• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dualisme Kewenangan Penyelesaian Sengketa Perbankan Syari’ah antara Mahkamah Syar’iyah dan Pengadilan Negeri di Kota Banda Aceh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Dualisme Kewenangan Penyelesaian Sengketa Perbankan Syari’ah antara Mahkamah Syar’iyah dan Pengadilan Negeri di Kota Banda Aceh"

Copied!
161
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Oleh

SYAHRIZAL

107011005/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan

pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

SYAHRIZAL

107011005/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Nama Mahasiswa : SYAHRIZAL

Nomor Pokok : 107011005

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. H. Abdullah Syah, MA)

Pembimbing Pembimbing

(Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD) (Dr. Idha Aprilyana, SH, MHum)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)

(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. H. Abdullah Syah, MA

Anggota : 1.Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD

2.Dr. Idha Aprilyana, SH, MHum

3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN

(5)

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : SYAHRIZAL

Nim : 107011005

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : DUALISME KEWENANGAN PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARI’AH ANTARA MAHKAMAH SYAR’IYAH DAN PENGADILAN NEGERI DI KOTA BANDA ACEH

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama :SYAHRIZAL

(6)

50 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Agama merupakan kewenangan pengadilan agama, namun dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah dan klausul pada beberapa bank syariah juga dapat dilakukan melalui pengadilan negeri. Hal ini tentunya menimbulkan dualisme dalam pelaksanaannya.

Penelitian menggunakan penelitian deskriptif analitis, yang menguraikan atau memaparkan sekaligus menganalisis tentang mekanisme penyelesaian sengketa dalam akad perjanjian syari’ah, alasan akad pada bank syariah menetapkan klausul penyelesaian melalui pengadilan negeri dan faktor penyebab terjadinya dualisme dalam penyelesaian sengketa perbankan syari’ah serta akibat hukumnya.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa mekanisme penyelesaian sengketa dalam akad perjanjian syari’ah oleh para pihak di Kota Banda Aceh pada dasarnya sesuai dengan kesepakatan dalam akad dengan lebih mengedepankan penyelesaian secara musyawarah dan mufakat. Dalam akad pembiayaan pada perbankan dengan prinsip syariah di Kota Banda Aceh masih ditemukan adanya klausul penyelessaian sengketa yang mencantumkan pengadilan negeri sebagai lembaga penyelesaian sengketa walaupun telah menjadi kewenangan absolut pengadilan agama/mahkamah syariyah karena telah sudah menjadi bagian yang ditempuh oleh bank induknya juga hanya sebagai pelengkap saja. Faktor penyebabkan terjadinya dualisme dalam penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah adalah adanya ketentuan hukum yang diterbitkan oleh pembuat undang yang mengatur kewenangan mengadili dari dua lembaga peradilan yaitu Pengadilan Agama (Mahkamah Syariyah di Aceh) dengan peradilan umum, di samping karena pihak bank mencantumkan pilihan lembaga penyelesaian sengketa dalam akad yang mengikuti ketentuan dalam perjanjian kredit bank konvensional. Akibat hukum yang timbul adalah sinkronisasi hukum kekuasaan kehakiman khususnya mengenai kewenangan Peradilan Agama dalam menangani perkara ekonomi syariah dipertanyakan karena dualisme penyelesaian hukum ekonomi syariah.

Disarankan agar para pihak dalam hubungan hukum terkait bisnis perbankan syariah agar dapat melaksanakan ketentuan dalam akad yang dibuat sesuai kesepakatan, kepada pihak bank agar dalam akad pembiayaan yang dibuat tidak lagi dicantumkan penyelesaian perselisihan melalui pengadilan negeri dan tetap mempertahankan penyelesaian secara musyawarah guna menghindari persengketaan melalui lembaga litigasi. Disarankan pula bahwa guna menghindari sengketa kewenangan lebih lanjut disarankan kepada pengambil kebijakan agar dapat melakukan revisi terhadap pasal 55 Ayat 2 huruf D undang_undang nomor 21tahun 2008 yang menimbulkan dualisme kewenangan penyelesaian sengketa guna mempertegas tentang ketentuan lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa perbankan syariah.

(7)

Religious Court, is authorized to religious court; however, in Law No. 21/2008 on Sharia Banking and in clauses of some sharia banks, it can also be handled through district court. This condition will become dualism in its implementation.

The research used descriptive method which explains, describes, and analyzes the mechanism of the settlement of dispute in sharia contracts, the reason why the contracts in sharia banks have to be in the clauses of settlement through district court, and some factors which cause dualism in settling the disputes in sharia banking and its legal consequences.

The results of the research showed that the mechanism of settling the dispute in sharia contract by the parties concerned in Banda Aceh was basically in line with the agreement in the contract which prioritized negotiation and consensus. There were clauses of the settlement of dispute in the financing contract in sharia banking which includes district court as the institution which settles the dispute although it is absolutely the authority of religious court. This is in line with what has been done by the sharia head office bank, and district court is only the complement. Dualism in settling the dispute in sharia banking is caused by legal provisions made by the legislators which state that there are two authorities that settle the dispute: the Religious Court (Sharia Court in Banda Aceh) and the district court. This is because the Bank includes, in the contract, the institution which deals with the credit contract of conventional banks. The legal consequence is that there is the synchronization of judicial power; in this case, the authority of religious court in handling sharia economic cases is ambiguous, due to the dualism in settling sharia economic cases.

It is recommended that the parties concerned that deal with sharia banking business should comply with the agreement in the contract and that the Bank should not include district court in its financing contract and should prioritize negotiation through litigation institution in settling the dispute. It is also recommended that the policy makers should be able to revise Article 55, paragraph (2d) of Law No. 21/2008 in order to avoid dispute and dualism in authority and to decide what institution which has the authority to settle the dispute in sharia banking.

(8)

Puji dan Syukur Alhamdulillah kehadirat ALLAH SWT karena hanya dengan berkat dan karunia-Nya penulisan tesis ini dengan judul Dualisme Kewenangan Penyelesaian Sengketa Perbankan Syari’ah antara Mahkamah Syar’iyah dan

Pengadilan Negeri di Kota Banda Aceh”. Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Prof. Dr. Abdullah Syah, M.A., Bapak Prof. H.M. Hasballah Thaib, MA.Ph.D., dan Ibu Dr. Idha Aprillyana Sembiring, S.H., M.Hum. selaku Komisi Pembimbing yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.

Kemudian juga, semua pihak yang telah berkenan memberi masukan dan arahan yang konstruktif dalam penulisan tesis ini sejak kolokium, seminar hasil sampai ujian tertutup sehingga penulisan menjadi lebih sempurna dan terarah.

Selanjutnya ucapan terima kasih penulis yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku

(9)

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku ketua program studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan tesis ini.

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan tesis ini.

5. Bapak dan Ibu Dosen Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan bimbingan dan arahan serta ilmu yang sangat bermanfaat selama Penulis mengikuti proses kegiatan belajar mengajar di bangku kuliah. 6. Seluruh Staf/Pegawai di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan bantuan kepada Penulis selama menjalani pendidikan.

(10)

banyak memberikan motivasi kepada Penulis dalam menyelesaikan tesis ini. 9. Motivator terbesar dalam hidup Penulis yang selalu memberikan cinta, kasih

sayang, dukungan dan doa yang tak putus-putusnya Ibunda Hj. Jummiati dan ayahanda Almarhum H. Muhammad Hasan Mahmud serta Saudara-saudariku yang telah memberikan semangat dan doa kepada Penulis.

Penulis menyadari sepenuhnya tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun besar harapan penulis kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, terutama para pemerhati hukum perdata pada umumnya dan ilmu kenotariaan pada khususnya. Demikian pula atas bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rezeki yang melimpah kepada kita semua.Amien Ya Rabbal ‘Alamin

Medan, Juli 2012 Penulis,

(11)

I. DATA PRIBADI

Nama Lengkap : Syahrizal

Tempat/Tanggal Lahir : Deah Mon Ara/ 12 Oktober 1983 Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Status : Belum Kawin

Alamat : Jl. Tongkol no. 33 Gampong Keuramat Banda Aceh

II IDENTITAS KELUARGA

Nama Ayah : Alm. H. Muhammad Hasan Mahmud Nama Ibu : Hj. Jummiati Ibrahim

Nama Kakak : Alm. Nur Hazanah

III. RIWAYAT PENDIDIKAN

- SD : Tahun 1990 s/d 1996

Negeri No. 21 Lhokseumawe - SMP : Tahun 1996 s/d 1999

SMP Negeri 5 Lhokseumawe - SMA : Tahun 1999 s/d 2002

SMA Darussaadah Teupien Raya Pidie

-Perguruan Tinggi/S1 : Tahun 2002 s/d 2009

S-1 Fakultas Hukum Syiah Kuala - Perguruan Tinggi/S2 : Tahun 2010-2012

(12)

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 13

D. Manfaat Penelitian ... 13

E. Keaslian Penelitian ... 14

F. Kerangka Teori dan Konsepsi. ... 14

G. Metode Penelitian ... 26

BAB II. MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA DALAM AKAD PERJANJIAN SYARI’AH OLEH PARA PIHAK DI KOTA BANDA ACEH ... 31

A.Perekonomian dan Perbankan Syariah ... 31

B. Pengertian Sengketa dan Sengketa Perbankan Syariah ... 55

C. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah dalam Hukum Islam ... 62

D. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Dalam Akad Perjanjian Syari’ah Oleh Para Pihak Di Kota Banda Aceh ... 79

BAB III. AKAD PADA PERBANKAN SYARIAH DAN LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH... 93

A. Pengertian Akad dan Dasar Hukumnya ... 93

(13)

DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN

DAN AKIBAT HUKUMNYA... 125

A. Faktor Penyebab Terjadinya Dualisme dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan Syari’ah ... 125

B. Akibat Hukum Dualisme Dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan Syari’ah ……….. 131

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 138

A. Kesimpulan ... 138

B. Saran ... 139

(14)

50 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Agama merupakan kewenangan pengadilan agama, namun dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah dan klausul pada beberapa bank syariah juga dapat dilakukan melalui pengadilan negeri. Hal ini tentunya menimbulkan dualisme dalam pelaksanaannya.

Penelitian menggunakan penelitian deskriptif analitis, yang menguraikan atau memaparkan sekaligus menganalisis tentang mekanisme penyelesaian sengketa dalam akad perjanjian syari’ah, alasan akad pada bank syariah menetapkan klausul penyelesaian melalui pengadilan negeri dan faktor penyebab terjadinya dualisme dalam penyelesaian sengketa perbankan syari’ah serta akibat hukumnya.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa mekanisme penyelesaian sengketa dalam akad perjanjian syari’ah oleh para pihak di Kota Banda Aceh pada dasarnya sesuai dengan kesepakatan dalam akad dengan lebih mengedepankan penyelesaian secara musyawarah dan mufakat. Dalam akad pembiayaan pada perbankan dengan prinsip syariah di Kota Banda Aceh masih ditemukan adanya klausul penyelessaian sengketa yang mencantumkan pengadilan negeri sebagai lembaga penyelesaian sengketa walaupun telah menjadi kewenangan absolut pengadilan agama/mahkamah syariyah karena telah sudah menjadi bagian yang ditempuh oleh bank induknya juga hanya sebagai pelengkap saja. Faktor penyebabkan terjadinya dualisme dalam penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah adalah adanya ketentuan hukum yang diterbitkan oleh pembuat undang yang mengatur kewenangan mengadili dari dua lembaga peradilan yaitu Pengadilan Agama (Mahkamah Syariyah di Aceh) dengan peradilan umum, di samping karena pihak bank mencantumkan pilihan lembaga penyelesaian sengketa dalam akad yang mengikuti ketentuan dalam perjanjian kredit bank konvensional. Akibat hukum yang timbul adalah sinkronisasi hukum kekuasaan kehakiman khususnya mengenai kewenangan Peradilan Agama dalam menangani perkara ekonomi syariah dipertanyakan karena dualisme penyelesaian hukum ekonomi syariah.

Disarankan agar para pihak dalam hubungan hukum terkait bisnis perbankan syariah agar dapat melaksanakan ketentuan dalam akad yang dibuat sesuai kesepakatan, kepada pihak bank agar dalam akad pembiayaan yang dibuat tidak lagi dicantumkan penyelesaian perselisihan melalui pengadilan negeri dan tetap mempertahankan penyelesaian secara musyawarah guna menghindari persengketaan melalui lembaga litigasi. Disarankan pula bahwa guna menghindari sengketa kewenangan lebih lanjut disarankan kepada pengambil kebijakan agar dapat melakukan revisi terhadap pasal 55 Ayat 2 huruf D undang_undang nomor 21tahun 2008 yang menimbulkan dualisme kewenangan penyelesaian sengketa guna mempertegas tentang ketentuan lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa perbankan syariah.

(15)

Religious Court, is authorized to religious court; however, in Law No. 21/2008 on Sharia Banking and in clauses of some sharia banks, it can also be handled through district court. This condition will become dualism in its implementation.

The research used descriptive method which explains, describes, and analyzes the mechanism of the settlement of dispute in sharia contracts, the reason why the contracts in sharia banks have to be in the clauses of settlement through district court, and some factors which cause dualism in settling the disputes in sharia banking and its legal consequences.

The results of the research showed that the mechanism of settling the dispute in sharia contract by the parties concerned in Banda Aceh was basically in line with the agreement in the contract which prioritized negotiation and consensus. There were clauses of the settlement of dispute in the financing contract in sharia banking which includes district court as the institution which settles the dispute although it is absolutely the authority of religious court. This is in line with what has been done by the sharia head office bank, and district court is only the complement. Dualism in settling the dispute in sharia banking is caused by legal provisions made by the legislators which state that there are two authorities that settle the dispute: the Religious Court (Sharia Court in Banda Aceh) and the district court. This is because the Bank includes, in the contract, the institution which deals with the credit contract of conventional banks. The legal consequence is that there is the synchronization of judicial power; in this case, the authority of religious court in handling sharia economic cases is ambiguous, due to the dualism in settling sharia economic cases.

It is recommended that the parties concerned that deal with sharia banking business should comply with the agreement in the contract and that the Bank should not include district court in its financing contract and should prioritize negotiation through litigation institution in settling the dispute. It is also recommended that the policy makers should be able to revise Article 55, paragraph (2d) of Law No. 21/2008 in order to avoid dispute and dualism in authority and to decide what institution which has the authority to settle the dispute in sharia banking.

(16)

A. Latar Belakang

Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa, negara, dan masyarakat yang tertib, bersih, makmur, dan berkeadilan. Hukum dengan segala sanksinya hanya sebagian dari upaya untuk menciptakan suatu ketertiban dalam masyarakat. Upaya ini harus dibarengi dengan rasa kesadaran yang tinggi dan menghayati arti pentingnya hidup dalam masyarakat yang aman dan tertib berdasarkan kaidah-kaidah dan norma-norma hidup serta peraturan-peraturan hukum baik itu secara hukum positif maupun hukum Islam.

Manusia merupakan makhluk sosial yang memiliki kebutuhan dasar berupa kebutuhan fisiologis, rasa aman, rasa memiliki dan dimiliki, rasa kasih sayang, penghargaan dan aktualisasi diri serta kebutuhan akan pertumbuhan.1 Kebutuhan penghargaan dan aktualisasi diri merupakan sesuatu yang lebih penting dibandingkan dengan kebutuhan kebutuhan lainnya. Setiap orang akan merasa senang apabila mendapat penghargaan atas apa yang dilakukannya. Sebaliknya dia akan merasa kecewa, marah apabila harga dirinya tersinggung atau diremehkan. Apalagi jika ia

(17)

merasa dapat perlakuan yang tidak wajar. Dengan demikian sudah menjadi kodrat bahwa setiap orang ingin mendapat perlakuan dan penghargaan dari orang lain yakni perlakuan adil dan manusiawi.

Manusia sebagai makhluk sosial juga membutuhkan pelayanan yang simpatik khususnya jika menghadapi permasalahan atau kesulitan sosial dalam bentuk perselisihan atau sengketa. Oleh karena itu ia, membutuhkan bantuan dan pelayanan dari tempat dimana ia ingin menyelesaikan sengketanya, yang salah satunya adalah pengadilan. Pengadilan merupakan tumpuan harapan terakhir pencari keadilan atau pihak pihak yang bersengketa. Dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, pengadilan mempunyai tugas utama, yaitu2

1. Memberikan perlakuan yang adil dan manusiawi kepada pencari keadilan 2. Memberi pelayanan yang simpatik dan bantuan yang diperlukan bagi pencari

keadilan.

3. Memberikan penyelesaian perkara secara efektif, efesien, tuntas dan final sehingga memuaskan kepada pihak-pihak dan masyarakat.

Peradilan yang diselenggarakan di Indonesia merupakan suatu sistem yang saling berhubungan satu sama lain, di mana antara lembaga peradilan tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling berhubungan dan berpuncak pada Mahkamah Agung. Sistem Peradilan Indonesia dapat diketahui dari ketentuan Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang menyatakan bahwa :

1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. 2) Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan

badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan

(18)

Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah konstitusi.3

Hal ini juga diatur dalam ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman), bahwa Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan ketentuan tersebut jelaslah bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Adanya pengaturan tentang lembaga peradilan ini adalah untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan peradilan yang bersih serta berwibawa perlu dilakukan penataan sistem peradilan yang terpadu.4

Penjelasan di atas memberikan pengertian bahwa dalam hal penyelesaian suatu perselisihan atau sengketa lembaga peradilan dalam hal ini pengadilan

3Pasal 24 ayat (1) dan (2) Undang-undang Dasar 1945

(19)

merupakan tumpuan harapan terakhir pencari keadilan atau pihak-pihak yang bersengketa. Salah satu sengketa yang saat ini mulai banyak timbul sehubungan dengan penerapan sistem ekonomi syari’ah adalah sengketa di bidang perekonomian syari’ah yang dijalankan berdasarkan hukum Islam.

Hukum Islam dimaksud adalah hukum yang sejak kedatangannya di nusantara sampai saat ini diakui sebagai hukum yang hidup(living law).Hal ini dapat dipahami karena sepanjang kesadaran teologis seorang muslim berjalan sebagaimana mestinya, maka ketaatan pada ajaran Islam menjadi keniscayaan. Seorang muslim akan menundukkan dirinya dan seluruh aspek kehidupannya kepada ajaran Islam,5sebagai konsekwensi keberimanan seorang muslim. Sebagai ciri seorang yang merdeka dari pengaruh dan cengkraman syaithan.

Sebagai salah satu pranata dalam memenuhi hajat hidup anggota masyarakat untuk menegakkan hukum khususnya bagi mereka yang beragama Islam dan/atau mereka yang menyatakan diri tunduk kepada hukum Islam adalah Pengadilan Agama. Pengadilan Agama berwenang dan dikhususkan mengemban tugas khusus pada bidang-bidang keperdataan bagi pemeluk agama Islam. Peradilan Agama dalam hal ini berfungsi untuk menerima, memeriksa dan memutus ketetapan hukum antara pihak-pihak yang bersengketa dengan putusan yang dapat menghilangkan

(20)

permusuhan berdasarkan bukti-bukti dan keterangan dengan tetap mempertimbangkan dasar-dasar hukum yang ada.6

Peradilan atau Pengadilan Agama adalah lembaga peradilan bagi pemeluk agama Islam di Indonesia, sebab dari jenis jenis perkara yang menjadi kewenangannya seluruhnya adalah jenis perkara yang didasarkan kepada agama Islam. Selain itu, Peradilan Agama juga dikhususkan bagi mereka yang beragama Islam dan/atau mereka yang menyatakan diri tunduk kepada hukum Islam.7

Pengadilan agama pada awalnya diatur dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Agama. Pada awalnya ketentuan tentang Pengadilan Agama dinyatakan bahwa Pengadilan Agama berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah serta ekonomi syari’ah. Setelah adanya perubahan tersebut Peradilan Agama kemudian diberi tambahan kewenangan yaitu zakat; infaq dan ekonomi syari’ah.

Adanya perubahan tersebut merupakan dampak dari arus modernisasi yang mengglobal saat ini telah membawa banyak perubahan dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat termasuk meningkatnya minat masyarakat untuk

6Yusna Zaida : Kewenangan Peradilan Agama Terhadap Sengketa Ekonomi Syari'ahAl-Banjari Vol. 5, No. 9, Januari – Juni 2007, hlm. 1-2.

(21)

memanfaatkan sektor ekonomi baik secara konvensional maupun berdasarkan ekonomi syari’ah.

Dengan penerapan prinsip syari’ah dalam kegiatan usaha tersebut, maka diikuti pula oleh perkembangan lembaga penyelesaian sengketa (dispute resolution) yang ada. Khususnya lembaga peradilan sebagaithe last resortbagi pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketa yang dihadapinya.8

Perkembangan baru dalam ranah dunia peradilan adalah diberikannya kompetensi penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah kepada peradilan agama. Kompetensi tersebut merupakan suatu tantangan baru bagi aparat hukum di lingkungan peradilan agama, sehingga dibutuhkan kesiapan dalam menangani kasus-kasus tersebut.

Perbuatan atau kegiatan usaha yang menjadi penyebab sengketa yang menjadi kewenangan pengadilan agama adalah transaksi yang menggunakan akad syari’ah, walau pelakunya bukan muslim. Ukuran Personalitas ke Islaman dalam sengketa ekonomi syari’ah termasuk dalam hal ini perbankan syariah adalah akad yang mendasari sebuah transaksi, apabila menggunakan akad syari’ah, maka menjadi kewenangan peradilan agama. Dalam konteks ini pelaku non muslim yang menggunakan akad syari’ah berarti menundukkan diri kepada hukum Islam, sehingga oleh karenanya UU Pengadilan Agama menentukan bahwa sengketanya harus diselesaikan di pengadilan agama.

(22)

Persoalan yang muncul kemudian dan akan diteliti lebih lanjut dalam penelitian ini adalah terkait kompetensi peradilan yang berhak memeriksa dan memutus perkara dalam sengketa ekonomi syari’ah termasuk dalam hal ini sengketa perbankan syari’ah. Dalam Undang-undang Perbankan Syari’ah diberikan kompetensi mengadili secara litigasi kepada pengadilan dalam lingkungan peradilan agama dan peradilan umum. Padahal dalam revisi Undang-undang Peradilan Agama yang baru, sengketa ekonomi syari’ah menjadi kompetensi absolut peradilan agama.9

Berdasarkan Pasal 49, huruf i UU Pengadilan Agama, kewenangan Pengadilan Agama diperluas, termasuk bidang Ekonomi Syari’ah. Dengan kewenangan dan peneguhan kewenangan Pengadilan Agama dimaksudkan memberikan dasar hukum bagi Pengadilan Agama dalam menyelesaikan perkara Ekonomi Syari’ah. Ekonomi syari’ah yang dimaksud dengan dalam Pasal 49 huruf i UU Pengadilan Agama adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip-prinsip Syari’ah meliputi:

a. Bank Syari’ah

b. Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah, c. Asuransi Syari’ah

d. Reasuransi Syari’ah e. Reksa Dana Syari’ah

f. Obligasi Syari’ah dan Surat Berharga Berjangka Menengah Syari’ah g. Sekuritas Syari’ah,

h. Pembiayaan Syari’ah, i. Pegadaian Syari’ah,

j. Dana Pensiun Lembaga Keuangan Syari’ah, dan k. Bisnis Syari’ah.

(23)

Sejalan dengan itu, maka yang disebutkan pada penjelasan pasal demi pasal UU Pengadilan Agama, Pasal 49 huruf (i) ”Yang dimaksud dengan ”ekonomi syari’ah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah”, harus dimaknai bahwa kewenangan Pengadilan Agama menjangkau kalangan non muslim yang bertransaksi (menggunakan akad) syari’ah. Tindakan non muslim yang melibatkan dirinya dalam kegiatan ekonomi syari’ah dipandang sebuah penundukan diri secara terbatas terhadap hukum Islam.10

Penyelesaian sengketa perbankan syari’ah masih termasuk kewenangan peradilan umum, sebagaimana sengketa perbankan pada umumnya. Persoalan hukum berkenaan Bank Syari’ah menyangkut prinsip dan ketentuan hukum syari’ah, karenanya jajaran pengadilan (negeri) yang akan menangani sengketa perbankan syari’ah perlu menyiapkan tenaga ahli dalam bidang hukum syari’ah.11 Pengadilan Negeri akan menggunakan syari’ah sebagai landasan hukum bagi penyelesaian perkara sengketa perbankkan syari’ah. Menurut Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah (UU Perbankan Syari’ah), penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah dapat diselesaikan dengan cara :

(1) Penyelesaian sengketa Perbankan Syari’ah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.

(2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad.

10Muhammad Karsayuda, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah Sebagai Kewenangan Baru Pengadilan Agama, www.badilag.net, hlm. 7., Diakses Januari 2011

(24)

(3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syari’ah.

Ketentuan tersebut di atas menggambarkan bahwa penyelesaian sengketa perbankan/ekonomi syari’ah tidak selalu diselesaikan oleh pengadilan negeri. Hal ini pula yang menjadi kesadaran lembaga legislatif selaku pembentuk undang-undang, sehingga oleh karenanya perubahan UU Peradilan Agama menentukan bahwa sengketa ekonomi syari’ah menjadi wewenang peradilan agama. Namun demikian, banyak pihak yang meragukan kesiapan jajaran peradilan agama menangani sengketa ekonomi syari’ah termasuk sengketa perbankan syariah ini. Kesadaran jajaran peradilan agama atas kekurangan itu mendorong mereka untuk terus meningkatkan kemampuannya. Walaupun demikian Hakim Pengadilan Agama yang berlatar belakang Sarjana Syari’ah, setidaknya telah memahami masalah Fiqih Muamalah sehingga dasar keilmuan mereka mengenai azas-azas fiqih muamalah (ekonomi syari’ah) akan amat mendukung tugas menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah.

Dalam hal terjadi sengketa keperdataan termasuk hak milik antara orang beragama Islam dan non Islam mengenai obyek sengketa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 UU Pengadilan Agama, maka cara penyelesaiannya diatur dalam Pasal 50 yang isinya sebagai berikut:

(25)

harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.

2. Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang subyek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, obyek sengketa tersebut diputus oleh Pengadilan Agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.

Adapun mengenai perkara ekonomi syari’ah dalam penelitian ini adalah sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 49 huruf (i) UU No.3 Tahun 2006 yang telah disebutkan di atas. Dengan kata lain, perkara ekonomi syari’ah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah” yang dalam penyelesaiannya merupakan kewenangan Pengadilan Agama menjangkau kalangan non muslim yang bertransaksi (menggunakan akad) syari’ah.

Berkaitan dengan penyelesaian sengketa di bidang ekonomi Syari’ah pada lembaga Peradilan Agama, dengan dasar UU Pengadilan Agama kompetensi absolutnya telah jelas serta hakim tidak berhak menolak untuk menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya, dengan alasan belum ada ketentuan yang mengatur. Hakim berkewajiban menciptakan hukum (to creat the law). Atau untuk mengisi kekosongan hukum, maka konsep yang dterapkan oleh Peradilan Umum berupa pengadilan niaga sebagai pengadilan khusus, setidaknya dapat dipakai acuan sebelum Peradilan Agama mengadakan pengkhususan pengadilan yang diatur dengan UU Pengadilan Agama.

(26)

Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad”. Padahal dalam akad para pihak cenderung menyebutkan bahwa dalam hal penyelesaian sengketa memilih dilakukan melalui pengadilan Negeri.

Sementara jika dikaitkan dengan pasal tersebut, yang menyatakan: Pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Pengadilan Syari’ah Islam yang diatur dengan Undang-Undang Mahkamah Syar’iyah di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Sekarang Provinsi Aceh) yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Daerah Istimewa NAD, yang oleh UU Kekuasaan Kehakiman, tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 15 ayat (2) disebutkan bahwa: Peradilan Syari’ah Islam di Propinsi NAD merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan Pengadilan Agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan Pengadilan Agama dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan pengadilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum.

(27)

gugatan kepada pihak debitur bank ke Pengadilan Negeri dan mengikutsertakan bank sebagai tergugat. Padahal gugatan tersebut dapat saja diajukan ke Mahkamah Syariah atau Pengadilan Agama sebagaimana diatur UU Bank Syariah. Kondisi seperti ini dapat juga terjadi pada perjanjian atau akad yang diselenggarakan berdasarkan prinsip syariah lainnya.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut penulis tertarik untuk menelaah lebih lanjut penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah yang menjadi kewenangan bagi dua lembaga yaitu Mahkamah Syar’iyah dan Pengadilan Negeri. Penelaahan ini nantinya akan dilakukan melalui suatu penelitian dengan judul “Dualisme Kewenangan Penyelesaian Sengketa Perbankan Syari’ah antara Mahkamah

Syar’iyah dan Pengadilan Negeri di Kota Banda Aceh”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dikemukakan beberapa permasalahan yang menarik dikaji lebih lanjut antara lain sebagai berikut:

1. Bagaimanakah mekanisme penyelesaian sengketa dalam akad perjanjian syari’ah oleh para pihak di Kota Banda Aceh ?

2. Mengapa akad pada bank syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya di Kota Banda Aceh menetapkan klausul penyelesaian melalui pengadilan negeri ?

(28)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan yang diharapkan dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk menjelaskan mekanisme penyelesaian sengketa dalam akad perjanjian syari’ah oleh para pihak di Kota Banda Aceh.

2. Untuk menjelaskan alasan akad pada bank syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya di Kota Banda Aceh menetapkan klausul penyelesaian melalui pengadilan negeri.

3. Untuk menjelaskan faktor penyebab terjadinya dualisme dalam penyelesaian sengketa perbankan syari’ah dan akibat hukumnya.

D. Manfaat Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, seperti yang dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut: 1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbang saran dalam ilmu pengetahuan hukum pada umumnya dan hukum perekonomian syari’ah pada khususnya, terutama mengenai masalah penyelesaian sengketa di bidang perekonomian dan perbankan syari’ah.

2. Secara Praktis

(29)

guna mencari jalan penyelesaian terbaik melalui lembaga yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran sementara dan pemeriksaan yang telah penulis lakukan baik di kepustakaan penulisan karya ilmiah Magister Hukum, maupun di Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, ditemukan beberapa beberapa penelitian yang menyangkut penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah, namun belum ada yang secara khusus sebagaimana yang menjadi topik dalam penelitian ini. Oleh karena itu, penelitian ini yang berjudul “Dualisme Kewenangan Penyelesaian Sengketa Perbankan Syari’ah Antara Mahkamah

Syar’iyah dan Pengadilan Negeri Di Kota Banda Aceh”adalah asli adanya. Artinya secara akademik penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan kemurniannya, karena belum ada yang melakukan penelitian yang sama dengan judul penelitian ini.

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Perkembangan ilmu hukum tidak terlepas dari teori hukum sebagai landasannya atau kerangka pikir menganalisa suatu permasalahan dalam penelitian. Kerangka pikir ini dimaksudkan untuk menerangkan atau menjelaskan suatu permasalahan penelitian yang harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang ada sehingga hasil penelitian mengenai sesuatu kasus atau permasalahan

(30)

Kerangka pikir atau kerangka teori ini dijadikan sebagai pisau analisis objek penelitian dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang ada sehingga hasil penelitian mengenai dualisme penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah. Adapun teori yang dijadikan pisau analisis dan landasan teori dalam penelitian ini adalah Apabila dikaitkan dengan identifikasi masalah yang diteliti dalam tesis ini, maka penelitian ini menggunakan landasan teori positivisme.

Adanya pengaruh teori positivisme ini dapat ditelaah dari keberadaan lembaga pengadilan sebagai institusi penegak hukum, peradilan agama harus kuat status dan kedudukannya sehingga dapat memberikan kepastian hukum kepada para pencari keadilan. Untuk itu, yang lebih diutamakan dari reformasi peradilan agama, sesungguhnya adalah berkaitan dengan status dan kedudukannya sebagai salah satu pelaksana dari struktur kekuatan penegakan hukum.

Di dalam suatu tatanan hukum tersebut terdapat suatu sistem hukum. Lawrence M. Friedman mengemukakan bahwa sistem hukum terdiri dari tiga komponen yaitu struktur (structure), substansi (substance), dan budaya hukum (legal culture).12 Di sisi lain Achmad Ali menambahkan bahwa disamping ketiga komponen tersebut diperlukan unsur profesionalisme dan kepemimpinan.13 Sistem hukum yang dianut di Indonesia merupakan mix law system yang mana di samping berlakunya hukum perundang-undangan juga berlaku Hukum Islam. Hal ini

12 Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial, Terjemahan The Legal System: A Social Science Perspective, Nusa Media, Bandung, 2008, hlm. 15.

(31)

ditunjukkan dari Realitas hukum di Indonesia yang memberlakukan beberapa hukum di Indonesia, yaitu: Hukum Perundang-undangan (Ciri Eropa Continental), Hukum Adat (Customary Law), Hukum Islam (Moslem Law), dan Yurisprudensi Hakim.14

Hukum adalah suatu sistem yang terdiri atas sub-sub sistem. Lili Rasjidi menyatakan bahwa membicarakan hukum sebagai suatu sistem selalu menarik dan tidak pernah menemukan titik akhir karena sistem hukum (tertib hukum atau stelsel hukum) memang tidak mengenal bentuk final. Munculnya pemikiran-pemikiran baru sekalipun di luar disiplin hukum selalu dapat membawa pengaruh kepada sistem hukum.15

Lahirnya suatu sistem hukum hukum positip menunjukkan bahwa hukum akan selalu berkembang dan akan sebagai sarana pendukung perubahan dalam masyarakat. Menurut John Austin dalam Lectures on Jurisprudence. sebagai mana dikutip oleh Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi,bahwa:

Hukum adalah perintah dari penguasa dalam arti bahwa perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau dari yang memegang kedaulatan. Selanjutnya Austin berkata bahwa hukum adalah perintah yang dibebankan untuk mengatur makhluk berpikir, perintah yang dilakukan oleh makhluk berpikir yang memegang dan mempunyai kekuasaan. Austin menganggap hukum sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical system), hukum secara tegas dipisahkan dari keadilan dan tidak didasarkan pada nilai-nilai yang baik atau buruk.16

Satjipto Rahardjo, mengatakan bahwa ada dua macam fungsi hukum yang berdampingan satu sama lain adalah fungsi hukum sebagai sarana

14Ibid.

15Darji Darmodihardjo, Penjabaran Nilai-nilai Pancasila Dalam Sistem Hukum Indonesia, PT. Radjagrafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm 149.

(32)

pengendalian sosial, dan sebagai sarana untuk melakukan social engineering.17

Fungsi hukum sebagai sarana pengendalian sosial, yaitu hukum sekedar menjaga agar setiap orang menjalankan peranannya sebagaimana yang telah ditentukan atau diharapkan. Perubahan sosial yang terjadi akan berpengaruh pula terhadap bekerjanya mekanisme pengendalian sosial ini.18 Sedangkan fungsi hukum sebagai sarana untuk melakukan rekayasa sosial (merubah masyarakat) yakni di sini hukum tidak hanya dipakai untuk mengukuhkan pola pola kebiasaan dan tingkah laku yang terdapat dalam masyarakat, melainkan juga untuk mengarahkan kepada tujuan tujuan yang dikehendaki, menghapuskan kebiasaan yang di pandang tidak sesuai lagi, menciptakan pola pola kelakuan baru.19 Penggunaan hukum untuk melakukan perubahan perubahan dalam masyarakat berhubungan erat dengan konsep penyelenggaraan kehidupan sosial ekonomi dalam masyarakat.

Kerangka teori di atas, menyatakan apabila dikaitkan dengan permasalahan yang diteliti jelas bahwa dalam hubungan perekonomian syariah dipengaruhi adanya pengaruh timbal balik nyata antara hukum dengan masyarakat berupa teori yang mengacu pada peraturan perundang-undangan dengan mempertimbangkan kebiasaan dalam masyarakat dan mengamati bagaimana pengaruh peraturan perundang-undangan terhadap masyarakat. Bila dikaitkan dengan penyelesaian sengketa dalam perekonomian syariah merupakan kebijakan lembaga keuangan maupun perbankan 17Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan Ilmu Sosial bagi Pemanfaatan Ilmu Hukum, Alumni, Bandung. 1977. hlm 143.

18Ibid.,hlm 143.

(33)

syariah sebagai konsekuensi semakin tingginya berkembangnya lembaga perbankan syariah di Indonesia.

Selanjutnya Indonesia adalah negara hukum,20 yaitu mendasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan (3) UUD 1945. Pasca Amandemen UUD 1945, Konstitusi menentukan bahwa penyelenggaraan negara menganut prinsip supremasi hukum (bukan supremasi parlemen) dan prinsip demokrasi yang berdasarkan UUD 1945 (konstitusionalisme), sehingga setiap kebijakan ditentukan oleh hukum.21 Jadi dalam hal ini semua tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara pada suatu hukum yang mengatur (Rule of Law).

Teori negara hukum menurut Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum. Artinya negara diselenggarakan atas dasar hukum, atau sering juga disebut negara hukum (rechstaat), tidak atas dasar kekuasaan belaka (machstaat). Perkembangan konsep negara hukum merupakan produk dari sejarah, sebab rumusan atau pengertian negara hukum itu terus berkembang mengikuti sejarah perkembangan umat manusia. Karena itu dalam rangka memahami secara tepat dan benar konsep negara hukum, perlu terlebih dahulu diketahui gambaran sejarah

20Lihat Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945

(34)

perkembangan pemikiran politik dan hukum, yang mendorong lahir dan berkembangnya konsepsi negara hukum.22

Konsepsi Negara Hukum menurut Immanuel Kant mengemukakan paham negara hukum dalam arti sempit, yang menempatkan fungsi hukum (recht) pada Negara (staat), hanya sebagai alat perlindungan hak-hak individual dan kekuasaan negara diartikan secara pasif, yang bertugas sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan masyarakat. Paham Immanuel Kant ini terkenal dengan sebutan

nachtwachkerstaatsataunachtwachterstaats.23

Friedrich Julius Stahl mengemukakan pengertian Negara Hukum sebagai berikut :

Negara harus menjadi Negara Hukum, itulah semboyan dan sebenarnya juga daya pendorong daripada perkembangan pada zaman baru ini. Negara harus menentukan secermat-cermatnya jalan-jalan dan batas-batas kegiatannya bagaimana lingkungan (suasana) kebebasan itu tanpa dapat ditembus. Negara harus mewujudkan atau memaksakan gagasan akhlak dari segi negara, juga secara langsung, tidak lebih jauh daripada seharusnya menurut suasana hukum. Inilah pengertian Negara Hukum, bukannya misalnya, bahwa negara itu hanya mempertahankan tata hukum saja tanpa tujuan pemerintahan, atau hanya melindungi hak-hak dari perseorangan. Negara Hukum pada umumnya tidak berarti tujuan dan isi daripada Negara, melainkan hanya cara dan untuk mewujudkannya24.

Lebih lanjut Friedrich Julius Stahl mengemukakan empat unsur rechtstaats

dalam arti klasik, yaitu :

22S.F. Marbun,Negara Hukum dan Kekuasaan Kehakiman, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, No. 9 Vol 4 – 1997, hlm. 9.

(35)

1. Hak-hak asasi manusia;

2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu (di negara-negara Eropa Kontinental biasanya disebuttrias politica);

3. Pemerintah berdasarkan peraturan-peraturan (wetmatigheid van bestuur); 4. Peradilan administrasi dalam perselisihan.25

Kemudian apabila kaitkan dengan teori hukum Islam dapat pula dijelaskan bahwa Islam sebagai ajaran yang universal dan integral, telah mengatur segala aspek kehidupan manusia, baik di bidang sosial, budaya, politik, hukum, pertahanan keamanan maupun bidang ekonomi dan keuangan. Seiring dengan berkembangnya nilai-nilai Islam di tengah masyarakat setelah runtuhnya ajaran komunisme yang berpusat di Sovyet pada tahun 1990-an, sehingga Samuel Paul Huntington menyatakan bahwa setelah komunis runtuh ancaman bagi negara-negara barat adalah peradaban Islam.26

Tujuan utama Syari’at diturunkan adalah untuk kemaslahatan(kebaikan) dan mencegahkemafsadatan(kerusakan), Syari’at menetapkan ada lima kebutuhan pokok manusia yang harus dilindungi oleh hukum, yaitu;27 agama, jiwa, harta, akal, danketurunan, sehingga Allah SWT menjadikan risalah Nabi Muhammad SAW sebagairahmatan lil alamiinsebagaimana tercermin dalam surah Al-Anbiya ayat 107 yang artinya; “Tidaklah kami mengutus engkau, kecuali menjadi rahmat begi seru sekalian alam”.

25Miriam Budiarjo,Op,Cit., hlm. 57-58.

26Yusuf Al-Qardawi,Umat Islam Menyongsong Abad Ke-21, Era Intermedia, Solo, 2001, hlm 330-335.

(36)

Di dalam hukum Islam terkandung nilai-nilai fitriyah yang abadi dan bertumpu pada prinsip-prinsip, tidak akan berubah dan tidak akan diubah. Bidang ini meliputi segala tatanan yang qat’iyah dan merupakan jati diri hukum Islam. Dalam kelompok ini termasuk segala ketentuan yang berasal dari nilai-nilai fundamental. Di antara nilai-nilai dalam dimensi ini adalah apa yang telah dirumuskan dalam tujuan hukum Islam (maqashid al-syariah), yaitu kebahagiaan manusia, yang dapat dijabarkan dalam kemaslahatan, kenikmatan, keadilan rahmat dan seterusnya.28

Di samping nilai-nilai fundamental tersebut, terdapat pula nilai-nilai instrumental. Makna nilai instrumental terkandung dalam proses pengamalan ajaran Islam di bidang hukum yang pada hakikatnya merupakan transformasi nilai-nilai hukum Islam in abstracto menuju nilai-nilai in concreto.29 Proses transformasi ini sering disebut sebagai operasionalisasi atau aktualisasi hukum Islam dalam kehidupan masyarakat. Pada tingkatan ini dibahas dan dibicarakan dinamika hukum Islam. Dalam hukum Islam terkandung nilai-nilai yang konstan dan sekaligus nilai-nilai dinamika sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan. Dalam dimensi ini, hukum Islam bersifat adaptif, artinya dapat menerima nilai-nilai baru dan nilai-nilai dari luar yang berkembang sesuai dengan tuntutan kebutuhan dan perubahan zaman.

Para ulama bersepakat bahwa sumber hukum Islam adalah wahyu (Alquran dan Sunnah) yang disebut dalil naqli dan ra’yu (rasio, akal, daya pikir, nalar) disebut 28Ali Ahmad al-Nadawi, al-Qawaid al-Fiqhiyyah:Mafhumuha,Nasyatuha, Tathawwuruha, Dirasat Mualifatiha, Adillatuha, Muhimmatuha, Tathbiqatuha, Dar al-Qalam, Damaskus 1994, hlm.158, dalam Tatang Sutardi, Hukum Uang Muka Dan Jaminan Dalam Pembiayaan Murabahah,

(37)

dalil aqli. Dalam perkembangan hukum Islam, ternyata ra’yu memainkan peran yang tidak dapat diabaikan. Akal merupakan sumber dan sekaligus alat untuk memahami wahyu. Sebagai sumber hukum, akal dapat digunakan untuk mengalirkan hukum dari masalah-masalah yang tidak dinyatakan oleh wahyu atau yang tidak secara tegas dinyatakan oleh wahyu. Dalam kaitan dengan dimensi instrumental, peran akal di sini sangat strategis.

Berkembangnya aktualisasi hukum Islam dalam kehidupan masyarakat saat ini juga menyebabkan perkembangan perekonomian syari’ah. Berawal dari tahun 1998 itulah perekonomian Islam di Indonesia mencapai kemajuan pesat dan penting (signifikan). Perbankan sebagai lembaga keuangan terpenting, memiliki posisi strategis dalam perekonomian nasioanal. Dengan demikian, upaya pengembangan perbankan syariah perlu dilakukan secara berkesinambungan untuk meningkatkan kontribusinya terhadap pembangunan ekonomi termasuk di dunia perbankan, dimana upaya penyehatan sistem perbankan yang bertujuan meningkatkan daya tahan perekonomian nasional.

(38)

masa sekarang dan masa depan kuantitas dan kompleksitas perkara terutama perkara-perkara bisnis syari’ah yang tentunya akan semakin beragam.

Adanya berbagai perkara tersebut lembaga keuangan syariah baik bank maupun non bank, serta para pengguna jasanya menyadari bahwa dalam penyelesian sengketa tidak sepenuhnya dapat mengandalkan instansi peradilan umum apabila benar-benar mau menegakkan prinsip syari’ah oleh karena dasar-dasar hukum penyelesaian perkara berbeda.

(39)

bertentangan akan menimbulkan disparitas hukuman antara satu hakim dengan yang lainnya,”

2. Konsepsi

Konsepsi merupakan definisi operasional dari intisari objek penelitian yang akan dilaksanakan. Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian dan penafsiran dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian ini. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, dirumuskan serangkaian kerangka konspsi atau definisi operasional sebagai berikut :

1. Dualisme kewenangan adalah terjadinya titik singgung antara dua lembaga peradilan yang memiliki kewenangan dalam menyelesaian suatu sengketa dalam hal ini penyelesaian sengketa antara Mahkamah Syar’iyah dan Pengadilan Negeri di Kota Banda Aceh.

2. Prinsip Syari’ah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syari’ah.

3. Perbankan Syari’ah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoprasiannya sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah.

(40)

5. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syari’ah adalah upaya penyelesaian sengketa yang timbul akibat aktivitas Perbankan yang berprinsip syari’ah melalui lembaga peradilan.

6. Akad adalah pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan perimaan ikatan) sesuai dengan kehendak yang berpengaruh pada objek perikatan.30

7. Akad Murabahah adalah akad pembiayaan yang disalurkan oleh bank dan lembaga keuangan syariah dengan prinsip jual beli, di mana bank selaku penyedia barang dengan nasabah yang memesan untuk membeli barang yang selanjutnya dijadikan jaminan pembiayaan

8. Mahkamah Syar’iyah adalah lembaga peradilan khusus syari’ah di Provinsi Aceh yang setingkat dengan peradilan agama di provinsi lain di Indonesia dan merupakan bagian dari sistem peradilan nasional yang diakukan oIeh Mahkamah Syar'iyah yang bebas dari pengaruh pihak manapun.

9. Pengadilan Negeri adalah lembaga peradilan tingkat pertama dan merupakan bagian dari sistem peradilan nasional yang diakukan oIeh pengadilan negeri yang bebas dari pengaruh pihak manapun.

(41)

G. Metode Penelitian

1. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskripif analistis dengan melakukan inventarisasi hukum positif yang mengatur dan berkaitan masalah yang diteliti, analisis secara sistimatis sehingga dapat lebih mudah untuk difahami dan disimpulkan. Biasanya, penelitian deskriptif seperti ini menggunakan metode survei.31Dikatakan deskriptif, maksudnya dari penelitian ini diharapkan dapat diperoleh gambaran secara menyeluruh dan sistimatik mengenai pembiayaan pada bank syariah. Sedangkan analisis dilakukan terhadap berbagai aspek hukum yang mengatur tentang dualisme kewenangan penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah antara Mahkamah Syar’iyah dan Pengadilan Negeri.

2. Metode Pendekatan

Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan yuridis normatif karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan atau penelitian dokumen yang ditujukan atau dilakukan hanya pada peraturan perundang-undangan yang relevan dengan permasalahan yang diteliti atau dengan perkataan lain juga melihat hukum dari aspek normatif. Namun demikian, juga tidak terlepas dari pendekatan yuridis empiris karena juga diupayakan untuk dengan melakukan inventarisasi hukum positif yang mengatur dan berkaitan dengan kewenangan penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah. Hal ini dilakukan karena melalui penelitian ini diharapkan akan diperoleh gambaran

(42)

yang menyeluruh dan sistematis mengenai proses kewenangan penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah sehingga tidak menimbulkan adanya dualisme kewenangan.

Dalam metode penelitian yuridis normatif tersebut akan menelaah secara mendalam terhadap asas-asas hukum, peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dan pendapat ahli hukum serta memandang hukum secara komprehensif. Artinya hukum bukan saja sebagai seperangkat kaidah yang bersifat normatif atau apa yang menjadi teks undang-undang (law in book) tetapi juga melihat bagaimana bekerjanya hukum (law in action) yang berhubungan dengan kewenangan penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah di Kota Banda Aceh baik oleh Mahkamah Syar’iyah dan Pengadilan Negeri.

Penelitian juga dikatakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisis dan kontruksi yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu, sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, dan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dengan suatu kerangka tertentu”.32 Dengan kata lain dalam penelitian hukum dengan subjek peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan dapat dikategorikan sebagai penelitian hukum doktrinal, yaitu peneltian inventarisasi hukum positif, asas-asas, penemuan hukum in concreto, sistem hukum dan sinkronisasi hukum.33

32Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta, 2001. hlm. 42.

(43)

3. Metode Pengumpulan Data dan Sumber Data

Metode yang digunakan untuk memperoleh data dalam penulisan ini, adalah dengan metode penelitian kepustakaan yaitu mengumpulkan data dan informasi yang dilakukan penulis dengan membaca buku, majalah, peraturan perundang-undangan dan sumber-sumber bacaan lain yang berkaitan dengan materi penelitian. Pengumpulan data sekunder dengan menelaah bahan kepustakaan tersebut meliputi :

a. Bahan hukum primer yaitu merupakan bahan pustaka yang berisikan pengetahuan ilmiah maupun pengertian baru tentang fakta yang diketahui mengenai suatu gagasan (ide), seperti : peraturan perundang-undangan dan berbagai ketentuan lainnya yang terkait dengan penyelesaian sengketa perbankan syari’ah di Kota Banda Aceh yang mencantumkan pilihan Pengadilan Negeri dalam penyelesaian sengketa.

b. Bahan hukum sekunder yaitu merupakan bahan pustaka yang meliputi buku-buku hasil karya para sarjana, hasil penelitian dan penemuan ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang berfungsi memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder berupa bahan pustaka seperti kamus hukum dan kamus lainnya yang menyangkut penelitian ini.

(44)

terkait dalam penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah di Kota Banda Aceh baik lembaga litigasi seperti Mahkamah Syar’iyah dan Pengadilan Negeri maupun lembaga non litigasi seperti Badan Syari’ah Nasional (Basyarnas).

4. Alat Pengumpulan Data

Berdasarkan metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, maka alat pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut :

a. Studi Dokumen yaitu dengan meneliti dokumen-dokumen yaitu tentang perikatan dalam Islam, bank syari’ah, pembiayaan syari’ah penyelesaianj sengketa syariah yang merupakan dokumen sebagai sumber informasi secara teori.

b. Wawancara34 dengan menggunakan pedoman wawancara (interview quide)35. Wawancara dilakukan terhadap responden dengan menggunakan pedoman wawancara yang telah dipersiapkan sebelumnya. Wawancara ini dilakukan dengan cara terarah maupun wawancara bebas dan mendalam (depth interview). Wawancara dimaksud dilakukan dengan para pihak yang terkait dalam penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah di Kota Banda Aceh baik

34

Herman Warsito, Pengantar Metodologi Penelitian, Buku Panduan Mahasiswa, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997, hlm. 71, yang menyatakan wawancara merupakan alat pengumpul data untuk memperoleh informasi langsung dari sumbernya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi arus informasi dalam wawancara, yaitu pewawancara (interviewer), responden (interview) informasi dalam wawancara, yaitu pewawancara (interviewer), responden (interview) pedoman wawancara, dan situasi wawancara.

(45)

lembaga litigasi seperti Mahkamah Syar’iyah dan Pengadilan Negeri maupun lembaga non litigasi seperti Badan Syari’ah Nasional (Basyarnas).

5. Analisis Data

Sesuai dengan sifat penelitian ini yang bersifat deskriftif analistis, maka analisa data dilakukan dengan terlebih dahulu diadakan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang ada untuk mengetahui validitasnya, untuk selanjutnya diadakan pengelompokan terhadap data yang sejenis untuk kepentingan analisis. Selanjutnya dianalisis secara kualitatif,36 yaitu untuk memperoleh gambaran tentang pokok permasalahan dengan mengamati hal-hal yang khusus untuk kemudian menarik kesimpulan pada hal-hal yang umum. Selanjutnya hasil analisis disusun dengan kalimat yang sistematis untuk memperoleh kesimpulan jawaban yang jelas dan benar dan sesuai dengan masalah yang dibahas.

(46)

BAB II

MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA DALAM AKAD PERJANJIAN SYARI’AH OLEH PARA PIHAK DI KOTA BANDA ACEH

A. Perekonomian dan Perbankan Syariah

Ekonomi syariah merupakan cabang ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang dilhami oleh nilai-nilai Islam yang berbeda dari kapitalisme, sosialisme, maupun negara kesejahteraan (Welfare State). Berkembangnya perekonomian Islam merupakan dampak krisis ekonomi yang sering terjadi ditengarai adalah ulah sistem ekonomi konvensional, yang mengedepankan sistem bunga sebagai instrumen provitnya. Berbeda dengan apa yang ditawarkan sistem ekonomi syariah, dengan instrumen provitnya, yaitu sistem bagi hasil.37

Berbeda dari kapitalisme karena Islam menentang eksploitasi oleh pemilik modal terhadap buruh yang miskin, dan melarang penumpukan kekayaan. Selain itu, ekonomi dalam kaca mata Islam merupakan tuntutan kehidupan sekaligus anjuran yang memiliki dimensi ibadah.38 Dengan demikian, sistem ekonomi syariah sangat berbeda dengan ekonomi kapitalis, sosialis maupun komunis. Ekonomi syariah bukan pula berada di tengah-tengah ketiga sistem ekonomi itu. Sangat bertolak belakang dengan kapitalis yang lebih bersifat individual, sosialis yang memberikan hampir

(47)

semua tanggungjawab kepada warganya serta komunis yang ekstrem, ekonomi Islam menetapkan bentuk perdagangan serta perkhidmatan yang boleh dan tidak boleh ditransaksikan. Ekonomi dalam Islam harus mampu memberikan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, memberikan rasa adil, kebersamaan dan kekeluargaan serta mampu memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap pelaku usaha.

Perekonomi syariah atau sistem ekonomi menurut hukum Islam merupakan ilmu yang mempelajari perilaku muslim (yang beriman) dalam suatu masyarakat Islam yang mengikuti Al-Qur’an, Hadis Nabi Muhammad SAW, ijma, dan qiyas.

Ekonomi dalam bahasa Arab diungkapkan dengan kata al ’iqtisad, yang secara bahasa berarti: kesederhanaan, dan kehematan. Ekonomi adalah pengetahuan tentang peristiwa dan persoalan yang berkaitan dengan upaya manusia secara perseorangan (pribadi), kelompok (keluarga, suku bangsa, organisasai) dalam memenuhi kebutuhan yang tidak terbatas yang dihadapkan pada sumber yang terbatas.39

Kata iqtisad (ekonomi) dalam Al-Qur’an hanya disebutkan tiga kali, yaitu dalam bentuk isim fa’il: muqtasiddan muqtasidah. Kata muqtasidahterdapat dalam QS. Al-Ma’idah (5) : 66, Allah SWT berfirman: ”Dan sekiranya mereka sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan (Al-Qur’an) yang diturunkan kepada mereka

(48)

dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas mereka dan dari

bawah kaki mereka. Di antara mereka ada golongan yang pertengahan. Dan

alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka”. Sedangkan kata

muqtasid terdapat dalam QS. Luqman (31) : 32 dan QS. Fatir (35) : 32. Dalam QS. Fatir (35) : 32, Allah SWT, berfirman yang arinya :

Kemudian Kitab itu kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu diantara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan diantara ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar”.

Katamuqtasiddalam ayat tersebut ini mengandung makna sifat yang terdapat diantara sifat terpuji dan sifat tercela. Sedangkan menurut Ibnu Katsir, muqtasid

adalah golongan yang berada di antaraal-dalim inafsihi danal-sabiq al-akhirat. Dan golongan ini, lanjut Ibnu Katsir, berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas, nantinya akan masuk surga dengan rahmat Allah SWT.40

(49)

tersebut secara konsep dan prinsip adalah tetap (tidak dapat berubah kapan pun dan di mana saja), akan tetapi pada praktiknya untuk hal-hal dan situasi serta kondisi tertentu bisa saja berlaku luwes atau murunah dan ada pula yang bisa mengalami perubahan.41

Umer Chapra yang dikutip Amdiar Amin secara mendalam juga menjelaskan bahwa :

Ekonomi Islam sebagai cabang ilmu pengetahuan yang membantu mewujudkan kesejateraan manusia melalui alokasi dan distribusi sumber-sumber daya langka sesuai dengan al-’iqtisad al-syariah atau tujuan ditetapkannya syariah, tanpa mengekang kebebasan individu secara berlebihan, menimbulkan ketidakseimbangan makro ekonomi dan ekologi, atau melemahkan keluarga dan solidaritas sosial dan jalinan moral dari masyarakat. Ekonomi dalam pandangannya harus mengaitkan antara persoalan ekonomi dengan persoalan sosial kemanusiaan yang menjadi tujuan syariat Islam. Jadi tidak semata-mata pemenuhan kebutuhan material sebagaimana yang dikemukakan para ekonom kapitalis.42

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa para pemikir ekonomi Islam melihat persoalan ekonomi tidak hanya berkaitan dengan faktor produksi, konsumsi, dan distribusi berupa pengelolaan sumber daya yang ada untuk kepentingan yang bernilai ekonomis. Akan tetapi, lebih dari itu mereka melihat persolan ekonomi sangat terkait dengan persoalan moral, ketidakadilan, ketauhidan dan sebagainya.

41Ali Fikri, Dalam Mustafa Kamal, Wawasan Islam dan Ekonomi Sebuah Bunga Rampai,Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1997, hlm. 112

(50)

Sehingga para pakar menempatkan individu (manusia) sebagai objek kajian ekonomi dengan konsep mengkaji nilai-nilai Islam sebagai dasar pijakannya.

Hal inilah yang membedakannya dengan konsep ekonomi barat yang menempatkan kepentingan individu sebagai landasannya. Nilai-nilai Islam tidak hanya berkaitan dengan proses ekonomi tapi juga berkaitan dengan tujuan dari kegiatan ekonomi. Islam menempatkan bahwa tujuan ekonomi tidak hanya kesejahteraan duniawi saja, tetapi juga untuk kepentingan yang lebih utama yaitu kesejahteraan ukhrawi.

Dalam menjelaskan apa saja yang menjadi sistem ekonomi Islam tentuanya tidak terlepas dari adanya prinsip-prinsip ekonomi Islam. Dalam penerapannya prinsip ekonomi Islam juga terdapat perbedaan pendapat di kalangan para pemikir ekonomi Islam. Khurshid Ahmad, mengkategorisasi prinsip-prinsip ekonomi Islam pada : Prinsip tauhid, rub’biyyah, khilafah, dan tazkiyah.43 Mahmud Muhammad Babali, menetapkan lima prinsip yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi dalam Islam, yaitu: al-ukhuwwah (persaudaraan), al-ihsan (berbuat baik), al-nasihah

(memberi nasihat),al-istiqamah(teguh pendirian), danal-taqwa(bersikap takwa).44 Prinsip ekonomi Islam juga dikemukakan Masudul Alam Choudhury, dalam bukunya, Constribution to Islamic Ekonomic Theory menjelaskan bahwa ekonomi Islam didasarkan pada tiga prinsip, yaitu: (1) the principle of tawheed and

(51)

brotherhood (prinsip tauhid dan persaudaraan), (2) the principle of work and productivity (prinsip kerja dan produktifitas), dan (3) the principle of distributional equity(prinsip pemerataan dalam distribusi).45

Berdasarkan pembagian di atas, pada dasarnya bahwa prinsip-prinsip dalam ekonomi Islam, sebagai berikut:46

a. Prinsip Tauhid

Tauhid dalam ajaran Islam merupakan suatu yang sangat fundamental dan bahkan misi utama para Rasul Allah kepada umat manusia adalah dalam rangka penyampaian (tabliq) ajaran tauhid, yaitu menghimbau manusia untuk mengakui kedaulatan tuhan serta berserah diri kepada-Nya, sekaligus sebagai tujuan utama kenabian.

b. Prinsip Keseimbangan

Kegiatan ekonomi dalam Islam harus didasarkan pada prinsip keseimbangan. Keseimbangan yang dimaksud bukan hanya berkaitan dengan keseimbangan antara kebutuhan duniawi dan ukhrawi, tetapi juga berkaitan dengan keseimbangan kebutuhan individu dan kebutuhan kemasyarakatan (umum).

c. PrinsipKhilafah

Manusia adalah khalifah (wakil) tuhan di muka bumi yang harus menjalankan aturan dan hukum-hukum yang telah ditetapkan pemberi ”mandat” kekhalifahan, Allah SWT.

45Ibid.

(52)

d. Prinsip Keadilan.

Keadilan adalah salah satu prinsip yang penting dalam mekanisme perekonomian Islam. Bersikap adil dalam ekonomi tidak hanya didasarkan pada ayat-ayat Al-Qur’an atau Sunnah Rasul, tetapi juga berdasarkan pada pertimbangan hukum alam, dimana alam diciptakan berdasarkan atas prinsip keseimbangan dan keadilan. Adil dalam ekonomi dapat diterapkan dalam penentuan harga, kualitas produk, perlakuan terhadap para pekerja, dan dampak yang timbul dari berbagai kebijakan ekonomi yang dikeluarkan.

Pesatnya perkembangan ekonomi Islam yang diikuti dengan perkembangan lembaga perbankan Islam ini terlihat dari banyaknya Bank Islam memiliki keistimewaan-keistimewaan. Salah satu keistimewaan yang paling utama adalah yang melekat pada konsep (build in concept) dengan berorientasi pada kebersamaan. Orientasi kebersamaan inilah yang menjadikan bank Islam mampu tampil sebagai alternative pengganti sistem bunga yang selama ini hukumnya (halal atau haram) masih diragukan oleh masyarakat muslim. Namun demikian, sebagai lembaga yang keberadaannya lebih baru daripada bank-bank konvensional, Bank Islam menghadapi permasalahan-permasalahan, baik yang melekat pada aktivitas maupun pelaksanaannya.

(53)

berpusat di Sovyet tahun 1990-an, sehingga Samuel Paul Hantington menyatakan bahwa setelah komunis runtuh ancaman bagi negara-negara barat adalah peradaban Islam.47

Tujuan utama Syari’at diturunkan adalah untuk kemaslahatan(kebaikan) dan mencegah kemafsadatan (kerusakan), Syari’at menetapkan lima kebutuhan pokok manusia yang harus dilindungi oleh hukum, yaitu : agama, jiwa, harta, akal, dan keturunan, sehingga Allah SWT menjadikan risalah Nabi Muhammad SAW sebagai

rahmatan lil alamiin sebagaimana tercermin dalam surah Al-Anbiya ayat 107 yang artinya;“Tidaklah kami mengutus engkau, kecuali menjadi rahmat begi seru sekalian alam”.48

Berdasarkan uraian di atas, maka untuk memahami dan mendeskripsikan permasalahan dalam penelitian ini, maka akan didasarkan pada teori aksi (action theory)yang dicetuskan oleh Max Weber. Teori aksi sebagaimana kedua teori lainnya (teori interaksionisme simbolik (simbolik interaksionism) dan fenomenologi

(phenomenology)).49Ketiga teori ini mendasarkan pada suatu ide dasar, yaitu : 1. Manusia adalah merupakan aktor yang aktif dan kreatif dari realitas sosial; 2. Realitas sosial bukan merupakan alat yang statis daripada paksaan fakta

sosial. Artinya tindakan manusia tersebut tidak sepenuhnya ditentukan oleh norma-norma, kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai dan sebagainya yang kesemuanya itu tercakup dalam konsep fakta sosial;

3. Manusia mempunyai cukup banyak kebebasan untuk bertindak di luar batas kontrol dari fakta sosial.50

47Yusuf Al-Qardawi,Umat Islam Menyongsong Abad Ke-21, Era Intermedia, Solo, 2001 hlm 330-335.

48Daud Rosyid, Indahnya Syari’at Islam, Usamah Press, Jakarta, 2003, hlm 35. 49George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Penerjemah: Alimandan, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1992, hlm. 49.

(54)

Sebagai, Max Weber pencetus teori aksi yang dikutip Robert W Hefner, Geger Tengger mengatakan bahwa

Konsep tindakan individual yang bermakna pada pusat teorinya tentang masyarakat. Konsep tersebut menekankan bahwa realitas sosial tidaklah berwujud secara obyektif. Kehidupan sosial, secara rumit dibentuk olehkultur

dan makna, karena para pelaku menggunakan pengetahuan mereka, untuk menyesuaikan diri dan mengubah dunia, di mana mereka menjadi bagiannya.51

Walaupun manusia tidak mempunyai kebebasan total, karena adanya pembatasan dari berbagai tujuan yang hendak dicapai, kondisi dan norma, serta situasi penting lainnya, tetapi aktor mempunyai kemauan bebas dalam memilih berbagai alternatif tindakan. Kemampuan inilah yang oleh Talcott Parsons disebut sebagai voluntarism(kesukarelaan), yaitu kemampuan individu melakukan tindakan, dalam arti menetapkan cara atau alat dari sejumlah alternatif yang tersedia dalam rangka mencapai tujuannya.52

Bagi hasil menurut terminologi asing (Inggris) dikenal dengan profit sharing.

Profit sharing dalam kamus ekonomi di artikan sebagai laba. Secara definitif profit sharing di artikan distrubusi beberapa bagian dari laba pada para pegawai dari suatu perusahaan.53 Pada mekanisme lembaga keuangan syariah pendapatan bagi hasil ini berlaku untuk produk produk penghimpunan dan penyertaan modal, baik penyertaan menyeluruh maupun sebagian atau bentuk bisnis korporasi (kerjasama). Keuntungan

51Robert W Hefner, Geger TenggerPerubahan Sosial Dan Perkelahian Politik,LKIS bekerjasama denganThe Asia Foundation, Yogyakarta, 1999, hlm. xiv.

52George Ritzer,Op.Cit.hlm. 57

Referensi

Dokumen terkait

Di saat sistem ekonomi lain hanya terfokus pada hukum dan sebab akibat dari suatu kegiatan ekonomi, maka Islam lebih jauh membahas nilai-nilai dan etika yang terkandung

Dalam memahami alam, manusia dapat menyusun berbagai alat dan perlakuan yang dapat dilakukan untuk mengolah dan menggunakan alam untuk meningkatkan kesejahteraan hidup

bahwa dengan pertimbangan huruf a, perlu ditetapkan dengan Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Darat tentang Pengaturan Lalu Lintas dan Pengaturan Angkutan

Fungsi semen portland type III digunakan untuk konstruksi bangunan yang memerlukan kekuatan tekan awal tinggi pada fase permulaan setelah pengikatan terjadi, misalnya untuk

terkandung dalam emisi gas buang kendaraan uji akan terjerap ke dalam pori-pori media karbon aktif pada knalpot uji, sedangkan sebagian yang lain dari polutan HC dan SO 2

Selain itu, penemuan reseptor HER2 yang diekspresikan oleh sel tumor UM bisa digunakan sebagai target antigen spesifik untuk terapi CAR T-cells dalam UM sehingga

Berdasarkan hasil dari wawancara yang dilakukan dengan guru kelas IV SD 2 Payaman pada tanggal 28 Desember 2018 menyebutkan bahwa terdapat

Penelitian ini bertujuan untuk melakukan pemakaian teknik membran cair fasa ruah dalam mentranspor Zn(II) dengan menggunakan ditizon sebagai zat pembawa dan