• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjuan Yuridis Upaya Hukum Yang Dilakukan Debitur Terhadap Penarikan Benda-Benda Bergerak Yang Ditarik Paksa Oleh Leasing/ Kreditur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tinjuan Yuridis Upaya Hukum Yang Dilakukan Debitur Terhadap Penarikan Benda-Benda Bergerak Yang Ditarik Paksa Oleh Leasing/ Kreditur"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

TINJUAN YURIDIS UPAYA HUKUM YANG DILAKUKAN DEBITUR TERHADAP PENARIKAN BENDA-BENDA BERGERAK YANG

DITARIK PAKSA OLEH LEASING/ KREDITUR

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

HAROLD MARNANGKOK MARBUNGARAN MAHARA MANURUNG NIM: 080200385

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN/ BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

TINJUAN YURIDIS UPAYA HUKUM YANG DILAKUKAN DEBITUR TERHADAP PENARIKAN BENDA-BENDA BERGERAK YANG

DITARIK PAKSA OLEH LEASING/ KREDITUR

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

HAROLD MARNANGKOK MARBUNGARAN MAHARA MANURUNG NIM: 080200385

Disetujui Oleh

Ketua Departemen Hukum Perdata

(Dr. Hasim Purba, SH. M. Hum) NIP. 196603031985081001

Pembimbing I Pembimbing II

(MUHAMMAD HAYAT, SH) (MUHAMMAD HUSNI,

SH, MH.)

NIP. 195008081980021001 NIP. 19582021988031004

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

ABSTRAKSI

Di zaman sekarang ini kegiatan pembiayaan dan bentuk pembelian barang secara berangsur (kredit) berkembang dengan pesat di Indonesia, hal ini menyebabkan banyaknya lahir lembaga-lembaga pembiayaan non bank termasuk salah satu diantaranya adalah Leasing. Wilayah Indonesia yang luas dan minimnya pembangunan sarana transportasi publik yang memadai di kota-kota, desa-desa, hingga pedalaman Indonesia menyebabkan kebutuhan akan transportasi benda bergerak khusunya kendaraan roda dua (sepeda motor) dan roda empat (mobil) sangat tinggi karena diperlukan masyarakat untuk mendorong aktifitas sehari-hari. Membludaknya jenis kendaran roda dua (sepeda motor) dan roda empat (mobil) yang masuk ke pasar Indonesia mulai dari pabrikan otomotif Jepang hingga pabrikan otomotif Eropa yang merupakan pabrikan elit dunia membuat masyarakat gampang tergiur untuk memiliki jenis kendaraan terbaru ataupun mengganti kendaraan mereka yang lama dengan keluaran terbaru. Lembaga pembiayaan pun hadir dengan inovasi-inovasi mereka memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk membeli barang secara berangsur (kredit) dengan uang muka (downpayment) yang relatif rendah dan jangka waktu pembayaran cicilan yang relatif lama (bisa mencapai 3 sampai dengan 4 tahun), hal ini membuat masyarakat terkadang gampang tergiur untuk mendapatkan kendaraan terbaru yang mereka lihat ataupun berhasrat memiliki kendaraan bekas

(second) yang dijual di showroom roda dua (sepeda motor) maupun showroom

roda empat (mobil) karena kemudahan pembelian dan bentuk pembayaran yang ditawarkan perusahaan leasing yang menawarkan jasa perjanjian leasing untuk mendapatkan kendaraan tersebut sekaligus di showroom-showroom tersebut. Akan tetapi hasrat dan ketergiuran masyarakat ini kadang tidak dibarengi dengan kemampuan finansial ataupun pemikiran yang panjang tentang sumber pembayaran cicilan di kemudian hari dengan mempertimbangkan pendapatan, kebutuhan yang terus meningkat, dan pengeluaran dari Debitur. Hal ini menyebabkan banyaknya terjadi fenomena kredit macet dalam perjanjian Leasing, dan banyak perusahaan Leasing yang bermodal besar menggunakan jasa debt

collector untuk melakukan penarikan paksa terhadap benda bergerak yang berada

(4)

bagi Debitur, dan dari segi hukum perbuatan penarikan secara paksa merupakan perbuatan melawan hukum yang tidak boleh dibiarkan terus-menerus terjadi.

Permasalahannya yaitu : Bagaimana kaitan perjanjian Leasing sebagai lembaga pembiayaan dengan Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Bagaimana langkah yang ditempuh Debitur/ Konsumen apabila mengalami penarikan paksa benda-benda bergerak oleh Kreditur, Lembaga atau Peradilan manakah yang mempunyai wewenang untuk menyelesaikan sengketa terhadap benda-benda bergerak yang ditarik paksa oleh Lessor/ Kreditur, Bagaimana peran BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) terhadap pengaduan Konsumen dan penyelesaian sengketa terhadap benda-benda bergerak yang ditarik paksa oleh

Lessor/ Kreditur. Metode yang penulis pergunakan dalam penulisan skripsi ini ada

dua macam metode yakni, tinjauan kepustakaan (Library Research) dilakuakn untuk mengumpulkan buku-buku yang berkaitan langsung dengan judul skripsi yang penulis buat dan penelitian lapangan (Field Research), dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data dan bahan-bahan serta informasi tentang perjanjian

Leasing serta untuk mengetahui dimana diatur leasing tersebut dalam

KUHPerdata.

Peranan BPSK dalam menyelenggarakan perlindungan Konsumen di Indonesia merupakan ujung tombak di lapangan untuk memberi perlindungan kepada Konsumen yang telah dirugikan atau diderita sakit. Perlindungan yang diberikan oleh lembaga BPSK tersebut kepada Konsumen adalah melalui penyelesaian sengketa antara Konsumen/ Debitur dan Pelaku Usaha/ Lessor dan juga melalui pengawasan terhadap setiap perjanjian atau dokumen yang mencantumkan klausula baku yang merugikan Konsumen. Dalam hal ini BPSK telah berfungsi ganda, disatu sisi UU. No. 8 tahun 1999 telah memberikan kewenangan yudikatif untuk menyelesaikan kepentingan umum yaitu sengketa antara Konsumen dan Pelaku Usaha dan disisi lain UU. No. 8 tahun 1999 juga memberikan kewenangan eksekutif kepada BPSK untuk mengawasi pencantuman Klausula Baku dalam setiap perjanjian atau dokumen yang merugikan Konsumen yang telah ditetapkan sepihak oleh Pelaku Usaha.

Kata Kunci:

1. Benda bergerak/ kendaraan 2. Perjanjian Leasing

(5)

KATA PENGANTAR

Pertama-tama penulis panjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang

Maha Esa atas segala berkat dan karuniaNya sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini disusun untuk memperoleh

gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Adapun

judul skripsi ini adalah “Tinjauan Yuridis Upaya Hukum Yang Dilakukan Debitur

Terhadap Penarikan Benda-benda Bergerak Yang Ditarik Paksa Oleh Leasing/

Kreditur”.

Penulis telah berusaha mengerahkan segala kemampuan dan ilmu

pengetahuan yang penulis dapatkan selama perkuliahan di Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara dalam menyelesaikan skripsi ini. Tetapi penulis

menyadari bahwa skripsi ini tidak luput dari kekurangan dan jauhn dari

kesempurnaan, untuk itu penulis mohon saran dan kritikan yang bersifat

membangun demi kesempurnaan skripsi ini.

Penulis sadar sejak awal hingga akhir prnulis banyak menerima

bimbingan, bantuan dan motivsi dari berbagai pihak. Karena itu tidak lupan

penulis bersyukur dan mengucapkan terima kasih dengan rasa tulus dan ikhlas

kepada:

1. Bapak Prof. DR. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Dekan di Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Prof. Budiman Ginting, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan I di

(6)

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH selaku Pembantu Dekan II di Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara

4. Bapak Muhammad Husni, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan III di Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara dan sekaligus sebagai Dosen Pembimbing

II penulis yang telah banyak memberikan saran, motivasi dan koreksi bagi

penulis dalam menyelesaikan skripsi ini

5. Bapak Muhammad Hayat, SH selaku Dosen Pembimbing I penulis yang telah

membantu dan memotivasi penulis dengan memberikan saran dan ide-idenya.

6. Bapak DR. Hasim Purba, SH, M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum

Perdata BW

7. Bapak Makdin Munthe, SH selaku Dosen Wali penulis mulai dari pertama kali

penulis berkuliah di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara hingga

penulis menyusun skripsi untuk menperoleh gelar Sarjana Hukum

8. Bapak H. M. Dharma Bhakti Nasution, SE, SH, MH sebagai Ketua BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) Kota Medan yang telah menyambut prnulis dengan hangat dan membantu penulis dalam memperoleh

keterangan mengenai penyelesaian sengketa Konsumen dalam perjanjian

leasing yang ditangani BPSK dan memberikan makalah-makalah BPSK

(Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) sebagai sumber pustaka untuk

menyelesaikan skripsi ini.

9. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen serta Staf Administrasi di Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara yang telah membimbing, mengajarkan, dan

(7)

Hukum hingga penulis mempunyai bekal Ilmu Hukum yang penulis dapatkan

dalam proses perkuliahan

10.Buat seseorang yang istimewa di hati penulis Yosephine Monica Sriulina Tobing yang telah mendukung, tak henti-hentinya memotivasi, setia menemani dan mengingatkan penulis mulai dari awal penulisan hingga tahap

penyelesaian skripsi ini. Thank you Dearest, from the bottom of my heart i wanna say “I love You” 

11.Teman-teman Panitia PMB dan Inagurasi FH PRM (Program Reguler

Mandiri) USU 2011/2012 yang telah bekerjasama menyukseskan acara PMB

dan Inagurasi serta menjadi teman karib penulis selama berkuliah di Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara: (Rama, Edi, Haris, Rya, Dll)

12.Teman-teman dan sahabat seangkatan penulis (2008) di kampus yang telah

menjadi teman yang baik dan lucu bagi penulis baik di dalam dan di luar

kampus: (Sefira, Sere, Ewik, Zola, Dedi,Kebo, Dll)

13.Sahabat-sahabat, rekan-rekan dan kader-kader seperjuangan penulis di

SAPMA PP USU dan SAPMA FF HUKUM USU, kalian teman-teman di kala

suka dan duka dan kalian semua hebat, cepat menyusul mencapai Sarjana

Hukum. PANCASILA ABADI!!! (Daeng Ryan, Iwan Nerow, Jean, Ncus, Bondan, Rino Shah, Putra “ma caro” dan kader-kader SAPMA PP semuanya)

14.Sahabat-sahabat dan abang-abang SC PRM, khususnya sahabat-sahabat dan

(8)

luar kampus, khususnya kepada Abang Yamitema Laoly SH, MH yang telah banyak memberikan bimbingan, motivasi serta menjadi mentor yang tulus

bagi penulis, tidak hanya masalah pendidikan di kampus tetapi juga motivasi

kehidupan di luar kampus

15.Sahabat –sahabat penulis yang senantiasa menemani dan mengisi hari-hari

penulis, kalian akan tetap menjadi sahabatku dari sekarang sampai hari tua

nanti (Febrin, Sandi,Riki, Osmon, Feron, Bote, Dll)

16.Adik-adik di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara angkatan 010 dan

011 khususnya adik-adik PRM dan SAPMA PP HUKUM USU yang tidak

bisa penulis sebutkan satu-persatu.

17.K’ Yeti yang telah banyak membantu penulis mengedit dan memeriksa

penulisan skripsi ini.

18.Khusus buat Opung (Ny. A. Manurung/ Br. Gurning) dirumah yang selalu mendoakan penulis untuk menyelesaikan perkuliahan dan meraih kesuksesan

di masa depan serta Namboru mak’ sas yang telah membantu penulis menyediakan kebutuhan sehari-hari dirumah. GBU!

Teristimewa kepada kedua orang tua penulis, Ayah (Alm). Ir. Togar Manurung yang semasa hidupnya banyak memberikan nasehat kepada penulis dan penulis berharap dapat menyenangkan dan mewujudkan cita-cita Ayah

dengan keberhasilan Penulis menjadi Sarjana Hukum, juga kepada Mama Ir. Rugun br. Siahaan yang telah membesarkan penulis, tiada henti mendoakan dan dengan cintanya yang tulus selalu mendukung penulis. Penulis juga mengucapkan

(9)

Manurung yang telah menemani dan mendoakan penulis dari masa kecil hingga sekarang ini. I ALWAYS LOVE YOU ALL . GOD BLESS US!

Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna bagi

kehidupan masyarakat dan dapat menambah wawasan tentang permasalahan yang

penulis bahas serta dapat menambah referensi bagi pihak-pihak yang

berkepentingan.

Medan, Mei 2012

Harold

(10)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 4

D. Keaslian Penulisan ... 6

E. Tinjauan Kepustakaan ... 7

F. Metode Penulisan... 9

G. Sistematika Skripsi ... 10

BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI LEASING ... 12

A. Pengertian Leasing dan Dasar Hukum Leasing ... 12

B. Ketentuan Mengenai Penyelesaian Hutang/Tunggakan dalam Perjanjian Fidusia ... 17

C. Pengertian Debt Collector dan Ketentuan Hukumnya sesuai Hukum di Indonesia ... 21

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PENARIKAN BENDA-BENDA BERGERAK YANG DITARIK PAKSA OLEH LEASING/ KREDITUR ... 27

A. Jenis-Jenis Leasing ... 27

B. Upaya Hukum yang Dilakukan Debitur terhadap Penarikan Benda-Benda Bergerak Menurut Ketentuan Undang-Undang ... 33

C. Penarikan Paksa Termasuk Ranah Hukum Pidana yang Tidak Terdapat sesuai Ketentuan Hukum Perdata ... 46

(11)

BAB IV TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK-HAK KREDITUR YANG DILINDUNGI OLEH

UNDANG-UNDANG DAN SANKSI TERHADAP

PENARIKAN PAKSA OLEH LEASING ... 59

A. Perjanjian Leasing sebagai Lembaga Pembiayaan

dan Kaitannya Dengan Kuhperdata... 59 B. Keuntungan dan Kerugian Dalam Menggunakan

Perjanjian Leasing ... 64 C. Hak-hak Kreditur yang Harus Dilindungi oleh Hukum

Terhadap Penarikan Benda-Benda Bergerak ... 68 D. Penarikan Paksa oleh Debt Collector yang Tidak sesuai

dengan Kaedah Undang-Undang Tentang Jaminan

Fidusia UU. No. 42 Tahun 1999 ... 71 E. Penyelesaian Sengketa Terhadap Penarikan

Benda-Benda Bergerak yang Ditarik Paksa oleh Lessor 73 1. Penyelesaian Sengketa Melalui Jalur Non-Litigasi .... 73 2. Penyelesaian Sengketa Melalui Jalur Litigasi ... 74 F. Analisa Tinjauan Yuridis Keputusan BPSK terhadap

Lessor yang Melakukan Penarikan Paksa kepada

Konsumen denganNo. Perkara 01/Pen/BPSK-Mdn/2009 86

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 94 A. Kesimpulan ... 94 B. Saran ... 97

(12)

ABSTRAKSI

Di zaman sekarang ini kegiatan pembiayaan dan bentuk pembelian barang secara berangsur (kredit) berkembang dengan pesat di Indonesia, hal ini menyebabkan banyaknya lahir lembaga-lembaga pembiayaan non bank termasuk salah satu diantaranya adalah Leasing. Wilayah Indonesia yang luas dan minimnya pembangunan sarana transportasi publik yang memadai di kota-kota, desa-desa, hingga pedalaman Indonesia menyebabkan kebutuhan akan transportasi benda bergerak khusunya kendaraan roda dua (sepeda motor) dan roda empat (mobil) sangat tinggi karena diperlukan masyarakat untuk mendorong aktifitas sehari-hari. Membludaknya jenis kendaran roda dua (sepeda motor) dan roda empat (mobil) yang masuk ke pasar Indonesia mulai dari pabrikan otomotif Jepang hingga pabrikan otomotif Eropa yang merupakan pabrikan elit dunia membuat masyarakat gampang tergiur untuk memiliki jenis kendaraan terbaru ataupun mengganti kendaraan mereka yang lama dengan keluaran terbaru. Lembaga pembiayaan pun hadir dengan inovasi-inovasi mereka memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk membeli barang secara berangsur (kredit) dengan uang muka (downpayment) yang relatif rendah dan jangka waktu pembayaran cicilan yang relatif lama (bisa mencapai 3 sampai dengan 4 tahun), hal ini membuat masyarakat terkadang gampang tergiur untuk mendapatkan kendaraan terbaru yang mereka lihat ataupun berhasrat memiliki kendaraan bekas

(second) yang dijual di showroom roda dua (sepeda motor) maupun showroom

roda empat (mobil) karena kemudahan pembelian dan bentuk pembayaran yang ditawarkan perusahaan leasing yang menawarkan jasa perjanjian leasing untuk mendapatkan kendaraan tersebut sekaligus di showroom-showroom tersebut. Akan tetapi hasrat dan ketergiuran masyarakat ini kadang tidak dibarengi dengan kemampuan finansial ataupun pemikiran yang panjang tentang sumber pembayaran cicilan di kemudian hari dengan mempertimbangkan pendapatan, kebutuhan yang terus meningkat, dan pengeluaran dari Debitur. Hal ini menyebabkan banyaknya terjadi fenomena kredit macet dalam perjanjian Leasing, dan banyak perusahaan Leasing yang bermodal besar menggunakan jasa debt

collector untuk melakukan penarikan paksa terhadap benda bergerak yang berada

(13)

bagi Debitur, dan dari segi hukum perbuatan penarikan secara paksa merupakan perbuatan melawan hukum yang tidak boleh dibiarkan terus-menerus terjadi.

Permasalahannya yaitu : Bagaimana kaitan perjanjian Leasing sebagai lembaga pembiayaan dengan Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Bagaimana langkah yang ditempuh Debitur/ Konsumen apabila mengalami penarikan paksa benda-benda bergerak oleh Kreditur, Lembaga atau Peradilan manakah yang mempunyai wewenang untuk menyelesaikan sengketa terhadap benda-benda bergerak yang ditarik paksa oleh Lessor/ Kreditur, Bagaimana peran BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) terhadap pengaduan Konsumen dan penyelesaian sengketa terhadap benda-benda bergerak yang ditarik paksa oleh

Lessor/ Kreditur. Metode yang penulis pergunakan dalam penulisan skripsi ini ada

dua macam metode yakni, tinjauan kepustakaan (Library Research) dilakuakn untuk mengumpulkan buku-buku yang berkaitan langsung dengan judul skripsi yang penulis buat dan penelitian lapangan (Field Research), dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data dan bahan-bahan serta informasi tentang perjanjian

Leasing serta untuk mengetahui dimana diatur leasing tersebut dalam

KUHPerdata.

Peranan BPSK dalam menyelenggarakan perlindungan Konsumen di Indonesia merupakan ujung tombak di lapangan untuk memberi perlindungan kepada Konsumen yang telah dirugikan atau diderita sakit. Perlindungan yang diberikan oleh lembaga BPSK tersebut kepada Konsumen adalah melalui penyelesaian sengketa antara Konsumen/ Debitur dan Pelaku Usaha/ Lessor dan juga melalui pengawasan terhadap setiap perjanjian atau dokumen yang mencantumkan klausula baku yang merugikan Konsumen. Dalam hal ini BPSK telah berfungsi ganda, disatu sisi UU. No. 8 tahun 1999 telah memberikan kewenangan yudikatif untuk menyelesaikan kepentingan umum yaitu sengketa antara Konsumen dan Pelaku Usaha dan disisi lain UU. No. 8 tahun 1999 juga memberikan kewenangan eksekutif kepada BPSK untuk mengawasi pencantuman Klausula Baku dalam setiap perjanjian atau dokumen yang merugikan Konsumen yang telah ditetapkan sepihak oleh Pelaku Usaha.

Kata Kunci:

1. Benda bergerak/ kendaraan 2. Perjanjian Leasing

(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia sebagai negara hukum pada prinsipnya mengakui bahwa

kehidupan hubungan atau pergaulan antar masyarakat memiliki batasan yang

menjamin hak-hak pribadi dan komunal. Dan hal tersebut merupakan justifikasi

dari prinsip Rule of Law yang menjadi ciri dari suatu negara hukum. Negara

sebagai sesuatu lembaga tertinggi harus memberikan kebebasan dan kemerdekaan.

Untuk melakukan segala kegiatan untuk menciptakan perkembangan dan

kemajuan, peran serta masyarakat amat dibutuhkan. Dan sebaliknya pada

masyarakat sendiri untuk menciptakan kesejahteraan juga membutuhkan peran

serta dan bantuan negara dalam hal ini pemerintah sebagai sesuatu lembaga

tertinggi yang memiliki hak untuk menciptakan aturan yang tegas dan jelas untuk

menciptakan ketertiban dan kemudahan bagi masyarakat yang mengarah kepada

pembangunan nasional.

Namun dalam pengembangan pembangunan nasional tidak hanya

pemerintah yang aktif berperan tetapi juga peran serta berbagai pihak termasuk

pihak swasta dalam pelaksanaan pembangunan. Serta untuk menciptakan

pembangunan yang pesat secara langsung ataupun tidak langsung akan menuntut

lebih aktif kegiatan dibidang pembiayaan. Pemerintah telah menetapkan

(15)

Pada hakekatnya perluasan usaha memang membutuhkan pembiayaan

dana selain melalui sistem perbankan dan lembaga keuangan non-bank yang

tumbuh dan berkembang. Salah satu sistem pembiayaan alternatif non-bank yang

dikenal adalah leasing.

Sebagai altenatif dalam teknik pembiayaan, usaha leasing kelihatannya

lebih memberikan kemudahan-kemudahan dibandingkan pembiayaan dengan

pinjaman dari bank. Hal ini terutama berlaku bagi usaha-usaha yang baru

didirikan, yang mana tidak memiliki aset yang dapat dijadikan collateral

(jaminan) bagi peminjam yang akan diperoleh dari bank. Pada dasarnya perjanjian

leasing tidak dikenal dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Tapi

mengingat usaha leasing ini sebenarnya tidak lain daripada perjanjian

sewa-menyewa berarti tidak terlepas dari buku III KUHPerdata seperti yang disebutkan

pada Pasal 1319 KUHPerdata yang berbunyi :1

“Semua persetujuan, baik yang memiliki suatu nama khusus, maupun yang

tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada

peraturan-peraturan umum, yang termuat dalam bab-bab ini dan bab-bab yang lalu”.

Banyak orang memandang leasing hanya sebagai suatu perbuatan

ekonomis yang merupakan suatu kegiatan pembiayaan perusahaan sedangkan jika

dilihat dari Undang-undang yaitu KUHPerdata dengan berpegang pada ketentuan

umum perikatan maka leasing adalah merupakan fenomena hukum perjanjian

pembiayaan atau pegadaian barang modal yang diperlukan suatu perusahaan.

1

(16)

Dalam perjanjian ini masing-masing pihak dalam mengikatkan diri

mengkehendaki adanya kepastian hukum, sehingga para pihak yang terlibat dalam

perjanjian leasing ini tentunya tidak ada yang dirugikan. Maka disinilah fungsi

dibuatnya perjanjian oleh para pihak dalam bentuk tertulis (kontrak), dan hal ini

telah diatur dalam, Pasal 1233 KUHPerdata yang berbunyi, ”Tiap-tiap perikatan

dilahirkan baik karena persetujuan baik karena Undang-undang”.2

Minimnya pengaturan yang mengatur masalah leasing ini di Indonesia

tentu saja merupakan suatu tantangan bagi para ahli hukum Indonesia untuk

menciptakan suatu peraturan yang aspiratif betapa besarnya peran lembaga

pembiayaan leasing ini apalagi jika kita kaitkan dengan pengembangan

pembangunan nasional.

Leasing merupakan suatu pranata hukum yang “ambivalen”. Di satu pihak

dia mirip sewa-menyewa tetapi di lain pihak leasing mengandung unsur jual beli.

Bahkan unsur perjanjian minjam-meminjamnya pun ada. Karena itu beberapa

segi realisasi leasing dalam praktek masih terkesan banci dan ragu-ragu.

Diterimanya leasing sebagai suatu alternatif pembiayaan di Indonesia

berawal dari adanya sistem terbuka (open system) yang dianut oleh KUHPerdata,

seperti yang dituangkan pada Pasal 1338 (1) KUHPerdata, yang menyatakan

bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang

bagi mereka yang membuatnya .3

2

Pasal 1233 Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Artinya hukum memberi kebebasan yang

seluas-luasnya kepada pihak-pihak yang bersangkutan untuk mengadakan

3

(17)

perjanjian tentang apa saja, asal tidak bertentangan dengan Undang-undang

ketertiban umum dan kesusilaan.

Perjanjian leasing itu sendiri adalah salah satu perjanjian yang telah timbul

dalam praktek karena kebutuhan bisnis dikatakan pula bahwa leasing adalah

perjanjian sewa-menyewa yang berkembang di kalangan pengusaha.

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimana kaitan perjanjian leasing sebagai lembaga pembiayaan dengan

Kitab Undang-undang Hukum Perdata?

2. Bagaimana langkah yang ditempuh Debitur/konsumen apabila mengalami

penarikan paksa benda-benda bergerak oleh Kreditur?

3. Lembaga atau Peradilan manakah yang mempunyai wewenang untuk

menyelesaikan sengketa terhadap benda-benda bergerak yang ditarik paksa

oleh Lessor/ Kreditur?

4. Bagaimana peran BPSK(Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen)

terhadap pengaduan Konsumen dan penyelesaian sengketa terhadap

benda-benda bergerak yang ditarik paksa oleh Lessor/ Kreditur?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan penulisan

Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan untuk skripsi ini adalah

a. Untuk mengetahui perjanjian leasing sebagai lembaga pembiayaan dan

(18)

b. Untuk mengetahui dan mengatasi sengketa penarikan benda-benda

bergerak yang dialami Debitur pada khususnya maupun masyarakat

dan Konsumen pada umumnya

c. Agar Konsumen mengetahui lembaga hukum yang telah dibentuk oleh

Pemerintah untuk menyelesaikan sengketa Konsumen terhadap

penarikan benda bergerak dan melakukan upaya–upaya hukum melalui

jalur Pengadilan (litigasi) sesuai dengan ketentuan hukum di

Indonesia.

d. Untuk mengetahui peranan BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen) dalam menyelesaikan sengketa antara Konsumen dan

Lessor/ Pelaku Usaha, serta sanksi apa yang diberikan BPSK (Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen) terhadap Lessor/ Pelaku Usaha

yang melakukan perbuatan melawan hukum dengan melakukan

penarikan paksa terhadap benda-benda bergerak.

2. Manfaat penulisan

Secara umum manfaat penulisan skripsi ini dapat dilihat dari dua sudut

yakni secara teoritis dan praktis

Manfaat penelitian ini adalah :

1. Dilihat dari segi teoritis.

a. Penelitian ini berguna untuk menambah wawasan baik itu

mahasiswa maupun sebagai referensi dalam mata kuliah Hukum

(19)

b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam membuat

kontrak-kontrak atau perjanjian leasing yang dibuat oleh para

pihak.

2. Dilihat dari segi praktis.

a. Penelitian ini diharapkan bisa memberikan masukan bagi

masyarakat khususnya pelaku bisnis baik itu perusahaan leasing,

perusahaan asuransi, suplier dan pelaku usaha lain.

b. Penelitian ini dapat dipakai sebagai tambahan referensi bagi

mahasiswa maupun pihak lain yang memerlukan informasi

mengenai perjanjian leasing khususnya.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini berjudul “ Tinjauan yuridis upaya hukum yang

dilakukan debitur terhadap penarikan benda-benda bergerak yang ditarik paksa

oleh leasing /kreditur”, yang pada prinsipnya atau pada dasarnya melihat

perjanjian leasing sebagai lembaga pembiayaan dan kaitannya dengan

KUHPerdata, keuntungan dan kerugian dalam menggunakan perjanjian leasing,

penyebab putusnya perjanjian leasing yang disebabkan karena wan prestasi dan

force majeure, dan akibat hukum dari timbulnya perjanjian leasing yang terdiri

dari perjanjian yang dapat dibatalkan serta perjanjian yang batal demi hukum

yang diperoleh dari perpustakaan, dari media massa baik cetak maupun

(20)

Sumatera Utara dan perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

belum ada yang menyangkut judul tersebut dalam suatu penulisan skripsi.

E. Tinjauan Kepustakaan

Di dalam pokok pembahasan ini akan dijadikan lebih lanjut mengenai

hal-hal yang berkaitan dengan tinjauan yuridis upaya hukum yang dilakukan kreditur

terhadap penarikan benda-benda bergerak yang ditarik paksa oleh leasing/

kreditur dalam perjanjian fidusia.

Pada umumnya masyarakat lebih akrab dan dekat dengan lembaga

perbankan, kemudian disusul dengan sekelompok lembaga keuangan bukan bank

dan dalam era delapan puluhan dikenal lagi suatu lembaga pembiayaan yang salah

satunya adalah leasing. Leasing (equipment funding) secara umum dapat

didefinisikan dengan: Pembiayaan peralatan barang modal untuk digunakan pada

proses produksi suatu perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung.

Leasing timbul sebagai perjanjian tidak bernama adalah sebagai

konsekuensi dari kebebasan untuk mengikat perjanjian dan adanya open system

dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Dalam leasing terdapat pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian leasing

atau disebut subjek perjanjian leasing terdiri dari beberapa pihak, yaitu:

1. Lessor

Sebagai perusahaan leasing atau yang dikenal dengan leasing company yaitu

(21)

2. Lessee

Yaitu perusahaan atau pengguna barang modal yang dapat memiliki hak opsi

pada kontrak leasing

3. Suppplier

Penjual barang modal yang menjadi objek leasing. Harga barang modal di

bayar tunai oleh lessor kepada supplier untuk kepentingan leasing.

Supplier ini biasanya berstatus produsen barang modal atau penjual biasa.

Dilihat dari segi transaksinya sewa guna usaha atau leasing dibedakan menjadi

2 jenis:

1. Finance lease atau sewa guna usaha dengan opsi.

Dalam bentuk ini pada akhir kontrak leasing mempunyai hak pilih untuk

memberi barang modal sesuai dengan nilai sisa yang disepakati atau

mengembalikan barang modal kepada lessor atau memperjanjang kontrak

sewa-menyewa.

2. Operating lease atau sewa guna tanpa opsi.

Dalam bentuk ini disamakan seperti sewa guna usaha biasa yaitu hanya

diberikan hak untuk menggunakan barang modal selama kontrak atau

jangka waktu.

Keuntungan dari perjanjian leasing, yaitu:

1. Merupakan bentuk pembiayaan yang fleksibel.

2. Biayanya lebih murah.

(22)

Leasing dikaji dari hukum perdata berdasarkan asas kebebasan berkontrak

maka perjanjian leasing seharusnya dirumuskan oleh ke dua belah pihak

yang memutuskan lessor dan lesse, tapi dalam praktek ternyata perjanjian

leasing(lease agreement) bentuknya dalam kontrak baku yang

merumuskan adalah lessor.

F. Metode Penulisan

Adapun metode pengumpulan data serta analisa data yang penulis

pergunakan dalam penulisan ilmiah untuk skripsi ini adalah:

Bahan atau materi penulisan

1. Library Reserch (Penelitian Kepustakaan).

Dalam metode penelitian kepustakaan ini penulis mengumpulkan

data-data berdasarkan sumber-sumber kepustakaan atau bacaan dari

buku-buku, pendapat sarjana, Undang-undang serta bahan-bahan yang

bersifat teoritis.

2. Field research (Penelitian lapangan)

Melalui penelitian lapangan dan melalui instansi terkait yang

berkenaan dengan ketentuan mengenai leasing

Alat pengumpul data

Alat pengumpul data yang dipakai adalah dengan cara:

1. Jalannya penelitian, dimana penulis langsung mengadakan

(23)

2. Studi dokumen yakni dengan membaca buku dan berkas perkara

baik di perpustakaan umum maupun pribadi dan di instansi

pemerintah yang telah menjadi mediator dalam menyelesaikan

perkara yang berkaitan dengan perjanjian leasing

G. Sistematika Penulisan

Secara garis besar skripsi ini dibagi lima (5) bab dan masing-masing bab

dibagi dalam beberapa sus bab sesuai dengan kepentingan pembahasan dalam

penyusunan penulisan skripsi ini:

Bab I : Pendahuluan

Dalam bab ini terdiri atas latar belakang, permasalahan, tujuan

dan manfaaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan,

metode pengumpulan data dan sistematika penulisan.

Bab II : Aspek Hukum Mengenai Leasing

Dalam bab ini terdiri atas pengertian leasing dan dasar hukum

leasing, ketentuan-ketentuan mengenai penyelesaian hutang/

tunggakan dalam perjanjian fidusia, dan pengertian debt collector

dan ketentuan hukumnya sesuai hukum di Indonesia

Bab III : Tinjauan Umum Tentang Penarikan Benda-benda Bergerak Yang Ditarik Paksa Oleh Leasing/ Lessor

Dalam bab ini terdiri atas jenis-jenis leasing, upaya hukum yang

dilakukan debitur terhadap penarikan benda-benda bergerak

(24)

ranah hukum Pidana yang tidak terdapat sesuai ketentuan hukum

Perdata, dan Peradilan Perdata dan juru sita Pengadilan sebagai

aparatur negara yang mempunyai kewenangan untuk melakukan

penyitaan terhadap benda-benda bergerak sesuai ketentuan

undang-undang.

Bab IV : Tinjauan Hukum Terhadap Hak-hak Kreditur Yang Dilindungi Oleh Undang-undang dan Sanksi Terhadap Penarikan Paksa Oleh Leasing/ Lessor

Dalam bab ini terdiri atas perjanjian leasing sebagai lembaga

pembiayaan dan kaitannya dengan KUHPerdata, keuntungan dan

kerugian dalam menggunakan perjanjian leasing, hak-hak debitur

yang harus dilindungi oleh hukum terhadap penarikan

benda-benda bergerak, penarikan paksa oleh debt collector yang tidak

sesuai dengan kaedah Undang-undang tentang Jaminan Fidusia

UU. No. 42 tahun 1999, penyelesaian sengketa terhadap

penarikan benda-benda bergerak yang ditarik paksa oleh lessor

yang terdiri atas penyelesaian secara jalur Non-litigasi dan

penyelesaian secara jalur Litigasi, pembahasan mengenai tinjauan

Yuridis Keputusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

(BPSK) Medan terhadp perkara dengan No: 01/ Pen/ BPSK-

Mdn/ 2009

Bab V : Kesimpulan dan Saran

(25)

BAB II

ASPEK HUKUM MENGENAI LEASING

A. Pengertian Leasing dan Dasar Hukum Leasing

Berdasarkan KEPMENKEU No. 1169/ 1991 tentang kegiatan usaha

leasing, yang dimaksud leasing atau sewa guna usaha adalah kegiatan

pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha

dan hak opsi (finance lease) atau hak guna usaha tanpa opsi ( operating lease)

untuk digunakan oleh leasing selama jangka waktu tertentu berdasarkan

pembayaran secara berkala ( Pasal 1 huruf a KEPMENKEU Nomor 1169 /

1991).4

Berdasarkan pada Pasal 1 surat keputusan bersama Tiga Menteri; Menteri

Keuangan, Menteri Perdagangan, Menteri Perindustrian No

KEP.122/MK/IV/2/1974, No. 32/M/SK/2/1974 dan No. 30/Kpb/1974 tanggal 7

Februari 1974, menyebutkan bahwa leasing itu adalah : “ Setiap kegiatan

pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk

digunakan oleh suatu perusahaan tertentu, berdasarkan pembayaran-pembayaran

secara berkala disertai dengan Hak Plih (opsi) bagi perusahaan tersebut untuk

memberi barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka

waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama “.

Equipment Leasing Association di London yang merupakan Asosiasi

perusahaan-perusahaan leasing di Inggris memberikan definisi sebagai berikut :

4

(26)

Leasing adalah perjanjian antara lessor dan lessee untuk menyewa suatu jenis

barang modal tertentu yang dipilih/ditentukan oleh lessee. Hak kepemilikan atas

barang modal tersebut ada pada lessor sedangkan lesse hanya menggunakan

barang modal tersebut berdasarkan pembayaran uang sewa yang telah ditentukan

dalam suatu jangka waktu tertentu”.5

Didalam perjanjian leasing pada dasarnya ada tiga pihak yaitu Lessor

(perusahaan leasing), Lesse (perusahaan/nasabah) dan supplier (penjual

barang).

Selanjutnya didefinisikan oleh Frank Tiara Supit sebagai: “Company

financing in the form of providding Capital Goods wish the user making

periodical payments. User would have options to buy the Capital Goods or to

prolog the leasing period of the remainding value”.

Dapat diartikan bahwa leasing adalah:

“Pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal

dengan pembayaran secara berkala oleh perusahaan yang menggunakan

barang-barang modal tersebut dan dapat dinilai atau memperpanjang jangka waktu

berdasarkan nilai sisa”.6

Selanjutnya menurut keputusan Menteri Keuangan RI Nomor.1169/KMK

01/1991 tentang kegiatan sewa guna usaha (leasing), yang dimaksud dengan

leasing adalah:

5

Herwastoeti, Aspek Yuridis Dalam Perjanjian Leasing dan Akibat Hukumnya Dalam

Hal Terjadinya Wanprestasi, Malang: Laporan Penelitian Universitas Muhammadiyah Maklang.

Hal 5

6

(27)

“Suatu kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik

dengan cara sewa guna usaha dengan Hak Opsi (Finance Lease) maupun sewa

guna usaha tanpa Hak Opsi (Operating Lease) untuk dipergunakan Lesse selama

jangka waktu tertentu berdasarkan pembiayaan secara berkala.7

Menurut Financial Accounting Standard Board ( FASB 13) leasing adalah

suatu perjanjian penyediaan barang modal yang digunakan untuk jangka waktu

tertentu.8

Dasar Hukum Leasing

Seperti yang kita ketahui pengaturan leasing dalam hal ini masih sangat

sederhana,dan pelaksanaan sehari-hari didasarkan kepada kebijaksanaan yang

tidak bertentangan dengan Surat Keputusan Menteri yang ada.

Surat Keputusan Tiga Menteri Tahun 1974 mengenai leasing. Adalah

peraturan pertama yang khusus dikeluarkan untuk itu. Surat Keputusan itu dan

lain-lain peraturan yang dikeluarkan belakangan untuk mengatur perihal

perjanjian-perjanjian dan kegiatan leasing di Indonesia, terutama bersifat

administratif dan obligatory atau bersifat memaksa. Sumber hukum yang lebih

luas dan mendalam yang melandasi dan mendasari kegiatan leasing dewasa ini di

Indonesia antara lain :

7

Munir Fuadi Hukum Tentang Pembiayaan dalam Teori dan Praktek, (Bandung:penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 1999), hal 9

8

Y. Sri Susilo, Sigit Triandaru, A. Totok Budi Santoso, Bank dan Lembaga Keuangan

(28)

1. Umum (General)

a. Asas concordantie hukum berdasarkan pasal II aturan peralihan

Undang-Undang Dasar 1945 pasca amandemen atas hukum perdata yang berlaku

bagi penduduk eropa

b. Pasal 1338 KUHPerdata mengenai asas kebebasan berkontrak serta

asas-asas persetujuan pada umumnya sebagaimana tercantum dalam bab I Buku

III KUHPerdata. Pasal ini memberikan kebebasan kepada semua pihak

untuk memilih isi pokok perjanjian mereka sepanjang hal ini tidak

betentangan dengan Undang-Undang,kepentingan atau kebijaksanaan

umum.

c. Pasal 1548 sampai 1580 KUHPerdata(Buku III sampai dengan Buku IV),

yang berisikan ketentuan mengenai sewa-menyewa sepanjang tidak ada

dilakukan penyimpangan oleh para pihak. Pasal ini membahas hak dan

kewajiban lessee.

2. Khusus

a. Surat Keputusan Bersama(SKB) Menteri Keuangan, Menteri

Perindustrian dan Menteri Perdagangan RI No.

KEP.122/MK/IV/2/1974, No.32/M/SK/1974 dan No.30/KPB/1974

tertanggal 7 Pebruari 1974 tentang perizinan usaha leasing.

b. Surat Keputusan (SK) Menteri Keuangan RI

No.KEP/649/MK/IV/5/1974, tertanggal 6 Mei 1974 tentang perizinan

(29)

c. Surat Keputusan (SK) Menteri Keuangan RI

No.KEP/649/MK/IV/5/1974, tertanggal 6 Mei 1974 tentang penegasan

ketentuan pajak penjualan dan besarnya bea materi terhadap usaha

leasing.

d. Surat Edaran Direktorat Jendral Moneter No. PENG-307/DJM/IIL

7/7/1974 tertanggal 8 Juli 1974, tentang:

1. Tata cara perizinan

2. Pembatasan usaha

3. Pembukaan

4. Tingkat suku bunga

5. Perpajakan

6. Pengawasan dan Pembinaan

e. Surat Keputusan Menteri Perdagangan No.34/KP/II/B1980 tertanggal

1 Februari 1980, mengenai lisensi/perizinan untuk kegiatan usaha

sewa-beli (hire purchase), jual-beli dengan angsuran atau cicilan dan

sewa-menyewa

f. Surat Edaran Dirjen Moneter dalam negeri No.SE.4835/1983 tanggal

31 Agustus 1983 tentang ketentuan perpanjangan izin usaha

perusahaan leasing dan perpanjangan penggunaan tenaga warga negara

asing pada perusahaan leasing.

g. Surat Edaran Dirjen Moneter dalam negeri No.SE.4835/1983 tanggal 1

September 1983 tentang tata cara dan prosedur pendirian kantor

(30)

h. Surat Keputusan SK Menteri Keuangan RI No.S.742/MK.011/1984

tanggal 12 Juli 1984 mengenai PPh pasal 23 atas usaha financial

leasing.

i. Surat Edaran Direktur Jendral Pajak No.SE.28/PJ.22/1984 tanggal 26

Juli 1984 mengenai PPh pasal 23 atas usaha financial leasing.

j. Keputusan Menteri Keuangan RI No.1169/KMK.01/1991 tentang

kegiatan sewa guna usaha

Dengan demikian maka untuk pembuatan perjanjian leasing yang harus

mengatur hak kewajiban dan hubungan hukum antara pihak-pihak yang

bersangkutan, selain dari peraturan-peraturan dan pedoman -pedoman tersebut

diatas, kita harus berpegang pada asas-asas dan ketentuan-ketentuan hukum yang

terdapat dalam Undang-Undang negara kita, dalam hal ini Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata , yurisprudensi- yurisprudensi yang ada dan atau yang dituruti di

Indonesia serta praktek-praktek bisnis yang telah berkembang dan lazim menjadi

kebiasaan di negeri ini.

B. Ketentuan Mengenai Penyelesaian Hutang / Tunggakan dalam Perjanjian Fidusia

Dalam pengertian eksekusi menurut pendapat M. Yahya Harahap dalam

bukunya “Ruang Lingkup permasalahan Eksekusi Bidang Perdata”, memberikan

pengertian sebagai berikut : “Eksekusi sebagai tindakan hukum yang dilakukan

(31)

dan tata lanjutan dalam proses pemeriksaan perkara. Oleh karena itu eksekusi

tiada berkesinambungan dari seluruh proses hukum acara perdata”.

Secara umum eksekusi merupakan pelaksanaan atau keputusan pengadilan

atau akta, maka pengambilan pelunasan kewajiban kreditur melalui hasil

penjualan benda-benda tertentu milik debitur.

Sedangkan yang dimaksud perjanjian fidusia adalah perjanjian utang

piutang kreditur kepada debitur yang melibatkan penjaminan. Jaminan tersebut

kedudukannya masih dalam penguasaan pemilik jaminan.

Tetapi untuk menjamin kepastian hukum bagi kreditur maka dibuat akta

yang dibuat oleh notaris dan didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Nanti

kreditur akan memperoleh sertifikat jaminan fidusia berirah-irah “Demi Keadilan

Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan demikian, memiliki kekuatan

hak eksekutorial langsung apabila debitor melakukan pelanggaran perjanjian

fidusia kepada kreditur (parate eksekusi), sesuai UU No. 42 Tahun 1999 Tentang

Jaminan Fidusia.9

Akta di bawah tangan bukanlah akta otentik yang memiliki nilai

pembuktian sempurna. Sebaliknya, akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau

di depan pejabat yang ditunjuk oleh Undang-Undang dan memiliki kekuatan

pembuktian sempurna. Untuk akta yang dilakukan di bawah tangan biasanya

harus diotentikkan ulang oleh para pihak jika hendak dijadikan alat bukti sah,

misalnya di Pengadilan. Pertanyaannya adalah apakah sah dan memiliki kekuatan

bukti hukum suatu akta di bawah tangan. Menurut pendapat penulis, adalah syah

9

(32)

asalkan para pihak mengakui keberadaan dan isi akta tersebut. Dalam prakteknya,

di desa-desa atau karena kondisi tertentu menyebabkan hubungan hukum

dikuatkan lewat akta di bawah tangan seperti dalam proses jual beli dan utang

piutang. Namun, agar akta tersebut kuat, tetap harus dilegalisir para pihak kepada

pejabat yang berwenang.

Jaminan fidusia yang tidak dibuatkan sertifikat jaminan fidusia

menimbulkan akibat hukum yang komplek dan beresiko. Kreditur bisa

melakukan hak eksekusinya karena dianggap sepihak dan dapat menimbulkan

kesewenang-wenangan dari kreditur. Bisa juga karena mengingat pembiayaan atas

barang objek fidusia biasanya tidak full sesuai dengan nilai barang. Atau, debitur

sudah melaksanakan kewajiban sebagian dari perjanjian yang dilakukan, sehingga

dapat dikatakan bahwa diatas barang tersebut berdiri hak sebagian milik debitur

dan sebagian milik kreditur. Apalagi jika eksekusi tersebut tidak melalui badan

penilai harga yang resmi atau badan pelelangan umum. Tindakan tersebut dapat

dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sesuai diatur dalam

Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan dapat digugat ganti

kerugian.10

Lembaga pembiayaan yang tidak mendaftarkan jaminan fidusia

sebenarnya dapat merugikan lembaga itu sendiri, karena tidak punya hak

eksekutorial yang legal. Problem bisnis yang membutuhkan kecepatan dan

customer service yang prima selalu tidak sejalan dengan logika hukum yang ada.

Mungkin karena kekosongan hukum atau hukum yang tidak selalu secepat

10

(33)

perkembangan zaman. Bayangkan, jaminan fidusia harus dibuat di hadapan

notaris sementara lembaga pembiayaan melakukan perjanjian dan transaksi

fidusia di lapangan dalam waktu yang relatif cepat.

Saat ini banyak lembaga pembiayaan melakukan eksekusi pada objek

barang yang dibebani jaminan fidusia yang tidak didaftarkan. Bisa bernama

remedial, rof coll, atau remove. Selama ini perusahaan pembiayaan merasa

tindakan mereka aman dan lancar saja. Menurut penulis, hal ini terjadi karena

masih lemahnya daya tawar nasabah terhadap kreditur sebagai pemilik dana.

Ditambah lagi pengetahuan hukum masyarakat yang masih rendah. Kelemahan ini

termanfaatkan oleh pelaku bisnis industri keuangan, khususnya sektor lembaga

pembiayaan dan bank yang menjalankan praktek jaminan fidusia dengan akta di

bawah tangan.

Dalam proses eksekusi kita mengetahui bahwa asas perjanjian “pacta sun

servanda” yang menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak yang

bersepakat, akan menjadi undang-undang bagi keduanya (diatur dalam Pasal 1338

KUHPerdata), tetap berlaku dan menjadi asas utama dalam hukum perjanjian.

Tetapi terhadap perjanjian yang memberikan penjaminan fidusia di bawah

tangan tidak dapat dilakukan eksekusi. Proses eksekusi harus dilakukan dengan

cara mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri melalui proses hukum

acara yang normal hingga turunnya putusan pengadilan. Inilah pilihan yang

memenuhi prosedur hukum formil agar dapat menjaga keadilan dan penegakan

(34)

Proses ini hampir pasti memakan waktu panjang, kalau para pihak

menggunakan semua upaya hukum yang tersedia. Biaya yang musti dikeluarkan

pun tidak sedikit. Tentu saja, ini sebuah pilihan dilematis. Dalih mengejar margin

besar juga harus mempertimbangkan rasa keadilan semua pihak. Masyarakat yang

umumnya menjadi nasabah juga harus lebih kritis dan teliti dalam melakukan

transaksi. Sementara bagi Pemerintah, kepastian, keadilan dan ketertiban hukum

adalah penting.

C. Pengertian Debt collector dan Ketentuan Hukumnya Sesuai Hukum di Indonesia

Korporasi paling dominan yang menggunakan jasa debt collector adalah

perusahaan leasing. Saat ini sangat mudah untuk membeli benda bergerak,

misalnya, mobil dan sepeda motor baik dengan cara kredit maupun secara cash/

tunai. Tetapi pada saat ini semua leasing pasti akan menggiring konsumennya

untuk membeli kendaraan secara kredit. Di samping keuntungan akan bertambah,

tentu dengan strategi ini leasing tidak akan menemui banyak masalah.

Hukum fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan atas suatu benda yang

dapat difidusiakan tersebut berdasarkan kepercayaan yang penguasaannya tetap

dilakukan oleh si pemilik benda tersebut. Biasanya hal itu terjadi karena pemilik

benda tersebut (debitur) membutuhkan sejumlah uang dan sebagai jaminan atas

pelunasan utangnya tersebut si debitur menyerahkan secara kepercayaan hak

(35)

lingkup Undang-undang No 4 tahun 1996 kepada krediturnya, dan hak tersebut

juga dapat dialihkan kepada pihak lain.

Pemberian jaminan fidusia ini merupakan perjanjian yang bersifat accesoir

dari suatu peminjaman pokok sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal

6-huruf B UU No 42 tahun 1999 dan harus dibuat dengan suatu akta notaris yang

disebut sebagai akta Jaminan Fidusia.

Secara umum definisi Debt collector adalah pihak ketiga yang

menghubungkan antara kreditur dan debitur dalam hal penagihan kredit,

Penagihan tersebut hanya dapat dilakukan apabila kualitas tagihan kartu kredit

dimaksud telah termasuk dalam kategori kolektibilitas diragukan atau macet

berdasarkan kolektibilitas yang digunakan oleh industri kartu kredit di Indonesia.

Hal ini tercantum dalam Surat Edaran Bank Indonesia no.7/60/DASP Tahun 2005

Bab IV angka 1 dan 2 yang isinya berbunyi sebagai berikut :

1. Apabila dalam menyelenggarakan kegiatan penyaluran kredit Penerbit

dan/atau Financial Acquirer melakukan kerjasama dengan pihak lain di luar

Penerbit dan/atau Financial Acquirer tersebut, seperti kerjasama dalam

kegiatan marketing, penagihan, dan/atau pengoperasian sistem, Penerbit

dan/atau Financial Acquirer tersebut wajib memastikan bahwa tata cara,

mekanisme, prosedur, dan kualitas pelaksanaan kegiatan oleh pihak lain

tersebut sesuai dengan tata cara, mekanisme, prosedur, dan kualitas apabila

kegiatan tersebut dilakukan oleh Penerbit dan/atau Financial Acquirer itu

sendiri. Debt collector adalah pihak ketiga yang menghubungkan antara

(36)

dapat dilakukan apabila kualitas tagihan kartu kredit dimaksud telah termasuk

dalam kategori kolektibilitas diragukan atau macet berdasarkan kolektibilitas

yang digunakan oleh industri kartu kredit di Indonesia.

2. Dalam hal Penerbit menggunakan jasa pihak lain dalam melakukan penagihan

transaksi Kartu Kredit, maka

a. Penagihan oleh pihak lain tersebut hanya dapat dilakukan apabila kualitas

tagihan Kartu Kredit dimaksud telah termasuk dalam kategori

kolektibilitas diragukan atau macet berdasarkan kriteria kolektibilitas yang

digunakan oleh industri Kartu Kredit di Indonesia, dan

b. Penerbit wajib menjamin bahwa penagihan oleh pihak lain tersebut, selain

wajib dilakukan dengan memperhatikan ketentuan pada angka 1, juga

wajib dilakukan dengan cara-cara yang tidak melanggar hukum.”

Jika penunggak ini tetap tidak mampu melunasi tagihan kartunya, debt

collector yang diperintah oleh bank penerbit kartu kredit akan mengambil

sejumlah barang baik bergerak maupun tidak bergerak sebagai jaminan. Jika

penunggak telah melunasinya, maka jaminan itu akan dikembalikan. Jika tidak,

tentu saja barang itu lenyap nilai barang yang diambil setara dengan jumlah

tunggakan.

1. Mengarah ke Pidana

Perilaku debt collector saat ini masih menjadi masalah serius yang belum

ada penanganannya. Di satu sisi konsumen merasa terganggu dengan ulah penagih

(37)

lembaga-lembaga pembiayaan bertanggung jawab atas tunggakan-tunggakan hutang yang

bisa merugikan bank dan lembaga-lembaga pembiayaan lain.

Masalahnya, belum ada batasan dan aturan yang jelas tentang tata cara

penagihan oleh seorang debt collector . Saat ini yang ada hanya sebatas pada

aturan bank dan lembaga-lembaga pembiayaan masing-masing.

Yang terjadi di lapangan, debt collector melakukan hal-hal di luar

kesepakatan antara bank dan agen. Perlakuan debt collector sudah pada tahap

yang memperihatinkan. Beberapa tindakan debt collector bahkan sudah mengarah

pada tindakan pidana. Misalnya, membuat onar, meneror baik secara langsung

maupun telepon, bahkan sampai mengancam akan membunuh si nasabah. Secara

hukum, cara penagihan oleh debt collector yang disertai dengan ancaman, cacian,

serta teror tidak dapat dibenarkan. Hal tersebut bertentangan dengan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, khususnya Pasal

4E, yang menyebutkan bahwa: "konsumen berhak mendapatkan advokasi,

perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara

patut".

Ancaman, cacian, serta teror bukan merupakan upaya penyelesaian

sengketa yang patut. Yang lebih ironis, ketika konsumen meminta penyelesaian

langsung lewat manajemen bank dan lembaga-lembaga pembiayaan yang

bersangkutan, justru ditolak dengan alasan persoalan tersebut telah dilimpahkan

kepada pihak ketiga, yang dalam hal ini adalah debt collector.11

11

(38)

2. Penyelesaian secara patut

Filosofi yang menyatakan bahwa "utang akan dibawa mati" tetap berlaku

dalam penyelesaian kredit macet, yang berarti tanggung jawab debitur untuk

menyelesaikan pembayaran tunggakan harus tetap dipenuhi.

Penyelesaian kredit macet seharusnya lebih terfokus pada pihak bank dan

lembaga pembiayaan seperti leasing beserta konsumen yang bersangkutan secara

langsung karena pada waktu aplikasi kedua pihak tersebut yang bertindak sebagai

subyek hukum.

Terkait dengan hal tersebut, Peraturan Bank Indonesia Nomor

7/7/PBI/2005 12

Bentuk penyelesaian yang dapat ditawarkan misalnya penjadwalan ulang

pembayaran sesuai dengan batas kemampuan bank dan konsumen. Selama proses

pembayaran, hendaknya praktek bunga berbunga dihentikan. Sebab, kalau bunga

dipaksakan tetap berlaku, beban konsumen justru semakin berat dan kemampuan

membayar pun semakin rendah, sehingga pokok permasalahan tidak akan

terjawab.

tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah menyatakan bahwa

bank berkewajiban menetapkan kebijakan dan memiliki prosedur tertulis

mengenai penerimaan pengaduan, penanganan dan penyelesaian pengaduan, serta

pemantauan penyelesaian pengaduan. Bank juga berkewajiban melaporkan

penanganan dan penyelesaian pengaduan secara triwulan kepada Bank Indonesia.

Apabila penyelesaian secara mufakat di antara kedua belah pihak tidak

tercapai, perlu dipikirkan gagasan tentang perlu adanya lembaga atau biro

12

(39)

penyelesaian sengketa perbankan. Lembaga ini dimaksudkan sebagai alternatif

penyelesaian sengketa perbankan di luar pengadilan yang punya keputusan

mengikat, mengingat penyelesaian lewat pengadilan sering terasa tidak efektif.

Selain itu, dari sisi konsumen, terkadang konsumen merasa tidak berdaya ketika

harus menghadapi ancaman dari debt collector dan tak jarang pula berakibat pula

kepada kematian seperti kasus kematian Irjen Okta di Jakarta baru-baru ini.

Bank Indonesia selaku regulator tentunya punya kendali yang cukup untuk

merealisasi gagasan tentang pembentukan biro penyelesaian sengketa perbankan

tersebut. Dari sisi upaya preventif, amanat Pasal 16 Peraturan Bank Indonesia

Nomor 6/30/PBI/2005, yang mengatur soal kewajiban penerapan manajemen

risiko kredit yang mencakup beberapa hal yang wajib diterapkan sebelum

persetujuan aplikasi kartu kredit, seharusnya dilakukan secara konsisten oleh bank

penyelenggara. Harapan yang muncul adalah agar persetujuan permohonan

aplikasi tidak mudah terjual.13

Peraturan dari Bank Indonesia ini diharapkan juga dapat diberlakukan

secara konsisten kepada lembaga-lembaga pembiayaan lain, dalam hal ini juga

termasuk tidak mudah mengeluarkan perjanjian leasing tanpa melakukan

peninjauan (survey) yang mendalam terhadap calon debitur.

13

(40)

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG PENARIKAN BENDA-BENDA BERGERAK YANG DITARIK PAKSA OLEH LEASING/KREDITUR

A. Jenis- Jenis Leasing

Pada prinsipnya ada 2 macam prototipe leasing, yaitu leasing yang

berbentuk operating dan leasing yang berbentuk financial. Namun demikian

terdapat juga berbagai bentuk lainnya yang lebih merupakan derivasi dari kedua

bentuk pokok tersebut. Untuk itu akan ditinjau satu persatu.

1. Operating lease

Operating lease disebut juga service lease. Operating lease ini biasanya

merupakan suatu corak leasing dengan karakteristik sebagai berikut :

a. Jangka waktu berlakunya leasing relatif singkat, dan lebih singkat dari usia

ekonomis dari barang tersebut.

b. Besarnya harga sewa lebih kecil ketimbang harga barang ditambah

keuntungan yang diharapkan lessor

c. Tidak diberikan “hak opsi” bagi lessee untuk membeli barang di akhir

masa leasing

d. Biasanya operating lease dikhususkan untuk barang-barang yang mudah

terjual setelah pemakaian (yang laku di pasar barang bekas)

e. Operating lease biasanya diberikan oleh pabrik atau leveransir, karena

(41)

tersebut. Sebab, dalam operating lease, jasa pemeliharaan merupakan

tanggung jawab lessor.

f. Biasanya harga sewa setiap bulannya dibayar dengan jumlah yang tetap.

g. Biasanya lessor lah yang menanggung biaya pemeliharaan, kerusakan,

pajak dan asuransi

h. Biasanya kontrak leasing dapat dibatalkan sepihak oleh lessee, dengan

mengembalikan barang yang bersangkutan kepada lessor.

2. Financial Lease

Financial lease ini sering disebut juga dengan capital lease atau full-payout.

Financial Lease merupakan suatu corak leasing yang lebih sering diterapkan

dengan ciri sebagai berikut:

a. Jangka waktu berlakunya leasing relatif panjang

b. Besarnya harga sewa plus hak opsi harus menutupi harga barang plus

keuntungan yang diharapkan oleh lessor

c. Diberikan hak opsi untuk lessee untuk membeli barang di akhir masa

leasing

d. Financial lease dapat diberikan oleh perusahaan pembiayaan

e. Harga sewa yang dibayar per bulan oleh lessee dapat dengan jumlahnya

yang tetap, maupun dengan cara berubah-ubah sesuai dengan suku bunga

pinjaman

f. Biasanya lessee yang menanggung biaya pemeliharaan, kerusakan, pajak

dan asuransi

(42)

Seperti telah disebutkan bahwa selain kedua bentuk utama leasing tersebut

di atas, masih terdapat bentuk-bentuk variasi lainnya dari leasing, antara

lain sebagai berikut:

1. Sales and Lease Back

Sales and lease back merupakan suatu jenis pembiayaan dengan mana

barang sebenarnya berasal dari lease, kemudian dibeli oleh lessor.

Selanjutnya, barang tersebut oleh lessee disewanya kembali dari lessor

untuk suatu periode tertentu. Biasanya bentuk sale and lease back ini

mengambil bentuk financial lease, oleh karena lessor dari semula

memang tidak berkeinginan memiliki barang tersebut, sehingga,

bentuk sale and lease back ini mirip dengan hutang untuk suatu

keperluan tertentu dengan bayaran cicilan di mana barang tersebut

dipergunakan sebagai jaminan hutang.

2. Direct lease

Direct lease merupakan leasing di mana barangnya tidak dibeli

terlebih dahulu oleh lessor dari lessee seperti pada sale and lease back,

tetapi lessor membeli suatu barang dari pihak ketiga, yakni pihak

supplier, untuk kemudian barang tersebut dileasingkan kepada pihak

lessee. Jadi dalam hal ini, pihak lessee sebenarnya membutuhkan

barang modal untuk usahanya atau untuk keperluannya, tetapi

memerlukan bantuan biaya dari pihak lessor untuk pengadaan barang

(43)

3. Leveraged Lease

Leveraged lease merupakan suatu jenis financial leasing yang mana

pihak yang memberikan pembiayaan di samping lessor juga pihak

ketiga. Biasanya leveraged lease ini dilakukan terhadap barang-barang

yang mempunyai nilai tinggi, di mana pihak lessor hanya membiayai

antara 20% sampai 40% dari pembelian barang, sedangkan selebihnya

akan dibiayai oleh pihak ketiga, yang merupakan hasil pinjaman lessor

dari pihak ketiga tersebut dengan memakai kontrak leasing yang

bersangkutan sebagai jaminan hutangnya. Pihak ketiga ini sering

disebut dengan Credit Provider atau Debt Participant, biasanya dalam

Leveraged Lease ini terdapat juga seorang yang disebut lesse, dan

mengatur hubungan dan negosiasi antara lessor dan debt participant.

4. Cross Border Lease

Cross Border Lease merupakan leasing dengan mana pihak lessor dan

pihak lessee berada dalam dua negara yang berbeda.

5. Net Lease

Net Lease merupakan bentuk financial leasing dimana lessee yang

menanggung resiko dan bertanggung jawab atas pemeliharaan barang

dan membayar pajak dan asuransinya.

6. Net-net Lease

Net-net Lease merupakan financial leasing dimana lessee tidak hanya

menaggung resiko dan hanya bertanggung jawab atas pemeliharaan

(44)

mengembalikan barang kepada lessor dalam kondisi dan nilai seperti

pada saat mulainya perjanjian leasing. Sering juga dipakai istilah

Non-Maintenance baik untuk Net Lease maupun Net-net Lease.

7. Full Service Lease

Full Service Lease disebut juga dengan Rental Lease atau Gross Lease.

Yang dimaksudkan adalah leasing dengan mana pihak lessor

bertanggung jawab atas pemeliharaan barang membayar asuransi dan

pajak.

8. Big Ticket Lease

Ini merupakan bentuk leasing untuk barang-barang mahal, misalnya

pesawat terbang, dan dengan jangka waktu leasing yang relatif lama.

Misalnya sampai 10 ( sepuluh ) tahun.

9. Captive Leasing

Yang dimaksud dengan Captive Leasing adalah leasing yang

ditawarkan oleh lessor kepada langganan tertentu yang terlebih dahulu

ada hubungan dengan lessor. Dalam hal ini, biasanya yang menjadi

barang objek leasing adalah barang yang merupakan merek dari lessor

sendiri.

10.Third Party Leasing

Third Party Leasing merupakan kebalikan dari captive leasing. Dalam

hal third party leasing ini pihak lessor bebas menawarkan leasing

kepada siapa saja. Jadi, lessor tidak harus mempunyai hubungan

(45)

11.Wrap Lease

Wrap Lease merupakan jenis leasing yang biasanya pihak lessor tidak

mau mengambil resiko. Sehingga jangka waktunya lebih singkat dari

biasanya. Tetapi tentunya ini akan memberatkan lessee karena dia

harus membayar cicilan yang besar. Karena itu, pihak lessor biasanya

meleasingkan kembali barang tersebut kepada investor yang

menanggung resiko, sehingga jangka waktu leasing bagi lessee akan

menjadi lebih panjang, sehingga cicilannya menjadi relatif kecil. Wrap

Lease ini belum lazim di Indonesia, dan seringkali bentuk leasing

seperti ini dipraktekkan terhadap leasing komputer.

12.Straight Payble Lease, Seasonal Lease dan Return on Investment

Lease

Pembagian kepada tiga jenis leasing ini adalah jika dipergunakan

kriteria “cara pembayaran” terhadap cicilan harga barang oleh lessee

kepada lessor.

Yang dimaksud dengan straight payble lease adalah leasing yang

cicilannya dibayar oleh lessee kepada pihak lessor tiap bulannya dan

dengan jumlah cicilan yang selalu sama. Sementara itu, yang dimaksud

dengan seasonal lease adalah leasing yang metode pembayaran

cicilannya oleh lessee kepada lessor dilakukan setiap periode tertentu.

Misalnya dibayar tiap tiga bulan sekali.

Sedangkan yang dimaksud dengan return on investment lease adalah

(46)

lessor hanya terhadap angsuran bunganya saja. Sementara hutang

pokoknya baru dibayar setiap akhir tahun dari keuntungan yang

diperoleh oleh perusahaan lessee. 14

B. Upaya Hukum yang dilakukan Debitur Terhadap Penarikan Benda-Benda Bergerak Menurut Ketentuan Undang-undang.

Untuk memperjuangkan hak-haknya dan memperoleh kepastian hukum di

dalam permasalahan penarikan paksa yang dialami oleh debitur, debitur dapat

melakukan upaya-upaya hukum yaitu:

1. Melakukan gugatan ke Pengadilan Umum Perdata

Berbicara mengenai praktek peradilan perdata di Indonesia tentu tidak bisa

dilepaskan dari aturan-aturan normatif yang mengaturnya. Hal ini penting agar

semua pihak yang terlibat didalam suatu sistem peradilan dapat memperoleh

panduan untuk menjalankan proses persidangan yang dihadapi. Di Indonesia,

mekanisme tentang praktek peradilan perdata terdapat pada hukum acara perdata

yang berfungsi untuk menegakkan hukum material.

Hukum material di Indonesia, baik yang termuat dalam suatu bentuk

perundang-undangan maupun yang tidak tertulis, merupakan pedoman atau

pegangan bagi seluruh warga masyarakat dalam segala tingkah lakunya di dalam

pergaulan hidup. Semua ketentuan-ketentuan tersebut tidaklah cukup hanya

dibaca, dilihat, atau diketahui saja, dalam hal ini diperlukan sekali suatu bentuk

14

Munir Fuady, Hukum Tentang Pembiayaan dalam Teori dan Praktek,

(47)

perundang-undangan yang akan mengatur dan menetapkan tentang cara

bagaimana melaksanakan hukum materil.

Menurut Prof. DR. Sudikno Mertukusumo, SH , “ Hukum acara Perdata

adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya

peraturan hukum perdata materil dengan perantaraan hakim.15

Menurut Prof. DR. Wirjono Prodjodikoro, SH, “ Hukum acara perdata

merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang

harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan bagaimana cara pengadilan

itu harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya

peraturan-peraturan hukum perdata.”

Jadi dapat disimpulkan bahwa Hukum Acara Perdata meliputi ketentuan

tentang cara bagaimana harus menyelesaikan masalah dan mendapat keadilan dari

hakim apabila kepentingan atau haknya dilanggar oleh orang lain dan sebaliknya

bagaimana cara mempertahankan kebenarannya apabila ia dituntut oleh orang

lain.16

Sumber-sumber Hukum Acara Perdata yang dapat digunakan di Indonesia

adalah sebagai berikut:

a. Undang-undang Dasar tahun 1945

b. HIR dan Rbg

c. KUH Perdata(BW)

d. RV

15

Dikutip dari Krisna Harahap, Hukum Acara Perdata: Class Action, Arbritase &

Alternatif serta Mediasi, cet. 5, (Bandung: PT Grafitri Budi Utami,2007), hal. 1

16

(48)

e. UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

f. UU No. 8/ 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Undang-undang ini yang menjadi dasar hukum para pihak (Konsumen

atau Kreditur) mengajukan gugatan ke muka Pengadilan Umum

g. UU No. 30 Thun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa

Pada asasnya setiap orang boleh berperkara di depan Pengadilan kecuali

orang yang belum dewasa atau orang yang sakit ingatan. Bagi orang yang belum

dewasa, harus diwakili oleh orang tua atau wakilnya, dan bagi yang sakit ingatan

diwakili oleh pengampunya. Suatu badan hukum juga boleh menjadi pihak dalam

suatu perkara, dan yang bertindak untuk dan atas nama badan usaha tersebut

adalah Direkturnya.

Di dalam suatu sengketa perdata sekurang-kurangnya terdapat 2 (Dua)

pihak, yaitu pihak Penggugat yang mengajukan gugatan yang dalam kasus

sengketa Konsumen dapat berupa Konsumen yang dirugikan tersebut maupun

pihak Kreditur dan pihak Tergugat (bisa Konsumen atau Kreditur). Dan biasanya

orang yang langsung berkepentingan sendiri yang aktif bertindak sebagai pihak di

Pengadilan, baik sebagai Tergugat maupun Penggugat. Penggugat yaitu orang

yang merasa bahwa haknya telah dilanggar, sedangkan Tergugat yaitu orang yang

ditarik ke muka Pengadilan karena dia dianggap atau dirasa melanggar hak

seseorang atau pihak lain.

Diatas dikatakan bahwa biasanya orang yang mempunyai kepentingan

(49)

demikian bukanlah merupakan suatu keharusan karena bisa saja orang atau para

pihak (Konsumen atau Kreditur) yang berperkara dalam masalah sengketa

Konsumen mewakilkan pada orang lain atas namanya menghadap di muka sidang

Pengadilan. Seorang wakil yang mewakili salah satu pihak yang berperkara harus

merupakan wakil yang sah, jadi wakil tersebut harus mempunyai surat kuasa yang

menyebutkan nama perkara, pengadilan mana, perihal apa dan untuk apa surat

kuasa tersebut diberikan.17

Didalam masalah gugatan ini, kita perlu terlebih dahulu mengetahui

perbedaan antara gugatan dan permohonan. Adapun perbedaan diantara keduanya

yaitu bahwa dalam perkara gugatan ada suatu sengketa yang harus diselesaikan

oleh Pengadilan yang diakhiri dengan sebuah putusan, sedangkan dalam perkara

yang disebut permohonan, disini tidak ada sengketa dan diakhiri dengan sebuah

penetapan Hakim.

Dalam cara mengajukan gugatan harus diperhatikan benar-benar oleh

penggugat, bahwa gugatannya harus diajukan kepada Pengadilan yang

benar-benar berwenang untuk mengadili perkara atau persoalan yang bersangkutan.

Dalam Hukum Acara Perdata dikenal adanya 2 macam kewenangan

mengadili, yaitu:

a. Kewenangan Mutlak

Kewenangan badan pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang

secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh pengadilan lain, baik dalam

lingkungan peradilan yang sama (Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi)

17

(50)

Referensi

Dokumen terkait

[r]

[r]

Demikianlah berita acara serah terima barang ini di perbuat oleh kedua belah pihak, adapun barang- barang tersebut dalam keadaan baik dan cukup, sejak penandatanganan berita

Hasil pengamatan yang telah dilakukan adalah semua aspek sudah dilaksanakan, hal ini menunjukkan bahwa guru mampu melaksanakan kegiatan penutup dalam proses

Setelah peneliti mengumpulkan beberapa data dan melewati tahap penelitian, maka peneliti memperlakukan naskah ini sebagai naskah tunggal, dan pada penelitian ini,

Pesatnya perkembangan teknologi dalam industri musik membuat semua orang semakin mudah memproduksi musik sendiri. Hal ini terbukti dari semakin banyaknya studio rekaman

Trinitrophenol (picric acid) was selected for more detailed kinetic study. It was the most persistent pollutant among the six dyes.. Elsousy, APAC, Vol. Salinity of course is

Pelanggan juga dapat melihat langsung informasi-informasi terkini mengenai perusahaan, informasi lengkap mengenai produk-produk yang dijual oleh Boston Health and Beauty,