• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penangguhan Penahanan Dalam Proses Pemeriksaan Perkara Pidana Pada Tingkat Penyidikan (Studi Di Kepolisian Daerah Sumatera Utara)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Penangguhan Penahanan Dalam Proses Pemeriksaan Perkara Pidana Pada Tingkat Penyidikan (Studi Di Kepolisian Daerah Sumatera Utara)"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA PADA TINGKAT PENYIDIKAN

(STUDI DI KEPOLISIAN DAERAH SUMATERA UTARA)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

NIM : 060200286

JENNY ADELINA NAPITUPULU

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA PADA TINGKAT PENYIDIKAN

(STUDI DI KEPOLISIAN DAERAH SUMATERA UTARA)

S K R I P S I

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

NIM : 060200286

JENNY ADELINA NAPITUPULU

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Diketahui/Disetujui Oleh :

NIP. 096107021989030001 H.Abul Khair,S.H,M.Hum

Pembimbing I Pembimbing II

H.Abul Khair,S.H,M.Hum

NIP. 096107021989030001 NIP. 197407252002122002

Rafiqoh Lubis,S.H,M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas berkat dan anugerahNya, penulis dapat

menyelesaikan menyusun skripsi yang berjudul : “Penangguhan Penahanan

Dalam Proses Pemeriksaan Perkara Pidana Pada Tingkat Penyidikan ( Studi Di

Kepolisian Daerah Sumatera Utara )”.

Penyusunan skripsi ini dilakukan untuk memenuhi syarat-syarat untuk

mencapai gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

Untuk orang tua penulis yang sangat mendukung dan senantiasa member

masukan atas pengerjaan skripsi ini. Dan untuk seluruh keluarga yang turut

membantu atas penyelesaian skripsi ini, hanya beribu terima kasih yang dapat

penulis ucapkan.

Dengan segala kerendahan hati, pada kesempatan ini penulis

menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang tulus atas bantuan dan

dorongan dari berbagai pihak, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Rasa terima

kasih dan penghargaan ini penulis sampaikan kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung SH. M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara Medan;

2. Bapak Abul Khair, SH. M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana,

dan sebagai Dosen Pembimbing I penulis, yang telah menyediakan waktu

dan pikirannya untuk membimbing dan mengarahkan penulis sehingga

skripsi ini dapat diselesaikan;

3. Ibu Rafiqoh Lubis, SH. M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II penulis

(4)

mengarahkan penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Tanpa

bantuan dari Ibu, skripsi ini akan sulit terselasaikan;

4. Ibu Nurmalawaty, SH. M.Hum, selaku dosen yang banyak membantu dan memberikan saran dalam penyiapan judul diawal pembuatan skripsi ini;

5. Untuk orangtua yang paling aku cintai, untuk Bapak Drs. J. Napitupulu dan buat Mama Rusiani Pakpahan, terima kasih untuk semua dukungan,

doa serta kasih sayang yang sudah diberikan kepada penulis, sehingga

gelar sarjana ini bisa didapatkan, hanya ucapan terima kasih dan doa yang

dapat penulis berikan;

6. Untuk Kakak dan Abangku, Elsa Juniaty Napitupulu dan Surya Dharma Napitupulu, atas bantuan dan dorongan kepada penulis untuk

menyelesaikan skripsi ini;

7. Keluarga besar Napitupulu dan keluarga besar Pakpahan atas doa dan dukungannya;

8. Untuk Vera Patricia Madanna Purba, Yuni Tabita Manurung, Tifanny Ruslan Hasibuan, Astrya Umacy Saragih, Prista Franxiska, Rasmita,

Vania, Desi,yang telah banyak membantu penulis dalam perkuliahan dan

dalam penyelesaian skripsi ini serta tempat berbagi banyak cerita bagi

penulis dan dukungannya;

(5)

Besar harapan penulis, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat

bagi yang membacanya, meskipun penulis menyadari kekurangan dalam

penyusunan skripsi ini.

Medan, Maret 2010

Penulis

060200286

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

ABSTRAKSI ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Keaslian Penulisan ... 8

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Penahanan dan Penangguhan Penahanan .. 9

2.Penyidikan Dalam Hukum Acara Pidana Di Indonesia 13 F. Metode Penelitian ... 24

G. Sistematika Penulisan... 27

BAB II PENGATURAN PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA A. Penangguhan Penahanan Menurut HIR Dan KUHAP 1. Menurut HIR ... 29

2. Menurut KUHAP ... 31

(7)

tentang Jaminan Uang Serta Jaminan Orang dan Keputusan

Menteri Kehakiman No.M.14-PW.07.03/1983

1. Menurut PP No. 27 Tahun 1983 ... 36

2. Menurut Keputusan Menteri Kehakiman

No.M.14-PW.07.03/1983 ... 37

BAB III FAKTOR-FAKTOR YANG MENJADI DASAR PENERIMAAN DAN PENOLAKAN PERMOHONAN PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM

PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI (STUDI DI POLDASU)

A. Prosedur Permohonan Penangguhan Penahanan

Pada Tingkat Penyidikan ... 42

B.Faktor-Faktor Yang Menjadi Dasar Penerimaan dan

Penolakan Permohonan Penangguhan Penahanan

Dalam Pemeriksaan Perkara Pidana Pada Tingkat

Penyidikan

1. Faktor-Faktor Yang Menjadi Dasar Penerimaan

Permohonan Penangguhan Penahanan Dalam

Pemeriksaan Perkara Pidana Pada Tingkat

(8)

2. Faktor-Faktor Yang Menjadi Dasar Penolakan

Permohonan Penangguhan Penahanan Dalam

Pemeriksaan Perkara Pidana Pada Tingkat

Penyidikan ... 56

a. Tata Cara Pengeluaran Tahanan Karena

Penangguhan Penahanan ... 61

b. Akibat Terdakwa Yang Ditangguhkan

Penahanannya Melarikan Diri ... 62

c. Pencabutan Penangguhan Penahanan ... 64

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 66

B. Saran ... 68

(9)

ABSTRAKSI

Jenny Adelina Napitupulu* Abul Khair, SH, M.Hum** Rafiqoh Lubis, SH, M.Hum***

Skripsi yang berjudul “penangguhan penahanan dalam proses pemeriksaan perkara pidana pada tingkat penyidikan” membahas tentang dikabulkannya permohonan penangguhan penahanan oleh penyidik yang diajukan oleh pemohon. Dengan adanya syarat dan perjanjian yang diberikan oleh penyidik dan disepakati oleh pemohon atau tersangka untuk dapat menyanggupi kesepakatan yang telah dibuat antara penyidik dan pemohon.

Hal ini lah yang melatar belakangi ketertarikan penulis untuk menulis skripsi ini dengan beberapa permasalahan yaitu bagaimana pengaturan tentang penangguhan penahanan dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia dan faktor-faktor yang menjadi dasar penerimaan dan penolakan penangguhan penahanan dalam pemeriksaan perkara pidana pada tingkat penyidikan. Metode penelitian yang digunakan untuk menjawab permasalahan-permasalahan di atas adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum ini juga disebut dengan penelitian kepustakaan ataupun studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan. Serta penelitia, hukum empiris yaitu dengan data yang di dapat dari penelitian lapangan dengan mengadakan wawancara kepada informan yang berkaitan dengan judul skripsi ini.

Penangguhan penahanan adalah mengeluarkan tersangka atau terdakwa dari penahanan sebelum batas waktu penahanannya berakhir. Penjelasan Pasal 31 KUHAP ( Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ) menyatakan bahwa penangguhan penahanan adalah faktor yang menjadi dasar dalam pemberian penangguhan penahanan. Di dalam PP N0. 27 Tahun 1983 adanya jaminan berupa uang maupun berupa orang di atur dalam Pasal 35 dan Pasal 36. Serta di dalam Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.03 Tahun 1983 Angka 8 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Dengan demikian, jelaslah bahwa penangguhan penahanan diterima ataupun ditolak dengan dasar penyidik merasa yakin atau tidaknya bahwa tersangka dapat menyanggupi persyaratan yang telah disepakati oleh penyidik dan pemohon. Ditolaknya penangguhan penahanan tersebut dikarenakan penyidik khawatir tersangka akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti dan meyulitkan penyidik dalam proses penyidikan yang sedang berlangsung.

________________________

*Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara **Dosen Pembimbing I dan Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara

(10)

ABSTRAKSI

Jenny Adelina Napitupulu* Abul Khair, SH, M.Hum** Rafiqoh Lubis, SH, M.Hum***

Skripsi yang berjudul “penangguhan penahanan dalam proses pemeriksaan perkara pidana pada tingkat penyidikan” membahas tentang dikabulkannya permohonan penangguhan penahanan oleh penyidik yang diajukan oleh pemohon. Dengan adanya syarat dan perjanjian yang diberikan oleh penyidik dan disepakati oleh pemohon atau tersangka untuk dapat menyanggupi kesepakatan yang telah dibuat antara penyidik dan pemohon.

Hal ini lah yang melatar belakangi ketertarikan penulis untuk menulis skripsi ini dengan beberapa permasalahan yaitu bagaimana pengaturan tentang penangguhan penahanan dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia dan faktor-faktor yang menjadi dasar penerimaan dan penolakan penangguhan penahanan dalam pemeriksaan perkara pidana pada tingkat penyidikan. Metode penelitian yang digunakan untuk menjawab permasalahan-permasalahan di atas adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum ini juga disebut dengan penelitian kepustakaan ataupun studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan. Serta penelitia, hukum empiris yaitu dengan data yang di dapat dari penelitian lapangan dengan mengadakan wawancara kepada informan yang berkaitan dengan judul skripsi ini.

Penangguhan penahanan adalah mengeluarkan tersangka atau terdakwa dari penahanan sebelum batas waktu penahanannya berakhir. Penjelasan Pasal 31 KUHAP ( Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ) menyatakan bahwa penangguhan penahanan adalah faktor yang menjadi dasar dalam pemberian penangguhan penahanan. Di dalam PP N0. 27 Tahun 1983 adanya jaminan berupa uang maupun berupa orang di atur dalam Pasal 35 dan Pasal 36. Serta di dalam Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.03 Tahun 1983 Angka 8 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Dengan demikian, jelaslah bahwa penangguhan penahanan diterima ataupun ditolak dengan dasar penyidik merasa yakin atau tidaknya bahwa tersangka dapat menyanggupi persyaratan yang telah disepakati oleh penyidik dan pemohon. Ditolaknya penangguhan penahanan tersebut dikarenakan penyidik khawatir tersangka akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti dan meyulitkan penyidik dalam proses penyidikan yang sedang berlangsung.

________________________

*Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara **Dosen Pembimbing I dan Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara

(11)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Hukum materiil seperti yang terjelma dalam Undang-undang atau yang

bersifat tidak tertulis, merupakan pedoman bagi setiap individu tentang bagaimana

selayaknya berbuat dalam masyarakat. Hukum bukanlah mata-mata sekedar

sebagai pedoman untuk dilihat dan dibaca atau diketahui saja, melainkan untuk

dilaksanakan atau ditaati. Dapatlah dikatakan bahwa setiap individu

melaksanakan hukum. Setiap hari kita melaksanakan hukum. Bahkan seringkali

kita tanpa sadari kita melaksanakan hukum. Jadi pelaksanaan hukum bukan

dimonopoli oleh pihak tertentu seperti pejabat atau penegak hukum.1

namun tujuan perlindungan atas harkat dan martabat seseorang Tersangka atau

Terdakwa yang merupakan tujuan yang utama.

Dalam kehidupan bermasyarakat pasti terwujud suatu interaksi, dimana

interaksi tersebut memerlukan batasan-batasan atau bisa dikatakan suatu aturan

yang mengatur interaksi tersebut. Dengan telah disahkannya Rancangan

Undang-Undang Hukum Acara Pidana menjadi Undang-Undang-Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 (

KUHAP), membawa perubahan yang mendasar bagi Hukum Acara Pidana

Indonesia yang sebelumnya berpedoman HIR. Perubahan yang mendasar tersebut

sesuai dengan tujuan KUHAP itu sendiri yaitu memberikan perlindungan Hak

Asasi bagi Tersangka atau Terdakwa dalam keseimbangannya dengan

kepentingan umum. Tujuan mencapai ketertiban dan kepastian hukum dalam

Undang-Undang ini nampaknya sudah bukan merupakan suatu tujuan utama,

1

(12)

Pembangunan hukum yang bersifat nasional seperti Hukum Acara

Pidana dilandasi oleh motivasi dan tujuan agar masyarakat menghayati hak dan

kewajibannya, menciptakan suatu ketertiban dalam masyarakat serta ada

masyarakat mendapatkan suatu kepastian hukum. Meskipun telah diadakan Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang bersifat Nasional yang telah

disesuaikan dengan keadaan atau kehidupan Hukum Indonesia, KUHAP itu

sendiri tidak luput dari adanya kekurangan. Kekurangan yang terdapat dalam

KUHAP memang banyak menimbulkan suatu permasalahan baru diantaranya

dalam hal penahanan seseorang Tersangka atau Terdakwa. Permasalahan

mengenai penahanan akan tetap menjadi suatu pembicaraan yang sangat menarik

karena penahanan sangat erat kaitannya dengan perampasan hak kebebasan

seseorang. 2

Pasal 1 butir 21 KUHAP, diterangkan bahwa suatu penahanan adalah

penempatan Tersangka atau Terdakwa di tempat tertentu oleh Penyidik atau

Penuntut Umum atau Hakim dengan penetapannya, dalam hal dan menurut Acara

yang diatur dalam Undang-Undang ini. Dari pengertian tersebut diatas jelas

dinyatakan bahwa penahanan merupakan penempatan Tersangka atau Terdakwa

disuatu tempat tertentu dan hanya boleh dilakukan oleh Penyidik,Penuntut Umum,

Hakim dengan suatu penetapan dalam hal serta dengan tata cara yang diatur dalam

Pasal lain dalam KUHAP.3

2

Ibid.

3

Ibid.

(13)

Penahanan tersebut merupakan pembatasan terhadap suatu kebebasan

yang dimiliki seseorang khususnya kebebasan bergerak seseorang maka

hendaknya penahanan tersebut dilakukan bilamana memang sangat diperlukan

bagi kepentingan penegakan hukum. Selain itu penahanan juga menimbulkan dua

pertentangan azas yaitu disatu pihak penahanan menyebabkan hilangnya

kebebasan bergerak seseorang, dan di pihak yang lain penahanan dilakukan untuk

menjaga ketertiban yang harus dipertahankan demi kepentingan umum atas

perbuatan jahat yang disangkakan kepada Tersangka atau Terdakwa. Oleh karena

itu segala tindakan penahanan yang dilakukan oleh Pejabat yang berwenang

melakukan penahanan harus sesuai dengan KUHAP, hal ini untuk menghindari

terjadinya kekeliruan dalam pelaksanaan penahanan yang nantinya dapat

menyebabkan akibat hukum yang fatal bagi Pejabat yang melakukan penahanan

yang mana dapat berupa adanya tuntutan ganti kerugian atau rehabilitasi sesuai

dengan apa yang diatur dalam Pasal 95 KUHAP dan bahkan bisa berupa ancaman

Pidana sesuai dengan Pasal 9 ayat 2 UU No.4 Tahun 2004.

Untuk menjaga dan agar tidak merugikan kepentingan Tersangka atau

Terdakwa dikarenakan adanya penahanan yang kemungkinan dapat

dilangsungkan dalam waktu yang cukup lama maka dalam Hukum Acara Pidana

diatur suatu ketentuan mengenai bahwa Tersangka atau Terdakwa dapat memohon

penahanannya untuk ditangguhkan. Mengenai penangguhan penahanan tersebut

diatur dalam Pasal 31 KUHAP, dimana penangguhan tersebut dapat dikabulkan

(14)

masing-masing dengan menetapkan ada atau tidaknya jaminan uang atau orang

berdasarkan syarat-syarat tertentu.

Dengan adanya peraturan mengenai dapat dimohonkannya penangguhan

terhadap suatu penahanan, mungkin memberikan sedikit angin segar pada para

Tersangka atau Terdakwa. Namun, mengenai penangguhan penahanan ini juga

tidak luput dari kekurangan dan sudah barang tentu dapat menimbulkan suatu

permasalahan yang baru bagi masyarakat yang mencari kepastian huku m.4

4

Ibid

Pasal 31 KUHAP hanya menyatakan bahwa tersangka atau terdakwa

dapat memohon suatu penangguhan, penangguhan tersebut dapat dikabulkan oleh

Penyidik, Penuntut Umum, Hakim sesuai dengan kewenangannya masing-masing

dengan menetapkan ada atau tidaknya jaminan uang atau orang berdasarkan

syarat-syarat tertentu serta apabila syarat tersebut dilanggar maka penangguhan

tersebut dapat dicabut kembali dan Tersangka atau Terdakwa tersebut dapat

kembali ditahan. Pengaturan tersebut dirasa sangat kurang memberi kejelasan

pelaksanaan penangguhan penahanan dalam praktek.

Diatas telah diuraikan bahwa penangguhan dapat dilaksanakan dengan

atau tidak adanya jaminan berupa uang atau jaminan orang, namun KUHAP tidak

menjelaskan mengenai besarnya jumlah uang jaminan tersebut apabila

penangguhan tersebut dilaksanakan dengan adanya jaminan uang dan apabila

penangguhan dilaksanakan dengan jaminan orang KUHAP juga tidak

(15)

Selain itu Pasal 31 KUHAP juga tidak menjelaskan mengenai akibat

hukum dari si jaminan apabila Tersangka yang ia jamin tersebut melarikan diri.

Maka dari itu dalam hal penangguhan penahanan ini Pejabat yang berwenang

menahan tersangka atau terdakwa tersebut tidak diwajibkan untuk mengabulkan

setiap adanya permohonan penangguhan penahanan dan dapat menolak

permohonan penangguhan penahanan tersebut dengan suatu alasan tertentu dan

tetap menempatkan Tersangka atau Terdakwa dalam tahanan.

Bila suatu penangguhan penahanan tersebut dikabulkan oleh Pejabat

yang melakukan penahanan maka berdasarkan ketentuan dalam KUHAP, Pejabat

tersebut dapat menetapakan suatu jaminan baik berupa jaminan uang atau jaminan

orang. Penetapan ada atau tidaknya suatu jaminan dalam KUHAP bersifat

fakultatif. 5

Menurut M.Yahya Harahap berpendapat bahwa penetapan jaminan

dalam penangguhan penahanan tidak mutlak. Tanpa jaminan tindakan pemberian

penangguhan penahanan tetap sah menurut hukum. Cuma agar syarat

penangguhan penahanan benar-benar ditaati, ada baiknya penangguhan dibarengi

dengan penetapan jaminan. Cara yang demikianlah yang lebih dapat

dipertanggung jawabkan demi upaya memperkecil tahanan melarikan diri.6

Mengenai masalah penangguhan penahanan yang diatur dalam Pasal 31

KUHAP belum secara keseluruhan mengatur bagaimana tata cara pelaksanaannya

serta bagaimana syarat dan jaminan yang dapat dikenakan kepada tahanan atau

kepada orang yang menjamin, sedangkan tentang alasan penangguhan penahanan

5

Ibid 6

(16)

tidak ada disinggung dalam pasal 31 KUHAP maupun dalam penjelasan Pasal

tersebut. Jika ditinjau dalam segi yuridis, mengenai alasan penangguhan dianggap

tidak relevan untuk dipersoalkan. Persoalan pokok bagi hukum dalam

penangguhan berkisar pada masalah syarat dan jaminan penangguhan.

Akan tetapi sekalipun Undang-Undang tidak menentukan alasan

penangguhan dan memberi kebebasan serta kewenangan penuh kepada instansi

yang menahan untuk menyetujui atau tidak menagguhkan, sepatutnya instansi

yang bersangkutan mempertimbangkan dari sudut kepentingan ketertiban umum

dengan jalan pendekatan sosiologis, psikologis, preventif, korektif dan edukatif.

Sedangkan dalam KUHAP sendiri disebutkan dengan jelas bahwa Tersangka atau

terdakwa berhak untuk mengajukan penangguhan penahanan.

Berdasarkan Penjelasan Pasal 31 KUHAP (Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana) menyatakan bahwa penangguhan penahanan adalah faktor

yang menjadi dasar dalam pemberian penangguhan penahanan. Penangguhan

penahanan harus dimajukan oleh Tersangka atau Keluarganya ataupun dapat juga

dimajukan oleh Penasehat Hukum Tersangka dengan suatu jaminan uang dan

jaminan orang. Berdasarkan syarat yang telah ditentukan.

Penyidik juga mempunyai dasar yang kuat diberikannya penangguhan

penahanan kepada pemohon karena keyakinan dari Penyidik bahwa pemohon

dapat memenuhi syarat-syarat perjanjian yang disetujui antara Penyidik maupun

Pemohon. Dan yang paling mendasar ialah indikator kekhawatiran yang paling

utama agar Penyidik tidak merasa khawatir akan kesanggupan Pemohon dalam

(17)

Dengan demikian, jelaslah bahwa penangguhan penahanan diterima

ataupun ditolak dengan dasar Penyidik merasa yakin atau tidaknya bahwa

Tersangka dapat menyanggupi persyaratan yang telah disepakati oleh Penyidik

dan Pemohon. Ditolaknya penangguhan penahanan tersebut dikarenakan Penyidik

khawatir Tersangka akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti serta

menyulitkan Penyidik dalam proses penyidikan yang sedang berlangsung.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan, maka dapat ditarik

beberapa permasalahan yang penulis anggap penting untuk dibahas lebih lanjut.

Adapun permasalahan yang akan diangkat dalam skripsi ini adalah :

1. Bagaimana pengaturan tentang penangguhan penahanan dalam Hukum

Acara Pidana di Indonesia?

2. Faktor-faktor apakah yang menjadi dasar penerimaan dan penolakan

penangguhan penahanan dalam permeriksaan perkara pidana di Tingkat

Penyidikan?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, maka tujuan

penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui pengaturan tentang penangguhan penahanan dalam

(18)

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi dasar penerimaan dan

penolakan penangguhan penahanan dalam pemeriksaan perkara pidana di

Tingkat Penyidikan.

2. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat penulisan dari skripsi ini adalah :

a. Teoritis

Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran

dalam rangka perkembangan ilmu hukum pada umumnya serta perkembangan

hukum pidana khususnya mengenai penangguhan penahanan dalam proses

pemeriksaan perkara pidana di tingkat penyidikan.

b. Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi aparat

penegak hukum mengenai penangguhan penahanan dalam proses permeriksaan

perkara pidana di tingkat penyidikan.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi mengenai penangguhan penahanan dalam proses

pemeriksaan perkara pidana pada tingkat penyidikan belum pernah diangkat di

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dengan demikian penulis

menyatakan bahwa skripsi ini adalah benar hasil karya penulis dan belum pernah

diangkat oleh penulis lain dengan permasalahan yang sama. Skripsi ini dibuat

berdasarkan hasil pemikiran dan juga referensi dari buku-buku serta informasi

(19)

fakta-fakta yang didapat dari hasil riset yang dilaksanakan oleh penulis. Jika

dikemudian hari, ada skripsi yang sama maka penulis akan

mempertanggung-jawabkan sepenuhnya.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Penahanan dan Penangguhan Penahanan

a. Penahanan

Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, mengenai penahanan diatur dalam

HIR (Her Herziene Reglement). Akan tetapi setelah berlakunya KUHAP,

mengenai penahanan diatur dalam Pasal 20 sampai Pasal 31, dimana untuk

kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan masing-masing penegak

hukum berwenang melakukan penahanan.

Menurut KUHAP yang dimaksud dengan penahanan dijelaskan dalam

Pasal 1 butir 21:

“Penahanan adalah penempatan Tersangka atau Terdakwa ditempat

tertentu oleh Penyidik atau Penuntut Umum atau Hakim dengan penetapannya,

dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini”.

Menurut Van Bemmelen, penahanan adalah sebagai suatu pancung yang

memenggal kedua belah pihak, karena tindakan yang bengis ini dapat dikenakan

kepada orang-orang yang belum tentu bersalah. 7

7

(20)

Martiman Projohamidjojo dalam bukunya memberikan kemerdekaan

Tersangka atau Terdakwa dan untuk menempatkannya di tempat tertentu,

biasanya ditempatkan di rumah tahanan negara yang dahulu disebut Lembaga

Permasyarakatan. 8

Berdasarkan Pasal 1 butir 21 KUHAP diatas, semua instansi penegak

hukum mempunyai wewenang untuk melakukan penahanan. Juga dari ketentuan

tersebut telah diseragamkan istilah tindakan penahanan. Tidak dikacaukan lagi

dengan berbagai ragam istilah seperti yang dahulu dalam HIR, yang membedakan

dan mencampur aduk antara penangkapan, penahanan sementara dan tahanan

sementara, yang dalam peristilahan Belanda disebut de verdachte aan te houdan

(Pasal 60 ayat (1) HIR). Serta untuk perintah penahanan yang dimaksud Pasal 83

HIR dipergunakan istilah zijn gevangen houding bevelen.9

8

Martiman Prodjohamidjojo, Penangkapan dan Penahanan (Seri Pemerataan Keadilan), Ghalia Indonesia, Jakarta 1984, hal.15

9

M. Yahya Harahap, Op.cit, hal. 164

Dalam KUHAP, semuanya disederhanakan. Tidak lagi dijumpai

kekacauan antara pengertian penangkapan dengan penahanan sementara atau

tahanan sementara. Juga tidak ada lagi kekacauan mengenai masalah wewenang

yang berhubungan dengan penahanan sementara dan tahanan sementara. Yang ada

hanya dua istilah dengan batas wewenang yang tegas, yaitu penangkapan yang

wewenangnya diberikan kepada penyidik. Batas waktunya hanya 1 (satu) hari dan

mesti ada surat tugas serta perintah penangkapan. Berbeda dengan HIR, memberi

wewenang penangkapan baik kepada Polri atau Jaksa, dan dalam tempo 10

(21)

Demikian pula halnya dalam penahanan. Istilahnya cukup sederhana

tanpa embel-embel kata “sementara”. KUHAP hanya mengenal istilah

“penahanan” yang wewenangnya diberikan kepada semua instansi penegak

hukum, dan masing-masing mempunyai batas waktu yang ditentukan secara

limitatif.

Sehubungan dengan penetapan waktu yang sangat terbatas bagi setiap

instansi, menciptakan tegaknya kepastian hukum dalam penahanan. Tidak lagi

seperti dulu, pada masa HIR, yang melebihi satu atau dua tahun. Benar-benar

tidak ada kepastian hukum bagi seorang tersangka yang ditahan.

Sebelumnya menahan tersangka dalam rangka pelaksanaan penyidikan

adalah merupakan suatu tindakan darurat. Artinya penahanan itu dilakukan jika

memang diperlukan sekali. Disamping itu karena penahanan ini langsung

menyentuh hak asasi manusia yang paling pokok yaitu kebebasan bergerak dari

seseorang, maka untuk mencegah jangan terjadi pembatasan yang mengarah

kepada tindakan pemerkosaan has asasi, maka Undang-Undang menentukan

syarat-syarat yang ketat dalam rangka pelaksanaan penahanan itu.

b. Penangguhan Penahanan

Penangguhan penahanan diatur dalam Pasal 31 KUHAP. Memperhatikan

ketentuan Pasal 31, pengertian penangguhan penahanan Tersangka atau Terdakwa

dari penahanan, yaitu mengeluarkan Tersangka atau Terdakwa dari penahanan

sebelum batas waktu penahanannya berakhir.

Tahanan yang resmi dan sah masih ada dan belum habis, namun

(22)

ditangguhkan, sekalipun masa penahanan yang diperintahkan kepadanya belum

habis. Dengan adanya penangguhan penahanan, seorang tersangka atau terdakwa

dikeluarkan dari tahanan pada saat masa tahanan yang sah dan resmi sedang

berjalan.

Penangguhan penahanan tidak sama dengan pembebasan dari tahanan.

Perbedaan terutama ditinjau dari segi hukum maupun alasan dan persyaratan yang

mengikuti tindakan pelaksanaan penangguhan penahanan dengan pembebasan

dari tahanan.

Dari segi hukum, pelaksanaan dan persyaratan : 10

1. Pada penangguhan penahanan masih sah dan resmi berada dalam batas

waktu penahanan yang dibenarkan Undang-Undang. Namun

pelaksanaan penahanan diberhentikan dengan jalan mengeluarkan

tahanan setelah instansi yang menahan menetapkan syarat-syarat

penangguhan penahanan yang harus dipenuhi oleh tahanan atau orang

lain yang bertindak menjamin penangguhan.

2. Sedang pada pembebasan dari tahanan harus berdasar ketentuan

Undang-Undang.Tanpa dipenuhi unsur-unsur yang ditetapkan

Undang-Undang, pembebasan dari tahanan tidak dapat dilakukan.

Dalam hal oleh karena pemeriksaan telah selesai sehingga tidak

diperlukan penahanan, oleh karena penahanan yang dilakukan tidak

sah dan bertentangan dengan Undang-Undang maupun karena batas

waktu penahanan yang dikenakan sudah habis, sehingga tahanan harus

10

(23)

dibebaskan demi hukum. Bisa juga oleh karena lamanya penahanan

yang dijalani sudah sesuai dengan hukuman pidana yang dijatuhkan

pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Disamping

itu, dari segi pelaksanaan pembebasan tahanan, dilakukan tanpa syarat

jaminan.

3. Penyidikan Dalam Hukum Acara Pidana Di Indonesia

Seperti diketahui bahwa dalam masyarakat selalu ada orang-orang yang

melakukan perbuatan melanggar hukum, sehingga dapat dikatakan bahwa awal

perbuatan proses peradilan pidana itu dimulai dari masyarakat. Proses peradilan

pidana telah diatur dalam suatu sistem yang dinamakan Sistem Peradilan Pidana

(Criminal Justice System).

Dalam sistem peradilan pidana kepolisian diberi wewenang untuk

melakukan penyidikan dengan landasan hukumnya tercantum pada:

a. Pasal 13 dan 16 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang

Kepolisian Negara Republik Indonesia.

b. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana.

Undang-Undang tersebut diatas memberi wewenang kepada Polisi untuk

melakukan penyidikan yang melakukan penyidikan yang pelaksanaannya

didelegasikan kepada Penyidik Polri. Penyidik Polri bila dilihat dari Sistem

peradilan pidana, ternyata merupakan sub sistem dari sistem peradilan pidana

(24)

Pemasyarakatan dan Advokat. Sub sistem tersebut mempunyai peranan

masing-masing yang satu sama lain berkaitan.

Penyidik yang mengetahui (dengan cara apapun), menerima laporan atau

pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak

pidana dan atau menerima penyerahan tersangka yang tertangkap tangan wajib

segera melakukan tindakan penyidikan (Pasal 106, 111 KUHAP) antara lain

segera mendatangani/memeriksa TKP (Tempat Kejadian Perkara), melakukan

pemanggilan tersangka,saksi,saksi ahli untuk diminta memberikan keterangannya,

melakukan penggeledahan, melakukan penyitaan barang bukti dan alat bukti yang

sah, mengirim korban kejahatan yang menderita luka atau yang sudah menjadi

mayat ke rumah sakit untuk diperiksa dan mendapatkan Visum Et Repertum dari

ahli kedokteran kehakiman/kedokteran forensik, melakukan penangkapan,

penahanan, mengambil sidik jari dan melakukan tindakan-tindakan lainnya sesuai

dengan prosedur perundang-undangan yang berlaku untuk kepnetingan

penyelesaian penyidikan.

Pasal 7 ayat (1) mengatasi wewenang dari penyidik yang kewenangan

tersebut adalah sebagai berikut:

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak

pidana.

b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian.

c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri

tersangka.

(25)

e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.

f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.

g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau

saksi.

h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan

pemeriksaan perkara.

i. Mengadakan penghentian penyidikan.

j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Maka dengan demikian penyidikan sebagaimana yang dimaksud dalam

KUHAP dimulai, bila penyidik melakukan wewenangnya selaku penyidik

berdasarkan surat perintah penyidikan yang sah yang diberikan oleh pejabat

berwenang. Bagi pimpinan Kepolisian dan Kejaksaan surat perintah penyidikan

adalah alat pengaman yang sangat efektif untuk mencegah terjadinya

penyalahgunaan wewenang dan di pihak tersangka berarti jaminan dan

perlindunga terhadap hak-hak dan martabat tersangka.

Tersangka yang merasa penyidikan yang dilakukan terhadap dirinya

tidak dilakukan berdasarkan surat perintah yang sah, dapat segera meminta

diperlihatkannya surat perintah penyidikan tersebut atau meminta penjelasan

kepada atasan penyidik.

Dimulainya penyidikan ditandai secara formal prosedural dengan

dikeluarkannya surat perintah penyidikan oleh Pejabat yang berwenang di instansi

penyidik. Dengan diterimanya laporan atau pengaduan atau informasi tentang

(26)

perintah penyidikan dikeluarkan. Pimpinan yang arif bijaksana akan segera

memerintahkan untuk meneliti kebenaran laporan tersebut dan menilai secara

cepat mapun cermat apakah sudah cukup alasan hukum dan bukti-bukti permulaan

bagi dimulainya penyidikan.

Kegiatan penyidikan di samping merupakan yang tujuan akhirnya

keadilan, kepastian hukum dan ketentraman dalam hidup bermasyarakat, juga

menimbulkan beban dan nestapa bagi anggota masyarakat sebagai akibat daya

paksa yang melekat pada kegiatan penyidikan. Di samping itu jangan sampai

kegiatan penyidikan yang sudah memakan waktu yang panjang, melelahkan,

menimbulkan beban psikis dan biaya besar, berakhir dengan penghentian atau

penghentian penuntutan karena kurang kuatnya bukti.

Penanganan suatu proses pidana tahap demi tahap berhubungan erat,

dimana tahap yang satu meletakkan dasar-dasar bagi tahap yang lain dan setiap

tahap berhubungan erat dan saling mendukung satu sama lain. Oleh karena itu

proses penanganan perkara pidana dikatakan suatu integrad criminal yustice

system. Yang dimaksud dengan integrad criminal yustice system ialah sistem

peradilan perkara pidana terpadu, yang unsur-unsurnya terdiri dari persamaan

persepsi tentang keadilan dan penyelenggaraan peradilan perkara pidana secara

keseluruhan dan kesatuan.

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa diadakannya lembaga

pemberitahuan dimulainya penyidikan tersebut dalam KUHAP adalah guna

meletakkan dasar-dasar kerja sama dan koordinasi fungsional-fingsional serta

(27)

yang terkait, dalam rangka mewujudkan proses penanganan perkara pidana yang

dilaksanakan secara tepat, sederhana dan biaya ringan.

Diadakannya lembaga pemberitahuan penyidikan juga erat hubungannya

dengan penghentian penyidikan. Karena untuk dapat menentukan bahwa suatu

penyidikan telah dihentikan, maka harus ditetapkan suatu momentum yang secara

yuridis menandai bahwa suatu penyidikan telah dimulai. Dengan ditetapkannya

kepada suatu penyidikan telah dimulai, maka akan jelas pula sejak kapan mulai

berlakunya hak dan kewajiban, fungsi dan wewenang serta tanggung jawab

pihak-pihak yang terkait dalam proses penanganan perkara pidana (tersangka atau

penasehat hukum, penyidik, penutut umum dan Hakim).

Menurut ketentuan Pasal 109 ayat 1 KUHAP bahwa dalam hal penyidik

telah memulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak

pidana, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum.

Pengertian mulai melakukannya penyidikan, ialah apabila dalam tindakan tersebut

penyidik telah menggunakan upaya paksa.

Bahwa pemberitahuan dimulainya penyidikan oleh penyidik kepada

penuntut umum tersebut merupakan suatu kewajiban yang harus segera

dilaksanakan oleh penyidik bila ia telah memulai suatu penyidikan.

Dari rangkaian uraian tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa:

a. Penyidikan telah dimulai sejak dipergunakannya upaya paksa oleh

penyidik.

b. Dalam hal penyidikan telah dimulai penyidik wajib segera menyampaikan

(28)

c. Batas waktu penyampaian pemberitahuan dimulainya penyidikan, ialah

segera setelah pemeriksaan tersangka.

d. Sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat 3 huruf 1 a jo Pasal 110 ayat 1

KUHAP, penyerahan berkas perkara kepada penuntut umum adalah

tindakan penyidik yang harus dilakukannya setelah penyelidikan selesai.

e. Sehubungan dengan uraian pada huruf d tersebut, maka penyampaian

pemberitahuan dimulainya penyidikan bersamaan dengan penyerahan

berkas tahap pertama sebagaimana dimaksud pasal 8 ayat 3 huruf a adalah

penyampaian pemberitahuan dimulainya penyidikan setelah penyidik

selesai melakukan penyidikan. Dengan demikian cara penyampaian

pemberitahuan dimulainya penyidikan bersamaan dengan penyerahan

berkas perkara tidak dapat dibenarkan, karena bertentangan dengan

ketentuan pasal 109 ayat 1 KUHAP.

Semua penyidikan yang dilakukan oleh penyidik baik penyidik

Polri,penyidik PNS maupun penyidik yang tergabung dalam Tim tetap penyidik

perkara Koneksitas, wajib menyampaikan pemberitahuan telah dimulainya

penyidikan kepada penuntut umum. Terkecuali dalam hal undang-undang

menyatakan secara tegas bahwa pemberitahuan tersebut tidak diperlukan. Karena

pemberitahuan dimulainya penyidikan tersebut, ditetapkan sebagai hal yang

bersifat imperatif.

Pengecualian terhadap prinsip umum tersebut terdapat dalam pasal 205

KUHAP, dalam ayat 1 dan ayat 2 pasal tersebut diatur tentang penyidikan perkara

(29)

atas kuasa penuntut umum melimpahkan hasil penyidikannya langsung ke

pengadilan. Jadi, disini tidak dikenal proses prapenuntutan, oleh karena itu

pemberitahuan dimulainya penyidikan tindak diperlukan.

Fungsi utama dari pemberitahuan dimulainya penyidikan itu, adalah

dalam rangka pelaksanaan tugas prapenuntutan, yakni penelitian berkas perkara

tahap pertama dan pemberian petunjuk oleh penuntut umum kepada penyidik

dalam hal hasil penyidikan belum lengkap.Oleh karen itu, seyogianya penyidikan

dilakukan oleh PNS pun diberitahukan kepada penuntut umum, setidak-tidaknya

dalam bentuk tembusan.

Pasal 107 KUHAP tidak menyinggung tentang pemberitahuan

dimulainya penyidikan. Tetapi dalam penjelasannya dinyatakan bahwa dalam hal

penyidik PNS melakukan penyidikan, maka ia memberitahukan hal itu kepada

penyidik Polri. Seyogiayanya penjelasan itu dilengkapai dengan anak kalimat

“dengan tembusan kepada penuntut umu”.

Penyidikan tanpa pemberitahuan dimulainya penyidikan kepada penuntut umum,

akan mengundang berbagai permasalahan pada tahap prapenuntutan.

Sebenarnya bila pembentuk undang-undang konsekuen dengan sistem

mekanisme pemberitahuan dimulainya penyidikan sebagaimana diatur dalam

pasal 109 ayat 1 dan mekanisme penyerahan berkas perkara sebagaimana diatur

dalam pasal 8 ayat 3 huruf a dan huruf b KUHAP, maka rangkaian permasalahan

tersebut diatas tidak akan terjadi, setidak-tidaknya dapat ditekan seminimum

(30)

Sejak saat penyidik sudah mulai melakukan penyidikan maka penyidik

yang bersangkutan wajib segera memberitahukan dimulainya penyidikan itu

kepada penuntut umu dengan menggunakan formulir SERSE : A3 yang lazim

dinamakan SDPD (SuratPemberitahuan Dimulainya Penyidikan). Untuk daerah

terpencil atau yang sulit transportasinya, pengirimannya dapat dilakukan melalui

upaya komunikasi lain sesuai dengan fasilitas yang ada kemudian segera disusul

dengan SDPD (Pasal 109 ayat (1) KUHAP).

Oleh karena yang dimaksud dengan tindakan penyidikan merupakan

serangkaian tindakan upaya paksa antara lain dimulai dari tindakan pemanggilan

dan pemeriksaan saksi, tersangka, orang ahli, penangkapan, penahanan,

penggeledahan, penyitaan dan lain-lain. Untuk itu sejak saat penyidik mulai

melakukan salah satu tindakan upaya paksa, maka penyidik wajib segera

mengirimkan SDPD kepada penuntut umum disertai lampiran berupa laporan

Polisi/Surat Pengaduan. Dengan diterimanya SDPD maka KAJARI (Kepala

Kejaksaan Negeri) segera memerintah/menunjuk Jaksa untuk bertindak selaku

Penuntut umum (PU) guna mengikuti perkembangan kegiatan penyidikan yang

bersangkutan. Dengan demikian terjadilah hubungan koordinasi fungsional antara

penyidik dengan penuntut umum antara lain dilakukan dalam bentuk komunikasi

dan konsultasi. Bahkan dalam praktek penegakan hukum selama ini terutama

dalam kegiatan penyidikan terhadap perkara-perkara penting yang mendapatkan

sorotan tajam dari masyarakat luas atau yang mempunyai bobot/dampak

nasional/internasional atau biasanya secara proaktif/berinisiatif sejak awal

(31)

melakukan proses pengolahan dan penilaian terhadap keberadaan alat-alat bukti

yang sah (BAB XVI Bagian keempat pasal 183 s/d 189 KUHAP). Hal tersebut

dilakukan tanpa mencampuri atau mengambil alih kewenangan penyidikan,

melainkan semata-mata bertujuan untuk mempercepat proses penyelesaian

penyidikannya dan mencegah terjadinya bolak-baliknya Berkas perkara dari

penyidik kepada penuntut umum dan sebaliknya yang tidak jarang terjadi sampai

berulang kali, sehingga bertentangan dengan asas penyelesaian perkara secara

cepat, sederhana, dan biaya ringan (pasal 110 jo 138 KUHAP). Berkas perkara

hasil penyidikan dari penyidik kepada penuntut umum akan diuraikan dalam BAB

Prapenuntutan.

Peranan Penyidik Polri dalam sistem peradilan pidana berada pada

bagian terdepan dan merupakan tahap awal mekanisme proses peradilan pidana

yaitu: Pemeriksaan pendahuluan. Tugas-tugas penyidikan itu berhubungan

dengan: penangkapan, penahanan, penggeledahan, pemeriksaan surat,

pemeriksaan saksi/tersangka, bantuan ahli. Pemeriksaan pendahuluan dilakukan

dalam arti bahwa suatu penyidikan dilakukan terhadap seseorang yang diduga

melakukan suatu Tindak Pidana.

Dalam hal penyidik Polri bertemu dengan tersangka dan saksi-saksi,

maka dibuatlah laporan tertulis dan menghimpun semua keterangan dari saksi dan

tersangka dalam suatu berita acara tertulis sampai lengkap. 11

Fungsi penyidikan ditangan Kepolisian meliputi sarana hukum dan

sarana tekhnik. Penyidikan dengan menggunakan sarana hukum antara lain dalam

11

(32)

hal melakukan tindakan-tindakan: penyelidikan,penyidikan,pemanggilan terhadap

tersangka dan saksi, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan hubungan antara

penyidik dengan Jaksa Penuntut Umum. Penyidikan dengan menggunakan saran

tekhnik, yaitu melakukan tindakan-tindakan:identifikasi, daksiloskopi,

pemeriksaan ditempat kejadian perkara, autopsi, dan interogasi terhadap tersangka

dan saksi. Penyidik polri dalam menemukan kebenaran terhadap suatu kasus

pidana menerapkan taktik tertentu guna melengkapi hasil penyelidikan, taktik

penggeledahan, taktik penghadangan dan lain-lain. 12

Pengaturan lebih lanjut mengenai penyidik sudah diatur dalam PP No. 27

Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 36, Tambahan Penggunaan sarana hukum dan saran tekhnik tersebut untuk mencari

kebenaran materil yang proses pembuktiannya diuji di sidang pengadilan. Apabila

penyidik kepolisian akan menyerahkan berkas perkara bersama barang bukti dan

tersangkanya kepada pihak kejaksaan untuk diajukan ke sidang pengadilan.

Penyidik mempunyai peranan penting dan merupakan ujung tombak

dalam proses penegakan hukum pidana. Kinerja penyidik berpengaruh besar

dalam proses penanganan perkara pidana. Dalam Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 6 ayat

(1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana disebutkan

bahwa ada 2 pejabat yang berkedudukan sebagai penyidik, yaitu Pejabat Polisi

Negara Republik Indonesia dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi

wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan.

12

(33)

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3258) namun dalam

perkembangannya sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum dalam

masyrakat dan belum dapat sepenuhnya berperan dalam menjalankan tugas dan

wewenangnya. Oleh karenanya, perlu mengubah ketentuan peraturan pemerintah

tersebut.

Perubahan terhadap PP No. 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana dilakukan dengan tujuan agar dapat

meningkatkan kualitas kinerja dan profesionalitas penyidik dalam melaksanakan

tugas, fungsi dan wewenangnya. Salah satu nya dengan meningkatkan persyaratan

untuk dapat diangkat menjdi penyidik seperti pendidikan paling rendah,pangkat

atau golongan dan bertugas di bidang teknis operasional penegakan hukum. 13

F. Metode Penelitian

Metode diartikan sebagai suatu jalan atau cara untuk mencapai sesuatu.

Sebagaimana tentang cara penelitian harus dilakukan, maka metode penelitian

yang digunakan penulis mencakup antara lain :

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif

(penelitian hukum doktrinal). Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian

kepustakaan atau studi dokumen. Penelitian hukum normatif disebut penelitian

hukum doktriner, karena penelitian dilakukan atau ditujukan hanya pada

13

(34)

peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain. Penelitian hukum

ini juga disebut juga dengan penelitian kepustakaan ataupun studi doukmen

disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat

sekunder yang ada diperpustakaan. Penelitian kepustakaan demikian dapat pula

dikatakan sebagai lawan dari penelitian empiris (penelitian lapangan).

2. Data Dan Sumber Data

Data yang digunakan adalah data sekunder dan di dukung data primer. Data

sekunder diperoleh dari :

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer, yaitu Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun

1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan

Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.03 Tahun 1983

Angka 8 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana.

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai

bahan hukum primer seperti buku-buku bacaan yang relevan dengan judul ini.

c. Bahan hukum tertier

Bahan hukum tertier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus hukum.

Sedangkan data primer yang digunakan dalam penulisan ini yaitu hasil

(35)

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah :

- Library research (penelitian kepustakaan)

Yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan,

buku-buku, berbagai literatur dan juga berbagai peraturan

Perundang-Undangan yang berkaitan dengan penangguhan penahanan dalam proses

pemeriksaan perkara pidana pada tingkat penyidikan.

- Field research (penelitian lapangan)

Yaitu dengan meneliti langsung ke lapangan mengenai penangguhan

penahanan dalam proses pemeriksaan perkara pidana pada tingkat

penyidikan dalam hal ini di wilayah kerja Poldasu Medan.

4. Analisis Data

Data sekunder yang telah diperoleh melalui studi pustaka diklasifikasi

dan diurutkan dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar. Keseluruhan data

akan dianalisa secara kualitatif untuk menjawab permasalahan dalam skripsi.

Data primer diperoleh dari hasil wawancara terhadap informan yaitu

penyidik dari Poldasu Medan.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan ini dibuat secara terperinci dan sistematis agar memberikan

kemudahan bagi pembacanya dalam memahami makna dan dapat pula

(36)

yang sangat berhubungan antara satu dengan yang lainnya yang dapat dilihat

sebagai berikut :

Bab I Pendahuluan. Bab ini merupakan bab yang menguraikan latar

belakang penulisan skripsi, perumusan masalah dalam penulisan skripsi, tujuan

dan manfaat penulisan, keaslian judul, menguraikan tentang tinjauan kepustakaan

yaitu pengertian penahanan dan pengguhan penahanan,penyidikan dalam hukum

acara pidana di Indonesia, menjelaskan metode penelitian dan skripsi ini dan bab

ini ditutup dengan memaparkan sistematika penulisan.

Bab II Pengaturan penangguhan penahanan dalam Hukum Acara Pidana

di Indonesia. Bab ini membahas mengenai penangguhan penahanan menurut HIR

dan KUHAP, penangguhan penahanan menurut PP Nomor 27 Tahun 1983

Tentang Jamianan Uang maupun Jaminan Orang dan Keputusan Menteri No. M.

14-PW. 07.03/1983.

Bab III Faktor-faktor yang menjadi dasar penerimaan dan penolakan dan

penangguhan penahanan dalam pemeriksaan perkara pidana di tingkat penyidikan

(studi di Poldasu). Dalam bab ini juga dibahas mengenai prosedur permohonan

penangguhan penahanan pada tingkat penyidikan, faktor-faktor yang menjadi

dasar penerimaan penangguhan penahanan dalam pemeriksaan perkara pidana di

tingkat penyidikan, faktor-faktor yang menjadi dasar penolakan pada tingkat

penyidikan.

Bab IV Kesimpulan dan Saran. Bab ini merupakan perumusan suatu

kesimpulan dari pembahasan yang dilakukan pada bab-bab sebelumnya yang juga

(37)

Bagian saran menguraikan saran-saran dari penulis untuk masalah yang ada di

(38)

BAB II

PENGATURAN PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA

A. Penangguhan Penahanan Menurut HIR dan KUHAP 1. Menurut HIR (Herzeine Inlands Regelement)

Pada masa HIR (Herzeine Inlands Reglement), penangguhan penahanan

diatur dalam Pasal 358. Dalam pasal tersebut diatur tentang wewenang Hakim

untuk menangguhkan penangkapan atau penahanan dengan perjanjian dan perlu

dengan suatu jaminan.

Hakim menentukan apabila ada alasan untuk dapat memberikan

penangguhan penahanan dengan ditentukan syarat-syaratnya sebagai berikut:

a. Syarat Mutlak (Pasal 358 HIR)

1. Tersangka harus menyatakan kesanggupannya bila dikemudian hari “Surat

Perintah Penangguhan Penahanan sementara” itu dicabut sewaktu-waktu

tersangka bersedia ditahan kembali.

2. Tersangka selama dalam waktu penangguhan, kemudian ia dipersalahkan

lagi terhadap tindak pidana lain, ia harus bersedia ditahan bila terhadap

tindak pidana lain itu ia perlu ditahan.

b. Syarat Alternatif

Tersangka harus menyediakan sejumlah uang tanggungan yang diminta

sebagai syarat oleh Hakim. Hakim menentukan jumlahnya dan tempat uang

disimpan. Uang tanggungan ini dapat juga disediakan oleh orang lain, tidak perlu

oleh tersangka sendiri. Tanggungan ini dapat berupa uang, barang atau orang lain

(39)

Setelah Hakim menentukan penangguhan, setiap waktu Hakim bisa

mencabut surat penetapan penangguhan penahanan sementara. Apabila tersangka

sudah dikeluarkan surat perintah untuk ditahan sementara dan kemudian diberi

penangguhan penahanan, maka yang dikhawatirkan si tersangka dapat melarikan

diri, Penyidik dapat menahan tersangka dengan cepat memberitahukan kepada

Hakim dengan permintaan agar surat penangguhan penahanannya itu ditarik

kembali. Hakim yang akan menentukan dan melihat alasan-alasan apakah

penangguhan itu akan dicabut atau tidak.

Kembali kepada pemeriksaan atas diri tersangka, sebagaimana telah

diuraikan diatas bahwa pemeriksaan terhadap diri tersangka itu harus

dititikberatkan pada perbuatan-perbuatan pidana yang telah ia lakukan sehingga

memenuhi unsur-unsur pidana sebagaimana Pasal yang telah dilanggarnya.

Dalam pemeriksaan tersebut harus diungkapkan waktu perbuatan pidana

itu dilakukan, jalannya perbuatan itu sendiri dilakukan (misalnya dengan

penganiayaan, pembunuhan dan sebagainya). Dan juga pihak-pihak lain yang

turut membantu terjadinya perbuatan Tindak Pidana tersebut.

2. Menurut KUHAP

Penangguhan penahanan diatur dalam Pasal 31 KUHAP. Memperhatikan

ketentuan Pasal 31 KUHAP, pengertian penangguhan tahanan tersangka atau

terdakwa dari penahanan, mengeluarkan tersangka atau terdakwa dari penahanan

(40)

Tahanan yang resmi dan sah masih ada dan belum habis, namun

pelaksanaan penahanan yang masih harus di jalani tersangka atau terdakwa

ditangguhkan, sekalipun masa penahanan yang diperintahkan kepadanya belum

habis. Dengan adanya penangguhan penahanan, seorang tersangka atau terdakwa

dikeluarkan dan tahanan pada saat masa tahanan yang salah dan resmi sedang

berjalan.

Penangguhan penahanan ini tidak sama dengan pembebasan dari tahanan.

Perbedaannya terutama ditinjau dari segi hukum maupun alasan dan persyaratan

yang mengikuti tindakan pelaksanaan penangguhan dengan pembebasan dari

tahanan.

Dari segi hukum, pelaksanaan dan persyaratan :

1. Pada penangguhan penahanan masih sah dan resmi serta masih benda

dalam batas waktu penahanan yang dibenarkan Undang-Undang. Namun

pelaksanaan penahanan dihentikan dengan jalan mengeluarkan tahanan

setelah instansi yang menahan menetapkan syarat-syarat penanguhan yang

harus dipenuhi.

2. Sedangkan pada pembebasan dari tahanan harus berdasar ketentuan

Undang. Tanpa dipenuhi unsur-unsur yang ditetapkan

Undang-Undang, pembebasan dari tahanan tidak dapat dilakukan. Umpamanya,

oleh karena pemeriksaan telah selesai sehingga tidak diperlukan

penahanan. Atau oleh karena penahanan yang dilakukan tidak sah dan

betentangan dengan Undang-Undang maupun karena batas waktu penahan

(41)

hukum. Atau bisa juga oleh karena lamanya penahanan yang dijalani

sudah sesuai dengan hukuman pidana yang dijatuhkan pengadilan yang

telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Disamping itu dari segi

pelaksanaan pembebasan tahanan, dilakukan tanpa syarat jaminan.

Menurut penegasan yang terdapat dalam Pasal 31 Ayat I KUHAP,

penangguhan penahanan terjadi :

a. Karena permintaan Tersangka atau Terdakwa.

b. Permintaan itu disetujui oleh Instansi yang menahan atau yang bertanggung

jawab secara yuridis atas penahanan dengan syarat dan jaminan yang

ditetapkan.

Ada persetujuan dari orang tahanan untuk mematuhi syarat yang

ditetapkan serta memenuhi jaminan yang ditentukan. 14

Dari proses terjadinya penangguhan penahanan, masing-masing pihak

melakukan prestasi dan tegen prestasi. Prestasi yang dilakukan orang tahanan atau Gambaran terjadinya penangguhan penahanan seolah-olah didasrkan

pada bentuk kontrak atau perjanjian dalam hubungan perdata. Itu sebabnya

cenderung untuk mengatakan terjadinya penangguhan penahanan berdasarkan

perjanjian antara orang tahanan atau orang yang menjamin dengan pihak instansi

yang menahan. Orang tahanan berjanji akan melaksanakan dan memenuhi syarat

dan jaminan yang ditetapkan instansi yang menahan sebagai imbalan atau tegen

prestasi pihak yang menahan mengeluarkan dari tahanan dengan menangguhkan

penahanan.

14

(42)

orang yang menjamin mematuhi syarat yang ditetapkan dan nakoming tadi, pihak

yang menahan memberi imbalan sebagai tegen prestasi berupa penangguhan

penahanan.

Penangguhan penahanan tidak sama dengan pembebasan dari tahanan.

Dalam penangguhan penahanan batas waktu / masa penahanan masih secara sah

berlaku dan dibenarkan menurut Undang-Undang, tetapi pelaksanaan

penahanannya ditangguhkan / dihentikan setelah persyaratan penangguhan

dipenuhi oleh Tersangka / Terdakwa dan atau orang lain yang bertindak menjamin

penangguhan penahanan. Ditangguhkan atau dihentikan setelah persyaratan

penangguhan dipenuhi oleh Tersangka / Terdakwa dan atau orang lain yang

bertindak menjamin penangguhan penahanan.

Lembaga penanguhan penahanan dengan jaminan uang atau orang seperti

yang diatur dalam Pasal 31 KUHAP merupakan suatu lembaga baru dalam

Hukum Acara Pidana di Indonesia, yang diatur secara tegas dalam

Undang-Undang. 15

Dalam KUHAP maupun dalam peraturan-peraturan pelaksanaannya tidak

ditetapkan tentang penangguhan penahanan. Dengan demikian berarti pembentuk

Undang-Undang menyerahkan hal itu kepada Aparat penegak hukum untuk

menetapkannya. Hal tersebut tercakup dalam makna dapat ditarik dari kalimat

terakhir Pasal 31 ayat 1 KUHAP yang menyatakan “Berdasarkan syarat yang

ditentukan”. Dalam penjelasan ayat 31 KUHAP dikemukakan bahwa yang

15

(43)

dimaksud dengan syarat ditentukan ialah wajib lapor, tidak keluar rumah atau

kota.

Menurut M.Yahya Harahap menyatakan bahwa seperti yang sudah kita

katakan salah satu perbedaan antara penangguhan penahanan dan pembebasan

tahanan, terletak pada “syarat”. Faktor “syarat” ini merupakan “dasar” atau

landasan pemberian penangguhan penahanan. Sedang dalam tindakan

pembebasan tahanan, dilakukan tanpa syarat, sehingga tadi tidak merupakan

faktor yang mendasari pembebasan. 16

16

M.Yahya Harahap, Op.cit., hal.64

Penetapan syarat-syarat penangguhan penahanan oleh Instansi yang akan

memberikan penangguhan penahanan adalah faktor yang menjadi dasar

pemberian penangguhan penahanan. Tanpa adanya syarat-syarat yang ditetapkan

lebih dulu, penangguhan penahanan tidak dapat diberikan. Tetapkan dulu

syarat-syarat yang ditetapkan oleh Instansi yang menahan, tahanan yang bersangkutan

menyatakan bersedia untuk menanti. Atas kesediaan untuk menanti, barulah

instansi yang berwenang memberikan penangguhan penahanan. Dengan demikian

penetapan syarat dalam penangguhan penahanan merupakan conditio sinequanon

(44)

B.Penangguhan Penahanan Menurut PP No.27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman No.M.14-PW.07.03/1983 Angka 8 Tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

1. PP No. 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Dalam PP No. 27 Tahun 1983, disinggung tentang syarat dan perjanjian

penangguhan penahanan tetapi tidak disebutkan secara rinci apa saja yang

menjadi syarat penangguhan penahanan yang dimaksud. Apa saja yang dapat

ditetapkan sebagai syarat penangguhan penahanan dan perjanjian penangguhan

penahanan.

Jaminan penangguhan penahanan terdapat dalam PP No. 27 Tahun 1983

tersebut ada di dalam Pasal 35 dan Pasal 36.

Yang isi dari Pasal 35 ialah:

1. Uang jaminan penangguhan penahanan yang ditetapkan oleh Pejabat yang

berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan, disimpan di Kepaniteraan

Pengadilan Negeri.

2. Apabila Tersangka atau Terdakwa melarikan diri dan setelah lewat waktu

3 (tiga) bulan tidak diketemukan, uang jaminan tersebut menjadi milik

negara dan disetor ke Kas Negara.

Jaminan uang yang penyerahan uang jaminan kepada Kepaniteraan

Negeri dilakukan oleh Pemberi Jaminan dan untuk itu Panitera memberikan tanda

terima, tembusan tanda penyetoran tersebut oleh Panitera kepada Pejabat yang

(45)

Isi dari Pasal 36 ialah :

1. Dalam hal Jaminan itu adalah orang, dan Tersangka atau Terdakwa

melarikan diri maka setelah lewat waktu 3 (tiga) bulan tidak diketemukan,

penjamin diwajibkn membayar uang yang jumlah telah ditetapkan oleh

Pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat Pemeriksaan.

2. Apabila penjamin tidak dapat membayar sejumlah uang yang dimaksud

ayat (1) jurusita menyita barang miiknya untuk dijual lelang dan hasilnya

disetor ke Kas Negara melalui Panitera Pengadilan Negeri.

Jaminan Orang yang jumlah uang sebagaimana dimaksud ditetapkan oleh

Pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan, pada waktu

penerimaan permohonan penangguhan penahanan dengan jaminan orang.

2. Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.03/1983 Angka 8 Tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

a. Jaminan berupa uang

Apabila jaminan penanggungan berbentuk uang, maka instansi yang

bersangkutan menetapkan besarnya uang jaminan dalam surat perjanjian

penangguhan. Syarat-syarat dalam penetapan jaminan dalam bentuk uang sebagai

berikut :

1. uang jaminan di simpan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri.

Instansi manapun yang memberi penangguhan penahanan, uang

jaminan disimpan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri. Panitera yang

(46)

penangguhan penahanan instansi penyidik, penuntut umum,

Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung.

2. penyetoran uang jaminan dilakukan sendiri oleh pemohon atau

penasehat hukumnya atau keluarganya.

Berdasarkan penetapan besarnya jaminan yang dicantumkan secara

dalam surat perjanjian, uang tersebut disetor kepada Kepaniteraan

Pengadilan Negeri oleh Pemohon atau penasehat hukumnya atau

keluarganya. Penyetoran dilakukan berdasar formulir penyetoran yang

dikeluarkan instansi yang bersangkutan. Jika penyidik yang

memberikan formulir penyetoran uang jaminan, untuk selanjutnya

dibawa pemohon kepada panitera Pengadilan Negeri.

3. bukti setoran dibuat dalam rangkap tiga. Hal ini ditentukan dalam

angka 8 huruf f Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman No.

M.14-PW.07.03/1983. Bukti 4penyetoran dibuat dalam rangkap tiga dengan

perincian :

a. sehelai sebagai arsip panitera Pengadilan Negeri

b. sehelai diberikan kepada yang menyetor untuk digunakan bukti

kepada instansi yang menahan bahwa dia telah melaksanakan isi

perjanjian yang berhubungan dengan pembayaran uang jaminan.

c. Sehelai lagi dikirim panitera kepada pejabat atau instansi yang

menahan melalui kurir untuk digunakan sebagai alat kontrol.

4. Berdasarkan tanda bukti penyetoran, pejabat yang menahan

(47)

Selama tanda bukti penyetoran uang jaminan belum diperlihatkan

pemohon atau penasehat hukum maupun oleh keluarganya, atau

instansi yang menahan belum menerima pengiriman tanda bukti

penyetoran dari panitera, belum dapat mengeluarkan surat perintah

atau surat penetapan penangguhan penahanan. Jadi ada dua cara yang

dapat dipergunakan untuk mengetahui kebenaran penyetoran yaitu :

a. Dengan jalan diperlihatkan pemohon atau penasehat hukum atau

keluarganya.

b. Berdasar penerimaan tanda bukti penyetoran yang dikirim panitera

kepada instansi yang menahan.

5. Jatuhnya uang jaminan menjadi milik negara

Selama syarat-syarat yang ditentukan dalam perjanjian penangguhan

penahanan tidak dilanggar oleh pemohon, uang jaminan secara

material dan yuridis masih tetap merupakan hak milik pemohon.

Artinya ditinjau dari segi hukum perdata, pemohon masih tetap sebagai

legal owner. Hanya saja uang jaminan itu untuk sementara diasingkan

atau dipisahkan dari penguasaan pemohon dengan jalan menyetor dan

menitipkan di kepaniteraan Pengadilan Negeri sehingga secara faktual

dan riil, yang jaminan itu tidak dapat dikuasai dan dipergunakan

selama perjanjian penangguhan penahanan masing berlangsung. Uang

jaminan baru kembali secara riil kepada kekuasaan pemohon setelah

perjanjian penangguhan penahanan berakhir. Akan tetapi jika pemohon

(48)

tindakan “melarikan diri”, uang jaminan yang dititipkan di

Kepaniteraan Pengadilan Negeri dengan sendirinya berubah menjadi

milik Negara. Hal ini diatur dalam Pasal 35 ayat (2) PP No. 27 Tahun

1983 angka 8 huruf i Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman No.

M.14 PW.07.03/1983. Dalam ketentuan-ketentuan ini diatur landasan

dan tata cara peralihan uang jaminan menjadi milik negara yaitu :

a. Landasan pemilikan, tersangka atau terdakwa melarikan diri

setelah lewat 3 bulan tidak ditemukan. Dasar peralihan uang

jaminan milik negara, apabila yang bersangkutan melarikan diri

dan selama 3 bulan dari tanggal melarikan diri tidak diketemukan

maka sejak tanggal dilewatinya masa tiga bulan, uang jaminan

beralih menjadi milik negara.

b. Tata cara peralihan dilakukan dengan penetapan Pengadilan

Negeri. Tata cara peralihan diatur dalam angka 8 huruf i Lampiran

Keputusan Menteri Kehakiman dimaksud. Berdasarkan petunjuk

yang ditentukan di dalamnya, tata cara peralihan uang jaminan

menjadi milik negara diperlukan penetapan Pengadilan Negeri.

Jadi apabila tersangka atau terdakwa yang sidang ditangguhkan

penahanannya melarikan diri dan dalam tempo tiga bulan tidak

ditemukan, Pengadilan Negeri mengeluarkan atau menerbitkan

(49)

1. Pengambialihan uang jaminan milik negara

2. Serta sekaligus memerintahkan panitera untuk menyetorkan

uang tersebut ke kas negara.

b. Jaminan penangguhan berupa orang

Jaminan penangguhan penahanan berupa orang lebih lanjut diatur dalam

PP No.27 Tahun 1983 dan angka 8 huruf c, f dan j Lampiran Keputusan Menteri

Kehakiman No.M.14-PW.07.03/1983.

Tata cara pelaksanaan jaminan penangguhan berupa orang adalah sebagai

berikut :

1. Menyebut secara jelas identitas orang yang menjamin.

2. Instansi instansi yang menahan menetapkan besarnya jumlah uang

yang harus ditanggung oleh penjamin yang disebut uang tanggungan.

3. Pengeluaran surat perintah penangguhan didasarkan atas surat jaminan

dari si penjamin.

4. Uang tanggungan wajib disetor oleh penjamin ke kas negara melalui

(50)

BAB III

FAKTOR-FAKTOR YANG MENJADI DASAR PENERIMAAN DAN PENOLAKAN PERMOHONAN PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM

PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN (STUDI DI POLDASU)

A.Prosedur Permohonan Penangguhan Penahanan Pada Tingkat Penyidikan

Prosedur permohonan penangguhan penahanan diatur dalam Pasal 31

ayat (1) KUHAP yang berbunyi :

“Berdasarkan syarat yang ditentukan”. Dari bunyi kalimat ini, penetapan syarat

oleh instansi Kepolisian yang memberi penangguhan penahanan adalah faktor

yang menjadi dasar dalam pemberian penangguhan penahanan. Permohonan

penangguhan penahanan harus dimajukan oleh tersangka atau keluarganya

ataupun dapat juga dimajukan oleh Penasehat Hukum tersangka dengan suatu

jaminan ataupun tanpa suatu jaminan, seperti yang disebutkan sebagai berikut,

“atas permintaan tersangka, penyidik dapat mengadakan penangguhan penahanan

dengan atas tanpa jaminan uang atau orang, berdasarkan syarat yang ditentukan”.

Hak untuk memberikan dan mengabulkan permohonan penangguhan

penahanan atas diri seorang tersangka adalah hak dan kewenangan yang diberikan

oleh undang-undang kepada penyidik di persidangan pengadilan berdasarkan

ketentuan Pasal 24 ayat (1) KUHAP, yang menyatakan penyidik atau penuntut

umum atau Hakim berwenang untuk mengalihkan jenis penahanan yang satu

kepada jenis penahanan yang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22

(51)

Penyidik berhak dan berwenang untuk melakukan penangguhan

penahanan atau pengalihan jenis penahanan terhadap tersangka, yaitu terhitung

sejak saat permohonannya dikabulkan.

Setiap pelaksanaan penangguhan penahanan terlebih dahulu harus

dimajukan dengan surat permohonan yang dimajukan oleh penasehat hukumnya.

Bilamana permohonan penangguhan penahanan ini dikabulkan penyidik, maka

secara hukum penangguhan penahanan dinyatakan secara tersendiri dengan surat

perintah atau penetapan hakim yang tembusannya diberikan kepada tersangka

serta keluarganya (pasal 23 ayat (2) KUHAP).

Setiap permohonan surat penangguhan penahanan biasanya harus diikuti dengan

adanya suatu jaminan setidak-tidaknya jaminan orang atau keluarga pihak

terdakwa yang menyatakan dan menjamin bahwa selama proses pemeriksaan

perkaranya, tersangka tersebut tidak akan melarikan diri dan juga tidak akan

menghilangkan barang bukti.

Keberadaan dari suatu jaminan dari keluarga tersangka untuk

dikabulkannya permohonan penangguhan penahanan pada saat sekarang ini

mutlak sangat diperlukan demi untuk menghindari agar terdakwa tidak melarikan

diri, dan selain jaminan dalam bentuk orang atau keluarga dari terdakwa ini,

jaminan penangguhan penahanan juga dapat dimajukan dalam bentuk jaminan

uang yang disetorkan kepada kas Negara melalui Kepaniteraan Pengadilan

Negeri.

Dengan demikian setiap permohonan penangguhan penahanan terhadap

(52)

keluarga dan penasehat hukumnya dengan suatu jaminan, baik jaminan

perseorangan maupun dalam bentuk jaminan uang yang disetorkan kepada kas

negara.

Tanpa adanya syarat yang ditetapkan terlebih dahulu, penangguhan

penahanan tidak boleh diberikan. Syarat penangguhan penahanan harus ditetapkan

oleh instansi Kepolisian yang menahan, tahanan yang bersangkutan menyatakan

kesediaan untuk menaati, baru kemudian instansi Kepolisian yang berwenang

memberi penangguhan.

Mengenai syarat apa yang harus ditetapkan instansi yang berwenang

tidak dirinci dalam Pasal 31 KUHAP, penegasan dan rincian syarat yang harus

ditetapkan dalam penangguhan penahanan, lebih lanjut disebutkan dalam

penjelasan Pasal 31 KUHAP. Dari penjelasan itu diperoleh penegasan syarat apa

yang ditetapkan instansi Kepolisian yang menahan tersangka, yaitu :

- Wajib lapor

- Tidak keluar rumah

- Tidak keluar kota.

Menurut Martiman Prodjohamidjojo, syarat penangguhan penahanan itu

harus memuat antara lain :17

1. Bahwa jika ada perintah akan mencabut penangguhan, tersangka atau

terdakwa tidak akan menjauhkan diri daripada hal melakukan perintah

penahanan kota, penahanan rumah atau penahanan Negara ;

17

(53)

2. Bahwa tersangka/terdakwa, apabila ia dalam hal yang dapat ditahan

menurut Pasal 21 KUHAP, mend

Referensi

Dokumen terkait

Do the Indonesian government’s macroeconomic policies toward economic development aspects in the National Budget Plan and Financial Memorandum (2012) Speech adhere to the

Hasil penelitian dari 106 responden tentang Peran Serikat Pekerja Meningkatkan disiplin dan semangat kerja anggota (X5) digunakan pendapat responden mengenai

Pada fase ini pertama- tama subjek diberikan kesempatan untuk melihat media video, video dimulai dari adegan yang paling sedikit yaitu yang terdiri dari dua adegan dengan

Di bagian atas dalam tabel (sebelah kiri, yang merepresentasikan kelas entitas Organisasi Mahasiswa), yaitu NIM dan Kode Organisasi merupakan calon dari identifer

Pada tatap muka 3, praktikan memberikan ulangan harian tentang keselamatan, kesehatan kerja, dan lingkungan (K3L) serta Alat Pelindung Diri (APD) dengan 5 soal essay untuk

Pemyataan ini saya buat dengan sesungguhnya- Apabila di kemudian hari te6ukti ada penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini maka saya bersedia menerima

Tujuan : Mengamati efek pemberian desloratadine efektif dalam mengurangi area luka dan infiltrasi sel mast yang terjadi pasca incisi. Metode : Penelitian ini merupakan

As the scholarship of engaging students in the learning process becomes more important in institutions of higher education, the emerging pedagogy of academic ser- vice learning