan kekurangan.

(34)

2.1.3. Strategi Rumahtangga Nelayan

Konsep strategi dapat diartikan sebagai rencana yang cermat mengenai suatu kegiatan untuk mencapai tujuan tertentu. Secara harfiah pengertian strategi adalah berbagai kombinasi dari aktivitas dan pilihan-pilihan yang harus dilakukan orang agar supaya dapat mencapai kebutuhan dan tujuan kehidupannya (Barret, et all. dalam Aristiyani, 2001). Crow dalam Dharmawan (2003) mengartikan strategi sebagai seperangkat pilihan diantara berbagai alternatif yang ada. Konsep strategi ini merupakan bagian dari pilihan rasional, dimana dalam teori tersebut dikatakan bahwa setiap pilihan yang dibuat individu, termasuk pemilihan suatu strategi dibuat berdasarkan perimbangan rasional dengan mempertimbangkan untung rugi yang akan diperoleh.

(35)

Menurut Sitorus (1999) dalam Ihromi (1999), strategi ekonomi keluarga nelayan miskin menunjuk pada alokasi potensi sumberdaya rumahtangga secara rasional kedua sektor kegiatan sekaligus, yaitu sektor produksi dan sektor non produksi. Di bidang produksi, rumahtangga nelayan miskin menerapkan pola nafkah ganda, yaitu melibatkan sebanyak mungkin potensi tenaga kerja rumahtangga di berbagai kegiatan ekonomi pertanian dan luar pertanian, baik dalam status berusaha sendiri maupun status memburuh.

Sektor non produksi atau lembaga kesejahteraan asli merupakan bagian penting dalam strategi ekonomi rumahtangga nelayan miskin. Sekalipun sifatnya tidak rutin, keterlibatan anggota rumahtangga di lembaga kesejahteraan asli dapat memberikan manfaat ekonomi yang penting bagi rumahtangga, secara langsung maupun tidak langsung. Penerimaan dari lembaga arisan, memungkinkan rumahtangga nelayan miskin untuk dapat membiayai kebutuhan yang memerlukan biaya cukup besar, antara lain perbaikan rumah, biaya sekolah anak, pesta (ritus), dan modal usaha. Penerimaan tersebut tidak saja membantu rumahtangga nelayan miskin dalam mengatasi konsekuensi kemiskinan (berupa kekurangan konsumsi) tetapi pada tingkat tertentu juga dapat mengatasi penyebab kemiskinan berupa kekurangan modal produksi.

Menurut Kusnadi (2000), strategi nelayan dalam menghadapi kemiskinana dapat dilakukan melalui:

1. Peranan Anggota Keluarga Nelayan (istri dan anak).

(36)

2. Diversifikasi Pekerjaan

Dalam menghadapi ketidakpastian penghasilan, keluarga nelayan dapat melakukan kombinasi pekerjaan.

3. Jaringan Sosial

Melalui jaringan sosial, individu-individu rumahtangga akan lebih efektif dan efisien untuk mencapai atau memperoleh akses terhadap sumberdaya yang tersedia di lingkungannya. Jaringan sosial memberikan rasa aman bagi rumahtangga nelayan miskin dalam menghadapi setiap kesulitan hidup sehingga dapat mengarungi kehidupan dengan baik. Jaringan sosial secara alamiah bisa ditemukan dalam segala bentuk masyarakat dan manifestasi dari hakikat manusia sebagai makhluk sosial. Tindakan sosial-budaya yang bersifat kreatif ini mencerminkan bahwa tekanan-tekanan atau kesulitan-kesulitan ekonomi yang di hadapi nelayan tidak direspon dengan sikap yang pasrah. Secara umum, bagi rumahtangga nelayan yang pendapatan setiap harinya bergantung sepenuhnya pada penghasilan melaut, jaringan sosial berfungsi sangat strategis dalam menjaga kelangsungan kehidupan mereka.

4. Migrasi

(37)

kadang kala penghasilan itu dititipkan kepada teman-temannya yang sedang pulang kampung. Apabila di daerahnya sendiri telah musim ikan, atau keadaan hasil tangkapan nelayan setempat mulai membaik, merekapun akan kembali ke kampung halaman dan mencari ikan didaerah asalnya.

2.2. Kerangka Pemikiran

Menurut Kusnadi (2000), faktor penyebab kemiskinan nelayan dapat berupa berupa fluktuasi musim ikan, pada saat tidak musim menangkap ikan nelayan menghadapi kesulitan-kesulitan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ketimpangan sistem bagi hasil dan dampak negatif motorisasi, menyebabkan semakin terpuruknya nelayan kecil. Pangemanan dkk. (2003) menjelaskan bahwa faktor penyebab kemiskinan pada masyarakat nelayan yaitu berupa rendahnya tingkat pendidikan nelayan, sehingga rumahtangga nelayan sangat terbatas dalam mengakses peluang-peluang kerja yang tersedia khususnya peluang kerja di luar sektor perikanan. Sedangkan Suyanto (2003) menjelaskan bahwa kemiskinan nelayan di sebabkan oleh perangkap hutang, akibat irama musim yang tidak menentu seringkali rumahtangga nelayan miskin harus menjual asset produksi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan menutupi hutang yang tak kunjung usai.

(38)

berupa kekurangan modal produksi. Kusnadi (2000) menjelaskan bahwa strategi yang diterapkan oleh rumahtangga nelayan dalam mengatasi kemiskinan dapat berupa peranan anggota keluarga (istri dan anak) nelayan, diversifikasi pekerjaan. Penerapan strategi ini dapat membantu menambah sumber pendapatan rumahtangga nelayan di tengah ketidakpastian hasil tangkapan nelayan. Jaringan sosial juga dapat diterapkan sebagai strategi mengatasi kemiskinan karena melalui jaringan sosial rumahtangga nelayan akan lebih efektif untuk memperoleh akses terhadap sumberdaya yang tersedia di lingkungannya. Jaringan sosial memberikan rasa aman bagi rumahtangga nelayan miskin dalam menghadapi kesulitan hidup sehingga dapat mengarungi kehidupan dengan baik.

Menurut Corner (1988:187-189) dalam Kusnadi (2000), bahwa dikalangan penduduk miskin terdapat beberapa pola strategi adaptasi yang dikembangkan untuk menjaga kelangsungan hidup, yaitu:

1. Melakukan beraneka ragam pekerjaan untuk memperoleh penghasilan. 2. Jika kegiatan-kegiatan tersebut masih kurang memadai, penduduk miskin

akan berpaling kepada sistem penunjang yang ada di lingkungannya. Sistem ikatan kekerabatan, ketetanggaan, dan pengaturan tukar-menukar secara timbal balik merupakan sumberdaya yang sangat berharga bagi penduduk miskin dalam menghadapi penghasilan dan peluang yang semakin menurun.

(39)

4. Memilih alternatif lain jika ketiga alternatif di atas sulit dilakukan dan kemungkinan untuk tetap bertahan hidup di Desa sudah sangat kritis. Rumahtangga miskin tersebut harus menghadapi pilihan terakhir agar segera meninggalkan Desa dan bermigrasi ke daerah lain.

(40)
[image:40.612.155.505.164.420.2]

Berikut adalah skema atau alur berpikir dari penelitian mengenai strategi rumahtangga nelayan dalam mengatasi kemiskinan:

Gambar 1. Kerangka Studi Strategi Rumahtangga Nelayan Dalam Mengatasi Kemiskinan

Keterangan:

: Memiliki keterkaitan dengan

Faktor Penyebab Kemiskinan:

• Fluktuasi musim tangkapan

• Sumberdaya manusia nelayan

• Eksploitasi pemodal

• Ketimpangan sistem bagi hasil

• Motorisasi

• Pencemaran lingkungan

• Kebiasaan nelayan

Strategi Rumahtangga Nelayan:

• Pola nafkah ganda • Peranan anggota keluarga • Diversifikasi peralatan tangkap • Organisasi produktif

• Jaringan sosial

Kemiskinan rumahtangga

(41)

2.3. Batasan Pengertian

1. Kemiskinan

Kemiskinan dapat diartikan suatu keadaan dimana seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, yaitu kebutuhan sandang, pangan, papan, dan lain-lain.

2. Pola Nafkah Ganda

Upaya yang dilakukan rumahtangga nelayan untuk mempertahankan keberlangsungan hidup dengan menambah sumber pendapatan dengan melakukan berbagai jenis pekerjaan yang berbeda.

3. Peran Anggota Keluarga

Upaya yang dilakukan rumahtangga nelayan untuk mempertahankan keberlangsungan hidup dengan menambah sumber pendapatan melalui penghasilan anggota rumahtangga.

4. Organisasi produktif

Organisasi formal maupun informal (bentukan masyarakat sendiri) dimana rumahtangga nelayan terlibat di dalamnya untuk memperoleh sejumlah manfaat.

5. Jaringan Sosial

(42)

2.4. Hipotesis Pengarah

Faktor penyebab kemiskinan pada masyarakat nelayan sangat kompleks. Faktor penyebab kemiskinan nelayan tersebut dapat berupa fluktuasi musin tangkapan, rendahnya sumberdaya manusia (SDM) nelayan, eksploitasi pemodal, ketimpangan sistem bagi hasil, motorisasi, pencemaran lingkungan, dan kebiasaan nelayan.

(43)

3.1. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan mempergunakan pendekatan kualitatif, yang berusaha menggambarkan usaha-usaha masyarakat nelayan dalam mengatasi kemiskinan melalui metode studi kasus. Pendekatan kualitatif digunakan untuk mengembangkan pemahaman yang mendalam tentang permasalahan penelitian yang didasarkan pada pemahaman yang berkembang diantara orang-orang yang menjadi subyek penelitian. Melalui pendekatan ini, diharapkan dapat menggambarkan kompleksitas permasalahan penelitian dan untuk menghindari keterbatasan pembentukan pemahaman yang diikat oleh suatu teori tertentu dan yang hanya berdasar pada penafsiran peneliti. Melalui metode studi kasus, peneliti berusaha menangkap realitas sosial secara holistik dan mendalam tentang permasalahan penelitian.

(44)

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Masyarakat yang penulis kaji dalam penelitian mengenai strategi rumahtangga nelayan dalam mengatasi kemiskinan ini yaitu masyarakat nelayan yang berlokasi di Desa Limbangan, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat (lihat lampiran Gambar 8). Penentuan lokasi dilakukan secara

purposive (sengaja), dengan pertimbangan bahwa Desa Limbangan merupakan salah satu pusat pemukiman nelayan yang ada di Kabupaten Indramayu, dan kehidupan masyarakat nelayannya memiliki karakteristik yang mendukung topik penelitian. Selain itu juga, jarak yang relatif dekat dan penguasaan peneliti terhadap bahasa daerah masyarakat nelayan setempat dapat memudahkan dalam pengambilan data.

Waktu pelaksanaan penelitian dimulai pada bulan Juli sampai Agustus 2006. Dalam rentang waktu tersebut, peneliti diharapkan mampu mengumpulkan data-data yang diperlukan untuk menjawab perumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini.

3.3. Teknik Pengumpulan Data

(45)

pedoman pertanyaan sebagai interview guide (lihat lampiran 1). Pemakaian pedoman wawancara dimaksudkan agar proses wawancara berjalan lancar dan terarah pada fokus penelitian.

Disamping wawancara mendalam, penelitian akan menggunakan metode pengamatan langsung (observasi). Tujuan pengamatan langsung adalah untuk mencocokkan hasil wawancara dengan kenyataan yang ada. Selain itu juga, dengan pengamatan langsung diharapkan akan terungkap kenyataan yang ada yang mungkin tidak dapat diketahui hanya melalui wawancara. Sedangkan data sekunder merupakan data yang menyangkut permasalahan penelitian dari berbagai instansi maupun sumber lain yang telah didokumentasikan dan dicatat, termasuk data statistik maupun data dari sumber litaratur yang lain. Data sekunder ini akan diperoleh melalui studi dokumen.

Fenomena atau informasi penting tentang obyek studi dari seorang responden akan diperdalam dan dikembangkan lebih lanjut dengan informasi dari responden lainnya. Dengan cara ini, penetapan responden lebih ditentukan oleh permasalahan penting yang muncul atau yang ditemukan di lapangan. Responden dalam penelitian ini berjumlah 12 rumahtangga, terdiri atas 7 rumahtangga buruh nelayan (Bidak), 3 rumahtangga pemilik perahu (Juragan), dan 2 rumahtangga pemodal (Bakul).

3.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data

(46)
(47)

4.1. Gambaran Umum Desa

4.1.1. Lokasi dan Keadaan Alam

Desa Limbangan termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat. Desa ini termasuk Desa yang relatif baru, karena baru terbentuk pada tahun 1986 yang merupakan hasil pemekaran dari Desa Lombang. Menurut masyarakat setempat, asal usul nama Desa berasal perjalanan seseorang yang bernama Mbah Kuwu Sangkan, pada saat sedang mencari ikan-ikan kecil (rebon), beliau singgah di daerah ini untuk “melimbang” yang artinya memisahkan antara sampah (balad) dengan ikan, sehingga daerah ini dinamakan Desa Limbangan.

Desa Limbangan memiliki luas wilayah 321,354 Ha, terdiri dari 3 Rukun Warga (RW) dan 12 Rukun Tetangga (RT). Masing-masing RW dan RT tersebut dipimpin oleh seorang ketua. Sedangkan batas-batas wilayah administrasi Desa Limbangan, yaitu sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Lombang, sebelah Barat berbatasan dengan Desa Majakerta dan sebelah Timur berbatasan dengan Desa Lombang.

(48)

air laut, sehingga tidak cocok digunakan untuk pengairan sawah. Tanah sawah tersebut sebagian besar dimiliki oleh penduduk Desa Lombang yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani. Pada perkembangannya tanah sawah di Desa ini banyak dikonversikan menjadi tambak. Tambak yang terdapat di Desa Limbangan pada umumnya adalah tambak udang dan hanya sebagian kecil tambak ikan bandeng.

4.1.2. Penduduk dan Mata Pencaharian

[image:48.612.129.507.444.573.2]

Jumlah penduduk Desa Limbangan sebanyak 3662 jiwa atau 1004 Kepala Keluarga (KK) yang terdiri atas 1897 jiwa laki-laki dan 1765 jiwa perempuan. Adapun jumlah penduduk Desa Limbangan berdasarkan tingkat pendidikannya dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Jumlah dan Persentase Penduduk Desa Limbangan, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat Menurut Tingkat Pendidikan 2005.

No Tingkat Pendidikan Jumlah Penduduk (Jiwa)

Persentase (%)

1. Belum sekolah 1040 28,40 2. Tidak pernah sekolah 120 3,27 3. Tidak tamat SD 255 6,96 4. Belum tamat SD 697 19,04 5. Tamat SD/sederajat 878 23,97 6. Tamat SLTP/sederajat 473 12,92 7. Tamat SLTA/sederajat 186 5,08 8. Akademi/Perguruan Tinggi 13 0,36

Jumlah 3662 100,00

Sumber : Data Monografi Desa Limbangan, 2005.

(49)
[image:49.612.132.508.398.529.2]

Rendahnya jumlah anak-anak yang melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, bukan hanya disebabkan oleh ketidakmampuan para orang tua secara materi, tetapi juga oleh keinginan sendiri anak-anak tersebut. Mereka memilih tidak mau melanjutkan sekolah walaupun orangtuanya mampu. Mereka lebih memilih langsung ikut bekerja di laut atau sebagai nelayan. Sebagian dari anak-anak tersebut memilih melaut karena ikut-ikutan temannya yang lain, dan juga mereka melihat anak-anak yang lain mampu mempunyai uang sendiri setelah bekerja melaut. Namun ada juga sebagian orang tua yang menginginkan anaknya untuk membantu bekerja di laut untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, sehingga terdapat anak-anak yang terpaksa harus meninggalkan bangku sekolahnya.

Tabel 2. Jumlah dan Persentase Penduduk Menurut Jenis Mata Pencaharian di Desa Limbangan 2005.

No Jenis Mata Pencaharian Jumlah Penduduk (jiwa)

Persentase (%)

1. Nelayan 1580 81,74

2. Petani 137 7,09

3. Pedagang 105 5,43

4. Wiraswasta 75 3,89

5. Buruh Industri 15 0,78 6. Pegawai Negeri Sipil 10 0,51

7. Peternak 10 0,51

8. Montir 1 0,05

Jumlah 1933 100,00

Sumber : Data Monografi Desa Limbangan, 2005

(50)

mudah dimasuki oleh penduduk yang tingkat pendidikannya rendah dan memiliki keterbatasan modal usaha.

Mata pencaharian sebagai petani, baik petani sendiri maupun buruh tani pada tabel di atas, sebagian besar adalah bekerja sebagai petani sawah. Sementara itu buruh industri yang banyak menjadi mata pencaharian penduduk sebagian besar adalah industri pengolahan hasil ikan seperti industri udang, ikan teri dan rajungan. Selain itu adapula pemilik toko atau warung yang menjual kebutuhan hidup sehari-hari penduduk Desa Limbangan, mereka hampir tersebar merata di seluruh bagian Desa ini.

4.1.3. Sarana, Prasarana dan Pola Pemukiman Penduduk

Kondisi jalan utama yang ada di Desa Limbangan yaitu berupa jalan beraspal yang panjang keseluruhannya sekitar 600 meter. Pembangunan jalan-jalan tersebut merupakan bantuan dari pemerintah dan hasil swadaya masyarakat. Sedangkan jalan-jalan kecil yang ada di Desa, seperti gang-gang kecil, sebagian sudah dilakukan pengerasan dengan biaya swadaya masyarakat, ada juga jalan-jalan di Desa yang masih berupa jalan-jalan tanah atau kerikil.

(51)
[image:51.612.132.506.165.228.2]

Sarana pendidikan yang terdapat di Desa Limbangan masih belum mencukupi. Hal itu dapat terlihat pada Tabel 3 berikut ini:

Tabel 3. Bangunan Sarana Pendidikan di Desa Limbangan, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat.

Bangunan Jumlah Bangunan Jumlah Guru Jumlah Murid

Taman Kanak-kanak

(TK) 2 4 97

Sekolah Dasar (SD) 2 20 878

Madrasah 1 4 80

Sumber : Data Monografi Desa Limbangan, 2005

Bagi penduduk yang akan melanjutkan pendidikan selepas Sekolah Dasar (SD), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) terdekat adalah di Desa Juntinyuat yang berjarak sekitar 3 Km dari Desa. Sedangkan bagi anak-anak yang ingin melanjutkan pendidikan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA), mereka harus ke luar Kecamatan, biasanya sekolah yang dituju terletak di Kecamatan Indramayu, Balongan, Jatibarang, Karangampel, Krangkeng dan lain-lain.

Prasarana untuk menunjang kegiatan ibadah, di Desa Limbangan terdapat 1 buah masjid dan 17 buah mushola. Untuk keperluan kesehatan, penduduk Desa biasanya memanfaatkan Puskesmas pembantu yang ada di Desa tersebut. Selain itu di Desa Limbangan juga terdapat dua orang bidan dan seorang mantri yang membuka praktek setiap hari selain hari libur. Akan tetapi, banyak juga penduduk yang lebih memilih berobat kepada paranormal atau ke luar Desa, yang biasanya pada dokter-dokter spesialis yang ada di Kota Indramayu dan Cirebon.

(52)

sehingga mereka hanya mempunyai kewajiban membayar kepada tetangga yang mengaliri listriknya tersebut. Dengan adanya fasilitas listrik telah mendorong kepemilikan barang-barang elektronik, seperti televisi, kulkas, tape, vcd dan lain-lain.

Saluran PAM masuk ke Desa Limbangan pada tahun 1988. Sebelum masuknya saluran PAM, kebutuhan air warga hanya di dapat dari sumur atau sumur bor yang mereka miliki. Akan tetapi, air sumur yamg mereka miliki hanya dapat digunakan untuk keperluan mandi, mencuci dan Buang air (MCK), sedangkan untuk minum dan masak warga mengambil air dari desa lain atau yang dikenal dengan istilah ngangsu. Hal ini dilakukan karena kebanyakan sumur-sumur milik warga airnya tidak layak apabila digunakan untuk minum atau masak.

Sarana komunikasi berupa fasilitas telepon baru masuk ke desa Limbangan pada tahun 2001. Menurut salah seorang informan Dsp (55 tahun), akhir-akhir ini telah banyak warga yang mempunyai telepon genggam atau handphone (HP). HP ini digunakan oleh warga untuk berkomunikasi dengan keluarga atau saudaranya yang bekerja di luar negeri sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau Tenaga Kerja Perempuan (TKW). Selain itu, HP digunakan juga untuk mendapatkan informasi tentang fluktuasi musim ikan di daerah tertentu.

(53)
[image:53.612.132.504.232.281.2]

cukup baik, apalagi rumah-rumah milik para bakul1 dan juragan2. Akan tetapi, sebagian besar kondisi rumah-rumah nelayan masih sangat sederhana. Berdasarkan kondisi fisik bangunannya, rumah-rumah di Desa Limbangan dapat dibagi menjadi tiga kategori, seperti terlihat pada tabel 4 berikut ini:

Tabel 4. Bangunan Rumah Nelayan Menurut Jenis Rumah, Jumlah, dan Pemilik. Jenis Rumah Jumlah (buah) Pemilik

Permanen 375 Bakul dan Juragan Semi permanen 475 Juragan dan Bidak

Sedehana/gubuk 250 Bidak

4.1.4. Motorisasi Peralatan Tangkap

Motorisasi usaha penangkapan merupakan pengadaan motor bagi perahu-perahu penangkap ikan milik nelayan baik berupa “motor tempel” maupun “motor duduk” dengan tujuan untuk meningkatkan nelayan dalam mengelola sumberdaya perikanan di laut. Dengan adanya motorisasi usaha penangkapan ikan ini, diharapkan nelayan dapat meningkatkan jangkauan operasi penangkapan ikan agar hasil yang diperoleh dapat ditingkatkan.

Motorisasi peralatan tangkap di Desa ini sudah dimulai sejak tahun 1972-an. Hal ini dilatar belakangi oleh adanya program pemerintah tentang motorisasi peralatan tangkap dan persaingan diantara nelayan. Pada waktu perahu-perahu nelayan di Desa Limbangan masih menggunakan dayung dan layar, perahu-perahu nelayan dari daerah lain seperti Cirebon sudah menggunakan mesin, sehingga nelayan di Desa ini kalah bersaing dengan nelayan-nelayan dari daerah

1 Bakul adalah istilah lokal untuk sebutan pemodal atau pedagang yang membeli hasil tangkapan

nelayan, disebut juga sebagai pedagang pengumpul.

2

Juragan adalah nelayan yang memiliki perahu yang digunakan untuk melaut, biasanya memiliki

(54)

lain dalam usaha penangkapan ikan. Melihat kenyataan seperti itu, mau tidak mau nelayan di Desa Limbangan melakukan motorisasi pada perahu-perahu mereka dengan alasan agar mampu bersaing dengan nelayan-nelayan dari daerah lain dan dapat meningkatkan hasil tangkapan.

Pada awal perkembangan proses motorisasi peralatan tangkap, para nelayan mendapatkan mesin dan peralatan tangkap lainnya dari hasil kredit kepada pemerintah melalui Koperasi yang ada di Desa ini. Pada tahun 1972, pemerintah telah menyalurkan bantuan kredit berupa 12 unit mesin. Bantuan kredit tersebut tidak disambut secara antusias oleh para nelayan karena pada waktu itu para nelayan takut akan dikenakan sanksi apabila tidak dapat mengembalikan bantuan kredit tersebut. Pada tahun 1974, bantuan kredit tersebut dihentikan karena para nelayan tidak dapat mengembalikan pinjaman kredit, sehingga untuk tahun-tahun selanjutnya para nelayan mendapatkan mesin dan peralatan tangkap lainnya dari uang hasil pinjaman kepada bakul atau modal sendiri.

4.1.5. Jenis Peralatan Tangkap

Peralatan tangkap yang digunakan oleh masyarakat nelayan di Desa Limbangan sangat beragam diantaranya yaitu:

1. Jaring Payang

(55)

panjang 7-9 meter, lebar 2,40-2,50 meter dan tinggi 1,8 meter. Jenis alat tangkap ini dioperasikan oleh 7-9 orang. Dalam sekali melaut nelayan pada jenis alat tangkap ini akan melakukan tawur3 sebanyak 15-25 kali. Hal ini sangat tergantung dengan banyaknya hasil tangkapan pada setiap tawur, apabila hasilnya baik, maka kemungkinan besar nelayan akan melakukan

tawur lebih sedikit. Wilayah operasi jenis alat tangkap ini pada kedalaman 7-10 meter. Jenis alat tangkap ini biasa dioperasikan pada musim Timur.

2. Jaring Kantong

Jaring Kantong merupakan jenis alat tangkap yang digunakan untuk menangkap udang. Alat tangkap jaring ini berukuran panjang 2 m, lebar 12 m, dan diameter lubang jaring 2 inci. Perahu yang digunakan bermesin duduk dengan kekuatan 12-20 PK. Sedangkan ukuran perahu yang digunakan yaitu panjang 7-9 meter, lebar 2,40-2,50 meter dan tinggi 1,8 meter. Jenis alat tangkap ini dioperasikan oleh 3-4 orang. Dalam sekali melaut nelayan pada jenis alat tangkap ini akan melakukan tawur sebanyak 3-4 kali. Wilayah operasi jenis alat tangkap ini pada kedalaman 10-20 meter. Jenis alat tangkap ini biasanya dioperasikan pada musim Barat.

3. Jaring Rampusan/Unyil

Jaring Rampusan merupakan jenis alat tangkap yang digunakan untuk menangkap berbagai jenis ikan, seperti ikan Lowang, Kembung dan lain-lain. Alat tangkap jaring ini berukuran panjang 5 m, lebar 15 m, dan diameter lubang jaring 2,25 inci. Perahu yang digunakan bermesin duduk dengan kekuatan 12-20 PK. Sedangkan ukuran perahu yang digunakan yaitu panjang

(56)

7-9 meter, lebar 2,40-2,50 meter dan tinggi 1,8 meter. Jenis alat tangkap ini dioperasikan oleh 3-4 orang. Dalam sekali melaut nelayan pada jenis alat tangkap ini akan melakukan tawur sebanyak 2-3 kali. Wilayah operasi jenis alat tangkap ini pada kedalaman 7-8 meter. Jenis alat tangkap ini biasa dioperasikan pada musim Timur.

4. Jaring Kejer/Bubu

Jaring Kejer/Bubu merupakan jenis alat tangkap yang digunakan untuk menangkap Rajungan. Alat tangkap jaring ini berukuran panjang 1 m, lebar 8 m, dan diameter lubang jaring 3-4 inci. Perahu yang digunakan bermesin duduk dengan kekuatan 12-20 PK. Sedangkan ukuran perahu yang digunakan yaitu panjang 7-9 meter, lebar 2,40-2,50 meter dan tinggi 1,8 meter. Jenis alat tangkap ini dioperasikan oleh 3-4 orang. Dalam sekali melaut nelayan pada jenis alat tangkap ini akan melakukan tawur sebanyak 2-3 kali. Wilayah operasi jenis alat tangkap ini pada kedalaman 9-10 meter. Jenis alat tangkap ini biasa dioperasikan pada musim Timur.

5. Jaring Kopet

(57)
[image:57.612.132.509.206.307.2]

alat tangkap ini pada kedalaman 10-15 meter. Jenis alat tangkap ini biasanya dioperasikan pada musim Barat.

Tabel 5. Perbedaan Jenis Alat Tangkap Nelayan di Desa Limbangan Menurut Jenis ikan, Jumlah nelayan, Frekuensi menabur jaring, Wilayah operasi dan Musim

Jenis alat tangkap Jenis ikan Jumlah nelayan (orang) Frekuensi menabur jaring Wilayah Operasi (meter) Musim

Jaring payang Teri 6-9 15-25 7-10 Timur Jaring Kantong Udang 3-4 3-4 10-20 Barat Jaring Rampusan Lowang, kembung

dan lain-lain

3-4 2-3 7-8 Timur

Jaring Kejer/Bubu Rajungan 3-4 2-3 9-10 Timur Jaring Kopet Tanjan 3-4 2-3 10-15 Barat

(58)

4.1.6. Tradisi dan Kepercayaan Masyarakat

Penduduk di Desa Limbangan semuanya beragama Islam. Untuk masalah aliran, masyarakat di Desa Limbangan hanya mengenal satu aliran yaitu Nahdlatul Ulama (NU), sehingga dalam ritual keagamaan diantara masyarakat relatif sama.

Di Desa Limbangan terdapat tradisi yang sudah turun-temurun dan rutun dilaksanakan setiap tahun. Tradisi tersebut adalah pesta laut yang oleh masyarakat setempat dikenal dengan istilah Nadran. Dalam acara pesta nadran selain upacara adat, terdapat pula pementasan kesenian daerah berupa pementasan wayang, baik wayang kulit maupun wayang golek. Selain itu, terdapat juga hiburan yang dapat dinikmati oleh masyarakat, antara lain konser dangdut, dan pasar malam yang diselenggarakan selama seminggu.

(59)

dilaksanakan pada kurun waktu tertentu, maka masyarakat akan mendapatkan musibah.

(60)

5.1. Situasi Umum Kehidupan Nelayan

Bagi para nelayan di Desa Limbangan, secara umum kehidupan sehari-hari mereka sudah dimulai pada pagi hari. Para nelayan berangkat melaut sekitar pukul 03.00 dan pulang pada siang hari sekitar pukul 13.00. Karena harus mengikuti penjualan hasil tangkapan dan membereskan peralatan tangkap setelah digunakan melaut, biasanya para nelayan baru pulang ke rumah juragan sekitar pukul 15.00. Setelah pulang kerumah juragan, kegiatan yang dilakukan adalah pembagian hasil atau dikenal dengan istilah nyacar. Setelah pembagian hasil selesai para nelayan pulang kerumah masing-masing. Setelah di rumah kegiatan yang dilakukan oleh nelayan satu dengan yang lainnya berbeda-beda, ada yang membantu pekerjaan isterinya, beristirahat, ataupun melakukan kegiatan lainnya.

(61)

Sektor nelayan yang menjadi mata pencaharian pokok masyarakat Desa Limbangan (81,74%), stratifikasi sosial yang muncul adalah berdasarkan penguasaan asset produksi di bidang perikanan. Meskipun beragam sektor pekerjaan lain mulai tumbuh di Desa ini, namun sektor perikanan masih menjadi sektor yang diunggulkan oleh masyarakat. Stratifikasi sosial yang muncul pada masyarakat nelayan di Desa Limbangan dapat terlihat oleh adanya ketidaksetaraan ekonomi antar lapisan.

Pada masyarakat nelayan di Desa Limbangan, muncul istilah bakul, juragan, dan bidak. Istilah-istilah tersebut sekaligus menjadi penyebutan dalam pelapisan di masyarakat. Istilah bakul menempati stratifikasi sosial yang paling tinggi. Istilah bakul diperuntukkan untuk lapisan masyarakat yang mempunyai asset yang besar dalam bidang perikanan dan hal itu tercermin dari kepemilikan properti yang ada di darat, seperti bangunan rumah yang bagus, kepemilikan alat transportasi, barang-barang elektronik dan sebagainya. Kelompok ini tidak terlibat secara langsung dalam kegitan menangkap ikan, melainkan hanya sebagai pembeli pengumpul atau mendistribusikan hasil tangkapan para nelayan.Bakul yang sudah sukses biasanya mempunyai jaringan yang luas diantara para nelayan dan juga jaringan pasar, baik pasar lokal maupun pasa regional seperti pasar Jakarta dan sekitarnya. Bagi bakul yang melakukan usaha jual beli ikan dalam skala kecil biasanya disebut sebagai bakul engklek.

Lapisan berikutnya adalah kelompok masyarakat nelayan yang di sebut

(62)

(miyang), sehingga memiliki hubungan yang dekat dengan para bidaknya. Karena dianggap memiliki tingkat ekonomi yang lebih, juragan seringkali menjadi sandaran bagi anak buahnya( bidak) bila mengalami kesulitan ekonomi.

Lapisan masyarakat yang dianggap paling bawah adalah bidak, penyebutan istilah bidak adalah mengacu pada nelayan yang tidak bermodal, hanya modal tenaga dan kemauan saja. Kelompok ini adalah lapisan yang paling bawah, baik secara sosial mapun secara ekonomi. Lapisan ini banyak bergantung pada hasil tangkapan, bila hasil tangkapan melimpah, penghasilan seorang bidak akan cukup untuk menutupi kebutuhan sehari-hari, dan bila hasil tangkapan ikan sedikit, untuk mencukupi kebutuhan pokok saja harus menghutang terlebih dahulu kepada juragan, kerabat, teman atau tetangganya.

5.1.2. Hubungan Antar Tipe Nelayan

Hubungan antar bakul secara sepintas terlihat sangat individualis dan terkesan memiliki persaingan untuk memperoleh ikatan penjualan dari para juragan. Kerjasama diantara bakul terlihat pada penetapan harga ikan hasil tangkapan nelayan, sehingga harga penjualan ikan yang berlaku pada setiap bakul sama. Hal ini akan memperkuat posisi para bakul dalam penetapan harga ikan pada saat melakukan transaksi jual beli dengan para juragan.

(63)

rendah dibandingkan harga di pasaran. Kerjasama ini dilakukan oleh juragan karena tidak membutuhkan persyaratan yang berbelit-belit, semuanya cukup dilakukan secara lisan. Sekalipun uang pinjaman tersebut tidak memiliki bunga, namun konsekuensi berupa ikatan penjualan dirasa oleh para juragan sangat memberatkan karena harga penjualan ikan yang diperoleh jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan harga pasar, sehingga pola kerjasama yang terjadi dianggap oleh para juragan secara tidak langsung bersifat eksploitatif, karena para bakul hanya memetik keuntungan tanpa harus bekerja keras di laut.

Hubungan antar juragan terlihat pada kerjasama antar juragan dalam penetapan sistem bagi hasil yang berlaku pada setiap jenis alat tangkap, sehingga sistem bagi hasil yang berlaku pada setiap juragan relatif sama. Selain itu juga kerjasama antar juragan terlihat ketika sedang menangkap ikan di tengah laut. Kerjasama ini terjadi pada saat seorang juragan mendapatkan musibah, misalnya terjadi kerusakan mesin sehingga perahu tidak dapat berjalan, maka juragan yang lain akan membantu dengan menggandeng perahu tersebut sampai ke tempat pendaratan perahu. Hal ini biasanya dilakukan tanpa adanya imbalan apapun atau secara sukarela.

(64)

seseorang harus memiliki kriteria antara lain: memiliki fisik yang kuat, mau bekerja keras, jujur, ulet, tidak mabuk laut serta tidak mudah putus asa dalam bekerja. Akan tetapi hal terpenting adalah tidak mabuk laut agar tidak menghambat kegiatan penangkapan ikan.

Pola hubungan seperti ini sudah berlangsung sangat lama dan bertahan secara turun-temurun. Hubungan kerjasama ini biasanya diikat oleh pinjaman uang (sejenis uang kontrak kerja) yang besarnya sekitar Rp 100.000,00 – Rp 500.000,00. Besarnya uang pinjaman yang diberikan oleh juragan didasarkan atas pengalaman dan kemampuan bidak dalam memperoleh hasil tangkapan. Ikatan kerja ini hanya berdasarkan kesepakatan informal yang dilandasai atas dasar rasa saling percaya dan kejujuran. Pinjaman uang tersebut tidak perlu dibayar selama bidak masih bekerja kepada juragan yang bersangkutan dan dianggap lunas atau hanya membayar sebagian uang pinjaman jika bidak tersebut meninggal dunia. Sepanjang bidak tersebut masih memiliki ikatan kerja dengan juragan, maka bidak tidak diperkenankan bekerja pada perahu milik juragan yang lainnya. Jika bidak ingin berpindah bekerja pada juragan lain, bidak harus mengembalikan uang pinjaman tersebut pada juragan yang lama sebesar uang pinjaman yang pernah diterimanya.

(65)

kerja yang lebih besar dari yang pernah diterima sebelumnya. Bagi para juragan yang tidak mau bidaknya berpindah bekerja kepada juragan lain, maka juragan tersebut sangat menghargai pekerjaan bidaknya dan tidak segan-segan untuk memberikan pinjaman uang kepada bidaknya.

Bagi para bidak, menjalin ikatan dengan juragan merupakan suatu hal penting untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Pola hubungan patron-klien ini merupakan tata hubungan yang saling menguntungkan, dimana bidak selaku nelayan yang tidak memiliki alat-alat produksi diberikan keuntungan oleh juragan selaku pemilik alat-alat produksi untuk bekerja sebagai bidak pada juragan yang bersangkutan dan akan memproleh imbalan yang setimpal dengan hasil usahanya.

5.1.3. Sistem Bagi Hasil

(66)

Limbangan sangat bergantung pada jenis alat tangkap karena pada tiap-tiap alat tangkap sistem bagi hasil yang berlaku berbeda-beda. Perbedaan sistem bagi hasil ini dikarenakan oleh adanya perbedaan harga pada peralatan tangkap. Pada peralatan tangkap yang harganya lebih mahal, maka bagian pemilik parahu (juragan) akan lebih besar bila dibandingkan dengan sistem bagi hasil pada peralatan tangkap yang harganya relatif lebih murah. Selain itu, perbedaan system bagi hasil disebabkan pula oleh adanya perbedaan resiko kerusakan alat tangkap jaring pada saat digunakan dalam kegiatan melaut (miyang). Sepeti terlihat pada uraian berikut ini:

1. Jaring Payang

Setelah proses penjualan hasil tangkapan selesai, hasil penjualan tidak langsung dibagi, tetapi dipotong terlebih dahulu 3 persen untuk pembayaran retribusi kepada petugas TPI. Biaya retribusi ini ditanggung bersama antara nelayan dan bakul. Setelah dipotong biaya retribusi, baru kemudian dilakukan pembagian hasil. Aturan atau ketentuan yang digunakan dalam pembagian hasil untuk menentukan besarnya bagian yang diperoleh setiap komponen yang terlibat dalam hubungan kerja, yaitu sebagai berikut:

(67)

selesai biaya perbekalan tersebut akan dibayar dari penjualan hasil tangkapan.

b. Setelah dipotong biaya perbekalan, selanjutnya dibagi menjadi dua bagian, yaitu satu bagian atau 40 persen untuk pemilik perahu (juragan) dan satu bagian 60 persen untuk buruh nelayan (bidak).

c. Dari keseluruhan bagian para bidak yang besarnnya 60 persen tersebut, dibagi sesuai dengan besarnya bagian yang harus diterima oleh masing-masing bidak menurut perannya dalam bertugas di laut.

[image:67.612.132.506.388.458.2]

Rincian pembagian hasil pada jenis alat tangkap ini dapat dilihat pada tabel 6 berikut ini:

Tabel 6. Pembagian Hasil Bidak pada Jenis Alat Tangkap Jaring Payang

No Spesialisasi kerja Jumlah orang Bagian 1 2 3 4 5 Juru mudi Pemburit Jembatu Motoris Penabur saya 1 1 1 1 3 – 4

1,5 1,5 1 1 1 Keterangan:

1. Juru mudi, yaitu nelayan yang bertugas mengemudikan perahu pada saat melaut

2. Pemburit, yaitu nelayan yang bertugas menarik jaring

3. Jembatu, yaitu nelayan yang bertugas melemparkan batu pada saat menabur jaring

4. Motoris, nelayan yang bertugas mengopersikan mesin pada perahu

(68)

Misal hasil kotor penjualan ikan teri dalam satu kali melaut (miyang) adalah Rp 300.000,00. Uang tersebut mula-mula dikurangi biaya retribusi sebesar 3%. Namun karena biaya retribusi ini ditanggung oleh nelayan dan bakul, sehingga nelayan hanya di bebani setengahnya (1,5%) yaitu sebesar Rp 4500,00. Dengan demikian uang yang tersisa adalah Rp 295.500,00. Dari uang yang tersisa tersebut di kurangi biaya perbekalan sebesar Rp 125.000,00, sehingga uang yang tersisa sebesar Rp 170.500,00. Selanjutnya uang tersebut dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian pemilik parahu (juragan) sebesar 40% (Rp 68.200,00) dan bagian bidak sebesar 60% (Rp 102.300,00). Dari bagian bidak sebesar Rp 102.300,00 ini dibagi sesuai dengan jumlah bidak yang ikut melaut (miyang) dan besarnya bagian yang harus diterima oleh masing-masing bidak menurut perannya dalam bertugas di laut. Apabila bidak yang ikut melaut (miyang) berjumlah 8 orang, maka hasil yang diterima oleh masing-masing bidak adalah sebagai berikut:

a. Juru mudi (1,5 bagian) sebesar Rp 19.000,00 b. Pemburit (1,5 bagian) sebesar Rp 19.000,00 c. Jembatu (1 bagian) sebesar Rp12.800,00 d. Motoris (1 bagian) sebesar Rp 12.800,00

e. Penabur saya masing-masing (1 bagian) sebesar Rp 12.800,00

(69)
[image:69.612.172.505.240.419.2]

pada gambar 2. perlu dikemukakan disini, bahwa mekanisme pembagian hasil tersebut bisa dijalankan jika hasil yang di dapat dari kegiatan melaut (miyang) telah melewati jumlah nilai untuk menutupi biaya retribusi dan biaya perbekalan. Jika hasil dari melaut (miyang) relatif kecil, maka perhitungan tersebut tidak sepenuhnya dijalankan.

Gambar 2. Bagan Alir Bagi Hasil Pada Jenis Alat tangkap Jaring Payang

2. Jaring Kantong

Setelah proses penjualan hasil tangkapan selesai, kemudian dilakukan pembagian hasil. Aturan atau ketentuan yang digunakan dalam pembagian hasil untuk menentukan besarnya bagian yang diperoleh setiap komponen yang terlibat dalam hubungan kerja, yaitu sebagai berikut:

a. Jumlah keseluruhan pendapatan atau uang penghasilan dalam sekali melaut mula-mula dipotong biaya perbekalan atau biaya operasional melaut (miyang). Besarnya biaya perbekalan pada jenis alat tangkap ini rata-rata sekitar Rp 90.000,00.- mencakup antara lain: biaya solar, oli,

Hasil Tangkapan

Dikurangi biaya retribusi dan operasional/perbekalan

40% juragan 60% Bidak

(70)

dahulu ditanggung oleh pemilik perahu (juragan), setelah kegiatan melaut selesai biaya perbekalan tersebut akan dibayar dari penjualan hasil tangkapan.

b. Setelah dipotong biaya perbekalan, selanjutnya dibagi menjadi dua bagian, yaitu satu bagian atau 30 persen untuk pemilik perahu (juragan) dan satu bagian 70 persen untuk bidak.

c. Dari keseluruhan bagian para bidak yang besarnnya 70 persen tersebut, dibagi sesuai dengan besarnya bagian yang harus diterima oleh masing-masing bidak menurut perannya dalam bertugas di laut.

[image:70.612.131.507.408.459.2]

Rincian pembagian hasil pada jenis alat tangkap ini dapat dilihat pada tabel 6 berikut ini:

Tabel 7. Pembagian Hasil Bidak pada Jenis Alat Tangkap Jaring Kantong

No Spesialisasi kerja Jumlah orang Bagian 1 2 3 Juru mudi Pemburit Penabur saya 1 1 2 1 1 1

Contoh sistem bagi hasil pada alat tangkap jaring kantong sebagai berikut: Misal hasil kotor penjualan udang dalam satu kali melaut (miyang) adalah Rp 300.000,00. Uang tersebut mula-mula di kurangi biaya perbekalan sebesar Rp 90.000,00, sehingga uang yang tersisa sebesar Rp 210.000,00. Selanjutnya uang tersebut dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian pemilik parahu (juragan) sebesar 30% (Rp 63.000,00) dan bagian bidak sebesar 70% (Rp 147.00,00). Dari bagian

(71)

adalah sebagai berikut:

a. Juru mudi (1 bagian) sebesar Rp 36.750,00 b. Pemburit (1 bagian) sebesar Rp 36.750,00

c. Penabur saya masing-masing (1 bagian) sebesar Rp 36.750,00

Pada kasus juragan yang ikut dalam kegiatan melaut (miyang), maka selain bagian juragan sebesar 30% (Rp 63.200,00) juga ditambah bagian jurumudi seb

Gambar

Gambar 1. Kerangka Studi Strategi Rumahtangga Nelayan Dalam Mengatasi Kemiskinan
Tabel 1. Jumlah dan Persentase Penduduk Desa Limbangan, Kecamatan
Tabel 2. Jumlah dan Persentase Penduduk Menurut Jenis Mata Pencaharian di
Tabel  3. Bangunan Sarana Pendidikan di Desa Limbangan, Kecamatan Juntinyuat,
+7

Referensi

Dokumen terkait