• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembuatan Lateks Polistirena Menggunakan Pengemulsi Deterjen Komersil

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pembuatan Lateks Polistirena Menggunakan Pengemulsi Deterjen Komersil"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBUATAN LATEKS POLISTIRENA MENGGUNAKAN

PENGEMULSI DETERJEN KOMERSIL

SKRIPSI

NORA PARDEDE

090822029

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PEMBUATAN LATEKS POLISTIRENA MENGGUNAKAN

PENGEMULSI DETERJEN KOMERSIL

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains.

NORA PARDEDE 090822029

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

PERSETUJUAN

Judul : PEMBUATAN LATEKS POLISTIRENA

MENGGUNAKAN PENGEMULSI DETERJEN KOMERSIL

Kategori : SKRIPSI

Nama : NORA PARDEDE

Nomor Induk Mahasiswa : 090822029

Program Studi : SARJANA (S1)/ KIMIA EKSTENSI

Departemen : KIMIA

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

(FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Disetujui di, Medan, Juli 2011

Komisi Pembimbing

Pembimbing 2 Pembimbing 1

Dr. Yugia Muis, M.Si Dr. Marpongahtun, M.Sc NIP. 195310271980032003 NIP.196111151988032002

Diketahui/disetujui oleh

Departemen Kimia FMIPA USU Ketua,

(4)

PERNYATAAN

PEMBUATAN LATEKS POLISTIRENA MENGGUNAKAN PENGEMULSI DETERJEN KOMERSIL

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Juli 2011

(5)

PENGHARGAAN

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan kasih-Nya hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyampaikan terimakasih kepada kedua orangtua saya H. Pardede dan E. Pasaribu dan adek-adekku Malvin Pardede dan Roy Pardede yang senantiasa memberikan perhatian dan dorongan moril maupun materi yang tak ternilai harganya hingga selesainya penulisan skripsi ini.

Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan dan ketulusan hati penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ibu Dr. Marpongahtun, M.Sc dan Ibu Dr. Yugia Muis, M.Si selaku Pembimbing I dan Pembimbing II yang telah banyak membantu penulis dan memberi bimbingan kepada penulis hingga selesainya skripsi ini.

2. Ibu Dr. Rumondang Bulan, MS dan Bapak Drs. Albert Pasaribu, M.Sc selaku ketua dan Sekretaris jurusan Kimia Fakultas matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam USU.

3. Kepala dan Staf Laboratorium Kimia Fisika dan Polimer yang telah memberikan bimbingan dan masukan serta saran kepada penulis selama melakukan penelitian

4. Rekan-rekan seperjuangan kimia ekstensi stambuk 2009

5. Buat Ratih Paramitha terima kasih atas dukungan dan bantuannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

6. Buat teman-temanku Heppy, Apry, Forni, Anta, Vidya, Bertha, Uli Rotua terima kasih buat dukungannya.

7. Buat b’Okto Tua Sinaga yang telah memberikan dukungan dan doanya

(6)

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian pembuatan lateks polistirena menggunakan pengemulsi deterjen komersil jenis surfaktan anionik dengan konsentrasi 10%, 20%, dan 30%. Proses pembuatan lateks polistirena dengan cara mencampurkan toluena dengan polistirena foam pada perbandingan 30:70, 40:60 dan 50:50, kemudian lateks polistirena yang terbentuk pada perbandingan yang tepat di uji densitas dan viskositas, selanjutnya ditambah air dan emulsifier dengan konsentrasi 10%, 20%, dan 30%. Emulsi lateks polistirena yang terbentuk pada masing-masing konsentrasi dilakukan uji densitas. Tegangan permukaan dilakukan untuk menentukan nilai kmk dari emulsifier deterjen komersil. Berdasarkan keterlarutan lateks polistirena diperoleh perbandingan yang tepat campuran sampel adalah 30:70. Kestabilan emulsi lateks polistirena dengan penambahan deterjen komersil menggunakan uji densitas diperoleh perbandingan emulsi lateks PS : air yaitu 90:10 dengan nilai densitas pada hari I-V, untuk konsentrasi emulsifier 10% adalah meningkat dari 0,964 hingga 1,016, konsentrasi emulsifier 20% dan 30% menunjukkan hubungan yang sama. Sedangkan nilai viskositas pada

pengukuran lateks PS pada perbandingan 30:70, untuk hari I adalah 754,91x10-2 poise,

(7)

POLYSTYRENE LATEX MAKING USING COMMERCIAL

DETERGENT EMULSIFIER

ABSTRACT

It had conducted a research on polystyrene latex making using commercial detergent emulsifier in anionic surfactant with concentration 10%, 20% and 30%. Process of polystyrene latex making by mix toluene with polystyrene foam in the ratio 30:70, 40:60, and 50:50, and then polystyrene latex made of the suitable ratio would tested its density and viscosity and then added water and emulsifier in concentration of 10%, 20%, and 30%. Emulsion of polystyrene latex in each concentration would get the density test. The surface stress would use to determine the kmk score of commercial detergent emulsifier. Based on the polystyrene latex dissolubility, the suitable ratio of sample mixture is 30:70. By the stability of polystyrene latex emulsion by adding the commercial detergent using density test it get the comparison of latex emulsion PS : water for 90:10 by the density value for I-V days, for concentration of emulsifier 10% is increase from 0,964 up to 1,016, emulsifier concentration 20% and 30% that indicates the same correlation. While

the viscosity value on latex measurement PS on ratio 30:70, for the first day 754,91x10-2

poise, the second day 3375,66x10-2poise and the third day 3919,44x10-2 poise. Kmk score

(8)

DAFTAR ISI

DAFTAR LAMPIRAN xi

DAFTAR SINGKATAN xii

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Perumusan Masalah 2

1.3. Pembatasan Masalah 3

1.4. Tujuan Penelitian 3

1.5. Manfaat Penelitian 3

1.6. Lokasi Penelitian 4

1.7. Metodologi Penelitian 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Surfaktan 5

2.2. Pembagian surfaktan 7

2.3. Formulasi kandungan deterjen 7

2.3.1. Formulasi kandungan deterjen sebagai bahan pembentuk

2.5. Kestabilan emulsi 12

2.5.1. Tegangan permukaan 13

2.5.2. Tegangan antarmuka 13

2.5.3. Hydrophilic lipophilic balance (HLB) 13

2.5.4. Viskositas 15

2.6. Metode pengukuran tegangan permukaan 16

2.6.1. Metode cincin Du Nouy 16

2.6.2. Metode kenaikan kapiler 17

2.6.3. Metode wilhelmy 17

(9)

BAB 3 BAHAN DAN METODE PENELITIAN

3.3.2. Pembuatan emulsi dari pencampuran 22 lateks polistirena dan air

3.4.3. Pengujian kestabilan emulsi 22

3.4.3.1. Penentuan densitas 22

3.4.3.2. Penentuan viskositas 22

3.4.4. Penentuan tegangan permukaan 23

3.5. Skema penelitian 24

3.5.1. Pembuatan lateks polistirena 24

3.5.2. Pembuatan emulsi dari pencampuran 25 lateks polistirena dan air

3.5.3. Pengujian kestabilan emulsi 26

3.5.3.1. Penentuan densitas 26

3.5.3.2. Penentuan viskositas 27

3.5.4. Penentuan tegangan permukaan 28

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil 29

4.1.1. Nilai densitas dan viskositas lateks polistirena 29 4.1.2. Pengukuran densitas emulsi lateks polistirena 31

Pada berbagai konsentrasi pengemulsi

4.1.3. Pengukuran tegangan pemukaan deterjen pengemulsi 32

4.2. Pembahasan 33

4.2.1. Nilai densitas dan viskositas lateks polistirena 33 4.2.2. Nilai densitas emulsi lateks polistirena pada 35

berbagai konsentrasi pengemulsi

4.2.3. Penentuan tipe pengemulsi deterjen komersil 37

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan 39

5.2. Saran 39

DAFTAR PUSTAKA 40

(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1. Suatu skala menunjukkan fungsi surfaktan berdasarkan 14 nilai-nilai HLB

Gambar 2.2. Tensiometer Du Nuoy 16

Gambar 4.1. Grafik nilai densitas (g/ml) lateks polistirena 33 versus waktu (hari)

Gambar 4.2. Grafik nilai viskositas lateks polistirena 34 versus waktu (hari)

Gambar 4.3. Grafik nilai densitas emulsi PS dan air (90:10) dengan 34 emulsifier komersil 10% versus waktu (hari)

Gambar 4.4. Grafik nilai densitas emulsi lateks PS dan air (90:10) 35 dengan emulsifier komersil 20% versus waktu (hari)

Gambar 4.5. Grafik nilai densitas emulsi lateks PS dan air (90:10) 35 dengan emulsifier komersil 30% versus waktu (hari)

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 4.1. Nilai densitas lateks PS dengan perbandingan 29 PS : Toluena 30:70

Tabel 4.2. Nilai viskositas lateks PS dengan perbandingan 29 PS : Toluena 30:70

Tabel 4.3. Nilai densitas emulsi lateks PS 90:10 dengan emulsifier 31 komersil 10%

Tabel 4.4. Nilai densitas emulsi lateks PS 90:10 dengan emulsifier 31 komersil 20%

Tabel 4.5. Nilai densitas emulsi lateks PS 90:10 dengan emulsifier 31 komersil 30%

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Pengukuran viskositas emulsi lateks polistirena 42 Tabel 1. Nilai densitas emulsi lateks PS 70:30 dengan emulsifier 43

komersil 10%

Tabel 2. Nilai densitas emulsi lateks PS 50:50 dengan emulsifier 43 komersil 10%

Tabel 3. Nilai densitas emulsi lateks PS 30:70 dengan emulsifier 44 komersil 10%

Tabel 4. Nilai densitas emulsi lateks PS 10:90 dengan emulsifier 44 komersil 10%

Tabel 5. Nilai densitas emulsi lateks PS 70:30 dengan emulsifier 44 komersil 20%

Tabel 6. Nilai densitas emulsi lateks PS 50:50 dengan emulsifier 45 komersil 20%

Tabel 7. Nilai densitas emulsi lateks PS 30:70 dengan emulsifier 45 komersil 20%

Tabel 8. Nilai densitas emulsi lateks PS 10:90 dengan emulsifier 45 komersil 20%

Tabel 9. Nilai densitas emulsi lateks PS 70:30 dengan emulsifier 46 komersil 30%

Tabel 10. Nilai densitas emulsi lateks PS 50:50 dengan emulsifier 46 komersil 30%

Tabel 11. Nilai densitas emulsi lateks PS 30:70 dengan emulsifier 46 komersil 30%

Tabel 12. Nilai densitas emulsi lateks PS 10:90 dengan emulsifier 47 komersil 30%

(13)

DAFTAR SINGKATAN

PS = Polistirena

HLB = Hydrophilic lypophilic balance O/W = Oil in water

W/O = Water in oil

(14)

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian pembuatan lateks polistirena menggunakan pengemulsi deterjen komersil jenis surfaktan anionik dengan konsentrasi 10%, 20%, dan 30%. Proses pembuatan lateks polistirena dengan cara mencampurkan toluena dengan polistirena foam pada perbandingan 30:70, 40:60 dan 50:50, kemudian lateks polistirena yang terbentuk pada perbandingan yang tepat di uji densitas dan viskositas, selanjutnya ditambah air dan emulsifier dengan konsentrasi 10%, 20%, dan 30%. Emulsi lateks polistirena yang terbentuk pada masing-masing konsentrasi dilakukan uji densitas. Tegangan permukaan dilakukan untuk menentukan nilai kmk dari emulsifier deterjen komersil. Berdasarkan keterlarutan lateks polistirena diperoleh perbandingan yang tepat campuran sampel adalah 30:70. Kestabilan emulsi lateks polistirena dengan penambahan deterjen komersil menggunakan uji densitas diperoleh perbandingan emulsi lateks PS : air yaitu 90:10 dengan nilai densitas pada hari I-V, untuk konsentrasi emulsifier 10% adalah meningkat dari 0,964 hingga 1,016, konsentrasi emulsifier 20% dan 30% menunjukkan hubungan yang sama. Sedangkan nilai viskositas pada

pengukuran lateks PS pada perbandingan 30:70, untuk hari I adalah 754,91x10-2 poise,

(15)

POLYSTYRENE LATEX MAKING USING COMMERCIAL

DETERGENT EMULSIFIER

ABSTRACT

It had conducted a research on polystyrene latex making using commercial detergent emulsifier in anionic surfactant with concentration 10%, 20% and 30%. Process of polystyrene latex making by mix toluene with polystyrene foam in the ratio 30:70, 40:60, and 50:50, and then polystyrene latex made of the suitable ratio would tested its density and viscosity and then added water and emulsifier in concentration of 10%, 20%, and 30%. Emulsion of polystyrene latex in each concentration would get the density test. The surface stress would use to determine the kmk score of commercial detergent emulsifier. Based on the polystyrene latex dissolubility, the suitable ratio of sample mixture is 30:70. By the stability of polystyrene latex emulsion by adding the commercial detergent using density test it get the comparison of latex emulsion PS : water for 90:10 by the density value for I-V days, for concentration of emulsifier 10% is increase from 0,964 up to 1,016, emulsifier concentration 20% and 30% that indicates the same correlation. While

the viscosity value on latex measurement PS on ratio 30:70, for the first day 754,91x10-2

poise, the second day 3375,66x10-2poise and the third day 3919,44x10-2 poise. Kmk score

(16)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1.Latar belakang

Emulsi merupakan dispersi koloid dimana zat terdispersi dan medium pendispersi merupakan cairan yang tidak saling bercampur. Agar terjadi suatu sistem yang stabil maka perlu ditambahkan suatu zat pengemulsi atau emulsifier (Yazid, 2005).

Deterjen komersil yang digunakan diantaranya surfaktan, bahan aktif, bahan pengisi dan bahan tambahan lainnya. Pada deterjen komersil ini terdapat surfaktan Linear Alkyl Sulfonat (LAS) yang merupakan deterjen anionik, dimana surfaktan tersebut dapat menurunkan tegangan permukaan cairan. Disamping itu juga molekul surfaktan tersebut mengandung suatu ujung hidrofobik yang dapat mengikat air dan ujung yang lainnya lipofilik dapat mengikat minyak, sehingga deterjen komersil ini dapat digunakan sebagai bahan pengemulsi (Pratama, 2008).

Emulsifier yang umumnya digunakan adalah deterjen. Emulsifier merupakan bahan yang digunakan untuk mengurangi tegangan permukaan antara dua fasa yang dalam keadaan normal tidak saling bercampur, sehingga keduanya dapat teremulsi. Emulsifier berbeda dengan stabilizer, walaupun sama-sama berfungsi sebagai penstabil, emulsifier dapat digunakan untuk menstabilkan emulsi karena memiliki kedua gugus ujungnya yang sangat penting (Atmaja, 2000).

(17)

Polistirena adalah polimer termoplastik yang berwujud kristal yang mempunyai banyak kelebihan. Polistirena bening, transparan, tidak beracun, memiliki permukaan yang halus dan menghasilkan warna yang tidak terbatas. Selain sifat fisis diatas, polistirena juga mempunyai sifat mekanik, elektris dan sifat optik yang baik. Namun, polistirena ini mempunyai beberapa kelemahan, yaitu rapuh dan melunak di bawah suhu 1000C.

Penelitian mengenai optimasi kestabilan emulsi sebagai membran cair untuk ekstraksi fenol dalam air telah dilakukan oleh Refinel (1999), yang menyimpulkan bahwa kestabilan emulsi dalam penelitian ini sangat dipengaruhi oleh konsentrasi fasa internal, nilai HLB dan konsentrasi surfaktan yang digunakan, perbandingan volume antara fasa internal dan fasa organik.

Lebih lanjut penelitian tentang pembuatan lateks polistirena secara polimerisasi emulsi stirena tanpa emulgator dengan menggunakan aseton telah dilakukan oleh Astrini (1997) dari hasil percobaan dapat disimpulkan bahwa penambahan aseton akan menurunkan berat molekul rata-rata, emulsi yang stabil dapat diperoleh hingga konsentrasi aseton mencapai 40% dan apabila lebih dari 50% maka akan terbentuk gel, dengan konsentrasi inisiator 0,3 hingga 0,7% menghasilkan lateks polistirena dengan konversi rata-rata 94% dan penurunan harga berat molekul rata-rata viskositas. Hal inilah yang mendorong penulis untuk melihat sejauh mana pengaruh pembuatan lateks polistirena menggunakan deterjen komersil sebagai emulsifier.

1.2. Perumusan Masalah

Adapun permasalahan pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Apakah ada pengaruh variasi perbandingan antara polistirena dan toluena pada pembentukan emulsi.

(18)

1.3. Pembatasan Masalah

Dalam penelitian ini penulis memberikan batasan masalah sebagai berikut : 1. Pengemulsi komersil yang digunakan adalah deterjen rinso.

2. Bahan yang digunakan adalah polistirena foam 30 g, 40 g, 50 g, dan toluena yang digunakan adalah 50 ml, 60 ml, 70 ml.

3. Suhu yang digunakan pada saat pengukuran tegangan permukaan adalah 30oC.

4. Parameter yang dilakukan dalam penelitian ini adalah uji densitas, HLB, dan viskositas.

1.4. Tujuan Penelitian

1. Untuk memperoleh lateks polistirena dengan menggunakan perbandingan yang tepat antara polistirena foam dengan toluena berdasarkan kelarutan polistirena dalam toluena.

2. Untuk mengetahui kestabilan emulsi dengan penambahan deterjen komersil melalui uji densitas, dan tipe emulsi yang terbentuk dengan uji HLB.

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini akan memberikan data awal mengenai gambaran pengaruh penambahan deterjen terhadap emulsi polimer dari polistirena.

1.6. Metodologi Penelitian

(19)

Deterjen komersil yang digunakan adalah rinso yang ditambahkan untuk memperoleh tipe emulsi yang terbentuk dengan uji HLB dan kestabilan emulsi dengan menggunakan uji densitas

1.7. Lokasi Penelitian

(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Surfaktan

Deterjen pada umumnya mencekup setiap bahan pembersih termasuk sabun, namun kebanyakan dihubungkan dengan deterjen sintetik. Deterjen dapat mempunyai sifat tidak membentuk endapan dengan ion-ion logam divalen dalam air sadah (Sastrohamidjojo, 2005).

Deterjen adalah campuran berbagai bahan, yang digunakan untuk membantu pembersihan dan terbuat dari bahan-bahan turunan minyak bumi. Dibanding dengan sabun, deterjen mempunyai keunggulan antara lain mempunyai daya cuci yang lebih baik serta tidak terpengaruh oleh kesadahan air. Deterjen merupakan garam natrium dari asam sulfonat (http//www.chem-is-try.org).

Deterjen telah lama digunakan dalam stabilisasi emulsi dan deterjen ini merupakan jenis pengemulsi yang paling efisien. Meskipun tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai pengemulsi, maka dapat diketahui bahwa bahan-bahan yang dapat digunakan sama baiknya dalam memecahkan emulsi (Lata, 1976).

(21)

Amfifilik merupakan sifat dari zat aktif permukaan yang dapat menyebabkan zat ini diadsorpsi pada antarmuka. Jadi dalam suatu dispersi dalam air dari amil alkohol, gugus alkoholik polar dapat bergabung dengan molekul-molekul air. Tetapi, bagian nonpolar ditolak karena gaya adhesif yang dapat terjadi dengan air adalah kecil dibandingkan dengan gaya kohesif antara molekul-molekul air yang berdekatan. Akibatnya, amfifil tersebut diadsorpsi pada antarmuka (Martin, 1993).

Pada antarmuka udara/air, rantai-rantai lipofilik diarahkan keatas masuk dalam udara, pada antarmuka minyak/air mereka bergabung dengan fase minyak. Dengan cara berorientasi demikian pada antarmuka minyak/air, maka molekul-molekul surfaktan membentuk suatu jembatan antara fase polar dan fase nonpolar yang menyebabkan terjadinya transisi antara kedua fase tersebut lebih baik. Untuk membuat agar amfifil terkonsentrasi pada antarmuka, maka amfifil harus seimbang, dengan pengertian dengan pengertian gugus-gugus yang larut dalam air harus seimbang dengan gugus-gugusnya yang larut dalam minyak (Moechtar, 1989).

Penggunaan surfaktan sangat bervariasi, seperti bahan deterjen, kosmetik, farmasi, makanan, tekstil, plastik dan lain-lain. Beberapa produk pangan seperti margarin, es krim, dan lain-lain menggunakan surfaktan sebagai satu bahannya. Syarat agar surfaktan dapat digunakan untuk produk pangan yaitu bahwa surfaktan tersebut mempunyai nilai

Hydrophyle Lypophyle Balance (HLB) antara 2-16, tidak beracun, serta tidak

(22)

2.2. Pembagian surfaktan

a. Anionik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada suatu anion. Contohnya Alkyl Benzene Sulfonate (ABS), Linier Alkyl Benzene Sulfonate (LAS), Alpha Olein Sulfonate (AOS)

b. Kationik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada suatu kation. Contohnya garam ammonium

c. Nonionik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya tidak bermuatan contohnya ester gliserin asam lemak, ester sorbiton asam lemak, ester sukrosa asam lemak.

d. Amfoter yaitu surfaktan yang bagian alkilnya mempunyai muatan positif dan negatif. Contohnya surfaktan yang mengandung asam amino.

Kandungan surfaktan didalam suatu produk deterjen biasanya sebanyak 8-18%.

2.3. Formulasi kandungan deterjen

2.3.1. formulasi kandungan deterjen sebagai bahan pembentuk

Pembentuk berfungsi meningkatkan efisiensi pencuci dari surfaktan dengan cara menonaktifkan mineral penyebab kesadahan air. Contoh bahan pembentuk yang terdapat dalam deterjen antara ialah Sodium Tri Poly Phosphate (STPP), Sodium Phosphate, Nitriloacetic Acid (NTA), Ethylene Diamine Tetra Acetate (EDTA). Secara umum kadar bahan pembentuk sebanyak 20-45%.

2.3.2. Formulasi kandungan deterjen sebagai bahan pengisi

(23)

2.3.3. Formulasi kandungan deterjen sebagai bahan tambahan

Bahan tambahan ini biasanya ditambahkan sebagai pelengkap dan tidak berhubungan langsung dengan daya cuci deterjen, misalnya pewangi, pelarut, pemutih, pewarna dan lain-lain. Bahan tambahan yang ditambahkan lebih dimaksudkan untuk komersialisasi. Contoh bahan yang sering ditambahkan yaitu Sodium Perkarbonat dan Sodium Perborat, suatu bahan tambahan yang memiliki daya pemutih. Bahan lainnya yaitu enzim, yang berfungsi sebagai penghilang noda-noda yang besifat biologis seperti darah. Persentasi banyak bahan tambahan yang ada di dalam suatu deterjen sebanyak 15-30%.

Surfaktan merupakan bahan utama deterjen, sejak tahun 1960 surfaktan Alkyl Benzene Sulfonate (ABS) digunakan sebagai formula didalam deterjen. Konsentrasi surfaktan di dalam air permukaan dengan gas (udara), padatan (kotoran), dan cair (minyak) dapat menyebabkan pembasahan dan menjadi media pembersih yang sangat baik. Ini dikarenakan surfaktan memiliki struktur ampifilik, dimana salah satu bagian dari molekul tergolong ionik atau polar dengan kekuatan tarik menarik pada air, dan pada bagian lain termasuk golongan hidrokarbon dengan sifat menolak air. Selain bahan-bahan diatas Lauril alkil sulfonat sangat dibutuhkan dalam pembuatan detergen khususnya untuk detergen lunak dimana lebih ramah terhadap lingkungan dan dapat dirusak oleh mikroorganisme. Sumber utama lauril alkil sulfonat berasal dari industri perminyakan (Pratama, 2008).

2.4. Emulsi

(24)

Pada emulsi biasanya terdapat tiga bagian utama, yaitu : pertama, bagian zat yang terdispersi, biasanya terdiri dari butir-butir minyak. Kedua, medium pendispersi yang dikenal sebagai fase bertahap, biasanya terdiri dari air. Bagian ketiga adalah emulgator yang berfungsi sebagai penstabil koloid untuk menjaga agar butir-butir minyak tetap terdispersi dalam air. Ada beberapa istilah yang sering digunakan untuk zat pengemulsi diantaranya emulgator, emulsifier, stabilizer atau agen pengemulsi. Bahan ini dapat berupa sabun, deterjen, protein atau elektrolit. Jenis emulsi tergantung dari zatnya dan emulgator yang dipakai misalnya emulsi minyak dalam air emulgator yang baik adalah sabun atau logam-logam alkali. Berdasarkan jenisnya emulsi dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu:

1. Emulsi o/w yaitu Fase minyak ditambahkan ke dalam fase air, dimana pengemulsinya mudah larut dalam air sehingga air dikatakan sebagai fase eksternal. Teknik inverse: fase air dimasukkan ke dalam fase minyak, awalnya terbentuk w/o, viskositas naik karena volume fase internal naik sampai titik inverse terbentuk o/w.

2. Emulsi w/o Fase air ditambahkan ke dalam fase minyak dengan pengadukan konstan, lalu dihomogenkan, digiling untuk mengecilkan ukuran partikel fase internal untuk meningkatkan stabilitas dan memperbaiki kilatnya emulsi

Faktor-faktor yang menentukan apakah akan terbentuk emulsi A/M atau M/A tergantung pada dua sifat kritis:

1. Terbentuknya butir tetesan

2. Terbentuknya rintangan antarmuka.

Rasio fase volume, yaitu jumlah relatif minyak dan air, menentukan jumlah relatif butir tetesan, dan menaikkan kemungkinan terjadinya benturan, makin besar jumlah butir tetesan, makin besar kesempatan untuk benturan. Biasanya fase ekstern dalam jumlah volume yang besar. Tipe emulsi ditentukan oleh sifat-sifat emulgator, dan dapat disusun aturan sebagai berikut:

(25)

2. Bagian polar dari molekul emulgator umumnya lebih baik untuk melindungi koalesen daripada bagian rantai hidrokarbon. Maka itu memungkinkan membuat emulsi M/A dengan fase intern yang volumenya relatif tinggi. Sebaliknya emulsi A/M akan terbatas, dan apabila jumlah air cukup banyak akan mudah terjadi inversi.

Sebagai contoh sistem air-minyak untuk membentuk emulsi A/M dapat terjadinya baik bila jumlah air di bawah 40%, bila lebih yang stabil adalah bentuk emulsi M/A. Di samping itu untuk emulsi A/M dengan 20% dan 30% air akan terjadi bila air ditambahkan pada minyak dengan diaduk. Hal itu perlu untuk kadar air > 10%. Jangan dicampur dulu minyak dan air kemudian baru diaduk, karena akan sering gagal. Cara tersebut baik untuk tipe M/A. Tipe emulsi yang terbentuk juga dipengaruhi oleh viskositas pada tiap fase, emulsi yang stabil.

Apabila mencampurkan campuran, dua zat cair yang tak tercampurkan akan terjadi salah satu cairan terbagi menjadi butir-butir (tetesan) yang kecil dalam cairan yang lain. Apabila pencampuran berhenti, maka butir-butir cairan tersebut akan mengumpul menjadi satu, dan terjadi suatu pemisahan. Kegagalan dalam usaha mencampur dua cairan tersebut disebabkab kohesif antarmolekul dari masing-masing cairan terpisah adalah lebih besar daripada kekuatan adhesif antara dua cairan. Kekuatan kohesif ini disebabkan adanya tegangan antarmuka pada batas antara dua cairan tersebut.

Dengan mencampurkan, tegangan antarmuka dapat mudah dipecah, sehingga terjadi butir-butir tetes yang halus. Dengan mengusahakan penurunan atau pembebasan efek tegangan anta rmuka secara permanen, maka akan terbentuk emulsi yang stabil. Terlihat bahwa efek kekuatan ini (tegangan antarmuka) dapat dibedakan dengan tiga cara:

a. Dengan penambahan substansi yang menurunkan tegangan antarmuka antara dua cairan yang tak tercampur.

(26)

c. Dengan penambahan zat yang akan membentuk lapisan film di sekeliling butir-butir fase disfers, jadi secara mekanis melindungi mereka dari penggabungan tetes-tetes (Anief, 1999).

Tipe emulsi yang dihasilkan adalah o/w atau w/o, terutama bergantung pada sifat zat pengemulsi. Karakteristik ini dikenal sebagai keseimbangan hidrofil-liofil, yakni sifat polar-nonpolar dari pengemulsi. Kenyataannya apakah suatu surfaktan adalah suatu pengemulsi, zat pembasah, deterjen, atau zat penstabil bias diramalkan dari pengetahuan keseimbangan hidrofil-lipofil. Dalam suatu zat pengemulsi, seperti natrium stearat, C17H-35COONa, rantai hidrokarbon nonpolar, C17H35 adalah lipofilik atau suka-minyak gugus

karboksil, COONa, adalah hidrofilik atau bagian suka-air keseimbangan dari sifat hidrofilik dan sifat lipofilik dari suatu pengemulsi (atau kombinasi dari pengemulsi) menentukan apakah akan dihasilkan suatu emulsi o/w atau w/o.

Kehadiran zat yang dikenal sebagai agen pengemulsi dapat digunakan sebagai penyusunan emulsi stabil yang mengandung proporsi yang lebih besar dari fasa dispersi. Sistem tersebut memiliki sifat yang agak mirip dengan liofilik, misalnya viskositas tinggi, konsentrasi yang relatif tinggi, dan stabilitas untuk elektrolit. Kelebihan elektrolit garam merupakan suatu emulsifier dan sebagainya menyebabkan kestabilan, agen pengemulsi dibagi menjadi tiga kategori. Yang pertama adalah, senyawa rantai panjang dengan kelompok kutub, seperti sabun dan panjang rantai asam sulfonat dan sulfat, semua yang menghasilkan penurunan yang sangat besar di air-minyak tegangan antarmuka. Bisa dikatakan di sini bahwa deterjen, yang digunakan sebagai pembersihan, tindakan sabun umumnya dianggap berasal dari kemampuannya untuk emulsi lemak. Ketika minyak zaitun dan air sangat sedikit terguncang bersama emulsi kation yang terjadi, tetapi penambahan sejumlah kecil hasil hidroksida natrium dalam pembentukan emulsi stabil, sabun natrium dibentuk oleh hidrolisis atau melalui reaksi dengan jejak panjang rantai asam, bertindak sebagai emulsifier tersebut.

(27)

ketiga, bubuk berbagai larut, sulfat contoh dasar dari besi, tembaga, sulfat memimpin halus yang terpisah dan oksida besi, dan lampu hitam, yang menstabilkan sejumlah emulsi. Sabun dari logam alkali mendukung pembentukan emulsi minyak dalam air, tetapi logam-logam alkali, dan seng, besi dan aluminium memberikan air dalam sistem minyak. Demikian pula, sulfat dasar menstabilkan emulsi minyak dalam air, sedangkan yang lainnya dapat terbentuk ketika karbon yang kecil yang terpisah adalah agen pengemulsi. Ada beberapa kasus di mana suatu zat larut mampu membawa emulsifikasi, yodium misalnya dalam sistem eter-air (Glasston, 1960).

2.5. Kestabilan emulsi

Kestabilan dari emulsi farmasi berciri tidak adanya penggabungan fase dalam, tidak adanya krim, dan memberikan penampilan, bau, warna dan sifat-sifat fisik lainnya yang baik. Beberapa peneliti mendefinisikan ketidak stabilan suatu emulsi hanya dalam hal terbentuknya penimbunan dari fase dalam dan pemisahannya dari produk. Krim yang diakibatkan oleh flokulasi dan konsentrasi bola-bola fase dalam, kadang-kadang tidak dipertimbangkan sebagai suatu tanda ketidakpastian. Tetapi suatu emulsi adalah suatu sistem yang dinamis, dan flokulasi serta krim yang dihasilkan mengambarkan tahap-tahap potensial terhadap terjadinya penggabungan fase dalam yang sempurna. Fenomena penting lainnya dalam pembuatan dan penstabilan dari emulsi adalah inversi fase, yang dapat membantu atau merusak dalam teknologi emulsi. Inversi fase meliputi perubahan tipe emulsi dari o/w menjadi w/o atau sebaliknya. Begitu terjadi inversi fase setelah pembuatan, secara logis hal ini dapat dipertimbangkan sebagai suatu pertanda dari ketidak stabilan (Martin, 1993).

(28)

Prinsip dasar tentang kestabilan emulsi adalah kesetimbangan antara gaya tarik-menarik dan gaya tolak menolak yang terjadi antar partikel dalam suatu sistem emulsi. Apabila gaya ini dapat dipertahankan tetap seimbang atau terkontrol, maka partikel-partikel dalam sistem emulsi dapat dipertahankan agar tidak bergabung.

2.5.1 Tegangan Permukaan

Tiap molekul dalam suatu zat cair bergerak dan selalu dipengaruhi oleh molekul molekul tetangganya. Suatu molekul yang berada di tengah-tengah sejumlah zat cair mengalami gaya tarik-menarik molekul tetangganya yang hampir sama dalam semua jurusan. Molekul yang ada di permukaan zat cair tidak dikelilingi seluruhnya oleh molekul-molekul tetangganya dan hanya mengalami gaya tarik-menarik dari molekul-molekul-molekul-molekul disampingnya dan dibawahnya.

2.5.2 Tegangan antarmuka

Tegangan antarmuka adalah gaya per satuan panjang yang terjadi pada antarmuka antara dua fase cair yang tidak dapat tercampur. Tegangan antarmuka selalu lebih kecil dari tegangan muka, sebab gaya adhesif antara dua fase cair yang membentuk antarmuka lebih besar dari gaya adhesif antara fase cair dan fase gas yang membentuk antarmuka (Moecthar, 1989).

2.5.3 Hydrophilic Lipophilic Balance (HLB)

(29)

Skala HLB dapat ditunjukkan pada gambar 2.1 (Martin, 1993).

Gambar 2.1. Suatu skala menunjukkan fungsi surfaktan berdasarkan nilai-nilai HLB

Dalam sistem HLB, disamping menentukan nilai untuk agen-agen pengemulsi, nilai-nilai juga berikan untuk zat minyak atau yang mirip minyak. Dalam menggunakan konsep HLB pada pembuatan sebuah emulsi, seseorang akan memilih agen pengemulsi yang memiliki nilai HLB yang sama atau hampir sama dengan fase minyak dari emulsi yang diinginkan. Sebagai contoh, minyak mineral memiliki nilai HLB 4 jika emulsi cair-dalam-minyak diinginkan dan nilai HLB 10,5 jika emulsi minyak-dalam-air akan dibuat. Untuk membuat sebuah emulsi yang stabil, agen pengemulsi yang dipilih harus memiliki nilai HLB yang mirip dengan nilai untuk minyak mineral, tergantung pada tipe emulsi yang diinginkan. Jika diperlukan, dua atau lebih pengemulsi bisa dikombinasikan untuk mencapai nilai HLB yang lebih baik (http//topreference.co.tv).

Berdasarkan harga yang terdapat pada tabel diatas dapat ditentukan harga HLB secara teori dengan menggunakan rumus seperti yang ditunjukkan pada persamaan 2.1.

(30)

Harga HLB dapat ditentukan secara teoritis dan praktek. Harga HLB secara praktek dilakukan dengan menggunakan tensiometri cincin Du-Nouy dimana akan diperoleh harga tegangan permukaan yang telah diplotkan dengan logaritma konsentrasi dan diperoleh harga konsentrasi misel kritis (kmk). Dari harga kmk tersebut maka didapat harga HLB seperti yang ditunjukkan pada persamaan 2.2 (Swern, 1979).

HLB = 7 – 0,36 ln (Co/Cw) …… …………. Pers. 2.2 Dimana : Co = harga CMC

Cw = 100 – Co

2.5.4 Viskositas

Viskositas adalah ukuran yang menyatakan kekentalan suatu cairan atau fluida. Kekentalan merupakan sifat cairan yang berhubungan erat dengan hambatan untuk mengalir. Beberapa cairan ada yang dapat mengalir cepat, sedangkan lainnya mengalir cepat, sedangkan lainnya mengalir secara lambat. Cairan yang mengalir cepat seperti air, alkohol dan bensin mempunyai viskositas kecil. Sedangkan cairan yang mengalir lambat seperti gliserin, minyak castor dan madu mempunyai viskositas besar. Jadi viskositas tidak lain menentukan kecepatan mengalirnya suatu cairan.

Viskometer ostwald merupakan metode yang ditentukan berdasarkan hokum poiseuille. Penetapannya dilakukan dengan jalan mengukur waktu yang diperlukan untuk mengalirnya cairan dalam pipa kapiler. Viskositas dihitung sesuai persamaan poiseuille seperti yang ditunjukkan pada persamaan 2.3.

……….. Pers 2.3

(31)

2.6. Metode Pengukuran Tegangan Permukaan 2.6.1. Metode Cincin Du Nouy

Prinsip dari Metode cincin du Nouy bergantung pada kenyataan bahwa gaya yang diperlukan untuk melepaskan suatu cincin platina-iridium yang dicelupkan pada permukaan adalah sebanding dengan tegangan permukaan atau tegangan antarmuka. Gaya yang diperlukan untuk melepaskan cincin dengan cara ini diberikan oleh suatu kawat spiral dan dicatat dalam suatu dyne pada suatu penunjuk yang dikalibrasi, seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.2 (Martin, 1998).

Gambar 2.2. Tensiometer Du Nuoy

Tegangan permukaan (γ) dapat ditentukan dengan menggunakan rumus seperti yang ditunjukkan pada persamaan 2.4.

cincin

(32)

membuat cincin dan volume zat cair yang terangkat dari permukaan. Kesalahan-kesalahan sebesar 25 persen dapat terjadi jika faktor koreksi tidak diperhitungkan dan digunakan (Moechtar, 1989).

2.6.2. Metode Kenaikan Kapiler

Cara ini berdasarkan kenyataan bahwa kebanyakan cairan dalam pipa kapiler mempunyai permukaan lebih tinggi daripada permukaan di luar pipa. Ini terjadi, bila cairan membasahi bejana, dalam hal ini cairan membentuk permukaan yang cekung (concave). Bila cairan tersebut membasahi bejana, cairan membentuk permukaan yang cembung.

Pipa kapiler dengan jari-jari r dimasukkan dalam cairan yang membasahi gelas. Dengan membasahi dingding bagian dalam, zat cair ini naik, kenaikan ini disebabkan oleh gaya akibat adanya tegangan muka. Penentuan tegangan permukaan dengan menggunakan metode kenaikan kapiler dapat ditunjukkan pada persamaan 2.5 (Sukardjo, 1997).

... Pers. 2.5

Dimana:

r = jari-jari pipa kapiler d = massa jenis larutan g = gravitasi bumi h = tinggi cairan

2.6.3. Metode Wilhelmy

Metode ini didasarkan pada gaya yang diperlukan untuk menarik pelat tipis dari permukaan cairan. Penetapannya diperlukan alat dari lempeng tipis terbuat dari kaca, platina atau mika dan sebuah neraca. Pelat digantungkan pada salah satu lengan neraca dan dimasukkan kedalam cairan yang akan diselidiki. Besarnya gaya tarik pada neraca yang digunakan untuk melepas pelat dari permukaan cairan.

(33)

Pada saat pelat terlepas berlaku hubungan, dapat ditunjukkan pada persamaan 2.6.

W

F= + 2γ ………. Pers. 2.6

Sehingga tegangan permukaan dapat dihitung, seperti persamaan 2.7 (Yazid, 2005).

l

2 = faktor karena ada dua permukaan pada lempeng

2.7. Polistirena

Polistirena ditemukan sekitar tahun 1930, polistirena merupakan polimer tinggi yaitu molekul yang mempunyai massa molekul besar. Terdapat di alam (benda hidup, hewan/tumbuhan) atau disintesis di laboratorium. Polistirena merupakan makromolekul, yaitu molekul besar yang dibangun oleh pengulangan kesatuan kimia yang kecil dan sederhana (monomer). Polistirena rata-rata berat molekulnya mendekati 300.000. Stirena adalah bahan kimia pembentuk polimer hidrokarbon jenuh dengan rumus kimia C6H5CH=CH. Dikenal dengan nama vinilbenzena, phenilethilena.

Menurut Kirk (1992), stirena adalah cairan tak berwarna dengan bau aromatik yang secara tak terbatas larut dalam aseton, karbon tetraklorida, benzena, eter n-heptana dan etanol. Uap stirena mempunyai bau dengan ambang batas 50-150 ppm. Anonimous (1961) menyatakan bahwa senyawa stirena ini berupa cairan tak berwarna yang berupa minyak dan berbau khas aromatik.

(34)

encer. Larutan polistirena akan mengeras pada suhu ruangan dan contact pressure biasa cukup untuk perekatan.

Polistirena atau polifeniletena dapat dipolimerkan dengan panas, sinar matahari atau katalis. Derajat polimerisasi polimer tergantung pada kondisi polimerisasi. Polimer yang sangat tinggi dapat dihasilkan dengan menggunakan suhu di atas sedikit suhu ruang. Polistirena merupakan termoplastis yang bening (kecuali jika ditambahkan pewarna/pengisi) dan dapat dilunakkan pada suhu ±100oC. Tahan terhadap asam, basa dan zat korosif lainnya. Tapi mudah larut dalam mempengaruhi kekuatan dan ketahanan polimer terhadap panas. Banyak digunakan untuk membuat lembaran, penutup dan barang pencetak (Tim Penulis, 2007)

(35)

BAB 3

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Dalam penelitiaan ini adapun alat-alat dan bahan yang digunakan adalah sebagai berikut :

3.1. Alat-alat

- Gelas beaker Pyrex

- Gelas ukur Pyrex

- Neraca analitis (presisi ± 0,001 g) Mettler

- Piknometer Pyrex

- Viskosimeter ostwald Sibata

- Tensiometer Fischer

- Hot plate stirrer Cimarex

- Magnetik stirrer - Bola karet

Penelitian ini adalah berdasarkan penelitian laboratorium. a.Populasi

(36)

b.Variabel

Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1.Variabel bebas

Polistirena foam yang digunakan dari sembarang tempat yaitu 30 g, 40 g, dan 50 g, sedangkan volume toluena yang digunakan adalah 50 ml, 60 ml, 70 ml. Konsentrasi detergen komersil adalah 10%, 20%, 30%

2.Variabel tetap

Suhu yang digunakan pada tegangan permukaan adalah 30oC. 3.Variabel terikat

Untuk kestabilan emulsi dilakukan uji densitas, tipe emulsi yang terbentuk dilakukan uji HLB dan pengukuran lateks polistirena dilakukan uji viskositas.

c. Pengambilan data

Penelitian ini adalah eksperimental laboratorium dengan satu merek deterjen komersil yang digunakan dan lima level variasi perbandingan emulsi. Pengambilan data dari uji kestabilan emulsi adalah :

1. Pengukuran densitas 2. Pengukuran viskositas 3. Penentuan nilai HLB

3.4. Prosedur Kerja

3.4.1. Pembuatan lateks polistirena

- dimasukkan 30 g polistirena kedalam gelas beaker - ditambahkan 70 ml toluena

- diaduk selama 10 menit dan didiamkan selama 1 hari

(37)

3.4.2. Pembuatan emulsi dari pencampuran lateks polistirena dan air

- larutan polistirena sebanyak 90 ml dimasukkan kedalam gelas beaker - ditambahkan 10 ml air

- ditambahkan deterjen 10 ml deterjen komersil dengan konsentrasi 10% - diaduk

- dilakukan prosedur yang sama untuk:

1. Perbandingan lateks polistirena dan air yaitu 70:30, 50:50, 30:70 dan 10:90 2. Konsentrasi deterjen yang digunakan 20% dan 30% dengan volume yang tetap.

3.4.3. Pengujian kestabilan emulsi 3.4.3.1 Penentuan densitas

- dimasukkan sebanyak 5 ml emulsi lateks polistirena kedalam piknometer - ditimbang

- dilakukan prosedur yang sama untuk semua perbandingan emulsi lateks polistirena

3.4.3.2. Penentuan viskositas

- dimasukkan sebanyak 10 ml emulsi lateks polistirena kedalam viskosimeter ostwald

- dihisap sampai larutan mencapai batas atas - dicatat waktu alir yang diperoleh

(38)

3.4.4. Penentuan tegangan permukaan

- dimasukkan sebanyak 5 ml detergen komersil dengan konsentrasi 0,01% kedalam tempat sampel tensiometer

- dicelupkan cincin Du Nouy kedalam sampel tersebut

- diputar skala pembacaan sampai cincin Du Nouy terangkat dari sampel - dibaca skala pada tensiometer Du Nouy

(39)

3.5. Skema Penelitian

3.5.1. Pembuatan lateks polistirena

Diaduk selama 10 menit

Didiamkan selama 1 hari

Catt. Dilakukan prosedur yang sama pada polistirena dan toluena dengan perbandingan

40:60 dan 50:50 hingga terbentuk lateks polistirena

30 g Polistirena foam 70 ml Toluena

Campuran polistirena-Toluena

(40)

3.5.2. Pembuatan emulsi dari pencampuran lateks polistirena dan air

ditambahkan 10 ml deterjen rinso dengan konsentrasi 10%

diaduk

Catt. Dilakukan prosedur yang sama :

1. Perbandingan lateks polistirena dan air yaitu : 70:30, 50:50, 30:70 dan 10:90

untuk memperoeh emulsi yang stabil.

2. Konsentrasi deterjen yang digunakan 20% dan 30% dengan volume yang tetap.

90 ml Larutan polistirena

10 ml Air

Campuran larutan pekat-air

(41)

3.5.3. Pengujian kestabilan emulsi 3.5.3.1. Penentuan densitas

dimasukkan sebanyak 5 ml kedalam piknometer

ditimbang

dihitung

Catt. Dilakukan prosedur yang sama untuk semua perbandingan emulsi lateks

polistirena.

Emulsi lateks polistirena

Data berat emulsi lateks polistirena

(42)

3.5.3.2. Penentuan viskositas

dimasukkan sebanyak 10 ml kedalam viskosimeter Ostwald

dihisap sampai larutan men- capai batas atas

dicatat waktu alir yang diperoleh

dihitung

Catt. Dilakukan prosedur yang sama untuk semua perbandingan emulsi lateks

polistirena.

Emulsi lateks polistirena

Data waktu alir emulsi lateks politirena

(43)

3.5.4. Penentuan tegangan permukaan

dimasukkan sebanyak 5 ml kedalam tensiometer dicelupkan cincin Du Nouy kedalam sampel tersebut diputar skala pembacaan sampai cincin Du Nouy terangkat dari sampel

dibaca skala pada tensiometer Du Nouy

dihitung

Catt. Dilakukan prosedur yang sama untuk semua konsentrasi deterjen komersil yang

digunakan.

0,01 detergen komersil

Data tegangan permukaan

(44)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

4.1.1. Pegukuran Densitas dan Viskositas Lateks Polistirena

Nilai densitas sebelum penambahan emulsifier pada lateks polistirena dengan perbandingan 30:70, dipaparkan pada tabel 4.1.

Tabel 4.1. Nilai densitas lateks PS dengan perbandingan PS : Toluena 30:70

Hari Sampel

Nilai viskositas lateks polistirena dengan perbandingan PS : Toluena 30:70, dipaparkan pada tabel 4.2.

Tabel 4.2. Nilai viskositas lateks PS dengan perbandingan PS : Toluena 30:70

Waktu (hari) η (poise)

I 754,91 x 10-2

II 3375,66 x 10-2

(45)

Contoh perhitungan nilai viskositas Hari I, waktu alir aquadest : t1 = 0.69 s

t2 = 0.69 s t3 = 0.78 s

t = 0.72 s

Waktu alir larutan polistirena dan toluena dengan perbandingan 30:70

1

Viskositas larutan polistirena dan toluena dengan perbandingan 30:70

(46)

4.1.2. Pengukuran Densitas Emulsi lateks Polistirena pada berbagai konsentrasi pengemulsi

Data hasil pengukuran densitas emulsi lateks polistirena dengan penambahan emulsifier 10%, 20% dan 30% dapat dilihat pada tabel sebagai berikut :

Tabel 4.3. Nilai densitas emulsi lateks PS 90:10 dengan emulsifier komersil 10%

Hari Berat emulsi lateks PS (g) ρ (g/ml)

Tabel 4.4. Nilai densitas emulsi lateks PS 90:10 dengan emulsifier komersil 20%

Hari Berat emulsi lateks PS (g) ρ (g/ml)

Tabel 4.5. Nilai densitas emulsi lateks PS 90:10 dengan emulsifier komersil 30%

(47)

4.1.3. Pengukuran Tegangan Permukaan Deterjen Pengemulsi

Nilai tegangan permukaan deterjen pengemulsi pada berbagai konsentrasi dipaparkan pada tabel 4.6.

Tabel 4.6. Nilai Tegangan Permukaan (dyne/cm) pada berbagai konsentrasi

Konsentrasi Pengemulsi (%)

γ (dyne/cm)

1

γ γ2 γ3 γ

0.001 46.9 46.8 46.9 46.86

0.003 43.5 43.8 43.0 43.43

0.005 43.2 43.5 43.3 43.33

0.007 33.9 34.8 35.7 34.8

0.01 33.0 32.1 32.4 32.5

0.03 27.0 27.1 27.0 27.03

0.05 26.9 26.4 26.8 26.7

0.07 26.8 26.5 26.7 26.67

(48)

4.2. Pembahasan

4.2.1. Nilai densitas dan viskositas lateks polistirena

Pada penelitian ini proses kelarutan antara polistirena foam dan toluena terlihat baik pada perbandingan 30:70, sehingga untuk analisis lebih lanjut digunakan lateks polistirena pada perbandingan tersebut.

Hubungan antara densitas terhadap waktu lateks polistirena dengan perbandingan polistirena dengan toluena 30:70 ditunjukkan pada grafik 4.1.

Gambar 4.1. Grafik nilai densitas (g/ml) lateks polistirena versus waktu (hari)

Nilai densitas lateks polistirena pada waktu penyimpanan I hingga III hari berada pada range 0,948 hingga 0,954.

(49)

Hubungan antara viskositas terhadap waktu penyimpanan lateks polistirena dengan perbandingan polistirena dengan toluena 30:70 ditunjukkan pada grafik 4.2

Gambar 4.2. Grafik nilai viskositas lateks polistirena versus waktu (hari)

(50)

4.2.2. N ilai densitas emulsi lateks polistirena pada berbagai konsentrasi pengemulsi

Untuk melihat kestabilan emulsi lateks polistirena, perlu dilakukan analisis terhadap nilai densitas dari berbagai perbandingan lateks polistirena dan air dengan konsentrasi emulsifier yang berbeda.

Hubungan antara densitas terhadap waktu emulsi lateks polistirena dengan

perbandingan 90:10 pada berbagai konsentrasi ditunjukkan pada grafik sebagai berikut :

Gambar 4.3. Grafik nilai densitas emulsi PS dan air (90:10) dengan emulsifier komersil 10% versus waktu

(51)

Gambar 4.5. Grafik nilai densitas emulsi lateks PS dan air (90:10) dengan emulsifier komersil 30% versus waktu

Dari data, diperoleh hubungan antara densitas dan waktu penyimpanan menunjukkan bahwa semakin bertambahnya waktu maka densitas akan semakin meningkat, dengan konsentrasi emulsifier yang berbeda yaitu 10%, 20%, dan 30% akan memberikan hubungan yang sama yaitu semakin tinggi konsentrasi maka nilai densitas akan semakin besar.

Pada penelitian ini emulsifier yang digunakan adalah deterjen komersil, dengan merek dagang rinso yang tergolong dalam surfaktan anionik. Menurut Moechtar (1989), surfaktan dapat menurunkan tegangan permukaan. Besarnya tegangan permukaan dipengaruhi oleh gaya tarik menarik antara molekul di dalam cairan. Pada permukaan cairan, tiap molekul ditarik oleh molekul sejenis di dekatnya dengan arah hanya kesamping dan ke bawah, tetapi tidak ditarik oleh molekul di atasnya karena di atas permukaan cairan berupa fase uap (udara) dengan jarak antara molekul sangat renggang. (Yazid, 2005).

(52)

dan nonpolar yang ada padanya, amfifil bersifat hidrofilik yang dapat mengikat air, sementara lipofilik dapat mengikat lemak atau minyak (Moechtar, 1989).

4.1.4.Penentuan tipe pengemulsi deterjen komersil

Salah satu cara penentuan tipe pengemulsi dari suatu deterjen adalah menentukan nilai HLB yang diperoleh dari nilai konsentrasi misel kritis (kmk) yaitu dengan pengukuran tegangan permukaan. Metode pengukuran tegangan permukaan menggunakan metode cincin Du Nouy, dengan prinsip bahwa tegangan permukaan sebanding dengan gaya yang diperlukan untuk menarik cincin platina.

Hubungan antara konsentrasi emulsifier dengan tegangan permukaan larutan ditunjukkan pada grafik 4.6.

Gambar 4.6. Grafik antara tegangan permukaan dengan konsentrasi

(53)

permukaan yang konstan pada grafik tegangan permukaan versus konsentrasi emulsifier. Jika konsentrasi surfaktan ditingkatkan maka sebagian molekul surfaktan membentuk misel. Kenaikan konsentrasi surfaktan akan meningkatkan jumlah misel yang merupakan agregat-agregat molekul surfaktan di badan cairan yang terbentuk karena permukaan telah jenuh oleh molekul-molekul surfaktan (Levine, 1983).

Dari data, diperoleh bahwa bahwa nilai tegangan permukaan deterjen komersil mengalami penurunan yang konstan pada konsentrasi 0.03%, maka harga kmk yang diperoleh dari grafik yaitu 0,03%.

Dari harga kmk diatas dapat dihitung harga HLB dengan menggunakan persamaan 2.2. HLB = 7 – 0,36 ln (Co/Cw)

HLB = 7 – 0,36 ln (0,03/99,97) = 9,92

(54)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian, pembuatan lateks polistirena menggunakan pengemulsi deterjen komersil dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Kelarutan Polistirena dalam Toluena yang tepat diperoleh pada perbandingan antara polistirena foam dengan toluena 30:70

2. Nilai densitas lateks polistirena yang diperoleh berada pada range 0,948 hingga 0,954, kestabilan emulsi lateks polistirena diperoleh pada perbandingan lateks polistirena dan air 90:10, dengan penambahan deterjen komersil pada konsentrasi 10%, 20%, dan 30%. Deterjen komersil rinso dikategorikan pada tipe emulsi minyak dalam air (o/w) dengan harga HLB 9,92.

5.2. Saran

(55)

DAFTAR PUSTAKA

Anief, M., (1999). Sistem Dispersi, Formulasi Suspensi dan Emulsi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Astrini, N, T., dan Roestamsjah. (1997). Pembuatan Lateks Polistirena Secara Polimerisasi Emulsi Stirena tanpa Emulgator dengan Menggunakan Aseton. Buletin IPT. Vol. III No. 2

Atmadja. (2000). Studi Pemurnian dan karakterisasi emulsifaier Campuran mono dan

Diasilgliserol yang Diproduksi dari Distilat Asam Lemak Minyak Sawit dengan Teknik Esterifikasi Enzimatis Menggunakan Lipase Rhizomucor miehe. Skripsi.

Institut Pertanian Bogor. Bogor

Bayindri, L., (1993). Density and viscosity of grape juice as a function of concentration

and temperature. Journal of food processing preservation 17, 147-151

Glasstone, S., (1960). Textbook of Physical Chemistry. Second Edition. Macmillan and CO limited. London

Hartomo, J, A., (1995). Penuntun Analisis Polimer Aktual. Penerbit Andi. Yogyakarta

November 2010

2010

Lata, P., and Babadur. (1978). Flocculation Oil-in-water Emulsions by Detergents. Chemistry Departement Agra College. Journal Colloid and Polymer Science 63; 65-67

Levine, I., (1983). Physical chemistry. Second Edition. MCGraw-Hill Book Company. New York

(56)

Masyithah, Z., (2010). Optimasi Sintesis Surfaktan Alkanolamida dari Asam Laurat

dengan Dietanolamina dan N-metil Glukamina Secara Enzimatik. Disertasi S-3.

Universitas Sumatera Utara. Medan

Moechtar. (1989). Farmasi Fisika Bagian Larutan dan Sistem Dispers., Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta

Pratama, A., (2008). Penurunan Kadar Deterjen pada Limbah Cair Laundry dengan

Menggunakan Reaktor Biosand Filter yang Diikuti Reaktor Activated Carbon.

Skripsi. Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta

Refinel, Zaharasmi dan Rahmayani. (1999). Optimasi Kestabilan emulsi Sebagai

Membran Cair untuk Ekstraksi Fenol dalam Ai., Jurnal Kimia Andalas. Vol. 5

No. 2

Sastrohamidjojo, H., (2005). Kimia Organik. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta Sukardjo. (1989). Kimia Fisika. Penerbit Rineka Cipta. Yogyakarta

Swern, D and Bailey. (1979). Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. Volume 2. Fourth Edition. John Wiley and Sons. New York

(57)
(58)

Lampiran 1

Pengukuran viskositas emulsi lateks polistirena

Waktu (hari) II :

Waktu alir larutan polistirena dan toluena dengan perbandingan 30:70 1

Viskositas larutan polistirena dan toluena dengan perbandingan 30:70

air

(59)

Lampiran 2

Viskositas larutan polistirena dan Toluena dengan perbandingan 30:70

air

Tabel 1. Nilai densitas emulsi lateks PS 70:30 dengan emulsifier komersil 10%

Hari Berat emulsi lateks PS (g) ρ (g/ml)

Tabel 2. Nilai densitas emulsi lateks PS 50:50 dengan emulsifier komersil 10%

(60)

Lampiran 3

Tabel 3. Nilai densitas emulsi lateks PS 30:70 dengan emulsifier komersil 10%

Hari Berat emulsi lateks PS (g) ρ (g/ml)

I II III Rata-rata

1 5.01 5.01 5.01 5.01 1.002

2 4.92 4.92 4.92 4.92 0.984

3 5.11 5.11 5.11 5.11 1.022

4 5.02 5.02 5.02 5.02 1.004

5 5.36 5.36 5.36 5.36 1.072

Tabel 4. Nilai densitas emulsi lateks PS 10:90 dengan emulsifier komersil 10%

Hari Berat emulsi lateks PS (g) ρ (g/ml)

I II III Rata-rata

1 5.05 5.05 5.05 5.05 1.01

2 5.02 5.02 5.02 5.02 1.004

3 5.29 5.29 5.29 5.29 1.058

4 5.06 5.06 5.06 5.06 1.012

(61)

Lampiran 4

Tabel 5. Nilai densitas emulsi lateks PS 70:30 dengan emulsifier komersil 20%

Hari Berat emulsi lateks PS (g) ρ (g/ml)

Tabel 6. Nilai densitas emulsi lateks PS 50:50 dengan emulsifier komersil 20%

Hari Berat emulsi lateks PS (g) ρ (g/ml)

Tabel 7. Nilai densitas emulsi lateks PS 30:70 dengan emulsifier komersil 20%

(62)

Lampiran 5

Tabel 8. Nilai densitas emulsi lateks PS 10:90 dengan emulsifier komersil 20%

Hari Berat emulsi lateks PS (g) ρ (g/ml)

Tabel 9. Nilai densitas emulsi lateks PS 70:30 dengan emulsifier komersil 30%

Hari Berat emulsi lateks PS (g) ρ (g/ml)

Tabel 10. Nilai densitas emulsi lateks PS 50:50 dengan emulsifier komersil 30%

(63)

Lampiran 6

Tabel 11. Nilai densitas emulsi lateks PS 30:70 dengan emulsifier komersil 30%

Hari Berat emulsi lateks PS (g) ρ (g/ml)

Tabel 12. Nilai densitas emulsi lateks PS 10:90 dengan emulsifier komersil 30%

Hari Berat emulsi lateks PS (g) ρ (g/ml)

Perhitungan Harga HLB untuk deterjen komersil

Penentuan faktor koreksi hasil pengukuran tegangan permukaan (γ) dengan menggunkana alat tensiometer Du Nuoy

(64)

Lampiran 7

Harga HLB pada deterjen komersil untuk konsentrasi 0,01% )

Gambar

Gambar 2.1. Suatu skala menunjukkan fungsi surfaktan berdasarkan nilai-nilai HLB
Gambar 2.2. Tensiometer Du Nuoy
Tabel 4.1. Nilai densitas lateks PS dengan perbandingan PS : Toluena 30:70
Tabel 4.4. Nilai densitas emulsi lateks PS 90:10 dengan emulsifier komersil 20%
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa campuran yang optimum adalah berupa polistirena dan aspal dengan perbandingan 40:60 yang memberikan kepadatan dan kuat tekan yang baik,

Dari pengujian yang telah dilakukan diperoleh bahwa untuk sifat fisis bahan spesimen: Densitas mengalami kenaikan sesuai dengan penambahan serbuk kayu dimana nilai densitas

Perkebunan Nusantara III dengan mempelajari penambahan asam formiat terhadap penambahan Ph bahan baku lateks segar yang telah diberikan amoniak pada pembuatan RSS di peroleh hasil

Hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap pengaruh penambahan buah asam jawa (Tamarindus Indica L.) terhadap lateks dengan perbandingan tanpa penambahan

Lateks dapat digunakan untuk membuat spesimen sarung tangan dengan menambahkan bahan lain yakni silika ampas tebu dan bahan kimia. Penambahan bahan-bahan ini menggunakan

Gambar D.5 Hasil FTIR Produk Lateks Karet Alam Dengan Penambahan Pengisi Selulosa Mikrokristalin dan Tanpa Penyerasi Alkanolamida. D.6 HASIL FTIR PRODUK LATEKS KARET ALAM

Perkebunan Nusantara III dengan mempelajari penambahan asam formiat terhadap penambahan Ph bahan baku lateks segar yang telah diberikan amoniak pada pembuatan RSS di peroleh hasil

Proses pembuatan elastomer termoplastik dengan cara polimerisasi emulsi telah dilakukan antara karet alam lateks dengan campuran monomer stiren dan metil metakrilat menggunakan