• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) (Studi pada Kelurahan Kota Matsum I, Kecamatan Medan Area, Kota Medan).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) (Studi pada Kelurahan Kota Matsum I, Kecamatan Medan Area, Kota Medan)."

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah

Pada dekade 2000, persentase penduduk miskin di Indonesia pernah mengalami penurunan

yaitu dari 40,1% menjadi 11,3%, namun pada periode 2002 angka ini menjadi 24,29% atau 49,5

juta jiwa. Bahkan International Labour Organization (ILO) memperkirakan jumlah orang miskin

di Indonesia mencapai 129,6 juta atau sekitar 66,3%. Pada tahun 2005, persentase kemiskinan

telah mengalami penurunan, namun secara absolut jumlah mereka masih tergolong tinggi yaitu

43% atau sekitar 15,6 juta (BPS dan Depsos 2005). Diantara angka tersebut, diduga jumlah fakir

miskin relatif banyak. Tanpa mengurangi arti pentingnya pembangunan yang sudah dilakukan,

angka kemiskinan tersebut mengindikasikan konsep model yang dibangun belum mampu

membentuk sosial ekonomi masyarakat yang tangguh.

Dalam kerangka penanggulangan kemiskinan tersebut, hampir semua kajian masalah

kemiskinan berporos pada paradigma modernisasi (the modernization paradigm) dan the product

centered model yang kajiannya didasari teori pertumbuhan ekonomi kapital dan ekonomi

neoclasic ortodox (Suharto, 2005). Secara umum, pendekatan yang dipergunakan lebih

terkonsentrasi pada individual poverty sehingga aspek struktural dan social poverty menjadi

kurang terjamah. Beberapa pendekatan dimaksud tercermin dari tolok ukur yang digunakan untuk

melihat garis kemiskinan pada beberapa pendekatan seperti Gross National Product (GNP),

Human Development Index (HDI) dan Human Poverty Index (HPI), Social Accounting Matrix (SAM), Physical Quality of Life Index (PQLI).

Salah satu tantangan pengentasan kemiskinan adalah bagaimana mengikutsertakan

masyarakat secara aktif dalam proses pembangunan. Sebab pembangunan tanpa partisipasi

masyarakat hanya akan menimbulkan ketergantungan dan masyarakat hanya menjadi objek dalam

(2)

lapisan masyarakat bawah belum secara aktif dilibatkan dalam pembangunan. Bahkan kelompok

ini menjadi kelompok marginal dan menjadi beban pembangunan. Persepsi negatif yang muncul

adalah bahwa kelompok masyarakat bawah kurang partisipatif dalam pembangunan.

Pemberdayaan masyarakat bukan merupakan fenomena baru pada bangsa kita yang masuk

ke dalam tata kehidupan masyarakat tetapi pemberdayaan yang dikaitkan dengan usaha

pemerataan, kemandirian dan keberpihakan kepada masyarakat kecil yang telah lama digembar

gemborkan hanya sebagai slogan yang menjanjikan kehidupan masyarakat kecil.

Hasil pendataan BPS yang dilakukan menunjukkan penduduk miskin pada 2006 sebanyak

36,1 juta jiwa atau setara dengan 9 juta rumah tangga miskin. BPS memperkirakan rumah tangga

miskin secara nasional tahun 2005 mencapi 62 juta jiwa penduduk miskin. Meskipun masyarakat

miskin telah mendapatkan bantuan program pengentasan kemiskinan, tapi hasilnya tidak seperti

yang diharapkan. Masyarakat miskin yang telah tersentuh program pengentasan kemiskinan, tetap

saja tidak beranjak dari kondisi kemiskinannya. Karena itu, pasti ada yang salah dalam

pelaksanaan program pengentasan kemiskinan tersebut.

Dalam rangka penanggulangan kemiskinan, pemerintah telah dan sedang melaksanakan

sekitar 15 (lima belas) program penanggulangan kemiskinan, termasuk program jaring pengaman

sosial (JPS), yakni: Program Inpres Desa Tertinggal (IDT); Program Pengembangan Kecamatan

(PPK); Program Kredit Pendayagunaan Teknologi Tepat Guna dalam rangka Pengentasan

Kemiskinan (KP-TTG- Taskin); Program Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam (UED-SP);

Program Kredit Usaha Tani (KUT); Pogram Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS);

Program Operasi Pasar Khusus Beras (OPK-Beras); Program Pemberdayaan Daerah dalam

Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDM-DKE); Program Beasiswa dan Dana Biaya

Operasional Pendidikan Dasar dan Menengah (JPS-Bidang Pendidikan); Program JPS-Bidang

Kesehatan; Program Padat Karya Perkotaan (PKP); Program Prakarsa Khusus Penganggur

(3)

Bahan Bakar Minyak (PPM-PrasaranaSubsidi BBM); Program Dana Bergulir Subsidi Bahan

Bakar Minyak untuk Usaha Kecil dan Menengah; Program Dana Tunai Subsidi Bahan Bakar

Minyak.

Penanggulangan kemiskinan yang selama ini terjadi memperlihatkan beberapa kekeliruan

paradigmatik, antara lain pertama, masih berorientasi pada aspek ekonomi daripada aspek

dimensional. Penanggulangan kemiskinan dengan fokus perhatian pada aspek ekonomi terbukti

mengalami kegagalan, karena pengentasan kemiskinan yang direduksi dalam soal-soal ekonomi

tidak akan mewakili persoalan kemiskinan yang sebenarnya. Dalam konteks budaya, orang miskin

diindikasikan dengan terlembaganya nilai-nilai seperti apatis, apolitis, fatalistik,

ketidakberdayaan, dsb. Sementara dalam konteks dimensi struktural atau poliitk, orang yang

mengalami kemiskinan ekonomi pada hakekatnya karena mengalami kemiskinan strukutral dan

politis.

Kedua, lebih bernuansa karikatif (kemurahan hati) ketimbang produktivitas.

Penanggulangan kemiskinan yang hanya didasarkan atas karikatif, tidak akan memuncul dorongan

dari masyarakat miskin sendiri untuk berupaya bagaimana mengatasi kemiskinannya. Mereka

akan selalu menggantungkan diri pada bantuan yang diberikan pihak lain. Padahal program

penanggulangan kemiskinan seharusnya diarahkan agar mereka menjadi produktif.

Ketiga, memposisikan masyarakat miskin sebagai objek daripada subjek. Seharusnya

mereka dijadikan sebagai subjek yaitu sebagai pelaku perubahan yang aktif terlibat dalam

aktivitas program penanggulangan kemiskinan.

Keempat, pemerintah sebagai penguasa daripada fasilitator. Dalam penanganan

kemiskinan, pemerintah masih bertindak sebagai penguasa yang kerapkali turut campur tangan

terlalu luas dalam kehidupan orang-orang miskin. Sebaliknya pemerintah semestinya bertindak

sebagai fasilitator, yang tugasnya mengembangkan potensi-potensi yang mereka miliki (Naibaho;

(4)

mengatakan bahwa paradigma baru menekankan ”apa yang dimiliki orang miskin” daripada ”apa

yang tidak dimiliki orang miskin”. Potensi orang miskin tersebut bisa berbentuk aset personal dan

sosial, serta berbagai strategi penanganan masalah yang telah dijalankan secara lokal.

Belajar dari pengalaman pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan di masa lalu

yang masih memberikan porsi yang sangat besar kepada birokrasi, maka digulirkan intervensi

ekstrim Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) yang melompati jenjang

birokrasi peran Pemda. Program ini merupakan kerjasama antara pemerintah Indonesia dengan

Bank Dunia melalui pinjaman Loan IDA credit yang merupakan salah satu program

penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat di perkotaan. Intervensinya

ditekankan pada pemberdayaan masyarakat dan penyediaan dana pinjaman bergulir serta

pengembangan prasarana dan sarana dasar lingkungan dengan penyediaan pendampingan pihak

Konsultan Manajemen Wilayah dan Fasilitator Kelurahan (KMW dan Faskel).

Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)

Partisipasi masyarakat merupakan hakekat dasar dari program P2KP, melibatkan

masyarakat dalam pelaksanaan program merupakan upaya yang dilakukan sebagai salah satu

upaya menciptakan keberdayaan serta kemandirian dengan memberikan peran lebih besar pada

inisiatif masyarakat tersebut dalam melaksanakan pembangunan. Kelurahan Kota Matsum I

merupakan salah satu dari kelurahan di wilayah kota Medan dimana dalam komposisi

penduduknya masih ditemukan adanya masalah kesenjangan sosial tersebut yaitu kemiskinan. merupakan program

pemerintah yang secara substansi berupaya dalam penanggulangan kemiskinan melalui konsep

memberdayakan masyarakat dan pelaku pembangunan lokal lainnya, termasuk Pemerintah Daerah

dan kelompok peduli setempat, sehingga dapat terbangun "gerakan kemandirian penanggulangan

kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan", yang bertumpu pada nilai-nilai luhur dan

(5)

Sebelum program P2KP masuk di Kelurahan Kota Matsum I Kecamatan Medan Area,

beberapa program yang lain khususnya program dari pemerintah pernah masuk seperti Bantuan

Langsung Tunai (BLT) dan Jamkesmas, Lansia namun pada kenyataannya program ini mengalami

kegagalan di tingkat aplikasi di lapangan. Berdasarkan hasil pemetaan sosial program ini menjadi

gagal karena sistem kelembagaan yang tidak baik. Selain hal tersebut juga karena kurang adanya

proses pembelajaran pada masyarakat sehingga menjadi tidak tepat sasaran.

Melalui Program P2KP yang ada di Kelurahan Kota Matsum I ini pada tahapan siklusnya

yang dimulai dari Rembug Kesiapan Masyarakat (RKM), Refleksi Kemiskinan, (RK), Pemetaan

Swadaya (PS), pembangunan Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM), Perencanaan Jangka

Menengah Program Penanggulangan Kemiskinan (PJM-Pronangkis) sampai Bantuan Langsung

Masyarakat (BLM) dan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM). Terutama pada tahapan Refleksi

Kemiskinan (RK), masyarakat Kelurahan Kota Matsum I membuat kriteria kemiskinan, mencari

dan mengenali permasalahan penyebab kemiskinannya. Diantara penyebab kemiskinan yang

terjadi di masyarakat Kelurahan Kota Matsum I yaitu; rendahnya pendidikan masyarakat (SDM),

sempitnya lapangan pekerjaan, tidak adanya keahlian sehingga masyarakat tidak memiliki

penghasilan tambahan, dan kurangnya modal yang dimiliki masyarakat. Oleh sebab itulah, penulis

ingin melihat pengaruh Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) terhadap

kesejahteraan masyarkat dalam menanggulangi kemiskinan dengan menggunakan potensi yang

dimiliki masyarakat itu sendiri di Kelurahan Kota Matsum I Kecamatan Medan Area Kota Medan.

I.2 Perumusan masalah

Arikunto (1993 : 17) menguraikan bahwa agar penelitian dapat dilaksanakan dengan

sebaik – baiknya, maka penulis harus merumuskan masalahnya sehingga jelas dari mana harus

(6)

disimpulkan bahwa pentingnya perumusan masalah adalah agar diketahui arah jalan suatu

penelitian.

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan diangkat

dalam penelitian ini adalah

1. Bagaimanakah pengaruh Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)

terhadap kesejahteraan masyarakat di Kelurahan Kota Matsum I Kecamatan Medan Area

Kota Medan?

2. Bagaimanakah perbedaan kondisi kehidupan masyarakat, sebelum dan sesudah menerima

program P2KP tersebut?

I.3 Tujuan penelitian

Mengacu pada permasalahan, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini

adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pengaruh P2KP dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat

di Kelurahan Kota Matsum I Kecamatan Medan Area.

2. Untuk mengetahui perbedaan kondisi kehidupan masyarakat setelah menerima program

P2KP.

3. Untuk mengetahui apakah pelaksanaan P2KP di Kelurahan Kota Matsum I Kecamatan

Medan Area Kota Medan telah mencapai sasaran dan sesuai dengan harapan?

I.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

a. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumbangan

(7)

penyusunan kebijakan khususnya terkait dengan penanggulangan kemiskinan perkotaan

di Kota Medan.

b. Secara akademis, akan lebih melengkapi ragam penelitian pada kajian Ilmu Administrasi

Negara yang telah dibuat oleh para mahasiswa dan dapat menambah bahan bacaan dan

referensi dari suatu karya ilmiah.

c. Meningkatkan kemampuan penulis dalam berfikir dan memahami permasalahan

kemiskinan perkotaan serta dapat menerapkan ilmu pengetahuan yang diperoleh selama

perkuliahan di FISIP USU melalui penulisan karya ilmiah.

I.5 Kerangka Teori

I.5.1.Pengertian Program

Menurut Charles O. Jones (1991 : 296) pengertian program adalah cara yang disahkan

untuk mencapai tujuan, beberapa karakteristik tertentu yang dapat membantu seseorang untuk

mengidentifikasi suatu aktivitas sebagai program atau tidak yaitu :

a. Program cenderung membutuhkan staf, misalnya untuk melaksanakan ataupun sebagai

pelaku program

b. Program biasanya memiliki anggaran tersendiri, program kadang bisa juga didentifikasi

melalui anggaran.

c. Program memilki identitas tersendiri, yang bila berjalan secara efektif dapat diakui oleh

publik

Program terbaik di dunia adalah program yang didasarkan pada model teoritis yang jelas,

yakni : sebelum menentukan masalah sosial yang ingin diatasi dan memulai melakukan intervensi,

maka sebelumnya harus ada pemikiran yang serius terhadap bagaimana dan mengapa masalah itu

(8)

I.5.2.Kebijakan Publik

Menurut Sofyan Effendi (Syafiie, 1999:107) pengetahuan tentang kebijakan publik adalah

pengetahuan tentang sebab-sebab, konsekuensi dan kinerja kebijakan dan program publik,

sedangkan pengetahuan dalam kebijaksanaan publik adalah proses menyediakan informasi dan

pengetahuan untuk para eksekutif, anggota legislatif, lembaga peradilan dan masyarakat umum

yang berguna dalam proses perumusan kebijakan serta yang dapat meningkatkan kinerja

kebijaksanaan.

Menurut Holwet dan M. Ramesh (Subarsono, 2005: 13) berpendapat bahwa proses

kebijakan publik terdiri atas lima tahapan yang adalah sebagai berikut:

1. Penyusunan agenda, yakni suatu proses agar suatu masalah bisa mendapat perhatian dari

pemerintah.

2. Formulasi kebijakan, yakni proses perumusan pilihan-pilihan kebijakan oleh pemerintah.

3. Pembuatan kebijakan, yakni proses ketika pemerintah memilih untuk melakukan suatu

tindakan atau tidak melakukan suatu tindakan.

4. Implementasi kebijakan, yakni proses untuk melaksanakan kebijakan agar mencapai

hasil.

5. Evaluasi kebijakan, yakni proses untuk memonitor dan menilai kinerja atau hasil

kebijakan.

I.5.3.Pengertian Implementasi

Pengertian yang sangat sederhana tentang implementasi adalah sebagaimana yang

diungkapkan oleh Charles O. Jones (1991), dimana implementasi diartikan sebagai "getting

the job done" dan "doing it". Tetapi di balik kesederhanaan rumusan yang demikian berarti

bahwa implementasi kebijakan merupakan suatu proses kebijakan yang dapat dilakukan

(9)

lain: adanya orang atau pelaksana, uang dan kemampuan organisasi atau yang sering disebut

dengan resources, Lebih lanjut Jones merumuskan batasan implementasi sebagai proses

penerimaan sumber daya tambahan, sehingga dapat mempertimbangkan apa yang harus

dilakukan. Dengan mengacu pada pendapat tersebut, dapat diambil pengertian bahwa

sumber-sumber untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh pembuat

kebijakan, di dalamnya mencakup: manusia, dana, dan kemampuan organisasi; yang

dilakukan baik oleh pemerintah maupun swasta (individu ataupun kelompok).

Selanjutnya Mazmanian dan Sabatier (dalam Solichin, 1991:65) menjelaskan lebih

lanjut tentang konsep implementasi kebijakan sebagaimana berikut: “Memahami apa yang

senyatanya terjadi sesudah program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus

perhatian implementasi kebijakan, yaitu kejadian-kejadian atau kegiatan yang timbul setelah

disahkannya pedoman-pedoman kebijakan negara, yaitu mencakup baik usaha-usaha untuk

mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atau

kejadian-kejadian."

Berdasarkan pada pendapat tersebut di atas, nampak bahwa implementasi kebijakan tidak

hanya terbatas pada tindakan atau perilaku badan alternatif atau unit birokrasi yang bertanggung

jawab untuk melaksanakan program dan menimbulkan kepatuhan dari target group, namun lebih

dari itu juga berlanjut dengan jaringan kekuatan politik sosial ekonomi yang berpengaruh pada

perilaku semua pihak yang terlibat dan pada akhirnya terdapat dampak yang diharapkan

maupun yang tidak diharapkan, sehingga dapat dipahami bahwa keberhasilan impelementasi

kebijakan sangat dipengaruhi oleh berbagai variabel atau faktor yang pada gilirannya akan

mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan itu sendiri.

(10)

Untuk mengefektifkan implementasi kebijakan yang ditetapkan, maka diperlukan

adanya tahap-tahap implementasi kebijakan. M. Irfan Islamy (1992, 102-106) membagi tahap

implementasi dalam dua bentuk, yaitu:

a. Bersifat self-executing, yang berarti bahwa dengan dirumuskannya dan disahkannya

suatu kebijakan maka kebijakan tersebut akan terimplementasikan dengan sendirinya,

misalnya pengakuan suatu negara terhadap kedaulatan negara lain.

b. Bersifat non self-executing yang berarti bahwa suatu kebijakan publik perlu diwujudkan

dan dilaksanakan oleh berbagai pihak supaya tujuan pembuatan kebijakan tercapai.

Dalam konteks ini kebijakan pemberdayaan masyarakat miskin termasuk kebijakan

yang bersifat non-self-executing, karena perlu diwujudkan dan dilaksanakan oleh berbagai

pihak supaya tujuan tercapai.

Ahli lain, Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn (dalam Slichin Abdul Wahab,

1991, 36) mengemukakan sejumlah tahap implementasi sebagai berikut:

Tahap I : Terdiri atas kegiatan-kegiatan :

a. Menggambarkan rencana suatu program dengan penetapan tujuan secara jelas;

b. Menentukan standar pelaksanaan;

c. Menentukan biaya yang akan digunakan beserta waktu pelaksanaan.

Tahap II: Merupakan pelaksanaan program dengan mendayagunakan struktur staf, sumber

daya, prosedur, biaya serta metode;

Tahap III: Merupakan kegiatan-kegiatan :

a. Menentukan jadwal;

b. Melakukan pemantauan;

c. Mengadakan pengawasan untuk menjamin kelancaran pelaksanaan program. Dengan

demikian jika terdapat penyimpangan atau pelanggaran dapat diambil tindakan yang

(11)

Jadi implementasi kebijakan akan selalu berkaitan dengan perencanaan penetapan

waktu dan pengawasan, sedangkan menurut Mazmanian dan Sabatier dalam Solichin Abdul

Wahab, (1991) Mempelajari masalah implementasi kebijakan berarti berusaha untuk

memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program diberlakukan atau

dirumuskan. Yakni peristiwa-peristiwa dan kegiatan-kegiatan yang terjadi setelah proses

pengesahan kebijakan baik yang menyangkut usaha-usaha untuk mengadministrasi maupun

usaha untuk memberikan dampak tertentu pada masyarakat. Hal ini tidak saja mempengaruhi

perilaku lembaga-lembaga yang bertanggung jawab atas sasaran (target grup) tetapi juga

memperhatikan berbagai kekuatan politik, ekonomi, sosial yang berpengaruh pada

implementasi kebijakan negara.

I.5.3.2.Faktor-faktor yang mempengaruhi Implementasi Kebijakan

Menurut George Edward III (dalam Tangkilisan; 2003) ada empat faktor yang

berpengaruh terhadap keberhasilan atau kegagalan implementasi suatu kebijakan, yaitu

faktor sumber daya, birokrasi, komunikasi, dan disposisi.

1). Faktor sumber daya (resources)

Faktor sumber daya mempunyai peranan penting dalam implementasi kebijakan,

karena bagaimanapun jelas dan konsistennya ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan

suatu kebijakan, jika para personil yang bertanggung jawab mengimplementasikan

kebijakan kurang mempunyai sumber-sumber untuk melakukan pekerjaan secara

efektif, maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan bisa efektif.

Sumber-sumber penting dalam implementasi kebijakan yang dimaksud antara lain mencakup;

staf yang harus mempunyai keahlian dan kemampuan untuk bisa melaksanakan

tugas, perintah, dan anjuran atasan/pimpinan.

(12)

Meskipun sumber-sumber untuk mengimplementasikan suatu kebijakan sudah

mencukupi dan para implementor mengetahui apa dan bagaimana cara

melakukannya, serta mereka mempunyai keinginan untuk melakukannya,

implementasi bisa jadi masih belum efektif, karena ketidakefisienan struktur

birokrasi yang ada.

3). Faktor Komunikasi

Komunikasi adalah suatu kegiatan manusia untuk menyampaikan apa yang menjadi

pemikiran dan perasaannya, harapan atau pengalamannya kepada orang lain (The

Liang Gie, 1976). Faktor komunikasi dianggap sebagai faktor yang amat penting,

karena dalam setiap proses kegiatan yang melibatkan unsur manusia dan sumber

daya akan selalu berurusan dengan permasalahan “bagaimana hubungan yang

dilakukan”.

4). Faktor Disposisi (sikap)

Disposisi ini diartikan sebagai sikap para pelaksana untuk mengimplementasikan

kebijakan. Dalam implementasi kebijakan, jika ingin berhasil secara efektif dan

efisien, para implementor tidak hanya harus mengetahui apa yang harus mereka

lakukan dan mempunyai kemampuan untuk implementasi kebijakan tersebut, tetapi

mereka juga harus mempunyai kemauan untuk mengimplementasikan kebijakan

tersebut.

Menurut Mazmanian dan Sabatier (1983) keberhasilan implementasi rencana dipengaruhi

oleh otonomi untuk melaksanakan pekerjaan tersebut dan kompleksitas dari rencana itu sendiri.

Efektivitas suatu implementasi ditentukan oleh 6 kondisi yaitu :

1. Adanya perundang-undangan atau instruksi pemerintah yang memberikan tanggung

jawab tentang suatu kebijaksanaan yang jelas dan konsisten atau menentukan pedoman

(13)

2. Dengan perundang-undangan tersebut dimungkinkan pendayagunaan suatu teori yang

tepat dapat menemukenali faktor-faktor utama dalam kaitan sebab akibat yang

mempengaruhi tujuan kebijaksanaan yang hendak dicapai dan juga memberikan

wewenang serta kendali yang strategis bagi pelaksanaan atas kelompok-kelompok sasaran

untuk mencapai hasil yang diharapkan.

3. Perundang-undangan itu dapat membentuk proses implementasi sehingga dapat

memaksimalkan kemungkinan keberhasilan keterlibatan pihak pelaksana dan kelompok

sasaran.

4. Pemimpin badan/institusi pelaksana memiliki kapasitas kecakapan manajerial dan politis,

rasa pengabdian dan tanggung jawab pada upaya pencapaian sasaran yang digariskan

sesuai dengan peraturan yang berlaku.

5. Program tersebut mendapat dukungan tokoh utama dari pihak legislatif atau eksekutif,

sedangkan lembaga yudikatif bersifat netral.

6. Tingkat prioritas sasaran-sasaran yang hendak dicapai tidak berubah meskipun muculnya

kebijakan publik yang saling bertentangan atau dengan terjadinya perubahan kondisi

sosial ekonomi yang mengurangi kekuatan teori keterkaitan sebab akibat yang

mendukung peraturan atau kekuatan dukungan politis (Mazmanian, 1983).

Dalam implementasi kebijakan, bukan saja masalah komunikasi, informasi, respon

masyarakat tetapi juga pendanaan, waktu, jadwal kegiatan untuk mendukung tim/organisasi

pelaksana dalam melaksanakan tugas yang dipercayakann kepadanya (Wahab, 1991).

Salah satu kendala yang menentukan efektivitas rencana program adalah lemahnya mekanisme

pengendalian pembangunan (development control). Hal ini disebabkan oleh berbagai hal, antara

lain karena pemerintah daerah seringkali tidak mempunyai akses terhadap rencana-rencana

(14)

rencana-rencana yang telah disusun bisa berubah total akibat adanya investasi berskala besar yang tidak

diduga sebelumnya.

I.5.4.Kemiskinan

Berbicara persoalan kemiskinan merupakan fenomena yang bersifat multidimensional.

Pada prinsipnya kemiskinan bukan sekedar fenomena, tetapi merupakan proses yang tereduksi

dari berbagai faktor (Sulistiyani; 2004). Kemiskinan menjadi isu yang sangat sentral dan menjadi

fenomena dimana-mana. Selama ini kemiskinan diasumsikan bahwa orang miskin tidak mampu

menolong dirinya sendiri. Kemiskinan dipandang sebagai gejala rendahnya kesejahteraan.

Ilmuwan sosial mengaitkan konsep kemiskinan dengan konsep kelas, stratifikasi sosial,

struktur sosial dan bentuk-bentuk definisi sosial lainnya (Soetomo; 2006). Hal yang juga dijumpai

dalam pengukuran kemiskinan , konsep tentang taraf hidup atau “lefel of living” misalnya tidak

cukup hanya melihat tingkat pendapatan, akan tetapi juga perlu melihat tingkat pendidikan,

kesehatan, perumahan dan kondisi sosial yang lain.

Indikator dominant dari kemiskinan juga dapat dilihat dari aspek non ekonomis sebagai

indikator yang dominant. Pembangunan ini dikehendaki agar pembangunan dilihat dari aspek

manusianya (improvement of human life) dengan demikian pembangunan seharusnya

diperuntukkan bagi semua pihak dan semua lapisan masyarakat, serta paling tidak mengandung

tujuan:

1. Memperbaiki hal-hal yang berkaitan dengan penopang hidup warga masyarakat.

2. Memperbaiki kondisi sosial kehidupan yang memungkinkan terpenuhinya kebutuhan

harga diri.

3. Adanya kebebasan termasuk didalamnya kebebasan dari penindasan, ketidakadilan,

kesengsaran serta kemelaratan (Goulet, dalam Soetomo; 2006)

Boedi Somedi menyatakan untuk memberi pemahaman konseptual terdapat 2 pengertian

(15)

1. Secara kualitatif yaitu kemiskinan merupakan suatu kondisi yang didalamnya hidup

manusia yang tidak bermartabat atau hidup manusia yang tidak layak sebagai manusia.

2. Secara kuantitatif yaitu kemiskinan merupakan suatu kondisi dimana hidup manusia

serba kekurangan atau dengan bahasa lazim disebut tidak berharta benda (Mardimin;

1996)

Di dalam membicarakan masalah kemiskinan kita akan menemukan beberapa istilah

kategoritatif kemiskinan seperti:

1. Kemiskinan absolut yaitu seseorang yang dikatakan miskin apabila tidak dapat memenuhi

kebutuhan hidupnya untuk memelihara fisiknya dan untuk dapat bekerja .

2. Kemiskinan relatif yaitu kemiskinan yang muncul jika kondisi seseorang atau

sekelompok orang dibandingkan dengan kondisi orang atau sekelompok orang lain.

3. Kemiskinan struktural yaitu kemiskinan yang timbul akibat adanya suatu kekuatan yang

berada diluar seseorang atau sekelompk orang yang membelengu, yang memaksa

seseorang atau sekelompok orang tersebut agar tetap menjadi miskin.

4. Kemiskinan situasional yaitu kemisinan yang terjadi jika seseorang atau sekelompok

orang tinggal didaerah yang tidak menguntungkan misalnya daerah yang tanahnya tidak

subur, oleh karenanya menjdi miskin.

5. Kemiskinan kultural yaitu kemiskinan yang dikarenakan budaya atau kultur masyarakat

setempat yang menghendaki tetap miskin

Memahami kemiskinan untuk lebih lanjut perlu diketahui dan ditelusuri latar belakang,

dengan mengetahui latar belakang kemiskinan akan lebih mudah diidentifikasi sifat, keluasan, dan

kedalaman masalah. Badan Pusat Statistik (BPS) memberikan definisi kemiskinan,

seseorang/keluarga dikatakan miskin apabila memiliki kategori sebagai berikut:

1. Luas bangunan kurang dari 8m2

(16)

3. Tidak memiliki fasillitas jamban /wc

4. Komsumsi lauk pauk tidak bervariasi

5. Tidak mampu membeli pakaian minimal 1 set pertahun untuk setiap anggota keluarga

6. Tidak memiliki aset rumah tangga seperti lemari

I.5.4.1. Konsep Kemiskinan dan Penyebabnya

Menurut Tjokrowinoto dalam Sulistiyani (2004) kemiskinan tidak hanya menyangkut

persoalan kesejahteraan semata tetapi kemiskinan menyangkut persoalan kerentanan,

ketidakberdayaan, tertutupnya akses peluang kerja, ketergantungan tinggi, dan rendahnya akses

pasar.

Sebab-sebab kemiskinan di antaranya dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Perbedaan pemilikan kekayaan.

2. Perbedaan dalam kemampuan pribadi.

3. Perbedaan dalam bidang dan pengalaman.

Kemiskinan menjadi suatu lingkaran setan dari kurangnya pendidikan, tingginya

pengangguran, rendahnya pendapatan, tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup, menjadi sumber

daya yang tidak produktif. Ini diperlukan satu program yang dapat memecahkan lingkaran setan,

maka program pemecahan yang dicanangkan harus dapat memecahkan permasalahan yang

sebenarnya masyarakat miskin.

John Friedmann dalam review “Empowerment”. Menguraikan Kaum Birokrat

mendefinisikan istilah kemiskinan sebagai berikut :

a. Garis kemiskinan: Tingkat konsumsi rumah tangga minimum yang dapat diterima secara

sosial

b. Kemiskinan Absolute: Kemiskinan diambang garis kemiskinan, dimana tidak dapat

(17)

c. Kemiskinan relatif: Kemiskinan sedikit diatas ambang garis kemiskinan, tapi jika

dibandingkan dengan kelompok yang sedikit mampu mereka dianggap miskin.

d. Kemiskinan tidak parah (negatif): kemiskinan yang diakibatkan oleh kemalasan atau

kecenderungan untuk mengerjakan hal-hal kriminal, mereka mampu menyediakan

kebutuhan hidup disekitar ada lapangan kerja namun tidak puas dengan upah yang

ditawarkan.

a. Kemiskinan tidak parah (positif): Kelompok masyarakat yang menggantungkan pada

upah pabrik, tidak bersifat kriminal, biasanya mempunyai prilaku jujur dan bersih

mandiri, dana yang diterima dipergunakan

I.5.4.2. Paradigma Baru Studi Kemiskinan

Dalam persoalan kemiskinan menurut Edi Suharto dalam tulisannya “Paradigma Baru

Studi Kemiskinan:, menyatakan dalam upaya mengatasi kemiskinan diperlukan sebuah kajian

yang lengkap sebagai acuan perancangan kebijakan dalam program anti kemiskinan. Menurut

hampir semua pendekatan dalam mengkaji kemiskinan masih berporos pada paradigma modelisasi

yang bersandar pada paradigma teori pertumbuhan neo klasik, dan para ahli ilmu sosial selalu

merujuk pendekatan tersebut, sistem pengukuran dan indikator yang digunakan terfokus pada

kondisi atau keadaan kemiskinan berdasarkan faktor ekonomi yang dominan. Orang miskin hanya

dipandang sebagai orang yang tidak memiliki, tidak memiliki pendapatan tinggi, tidak

berpendidikan, tidak sehat dan sebagainya. Melihat kelemahan pendekatan tersebut diperlukan

suatu perubahan pada fokus pengkajian kemiskinan terhadap konseptual dan metodelogi

pengukuran kemiskinan (suatu paradigma baru).

Paradigma baru kemiskinan melihat orang miskin dari potensi yang dimilikinya (sekecil

apapun potensi itu) yang dapat dingunakan dalam mengatasi kemiskinannya. Dalam paradigma

(18)

baik berbentuk aset personal dan sosial, serta berbagai segi penanganan masalah yang telah

dijalankan secara lokal, dalam paradigma baru sedikitnya 4 point yang perlu dipertimbangkan:

1. Kemiskinan dilihat secara dinamis yang menyangkut usaha dan kemampuan si miskin

dalam merespon kemiskinan

2. Indikator untuk mengukur kemiskinan sebaiknya jangan tunggal dalam bentuk analisis

keluarga/rumah tangga.

3. Konsep kemampuan sosial dipandang lebih lengkap dalam memotret kondisi dan

sekaligus dinamika kemiskinan.

4. Pengukuran kemampuan sosial keluarga miskin dapat memperoleh mata pencaharian

memenuhi kebutuhan dasar, mengelola aset menjangkau sumber-sumber, berpartisipasi,

kemampuan dalam menghadapi goncangan/tekanan.

I.5.5.Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan yang dalam bahasa Inggris “empowerment” bermakna pemberian

kekuasaan karena power bukan sekadar daya, tetapi juga kekuasaan, sehingga kata daya tidak saja

bermakna mampu tetapi juga mempunyai kuasa. Pemberdayaan adalah “proses menjadi” bukan

sebuah “proses instan”. Sebagai proses, pemberdayaan mempunyai tiga tahapan yaitu penyadaran,

pengakapasitasan dan pendayaan.

Seperti pendapat Hikmat (2001) yang menyatakan pemberdayaan masyarakat tidak hanya

mengembangkan potensi ekonomi rakyat, tetapi juga peningkatan harkat martabat, rasa percaya

diri dan harga dirinya, serta terpelihranya budaya setempat.

Suharto (2005) berpendapat bahwa pemberdayaan adalah proses dan tujuan. Sebagai

proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau

keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami

(19)

ingin dicapai oleh perubahan sosial, yaitu masyarakat yang berdaya, memiliki kekuasaan atau

mempunyai kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat fisik ekonomi,

maupun sosial seperti memiliki kepercayaan diri, mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai

mata pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan mandiri dalam melaksanakan

tugas-tugas kehidupannya. Inilah yang dilakukan P2KP dengan gerakan awal membentuk relawan yang

berasal dari masyarakat itu sendiri.

1.5.5.1. Pemberdayaan Masyarakat dan Proses Pembangunan

Dengan P2KP maka masyarakat tidak menjadi objek melainkan subjek dari perubahan.

Masyarakat harus menjadi pelaku utama dalam pembangunan ini merupakan prinsip

pembangunan berpusat pada rakyat. Perlunya restrukturisasi dalam system pembangunan sosial

pada tingkat mikro (masyarakat lokal), mikro (kelembagaan) dan makro (kebijakan) untuk

mendukung prinsip pembangunan yang berpihak pada rakyat. Menurut Adimihardja dan Hikmat

(2003) bahwa prinsip pembangunan berpusat pada rakyat menegaskan bahwa mayarakat harus

menjadi pelaku utama dalam pembangunan. Hal ini berimplikasi pada perlunya restrukturisasi

system pembangunan sosial pada tingkat mikro, meso, dan makro agar masyarakat lokal (tingkat

mikro) dapat mengembangkan potensi tanpa mengalami hambatan yang bersumber dari

faktor-faktor eksternal pada struktur meso (kelembagaan) dan makro (kebijakan).

Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya mempersiapkan masyarakat seiring dengan

upaya memperkuat kelembagaan masyarakat, agar mampu mewujudkan kemajuan, kemandirian

dan kesejahteraan. Menurut Hikmat (2001:3) konsep pemberdayaan dalam wacana pembangunan

masyarakat selalu dihubungkan dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja dan keadilan.

Pemberdayaan masyarakat adalah upaya meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarkat

yang sekarang dalam kondisi tidak mampu melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan

(20)

Dalam program pemberdayaan masyarakat harus diperhatikan bahwa masyarakat setempat

yang mempunyai tempat tinggal tetap dan permanen biasanya mempunyai ikatan solidaritas yang

tinggi sebagai pengaruh kesatuan tempat tinggalnya, adanya saling memerlukan diantara mereka,

perasaan demikian yang pada dasarnya merupakan identifikasi tempat tinggal dinamakan perasaan

komuniti (community sentiment). Menurut Soekanto (1990:150) bahwa unsur-unsur perasaan

komuniti antara lain :

a. Seperasaan

b. Sepenanggungan

c. Saling memerlukan

Dalam program pemberdayaan penting juga diperhatikan modal sosial yang dimiliki

masyarakat setempat. Seperti yang dinyatakan oleh Fukuyama (2002) dalam Hasbullah (2006: 8),

modal sosial adalah segala sesuatu yang membuat masyarakat bersekutu untuk mencapai tujuan

bersama atas dasar kebersamaan dan didalamnya diikat oleh nilai-nilai dan norma-norma yang

tumbuh dan dipatuhi. Situasi ini akan menjadi kunci bagi keberhasilan program pemberdayaan

yang terdapat di wilayah tersebut.

Berbagai program pembangunan yang dijalankan oleh pemerintahah akan jauh lebih

efektif jika dilakukan di tengah masyarakat yang memiliki modal sosial yang kuat. Program

infrastruktur perdesaan misalnya jalan, dengan melibatkan partisipasi penduduk desa secara

maksimal dan demikian dana pemerintah tidak saja akan terbebas dari kemungkinan

disalahgunakan, masyarakat sendiri akan memberikan sumbangan ide, tenaga, maupun

sumbangan bentuk lainnya guna memaksimalkan pekerjaan pemerintah di kampung mereka.

Pembangunan sosial merupakan sumber gagasan dari awal konsep pemberdayaan

masyarakat, bermaksud membangun keberdayaan yaitu membangun kemampuan manusia dalam

mengatasi permasalahan hidupnya. Dalam pembangunan sosial ditekankan pentingnya

(21)

Midgley (1995) dalam Suharto (2005:5) model pembangunan sosial menekankan pentingnya

pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan kelompok marginal, yakni peningkatan taraf

hidup masyarakat yang kurang memiliki kemampuan ekonomi secara berkelanjutan. Tujuan

tersebut dapat dicapai melalui :

1. Menumbuhkembangkan potensi diri (produktivitas masyarakat) yang lemah secara

ekonomi sebagai suatu aset tenaga kerja.

2. Menyediakan dan memberikan pelayanan sosial, khususnya pelayanan kesehatan,

pendidikan dan pelatihan, perumahan serta pelayanan yang memungkinkan mereka dapat

meningkatkan produktivitas dan partisipasi social dalam kehidupan masyarakatnya.

1.5.5.2. Partisipasi dan Pemberdayaan Masyarakat

Menurut Craig and Mayo (dalam Adimihardja dan Hikmat; 2003), bahwa partisipasi

mensyaratkan adanya proses pemberdayaan terlebih dahulu. Dengan kata lain, mustahil kita

berbicara partisipasi masyarakat tanpa diawali dengan diskusi pemberdayaan. Inilah yang

dilakukan melalui P2KP yaitu memberdayakan masyarakat terlebih dahulu melalui pembentukan

relawan dan pendampingan yang terus menerus sampai pada akhirnya masyarakat bisa mandiri.

Ada banyak konsep partisipasi. Partisipasi dapat diartikan sebagai keterlibatan seseorang secara

sadar kedalam interaksi sosial tertentu. Seseorang bisa berparitisipasi bila menemukan dirinya

dengan atau dalam kelompok, melalui proses berbagi dengan orang lain dalam hal nilai, tradisi,

perasaan, kesetiaan, kepatuhan dan tanggung jawab bersama

Agar mampu berpartisipasi seseorang perlu berproses dan proses itu ada dalam dirinya dan

dengan orang lain. Kemampuan setiap orang jelas akan berbeda-beda dalam berpartisipasi.

Dengan upaya yang sungguh-sungguh dan terencana, partisipasi seseorang dan pada akhirnya

muncul partisipasi kelompok akan bisa ditumbuhkan dengan dorongan dari dalam dirinya atau

dengan dorongan orang lain yang selalu berinteraksi dengan orang tersebut atau dengan kelompok

(22)

Latar belakang pemikiran partisipasi adalah program atau kegiatan pembangunan

masyarakat yang datang dari atas atau dari luar sering gagal dan tidak sesuai dengan kebutuhan

masyarakat lokal. Proses perencanaan dan pengambil keputusan dalam program pembangunan

kerapkali dilakukan dari atas ke bawah. Rencanan program pemberdayaan masyarakat biasanya

dibuat ditingkat pusat dan dilaksanakan oleh instansi terkait oleh instansi propinsi dan kabupaten,

dan biasanya defenisi pemberdayaan sendiri sangat beragam.

Masyarakat sering kali diikutkan tanpa diberikan pilihan dan kesempatan untuk memberikan

masukan. Hal ini biasanya disebabkan oleh adanya anggapan untuk mencapai efisiensi dalam

pembangunan, masyarakat tidak mempunyai kemampuan untuk menganalisa kondisi dan

merumuskan persoalan serta kebutuhan-kebutuhannya. Dalam hal ini, masyarakat ditempatkan pada

posisi yang membutuhkan bantuan dari luar. Sebenarnya jika masyarakat dilibatkan secara penuh,

mereka juga mempunyai potensi tersendiri, seperti yang dikemukakan oleh Adimihardja dan Hikmat

(2003:23-24) bahwa masyarakat sebenarnya memiliki banyak potensi baik dilihat dari sumber daya

alam maupun dari sumber daya sosial dan budaya. Masyarakat memiliki kekuatan bila digali dan

disalurkan akan menjadi energi besar untuk pengentasan kemiskinan. Cara menggali dan

mendayagunakan sumber-sumber yang ada pada masyarakat inilah yan menjadi inti dari

pemberdayaan masyarakat. Didalam pemberdayaan masyarakat yang penting adalah bagaimana

menjadikan masyarakat pada posisi pelaku pembangunan yang aktif dan bukan penerima pasif.

Konsep gerakan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan, mengutamakan inisiatif dan kreasi

masyarakat, dengan startegi pokok memberi kekuatan (power) kepada masyarakat.

(Edi Suharto, 2005 : 60) menyatakan sebagai tujuan pemberdayaan menunjuk pada

keadaan atau hal yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial, yaitu masyarakat yang berdaya,

memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan

(23)

mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan

sosial, dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya.

Dalam proses pemberdayaan masyarakat penting dalam melibatkan masyarakat lokal.

Strategi dasar yang dapat digunakan untuk pemecahan masalah adalah mengembangkan

partisipasi yang lebih luas dari masyarakat. Untuk memberikan semangat kepada masyarakat agar

terlibat aktif dalam kegiatan, baik dalam penetapan kebijakan, perumusan kebutuhan, maupun

dalam pemecahan masalah mereka sendiri. Merupakan salah satu cara untuk menuju keberdayaan

masyarakat. Menurut Cohen dan Uphoff dalam Prijono dan Pranarka (1996: 61) menyatakan

partisipasi mendukung masyarakat untuk mulai sadar akan situasi dan masalah yang dihadapinya

serta berupaya mencari jalan-jalan keluar yang dapat dipakai untuk mengatasi masalah mereka.

Partisipasi membantu mesyarakat miskin untuk melihat realitas ekonomi yang mengelilingi

mereka.

Jika masyarakat dari awal sudah dilibatkan dalam suatu program pemberdayaan, maka

akan berdampak positif bagi masyarakat dan juga kepada lembaga yang memberikan bantuan.

Adanya proses musyawarah dalam menentukan bagaimana proses perencanaan dan pelaksanaan

program, dengan demikian masyarakat turut berpartisipasi dan dapat menyuarakan aspirasi

mereka. Ini merupakan proses dari pemberdayaan masyarakat.

I.5.6.

Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP).

P2KP adalah suatu program pemerintah yang secara substansi berupaya dalam

penanggulangan kemiskinan melalui konsep memberdayakan masyarakat dan pelaku

pembangunan lokal lainnya, termasuk Pemerintah Daerah dan kelompok peduli setempat,

sehingga dapat terbangun “gerakan kemandirian penanggulangan kemiskinan dan pembangunan

berkelanjutan”, yang bertumpu pada nilai-nilai luhur dan prinsip-prinsip universal. (Buku

Pedoman Umum P2KP-3, Edisi Oktober 2005).

(24)

adalah untuk mengentaskan kemiskinan, dan mewujudkan proses perubahan masyarakat yang

lebih efektif melalui pendekatan pemberdayaan atau proses pembelajaran masyarakat dan

peguatan dengan mendukung kemandirian masyarakat.

Melalui pendekatan kelembagaan masyarakat dan penyediaan dana bantuan langsung ke

masyarakat kelurahan sasaran, P2KP cukup mampu mendorong dan memperkuat partisipasi serta

kepedulian masyarakat setempat secara terorganisasi dalam penanggulangan kemiskinan. Artinya,

Program penanggulangan kemiskinan berpotensial sebagai “gerakan masyarakat”, yakni; dari,

oleh dan untuk masyarakat.

Perubahan prilaku/sikap dan cara pandang masyarakat merupakan fondasi kokoh bagi

terbangunnya lembaga masyarakat yang mandiri melalui pemberdayaan para pelakunya agar

mampu bertindak sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia luhur yang mampu

menerapkan nilai-nilai luhur dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.

1.5.6.1. Visi, Misi, Nilai dan Prinsip P2KP

Adapun yang menjadi visi dari P2KP adalah: terwujudnya masyarakat yang madani, maju,

mandiri dan sejahtera, dengan lingkungan pemukiman yang sehat, berjati diri dan produktif. Misi P2KP

adalah: Bersama membangun kemandirian, masyrakat madani yang mampu menjalin kebersamaan dan

sinergi dengan pemerintah maupun kelompok peduli setempat dalam menanggulangi kemiskinan secara

efektif dan mampu mewujudkan terciptanya pengembangan lingkungan pemukiman yang produktif,

sehat, tertata, berkelanjutan. Nilai yang dipakai dalam P2KP adalah: Kejujuran, dapat dipercaya,

ikhlas/kerelawanan, adil, kesetaran dan kesatuan, dalam keragaman. Prinsip di dalam P2KP antara lain,

prinsip kemasyarakatan yaitu Demokrasi, partisipatif, transparansi, akuntabilitas, desenteralisasi. (Buku

Info P2KP edisi Februari 2007).

1.5.6.2. Prinsip-Prinsip Universal Pembangunan Berkelanjutan (Tridaya)

1. Perlindungan Lingkungan (Environmental Protection); dalam pengambilan keputusan

(25)

terutama kepentingan masyarakat miskin, perlu didorong agar keputusan dan pelaksanaan

kegiatan tersebut berorientasi pada upaya perlindungan/pemeliharaan lingkungan baik

lingkungan alami maupun buatan termasuk perumahan dan permukiman, yang harus

layak, terjangkau, sehat, aman, teratur, serasi dan produktif. Termasuk didalamnya adalah

penyediaan prasarana dan sarana dasar perumahan yang kondusif dalam membangun

solidaritas sosial dan meningkatkan kesejahteraan penduduknya.

2. Pengembangan Masyarakat (Social Development); tiap langkah kegiatan P2KP harus

selalu berorientasi pada upaya membangun solidaritas sosial dan keswadayaan

masyarakat sehingga dapat tercipta masyarakat efektif secara sosial sebagai pondasi yang

kokoh dalam upaya menanggulangi kemiskinan secara mandiri dan berkelanjutan.

Pengembangan masyarakat juga berarti upaya untuk meningkatkan potensi segenap unsur

masyarakat, terutama kelompok masyarakat yang rentan (vulnerable groups) dan marjinal

yang selama ini tidak memiliki peluang/akses dalam program/kegiatan setempat;

3. Pengembangan Ekonomi (Economic Development); dalam upaya menyerasikan

kesejahteraan material, maka upaya-upaya kearah peningkatan kapasitas dan

keterampilan masyarakat miskin dan atau penganggur perlu mendapat porsi khusus

termasuk upaya untuk mengembangkan peluang usaha dan akses ke sumberdaya kunci

untuk peningkatan pendapatan, dengan tetap memperhatikan dampak lingkungan fisik

dan sosial. (Buku Pedoman Umum P2KP-3, Edisi Oktober 2005).

1.5.6.3. Tujuan Pelaksanaan P2KP

1. Terbangunnya lembaga masyarakat berbasis nilai-nilai universal kemanusiaan,

prinsip-prinsip kemasyarakatan dan berorientasi pembangunan berkelanjutan, yang aspiratif,

representatif, mengakar, mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat miskin,

(26)

keputusan lokal, dan mampu menjadi wadah sinergi masyarakat dalam penyelesaian

permasalahan yang ada di wilayahnya;

2. Meningkatnya akses bagi masyarakat miskin perkotaan ke pelayanan sosial, prasarana dan

sarana serta pendanaan (modal), termasuk membangun kerjasama dan kemitraan sinergi

ke berbagai pihak terkait, dengan menciptakan kepercayaan pihak-pihak terkait tersebut

terhadap lembaga masyarakat (BKM);

3. Mengedepankan peran Pemerintah kota/kabupaten agar mereka makin mampu memenuhi

kebutuhan masyarakat miskin, baik melalui pengukuhan Komite Penanggulangan

Kemiskinan (KPK) di wilayahnya, maupun kemitraan dengan masyarakat serta kelompok

peduli setempat.

1.5.6.4. Sasaran dari P2KP

1. Masyarakat: yaitu seluruh masyarakat kelurahan dengan penerima manfaat langsung

adalah keluarga miskin (sesuai dengan kemiskinan masyarakat setempat yang telah

disepakati bersama).

2. Pemerintah Daerah: yaitu perangkat pemerintah dari tingkat kota/kabupaten, kecamatan

dan kelurahan.

3. Para pihak lainnya: yaitu seluruh pihak terkait seperti LSM, dunia usaha, perguruan

tinggi/cendikiawan, dan lain-lain.

Strategi yang digunakan oleh P2KP ialah: Proses pembelajaran untuk transformasi sosial

secara bertahap dari masyarakat miskin menuju tatanan masyarakat madani melalui:

1. Pembelajaran nilai-nilai universal.

2. Pembangunan bertumpu pada kelompok.

3. Pembelajaran Tridaya.

4. Pengembangan kapasitas.

(27)

6. Penguatan jaringan kemiteraan.

7. Pengembangan lingkungan pemukiman.

Prinsip yang ditekankan dalam Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan adalah

Transparansi, Keberpihakan pada orang miskin, Partisipasi masyarakat, Kompetisi untuk dana,

dan Desentralisasi. (Buku Info P2KP edisi Februari 2007).

I.6 Defenisi Konsep

Untuk memberikan batasan yang jelas tentang penelitian ini, penulis mendefenisikan

konsep-konsep yang digunakan sebagai berikut :

1. Pengaruh

Pengaruh yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu kondisi yang timbul akibat

tindakan-tindakan yang dilakukan yang ikut membentuk cara berfikir, sikap dan perbuatan

seseorang atau masyarakat yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah

digariskan dalam keputusan kebijaksanaan.

3. Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)

Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)

4.

merupakan program pemerintah

yang secara substansi berupaya dalam penanggulangan kemiskinan melalui konsep

memberdayakan masyarakat dan pelaku pembangunan lokal lainnya, termasuk Pemerintah

Daerah dan kelompok peduli setempat, sehingga dapat terbangun "gerakan kemandirian

penanggulangan kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan", yang bertumpu pada nilai-nilai

luhur dan prinsip-prinsip universal.

Kesejahteraan Masyarakat

Kesejahteraan adalah terciptanya kondisi sosial masyarakat dari yang tidak berdaya menjadi

(28)

lembaga kemasyarakatan yang berbasiskan nilai luhur kemanusiaan dan prinsip

kemasyarakatan.

I.7 Definisi Operasional

Untuk mengukur hubungan antar variabel, maka penulis merinci indikator-indikator dari

setiap variabel sebagai berikut:

1. Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan, memiliki dimensi:

a. Pengembangan Daya Sosial, dengan indikator:

i. Peningkatan akses pelayanan sosial yaitu peningkatan mutu pendidikan bagi

keluarga miskin.

ii. Pemenuhan ketersediaan pangan yang bermutu dan terjangkau

iii. Peningkatan kualitas sumber daya manusia

b. Pengembangan Ekonomi, dengan indikator:

i. Peningkatan keterampilan melalui pelatihan-pelatihan.

ii. Pengembangan peluang usaha.

iii. Terbukanya kesempatan kerja

c. Perlindungan Lingkungan, dengan indikator:

i. Terpenuhinya kebutuhan perumahan

ii. Keadaan sanitasi yang layak dan sehat.

iii. Partisipasi masyarakat miskin dalam keseluruhan proses pembangunan

2. Kesejahteraan Masyarakat, dengan indikator:

i. Angka harapan hidup

ii. Tingkat melek huruf (pendidikan)

(29)

Pengaruh Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) (Studi pada Kelurahan Kota Matsum I, Kecamatan Medan Area, Kota Medan)

Skripsi ini disusun oleh :

Nama : Tyas Wahyu Fadhila

NIM : 050 903 043

Departemen : Ilmu Administrasi Negara Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Dosen Pembimbing : Drs. M. Husni Thamrin, MSi.

Kajian mengenai kemiskinan merupakan kajian yang telah banyak dilakukan sebelumnya dengan hasil yang beragam. Untuk Kelurahan Kota Matsum I, P2KP dianggap merupakan sebuah solusi dalam upaya meningkatkan kesejahteran. Oleh karena itu, penelitian ini diberi judul “Pengaruh Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) terhadap Kesejahteraan Masyarakat di Kelurahan Kota Matsum I Kecamatan Medan Area Kota Medan”.

Penelitian ini berbentuk Eksplanasi yaitu untuk menguji apakah suatu variabel berasosiasi ataukah tidak dengan variabel lainnya. Untuk menguji pengaruh tersebut, penulis menggunakan analisis data kuantitatif dengan metode pengujian Koefisien Korelasi Product Moment, Uji Signifikansi dan Koefisien Determinasi. Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Kota Matsum I Kecamatan Medan Area Kota Medan dengan menggunakan sampel masyarakat penerima manfaat P2KP melalui Konsep Tridaya yaitu Daya Ekonomi, Daya Sosial, dan Daya Lingkungan sebanyak 47 orang.

Dari hasil perhitungan diperoleh rxy = 0,530 dengan kata lain koefisien korelasi bernilai

positif yang artinya kenaikan variabel yang satu akan diikuti oleh kenaikan variabel yang lainnya. Hasil perhitungan melalui uji hipotesis pada tabel koefisien korelasi product moment dengan taraf signifikan atau tingkat kesalahan α = 5% (0,288) untuk n = 47 diperoleh bahwa ternyata r-hitung lebih besar dari r-tabel atau 0,530 > 0,288 sehingga hipotesis alternatif diterima dan hipotesis

nol ditolak yang berarti terdapat pengaruh P2KP terhadap kesejahteraan masyarakat. Selanjutnya

untuk memberikan interpretasi seberapa kuat hubungan tersebut, berdasarkan pedoman yang digunakan maka koefisien korelasi yang diperoleh sebesar 0,530 menunjukkan bahwa pengaruh P2KP terhadap kesejahteraan masyarakat di Kelurahan Kota Matsum I termasuk pada kategori menengah atau sedang. Hasil perhitungan koefisien determinasi yang digunakan untuk mengetahui sekaligus membuktikan hipotesis, diperoleh tingkat pengaruh sebesar 28,09%.

(30)

BAB II

METODE PENELITIAN 2.1.Bentuk Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah Penelitian Eksplanasi

(Explanatory Research), yaitu untuk menguji hubungan antara variabel yang dihipotesiskan atau untuk

mengetahui apakah sesuatu variabel berasosiasi ataukah tidak dengan variabel lainnya (Faisal, 2000:

21). Dan untuk memperkuat hipotesis tersebut, akan dianalisis secara kuantitatif, sehingga diharapkan

dapat menjelaskan hubungan dan pengaruh suatu gejala dengan gejala lain.

2.2.Populasi dan Sampel 2.2.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek yang terdiri dari manusia, benda, hewan, dan

tumbuh-tumbuhan, gejala, nilai atau peristiwa sebagai sumber data yang memiliki karakter

tertentu dalam suatu peneltian (Nawawi, 1995: 141). Berdasarkan pengertian tersebut, maka

yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh warga yang mendapatkan Program

Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) di Kelurahan Kota Matsum I Kecamatan

Medan Area Kota Medan. Sebagai unit analisis penelitian ini adalah kepala keluarga dan

perorangan .

2.2.2 Sampel

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik proporsional sampling, dalam teknik ini

penulis mengambil wakil dari unit-unit populasi tersebut dengan sistem perwalian berimbang.

Kelurahan Kota Matsum I, terdiri dari 34 lingkungan dengan jumlah penduduk sebanyak 17.687

jiwa dan 4.425 orang dengan 3.298 diantaranya adalah keluarga pra sejahtera. Akan tetapi, tidak

semua lingkungan di Kelurahan Kota Matsum I yang menerima P2KP secara merata. Dalam

(31)

ditentukan berdasarkan program dari konsep Tridaya yaitu sosial, ekonomi, dan lingkungan,

sehingga didapat sbb ;

Unit I : Penerima Daya Sosial : 196 orang (Lingk. 1 – 13)

Unit II : Penerima Daya Ekonomi : 20 orang (Lingk. 1 – 13)

Unit III : Penerima Daya Lingkungan : 247 orang (Terdiri dari 8 lingkungan)

Jumlah keseluruhan kepala keluarga penerima P2KP adalah sebanyak 463 orang, maka

dalam penelitian ini penulis menggunakan presentasi untuk menakar pembagian yang berimbang.

Penarikan sampel yang dijadikan bagian dari objek penelitian ditetapkan dengan menggunakan

teknik pengambilan sampel random sederhana, dengan merujuk pada pendapat Suharsimi

Arikunto (2002:104) yang mengatakan, apabila populasi kurang dari 100 orang, maka diambil

seluruhnya. Namun bila jumlah populasinya lebih dari 100 orang, maka sampel diambil sebesar

10% - 15%, 20% - 25%, atau lebih. Dalam hal ini peneliti mengambil 10% dari tiap unit. Besar

sampel penelitian dengan mengacu kepada pendapat Arikunto adalah unit I diwakili oleh 20

orang, unit II diwakili oleh 2 orang, unit III diwakili oleh 25 orang, total seluruhnya adalah 47

orang yang akan menjadi sampel penelitian.

2.3.Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Kota Matsum I Kecamatan Medan Area Kota

Medan. Alasan memilih lokasi penelitian karena Kelurahan Gedung Kota Matsum I merupakan

salah satu kelurahan di Kota Medan yang masih terdapat cukup banyak penduduk miskinnya dan

(32)

2.4.Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Wawancara, yaitu proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya

jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan responden atau orang yang

diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara mengenai

seluk-beluk P2KP dan memahami kondisi masyarakat yang ikut dalam program ini;

2. Kuisioner (Questionaire), yaitu berupa rangkaian atau kumpulan pertanyaan yang disusun

secara sistematis dalam sebuah daftar pertanyaan, kemudian dikirim kepada responden untuk

diisi. Selanjutnya angket/kuisioner dikembalikan kepada peneliti;

3. Observasi, yaitu menghimpun data penelitian melalui pengamatan peneliti dengan cara

pengamatan dan pencatatan dengan sistematik tentang gejala-gejala yang diamati, melalui

observasi peniliti akan memperoleh informasi/data yang tidak mungkin bisa dihimpun

melalui wawancara atau kuesioner.

4. Studi dokumentasi dengan mempelajari buku dan/atau literatur, hasil-hasil penelitian,

catatan tertulis dan sebagainya yang relevan dengan tujuan penelitian studi kasus ini.

2.5.Penentuan Skor

Melalui berbagai pertanyaan yang diajukan kepada responden maka akan ditentukan skor

dari setiap jawaban sehingga menjadi data yang kuantitatif. Setiap alternatif jawaban akan diberi

skor yang berbeda. Penentuan skor didasarkan pada skala ordinal. Adapun penentuan skor dari

setiap pertanyaan dengan alternatif jawaban yang berbeda, yaitu :

- Untuk alternatif jawaban “a” diberi skor = 5

- Untuk alternatif jawaban “b” diberi skor = 4

- Untuk alternatif jawaban “c” diberi skor = 3

(33)

Skor tertinggi – Skor terendah Interval =

Banyak Bilangan = 5 – 1

5 = 0,80

- Untuk alternatif jawaban “e” diberi skor = 1

Jawaban responden akan dikategorikan ke dalam beberapa kategori menurut alternatif

jawaban. Kategori tersebut diperoleh melalui interval.

Rumus untuk mencari interval adalah sebagai berikut :

Dengan interval 0,80 maka kategori jawaban responden dapat diklasifikasikan dengan

urutan sebagai berikut:

1,00 s/d 1,80 : termasuk kategori sangat rendah

1,81 s/d 2,60 : termasuk kategori rendah

2,61 s/d 3,40 : termasuk kategori sedang

3,41 s/d 4,20 : termasuk kategori tinggi

4,21 s/d 5,00 : termasuk kategori sangat tinggi

2.6.Analisis Data

Penulis menggunakan analisis data kuantitatif, yaitu analisis yang digunakan untuk menguji

hubungan atau pengaruh suatu variabel terhadap variabel lain dengan menggunakan perhitungan

statistik. Dalam penelitian ini, penulis bersikap netral sehingga tidak mempengaruhi data. Untuk

itu penulis hanya melihat, bertanya, mendengar, mencatat, merekam, dan memperhatikan lalu

berusaha menjabarkan atau menginterpretasikan data tersebut untuk dianalisis sehingga dapat

memberikan kesimpulan setelah dilakukan pengecekan ulang atas data tersebut. Setiap kembali

dari lapangan, data yang tercatat di field note dipindahkan sekaligus mengklasifikasikannya ke

(34)

yang masih diperlukan, untuk itu dapat dicatat agar penelitian berikutnya data yang diperlukan

dapat terjaring.

2.6.1. Koefisien Korelasi Product Moment

Metode pengujian ini digunakan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh yang

ditimbulkan oleh variabel bebas (Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)

)

terhadap variabel terikat (Kemiskinan). Koefisien Korelasi Product Moment (Bungin 2005:197):

dapat diperoleh melalui rumus sebagai berikut:

Keterangan :

rxy

x : variabel bebas : koefisien korelasi

y : variabel terikat

n : jumlah sampel/responden

Hasil perhitungan akan memperlihatkan 3 kemungkinan yaitu:

1. Koefisien korelasi (rxy

2. Koefisien korelasi (r

) bernilai positif, artinya kenaikan salah satu variabel diikuti oleh

variabel lainnya. Dalam hal ini terjadi korelasi searah.

xy

3. Koefisien korelasi (r

) bernilai negatif, artinya kenaikan salah satu variabel diikuti dengan

turunnya variabel yang lain. Dalam hal ini terjadi korelasi berlawanan.

xy

Untuk mengetahui besar kecilnya hubungan yang ada tersebut, maka digunakan penafsiran

sebagai berikut :

) bernilai 0, artinya salah satu variabel tetap meskipun variabel yang

lain mengalami perubahan. Dalah hal ini kedua variabel tidak ada asosiasi atau dengan kata

lain kedua variabel tidak mempunyai hubungan.

(35)

Antara 0,20 s/d 0,39 : hubungan rendah

Antara 0,40 s/d 0,59 : hubungan sedang

Antara 0,60 s/d 0,79 : hubungan tinggi

Antara 0,80 s/d 1,00 : hubungan sangat tinggi (Sugiyono, 2002 : 149).

2.6.2. Uji Signifikansi

Uji signifikansi dilakukan untuk menentukan apakah hipotesis diterima atau ditolak. Uji

signifikansi dilakukan terhadap hipotesis nol (Ho) yang berbunyi :

”tidak ada korelasi antara variabel X dan variabel Y”. Ho ditolak apabila nilai t-hitung lebih besar

dari harga t-tabel (t-hitung > t-tabel), dan diterima apabila t-hitung lebih kecil dari t-tabel. Dapat

diperoleh melalui rumus :

r n hitung r

t = 1−2

Keterangan :

r = koefisien korelasi prodect moment

(36)

2.6.3. Koefisien Determinasi

Koefisien determinasi digunakan untuk mengetahui seberapa besar (persentase) pengaruh

yang ditimbulkan oleh variabel bebas terhadap variabel terikat. Rumus yang digunakan adalah

sebagai berikut :

D = (r2

Keterangan :

) x 100%

D : koefisien determinasi

(37)

BAB III

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

3.1.KELURAHAN

3.1.1. Letak Geografis

Kelurahan Kota Matsum I terletak di Kecamatan Medan Area, Kota Medan, Provinsi

Sumatera Utara. Luas wilayah Kelurahan Kota Matsum I adalah 33,701 Km². Batas – batas

wilayah Kelurahan Kota Matsum I adalah sebagai berikut :

a) Sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Sei Rengas I dan Kelurahan Sei Rengas

Permata.

b) Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Kota Matsum II.

c) Sebelah barat berbatasan dengan Jl. Sun Yat Sen dan Jl. Laksana.

d) Sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Sukaramai I.

3.1.2. Penduduk

Berdasarkan data yang penulis dapat, profil kependudukan Kelurahan Kota Matsum I

dapat dilihat dalam tabel di bawah ini :

Tabel 1 . Tabel Kualifikasi Penduduk Jenis Kelamin

No

Jenis Kelamin

Jumlah

Persentase

1 Laki-laki 7.885 Orang 44,58 %

2 Perempuan 9.802 Orang 55,42 %

(38)

Tabel 2 . Tabel Kualifikasi Penduduk Berdasarkan Pendidikan

No

Tingkat Pendidikan

Jumlah

Persentase

1 Belum Sekolah 1788 Orang 10.11 %

2 Drop Out SD 380 Orang 2.15 %

3 SD 3726 Orang 21.07 %

4 SMP 5289 Orang 29.9 %

5 SMA 4261 Orang 24.1 %

6 D-1 410 Orang 2.31 %

7 D-2 262 Orang 1.48 %

8 D-3 517 Orang 2.92 %

9 S-1 974 Orang 5.51 %

10 S-2 56 Orang 0.32 %

11 S-3 24 Orang 0.14 %

Tabel 3 . Tabel Kualifikasi Penduduk Berdasarkan Umur

No

Umur

Jumlah

Persentase

1 0 – 10 Tahun 2693 Orang 15.22 %

2 11 – 20 Tahun 2578 Orang 14.58 %

3 21 – 30 Tahun 3094 Orang 17.49 %

4 31 – 40 Tahun 2727 Orang 15.42 %

5 41 – 50 Tahun 3155 Orang 17.48 %

(39)

Tabel 4 . Tabel Kualifikasi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian

No

Mata Pencaharian

Jumlah

Persentase

1 PNS, TNI/POLRI 536 Orang 3.98 %

2 Swasta 4386 Orang 32.53 %

3 Pengrajin 128 Orang 0.95 %

4 Pedagang 6756 Orang 50.12 %

5 Penjahit 147 Orang 1.09 %

6 Tukang Batu 69 Orang 0.51 %

7 Tukang Kayu 18 Orang 0.13 %

8 Montir 8 Orang 0.06 %

9 Dokter 15 Orang 0.11 %

10 Sopir 65 Orang 0.48 %

11 Pengemudi Becak 78 Orang 0.58 %

12 Wirausaha/ Pengusaha 1276 Orang 9.46 %

Tabel 5 . Tabel Kualifikasi Penduduk Berdasarkan Agama

No

Agama

Jumlah

Persentase

1 Islam 16161 Orang 91.37 %

2 Kristen 154 Orang 0.87 %

3 Katholik 36 Orang 0.2 %

4 Budha 1333 Orang 7.54 %

5 Hindu 3 Orang 0.02 %

(40)

3.1.3. Struktur Organisasi Kantor Kelurahan

Kelurahan Kota Matsum I dipimpin oleh seorang Lurah Bernama Zainal Arifin yang

membawahi beberapa pegawai sebagai berikut :

Sekretaris Lurah : Bachruddin Chan

Kasi Tata Pemerintahan : Zulaika Lubis

Kasi Tata Pembangunan : Abdul Azis

Kasi Keamanan dan Ketertiban : Syaiful Bahri

Staf : Wardana Nasution

Honor : Beni

Selain itu Kelurahan Kota Matsum I terdiri atas 34 lingkungan yang masing – masing

dipimpin oleh Kepala Lingkungan yang dibawahi oleh Lurah. Kepala Lingkungan tersebut adalah

:

Kepala Lingkungan I : M. Taufik

Kepala Lingkungan II : Syamsul Bahri

Kepala Lingkungan III : Mas’ud

Kepala Lingkungan IV : Hairul Amri Zega

Kepala Lingkungan V : Rustam

Kepala Lingkungan VI : Soyono

Kepala Lingkungan VII : M. Thamrin Ginting

Kepala Lingkungan VIII : Syamsul Bahri

Kepala Lingkungan IX : T. Perdana Lesmana

Kepala Lingkungan X : Mulkan Hasibuan

Kepala Lingkungan XI : Rudi Susanto

(41)

Kepala Lingkungan XIII : H. Abdul Muthalib Sinik

Kepala Lingkungan XIV : Zahar Syah

Kepala Lingkungan XV : Ismed Noor

Kepala Lingkungan XVI : Husein M. Bawazier

Kepala Lingkungan XVII : Zulazmi Lukman

Kepala Lingkungan XVIII : T. Reza Fahlevi

Kepala Lingkungan XIX : Abu Bakar Hajar

Kepala Lingkungan XX : Idris Sardi

Kepala Lingkungan XXI : Sarifuddin. S

Kepala Lingkungan XXII : Ali Muchtar

Kepala Lingkungan XXIII : Edi Sofyan

Kepala Lingkungan XXIV : M. Gono Harahap

Kepala Lingkungan XXV :Muhammad Din

Kepala Lingkungan XXVI : Muktamar. BBA

Kepala Lingkungan XXVII : Afrizal. SE

Kepala Lingkungan XXVIII : Asmuni

Kepala Lingkungan XXIX : Hadi Syahputra

Kepala Lingkungan XXX : H. DT. Ferialsyah

Kepala Lingkungan XXXI : Subadi

Kepala Lingkungan XXXII : Nur Azwarsyah

Kepala Lingkungan XXXIII : Alyandri

(42)

3.2.Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)

Dalam usaha mengatasi kemiskinan di daerahnya, Kelurahan Kota Matsum I diketahui

juga ikut dalam salah satu program penanggulangan kemiskinan yang sedang berjalan di Kota

Medan saat ini. Program tersebut adalah P2KP. Program penanggulangan kemiskinan di perkotaan

sebagai salah satu program nasional yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia dalam rangka

menanggulangi berbagai persoalan kemiskinan yang terjadi di masyarakat, khususnya bagi

masyarakat yang tinggal di wilayah perkotaan melalui konsep pemberdayaan masyarakat serta

pelaku pembangunan lokal lainnya yang mengusung nilai – nilai universal.

Adapun di Kelurahan Kota Matsum I, yang terlibat dalam program ini tersusun dalam

suatu perangkat organisasi Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM). Badan keswadayaan

masyarakat di Kelurahan Kota Matsum I bernama BKM Komatsu. Profil anggota BKM Komatsu

dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 6 . Tabel Profil Keanggotaan BKM KOMATSU

N Nama L/ Umur

(Tahun Alamat Pedidikan

Jabatan

(BKM) Pekerjaan

1 Aliyandri L 52 Jl. Sutrisno SMA Koordinato Wiraswasta

(43)

1 Mardiati P 55 Jl. Puri SMA

Anggota IRT

1 Marlina Agustina S P 45 Jl. Rahmadsyah SMA

Anggota IRT

1 Maulana Syaiful Alam L 43 Jl. Puri SMA

Anggota Wiraswasta

Adapun deskripsi yang lebih rinci tentang tugas pokok dan fungsi BKM serta perangkat

BKM adalah sebagai berikut :

1. Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM)

BKM adalah dewan pimpinan kolektif masyarakat warga penduduk kelurahan, dan sebagai

lembaga BKM dapat bertindak sebagai representasi masyarakat warga penduduk kelurahan.

Tugas pokok BKM adalah :

1. Merumuskan kebijakan serta aturan main secara demokratis mengenai hal – hal yang

berhubungan dengan penanggulangan kemiskinan.

2. mengorganisasi masyarakat untuk memutuskan visi, misi, rencana stategis dan

pronangkis.

3. memonitor, mengawasi dan mengendalikan pelaksanaan keputusan – keputusan yang

diambil.

4. Mendorong proses pembangunan partisipatif.

5. Membuka akses dan kesempatan kepada masyarakat untuk melakukan kontrol

terhadap kebijakan, dan kegiatan unit pengelola.

6. Memfasilitasi usukan program penanggulangan kemiskinan untuk untuk

diintegrasikan dengan kebijakan pemerintah kelurahan, kecamatan, dan kota /

kabupaten.

7. Mengawal penerapan nilai – nilai kemanusiaan dan prinsip kemasyarakatan.

8. Memfasilitasi jaringan dengan pihak lain.

(44)

10.Memonitor, memberikan masukan untuk berbagai kebijakan maupun program

pemerintah lokal.

11.Menjamin dan mendorong peran serta berbagai unsur masyarakat.

12.Membangun transparansi.

13.Membangun akuntabilitas.

14.Melaksanakan rapat anggota tahunan.

2. Perangkat Organisasi BKM

a. Unit Pengelola Keuangan (UPK)

i. Dipimpin oleh seorang manajer yang dipilih melalui rapat anggota BKM.

ii. Anggota sesuai kebutuhan.

iii. Pengawasan pelaksanaan Unit Pengelola oleh BKM.

iv. Pelayanan Unit Penglola berorientasi pada masyarakat.

v. Tidak diperbolehkan dirangkap oleh BKM.

b. Unit Pengelola Sosial (UPS) dan Unit Pengelola Lingkungan (UPL)

i. Masing – masing unit pengelola berkedudukan mandiri dalam melaksanakan

kegiatan dan pengelolaan dana.

ii. Bertanggung jawab kepada BKM.

iii. Berkewajiban memberi informasi dan laporan perkembangan masing – masing

kegiatan.

iv. Memberikan pertanggung jawaban berkala dan pertanggung jawaban akhir.

v. Memberikan masukan bagi pertimbangan BKM.

c. Sekretariat

i. Pelaksana operasional dan administrasi kegiatan sehari – hari.

Gambar

Tabel 1 . Tabel Kualifikasi Penduduk Jenis Kelamin
Tabel 3 . Tabel Kualifikasi Penduduk Berdasarkan Umur
Tabel 5 . Tabel Kualifikasi Penduduk Berdasarkan Agama
Tabel 6 . Tabel Profil Keanggotaan BKM KOMATSU
+7

Referensi

Dokumen terkait

Aplikasi Web E-commerce pada Inkubator Bisnis Politeknik Negeri Sriwijaya adalah sebuah perangkat lunak e-commerce yang terdiri dari kumpulan perintah-perintah yang

Dari data yang diperoleh untuk tahap memahami masalah subjek tepat dapat menuliskan apa yang diketahui soal sehingga subjek mengalami proses berpikir konseptual (B1.1) dan

Oleh karena itu, kerangka pemikiran merupakan kombinasi antara argumentasi teoritis dan bukti-bukti empiris atau hasil penelitian sebelumnya mengenai masalah penelitian

[r]

[r]

Pola kadar kolesterol HDL serum tikus putih pada pemberian asam nikotinat ..... Perhitungan koefisien korelasi

(2008), yakni: 1) kentuntasan belajar dapat dikatakan tuntas apabila sekurang-kurangnya 75% dari jumlah siswa yang telah memperoleh nilai Kriteria Ketuntasan Minimal

Tujuan penelitian adalah Untuk mengetahui saluran pemasaran asam glugur di daerah penelitian, untuk mengetahui fungsi-fungsi pemasaran asam glugur di daerah penelitian,