DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abdullah, Thamrin dan Francis Tantri. Bank dan Lembaga Keuangan. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2014.
Bahsan, M. Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2012.
Bank Indonesia, Krisis Global dan Penyelamatan Sistem Perbankan Indonesia. Jakarta: 2010
Dendawijaya, Lukman. Manajemen Perbankan. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2005.
Djumhana, Muhammad. Asas-Asas Hukum Perbankan Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2008.
Djumhana, Muhammad. Hukum Perbankan Di Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000.
Fuady, Munir. Hukum Perbankan Modern Berdasarkan Undang-Undang Tahun 1998. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999.
Jusuf, Jopie. Kiat Jitu Memeperoleh Kredit Bank. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2003.
Karta Negara, Satochid. Hukum Pidana: Kumpulan Kuliah Bagian 1. Jakarta: Balai Rektur Mahasiswa.
Kuncoro, Mudrajad dan Suhardjono. Manjemen Perbankan. Yogyakarta: BPFE, 2004.
M, Ralona. Kamus Istilah Ekonomi Populer. Jakarta: Gorga Media, 2006.
Mahmoeddin, As. 100 Penyebab Kredit Macet. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994.
Mahsyud, Ali. Asset Liability Management, Menyisiasati Resiko Pasar dan Resiko Operasional Dalam Perbankan. Jakarta: Elex Media Komputindo, 2004.
N. Indroes, Fery dan Sugiarto. Manajemen Risiko Perbankan dalam Konteks Kesepakatan Basel dan Peraturan Bank Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006.
R. Latumerissa, Julius. Bank dan Lembaga Keuangan Lain. Jakarta: Salemba Empat, 2011.
Rahman, Hasanuddin. Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan di Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999.
Simorangkir, J.C.T. dkk. Kamus Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2004.
Simorangkir, O.P. Kamus Perbankan, Cetakan Kedua. Jakarta: Bina Aksara, 1989.
Sitompul, Zulkarnain. Problematika Perbankan. Bandung: Books Terrace & Library, 2005.
Suhardi, Gunarto. Usaha Perbankan Dalam Perspektif Hukum. Yogyakarta: Kanisius, 2003.
Supramono, Gatot. Perbankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan Yuridis, Jakarta: Djambatan, 1995.
Suyatno, Thomas. Kelembagaan Perbankan. Jakarta: STIE Perbanas-Gramedia, 1988.
Suyatno, Thomas dkk. Dasar-Dasar Perkreditan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003.
Triandaru, Sigit dan Totok Budisantoso. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Yogyakarta: Salemba Empat, 2006.
Usman, Rachmadi. Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001.
Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum Dalam Praktek, Edisi 1, Cet ke-3. Jakarta: Sinar Grafika, 2002.
Widiyono, Try. Aspek Hukum Operasional Transaksi Produk Perbankan di Indonesia (Simpanan, Jasa & Kredi). Bogor: Ghalia Indonesia, 2006.
Widjanarto. Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1993.
Wojo Wasito, S. Kamus Umum Belanda-Indonesia. Jakarta: Sinar grafika, 2004.
B. Peraturan Perundang-undangan
Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/13/PBI/2006 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum.
Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/1/PBI/2009 tentang Bank Umum.
Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 tentang perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum.
Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/1/PBI/2011 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank.
Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/12/PBI/2013 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
C. Jurnal
Aryatie, Indra Retno dan Adityo Waskito Nugroho. 2010. “Akibat Hukum Bagi
Bank Bila Kewajiban Modal Inti Minimum Tidak Terpenuhi.” Mimbar
Hukum, Volume 22 No.2. Juni 2010.
Indira, Januarti. “Variabel Proksi CAMEL dan Karakteristik Bank Lainnya Untuk
Memprediksi Kebangkrutan Bank di Indonesia.” Jurnal Bisnis Strategi, Volume X.
Maski, Ghozali. 2011. “Implementasi Basel I Terhadap Tata Kelola Permodalan
dan Risiko Kredit Perbankan di Indonesia.” Aplikasi Manajemen, Volume
91 No.3. Mei 2011.
W. Supriyo Hartadi. 2005. “Rekapitulasi Dalam Kaitannya Dengan Perbankan.” Ekonomi dan Komputer, No.1. Tahun XIII-2005.
D. Surat Kabar
Remy Sjahdeini, Sutan. “Kendala Yang Dihadapi Bank Dalam Upaya
Penyelamatan Kredit.” Media Indonesia, 26 Juli 1993.
E. Tesis/Disertasi
Affandi, Ismi. “Analisis Kesehatan Bank Umum di Indonesia,” Tesis,
Astuti Rahayu Manalu, Syuratty. “Tinjauan Yuridis Pengawasan Bank Indonesia
terhadap Pemberian Likuiditas pada Bank Umum pada PT. Bank Century.”
Tesis, Pascasarjana Ilmu Hukum USU, 2011.
Caroline Barus, Andreani. “Pengaruh Profitabilitas dan Likuiditas terhadap
Capital Adequacy Ratio (CAR) pada Institusi Perbankan Terbuka Di Bursa
Efek Indonesia.” Tesis, Pascasarjana Akuntansi USU, 2011.
Chan, Syapri. “Penyertaan Modal Sementara Bank untuk mengatasi Akibat
Kegagalan Kredit (Debt Of Equity Swap).” Tesis, Pascasarjana Ilmu Hukum
USU, 2005.
Darryanto, Robertus. “Analisis Rekapitalisasi Sebagai Program Penyehatan
Perbankan di Indonesia pada Bank BPD Jawa Tengah.” Tesis, Pascasarjana Magister Manajemen Universitas Diponegoro, 2000.
Marlon M. Sihombing, John. “Upaya Penyelesaian Sengketa Kredit Perbankan
pada Bank Swasta Di Kota Medan pada PT. Bank Eksekutif Internasional
Tbk Cabang Medan.” Tesis, Pascasarjana Ilmu Hukum USU, 2004.
Melati Siagian, Katharina. “Penerapan Prinsip Kehati-hatian dalam Pemberian
Kredit pada PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk).” Tesis,
Pascasarjana Ilmu Hukum USU, 2006.
Novrilanimisy. “Pelaksanaan Resturkturisasi Kredit Macet berdasarkan Peraturan
Bank Indonesia dan Hambatannya pada PT Bank Rakyat Indonesia.” Tesis,
Pascasarjana Ilmu Hukum USU, 2004.
Sitompul, Zulkarnain. “Perlindungan Dana Nasabah Bank, Suatu Gagasan tentang
Pendirian Lembaga Penjamin Simpanan Di Indonesia.” Program Pasca
Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002.
Supaino, “Analisis Kesehatan Bank Berdasarkan Camel di Indonesia.” Tesis,
Pascasarjana Ekonomi Pembangunan USU, 2010.
Yustian, Yuyun. “Pengaruh Krisis Ekonomi Terhadap Tingkat Kesehatan Bank
Konvensional Dan Bank Syariah.” Tesis, Pascasarjana Kajian Timur
Tengah Dan Islam Universitas Indonesia, 2004.
F. Pidato
Nasution, Bismar “Aspek Hukum Peran Bank Sentral dalam Stabilitas Sistem
Keuangan (SSK)”,Disampaikan pada “Focus Group Discussion (FGD)
G. Website
Hermana, Budi. “Perbandingan Tatacara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank,”
http://pena.gunadarma.ac.id/perbandingan-tatacara-penilaian-tingkat-kesehatan-bank/ (diakses tanggal 29 September 2015).
http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/index.php (diakses tanggal 29 Oktober 2015).
http://blog.pasca.gunadarma.ac.id/2012/07/28/berkenalan-dengan-manajemen-risiko-perbankan/ (diakses tanggal 30 November 2015).
http://bisnis.liputan6.com/read/2314978/ini-penyebab-perbankan-bisa-bangkrut (diakses tanggal 27 November 2015).
https://dosen.perbanas.id/car-capital-adequacy-ratio/ (diakses tanggal 25
November 2015).
http://kartika.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/3198/Materi+1+PengenalanP erbankan.pdf (diakses tanggal 26 Oktober 2015)
http://www.bi.go.id/id/perbankan/ssk/ikhtisar/definisi/Contents/Default.aspx (diakses tanggal 18 November 2015.
Siregar, Agus E. “Rencana Penerapan CAR 12 Persen dan Transparansi
Perbankan”, http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/blob/
BAB III
PENILAIAN KESEHATAN BANK UMUM
A. Hubungan Keterkaitan antara Modal dan Kesehatan Bank Umum
Kesehatan merupakan hal yang penting dalam kehidupan manusia karena
kesehatan memberikan gambaran tentang keadaan baik atau bruknya manusia
tersebut dalam hal rohani dan jasmani. Sama halnya dengan bank, kesehatan
menjadi salah satu gambaran bagi pemerintah atau masyarakat apakah bank
tersebut aman atau tidak aman.
Pasal 29 ayat (2) UU Perbankan menyatakan Bank wajib memelihara
tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset,
kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang
berhubung-an dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai
dengan prinsip kehati-hatian.103
Sigit Triandaru dan Totok Budisantoso mengemukakan Kesehatan bank
merupakan kemampuan suatu bank untuk melakukan kegaiatan operasi perbankan
secara normal dan mampu memenuhi semua kewajibannya dengan baik dengan
cara–cara yang sesuai dengan peraturan perbankan yang berlaku.104
Seperti diketahui bahwa fungsi bank adalah menghimpun dana dari
masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat untuk berbagai
tujuan. Dari fungsi yang ada dapat dikatakan bahwa dasar beroperasinya bank
adalah kepercayaan, baik kepercayaan masyarakat terhadap perbankan dan
103 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Jo Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, Bab V, Pasal 29 ayat (2).
104
sebaliknya. Oleh sebab itu untuk tetap menjaga kepercayaan tersebut kesehatan
bank perlu diawasi dan dijaga.105
Modal mempunyai hubungan keterkaitan dengan kesehatan bank. Hal ini
dapat diketahui dari pengkategorian Modal (Capital) sebagai salah satu faktor
yang diperlukan untuk menentukan apakah sebuah bank itu sehat atau tidak. Pasal
6 huruf d PBI No. 13/1/PBI/2011 tentang penilaian kesehatan bank umum dan
Pasal 7 ayat (4) menyatakan Penilaian terhadap faktor permodalan (capital)
meliputi penilaian terhadap tingkat kecukupan modal.106 Perhitungan modal bank
melalui penilaian tingkat kesehatan bank dilakukan untuk mengetahui apakah
modal bank tersebut sudah sesuai dengan aturan pemerintah mengenai kecukupan
modal bagi sebuah bank untuk menjalankan kegiatan usahanya.
Penyediaan modal sesuai peraturan, idealnya bank harus menyediakan
modal setiap kali terjadi perubahan pada struktur aktiva pada neraca. Penyesuaian
ini bertujuan agar bank mampu untuk menutupi risiko melalui modal sesuai
peraturan pada satu sisi. Pada sisi lain modal yang ditanam tidak efisien jika
jumlahnya tidak berlebihan. Namun pada pelaksanaannya sangat sulit untuk
menyediakan modal setiap saat, mengingat usaha bank sangat dinamis. Bank
dapat setiap saat melakukan aktiva transaksi baru yang menimbulkan risiko aktiva
yang baru. Demikian juga sebaliknya, kontrak yang telah selesai dengan baik akan
mengurangi risiko aktiva.107
Apabila modal sendiri bank meningkat maka kesehatan bank yang terkait
dengan rasio permodalan (CAR) semakin meningkat. Sejak periode krisis sampai
105 Januarti Indira, “
Variabel Proksi CAMEL dan Karakteristik Bank Lainnya Untuk Memprediksi Kebangkrutan Bank di Indonesia,” Jurnal Bisnis Strategi, Volume X, hlm. 3.
106
Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/1/PBI/2011 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, Bab III, Pasal 6 huruf d .
107
dengan saat ini CAR menjadi acuan utama dalam menentukan kesehatan bank.
(SK Dir. BI April 1999). Hal ini juga disebabkan karena rata-rata CAR selama
periode krisis sampai dengan akhir 2001 hanya mencapai 4% dan sejak awal 2002
bank diwajibkan memenuhi CAR minimal 8%. Kebijakan ini berawal dari
kebijakan bank dunia (World Bank) yang ditindaklanjuti oleh bank Indonesia
dengan kebijakan 29 Mei 1993 (Pakmei, 1993). Besarnya CAR minimal 8%
tersebut berlaku bagi seluruh bank secara internasional.108
Pada awal januari 2004, siaran pers Indonesia secara resmi mengumumkan
implementasi Arsitektur Perbankan Indonesia (API) di mana salah satu program
API adalah mempersyaratkan modal minimum bagi bank umum (termasuk BPD)
menjadi 100 miliar selambat-lambatnya pada tahun 2011.109 Setelah melakukan
penyelesaian penyusunan cetak biru API pada tahun 2003, maka sejak tahun 2004
secara bertahap dalam jangka waktu lima sampai dengan sepuluh tahun ke depan
API akan diimplementasikan dengan visi yang jelas. Visi API adalah menciptakan
sistem perbankan yang sehat, kuat, dan efisien guna menciptakan kestabilan
ekonomi nasional.110
Hubungan keterkaitan antara modal dengan kesehatan bank dapat diketahui
melalui kebijakan pemerintah yaitu implementasi Arsitektur Perbankan Indonesia.
Hal ini dapat diketahui dari salah satu program kegiatan API, yaitu program
penguatan struktur perbankan nasional. Program ini bertujuan untuk memperkuat
permodalan bank umum (konvensional dan syariah) dalam rangka meningkatkan
kemampuan bank mengelola usaha maupun risiko, mengembangkan teknologi
informasi, maupun meningkatkan skala usahanya guna mendukung penigkatan
108Andreani Caroline Barus, Op.Cit., hlm. 21. 109
Julius R. Latumerissa, Op.Cit., hlm. 185.
110
kapasitas pertumbuhan kredit perbankan. Implementasi program penguatan
permodalan bank dilaksanakan secara bertahap.111
Upaya penigkatan modal bank tersebut dilakukan dengan membuat business
plan yang memuat target waktu, cara, dan tahap pencapaian. Adapun cara
pencapaiannya dapat dilakukan melalui:
1. penambahan modal baru baik dari stakeholder lama maupun investor baru;
2. merger dengan bank (atau beberapa bank) lain untuk mencapai persyaratan
modal minimum baru;
3. penerbitan saham baru atau secondary offering dipasar modal; dan
4. penerbitan subordinated loan.
Dengan demikian dalam sepuluh sampai lima belas tahun ke depan (dimulai
dari tahun API dikumandangkan) program peningkatan permodalan tersebut
diharapkan akan mengaruh pada terciptanya struktur perbankan yang lebih
optimal, yaitu terdapatnya:112
1. bank yang mengarah kepada bank internasional sebanyak 2 atau 3 bank dengan
kapasitas dan kemampuan untuk beroperasi diwilayah internasional serta
memiliki modal diatas Rp50 triliun;
2. bank nasional sebanyak 3-5 bank yang memiliki cakupan usaha yang sangat
luas dan beroperasi secara nasional serta memiliki modal antara Rp10
triliun-Rp50 triliun;
3. bank yang kegiatan usahanya terfokus pada segmen usaha tertentu sesuai
dengan kapabilitas dan kompetensi masing-masing bank sebanyak 30-50 bank.
Bank-bank tersebut memiliki modal antara Rp100 miliar-Rp10 triliun; dan
111
Ibid.
112
4. bank perkreditan rakyat (BPR) dan bank dengan kegiatan usaha terbatas yang
memiliki modal di bawah Rp100 miliar.
Sistem perbankan yang sehat dibangun dengan permodalan yang kuat
sehingga akan mendorong kepercayaan nasabah (stakeholder) yang pada akhirnya
akan mampu memperkuat permodalan melalui pemupukan laba ditahan.
Selanjutnya perbankan nasional yang beroperasi secara efisien akan mampu
meningkatkan daya saingnya sehingga tidak hanya “jago kandang” yaitu hanya
mampu bersaing pada segmen pasar domestik tetapi justru diharapkan produk dan
jasa perbankan yang ditawarkan bank nasional mampu bersaing di pasar
internasional. Oleh karenanya 10-15 tahun kedepan, API mengiginkan adanya 2
sampai 3 bank dengan skala internasional, 3 sampai 5 bank nasional, 30 sampai
50 bank yang kegiatan usahanya terfokus pada segmen usaha tertentu, dan BPR
serta bank yang kegiatan usahanya terbatas.113
Namun perlu diketahui juga bahwa modal bank yang melimpah tidak bisa
dijadikan tonggak bahwa bank tersebut sepenuhnya sehat dan aman. Karena untuk
menilai sebuah bank sehat atau tidak, diperlukan juga faktor-faktor yang lain yaitu
profil risiko (risk profile), good corporate governance (GCG), dan rentabilitas
(earnings). Kondisi modal yang sehat bukan berarti secara pasti kondisi likuiditas,
rentabilitas, kualitas aktiva dan manajemen juga sehat. Modal yang sehat hanya
memberikan konstribusi bagi kesehatan bank. Kesehatan permodalan harus
dibedakan dengan kesehatan bank.114 Namun kesehatan permodalan
mempengaruhi kesehatan bank. Modal bank dikatakan sehat apabila memenuhi
batas minimum penyediaan modal yang diatur dalam Pasal 2 ayat (3) PBI No.
113
Ibid., hlm. 192.
114
15/12/PBI/2013 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum yaitu paling
rendah sebesar 8% (delapan persen) dari Aset Tertimbang Menurut Risiko.
Penyediaan modal minimum disesuaikan dengan peringkat profil risiko bank.
Semakin tinggi peringkat, semakin besar pula modal yang disediakan. Apabila
bank tersebut tidak mampu menyediakan modal minimumnya sesuai profil risiko,
maka dapat dikatkan kondisi bank tersebut tidak sehat. Kecukupan modal
memberikan gambaran bank tersebut sehat atau tidak sehat.
B. Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum
Untuk menilai suatu kesehatan bank dapat dilihat dari berbagi segi.
Penilaian ini bertujuan untuk menentukan apakah bank tersebut dalam kondisi
yang sehat, cukup sehat, kurang sehat dan tidak sehat, sehingga Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) sebagai pengawas dan pembina bank dapat memberikan arahan
atau petunjuk bagaimana bank tersebut harus dijalankan atau bahkan dibubarkan
kegiatan operasinya.115
Penilaian kesehatan bank umum sebagai bentuk upaya pengawasan bank
umum oleh OJK. Melalui hasil dari penilaian ini OJK dapat mengambil
tindakan-tindakan yang harus dilakukan terhadap bank tersebut. Penilaian kesehatan bank
umum dapat juga dikatakan sebagai sarana untuk menyehatkan bank. Dikarenakan
kesehatan bank yang merupakan cerminan kondisi dan kinerja bank merupakan
sarana bagi otoritas pengawas dalam menetapkan strategi dan fokus pengawasan
terhadap bank. Pada penjelasan Pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa Kesehatan
Bank harus dipelihara dan/atau ditingkatkan agar kepercayaan masyarakat
115
terhadap Bank dapat tetap terjaga. Selain itu, Tingkat Kesehatan Bank digunakan
sebagai salah satu sarana dalam melakukan evaluasi terhadap kondisi dan
permasalahan yang dihadapi Bank serta menentukan tindak lanjut untuk
mengatasi kelemahan atau permasalahan Bank, baik berupa corrective action oleh
Bank maupun supervisory action oleh OJK.116 Sehingga kesehatan bank tersebut
dapat diketahui, apakah bank tersebut kondisinya baik atau buruk.
Pasal 30 ayat (1) UU Perbankan mengutarakan Bank wajib menyempaikan
kepada Bank Indonesia, segala keterangan, dan penjelasan mengenai usahanya
menurut tata cara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.117 Penilaian kesehatan
bank merupakan salah satu keterangan dan penjelasan mengenai usahanya yang
harus disampaikan kepada Bank Indonesia. Dalam ayat (2) juga dinyatakan Bank
atas permintaan Bank Indonesia, wajib memberikan kesempatan bagi pemeriksaan
buku-buku dan berkas-berkas yang ada padanya, serta wajib memberikan bantuan
yang diperlukan dalam rangka memperoleh kebenaran dari segala keterangan,
dokumen dan penjelasan yang dilaporkan oleh bank yang bersangkutan.118
Penilaian kesehatan bank umum yang baru mulai diberlakukan pada tahun
2012. Dasar hukumnya adalah PBI No. 13/1/PBI/2011 tanggal 5 Januari 2011
tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum. PBI tersebut menggantikan
PBI sebelumnya No. 6/10/PBI/2004 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan
Bank Umum yang telah berlaku selama hampir tujuh tahun. Petunjuk teknis
116
Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/1/PBI/2011 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, Penjelasan Pasal 2 ayat (1).
117
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, Bab V, Pasal 30 ayat (1).
118
pelaksanaanya mengacu ke Surat Edaran Bank Indonesia No.13/ 24 /DPNP
tanggal 25 Oktober 2011.119
Struktur atau komponen penilaian bank yang lama tertuang dalam Peraturan
Bank Indonesia nomor 6/10/PBI/2004 tanggal 12 April 2004 serta ketentuan
pelaksanaannya sesuai Surat Edaran Bank Indonesia No.6/23/DPNP tanggal 31
Mei 2004. Semua komponen pada CAMELS 2004 lebih mengarah pada
ukuran-ukuran kinerja perusahaan secara internal, mulai dari Capital, Asset Quality,
Management, Earning Power, dan Liquidity, serta Sensitivity to Market Risk.
Sistem penilaian dengan 5 faktor tersebut sering disebut dengan CAMELS Rating
System.120
Sebelum CAMELS, cara menghitung tingkat kesehatan bank yang lebih
“jadul” lagi yaitu CAMEL yang berlaku mulai tahun 1991 berdasarkan Surat
Edaran BI No. 23/21/BPPP tanggal 28 Februari 1991. Pada CAMEL, sebagian
besar proses penilaian kesehatan bank menggunakan rumus-rumus matematika
dan sistem scoring dari hasil penilaian untuk setiap parameter, yaitu dengan skala
0 sampai 100. Dan nilai akhir dari kesehatan bank pun akhirnya berupa angka
yang selanjutnya menentukan klasifikasi kesehatan bank yaitu “Sehat”, “Cukup
Sehat”, “Kurang Sehat” dan “Tidak Sehat”. Indikator pada CAMEL tersebut juga
sangat sederhana.121
119 Budi Hermana, “Perbandingan Tatacara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank,”
http://pena.gunadarma.ac.id/perbandingan-tatacara-penilaian-tingkat-kesehatan-bank/ (diakses tanggal 29 September 2015).
120 Budi Hermana, “Perbandingan Tatacara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank,”
http://pena.gunadarma.ac.id/perbandingan-tatacara-penilaian-tingkat-kesehatan-bank/ (diakses tanggal 29 September 2015).
121 Budi Hermana, “Perbandingan Tatacara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank,”
Dengan dikeluarkannya PBI No. 13/1/PBI/2011, maka bank umum
diwajibkan melakukan penilaian tingkat kesehatan bank menggunakan tata cara
yang tercantum dalam PBI Nomor 13/1/PBI/2011 dengan menggunakan
pendekatan berdasarkan Risiko (Risk based Bank Rating) seperti yang diutarakan
dalam Pasal 2 ayat (3) PBI No. 13/1/PBI/2011. Pasal 6 PBI No. 13/1/PBI/2011
mengutarakan penilaian tingkat kesehatan bank secara individual dengan
menggunakan pendekatan risiko (risk-based Bank Rating) dengan cakupan
penilaian terhadap faktor-faktor sebagai berikut:122
1. profil risiko (risk profile);
2. good corporate governance (GCG);
3. rentabilitas (earnings); dan
4. permodalan (capital).
Tahap-tahap penilaian bank pada RGEC (risk profile, good corporate
governance, earnings, dan capital) boleh disebut model penilaian kesehatan bank
yang sarat dengan manajemen resiko. Menurut BI dalam PBI tersebut,
Manajemen Bank perlu memperhatikan prinsip-prinsip umum berikut ini sebagai
landasan dalam menilai Tingkat Kesehatan Bank: Berorientasi Risiko,
Proporsionalitas, Materialitas dan Signifikansi, serta Komprehensif dan
Terstruktur.123
Cara perhitungan pada RGEC – dibandingkan metode CAMELS – relatif
berbeda signifikan pada komponen “R“, yaitu Risk Profile. Kini, penilaian Risk
122
Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/1/PBI/2011 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, Bab I, Pasal 2 ayat (3).
123 Budi Hermana, “Perbandingan Tatacara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank,”
Profile relatif lebih “ribet” karena mengunakan matriks dengan dua dimensi. Dulu
– maksudnya dengan CAMELS – bisa langsung diketahui nilai peringkat (skornya
antara 1 sampai 5) jika sudah mengetahui nilai indikatornya. Namun kini, ada
aspek lain yang perlu dipertimbangkan sebelum memperoleh nilai akhir untuk
indikator tersebut. Misalnya “ratio debitur inti terhadap total kredit” sebuah bank
adalah ….%. Tahap pertamanya sama dengan metoda CAMELS yaitu
menentukan peringkat jika diketahui nilai indikatornya. Penilaian untuk faktor
lainnya, yaitu faktor “G, E, dan C” secara umum sama seperti penilaian dengan
CAMELS sebelumnya. Semua komponen menggunakan indikator/komponen
penilaian yang tidak berubah drastis. 124
Terdapat beberapa prinsip-prinsip umum dalam penilaian tingkat kesehatan
bank. Manajemen Bank perlu memperhatikan prinsip-prinsip umum sebagai
landasan dalam menilai Tingkat Kesehatan Bank. Prinsip- prinsip umum dalam
penilaian tingkat kesehatan bank umum tercantum dalam Surat edaran No.
13/24/DPNP yakni:125
1. berorientasi risiko;
2. proporsionalitas;
3. materialitas dan signifikasi;
4. komprehensif dan terstruktur.
Pasal 3 ayat 1 PBI No. 13/1/PBI/2011 mengutarakan Bank wajib melakukan
penilaian sendiri (self assessment) Tingkat Kesehatan Bank dengan menggunakan
pendekatan Risiko (Risk-based Bank Rating) baik secara individual maupun
124 Budi Hermana, “Perbandingan Tatacara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank,”
http://pena.gunadarma.ac.id/perbandingan-tatacara-penilaian-tingkat-kesehatan-bank/ (diakses tanggal 29 September 2015).
125
secara konsolidasi.126 Pasal 9 ayat (1) PBI No. 13/1/PBI/2011 mengutarakan Peringkat Komposit Kesehatan Bank ditetapkan berdasarkan analisis secara
komprehensif dan terstruktur terhadap peringkat setiap faktor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) dengan
memperhatikan materialistis dan signifikasi masing-masing faktor.127 Selanjutnya
dalam Pasal 9 ayat (2) membagi kategori peringkat komposit sebanyak 5 tingkatan
yakni:128
1. Peringkat Komposit 1 (PK-1).
2. Peringkat Komposit 2 (PK-2).
3. Peringkat Komposit 3 (PK-3).
4. Peringkat Komposit 4 (PK-4).
5. Peringkat Komposit 5 (PK-5).
Peringkat komposit memberikan artian bahwa semakin rendah peringkat
komposit bank semakin baik kondisi dan keadaan bank tersebut begitu juga
sebaliknya semakin tinggi peringkat komposit bank tersebut mencerminkan
kondisi dan keadaan bank tersebut sangat buruk. Setelah dilakukan penilaian oleh
Bank Indonesia dan/atau hasil self assesment oleh Bank akan dilakukan tindak
lanjut hasil penilaian tingkat kesehatan bank. Pasal 13 ayat (1) PBI No.
13/1/PBI/2011 dinyatakan dalam hal berdasarkan hasil penilaian Tingkat
126 Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/1/PBI/2011 tentang Penilaian
Tingkat Kesehatan Bank Umum, Bab II, Pasal 3 ayat (1).
127 Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/1/PBI/2011 tentang Penilaian
Tingkat Kesehatan Bank Umum, Bab III, Pasal 9 ayat (1).
128
Kesehatan Bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia dan/atau hasil self
assesment oleh Bank terdapat:129
1. faktor tingkat kesehatan bank yang ditetapkan dengan peringkat 4 atau
peringkat 5;
2. peringkat komposit tingkat kesehatan Bank yang ditetapkan dengan peringkat 4
atau peringkat 5; dan/atau
3. peringkat komposit tingkat kesehatan bank yang ditetapkan dengan peringkat
3, namun terdapat permasalahan signifikan yang perlu diatasi agar tidak
mengganggu kelangsungan usaha bank, maka direksi, dewan komisaris,
dan/atau pemegang saham pengendali bank wajib menyampaikan action plan
kepada Bank Indonesia.
Menurut penjelasan Pasal 13 ayat (1) PBI No. 13/1/PBI/2011 action plan
memuat langkah-langkah perbaikan yang akan dilaksanakan oleh bank dalam
rangka mengatasi permasalahan signifikan yang dihadapi beserta target waktu
penyelesaiannya. Action plan (rencana tindakan) yang disampaikan oleh bank
merupakan komitmen bank kepada Bank Indonesia. Pasal 13 ayat (2) PBI No.
13/1/PBI/2011 mengutarakan Bank Indonesia berwenang meminta bank untuk
melakukan penyesuaian terhadap action plan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1). Penyampaian action plan oleh bank diatur dalam ayat (3) yaitu:130
1. sesuai batas waktu tertentu yang ditetapkan Bank Indonesia, untuk action plan
yang merupakan tindak lanjut dari hasil penilaian tingkat kesehatan bank oleh
Bank Indonesia;
129
Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/1/PBI/2011 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, Bab V, Pasal 13 ayat (1).
130
2. paling lambat pada tanggal 15 Agustus, untuk penilaian tingkat kesehatan bank
posisi akhir bulan Juni dan tanggal 15 Februari untuk penilaian tingkat
kesehatan bank posisi akhir bulan Desember, untuk action plan yang
merupakan tindak lanjut dari hasil self assesment bank.
Pasal 15 PBI No. 13/1/PBI/2011 menyatakan Bank Indonesia berwenang
melakukan pemeriksaan terhadap pelaksanaan action plan oleh bank. Penilaian
kesehatan bank dilakukan setiap tahun, apakah ada peningkatan atau penurunan.
Pasal 3 ayat (2) PBI No. 13/1/PBI/2011 mengemukakan penilaian sendiri (self
assessment) tingkat kesehatan bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan paling kurang setiap semester untuk posisi akhir bulan Juni dan
Desember dan selanjutnya dalam ayat (5) huruf a dikatakan untuk penilaian
tingkat kesehatan bank secara individual, paling lambat pada tanggal 31 Juli untuk
penilaian tingkat kesehatan bank posisi akhir bulan Juni dan tanggal 31 Januari
untuk penilaian tingkat kesehatan bank posisi akhir bulan Desember dan ayat (3)
mengutarakan Bank wajib melakukan pengkinian self assessment tingkat
kesehatan bank sewaktu-waktu apabila diperlukan. Penjelasan Pasal 3 ayat (3)
PBI No. 13/1/PBI/2011 tentang pengkinian self assessment Tingkat Kesehatan
Bank sewaktu-waktu dilakukan antara lain dalam hal:131
1. kondisi keuangan bank memburuk;
2. bank menghadapi permasalahan antara risiko likuiditas dan permodalan; atau
3. kondisi lainnya yang menurut Bank Indonesia perlu dilakukan pengkinian
penilaian tingkat kesehatan.
131
Pasal 3 ayat (4) PBI No. 13/1/PBI/2011 menetapkan bahwa hasil self
assessment tingkat kesehatan bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat
(3) yang telah mendapat persetujuan dari direksi wajib disampaikan kepada dewan
komisaris.132 Penjelasan Pasal 3 ayat (4) mengutarakan bagi kantor cabang bank
asing, hasil self assessment disampaikan kepada pihak yang sesuai struktur
organisasi internal bank bertanggung jawab untuk mengawasi secara langsung
kegiatan dan kinerja kantor cabang bank asing di Indonesia.133
Pasal 4 ayat (1) mengutarakan wewenang Bank Indonesia untuk melakukan
penilaian tingkat kesehatan bank setiap semester untuk posisi akhir bulan Juni dan
Desember dan Pasal 4 ayat (2) mengatakan Bank Indonesia berhak melakukan
pengkinian penilaian kesehatan bank sewaktu-waktu apabila diperlukan. Pasal 4
ayat (3) juga mengutarakan penilaian tingkat kesehatan bank sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan pengkinian penilaian tingkat kesehatan bank
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan,
laporan berkala yang disampaikan bank, dan/atau informasi lain. Penjelasan Pasal
4 ayat (3) mengutarakan informasi lain dapat berupa:134
1. informasi hasil penilaian dari otoritas lain yang berwenang;
2. informasi yang diketahui secara umum seperti hasil penilaian dari lembaga
pemeringkat dan informasi dari media masa; dan/atau
3. Data atau informasi terkait kantor cabang Bank asing mengenai kondisi
keuangan dan peringkat (rating) dari kantor pusatnya di luar negeri yang
132 Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/1/PBI/2011 tentang Penilaian
Tingkat Kesehatan Bank Umum, Bab II, Pasal 3 ayat (4).
133
Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/1/PBI/2011 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, Penjelasan Pasal 3 ayat (4).
134
dihasilkan oleh otoritas yang berwenang atau lembaga pemeringkat
internasional.
Ketika melakukan penilaian, barangkali terdapat perbedaan-perbedaan hasil
penilaian tingkat kesehatan bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dengan hasil self assesment penilaian
tingkat kesehatan bank. Pasal 5 mengutarakan dalam rangka pengawasan bank,
apabila terdapat perbedaan hasil penilaian tingkat kesehatan bank yang dilakukan
oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dengan hasil self
assesment penilaian tingkat kesehatan bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
maka yang berlaku adalah hasil penilaian tingkat kesehatan bank yang dilakukan
oleh Bank Indonesia.
Ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (2) bahwa dalam rangka melaksanakan
tanggung jawab atas kelangsungan usaha bank, direksi dan dewan komisaris
bertanggung jawab untuk memelihara dan memantau tingkat kesehatan bank serta
mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memelihara dan/atau
meningkatkan tingkat kesehatan bank bagi bank yang kesehatannya terus
meningkat tidak menjadi masalah, akan tetapi bagi bank yang kurang sehat harus
mendapat pengarahan atau sanksi dari Bank Indonesia. Bank Indonesia dapat
menyarankan untuk melakukan perubahan manajemen, bergabung, konsolidasi,
akuisisi atau malah dilikuidasi keberadaanya jika memang kondisi bank tersebut
sudah parah.135
135
C. Sanksi atas Penurunan Tingkat Kesehatan Bank Umum
Praktik hukum perbankan mengandung maksud penerapan hukum secara
luas di bidang perbankan, yang pada dasarnya fungsionalisasi hukum dalam
pekerjaan yang berhubungan dengan industri perbankan. Praktik hukum
perbankan tidak dapat lain, kecuali untuk penyelenggaraan operasional industri
perbankan yaitu dengan cara menerapkan peraturan yang abstrak terhadap
operasional industri perbankan yang konkrit. Dalam ruang lingkup praktik hukum
perbankan teresbut mencakup pada penyelesaian problem dan pengambilan
keputusan dalam suatu kegiatan operasional industri perbankan. Adapun
penalaran yang digunakannya, diantaranya, berupa penalaran silogisme, yaitu
suatu tipe penalaran dengan cara memasukkan suatu kejadian nyata kedalam suatu
peraturan yang umum atau suatu prinsip (asas hukum), untuk kemudian dinilai
apakah penempatan kejadian tersebut kedalam jangkauan peraturan tersebut bisa
diterima atau tidak. Jawaban tersebut menentukan dapat atau tidaknya suatu
peraturan hukum perbankan diterapkan terhadap suatu kejadian tertentu dalam
kegiatan perbankan.136
Sanksi merupakan eksistensi hukum perbankan. Kata sanksi berasal dari
bahasa Belanda yaitu “sanc tie” yang artinya alat pemaksa sebagai hukuman jika
tidak taat kepada perjanjian.137 Sedangkan menurut kamus bahasa besar bahasa
Indonesia online, Sanksi berarti tanggungan (tindakan-tindakan, hukuman) untuk
memaksa orang menepati perjanjian atau menaati ketentuan.138
136
Muhammad Djumhana, Op.Cit., hlm. 56.
137 S. Wojo Wasito, Kamus Umum Belanda-Indonesia (Jakarta: Sinar grafika, 2004), hlm.
152.
138
Kamus istilah hukum karangan J.C.T. Simorangkir dkk, sanksi mempunyai
arti ancaman hukuman, merupakan suatu alat pemaksa guna ditaatinya suatu
kaidah (undang-undang).139 Pengertian sanksi apabila dilihat dari segi tugasnya,
sanksi adalah suatu jaminan bahwa sesuatu akan ditaati yang merupakan akibat
hukum (rechtgevolg) daripada pelanggaran suatu kaidah.140
Menurunnya tingkat kesehatan bank diketahui dari menurunnya peringkat
komposit kesehatan bank yaitu profil risiko (risk profile), good corporate
governance (GCG), Rentabilitas (earnings), dan permodalan (capital).
Menurunnya peringkat komposit bank umum dikarenakan beberapa hal yakni:
1. Kerugian yang dihadapi bank dari risiko inheren komposit tergolong
tinggi/sangat tinggi selama periode waktu tertentu di masa datang.
2. Kualitas penerapan manajemen risiko secara komposit kurang/tidak memadai.
Terdapat kelemahan signifikasi pada berbagai aspek manajemen risiko di mana
tindakan penyelesaiannya di luar kemampuan manajemen.
3. Kerugian yang dihadapi bank dari risiko kredit, risiko pasar, risiko likuiditas,
risiko operasional, risiko hukum, risiko stratejik, risiko kepatuhan, risiko
reputasi tergolong tinggi/sangat tinggi selama periode waktu tertentu di masa
datang.
4. Kualitas penerapan manajemen risiko kredit, risiko pasar, risiko likuiditas,
risiko operasional, risiko hukum, risiko stratejik, risiko kepatuhan, risiko
reputasi kurang/tidak memadai. Terdapat kelemahan signifikasi pada berbagai
aspek manajemen risiko kredit, risiko pasar, risiko likuiditas, risiko
139J.C.T. Simorangkir dkk., Kamus Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm. 152. 140
operasional, risiko hukum, risiko stratejik, risiko kepatuhan, risiko reputasi di
mana tindakan penyelesaiannya di luar kemampuan manajemen.
5. Manajemen bank telah melakukan penerapan good corporate governance
yang secara umum kurang/tidak baik. Hal ini tercermin dari pemenuhan yang
kurang/tidak memadai atas prinsip-prinsip good corporate governance, maka
secara umum kelemahan tersebut sangat signifikan dan sulit untuk diperbaiki
oleh manajemen bank.
6. Rentabilitas kurang/tidak memadai, laba tidak memenuhi target dan
kurang/tidak dapat diandalkan serta memerlukan peningkatan kinerja laba
segera untuk memastikan kelangsungan usaha bank.
7. Bank memiliki kualitas dan kecukupan permodalan yang kurang/tidak
memadai relatif terhadap profil risikonya, yang disertai dengan pengelolaan
permodalan yang lemah/sangat lemah dibandingkan dengan karakteristik, skala
usaha, dan kompleksitas usaha bank.
Hal-hal yang disebutkan diatas mempengaruhi hasil penilaian kesehatan
bank umum. Peringkat komposit merupakan cerminan keadaan bank itu sendiri.
Apabila Peringkat Komposit Bank umum turun ke peringkat komposit 4 (PK-4)
yang mencerminkan kondisi bank kurang sehat, dan peringkat komposit 5 (PK-5)
yang mencerminkan kondisi bank umum tidak sehat. Kedua peringkat itu
menggambarkan bank tersebut berada dalam kondisi yang tidak sehat.
Penurunan tingkat kesehatan bank dapat menciptakan kesulitan bagi bank
dan membahayakan kelangsungan usahanya. Apabila tingkat kesehatan bank
menurun menjadi kurang sehat atau tidak sehat, serta dalam waktu sembilan bulan
tiga bulan berturut-turut, maka mungkin saja terjadi pencabutan izin usaha bank
yang bersangkutan.141 Hal ini diutarakan dalam Pasal 37 ayat (2) yakni:142
1. tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum cukup untuk mengatasi
kesulitan yang dihadapi bank; dan atau
2. menurut penilaian Bank Indonesia keadaan suatu bank dapat membahayakan
sistem Perbankan, Pimpinan Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha bank
dan memerintahkan Direksi bank untuk segera menyelenggarakan Rapat
Umum Pemegang Saham guna membubarkan badan hukum bank dan
membentuk tim likuidasi.
Selanjutnya dalam Pasal 37 ayat (3) disebutkan dalam hal Direksi bank
tidak menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2), Pimpinan Bank Indonesia meminta kepada pengadilan untuk
mengeluarkan penetapan yang berisi pembubaran badan hukum bank, penunjukan
tim likuidasi, dan perintah pelaksanaan likuidasi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. 143
Pasal 17 PBI No. 13/1/PBI/2011 menyatakan bagi bank yang melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan dalam PBI No. 13/1/PBI/2011 tentang penilaian
kesehatan bank umum akan dikenakan sanksi administratif sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 52 UU Perbankan berupa:144
1. teguran tertulis;
2. penurunan tingkat kesehatan bank;
141http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/analisis_tingkat_kesehatan_bank/f.Bab_I_Pe
nilaian_Tingkat_Kesehatan_Bank.pdf (diakses tanggal 17 November 2015)
142 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Jo Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, Bab V, Pasal 37 ayat (2).
143 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Jo Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, Bab V, Pasal 37 ayat (3).
144
3. pembekuan kegiatan usaha tertentu; dan/atau
4. pencantuman pengurus dan/atau pemegang saham bank dalam daftar
pihak-pihak yang mendapatkan predikat tidak lulus dalam penilaian kemampuan dan
BAB IV
KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM
SEBAGAI SALAH SATU LANGKAH PENYEHATAN PERBANKAN
A. Kemampuan Bank Menyerap Risiko terkait Peningkatan Kualitas dan
Kuantitas Permodalan menurut Peraturan Bank Indonesia No. 15/ 12
/PBI/2013
Sistem keuangan yang stabil adalah sistem keuangan yang kuat dan tahan
terhadap berbagai gangguan ekonomi sehingga tetap mampu melakukan fungsi
intermediasi, melaksanakan pembayaran dan menyebar risiko secara baik. Arti
stabilitas sistem keuangan dapat dipahami dengan melakukan penelitian terhadap
faktor-faktor yang dapat menyebabkan instabilitas di sektor keuangan.
Ketidakstabilan sistem keuangan dapat dipicu oleh berbagai macam penyebab dan
gejolak. Hal ini umumnya merupakan kombinasi antara kegagalan pasar, baik
karena faktor struktural maupun perilaku. Kegagalan pasar itu sendiri dapat
bersumber dari eksternal (internasional) dan internal (domestik). Risiko yang
sering menyertai kegiatan dalam sistem keuangan antara lain risiko kredit, risiko
likuiditas, risiko pasar dan risiko operasional.145
Bank, sebagaimana lembaga keuangan atau perusahaan umumnya dalam
menjalankan kegiatan guna mendapatkan hasil usaha (return) selalu dihadapkan
pada risiko. Risiko yang mungkin terjadi dapat menimbulkan kerugian bagi Bank
jika tidak terdeteksi serta dikelola sebagaimana mestinya. Untuk itu, Bank harus
mengerti dan mengenal risiko-risiko yang mungkin timbul dalam pelaksanaan
145
usahanya.146 Pengertian Risiko Menurut Pasal 1 angka 4 Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 tentang perubahan atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank
Umum adalah potensi terjadinya suatu peristiwa (events) yang dapat menimbulkan
kerugian bank.147
Risiko dapat dikatakan sebagai peluang terjadinya kerugian atau kehancuran
lebih luas risiko dapat diartikan sebagai suatu peluang terjadinya kerugian atau
kehancuran. Lebih luas risiko dapat diartikan sebagai kemungkinan terjadinya
hasil yang tidak diinginkan atau berlawanan dari yang diinginkan. Risiko dapat
menimbulkan kerugian apabila tidak diantisipasi serta tidak dikelola sebagaimana
mestinya. Sebaliknya risiko yang dikelola dengan baik akan memberikan ruang
pada terciptanya peluang untuk memperoleh suatu keuntungan yang lebih
besar.148
Peristiwa yang menyebabkan timbulnya risiko (risk event) didefiniskan
sebagai munculnya kejadian yang dapat menciptakan potensi kerugian atau hasil
yang tidak diinginkan. Risk event secara sederhana dapat didefinisikan sebagai
penyebab terjadinya suatu risiko. Peristiwa tersebut berasal dari kejadian internal
ataupun external. Kejadian internal yang dimaksud adalah kejadian yang berasal
dari dalam institusi itu sendiri, seperti kesalahan sistem, kesalahan manusia,
kesalahan prosedur, dan lain-lain. Kejadian internal pada dasarnya bisa dicegah
agar tidak terjadi.149
146 Fery N. Indroes dan Sugiarto, Op.Cit., hlm. 6. 147
Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 tentang perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum, Pasal 1 angka 4.
148
Fery N. Indroes dan Sugiarto, Op.Cit., hlm. 7.
149
Sebaliknya kejadian external adalah kejadian yang bersumber dari luar yang
tidak dapat dihindari. Peristiwa yang menyebabkan timbulnya risiko bagi bank
yang bersumber dari external seperti bencana alam, bencana akibat ulah manusia
seperti kerusuhan dan perang, krisis ekonomi global, krisis ekonomi regional,
krisis ekonomi lokal, hingga dampak sisitemik yang ditimbulkan oleh masalah
pada lembaga keuangan atau bank lain. Semua kejadian tersebut tidak dapat
diprediksi seberapa jauh pengaruhnya terhadap sebuah bank. Terhadap peristiwa
tersebut hanya dapat dikelola dan dikurang dampak kerugian yang diderita.150
Pemberlakuan PBI No. 15/12/PBI/2013 tentang kewajiban penyediaan
modal minimum untuk menggantikan atau mencabut peraturan sebelumnya yaitu
Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/18/PBI/2012 yang selanjutnya disebut PBI
No. 14/18/PBI/2012. Hal ini dilakukan pemerintah dikarenakan PBI No.
14/18/PBI/2012 tidak relevan lagi menjawab persoalan perbankan. Pemerintah
membuat, mencabut, mengubah, memperbaharuhi peraturan untuk mampu
mengatasi guncangan dari ketidakpastian risiko di masa yang akan datang.
Pemberlakuan Basel III sebagai acuan standar nasional menjadi pertimbangan di
keluarkannya PBI No. 15/12/PBI/2013 tentang kewajiban penyediaan modal
minimum.
Peningkatan kualitas dan kuantitas permodalan bank yang sesuai dengan
standar internasional diperlukan dalam rangka meningkatkan kemampuan bank
untuk menyerap risiko. Peningkatan kualitas modal dilakukan melalui
penyesuaian persyaratan komponen dan instrumen modal bank, serta penyesuaian
rasio-rasio permodalan. Untuk meningkatkan kualitas permodalan bank,
150
komponen dan persyaratan instrumen modal disesuaikan mengacu pada standar
internasional yang berlaku. Standar internasional yang berlaku dan menjadi acuan
adalah “Global Regulaltory Framework for More Resilent Banks and Banking
System” yang lebih dikenal dengan Basel III.
Komponen modal inti (Tier 1) bank terutama harus didominasi oleh
instrumen modal berkualitas tinggi, yaitu saldo laba yang merupakan bagian dari
modal inti utama atau common equity tier 1. Pada Pasal 11 ayat (1) angka a
disebutkan bahwa komponen modal disetor adalah bagian dari modal inti utama
atau common equity tier 1. Komponen modal disetor ditingkatkan kualitasnya
melalui penambahan persyaratan instrumen modal disetor yaitu tentang saldo laba
dan sumber pendanaan. Penambahan persyaratan instrumen modal disetor yaitu
tentang saldo laba yang diatur di dalam Pasal 12 ayat (1) huruf f PBI No.
15/12/PBI/2013 yang isinya adalah memiliki karakteristik pembayaran dividen
atau imbal hasil yaitu :151
1. berasal dari saldo laba dan/atau laba tahun berjalan;
2. tidak memiliki nilai yang pasti dan tidak terkait dengan nilai yang dibayarkan
atas instrumen modal; dan
3. tidak memiliki fitur preferensi.
Penambahan persyaratan instrumen modal disetor yaitu tentang sumber
pendanaan diatur dalam Pasal 12 ayat (1) huruf g yaitu sumber pendanaan tidak
berasal dari bank penerbit baik secara langsung atau tidak langsung. Persyaratan
tentang saldo laba dan sumber pendanaan tidak ada diatur dalam Peraturan
sebelumnya yang telah dicabut yakni PBI no 14/18/PBI/2012. Komponen modal
151
inti (Tier 1) bank terutama harus didominasi oleh instrumen modal berkualitas
tinggi, yaitu saham biasa (common stocks). Pasal 9 ayat (1) huruf a menyebutkan
bahwa modal inti tambahan merupakan bagian dari modal inti (Tier 1).
Saham biasa (common stocks) merupakan bagian dari persyaratan modal inti
tambahan hal ini terdapat dalam Pasal 1 huruf d PBI No. 15/12/PBI/2013 yaitu
memiliki fitur yang dikonversi menjadi saham biasa atau mekanisme write down
apabila bank berpotensi terganggu kelangsungan usahanya (point of non viability)
yang dinyatakan secara jelas dalam dokumentasi penerbitan/perjanjian.
Komponen modal inti lainnya yaitu modal inti tambahan (Additional Tier1)
ditingkatkan kualitasnya menjadi hanya dapat berupa instrumen keuangan yang
bersifat subordinasi dengan pembayaran dividen atau imbal hasil bersifat non
kumulatif serta memenuhi kriteria tertentu. Aturan peningkatan kualitas modal inti
tambahan bersifat subordinasi dengan jelas diatur di dalam Pasal 15 ayat (1) huruf
e yang isinya persyaratan instrumen modal inti tambahan harus bersifat
subordinasi pada saat likuidasi, yang secara jelas dinyatakan dalam dokumentasi
penerbitan/perjanjian.
Komponen modal inti tambahan merupakan penyempurnaan dari komponen
modal inovatif yang sebelumnya merupakan bagian dari modal inti Bank.
Terdapat perbedaan dalam hal persyaratan setelah komponen modal inovatif
disempurnakan menjadi komponen modal inti tambahan. Setelah disempurnakan
instrumen persyaratan modal inti tambahan diatur di dalam Pasal 15 ayat (1)
Peraturan Bank Indonesia 15/12/PBI/2013. Perbedaannya dengan komponen
modal inovatif yang diatur dalam Pasal 12 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia
“tersedia untuk menyerap kerugian yang terjadi sebelum likuidasi maupun pada
saat likuidasi” dihapuskan dan menjadi “bersifat subordinasi pada saat di
likuidasi, yang secara jelas dinyatakan dalam dokumentasi penerbitan perjanjian”
yang diatur dalam Pasal 15 ayat ( 1) huruf e, yang kedua persyaratan fitur opsi
beli pada Pasal 12 ayat (2) huruf f angka 1 PBI No. 14/18/PBI/2012 yaitu “hanya
dapat dieksekusi paling cepat 10 (sepuluh) tahun setelah instrumen modal
diterbitkan” diubah menjadi “hanya dapat dieksekusi paling cepat 5 (lima) tahun
setelah instrumen modal diterbitkan” yang diatur dalam Pasal 15 ayat (1) huruf i
angka 1 PBI No. 15/12/PBI/2013, yang ketiga Pasal 12 ayat (2) huruf f angka 3
PBI No. 14/18/PBI/2012 fitur step up dalam instrumen modal inovatif dihapuskan
ketika penyempurnaan menjadi komponen modal inti tambahan hal ini dapat
dilihat dalam Pasal 15 ayat (1) huruf c PBI No. 15/12/PBI/2013 yang isinya
instrumen modal inti tambahan tidak memiliki fitur step up, dan yang keempat
terdapat beberapa persyaratan yang ditambahkan dalam Pasal 15 ayat (1) PBI No
15/12/PBI/2013 yakni huruf j yang isinya tidak dapat dibeli oleh bank penerbit
dan/atau perusahaan anak, dan huruf k sumber pendanaan tidak berasal dari bank
penerbit baik secara langsung maupun tidak langsung, tidak memiliki fitur yang
menghambat proses penambahan modal di masa mendatang.
Sejalan dengan peningkatan kualitas modal inti, komponen dan persyaratan
instrumen modal pelengkap (Tier 2) juga ikut disesuaikan, antara lain dengan
menghapuskan kategori modal pelengkap yang diatur dalam Pasal 15 ayat (2) PBI
No. 14/18/PBI/2012 yaitu modal pelengkap level atas (Upper Tier 2) dan modal
pelengkap level bawah (Lower Tier 2). Sehingga dalam PBI No. 15/12/PBI/2013
pelengkap level bawah (Lower Tier 2), dan disebut hanya modal pelengkap saja
tidak terbagi lagi. Namun perhitungannya masih sama yaitu diperhitungkan paling
tinggi sebesar 100% (seratus persen) dari modal inti. Komponen modal pelengkap
tambahan (Tier 3) yang sebelumnya dapat diterbitkan hanya untuk perhitungan
modal untuk risiko pasar, dengan berlakunya Basel III menjadi dihapuskan.
Untuk memastikan kualitas atau tingkat permodalan Bank memadai,
dilakukan penyempurnaan rasio-rasio permodalan yang meliputi rasio modal inti
dan rasio modal inti utama. Pasal 11 ayat (2) PBI No. 15/12/PBI/2013
mengutarakan Bank wajib menyediakan modal inti paling rendah sebesar 6%
(enam persen) dari ATMR baik secara individual maupun secara konsolidasi
dengan perusahaan anak.152 Jumlah rasio modal inti ditingkatakan sebesar 1%. Ini
dapat diketahui dengan membandingkan penyediaan rasio modal inti dalam PBI
Nomor 15/12/PBI/2013 dengan rasio modal inti PBI No. 14/18/PBI/2012. Pasal 7
ayat (1) PBI No. 14/18/PBI/2012 mengutarakan Bank wajib menyediakan modal
inti paling kurang sebesar 5% (lima persen) dari ATMR baik secara individual
maupun secara konsolidasi dengan perusahaan anak. Dari kedua perbandingan
diatas disimpulkan rasio modal inti mengalami kenaikan 1% (satu persen). Bank
juga diwajibkan menyediakan rasio modal inti utama paling rendah sebesar 4,5%
(empat koma lima persen) dari ATMR, hal ini diatur dalam Pasal 11 ayat (3) PBI
No. 15/12/PBI2013 yang bunyinya adalah Bank wajib menyediakan modal inti
utama paling rendah sebeasar 4,5% (empat koma lima persen) dari ATMR baik
secara individual maupun secara konsolidasi dengan perusahaan anak. 153
152 Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/12/PBI/2013 tentang
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum, Bab II, Pasal 11 ayat (2).
153
Bank perlu membentuk tambahan modal di atas persyaratan penyediaan
modal minimum sesuai profil risiko yang berfungsi sebagai penyangga (buffer)
apabila terjadi krisis keuangan dan ekonomi yang dapat mengganggu stabilitas
keuangan. Pasal 3 ayat (8) PBI No. 15/12/PBI2013 mengutarakan penetapan
pemenuhan tambahan modal dipenuhi dengan komponen modal inti utama dan
ayat (9) dikatakan pemenuhan tambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat
(8) diperhitungkan setelah komponen modal inti utama sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a dialokasikan untuk memenuhi kewajiban
penyediaan:154
1. Modal inti utama minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3);
2. Modal inti minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2); dan
3. modal minimum sesuai profil risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(3).
Pasal 3 ayat (2) PBI No. 15/12/PBI2013 mengutarakan bank diwajibkan
untuk membentuk tambahan modal berupa capital conservation buffer dan
countercylical buffer, dan bank yang dianggap berpotensi sistemik wajib
membentuk tambahan modal berupa capital surcharge.155 Capital conservation
buffer adalah salah satu tambahan modal yang diwajibkan harus dipenuhi.
Menurut Pasal 1 angka 9 PBI No. 15/12/PBI2013 pengertian capital conservation
buffer adalah tambahan modal yang berfungsi sebagai penyangga (buffer) apabila
154 Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/12/PBI/2013 tentang
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum, Bab I, Pasal 3 ayat (9).
155
terjadi kerugian pada periode krisis.156 Pasal 3 ayat (3) huruf a menetapkan besarnya capital conservation buffer yaitu sebesar 2,5% (dua koma lima persen
dari ATMR).157 Pasal 4 ayat (1) mengutarakan bahwa kewajiban pembentukan
capital conservation buffer sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3)
huruf a berlaku bagi bank yang tergolong sebagai Bank Umum Kegiatan Usaha
(BUKU) 3 dan BUKU 4.158 Kewajiban bank untuk membentuk tambahan modal
berupa capital consevation buffer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3)
huruf a berlaku secara bertahap mulai tanggal 1 Januari 2016, hal ini diutarakan di
dalam Pasal 6 ayat (1). Pasal 6 ayat (2) menyebutkan pembentukan capital
consevation buffer wajib dipenuhi secara bertahap sebagai berikut:159
1. sebesar 0,625% (nol koma enam ratus dua puluh lima persen) dari ATMR
mulai tanggal 1 Januari 2016;
2. sebesar 1,25% (satu koma dua puluh lima persen) dari ATMR mulai tanggal 1
Januari 2017;
3. sebesar 1,875% (satu koma delapan ratus tujuh puluh lima persen) dari ATMR
mulai tanggal 1 Januari 2018; dan
4. sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari ATMR mulai tanggal 1 Januari
2019.
Pengertian countercylical buffer dalam Pasal 1 angka 10 PBI No.
15/12/PBI/2013 adalah tambahan modal yang berfungsi sebagai penyangga
(buffer) untuk mengantisipasi kerugian apabila terjadi pertumbuhan kredit
156Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/12/PBI/2013 tentang
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum, Bab I, Pasal 1angka 9.
157Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/12/PBI/2013 tentang
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum, Bab I, Pasal 3 ayat (3) huruf a.
158 Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/12/PBI/2013 tentang
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum, Bab I, Pasal 4 ayat (1).
159
perbankan yang berlebihan sehingga berpotensi mengganggu stabilitas sistem
keuangan.160 Dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a diutarakan countercyclical buffer
ditetapkan dalam kisaran sebesar 0% (nol persen) sampai dengan 2,5% (dua koma
lima persen) dari ATMR.161 Penetapan besarnya persentase countercylical buffer
dilakukan oleh Bank Indonesia. Bank Indonesia dapat menetapkan besarnya
kisaran persentase countercylical buffer yang berbeda dari kisaran sesuai dengan
perkembangan kondisi makroekonomi. Penerapan countercylical buffer tidak
seperti capital conservation buffer yang berlaku bagi bank yang tergolong sebagai
Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) 3 dan BUKU 4, dikatakan dalam Pasal 4
ayat (2) kewajiban pembentukan countercylical buffer berlaku bagi seluruh bank.
Pasal 6 ayat (3) mengatakan Kewajiban bank untuk membentuk tambahan modal
berupa countercylical buffer nulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2016,
ditambahkan dalam ayat (4) berdasarkan penilaian Bank Indonesia atas kondisi
makroekonomi Indonesia, Bank Indonesia dapat menetapkan pemberlakuan
countercyclical buffer lebih cepat dari waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(3). Penjelasan Pasal 4 ayat (1) PBI No. 15/12/PBI/2013 Pengelompokan BUKU
mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kegiatan usaha
dan jaringan kantor berdasarkan modal inti bank.162
Tambahan modal yang terakhir adalah capital surcharge untuk domestic
systemically important bank (D-SIB). Pasal 1 ayat (11) PBI No. 15/12/PBI/2013
diutarakan capital surcharge untuk domestic systemically important bank (D-SIB)
160 Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/12/PBI/2013 tentang
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum, Bab I, Pasal 1 angka 10.
161 Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/12/PBI/2013 tentang
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum, Bab I, Pasal 3 ayat (3).
162
adalah tambahan modal yang berfungsi untuk mengurangi dampak negatif
terhadap stabilitas sistem keuangan dan perekonomian apabila terjadi kegagalan
Bank yang berdampak sistemik melalui peningkatan kemampuan Bank dalam
menyerap kerugian. Pasal 3 ayat (3) huruf c menyatakan capital surcharge untuk
domestic systemically important bank ditetapkan dalam kisaran sebesar 1% (satu
persen) sampai dengan 2,5% (dua koma lima persen) dari ATMR. Penetapan
besarnya capital surcharge untuk domestic systemically important bank dilakukan
oleh otoritas yang berwenang. Pasal 4 ayat (3) menyatakan Kewajiban
pembentukan besarnya capital surcharge untuk domestic systemically important
bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf c berlaku bagi Bank
yang ditetapkan berdampak sistemik. Penetapan bank yang berdampak sistemik
dilakukan oleh otoritas yang berwenang sesuai ketentuan yang berlaku.
Eksekutif dalam manajemen bank serta seluruh pihak terkait, secara khusus
harus mengetahui risiko-risiko yang mungkin timbul dalam kegiatan usaha bank,
serta mengetahui bagaimana dan kapan risiko tersebut muncul untuk dapat
mengambil tindakan yang tepat. Pemahaman yang umum mengenai
masing-masing kategori risiko adalah penting sehingga para manager, pelaksana (risk
taker), dan bagian pengawasan dapat berdiskusi tentang masalah-masalah umumy
yang secara alami terjadi dari berbagai eksposur risiko.163 Risiko itu sendiri tidak
harus selalu dihindari pada semua keadaan namun semestinya dikelola secara baik
tanpa harus mengurangi hasil yang ingin dicapai. Risiko yang dikelola dengan
tepat dapat memberikan manfaat kepada Bank dalam menghasilkan laba yang
163
atraktif. Agar manfaat tersebut dapat terwujud, para pengambil keputusan harus
mengerti tentang risiko pengelolaanya.164
Untuk itu bank harus mengerti dan mengenal risiko-risiko yang mungkin
timbul dalam melaksankan kegiatan usahanya. Besarnya risiko yang terkandung
dalam suatu bank pada hakikatnya menunjukkan besarnya potencial problem yang
dihadapi oleh bank tersebut. Agar risiko tidak menjelma secara nyata menjadi
problem maka dibutuhkan sumber daya di dalam bank untuk menopangnya.165
Penyebab bank-bank mengalami pemburukan aset kredit atau masalah
lainnya, setidaknya dapat diteropong dalam beberapa aspek. Setidaknya, ada dua
aspek sumber masalah yang dihadapi bank sebagai unit usaha bisnis yang tak
lepas dari berbagai risiko. Kedua aspek itu bisa karena persoalan di internal bank
atau eksternal. Faktor internal bank bisa menjadi sumber bank mengalami masalah
bila bank itu dikelola dengan tidak hati-hati, khususnya dalam manajemen risiko,
lemahnya pengendalian internal, campur tangan pemilik dalam operasional bank
atau adanya kesalahan penetapan startegi yang bermuara bank mengalami
kerugian. Sedangkan faktor eksternal bank seperti perubahan lingkungan bisnis.166
Dengan semakin meningkatnya risiko yang dihadapi oleh bank, maka bank
perlu mengendalikan risiko dimaksud sehingga kualitas penerapan manajemen
risiko bank menjadi semakin meningkat. Upaya peningkatan kualitas penerapan
manajemen risiko tidak hanya ditujukan bagi kepentingan bank, tetapi juga bagi
kepentingan nasabah. Salah satu aspek penting dalam melindungi kepentingan
164 Ibid., hlm. 7.
165Bismar Nasution, “Aspek Hukum Peran Bank Sentral dalam Stabilitas Sistem Keuangan
(SSK)”,Disampaikan pada “Focus Group Discussion (FGD) tentang Peran Bank Sentral dalam
Stabilitas Sistem Keuangan (SSK)”, (Padanga: Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), 28 Mei 2009), hlm.18. (dalam Tesis Syuratti Astuti Manalu)
166
nasabah dan dalam rangka pengendalian risiko adalah transparansi informasi
terkait produk atau aktivitas bank. Selain itu, peningkatan kualitas penerapan
manajemen risiko diharapkan akan mendukung efektivitas kerangka pengawasan
bank berbasis risiko yang dilakukan oleh Bank Indonesia.167
. Sebaliknya, tidak mengambil risiko sama sekali adalah salah karena tidak
ada peluang sama sekali untuk memperoleh hasil. Untuk itu risiko harus dihadapi
dalam setiap aktivitas sehingga memberikan peluang untuk memperoleh hasil
yang diharapkan, namun demikian risiko harus dikelola dengan hasil yang baik.168
Peningkatan kualitas dan kuantitas permodalan dilakukan agar bank mampu
menyerap risiko yang muncul dikemudian hari. Kuliatas dan kuantitas permodalan
telah disesuaikan dengan standar yang berlaku secara internasional yaitu BASEL
III. Dengan terpenuhinya kuantitas dan kualitas permodalan, bank diharapkan
mampu menjalankan kegiatannya dengan baik tanpa harus terganggu dengan
risiko-risiko yang muncul.
Risiko itu sendiri tidak harus selalu dihindari pada semua keadaan namun
semestinya dikelola secara baik tanpa harus mengurangi hasil yang ingin dicapai.
Risiko yang dikelola dengan tepat dapat memberikan manfaat kepada Bank dalam
menghasilkan laba yang atraktif. Agar manfaat tersebut dapat terwujud, para
pengambil keputusan harus mengerti tentang risiko pengelolaanya.169
Meningkatkan kuantitas dan kulitas permodalan adalah cara mengelola risiko,
agar risiko yang timbul dari kegiatan usaha yang dilakukan bank untuk
menghasilkan laba dapat diatasi.
167 Syuratty Astuti Rahayu Manalu, Op.Cit. 168
Fery N. Indroes dan Sugiarto, Op.Cit., hlm. 8
169