• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisa Hukum Terhadap Perlindungan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Ditinjau Dari Kewenangan Daerah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisa Hukum Terhadap Perlindungan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Ditinjau Dari Kewenangan Daerah"

Copied!
190
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISA HUKUM TERHADAP PERLINDUNGAN WILAYAH

PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DITINJAU

DARI KEWENANGAN DAERAH

TESIS

Oleh

MARIA MAYA LESTARI

097005005 / HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA

MEDAN

(2)

ANALISA HUKUM TERHADAP PERLINDUNGAN WILAYAH

PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DITINJAU

DARI KEWENANGAN DAERAH

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum

Dalam Program Magister Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara

Oleh

MARIA MAYA LESTARI 097005005 / HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA

MEDAN

(3)

JUDUL TESIS : ANALISA HUKUM TERHADAP PERLINDUNGAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DITINJAU DARI KEWENANGAN DAERAH

NAMA MAHASISWA : Maria Maya Lestari

NOMOR POKOK : 097005005

PROGRAM STUDI : Ilmu Hukum

Menyetujui :

Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H.) Ketua

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., M.S.) (Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum.) Anggota Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H.) (Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum.)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal 27 Juni 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

KETUA : Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H.

ANGGOTA : 1. Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., M.S.

2. Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum.

3. Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum.

(5)

ABSTRAK

Sebagai Negara kepulauan dengan panjang pantai 81.000 km dan 22% dari total penduduk Indonesia mendiami wilayah pesisir menjadikan wilayah pesisir sebagai salah satu pusat kegiatan ekonomi yang paling produktif ditinjau dari sumber daya alamnya baik hayati maupun non hayati. Pasca dikeluarkannya Undang-undang 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, setiap daerah diberikan kewenangan dalam pengelolaan wilayah laut beserta pesisir dan pulau-pulau kecil dalam radius 12 mil dari garis pantai. Penyerahan kewenangan pengelolaan ini berpotensi terjadinya perusakan dan pencemaran wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil bila pengelolaannya tidak diatur secara lebih khusus melalui undang-undang. Sehingga pada tahun 2007 lahirlah Undang-undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil nomor 27 tahun 2007. Dari latarbelakang diatas, dapat diangkat permasalahan tentang bagaimana peraturan hukum memberikan perlindungan terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, bagaimana batasan serta definisi ruang lingkup, jenis ekosistem dan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil termasuk definisi dan sumber pencemaran dan/atau perusakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada, dan permasalahan yang ketiga adalah bagaimana kewenangan pemerintah terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tersebut. Kerangka teori yang dibangun adalah Teori Negara Hukum (welfare state), Teori Hukum Pembangunan, dan Teori Negara Kepulauan. Jenis penelitian adalah penelitian hukum normatif dengan teknik pengumpulan data melalui penelitian kepustakaan (library research), dan sumber data adalah data primer yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

Dari hasil penelitian didapati bahwa mulai dari ketentuan internasional sampai dengan peraturan nasional telah memberikan perlindungan terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, adapun secara khusus konsep dasar perlindungan hukum terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dari menurut UUPWPPPK adalah memberikan perlindungan mulai dari perencanaan, pengelolaan sampai dengan pengawasan dan pengendalian. Meskipun sebelumnya beberapa pasal dalam UUPWPPPK cendrung mendekati privatisasi WPPPK namun dengan terbitnya Keputusan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 16 Juni 2011 yang membatalkan pasal-pasal tersebut. Sehingga untuk saat ini UUPWPPPK materi UUPWPPPK sudah lebih baik dan konsisten dalam menjalankan amanat Pasal 33 UUD 1945.

(6)

Kewenangan pemerintah terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil telah dilandasi dari berbagai asas mulai dari prinsip dasar perlindungan lingkungan secara umum sampai dengan asas-asas pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Penerapan asas-asas tersebut telah diterapkan didalam setiap pasal-pasalnya, khusus mengenai kewenangan pemerintah yang terdiri dari pemerintah pusat, provinsi dan Kabupaten telah diatur di dalam UUPWPPPK dan peraturan pelaksana dibawahnya.

Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa secara normatif peraturan perundang-undangan kita telah memberikan perlindungan hukum terhadap WPPPK dan telah memberikan batasan kewenangan yang jelas baik antara kewenangan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota.

(7)

ABSTRACT

As an archipelagic state with the coastline of 81.000 km long, 22% of the total population of Indonesia lives in the coastal area, one of the most productive economic activity centers viewed from its natural resources in terms of both biological and non-biological. After the issuance of Law No.32/2004 on local Government, each local government is given an authority to manage its water territory, coastal areas and small islands within the radius of 12 miles from its coastline. The transfer of this management authority can create a potential destruction and pollution of coastal areas and small islands if the management applied is not regulated more spescifically through laws. For this reason, Law No.27/2007 on Coastal Area and Small Island Management was issued. Based on the above background, the problem to be solves in this study were, first, how the law provides protection to the coastal areas and small islands; second, how scope, type of ecosystem, coastal resources and small island, recources of pollution and/or damage are define based on exiting regulation of legislation; and third, to what extent, the authority of government is towards the coastal area and small islands. The theoretical frameworks built are the Theory of Constitutional State, Theory of Development Law, and Theory of Archipelagic State. This is a normative legal study whose data, in the form of primary, secondary and tertiary legal materials, were obtained through library research.

The result of this study showed that, in practice, either international or national regulations has protected the coastal areas and small islands, and specifically, the basic concept of legal protection for coastal areas and small islands according to Law No. 27/2007 is to several articles of Law No.27/2007 used to tend to lead to privatitation of coastal areas and small islands, yet with the issuance of the Decree of Constitutional Court canceling those articles on June 16, 2011,, the materials of Law No. 27/2007 is better and consistent in implementing the mandate of articles 33 of 1945 Constitution.

Law No. 27/2007 on the Management of Coastal Areas and Small Islands has given a clear definition of various definitions of the scope of Coastal Area and Small Islands Management, various kinds of coastal resources, and definition of pollution. Yet, several understandings on the definition of coast and coastal area, types of ecosystem forming coastal areas, and the definition or act of damaging can be found in the other laws which is in accordance with the mandate of article 78 of Law No. 27/2007 that justify the validity of the other laws as long as they are not against Law No. 27/2007 and in case the definitions are not found in the laws, the opinion of expert is used to provide the definition.

(8)

government comprising central, provincial and district governments which has been regulated in Law No. 27/2007 and its implementation regulation.

Base on the above description, the conclution drawn is that, normatively, our regulation of legislation has provided legal protection for coastal areas and small islands and clear definition of authority between that of central, provincial, district/municipal government.

(9)

KATA PENGANTAR

Pertama-tama perkenankan kami mengucapkan puji dan syukur kehadirat

Allah SWT, berkat rahmad dan hidayah-Nya tesis dengan judul “Analisa Hukum

Terhadap Perlindungan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Ditinjau Dari

Kewenangan Daerah” telah berhasil diselesaikan tepat pada waktunya.

Tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi guna memperoleh

gelar Magister Hukum pada Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

Dalam penyelesaian tesis ini tidak akan rampung tanpa bimbingan, arahan serta

bantuan dari berbagai pihak. Sehingga pada kesempatan ini penulis mengucapkan

rasa terimakasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setulus-tulusnya

kepada :

1. Pimpinan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) yang telah

memberikan beasiswa BPPS untuk penulis selama menjalani pendidikan di

Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas

Sumatera Utara.

2. Rektor Universitas Riau, Bapak. Prof. Dr. Ashaluddin Jalil,M.S., dan

Pj. Dekan Fakultas Hukum Universitas Riau, Ibu Gusliana HB, S.H.,

M.Hum., selaku pimpinan yang telah berkenan memberikan izin kepada

penulis untuk kuliah di Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca

Sarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu,

(10)

Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum, yang telah

memberikan pandangan dan arahan agar penulis kembali kuliah di Magister

Ilmu Hukum Fakultas Hukum Sumatera Utara.

4. Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana

Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H., yang dalam

hal ini juga merupakan pembimbing utama yang selalu memberikan arahan,

bimbingan dan waktu untuk berdiskusi sampai akhirnya penulis dapat

menyelesaikan tesis ini.

5. Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., M.S., dan Ibu Prof. Sunarmi S.H.,

M.Hum, selaku dosen pembimbing kedua dan ketiga yang telah memberikan

arahan, bimbingan dan waktu untuk berdiskusi sampai akhirnya penulisan ini

menjadi lebih baik dan bermutu.

6. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum., dan Bapak Dr. Mirza Nasution, S.H.,

M.Hum., selaku dosen penguji yang telah memberikan arahan, pendapat dan

juga kritikan saran yang membangun sehingga penulisan ini menjadi lebih

baik dan bermutu.

7. Para Guru Besar dan semua Staf Pengajar Program Studi Magister Ilmu

Hukum, Bapak H. Sukanda Husin, S.H., L.LM., dan Ibu Prof. Dr. Ir. T.

Chairun Nisa, B, M.Sc., yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan,

arahan dan bantuan selama penulis menempuh perkuliahan.

8. Seluruh Staf Sektretariatan Program Studi Magister Ilmu Hukum, segenap

(11)

terutama Risda, Lila, Silvi, Ani, Mughni, Irma, Pak Asman, Ine, Pak Cibro,

dan Khairiah.

9. Kepada Kedua Orang Tua yang tersayang, H. M. Hanafiah, S.H., M.M., dan

Hj. Dahnimar, yang selalu tulus berdoa dan mendukung penulis untuk terus

belajar setinggi-tingginya. Untuk mertua, Rum Darodji dan Yuni Hartati

(Alm.), Tante Hj. Elfizah, S.Pd., dan adik penulis, Arry Nugraha Okto

Bestari., Amd., yang selalu mendukung dan memberikan semangat.

10. Khusus kepada suami tercinta, Kapt. Sus. Ridwan Yunardi, S.H., dan kedua

gadis kecil tercinta, Salsabila Syifa Maharani dan Adine Airsya Fitra, terima

kasih atas segenap doa, perhatian, pengorbanan dan untuk setiap detik

kebersamaan dalam mendampingi penulis di setiap malam penyelesaian tesis

ini.

Akhir kata Penulis berharap tesis ini dapat memberikan manfaat dan

sumbangsih bagi pembaca serta perkembangan keilmuan. Terdapat kekurangan di

dalam tesis ini, baik secara substansi maupun penulisan. Atas setiap saran dan

kritikan yang sifatnya membangun penulis ucapkan terima kasih.

Medan, Juni 2011

(12)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Maria Maya Lestari, S.H., M.Sc., M.H.

Tempat / Tanggal Lahir : Pekanbaru, 2 Juni 1978

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Pekerjaan : Dosen Fakultas Hukum Universitas Riau

Pendidikan : 1. SDN 001 Rintis Pekanbaru, Lulus Tahun1991

2. SMP Negeri 5 Pekanbaru, Lulus Tahun 1994

3. SMU Negeri 1 Pekanbaru, Lulus Tahun 1997

4. Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang,

Lulus Tahun 2001

5. Program Pengurusan Persekitaran

Universiti Kebangsaan Malaysia, Lulus Tahun 2005

6. Program Studi Magister Ilmu Hukum

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT... iii

KATA PENGANTAR... v

DAFTAR RIWAYAT HIDUP... viii

DAFTAR ISI... ix

1. Tipe, Jenis dan Pendekatan Penelitian... 26

2. Sumber Data... 27

3. Teknik Pengumpulan Data... 29

4. Alat Pengumpulan Data... 29

5. Analisis Data... 29

BAB II PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL... 31

A. Kerangka Hukum Laut Internasional... 33

1. Hukum Lunak (Soft Law)…………... 36

2. Hukum Keras (Hard Law)…...…………... 42

B. Kerangka Hukum Laut Nasional... 49

1. Zaman Hindia Belanda... 53

(14)

BAB III PENGERTIAN RUANG LINGKUP, EKOSISTEM DAN PENCEMARAN/PERUSAKAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL MENURUT PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN... 85

A. Definisi dan Ruang Lingkup Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil... 85

1. Definisi Wilayah Pesisir... 86

2. Definisi Pulau Kecil... 91

3. Definisi Perairan... 94

B. Berbagai Jenis Ekosistem dan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil... 97

1. Jenis-Jenis Ekosistem Pesisir dan Pantai di Indonesia... 97

2. Berbagai Macam Sumber Daya Pesisir... 100

C. Definisi dan Faktor Penyebab Pencemaran dan/ Perusakan Lingkungan Pesisir dan Pulau-Pulau kecil... 101

1. Definisi Pencemaran dan/atau Perusakan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil... 101

2. Sumber Pencemaran dan Perusakan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil... 105

BAB IV KEWENANGAN PEMERINTAH TERHADAP WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL... 111

A. Konsep Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil... 111

1. Asas-Asas Pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil... 114

2. Tujuan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil... 125

3. Proses pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil... 125

B. Kewenangan Pemerintah dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil... 129

1. Kewenangan Pemerintah Pusat………... 132

2. Kewenangan Pemerintah Provinsi…………...…... 139

(15)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………...………. 159

A. Kesimpulan... 159

B. Saran... 162

(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1 Pembagian Zona Pesisir Berdasarkan Morfologi dan Proses

Gelombang………... 91

Gambar 3.2 Batas Permukaan Air Rendah dan Tinggi……… 96

(17)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Mekanisme Penyusunan Rencana Menurut UUPWPPPK……….. 63

(18)

ABSTRAK

Sebagai Negara kepulauan dengan panjang pantai 81.000 km dan 22% dari total penduduk Indonesia mendiami wilayah pesisir menjadikan wilayah pesisir sebagai salah satu pusat kegiatan ekonomi yang paling produktif ditinjau dari sumber daya alamnya baik hayati maupun non hayati. Pasca dikeluarkannya Undang-undang 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, setiap daerah diberikan kewenangan dalam pengelolaan wilayah laut beserta pesisir dan pulau-pulau kecil dalam radius 12 mil dari garis pantai. Penyerahan kewenangan pengelolaan ini berpotensi terjadinya perusakan dan pencemaran wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil bila pengelolaannya tidak diatur secara lebih khusus melalui undang-undang. Sehingga pada tahun 2007 lahirlah Undang-undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil nomor 27 tahun 2007. Dari latarbelakang diatas, dapat diangkat permasalahan tentang bagaimana peraturan hukum memberikan perlindungan terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, bagaimana batasan serta definisi ruang lingkup, jenis ekosistem dan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil termasuk definisi dan sumber pencemaran dan/atau perusakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada, dan permasalahan yang ketiga adalah bagaimana kewenangan pemerintah terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tersebut. Kerangka teori yang dibangun adalah Teori Negara Hukum (welfare state), Teori Hukum Pembangunan, dan Teori Negara Kepulauan. Jenis penelitian adalah penelitian hukum normatif dengan teknik pengumpulan data melalui penelitian kepustakaan (library research), dan sumber data adalah data primer yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

Dari hasil penelitian didapati bahwa mulai dari ketentuan internasional sampai dengan peraturan nasional telah memberikan perlindungan terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, adapun secara khusus konsep dasar perlindungan hukum terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dari menurut UUPWPPPK adalah memberikan perlindungan mulai dari perencanaan, pengelolaan sampai dengan pengawasan dan pengendalian. Meskipun sebelumnya beberapa pasal dalam UUPWPPPK cendrung mendekati privatisasi WPPPK namun dengan terbitnya Keputusan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 16 Juni 2011 yang membatalkan pasal-pasal tersebut. Sehingga untuk saat ini UUPWPPPK materi UUPWPPPK sudah lebih baik dan konsisten dalam menjalankan amanat Pasal 33 UUD 1945.

(19)

Kewenangan pemerintah terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil telah dilandasi dari berbagai asas mulai dari prinsip dasar perlindungan lingkungan secara umum sampai dengan asas-asas pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Penerapan asas-asas tersebut telah diterapkan didalam setiap pasal-pasalnya, khusus mengenai kewenangan pemerintah yang terdiri dari pemerintah pusat, provinsi dan Kabupaten telah diatur di dalam UUPWPPPK dan peraturan pelaksana dibawahnya.

Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa secara normatif peraturan perundang-undangan kita telah memberikan perlindungan hukum terhadap WPPPK dan telah memberikan batasan kewenangan yang jelas baik antara kewenangan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota.

(20)

ABSTRACT

As an archipelagic state with the coastline of 81.000 km long, 22% of the total population of Indonesia lives in the coastal area, one of the most productive economic activity centers viewed from its natural resources in terms of both biological and non-biological. After the issuance of Law No.32/2004 on local Government, each local government is given an authority to manage its water territory, coastal areas and small islands within the radius of 12 miles from its coastline. The transfer of this management authority can create a potential destruction and pollution of coastal areas and small islands if the management applied is not regulated more spescifically through laws. For this reason, Law No.27/2007 on Coastal Area and Small Island Management was issued. Based on the above background, the problem to be solves in this study were, first, how the law provides protection to the coastal areas and small islands; second, how scope, type of ecosystem, coastal resources and small island, recources of pollution and/or damage are define based on exiting regulation of legislation; and third, to what extent, the authority of government is towards the coastal area and small islands. The theoretical frameworks built are the Theory of Constitutional State, Theory of Development Law, and Theory of Archipelagic State. This is a normative legal study whose data, in the form of primary, secondary and tertiary legal materials, were obtained through library research.

The result of this study showed that, in practice, either international or national regulations has protected the coastal areas and small islands, and specifically, the basic concept of legal protection for coastal areas and small islands according to Law No. 27/2007 is to several articles of Law No.27/2007 used to tend to lead to privatitation of coastal areas and small islands, yet with the issuance of the Decree of Constitutional Court canceling those articles on June 16, 2011,, the materials of Law No. 27/2007 is better and consistent in implementing the mandate of articles 33 of 1945 Constitution.

Law No. 27/2007 on the Management of Coastal Areas and Small Islands has given a clear definition of various definitions of the scope of Coastal Area and Small Islands Management, various kinds of coastal resources, and definition of pollution. Yet, several understandings on the definition of coast and coastal area, types of ecosystem forming coastal areas, and the definition or act of damaging can be found in the other laws which is in accordance with the mandate of article 78 of Law No. 27/2007 that justify the validity of the other laws as long as they are not against Law No. 27/2007 and in case the definitions are not found in the laws, the opinion of expert is used to provide the definition.

(21)

government comprising central, provincial and district governments which has been regulated in Law No. 27/2007 and its implementation regulation.

Base on the above description, the conclution drawn is that, normatively, our regulation of legislation has provided legal protection for coastal areas and small islands and clear definition of authority between that of central, provincial, district/municipal government.

(22)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Memperhatikan konteks nasional mengenai bentuk negara yang ada,

Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki lebih dari 17.5081 pulau dengan

luas wilayah perairan laut lebih dari 75 % dan panjang garis pantai mencapai 81.000

km. Dengan demikian, pengelolaan sumber daya pesisir dan laut secara berkelanjutan

merupakan bagian penting dalam strategi pembangunan untuk meningkatkan daya

saing nasional.2

Luas daratan Indonesia mencapai 1,9 juta km2 dan luas perairan laut kurang

lebih 7,9 juta km2. Sebanyak 22 persen dari total penduduk Indonesia mendiami

wilayah pesisir. Ini berarti bahwa daerah pesisir merupakan salah satu pusat kegiatan

ekonomi nasional melalui kegiatan masyarakat seperti perikanan laut, perdagangan,

budidaya perikanan (aquakultur), transportasi, pariwisata, pengeboran minyak dan

sebagainya. Seperti diketahui bahwa secara biologis wilayah pesisir merupakan

lingkungan bahari yang paling produktif dengan sumber daya maritim utamanya

1

Pada beberapa buku yang membahas masalah kelautan seperti Mochtar kusumaatmaja dalam bukunya Hukum Laut Internasional menyatakan jumlah pulau-pulau Indonesia 13.000 pulau, Rokhman Dahuri dalam bukunya Keanekaragaman Hayati Laut Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia menyatakan 17.000 dan Mukhtasor dalam bukunya Pencemaran Pesisir dan Laut menyatakan 17.500 pulau, sedangkan Melda Kamil dalam bukunya, Hukum Internasional Hukum yang Hidup, menuliskan 17.504 pulau. Namun berdasarkan penelitian terakhir tentang pemukhtahiran data terbaru total jumlah pulau dan yang dipertegas dalam penjelasan undang-undang nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia menjelaskan bahwa “dalam wilayah perairan Indonesia terdapat lebih kurang 17.508 pulau yang berada di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia”, sehingga disini penulis menggunakan jumlah 17.508 pulau sebagai sebagai dasar dalam menyatakan jumlah seluruh pulau besar dan kecil yang ada di Indonesia.

2

(23)

seperti hutan bakau (mangrove), terumbu karang (coral reefs), padang lamun (sea

grass beds), estuaria, daerah pasang surut dan laut lepas serta sumber daya yang tak

dapat diperbaharui lainnya seperti minyak bumi dan gas alam.3

Wilayah pesisir sebagai sebuah daerah peralihan antara ekosistem darat dan

laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut4 dan pulau kecil5 sebagai

pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km² (dua ribu kilometer

persegi) beserta kesatuan Ekosistemnya6 mestilah dikelola secara berkelanjutan

sebagai bagian penting dalam strategi pembangunan untuk meningkatkan daya saing

nasional, dalam usaha pengelolaan pesisir dan laut, Departemen Kelautan dan

Perikanan (DKP) Republik Indonesia tahun 2001 mengidentifikasi tiga persoalan

pokok, yaitu : (1) persoalan sosial ekonomi, (2) persoalan kelembagaan, (3) persoalan

fisik7 dan (4) persoalan hukum akibat konflik kewenangan dan kepemilikan wilayah

pesisir dan laut serta ketidakpastian/ tumpang tindih pengaturan di bidang hukum8.

Sesuai dengan hakikat Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara

hukum, pengembangan sistem Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup

3

Asrul Pramudya, Kajian Pengelolaan Daratan Pesisir Berbasis Zonasi di Provinsi Jambi, (Semarang : Tesis Pasca Sarjana Magister Teknik Sipil Universitas Diponegoro, 2008), hal. 1-2.

4

Pasal 1 Angka 2, Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (UUPWPPK).

5

Definisi pulau kecil ini juga ditemui dalam pasal 121 ayat 2 KHL, dimana pulau didefinisikan sebagai massa daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi oleh air dan selalu berada/muncul diatas air pasang. Sedangkan definisi dari UNESCO (1991) menyatakan bahwa pulau kecil adalah pulau dengan luas area kuarang dari 2000 km².

(24)

harus diberi dasar hukum yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian

hukum bagi upaya pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil9 untuk itulah

dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah

Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (UUPWPPK) sebagai sebuah lex specialis dalam

pengelolaan dan perlindungan wilayah pesisir dan pulau kecil di Indonesia. Selain

UUPWPPK tersebut terdapat juga peraturan perundang-undangan lainnya yang akan

memberikan perlindungan hukum terhadap wilayah pesisir dan pulau kecil yang

nantinya akan dibahas pada bab selanjutnya.

Isu-isu pokok utama di kawasan pantai adalah pertumbuhan penduduk yang

cukup pesat yang cenderung tinggal dan beraktivitas di kawasan pantai. Sebagai

tempat yang strategis pantai dimanfaatkan untuk berbagai hal berupa eksploitasi

sumber daya perikanan, kehutanan, minyak, gas, tambang dan air tanah dan lain-lain.

Pantai sebagai daerah wisata, konservasi dan proteksi biodiversiti. Pantai digunakan

pula sebagai tempat perkembangan dan peningkatan infrastruktur antara lain berupa

transportasi, pelabuhan, bandara yang kesemuanya untuk memenuhi peningkatan

penduduk.10

Adapun isu lainnya yang berkenaan dengan pengelolaan wilayah pesisir dan

pulau kecil adalah mengenai adanya pembagian kewenangan daerah di wilayah laut

dan pesisir pasca dikeluarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

9

Penjelasan I.Umum, 1. Dasar Pemikiran, UUPWPPK.

10

(25)

Pemerintah Daerah, meliputi pembagian kewenangan pesisir dan laut yang

meliputi11:

1. Perairan kepulauan dalam kewenangan provinsi

2. Perairan kepulauan dalam kewenangan kabupaten/kota.

3. sedangkan perairan kepulauan lintas provinsi dan kawasan strategis

nasional tertentu merupakan kewenangan pusat12

Daerah yang memiliki wilayah laut diberi kewenangan mengelola sumber

daya di wilayah laut. Daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumber daya

alam di bawah dasar dan/atau di dasar laut sesuai dengan peraturan

perundang-undangan13 sehingga daerah juga berhak melakukan pembangunan sampai dengan

eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam hayati dan non hayati di sepanjang

pesisir pantai sampai ke wilayah laut mereka. Namun dengan adanya pemberian

wewenang ini juga akan membawa suatu konsekuensi negatif terhadap wilayah

pesisir dan laut nasional akan menderita kerusakan fisik dalam skala yang parah.

Kerusakan itu termasuk di antaranya adalah abrasi dan sedimentasi pantai,

berkurangnya produksi ikan akibat overfishing (penangkapan ikan berlebihan) di

beberapa lokasi perairan laut, kerusakan ekosistem terumbu karang dan hutan bakau,

serta kerusakan kualitas air laut akibat pencemaran pesisir dan laut.14 Termasuk

diantaranya isu administrasi, hukum seperti otonomi daerah, peningkatan PAD

11

Pasal 18 angka 4, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

12

Pasal 50 angka 1, UU PWPPK.

13

Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2007), hal. 436.

14

(26)

(Pendapatan Asli Daerah), konflik-konflik daerah dan sektoral merupakan persoalan

yang harus dipecahkan bersama melalui manajemen kawasan pantai terpadu.15

Perubahan atau perkembangan kualitas lingkungan hidup juga dapat terjadi

tanpa campur tangan melalui kegiatan pembangunan. Artinya secara alamiah atau

tanpa intervensi manusia, kualitas lingkungan juga dapat berubah. Terjadinya

peristiwa alam, seperti longsor dan banjir akan menyebabkan perubahan kualitas

lingkungan. Apakah perubahan ini dapat pulih atau tidak, bergantung pada daya

lenting lingkungan itu sendiri.16 Namun kerusakan dan pencemaran lingkungan

makin dipercepat karena meningkatnya aktivitas manusia dan sifat manusia yang

serakah.17

Guna melindungi lingkungan wilayah laut yang meliputi wilayah pesisir,

perairan dan pulau kecil dari berbagai bentuk pencemaran dan perusakan akibat

pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil, di sinilah penulis melihat perlunya ada

penelitian yang mengkaji sejauhmanakah peraturan perundang-undangan juga

memberikan perlindungan hukum terhadap berbagai potensi pencemaran dan

perusakan terhadap wilayah pesisir, perairan dan pulau kecil akibat pengelolaan

wilayah berdasarkan kewenangan daerah.

15

Asrul Pramudya, Op.Cit., hal. 3.

16

K.E.S. Manik, Pengelolaan Lingkungan Hidup, (Jakarta : Djambatan, 2003 ), hlm. 41.

17

(27)

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian-uraian diatas maka permasalahan yang di kemukakan

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah peraturan perundang-undangan memberikan perlindungan

hukum terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil?

2. Bagaimanakah batasan pengertian ruang lingkup, ekosistem dan

pencemaran/perusakan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil menurut

peraturan perundang-undangan?

3. Bagaimanakah kewenangan pemerintah terhadap wilayah pesisir dan

pulau-pulau kecil menurut peraturan perundang-undangan?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang akan di capai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui peraturan perundang-undangan yang memberikan

perlindungan terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil melalui

inventarisasi peraturan perundang-undangan yang ada menurut hukum

internasional sampai kepada hukum nasional secara.

2. Untuk mengetahui batasan pengertian menurut beberapa peraturan

perundang-undangan tentang ruang lingkup, berbagai jenis ekosistem

pembentuk pesisir dan pulau kecil, sumber daya pesisir dan pulau kecil

(28)

penyebab pencemaran dan/atau perusakan wilayah pesisir dan pulau-pulau

kecil.

3. Untuk mengetahui berbagai kewenangan pemerintah, pemerintah daerah,

serta kabupaten/kota dalam mengelola wilayah pesisir dan pulau-pulau

kecil berdasarkan undang pemerintahan daerah dan

undang-undang pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai lex specialis

beserta kewenangan menurut peraturan pelaksana dibawahnya.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki manfaat teoritis dan praktis. Adapun kegunaan

tersebut adalah sebagai berikut :

1. Secara Teoritis

Manfaat penelitian ini adalah sebagai bahan atau data informasi di bidang

ilmu hukum bagi kalangan akademisi untuk mengetahui perlindungan hukum wilayah

pesisir dan pulau-pulau kecil menurut UUPWPPPK dan peraturan pelaksana

dibawahnya.

2. Secara Praktis

Manfaat penelitian ini secara praktis sebagai bahan masukan bagi aparat

penegak hukum mulai dari pembuat undang-undang (DPR/DPRD) dan pemerintah

(Kabupaten/kota, Propinsi dan Pusat) sebagai eksekutif agar mempunyai perspektif

(29)

Dan memberikan pencerahan secara normatif terhadap kalangan akademisi dan

masyarakat pada umumnya.

E. Keaslian Penelitian

Bahwa berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di

perpustakaan Univeritas Sumatera Utara diketahui bahwa penelitian tentang

”Perlindungan Hukum Terhadap Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Ditinjau Dari

Kewenangan Daerah” belum pernah dilakukan baik dalam pendekatan dan

perumusan masalah yang sama. Sehingga diharapkan dengan penelitian ini akan

dapat memberikan pencerahan dalam bidang pengembangan hukum lingkungan dan

wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil pada khususnya.

Jadi penelitian ini adalah benar-benar asli karena telah sesuai dengan

asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, objektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat

dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas segala kritikan

(30)

F. Kerangka Teori dan Konsepsional

1. Kerangka Teori

Menurut Kaelan M.S. landasan teori suatu penelitian adalah merupakan

dasa-dasar operasional penelitian. Landasan teori dalam suatu penelitian adalah bersifat

strategis artinya memberikan relisasi pelaksanaan penelitian18.

Ditinjau dari latar belakang masalah yang telah dikemukaan di awal tulisan,

maka landasan teori utama (Grand Theory) yang digunakan dalam kajian ini adalah

teori “Negara Hukum Kesejahteraan / welfare state”. Untuk mendukung teori utama

(grand theory) ini digunakan teori “Hukum Pembangunan” dari Mochtar

Kusumaatmadja sebagai middle range theory, sedangkan untuk applied theory

menggunakan teori19 “Negara Kepulauan” sebagai kerangka pelaksanaan pengelolaan

wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Berikut penjelasan dari teori tersebut :

a. Teori Negara Hukum Kesejahteraan / welfare state

Menurut Otje Salman dan Anton F. Susanto, pada dasarnya Negara kita sudah

menganut paham Negara Hukum Kesejahteraan / welfare state, sebagai mana yang

terdapat pada alinea pembukaan UUD 1945 alinea ke empat.20

18

Kaelan M.S., Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat (Paradigama Bagi Pengembangan Penelitian Interdisipliner Bidang Filsafat, Budaya, Sosial, Semiotika, Sastra, Hukum dan Seni), (Yogyakarta : Paradigma, 2005), hal. 239.

19

Syamsuharya Bethan, Penerapan Prinsip Hukum Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup dalam Aktifitas Industri Nasional (Sebuah Upaya Penyelamatan Lingkungan Hidup dan Kehidupan Antar Generasi), (Bandung : Alumni, 2008), hal. 24.

20

(31)

Alinea IV Undang-Undang Dasar 1945 yaitu :

“... Untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia...”

Selain itu Pancasila dalam sila-silanya juga mengatur bagaimana Negara

memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sehingga

sebagai landasan idiil dan landasan konstitusional, maka segenap kegiatan dan

pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil mestilah bertujuan untuk

mensejahterakan rakyat Indonesia dan masyarakat pesisir terutama masyarakat

nelayan.

Dalam Negara modern dewasa ini yang dikenal dengan istilah “Welfare

State“ atau Negara Kesejahteraan, mempunyai kewajiban untuk menyelenggarakan

kesejahteraan rakyatnya. Dengan demikian pemerintah dituntut untuk bertindak

menyelesaikan segala aspek/ persoalan yang menyangkut kehidupan warga

negaranya, walaupun belum ada dasar aturan yang mengaturnya. Atas dasar ini maka

pemerintah ddiberikan kebebasan untuk dapat melakukan/ bertindak dengan suatu

inisiatif sendiri untuk menyelesaikan segala persoalan atau permasalahan guna

kepentingan umum. Kebebasan untuk dapat bertindak sendiri atas inisiatif sendiri itu

disebut dengan istilah “Freis Ermessen”.21

21

(32)

Konsep Negara hukum dipelopori oleh Immanuel Kant. Tujuan negara

menurut Kant, ialah menegakkan hak-hak dan kebebasan-kebebasan warganya.

Rakyat tidak usah tunduk pada undang-undang yang tidak lebih dulu mendapat

persetujuan dari rakyat sendiri dan bahwa rakyat dan pemerintah bersama-sama

merupakan subjek hukum dan bahwa hidup rakyat sebagai manusia dalam negara,

bukanlah karena kemurahan hati pemerintah tapi adalah berdasarkan hak-hak

kekuatan sendiri.22

Kant membentangkan suatu teori tentang negara hukum dalam arti sempit

(rechts staat in enge zin). Teorinya menjadi dasar kenegaraan bagi ekonomi liberal

(merdeka) yang dilakukan diseluruh dunia Barat selama abad ke-1923 sampai

sekarang. Meskipun negara Indonesia juga merupakan negara hukum24 namun tentu

saja dalam konsep negara hukum yang dianut adalah negara hukum berdasarkan

Pancasila25 dan UUD 1945 yang secara khusus mengenai perekonomian tercantum

pada Bab XIV tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial dalam Pasal artinya : bebas, merdeka, tidak terikat Ermessen : menilai, memperimbangkan sesuatu. Artinya kepada Administrasi Negara diberikan kebebasan untuk bertindak atas inisiatif sendiri melakukan perbuatan-perbuatan guna menyelesaikan persoalan-persoalan yang mendesak dengan cepat guna kepentingan umum/ kesejahteraan umum. Jadi Freies Ermessen bertujuan untuk kesejahteraan umum yang merupakan keputusan administrasi Negara untuk tercapainya suatu tujuan/ sasaran dan berbeda dengan keputusan hakim yang bertujuan menyelesaikan suatu sengketa sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Pemberian Freies Ermessen kepada administrasi Negara untuk kesejahteraan umum, tapi dalam kerangka Negara hukum. Freies Ermessen ini tidak boleh digunakan tanpa batas dan tidak boleh disalahgunakan, untuk itu unsure-unsur Freies Ermessen adalah : 1. Dilakukan untuk kepentingan umum/ kesejahteraan umum, 2. Dilakukan atas inisiatif administrasi Negara itu sendiri, 3. Untuk menyelesaikan masalah konkrit dengan cepat yang timbul secara tibatiba, 4. Tindakan itu dimungkinkan oleh hukum, Contoh : Polisi lalu lintas menyelesaikan masalah kemacetan lalu lintas dengan mengalihkan/ mengatur kendaraan melanggar rambu lalu lintas.

22

Solly Lubis, Ilmu Negara, (Bandung, Mandar Maju, 2007), hal. 49.

23

Idem., hal. 50.

24

Pasal 1 ayat 3, UUD 1945.

25

(33)

33 UUD 1945 inilah yang akan membedakan konsep perekonomian bangsa kita

dengan konsep perekonomian negara liberal yang dimaksudkan oleh Kant.

b. Teori Hukum Pembangunan

Pada dasarnya, dalam sejarah perkembangan hukum di Indonesia maka salah

satu teori hukum yang banyak mengundang atensi dari para pakar dan masyarakat

adalah mengenai Teori Hukum Pembangunan dari Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmaja,

S.H., LL.M. Ada beberapa argumentasi krusial mengapa Teori Hukum Pembangunan

tersebut banyak mengundang banyak atensi, yang apabila dijabarkan aspek tersebut

secara global adalah sebagai berikut26 :

Pertama, Teori Hukum Pembangunan sampai saat ini adalah teori hukum

yang eksis di Indonesia karena diciptakan oleh orang Indonesia dengan melihat

dimensi dan kultur masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, dengan tolok ukur dimensi

teori hukum pembangunan tersebut lahir, tumbuh dan berkembang sesuai dengan

kondisi Indonesia maka hakikatnya jikalau diterapkan dalam aplikasinya akan sesuai

dengan kondisi dan situasi masyarakat Indonesia yang pluralistik.

Kedua, secara dimensional maka Teori Hukum Pembangunan memakai

kerangka acuan pada pandangan hidup (way of live) masyarakat serta bangsa

Indonesia berdasarkan asas Pancasila yang bersifat kekeluargaan maka terhadap

26

(34)

norma, asas, lembaga dan kaidah yang terdapat dalam Teori Hukum Pembangunan

tersebut relatif sudah merupakan dimensi yang meliputi structure (struktur), culture

(kultur) dan substance (substansi).

Ketiga, pada dasarnya Teori Hukum Pembangunan memberikan dasar fungsi

hukum sebagai “sarana pembaharuan masyarakat” (law as a toolsocial engeneering)

dan hukum sebagai suatu sistem sangat diperlukan bagi bangsa Indonesia sebagai

negara yang sedang berkembang.

Meskipun teori Mochtar berdasarkan teori Roscoe Pound yaitu ”law as a tool

social engeneering” namun terdapat perbedaan filosofi yang sangat mendalam dari

pengertian menurut keduanya. Sebagai penganut aliran Pragmatic Legal Realism,

Pound memberi artian konsep hukumnya adalah bahwa hukum dapat berperan

sebagai ”alat” pembaharuan masyarakat.27 Lain halnya dengan Mochtar, ia lebih

memberikan pengertian mengenai konsep hukumnya bahwa hukum sebagai sarana

pembaharuan masyarakat.28

Menurut Mochtar, terdapat hubungan erat antara hukum dengan kekuasaan,

bahwa hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan dan kekuasaan tanpa hukum

adalah kelaliman.29 Sehingga hukum dan kekuasaan mestilah sejalan dan searah,

sebagai penganut paham positivisme30, menurut John Austin, hukum itu merupakan

27

Otje Salman, Op.Cit, hal. 14.

28

Idem., hal. 6.

29

Idem., hal.8.

30

(35)

perintah dari pengusa, dalam arti bahwa perintah dari mereka yang memegang

kekuasaan tertinggi atau dari yang memegang kedaulatan. Bahwa hukum adalah

perintah yang dibebankan untuk mengatur makhluk berpikir, perintah yang dilakukan

oleh makhluk yang berpikir yang memegang dan mempunyi kekuasaan.31

Bila dikaitkan dengan konsep menjalankan perintah penguasa tersebut, pada

dasarnya tiap-tiap manusia memiliki kebebasan, tapi dalam hidup bersama ia

mempunyai tanggungjawab menciptakan hidup bersama yang tertip, dan untuk

menciptakan hidup bersama yang tertip itulah perlu pedoman-pedoman objektif yang

harus dipatuhi bersama pula. Pedoman inilah yang disebut dengan ”hukum”. Menurut

Hans Kelsen, sumber pedoman-pedoman objektif tersebut bersumber dari grundnorm

(norma dasar). Grundnorm menyerupai sebuah pengandaian tentang tatanan yang

hendak diwujudkan dalam hidup bersama (dalam hal ini negara)32.

Dengan menggunakan ajaran Stufenbautheori, ia berpendapat bahwa suatu

sistem hukum adalah hierarkis dari hukum di mana suatu ketentuan hukum tertentu

bersumber dari ketentuan hukum yang lainnya yang lebih tinggi. Sebagai ketentuan

yang lebih tinggi adalah grundnorm atau norma dasar yang bersifat hipotesis.

Ketentuan yang lebih rendah adalah lebih konkret daripada ketentuan yang lebih

orang-orang Indonesia, maka kebiasaan bukanlah hukum kecuali jika undang-undang menentukan”. Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2007), hal. 56. Selain itu lihat juga isi Pasal 1 ayat 1 KUHP ”nulum delictum nulla poena sine praevia lege poenali” tidak ada hukuman tanpa undang-undang.

31

Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2007), hal. 58.

32

(36)

tinggi.33 Sebagai contoh, dapat di lihat pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 7 angka 1, yang

menetapkan hirarki dan tata urutan peraturan perundang-undangan adalah :

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

c. Peraturan Pemerintah;

d. Peraturan Presiden;

e. Peraturan Daerah, meliputi34 :

1. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah

provinsi bersama dengan gubernur;

2. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat

daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota;

3. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan

perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau

nama lainnya.

Seluruh sistem perundang-undangan mempunyai suatu struktur piramida

(mulai dari yang abstrak yakni grundnorm sampai yang konkret seperti

undang-undang, peraturan pemerintah, dan lain sebagainya). Jadi menurut Kelsen, cara

33

Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Op.Cit, hal. 61.

34

(37)

mengenal suatu aturan yang legal dan tidak legal adalah dengan mengeceknya

melalui logika stufenbau itu, dan grundnorm menjadi batu uji utama.35

Sebagai pilar utama negara hukum, maka menganut yaitu asas legalitas

(legaliteitsbeginsel atau het beginsel van wetmatigheid van bestuur), berdasarkan

prinsip ini tersirat bahwa wewenang pemerintahan berasal dari peraturan

undangan, artinya sumber wewenang bagi pemerintah adalah peraturan

undangan. Secara teoritis, kewenangan yang bersumber dari peraturan

perundang-undangan tersebut diperoleh melalui tiga cara yaitu : atribusi, delegasi, mandat.36

Telah disebutkan bahwa asas legalitas merupakan dasar dalam setiap

penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan. Dengan kata lain, setiap

penyelanggaraan harus memiliki legitimasi, yaitu kewenangan yang diberikan oleh

undang-undang. Dengan demikian, substansi asas legalitas adalah wewenang, yakni

Het vermogen tot het verrichten van paalde rechtshandelingen” kemampuan untuk

melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu.37

Azas-azas yang mesti dipatuhi dan dijalankan dalam pelaksanaan

undang-undang baik secara vertikal maupun horizontal38, dalam rangka pelaksanaan konsep

stufenbautheori diatas, maka perraturan-peraturan negara di dalam keberlakuannya

berpedomen pada asas-asas perundang-undangan. Asas dapat diartikan sebagai

aksioma yang memberi jalan pemecahannya jika sesuatu aturan diperlakukan atau

35

Bernard L. Tanya dkk, Op.Cit, hal. 128.

36

Idem, hal. 103-104.

37

Idem, hal. 100-101.

38

(38)

aturan yang mana harus diperlakukan bila terjadi bentrokan beberapa aturan dalam

pelaksananya39. Asas-asas dimaksud antara lain :

1. Asas Lex speciali derogat legi generali;

Bahwa undang yang bersifat khusus mengenyampingkan

undang-undang yang bersifat umum, di mana pembuat undang-undang-undang-undang itu sama.40

2. Asas Lex posteriore lex priori;

Yaitu apabila undang yang berlaku belakangan membatalkan

undang-undang yang berlaku terdahulu, di mana hal yang diatur oleh kedua undang-undang-undang-undang

tersebut mengenai suatu hal yang tertentu walau dalam makna dan tujuan berbeda

atau bertentangan sekalipun.41

3. Lex superior derogat legi inferiori42

Merupakan asas dimana peraturan yang lebih tinggi mengenyampingkan

peraturan yang lebih rendah.

Peranan hukum dalam pembangunan nasional, menurut Mochtar

Kusumaatmadja adalah untuk menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan cara

yang teratur43. Pembangunan dalam arti seluas-luasnya meliputi segala segi dari

kehidupan masyarakat dan tidak hanya segi kehidupan ekonomi belaka, karena kita

39

Faried Ali, Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 197.

40

Ibid.

41

Idem, hal.198.

42

Yuliandri, Loc.Cit.

43

(39)

tidak dapat membangun ekonomi suatu masyarakat tanpa menyangkutkan

pembangunan segi-segi kehidupan masyarakat lainnya. 44

c. Teori Negara Kepulauan

Konsep negara Kepulauan pada dasarnya sudah jauh lebih dahulu lahir

sebelum adanya pengesahan mengenai konsep ini oleh PBB. Negara kepulauan

Indonesia yang oleh bangsa Indoensia sendiri desebut dengan istilah khusus

Nusantara, karena Indonesia ini berwujud suatu bentangan perairan (lautan) yang

didalamnya tersesak banyak gugusan pulau-pulau besar dan kecil yang menjadi satu

kesatuan justru karena adanya perairan tersebut. Memang bangsa Indonesia dalam

memberikan nama tanah tumpah darahnya (tanah kelahirannya) menggunakan kata

tanah air, yang merupakan satu peristilahan sebagai pengganti kata benda yaitu

kepulauan Indonesia.45

Pengukuhan secara politik mengenai nusantara sebagai sebuah pandangan

politik mengenai cara pandang seluruh tanah air adalah satu kesatuan dikenal dengan

istilah konsep wawasan nusantara yang lahir pada tanggal 13 Desember 1957, yang

dikenal dengan istilah Deklarasi Djuanda 1957 karena dibuat waktu pemerintahan

dengan Perdana Menteri Ir. Djuanda.46

44

Ibid.

45

Toto Pandoyo, Wawasan Nusantara dan Implementasinya dalam UUD 1945 Serta Pembangunan Nasional, (Jakarta : Bina Aksara, 1985), hal. 10.

46

(40)

Dengan lahirnya konsep wawasan nusantara tersebut, maka pemanfaatan dan

pengelolaan khusus bidang kelautan, mau tidak mau mesti menjadi prioritas

mengingat kondisi Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan sebagai mana yang

dinyatakan dalam Deklarasi Juanda yang merupakan cikal bakal lahirnya konsep baru

yang diterima masyarakat dunia sebagai Negara Kepulauan. Konsep kepulauan itu

sendiri mulai berkembang sejak abad ke-19 dalam hukum Internasional. Pada abad

ini masalah yang timbul mengenai konsepsi kepulauan ialah bagaimana

mempersatukan dan mengelompokkan gugusan pulau kecil dan batu-batu karang

yang terdapat di lepas pantai agar dapat ditentukan negara mana yang

menguasainya.47

Terwujudnya Konvensi tentang Hukum Laut tahun 1982 (UNCLOS 1982),

merupakan hal yang sangat penting bagi bangsa Indonesia, karena dalam Konvensi

ini ketentuan-ketentuan mengenai negara kepulauan yang telah diperjuangkan selama

25 tahun yaitu sejak Konferensi PBB tentang Hukum Laut I (1958). Dengan

demikian dapat dikatakan bahwa konsepsi negara kepulauan telah mendapat

pengakuan internasional. Sebagai anggota masyarakat internasional, Indonesia

memerlukan pengakuan terhadap konsepsi yang merubah status perairan dan dasar

laut kepulauan Indonesia yang sebelumnya merupakan laut lepas menjadi perairan

dan dasar laut yang berada di bawah kedaulatan Indonesia bagi kepantingan

internasional. Dengan adanya pengakuan ini kedaulatan dan yurisdiksi Indonesia

47

(41)

berdasarkan konsep kepulauan menjadi terjamin dan dihormati oleh masyarakat

internasional.48

Sejak diumumkannya Deklarasi tanggal 13 Desember 1957 Pemerintah

Indonesia terus memperjuangkan agar konsepsi hukum negara kepulauan diterima

dan diakui masyarakat internasional. Perjuangan tersebut akhirnya telah

menghasilkan pengaku-an masyarakat internasional secara universal (semesta) yaitu

dengan diterimanya pengaturan mengenai asas dan rezim hukum negara kepulauan

(Archipelagic State) dalam Bab IV Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang

Hukum Laut Tahun 1982.49 atau yang dikenal dengan United Nations Convention

Law of the Sea 1982 / UNCLOS 1982. Ketentuan Internasional ini telah kita ratifikasi

menjadi Undang-undang nomor 17 tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations

Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang

Hukum Laut).

Salah satu unsur utama didalam definisi ”archipelago” ini adalah kata-kata

which are so closely inter-related” sehingga semua itu merupakan ”an intrisic

geographical, economic and political entity”. Dengan definisi ini, maka unsur

kesatuan harus ada dengan jelas, yaitu kesatuan geografis, ekonomis dan politis.

Suatu gugusan pulau yang walaupun berdekatan satu sama lain, belum tentu akan

menjadi kepulauan jika gugusan tersebut tidak merupakan suatu kesatuan politis dan

ekonomis; sebaliknya suatu gugusan atau gugusan-gugusan pulau merupakan suatu

48

Idem., hal. 97.

49

(42)

keatuan ekonomi dan politis tetapi terletak terlalu jauh antara yang satu dengan yang

lainnya, tidak ”so closely inter-related” juga tidak akan menjadi archipelago. Dengan

demikian, maka salah satu kunci utama untuk menjadikan suatu gugusan pulau-pulau

sebagai ”archipelago” adalah bentuknya yang merupakan suatu ”group” dan adanya

unsur ”so closely inter-related”. Sedangkan unsur ”sejarah”, adalah unsur yang tidak

perlu ada, tetapi jika ada dapat memperkuat unsur kesatuan tersebut.50

Negara kepulauan menurut UNCLOS 1982 berarti suatu Negara yang

seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau

lain. Kepulauan itu sendiri mengandung artian sebagai suatu gugusan pulau, termasuk

bagian pulau, perairan di antaranya dan lain-lain wujud alamiah yang hubungannya

satu sama lainnya demikian eratnya sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud

alamiah lainnya itu merupakan suatu kesatuan geografi, ekonomi dan politik yang

hakiki, atau yang secara historis dianggap sebagai demikian.51

Menimbang bentuk negaranya yang terdiri dari pulau-pulau, maka suatu

negara kepulauan dapat menarik garis pangkal lurus kepulauan yang

menghuibungkan titik-titik terluar pulau-pulau dan karang-karang terluar kepulauan

itu, dengan ketentuan bahwa di dalam garis pangkal demikian termasuk pulau-pulau

utama dan suatu daerah dimana perbandingan antara daerah perairan dan daerah

50

Badan Penelitian dan..., Op.Cit, hal. 47.

51

(43)

daratan, termasuk atol, adalah antara satu berbanding satu dan sembilan berbanding

satu.52

Kedaulatan suatu negara kepulauan meliputi perairan yang ditutup oleh garis

pangkal kepulauan, yang disebut sebagai perairan kepulauan, tanpa memperhatikan

kedalaman atau jaraknya dari pantai. Kedaulatan ini meliputi ruang udara di atas

kepulauan, juga dasar laut dan tanah di bawahnya, dan sumber kekayaan yang

terkandung di dalamnya.53

Penentuan daerah kedaulatan dan hak berdaulat suatu negara atas sumber daya

alam yang mereka miliki tidak lepas dari betapa pentingnya penentuan garis pangkal

sebagai penentuan batas elevasi surut pantai suatu negara, bila garis elevasi surut

pantai sudah diketahui maka barulah garis pangkal ditentukan. Suatu elevasi surut

adalah suatu wilayah daratan yang terbentuk secara alamiah yang dikelilingi dan

berada di atas permukaan laut pada waktu air surut, tetapi berada di bawah

permukaan laut pada waktu air pasang. Dalam hal suatu evaluasi surut terletak

seluruhnya atau sebagian pada suatu jarak yang tidak melebihi lebar laut teritorial

dari daratan utama atau suatu pulau, maka garis air surut pada elevasi demikian dapat

digunakan sebagai garis pangkal untuk maksud pengukuran lebar laut teritorial.54

Ada 3 (tiga) tipe garis pangkal menurut Unclos 1982 yaitu garis pangkal biasa

/normal, garis pangkal lurus / straight, and garis pangkal kepulauan / straight

52

Pasal 47 angka 1, KHL 1982.

53

Pasal 49 angka 1 dan 2, KHL 1982.

54

(44)

archipelagic.55 Kegunaan garis pangkal inilah yang nantinya akan digunakan secara

umum oleh setiap negara guna menentukan dasar penarikan garis teritorial, zona

tambahan, zona ekonomi ekslusif sampai dengan landas kontinen. Sedangkan secara

khusus dengan adanya penetuan garis pangkal inilah nantinya akan dapat ditentukan

tapal batas wilayah provinsi dan/atau kabupaten kota terhadap penentuan batas

wilayah laut mereka.

Penentuan batas laut suatu daerah provinsi dan/atau kota nantinya juga akan

menggunakan tatacara sebagaimana yang telah diatur dalam TALOS (A Manual on

Technical Aspects of The United Nations Convention on The Law of The Sea-1982),

dimana batas wilayah laut terdiri atas beberapa teori teknik kelautan56, namun yang

umum digunakan adalah dengan menggunakan teori the equidistance line57 atau yang

dikenal juga dengan istilah median line/ garis tengah.

55

A Manual on Technical Aspects of The United Nations Convention on The Law of The Sea-1982 (TALOS), Special Publication No. 51 4th ed – March 2006 Published by the International Hydrographic Bureau Monaco, Chapter 4-2 Baseline. (petunjuk teknis mengenai hukum laut ini juga dikenal dengan istilah TALOS) Adapun definisi dari setiap garis pangkal tersebut, menurut UNCLOS yang diratifikasi dan digunakan sebagai dasar peristilahan yang nantinya diterjemahkan secara resmi pada isi pasal dalam undang-undang nasional yang mengatur masalah laut adalah :

The normal baseline is the basic element from which the territorial sea and other maritime zones are determined. It is defined as the low water line along the coast, as marked on large-scale charts of the coastal state (Article 5). Straight baselines are defined by straight lines that join points on the coastline which have been selected according to the criteria listed in Article 7. They delineate internal waters from territorial seas and other maritime zones. Straight archipelagic baselines define the periphery on an island group by joining the outermost islands with a succession of straight lines constructed in accordance with Article 47.

56

Idem, Chapter 6 mengenai Bilateral Boundaries, disebutkan terdapat beberapa teknik penentuan batas delimitasi laut yaitu : The Equidistance, Thalweg, Arbitrary Lines, Prolongation of land Boundaries, enclaving, dan pengembangan dari teori equidistance lainnya.

57

(45)

2. Kerangka Konsepsional

Untuk menyatukan persepsi dalam pembacaan dan pemahaman penulisan

antara pembaca dan penulis maka dipandang perlu untuk memberikan beberapa

kerangka konsepsi yang meliputi :

1. Wilayah Pesisir, sebagai daerah peralihan antara Ekosistem darat dan laut

yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. 58

2. Perairan Pesisir, sebagai wilayah laut yang berbatasandengan daratan meliputi

perairan sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang

menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa

payau, danlaguna.59

3. Pulau Kecil, adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km²

(dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan Ekosistemnya.60

4. Wilayah Perairan Indonesia meliputi laut teritorial Indonesia, perairan

kepulauan, dan perairan pedalaman.61

5. Laut Teritorial Indonesia adalah jalur laut selebar 12 (dua belas) mil laut yang

diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia.62

6. Perairan Kepulauan Indonesia adalah semua perairan yang ter-letak pada sisi

dalam garis pangkal lurus kepulauan tanpa mem-perhatikan kedalaman atau

jaraknya dari pantai.63

58

Pasal 1 angka 2 UUPWPPK.

59

Pasal 1 angka 3 UUPWPPPK.

60

Pasal 1 angka 7 UUPWPPPK.

61

Pasal 3 angka 1, Undang-Undang Nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.

62

(46)

7. Perairan Pedalaman Indonesia adalah semua perairan yang ter-letak pada sisi

darat dari garis air rendah dari pantai-pantai Indo-nesia, termasuk ke

dalamnya semua bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu

garis penutup.64

8. Garis pangkal lurus kepulauan adalah garis-garis lurus yang menghubungkan

titik-titik terluar pada garis air rendah pulau-pulau dan karang- karang kering

terluar dari kepulauan Indonesia65

9. Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh

pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan

dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara

Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.66

10. Pencemaran Pesisir adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup,

zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan pesisir akibat

adanya kegiatan Orang sehingga kualitas pesisir turun sampai ke tingkat

tertentu yang menyebabkan lingkungan pesisir tidak dapat berfungsi sesuai

dengan peruntukannya.

11. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses

perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian Sumber Daya

63

Pasal 3angka 3, Undang-Undang Perairan Indonesia.

64

Pasal 3angka 4, Undang-Undang Perairan Indonesia.

65

Pasal 5 angka 3, Undang-Undang Perairan Indonesia.

66

(47)

Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antarsektor, antara Pemerintah dan Pemerintah

Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan

manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.67

G. Metodologi Penelitian

1. Tipe, Pendekatan dan Jenis Penelitian

a. Tipe Penelitian

Tipe penelitian hukum yang digunakan adalah penelitian doktrinal (doctrinal

research), menurut Terry Hutchinson dalam Peter Mahmud Marzuki68 tipe ini adalah:

“research which provides a systematic exposition of the rules governing a

particular legal category, analyses the relatinship between rules, explain

areas of difficulty and, perhaps, predicts future development”

Lain lagi menurut Amirudin dan Zainal tipe penelitian doktrinal ini diartikan

sebagai suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku

maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan.69

b. Pendekatan Penelitian

Guna memecahkan permasalahan hukum yang ada dalam penelitian ini

penulis akan menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan

67

Pasal 1 Ayat 1, Bab I. Umum dalam Angka 3 mengenai Ruang Lingkup, UUPWPPK.

68

Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit., hal. 32.

69

(48)

dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan

isu hukum yang sedang ditangani.70

c. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

hukum normatif. Dimana menurut Soerjono Soekamto penelitian hukum normatif

adalah penelitian terhadap asas-asas hukum, sistematika hukum, sinkronisasi hukum,

sejarah hukum dan perbandingan hukum.71

2. Sumber Data dan Bahan Hukum

Jenis data dari sudut sumbernya dan kekuatan mengikatnya secara umum

dibagi atas dua bentuk72. Khusus dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan

sumber data sekunder yang diperoleh melalui bahan pustaka, yang dapat dibagi lagi

atas beberapa bahan hukum73:

a. Bahan Hukum Primer

Merupakan bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari berbagai peraturan

perundang-undangan baik tertulis maupun tidak tertulis. Khusus penelitian ini terdiri

dari berbagai peraturan mulai dari Undang Dasar 1945, Tap MPR,

Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang-undang Nomor

70

Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit., hal. 93.

71

Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994), hal. 13.

72

Menurut Soerjono Soekanto dalam bukunya Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 2008), hal. 51., jenis data dapat dibagi atas 2 (dua) yaitu data yang diperoleh langsung dari masyarakat (data empiris) dan data yang diperoleh dari bahan pustaka (data sekunder).

73

(49)

27 tahun 2007 tentang pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau, Undang-undang

nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan lingkungan Hidup,

Undang-undang no. 6 tahun 1996 tentang Perairan Nasional dan berbagai peraturan

pelaksana dari UUPWPPPK.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum ini merupakan data yang memberikan penjelasan terhadap

bahan hukum primer seperti RUU, hasil karya kalangan hukum seperti jurnal, buku,

diktat, laporan penelitian, dll.

c. Bahan Hukum Tersier74

Bahan yang memberikan bahan yang akan membantu memberikan petunjuk

dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti

ensiklopedi, indeks kumulatif, kamus, peta termasuk buku-buku dan tulisan-tulisan

pengarang diluar bidang hukum.

74

Khusus mengenai penggolongan data sekunder ini terdapat perbedaan antara Peter Mahmud Marzuki dalam bukunya Penelitian Hukum dan Zainuddin Ali dalam bukunya Metode Penelitian Hukum (Jakarta : Sinar Grafika, 2010) dengan Soejono Soekanto dalam buku Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta : UI Press, 2008), dan Bambang Sunggono dalam buku Metode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar). Dimana menurut pendapat Soejono Soekanto dan Bambang Sunggono data sekunder dapat dibagi menjadi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier sebagaimana yang telah dijadikan rujukan penulis dalam penelitian ini. Namun, bila merujuk pendapat Peter Mahmud Marzuki dan Zainuddin Ali, sumber penelitian hukum terdiri atas ::

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat autoriatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum ini terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.

2. Bahan hukum sekunder, semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, serta berbagai sumber hukum tertulis lainnya.

(50)

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah

penelitian kepustakaan (library research), yaitu melalui inventarisasi berbagai

peraturan perundang-undangan, penelusuran dokumen-dokumen maupun buku-buku

ilmiah untuk mendapatkan landasan teoritis berupa bahan hukum yang sesuai dengan

objek yang akan diteliti.

4. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah

dokumen berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku hukum, jurnal hukum,

tulisan lepas, artikel, kamus, peta dan berbagai tulisan lainnya termasuk bahan non

hukum yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap wilayah pesisir dan

pulau-pulau kecil.

5. Analisis Data

Setelah semua data terkumpul maka tahap selanjutnya adalah mengolah dan

menganalisis data. Teknik analisis data yang dipakai adalah teknik analisis kualitatif,

dimana dimana setelah semua data terkumpul, maka dilakukan pengolahan,

(51)

menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data. Selanjutnya semua data akan

diseleksi dan diolah, kemudian dianalisis secara deskriptif.75

Data yang diperoleh dari hasil penelitian akan dikumpulkan dan diedit dengan

mengelompokkan, menyusun secara sistematis, dan analisis secara kualitatif

selanjutnya dilakukan penarikan kesimpulan dengan menggunakan logika berfikir

deduktif ke induktif.76

75

M. Syamsudin, Opersionalisasi Penelitian Hukum, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 133.

76

(52)

BAB II

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WILAYAH PESISIR DAN

PULAU-PULAU KECIL

Setiap kehidupan bermasyarakat membutuhkan suatu tatanan perilaku yang

diakui sebagai kuat dan mengikat. Adalakanya itu hanya merupakan suatu

adat-istiadat atau dapat juga berupa norma-norma hukum, baik tertulis maupun tidak

tertulis. Tatanan perilaku itu merupakan pedoman sikap tindakan dan batasan-batasan

perilaku yang harus dipatuhi, dengan adanya untuk tidak mematuhinya. Sanksi

tersebut dapat datang dari masyarakat maupun dari pihak yang mempunyai kekuasaan

atas masyarakat tersebut. Sistem hukum adalah salah satu tatanan kehidupan yang

diterapkan dalam masayarakat, jika sistem hukum tersebut dijalankan di suatu

lingkup negara, maka disebut sebagai sistem hukum nasional. Sebaliknya jika sistem

hukum itu berlaku di antara negara-negara, maka ia disebut sebagai sistem hukum

internasional.77

77

Gambar

Tabel. 2.1. Mekanisme Penyusunan Rencana UUPWPPPK
Gambar 3.1.
Gambar 3.2. Batas Permukaan Air Rendah dan Tinggi
Gambar 3.4. Pembagian Ruang Laut Secara Vertikal
+2

Referensi

Dokumen terkait

Murbanto Sinaga : Pembangunan Wilayah Pesisir Pantai dan Pulau-Pulau Kecil Melalui Program…, 2006 USU Repository © 2006.. Gangguan ekosistem lingkungan pantai

hanya pada peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain.. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir. dan

1) Izin Lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) diberikan berdasarkan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. 2) Pemberian Izin Lokasi sebagaimana

(1) Kewenangan pengelolaan daerah perlindungan adat maritim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil oleh pemerintah daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal

Reklamasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan kegiatan mengusahakan kembali wilayah pesisir agar lahan tersebut yang tidak berguna atau kurang

1) Izin Lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) diberikan berdasarkan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. 2) Pemberian Izin Lokasi sebagaimana

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa strategi pengaturan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang integratif dan partisipatif dilakukan melalui

Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Provinsi Bali merupakan suatu sistem sumber daya alam dan lingkungan hidup berserta sistem sosial, budaya ekonomi dan pertahanan