• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum Sebagai Salah Satu Langkah Penyehatan Perbankan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum Sebagai Salah Satu Langkah Penyehatan Perbankan"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abdullah, Thamrin dan Francis Tantri. Bank dan Lembaga Keuangan. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2014.

Bahsan, M. Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2012.

Bank Indonesia, Krisis Global dan Penyelamatan Sistem Perbankan Indonesia. Jakarta: 2010

Dendawijaya, Lukman. Manajemen Perbankan. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2005.

Djumhana, Muhammad. Asas-Asas Hukum Perbankan Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2008.

Djumhana, Muhammad. Hukum Perbankan Di Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000.

Fuady, Munir. Hukum Perbankan Modern Berdasarkan Undang-Undang Tahun 1998. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999.

Jusuf, Jopie. Kiat Jitu Memeperoleh Kredit Bank. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2003.

Karta Negara, Satochid. Hukum Pidana: Kumpulan Kuliah Bagian 1. Jakarta: Balai Rektur Mahasiswa.

Kuncoro, Mudrajad dan Suhardjono. Manjemen Perbankan. Yogyakarta: BPFE, 2004.

M, Ralona. Kamus Istilah Ekonomi Populer. Jakarta: Gorga Media, 2006.

Mahmoeddin, As. 100 Penyebab Kredit Macet. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994.

Mahsyud, Ali. Asset Liability Management, Menyisiasati Resiko Pasar dan Resiko Operasional Dalam Perbankan. Jakarta: Elex Media Komputindo, 2004.

N. Indroes, Fery dan Sugiarto. Manajemen Risiko Perbankan dalam Konteks Kesepakatan Basel dan Peraturan Bank Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006.

(2)

R. Latumerissa, Julius. Bank dan Lembaga Keuangan Lain. Jakarta: Salemba Empat, 2011.

Rahman, Hasanuddin. Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan di Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999.

Simorangkir, J.C.T. dkk. Kamus Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2004.

Simorangkir, O.P. Kamus Perbankan, Cetakan Kedua. Jakarta: Bina Aksara, 1989.

Sitompul, Zulkarnain. Problematika Perbankan. Bandung: Books Terrace & Library, 2005.

Suhardi, Gunarto. Usaha Perbankan Dalam Perspektif Hukum. Yogyakarta: Kanisius, 2003.

Supramono, Gatot. Perbankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan Yuridis, Jakarta: Djambatan, 1995.

Suyatno, Thomas. Kelembagaan Perbankan. Jakarta: STIE Perbanas-Gramedia, 1988.

Suyatno, Thomas dkk. Dasar-Dasar Perkreditan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003.

Triandaru, Sigit dan Totok Budisantoso. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Yogyakarta: Salemba Empat, 2006.

Usman, Rachmadi. Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001.

Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum Dalam Praktek, Edisi 1, Cet ke-3. Jakarta: Sinar Grafika, 2002.

Widiyono, Try. Aspek Hukum Operasional Transaksi Produk Perbankan di Indonesia (Simpanan, Jasa & Kredi). Bogor: Ghalia Indonesia, 2006.

Widjanarto. Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1993.

Wojo Wasito, S. Kamus Umum Belanda-Indonesia. Jakarta: Sinar grafika, 2004.

B. Peraturan Perundang-undangan

(3)

Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/13/PBI/2006 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum.

Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/1/PBI/2009 tentang Bank Umum.

Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 tentang perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum.

Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/1/PBI/2011 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank.

Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/12/PBI/2013 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

C. Jurnal

Aryatie, Indra Retno dan Adityo Waskito Nugroho. 2010. “Akibat Hukum Bagi

Bank Bila Kewajiban Modal Inti Minimum Tidak Terpenuhi.” Mimbar

Hukum, Volume 22 No.2. Juni 2010.

Indira, Januarti. “Variabel Proksi CAMEL dan Karakteristik Bank Lainnya Untuk

Memprediksi Kebangkrutan Bank di Indonesia.” Jurnal Bisnis Strategi, Volume X.

Maski, Ghozali. 2011. “Implementasi Basel I Terhadap Tata Kelola Permodalan

dan Risiko Kredit Perbankan di Indonesia.” Aplikasi Manajemen, Volume

91 No.3. Mei 2011.

W. Supriyo Hartadi. 2005. “Rekapitulasi Dalam Kaitannya Dengan Perbankan.” Ekonomi dan Komputer, No.1. Tahun XIII-2005.

D. Surat Kabar

Remy Sjahdeini, Sutan. “Kendala Yang Dihadapi Bank Dalam Upaya

Penyelamatan Kredit.” Media Indonesia, 26 Juli 1993.

E. Tesis/Disertasi

Affandi, Ismi. “Analisis Kesehatan Bank Umum di Indonesia,” Tesis,

(4)

Astuti Rahayu Manalu, Syuratty. “Tinjauan Yuridis Pengawasan Bank Indonesia

terhadap Pemberian Likuiditas pada Bank Umum pada PT. Bank Century.”

Tesis, Pascasarjana Ilmu Hukum USU, 2011.

Caroline Barus, Andreani. “Pengaruh Profitabilitas dan Likuiditas terhadap

Capital Adequacy Ratio (CAR) pada Institusi Perbankan Terbuka Di Bursa

Efek Indonesia.” Tesis, Pascasarjana Akuntansi USU, 2011.

Chan, Syapri. “Penyertaan Modal Sementara Bank untuk mengatasi Akibat

Kegagalan Kredit (Debt Of Equity Swap).” Tesis, Pascasarjana Ilmu Hukum

USU, 2005.

Darryanto, Robertus. “Analisis Rekapitalisasi Sebagai Program Penyehatan

Perbankan di Indonesia pada Bank BPD Jawa Tengah.” Tesis, Pascasarjana Magister Manajemen Universitas Diponegoro, 2000.

Marlon M. Sihombing, John. “Upaya Penyelesaian Sengketa Kredit Perbankan

pada Bank Swasta Di Kota Medan pada PT. Bank Eksekutif Internasional

Tbk Cabang Medan.” Tesis, Pascasarjana Ilmu Hukum USU, 2004.

Melati Siagian, Katharina. “Penerapan Prinsip Kehati-hatian dalam Pemberian

Kredit pada PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk).” Tesis,

Pascasarjana Ilmu Hukum USU, 2006.

Novrilanimisy. “Pelaksanaan Resturkturisasi Kredit Macet berdasarkan Peraturan

Bank Indonesia dan Hambatannya pada PT Bank Rakyat Indonesia.” Tesis,

Pascasarjana Ilmu Hukum USU, 2004.

Sitompul, Zulkarnain. “Perlindungan Dana Nasabah Bank, Suatu Gagasan tentang

Pendirian Lembaga Penjamin Simpanan Di Indonesia.” Program Pasca

Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002.

Supaino, “Analisis Kesehatan Bank Berdasarkan Camel di Indonesia.” Tesis,

Pascasarjana Ekonomi Pembangunan USU, 2010.

Yustian, Yuyun. “Pengaruh Krisis Ekonomi Terhadap Tingkat Kesehatan Bank

Konvensional Dan Bank Syariah.” Tesis, Pascasarjana Kajian Timur

Tengah Dan Islam Universitas Indonesia, 2004.

F. Pidato

Nasution, Bismar “Aspek Hukum Peran Bank Sentral dalam Stabilitas Sistem

Keuangan (SSK)”,Disampaikan pada “Focus Group Discussion (FGD)

(5)

G. Website

Hermana, Budi. “Perbandingan Tatacara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank,”

http://pena.gunadarma.ac.id/perbandingan-tatacara-penilaian-tingkat-kesehatan-bank/ (diakses tanggal 29 September 2015).

http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/index.php (diakses tanggal 29 Oktober 2015).

http://blog.pasca.gunadarma.ac.id/2012/07/28/berkenalan-dengan-manajemen-risiko-perbankan/ (diakses tanggal 30 November 2015).

http://bisnis.liputan6.com/read/2314978/ini-penyebab-perbankan-bisa-bangkrut (diakses tanggal 27 November 2015).

https://dosen.perbanas.id/car-capital-adequacy-ratio/ (diakses tanggal 25

November 2015).

http://kartika.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/3198/Materi+1+PengenalanP erbankan.pdf (diakses tanggal 26 Oktober 2015)

http://www.bi.go.id/id/perbankan/ssk/ikhtisar/definisi/Contents/Default.aspx (diakses tanggal 18 November 2015.

Siregar, Agus E. “Rencana Penerapan CAR 12 Persen dan Transparansi

Perbankan”, http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/blob/

(6)

BAB III

PENILAIAN KESEHATAN BANK UMUM

A. Hubungan Keterkaitan antara Modal dan Kesehatan Bank Umum

Kesehatan merupakan hal yang penting dalam kehidupan manusia karena

kesehatan memberikan gambaran tentang keadaan baik atau bruknya manusia

tersebut dalam hal rohani dan jasmani. Sama halnya dengan bank, kesehatan

menjadi salah satu gambaran bagi pemerintah atau masyarakat apakah bank

tersebut aman atau tidak aman.

Pasal 29 ayat (2) UU Perbankan menyatakan Bank wajib memelihara

tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset,

kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang

berhubung-an dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai

dengan prinsip kehati-hatian.103

Sigit Triandaru dan Totok Budisantoso mengemukakan Kesehatan bank

merupakan kemampuan suatu bank untuk melakukan kegaiatan operasi perbankan

secara normal dan mampu memenuhi semua kewajibannya dengan baik dengan

cara–cara yang sesuai dengan peraturan perbankan yang berlaku.104

Seperti diketahui bahwa fungsi bank adalah menghimpun dana dari

masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat untuk berbagai

tujuan. Dari fungsi yang ada dapat dikatakan bahwa dasar beroperasinya bank

adalah kepercayaan, baik kepercayaan masyarakat terhadap perbankan dan

103 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Jo Undang-Undang Nomor

10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, Bab V, Pasal 29 ayat (2).

104

(7)

sebaliknya. Oleh sebab itu untuk tetap menjaga kepercayaan tersebut kesehatan

bank perlu diawasi dan dijaga.105

Modal mempunyai hubungan keterkaitan dengan kesehatan bank. Hal ini

dapat diketahui dari pengkategorian Modal (Capital) sebagai salah satu faktor

yang diperlukan untuk menentukan apakah sebuah bank itu sehat atau tidak. Pasal

6 huruf d PBI No. 13/1/PBI/2011 tentang penilaian kesehatan bank umum dan

Pasal 7 ayat (4) menyatakan Penilaian terhadap faktor permodalan (capital)

meliputi penilaian terhadap tingkat kecukupan modal.106 Perhitungan modal bank

melalui penilaian tingkat kesehatan bank dilakukan untuk mengetahui apakah

modal bank tersebut sudah sesuai dengan aturan pemerintah mengenai kecukupan

modal bagi sebuah bank untuk menjalankan kegiatan usahanya.

Penyediaan modal sesuai peraturan, idealnya bank harus menyediakan

modal setiap kali terjadi perubahan pada struktur aktiva pada neraca. Penyesuaian

ini bertujuan agar bank mampu untuk menutupi risiko melalui modal sesuai

peraturan pada satu sisi. Pada sisi lain modal yang ditanam tidak efisien jika

jumlahnya tidak berlebihan. Namun pada pelaksanaannya sangat sulit untuk

menyediakan modal setiap saat, mengingat usaha bank sangat dinamis. Bank

dapat setiap saat melakukan aktiva transaksi baru yang menimbulkan risiko aktiva

yang baru. Demikian juga sebaliknya, kontrak yang telah selesai dengan baik akan

mengurangi risiko aktiva.107

Apabila modal sendiri bank meningkat maka kesehatan bank yang terkait

dengan rasio permodalan (CAR) semakin meningkat. Sejak periode krisis sampai

105 Januarti Indira, “

Variabel Proksi CAMEL dan Karakteristik Bank Lainnya Untuk Memprediksi Kebangkrutan Bank di Indonesia, Jurnal Bisnis Strategi, Volume X, hlm. 3.

106

Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/1/PBI/2011 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, Bab III, Pasal 6 huruf d .

107

(8)

dengan saat ini CAR menjadi acuan utama dalam menentukan kesehatan bank.

(SK Dir. BI April 1999). Hal ini juga disebabkan karena rata-rata CAR selama

periode krisis sampai dengan akhir 2001 hanya mencapai 4% dan sejak awal 2002

bank diwajibkan memenuhi CAR minimal 8%. Kebijakan ini berawal dari

kebijakan bank dunia (World Bank) yang ditindaklanjuti oleh bank Indonesia

dengan kebijakan 29 Mei 1993 (Pakmei, 1993). Besarnya CAR minimal 8%

tersebut berlaku bagi seluruh bank secara internasional.108

Pada awal januari 2004, siaran pers Indonesia secara resmi mengumumkan

implementasi Arsitektur Perbankan Indonesia (API) di mana salah satu program

API adalah mempersyaratkan modal minimum bagi bank umum (termasuk BPD)

menjadi 100 miliar selambat-lambatnya pada tahun 2011.109 Setelah melakukan

penyelesaian penyusunan cetak biru API pada tahun 2003, maka sejak tahun 2004

secara bertahap dalam jangka waktu lima sampai dengan sepuluh tahun ke depan

API akan diimplementasikan dengan visi yang jelas. Visi API adalah menciptakan

sistem perbankan yang sehat, kuat, dan efisien guna menciptakan kestabilan

ekonomi nasional.110

Hubungan keterkaitan antara modal dengan kesehatan bank dapat diketahui

melalui kebijakan pemerintah yaitu implementasi Arsitektur Perbankan Indonesia.

Hal ini dapat diketahui dari salah satu program kegiatan API, yaitu program

penguatan struktur perbankan nasional. Program ini bertujuan untuk memperkuat

permodalan bank umum (konvensional dan syariah) dalam rangka meningkatkan

kemampuan bank mengelola usaha maupun risiko, mengembangkan teknologi

informasi, maupun meningkatkan skala usahanya guna mendukung penigkatan

108Andreani Caroline Barus, Op.Cit., hlm. 21. 109

Julius R. Latumerissa, Op.Cit., hlm. 185.

110

(9)

kapasitas pertumbuhan kredit perbankan. Implementasi program penguatan

permodalan bank dilaksanakan secara bertahap.111

Upaya penigkatan modal bank tersebut dilakukan dengan membuat business

plan yang memuat target waktu, cara, dan tahap pencapaian. Adapun cara

pencapaiannya dapat dilakukan melalui:

1. penambahan modal baru baik dari stakeholder lama maupun investor baru;

2. merger dengan bank (atau beberapa bank) lain untuk mencapai persyaratan

modal minimum baru;

3. penerbitan saham baru atau secondary offering dipasar modal; dan

4. penerbitan subordinated loan.

Dengan demikian dalam sepuluh sampai lima belas tahun ke depan (dimulai

dari tahun API dikumandangkan) program peningkatan permodalan tersebut

diharapkan akan mengaruh pada terciptanya struktur perbankan yang lebih

optimal, yaitu terdapatnya:112

1. bank yang mengarah kepada bank internasional sebanyak 2 atau 3 bank dengan

kapasitas dan kemampuan untuk beroperasi diwilayah internasional serta

memiliki modal diatas Rp50 triliun;

2. bank nasional sebanyak 3-5 bank yang memiliki cakupan usaha yang sangat

luas dan beroperasi secara nasional serta memiliki modal antara Rp10

triliun-Rp50 triliun;

3. bank yang kegiatan usahanya terfokus pada segmen usaha tertentu sesuai

dengan kapabilitas dan kompetensi masing-masing bank sebanyak 30-50 bank.

Bank-bank tersebut memiliki modal antara Rp100 miliar-Rp10 triliun; dan

111

Ibid.

112

(10)

4. bank perkreditan rakyat (BPR) dan bank dengan kegiatan usaha terbatas yang

memiliki modal di bawah Rp100 miliar.

Sistem perbankan yang sehat dibangun dengan permodalan yang kuat

sehingga akan mendorong kepercayaan nasabah (stakeholder) yang pada akhirnya

akan mampu memperkuat permodalan melalui pemupukan laba ditahan.

Selanjutnya perbankan nasional yang beroperasi secara efisien akan mampu

meningkatkan daya saingnya sehingga tidak hanya “jago kandang” yaitu hanya

mampu bersaing pada segmen pasar domestik tetapi justru diharapkan produk dan

jasa perbankan yang ditawarkan bank nasional mampu bersaing di pasar

internasional. Oleh karenanya 10-15 tahun kedepan, API mengiginkan adanya 2

sampai 3 bank dengan skala internasional, 3 sampai 5 bank nasional, 30 sampai

50 bank yang kegiatan usahanya terfokus pada segmen usaha tertentu, dan BPR

serta bank yang kegiatan usahanya terbatas.113

Namun perlu diketahui juga bahwa modal bank yang melimpah tidak bisa

dijadikan tonggak bahwa bank tersebut sepenuhnya sehat dan aman. Karena untuk

menilai sebuah bank sehat atau tidak, diperlukan juga faktor-faktor yang lain yaitu

profil risiko (risk profile), good corporate governance (GCG), dan rentabilitas

(earnings). Kondisi modal yang sehat bukan berarti secara pasti kondisi likuiditas,

rentabilitas, kualitas aktiva dan manajemen juga sehat. Modal yang sehat hanya

memberikan konstribusi bagi kesehatan bank. Kesehatan permodalan harus

dibedakan dengan kesehatan bank.114 Namun kesehatan permodalan

mempengaruhi kesehatan bank. Modal bank dikatakan sehat apabila memenuhi

batas minimum penyediaan modal yang diatur dalam Pasal 2 ayat (3) PBI No.

113

Ibid., hlm. 192.

114

(11)

15/12/PBI/2013 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum yaitu paling

rendah sebesar 8% (delapan persen) dari Aset Tertimbang Menurut Risiko.

Penyediaan modal minimum disesuaikan dengan peringkat profil risiko bank.

Semakin tinggi peringkat, semakin besar pula modal yang disediakan. Apabila

bank tersebut tidak mampu menyediakan modal minimumnya sesuai profil risiko,

maka dapat dikatkan kondisi bank tersebut tidak sehat. Kecukupan modal

memberikan gambaran bank tersebut sehat atau tidak sehat.

B. Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum

Untuk menilai suatu kesehatan bank dapat dilihat dari berbagi segi.

Penilaian ini bertujuan untuk menentukan apakah bank tersebut dalam kondisi

yang sehat, cukup sehat, kurang sehat dan tidak sehat, sehingga Otoritas Jasa

Keuangan (OJK) sebagai pengawas dan pembina bank dapat memberikan arahan

atau petunjuk bagaimana bank tersebut harus dijalankan atau bahkan dibubarkan

kegiatan operasinya.115

Penilaian kesehatan bank umum sebagai bentuk upaya pengawasan bank

umum oleh OJK. Melalui hasil dari penilaian ini OJK dapat mengambil

tindakan-tindakan yang harus dilakukan terhadap bank tersebut. Penilaian kesehatan bank

umum dapat juga dikatakan sebagai sarana untuk menyehatkan bank. Dikarenakan

kesehatan bank yang merupakan cerminan kondisi dan kinerja bank merupakan

sarana bagi otoritas pengawas dalam menetapkan strategi dan fokus pengawasan

terhadap bank. Pada penjelasan Pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa Kesehatan

Bank harus dipelihara dan/atau ditingkatkan agar kepercayaan masyarakat

115

(12)

terhadap Bank dapat tetap terjaga. Selain itu, Tingkat Kesehatan Bank digunakan

sebagai salah satu sarana dalam melakukan evaluasi terhadap kondisi dan

permasalahan yang dihadapi Bank serta menentukan tindak lanjut untuk

mengatasi kelemahan atau permasalahan Bank, baik berupa corrective action oleh

Bank maupun supervisory action oleh OJK.116 Sehingga kesehatan bank tersebut

dapat diketahui, apakah bank tersebut kondisinya baik atau buruk.

Pasal 30 ayat (1) UU Perbankan mengutarakan Bank wajib menyempaikan

kepada Bank Indonesia, segala keterangan, dan penjelasan mengenai usahanya

menurut tata cara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.117 Penilaian kesehatan

bank merupakan salah satu keterangan dan penjelasan mengenai usahanya yang

harus disampaikan kepada Bank Indonesia. Dalam ayat (2) juga dinyatakan Bank

atas permintaan Bank Indonesia, wajib memberikan kesempatan bagi pemeriksaan

buku-buku dan berkas-berkas yang ada padanya, serta wajib memberikan bantuan

yang diperlukan dalam rangka memperoleh kebenaran dari segala keterangan,

dokumen dan penjelasan yang dilaporkan oleh bank yang bersangkutan.118

Penilaian kesehatan bank umum yang baru mulai diberlakukan pada tahun

2012. Dasar hukumnya adalah PBI No. 13/1/PBI/2011 tanggal 5 Januari 2011

tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum. PBI tersebut menggantikan

PBI sebelumnya No. 6/10/PBI/2004 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan

Bank Umum yang telah berlaku selama hampir tujuh tahun. Petunjuk teknis

116

Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/1/PBI/2011 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, Penjelasan Pasal 2 ayat (1).

117

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, Bab V, Pasal 30 ayat (1).

118

(13)

pelaksanaanya mengacu ke Surat Edaran Bank Indonesia No.13/ 24 /DPNP

tanggal 25 Oktober 2011.119

Struktur atau komponen penilaian bank yang lama tertuang dalam Peraturan

Bank Indonesia nomor 6/10/PBI/2004 tanggal 12 April 2004 serta ketentuan

pelaksanaannya sesuai Surat Edaran Bank Indonesia No.6/23/DPNP tanggal 31

Mei 2004. Semua komponen pada CAMELS 2004 lebih mengarah pada

ukuran-ukuran kinerja perusahaan secara internal, mulai dari Capital, Asset Quality,

Management, Earning Power, dan Liquidity, serta Sensitivity to Market Risk.

Sistem penilaian dengan 5 faktor tersebut sering disebut dengan CAMELS Rating

System.120

Sebelum CAMELS, cara menghitung tingkat kesehatan bank yang lebih

“jadul” lagi yaitu CAMEL yang berlaku mulai tahun 1991 berdasarkan Surat

Edaran BI No. 23/21/BPPP tanggal 28 Februari 1991. Pada CAMEL, sebagian

besar proses penilaian kesehatan bank menggunakan rumus-rumus matematika

dan sistem scoring dari hasil penilaian untuk setiap parameter, yaitu dengan skala

0 sampai 100. Dan nilai akhir dari kesehatan bank pun akhirnya berupa angka

yang selanjutnya menentukan klasifikasi kesehatan bank yaitu “Sehat”, “Cukup

Sehat”, “Kurang Sehat” dan “Tidak Sehat”. Indikator pada CAMEL tersebut juga

sangat sederhana.121

119 Budi Hermana, “Perbandingan Tatacara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank,”

http://pena.gunadarma.ac.id/perbandingan-tatacara-penilaian-tingkat-kesehatan-bank/ (diakses tanggal 29 September 2015).

120 Budi Hermana, “Perbandingan Tatacara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank,”

http://pena.gunadarma.ac.id/perbandingan-tatacara-penilaian-tingkat-kesehatan-bank/ (diakses tanggal 29 September 2015).

121 Budi Hermana, “Perbandingan Tatacara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank,”

(14)

Dengan dikeluarkannya PBI No. 13/1/PBI/2011, maka bank umum

diwajibkan melakukan penilaian tingkat kesehatan bank menggunakan tata cara

yang tercantum dalam PBI Nomor 13/1/PBI/2011 dengan menggunakan

pendekatan berdasarkan Risiko (Risk based Bank Rating) seperti yang diutarakan

dalam Pasal 2 ayat (3) PBI No. 13/1/PBI/2011. Pasal 6 PBI No. 13/1/PBI/2011

mengutarakan penilaian tingkat kesehatan bank secara individual dengan

menggunakan pendekatan risiko (risk-based Bank Rating) dengan cakupan

penilaian terhadap faktor-faktor sebagai berikut:122

1. profil risiko (risk profile);

2. good corporate governance (GCG);

3. rentabilitas (earnings); dan

4. permodalan (capital).

Tahap-tahap penilaian bank pada RGEC (risk profile, good corporate

governance, earnings, dan capital) boleh disebut model penilaian kesehatan bank

yang sarat dengan manajemen resiko. Menurut BI dalam PBI tersebut,

Manajemen Bank perlu memperhatikan prinsip-prinsip umum berikut ini sebagai

landasan dalam menilai Tingkat Kesehatan Bank: Berorientasi Risiko,

Proporsionalitas, Materialitas dan Signifikansi, serta Komprehensif dan

Terstruktur.123

Cara perhitungan pada RGEC – dibandingkan metode CAMELS – relatif

berbeda signifikan pada komponen “R“, yaitu Risk Profile. Kini, penilaian Risk

122

Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/1/PBI/2011 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, Bab I, Pasal 2 ayat (3).

123 Budi Hermana, “Perbandingan Tatacara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank,”

(15)

Profile relatif lebih “ribet” karena mengunakan matriks dengan dua dimensi. Dulu

– maksudnya dengan CAMELS – bisa langsung diketahui nilai peringkat (skornya

antara 1 sampai 5) jika sudah mengetahui nilai indikatornya. Namun kini, ada

aspek lain yang perlu dipertimbangkan sebelum memperoleh nilai akhir untuk

indikator tersebut. Misalnya “ratio debitur inti terhadap total kredit” sebuah bank

adalah ….%. Tahap pertamanya sama dengan metoda CAMELS yaitu

menentukan peringkat jika diketahui nilai indikatornya. Penilaian untuk faktor

lainnya, yaitu faktor “G, E, dan C” secara umum sama seperti penilaian dengan

CAMELS sebelumnya. Semua komponen menggunakan indikator/komponen

penilaian yang tidak berubah drastis. 124

Terdapat beberapa prinsip-prinsip umum dalam penilaian tingkat kesehatan

bank. Manajemen Bank perlu memperhatikan prinsip-prinsip umum sebagai

landasan dalam menilai Tingkat Kesehatan Bank. Prinsip- prinsip umum dalam

penilaian tingkat kesehatan bank umum tercantum dalam Surat edaran No.

13/24/DPNP yakni:125

1. berorientasi risiko;

2. proporsionalitas;

3. materialitas dan signifikasi;

4. komprehensif dan terstruktur.

Pasal 3 ayat 1 PBI No. 13/1/PBI/2011 mengutarakan Bank wajib melakukan

penilaian sendiri (self assessment) Tingkat Kesehatan Bank dengan menggunakan

pendekatan Risiko (Risk-based Bank Rating) baik secara individual maupun

124 Budi Hermana, “Perbandingan Tatacara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank,”

http://pena.gunadarma.ac.id/perbandingan-tatacara-penilaian-tingkat-kesehatan-bank/ (diakses tanggal 29 September 2015).

125

(16)

secara konsolidasi.126 Pasal 9 ayat (1) PBI No. 13/1/PBI/2011 mengutarakan Peringkat Komposit Kesehatan Bank ditetapkan berdasarkan analisis secara

komprehensif dan terstruktur terhadap peringkat setiap faktor sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) dengan

memperhatikan materialistis dan signifikasi masing-masing faktor.127 Selanjutnya

dalam Pasal 9 ayat (2) membagi kategori peringkat komposit sebanyak 5 tingkatan

yakni:128

1. Peringkat Komposit 1 (PK-1).

2. Peringkat Komposit 2 (PK-2).

3. Peringkat Komposit 3 (PK-3).

4. Peringkat Komposit 4 (PK-4).

5. Peringkat Komposit 5 (PK-5).

Peringkat komposit memberikan artian bahwa semakin rendah peringkat

komposit bank semakin baik kondisi dan keadaan bank tersebut begitu juga

sebaliknya semakin tinggi peringkat komposit bank tersebut mencerminkan

kondisi dan keadaan bank tersebut sangat buruk. Setelah dilakukan penilaian oleh

Bank Indonesia dan/atau hasil self assesment oleh Bank akan dilakukan tindak

lanjut hasil penilaian tingkat kesehatan bank. Pasal 13 ayat (1) PBI No.

13/1/PBI/2011 dinyatakan dalam hal berdasarkan hasil penilaian Tingkat

126 Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/1/PBI/2011 tentang Penilaian

Tingkat Kesehatan Bank Umum, Bab II, Pasal 3 ayat (1).

127 Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/1/PBI/2011 tentang Penilaian

Tingkat Kesehatan Bank Umum, Bab III, Pasal 9 ayat (1).

128

(17)

Kesehatan Bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia dan/atau hasil self

assesment oleh Bank terdapat:129

1. faktor tingkat kesehatan bank yang ditetapkan dengan peringkat 4 atau

peringkat 5;

2. peringkat komposit tingkat kesehatan Bank yang ditetapkan dengan peringkat 4

atau peringkat 5; dan/atau

3. peringkat komposit tingkat kesehatan bank yang ditetapkan dengan peringkat

3, namun terdapat permasalahan signifikan yang perlu diatasi agar tidak

mengganggu kelangsungan usaha bank, maka direksi, dewan komisaris,

dan/atau pemegang saham pengendali bank wajib menyampaikan action plan

kepada Bank Indonesia.

Menurut penjelasan Pasal 13 ayat (1) PBI No. 13/1/PBI/2011 action plan

memuat langkah-langkah perbaikan yang akan dilaksanakan oleh bank dalam

rangka mengatasi permasalahan signifikan yang dihadapi beserta target waktu

penyelesaiannya. Action plan (rencana tindakan) yang disampaikan oleh bank

merupakan komitmen bank kepada Bank Indonesia. Pasal 13 ayat (2) PBI No.

13/1/PBI/2011 mengutarakan Bank Indonesia berwenang meminta bank untuk

melakukan penyesuaian terhadap action plan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1). Penyampaian action plan oleh bank diatur dalam ayat (3) yaitu:130

1. sesuai batas waktu tertentu yang ditetapkan Bank Indonesia, untuk action plan

yang merupakan tindak lanjut dari hasil penilaian tingkat kesehatan bank oleh

Bank Indonesia;

129

Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/1/PBI/2011 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, Bab V, Pasal 13 ayat (1).

130

(18)

2. paling lambat pada tanggal 15 Agustus, untuk penilaian tingkat kesehatan bank

posisi akhir bulan Juni dan tanggal 15 Februari untuk penilaian tingkat

kesehatan bank posisi akhir bulan Desember, untuk action plan yang

merupakan tindak lanjut dari hasil self assesment bank.

Pasal 15 PBI No. 13/1/PBI/2011 menyatakan Bank Indonesia berwenang

melakukan pemeriksaan terhadap pelaksanaan action plan oleh bank. Penilaian

kesehatan bank dilakukan setiap tahun, apakah ada peningkatan atau penurunan.

Pasal 3 ayat (2) PBI No. 13/1/PBI/2011 mengemukakan penilaian sendiri (self

assessment) tingkat kesehatan bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan paling kurang setiap semester untuk posisi akhir bulan Juni dan

Desember dan selanjutnya dalam ayat (5) huruf a dikatakan untuk penilaian

tingkat kesehatan bank secara individual, paling lambat pada tanggal 31 Juli untuk

penilaian tingkat kesehatan bank posisi akhir bulan Juni dan tanggal 31 Januari

untuk penilaian tingkat kesehatan bank posisi akhir bulan Desember dan ayat (3)

mengutarakan Bank wajib melakukan pengkinian self assessment tingkat

kesehatan bank sewaktu-waktu apabila diperlukan. Penjelasan Pasal 3 ayat (3)

PBI No. 13/1/PBI/2011 tentang pengkinian self assessment Tingkat Kesehatan

Bank sewaktu-waktu dilakukan antara lain dalam hal:131

1. kondisi keuangan bank memburuk;

2. bank menghadapi permasalahan antara risiko likuiditas dan permodalan; atau

3. kondisi lainnya yang menurut Bank Indonesia perlu dilakukan pengkinian

penilaian tingkat kesehatan.

131

(19)

Pasal 3 ayat (4) PBI No. 13/1/PBI/2011 menetapkan bahwa hasil self

assessment tingkat kesehatan bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat

(3) yang telah mendapat persetujuan dari direksi wajib disampaikan kepada dewan

komisaris.132 Penjelasan Pasal 3 ayat (4) mengutarakan bagi kantor cabang bank

asing, hasil self assessment disampaikan kepada pihak yang sesuai struktur

organisasi internal bank bertanggung jawab untuk mengawasi secara langsung

kegiatan dan kinerja kantor cabang bank asing di Indonesia.133

Pasal 4 ayat (1) mengutarakan wewenang Bank Indonesia untuk melakukan

penilaian tingkat kesehatan bank setiap semester untuk posisi akhir bulan Juni dan

Desember dan Pasal 4 ayat (2) mengatakan Bank Indonesia berhak melakukan

pengkinian penilaian kesehatan bank sewaktu-waktu apabila diperlukan. Pasal 4

ayat (3) juga mengutarakan penilaian tingkat kesehatan bank sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dan pengkinian penilaian tingkat kesehatan bank

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan,

laporan berkala yang disampaikan bank, dan/atau informasi lain. Penjelasan Pasal

4 ayat (3) mengutarakan informasi lain dapat berupa:134

1. informasi hasil penilaian dari otoritas lain yang berwenang;

2. informasi yang diketahui secara umum seperti hasil penilaian dari lembaga

pemeringkat dan informasi dari media masa; dan/atau

3. Data atau informasi terkait kantor cabang Bank asing mengenai kondisi

keuangan dan peringkat (rating) dari kantor pusatnya di luar negeri yang

132 Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/1/PBI/2011 tentang Penilaian

Tingkat Kesehatan Bank Umum, Bab II, Pasal 3 ayat (4).

133

Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/1/PBI/2011 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, Penjelasan Pasal 3 ayat (4).

134

(20)

dihasilkan oleh otoritas yang berwenang atau lembaga pemeringkat

internasional.

Ketika melakukan penilaian, barangkali terdapat perbedaan-perbedaan hasil

penilaian tingkat kesehatan bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dengan hasil self assesment penilaian

tingkat kesehatan bank. Pasal 5 mengutarakan dalam rangka pengawasan bank,

apabila terdapat perbedaan hasil penilaian tingkat kesehatan bank yang dilakukan

oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dengan hasil self

assesment penilaian tingkat kesehatan bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3

maka yang berlaku adalah hasil penilaian tingkat kesehatan bank yang dilakukan

oleh Bank Indonesia.

Ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (2) bahwa dalam rangka melaksanakan

tanggung jawab atas kelangsungan usaha bank, direksi dan dewan komisaris

bertanggung jawab untuk memelihara dan memantau tingkat kesehatan bank serta

mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memelihara dan/atau

meningkatkan tingkat kesehatan bank bagi bank yang kesehatannya terus

meningkat tidak menjadi masalah, akan tetapi bagi bank yang kurang sehat harus

mendapat pengarahan atau sanksi dari Bank Indonesia. Bank Indonesia dapat

menyarankan untuk melakukan perubahan manajemen, bergabung, konsolidasi,

akuisisi atau malah dilikuidasi keberadaanya jika memang kondisi bank tersebut

sudah parah.135

135

(21)

C. Sanksi atas Penurunan Tingkat Kesehatan Bank Umum

Praktik hukum perbankan mengandung maksud penerapan hukum secara

luas di bidang perbankan, yang pada dasarnya fungsionalisasi hukum dalam

pekerjaan yang berhubungan dengan industri perbankan. Praktik hukum

perbankan tidak dapat lain, kecuali untuk penyelenggaraan operasional industri

perbankan yaitu dengan cara menerapkan peraturan yang abstrak terhadap

operasional industri perbankan yang konkrit. Dalam ruang lingkup praktik hukum

perbankan teresbut mencakup pada penyelesaian problem dan pengambilan

keputusan dalam suatu kegiatan operasional industri perbankan. Adapun

penalaran yang digunakannya, diantaranya, berupa penalaran silogisme, yaitu

suatu tipe penalaran dengan cara memasukkan suatu kejadian nyata kedalam suatu

peraturan yang umum atau suatu prinsip (asas hukum), untuk kemudian dinilai

apakah penempatan kejadian tersebut kedalam jangkauan peraturan tersebut bisa

diterima atau tidak. Jawaban tersebut menentukan dapat atau tidaknya suatu

peraturan hukum perbankan diterapkan terhadap suatu kejadian tertentu dalam

kegiatan perbankan.136

Sanksi merupakan eksistensi hukum perbankan. Kata sanksi berasal dari

bahasa Belanda yaitu “sanc tie” yang artinya alat pemaksa sebagai hukuman jika

tidak taat kepada perjanjian.137 Sedangkan menurut kamus bahasa besar bahasa

Indonesia online, Sanksi berarti tanggungan (tindakan-tindakan, hukuman) untuk

memaksa orang menepati perjanjian atau menaati ketentuan.138

136

Muhammad Djumhana, Op.Cit., hlm. 56.

137 S. Wojo Wasito, Kamus Umum Belanda-Indonesia (Jakarta: Sinar grafika, 2004), hlm.

152.

138

(22)

Kamus istilah hukum karangan J.C.T. Simorangkir dkk, sanksi mempunyai

arti ancaman hukuman, merupakan suatu alat pemaksa guna ditaatinya suatu

kaidah (undang-undang).139 Pengertian sanksi apabila dilihat dari segi tugasnya,

sanksi adalah suatu jaminan bahwa sesuatu akan ditaati yang merupakan akibat

hukum (rechtgevolg) daripada pelanggaran suatu kaidah.140

Menurunnya tingkat kesehatan bank diketahui dari menurunnya peringkat

komposit kesehatan bank yaitu profil risiko (risk profile), good corporate

governance (GCG), Rentabilitas (earnings), dan permodalan (capital).

Menurunnya peringkat komposit bank umum dikarenakan beberapa hal yakni:

1. Kerugian yang dihadapi bank dari risiko inheren komposit tergolong

tinggi/sangat tinggi selama periode waktu tertentu di masa datang.

2. Kualitas penerapan manajemen risiko secara komposit kurang/tidak memadai.

Terdapat kelemahan signifikasi pada berbagai aspek manajemen risiko di mana

tindakan penyelesaiannya di luar kemampuan manajemen.

3. Kerugian yang dihadapi bank dari risiko kredit, risiko pasar, risiko likuiditas,

risiko operasional, risiko hukum, risiko stratejik, risiko kepatuhan, risiko

reputasi tergolong tinggi/sangat tinggi selama periode waktu tertentu di masa

datang.

4. Kualitas penerapan manajemen risiko kredit, risiko pasar, risiko likuiditas,

risiko operasional, risiko hukum, risiko stratejik, risiko kepatuhan, risiko

reputasi kurang/tidak memadai. Terdapat kelemahan signifikasi pada berbagai

aspek manajemen risiko kredit, risiko pasar, risiko likuiditas, risiko

139J.C.T. Simorangkir dkk., Kamus Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm. 152. 140

(23)

operasional, risiko hukum, risiko stratejik, risiko kepatuhan, risiko reputasi di

mana tindakan penyelesaiannya di luar kemampuan manajemen.

5. Manajemen bank telah melakukan penerapan good corporate governance

yang secara umum kurang/tidak baik. Hal ini tercermin dari pemenuhan yang

kurang/tidak memadai atas prinsip-prinsip good corporate governance, maka

secara umum kelemahan tersebut sangat signifikan dan sulit untuk diperbaiki

oleh manajemen bank.

6. Rentabilitas kurang/tidak memadai, laba tidak memenuhi target dan

kurang/tidak dapat diandalkan serta memerlukan peningkatan kinerja laba

segera untuk memastikan kelangsungan usaha bank.

7. Bank memiliki kualitas dan kecukupan permodalan yang kurang/tidak

memadai relatif terhadap profil risikonya, yang disertai dengan pengelolaan

permodalan yang lemah/sangat lemah dibandingkan dengan karakteristik, skala

usaha, dan kompleksitas usaha bank.

Hal-hal yang disebutkan diatas mempengaruhi hasil penilaian kesehatan

bank umum. Peringkat komposit merupakan cerminan keadaan bank itu sendiri.

Apabila Peringkat Komposit Bank umum turun ke peringkat komposit 4 (PK-4)

yang mencerminkan kondisi bank kurang sehat, dan peringkat komposit 5 (PK-5)

yang mencerminkan kondisi bank umum tidak sehat. Kedua peringkat itu

menggambarkan bank tersebut berada dalam kondisi yang tidak sehat.

Penurunan tingkat kesehatan bank dapat menciptakan kesulitan bagi bank

dan membahayakan kelangsungan usahanya. Apabila tingkat kesehatan bank

menurun menjadi kurang sehat atau tidak sehat, serta dalam waktu sembilan bulan

(24)

tiga bulan berturut-turut, maka mungkin saja terjadi pencabutan izin usaha bank

yang bersangkutan.141 Hal ini diutarakan dalam Pasal 37 ayat (2) yakni:142

1. tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum cukup untuk mengatasi

kesulitan yang dihadapi bank; dan atau

2. menurut penilaian Bank Indonesia keadaan suatu bank dapat membahayakan

sistem Perbankan, Pimpinan Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha bank

dan memerintahkan Direksi bank untuk segera menyelenggarakan Rapat

Umum Pemegang Saham guna membubarkan badan hukum bank dan

membentuk tim likuidasi.

Selanjutnya dalam Pasal 37 ayat (3) disebutkan dalam hal Direksi bank

tidak menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham sebagaimana dimaksud

dalam ayat (2), Pimpinan Bank Indonesia meminta kepada pengadilan untuk

mengeluarkan penetapan yang berisi pembubaran badan hukum bank, penunjukan

tim likuidasi, dan perintah pelaksanaan likuidasi sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. 143

Pasal 17 PBI No. 13/1/PBI/2011 menyatakan bagi bank yang melakukan

pelanggaran terhadap ketentuan dalam PBI No. 13/1/PBI/2011 tentang penilaian

kesehatan bank umum akan dikenakan sanksi administratif sebagaimana yang

dimaksud dalam Pasal 52 UU Perbankan berupa:144

1. teguran tertulis;

2. penurunan tingkat kesehatan bank;

141http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/analisis_tingkat_kesehatan_bank/f.Bab_I_Pe

nilaian_Tingkat_Kesehatan_Bank.pdf (diakses tanggal 17 November 2015)

142 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Jo Undang-Undang Nomor

10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, Bab V, Pasal 37 ayat (2).

143 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Jo Undang-Undang Nomor

10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, Bab V, Pasal 37 ayat (3).

144

(25)

3. pembekuan kegiatan usaha tertentu; dan/atau

4. pencantuman pengurus dan/atau pemegang saham bank dalam daftar

pihak-pihak yang mendapatkan predikat tidak lulus dalam penilaian kemampuan dan

(26)

BAB IV

KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM

SEBAGAI SALAH SATU LANGKAH PENYEHATAN PERBANKAN

A. Kemampuan Bank Menyerap Risiko terkait Peningkatan Kualitas dan

Kuantitas Permodalan menurut Peraturan Bank Indonesia No. 15/ 12

/PBI/2013

Sistem keuangan yang stabil adalah sistem keuangan yang kuat dan tahan

terhadap berbagai gangguan ekonomi sehingga tetap mampu melakukan fungsi

intermediasi, melaksanakan pembayaran dan menyebar risiko secara baik. Arti

stabilitas sistem keuangan dapat dipahami dengan melakukan penelitian terhadap

faktor-faktor yang dapat menyebabkan instabilitas di sektor keuangan.

Ketidakstabilan sistem keuangan dapat dipicu oleh berbagai macam penyebab dan

gejolak. Hal ini umumnya merupakan kombinasi antara kegagalan pasar, baik

karena faktor struktural maupun perilaku. Kegagalan pasar itu sendiri dapat

bersumber dari eksternal (internasional) dan internal (domestik). Risiko yang

sering menyertai kegiatan dalam sistem keuangan antara lain risiko kredit, risiko

likuiditas, risiko pasar dan risiko operasional.145

Bank, sebagaimana lembaga keuangan atau perusahaan umumnya dalam

menjalankan kegiatan guna mendapatkan hasil usaha (return) selalu dihadapkan

pada risiko. Risiko yang mungkin terjadi dapat menimbulkan kerugian bagi Bank

jika tidak terdeteksi serta dikelola sebagaimana mestinya. Untuk itu, Bank harus

mengerti dan mengenal risiko-risiko yang mungkin timbul dalam pelaksanaan

145

(27)

usahanya.146 Pengertian Risiko Menurut Pasal 1 angka 4 Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 tentang perubahan atas Peraturan Bank

Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank

Umum adalah potensi terjadinya suatu peristiwa (events) yang dapat menimbulkan

kerugian bank.147

Risiko dapat dikatakan sebagai peluang terjadinya kerugian atau kehancuran

lebih luas risiko dapat diartikan sebagai suatu peluang terjadinya kerugian atau

kehancuran. Lebih luas risiko dapat diartikan sebagai kemungkinan terjadinya

hasil yang tidak diinginkan atau berlawanan dari yang diinginkan. Risiko dapat

menimbulkan kerugian apabila tidak diantisipasi serta tidak dikelola sebagaimana

mestinya. Sebaliknya risiko yang dikelola dengan baik akan memberikan ruang

pada terciptanya peluang untuk memperoleh suatu keuntungan yang lebih

besar.148

Peristiwa yang menyebabkan timbulnya risiko (risk event) didefiniskan

sebagai munculnya kejadian yang dapat menciptakan potensi kerugian atau hasil

yang tidak diinginkan. Risk event secara sederhana dapat didefinisikan sebagai

penyebab terjadinya suatu risiko. Peristiwa tersebut berasal dari kejadian internal

ataupun external. Kejadian internal yang dimaksud adalah kejadian yang berasal

dari dalam institusi itu sendiri, seperti kesalahan sistem, kesalahan manusia,

kesalahan prosedur, dan lain-lain. Kejadian internal pada dasarnya bisa dicegah

agar tidak terjadi.149

146 Fery N. Indroes dan Sugiarto, Op.Cit., hlm. 6. 147

Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 tentang perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum, Pasal 1 angka 4.

148

Fery N. Indroes dan Sugiarto, Op.Cit., hlm. 7.

149

(28)

Sebaliknya kejadian external adalah kejadian yang bersumber dari luar yang

tidak dapat dihindari. Peristiwa yang menyebabkan timbulnya risiko bagi bank

yang bersumber dari external seperti bencana alam, bencana akibat ulah manusia

seperti kerusuhan dan perang, krisis ekonomi global, krisis ekonomi regional,

krisis ekonomi lokal, hingga dampak sisitemik yang ditimbulkan oleh masalah

pada lembaga keuangan atau bank lain. Semua kejadian tersebut tidak dapat

diprediksi seberapa jauh pengaruhnya terhadap sebuah bank. Terhadap peristiwa

tersebut hanya dapat dikelola dan dikurang dampak kerugian yang diderita.150

Pemberlakuan PBI No. 15/12/PBI/2013 tentang kewajiban penyediaan

modal minimum untuk menggantikan atau mencabut peraturan sebelumnya yaitu

Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/18/PBI/2012 yang selanjutnya disebut PBI

No. 14/18/PBI/2012. Hal ini dilakukan pemerintah dikarenakan PBI No.

14/18/PBI/2012 tidak relevan lagi menjawab persoalan perbankan. Pemerintah

membuat, mencabut, mengubah, memperbaharuhi peraturan untuk mampu

mengatasi guncangan dari ketidakpastian risiko di masa yang akan datang.

Pemberlakuan Basel III sebagai acuan standar nasional menjadi pertimbangan di

keluarkannya PBI No. 15/12/PBI/2013 tentang kewajiban penyediaan modal

minimum.

Peningkatan kualitas dan kuantitas permodalan bank yang sesuai dengan

standar internasional diperlukan dalam rangka meningkatkan kemampuan bank

untuk menyerap risiko. Peningkatan kualitas modal dilakukan melalui

penyesuaian persyaratan komponen dan instrumen modal bank, serta penyesuaian

rasio-rasio permodalan. Untuk meningkatkan kualitas permodalan bank,

150

(29)

komponen dan persyaratan instrumen modal disesuaikan mengacu pada standar

internasional yang berlaku. Standar internasional yang berlaku dan menjadi acuan

adalah “Global Regulaltory Framework for More Resilent Banks and Banking

System” yang lebih dikenal dengan Basel III.

Komponen modal inti (Tier 1) bank terutama harus didominasi oleh

instrumen modal berkualitas tinggi, yaitu saldo laba yang merupakan bagian dari

modal inti utama atau common equity tier 1. Pada Pasal 11 ayat (1) angka a

disebutkan bahwa komponen modal disetor adalah bagian dari modal inti utama

atau common equity tier 1. Komponen modal disetor ditingkatkan kualitasnya

melalui penambahan persyaratan instrumen modal disetor yaitu tentang saldo laba

dan sumber pendanaan. Penambahan persyaratan instrumen modal disetor yaitu

tentang saldo laba yang diatur di dalam Pasal 12 ayat (1) huruf f PBI No.

15/12/PBI/2013 yang isinya adalah memiliki karakteristik pembayaran dividen

atau imbal hasil yaitu :151

1. berasal dari saldo laba dan/atau laba tahun berjalan;

2. tidak memiliki nilai yang pasti dan tidak terkait dengan nilai yang dibayarkan

atas instrumen modal; dan

3. tidak memiliki fitur preferensi.

Penambahan persyaratan instrumen modal disetor yaitu tentang sumber

pendanaan diatur dalam Pasal 12 ayat (1) huruf g yaitu sumber pendanaan tidak

berasal dari bank penerbit baik secara langsung atau tidak langsung. Persyaratan

tentang saldo laba dan sumber pendanaan tidak ada diatur dalam Peraturan

sebelumnya yang telah dicabut yakni PBI no 14/18/PBI/2012. Komponen modal

151

(30)

inti (Tier 1) bank terutama harus didominasi oleh instrumen modal berkualitas

tinggi, yaitu saham biasa (common stocks). Pasal 9 ayat (1) huruf a menyebutkan

bahwa modal inti tambahan merupakan bagian dari modal inti (Tier 1).

Saham biasa (common stocks) merupakan bagian dari persyaratan modal inti

tambahan hal ini terdapat dalam Pasal 1 huruf d PBI No. 15/12/PBI/2013 yaitu

memiliki fitur yang dikonversi menjadi saham biasa atau mekanisme write down

apabila bank berpotensi terganggu kelangsungan usahanya (point of non viability)

yang dinyatakan secara jelas dalam dokumentasi penerbitan/perjanjian.

Komponen modal inti lainnya yaitu modal inti tambahan (Additional Tier1)

ditingkatkan kualitasnya menjadi hanya dapat berupa instrumen keuangan yang

bersifat subordinasi dengan pembayaran dividen atau imbal hasil bersifat non

kumulatif serta memenuhi kriteria tertentu. Aturan peningkatan kualitas modal inti

tambahan bersifat subordinasi dengan jelas diatur di dalam Pasal 15 ayat (1) huruf

e yang isinya persyaratan instrumen modal inti tambahan harus bersifat

subordinasi pada saat likuidasi, yang secara jelas dinyatakan dalam dokumentasi

penerbitan/perjanjian.

Komponen modal inti tambahan merupakan penyempurnaan dari komponen

modal inovatif yang sebelumnya merupakan bagian dari modal inti Bank.

Terdapat perbedaan dalam hal persyaratan setelah komponen modal inovatif

disempurnakan menjadi komponen modal inti tambahan. Setelah disempurnakan

instrumen persyaratan modal inti tambahan diatur di dalam Pasal 15 ayat (1)

Peraturan Bank Indonesia 15/12/PBI/2013. Perbedaannya dengan komponen

modal inovatif yang diatur dalam Pasal 12 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia

(31)

“tersedia untuk menyerap kerugian yang terjadi sebelum likuidasi maupun pada

saat likuidasi” dihapuskan dan menjadi “bersifat subordinasi pada saat di

likuidasi, yang secara jelas dinyatakan dalam dokumentasi penerbitan perjanjian”

yang diatur dalam Pasal 15 ayat ( 1) huruf e, yang kedua persyaratan fitur opsi

beli pada Pasal 12 ayat (2) huruf f angka 1 PBI No. 14/18/PBI/2012 yaitu “hanya

dapat dieksekusi paling cepat 10 (sepuluh) tahun setelah instrumen modal

diterbitkan” diubah menjadi “hanya dapat dieksekusi paling cepat 5 (lima) tahun

setelah instrumen modal diterbitkan” yang diatur dalam Pasal 15 ayat (1) huruf i

angka 1 PBI No. 15/12/PBI/2013, yang ketiga Pasal 12 ayat (2) huruf f angka 3

PBI No. 14/18/PBI/2012 fitur step up dalam instrumen modal inovatif dihapuskan

ketika penyempurnaan menjadi komponen modal inti tambahan hal ini dapat

dilihat dalam Pasal 15 ayat (1) huruf c PBI No. 15/12/PBI/2013 yang isinya

instrumen modal inti tambahan tidak memiliki fitur step up, dan yang keempat

terdapat beberapa persyaratan yang ditambahkan dalam Pasal 15 ayat (1) PBI No

15/12/PBI/2013 yakni huruf j yang isinya tidak dapat dibeli oleh bank penerbit

dan/atau perusahaan anak, dan huruf k sumber pendanaan tidak berasal dari bank

penerbit baik secara langsung maupun tidak langsung, tidak memiliki fitur yang

menghambat proses penambahan modal di masa mendatang.

Sejalan dengan peningkatan kualitas modal inti, komponen dan persyaratan

instrumen modal pelengkap (Tier 2) juga ikut disesuaikan, antara lain dengan

menghapuskan kategori modal pelengkap yang diatur dalam Pasal 15 ayat (2) PBI

No. 14/18/PBI/2012 yaitu modal pelengkap level atas (Upper Tier 2) dan modal

pelengkap level bawah (Lower Tier 2). Sehingga dalam PBI No. 15/12/PBI/2013

(32)

pelengkap level bawah (Lower Tier 2), dan disebut hanya modal pelengkap saja

tidak terbagi lagi. Namun perhitungannya masih sama yaitu diperhitungkan paling

tinggi sebesar 100% (seratus persen) dari modal inti. Komponen modal pelengkap

tambahan (Tier 3) yang sebelumnya dapat diterbitkan hanya untuk perhitungan

modal untuk risiko pasar, dengan berlakunya Basel III menjadi dihapuskan.

Untuk memastikan kualitas atau tingkat permodalan Bank memadai,

dilakukan penyempurnaan rasio-rasio permodalan yang meliputi rasio modal inti

dan rasio modal inti utama. Pasal 11 ayat (2) PBI No. 15/12/PBI/2013

mengutarakan Bank wajib menyediakan modal inti paling rendah sebesar 6%

(enam persen) dari ATMR baik secara individual maupun secara konsolidasi

dengan perusahaan anak.152 Jumlah rasio modal inti ditingkatakan sebesar 1%. Ini

dapat diketahui dengan membandingkan penyediaan rasio modal inti dalam PBI

Nomor 15/12/PBI/2013 dengan rasio modal inti PBI No. 14/18/PBI/2012. Pasal 7

ayat (1) PBI No. 14/18/PBI/2012 mengutarakan Bank wajib menyediakan modal

inti paling kurang sebesar 5% (lima persen) dari ATMR baik secara individual

maupun secara konsolidasi dengan perusahaan anak. Dari kedua perbandingan

diatas disimpulkan rasio modal inti mengalami kenaikan 1% (satu persen). Bank

juga diwajibkan menyediakan rasio modal inti utama paling rendah sebesar 4,5%

(empat koma lima persen) dari ATMR, hal ini diatur dalam Pasal 11 ayat (3) PBI

No. 15/12/PBI2013 yang bunyinya adalah Bank wajib menyediakan modal inti

utama paling rendah sebeasar 4,5% (empat koma lima persen) dari ATMR baik

secara individual maupun secara konsolidasi dengan perusahaan anak. 153

152 Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/12/PBI/2013 tentang

Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum, Bab II, Pasal 11 ayat (2).

153

(33)

Bank perlu membentuk tambahan modal di atas persyaratan penyediaan

modal minimum sesuai profil risiko yang berfungsi sebagai penyangga (buffer)

apabila terjadi krisis keuangan dan ekonomi yang dapat mengganggu stabilitas

keuangan. Pasal 3 ayat (8) PBI No. 15/12/PBI2013 mengutarakan penetapan

pemenuhan tambahan modal dipenuhi dengan komponen modal inti utama dan

ayat (9) dikatakan pemenuhan tambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat

(8) diperhitungkan setelah komponen modal inti utama sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a dialokasikan untuk memenuhi kewajiban

penyediaan:154

1. Modal inti utama minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3);

2. Modal inti minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2); dan

3. modal minimum sesuai profil risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat

(3).

Pasal 3 ayat (2) PBI No. 15/12/PBI2013 mengutarakan bank diwajibkan

untuk membentuk tambahan modal berupa capital conservation buffer dan

countercylical buffer, dan bank yang dianggap berpotensi sistemik wajib

membentuk tambahan modal berupa capital surcharge.155 Capital conservation

buffer adalah salah satu tambahan modal yang diwajibkan harus dipenuhi.

Menurut Pasal 1 angka 9 PBI No. 15/12/PBI2013 pengertian capital conservation

buffer adalah tambahan modal yang berfungsi sebagai penyangga (buffer) apabila

154 Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/12/PBI/2013 tentang

Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum, Bab I, Pasal 3 ayat (9).

155

(34)

terjadi kerugian pada periode krisis.156 Pasal 3 ayat (3) huruf a menetapkan besarnya capital conservation buffer yaitu sebesar 2,5% (dua koma lima persen

dari ATMR).157 Pasal 4 ayat (1) mengutarakan bahwa kewajiban pembentukan

capital conservation buffer sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3)

huruf a berlaku bagi bank yang tergolong sebagai Bank Umum Kegiatan Usaha

(BUKU) 3 dan BUKU 4.158 Kewajiban bank untuk membentuk tambahan modal

berupa capital consevation buffer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3)

huruf a berlaku secara bertahap mulai tanggal 1 Januari 2016, hal ini diutarakan di

dalam Pasal 6 ayat (1). Pasal 6 ayat (2) menyebutkan pembentukan capital

consevation buffer wajib dipenuhi secara bertahap sebagai berikut:159

1. sebesar 0,625% (nol koma enam ratus dua puluh lima persen) dari ATMR

mulai tanggal 1 Januari 2016;

2. sebesar 1,25% (satu koma dua puluh lima persen) dari ATMR mulai tanggal 1

Januari 2017;

3. sebesar 1,875% (satu koma delapan ratus tujuh puluh lima persen) dari ATMR

mulai tanggal 1 Januari 2018; dan

4. sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari ATMR mulai tanggal 1 Januari

2019.

Pengertian countercylical buffer dalam Pasal 1 angka 10 PBI No.

15/12/PBI/2013 adalah tambahan modal yang berfungsi sebagai penyangga

(buffer) untuk mengantisipasi kerugian apabila terjadi pertumbuhan kredit

156Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/12/PBI/2013 tentang

Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum, Bab I, Pasal 1angka 9.

157Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/12/PBI/2013 tentang

Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum, Bab I, Pasal 3 ayat (3) huruf a.

158 Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/12/PBI/2013 tentang

Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum, Bab I, Pasal 4 ayat (1).

159

(35)

perbankan yang berlebihan sehingga berpotensi mengganggu stabilitas sistem

keuangan.160 Dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a diutarakan countercyclical buffer

ditetapkan dalam kisaran sebesar 0% (nol persen) sampai dengan 2,5% (dua koma

lima persen) dari ATMR.161 Penetapan besarnya persentase countercylical buffer

dilakukan oleh Bank Indonesia. Bank Indonesia dapat menetapkan besarnya

kisaran persentase countercylical buffer yang berbeda dari kisaran sesuai dengan

perkembangan kondisi makroekonomi. Penerapan countercylical buffer tidak

seperti capital conservation buffer yang berlaku bagi bank yang tergolong sebagai

Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) 3 dan BUKU 4, dikatakan dalam Pasal 4

ayat (2) kewajiban pembentukan countercylical buffer berlaku bagi seluruh bank.

Pasal 6 ayat (3) mengatakan Kewajiban bank untuk membentuk tambahan modal

berupa countercylical buffer nulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2016,

ditambahkan dalam ayat (4) berdasarkan penilaian Bank Indonesia atas kondisi

makroekonomi Indonesia, Bank Indonesia dapat menetapkan pemberlakuan

countercyclical buffer lebih cepat dari waktu sebagaimana dimaksud pada ayat

(3). Penjelasan Pasal 4 ayat (1) PBI No. 15/12/PBI/2013 Pengelompokan BUKU

mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kegiatan usaha

dan jaringan kantor berdasarkan modal inti bank.162

Tambahan modal yang terakhir adalah capital surcharge untuk domestic

systemically important bank (D-SIB). Pasal 1 ayat (11) PBI No. 15/12/PBI/2013

diutarakan capital surcharge untuk domestic systemically important bank (D-SIB)

160 Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/12/PBI/2013 tentang

Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum, Bab I, Pasal 1 angka 10.

161 Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/12/PBI/2013 tentang

Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum, Bab I, Pasal 3 ayat (3).

162

(36)

adalah tambahan modal yang berfungsi untuk mengurangi dampak negatif

terhadap stabilitas sistem keuangan dan perekonomian apabila terjadi kegagalan

Bank yang berdampak sistemik melalui peningkatan kemampuan Bank dalam

menyerap kerugian. Pasal 3 ayat (3) huruf c menyatakan capital surcharge untuk

domestic systemically important bank ditetapkan dalam kisaran sebesar 1% (satu

persen) sampai dengan 2,5% (dua koma lima persen) dari ATMR. Penetapan

besarnya capital surcharge untuk domestic systemically important bank dilakukan

oleh otoritas yang berwenang. Pasal 4 ayat (3) menyatakan Kewajiban

pembentukan besarnya capital surcharge untuk domestic systemically important

bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf c berlaku bagi Bank

yang ditetapkan berdampak sistemik. Penetapan bank yang berdampak sistemik

dilakukan oleh otoritas yang berwenang sesuai ketentuan yang berlaku.

Eksekutif dalam manajemen bank serta seluruh pihak terkait, secara khusus

harus mengetahui risiko-risiko yang mungkin timbul dalam kegiatan usaha bank,

serta mengetahui bagaimana dan kapan risiko tersebut muncul untuk dapat

mengambil tindakan yang tepat. Pemahaman yang umum mengenai

masing-masing kategori risiko adalah penting sehingga para manager, pelaksana (risk

taker), dan bagian pengawasan dapat berdiskusi tentang masalah-masalah umumy

yang secara alami terjadi dari berbagai eksposur risiko.163 Risiko itu sendiri tidak

harus selalu dihindari pada semua keadaan namun semestinya dikelola secara baik

tanpa harus mengurangi hasil yang ingin dicapai. Risiko yang dikelola dengan

tepat dapat memberikan manfaat kepada Bank dalam menghasilkan laba yang

163

(37)

atraktif. Agar manfaat tersebut dapat terwujud, para pengambil keputusan harus

mengerti tentang risiko pengelolaanya.164

Untuk itu bank harus mengerti dan mengenal risiko-risiko yang mungkin

timbul dalam melaksankan kegiatan usahanya. Besarnya risiko yang terkandung

dalam suatu bank pada hakikatnya menunjukkan besarnya potencial problem yang

dihadapi oleh bank tersebut. Agar risiko tidak menjelma secara nyata menjadi

problem maka dibutuhkan sumber daya di dalam bank untuk menopangnya.165

Penyebab bank-bank mengalami pemburukan aset kredit atau masalah

lainnya, setidaknya dapat diteropong dalam beberapa aspek. Setidaknya, ada dua

aspek sumber masalah yang dihadapi bank sebagai unit usaha bisnis yang tak

lepas dari berbagai risiko. Kedua aspek itu bisa karena persoalan di internal bank

atau eksternal. Faktor internal bank bisa menjadi sumber bank mengalami masalah

bila bank itu dikelola dengan tidak hati-hati, khususnya dalam manajemen risiko,

lemahnya pengendalian internal, campur tangan pemilik dalam operasional bank

atau adanya kesalahan penetapan startegi yang bermuara bank mengalami

kerugian. Sedangkan faktor eksternal bank seperti perubahan lingkungan bisnis.166

Dengan semakin meningkatnya risiko yang dihadapi oleh bank, maka bank

perlu mengendalikan risiko dimaksud sehingga kualitas penerapan manajemen

risiko bank menjadi semakin meningkat. Upaya peningkatan kualitas penerapan

manajemen risiko tidak hanya ditujukan bagi kepentingan bank, tetapi juga bagi

kepentingan nasabah. Salah satu aspek penting dalam melindungi kepentingan

164 Ibid., hlm. 7.

165Bismar Nasution, “Aspek Hukum Peran Bank Sentral dalam Stabilitas Sistem Keuangan

(SSK)”,Disampaikan pada “Focus Group Discussion (FGD) tentang Peran Bank Sentral dalam

Stabilitas Sistem Keuangan (SSK)”, (Padanga: Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), 28 Mei 2009), hlm.18. (dalam Tesis Syuratti Astuti Manalu)

166

(38)

nasabah dan dalam rangka pengendalian risiko adalah transparansi informasi

terkait produk atau aktivitas bank. Selain itu, peningkatan kualitas penerapan

manajemen risiko diharapkan akan mendukung efektivitas kerangka pengawasan

bank berbasis risiko yang dilakukan oleh Bank Indonesia.167

. Sebaliknya, tidak mengambil risiko sama sekali adalah salah karena tidak

ada peluang sama sekali untuk memperoleh hasil. Untuk itu risiko harus dihadapi

dalam setiap aktivitas sehingga memberikan peluang untuk memperoleh hasil

yang diharapkan, namun demikian risiko harus dikelola dengan hasil yang baik.168

Peningkatan kualitas dan kuantitas permodalan dilakukan agar bank mampu

menyerap risiko yang muncul dikemudian hari. Kuliatas dan kuantitas permodalan

telah disesuaikan dengan standar yang berlaku secara internasional yaitu BASEL

III. Dengan terpenuhinya kuantitas dan kualitas permodalan, bank diharapkan

mampu menjalankan kegiatannya dengan baik tanpa harus terganggu dengan

risiko-risiko yang muncul.

Risiko itu sendiri tidak harus selalu dihindari pada semua keadaan namun

semestinya dikelola secara baik tanpa harus mengurangi hasil yang ingin dicapai.

Risiko yang dikelola dengan tepat dapat memberikan manfaat kepada Bank dalam

menghasilkan laba yang atraktif. Agar manfaat tersebut dapat terwujud, para

pengambil keputusan harus mengerti tentang risiko pengelolaanya.169

Meningkatkan kuantitas dan kulitas permodalan adalah cara mengelola risiko,

agar risiko yang timbul dari kegiatan usaha yang dilakukan bank untuk

menghasilkan laba dapat diatasi.

167 Syuratty Astuti Rahayu Manalu, Op.Cit. 168

Fery N. Indroes dan Sugiarto, Op.Cit., hlm. 8

169

Referensi

Dokumen terkait

Bapak Nanang Kosim selaku Chief Operation serta seluruh staff Shafira Surabaya yang telah berkenan memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan penelitian serta

Antibodi CD117 terdapat banyak variasi dari perusahaan yang memproduksinya terdapat adanya dako,biocare,novacastra,zymed dan prosedur tata laksana pewarnaan

(2) Kualitas modul pembelajaran IPA berorientasi pendidikan karakter berdasarkan hasil evaluasi para ahli dan uji coba produk kepada siswa menunjukan (1) review ahli

Perhitungan tersebut menunjukkan bahwa penghargaan finansial, pelatihan profesional, pengakuan profesional, lingkungan kerja, nilai-nilai sosial, pertimbangan pasar

Adapun pengalaman belajar yang diberikan kepada mahasiswa berdasarkan Satuan Acara Perkuliahan (SAP) Jurusan Fisika (2007) adalah memahami konsep dasar gelombang, gejala

Pembelajaran dengan menggunakan cooveratif learning model think,pair, share, ternyata mampu mengubah perilaku dan sikap siswa terhadap pelajaran- pelajaran yang

jawabannya perlu, berikan alasannya dan buatlah contoh pengembangan level akses method dari contoh diatas. Buatlah tutorial bagaimana cara penanganan kesalahan

bertujuan untuk memperbaiki atau meningkatkan proses pembelajaran di kelas. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode penelitian tindakan kelas tipe.. guru