• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Pengaruh Periode Simpan Pasca Pematahan Dormansi Dan Efek Pemanasan Ulang Terhadap Viabilitas Benih Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq, L.)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kajian Pengaruh Periode Simpan Pasca Pematahan Dormansi Dan Efek Pemanasan Ulang Terhadap Viabilitas Benih Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq, L.)"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN PENGARUH PERIODE SIMPAN PASCA PEMATAHAN DORMANSI DAN EFEK PEMANASAN ULANG TERHADAP

VIABILITAS BENIH KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq, L.)

TESIS

Oleh :

SERI KAMILA/ 097001013/AET

PROGRAM STUDI MAGISTER AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

(2)

KAJIAN PENGARUH PERIODE SIMPAN PASCA PEMATAHAN DORMANSI DAN EFEK PEMANASAN ULANG TERHADAP

VIABILITAS BENIH KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq, L.)

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Pertanian Dalam Program Studi Magister Agroekoteknologi pada Fakultas Pertanian Universitas Sumatera

Utara

Oleh :

SERI KAMILA/097001013/AET

PROGRAM STUDI MAGISTER AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

(3)

Judul Tesis : KAJIAN PENGARUH PERIODE SIMPAN PASCA PEMATAHAN DORMANSI DAN EFEK

PEMANASAN ULANG TERHADAP VIABILITAS BENIH KELAPA SAWIT (Elaeis guienensis Jacq, L.)

Nama Mahasiswa : Seri Kamila Nomor Pokok : 097001013

Program Studi : Agroekoteknologi

Komisi Pembimbing

( Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa, B. M.Sc) ( Dr. Ir. A. Razak Purba, MS)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Ir. Abdul Rauf, MP) (Prof. Dr. Ir. Darma Bakti, MS)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal: 19 Januari 2012

PANITIA PENGUJI TESIS :

KETUA : Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa, B. M.Sc ANGGOTA : Dr. Ir. A. Razak Purba, MS

PENGUJI : Dr. Ir. Lollie Agustina P. Putri, MSi Dr. Ir. Elisa Julianti, MS

(5)
(6)
(7)
(8)

ABSTRACT

Seri Kamila. Study on the influence of storage period and reheating on the viability of post dormancy broken oil palm seeds. The aims of this study was to find the simplest and most effective way to store and the best period of reheating time to maintain the seed quality. The research was conducted at Indonesian Oil Palm Research Institute. The experimental designed used in this study was completely randomized design (CRD) using 2 factors and 3 replications. The first factor was seed storage period (S), at four levels namel, without storage (S0), storage for 1 month (S1), storage for 2 months (S2), and storage for 3 months (S3). The second factor was days of reheating (P), at five levels namely, without reheating (P0), reheating for 5 days (P1), reheating for 10 days (P2), reheating for 15 days (P3) and reheating for 20 days (P4). Variables measured include germination rate, respiration, water content, free fatty acid and seed vigor testing the electric conductivity test. The results showed that storage period as well as reheating significantly reduced seed viability and that the highest seed viability was obtained at the control (without storage and without reheating). It was concluded that post dormancy broken oil palm seeds when germination don’t need reheating after stored up to three months period, during which germination of the seeds was reduced to around 70%.

(9)

ABSTRAK

Seri Kamila. Kajian Pengaruh Periode Simpan Pasca Pematahan Dormansi dan Efek Pemanasan Ulang Terhadap Viabilitas Benih Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq, L.). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penyimpanan pasca pematahan dormansi dan efek pemanasan ulang terhadap viabilitas benih kelapa sawit. Tempat penelitian di Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan, berlangsung selama 6 bulan, mulai bulan Maret sampai September 2011. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak lengkap (RAL) dengan menggunakan 2 faktor, dan 3 ulangan. Faktor Pertama adalah Periode Simpan (S), yang terdiri dari 4 taraf yaitu tanpa disimpan (S0), disimpan 1 bulan (S1), disimpan 2 bulan (S2) dan disimpan 3 bulan (S3). Faktor kedua adalah Pemanasan ulang (P), yang terdiri dari 5 taraf, yaitu tanpa dipanasi ulang (P0), dipanasi ulang selama 5 hari (P1), dipanasi ulang selama 10 hari (P2), dipanasi ulang selama 15 hari (P3) dan dipanasi ulang selama 20 hari (P4). Peubah yang diamati meliputi daya berkecambah, laju respirasi, kadar air, asam lemak bebas dan kebocoran membran. Hasil penelitian menunjukkan periode simpan dan pemanasan ulang berpengaruh nyata terhadap viabilitas, dan viabilitas tertinggi adalah pada kontrol (tanpa periode simpan dan tanpa pemanasan ulang). Sebagai kesimpulan benih kelapa sawit setelah dipatahkan dormansinya kemudian disimpan sampai periode simpan 3 bulan, dan ketika dikecambahkan tidak membutuhkan perlakuan pemanasan ulang dan persentase daya kecambahnya berkisar 70%.

(10)

KATA PENGANTAR

Permasalahan pada benih kelapa sawit adalah adanya dormansi yang

menyebabkan benih lama dan tidak serempak dalam berkecambah. Beberapa upaya

untuk mengatasi dormansi benih ini telah dilakukan dengan metode pemanasan dan

perendaman. Namun adakalanya muncul permasalahan di pihak penyalur benih

(kecambah) sawit, dimana benih yang sudah dipatahkan dormansinya ini harus

ditunda pengecambahannya sehingga kembali di simpan. Kenyataan ini menuntut

perlunya ada perlakuan tertentu untuk mempertahankan viabilitas benih.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana viabilitas benih sawit pasca

pematahan dormansi akibat periode simpan dan efek pemanasan ulang. Pihak

penyalur benih dalam hal ini Pusat Penelitian Kelapa sawit (PPKS) Medan menjadi

tempat untuk dilakukannya penelitian ini. Adapun beberapa analisa pengujian ada

yang di lakukan di BPTP Sumut dan Laboratorium THP Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu

segala saran dan kritik membangun senantiasa penulis harapkan demi kesempurnaan

tesis ini. Semoga hasil penelitian ini berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan

dan teknologi.

Medan, 1 Desember 2011

(11)

UCAPAN TERIMA KASIH

Syukur Alhamdulillah Penulis haturkan ke hadirat Allah SWT. berkat rahmat,

inayah, taufik dan hidayahNya dapat terselesaikan tesis ini. Shalawat dan salam

tercurah kepada junjungan alam , teladan umat nabi Muhammad SAW.

Tesis ini dapat terselesaikan sepenuhnya tidak terlepas dari bantuan berbagai

pihak oleh karena itu saya mengucapkan terima kasih kepada:

Pemerintah Republik Indonesia c.q. Mentri Pendidikan dan Kebudayaan

/Dikjen Perguruan tinggi melalui program BBPS dalam mengikuti program Magister

ini.

Terima kasih yang tak terhingga penulis ucapkan kepada Ibu Prof. Dr.Ir. T.

Chairun Nisa B., MSC selaku pembimbing utama. Bapak Dr. Ir. A. Razak Purba, MS

selaku anggota komisi pembimbing, yang telah memberikan dorongan, bimbingan,

dan saran sejak merencanakan penelitian sampai selesai tesis ini.

Direktur Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Dr. Ir. Witjaksana

Dharmosarkoro, MS., yang telah memberi penulis kesempatan melakukan penelitian

di PPKS berikut staf, Kepala Laboratorium THP Fak. Pertanian Usu Ibu Dr. Herla,

Kepala Laboratorium BBPT SU dan laborannya serta semua pihak yang tidak dapat

disebutkan satu persatu atas bantuannya.

Penulis juga sangat berterima kasih kepada Ayahanda Alm. Bachtiar Effendi

Yusuf dan Alm. Hj. Salmiah Pane , dan juga Om Dr. Ir. Arifin Djamin, MS., yang

(12)

Prof. Dr. Ir. Dharma Bakti Ms dan Prof. Dr. Ir. Rosmayati, MS, tak lupa dengan

keluarga besar tercinta Dara Sucita, BA., Clara Patria, SE., Purnama Sari, BA.,

Abang Prana Citra, Amd., Adinda Putra Djaya, Spt., dan Adi Kurnia, yang sangat

membantu penulis selama menjalani studi. Demikian pula kepada sahabat terbaik

yang telah banyak membantu, Ir. Prima Sari Keloko dan Ir. Dedy Pranoto. Akhirnya

kepada kedua buah hati penulis ananda Anis dan Rara yang terus memberikan

dorongan semangat dan pengertian yang besar selama ini, penulis mengucapkan

terima kasih yang sedalamnya.

Medan, 1 Desember 2011

(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 30 september 1968 di Tanjung Balai. Anak

ke-5 dari 7 bersaudara dari orang tua Alm.Bachtiar Effendi Yusuf dan Alm. Hj.

Salmiah Pane. Penulis memiliki dua orang puteri bernama” Anis Putri Miranda

Daulay” dan Nadira Putri Carissa Daulay.

Pendidikan :

1974-1981 : SD Negeri 064982 Medan

1981-1984 : SMP Kristen Immanuel, Jl. Slamet Riyadi Medan

1984-1987 : SMA Tunas Kartika 1, Jl. Letjend S. Parman Medan

1987-1992 : Fakultas Pertanian Universitas Syiahkuala Banda Aceh

Pengalaman Kerja:

1993-1994 : Presenter Radio PT. Radio Kardopa Medan dan staf administrasi

PT. Radio Swara Jupti Indah Sibolga

1994- 1998 : Presenter TVRI Sta. Medan dan Master Of Ceremony

2000 : Sales Manager PT. Bayu Air Lines Medan

2001-2005 : Account Executive (Corporate) di PT. Asuransi Allianz Life

Indonesia

2005 : - Presenter Deli Tv Medan

- EBC / Manager PT.Asuransi Manulife Indonesia-Medan.

- Presenter Radio Most FM Medan

2005-2011 : Penulis Opini/Artikel di harian Waspada, Analisa, Mimbar Umum

dan harian Global Medan, dan Serambi Indonesia Aceh

2007-2009 : - Manager di IMPACT ACEH (Inspiration for Managing People

(14)

- Fasilitator Capasity Building Pasca Rehab Recon Tsunami –

UNDP Banda Aceh

2009 : - Pendiri Komunitas Animasi Sumatera Utara

- Anggota Igos Sumatera (Indonesia Go Open Source)

- Anggota Komunitas ICT Sumatera Utara

2010-2011 : - Penulis di Website Pemko Medan

- Presenter Radio di Mutiara FM

- Sekeretaris Pengurus Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca

(GPMB) Sumatera Utara

- Dosen Universitas Alwasliyah (Univa) Medan sejak tahun 2005.

- Financial Manager PT. Asuransi AIA

2011-2012 : Bendahara GPMB Sumatera Utara

Karya Tulis : Penulis Komik Pertanian “Amarilis Bloom”, Novel: “Sepenggal Cinta Jilid Kedua” (Au inda boru ni tulang) dan kumpulan cerpen:

“Panggil Aku Laksamana”

(15)

DAFTAR ISI

ABSTRACT ... i

RINGKASAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iv

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

PENDAHULUAN ... 1

Latar belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 4

Tujuan Penelitian ... 5

Hipotesis penelitian ... 5

Manfaat Penelitian ... 5

TINJAUAN PUSTAKA ... 6

Botani Tanaman Kelapa Sawit ... 6

Dormansi Benih ... 9

Pengaruh Periode Simpan Pasca Pematahan Dormansi dan Efek Pemanasan Ulang ... 14

Tanda-tanda Kemunduran Benih ... 13

(16)
(17)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Rata-rata Persentase Daya Berkecambah Benih Akibat Berbagai Perlakuan Periode Simpan dan Pemanasan Ulang ... 33

Tabel 2. Rata-rata Laju Respirasi (ml.kg.jam) Benih Akibat Berbagai Periode Simpan dan Pemanasan Ulang ... 36

Tabel 3. Rata-rata Kadar Air (%) Akibat Berbagai Perlakuan Periode Simpan dan Pemanasan Ulang ... 37

Tabel 4. Rata-rata Asam Lemak Bebas/FFA Benih (%) Akibat Berbagai Pengaruh Periode Simpan dan Pemanasan Ulang ... 40

(18)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Ruang Penyimpanan Benih Pasca Pematahan Dormansi Suhu

18oC ... 23

Gambar 2. Ruang Pemanasan dengan Suhu 38o– 40oC ... 24

Gambar 3. Proses Perendaman Benih ... 25

Gambar 4. Rak Pengeringan Setelah Benih Direndam Selama 2 Hari ... 25

Gambar 5. Ruangan Inkubasi Benih ... 26

Gambar 6. Kecambah Normal (A) dan Kecambah Abnormal (B) Kelapa Sawit ... 27

Gambar 7. Pengukuran Laju Respirasi Benih Menggunakan Cosmotector 29

Gambar 8. Penampang Buah Kelapa Sawit ... 30

Gambar 9. Pengukuran Kebocoran Membran (Uji Konduktivitas) ... 31

Gambar 10. Hubungan Daya Berkecambah Benih Terhadap Periode Simpan (bulan) ……… 33

Gambar 11. Hubungan Daya Berkecambah Benih Terhadap Pemanasan Ulang (hari) ………. 34

Gambar12. Hubungan Laju respirasi Benih Terhadap Periode Simpan (bulan) 36

Gambar 13. Hubungan Laju Respirasi Benih Terhadap Pemanasan Ulang (bulan) ………. 36

Gambar 14. Hubungan Kadar Air Benih Kelapa Sawit Terhadap Periode Simpan (bulan) ………. 38

(19)

Gambar 16 Hubungan Asam Lemak Bebas (Free Fatty Acid) Terhadap Periode Simpan (bulan) ……….. 41

Gambar17. Hubungan Asam Lemak Bebas (Free Fatty Acid) Benih Terhadap Pemanasan Ulang (hari) ………. 42

Gambar 18. Hubungan Interaksi Kebocoran Membran Benih (Uji konduktivitas) Terhadap Periode Simpan dan Pemanasan Ulang (hari)

……… 43

(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Data Pengamatan Daya Berkecambah Benih Kelapa Sawit Pasca Penyimpanan dan Pemanasan Ulang ... 59

Lampiran 2. Sidik Ragam Daya Berkecambah Benih Kelapa Sawit Pasca

Penyimpanan dan Pemanasan Ulang . ... 60

Lampiran 3. Data Pengamatan Respirasi Benih Kelapa Sawit Pasca Penyimpanan dan Pemanasan Ulang . ... 61

Lampiran 4. Sidik Ragam Respirasi Benih Kelapa Sawit Pasca Penyimpanan dan Pemanasan Ulang ... 62

Lampiran 5. Data Pengamatan Kadar Air Benih Kelapa Sawit Pasca Penyimpanan dan Pemanasan Ulang ... 63

Lampiran 6. Sidik Ragam Kadar Air Benih Kelapa Sawit Pasca Penyimpanan dan Pemanasan Ulang ... 64

Lampiran 7. Data Pengamatan Asam Lemak Benih Kelapa Sawit Pasca

Penyimpanan dan Pemanasan Ulang ... 65

Lampiran 8. Sidik Ragam Asam Lemak Benih Kelapa Sawit Pasca Penyimpanan dan Pemanasan Ulang ... 66

Lampiran 9. Data Pengataman Kebocoran Membran Benih Kelapa Sawit

Pasca Penyimpanan dan Pemanasan Ulang ... 67

Lampiran 10. Sidik Ragam Kebocoran Membran Benih Kelapa Sawit Pasca

Penyimpanan dan Pemanasan Ulang ... 68

Lampiran 11. Matrik Korelasi Antar Peubah ... 69

(21)

ABSTRACT

Seri Kamila. Study on the influence of storage period and reheating on the viability of post dormancy broken oil palm seeds. The aims of this study was to find the simplest and most effective way to store and the best period of reheating time to maintain the seed quality. The research was conducted at Indonesian Oil Palm Research Institute. The experimental designed used in this study was completely randomized design (CRD) using 2 factors and 3 replications. The first factor was seed storage period (S), at four levels namel, without storage (S0), storage for 1 month (S1), storage for 2 months (S2), and storage for 3 months (S3). The second factor was days of reheating (P), at five levels namely, without reheating (P0), reheating for 5 days (P1), reheating for 10 days (P2), reheating for 15 days (P3) and reheating for 20 days (P4). Variables measured include germination rate, respiration, water content, free fatty acid and seed vigor testing the electric conductivity test. The results showed that storage period as well as reheating significantly reduced seed viability and that the highest seed viability was obtained at the control (without storage and without reheating). It was concluded that post dormancy broken oil palm seeds when germination don’t need reheating after stored up to three months period, during which germination of the seeds was reduced to around 70%.

(22)

ABSTRAK

Seri Kamila. Kajian Pengaruh Periode Simpan Pasca Pematahan Dormansi dan Efek Pemanasan Ulang Terhadap Viabilitas Benih Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq, L.). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penyimpanan pasca pematahan dormansi dan efek pemanasan ulang terhadap viabilitas benih kelapa sawit. Tempat penelitian di Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan, berlangsung selama 6 bulan, mulai bulan Maret sampai September 2011. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak lengkap (RAL) dengan menggunakan 2 faktor, dan 3 ulangan. Faktor Pertama adalah Periode Simpan (S), yang terdiri dari 4 taraf yaitu tanpa disimpan (S0), disimpan 1 bulan (S1), disimpan 2 bulan (S2) dan disimpan 3 bulan (S3). Faktor kedua adalah Pemanasan ulang (P), yang terdiri dari 5 taraf, yaitu tanpa dipanasi ulang (P0), dipanasi ulang selama 5 hari (P1), dipanasi ulang selama 10 hari (P2), dipanasi ulang selama 15 hari (P3) dan dipanasi ulang selama 20 hari (P4). Peubah yang diamati meliputi daya berkecambah, laju respirasi, kadar air, asam lemak bebas dan kebocoran membran. Hasil penelitian menunjukkan periode simpan dan pemanasan ulang berpengaruh nyata terhadap viabilitas, dan viabilitas tertinggi adalah pada kontrol (tanpa periode simpan dan tanpa pemanasan ulang). Sebagai kesimpulan benih kelapa sawit setelah dipatahkan dormansinya kemudian disimpan sampai periode simpan 3 bulan, dan ketika dikecambahkan tidak membutuhkan perlakuan pemanasan ulang dan persentase daya kecambahnya berkisar 70%.

(23)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Peluang pengembangan tanaman kelapa sawit di Indonesia sangat besar

dikarenakan faktor lingkungan yang sesuai dengan pertanaman sekaligus merupakan

salah satu penentu perkembangan perkebunan kelapa sawit. Hal ini dapat dilihat dari

luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia sebelum tahun 1983 kurang dari satu

juta hektar, namun berdasarkan publikasi terakhir dari data statistik Ditjen

Perkebunan tahun 2010, luas 8.04 juta hektar dengan produksi 19.76 juta ton CPO

(Ditjenbun, 2010)

Sebagian besar areal perkebunan kelapa sawit saat ini berada di Sumatera

diperkirakan 5.29 juta hektar dan sebagian lagi tersebar di pulau Kalimantan,

Sulawesi, Jawa dan Irian. Sejalan dengan perkembangan areal tersebut maka

kebutuhan akan benih asal bahan tanam terus meningkat yang memacu pekebun

semakin giat dalam mengembangkan dan meningkatkan produksi.

Pada saat ini produksi-produksi benih kelapa sawit di dalam negeri yang

dihasilkan oleh delapan sumber benih adalah 170.648.000 butir dengan rincian

sebagai berikut : (a) PPKS 40 juta butir, (b) PT. Socfin Indonesia 40 juta butir, (c)

PT. London Sumatera 18.500.000 butir, (d) PT. Bina Sawit Makmur 24 juta butir, (e) Kenyataan akan penggunaan bahan tanam asal benih sampai saat ini masih

menjadi unggulan. Berbagai upaya dilakukan untuk mendapatkan kecambah asal

(24)

PT. Damai Mas Sejahtera 21 juta butir, (f) PT. Tunggal Yunus Estate 25 juta butir,

(g) PT. Tania Selatan 3.148.000 butir, (h) PT. Bakti Tani Nusantara 10 juta butir.

(Anonim, 2011)

Benih sebagai bahan tanam memegang peranan penting dalam pembangunan

pertanian. Pengadaan benih bahan tanaman atau disebut sebagai teknologi benih

pada kelapa sawit tidak semudah seperti pada tanaman lain. Benih sawit termasuk

benih yang sulit ditumbuhkan karena memerlukan perlakuan sebelum plumula

muncul. Secara alami dibutuhkan waktu beberapa bulan dan persentase tumbuhnya

rendah. Kulit (cangkang) bijinya cukup keras sehingga menyulitkan perkecambahan

dalam waktu yang cepat (Lubis, 1993). Kenyataan ini berkaitan dengan sifat benih

yang mengalami apa yang disebut sebagai masa dormansi. Kulit benih yang keras ini

menghambat proses absorbsi air dan oksigen yang sangat dibutuhkan benih untuk

berkecambah. Menurut Delouche (1985), dormansi pada kulit benih (fisik) dapat

diatasi dengan stratifikasi yaitu perlakuan panas dalam jangka waktu yang pendek Kekurangan benih kelapa sawit bersertifikat di Indonesia pernah

menyebabkan adanya penjualan benih palsu yang menyebabkan menurunnya

produktivitas kelapa sawit Indonesia sampai 50% dibanding dengan penggunaan

benih unggul bersertifikat (Anonim, 2005). Kekurangan benih tersebut ditutupi

dengan impor benih dari Malaysia, Papua Nugini dan Costa Rica. Sejak tahun 2004

kekurangan benih sawit dalam negri dapat dikurangi dengan munculnya produsen

benih kelapa sawit yang baru. Produsen tersebut adalah Asian Agri, Sinar Mas,

(25)

sebelum perlakuan dingin. Metode yang sudah lama diterapkan untuk pematahan

dormansi benih kelapa sawit adalah sistem pemanasan kering (dry heat treatment)

selama 60 hari pad suhu 39° – 40° C (Chaerani, 1992).

Di PPKS pematahan dormansi benih telah dilakukan secara rutin dengan

perlakuan pemanasan pada suhu 38° – 40° C selama 60 hari dan telah berhasil dengan

baik. Namun sejalan perkembangan bisnis kelapa sawit yang marak saat ini

belakangan terjadi perubahan permintaan dari pihak konsumen. Adakalanya benih

yang telah siap untuk berkecambah tidak segera dikecambahkan karena tertundanya

pembelian dari pihak konsumen. Hal ini menjadi salah satu permasalahan bagi

lembaga pensuplai benih untuk dapat mempertahankan mutu benih senantiasa berada

dalam keadaan yg optimum jika suatu hari kelak akan dikecambahkan. Benih yang

sudah dipersiapkan untuk memproduksi kecambah menjadi urung (dicegah)

berkecambah. Hal ini menjadi menarik karena belum pernah dilakukan di PPKS.

Sekelompok benih yang urung berkecambah ini akan ditempatkan dalam ruang

penyimpanan dengan temperatur 18° - 22°C, kemudian benih yang disimpan ini

selanjutnya dipanasi kembali untuk memacu proses perkecambahan.

Mempertahankan viabilitas benih pasca pematahan dormansi setelah disimpan

memerlukan perlakuan yang khusus terhadap benih. PPKS mengupayakan agar benih

kelapa sawit mampu kembali berkecambah dengan melakukan pemanasan ulang

untuk memacu perkecambahan. Tahap selanjutnya setelah pemanasan ulang benih

kembali direndam selama 2 hari. Hal ini didasari dari kebiasaan yang dilakukan di

(26)

benih yang tidak mau juga berkecambah setelah pematahan dormansi. Kepada

sekelompok benih seperti ini dilakukan pemanasan selama 20 hari. Tahap selanjutnya

kembali direndam selama 4 (empat) hari. Jika tidak berkecambah juga, benih

diperiksa daya tumbuhnya dan jika tidak juga berkecambah dapat dimusnahkan saja

(Lubis, 1993).

Berhubung belum ada informasi tentang pola viabilitas serta deteriorasi

benih kelapa sawit pasca pematahan dormansi selama di penyimpanan, maka penulis

tertarik melakukan penelitian ini.

1.

Perumusan Masalah

2.

Benih Kelapa Sawit setelah pelaksanaan pematahan dormansi ada kalanya

tidak dapat langsung dikecambahkan sehingga kembali disimpan untuk kurun

waktu tertentu.

3.

Penyimpanan dapat menurunkan viabilitasnya sehingga memerlukan upaya

pemanasan ulang untuk memacu pertumbuhan kecambah yang diharapkan.

Belum ada informasi rinci tentang pengaruh penyimpanan dan pemanasan

ulang terhadap viabilitas benih kelapa sawit pasca perlakuan pematahan

(27)

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penyimpanan pasca

pematahan dormansi dan efek pemanasan ulang terhadap viabilitas benih kelapa

sawit.

1.

Hipotesis Penelitian

2.

Penyimpanan akan menurunkan viabilitas benih pasca pematahan dormansi.

3.

Pemanasan ulang akan merangsang pertumbuhan kecambah.

4.

Terdapat interaksi antara periode simpan dengan pemanasan ulang terhadap

viabilitas benih kelapa sawit pasca pematahan dormansi.

Terdapat lama pemanasan ulang benih kelapa sawit yang optimum dalam

merangsang perkecambahan.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pengembang

kelapa sawit maupun lembaga penyedia benih untuk mengkaji upaya di dalam

(28)

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Kelapa sawit

Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.L) termasuk tumbuhan kelas

Angiospermae, ordo Palmales, famili Arecaceae dan genus Elaeis. Tanaman ini

berasal dari Afrika Barat. Meskipun demikian, ada yang mengatakan bahwa tanaman

kelapa sawit berasal dari Amerika Selatan yaitu Brasil karena lebih banyak ditemukan

spesies kelapa sawit di hutan Brasil dibanding dengan Afrika (Fauzi et al., 2004).

Pada kenyataannya, tanaman kelapa sawit justru hidup subur di luar daerah asalnya,

seperti Indonesia, Malaysia, Thailand dan Papua Nugini, bahkan mampu memberikan

hasil produksi per hektar yang lebih tinggi. Kelapa sawit dapat tumbuh baik di

daerah tropika basah antara 12oLU-12oLS pada suhu optimum sekitar 24o-28oC

dengan curah hujan rata-rata 2000-2500 mm/tahun (Fauzi et al., 2002).

Berdasarkan ketebalan tempurung kelapa sawit dikelompokkan menjadi tiga

jenis, yaitu Dura, Pisifera, dan Tenera. Perbedaan ketebalan daging buah ini

menyebabkan perbedaan jumlah rendemen minyak sawit yang dikandungnya.

Rendemen minyak yang paling tinggi terdapat pada Tenera yaitu mencapai 28%,

(Anonim, 2007), sedangkan pada varietas Dura hanya 16-18 % ( Fauzi et al.,2004).

Tanaman kelapa sawit merupakan tanaman monokotil, yaitu batangnya tidak

mempunyai kambium dan umumya tidak bercabang. Batang kelapa sawit berbentuk

silinder dengan diameter 45-60 cm. Tanaman yang masih muda, batangnya tidak

(29)

cm/tahun, tapi jika kondisi lingkungan yang sesuai maka pertambahan tinggi batang

dapat mencapai 100 cm per tahun dan tinggi maksimum yang ditanam di perkebunan

adalah 15-18 meter. Akar tanaman kelapa sawit berbentuk serabut, tidak berbuku,

ujungnya runcing dan berwarna putih atau kekuningan. Perakaran kelapa sawit

sangat kuat karena tumbuh ke bawah dan ke samping membentuk akar primer,

sekunder, tertier dan kuarter. Sistem perakaran paling banyak ditemukan pada

kedalaman 0 sampai 20 cm, yaitu pada lapisan olah tanah (top soil). Daun kelapa

sawit membentuk susunan daun majemuk, bersirip genap dan bertulang sejajar serta

membentuk satu pelepah yang panjangnya mencapai 7.5-9 meter. Jumlah anak daun

pada setiap pelepah berkisar antara 250 sampai 400 helai.

Kelapa sawit merupakan tanaman berumah satu (monocious), artinya bunga

jantan dan bunga betina terdapat dalam satu tanaman dan masing-masing terangkai

dalam satu tandan. Rangkaian bunga jantan terpisah dengan bunga betina. Setiap

rangkaian bunga muncul dari pangkal pelepah daun. Rangkaian bunga jantan

dihasilkan dengan siklus yang berselang seling dengan rangkaian bunga betina,

sehingga pembungaan secara bersamaan sangat jarang terjadi. Umumnya di alam

hanya terjadi penyerbukan silang, sedangkan penyerbukan sendiri secara buatan dapat

dilakukan dengan menggunakan serbuk sari yang diambil dari bunga jantan dan

ditaburkan pada bunga betina. Waktu yang dibutuhkan mulai dari penyerbukan

hingga buah matang dan siap panen kurang lebih 5-6 bulan.

Buah kelapa sawit terdiri dari dua bagian utama yaitu bagian pertama adalah

(30)

buah berserabut), sedangkan bagian yang kedua adalah biji, terdiri dari endokarpium

(tempurung), endosperm (kernel) dan embrio. Menurut Yahya (1990), buah sawit

yang masih mentah berwarna ungu atau hijau karena mengandung antosianin,

sedangkan mesokarp buah yang masak mengandung 45-60% minyak (edible) yang

berwarna merah-jingga karena mengandung karoten. Tanaman kelapa sawit rata-rata

menghasilkan buah 20-22 tandan per tahun. Untuk tanaman yang semakin tua

produktivitasnya akan menurun menjadi 12-14 tandan per tahun. Pada tahun pertama

berat tandan buah sawit berkisar 3-6 kg per tandan, tetapi semakin tua berat tandan

semakin bertambah yaitu 25-35 kg per tandan. Banyaknya buah yang terdapat pada

satu tandan tergantung pada faktor genetis, umur, lingkungan, dan teknik budidaya.

Jumlah buah per tandan pada tanaman yang cukup tua mencapai 1600 buah, panjang

buah antara 2-5 cm dan berat sekitar 20-30 kg per buah (Fauzi et al., 2004).

Benih kelapa sawit akan kehilangan viabilitasnya jika mendapat perlakuan

suhu 50C dan akan mati apabila kadar air dibawah 12.5% (Chin dan Robert, 1980).

Berdasarkan penelitian Ellis et al. dalam Bonner (1995) benih kelapa sawit termasuk

benih intermediet (antara sifat rekalsitran dan ortodoks) artinya benih dapat

dikeringkan sampai kadar air cukup rendah sehingga mempunyai kualitas seperti

(31)

Dormansi Benih

Menurut Sadjad (1993), dormansi benih adalah keadaan dimana benih

mengalami istirahat total sehingga meskipun dalam keadaan media tumbuh benih

optimum, benih tidak menunjukkan gejala atau fenomena hidup.

Secara umum dormansi terbagi kedalam dormansi primer dan sekunder.

Dormansi primer adalah dormansi yang paling sering terjadi, terdiri dari dua sifat: (1)

dormansi eksogenous yaitu kondisi dimana komponen penting perkecambahan tidak

tersedia bagi benih dan menyebabkan kegagalan dalam perkecambahan. Tipe

dormansi tersebut berhubungan dengan sifat fisik dari kulit benih serta faktor

lingkungan selama perkecambahan; (2) dormansi endogenous yaitu dormansi yang

disebabkan karena sifat-sifat tertentu yang melekat pada benih, seperti adanya

kandungan inhibitor yang berlebih pada benih, embrio benih yang rudimenter dan

sensitivitas terhadap suhu dan cahaya.

Dormansi sekunder (Induced dormansi) dimaknai sebagai benih yang pada

keadaaan normal mau berkecambah, tapi bila dikenakan pada suatu keadaan tidak

menguntungkan selama beberapa waktu dapat menjadi kehilangan kemampuannya

untuk berkecambah. Di duga dormansi sekunder tersebut disebabkan oleh perubahan

fisik yang terjadi pada kulit biji yang diakibatkan oleh pengeringan yang berlebihan

sehingga pertukaran gas-gas pada saat imbibisi menjadi lebih terbatas.

Dengan kata lain dormansi sekunder adalah benih non dorman namun

mengalami kondisi yang menyebabkannya menjadi dorman. Penyebabnya

(32)

kecuali satu yang tidak terpenuhi. Dormansi sekunder dapat diinduksi oleh: (1)

thermo- (suhu), dikenal sebagai thermodormancy; (2) photo-(cahaya), dikenal sebagai

photodormancy; (3) skoto-(kegelapan), dikenal sebagai skotodormancy. Meskipun

penyebab lain seperti kelebihan air, bahan kimia, dan gas bisa juga terlibat.

Mekanisme dormansi sekunder diduga karena: (1) terkena hambatan pada titik-titik

krusial dalam sekuens metabolik menuju perkecambahan; (2) ketidak-seimbangan zat

pemacu pertumbuhan versus zat penghambat pertumbuhan (Ilyas, 2007).

Penyebab dan mekanisme dormansi merupakan hal yang sangat penting

diketahui untuk dapat menentukan cara pematahan dormansi yang tepat, sehingga

benih dapat berkecambah dengan cepat dan seragam. Pada dormansi eksogenous,

umumnya perlakuan pematahan diberikan secara fisik, seperti skarifikasi mekanik

dan kimiawi. Skarifikasi mekanik meliputi pengamplasan, pengikiran, pemotongan

dan penusukan pada bagian tertentu pada benih. Skarifikasi kimiawi biasanya

dilakukan dengan menggunakan air panas dan bahan-bahan kimia seperti asam kuat

(H2SO4 dan HCl), alkohol dan H2O2 yang bertujuan untuk merusak atau melunakkan

kulit benih. Penggunaan hormon seperti GA3, etilen, sitokinin dan KNO3 merupakan

perlakuan pematahan dormansi pada kasus dormansi endogenous.

Bewly dan Black (1983) juga menyatakan bahwa Dormansi biji kebanyakan

species disebabkan karena struktur yang mengelilingi embrio (seed coat), yang

mencakup pericarp, testa, perisperm dan endosperm. Struktur tersebut dapat

menghambat embrio berkecambah, karena mengganggu masuknya air dan pertukaran

(33)

penyerapan air dan pertukaran gas, selain adanya zat penghambat di dalam kulit benih

itu sendiri, menghalangi lepasnya penghambat dari embrio.

Benih kelapa sawit mempunyai endokarp yang sangat keras sehingga

diperlukan perlakuan kusus untuk mempercepat perkecambahannya. Endokarp yang

keras dapat menyebabkan dormansi karena impermiabel terhadap air dan gas serta

dapat menghambat embrio secara mekanik. Benih kelapa sawit mengalami dormansi

fisik, oleh karena itu perlu adanya perlakuan yang kusus pada endokarpnya untuk

dapat mempercepat perkecambahannya. Delouche (1985) menyatakan bahwa

dormansi karena benih keras dapat dipecahkan dengan stratifikasi, pengaturan

cahaya, skarifikasi, perlakuan panas dalam jangka waktu pendek dan perlakuan suhu

dingin.

Perlakuan perendaman dalam air mengalir berfungsi untuk mencuci zat-zat

yang menghambat perkecambahan dan dapat melunakkan kulit benih. Perendaman

dapat merangsang penyerapan lebih cepat. Perendaman adalah prosedur yang sangat

lambat untuk mengatasi dormansi fisik, selain itu ada resiko bahwa benih akan mati

jika dibiarkan dalam air sampai seluruh benih menjadi permeabel (Schmidt, 2000).

Oleh karena itu, perlu diperoleh waktu perendaman yang tidak merusak benih dan

dapat membantu pematahan dormansi jika dikombinasikan dengan perlakuan lain.

Perlakuan perendaman sering dilakukan untuk meningkatkan perkecambahan benih

jati (Tectona grandis). Setiadi dan Munawir (1997) melaporkan bahwa perendaman

dalam air selama 3 hari dapat mematahkan dormansi pada benih jati. Selain itu,

(34)

satu minggu merupakan perlakuan yang biasa digunakan Perum Perhutani untuk

mempercepat perkecambahan benih jati.

Soeherlin (1996) melaporkan bahwa perkecambahan normal tercepat pada

benih Mindi tercapai setelah mendapat perlakuan perendaman benih dalam 12 N

H2SO4 selama 10 menit. Menurut Kurniaty (1987), benih kayu Afrika (Maesopsis

eminii Eng.) yang mengalami perendaman H2S04 dengan konsentrasi 20 N dan lama

perendaman 20 menit dapat meningkatkan daya berkecambah hingga 91.6%

dibanding dengan kontrol (tanpa perlakuan) yang daya bekecambahnya sebesar

57.7%. Menurut Haryani (2005), perlakuan pematahan dormansi benih sawit yang

efektif adalah perlakuan pemanasan pada suhu 39-40oC selama 60 hari. Perendaman

dalam H2O2 1% selama 72 jam dilanjutkan dengan perlakuan pemanasan selama 30

hari menghasilkan daya berkecambah yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan

pemanasan suhu tinggi selama 60 hari yaitu 52.67% dan 55.50%.

Faktor lingkungan disebut juga faktor luar yang mempengaruhi

perkecambahan yakni faktor air, suhu, cahaya, oksigen dan medium (Sadjad, 1980).

Terbatasnya oksigen yang dapat dipakai akan menghambat proses perkecambahan

benih (Sutopo, 2002). Menurut Kamil (1979), umumnya benih akan berkecambah

dalam udara yang mengandung 20% oksigen dan 0,03 % CO2. Namun untuk benih

yang mengalami dormansi perkecambahan terjadi jika oksigen yang masuk kedalam

benih ditingkatkan sampai 80% karena biasanya oksigen yang masuk ke embrio

kurang dari 3%. Efek pematahan dormansi melalui pemanasan pada akhirnya

(35)

oksigen tersuplai dari retaknya dinding kulit biji akibat suhu tinggi (Harjadi, 1975;

Alang, 1981).

Sedangkan dilain sisi apabila semakin tinggi suhu pemanasan yang diberikan

terhadap benih, akan semakin besar pula kebocoran membran yang terjadi (AOSA

1983). Disamping itu pemanasan yang sangat tinggi tersebut dapat menyebabkan

terjadinya denaturasi protein dari benih, sehingga benih akan menurun. Sebagaimana

diungkapkan oleh Sutopo (1998), bahwa pengeringan yan dilakukan pada suhu yang

sangat tinggi dapat meningkatkan laju kemunduran viabilitas benih. Hasil penelitian

sebagai efek dari perlakuan pemanasan terhadap benih kelapa sawit pada pemanasan

40, 60 dan 80 hari diperoleh perkecambahan yang terbaik pada pemanasan 60 hari.

Sementara pada pemanasan 80 hari dan 40 hari perkecambahan semakin menurun

(Beugree et al, 2009).

Tanda-tanda kemunduran benih

1. Gejala Fisiologi

Menurut Toole, Toole dan Gorman ( dalam Abdul Baki dan Anderson, 1972),

kemunduran benih dapat ditunjukkan oleh gejala fisiologis sebagai berikut:

(a). Terjadinya perubahan warna benih (b). tertundanya perkecambahan (c)

menurunnya toleransi terhadap kondisi lingkungan sub optimum selama

perkecambahan (d) rendahnya toleransi terhadap kondisi simpan yang kurang sesuai

(e) peka terhadap radiasi, (f) menurunnya pertumbuhan kecambah (g) menurunnya

(36)

Selanjutnya Abdul Baki dan Anderson ( 1972) mengemukakan indikasi

biokimia dalam benih yang mengalami kemunduran viabilitas adalah seabagai

berikut: (a) Perubahan aktivitas enzim (b) Perubahan laju respirasi (c) Perubahan di

dalam cadangan makanan (e) Kerusakan kromosom.

Gejala fisiologis dipengaruhi pula oleh: (a) Aktivitas enzim menurun :

dehidrogenase, glutamate dan karboksilase, katalase, peroksidase, fenolase, amylase,

sitokrom oksidase. (b) Respirasi menurun : konsumsi O2 rendah, produksi CO2

rendah, produksi ATP rendah. (d) Bocoran metabolit meningkat menjadikan nilai

daya hantar listrik meningkat dan glutamate terlarut meningkat. (e) Kandungan Asam

Lemak Bebas meningkat yakni lipid asam lemak ditambah gliserol. Benih kapas

kandungan asam lemak bebas lebih besar sama dengan 1% sudah tidak mampu

berkecambah.

Pengaruh Periode Simpan Pasca Pematahan Dormansi dan Efek Pemanasan Ulang

Secara fisiologis pertumbuhan adalah sesuatu yang tidak dapat balik

(irreversibel) maka benih yang sudah dilakukan upaya agar benih berkecambah

seyogyanya akan tumbuh dan berkembang menghasilkan kecambah. Benih seperti

itu diperkirakan akan memberikan pengaruh terhadap kualitas benih untuk masa

selanjutnya.

Kualitas yang terbaik tehadap suatu benih adalah pada saat benih berada

dalam kondisi masak fisiologis, karena pada saat itu berat kering benih, viabilitas dan

(37)

hingga benih kehilangan daya viabilitasnya dan vigornya sehingga benih tersebut

mati. Proses penurunan kondisi benih setelah masak fisiologis itulah yang disebut

sebagai peristiwa deteriorasi atau benih mengalami proses menua. Proses penuruan

kondisi benih tidak dapat dihentikan tetapi dapat dihambat. Kemunduran benih yang

menyebabkan menurunnya vigor dan viabilitas benih merupakan awal kegagalan

dalam kegiatan pertanian sehingga harus dicegah agar tidak mempengaruhi

produktivitas tanaman. Sadjad (1994) menguraikan viabilitas benih merupakan daya

hidup benih yang dapat ditunjukkan dalam fenomena pertumbuhannya, gejala

metabolisme, kinerja kromosom sedangkan viabilitas potensial adalah parameter

viabilitas dari sesuatu lot benih yang menunjukkan kemampuan benih menumbuhkan

tanaman normal yang berproduksi normal pada kondisi lapang yang optimum.

Proses penuaan atau mundurnya vigor secara fisiologis ditandai dengan

penurunan daya berkecambah, peningkatan jumlah kecambah abnormal, penuruanan

pemunculan kecambah di lapangan, terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan

tanaman, meningkatnya kepekaan terhadap lingkungan yang ekstrim yang akhirnya

dapat menurunkan produksi tanaman (Copeland dan Donald, 1985).

Kemunduran benih adalah mundurnya mutu fisisologis benih yang dapat

menimbulkan perubahan menyeluruh di dalam benih, baik fisik, fisiologi maupun

kimiawi yang mengakibatkan menurunnya viabilitas benih (Sadjad, 1984).

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi viabilitas benih selama

dipenyimpanan dibagi menjadi faktor internal dan eksternal. Faktor internal

(38)

awal. Faktor eksternal antara lain kemasan benih, komposisi gas, suhu dan

kelembaban ruang simpan (Copeland dan Donald, 1985).

Faktor internal benih mencakup kondisi sifat fisik dan keadaan fisiologisnya.

Benih yang retak, luka dan tergores lebih cepat kemundurannya. Selain itu

kelembaban nisbi dan temperatur, kadar air benih mempengaruhi kepada respirasi

benih. Menurut Harrington (1972), masalah yang dihadapi dalam penyimpanan benih

makin kompleks sejalan dengan meningkatnya kadar air benih. Benih adalah

higroskopis sehingga benih akan mengalami kemundurannya tergantung dari

tingginya faktor-faktor kelembaban relatif udara dan suhu lingkungan dimana benih

disimpan. Kadar air 14% mengakibatkan respirasi tinggi suhu meningkat dan

investasi cendawan. Kadar Air 5%, terjadi kerusakan membran selullar. Kadar Air

keseimbangan (KAK) adalah kadar air benih yang terbentuk oleh keseimbangan

antara KA benih dengan Relatife Humidity (RH) lingkungannya. (a) KAK fase 1:

KAK dengan RH 0 – 60%, air terikat kuat dengan struktur kimia benih (b) KAK fase

2: KAK dengan RH 60-75% sebagian KA benih akan lebih lemah daripada KAK fase

1. (c) KAK fase 3: KAK dengan RH 75-100% sebagian air benih adalah air bebas

yang berada pada rongga antar sel benih yang mudah dihilangkan dengan

pengeringan secara alamiah.

Pemahaman kadar air keseimbangan tak lain karena benih bersifat higroskopis

karena itu benih akan menyerap kelembaban dari atau melepaskan kelembaban yang

dimilikinya kepada atmosfer disekelilingnya sampai terjadi suatu keseimbangan

(39)

kelembaban dalam benih pada saat keseimbangan itu berkaitan langsung dengan

komposisi kimia benih. Kadar air keseimbangan benih berpati dan berminyak

berbeda yakni antara benih jagung dan kedelai. Hal ini diterima logika karena

minyak atau lemak tidak bercampur dengan air akibatnya pada jagung yang

mengandung pati menyerap kadar air lebih tinggi 96% sedangkan benih berminyak

seperti kedela hanya 80% (Mugnisjah,1980).

Adapun faktor temperatur sangat menentukan dalam ruang simpan di dalam

mempertahankan viabilitas benih selama berada di penyimpanan. Pada suhu rendah

respirasi berjalan lambat dibanding dengan suhu tinggi. (a) Pada T=0o C dan KA

14% dapat terbentuk kristal es pada ruang antar sel dalam benih (b) Pada T= 0oC dan

kadar air 14% tidak membentuk kristal es, tetapi benih akan meningkat kadar airnya.

Pada umumnya ruang dengan temperatur rendah dan RH tinggi sehingga KA akan

tinggi. AOSA (1983) mengatakan bahwa semakin tinggi suhu pemanasan yang

diberikan terhadap benih, akan semakin besar kebocoran membran yang terjadi.

Disamping itu temperatur yang sangat tinggi tersebut dapat menyebabkan terjadinya

denaturasi protein dari benih, sehingga benih akan menurun kemampuannya.

Sebagaimana diungkapkan oleh Sutopo (2002), bahwa pengeringan yang dilakukan

pada suhu sangat tinggi dapat meningkatkan laju kemunduran viabilitas benih.

Perkecambahan Benih Kelapa Sawit

Perkecambahan benih kelapa sawit merupakan suatu rangkaian kompleks dari

(40)

menyatakan bahwa pada proses perkecambahan terjadi proses imbibisi, aktivasi

enzim, inisiasi pertumbuhan embrio, retaknya kulit benih dan munculnya kecambah.

Menurut Sadjad (1975), faktor genetik dan lingkungan menentukan proses

metabolisme perkecambahan. Faktor genetik yang berpengaruh adalah komposisi

kimia, kadar air, enzim dalam benih dan susunan fisik atau kimia dari kulit benih.

Adapun faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap proses perkecambahan adalah

air, gas, suhu, dan cahaya.

Benih kelapa sawit sangat sulit untuk berkecambah dan tidak dapat tumbuh

serempak, hal ini disebabkan oleh karena benih mempunyai sifat dormansi akibat

endokarpnya yang tebal dan keras, bukan disebabkan oleh embrionya yang dorman

(Hartley, 1977). Kekedapan kulit benih terhadap air atau gas dapat disebabkan oleh

tiap lapisan kulit benih. Dalam banyak kasus misalnya pada leguminosa, kulit luar

benih menyebabkan kekedapan. Pada Semangka dan Mentimun kekedapan terjadi

pada membrane nucellus. Pada benih Kopi endokarpnya menyebabkan 02 sulit

masuk kedalam benih (Copeland, 1976 dan Pian, 1987). Kekedapan dapat juga

disebabkan oleh tertimbunnya berbagai senyawa kedap pada testa, perikarp atau

membrane nucellus. Timbunan suberin, liginin atau kutin yang tebal banyak terjadi

pada kulit benih leguminosa sebagaimana terjadi pada biji tanaman keras lainnya.

Timbunan kutin terdapat pada membrane nucellus pada benih family graminae. Pada

benih kacang kutikula kedap terhadap air (Copeland, 1976). Selain itu menurut

penelitian Nurmaila (1999), pada tempurung benih kelapa sawit mengandung kadar

(41)

salah satu penyebab lamanya benih kelapa sawit berkecambah.

Zat penghambat dapat berada dalam kulit benih dan juga di bagian-bagian

benih yang lebih dalam, karena sebelumnya zat penghambat tersebut berada dalam

daging buah (Sudikno, 1977). Inhibitor tidak mempengaruhi proses respirasi, tetapi

secara tidak langsung mencegah perkecambahan dengan memblocking produksi

bahan-bahan yang diperlukan untuk respirasi. Hidrolisis (perombakan) pati

dikatalisir oleh enzim amylase. Akibatnya hambatan aktivitas atau ketersediaan

enzim amylase menghambat perkecambahan. Perombakan protein di katalisir oleh

enzim protease. Perombakan menghasilkan larutan asam amino dan amida. Jika ini

dicegah oleh inhibitor seperti coumarin, larutan sumber nitrogen ini tidak terjadi dan

mencegah perkecambahan benih. Perombakan lemak menjadi gliserol dan asam

lemak pada benih berlemak oleh kerja enzim lipase. Coumarin dapat menghambat

perombakan phytin oleh enzim phytiase sebagai sumber fosfor inorganic yang

menyediakan energy untuk proses perkecambahan benih (Copeland, 1976 dalam Pian

1990).

Jika zat penghambat (inhibitor) terdapat dalam kulit benih, maka untuk

menghilangkan zat penghambat tersebut , kulit benih dihilangkan. Menghilangkan

zat penghambat dapat juga dengan merendam benih dalam air yang secara periodik

air perendaman diganti atau benih ditempatkan pada tempat yang airnya mengalir

(Sudikno, 1971). Benih dapat juga direndam dalam air panas (180o– 200oF) dan

dibiarkan sampai dingin (Sutopo, 1988).

Kelapa sawit memiliki tipe perkecambahan hypogeal (Chin dan Robert,

1980), yaitu kotiledon tetap berada di permukaan tanah setelah benih berkecambah.

(42)

sempurna dan secara jelas dapat dibedakan antara radikula dan plumula, tidak patah,

tumbuh lurus, panjang plumula dan radikula kurang lebih 1-1.5 cm, sedangkan

kecambah abnormal mempunyai ciri-ciri tumbuh bengkok, plumula dan radikula

tumbuh searah, kecambah kerdil, hanya memiliki radikula atau plumula saja dan

terserang penyakit. Kriteria kecambah normal yang diterapkan di Pusat Penelitian

Kelapa sawit Medan (PPKS) adalah sbb:

1. Kecambah normal adalah : Kecambah yang sudah dapat dibedakan antara

radikula dan plumula.

2. Kecambah yang normal berwarna putih kekuning-kuningan dimana radikula

(bakal akar) berwarna kekuning-kuningan dan plumula (bakal batang)

keputih-putihan.

3. Radikula dan plumula tumbuhan lurus serta berlawanan arah.

4. Panjang maksimum plúmula dan radikula adalah < 2 cm.

5. Kecambah yang memiliki sudut antara radikula dengan plumula tidak kurang dari

90 derajat.

6. Kecambah sehat dan utuh atau mengalami sedikit kerusakan

Pengecambahan benih kelapa sawit terjadi setelah terlebih dahulu diberi

perlakuan pemanasan di ruang pemanas selama 60 hari pada suhu 39o-40oC dengan

kadar air tidak kurang dari 18%, kemudian dikecambahkan dalam germinator yang

bersuhu 27oC dengan kadar air benih dinaikkan menjadi 22-24% (Adiguno, 1998).

Daya berkecambah benih kelapa sawit dapat dihitung pada pengamatan hari ke-20

(43)

pengecambahan benih kelapa sawit memerlukan waktu yang cukup lama yaitu

sekitar 6 bulan.

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan September 2011.

Lokasi penelitian dilakukan di Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan.

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan adalah benih sawit varietas Simalungun, Fungisida,

KOH 0,1 N ,Aquadest, Etanol, dan Indikator Fenoftalein 1%. Alat yang digunakan

adalah : kantongan jaring, tray, kantong plastik pinset, blender, tabung erlen mayer

125 ml, bais, spatula, timbangan listrik, oven, desikator, refrigerator, cool room,

soxchlet, alat tetrasi , kertas timbhal, penangas air, buret, botol perendam biji,

conductivitimeter, stoples kaca, cosmotector, isolative, lilin paraffin, kertas lebel,

dan alat tulis.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial

dengan menggunakan 2 faktor. Faktor pertama adalah periode simpan (S) yang

terdiri dari 4 taraf, yaitu:

(1). Tanpa disimpan (S0)

(44)

(3). Disimpan 2 bulan (S2)

(4). Disimpan 3 bulan (S3)

Faktor kedua adalah Pemanasan Ulang (P), yang terdiri dari 5 taraf, yaitu:

(1). Tanpa dipanasi ulang (P0)

(2). Dipanasi ulang selama 5 hari (P1)

(3). Dipanasi ulang selama 10 hari (P2)

(4). Dipanasi ulang selama 15 hari (P3)

(5). Dipanasi ulang selama 20 hari (P4)

Percobaan ini menggunakan 3 ulangan dari setiap ulangan terdiri dari 140 butir benih.

Sehingga banyaknya satuan percobaan adalah 60.

Model yang digunakan adalah sebagai berikut:

Yijk = µ + Ai + Kj + (AK)ij + €ij + k

Yij = Nilai pengamatan pada perlakuan periode simpan pada taraf ke-i, perlakuan

pemanasan ulang taraf ke-j.

µ = Nilai kuadrat tengah umum.

Ai = Pengaruh perlakuan periode simpan taraf-i.

Kj = Pengaruh perlakuan pemanasan pada taraf ke-j.

(AK)ij = Interaksi perlakuan periode simpan dan pemanasan ulang.

€ij = Galat perlakuan periode simpan taraf ke-i, perlakuan pemanasan ulang taraf

ke-j.

(45)

Untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh perlakuan dan adanya interaksi

antar perlakuan, diuji dengan analisis ragam. Untuk pengujian lebih lanjut,

menggunakan uji DMRT (Duncan’s Multiple Range Test). Untuk melihat hubungan

peubah dengan perlakuan digunakan Analisa Regresi dan matriks korelasi.

Pelaksanaan Penelitian

Pelaksanaan dilakukan dengan tahap-tahap (lampiran 12)

A. Perlakuan benih pada periode simpan:

Perlakuan benih ini dilakukan setelah benih kelapa sawit mengalami proses

pematahan dormansi. Biji-biji dimasukkan dalam kantongan plastik yang

diberi udara didalamnya. Satu kantong plastik berisi satuan percobaan yang

terdiri dari 140 butir biji sawit dan disimpan dalam ruang penyimpanan

(46)

Gambar 1. Ruang penyimpanan benih pasca pematahan dormansi suhu 18oC

B. Pemanasan Ulang

Benih yang telah mendapat perlakuan penyimpanan lalu dipanasi kembali di

ruang pemanas pada suhu 40oC. Pemanasan ini dilakukan dengan

mengeluarkan benih dari dalam kantong plastik untuk kemudian ditempatkan

di tray plastik berwarna kuning (Gambar 2) yang disusun secara bertingkat

agar saling menutupi. Selanjutnya tray dimasukkan ke ruang pemanasan.

Gambar 2. Ruang Pemanasan dengan suhu 38o– 40oC

Setelah keluar dari ruang pemanasan benih didinginkan beberapa menit

kemudian dimasukkan ke dalam kantong jaring untuk direndam selama dua hari.

Perendaman dilakukan di dalam bak yang berisi air dimana benih seluruhnya berada

dalam keadaan terendam dan air perendaman ini diganti setiap +/- 24 jam sekali.

Perendaman ini tujuannnya untuk menjaga kadar air benih akibat pemanasan ulang

serta diharapkan benih yang mengalami kondisi basah kering dapat merusak

(47)

mendorong fiber plug keluar. Selanjutnya benih yang sudah direndam ini diambil

kemudian direndam dalam larutan fungisida (Dithane M-45) dengan kondisi 2 g/l

selama 3 menit.

Gambar 3. Proses perendaman benih

Setelah direndam, benih dikeringkan dengan cara meletakkan benih pada rak

pengering beberapa menit saja. Pengeringan ini dibantu dengan kipas angin yang

tujuannya hanya mengeringkan bagian luar benih, sehingga serangan cendawan dapat

diminimalkan sedangkan kadar air setelah pengeringan tidak mengalami penurunan.

(48)

C. Inkubasi Benih

Benih setelah dikering anginkan lalu dimasukkan kedalam kantong plastik

untuk uji perkecambahan di ruang pengecambahan. Ruang ini diterangi

dengan lampu neon 35 watt serta suhunya dipertahankan sekitar 28o-30oC.

Optimalisasi dilakukan setelah tiga Hari Setelah Inkubasi (HSI) dan benih

yang terserang cendawan diafkir.

Gambar 5. Ruangan Inkubasi Benih

Benih yang digunakan pada perlakuan penyimpanan adalah benih pasca

pematahan dormansi yang disimpan dalam kurun waktu 0, 1, 2 dan 3 bulan.

Seleksi pertama dilakukan setelah 14 hari inkubasi dan seleksi berikutnya

setiap 1 minggu sampai 5 kali seleksi yaitu sampai 42 hari setelah inkubasi (HSI).

Penyemprotan dilakukan merata sampai lembab dengan larutan Dithane M-45 0.1%.

(49)

D. Seleksi Kecambah

Benih yang sudah berkecambah normal dikeluarkan dari ruang

perkecambahan. Kriteria kecambahan normal dapat dilihat seperti gambar 6.

Gambar 6. Kecambah normal (A) dan kecambah abnormal (B) Kelapa Sawit

Pengamatan

Pengamatan dilakukan setiap hari sejak percobaan di mulai. Tolok ukur

pengamatan pada penelitian ini adalah:

Daya berkecambah

Daya berkecambah (DB) mengindentifikasi viabilitas potensial benih. Daya

berkecambah diukur dengan menghitung persentase kecambah normal pada tahap

seleksi pertama sampai akhir. Perhitungan kecambah normal dilakukan 5 kali yaitu

14, 21, 28 35 dan 42 HSI.

Daya berkecambah (DB) akhir dihitung berdasarkan rumus yang terdapat

dalam metode Burris (1975), dalam Copeland Mcdonald (2001) yaitu sebagai berikut: (B)

(50)

Laju Respirasi

Pengukuran laju respirasi dilakukan setelah perlakuan periode simpan dan

setelah perlakuan pemanasan. Benih ditempatkan di dalam stoples kaca yang

penutupnya dirancang berlubang kemudian dipasang selang pelastik sebagai tempat

aliran CO2 dan O2. Bahagian selang untuk aliran CO2 dan O2 dilumuri dengan lilin

parafin demikian juga penutup stoples guna mencegah masuk dan keluarnya udara.

Pengukuran respirasi benih menggunakan alat cosmotector.

Data yang diperoleh dari hasil pengukuran cosmotector (persen O2 dan CO2)

di transfer ke dalam satuan ml/kg-jam. Menurut Sutrisno dalam Julianti (1997)

perhitungan tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

Dimana :

Rr = Laju produksi CO2 atau konsumsi CO2 Mw = Berat Molekul CO2= 44 dan O2 = 32

∆C = Perubahan konsentrasi O2 atau CO2 (%) antara dua pengukuran V = Volume Kemasan (1)

R = Konstanta gas (0,0821 dm3. Atm/K.mol) W = Berat contoh

δ = Kerapatan jenis contoh (kg/l) to = Suhu penyimpanan (0C)

(51)

Gambar 7. Pengkuran respirasi benih menggunakan cosmotector

Kadar Air

Pengukuran kadar air diukur dengan cara benih utuh ditimbang sebelum

masuk ke oven dengan suhu 1050C sebagai Berat Basah (BB). Setelah itu benih

dimasukkan kedalam oven selama 48 jam. Langkah berikutnya benih dikeluarkan

dari oven untuk kemudian dimasukkan ke dalam desikator selama 30-45 menit.

Setelah keluar dari desikator benih ditimbang guna mendapatkan Berat Kering (BK).

Persen kadar air benih dihitung berdasarkan persentase air benih terhadap berat

kering benih. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut:

BB – BK

KA (%) = x 100 % BK

(52)

Selain menghasilkan CPO, dari buah sawit juga dihasilkan Palm Kernel Oil

(PKO) dengan cara melepaskan bahagian inti sawit dari cangkang untuk kemudian

inti di proses menjadi minyak. Proses yang berlangsung dimulai dari pemecahan

cangkang yang membungkus inti dengan alat peretak biji bernama bais. Inti sawit

(endosperm/kernel) di blender sehingga menjadi serbuk lalu di ekstraksi selama 12

jam untuk pemisahan minyak inti dengan produk lainnya. Setelah didapat minyak

inti sawit selanjutnya didakan pengujian kadar asam lemak bebas / Free Fatty Acid

(FFA).

Gambar 8. Penampang Buah Kelapa Sawit

(53)

c : Endokarp d : Inti sawit

Uji ini dilakukan dengan cara mengukur asam lemak bebas (FFA) dengan

metode titrasi. Minyak inti sawit ditetrasi dengan KOH 0,1 N selanjutnya

ditambahkan ± 2-3 tetes Fenolftalein sebagai indikator. Apabila terjadi warna merah

jambu tetrasi KOH dihentikan (Apriyantono, 1981).

Cara menghitung kadar asam lemak bebas (ALB) = mlKOH x N KOH x m 10 G

Keterangan :

G = Berat sampel

M = Berat Molekul asam lemak yang dominan dalam minyak /lemak rata-rata

dari campuran asam lemak

Kebocoran Membran (Uji konduktivitas)

Pengukuran kebocoran membran dilakukan dengan menggunakan electrik

conductivity meter dimana sebanyak 10 benih yang telah diketahui beratnya

direndam dalam 25 ml aquabidest didestilasi selama 24 jam pada suhu kamar.

Selanjutnya air rendaman ini diukur konduktivitas listriknya (Byrd, 1988 dalam

(54)

Gambar 9. Pengukuran kebocoran membran (Uji Konduktivitas)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Daya berkecambah (DB)

Hasil pengamatan rata-rata daya berkecambah benih kelapa sawit dan sidik

ragam (Tabel Lampiran 1 dan 2), menunjukkan bahwa faktor periode simpan dan

faktor pemanasan ulang berpengaruh sangat nyata terhadap daya berkecambah benih.

Rata-rata daya berkecambah benih dan hasil uji jarak Duncan pada tiap pengamatan

dapat dilihat pada Tabel 1.

(55)

Tabel 1. Rata-rata Persentase Daya Berkecambah (%) Benih Akibat Berbagai Perlakuan Periode Simpan dan Pemanasan Ulang

Tanpa

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% (huruf kecil) dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar) berdasarkan uji jarak Duncan

Dari Tabel 1. Terlihat bahwa perlakuan periode simpan berbeda sangat nyata

terhadap daya berkecambah, dimana perlakuan tanpa disimpan memiliki daya

berkecambah tertinggi yaitu 70.62% berbeda sangat nyata dengan periode simpan 1, 2

dan 3 bulan masing-masing daya berkecambah 63.69%, 59.37% dan 51.11%.

Selanjutnya dari Tabel 1 juga di dapat persentase daya berkecambah yang terendah

pada perlakuan periode simpan 3 bulan. Daya berkecambah yang rendah ini diduga

disebabkan oleh lamanya benih berada alam penyimpanan yakni selama 3 (tiga) bulan

sehingga benih mengalami kemunduran.

Hubungan antara persentase perkecambahan benih terhadap beberapa periode

simpan adalah linier negatif dengan rumus Ŷ = -6.285x + 70.62, r= 0.987 (Gambar

10). Persamaan tersebut mengindikasikan bahwa persentase daya berkecambah benih

(56)

perkecambahan sebesar 6.28% dalam setiap periode simpan (setiap 1 bulan).

Terdapat hubungan antara periode simpan dengan daya berkecambah sebesar 98.7%.

Gambar 10. Korelasi Daya Berkecambah Benih Terhadap Periode Simpan (bulan)

Gambar 11. Hubungan Daya Berkecambah Benih Terhadap Pemanasan Ulang (hari)

(57)

Perlakuan pemanasan ulang berbeda nyata terhadap daya berkecambah benih

(DB). Pemanasan ulang yang terbaik terdapat pada perlakuan kontrol (tanpa

pemanasan) dimana daya berkecambah benih 72.37%. Hal ini berbeda sangat nyata

dengan lama pemanasan 5, 10, 15, dan 20 hari, dengan masing-masing daya

berkecambah benih 64.93%, 59.93%, 55.68% dan 53.93%.

Hubungan nilai daya bekecambah benih tehadap beberapa lama pemanasan

adalah linear negatif (Gambar 11), Ŷ= -0.956x + 70.76, r = 0.966. Persamaan

tersebut mengindikasikan bahwa persentase daya berkecambah benih adalah 70.76%.

Setelah ada perlakuan pemanasan ulang terjadi penurunan persentase perkecambahan

sebesar 0.95% dalam setiap pemanasan ulang (setiap 5 hari). Terdapat hubungan

antara pemanasan ulang dengan daya berkecambah sebesar 96.6%.

Laju Respirasi

Hasil pengamatan laju respirasi dan sidik ragam (Tabel Lampiran 3 dan 4),

menunjukkan bahwa faktor periode simpan dan pemanasan ulang berpengaruh

sangat nyata terhadap persentase respirasi benih. Rata-rata laju respirasi benih dan

hasil uji jarak Duncan pada tiap pengamatan dapat dilihat pada Tabel 2.

(58)

Dipanasi 20 hari 1.28 2.19 2.65 3.02 2.29 aA

Rataan Penyimpanan 0.93 dD 1.90 cC 2.49 bB 2.87 aA

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% (huruf kecil) dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar) berdasarkan uji jarak Duncan

Dari Tabel 2 terlihat periode simpan berpengaruh sangat nyata terhadap laju

respirasi. Laju respirasi tertinggi terjadi pada periode simpan selama 3 bulan dimana

laju respirasinya sebesar 2.87 ml/kg.jam berbeda sangat nyata dengan tanpa periode

simpan, disimpan 1 bulan, dan disimpan 2 bulan dengan masing-masing laju respirasi

0.93 ml/kg.jam, 1.90 ml/kg.jam, dan 2.49 ml/kg.jam. Hubungan laju respirasi

terhadap periode simpan menunjukkan hubungan kuadratik dimana sampai periode

simpan 2 bulan laju respirasi benih meningkat secara tajam. Namun manakala

periode simpan 3 bulan laju respirasi benih ada kecendrungan kenaikkan tidak terlalu

tajam bahkan mulai menampakkan penurunan.

Hubungan laju respirasi benih pada berbagai tingkat periode simpan adalah

kuadratik dengan persamaan Ŷ= -149 x2

(59)

Gambar 12. Hubungan Respirasi Benih Terhadap Periode Simpan (bulan)

Perlakuan pemanasan ulang berbeda sangat nyata terhadap respirasi benih

dimana laju respirasi tanpa pemanasan 1.80 ml/kg.jam lebih rendah dibandingkan

dengan pemanasan ulang selama 5, 10, 15 dan 20 hari dengan masing-masing nilai

laju respirasi 1.93 ml/kg.jam, 2.04 ml/kg.jam, 2.19 ml/kg.jam dan 2.29 ml/kg.jam.

Hubungan laju respirasi terhadap pemanasan ulang adalah linier positif

(Gam

bar

13).

Ŷ = 0.024x + 1.804 r = 0.996

0,50 1,00 1,50 2,00 2,50

R

e

sp

ira

(60)

Gambar 13. Hubungan laju Respirasi Benih Terhadap Pemanasan Ulang (Hari)

Hubungan laju respirasi benih terhadap beberapa lama pemanasan ulang

adalah linear positif (Gambar 11), Ŷ = 0.024x + 1.804, r = 0.996. Persamaan

tersebut mengindikasikan bahwa persentase respirasi benih adalah 1.80 ml/kg.jam.

Setelah ada perlakuan pemanasan ulang terjadi kenaikan laju respirasi benih sebesar

0.02 ml/kg.jam dalam setiap pemanasan ulang (setiap 5 hari). Terdapat hubungan

linier antara pemanasan ulang dengan laju respirasi sebesar 96.6%.

Kadar Air

Hasil pengamatan kadar air dan sidik ragam (Tabel Lampiran 5 dan 6),

menunjukkan bahwa faktor periode simpan dan pemanasan ulang berpengaruh

sangat nyata terhadap kadar air benih sedangkan interaksinya tidak berpengaruh

nyata. Rata-rata kadar air pada setiap pengamatan dapat dilihat ada Tabel 3.

Tabel 3. Rata-rata Kadar Air Benih Kelapa Sawit (%) Akibat Berbagai Perlakuan Periode Simpan dan Efek Pemanasan Ulang

(61)

Penyimpanan

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% (huruf kecil) dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar) berdasarkan uji jarak Duncan

Tabel 3 menunjukkan bahwa kadar air tertinggi terdapat pada perlakuan tanpa

periode simpan 20.34%. Selanjutnya kadar air cenderung menurun akibat berbagai

pengaruh periode simpan dan nilai kadar air terendah 17.86% terdapat pada periode

simpan 3 bulan.

Hubungan kadar air benih terhadap beberapa periode simpan adalah linier

negatif (Gambar 14) dengan persamaan Ŷ = -0.790x + 20.48, r = 0.936. Persamaan

tersebut mengindikasikan bahwa persentase kadar air benih adalah 20.48%. Setelah

ada perlakuan penyimpanan terjadi penurunan persentase kadar air sebesar 0.79%

dalam setiap periode simpan (setiap 1 bulan). Terdapat hubungan antara periode

simpan dengan kadar air benih sebesar 93.6%.

(62)

Pengaruh perlakuan pemanasan ulang berbeda sangat nyata terhadap kadar air

benih. Pada penelitian ini kandungan air tertinggi yakni tanpa pemanasan ulang

(kontrol) dengan kadar air 21.46% berbeda sangat nyata dengan pemanasan ulang 5,

10, 15, dan 20 hari masing-masing nilai kadar air benih 20.14%, 19.44%, 18.41% dan

17.07%. Hubungan persentase kadar air benih terhadap beberapa pemanasan ulang

adalah linier negatif dengan persamaan Ŷ = 0.210x + 21.40, r = 0.990 (Gambar 15).

Persamaan ini mengindikasikan bahwa persentase kadar air benih adalah 21.40%.

Setelah ada perlakuan pemanasan ulang terjadi penurunan persentase kadar air benih

sebesar 0.21% dalam setiap pemanasan ulang (setiap 5 hari). Terdapat hubungan

antara pemanasan ulang dengan kadar air benih sebesar 99.0%.

Gambar 15. Hubungan Persentase Kadar Air Benih Terhadap Pemanasan Ulang (hari)

Asam lemak Bebas (Free Fatty Acid)

Hasil pengamatan asam lemak bebas/FFA dan sidik ragam (Tabel Lampiran 7

(63)

sangat nyata terhadap asam lemak bebas dan interaksi keduanya tidak berpengaruh

nyata.

Rata-rata Asam lemak bebas/FFA benih dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Rata-rata Asam Lemak Bebas/FFA Benih (%) Akibat Berbagai Pengaruh Periode Simpan dan Pemanasan Ulang

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% (huruf kecil) dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar) berdasarkan uji jarak Duncan

Tabel 4 menunjukkan bahwa kandungan FFA pada perlakuan tanpa disimpan

0.0580% lalu meningkat menjadi 0.0960 %, 0.1218 %, dan 0.1448% masing-masing

pada periode simpan 1, 2 dan 3 bulan. Hal ini menandakan semakin lama periode

simpan terjadi peningkatan kandungan FFA.

Hubungan perlakuan periode simpan terhadap FFA benih adalah kuadratik

dengan persamaan Ŷ = 0.003x + 0.039, r = 0.998 (Gambar 16). Pada periode simpan

2 bulan kandungan FFA cenderung meningkat tajam namun pada level periode

simpan 3 bulan sudah memperlihatkan kenaikan yang tidak tajam bahkan nampak

(64)

Gambar 16. Hubungan Asam lemak Bebas/FFATerhadap Periode simpan (bulan)

Perlakuan pemanasan berbeda sangat nyata terhadap kandungan asam lemak

bebas/FFA benih dimana pada perlakuan tanpa pemanasan kandungan FFA 0.0946%

lebih rendah dibandingkan perlakuan pemanasan 5, 10, 15 dan 20 hari dengan

kandungan FFA 0.1001%, 0.1032%, 0.1124% dan 0.1156%.

Hubungan Asam Lemak Bebas/FFA pada perlakuan pemanasan ulang adalah

linier posotif dengan persamaan Ŷ = 0.001x +0.094, r= 0.975 (Gambar 17).

Persamaan ini mengindikasikan bahwa persentase kandungan FFA benih dalam

pemanasan ulang adalah 0.09%. Setelah ada perlakuan periode simpan terjadi

kenaikan persentase kandungan FFA sebesar 0.001% dalam setiap pemanasan ulang

(setiap 5 hari). Terdapat hubungan antara pemanasan ulang dengan persentase

(65)

Gambar 17. Hubungan Asam Lemak Bebas/FFA Benih Terhadap Pemanasan Ulang (hari)

Kebocoran Membran (Uji konduktivitas)

Kebocoran membran dilihat dari nilai konduktivitas listrik dari air rendaman

biji. Uji ini merupakan pengujian secara fisik untuk melihat tingkat kebocoran

membran sel. Berdasarkan Lampiran 9 dan 10 dapat dilihat data pengamatan

rata-rata konduktivitas listrik dan sidik ragam air rendaman biji sawit. Hasil sidik

ragamnya menunjukkan bahwa perlakuan periode simpan, pemanasan ulang dan

interaksi keduanya berpengaruh sangat nyata terhadap konduktivitas listrik air

rendaman benih kelapa sawit. Perlakuan tanpa periode simpan (kontrol)

dikombinasikan dengan tanpa pemanasan ulang (kontrol) lebih kecil nilai kebocoran

Gambar

Gambar 2.  Ruang Pemanasan dengan suhu 38o– 40oC
Gambar 4.  Rak Pengeringan setelah benih direndam selama 2 hari
Gambar 5. Ruangan Inkubasi Benih
Gambar 7.  Pengkuran respirasi benih menggunakan cosmotector
+7

Referensi

Dokumen terkait

DALAM WADAH JURUSAN TERHADAP EFEKTIVITAS SISTEM PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN MATA KUUAH MKDU.. Dl

Membawa : Laptop, Kabel Roll, Modem dan Flasdisk Acara : Kualitas Data Sekolah. Demikian atas perhatian dan kehadirannya disampaikan

- Pengadaan Peralatan Kantor PBJ 1 Paket Bandar Lampung 200.000.000 APBD-P Oktober 2012 Oktober - Desember 2012 Pengadaan Langsung - Pengadaan Perlengkapan Kantor PBJ 1 Paket

Berdasarkan hasil penelitian eksperimen yang telah dilaksanakan dan pembahasan pada pembelajaran IPA materi Perubahan Kenampakan Bumi dengan menggunakan model pembelajaran

model direct instruction berbantuan animasi energy2d , siswa dapat mengganti konsepsi awal yang salah menjadi konsepsi yang benar dengan bantuan animasi

Penawaran publik sekuritas yang dibuat di Amerika Serikat akan dilakukan melalui prospektus yang diperoleh dari Perusahaan dan berisi keterangan rinci mengenai

Hasil dari pengujian notifikasi untuk pengisian air dapat dilihat pada

Peta zona penyangga yang berpotongan dengan tutupan lahan pesisir Kabupaten Asahan