ANALISIS YURIDIS REHABILITASI TERHADAP
PECANDU NARKOTIKA DALAM PERSPEKTIF
PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA NASIONAL
TESIS
OLEH
MALA PUSPITA SARI BR GINTING
087005058/HK
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ANALISIS YURIDIS REHABILITASI TERHADAP
PECANDU NARKOTIKA DALAM PERSPEKTIF
PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA NASIONAL
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum
Dalam Program Studi Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
OLEH
MALA PUSPITA SARI BR GINTING
087005058/HK
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Judul Tesis : ANALISIS YURIDIS REHABILITASI TERHADAP PECANDU NARKOTIKA DALAM PERSPEKTIF
PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA NASIONAL Nama Mahasiswa : Mala Puspita Sari Br. Ginting
Nomor Pokok : 087005058 Program Studi : Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum.) Ketua
(Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum) (Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM) Anggota Anggota
Ketua Program Studi Dekan
(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)
Telah diuji pada
Tanggal 22 Desember 2010
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum Anggota : 1. Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum 2. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM 3. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum
ABSTRAK
Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya bertujuan untuk menjadikan hukum pidana lebih baik sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Berkaitan dengan penyalahgunaan narkotika, diperlukan kebijakan hukum pidana yang memposisikan pecandu narkotika sebagai korban, bukan. Hal yang menarik dalam undang-undang tentang narkotika adalah kewenangan hakim untuk menjatuhkan vonis bagi seseorang yang terbukti sebagai pecandu narkotika untuk dilakukannya rehabilitasi. Uraian dalam pasalnya menitikberatkan pada kekuasaan hakim dalam memutus perkara narkotika. Sayangnya rumusan tersebut tidak efektif. Peradilan terhadap pecandu narkotika sebagian besar berakhir dengan vonis pemenjaraan bukan rehabilitasi.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ketentuan hukum tentang rehabilitasi terhadap pecandu narkotika dan filosofi tujuan rehabilitasi terhadap pecandu narkotika dalam perspektif pembaharuan hukum pidana nasional. Jenis penelitian yang dilakukan memakai pendekatan yuridis normatif. Sumber data yang digunakan adalah data sekunder yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, didukung data primer, berupa hasil wawancara dengan beberapa nara sumber. Keseluruhan data dalam penelitian ini dianalisis secara kualitatif. Teori yang digunakan adalah teori treatment dan social defence.
Ketentuan hukum yang mengatur mengenai vonis rehabilitasi terhadap pecandu narkotika diatur dalam Pasal 45 dan 47 Undang-Undang No. 22 Tahun 1997; SEMA No. 7 Tahun 2009; Pasal 54, 55, 103 dan terkait dengan Pasal 127 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009; SEMA No. 4 Tahun 2010. Perbedaan mendasar ketentuan vonis rehabilitasi terhadap pecandu narkotika dari undang-undang lama ke yang baru adalah ketentuan mengenai vonis rehabilitasi terhadap pecandu narkotika dibuat sedemikian rupa sehingga memperbesar peluang untuk dijatuhkan vonis rehabilitasi daripada penjara. Filosofi tujuan rehabilitasi terhadap pecandu narkotika sesuai dengan paradigma behavioral prevention merupakan pandangan yang bertitik tolak dari pertimbangan individu sendiri di dalam penjatuhan pidana. Dalam teori
incapacity, pidana dijatuhkan agar terpidana tidak berada lagi dalam “kapasitas”
sebagai orang yang bebas melakukan kejahatan. Menurut teori rehabilitasi, dimaksudkan agar terpidana dapat berubah kepribadiannya, sehingga tidak lagi mempunyai kepribadian yang jahat. Petunjuk teknis mengenai pelaksanaan rehabilitasi terhadap pecandu narkotika yang dimuat dalam SEMA, perlu dimasukkan ke dalam ketentuan undang-undang. Hakim yang menangani perkara pecandu narkotika perlu menjadikan rehabilitation theory sebagai paradigma berpikir dan juga berdasarkan pertimbangan pecandu narkotika merupakan self victimizing victims untuk sebisa mungkin menjatuhkan vonis rehabilitasi.
ABSTRACT
Civil law upgrading is intended to make better civil law in accordance with the norms prevailed in the society. Related to the problems of misuse of the narcotics, it is necessary to have the policy of law putting the narcotics abusers as the victim and not as the doers of the criminal. The interesting point related to the rules governing the narcotics is about the authority of the lawyer in giving the punishment for someone who is suspected as narcotics abuser and the needs to have the rehabilitation. The description on the articles focuses on the authority of the lawyer to make the decision in the problem of narcotics cases. Unfortunately, the formulation is not effective. The punishment for those narcotics abusers is mostly ended in the prison and not the rehabilitation.
The objective of the research is to know the clauses of the law concerning with the rehabilitation for those narcotics abusers and the philosophy of the objective of the rehabilitation to the narcotics abusers in the perspective of national civil law upgrading. This research uses normative yuridical approach. The data sources are taken from the secondary data such as primary law material,. Secondary law material and tertiary law material. Then, it is supported by the primary data such as the interview with some informants. All data are analyzed qualitatively. The theories used are treatment theory and social defense.
The clauses of the law governing the punishment of the rehabilitation to the narcotic users is arranged in Article 45 and Article 47 Act No 22 of 1997; rehabilitation than to put in the prison. The philosophy of the objective of the rehabilitation to the narcotics abusers has been in accordance with the paradigm of prevention and it is based on the personal consideration in giving the punishment. In the theory of the capacity, the user is punished to avoid the related person is free to do the criminal. Whereas, according to the theory of rehabilitation, it is intended to change the personality. The technical guidance regarding the implementation of the rehabilitation for those narcotics users should be made in the SEMA and it is put into the act clauses. Those lawyers in managing the cases narcotics should make the rehabilitation theory as the paradigm of thinking and also based on the consideration that in giving the punishment of the rehabilitation, those narcotics users are as the self victimizing victims .
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis panjatkan ke hadirat ALLAH SWT atas berkat dan
rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh Magister Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. Judul tesis
ini adalah”ANALISIS YURIDIS REHABILITASI TERHADAP PECANDU
NARKOTIKA DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA
NASIONAL”.
Dalam penyusunan tesis ini Penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai
pihak sehingga pada kesempatan ini Pemulis juga ingin mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH. M.H, Selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, Medan.
2. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH. M.H, Selaku Ketua Program Studi
Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara beserta staf.
3. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, SH. M. Hum, Selaku Sekretaris Program Studi Ilmu
Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara beserta staf.
4. Komisi Pembimbing, Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH. M. Hum, Selaku
Ketua beserta Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum dan Bapak
Syafruddin S, Hasibuan, SH, MH, DFM, Selaku Anggota.
5. Para Nara sumber Bapak Achmad Guntur, SH, Selaku Hakim di Pengadilan
6. Kedua orangtua penulis, kakak dan adinda tercinta serta sahabat yang telah
memberikan dukungan penuh.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih belum sempurna, oleh
karena itu Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para
pembaca sekalian demi kesempurnaan tesis ini. Semoga tesis ini dapat memberikan
sumbangan ilmu pengetahuan bagi kita semua.
Terima kasih.
Medan, Desember 2010.
Penulis,
RIWAYAT HIDUP
Nama : MALA PUSPITA SARI BR. GINTING
Tempat/Tgl. Lahir : Ujung Bandar, 13 Januari 1986
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Dosen Fakultas Hukum Universitas Asahan
Pendidikan : - Sekolah Dasar (SD) Negeri Nomor 115534, Janji Lobi
(Lulus Tahun 1998).
- Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 2,
Rantau Selatan, Labuhan Batu (Lulus Tahun 2001).
- Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 4, Medan
(Lulus Tahun 2004).
- Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan
(Lulus Tahun 2008).
- Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, Medan (Lulus Tahun
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
AB STRACT... ii
KATA PENGANTAR ... iv
RIWAYAT HIDUP……… v
DAFTAR ISI ……… vi
DAFTAR TABEL ………. viii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ………... 1
B. Perumusan Masalah ………... 9
C. Tujuan Penelitian ………... 9
D. Manfaat Penelitian ………. 9
E. Keaslian Penulisan ……… 10
F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsep ………..……… 12
1. Kerangka Teori ………... 12
2. Kerangka Konsep ………... 15
G. Metode Penelitian ... 18
1. Jenis Penelitian ... 18
2. Sumber Data ... 18
3. Teknik Pengumpulan Data ……... 20
4. Analisis Data ... 20
BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG REHABILITASI TERHADAP PECANDU NARKOTIKA………... 21
1. Ketentuan Pidana Penjara bagi Penyalahgunaan Narkotika…….. 22
2. Sistem Pertanggjawaban Pidana ………... 25
B. Ketentuan Penjatuhan Vonis Rehabilitasi terhadap Pecandu Narkotika……… 35
C. Double Track System dalam Perumusan Sanksi terhadap Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika……. ………... 48
BAB III FILOSOFI TUJUAN REHABILITASI TERHADAP PECANDU NARKOTIKA DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA NASIONAl ……….. 58
A. Relevansi Rehabilitasi terhadap Pecandu Narkotika dengan Pembaharuan Hukum Pidana Nasional……… 58
1. Rehabilitasi terhadap Pecandu Narkotika Ditinjau dari Sudut Kebijakan Kriminal……….. 59
2. Rehabilitasi terhadap Pecandu Narkotika Ditinjau dari Sudut Tujuan Pemidanaan ……….. 61
B. Perspektif Filsafat tentang Pemidanaan ……… 85
C. Filosofi Tujuan Pemidanaan Dikaitkan dengan Rehabilitasi terhadap Pecandu Narkotika dalam Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana Nasional ………. 92
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ………. 97
A. Kesimpulan ………. 97
B. Saran ………... 100
DAFTAR TABEL
Tabel 1: Data Jumlah Perkara Pecandu Narkotika yang diputus di Pengadilan Negeri
Medan 5 (lima) tahun terakhir………... 45
Tabel 2: Data Jumlah Perkara Pecandu Narkotika yang diputus di Pengadilan Negeri
Medan Bulan Januari s/d September 2010 ………... 46
Tabel 3: Data Jumlah Napi di LP Klas I Tanjung Gusta Medan Per Akhir Tahun
dalam 3 (tiga) tahun terakhir ………... 81
Tabel 4: Data Jumlah Napi pecandu Narkotika di LP Klas I Tanjung Gusta Medan
Bulan Januari s/d September 2010 ……….. 82
Tabel 5: Data Jumlah Residivis Pecandu Narkotika di LP Klas I Tanjung Gusta
ABSTRAK
Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya bertujuan untuk menjadikan hukum pidana lebih baik sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Berkaitan dengan penyalahgunaan narkotika, diperlukan kebijakan hukum pidana yang memposisikan pecandu narkotika sebagai korban, bukan. Hal yang menarik dalam undang-undang tentang narkotika adalah kewenangan hakim untuk menjatuhkan vonis bagi seseorang yang terbukti sebagai pecandu narkotika untuk dilakukannya rehabilitasi. Uraian dalam pasalnya menitikberatkan pada kekuasaan hakim dalam memutus perkara narkotika. Sayangnya rumusan tersebut tidak efektif. Peradilan terhadap pecandu narkotika sebagian besar berakhir dengan vonis pemenjaraan bukan rehabilitasi.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ketentuan hukum tentang rehabilitasi terhadap pecandu narkotika dan filosofi tujuan rehabilitasi terhadap pecandu narkotika dalam perspektif pembaharuan hukum pidana nasional. Jenis penelitian yang dilakukan memakai pendekatan yuridis normatif. Sumber data yang digunakan adalah data sekunder yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, didukung data primer, berupa hasil wawancara dengan beberapa nara sumber. Keseluruhan data dalam penelitian ini dianalisis secara kualitatif. Teori yang digunakan adalah teori treatment dan social defence.
Ketentuan hukum yang mengatur mengenai vonis rehabilitasi terhadap pecandu narkotika diatur dalam Pasal 45 dan 47 Undang-Undang No. 22 Tahun 1997; SEMA No. 7 Tahun 2009; Pasal 54, 55, 103 dan terkait dengan Pasal 127 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009; SEMA No. 4 Tahun 2010. Perbedaan mendasar ketentuan vonis rehabilitasi terhadap pecandu narkotika dari undang-undang lama ke yang baru adalah ketentuan mengenai vonis rehabilitasi terhadap pecandu narkotika dibuat sedemikian rupa sehingga memperbesar peluang untuk dijatuhkan vonis rehabilitasi daripada penjara. Filosofi tujuan rehabilitasi terhadap pecandu narkotika sesuai dengan paradigma behavioral prevention merupakan pandangan yang bertitik tolak dari pertimbangan individu sendiri di dalam penjatuhan pidana. Dalam teori
incapacity, pidana dijatuhkan agar terpidana tidak berada lagi dalam “kapasitas”
sebagai orang yang bebas melakukan kejahatan. Menurut teori rehabilitasi, dimaksudkan agar terpidana dapat berubah kepribadiannya, sehingga tidak lagi mempunyai kepribadian yang jahat. Petunjuk teknis mengenai pelaksanaan rehabilitasi terhadap pecandu narkotika yang dimuat dalam SEMA, perlu dimasukkan ke dalam ketentuan undang-undang. Hakim yang menangani perkara pecandu narkotika perlu menjadikan rehabilitation theory sebagai paradigma berpikir dan juga berdasarkan pertimbangan pecandu narkotika merupakan self victimizing victims untuk sebisa mungkin menjatuhkan vonis rehabilitasi.
ABSTRACT
Civil law upgrading is intended to make better civil law in accordance with the norms prevailed in the society. Related to the problems of misuse of the narcotics, it is necessary to have the policy of law putting the narcotics abusers as the victim and not as the doers of the criminal. The interesting point related to the rules governing the narcotics is about the authority of the lawyer in giving the punishment for someone who is suspected as narcotics abuser and the needs to have the rehabilitation. The description on the articles focuses on the authority of the lawyer to make the decision in the problem of narcotics cases. Unfortunately, the formulation is not effective. The punishment for those narcotics abusers is mostly ended in the prison and not the rehabilitation.
The objective of the research is to know the clauses of the law concerning with the rehabilitation for those narcotics abusers and the philosophy of the objective of the rehabilitation to the narcotics abusers in the perspective of national civil law upgrading. This research uses normative yuridical approach. The data sources are taken from the secondary data such as primary law material,. Secondary law material and tertiary law material. Then, it is supported by the primary data such as the interview with some informants. All data are analyzed qualitatively. The theories used are treatment theory and social defense.
The clauses of the law governing the punishment of the rehabilitation to the narcotic users is arranged in Article 45 and Article 47 Act No 22 of 1997; rehabilitation than to put in the prison. The philosophy of the objective of the rehabilitation to the narcotics abusers has been in accordance with the paradigm of prevention and it is based on the personal consideration in giving the punishment. In the theory of the capacity, the user is punished to avoid the related person is free to do the criminal. Whereas, according to the theory of rehabilitation, it is intended to change the personality. The technical guidance regarding the implementation of the rehabilitation for those narcotics users should be made in the SEMA and it is put into the act clauses. Those lawyers in managing the cases narcotics should make the rehabilitation theory as the paradigm of thinking and also based on the consideration that in giving the punishment of the rehabilitation, those narcotics users are as the self victimizing victims .
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di Indonesia sekarang ini sedang berlangsung proses pembaharuan hukum
pidana. Pembaharuan hukum pidana meliputi pembaharuan terhadap hukum pidana
formal, hukum pidana materiil dan hukum pelaksaanaan pidana. Ketiga bidang
hukum tersebut bersama-sama atau secara integral diperbaiki agar tidak terdapat
kendala dalam pelaksanaannya.1 Salah satu yang menjadi pemicu terhadap perubahan
hukum pidana adalah kemajuan teknologi dan informasi.2 Sebagai bagian dari
kebijakan hukum pidana, maka pembaharuan hukum pidana hakikatnya bertujuan
untuk menjadikan hukum pidana lebih baik sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam
masyarakat.3
Menurut Barda Nawawi Arief, makna dan hakikat pembaharuan hukum
pidana dapat dilihat dari:4
1. Sudut pendekatan kebijakan
a. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana pada
hakikatnya bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial
1
Lilik Mulyadi , Kapita Selekta Hukum Pidana, Kriminologi dan Victimologi, (Jakarta: Djambatan, 2007), hlm. 38.
2
Yesmil Anwar dan Adang, Pembaharuan Hukum Pidana, (Jakarta: Grasindo, 2008), hlm. 1. 3
Tongat, Pidana Kerja Sosial dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2002, hlm. 20.
4
(termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai atau menunjang
tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dan sebagainya).
b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum pidana pada
hakikatnya bagian dari upaya perlindungan masyarakat (khususnya upaya
penanggulangan kejahatan).
c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum
pidana pada hakikatnya bagian dari upaya pembaharuan substansi hukum
(legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum.
2. Sudut pendekatan nilai
Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya melakukan
peninjauan dan penilaian kembali nilai-nilai sosiopolitik, sosio-filososfis dan
sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi dan memberi isi terhadap
muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan.
Masalah pidana dan pemidanaan dalam sejarahnya selalu mengalami
perubahan. Dari abad ke abad, keberadaannya banyak diperdebatkan oleh para ahli.
Bila dilihat dari perkembangan masyarakat manusia, perubahan itu adalah hal yang
wajar, karena manusia akan selalu berupaya untuk memperbaharui tentang suatu hal
demi meningkatkan kesejahteraannya dengan mendasarkan diri pada pengalamannya
di masa lampau.5
5
M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System dan
Sanksi pidana bertujuan memberikan penderitaan istimewa (bijzonder leed)
kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat perbuatannya. Selain ditujukan pada
pengenaan penderitaan terhadap pelaku, sanksi pidana juga merupakan bentuk
pernyataan pencelaan terhadap perbuatan pelaku.6 Menurut Alf Ross, untuk dapat
dikategorikan sebagai sanksi pidana (punishment), suatu sanksi harus memenuhi dua
syarat atau tujuan. Pertama, pidana ditujukan kepada pengenaan penderitaan terhadap
orang yang bersangkutan. Kedua, pidana itu merupakan suatu pernyataan pencelaan
terhadap perbuatan si pelaku.7
Fungsi sanksi pidana dalam hukum pidana, tidaklah semata-mata
menakut-nakuti atau mengancam para pelanggar, akan tetapi lebih dari itu, keberadaan sanksi
tersebut juga harus dapat mendidik dan memperbaiki si pelaku.8 Pidana itu pada
hakikatnya merupakan nestapa, namun pemidanaan tidak dimaksud untuk
menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia.9 Landasan
pemikiran pembaharuan terhadap pidana dan pemidanaan bukan hanya
menitikberatkan terhadap kepentingan masyarakat tetapi juga perlindungan individu
dari pelaku tindak pidana.
Hakim dapat mempertimbangkan jenis pidana apa yang paling sesuai untuk
kasus tertentu dengan mengetahui efek dari berbagai sanksi pidana. Untuk
pemidanaan yang sesuai, masih perlu diketahui lebih banyak mengenai si pembuat.
6
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1992), hlm. 5.
7 Ibid. 8
M. Sholehuddin, op.cit., hlm. 162. 9
Ini memerlukan informasi yang cukup tidak hanya tentang pribadi si pembuat, tetapi
juga tentang keadaan-keadaan yang menyertai perbuatan yang dituduhkan.
Digunakannya pidana sebagai sarana untuk mempengaruhi tindak laku seseorang
tidak akan begitu saja berhasil, apabila sama sekali tidak diketahui tentang orang
yang menjadi objeknya. Hal yang paling diinginkan dari pidana tersebut adalah
mencegah si pembuat untuk mengulangi perbuatannya.10
Pada awalnya narkotika digunakan untuk kepentingan umat manusia,
khususnya untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan. Namun, dengan semakin
berkembangnya zaman, narkoba digunakan untuk hal-hal negatif.11 Di dunia
kedokteran, narkotika banyak digunakan khususnya dalam proses pembiusan sebelum
pasien dioperasi mengingat di dalam narkotika terkandung zat yang dapat
mempengaruhi perasaan, pikiran, serta kesadaran pasien. Oleh karena itu, agar
penggunaan narkotika dapat memberikan manfaat bagi kehidupan umat manusia,
peredarannya harus diawasi secara ketat sebagaimana diatur dalam Pasal 4
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Undang-Undang tentang Narkotika bertujuan:
a. Menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; b. Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari
penyalahgunaan narkotika;
c. Memberantas peredaran gelap narkotika dan Prekusor narkotika; dan d. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi
Penyalahguna dan pecandu narkotika.
10
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 2006), hlm. 86. 11
Pentingnya peredaran narkotika diawasi secara ketat karena saat ini
pemanfaatannya banyak untuk hal-hal yang negatif. Disamping itu, melalui
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, dan adanya penyebaran
narkotika yang juga telah menjangkau hampir ke semua wilayah Indonesia. Daerah
yang sebelumnya tidak pernah tersentuh oleh peredaran narkotika lambat laun
berubah menjadi sentral peredaran narkotika. Begitu pula, anak-anak yang pada
mulanya awam terhadap barang haram ini telah berubah menjadi sosok pecandu yang
sukar dilepaskan ketergantungannya.12
Pecandu pada dasarnya adalah merupakan korban penyalahgunaan tindak
pidana narkotika yang melanggar peraturan pemerintah, dan mereka itu semua
merupakan warga negara Indonesia yang diharapkan dapat membangun negeri ini
dari keterpurukan hampir di segala bidang.13 Berkaitan dengan masalah
penyalahgunaan narkotika tersebut, diperlukan suatu kebijakan hukum pidana yang
memposisikan pecandu narkotika sebagai korban, bukan pelaku kejahatan.
Berdasarkan tipologi korban yang diidentifikasi menurut keadaan dan status
korban, yaitu:14
a. Unrelated victims, yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama sekali
dengan pelaku.
12
Ibid., hlm. 101. 13
Moh. Taufik Makarao, Suhasril, dan Moh. Zakky A.S., Tindak Pidana Narkotika, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), hlm. 74-75.
14
b. Provocative victims, yaitu seseorang yang secara aktif mendorong dirinya
menjadi korban.
c. Participating victims, yaitu seseorang yang tidak berbuat, akan tetapi dengan
sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban.
d. Biologically weak victims, yaitu mereka yang secara fisik memiliki kelemahan
yang menyebabkan ia menjadi korban.
e. Socially weak victims, yaitu mereka yang memiliki kedudukan sosial yang
lemah yang menyebabkan ia menjadi korban.
f. Self victimizing victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan
yang dilakukannya sendiri.
Pecandu narkotika merupakan “self victimizing victims”, karena pecandu
narkotika menderita sindroma ketergantungan akibat dari penyalahgunaan narkotika
yang dilakukannya sendiri.
Hal yang menarik dalam undang-undang tentang narkotika adalah
kewenangan hakim untuk menjatuhkan vonis bagi seseorang yang terbukti sebagai
pecandu narkotika untuk dilakukannya rehabilitasi. Secara tersirat, kewenangan ini,
mengakui bahwa pecandu narkotika, selain sebagai pelaku tindak pidana juga
sekaligus korban dari kejahatan itu sendiri yang dalam sudut viktimologi kerap
disebut dengan self victimization atau victimless crime. Uraian dalam pasalnya
menitikberatkan pada kekuasaan hakim dalam memutus perkara narkotika.
pecandu napza sebagian besar berakhir dengan vonis pemenjaraan dan bukan vonis
rehabilitasi sebagaimana yang termaktub dalam undang-undang tersebut.15
Setelah undang-undang narkotika berjalan hampir selama 12 tahun, pada
tahun 2009 Mahkamah Agung mengeluarkan sebuah surat edaran (SEMA RI no
7/2009) yang ditujukan kepada pengadilan negeri dan pengadilan tinggi diseluruh
Indonesia untuk menempatkan pecandu narkotika di panti rehabilitasi dan yang
terbaru adalah dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04
Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan
Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial
yang merupakan revisi dari Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 07 Tahun 2009.
Tentunya Surat Edaran Mahkamah Agung ini merupakan langkah maju didalam
membangun paradigma penghentian kriminalisasi atau dekriminalisasi terhadap
pecandu narkotika. Dekriminalisasi adalah proses perubahan dimana penggolongan
suatu perbuatan yang tadinya dianggap sebagai tindak pidana menjadi perilaku biasa.
Hukuman penjara bagi penyalahguna narkotika terbukti tidak dapat menurunkan
jumlah penyalahguna narkotika.
Undang-undang tentang narkotika dalam perkembangannya telah
diperbaharui dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika. Telah terjadi suatu pembaharuan hukum dalam ketentuan undang-undang
15
ini, yakni dengan adanya dekriminalisasi para pelaku penyalahgunaan narkotika.
Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi
medis dan rehabilitasi sosial.
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tahun 2008 juga telah
mengatur mengenai rehabilitasi terhadap pengguna narkotika, yang diatur dalam
Pasal 110 :
(1) Tindakan rehabilitasi dikenakan kepada pembuat tindak pidana yang:
a. kecanduan alkohol, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; dan/atau
b. mengidap kelainan seksual atau yang mengidap kelainan jiwa.
(2) Rehabilitasi dilakukan di lembaga rehabilitasi medis atau sosial, baik milik pemerintah maupun swasta.
Reformasi hukum pidana dalam undang-undang narkoba di Indonesia
tampak sekali berproses dalam suatu dinamika perkembangan sosial dan teknologi
yang berpengaruh terhadap perkembangan kriminalitas di Indonesia, yang menuntut
tindakan dan kebijaksanaan antisipatif.
Reformasi hukum pidana tersebut, khususnya ketentuan yang mengatur
mengenai rehabilitasi terhadap pengguna narkotika, merupakan bentuk langkah
pembaharuan hukum pidana nasional yang menunjukkan adanya kebijakan hukum
pidana yang merupakan kebijakan yang bertujuan agar pengguna narkotika tidak lagi
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan, sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaturan hukum tentang rehabilitasi terhadap pecandu
narkotika?
2. Bagaimana filosofi tujuan rehabilitasi terhadap pecandu narkotika dalam
perspektif pembaharuan hukum pidana nasional?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pengaturan hukum positif tentang rehabilitasi terhadap pecandu
narkotika.
2. Mengetahui filosofi tujuan rehabilitasi terhadap pecandu narkotika dalam
persektif pembaharuan hukum pidana nasional.
D. Manfaat Penelitian
Selain tujuan-tujuan tersebut di atas, penulisan tesis ini juga diharapkan
bermanfaat untuk berbagai hal diantaranya:
1. Secara teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran secara
teoritis dalam pengembangan ilmu hukum khususnya dalam bidang hukum
2. Secara praktis
Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk:
a. Aparat penegak hukum agar dapat mengetahui bagaimana tindakan
penegakan hukum dalam penanganan kasus penyalahgunaan narkotika.
b. Bagi pemerintah sebagai sumbangan pemikiran terhadap pembaharuan
hukum pidana dalam perumusan perundang-undangan yang berkaitan
dengan penyalahgunaan narkotika.
E. Keaslian Penulisan
Sepanjang pengetahuan penulis, penelitian, penelitian dengan judul “Analisis
Yuridis Rehabilitasi Terhadap Pecandu Narkotika dalam Perspektif Pembaharuan
Hukum Pidana Nasional” belum pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya
di lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara. Akan
tetapi permasalahan yang berkaitan dengan politik hukum pidana dalam pembinaan
pelaku penyalahgunaan narkotika telah pernah diteliti oleh beberapa orang yakni:
1. Anjan Pramuka Putra, tesis pada tahun 2008 dengan judul Analisis Yuridis
Penerapan Sistem Pemidanaan terhadap Pelaku Tindak Pidana
Penyalahgunaan Narkoba, dengan permasalahan:
1. Bagaimana pengaturan sistem pemidanaan terhadap pelaku
2. Bagaimana penerapan sistem pemidanaan oleh aparat penegak hukum
khususnya hakim terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan
narkoba?
3. Bagaimana hambatan-hambatan di dalam menerapkan sistem pemidanaan
terhadap pelaku penyalahgunaan narkoba?
2. Agustina Wati Nainggolan, tesis pada tahun 2009, dengan judul Analisis
terhadap Putusan Hakim dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba
(studi terhadap putusan pengadilan negeri medan), dengan permasalahan:
1. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam membuat putusan
tentang tindak pidana penyalahgunaan narkoba di Pengadilan Negeri
Medan?
2. Mengapa putusan hakim tidak membuat efek jera terhadap pelaku tindak
pidana narkoba?
3. Apakah putusan hakim dalam tindak pidana narkoba telah mencapai tujuan
hukum yaitu memberi rasa keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan?
Meskipun demikian, permasalahan dan penyajian dari penelitian ini tidaklah
sama dengan penelitian-penelitian tersebut. Permasalahan dan penyajian dalam
penelitian ini merupakan hasil dari pemikiran dan ide penulis sendiri yang didasarkan
pada referensi buku-buku dan informasi dari media cetak serta elektronik. Mengacu
kepada alasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa penelitian ini adalah asli dan
F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsep 1. Kerangka Teori
Pemidanaan mempunyai beberapa tujuan yang bisa diklasifikasikan
berdasarkan teori-teori tentang pemidanaan. Pembabakan tentang tujuan pemidanaan
ini dapat diuraikan berdasarkan tujuan retributive, deterrence, treatment, social
defence. Rehabilitasi terhadap pecandu narkotika menganut teori treatment dan social defence.
Rehabilitasi terhadap pecandu narkotika menganut teori treatment sebab
rehabilitasi terhadap pecandu narkotika merupakan suatu proses kegiatan pengobatan
secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan. Hal tersebut sesuai
dengan pemidanaan yang dimaksudkan pada aliran teori treatment yaitu untuk
memberi tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada
pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. Pelaku kejahatan adalah
orang yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan (treatment) dan
perbaikan (rehabilitation).16
16
Sebelum lahirnya teori treatment ini, sebelumnya ada beberapa teori lain tentang pemidanaan, yaitu:
a.Teori Absolut atau Teori Pembalasan (retributive)
Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-semata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana. Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan.
b. Teori Detterence
Treatment sebagai tujuan pemidanaan sangat pantas diarahkan pada pelaku
kejahatan, bukan pada perbuatannya. Pemidanaan yang dimaksudkan pada aliran ini
adalah untuk memberi tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation)
kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. Pelaku kejahatan
adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan (treatment) dan
perbaikan (rehabilitation).17
Perbuatan seseorang tidak bisa hanya dilihat dari aspek yuridis semata
terlepas dari orang yang melakukannya. Perbuatan seseorang itu harus dilihat secara
konkrit bahwa dalam kenyataannya perbuatan seseorang itu dipengaruhi oleh watak
pribadinya, faktor-faktor biologis, maupun faktor-faktor lingkungan. Bentuk
pertanggungjawaban si pembuat lebih bersifat tindakan (treatment) untuk melindungi
kepentingan masyarakat. Metode treatment sebagai pengganti pemidanaan,
menjadikan pendekatan secara medis menjadi model yang digemari dalam
kriminologi.18
Metode treatment sebagai pengganti pemidanaan sebagaimana yang
dipelopori oleh aliran positif, menjadikan pendekatan secara medis menjadi model
yang digemari dalam kriminologi. Pengamatan mengenai bahaya sosial yang
Pencegahan umum ini dilakukan melalui pemidanaan yang dijatuhkan secara terbuka atau diketahui umum sehingga orang lain dapat dicegah dari kemungkinan melakukan kejahatan yang sama.
17
C. Ray Jeffery dalam Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal
Policy dan Non-Penal Policy dalam Penanganan Kejahatan Kekerasan, (Medan: Pustaka Bangsa
Press, 2008), hlm. 79 18
potensial dan perlindungan sosial menjadi suatu standar dalam menjustifikasi suatu
perbuatan, daripada pertanggungjawaban moral dan keadilan.
Menurut Herbert L. Packer, rehabilitasi dilakukan terhadap pelaku kejahatan
karena dalam menjatuhkan sanksi harus berorientasi kepada diri individu pelaku,
bukan kepada perbuatannya. Bagaimana menjadikan individu pelaku kejahatan
tersebut untuk menjadi lebih baik.19
Kemudian, setelah lahirnya teori treatment, maka lahirlah teori social
defence, yaitu:
Rehabilitasi terhadap pecandu narkotika juga menganut teori social defence
sebab merupakan suatu bentuk perlindungan sosial yang mengintegrasikan pecandu
narkotika ke dalam tertib sosial agar dia tidak lagi melakukan penyalahgunaan
narkotika. teori Social defence berkembang setelah Perang Dunia ke-2. Tokoh
terkenal dari teori ini adalah Filippo Gramatica. Dalam teori ini, terbagi dua konsepsi
yaitu:20
1. Konsepsi radikal (ekstrim), dan
2. Konsepsi yang moderat (reformist)
Konsepsi radikal dipelopori dan dipertahankan oleh Filippo Gramatica.
Menurut Gramatica, “hukum perlindungan sosial” harus menggantikan hukum pidana
yang ada sekarang. Tujuan utama dari hukum perlindungan sosial adalah
19
Herbert L. Packer, The Limits of The Criminal Sanction, (California: Stanford University Press, 1968), hlm. 54.
20
mengintegrasikan individu kedalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap
perbuatannya.
Konsepsi moderat dipertahankan oleh Marc Ancel. Menurut Marc Ancel,
tiap masyarakat memasyarakatkan adanya tertib sosial, yaitu seperangkat
peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan bersama, tetapi
sesuai dengan aspirasi-aspirasi warga masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu,
peranan yang besar dari hukum pidana merupakan kebutuhan yang tidak dapat
dielakkan bagi suatu sistem hukum. Beberapa konsep pandangan moderat:21
1. Pandangan moderat bertujuan mengintegrasikan ide-ide atau
konsepsi-konsepsi perlindungan masyarakat ke dalam konsepsi-konsepsi-konsepsi-konsepsi perlindungan
masyarakat ke dalam konsepsi baru hukum pidana.
2. Perlindungan individu dan masyarakat tergantung pada perumusan yang tepat
mengenai hukum pidana, dan ini tidak kurang pentingnya dari kehidupan
masyarakat itu sendiri;
3. Dalam menggunakan sistem hukum pidana, aliran ini menolak penggunaan
fiksi-fiksi dan teknis-teknis yuridis yang terlepas dari kenyataan sosial. Ini
merupakan reaksi terhadap legisme dari aliran klasik.
2. Kerangka Konsep
Kerangka konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian
yang akan dipergunakan untuk sebagai dasar penelitian hukum. Pentingnya defenisi
21
operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran
mendua(dubius) dari suatu istilah yang dipakai.22 Oleh karena itu dalam penelitian ini
didefenisikan beberapa konsep dasar agar secara operasional diperoleh hasil
penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu:
1. Analisis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa.23
2. Yuridis adalah menurut hukum; berdasarkan hukum disebut pula rechtens
(Belanda).24
3. Rehabilitasi medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu
untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika.25
4. Rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu,
baik fisik, mental, maupun sosial, agar bekas pecandu narkotika dapat kembali
melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.26
5. Narkotika adalah Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman
atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,
mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan.27
22
M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System dan
Implementasinya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm 7.
23
Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), hlm. 32. 24
Ibid., hlm. 201. 25
Pasal 1 butir 16 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika 26
Pasal 1 butir 17 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika 27
6. Pecandu narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan
narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik
maupun psikis.28
7. Ketergantungan narkotika adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk
menggunakan narkotika secara terus menerus dengan takaran yang meningkat
agar menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi
dan/atau dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang
khas.29
8. Penyalahguna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau
melawan hukum.30
9. Menurut Barda Nawawi Arief, Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya
mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi
hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral politik,
sosio-filosofik dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan
sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia.31
Secara singkat, dapatlah dikatakan bahwa pembaharuan hukum pidana pada
hakekatnya harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada
kebijakan (“policy-oriented approach”) dan sekaligus pendekatan yang
berorientasi pada nilai (“value-oriented approach”).
28
Pasal 1 butir 13 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 29
Pasal 1 butir 14 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
30
Pasal 1 butir 15 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
31
G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah memakai pendekatan yuridis normatif
yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaedah-kaedah atau
norma-norma hukum positif.32dengan pertimbangan bahwa titik tolak penelitian
untuk menganalisis rehabilitasi terhadap pecandu narkotika dalam perspektif
pembaharuan hukum pidana nasional, jadi fokus kajian dalam penelitian ini adalah
kaedah-kaedah atau norma-norma hukum positif yang mengatur tentang rehabilitasi
terhadap pecandu narkotika.
2. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, yaitu:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya
mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan
perundang-undangan yang diurut berdasarkan hierarki 33 Seperti peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan narkotika dan rehabilitasi terhadap pengguna
narkotika, yakni Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
yang merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997
32
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Bayumedia: Surabaya, 2008), hlm. 282.
33
tentang Narkotika dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2009
dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas buku-buku teks
yang ditulis oleh ahli hukum yang berpengaruh, jurnal-jurnal hukum,
pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan hasil-hasil
simposium mutakhir yang berkaitan dengan topik penelitian.34
Dalam hal penelitian ini, bahan hukum sekunder yang digunakan adalah
buku-buku teks tentang narkoba, politik hukum pidana, pembaharuan hukum
pidana, dan buku teks tentang fungsi mahkamah agung bersifat pengaturan.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder 35
Bahan hukum tersier yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa
kamus hukum dan situs web.
Kemudian, penelitian ini didukung oleh data primer, berupa hasil wawancara
dengan beberapa nara sumber seperti seorang hakim Pengadilan Negeri Medan,
kepala bidang pembinaan Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta, pelaksana harian
Pusat Rehabilitasi Ketergantungan Narkoba Sibolangit Centre, pakar hukum pidana
Ediwarman, dan seorang staf ahli bidang hukum BNN.
34
Jhonny Ibrahim, op.cit., hlm. 296. 35
3. Teknik Pengumpulan Data
Baik bahan hukum primer, sekunder maupun tersier dikumpulkan
berdasarkan topik permasalahan yang telah dirumuskan berdasarkan sistem bola salju
dan diklasifikasi menurut sumber dan hierarkinya untuk dikaji secara komperhensif36.
4. Analisis Data
Keseluruhan data dalam penelitian ini dianalisis secara kualitatif. Analisa
kualitatif ini akan dikemukakan dalam bentuk uraian yang sistematis dengan
menjelaskan hubungan anatara berbagai jenis data. Selanjutnya semua data diseleksi
dan diolah, kemudian dianalisa secara deskriptif37 sehingga selain menggambarkan
dan mengungkapkan, diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam
penelitian ini.
36
Ibid., hlm. 392. 37
BAB II
PENGATURAN HUKUM TENTANG REHABILITASI
TERHADAP PECANDU NARKOTIKA
A. Ketentuan Pidana terhadap Penyalahgunaan Narkotika
Sebelum dibahas mengenai ketentuan hukum tentang penjatuhan vonis
rehabilitasi terhadap pecandu narkotika, maka lebih tepat terlebih dahulu dibahas
mengenai ketentuan pidana terhadap penyalahgunaan narkotika, mengingat posisi
pecandu narkotika yang mempunyai posisi sedikit berbeda dengan pelaku tindak
pidana lainnya, yakni masalah pecandu narkotika menurut ketentuan undang-undang,
di satu sisi merupakan pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika, namun di sisi
lain merupakan korban.
Pecandu narkotika menurut undang-undang di satu sisi merupakan pelaku
tindak pidana penyalahgunaan narkotika adalah dengan adanya ketentuan
undang-undang narkotika yang mengatur mengenai pidana penjara yang diberikan kepada
para pelaku penyalahgunaan narkotika. Kemudian, di sisi lainnya dapat dikatakan
bahwa menurut undang-undang narkotika, pecandu narkotika tersebut merupakan
korban adalah ditunjukkan dengan adanya ketentuan bahwa terhadap pecandu
narkotika dapat dijatuhi vonis rehabilitasi. Hal ini berarti undang-undang di satu sisi
masih menganggap pecandu narkotika sebagai pelaku tindak pidana, dan di sisi lain
1. Ketentuan Pidana Penjara terhadap Penyalahgunaan Narkotika
Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, Ketentuan Pidana terhadap Penyalahgunaan Narkotika diatur di dalam
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997:
Tindak pidana penyalahgunaan narkotika dibedakan menjadi dua macam
yaitu perbuatan terhadap orang lain dan untuk diri sendiri.
Tindak pidana penyalahgunaan narkotika terhadap orang lain diatur dalam Pasal 84 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, sebagai berikut:
Barangsiapa tanpa hak dan melawan hukum:
a. Menggunakan narkotika golongan I, untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
b. Menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika golongan II untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
c. Menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika golongan III, untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah)
Sedangkan tindak pidana penyalahgunaan narkotika untuk diri sendiri diatur
dalam Pasal 85 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang
berbunyi sebagai berikut:
Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum:
a. Menggunakan narkotika golongan I bagi diri sendiri, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.
b. Menggunakan narkotika golongan II bagi diri sendiri, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun.
c. Menggunakan narkotika golongan III bagi diri sendiri, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
Menggunakan narkotika bagi diri sendiri mengandung maksud bahwa
Penggunaan narkotika tanpa melalui pengawasan dokter tersebutlah yang merupakan
suatu perbuatan “tanpa hak dan melawan hukum”
Kemudian di dalam Undang-Undang yang baru yakni Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2009 tentang Narkotika juga diatur mengenai ketentuan pidana
terhadap penyalahgunaan narkotika dalam Pasal 116, 121, 127:
Pasal 116
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan I terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2) Dalam hal penggunaan narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahundan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 121
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan NarkotikaGolongan II terhadap orang lainatau memberikan Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4(empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun danpidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00(delapan miliar rupiah).
(2) Dalam hal penggunaan Narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3(sepertiga).
Pasal 127
(1) Setiap Penyalah Guna:
b. Narkotika golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan
c. Narkotika golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun .
(2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103.
(3) Dalam hal penyalah guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika, penyalahguna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Perbedaan yang paling mendasar dari ketentuan pidana terhadap
penyalahgunaan narkotika di dalam kedua undang-undang tersebut yaitu di dalam
undang-undang yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 mengatur
mengenai pidana minimum dan maksimum, sedangkan di dalam ketentuan
undang-undang yang lama yakni Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 hanya mengatur
mengenai ketentuan pidana maksimum.
Perbedaan lainnya adalah di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
ketentuan pidana terhadap penyalahgunaan narkotika tersebut di dalam menerapkan
ketentuan pidana tersebut juga langsung diikuti dengan kewajiban untuk
memperhatikan ketentuan pasal mengenai rehabilitasi terhadap pecandu narkotika
yang dimuat di dalam ketentuan ayat (2). Sedangkan di dalam Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1997 di dalam ketentuan Pasal mengenai pidana terhadap
penyalahgunaan narkotika tersebut murni hanya konsen mengatur masalah
penjatuhan pidana. Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 memberikan peluang yang
2. Sistem Pertanggungjawaban Pidana Penyalahgunaan Narkotika
Untuk menganalisis bahwa pelaku penyalahgunaan narkotika tersebut telah
memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana, maka terlebih dahulu harus dibahas
mengenai sistem pertanggungjawaban pidananya.
a. Sistem Pertanggungjawaban Pidana
Berbicara mengenai suatu tindak pidana yang dilakukan seseorang, maka
harus diketahui apakah dapat dimintanya pertanggungjawaban pelaku atas tindak
pidana yang dilakukannya, yang terdiri dari unsur kesalahan, kemampuan
bertanggungjawab, alasan penghapus pidana.
1. Kesalahan
Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum, sehingga
meskipun perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak
dibenarkan, namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana.
Pemidanaan masih memerlukan adanya syarat bahwa orang yang melakukan
perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah. Asasnya adalah tiada pidana tanpa
kesalahan (geen sraf zonder schuld). Peran unsur kesalahan sebagai syarat untuk
penjatuhan pidana terlihat dengan adanya asas mens rea yaitu subjektif guilt yang
melekat pada si pembuat, subjektif guilt ini merupakan kesengajaan atau kealpaan
yang melekat pada si pembuat.38
38
Pengertian kesalahan berdasarkan pendapat-pendapat ahli hukum dapat
dijabarkan sebagai berikut:39
1. Mezger mengatakan bahwa kesalahan adalah keseluruhan syarat yang
memberdasarkan adanya pencelaan pribadi terhadap si pembuat tindak
pidana.
2. Simons mengartikan kesalahan sebagai dasar untuk pertanggungjawaban
dalam hukum pidana maka kesalahan tersebut berupa keadaan pschisch dari
si pembuat. Hubungannya terhadap pembuat itu dalam arti bahwa
berdasarkan keadaan psychish perbuatannya dapat dicelakan kepada si
pembuat.
3. Van Hamel mengatakan bahwa kesalahan pada suatu delik merupakan
pengertian psychologis, hubungan antara keadaan jiwa si pembuat dan
terwujudnya unsur-unsur delik karena perbuatannya. Kesalahan adalah
pertanggungjawaban dalam hukum.
4. Van Hattum berpendapat bahwa pengertian kesalahan yang paling luas
memuat semua unsur dalam mana seseorang dipertanggungjawabkan
menurut hukum pidana terhadap perbuatan yang melawan hukum, meliputi
semua hal.
5. Pompe mengatakan pada pelanggaran norma yang dilakukan karena
kesalahannya biasanya sifat melawan hukum itu adalah perbuatannya yakni
segi dalam, yang berkaitan dengan kehendak si pembuat adalah kesalahan.
Seseorang dapat dinyatakan bersalah dan dapat dipertanggungjawabkan
perbuatan pidana sehingga dapat dipidana apabila telah memenuhi unsur-unsur
39
kesalahan dalam arti luas, sekaligus sebagai unsur subjektif. Syarat pemidanaan
tersebut, meliputi:40
1. Kesengajaan
Defenisi sengaja berdasarkan MvT adalah merupakan kehendak yang
disadari yang ditujukan untuk melakukan kejahatan tersebut. Kata opzettelijk (dengan
sengaja) yang tersebar di dalam beberapa pasal KUHP adalah sama dengan willens en
wetens, yaitu menghendaki dan mengetahui.41 Menurut Crimineel Wetboek
Nederland Tahun 1809 (Pasal 11) opzet (sengaja) itu adalah maksud untuk membuat
sesuatu atau tidak membuat sesuatu yang dilarang atau diperintahkan oleh
undang-undang. “dengan sengaja” beserta variasinya seperti kesengajaan sebagai maksud,
kesengajaan dengan sadar kepastian, kesengajaan dengan sadar kemungkinan,42
dimaksudkan dalam rumusan tindak pidana karena harus dipahami bahwa hal itu
dimaksudkan untuk mempermudah penafsiran unsur-unsur berikutnya.
2. Kelalaian (Culva)
Dalam hukum pidana dikenal beberapa jenis kelalaian yakni:
a. Culva Lata adalah kelalaian yang berat.
40
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hlm. 103. Lihat juga Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana, (Yogyakarta: Bina Aksara, 1983), hlm. 30.
41
Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hlm. 273. Bandingkan dengan Martiman Prodjohamidjodjo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indoensia, (Jakarta: Paradnya Paramita, 1996), hlm. 45.
42
b. Culva Levissima adalah kelalaian yang ringan jadi Culva ini belum
cukup untuk menghukum seseorang karena melakukan suatu
kejahatan karena Culva.43
3. Dapat Dipertanggungjawabkan
Pompe mengatakan bahwa “dapat dipertanggungjawabkan maksudnya ia ada
pada suatu keadaan jiwa pembuat, yang memiliki cukup akal dan kemauan, oleh
karena cukup mampu untuk mengerti arti perbuatannya dan sesuai dengan pandangan
itu untuk menentukan kemauannya. Kemampuan berfikir terdapat pada orang-orang
normal dan oleh sebab itu kemampuan berfikir dapat diduga pada si pembuat”.
Dengan kata lain dapat dipertanggunjawabkan perbuatan pidana itu kepada pelaku
apabila pelaku mempunyai kemampuan berfikir dan menginsyafi arti perbuatannya.44
Dari pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kesalahan itu
mengandung unsur pencelaan terhadap seseorang yang telah melakukan tindak
pidana. Pencelaan di sini bukan pencelaan berdasarkan kesusilaan tetapi pencelaan
berdasarkan hukum yang berlaku.
2. Kemampuan Bertanggungjawab
Pertanggungjawaban pidana memerlukan syarat bahwa pembuat mampu
bertanggungjawab, karena tidaklah mungkin seseorang dapat dipertanggungjawabkan
apabila ia tidak mampu bertanggungjawab. Simons mengatakan bahwa kemampuan
bertanggungjawab adalah suatu keadaan psychis, yang membenarkan adanya
43
Kansil, Latihan Ujian Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), hlm. 186. 44
penerapan suatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum ataupun orangnya.
Seseorang mampu bertanggungjawab jika jiwanya sehat, yakni apabila:45
1. Mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya sendiri;
2. Mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan
dengan hukum;
3. Mampu menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut.
Keadaan yang dapat menjadi alasan tidak dipertanggungjawabkannya si
pembuat atas perbuatannya/syarat-syarat kemampuan bertanggungjawab secara
negatif yakni:46
1. Penentuan bagaimana keadaan jiwa si pembuat. Persaksian keadaan pribadi si
pembuat berupa keadaan akal atau jiwa yang cacat pertumbuhannya atau
terganggu karena penyakit. Psikiater yang akan menyelidiki keadaan jiwa si
pembuat tersebut pada saat perbuatan dilakukan.
2. Adanya hubungan kausal antara keadaan jiwa si pembuat dengan
perbuatannya, dalam hal ini dapat menentukan adanya hubungan kausal
adalah hakim.
3. Alasan Penghapus Pidana
Ketidakmampuan bertanggungjawab sebenarnya merupakan alasan
penghapus kesalahan atau pemaaf. Menentukan keadaan dimana seseorang tidak
45
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1994), hlm. 165. 46
mampu bertanggungjawab sehingga ia tidak dipidana dapat dilakukan melalui metode
berikut, yakni:47
1. Metode biologis yaitu suatu cara dengan mengurai atau meninjau jiwa
seseorang, yang dilakukan oleh seorang psikiater.
2. Metode psikologis yaitu dengan cara menunjukkan hubungan keadaan jiwa
abnormal dengan perbuatannya, yang dipentingkan dalam metode ini adalah
akibat penyakit jiwa dengan perbuatannya sehingga dikatakan tidak mampu
bertanggungjawab dan tidak dapat dipidana.
3. Metode gabungan dari kedua cara tersebut dengan menunjukkan keadaan jiwa
dan kemudian keadaan jiwa itu dimulai dengan perbuatannya untuk
dinyatakan tidak mampu bertanggungjawab.
Ilmu hukum pidana mengadakan pembedaan antara dapat dipidananya
perbuatan dan dapat dipidananya pembuat, penghapusan pidana ini menyangkut
perbuatan dan pembuatnya, sehingga dibedakan dalam dua jenis alasan penghapusan
pidana (umum), yakni:48
a. Alasan pembenar, yakni alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya
perbuatan, meskipun perbuatan itu telah memenuhi rumusan delik dalam
undang-undang, kalau perbuatannya tidak melawan hukum maka tidak
mungkin ada pemidanaan. Alasan pembenar yang terdapat dalam KUHP
adalah pada:
47
Martiman Prodjohamidjodjo, op. cit., hlm. 36. 48
1. Pasal 49 ayat (1) merupakan suatu pembelaan darurat (memaksa) yang
memiliki syarat:
a. Adanya serangan, tidak terhadap semua serangan dapat
diadakan pembelaan melainkan pada serangan yang bersifat
seketika; Melawan hukum; Sengaja ditujukan pada badan,
perikesopanan dan harta benda.
b. Adanya pembelaan yang perlu diajukan terhadap serangan itu,
dengan syarat: pembelaan harus dan perlu diadakan;
pembelaan harus menyangkut pembelaan pada badan,
perikesopanan dan harta benda.
2. Pasal 50 merupakan suatu perbuatan karena menjalankan suatu
perundang-undangan. Perundang-undangan di sini maksudnya
adalah tiap peraturan yang dibuat oleh pemerintah, maka
kewajiban/tugas itu diperintahkan oleh peraturan undang-undang.
Dalam hukum acara pidana dan acara perdata dapat dijumpai
adanya kewajiban dan tugas-tugas atau wewenang yang diberikan
pada pejabat/orang yang bertindak, untuk dapat membebaskan dari
tuntutan. Syarat dari pasal ini adalah tindakan tersebut dilakukan
secara patut, wajar dan masuk akal.
3. Pasal 51 ayat (1) yakni melaksanakan perintah jabatan. Perintah
jabatan di sini haruslah perintah jabatan yang sah, sah maksudnya
kewajiban yang didasarkan pada suatu peraturan, dan anatar orang
yang diperintah dengan orang yang memerintah harus ada hubungan
jabatan dan harus ada hubungan subordinasi, meskipun sifatnya
sementara serta tindakan tersebut tidak boleh melampaui batas
kepatutan.
b. Alasan Pemaaf yakni menyangkut pribadi si pembuat, dalam arti bahwa orang
ini tidak dapat dicela, (menurut hukum) dengan kata lain ia tidak bersalah atau
tidak dapat dipertanggungjawabkan, meskipun perbuatannya merupakan
perbuatan pidana akan tetapi pelakunya tidak dapat dipidana. Sehingga alasan
pemaaf ini yang terdapat pada KUHP adalah pada:
1. Pasal 44 mengenai tidak mampu bertanggungjawab karena tidak
sempurnanya akal, jiwanya atau terganggu karena sakit.
2. Pasal 48 karena daya paksa, daya paksa maksudnya adalah tidak dapat
diharapkan dari si pembuat untuk mengadakan perlawanan, maka daya
paksa dapat dibedakan dalam dua hal yakni:49
a. Paksaan absolut, dapat disebabkan oleh kekuatan manusia atau
alam, dalam hal ini kekuatan tersebut sama sekali tidak dapat
ditahan.
b. Paksaan relatif, sebenarnya paksaan itu dapat ditahan tetapi
dari orang yang di dalang paksaan itu tidak dapat diharapkan
bahwa ia akan mengadakan perlawanan.
49
3. Pasal 49 ayat (2) yakni pelampauan batas pembelaan darurat yang terdiri
dari syarat:
a. Melampaui batas pembelaan yang diperlukan.
b. Pembelaan dilakukan sebagai akibat yang langsung dari
goncangan jiwa yang hebat.
c. Goncangan jiwa yang hebat itu disebabkan oleh adanya
serangan, maka harus ada hubungan kausal antara keduanya.
4. Pasal 51 ayat (2) yakni dengan itikad baik melaksanakan perintah
jabatan yang tidak sah, namun harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
a. Jika ia mengira dengan itikad baik bahwa perintah itu sah.
b. Perintah itu terletak dalam lingkungan wewenang dari orang
yang diperintah.
b. Pertanggungjawaban Pidana Penyalahgunaan Narkotika
Jika seorang pelaku telah memenuhi syarat untuk dapat dimintai
pertanggungjawaban pidananya, dan di dalam hal ini adalah terkait dengan
penyalahgunaan narkotika, maka seseorang tersebut dapat dijatuhi pidana sesuai
dengan ketentuan undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yakni
ketentuan Pasal 116, 121, dan Pasal 127 yaitu:
1. Adanya kehendak yang disadari yang ditujukan untuk melakukan
memenuhi unsur sengaja yang merupakan bagian dari unsur adanya
kesalahan.
2. Dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya menyalahgunakan
narkotika maksudnya ia ada pada suatu keadaan jiwa pembuat, yang
memiliki cukup akal dan kemauan, oleh karena cukup mampu untuk
mengerti arti perbuatannya yang telah menyalahgunakan narkotika
dan sesuai dengan pandangan itu untuk menentukan kemauannya
untuk melakukan perbuatan tersebut. Kemampuan berfikir terdapat
pada orang-orang normal dan oleh sebab itu kemampuan berfikir
dapat diduga pada si pembuat. Dengan kata lain dapat
dipertanggunjawabkan perbuatan pidana itu kepada pelaku
penyalahguna narkotika tersebut apabila pelaku mempunyai
kemampuan berfikir dan menginsyafi arti perbuatannya.
3. Pertanggungjawaban pidana memerlukan syarat bahwa pembuat
mampu bertanggungjawab, karena tidaklah mungkin seseorang dapat
dipertanggungjawabkan apabila ia tidak mampu bertanggungjawab.
Simons mengatakan bahwa kemampuan bertanggungjawab adalah
suatu keadaan psychis, yang membenarkan adanya penerapan suatu
upaya pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum ataupun orangnya.
dan dalam hal ini, pelaku dapat dijatuhi pidana penyalahgunaan
a.Mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya
menyalahgunakan narkotika;
b.Mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya
menyalahgunakan narkotika bertentangan dengan hukum;
c.Mampu menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran
tersebut.
4. Tidak memenuhi syarat-syarat alasan penghapus pidana, dan dalam hal
penyalahgunaan narkotika, apabila pelaku tersebut tidak sengaja
menggunakan Narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa,
dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika, maka sesuai
dengan ketentuan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 ia
merupakan korban dari penyalahgunaan narkotika yang wajib
menjalani rehabilitasi.
B. Ketentuan Penjatuhan Vonis Rehabilitasi terhadap Pecandu Narkotika
Ketentuan mengenai rehabilitasi terhadap pecandu narkotika diatur dalam
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 07
Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dan yang terbaru adalah
dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010 yang
Sebelum dikeluarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, ketentuan
mengenai rehabilitasi terhadap pecandu narkotika diatur di dalam Pasal 45 dan 47
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997:
Pasal 45
“Pecandu narkotika wajib menjalani pengobatan dan/atau perawatan”. Pasal 47
(1) Hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat:
a. Memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan, apabila pecandu narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika; atau
b. Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan, apabila pecandu narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika.
(2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi pecandu narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.
Kemudian di dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 07 Tahun 2009
menghimbau bagi para hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika untuk
menerapkan ketentuan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang
Narkotika yang berisikan mengenai tindakan rehabilitasi yang diperintahkan untuk
dijalani oleh pecandu narkotika.
Hal tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa sebahagian besar narapidana
dan tahanan kasus narkoba adalah termasuk kategori pemakai atau bahkan sebagai
korban yang jika dilihat dari aspek kesehatan mereka sesungguhnya orang-orang