• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akumulasi Logam Berat Tembaga (Cu) Dan Timbal (Pb) Pada Pohon Avicennia marina Di Hutan Mangrove

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Akumulasi Logam Berat Tembaga (Cu) Dan Timbal (Pb) Pada Pohon Avicennia marina Di Hutan Mangrove"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

AKUMULASI LOGAM BERAT TEMBAGA (Cu) DAN

TIMBAL (Pb) PADA POHON Avicennia marina

DI HUTAN MANGROVE

GRACE YANTI PANJAITAN

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

AKUMULASI LOGAM BERAT TEMBAGA (Cu) DAN

TIMBAL (Pb) PADA POHON Avicennia marina

DI HUTAN MANGROVE

SKRIPSI

Oleh

GRACE YANTI PANJAITAN 041202028/BUDIDAYA HUTAN

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

AKUMULASI LOGAM BERAT TEMBAGA (Cu) DAN

TIMBAL (Pb) PADA POHON Avicennia marina

DI HUTAN MANGROVE

SKRIPSI

Oleh

GRACE YANTI PANJAITAN 041202028/BUDIDAYA HUTAN

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana di Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(4)

Judul Skripsi : Akumulasi Logam Berat Tembaga (Cu) dan Timbal (Pb) Pada Pohon Avicennia marina di

Hutan Mangrove Nama Mahasiswa : Grace Yanti Panjaitan

NIM : 041202028

Departemen : Kehutanan

Program Studi : Budidaya Hutan

Disetujui Oleh Komisi Pembimbing

Afifuddin Dalimunthe, S.P, M.P Dr. Ir. Yunasfi, M.Si. Ketua Anggota

Mengetahui

(5)

ABSTRACT

Grace Yanti Panjaitan, Accumulate Heavy Metal Elements Cuprum (Cu) and Timbal (Pb) in Avicennia marina at Mangrove Forest, under supervised Afifuddin Dalimunthe, S.P, M.P and Dr. Ir.Yunasfi, M.Si.

Mangrove have a tendency to accumulate heavy metal elements, which exist in the ecosystem surrounds this plan life. The ability of mangrove to accumulate the heavy metal are different one each other species. One of species mangrove who can accumulate heavy metal is Avicennia marina. This study is conducted in two locations (stations) in Belawan Mangove Forest and Jaring Halus Mangrove Forest.

The preliminary observation is aimed to analyze Cu dan Pb content in roots and leaves of A. marina and to identify the ability accumulating the heavu metal, so that can be used as accumulator. The Cu and Pb content was analyzed in Laboratorium Bapedal of North Sumatera by using the Atomic Absorption Spectrophotometric (AAS method).

The result showed that Cu and content in roots of A. Marina in Belawan Mangrove Forest more high than Jaring Halus Mangrove Forest. The followed average are 12.0165 – 14.9900 mg/kg dan 6.1650 – 8.8755 dibanding 5.5305 – 11.7815 mg/kg dan 4.5855 – 5.6190 mg/kg. The abbbility of accumulating Cu was moderate 350.9766 in stasions I and 328.3591 in stasions II, if metal Pb was lower 46.8454 in in stasions I and 101.9285 in stasions II.

(6)

ABSTRAK

Grace Yanti Panjaitan, Akumulasi Logam Berat Tembaga (Cu) dan Timbal (Pb) Pada Pohon Avicennia marina di Hutan Mangrove, dibawah bimbingan Afifuddin Dalimunthe, S.P, M.P dan Dr.Ir. Yunasfi, M.Si.

Tumbuhan mangrove mempunyai kecenderungan untuk mengakumulasi logam-logam berat yang terdapat dalam ekosistem tempat tumbuhnya. Kemampuan akumulasi logam berat tersebut berbeda untuk setiap species. Salah satu species tumbuhan mangrove yang mampu mengakumulasi logam berat adalah Avicennia marina. Kajian ini dilakukan di dua lokasi, yaitu Hutan Mangrove Pesisir Belawan dan Hutan Mangrove Jaring Halus.

Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis kandungan logam berat Cu dan Pb pada akar dan daun pohon A. marina serta untuk mengetahui kemampuan vegetasi tersebut dalam mengakumulasi logam berat Cu dan Pb pada kedua stasiun pengamatan, sehingga dapat dijadikan akumulator pencemaran logam berat di kawasan hutan mangrove. Analisis logam Cu dan Pb dilakukan di Laboratorium Bapedal Sumatera Utara dengan menggunakan metode Atomic Absorption Spectrophotometric (AAS). dikategorikan pada tingkat sedang dengan nilai BCF 350.9766 pada stasiun I dan 328.3591 pada stasiun II, sedangkan pada logam berat Pb dikategorikan rendah dengan nilai 46.8454 pada stasiun I dan 101.9285 pada stasiun II.

(7)

KATA PENGANTAR

Segala hormat dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapa Yang Maha Pengasih karena telah menyertai penulis sehingga dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul Akumulasi Logam Berat Tembaga (Cu) dan Timbal (Pb) Pada Pohon Avicennia marina di Hutan Mangrove Pesisir Belawan dan Hutan Mangrove Jaring Halus, dengan tujuan untuk menganalisis kandungan logam berat Cu dan Pb pada akar dan daun pohon A. marina serta untuk mengetahui kemampuan vegetasi tersebut mengakumulasi logam berat Cu dan Pb di kawasan hutan mangrove pesisir Belawan dan Jaring Halus.

Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Semoga skripsi ini bermanfaat sebagai sumber informasi bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Medan, Februari 2009

(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Dalam menyelesaikan skripsi ini dari awal hingga akhir, penulis telah banyak mendapat bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan rasa tulus dan penghargaan yang tinggi penulis mengucapkan terima kasih kepada:

2. Bapak Afifuddin Dalimunthe, S.P, M.P selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Yunasfi, M.Si selaku Anggota Komisi Pembimbing atas waktu, saran dan arahan kepada penulis.

3. Bapak Dr.Ir.Edy Batara Mulya Siregar, MS selaku Ketua Departemen Kehutanan Universitas Sumatera Utara dan seluruh staff pengajar.

4. Ibu Dra.Riahate Purba, kak Dani, kak Eli, dan seluruh staff Laboratorium UPT Bapedal Sumatera Utara atas segala bantuannya dalam analisis kimia. 5. Teman-teman asisten Kimia Analitik MIPA USU : Ferdinand, Melva,

Hisar, Eve, Reva, Evi, Debby untuk bimbingannya selama di laboratorium. 6. Tim di lapangan : Sofian, Yudha, Eric, Surya, Pak Rustam, atas bantuan

dan semangatnya sewaktu pengambilan sampel di lapangan. 7. Sahabat-sahabatku (Intan, Lidia, Sonita, Dewi, Delima, Hotmian, Clara,

Rommel, Ranap, Rio) dan semua mahasiswa di BDH stambuk 2004. 8. Adik-adik kelompok kecilku (Artauli, Curiani, Henni, Hernoviany,

(9)

9. Rekan-rekan satu tim Praktik Kerja Lapang (Aulia Atmanegara, Mardian Arief, Ombun Sitorus, Yeni Agustiarni dan Yopie).

10.Teman-teman MNH 2004, THH 2004 dan seluruh civitas akademika Departemen Kehutanan Universitas Sumatera Utara atas perhatian dan dukungan.

11.Teman-teman kelompok P3H (Ardiansyah, Nopriza, Uli Chyntia, Selvi, Patiar, Simson Hasan, dan Harisyah).

Medan, Februari 2009

(10)

DAFTAR ISI

Mekanisme Penyerapan Logam Berat Pada Tumbuhan... 8

Defenisi Mangrove ... 11

Struktur dan Zonasi Hutan Mangrove ... 12

Ciri-ciri Umum Avicennia (api-api) ... 14

Avicennia marina Sebagai Indikator Biologis Logam Berat ... 16

(11)

Pembahasan

Kondisi Lingkungan Perairan ... 27

Kandungan Logam Berat Cu serta Pb dalam Air dan Sedimen ... 29

Kandungan Logam Berat Cu serta Pb dalam Akar ... 31

Kandungan Logam Berat Cu serta Pb dalam Daun ... 33

Faktor Biokonsentrasi Logam Cu dan Pb ... 34

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 36

Saran ... 36

DAFTAR PUSTAKA ... 37

(12)

DAFTAR TABEL

No Teks Halaman 1. Analisis Parameter Kualitas Lingkungan Perairan ... 25 2. Analisis Rata-rata Kandungan Logam Berat Cu serta Pb

dalam Air dan Sedimen ... 25 3. Analisis Rata-rata Kandungan Logam Berat Cu serta Pb

dalam Akar A. marina ... 26 4. Analisis Rata-rata Kandungan Logam Berat Cu serta Pb

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

No Teks Halaman 1. Laporan Hasil Analisis Logam Berat Cu dan Pb di Belawan dan

Jaring halus dari Laboratorium Bapedal ... 41

2. Baku Mutu Air Laut untuk biota Laut... 42

3. Baku Mutu Sedimen ... 44

4. Profile Hutan Mangrove Desa Kampung Nelayan dan Jaring Halus ... 45

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kawasan pesisir mempunyai keanekaragaman sumber daya yang tinggi. Sumber daya pesisir tersebut merupakan unsur-unsur hayati dan non hayati yang terdapat di wilayah laut, terdiri atas unsur hayati yang berupa mangrove, terumbu karang, padang lamun, ikan dan biota lain beserta ekosistemnya. Sedangkan unsur non hayati terdiri atas sumberdaya di lahan pesisir, permukaan air, di dalam airnya, dan di dasar laut seperti minyak dan gas, pasir kuarsa, timah dan karang mati (Idris, 2001).

Aktivitas manusia dalam memanfaatkan kawasan pesisir seringkali menghasilkan limbah bahan pencemar yang dapat membahayakan kehidupan perairan laut dan secara khusus dapat menganggu pertumbuhan komunitas mangrove yang ada di muara sungai. Perairan Belawan sebagai salah satu kawasan pesisir merupakan daerah yang dipenuhi berbagai aktivitas berupa pemukiman, pertanian, pelayaran, penangkapan ikan, pelabuhan, dan industri. Industri yang tidak dilengkapi oleh sistem pengelolaan limbah akan menghasilkan limbah yang mengandung raksa (Hg), besi (Fe), mangan (Mn), tembaga (Cu), timbal (Pb), seng (Zn), kromium (Cr), dan nikel (Ni) (Supriharyono, 2000).

(15)

Bapedalda Provinsi Sumatera Utara (2007) dalam Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2003, terdapat 57 industri yang berlokasi di sepanjang sungai Deli dan 22 industri di sepanjang sungai Belawan. Jenis-jenis industri tersebut antara lain pengolahan minyak goreng, pengolahan metal, pabrik plastik, pengeleman kayu lapis (plywood), tekstil, cat, baterai kering, pupuk dolomit, pelapisan logam, dan lain-lain.

Mangrove yang tumbuh di muara sungai merupakan tempat penampungan bagi limbah-limbah yang terbawa aliran sungai. Mangrove memiliki kemampuan menyerap bahan-bahan organik dan non organik dari lingkungannya ke dalam tubuh melalui membran sel. Proses ini merupakan bentuk adaptasi mangrove terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim (Mastaller, 1996).

Satu diantara beberapa spesies mangrove yang memiliki kemampuan akumulasi logam berat adalah Avicennia marina. Menurut Mukhtasar (2007), dikatakan bahwa A. marina dapat digunakan sebagai indikator biologis lingkungan yang tercemar logam berat terutama Cu, Pb, dan Zn melalui monitoring berkala. Logam berat Cu dan Pb merupakan unsur logam berat yang tidak dapat terurai oleh proses alam serta dapat membahayakan kesehatan manusia. Mekanisme yang terjadi pada A. marina untuk mengurangi toksisitas logam berat adalah menyimpan banyak air sehingga dapat mengencerkan konsentrasi logam berat dalam jaringan tubuhnya. Species ini dapat dikembangkan sebagai pengendalian pencemaran logam berat di wilayah pesisir.

(16)

Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut :

1. Untuk menganalisis kandungan logam berat Cu dan Pb pada akar dan daun pohon A. marina.

2. Untuk mengetahui kemampuan vegetasi tersebut dalam mengakumulasi logam berat Cu dan Pb pada kedua stasiun pengamatan, sehingga dapat dijadikan akumulator pencemaran logam berat di kawasan hutan mangrove.

Manfaat Penelitian

1. Untuk memberikan gambaran mengenai akumulasi logam berat Cu dan Pb secara kuantitatif pada akar dan daun pohon A. marina di Hutan mangrove Pesisir Belawan dan Jaring Halus.

2. Sebagai sumber informasi bagi pihak yang membutuhkan mengenai peranan A. marina dalam mengurangi pencemaran logam berat dan untuk kepentingan pengelolaan sumberdaya pesisir.

Hipotesis Penelitian

1. Kandungan logam berat Cu dan Pb lebih besar di Hutan Mangrove Belawan daripada Hutan Mangrove Jaring Halus.

2. Adanya perbedaan akumulasi logam berat Cu dan Pb pada akar dan daun

(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian Logam Berat

Logam adalah unsur alam yang dapat diperoleh dari laut, erosi batuan tambang, vulkanis dan sebagainya. Untuk kepentingan biologi Clark (1986); Diniah (1995) dalam Yudhanegara (2005) membagi logam ke dalam tiga kelompok yaitu :

(1) Logam ringan (seperti natrium, kalium, kalsium, dan lain-lain), biasanya diangkut sebagai kation aktif di dalam larutan yang encer;

(2) Logam transisi (seperti besi, tembaga, kobalt dan mangan), diperlukan dalam konsentrasi yang rendah, tetapi dapat menjadi racun dalam konsentrasi yang tinggi;

(3) Logam berat dan metaloid (seperti raksa, timah hitam, timah, selenium, dan arsen), umumnya tidak diperlukan dalam kegiatan metabolisme dan sebagai racun bagi sel dalam konsentrasi rendah.

(18)

Menurut Darmono (1995), faktor yang menyebabkan logam berat termasuk dalam kelompok zat pencemar adalah karena adanya sifat-sifat logam berat yang tidak dapat terurai (non degradable) dan mudah diabsorbsi. Babich dan Stotzky (1978) mengemukakan bahwa berbagai faktor lingkungan berpengaruh terhadap logam berat yaitu keasaman tanah, bahan organik, suhu, tekstur, mineral liat, kadar unsur lain dan lain-lain. pH adalah faktor penting yang menentukan transformasi logam. Penurunan pH secara umum meningkatkan ketersediaan logam berat kecuali Mo dan Se (Klein dan Trayer, 1995).

Pada tanah, semakin halus teksturnya semakin tinggi kekuatannya untuk mengikat logam berat. Oleh karena itu, tanah yang bertekstur liat memiliki kemampuan untuk mengikat logam berat lebih tinggi daripada tanah berpasir. Logam berat mungkin diabsorbsi dan diakumulasikan dalam jaringan hidup. Kemampuan beberapa logam berat dalam berikatan dengan asam amino mengikuti urutan sebagai berikut : Hg > Cu > Ni > Pb > Co > Cd (Hutagalung, 1991).

(19)

1. Tembaga (Cu)

Tembaga (Cu) adalah logam merah muda yang lunak, dapat ditempa, dan liat yang melebur pada 1038°C. Potensial elektoda standarnya positif (+0,34 V), logam ini tidak larut dalam asam klorida dan asam sulfat encer (Vogel, 1994). Logam ini banyak digunakan pada pabrik yang memproduksi alat-alat listrik, gelas dan zat warna yang biasanya bercampur dengan logam lain seperti alloi dengan perak, kadmium, timah putih, dan seng (Merian, 1994).

Secara biologis Cu tersedia dalam bentuk Cu+ atau Cu2+ dalam garam inorganik dan kompleks inorganik. Perpindahan Cu dengan konsentrasi relatif tinggi dari lapisan tanah bumi ditentukan oleh cuaca, proses pembentukan tanah, pengairan, potensial oksidasi reduksi, jumlah bahan organik di tanah dan pH. Kondisi tanah yang asam akan meningkatkan kelarutan Cu, sedangkan pada kondisi basa Cu cenderung dipresipitasi oleh tanah sehingga akan terlarut dan terbawa air yang mengakibatkan defisiensi Cu pada tanaman. Variasi kualitas tanah mempengaruhi pengambilan Cu oleh akar tanaman. Pada tanaman, Cu diakumulasi di akar dan di dinding sel serta didistribusikan melalui berbagai cara (Merian, 1994).

(20)

rasa terbakar di daerah eksofagus dan lambung, kolik, diare, yang kemudian disusul dengan hipotensi, nekrosi hati dan koma (Supriharyono, 2000).

2. Timbal (Pb)

Timbal (Pb) adalah logam lunak kebiruan atau kelabu keperakan yang lazim terdapat dalam kandungan endapan sulfit yang tercampur mineral-mineral lain, terutama seng dan tembaga. Penggunaan Pb terbesar adalah dalam industri baterai kendaraan bermotor seperti timbal metalik dan komponen-komponennya. Timbal digunakan pada bensin untuk kendaraan, cat dan pestisida. Pencemaran Pb dapat terjadi di udara, air, maupun tanah. Pencemaran Pb merupakan masalah utama, tanah dan debu sekitar jalan raya pada umumnya telah tercemar bensin bertimbal selama bertahun-tahun (Sunu, 2001).

(21)

Menurut Saeni (1997), logam Pb tidak dibutuhkan oleh manusia sehingga bila makanan tercemar oleh logam tersebut, maka tubuh akan mengeluarkan sebagian dan sisanya akan terakumulasi pada bagian tubuh tertentu, seperti ginjal, hati, kuku, jaringan lemak, dan rambut. Accidental poisoning seperti termakannya senyawa timbal dalam konsentrasi tinggi dapat mengakibatkan gejala keracunan timbal seperti iritasi gastrointestinal akut, rasa logam pada mulut, muntah, sakit perut dan diare (Darmono, 1995).

Mekanisme Penyerapan Logam Berat dan Pengaruhnya Pada Tumbuhan

Proses absorpsi racun, termasuk unsur logam berat menurut Soemirat (2003) dapat terjadi lewat beberapa bagian tumbuhan, yaitu : (1) akar, terutama untuk zat anorganik dan zat hidrofilik; (2) daun bagi zat yang lipofilik; dan (3) stomata untuk memasukkan gas. Adapun proses absorpsinya sendiri terjadi seperti pada hewan dengan berbagai mekanisme difusi, hanya istilah yang digunakan berbeda, yakni translokasi. Transpor ini terjadi dari sel ke sel menuju jaringan vaskuler agar dapat didistribusikan ke seluruh bagian tumbuhan. Difusi katalitis terjadi dengan ikatan benang sitoplasma yang disebut plasmadesmata. Misalnya transpor zat hara dari akar ke daun dan sebaliknya transpor makanan atau hidrat karbon dari daun ke akar.

(22)

(2) perbedaan kuantitatif akan kebutuhan hara yang berbeda pada tiap jenis tumbuhan (Fitter dan Hay, 1991).

Sel-sel akar tumbuhan umumnya mengandung konsentrasi ion yang lebih tinggi daripada medium di sekitarnya. Sejumlah besar eksperimen menunjukkan adanya hubungan antara laju pengambilan ion dengan konsentrasi ion yang menyerupai hubungan laju reaksi yang dihantarkan enzim dengan konsentrasi substratnya. Analogi ini menunjukkan adanya mekanisme khusus dalam membran sel yang hanya sesuai untuk suatu ion tertentu dan dapat menyerap ion tersebut, sehingga pada konsentrasi substrat yang tinggi berperan pada laju maksimum hingga mencapai laju pengambilan jenuh (Fitter dan Hay, 1991).

(23)

Menurut Fitter dan Hay (1991) mekanisme yang mungkin dilakukan oleh tumbuhan untuk menghadapi konsentrasi toksik adalah :

a) Penanggulangan (ameliorasi), jika konsentrasi internal harus dihadapi maka ion-ion akan dipindahkan dari tempat sirkulasi dengan beberapa jalan atau menjadi toleran di dalam sitoplasma. Terdapat empat pendekatan dalam ameliorasi, yaitu : (1) lokalisasi (intraseluler atau ekstraseluler); biasanya di dalam akar; (2) ekskresi, secara aktif melalui kelenjar pada tajuk atau secara pasif melalui akumulasi pada daun-daun tua yang diikuti dengan absisi daun; (3) dilusi (melemahkan), yaitu melalui pengenceran; dan (4) inaktivasi secara kimia. Mekanisme pembentukan komplek logam sering dijumpai pada tumbuhan, seperti pada tembaga (Cu) yang biasanya mengalami translokasi pembentukan khelat dengan asam-asam poliamino-polikarboksilik;

b) Toleransi, yaitu tumbuhan mengembangkan sistem metabolik yang dapat berfungsi pada konsentrasi toksik Pada beberapa kasus, enzim dinding sel, terutama fosfatase asam, telah diperlihatkan toleran terhadap tingkat toksin ion-ion yang jauh lebih tinggi (Cu2+, Zn2+) dalam ketahanannya dibandingkan pada tanaman normal.

Ada tiga jalan yang dapat ditempuh oleh air dan ion-ion yang terlarut bergerak menuju sel-sel xylem dalam akar, yaitu (1) melalui dinding sel (apoplas) epidermis dan sel-sel korteks; (2) melalui sistem sitoplasma (simplas) yang bergerak dari sel ke sel; dan (3) melalui sel hidup pada akar, dimana sitosol dari setiap sel membentuk suatu jalur (Rosmarkam dan Nasih (2002).

(24)

metabolisme, morfologi tumbuhan, densitas daun, bentuk daun (sempit atau lebar), berbulu atau berlapis, mudah tidaknya menjadi basah, umumnya daun yang muda lebih sulit mengabsorpsi daripada yang sudah tua. Sedangkan faktor abiotik antara lain suhu, sinar/radiasi, kelembapan, dan kualitas tanah (Soemirat, 2003).

Tumbuhan yang tumbuh di air akan terganggu oleh bahan kimia toksik dalam limbah (sianida, khlorine, hipoklorat, fenol, derivat bensol dan campuran logam berat). Pengaruh polutan terhadap tumbuhan dapat berbeda tergantung pada macam polutan, konsentrasinya dan lamanya polutan itu berada. Gejala adanya pencemaran pada tumbuhan sangat bervariasi dan tidak spesifik. Pada konsentrasi tinggi tumbuhan akan menderita kerusakan akut dengan menampakkan gejala seperti klorosis, perubahan warna, nekrosis dan kematian seluruh bagian tumbuhan. Di samping perubahan morfologi juga akan terjadi perubahan kimia, biokimia, fisiologi dan struktur tumbuhan (Luncang, 2005).

Hasil-hasil penelitian pada vegetasi mangrove dikatakan bahwa mangrove cenderung mengakumulasi logam-logam berat yang terdapat pada ekosistem yang bersangkutan. Hal ini tidak lepas dari peranan mikrob-mikrob tanah yang membantu tumbuhan untuk mengakumulasi logam berat tersebut, baik mikrob yang mengkonsumsi logam berat itu sendiri ataupun mikrob yang bersatu dengan jenis tanaman tertentu untuk mengakumulasi logam berat. Sebagian besar logam berat ini merupakan deposit di dinding sel-sel perakaran dan daun (Merian, 1994)

Defenisi Mangrove

(25)

terpengaruh iklim; (2) dipengaruhi pasang surut; (3) tanah tergenang air laut; (4) tanah rendah pantai; (5) hutan tidak mempunyai struktur tajuk; (6) jenis-jenis pohonnya biasanya terdiri atas api-api (Avicennia sp), pedada (Sonneratia sp), bakau (Rhizophora sp), lacang (Bruguiera sp), nyirih (Xylocarpus sp), nipah (Nypa sp), dan lain-lain (Soerianegara & Indrawan, 1982).

Davis (1940) dalam Walsh (1974) mendefenisikan mangrove sebagai komunitas yang hidup di dalam kawasan yang lembab dan berlumpur serta dipengaruhi pasang dan surut air laut. Ekosistem mangrove merupakan gabungan komponen daratan dan akuatik, termasuk tumbuh-tumbuhan yang terdapat di lumpur atau pasir yang berair; komponen hewan terdapat pada akar, batang-batang mangrove, lumpur dan pada perairan yang melewati kawasan dan bagian daratannya. Sedangkan menurut Moore (1977), hutan mangrove merupakan masyarakat hutan halofita yang menempati bagian zona intertidal tropis dan subtropis, berupa rawa atau hamparan lumpur yang dibasahi oleh pasang surut. Halofita merupakan kelompok tumbuhan yang terkhususkan tumbuh hidup pada lingkungan berkadar garam tinggi.

Struktur dan Zonasi Hutan Mangrove

Unsur dominan dalam hutan mangrove adalah pohon-pohon yang tumbuh dan tingginya mencapai lebih dari 30 meter, tajuk yang lebar, rapat dan tertutup. Thomlinson (1986) membagi flora mangrove menjadi tiga struktur, yaitu:

(26)

mempunyai bentuk-bentuk adaptif khusus (bentuk akar dan viviparitas) terhadap lingkungan mangrove dan mempunyai mekanisme fisiologis dalam mengontrol garam. Contohnya adalah Avicennia, Rhizophora, Bruguiera,

Ceriops, Kandelia, Sonneratia, Lumnitzera, Laguncularia, dan Nypa.

2. Flora mangrove minor, yakni flora mangrove yang tidak mampu membentuk tegakan murni, sehingga secara morfologis tidak berperan dominan dalam struktur komunitas. Contohnya adalah Exoecaria, Xylocarpus, Heritiera,

Aegiceras, Aegialitis, Acrostichum, Camtostemon, Scyphyphora, Pemphis,

Osbornia, dan Pelliciera.

3. Asosiasi mangrove, tanaman kelompok ini tidak pernah tumbuh di habitat mangrove sebenarnya, biasanya terdapat pada zona perbatasan. Contohnya adalah Cerbera, Acanthus, Derris, Hibiscus, Calamus, dan lain-lain.

Arief (2003) mengatakan bahwa hutan mangrove yang masih alami pada umumnya membentuk zonasi yaitu mulai dari arah laut ke daratan berturut-turut sebagai berikut :

(27)

2. Zona Rhizophora, terletak di belakang zona Avicennia dan Sonneratia. Pada zona ini, tanah berlumpur lembek dengan kadar garam lebih rendah. Perakaran tanaman tetap terendam selama air laut pasang.

3. Zona Bruguiera, terletak di belakang Zona Rhizophora. Pada zona ini, tanah berlumpur agak keras. Perakaran tanaman lebih peka serta hanya terendam pasang naik dua kali sebulan.

4. Zona Nypa, yaitu zona pembatas antara daratan dan lautan, namun zona ini sebenarnya tidak harus ada, kecuali jika terdapat air tawar yang mengalir (sungai) ke laut.

Ciri-ciri Umum Avicennia (api-api)

Api-api adalah nama sekelompok tumbuhan dari genus Avicennia, suku Acanthaceae. Api-api biasa tumbuh di tepi atau dekat laut sebagai bagian dari komunitas hutan bakau. Nama Avicennia dilekatkan pada genus ini untuk menghormati Ibnu Sina, di dunia barat terkenal sebagai Avicenna, salah seorang pakar dan perintis kedokteran modern dari Persia. Nama lain api-api di berbagai daerah di Indonesia di antaranya adalah mangi-mangi, sia-sia, boak, koak,

marahu, pejapi, papi, nyapi dan lain-lain. Menurut Wikipedia (2008) sebagai

warga komunitas mangrove, api-api memiliki beberapa ciri yang merupakan bagian dari adaptasi pada lingkungan berlumpur dan bergaram, di antaranya: a. Akar nafas serupa paku yang panjang dan rapat, muncul ke atas lumpur di

(28)

b. Daun-daun dengan kelenjar garam di permukaan bawahnya. Daun api-api berwarna putih di sisi bawahnya, dilapisi kristal garam. Ini adalah kelebihan garam yang dibuang oleh tumbuhan tersebut.

c. Biji api-api berkecambah tatkala buahnya belum gugur, masih melekat di rantingnya. Dengan demikian biji ini dapat segera tumbuh setelah terjatuh atau tersangkut di lumpur.

Avicennia merupakan pohon dengan tinggi hingga 30 m dan tajuk yang

agak renggang. Dengan akar nafas (pneumatophora) yang muncul 10-30 cm dari substrat, serupa paku serupa jari rapat-rapat, diameter 0,5-1 cm dekat ujungnya. Pepagan (kulit batang) halus keputihan sampai dengan abu-abu kecoklatan dan retak-retak. Ranting dengan buku-buku bekas daun yang menonjol serupa sendi-sendi tulang. Daun-daun tunggal, bertangkai, berhadapan, bertepi rata, berujung runcing atau membulat; helai daun seperti kulit, hijau mengkilap di atas, abu-abu atau keputihan di sisi bawahnya, sering dengan kristal garam yang terasa asin; pertulangan daun umumnya tak begitu jelas terlihat. Kuncup daun terletak pada lekuk pasangan tangkai daun teratas (Wikipedia, 2008).

(29)

Avicennia marina Sebagai Indikator Biologis dan Penyerap Logam Berat

Dalam rangka analisis keadaan lingkungan, masalah indikator biologis perlu diketahui dan ditentukan. Indikator biologis dalam hal ini merupakan petunjuk ada-tidaknya kenaikan keadaan lingkungan dari keadaan garis dasar, melalui analisis kandungan logam atau kandungan senyawa kimia tertentu yang terdapat di dalam hewan maupun tanaman, atau suatu hasil dari hewan (susu, keju) atau tanaman (buah, umbi). Indikator biologis dapat ditentukan dari hewan atau tanaman yang terletak pada daur pencemaran lingkungan sebelum sampai kepada manusia (Wardhana, 2001).

Unsur kimia atau jenis logam yang terkandung di dalam indikator biologis dapat berupa unsur kimia biasa maupun dalam bentuk unsur radioaktif. Pada indikator biologis ada suatu pengertian yang disebut dengan Biological

Magnification, yaitu pelipatan kandungan bahan pencemar oleh organisme yang

tingkatannya lebih tinggi. Pelipatan bahan pencemar di dalam organisme dapat terjadi karena organisme secara tetap mengkonsumsi bahan buangan (bahan pencemar), kemudian diakumulasi di dalam tubuhnya sehingga makin lama konsentrasi bahan pencemar di dalam tubuhnya semakin besar. Jadi, walaupun konsentrasi bahan buangan (bahan pencemar) yang ada di lingkungan (misalnya di dalam air) kecil namun dapat menjadi besar konsentrasinya setelah dikonsumsi oleh organisme dan melalui proses akumulasi (Wardhana, 2001).

(30)

komponen dalam daur pencemaran lingkungan di wilayah perairan laut. Pertumbuhan A. marina itu sendiri dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan berupa faktor biotik dan abiotik, baik menguntungkan maupun merugikan melalui proses metabolismenya. Pohon ini merupakan tumbuhan tingkat tinggi yang memiliki proses metabolisme kompleks, antara lain serapan dan pengangkutan air, transpirasi, penyerapan unsur hara, fotosintesis, reaksi enzim dan lain-lain. Salah satu proses metabolisme yang sangat menentukan pertumbuhannya adalah proses penyerapan hara (Lakitan, 2001).

Berbagai penelitian, baik di dalam maupun di luar negeri mengatakan bahwa A. marina mampu menyerap dan mengakumulasi logam-logam berat, seperti timbal, tembaga, besi, cadmium, nikel, aluminium, seng, mangan, merkuri dan kromium dari lingkungannya. Hasil penelitian tim ECOTON pada tahun 2002 terhadap salah satu spesies mangrove A. marina diasumsikan bahwa tumbuhan ini dapat mengakumulasi logam berat pada akar, batang dan daun karena telah beradaptasi dengan lingkungannya yang mendukung kadar logam tinggi. Kandungan logam berat tertinggi adalah logam Cu yang terdapat pada bagian akar sebesar 24, 60 ppm (Arisandi, 2002).

(31)

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Kawasan Hutan Mangrove Desa Nelayan di Perairan Belawan

Desa Nelayan ini berada di kecamatan Medan Labuhan, dengan luas daerah 420 ha. Batas-batas wilayah desa ini adalah sebagai berikut :

a. Sebelah utara berbatasan dengan Sei Deli atau Kelurahan Belawan Bahari b. Sebelah selatan berbatasan dengan Sei Mati

c. Sebelah barat berbatasan dengan Pekan Labuhan

d. Sebelah timur berbatasan dengan P. L Tiram / Sei Pegatalan

Secara topografi, Kecamatan Medan Labuhan berada pada dataran rendah/rawa. Keadaan iklimnya termasuk tropis, dengan curah hujan rata-rata 22 mm/thn dan suhu rata-rata harian 30ºC. Jenis tanah di kecamatan ini umumnya adalah tanah aluvial dan tanah podsolik merah kuning. Secara sosial ekonomi penggunaan lahan dengan rincian untuk sawah dan ladang 0 ha, perkantoran 1 ha, bangunan usaha 1 ha, dan pemukiman 85 ha. Jumlah penduduk di desa ini 7.716 jiwa menurut kewarganegaraannya.

Kawasan Hutan Mangrove Desa Jaring Halus

Desa Jaring Halus berada di Kabupaten Langkat, dengan luas daerah 141 ha. Batas-batas wilayah kabupaten ini adalah :

a. Sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka b. Sebelah selatan berbatasan dengan Dati II Karo

(32)

Secara topografi, Kabupaten Langkat berada pada dataran rendah/rawa, bukit-bukit bergelombang dan dataran tinggi pada sisi barat Bukit Barisan dengan ketinggian 0 – 1200 meter di atas permukaan laut. Keadaan kelerengan di daerah ini didominasi kelerengan 0 – 2 % sebesar 59,40 % dari luas Kabupaten Langkat. Kelerengan terkecil adalah kelerengan 15 – 40 % sebesar 6,8 % dari luas lahan

Keadaan iklim di Kabupaten Langkat ditandai dengan curah hujan yang bervariasi antara, 2000-3500 mm/tahun. Rata-rata curah hujan per bulan adalah 142,59 mm/bulan dengan rata-rata hari hujan 10 hari per bulan. Secara sosial ekonomi penggunaan lahan dengan rincian untuk sawah dan ladang 0 ha, perkantoran 1 ha, perluasan daerah 85 ha, dan pemukiman 25 ha. Jumlah penduduk di desa ini 3.051 jiwa yang terdiri dari 5 dusun.

(33)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan secara representif di dua stasiun. Stasiun pertama berada di kawasan pesisir Belawan yakni Hutan Mangrove Desa Kampung Nelayan sebagai daerah yang diduga tercemar logam berat karena dekat dengan industri dan stasiun kedua di Hutan Mangrove Desa Jaring Halus yang diduga sebagai daerah tidak tercemar (kontrol) karena jauh dari industri. Analisis logam berat dilakukan di Laboratorium UPT Bapedal Provinsi Sumatera Utara dari bulan September – November 2008.

Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas : botol aquadest, Erlenmeyer, pipet tetes, furnace (tanur), corong dan kertas saring, pH universal, cawan porselen, gelas ukur, gelas beaker, labu takar, thermometer, hand

refractometer, hot plate (pemanas), wadah sampel, timbangan analitik, dan

spektrofotometer serapan atom.

(34)

Prosedur Penelitian

1. Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel pada kedua lokasi dilakukan dengan mengikuti jalur transek sejajar garis pantai secara proporsif. Sampel akar dan daun diambil dari pohon A. marina dengan ukuran batang berkisar 28-35 cm dan tinggi berkisar 4-6 m. Akar yang diambil adalah akar nafas (pneumatophora) dan akar kawat (yang berada di dalam sedimen), sedangkan untuk daun yang diambil adalah daun muda pada pucuk dan daun tua pada pangkal ranting. Dari jalur transek tersebut diambil 6 titik pengambilan sampel, dimana sebagai data penunjang dilakukan juga pengukuran logam berat pada air permukaan dan sedimen (kedalaman ± 30 cm) serta pengukuran parameter kualitas air, seperti suhu udara, suhu air, pH air, dan salinitas (insitu) pada keenam titik tersebut.

2. Preparasi Sampel Akar, Daun dan Sedimen

Sampel akar, daun, dan sedimen dihomogenkan dengan cara mengkompositkan sampel yang diambil dari enam titik pengambilan. Untuk preparasi akar dan daun, sampel di potong-potong kecil sebelum dihaluskan, sedangkan untuk sedimen dapat langsung dihaluskan. Setelah itu, dikeringkan dalam oven 105° C selama 12 jam untuk menghilangkan kadar airnya dan diperoleh berat konstan.

(35)

dilarutkan dengan menambahkan 20 ml HNO3 pekat dan 10 ml HClO4. Kemudian ditambahkan aquadest sampai volume menjadi 50 ml.

Larutan tersebut dipanaskan pada hot plate sampai mendidih dan volume berkurang 30 ml. Bila belum terjadi kabut ulangi penambahan HNO3 sebanyak 20 ml dan HClO4 sebanyak 10 ml pada larutan tersebut, kemudian dipanaskan kembali hingga terjadi kabut.

Setelah terjadi kabut, tambahkan kembali larutan dengan aquadest sehingga volume sampel menjadi 50 ml, lalu diendapkan. Larutan yang telah diendapkan disaring fasa airnya dengan kertas saring. Larutan yang diperoleh siap untuk dianalisis dengan menggunakan AAS.

3. Preparasi Sampel Air

Air laut diukur 100 ml, kemudian ditambahkan 10 ml HNO3 pekat. Panaskan dalam hot plate sampai volumenya berkurang 30 ml. Tambahkan kembali larutan dengan aquadest sampai volume menjadi 100 ml, kemudian diendapkan. Larutan yang telah diendapkan disaring fasa airnya dengan kertas saring. Larutan yang diperoleh siap untuk dianalisis dengan menggunakan AAS.

4. Pembuatan Larutan Standar Logam Cu dan Pb

(36)

lalu dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml kemudian ditambahkan aquadest sampai garis tanda akhir untuk mendapatkan larutan dengan konsentrasi 10 ppm. Dibuat larutan dengan konsentrasi 10 ppm sebanyak 5 ulangan untuk mempermudah pembuatan larutan standar berikutnya.

Untuk mendapatkan larutan standar dengan konsentrasi 0,2; 0,4; 0,6; 0,8 dan 1 ppm, berturut-turut dipipet sebanyak 2 ml, 4 ml, 6 ml, 8 ml dan 10 ml dari larutan 10 ppm lalu masing-masing dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml kemudian ditambahkan aquadest sampai garis tanda akhir.

4. Prinsip Kerja Atomic Absorption Spectrofotometer (AAS)

Alat AAS diset terlebih dahulu sesuai dengan instruksi dalam manual alat tersebut. Kemudian dikaliberasikan dengan kurva standar dari masing-masing logam Cu dan Pb dengan konsentrasi 0; 0,2; 0,4; 0,6; 0,8; dan 1 ppm. Diukur absorbansi atau konsentrasi masing-masing sampel.

5. Analisis Data

a. Konsentrasi Sebenarnya

Untuk mendapatkan konsentrasi logam berat yang sebenarnya maka digunakan rumus :

(37)

b. Faktor Biokonsentrasi Faktor (BCF)

Setelah kandungan logam berat dalam air diketahui maka data tersebut digunakan untuk menghitung kemampuan A. marina mengakumulasi logam berat Cu dan Pb melalui tingkat biokonsentrasi faktor (BCF) dengan rumus :

BCF Cu / Pb = [Logam berat Cu / Pb] Tumbuhan [Logam berat Cu / Pb] Air

dimana, jika nilai BCF > 1000 = kemampuan tinggi 1000 > BCF > 250 = kemampuan sedang BCF < 250 = kemampuan rendah c. Analisis Deskriptif

(38)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Kondisi Lingkungan Perairan (suhu udara, suhu air, pH dan salinitas)

Kondisi lingkungan perairan hasil pengukuran secara insitu di lapangan, menunjukkan hasil yang berbeda dari satu titik ke titik lainnya. Suhu udara dan suhu air yang tertinggi terdapat di Hutan Mangrove Belawan, sedangkan salinitas dan pH tertinggi terdapat di Hutan Mangrove Jaring Halus. Untuk lebih jelasnya masing-masing pengukuran pada titik pengambilan sampel disajikan pada tabel 1 dibawah ini :

Tabel 1. Analisis Parameter Kualitas Lingkungan Perairan

STASIUN PARAMETER TITIK PENGAMBILAN SAMPEL RATA²

1 2 3 4 5 6

Keterangan : Stasiun I = Perairan Belawan (tercemar) Stasiun II = Desa Jaring Halus (kontrol)

Kandungan Logam Berat Cu serta Pb dalam Air dan Sedimen

(39)

Tabel 2. Analisis Rata-Rata Kandungan Logam Berat Cu serta Pb dalam Air dan

Kandungan Logam Berat Cu serta Pb Pada Akar A. marina

Berdasarkan hasil pengukuran kandungan logam berat Cu dan Pb pada akar A. marina diperoleh akar kawat lebih tinggi mengakumulasi logam berat Cu daripada logam Pb yaitu 14.9900, sedangkan akumulasi logam yang lebih kecil terdapat pada akar nafas yaitu 2.1770 untuk logam Pb Untuk lebih jelasnya hasil pengukuran ke-2 stasiun disajikan pada tabel 3 dibawah ini :

Tabel 3. Analisis Rata-Rata Kandungan Logam Berat Cu dan Pb dalam Akar A.marina

Kandungan Logam Berat Cu serta Pb Pada Daun A. marina

(40)

Tabel 4. Analisis Rata-Rata Kandungan Logam Berat Cu dan Pb dalam Daun

Faktor Biokonsentrasi (BCF) Untuk Menilai Kemampuan A.marina dalam Mengakumulasi Logam Berat Cu dan Pb

Berdasarkan hasil perhitungan nilai Faktor Biokonsentrasi (BCF) menunjukkan bahwa BCF tertinggi bernilai 350.9766 dan terendah 46.8454. Tabel 5 dibawah ini menyajikan nilai faktor konsentrasi Cu dan Pb di ke-2 stasiun. Tabel 5. Nilai Faktor Konsentrasi (BCF) Cu dan Pb di Belawan dan Jaring Halus

STASIUN

Kondisi Lingkungan Perairan (suhu udara, suhu air, pH dan salinitas)

(41)

suhu udara dan juga menyebabkan tingginya tingkat penyerapan panas ke dalam perairan. Sedangkan pada stasiun kontrol suhu udara berkisar 30°C - 32°C dengan suhu rata-rata 29,6°C. Dapat dibandingkan bahwa tingginya suhu udara rata-rata pada ke dua stasiun tidak jauh berbeda.

Suhu air pada saat pengambilan sampel di stasiun perairan Belawan berkisar 28-29°C, dimana suhu rata-ratanya adalah 28,8°C sedangkan suhu air di daerah kontrol berkisar 26-29°C dengan suhu air rata-rata 27,5°C. Perbedaan suhu air pada tiap pengukuran diakibatkan oleh karena perbedaan intensitas cahaya yang mengenai air, maupun akibat perbedaan penutupan permukaan air pada masing-masing stasiun. Pada stasiun pertama tampak bahwa jumlah vegetasi lebih sedikit dan proyeksi penutupan tajuk lebih sempit, namun kondisi sebaliknya ditemukan pada stasiun kedua. Suhu berpengaruh terhadap penyebaran dan komposisi organisme. Kisaran suhu yang baik bagi kehidupan organisme perairan adalah antara 18-30° C. Berdasarkan hal tersebut, maka suhu perairan dilokasi penelitian digolongkan masih baik serta dapat mendukung kehidupan organisme yang hidup di dalamnya.

(42)

derajat keasamaan yang rendah. Namun, secara umum pengukuran nilai derajat keasamannya berdasarkan Kepmen KLH No.51 Tahun 2004, kedua perairan tersebut masih mendukung kehidupan organisme di sekitarnya .

Salinitas merupakan gambaran jumlah garam dalam suatu perairan. Sebaran salinitas di air laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai (Nontji, 1987). Kisaran salinitas pada stasiun pengamatan perairan Belawan masing-masing adalah 5-10 ppt, sedangkan pada stasiun pengamatan kontrol berkisar 10 ppt. Berdasarkan pengukuran maka nilai salinitas yang lebih tinggi adalah stasiun kontrol yaitu Desa Jaring Halus. Hal ini disebabkan desa tersebut mendapat aliran atau pasokan air laut lebih besar daripada pasokan air tawar. Menurut Hutagalung (1991) penurunan salinitas dan pH serta naiknya suhu menyebabkan tingkat bioakumulasi semakin besar karena ketersediaan logam berat tersebut semakin meningkat.

Kandungan Logam Berat Cu serta Pb dalam Air dan Sedimen

(43)

berturut-turut berkisar 0.1198 mg/l dan 0.4522 mg/l, sedangkan pada stasiun kedua Jaring Halus berturut-turut berkisar 0.0838 mg/l dan 0.1133 mg/l.

Logam-logam dalam lingkungan perairan umumnya berada dalam bentuk ion. Ion-ion itu ada yang merupakan ion-ion bebas, pasangan ion organik, ion-ion kompleks dan bentuk-bentuk ion lainnya. Kandungan logam berat Cu dan Pb pada air lebih tinggi di stasiun perairan Belawan dibandingkan dengan stasiun Jaring Halus. Hal ini disebabkan karena stasiun pertama berada di dekat lokasi industri, perumahan, pelabuhan yang padat, serta dekat dengan muara Sungai Deli yang diasumsikan sebagai tempat pembuangan akhir dari limbah-limbah industri.

Pada stasiun kedua (kontrol) kandungan logam beratnya lebih sedikit daripada stasiun pertama karena berada jauh dari lokasi industri dan lebih sedikit aktivitas manusia dalam menghasilkan limbah. Akan tetapi, meski stasiun kedua jauh dari industri kandungan logam berat Cu dan Pb cukup tinggi dan menurut Kepmen KLH N0. 51 Tahun 2004 kondisi kedua perairan tersebut telah melewati ambang batas baku mutu untuk perairan pelabuhan. Oleh karena itu, dibutuhkan perhatian yang lebih serius dari pihak yang terkait untuk menangulangi demi keberlangsungan kehidupan makhluk hidup yang mendukung.

(44)

pengendapan atau sedimentasi di dasar perairan. Selain itu, menurut Nybakken (1992) bahwa jenis substrat dan ukurannya merupakan salah satu faktor ekologi yang mempengaruhi kandungan bahan organik. Semakin halus tekstur substrat semakin besar kemampuannya untuk mengikat bahan organik. Logam berat mempunyai sifat yang mudah mengikat bahan organik dan mengendap di dasar perairan dan berikatan dengan partikel-partikel sedimen, sehingga konsentrasi logam berat dalam sedimen lebih tinggi dibanding dalam air (Hutagalung, 1991).

Kandungan Logam Berat Cu serta Pb Pada Akar A. marina

Umumnya tumbuhan akan menyerap unsur-unsur hara yang larut dalam air maupun dari tanah melalui akarnya (Fitter dan Hay, 1991). Hasil pengukuran logam berat pada stasiun pertama hutan mangrove Belawan diperoleh rata-rata kandungan logam berat Cu di akar nafas dan akar kawat berturut-turut berkisar 12.0165 dan 14.9900 mg/kg, sedangkan rata-rata logam berat Pb di akar nafas dan akar kawat berturut-turut berkisar 3.6675 dan 8.3510 mg/kg. Stasiun kedua (kontrol) diperoleh rata-rata kandungan logam Cu di akar nafas dan akar kawat berturut-turut berkisar 5.5305 dan 11.7815 mg/kg, sedangkan kandungan logam Pb di akar nafas dan akar kawat berturut-turut berkisar 2.1770 dan 3.0425 mg/kg.

(45)

misalnya nilai suhu, pH dan salinitas sangat mendukung terjadinya peningkatan kelarutan logam berat dibandingkan dengan desa Jaring Halus. Hal ini mendukung pendapat Merian (1994) yang menyatakan kondisi tanah yang asam akan meningkatkan kelarutan Cu, sedangkan pada kondisi basa Cu cenderung dipresipitasi oleh tanah sehingga akan terlarut dan terbawa air yang mengakibatkan defisiensi Cu pada tanaman.

Disamping itu, tingginya logam Cu berkaitan dengan mobilitas logam Cu yang merupakan unsur esensial mikro bagi tumbuhan dan mengambarkan kebutuhan fisiologi dari vegetasi tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Hutagalung (1991) kemampuan beberapa logam berat dalam berikatan dengan asam amino mengikuti urutan sebagai berikut : Hg > Cu > Ni > Pb > Co > Cd maka logam yang paling besar keberadaannya dapat diserap adalah logam Cu, kemudian disusul logam Pb. Kandungan logam Pb yang tidak esensial bagi kehidupan tumbuhan terakumulasi lebih sedikit.

(46)

di dalam matrik tanah. Namun secara keseluruhan analisis, baik akar nafas maupun akar kawat menyerap logam berat dengan jumlah konsentrasi berlipat ganda jika dibandingkan konsentrasi logam pada air.

Kandungan Logam Berat Cu serta Pb Pada Daun A. marina

Menurut Soemirat (2003) proses absorpsi racun, termasuk logam berat dapat terjadi melalui beberapa bagian tumbuhan, seperti daun bagi zat yang lipofilik. Hasil pengukuran kandungan logam berat Cu pada daun muda di stasiun Perairan Belawan rata-rata berkisar 6.1650 mg/kg, sedangkan pada daun tua berkisar 8.8755 mg/kg. Rata-rata kandungan logam Pb berkisar 3.3715 mg/kg pada daun muda dan 5.7935 mg/kg pada daun tua.

(47)

Faktor Biokonsentrasi (BCF) Untuk Menilai Kemampuan A.marina dalam Mengakumulasi Logam Berat Cu dan Pb

Faktor Biokonsentrasi (BCF) adalah konsentrasi suatu senyawa yang ada di dalam organisme percobaan dibagi dengan konsentrasi senyawa tersebut dalam medium air satuannya [L/kg]. Melalui hasil analisis kandungan logam berat Cu dan Pb pada masing-masing stasiun, baik Perairan Belawan maupun Jaring Halus dapatlah dihitung biokonsentrasinya untuk melihat sejauh mana A. marina mampu mengakumulasikan logam berat tersebut.

Dari hasil perhitungan nilai biokonsentrasi, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kemampuan A. marina di dalam mengakumulasi logam berat Cu lebih besar dari logam berat Pb. Dengan nilai BCF Cu 350.9766 dan 328.3591 maka dapat dikategorikan sedang serta nilai BCF Pb 46.8454 dan 101.9285 dikategorikan rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat Hutagalung (1991) bahwa logam Cu kemungkinan lebih besar untuk diserap tumbuhan karena merupakan logam esensial bagi pertumbuhan.

(48)

Brooks (1997) dalam Fuadi (2007) mengatakan akumulasi logam kedalam akar tumbuhan melalui bantuan transpor ligand dalam membran akar, kemudian akan membentuk transpor logam komplek yang akan menembus xylem dan terus menuju sel daun. Setelah sampai di daun akan melewati plasmalemma, sitoplasma dan tonoplasma untuk memasuki vakuola, di dalam vakuola transpor ligand komplek bereaksi dengan akseptor terminal ligand untuk membentuk akseptor komplek logam. Kemudian transpor ligand dilepas dan akseptor komplek logam terakumulasi dalam vakuola yang tidak akan berhubungan dengan proses fisiologi sel tumbuhan.

(49)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Kandungan logam berat Cu dan Pb pada akar A.marina di stasiun Perairan Belawan lebih besar daripada di stasiun Desa Jaring Halus (kontrol) yakni berturut turut berkisar 12.0165 – 14.9900 mg/kg dan 6.1650 – 8.8755 dibanding 5.5305 – 11.7815 mg/kg dan 4.5855 – 5.6190 mg/kg.

2. Kemampuan A. marina dalam mengakumulasi logam berat Cu dikategorikan pada tingkat sedang, sedangkan pada logam berat Pb dikategorikan rendah.

3. A. marina dapat berperan mengurangi konsentrasi logam berat Cu dan Pb

di Perairan Belawan dan Jaring Halus dari perbandingan pelipatgandaan konsentrasi logam yang diserap oleh vegetasi dengan konsentrasi air.

Saran

A. marina berperan dalam mengurangi konsentrasi logam berat Cu dan Pb

(50)

DAFTAR PUSTAKA

Amin, B. 1999. Akumulasi dan Distribusi Logam Berat Pb dan Cu Pada Mangrove (Avicennia marina) di Perairan Pantai Dumai, Riau. http : /www.unri.ac.id/jurnal/jurnal_natur vol 4(1)/Bintal.pdf (28 April 2008). Arief, A. 2003. Hutan Mangrove, Fungsi dan Manfaatnya. Kanisius. Yogyakarta. Arisandi, P. 2002. Bioakumulasi Logam Berat Dalam Pohon Bakau (Rhizopora

mucronata) dan Pohon Api-api (Avicennia marina). http: //ecoton.terranet.or.id/tulisan lengkap.php?id=1345 (16 April 2008). Babich, H dan G. Stotzky. 1978. Effects of Cadmium On The Biota : Influences

of Enviromental Factors. Edv. Appl. Microbiol.

Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Provinsi Sumatera Utara (BAPEDALDASU). 2007. Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2007. http : /www.bapedaldasu.go.id Darmono. 1995. Logam Dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. UI-Press. Jakarta. ---. 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran, Hubungannya Dengan

Toksikologi Senyawa Logam. UI-Press. Jakarta.

Ditjen Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (P2SDKP). 2005. Pengawasan dan Pengendalian Pencemaran Perairan Bulan Oktober 2005. Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. http : /www.dkp.go.id (5 Mei 2008).

Fitter, A.H dan Hay, R.K.M,. 1991. Fisiologi Lingkungan Tanaman. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Fuadi, 2007. Adaptasi Tumbuhan Terhadap Pencemaran Logam Berat. http : //lets-belajar.blogspot.com (8 September 2008).

Hutagalung. H.P. 1991. Pencemaran Laut Oleh Logam Berat. Puslitbang Oseanologi. Status Pencemaran Laut di Indonesia dan Teknik Pemantauannya. LIPI. Jakarta.

Idris, I. 2001. Kebijakan Pengelolaan Pesisir Terpadu Di Indonesia. Pusat Riset Teknologi Kelautan. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

(51)

Lakitan, B. 2001. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Luncang. 2005. Ekosistem Wilayah Pesisir. Lintas Konservasi. http ://mailto[project email].com (8 Agustus 2008)

Mastaller, M. 1996. Destruction of Mangrove Wetlands – Causes and Consequences. A Biannual Collection Titled Natural Resources and Development _ Focus; Mangrove Forest. Institute for Scientific Cooperation. Tobingen.

Merian, E. 1994. Toxic Metal In The Environment. VCH Verlagsgeselischatt mbH. Weinheim.

Moore, W.G. 1977. A Dictionary of Geography. Penguin Book. Hardmonds Worth.

Mukhtasar. 2007. Pencemaran Lingkungan dan Alam. Pradnya Paramita. Jakarta. Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. Gramedia,

Jakarta. Penerjemah : Eidman dkk.

Rosmarkam, A dan Nasih, W.Y. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Saeni. 1997. Penentuan Tingkat Pencemaran Logam Berat Dengan Analisis Rambut. Orasi Ilmiah. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB. Bogor.

Soemirat, J. 2003. Toksikologi Lingkungan. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Soerianegara, I dan Indrawan, 1982. Ekologi Hutan Indonesia. Departemen Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Suharto, 2005. Dampak Pencemaran Logam Timbal (Pb) Terhadap Kesehatan Masyarakat. Majalah Kesehatan Indonesia No. 165/Nty. UNAir-SURABAYA. http : /www.pdpersi.co.id (5 Mei 2008).

Sunu, P. 2001. Melindungi Lingkungan dengan Menerapkan ISO 14001. Gramedia. Jakarta.

Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

(52)

Jakarta. Skripsi. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan – Institut Pertanian Bogor.

Thomlinson, P.B. 1986. The botany of mangroves. Cambridge University Press. London.

Vogel. 1994. Qualitative Inorganik Analysis. Departement of Chemistry Queens University. Belfast, N. Ireland.

Walsh, G.E. 1974. Mangrove; a review. In : Ecology of Halophytes pp. New York. Academic Press.

Wardhana, W.A. 2001. Dampak Pencemaran Lingkungan (Edisi Revisi). Andi. Yogyakarta.

Wikipedia. 2008. Avicennia. http : //id.wikipedia.org/wiki/Api-api (7 Mei 2008). Wild, A. 1995. Soils and The Environment : An Introduction. Cambridge

University Press. Great Britain.

(53)
(54)
(55)

Lampiran 2

BAKU MUTU AIR LAUT UNTUK BIOTA LAUT Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004

No Parameter Satuan Baku mutu

4 Padatan tersuspensi totalb mg/l coral: 20 mangrove: 80

10 PAH (Poliaromatik hidrokarbon) mg/l 0,003

11 Senyawa Fenol total mg/l 0,002

12 PCB total (poliklor bifenil) µg/l 0,01 13 Surfaktan (deterjen) mg/l MBAS 1

18 Kromium heksavalen (Cr(VI)) mg/l 0,005

(56)

20 Kadmium (Cd) mg/l 0,001

1. Nihil adalah tidak terdeteksi dengan batas deteksi alat yang digunakan (sesuai dengan metode yang digunakan)

2. Metode analisa mengacu pada metode analisa untuk air laut yang telah ada, baik internasional maupun nasional.

3. Alami adalah kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat (siang, malam dan musim).

4. Pengamatan oleh manusia (visual ).

5. Pengamatan oleh manusia (visual ). Lapisan minyak yang diacu adalah lapisan tipis (thin layer ) dengan

ketebalan 0,01mm

6. Tidak bloom adalah tidak terjadi pertumbuhan yang berlebihan yang dapat menyebabkan eutrofikasi.

Pertumbuhan plankton yang berlebihan dipengaruhi oleh nutrien, cahaya, suhu, kecepatan arus, dan kestabilan plankton itu sendiri.

7. TBT adalah zat antifouling yang biasanya terdapat pada cat kapal

a. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% kedalaman euphotic b. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata2 musiman c. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <2oC dari suhu alami

d. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <0,2 satuan pH

e. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5% salinitas rata-rata musiman f. Berbagai jenis pestisida seperti: DDT, Endrin, Endosulfan dan Heptachlor

g. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata-rata musiman

(57)

Lampiran 3

Baku mutu sedimen

Baku mutu logam berat di dalam lumpur atau sedimen di Indonesia belum ditetapkan,

sehingga sebagai acuan digunakan baku mutu yang dikeluarkan oleh IADC/CEDA (1997)

mengenai kandungan logam yang dapat ditoleransi keberadaannya dalam sedimen

berdasarkan standar kualitas Belanda, seperti dapat dilihat pada tabel berikut :

Logam Berat Level

b. Level limit. Jika konsentrasi kontaminan yang ada di sedimen memiliki nilai maksimum

yang dapat ditolerir bagi kesehatan manusia maupun ekosistem.

c. Level tes. Jika konsentrasi kontaminan yang ada di sedimen berada pada kisaran nilai

antara level limit dan level tes, maka dikategorikan sebagai tercemar ringan.

d. Level intervensi. Jika konsentrasi kontaminan yang ada di sedimen berada pada kisaran

nilai antara level tes dan level intervensi, maka dikategorikan sebagai tercemar sedang.

e. Level bahaya. Jika konsentrasi kontaminan berada pada nilai yang lebih besar dari baku

(58)

Lampiran 4

Profile Hutan Mangrove di Desa Kampung Nelayan, Belawan

Profile Hutan Mangrove di Desa Jaring Halus, Kabupaten Langkat

Beberapa kegiatan pengukuran, seperti (a) Pengukuran Diameter dan (b) Pengukuran Salinitas

Gambar

Tabel 1. Analisis Parameter Kualitas Lingkungan Perairan
Tabel 2. Analisis Rata-Rata Kandungan Logam Berat Cu serta Pb dalam Air dan                 Sedimen
Tabel 4. Analisis  Rata-Rata  Kandungan  Logam Berat Cu dan Pb  dalam  Daun                A.marina

Referensi

Dokumen terkait

 Nilai impor Provinsi Maluku Utara pada Mei sebesar US$9,21 juta atau mengalami peningkatan sebesar 64,19 persen dibanding bulan April 2017 yang senilai

Berdasarkan hasil pengolahan data tentang pengaruh kompetensi kepribadian guru terhadap minat belajar siswa di kelas XI SMA Negeri 13 Bandar Lampung Tahun

Perilaku merokok yang dipengaruhi oleh konformitas yang terjadi pada remaja putri di lakukan hanya karena perilaku individu didasarkan pada harapan kelompok atau

Penggunaan FRP sebagai perkuatan pada tulangan pengekang yang tidak standar (sengkang lingkaran) memberikan peningkatan kapasitas aksial sebesar 58% dari kolom

Nilai indeks gini pada pada rumah tangga petani yang mengusahakan lebak pematang lebih tinggi dibandingkan lebak dalam tetapi lebih rendah dibandingkan dengan lebak

Berdasarkan hasil Evaluasi Penawaran yang telah dilakukan oleh Pokja Pengadaan Barang / Jasa Satker.. BLKI Kendari, terhadap Dokumen Penawaran saudara untuk pekerjaan “

Dynamic calibration of the sensor-based coil is done in two ways (Figure 1(c)), namely: 1) by pressing one end attached to the end plate to the other plate. The distance between

(Sumber: diadaptasi dari Dewan Kehormatan Kode Etik PRSSNI. Standar Profesional Radio Siaran ,. Jakarta: Pengurus Pusat PRSSNI).. Di setiap radio tentu mempunyai nama mata acara