ANALISA HUKUM TERHADAP PERLINDUNGAN WILAYAH
PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DITINJAU
DARI KEWENANGAN DAERAH
TESIS
Oleh
MARIA MAYA LESTARI
097005005 / HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
MEDAN
ANALISA HUKUM TERHADAP PERLINDUNGAN WILAYAH
PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DITINJAU
DARI KEWENANGAN DAERAH
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum
Dalam Program Magister Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara
Oleh
MARIA MAYA LESTARI 097005005 / HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
MEDAN
JUDUL TESIS : ANALISA HUKUM TERHADAP PERLINDUNGAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DITINJAU DARI KEWENANGAN DAERAH
NAMA MAHASISWA : Maria Maya Lestari
NOMOR POKOK : 097005005
PROGRAM STUDI : Ilmu Hukum
Menyetujui :
Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H.) Ketua
(Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., M.S.) (Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum.) Anggota Anggota
Ketua Program Studi Dekan
(Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H.) (Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum.)
Telah diuji pada
Tanggal 27 Juni 2011
PANITIA PENGUJI TESIS
KETUA : Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H.
ANGGOTA : 1. Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., M.S.
2. Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum.
3. Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum.
ABSTRAK
Sebagai Negara kepulauan dengan panjang pantai 81.000 km dan 22% dari total penduduk Indonesia mendiami wilayah pesisir menjadikan wilayah pesisir sebagai salah satu pusat kegiatan ekonomi yang paling produktif ditinjau dari sumber daya alamnya baik hayati maupun non hayati. Pasca dikeluarkannya Undang-undang 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, setiap daerah diberikan kewenangan dalam pengelolaan wilayah laut beserta pesisir dan pulau-pulau kecil dalam radius 12 mil dari garis pantai. Penyerahan kewenangan pengelolaan ini berpotensi terjadinya perusakan dan pencemaran wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil bila pengelolaannya tidak diatur secara lebih khusus melalui undang-undang. Sehingga pada tahun 2007 lahirlah Undang-undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil nomor 27 tahun 2007. Dari latarbelakang diatas, dapat diangkat permasalahan tentang bagaimana peraturan hukum memberikan perlindungan terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, bagaimana batasan serta definisi ruang lingkup, jenis ekosistem dan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil termasuk definisi dan sumber pencemaran dan/atau perusakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada, dan permasalahan yang ketiga adalah bagaimana kewenangan pemerintah terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tersebut. Kerangka teori yang dibangun adalah Teori Negara Hukum (welfare state), Teori Hukum Pembangunan, dan Teori Negara Kepulauan. Jenis penelitian adalah penelitian hukum normatif dengan teknik pengumpulan data melalui penelitian kepustakaan (library research), dan sumber data adalah data primer yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
Dari hasil penelitian didapati bahwa mulai dari ketentuan internasional sampai dengan peraturan nasional telah memberikan perlindungan terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, adapun secara khusus konsep dasar perlindungan hukum terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dari menurut UUPWPPPK adalah memberikan perlindungan mulai dari perencanaan, pengelolaan sampai dengan pengawasan dan pengendalian. Meskipun sebelumnya beberapa pasal dalam UUPWPPPK cendrung mendekati privatisasi WPPPK namun dengan terbitnya Keputusan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 16 Juni 2011 yang membatalkan pasal-pasal tersebut. Sehingga untuk saat ini UUPWPPPK materi UUPWPPPK sudah lebih baik dan konsisten dalam menjalankan amanat Pasal 33 UUD 1945.
Kewenangan pemerintah terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil telah dilandasi dari berbagai asas mulai dari prinsip dasar perlindungan lingkungan secara umum sampai dengan asas-asas pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Penerapan asas-asas tersebut telah diterapkan didalam setiap pasal-pasalnya, khusus mengenai kewenangan pemerintah yang terdiri dari pemerintah pusat, provinsi dan Kabupaten telah diatur di dalam UUPWPPPK dan peraturan pelaksana dibawahnya.
Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa secara normatif peraturan perundang-undangan kita telah memberikan perlindungan hukum terhadap WPPPK dan telah memberikan batasan kewenangan yang jelas baik antara kewenangan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota.
ABSTRACT
As an archipelagic state with the coastline of 81.000 km long, 22% of the total population of Indonesia lives in the coastal area, one of the most productive economic activity centers viewed from its natural resources in terms of both biological and non-biological. After the issuance of Law No.32/2004 on local Government, each local government is given an authority to manage its water territory, coastal areas and small islands within the radius of 12 miles from its coastline. The transfer of this management authority can create a potential destruction and pollution of coastal areas and small islands if the management applied is not regulated more spescifically through laws. For this reason, Law No.27/2007 on Coastal Area and Small Island Management was issued. Based on the above background, the problem to be solves in this study were, first, how the law provides protection to the coastal areas and small islands; second, how scope, type of ecosystem, coastal resources and small island, recources of pollution and/or damage are define based on exiting regulation of legislation; and third, to what extent, the authority of government is towards the coastal area and small islands. The theoretical frameworks built are the Theory of Constitutional State, Theory of Development Law, and Theory of Archipelagic State. This is a normative legal study whose data, in the form of primary, secondary and tertiary legal materials, were obtained through library research.
The result of this study showed that, in practice, either international or national regulations has protected the coastal areas and small islands, and specifically, the basic concept of legal protection for coastal areas and small islands according to Law No. 27/2007 is to several articles of Law No.27/2007 used to tend to lead to privatitation of coastal areas and small islands, yet with the issuance of the Decree of Constitutional Court canceling those articles on June 16, 2011,, the materials of Law No. 27/2007 is better and consistent in implementing the mandate of articles 33 of 1945 Constitution.
Law No. 27/2007 on the Management of Coastal Areas and Small Islands has given a clear definition of various definitions of the scope of Coastal Area and Small Islands Management, various kinds of coastal resources, and definition of pollution. Yet, several understandings on the definition of coast and coastal area, types of ecosystem forming coastal areas, and the definition or act of damaging can be found in the other laws which is in accordance with the mandate of article 78 of Law No. 27/2007 that justify the validity of the other laws as long as they are not against Law No. 27/2007 and in case the definitions are not found in the laws, the opinion of expert is used to provide the definition.
government comprising central, provincial and district governments which has been regulated in Law No. 27/2007 and its implementation regulation.
Base on the above description, the conclution drawn is that, normatively, our regulation of legislation has provided legal protection for coastal areas and small islands and clear definition of authority between that of central, provincial, district/municipal government.
KATA PENGANTAR
Pertama-tama perkenankan kami mengucapkan puji dan syukur kehadirat
Allah SWT, berkat rahmad dan hidayah-Nya tesis dengan judul “Analisa Hukum
Terhadap Perlindungan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Ditinjau Dari
Kewenangan Daerah” telah berhasil diselesaikan tepat pada waktunya.
Tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi guna memperoleh
gelar Magister Hukum pada Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.
Dalam penyelesaian tesis ini tidak akan rampung tanpa bimbingan, arahan serta
bantuan dari berbagai pihak. Sehingga pada kesempatan ini penulis mengucapkan
rasa terimakasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setulus-tulusnya
kepada :
1. Pimpinan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) yang telah
memberikan beasiswa BPPS untuk penulis selama menjalani pendidikan di
Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas
Sumatera Utara.
2. Rektor Universitas Riau, Bapak. Prof. Dr. Ashaluddin Jalil,M.S., dan
Pj. Dekan Fakultas Hukum Universitas Riau, Ibu Gusliana HB, S.H.,
M.Hum., selaku pimpinan yang telah berkenan memberikan izin kepada
penulis untuk kuliah di Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca
Sarjana Universitas Sumatera Utara.
3. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu,
Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum, yang telah
memberikan pandangan dan arahan agar penulis kembali kuliah di Magister
Ilmu Hukum Fakultas Hukum Sumatera Utara.
4. Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana
Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H., yang dalam
hal ini juga merupakan pembimbing utama yang selalu memberikan arahan,
bimbingan dan waktu untuk berdiskusi sampai akhirnya penulis dapat
menyelesaikan tesis ini.
5. Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., M.S., dan Ibu Prof. Sunarmi S.H.,
M.Hum, selaku dosen pembimbing kedua dan ketiga yang telah memberikan
arahan, bimbingan dan waktu untuk berdiskusi sampai akhirnya penulisan ini
menjadi lebih baik dan bermutu.
6. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum., dan Bapak Dr. Mirza Nasution, S.H.,
M.Hum., selaku dosen penguji yang telah memberikan arahan, pendapat dan
juga kritikan saran yang membangun sehingga penulisan ini menjadi lebih
baik dan bermutu.
7. Para Guru Besar dan semua Staf Pengajar Program Studi Magister Ilmu
Hukum, Bapak H. Sukanda Husin, S.H., L.LM., dan Ibu Prof. Dr. Ir. T.
Chairun Nisa, B, M.Sc., yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan,
arahan dan bantuan selama penulis menempuh perkuliahan.
8. Seluruh Staf Sektretariatan Program Studi Magister Ilmu Hukum, segenap
terutama Risda, Lila, Silvi, Ani, Mughni, Irma, Pak Asman, Ine, Pak Cibro,
dan Khairiah.
9. Kepada Kedua Orang Tua yang tersayang, H. M. Hanafiah, S.H., M.M., dan
Hj. Dahnimar, yang selalu tulus berdoa dan mendukung penulis untuk terus
belajar setinggi-tingginya. Untuk mertua, Rum Darodji dan Yuni Hartati
(Alm.), Tante Hj. Elfizah, S.Pd., dan adik penulis, Arry Nugraha Okto
Bestari., Amd., yang selalu mendukung dan memberikan semangat.
10. Khusus kepada suami tercinta, Kapt. Sus. Ridwan Yunardi, S.H., dan kedua
gadis kecil tercinta, Salsabila Syifa Maharani dan Adine Airsya Fitra, terima
kasih atas segenap doa, perhatian, pengorbanan dan untuk setiap detik
kebersamaan dalam mendampingi penulis di setiap malam penyelesaian tesis
ini.
Akhir kata Penulis berharap tesis ini dapat memberikan manfaat dan
sumbangsih bagi pembaca serta perkembangan keilmuan. Terdapat kekurangan di
dalam tesis ini, baik secara substansi maupun penulisan. Atas setiap saran dan
kritikan yang sifatnya membangun penulis ucapkan terima kasih.
Medan, Juni 2011
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Maria Maya Lestari, S.H., M.Sc., M.H.
Tempat / Tanggal Lahir : Pekanbaru, 2 Juni 1978
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Dosen Fakultas Hukum Universitas Riau
Pendidikan : 1. SDN 001 Rintis Pekanbaru, Lulus Tahun1991
2. SMP Negeri 5 Pekanbaru, Lulus Tahun 1994
3. SMU Negeri 1 Pekanbaru, Lulus Tahun 1997
4. Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang,
Lulus Tahun 2001
5. Program Pengurusan Persekitaran
Universiti Kebangsaan Malaysia, Lulus Tahun 2005
6. Program Studi Magister Ilmu Hukum
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK... i
ABSTRACT... iii
KATA PENGANTAR... v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP... viii
DAFTAR ISI... ix
1. Tipe, Jenis dan Pendekatan Penelitian... 26
2. Sumber Data... 27
3. Teknik Pengumpulan Data... 29
4. Alat Pengumpulan Data... 29
5. Analisis Data... 29
BAB II PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL... 31
A. Kerangka Hukum Laut Internasional... 33
1. Hukum Lunak (Soft Law)…………... 36
2. Hukum Keras (Hard Law)…...…………... 42
B. Kerangka Hukum Laut Nasional... 49
1. Zaman Hindia Belanda... 53
BAB III PENGERTIAN RUANG LINGKUP, EKOSISTEM DAN PENCEMARAN/PERUSAKAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL MENURUT PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN... 85
A. Definisi dan Ruang Lingkup Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil... 85
1. Definisi Wilayah Pesisir... 86
2. Definisi Pulau Kecil... 91
3. Definisi Perairan... 94
B. Berbagai Jenis Ekosistem dan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil... 97
1. Jenis-Jenis Ekosistem Pesisir dan Pantai di Indonesia... 97
2. Berbagai Macam Sumber Daya Pesisir... 100
C. Definisi dan Faktor Penyebab Pencemaran dan/ Perusakan Lingkungan Pesisir dan Pulau-Pulau kecil... 101
1. Definisi Pencemaran dan/atau Perusakan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil... 101
2. Sumber Pencemaran dan Perusakan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil... 105
BAB IV KEWENANGAN PEMERINTAH TERHADAP WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL... 111
A. Konsep Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil... 111
1. Asas-Asas Pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil... 114
2. Tujuan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil... 125
3. Proses pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil... 125
B. Kewenangan Pemerintah dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil... 129
1. Kewenangan Pemerintah Pusat………... 132
2. Kewenangan Pemerintah Provinsi…………...…... 139
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………...………. 159
A. Kesimpulan... 159
B. Saran... 162
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1 Pembagian Zona Pesisir Berdasarkan Morfologi dan Proses
Gelombang………... 91
Gambar 3.2 Batas Permukaan Air Rendah dan Tinggi……… 96
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Mekanisme Penyusunan Rencana Menurut UUPWPPPK……….. 63
ABSTRAK
Sebagai Negara kepulauan dengan panjang pantai 81.000 km dan 22% dari total penduduk Indonesia mendiami wilayah pesisir menjadikan wilayah pesisir sebagai salah satu pusat kegiatan ekonomi yang paling produktif ditinjau dari sumber daya alamnya baik hayati maupun non hayati. Pasca dikeluarkannya Undang-undang 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, setiap daerah diberikan kewenangan dalam pengelolaan wilayah laut beserta pesisir dan pulau-pulau kecil dalam radius 12 mil dari garis pantai. Penyerahan kewenangan pengelolaan ini berpotensi terjadinya perusakan dan pencemaran wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil bila pengelolaannya tidak diatur secara lebih khusus melalui undang-undang. Sehingga pada tahun 2007 lahirlah Undang-undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil nomor 27 tahun 2007. Dari latarbelakang diatas, dapat diangkat permasalahan tentang bagaimana peraturan hukum memberikan perlindungan terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, bagaimana batasan serta definisi ruang lingkup, jenis ekosistem dan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil termasuk definisi dan sumber pencemaran dan/atau perusakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada, dan permasalahan yang ketiga adalah bagaimana kewenangan pemerintah terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tersebut. Kerangka teori yang dibangun adalah Teori Negara Hukum (welfare state), Teori Hukum Pembangunan, dan Teori Negara Kepulauan. Jenis penelitian adalah penelitian hukum normatif dengan teknik pengumpulan data melalui penelitian kepustakaan (library research), dan sumber data adalah data primer yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
Dari hasil penelitian didapati bahwa mulai dari ketentuan internasional sampai dengan peraturan nasional telah memberikan perlindungan terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, adapun secara khusus konsep dasar perlindungan hukum terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dari menurut UUPWPPPK adalah memberikan perlindungan mulai dari perencanaan, pengelolaan sampai dengan pengawasan dan pengendalian. Meskipun sebelumnya beberapa pasal dalam UUPWPPPK cendrung mendekati privatisasi WPPPK namun dengan terbitnya Keputusan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 16 Juni 2011 yang membatalkan pasal-pasal tersebut. Sehingga untuk saat ini UUPWPPPK materi UUPWPPPK sudah lebih baik dan konsisten dalam menjalankan amanat Pasal 33 UUD 1945.
Kewenangan pemerintah terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil telah dilandasi dari berbagai asas mulai dari prinsip dasar perlindungan lingkungan secara umum sampai dengan asas-asas pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Penerapan asas-asas tersebut telah diterapkan didalam setiap pasal-pasalnya, khusus mengenai kewenangan pemerintah yang terdiri dari pemerintah pusat, provinsi dan Kabupaten telah diatur di dalam UUPWPPPK dan peraturan pelaksana dibawahnya.
Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa secara normatif peraturan perundang-undangan kita telah memberikan perlindungan hukum terhadap WPPPK dan telah memberikan batasan kewenangan yang jelas baik antara kewenangan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota.
ABSTRACT
As an archipelagic state with the coastline of 81.000 km long, 22% of the total population of Indonesia lives in the coastal area, one of the most productive economic activity centers viewed from its natural resources in terms of both biological and non-biological. After the issuance of Law No.32/2004 on local Government, each local government is given an authority to manage its water territory, coastal areas and small islands within the radius of 12 miles from its coastline. The transfer of this management authority can create a potential destruction and pollution of coastal areas and small islands if the management applied is not regulated more spescifically through laws. For this reason, Law No.27/2007 on Coastal Area and Small Island Management was issued. Based on the above background, the problem to be solves in this study were, first, how the law provides protection to the coastal areas and small islands; second, how scope, type of ecosystem, coastal resources and small island, recources of pollution and/or damage are define based on exiting regulation of legislation; and third, to what extent, the authority of government is towards the coastal area and small islands. The theoretical frameworks built are the Theory of Constitutional State, Theory of Development Law, and Theory of Archipelagic State. This is a normative legal study whose data, in the form of primary, secondary and tertiary legal materials, were obtained through library research.
The result of this study showed that, in practice, either international or national regulations has protected the coastal areas and small islands, and specifically, the basic concept of legal protection for coastal areas and small islands according to Law No. 27/2007 is to several articles of Law No.27/2007 used to tend to lead to privatitation of coastal areas and small islands, yet with the issuance of the Decree of Constitutional Court canceling those articles on June 16, 2011,, the materials of Law No. 27/2007 is better and consistent in implementing the mandate of articles 33 of 1945 Constitution.
Law No. 27/2007 on the Management of Coastal Areas and Small Islands has given a clear definition of various definitions of the scope of Coastal Area and Small Islands Management, various kinds of coastal resources, and definition of pollution. Yet, several understandings on the definition of coast and coastal area, types of ecosystem forming coastal areas, and the definition or act of damaging can be found in the other laws which is in accordance with the mandate of article 78 of Law No. 27/2007 that justify the validity of the other laws as long as they are not against Law No. 27/2007 and in case the definitions are not found in the laws, the opinion of expert is used to provide the definition.
government comprising central, provincial and district governments which has been regulated in Law No. 27/2007 and its implementation regulation.
Base on the above description, the conclution drawn is that, normatively, our regulation of legislation has provided legal protection for coastal areas and small islands and clear definition of authority between that of central, provincial, district/municipal government.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Memperhatikan konteks nasional mengenai bentuk negara yang ada,
Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki lebih dari 17.5081 pulau dengan
luas wilayah perairan laut lebih dari 75 % dan panjang garis pantai mencapai 81.000
km. Dengan demikian, pengelolaan sumber daya pesisir dan laut secara berkelanjutan
merupakan bagian penting dalam strategi pembangunan untuk meningkatkan daya
saing nasional.2
Luas daratan Indonesia mencapai 1,9 juta km2 dan luas perairan laut kurang
lebih 7,9 juta km2. Sebanyak 22 persen dari total penduduk Indonesia mendiami
wilayah pesisir. Ini berarti bahwa daerah pesisir merupakan salah satu pusat kegiatan
ekonomi nasional melalui kegiatan masyarakat seperti perikanan laut, perdagangan,
budidaya perikanan (aquakultur), transportasi, pariwisata, pengeboran minyak dan
sebagainya. Seperti diketahui bahwa secara biologis wilayah pesisir merupakan
lingkungan bahari yang paling produktif dengan sumber daya maritim utamanya
1
Pada beberapa buku yang membahas masalah kelautan seperti Mochtar kusumaatmaja dalam bukunya Hukum Laut Internasional menyatakan jumlah pulau-pulau Indonesia 13.000 pulau, Rokhman Dahuri dalam bukunya Keanekaragaman Hayati Laut Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia menyatakan 17.000 dan Mukhtasor dalam bukunya Pencemaran Pesisir dan Laut menyatakan 17.500 pulau, sedangkan Melda Kamil dalam bukunya, Hukum Internasional Hukum yang Hidup, menuliskan 17.504 pulau. Namun berdasarkan penelitian terakhir tentang pemukhtahiran data terbaru total jumlah pulau dan yang dipertegas dalam penjelasan undang-undang nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia menjelaskan bahwa “dalam wilayah perairan Indonesia terdapat lebih kurang 17.508 pulau yang berada di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia”, sehingga disini penulis menggunakan jumlah 17.508 pulau sebagai sebagai dasar dalam menyatakan jumlah seluruh pulau besar dan kecil yang ada di Indonesia.
2
seperti hutan bakau (mangrove), terumbu karang (coral reefs), padang lamun (sea
grass beds), estuaria, daerah pasang surut dan laut lepas serta sumber daya yang tak
dapat diperbaharui lainnya seperti minyak bumi dan gas alam.3
Wilayah pesisir sebagai sebuah daerah peralihan antara ekosistem darat dan
laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut4 dan pulau kecil5 sebagai
pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km² (dua ribu kilometer
persegi) beserta kesatuan Ekosistemnya6 mestilah dikelola secara berkelanjutan
sebagai bagian penting dalam strategi pembangunan untuk meningkatkan daya saing
nasional, dalam usaha pengelolaan pesisir dan laut, Departemen Kelautan dan
Perikanan (DKP) Republik Indonesia tahun 2001 mengidentifikasi tiga persoalan
pokok, yaitu : (1) persoalan sosial ekonomi, (2) persoalan kelembagaan, (3) persoalan
fisik7 dan (4) persoalan hukum akibat konflik kewenangan dan kepemilikan wilayah
pesisir dan laut serta ketidakpastian/ tumpang tindih pengaturan di bidang hukum8.
Sesuai dengan hakikat Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara
hukum, pengembangan sistem Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup
3
Asrul Pramudya, Kajian Pengelolaan Daratan Pesisir Berbasis Zonasi di Provinsi Jambi, (Semarang : Tesis Pasca Sarjana Magister Teknik Sipil Universitas Diponegoro, 2008), hal. 1-2.
4
Pasal 1 Angka 2, Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (UUPWPPK).
5
Definisi pulau kecil ini juga ditemui dalam pasal 121 ayat 2 KHL, dimana pulau didefinisikan sebagai massa daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi oleh air dan selalu berada/muncul diatas air pasang. Sedangkan definisi dari UNESCO (1991) menyatakan bahwa pulau kecil adalah pulau dengan luas area kuarang dari 2000 km².
harus diberi dasar hukum yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian
hukum bagi upaya pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil9 untuk itulah
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (UUPWPPK) sebagai sebuah lex specialis dalam
pengelolaan dan perlindungan wilayah pesisir dan pulau kecil di Indonesia. Selain
UUPWPPK tersebut terdapat juga peraturan perundang-undangan lainnya yang akan
memberikan perlindungan hukum terhadap wilayah pesisir dan pulau kecil yang
nantinya akan dibahas pada bab selanjutnya.
Isu-isu pokok utama di kawasan pantai adalah pertumbuhan penduduk yang
cukup pesat yang cenderung tinggal dan beraktivitas di kawasan pantai. Sebagai
tempat yang strategis pantai dimanfaatkan untuk berbagai hal berupa eksploitasi
sumber daya perikanan, kehutanan, minyak, gas, tambang dan air tanah dan lain-lain.
Pantai sebagai daerah wisata, konservasi dan proteksi biodiversiti. Pantai digunakan
pula sebagai tempat perkembangan dan peningkatan infrastruktur antara lain berupa
transportasi, pelabuhan, bandara yang kesemuanya untuk memenuhi peningkatan
penduduk.10
Adapun isu lainnya yang berkenaan dengan pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau kecil adalah mengenai adanya pembagian kewenangan daerah di wilayah laut
dan pesisir pasca dikeluarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
9
Penjelasan I.Umum, 1. Dasar Pemikiran, UUPWPPK.
10
Pemerintah Daerah, meliputi pembagian kewenangan pesisir dan laut yang
meliputi11:
1. Perairan kepulauan dalam kewenangan provinsi
2. Perairan kepulauan dalam kewenangan kabupaten/kota.
3. sedangkan perairan kepulauan lintas provinsi dan kawasan strategis
nasional tertentu merupakan kewenangan pusat12
Daerah yang memiliki wilayah laut diberi kewenangan mengelola sumber
daya di wilayah laut. Daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumber daya
alam di bawah dasar dan/atau di dasar laut sesuai dengan peraturan
perundang-undangan13 sehingga daerah juga berhak melakukan pembangunan sampai dengan
eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam hayati dan non hayati di sepanjang
pesisir pantai sampai ke wilayah laut mereka. Namun dengan adanya pemberian
wewenang ini juga akan membawa suatu konsekuensi negatif terhadap wilayah
pesisir dan laut nasional akan menderita kerusakan fisik dalam skala yang parah.
Kerusakan itu termasuk di antaranya adalah abrasi dan sedimentasi pantai,
berkurangnya produksi ikan akibat overfishing (penangkapan ikan berlebihan) di
beberapa lokasi perairan laut, kerusakan ekosistem terumbu karang dan hutan bakau,
serta kerusakan kualitas air laut akibat pencemaran pesisir dan laut.14 Termasuk
diantaranya isu administrasi, hukum seperti otonomi daerah, peningkatan PAD
11
Pasal 18 angka 4, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
12
Pasal 50 angka 1, UU PWPPK.
13
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2007), hal. 436.
14
(Pendapatan Asli Daerah), konflik-konflik daerah dan sektoral merupakan persoalan
yang harus dipecahkan bersama melalui manajemen kawasan pantai terpadu.15
Perubahan atau perkembangan kualitas lingkungan hidup juga dapat terjadi
tanpa campur tangan melalui kegiatan pembangunan. Artinya secara alamiah atau
tanpa intervensi manusia, kualitas lingkungan juga dapat berubah. Terjadinya
peristiwa alam, seperti longsor dan banjir akan menyebabkan perubahan kualitas
lingkungan. Apakah perubahan ini dapat pulih atau tidak, bergantung pada daya
lenting lingkungan itu sendiri.16 Namun kerusakan dan pencemaran lingkungan
makin dipercepat karena meningkatnya aktivitas manusia dan sifat manusia yang
serakah.17
Guna melindungi lingkungan wilayah laut yang meliputi wilayah pesisir,
perairan dan pulau kecil dari berbagai bentuk pencemaran dan perusakan akibat
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil, di sinilah penulis melihat perlunya ada
penelitian yang mengkaji sejauhmanakah peraturan perundang-undangan juga
memberikan perlindungan hukum terhadap berbagai potensi pencemaran dan
perusakan terhadap wilayah pesisir, perairan dan pulau kecil akibat pengelolaan
wilayah berdasarkan kewenangan daerah.
15
Asrul Pramudya, Op.Cit., hal. 3.
16
K.E.S. Manik, Pengelolaan Lingkungan Hidup, (Jakarta : Djambatan, 2003 ), hlm. 41.
17
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian-uraian diatas maka permasalahan yang di kemukakan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah peraturan perundang-undangan memberikan perlindungan
hukum terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil?
2. Bagaimanakah batasan pengertian ruang lingkup, ekosistem dan
pencemaran/perusakan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil menurut
peraturan perundang-undangan?
3. Bagaimanakah kewenangan pemerintah terhadap wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil menurut peraturan perundang-undangan?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang akan di capai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui peraturan perundang-undangan yang memberikan
perlindungan terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil melalui
inventarisasi peraturan perundang-undangan yang ada menurut hukum
internasional sampai kepada hukum nasional secara.
2. Untuk mengetahui batasan pengertian menurut beberapa peraturan
perundang-undangan tentang ruang lingkup, berbagai jenis ekosistem
pembentuk pesisir dan pulau kecil, sumber daya pesisir dan pulau kecil
penyebab pencemaran dan/atau perusakan wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil.
3. Untuk mengetahui berbagai kewenangan pemerintah, pemerintah daerah,
serta kabupaten/kota dalam mengelola wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil berdasarkan undang pemerintahan daerah dan
undang-undang pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai lex specialis
beserta kewenangan menurut peraturan pelaksana dibawahnya.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki manfaat teoritis dan praktis. Adapun kegunaan
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Secara Teoritis
Manfaat penelitian ini adalah sebagai bahan atau data informasi di bidang
ilmu hukum bagi kalangan akademisi untuk mengetahui perlindungan hukum wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil menurut UUPWPPPK dan peraturan pelaksana
dibawahnya.
2. Secara Praktis
Manfaat penelitian ini secara praktis sebagai bahan masukan bagi aparat
penegak hukum mulai dari pembuat undang-undang (DPR/DPRD) dan pemerintah
(Kabupaten/kota, Propinsi dan Pusat) sebagai eksekutif agar mempunyai perspektif
Dan memberikan pencerahan secara normatif terhadap kalangan akademisi dan
masyarakat pada umumnya.
E. Keaslian Penelitian
Bahwa berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di
perpustakaan Univeritas Sumatera Utara diketahui bahwa penelitian tentang
”Perlindungan Hukum Terhadap Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Ditinjau Dari
Kewenangan Daerah” belum pernah dilakukan baik dalam pendekatan dan
perumusan masalah yang sama. Sehingga diharapkan dengan penelitian ini akan
dapat memberikan pencerahan dalam bidang pengembangan hukum lingkungan dan
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil pada khususnya.
Jadi penelitian ini adalah benar-benar asli karena telah sesuai dengan
asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, objektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas segala kritikan
F. Kerangka Teori dan Konsepsional
1. Kerangka Teori
Menurut Kaelan M.S. landasan teori suatu penelitian adalah merupakan
dasa-dasar operasional penelitian. Landasan teori dalam suatu penelitian adalah bersifat
strategis artinya memberikan relisasi pelaksanaan penelitian18.
Ditinjau dari latar belakang masalah yang telah dikemukaan di awal tulisan,
maka landasan teori utama (Grand Theory) yang digunakan dalam kajian ini adalah
teori “Negara Hukum Kesejahteraan / welfare state”. Untuk mendukung teori utama
(grand theory) ini digunakan teori “Hukum Pembangunan” dari Mochtar
Kusumaatmadja sebagai middle range theory, sedangkan untuk applied theory
menggunakan teori19 “Negara Kepulauan” sebagai kerangka pelaksanaan pengelolaan
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Berikut penjelasan dari teori tersebut :
a. Teori Negara Hukum Kesejahteraan / welfare state
Menurut Otje Salman dan Anton F. Susanto, pada dasarnya Negara kita sudah
menganut paham Negara Hukum Kesejahteraan / welfare state, sebagai mana yang
terdapat pada alinea pembukaan UUD 1945 alinea ke empat.20
18
Kaelan M.S., Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat (Paradigama Bagi Pengembangan Penelitian Interdisipliner Bidang Filsafat, Budaya, Sosial, Semiotika, Sastra, Hukum dan Seni), (Yogyakarta : Paradigma, 2005), hal. 239.
19
Syamsuharya Bethan, Penerapan Prinsip Hukum Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup dalam Aktifitas Industri Nasional (Sebuah Upaya Penyelamatan Lingkungan Hidup dan Kehidupan Antar Generasi), (Bandung : Alumni, 2008), hal. 24.
20
Alinea IV Undang-Undang Dasar 1945 yaitu :
“... Untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia...”
Selain itu Pancasila dalam sila-silanya juga mengatur bagaimana Negara
memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sehingga
sebagai landasan idiil dan landasan konstitusional, maka segenap kegiatan dan
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil mestilah bertujuan untuk
mensejahterakan rakyat Indonesia dan masyarakat pesisir terutama masyarakat
nelayan.
Dalam Negara modern dewasa ini yang dikenal dengan istilah “Welfare
State“ atau Negara Kesejahteraan, mempunyai kewajiban untuk menyelenggarakan
kesejahteraan rakyatnya. Dengan demikian pemerintah dituntut untuk bertindak
menyelesaikan segala aspek/ persoalan yang menyangkut kehidupan warga
negaranya, walaupun belum ada dasar aturan yang mengaturnya. Atas dasar ini maka
pemerintah ddiberikan kebebasan untuk dapat melakukan/ bertindak dengan suatu
inisiatif sendiri untuk menyelesaikan segala persoalan atau permasalahan guna
kepentingan umum. Kebebasan untuk dapat bertindak sendiri atas inisiatif sendiri itu
disebut dengan istilah “Freis Ermessen”.21
21
Konsep Negara hukum dipelopori oleh Immanuel Kant. Tujuan negara
menurut Kant, ialah menegakkan hak-hak dan kebebasan-kebebasan warganya.
Rakyat tidak usah tunduk pada undang-undang yang tidak lebih dulu mendapat
persetujuan dari rakyat sendiri dan bahwa rakyat dan pemerintah bersama-sama
merupakan subjek hukum dan bahwa hidup rakyat sebagai manusia dalam negara,
bukanlah karena kemurahan hati pemerintah tapi adalah berdasarkan hak-hak
kekuatan sendiri.22
Kant membentangkan suatu teori tentang negara hukum dalam arti sempit
(rechts staat in enge zin). Teorinya menjadi dasar kenegaraan bagi ekonomi liberal
(merdeka) yang dilakukan diseluruh dunia Barat selama abad ke-1923 sampai
sekarang. Meskipun negara Indonesia juga merupakan negara hukum24 namun tentu
saja dalam konsep negara hukum yang dianut adalah negara hukum berdasarkan
Pancasila25 dan UUD 1945 yang secara khusus mengenai perekonomian tercantum
pada Bab XIV tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial dalam Pasal artinya : bebas, merdeka, tidak terikat Ermessen : menilai, memperimbangkan sesuatu. Artinya kepada Administrasi Negara diberikan kebebasan untuk bertindak atas inisiatif sendiri melakukan perbuatan-perbuatan guna menyelesaikan persoalan-persoalan yang mendesak dengan cepat guna kepentingan umum/ kesejahteraan umum. Jadi Freies Ermessen bertujuan untuk kesejahteraan umum yang merupakan keputusan administrasi Negara untuk tercapainya suatu tujuan/ sasaran dan berbeda dengan keputusan hakim yang bertujuan menyelesaikan suatu sengketa sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Pemberian Freies Ermessen kepada administrasi Negara untuk kesejahteraan umum, tapi dalam kerangka Negara hukum. Freies Ermessen ini tidak boleh digunakan tanpa batas dan tidak boleh disalahgunakan, untuk itu unsure-unsur Freies Ermessen adalah : 1. Dilakukan untuk kepentingan umum/ kesejahteraan umum, 2. Dilakukan atas inisiatif administrasi Negara itu sendiri, 3. Untuk menyelesaikan masalah konkrit dengan cepat yang timbul secara tibatiba, 4. Tindakan itu dimungkinkan oleh hukum, Contoh : Polisi lalu lintas menyelesaikan masalah kemacetan lalu lintas dengan mengalihkan/ mengatur kendaraan melanggar rambu lalu lintas.
22
Solly Lubis, Ilmu Negara, (Bandung, Mandar Maju, 2007), hal. 49.
23
Idem., hal. 50.
24
Pasal 1 ayat 3, UUD 1945.
25
33 UUD 1945 inilah yang akan membedakan konsep perekonomian bangsa kita
dengan konsep perekonomian negara liberal yang dimaksudkan oleh Kant.
b. Teori Hukum Pembangunan
Pada dasarnya, dalam sejarah perkembangan hukum di Indonesia maka salah
satu teori hukum yang banyak mengundang atensi dari para pakar dan masyarakat
adalah mengenai Teori Hukum Pembangunan dari Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmaja,
S.H., LL.M. Ada beberapa argumentasi krusial mengapa Teori Hukum Pembangunan
tersebut banyak mengundang banyak atensi, yang apabila dijabarkan aspek tersebut
secara global adalah sebagai berikut26 :
Pertama, Teori Hukum Pembangunan sampai saat ini adalah teori hukum
yang eksis di Indonesia karena diciptakan oleh orang Indonesia dengan melihat
dimensi dan kultur masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, dengan tolok ukur dimensi
teori hukum pembangunan tersebut lahir, tumbuh dan berkembang sesuai dengan
kondisi Indonesia maka hakikatnya jikalau diterapkan dalam aplikasinya akan sesuai
dengan kondisi dan situasi masyarakat Indonesia yang pluralistik.
Kedua, secara dimensional maka Teori Hukum Pembangunan memakai
kerangka acuan pada pandangan hidup (way of live) masyarakat serta bangsa
Indonesia berdasarkan asas Pancasila yang bersifat kekeluargaan maka terhadap
26
norma, asas, lembaga dan kaidah yang terdapat dalam Teori Hukum Pembangunan
tersebut relatif sudah merupakan dimensi yang meliputi structure (struktur), culture
(kultur) dan substance (substansi).
Ketiga, pada dasarnya Teori Hukum Pembangunan memberikan dasar fungsi
hukum sebagai “sarana pembaharuan masyarakat” (law as a toolsocial engeneering)
dan hukum sebagai suatu sistem sangat diperlukan bagi bangsa Indonesia sebagai
negara yang sedang berkembang.
Meskipun teori Mochtar berdasarkan teori Roscoe Pound yaitu ”law as a tool
social engeneering” namun terdapat perbedaan filosofi yang sangat mendalam dari
pengertian menurut keduanya. Sebagai penganut aliran Pragmatic Legal Realism,
Pound memberi artian konsep hukumnya adalah bahwa hukum dapat berperan
sebagai ”alat” pembaharuan masyarakat.27 Lain halnya dengan Mochtar, ia lebih
memberikan pengertian mengenai konsep hukumnya bahwa hukum sebagai sarana
pembaharuan masyarakat.28
Menurut Mochtar, terdapat hubungan erat antara hukum dengan kekuasaan,
bahwa hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan dan kekuasaan tanpa hukum
adalah kelaliman.29 Sehingga hukum dan kekuasaan mestilah sejalan dan searah,
sebagai penganut paham positivisme30, menurut John Austin, hukum itu merupakan
27
Otje Salman, Op.Cit, hal. 14.
28
Idem., hal. 6.
29
Idem., hal.8.
30
perintah dari pengusa, dalam arti bahwa perintah dari mereka yang memegang
kekuasaan tertinggi atau dari yang memegang kedaulatan. Bahwa hukum adalah
perintah yang dibebankan untuk mengatur makhluk berpikir, perintah yang dilakukan
oleh makhluk yang berpikir yang memegang dan mempunyi kekuasaan.31
Bila dikaitkan dengan konsep menjalankan perintah penguasa tersebut, pada
dasarnya tiap-tiap manusia memiliki kebebasan, tapi dalam hidup bersama ia
mempunyai tanggungjawab menciptakan hidup bersama yang tertip, dan untuk
menciptakan hidup bersama yang tertip itulah perlu pedoman-pedoman objektif yang
harus dipatuhi bersama pula. Pedoman inilah yang disebut dengan ”hukum”. Menurut
Hans Kelsen, sumber pedoman-pedoman objektif tersebut bersumber dari grundnorm
(norma dasar). Grundnorm menyerupai sebuah pengandaian tentang tatanan yang
hendak diwujudkan dalam hidup bersama (dalam hal ini negara)32.
Dengan menggunakan ajaran Stufenbautheori, ia berpendapat bahwa suatu
sistem hukum adalah hierarkis dari hukum di mana suatu ketentuan hukum tertentu
bersumber dari ketentuan hukum yang lainnya yang lebih tinggi. Sebagai ketentuan
yang lebih tinggi adalah grundnorm atau norma dasar yang bersifat hipotesis.
Ketentuan yang lebih rendah adalah lebih konkret daripada ketentuan yang lebih
orang-orang Indonesia, maka kebiasaan bukanlah hukum kecuali jika undang-undang menentukan”. Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2007), hal. 56. Selain itu lihat juga isi Pasal 1 ayat 1 KUHP ”nulum delictum nulla poena sine praevia lege poenali” tidak ada hukuman tanpa undang-undang.
31
Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2007), hal. 58.
32
tinggi.33 Sebagai contoh, dapat di lihat pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 7 angka 1, yang
menetapkan hirarki dan tata urutan peraturan perundang-undangan adalah :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah, meliputi34 :
1. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah
provinsi bersama dengan gubernur;
2. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat
daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota;
3. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan
perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau
nama lainnya.
Seluruh sistem perundang-undangan mempunyai suatu struktur piramida
(mulai dari yang abstrak yakni grundnorm sampai yang konkret seperti
undang-undang, peraturan pemerintah, dan lain sebagainya). Jadi menurut Kelsen, cara
33
Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Op.Cit, hal. 61.
34
mengenal suatu aturan yang legal dan tidak legal adalah dengan mengeceknya
melalui logika stufenbau itu, dan grundnorm menjadi batu uji utama.35
Sebagai pilar utama negara hukum, maka menganut yaitu asas legalitas
(legaliteitsbeginsel atau het beginsel van wetmatigheid van bestuur), berdasarkan
prinsip ini tersirat bahwa wewenang pemerintahan berasal dari peraturan
undangan, artinya sumber wewenang bagi pemerintah adalah peraturan
undangan. Secara teoritis, kewenangan yang bersumber dari peraturan
perundang-undangan tersebut diperoleh melalui tiga cara yaitu : atribusi, delegasi, mandat.36
Telah disebutkan bahwa asas legalitas merupakan dasar dalam setiap
penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan. Dengan kata lain, setiap
penyelanggaraan harus memiliki legitimasi, yaitu kewenangan yang diberikan oleh
undang-undang. Dengan demikian, substansi asas legalitas adalah wewenang, yakni
”Het vermogen tot het verrichten van paalde rechtshandelingen” kemampuan untuk
melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu.37
Azas-azas yang mesti dipatuhi dan dijalankan dalam pelaksanaan
undang-undang baik secara vertikal maupun horizontal38, dalam rangka pelaksanaan konsep
stufenbautheori diatas, maka perraturan-peraturan negara di dalam keberlakuannya
berpedomen pada asas-asas perundang-undangan. Asas dapat diartikan sebagai
aksioma yang memberi jalan pemecahannya jika sesuatu aturan diperlakukan atau
35
Bernard L. Tanya dkk, Op.Cit, hal. 128.
36
Idem, hal. 103-104.
37
Idem, hal. 100-101.
38
aturan yang mana harus diperlakukan bila terjadi bentrokan beberapa aturan dalam
pelaksananya39. Asas-asas dimaksud antara lain :
1. Asas Lex speciali derogat legi generali;
Bahwa undang yang bersifat khusus mengenyampingkan
undang-undang yang bersifat umum, di mana pembuat undang-undang-undang-undang itu sama.40
2. Asas Lex posteriore lex priori;
Yaitu apabila undang yang berlaku belakangan membatalkan
undang-undang yang berlaku terdahulu, di mana hal yang diatur oleh kedua undang-undang-undang-undang
tersebut mengenai suatu hal yang tertentu walau dalam makna dan tujuan berbeda
atau bertentangan sekalipun.41
3. Lex superior derogat legi inferiori42
Merupakan asas dimana peraturan yang lebih tinggi mengenyampingkan
peraturan yang lebih rendah.
Peranan hukum dalam pembangunan nasional, menurut Mochtar
Kusumaatmadja adalah untuk menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan cara
yang teratur43. Pembangunan dalam arti seluas-luasnya meliputi segala segi dari
kehidupan masyarakat dan tidak hanya segi kehidupan ekonomi belaka, karena kita
39
Faried Ali, Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 197.
40
Ibid.
41
Idem, hal.198.
42
Yuliandri, Loc.Cit.
43
tidak dapat membangun ekonomi suatu masyarakat tanpa menyangkutkan
pembangunan segi-segi kehidupan masyarakat lainnya. 44
c. Teori Negara Kepulauan
Konsep negara Kepulauan pada dasarnya sudah jauh lebih dahulu lahir
sebelum adanya pengesahan mengenai konsep ini oleh PBB. Negara kepulauan
Indonesia yang oleh bangsa Indoensia sendiri desebut dengan istilah khusus
Nusantara, karena Indonesia ini berwujud suatu bentangan perairan (lautan) yang
didalamnya tersesak banyak gugusan pulau-pulau besar dan kecil yang menjadi satu
kesatuan justru karena adanya perairan tersebut. Memang bangsa Indonesia dalam
memberikan nama tanah tumpah darahnya (tanah kelahirannya) menggunakan kata
tanah air, yang merupakan satu peristilahan sebagai pengganti kata benda yaitu
kepulauan Indonesia.45
Pengukuhan secara politik mengenai nusantara sebagai sebuah pandangan
politik mengenai cara pandang seluruh tanah air adalah satu kesatuan dikenal dengan
istilah konsep wawasan nusantara yang lahir pada tanggal 13 Desember 1957, yang
dikenal dengan istilah Deklarasi Djuanda 1957 karena dibuat waktu pemerintahan
dengan Perdana Menteri Ir. Djuanda.46
44
Ibid.
45
Toto Pandoyo, Wawasan Nusantara dan Implementasinya dalam UUD 1945 Serta Pembangunan Nasional, (Jakarta : Bina Aksara, 1985), hal. 10.
46
Dengan lahirnya konsep wawasan nusantara tersebut, maka pemanfaatan dan
pengelolaan khusus bidang kelautan, mau tidak mau mesti menjadi prioritas
mengingat kondisi Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan sebagai mana yang
dinyatakan dalam Deklarasi Juanda yang merupakan cikal bakal lahirnya konsep baru
yang diterima masyarakat dunia sebagai Negara Kepulauan. Konsep kepulauan itu
sendiri mulai berkembang sejak abad ke-19 dalam hukum Internasional. Pada abad
ini masalah yang timbul mengenai konsepsi kepulauan ialah bagaimana
mempersatukan dan mengelompokkan gugusan pulau kecil dan batu-batu karang
yang terdapat di lepas pantai agar dapat ditentukan negara mana yang
menguasainya.47
Terwujudnya Konvensi tentang Hukum Laut tahun 1982 (UNCLOS 1982),
merupakan hal yang sangat penting bagi bangsa Indonesia, karena dalam Konvensi
ini ketentuan-ketentuan mengenai negara kepulauan yang telah diperjuangkan selama
25 tahun yaitu sejak Konferensi PBB tentang Hukum Laut I (1958). Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa konsepsi negara kepulauan telah mendapat
pengakuan internasional. Sebagai anggota masyarakat internasional, Indonesia
memerlukan pengakuan terhadap konsepsi yang merubah status perairan dan dasar
laut kepulauan Indonesia yang sebelumnya merupakan laut lepas menjadi perairan
dan dasar laut yang berada di bawah kedaulatan Indonesia bagi kepantingan
internasional. Dengan adanya pengakuan ini kedaulatan dan yurisdiksi Indonesia
47
berdasarkan konsep kepulauan menjadi terjamin dan dihormati oleh masyarakat
internasional.48
Sejak diumumkannya Deklarasi tanggal 13 Desember 1957 Pemerintah
Indonesia terus memperjuangkan agar konsepsi hukum negara kepulauan diterima
dan diakui masyarakat internasional. Perjuangan tersebut akhirnya telah
menghasilkan pengaku-an masyarakat internasional secara universal (semesta) yaitu
dengan diterimanya pengaturan mengenai asas dan rezim hukum negara kepulauan
(Archipelagic State) dalam Bab IV Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang
Hukum Laut Tahun 1982.49 atau yang dikenal dengan United Nations Convention
Law of the Sea 1982 / UNCLOS 1982. Ketentuan Internasional ini telah kita ratifikasi
menjadi Undang-undang nomor 17 tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations
Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang
Hukum Laut).
Salah satu unsur utama didalam definisi ”archipelago” ini adalah kata-kata
”which are so closely inter-related” sehingga semua itu merupakan ”an intrisic
geographical, economic and political entity”. Dengan definisi ini, maka unsur
kesatuan harus ada dengan jelas, yaitu kesatuan geografis, ekonomis dan politis.
Suatu gugusan pulau yang walaupun berdekatan satu sama lain, belum tentu akan
menjadi kepulauan jika gugusan tersebut tidak merupakan suatu kesatuan politis dan
ekonomis; sebaliknya suatu gugusan atau gugusan-gugusan pulau merupakan suatu
48
Idem., hal. 97.
49
keatuan ekonomi dan politis tetapi terletak terlalu jauh antara yang satu dengan yang
lainnya, tidak ”so closely inter-related” juga tidak akan menjadi archipelago. Dengan
demikian, maka salah satu kunci utama untuk menjadikan suatu gugusan pulau-pulau
sebagai ”archipelago” adalah bentuknya yang merupakan suatu ”group” dan adanya
unsur ”so closely inter-related”. Sedangkan unsur ”sejarah”, adalah unsur yang tidak
perlu ada, tetapi jika ada dapat memperkuat unsur kesatuan tersebut.50
Negara kepulauan menurut UNCLOS 1982 berarti suatu Negara yang
seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau
lain. Kepulauan itu sendiri mengandung artian sebagai suatu gugusan pulau, termasuk
bagian pulau, perairan di antaranya dan lain-lain wujud alamiah yang hubungannya
satu sama lainnya demikian eratnya sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud
alamiah lainnya itu merupakan suatu kesatuan geografi, ekonomi dan politik yang
hakiki, atau yang secara historis dianggap sebagai demikian.51
Menimbang bentuk negaranya yang terdiri dari pulau-pulau, maka suatu
negara kepulauan dapat menarik garis pangkal lurus kepulauan yang
menghuibungkan titik-titik terluar pulau-pulau dan karang-karang terluar kepulauan
itu, dengan ketentuan bahwa di dalam garis pangkal demikian termasuk pulau-pulau
utama dan suatu daerah dimana perbandingan antara daerah perairan dan daerah
50
Badan Penelitian dan..., Op.Cit, hal. 47.
51
daratan, termasuk atol, adalah antara satu berbanding satu dan sembilan berbanding
satu.52
Kedaulatan suatu negara kepulauan meliputi perairan yang ditutup oleh garis
pangkal kepulauan, yang disebut sebagai perairan kepulauan, tanpa memperhatikan
kedalaman atau jaraknya dari pantai. Kedaulatan ini meliputi ruang udara di atas
kepulauan, juga dasar laut dan tanah di bawahnya, dan sumber kekayaan yang
terkandung di dalamnya.53
Penentuan daerah kedaulatan dan hak berdaulat suatu negara atas sumber daya
alam yang mereka miliki tidak lepas dari betapa pentingnya penentuan garis pangkal
sebagai penentuan batas elevasi surut pantai suatu negara, bila garis elevasi surut
pantai sudah diketahui maka barulah garis pangkal ditentukan. Suatu elevasi surut
adalah suatu wilayah daratan yang terbentuk secara alamiah yang dikelilingi dan
berada di atas permukaan laut pada waktu air surut, tetapi berada di bawah
permukaan laut pada waktu air pasang. Dalam hal suatu evaluasi surut terletak
seluruhnya atau sebagian pada suatu jarak yang tidak melebihi lebar laut teritorial
dari daratan utama atau suatu pulau, maka garis air surut pada elevasi demikian dapat
digunakan sebagai garis pangkal untuk maksud pengukuran lebar laut teritorial.54
Ada 3 (tiga) tipe garis pangkal menurut Unclos 1982 yaitu garis pangkal biasa
/normal, garis pangkal lurus / straight, and garis pangkal kepulauan / straight
52
Pasal 47 angka 1, KHL 1982.
53
Pasal 49 angka 1 dan 2, KHL 1982.
54
archipelagic.55 Kegunaan garis pangkal inilah yang nantinya akan digunakan secara
umum oleh setiap negara guna menentukan dasar penarikan garis teritorial, zona
tambahan, zona ekonomi ekslusif sampai dengan landas kontinen. Sedangkan secara
khusus dengan adanya penetuan garis pangkal inilah nantinya akan dapat ditentukan
tapal batas wilayah provinsi dan/atau kabupaten kota terhadap penentuan batas
wilayah laut mereka.
Penentuan batas laut suatu daerah provinsi dan/atau kota nantinya juga akan
menggunakan tatacara sebagaimana yang telah diatur dalam TALOS (A Manual on
Technical Aspects of The United Nations Convention on The Law of The Sea-1982),
dimana batas wilayah laut terdiri atas beberapa teori teknik kelautan56, namun yang
umum digunakan adalah dengan menggunakan teori the equidistance line57 atau yang
dikenal juga dengan istilah median line/ garis tengah.
55
A Manual on Technical Aspects of The United Nations Convention on The Law of The Sea-1982 (TALOS), Special Publication No. 51 4th ed – March 2006 Published by the International Hydrographic Bureau Monaco, Chapter 4-2 Baseline. (petunjuk teknis mengenai hukum laut ini juga dikenal dengan istilah TALOS) Adapun definisi dari setiap garis pangkal tersebut, menurut UNCLOS yang diratifikasi dan digunakan sebagai dasar peristilahan yang nantinya diterjemahkan secara resmi pada isi pasal dalam undang-undang nasional yang mengatur masalah laut adalah :
The normal baseline is the basic element from which the territorial sea and other maritime zones are determined. It is defined as the low water line along the coast, as marked on large-scale charts of the coastal state (Article 5). Straight baselines are defined by straight lines that join points on the coastline which have been selected according to the criteria listed in Article 7. They delineate internal waters from territorial seas and other maritime zones. Straight archipelagic baselines define the periphery on an island group by joining the outermost islands with a succession of straight lines constructed in accordance with Article 47.
56
Idem, Chapter 6 mengenai Bilateral Boundaries, disebutkan terdapat beberapa teknik penentuan batas delimitasi laut yaitu : The Equidistance, Thalweg, Arbitrary Lines, Prolongation of land Boundaries, enclaving, dan pengembangan dari teori equidistance lainnya.
57
2. Kerangka Konsepsional
Untuk menyatukan persepsi dalam pembacaan dan pemahaman penulisan
antara pembaca dan penulis maka dipandang perlu untuk memberikan beberapa
kerangka konsepsi yang meliputi :
1. Wilayah Pesisir, sebagai daerah peralihan antara Ekosistem darat dan laut
yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. 58
2. Perairan Pesisir, sebagai wilayah laut yang berbatasandengan daratan meliputi
perairan sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang
menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa
payau, danlaguna.59
3. Pulau Kecil, adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km²
(dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan Ekosistemnya.60
4. Wilayah Perairan Indonesia meliputi laut teritorial Indonesia, perairan
kepulauan, dan perairan pedalaman.61
5. Laut Teritorial Indonesia adalah jalur laut selebar 12 (dua belas) mil laut yang
diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia.62
6. Perairan Kepulauan Indonesia adalah semua perairan yang ter-letak pada sisi
dalam garis pangkal lurus kepulauan tanpa mem-perhatikan kedalaman atau
jaraknya dari pantai.63
58
Pasal 1 angka 2 UUPWPPK.
59
Pasal 1 angka 3 UUPWPPPK.
60
Pasal 1 angka 7 UUPWPPPK.
61
Pasal 3 angka 1, Undang-Undang Nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
62
7. Perairan Pedalaman Indonesia adalah semua perairan yang ter-letak pada sisi
darat dari garis air rendah dari pantai-pantai Indo-nesia, termasuk ke
dalamnya semua bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu
garis penutup.64
8. Garis pangkal lurus kepulauan adalah garis-garis lurus yang menghubungkan
titik-titik terluar pada garis air rendah pulau-pulau dan karang- karang kering
terluar dari kepulauan Indonesia65
9. Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.66
10. Pencemaran Pesisir adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup,
zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan pesisir akibat
adanya kegiatan Orang sehingga kualitas pesisir turun sampai ke tingkat
tertentu yang menyebabkan lingkungan pesisir tidak dapat berfungsi sesuai
dengan peruntukannya.
11. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses
perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian Sumber Daya
63
Pasal 3angka 3, Undang-Undang Perairan Indonesia.
64
Pasal 3angka 4, Undang-Undang Perairan Indonesia.
65
Pasal 5 angka 3, Undang-Undang Perairan Indonesia.
66
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antarsektor, antara Pemerintah dan Pemerintah
Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan
manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.67
G. Metodologi Penelitian
1. Tipe, Pendekatan dan Jenis Penelitian
a. Tipe Penelitian
Tipe penelitian hukum yang digunakan adalah penelitian doktrinal (doctrinal
research), menurut Terry Hutchinson dalam Peter Mahmud Marzuki68 tipe ini adalah:
“research which provides a systematic exposition of the rules governing a
particular legal category, analyses the relatinship between rules, explain
areas of difficulty and, perhaps, predicts future development”
Lain lagi menurut Amirudin dan Zainal tipe penelitian doktrinal ini diartikan
sebagai suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku
maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan.69
b. Pendekatan Penelitian
Guna memecahkan permasalahan hukum yang ada dalam penelitian ini
penulis akan menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan
67
Pasal 1 Ayat 1, Bab I. Umum dalam Angka 3 mengenai Ruang Lingkup, UUPWPPK.
68
Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit., hal. 32.
69
dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan
isu hukum yang sedang ditangani.70
c. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
hukum normatif. Dimana menurut Soerjono Soekamto penelitian hukum normatif
adalah penelitian terhadap asas-asas hukum, sistematika hukum, sinkronisasi hukum,
sejarah hukum dan perbandingan hukum.71
2. Sumber Data dan Bahan Hukum
Jenis data dari sudut sumbernya dan kekuatan mengikatnya secara umum
dibagi atas dua bentuk72. Khusus dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan
sumber data sekunder yang diperoleh melalui bahan pustaka, yang dapat dibagi lagi
atas beberapa bahan hukum73:
a. Bahan Hukum Primer
Merupakan bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari berbagai peraturan
perundang-undangan baik tertulis maupun tidak tertulis. Khusus penelitian ini terdiri
dari berbagai peraturan mulai dari Undang Dasar 1945, Tap MPR,
Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang-undang Nomor
70
Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit., hal. 93.
71
Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994), hal. 13.
72
Menurut Soerjono Soekanto dalam bukunya Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 2008), hal. 51., jenis data dapat dibagi atas 2 (dua) yaitu data yang diperoleh langsung dari masyarakat (data empiris) dan data yang diperoleh dari bahan pustaka (data sekunder).
73
27 tahun 2007 tentang pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau, Undang-undang
nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan lingkungan Hidup,
Undang-undang no. 6 tahun 1996 tentang Perairan Nasional dan berbagai peraturan
pelaksana dari UUPWPPPK.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum ini merupakan data yang memberikan penjelasan terhadap
bahan hukum primer seperti RUU, hasil karya kalangan hukum seperti jurnal, buku,
diktat, laporan penelitian, dll.
c. Bahan Hukum Tersier74
Bahan yang memberikan bahan yang akan membantu memberikan petunjuk
dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti
ensiklopedi, indeks kumulatif, kamus, peta termasuk buku-buku dan tulisan-tulisan
pengarang diluar bidang hukum.
74
Khusus mengenai penggolongan data sekunder ini terdapat perbedaan antara Peter Mahmud Marzuki dalam bukunya Penelitian Hukum dan Zainuddin Ali dalam bukunya Metode Penelitian Hukum (Jakarta : Sinar Grafika, 2010) dengan Soejono Soekanto dalam buku Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta : UI Press, 2008), dan Bambang Sunggono dalam buku Metode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar). Dimana menurut pendapat Soejono Soekanto dan Bambang Sunggono data sekunder dapat dibagi menjadi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier sebagaimana yang telah dijadikan rujukan penulis dalam penelitian ini. Namun, bila merujuk pendapat Peter Mahmud Marzuki dan Zainuddin Ali, sumber penelitian hukum terdiri atas ::
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat autoriatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum ini terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.
2. Bahan hukum sekunder, semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, serta berbagai sumber hukum tertulis lainnya.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian kepustakaan (library research), yaitu melalui inventarisasi berbagai
peraturan perundang-undangan, penelusuran dokumen-dokumen maupun buku-buku
ilmiah untuk mendapatkan landasan teoritis berupa bahan hukum yang sesuai dengan
objek yang akan diteliti.
4. Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
dokumen berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku hukum, jurnal hukum,
tulisan lepas, artikel, kamus, peta dan berbagai tulisan lainnya termasuk bahan non
hukum yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil.
5. Analisis Data
Setelah semua data terkumpul maka tahap selanjutnya adalah mengolah dan
menganalisis data. Teknik analisis data yang dipakai adalah teknik analisis kualitatif,
dimana dimana setelah semua data terkumpul, maka dilakukan pengolahan,
menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data. Selanjutnya semua data akan
diseleksi dan diolah, kemudian dianalisis secara deskriptif.75
Data yang diperoleh dari hasil penelitian akan dikumpulkan dan diedit dengan
mengelompokkan, menyusun secara sistematis, dan analisis secara kualitatif
selanjutnya dilakukan penarikan kesimpulan dengan menggunakan logika berfikir
deduktif ke induktif.76
75
M. Syamsudin, Opersionalisasi Penelitian Hukum, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 133.
76
BAB II
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WILAYAH PESISIR DAN
PULAU-PULAU KECIL
Setiap kehidupan bermasyarakat membutuhkan suatu tatanan perilaku yang
diakui sebagai kuat dan mengikat. Adalakanya itu hanya merupakan suatu
adat-istiadat atau dapat juga berupa norma-norma hukum, baik tertulis maupun tidak
tertulis. Tatanan perilaku itu merupakan pedoman sikap tindakan dan batasan-batasan
perilaku yang harus dipatuhi, dengan adanya untuk tidak mematuhinya. Sanksi
tersebut dapat datang dari masyarakat maupun dari pihak yang mempunyai kekuasaan
atas masyarakat tersebut. Sistem hukum adalah salah satu tatanan kehidupan yang
diterapkan dalam masayarakat, jika sistem hukum tersebut dijalankan di suatu
lingkup negara, maka disebut sebagai sistem hukum nasional. Sebaliknya jika sistem
hukum itu berlaku di antara negara-negara, maka ia disebut sebagai sistem hukum
internasional.77
77