OLEH FATMAWATI
H14070081
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
Kabupaten/Kota di Indonesia (dibimbing oleh D.S. PRIYARSONO)
Era reformasi telah membuat banyak perubahan khususnya dalam tata pemerintahan. Pemerintahan yang awalnya bersifat sentralistik, kini menjadi desentralistik. Desentralisasi membuat pemerintah daerah memiliki wewenang untuk mengatur daerahnya masing-masing sesuai Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 (telah direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004) dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 (telah direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004). Adanya desentralisasi membuat wilayah yang merasa tidak puas dengan kinerja pemerintahan daerahnya dapat membentuk daerah baru, yang disebut pemekaran wilayah. Sebelum disahkannya kedua undang-undang tersebut, pemekaran wilayah telah terlaksana. Namun kedua undang-undang tersebut membuat syarat pemekaran menjadi lebih jelas dan pemekaran semakin mudah untuk dilaksanakan. Hal ini mengakibatkan pemekaran wilayah, khususnya untuk pemekaran kabupaten dan kota menjadi semakin marak terjadi.
Tujuan pemekaran yaitu untuk meningkatkan kemandirian daerah dan meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat, sehingga kondisi masyarakat dapat lebih baik. Namun kini tujuan dari pemekaran ditengarai telah berubah. Tidak jarang pemekaran dijadikan sebagai alat untuk mendapatkan kekuasaan politik, sumber pembiayaan yang lebih, serta hal-hal lainnya yang dapat menggagalkan tujuan dari pemekaran itu sendiri. Hal inilah yang membuat banyaknya pemekaran menjadi belum berhasil.
OLEH
FATMAWATI H14070081
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
NRP : H14070081
Menyetujui, Dosen Pembimbing
D.S. Priyarsono, Ph.D NIP. 19610501 198601 1 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec NIP. 19641022 198903 1 003
Tanggal Kelulusan:
BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Juli 2011
Fatmawati H14070081
Rangkasbitung, Provinsi Banten. Penulis merupakan anak tunggal dari pasangan M. Ferdinand dan Anah. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan. Penulis mengawali pendidikan di TK Kuncup Harapan dan menyelesaikannya pada tahun 1995, kemudian melanjutkan ke SDN Bantarjati V Bogor dan lulus pada tahun 2001. Penulis melanjutkan pendidikannya ke SMP Negeri 5 Bogor dan lulus pada tahun 2004, kemudian melanjutkan ke SMA Negeri 3 Bogor dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) jurusan Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen.
Penulis diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Semasa kuliah di IPB, penulis aktif pada kegiatan seni dan budaya, seperti tergabung dalam kegiatan ekstrakulikuler Gentra Kaheman, dan Community of Art Sport and Culture (COAST) FEM dibidang Seni Tari. Selama tergabung dalam Gentra Kaheman dan COAST Tari FEM, penulis sering mengisi acara dengan membawakan tarian tradisional Indonesia, diantaranya Saman, Yapong, dan Jaipong.
Selain aktif di kegiatan seni, penulis sempat mengikuti kegiatan Program Kreativitas Mahasiswa di bidang Pengabdian Masyarakat, dan lulus hingga tahap monitoring dan evaluasi. Penulis juga merupakan anggota dari Onigiri Japan Club, yaitu perkumpulan mahasiswa yang menyukai budaya Jepang. Pada tahun 2011 penulis melakukan penelitian dengan judul “Faktor-Faktor Keberhasilan Pemekaran Wilayah Kabupaten/Kota di Indonesia” untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi.
dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Faktor-Faktor Keberhasilan Pemekaran Wilayah Kabupaten/Kota di Indonesia”. Pemekaran wilayah merupakan sesuatu yang sudah lama terlaksana, namun dalam perjalanannya pemekaran tersebut banyak yang tidak berhasil, ditandai dengan tidak tercapainya tujuan pemekaran. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan tokpik ini dan melihat faktor apa saja yang dapat memengaruhi keberhasilan pemekaran khususnya di kabupaten dan kota. Sehingga diharapkan kedepannya kabupaten dan kota yang belum berhasil dapat memeperbaiki kinerja perekonomiannya dan menjadi daerah yang berhasil dalam pemekarannya. Selain itu, skripsi ini juga merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah membimbing dan membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini, sehingga penulis dapat menyelesaikannya dengan baik, terutama kepada: 1. Dominicus Savio Priyarsono, Ph.D, yang telah memberikan bimbingan baik
secara teknis maupun teoritis dalam proses pembuatan skripsi ini, sehingga dapat diselesaikan dengan baik.
2. Dr. Yeti Lis Purnamadewi yang telah menguji hasil karya ini. Semua kritik dan saran yang beliau berikan merupakan hal yang sangat berharga dalam penyempurnaan skripsi ini.
4. Seluruh dosen, staf, dan civitas akademika Departemen Ilmu Ekonomi FEM-IPB yang telah memberikan ilmu dan bantuan kepada penulis selama menjalani studi di Departemen Ilmu Ekonomi.
5. Keluarga tersayang, papih M. Ferdinand, mama Anah, dan segenap keluarga besar yang telah memberikan kasih sayang, perhatian, motivasi, dan dukungan baik moril maupun material, serta doa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dan pendidikan sarjana ini dengan baik.
6. Teman-teman satu bimbingan skripsi, Hesti Ayu Hapsari, Putri Nilam Kencana, dan Ni Luh Putu Aria atas semangat, motivasi, doa, dan perjuangan yang telah dilalui bersama.
7. Teman-teman dari Departemen Ilmu Ekonomi, Sari Rina Fitriyah, Ika Mustika Sari, Pramita Kurnia W, Risya Utami, Ida Nur’Aini, Destia Harum, Ajeng Endartrianti, Michelia Widya Agri, Nurul Andelisa dan lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu, atas bantuan, semangat dan doanya.
8. Sahabat-sahabatku M. Fahri Arfanto, Annita Arraafi R, Ryanda Agung W, Ayu Azriani Azahari, Irena Titin Kartika, dan teman-teman Onigiri Japan Club atas sharing, motivasi, dukungan, dan doanya kepada penulis.
10. Teman-teman peserta Seminar Hasil Penelitian Skripsi yang telah hadir dan memberikan masukan demi perbaikan skripsi ini.
11. BPS Pusat, Kementerian Dalam Negeri, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini namun tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih terdapat kekurangan, karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pihak lain yang membutuhkan.
Bogor, Juli 2011
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... v
DAFTAR GAMBAR ... vi
DAFTAR LAMPIRAN ... vii
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 6
1.3. Tujuan ... 7
1.4. Manfaat Penulisan ... 7
1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 8
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 10
2.1. Tinjauan Teoritis ... 10
2.1.1. Teori Pemekaran Wilayah ... 10
2.1.2. Teori Pembangunan Ekonomi ... 15
2.1.2.1. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) ... 19
2.1.2.2. Kemiskinan ... 21
2.1.3. Desentralisasi Fiskal ... 23
2.1.3.1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) ... 24
2.1.3.2. Dana Perimbangan ... 25
2.2. Tinjauan Empiris ... 28
2.3. Kerangka Pemikiran ... 31
2.4. Hipotesis ... 33
III. METODE PENELITIAN ... 35
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 35
3.2. Jenis dan Sumber Data ... 35
3.3. Metode Analisis Data ... 36
3.3.1. Analisis Deskriptif ... 36
3.3.3. Analisis Regresi Berganda ... 39
3.3.3. Pengujian Model dan Hipotesis ... 40
3.3.3.1. Pengujian Kesesuaian Model (Goodness of Fit) ... 40
3.3.3.2. Pengujian Asumsi Model ... 41
IV. Kondisi Ekonomi Kabupaten/Kota Hasil Pemekaran ... 47
4.1. Indeks Kinerja Ekonomi ... 47
4.2. PDRB per Kapita ... 49
4.3. Pendapatan Asli Daerah (PAD) ... 51
4.4. Dana Perimbangan ... 52
4.5. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) ... 53
4.6. Angka Kemiskinan ... 55
4.7. Perbandingan Kabupaten dan Kota ... 57
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 59
5.1. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Keberhasilan Pemekaran Wilayah ... 59
5.2. Pengujian Model dan Hipotesis ... 68
5.2.1. Pengujian Kesesuaian Model (Goodness of Fit) ... 68
5.2.2. Pengujian Hipotesis ... 68
5.2.3. Pengujian Asumsi Model ... 69
5.2.3.1. Uji Normalitas ... 69
5.2.3.2. Uji Multikolinearitas ... 69
5.2.3.3. Uji Heteroskedastisitas ... 69
5.2.3.4. Uji Autokorelasi ... 70
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 71
6.1. Kesimpulan ... 71
6.2. Saran ... 72
DAFTAR PUSTAKA ... 74
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
3.1. Pengambilan Keputusan padaUji Durbin Watson... 45
4.1. Urutan Daerah Tertinggi dan Terendah Berdasarkan Hasil Perhitungan Indeks Kinerja Ekonomi (IKE) ...48
4.2. PDRB per Kapita Kabupaten/Kota Tertinggi dan Terendah... 50
4.3. Persentase PAD terhadap Total Pendapatan pada DOB ... 51
4.4. Total Dana Perimbangan Daerah Otonom Baru ... 53
4.5. Jumlah PAD dan Dana Perimbangan Kabupaten/Kota Tertinggi dan Terendah ... 53
4.6. IPM Kabupaten/Kota Tertinggi dan Terendah ... 55
4.7. Angka Kemiskinan Beberapa DOB Kabupaten/Kota Tertinggi dan Terendah ... 57
4.8. Perbandingan Kabupaten dan Kota Berdasarkan Rata-Rata Variabel yang Dianalisis ...58
5.1. Hasil Estimasi Model Faktor-Faktor yang Memengaruhi Keberhasilan Pemekaran ... 59
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1.1. Perkembangan Jumlah Kabupaten/Kota dan Propinsi di Indonesia .... 4
1.2. Alokasi PAD dan Dana Perimbagan di Daerah Otonom Baru ... 5
2.1. Jumlah Pemekaran Provinsi, Kabupaten, dan Kota ... 15
2.2. Kurva Lorenz ... 18
2.3. Teori Lingkar Setan Kemiskinan G. Myrdal ... 22
2.4. Kerangka Pemikiran ... 32
4.1 Jumlah PDRB per Kapita Seluruh Daerah Otonom Baru ... 50
4.2. Rata-Rata Nilai IPM pada Daerah Otonom Baru ... 54
4.3. Jumlah Penduduk Miskin Kabupaten/Kota Hasil Pemekaran ... 56
5.1. Keberhasilan Pemekaran Kabupaten dan Kota ... 63
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Nilai IKE dan Tabel Keberhasilan Kabupaten/Kota ... 80
2. PDRB per Kapita ... 85
3. Perkembangan PAD DOB ... 89
4. Perkembangan IPM DOB ... 93
5. Komponen Pembentuk IPM ... 97
6. Angka Kemiskinan DOB ... 104
7. Tabel Statistika Deskriptif ... 108
8. Matriks Korelasi Pearson ... 109
9. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Memengaruhi Keberhasilan Pemekaran Wilayah ... 110
10. Uji Kenormalan Model Keberhasilan Pemekaran Wilayah Kabupaten/Kota di Indonesia ... 110
11. Uji Homoskedastisitas Model Keberhasilan Pemekaran Wilayah Kabupaten/Kota di Indonesia ... 111
12. Uji Autokorelasi Model Keberhasilan Pemekaran Wilayah Kabupaten/Kota di Indonesia ... 111
Pemekaran wilayah merupakan suatu proses pemecahan wilayah, dari
sebuah wilayah provinsi, kabupaten, ataupun kota menjadi lebih dari satu wilayah.
Tarigan (2010) menyebutkan bahwa pemekaran wilayah merupakan pembagian
kewenangan administratif suatu wilayah menjadi dua atau beberapa wilayah.
Pemekaran wilayah mencakup pembagian luas wilayah beserta potensi sumber
daya alam yang terkandung di dalamnya dan jumlah penduduk.
Pemekaran wilayah menunjukkan adanya suatu proses reformasi birokrasi
yang diwujudkan dengan adanya perubahan pola pemerintahan. Perubahan
tersebut terjadi dalam bentuk pemerintahan yang awalnya bersifat sentralistik,
menjadi diserahkan kepada pemerintah daerah masing-masing untuk mengatur
urusan pemerintahan daerah yang disebut desentralisasi. Desentralisasi mulai
dilaksanakan sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22/1999 (direvisi
menjadi Undang-Undang Nomor 32/2004). Tujuan utama desentralisasi adalah
mendukung terwujudnya efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan
daerah dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah
disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah
dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.
Suatu daerah dapat dimekarkan apabila memenuhi kriteria pemekaran
yang dirumuskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78/2007 tentang tata cara
pembentukan, penghapusan, dan penggabungan daerah. Dilakukannya pemekaran
mempercepat pertumbuhan ekonomi penduduk setempat dengan pengembangan
perekonomian daerah yang berbasiskan potensi lokal, dan menyerap lebih banyak
tenaga kerja. Hal ini membuat pemekaran wilayah sering dianggap sebagai salah
satu jalan keluar untuk mencapai pemerataan pembangunan serta meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Padahal tujuan awal pemekaran wilayah berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 129/2000 (direvisi menjadi Peraturan Pemerintah
Nomor 78/2007) yaitu untuk membentuk dearah otonom baru yang mandiri.
Alasan dilakukannya pemekaran daerah seperti yang dituliskan oleh
Tarigan (2010), pertama adanya historical ethnic yaitu selain adanya faktor
sejarah dari etnis tertentu, juga adanya keinginan untuk membuat satu kelompok
etnis berada dalam satu wilayah yang sama sehingga kegiatan ekonomi dan politik
dapat dimanfaatkan dengan sebaik mungkin. Hal ini pun telah dibuktikan oleh
Fitriani et, al. (2005) dengan menggunakan model ekonometrika. Kedua yaitu
adanya fiscal spoil yang berupa jaminan dana transfer dari pemerintah pusat ke
pemerintah daerah berupa Dana Alokasi Umum (DAU). Jaminan ini membuat
daerah berkeyakinan bahwa pengeluaran daerahnya akan dibiayai melalui alokasi
untuk pegawai negeri sipil daerah sehingga akumulasi aktivitas ekonomi
diharapkan berimplikasi positif terhadap kesejahteraan masyarakat secara umum.
Sayangnya hal ini justru dijadikan suatu alat untuk mendapatkan anggaran
pendapatan yang besar, berupa DAU.
Ketiga, bureaucracy and political rent seeking yaitu munculnya wilayah
kekuasan politik baru sehingga aspirasi politik masyarakat jauh lebih dekat,
daerah, dan menjadi peluang untuk mendapat dukungan politik yang lebih besar.
Keempat, administrative dispersion yaitu, mengatasi masalah rentang kendali
pemerintahan. Rentang kendali pemerintahan yang telalu luas dapat menyebabkan
pelayanan publik yang sulit dijangkau, pembangunan yang tidak merata, dan
kemiskinan yang tinggi pada wilayah yang letaknya jauh dari ibu kota
pemerintahan. Sehingga posisi ibukota pemerintahan menjadi faktor penentu
mana wilayah yang akan memekarkan diri. Jika daerah mekar menjadi kabupaten
baru, maka daerah tersebut awalnya merupakan daerah yang letaknya jauh dari
ibu kota di kabupaten lama, sehingga sulit bagi masyarakat untuk mendapatkan
fasilitas dan sarana umum. Namun, jika daerah mekar menjadi kota, maka yang
memisahkan diri bukanlah daerah yang sulit dijangkau, melainkan pusat kota dari
kabupaten induk.
Menurut data yang dikeluarkan oleh Ditjen Otonomi Daerah, Kemeterian
Dalam Negeri (2009), sebelum diberlakukannya otonomi daerah, yaitu tahun
1998, jumlah kabupaten dan kota di Indonesia hanya 298 kabupaten/kota. Namun
semenjak diberlakukannya otonomi daerah tahun 1999, yang ditandai dengan
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22/1999, jumlah kabupaten/kota di
Indonesia terus meningkat. Terlihat pada Gambar 1.1 bahwa hingga bulan Juni
tahun 2009 telah terjadi penambahan jumlah kabupaten/kota dari 298 menjadi
497, yaitu sebesar 67 persen. Peningkatan jumlah kabupaten/kota terbesar terjadi
298 341 341 353
391 440 440 440 440
465 495 497
0 100 200 300 400 500 600
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Jumlah Kabupaten/Kota Tahun Pemekaran
jumlah kabupaten/kota
Sumber : Ditjen Otonomi Daerah KEMDAGRI, 2009 (diolah)
Gambar 1.1. Perkembangan Jumlah Kabupaten/Kota dan Provinsi di Indonesia
Perbedaan kondisi dan potensi dari masing-masing daerah terutama daerah
yang baru mekar dalam melaksanakan desentralisasi membuat kesiapan setiap
daerah berbeda-beda. Perbedaan ini diatasi oleh pemerintah dengan memberikan
Dana Perimbangan kepada setiap daerah agar dalam pelaksanaan desentralisasi
setiap daerah memiliki kondisi yang sama. Dana Perimbangan yang diberikan
oleh pemerintah diwujudkan dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU), Dana
Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH) yang pemberiannya
disesuaikan dengan kondisi keuangan setiap daerah.
Pemekaran wilayah yang bertujuan untuk meningkatkan kemandirian
setiap daerah pada kenyataannya tidak berjalan dengan baik. Kemandirian setiap
daerah otonom baru yang ditunjukkan dengan jumlah Pendapatan Asli Daerah
(PAD) yang terus meningkat (Gambar 1.2) ternyata tidak diimbangi dengan
penurunan jumlah Dana Perimbangan yang diterima oleh setiap daerah. Dana
Perimbangan yang diterima pada kenyataannya juga terus meningkat dari tahun ke
Perimbangan setiap tahunnya. Peningkatan Dana Perimbangan dalam jangka
panjang diharapkan dapat meningkatkan investasi di daerah, sebab Dana
Perimbangan digunakan untuk membangun fasilitas-fasilitas di daerah seperti
fasilitas pelayanan publik dan infrastruktur. Meningkatnya jumlah Dana
Perimbangan yang diterima setiap tahunnya dan persentasenya yang besar
terhadap penerimaan daerah membuat ketergantungan daerah terhadap pendanaan
yang berasal dari pusat meningkat.
Sumber : DJPK Kemenkeu, 2005-2010 (diolah)
Gambar 1.2. Alokasi PAD dan Dana Perimbagan di Daerah Otonom Baru
Ketergantungan fiskal yang terjadi jika terus dibiarkan dapat mengganggu
perekonomian nasional, sebab sebagian besar pembiayaan daerah bergantung
kepada pendanaan yang berasal dari pusat, baik itu berbentuk DBH, DAU, dan
DAK. Untuk mengatasi hal tersebut, dalam Jurnal Otonomi Daerah (2009a)
disebutkan perlu adanya desain besar (grand design) penataan daerah yang
diantaranya berisi syarat jumlah maksimal kabupaten dan kota dalam suatu
provinsi serta jumlah provinsi di Indonesia. Desain besar penataan daerah ini
nantinya akan dijadikan sebagai acuan dalam menentukan apakah dalam suatu
provinsi masih diperbolehkan ada daerah yang dimekarkan atau tidak.
1034.21 1892.39 3245.89 3101.42 3611.73 4414.76 20153.76
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Tahun Juta Rupiah
1.2. Rumusan Masalah
Desentralisasi telah berjalan lebih dari sepuluh tahun semenjak
dikeluarkannya Undang Nomor 22/1999 (direvisi menjadi
Undang-Undang Nomor 32/2004) tentang pemerintahan daerah dan Undang-Undang-Undang-Undang
Nomor 25/1999 (direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 33/2004) tentang
perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Mulai saat itu setiap
daerah terkesan berlomba-lomba untuk memekarkan diri, dengan tujuan ingin
meningkatkan perekonomian daerahnya.
Tujuan pemekaran yaitu untuk meningkatkan kemandirian daerah ternyata
hingga saat ini belum tercapai. Banyak faktor yang dapat memicu
ketidakberhasilan ini, diantaranya seperti yang disebutkan dalam Jurnal Otonomi
Daerah (2009b) yaitu banyak terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh aparatur
pemerintahan, baik pelanggaran sendiri maupun bekerja sama dengan pihak lain
seperti pengusaha. Beberapa pelanggaran tersebut diantaranya adanya mark-up
ataupun mark-down harga aset pemda, pemberian izin pengelolaan sumber daya
alam kepada pihak yang tidak memiliki kemampuan yang sesuai guna
kepentingan pribadi, penyusunan APBD yang diatur Kepala Daerah, pemberian
dana kepada pejabat dengan dibebankan ke anggaran, dan hal lain yang tidak
diperkenankan. Hal ini tentu memengaruhi keberhasilan dari pemekaran dan
mungkin ini yang menjadi alasan mengapa banyak pemekaran dinyatakan belum
berhasil.
Berdasarkan uraian sebelumnya, maka penelitian ini ingin mengevaluasi
memengaruhi keberhasilan dari pemekaran wilayah yang telah berjalan hingga
saat ini. Sehingga dapat disimpulkan beberapa perumusan masalah, yaitu:
1. Bagaimana keberhasilan pemekaran kabupaten/kota yang telah memekarkan
diri lebih dari lima tahun?
2. Apa saja faktor yang memengaruhi keberhasilan pemekaran kabupaten/kota?
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis kondisi ekonomi kabupaten/kota selama lima tahun pertama
setelah pemekaran.
2. Menganalisis keberhasilan pemekaran kabupaten/kota yang telah memekarkan
diri lebih dari lima tahun.
3. Mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilan pemekaran
kabupaten/kota.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari dilakukannya penelitian ini adalah:
1. Menjadi masukan bagi pemerintah pusat dalam menilai kinerja perekonomian
kabupaten dan kota yang telah memekarkan diri.
2. Menjadi masukan bagi pemerintah daerah dalam melaksanakan otonomi
daerah.
3. Sebagai bahan pustaka dan referensi bagi pihak yang membutuhkan serta
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian dilakukan dengan menilai kinerja ekonomi dari setiap
kabupaten/kota hasil pemekaran yang biasa disebut Daerah Otonom Baru (DOB)
beserta daerah induknya. Penilaian tersebut dilakukan dengan menghitung Indeks
Kinerja Ekonomi (IKE). Perhitungan penilaian menggunakan metode IKE ini
mengikuti studi evaluasi pemekaran daerah yang dilakukan oleh BAPPENAS
bekerjasama dengan UNDP (2008). Perbedaan penelitian ini dengan penelitian
yang dilakukan oleh BAPPENAS dan UNDP adalah hasil dari evaluasi hanya
merumuskan urutan DOB, namun dalam penelitian ini dihasilkan mana saja
daerah yang berhasil dalam pemekarannya.
Komponen pembentuk IKE adalah pertumbuhan Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) non-migas, PDRB per kapita, rasio PDRB kabupaten
terhadap PDRB provinsi, dan angka kemiskinan. Nilai IKE ini menjadi dasar
penilaian keberhasilan dari pemekaran wilayah, yaitu jika DOB memiliki nilai
IKE yang lebih besar dari daerah induknya maka daerah tersebut telah berhasil
dalam melaksanakan otonomi. Namun jika nilai IKE daerah induk lebih besar
dibandingkan DOB maka pemekaran wilayah dinyatakan belum berhasil.
Alat yang digunakan dalam menganalisis faktor-faktor keberhasilan adalah
regresi berganda dengan metode estimasi Ordinary Least Square (OLS).
Penentuan faktor-faktor keberhasilan ditentukan berdasarkan tujuan dari
pemekaran itu sendiri. Pemekaran bertujuan untuk meningkatkan kemandirian
daerah, kemandirian ini dapat dilihat melalui besarnya PAD dan Dana
tebesar) dalam total pendapatan daerah. Kemandirian daerah pun dibahas dalam
penelitian Santosa dan Rahayu (2005) yaitu dengan melihat PAD sebagai
indikator kemandirian di Kabupaten Kediri.
Pemekaran juga dianggap sebagai salah satu jalan keluar dari masalah
pembangunan ekonomi yang tidak merata. Indikator pembangunan yang akan
digunakan dalam penelitian ini adalah PDRB per kapita, Indeks Pembagunan
Manusia (IPM), dan angka kemiskinan. PDRB per kapita menunjukkan tingkat
kesejahteraan masyarakat, sementara IPM dan angka kemiskinan merupakan
indikator tingkat kemerataan pembangunan yang dirumuskan oleh BPS.
Daerah yang dianalisis dalam penelitian ini dikhususkan pada DOB
berstatus kota dan kabupaten. Pemekaran provinsi tidak masuk dalam daerah yang
akan dianalisis karena jumlah pemekaran provinsi hanya sedikit, dan tingkatan
provinsi lebih tinggi dari kabupaten dan kota, sehingga tidak bisa dibandingkan.
Tarigan (2010) merumuskan bahwa DOB yang lebih baik dibandingkan daerah
induknya merupakan daerah yang secara administratif adalah kota. Maka dari itu,
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Konsep dan Teori
2.1.1. Konsep Pemekaran Wilayah
Pemekaran wilayah merupakan sebuah pembentukan daerah baru, baik
berbentuk provinsi, kabupaten, ataupun kota. Pembentukan daerah baru ini diatur
dalam Undang-Undang Nomor 32/2004 tentang pemerintahan daerah.
Pembentukan daerah baru pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, melalui pelayanan yang lebih baik, kehidupan
demokratis yang semakin berkembang, pertumbuhan ekonomi yang semakin
cepat, keamanan dan tatanan yang semakin bagus serta hubungan yang selaras
antar daerah (USAID, 2006). Namun terdapat hal yang perlu diperhatikan dalam
pemekaran wilayah, yaitu mendorong daerah induk dan DOB dapat melaksanakan
otonomi daerah secara maksimal.
Tarigan (2010) menyebutkan bahwa pemekaran bisa dilakukan pada level
provinsi maupun level yang lebih kecil, yaitu kabupaten atau kota. Pada level
provinsi terdapat satu pola pemekaran, yaitu satu provinsi mekar menjadi satu
provinsi baru dan satu provinsi induk. Sementara pada level kabupaten/kota terdiri
dari tiga pola yaitu, pertama, dari satu kabupaten menjadi satu kabupaten baru
(DOB) dan kabupaten induk. Kedua, dari satu kabupaten menjadi satu kota baru
(DOB) dan kabupaten induk. Ketiga, dari satu kabupaten menjadi lebih dari satu
kabupaten baru (DOB) dan kabupaten induk.
Pemekaran wilayah di Indonesia sebenarnya telah dilaksanakan sebelum
pemerintahan daerah dan Undang-Undang Nomor 25/1999 tentang perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Pada masa tersebut, pemekaran
ditentukan oleh pemerintah pusat dan memerlukan tahap persiapan yang lama.
Namun setelah disahkannya undang-undang tersebut, pemerintah daerah yang
dapat mengusulkan pemekaran wilayah adalah daerah yang telah memenuhi
kriteria kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial-budaya, sosial-politik,
jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangan lain yang memungkinkan
terselenggaranya otonomi daerah. Kriteria tersebut diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 129/2000 yang yang diperinci dalam 19 indikator dan 43 sub
indikator.
Menurut Wagiyo (2009) proses pembentukan daerah didasari pada tiga
syarat, yaitu administratif, teknis, dan fisik kewilayahan. Hal ini juga disebutkan
dalam Undang-Undang Nomor 32/2004 dimana dalam pembentukan daerah baru
(pemekaran wilayah), setiap daerah harus memenuhi tiga syarat, yaitu syarat
administratif, teknis, dan fisik kewilayahan. Syarat administratif untuk provinsi
meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan Bupati/Walikota yang
akan menjadi cakupan wilayah provinsi, persetujuan DPRD provinsi induk dan
Gubernur, serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri. Syarat administratif untuk
kabupaten/kota meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan
Bupati/Walikota yang bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi dan Gubernur
serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri. Syarat teknis meliputi faktor yang
menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup faktor kemampuan ekonomi,
pertahanan, keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya
otonomi daerah. Syarat fisik meliputi wilayah yang akan dimekarkan (dalam
pembentukan provinsi meliputi minimal lima kabupaten/kota, dalam pembentukan
kabupaten minimal lima kecamatan, dan dalam pembentukan kota minimal empat
kecamatan), lokasi calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nurkholis dan Nazara (2007),
secara garis besar suatu daerah akan dimekarkan apabila daerah tersebut terletak
di luar Jawa dan Bali, daerah berstatus kabupaten, memiliki rasio pendapatan
daerah sendiri terhadap pengeluaran total yang besar, bukan daerah baru hasil
pemekaran, memiliki PDRB yang berkontribusi dominan terhadap PDRB total
(atas dasar harga berlaku), seluruh kabupaten/kota yang akan dimekarkan berada
dalam satu provinsi, mempunyai jumlah penduduk yang besar, mempunyai
wilayah yang cukup luas, mendapatkan alokasi DAU yang besar, dan memiliki
nilai PDRB yang relatif kecil. Tarigan (2010) juga menyebutkan bahwa ciri khas
dari suatu DOB yang dapat berhasil dalam pemekaran, bahkan lebih baik
dibandingkan daerah induknya yaitu merupakan daerah yang secara administratif
adalah kota, daerah dengan sumberdaya alamnya melimpah, khususnya migas,
untuk menopang sumber keuangan daerahnya, dan memiliki banyak inovasi di
bidang tata pemerintahan yang memungkinkan pelayanan publik jauh lebih baik
dibandingkan sebelumnya. Pada daerah-daerah tersebut akan terlihat sarana
pendidikan, kesehatan, tata ruang, kapasitas fiskal daerah, dan pertumbuhan
ekonomi berkembang dengan baik dan tumbuh lebih cepat, sehingga
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32/2004, jenis pemekaran daerah
ada tiga, yaitu pemekaran provinsi, kabupaten, dan kota. Provinsi merupakan
wilayah administratif di bawah wilayah nasional. Provinsi dipimpin oleh seorang
Gubernur. Kabupaten dan kota merupakan wilayah administratif yang berada
dibawah provinsi. Kabupeten dipimpin oleh seorang Bupati, sementara kota
dipimpin oleh seorang Walikota. Dahulu sebelum disahkannya Undang-Undang
Nomor 22/1999 kabupaten dikenal dengan nama Daerah Tingkat II Kabupaten,
sementara kota dikenal dengan nama Daerah Tingkat II Kotamadya. Semenjak
disahkannya undang-undang tersebut, kabupaten dan kota menjadi daerah otonom
yang diberi wewenang untuk mengatur sendiri urusan pemerintahannya.
Kabupaten dan kota memiliki beberapa perbedaan, di antaranya:
1. Berdasarkan luas wilayahnya, wilayah kabupaten lebih luas daripada wilayah
kota (dalam satu provinsi). Sehingga banyak wilayah di kabupaten yang masih
tertinggal karena adanya permasalahan rentang kendali yang terlalu luas yang
mengakibatkan pemerataan pembangunan menjadi tidak tercapai.
2. Berdasarkan kependudukan, kepadatan penduduk di kabupaten lebih rendah
daripada kota. Kepadatan penduduk ini akan menjadi permasalahan manakala
pemerintah daerah belum mampu dalam hal penyediaan lapangan pekerjaan,
pendidikan, kesehatan, dan penanggulangan masalah-masalah sosial. Berbagai
permasalahan yang mungkin timbul adalah pengangguran, angka putus sekolah
yang tinggi, tingkat kesehatan masyarakat yang buruk, tidak tersedianya
fasilitas seperti sekolah, pasar, rumah sakit, jalan aspal, air bersih, dan listrik,
tinggi apabila diimbangi dengan ketersediaan lapangan kerja yang memadai,
maka tidak akan lagi menjadi suatu permasalahan, bahkan dapat meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan penduduk.
3. Berdasarkan mata pencaharian penduduk, penduduk kabupaten umumnya
bergerak di bidang pertanian atau bersifat agraris, sementara penduduk
perkotaan lebih banyak bergerak di bidang perdagangan dan jasa. Sehingga
sesuai pasal 7 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 38/2007, dalam hal
pembuatan kebijakan pembangunan daerah harus disesuaikan dengan kondisi
dan potensi unggulan daerah, sehingga akan terdapat perbedaan prioritas
kebijakan antara kabupaten dan kota.
4. Berdasarkan struktur pemerintahan, di wilayah kota hanya dibentuk wilayah
kecamatan dan kelurahan. Sementara di wilayah kabupaten selain dibentuk
wilayah kecamatan dan kelurahan, terdapat pula wilayah desa. Kecamatan dan
kelurahan merupakan bagian dari pemerintah daerah kabupaten dan kota, yang
menyatu dalam hal pembuatan kebijakan dan anggaran dengan pemerintah
daerah, sementara desa merupakan daerah otonom tersendiri di wilayah daerah
kabupaten. Berdasarkan Permendagri Nomor 37/2007, wilayah desa memiliki
sumber pendapatan sendiri dan juga sumber pendapatan yang dialokasikan dari
APBD kabupaten.
5. Berdasarkan aspek sosial budaya, penduduk kota memiliki tingkat pendidikan
dan kesehatan yang lebih baik daripada kabupaten. Fasilitas pelayanan publik
juga lebih mudah dijangkau oleh masyarkat di kota dibandingka masyarakat di
298 341 341 353
391 440 440 440 440
465 495 497
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Tahun Jumlah Pemekaran
Kabupaten dan Kota Provinsi
6. Berdasarkan aspek perekonomian, rata-rata PDRB di kabupaten lebih rendah
daripada PDRB kota.
Jika dilihat berdasarkan jumlah pemekaran, pemekaran provinsi jumlahnya
lebih sedikit dibandingkan pemekaran kabupaten dan kota (gambar 2.1). Sejak
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22/1999, provinsi haya bertambah
tujuh provinsi baru, sementara kabupaten dan kota bertambah 205 kabupaten/kota.
Tingkatan provinsi dalam pemerintahan pun berbeda dengan kabupaten/kota,
sehingga hanya pemekaran kabupaten dan kota saja yang akan dianalisis dalam
penelitian kali ini.
Sumber : Ditjen Otonomi Daerah KEMDAGRI, 2009 (diolah)
Gambar 2.1. Jumlah Pemekaran Provinsi, Kabupaten, dan Kota
2.1.2. Teori Pembangunan Ekonomi
Pemekaran wilayah merupakan salah satu jalan keluar dari permasalahan
pembangunan ekonomi yang tidak merata. Permasalahan ini timbul karena adanya
masalah rentang kendali yang terlalu luas dalam pemerintahan. Rentang kendali
seluruh masyarakat, baik itu karena jarak yang jauh maupun karena sarana
transportasi yang kurang memadai. Sehingga dampak akhirnya adalah
pembagunan pelayanan publik, seperti sekolah dan puskesmas menjadi tidak
merata, serta adanya ketimpangan penduduk akibat tingginya jumlah penduduk
miskin di wilayah tertentu saja.
Tambunan (2003) menyebutkan terdapat beberapa indikator yang dapat
digunakan untuk menganalisis pemerataan pembangunan ekonomi, yaitu PDRB
per kabupaten, distribusi PDRB kabupaten dalam pembentukan PDRB provinsi,
PDRB per kapita, kontribusi sektoral terhadap pembentukan PDRB, dan tingkat
kemiskinan. PDRB merupakan jumlah nilai tambah (value added) yang dihasilkan
oleh seluruh unit usaha atau jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan
oleh seluruh unit kegiatan ekonomi dalam suatu daerah (BPS, 2008). Terdapat dua
cara perhitungan PDRB, yaitu atas dasar harga berlaku (at current price) dan atas
dasar harga konstan (at constant price). PDRB atas dasar harga berlaku digunakan
untuk melihat perubahan struktur ekonomi, sedangkan PDRB atas dasar harga
konstan digunakan untuk melihat pertumbuhan ekonomi riil (Tambunan, 2003).
Pertumbuhan PDRB yang positif menunjukkan adanya penciptaan lapangan kerja
yang semakin banyak.
Distribusi PDRB provinsi menurut wilayah kabupaten/kota merupakan
indikator untuk menentukan derajat penyebaran hasil pembangunan. PDRB yang
relatif sama di setiap kabupaten/kota menunjukkan bahwa distribusi PDRB
provinsi relatif merata di setiap kabupaten/kota. Hal ini menunjukkan bahwa
Namun untuk menilai suatu pembangunan sudah berjalan baik atau belum tidak
cukup dengan melihat dari kesenjangan ekonomi yang terjadi, tetapi juga melihat
tingkat kesejahteraan masyarakatnya.
Penentuan keberhasilan pembangunan ekonomi selain dilihat dari
distribusi PDRB menurut wilayah, juga dapat dilihat dari besarnya PDRB per
kapita. PDRB per kapita merupakan pembagian antara PDRB dengan jumlah
penduduk pertengahan tahun yang tinggal disuatu wilayah. PDRB per kapita
menggambarkan pengeluaran konsumsi rumah tangga rata-rata per kapita. PDRB
per kapita yang semakin tinggi menunjukkan tingkat kesejahteraan masyarakat
yang semakin tinggi pula, sejauh tingkat pemerataannya cukup merata. Tingkat
pemerataan ini dapat dilihat berdasarkan kurva Lorenz, indeks Gini, dan kriteria
Bank Dunia.
Kurva Lorenz menggambarkan distribusi kumulatif pendapatan nasional di
kalangan lapisan-lapisan penduduk, secara kumulatif pula (Dumairy, 1996).
Kemerataan dalam kurva Lorenz digambarkan dengan bentuk kurva yang semakin
dekat dengan diagonal atau semakin lurus (gambar 2.2). Indeks Gini merupakan
suatu koefisien yang angkanya berkisar dari nol hingga satu. Semakin kecil nilai
indeks Gini maka semakin merata tingkat pendistribusiannya. Kriteria
ketidakmerataan versi Bank Dunia didasarkan atas porsi pendapatan nasional
yang dinikmati oleh tiga lapisan penduduk, yaitu 40 persen dinikmati oleh
penduduk berpendapatan terendah, 40 persen dinikmati oleh penduduk
berpendapatan menengah, 20 persen dinikmati oleh penduduk berpendapatan
Gambar 2.2. Kurva Lorenz
Perbedaan tingkat pembangunan antarwilayah kabupaten/kota juga dapat
dilihat dari perbedaan peranan sektoral dalam pembentukan PDRB. Sektor-sektor
ekonomi dapat dikategorikan menjadi tiga kategori, yaitu sektor primer, sektor
sekunder, dan sektor tersier. Sektor primer terdiri atas sektor pertanian dan
pertambangan (termasuk penggalian). Sektor sekunder terdiri atas sektor industri
manufaktur; listrik, gas dan air bersih; serta konstruksi dan bangunan. Sektor
tersier terdiri atas sektor perdagangan, hotel, dan restoran; transportasi dan
komunikasi; keuangan, penyewaan dan jasa bisnis; serta sektor jasa lainnya.
Sektor sekunder merupakan sektor yang memiliki nilai tambah terbesar,
sementara sektor primer memiliki nilai tambah terkecil.
Persentase penduduk miskin juga baik jika digunakan sebagai alat untuk
mengukur ketimpangan ekonomi antar daerah. Persentase penduduk miskin
menunjukkan seberapa besar proporsi penduduk miskin terhadap total penduduk Persentase Jumlah Penduduk
0 80
20 40 60 100
80
di suatu wilayah. Tingkat kemiskinan yang tinggi bisa disebabkan kepadatan
penduduk yang tinggi dan juga tingkat pembangunan yang rendah. Jika suatu
daerah memiliki tingkat kepadatan penduduk yang tinggi maka lahan yang
digunakan untuk melakukan kegiatan ekonomi akan semakin berkurang artinya
kesempatan kerja semakin kecil. Hal ini mengakibatkan semakin besar jumlah
penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan.
Badan Pusat Statistik (BPS) telah merumuskan beberapa indikator yang
dapat digunakan untuk melihat tingkat kemerataan dari pembangunan, yaitu
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Angka Kemiskinan. Melalui dua
indikator ini, penentuan keberhasilan pemerataan pembangunan menjadi semakin
mudah. Jika nilai IPM semakin tinggi maka tingkat pembangunan manusia (yang
dilihat dari empat indikator, yaitu Angka Harapan Hidup (AHH), Angka Melek
Huruf (AMF), Rata-Rata Lama Sekolah (RLS), dan pengeluaran riil per kapita)
menjadi semakin baik. Jika tingkat kemiskinan semakin rendah, maka tingkat
pembangunan semakin merata dan semakin banyak penduduk yang sejahtera
(berada diatas garis kemiskinan).
2.1.2.1. Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
United Nations Development Programme (UNDP) mendefenisikan
pembangunan manusia sebagai suatu proses untuk memperluas pilihan-pilihan
bagi penduduk. Dalam konsep tersebut penduduk merupakan tujuan akhir (the
ultimated end) sedangkan upaya pembangunan dipandang sebagai sarana
(principal means) untuk mencapai tujuan itu. Terdapat empat hal pokok yang
yaitu produktivitas, pemerataan, kesinambungan, dan pemberdayaan (UNDP,
1995). Secara ringkas empat hal pokok tersebut mengandung prinsip-prinsip
sebagai berikut:
1. Produktivitas
Penduduk harus mampu meningkatkan produktivitas sehingga mampu
berpartisipasi penuh dalam proses penciptaan pendapatan dan nafkah.
Pembangunan ekonomi merupakan bagian dari model pembangunan manusia.
2. Pemerataan
Penduduk harus memiliki kesempatan atau peluang yang sama untuk
mendapatkan akses terhadap semua sumber daya ekonomi dan sosial. Semua
hambatan yang dapat memperkecil kesempatan untuk memperoleh akses tersebut
harus dihilangkan, sehingga mereka dapat mengambil menfaat dari kesempatan
yang ada dan berpartisipasi dalam kegiatan produktif yang dapat meningkatkan
kualitas hidup.
3. Kesinambungan
Akses terhadap sumber daya ekonomi dan sosial harus dipastikan dapat
dinikmati pula oleh generasi yang akan datang. Sehingga semua sumber daya
fisik, manusia, dan lingkungan harus selalu diperbaharui.
4. Pemberdayaan
Penduduk harus dapat berpartisipasi penuh dalam pengambilan keputusan
dan proses yang akan menentukan kehidupan mereka, serta dapat mengambil
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang digagas oleh UNDP bertujuan
untuk menghitung kemampuan dasar dari setiap penduduk. Kemampuan dasar itu
adalah umur panjang, pengetahuan dan daya beli. Umur panjang diidentifikasi
dengan menghitung umur harapan hidup saat lahir atau sering disebut Angka
Harapan Hidup (AHH). Pengetahuan meliputi kemampuan baca dan tulis yang
diidentifikasi dengan menghitung Angka Melek Huruf (AMF) dan Rata-Rata
Lama Sekolah (RLS). Daya beli merupakan kemampuan mengakses sumberdaya
yang dibutuhkan untuk mencapai standar hidup yang layak diidentifikasi dengan
menghitung pengeluaran riil per kapita.
Nilai IPM suatu negara atau wilayah menunjukkan seberapa jauh negara
atau wilayah itu telah mencapai sasaran yang ditentukan yaitu angka harapan
hidup 85 tahun, pendidikan dasar bagi semua lapisan masyarakat (tanpa kecuali),
dan tingkat pengeluaran dan konsumsi yang telah mencapai standar hidup yang
layak. Semakin dekat nilai IPM suatu wilayah terhadap angka 100, semakin dekat
jalan yang harus ditempuh untuk mencapai sasaran itu.
2.1.2.2. Kemiskinan
Kemiskinan merupakan salah satu masalah besar dalam upaya
pembangunan perekonomian Negara Sedang Berkembang (NSB). Damanhuri
(2010) menyebutkan bahwa salah satu teori yang berkaitan dengan kemiskinan
adalah teori lingkar setan kemiskinan (the vicious cyrcle of poverty) yang
dikemukakan oleh Gunnar Myrdal, seorang guru besar di Universitas Stockholm
sebelum Perang Dunia ke-II. Lingkar setan kemiskinan merupakan serangkaian
Negara
NSB untuk terbebas dari masalah kemiskinan. Menurut G. Myrdal, kemiskinan
bukan disebabkan karena tidak tersediaannya modal, melainkan karena tidak
tercukupinya basic needs seperti kurangnya gizi, pendidikan, dan lain sebagainya.
Menurut G. Myrdal dalam Damanhuri (2010), keadaan miskin diawali dari
pendapatan penduduk yang rendah sehingga mengakibatkan rendahnya kualitas
gizi mereka. Rendahnya kualitas gizi penduduk membuat rendahnya kesehatan
penduduk dan menyebabkan produktivitas penduduk menjadi rendah. Karena
produktivitas penduduk rendah, maka pendapatan penduduk akan tetap rendah
sehingga nantinya dapat menyebabkan negara miskin.
Sumber : Damanhuri 2010
Gambar 2.3. Teori Lingkar Setan Kemiskinan G. Myrdal
Berdasarkan Gambar 2.3, jumlah penduduk miskin di suatu
kabupaten/kota menentukan tingkat produktivitas dari para pekerjanya. Jika
produktivitas menurun, maka perekonomian di kabupaten/kota akan berjalan
lambat. Jumlah PAD menjadi berkurang sehingga daerah tidak mampu membiayai
dengan baik. Hal ini membuat pelaksanaan otonomi daerah menjadi terganggu
dan pemekaran wilayah dapat menjadi gagal.
Pengukuran kemiskinan yang digunakan oleh BPS menggunakan konsep
kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Melalui
pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan (dari sisi
ekonomi) untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang
diukur dari sisi pengeluaran. Dengan pendekatan ini, dapat dihitung Headcount
Index, yaitu persentase penduduk miskin terhadap total penduduk.
Garis Kemiskinan digunakan sebagai suatu batas untuk menentukan
miskin atau tidaknya seseorang. BPS (2010) mendefinisikan penduduk miskin
sebagai penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di
bawah Garis Kemiskinan. Garis Kemiskinan terdiri dari dua komponen, yaitu
Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan-Makanan
(GKBM). Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran
kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kkalori per kapita
per hari. Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM) adalah kebutuhan minimum
untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan.
2.1.3. Desentralisasi Fiskal
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32/2004, desentralisasi merupakan
penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya masing-masing. Secara
umum desentralisasi terbagi atas empat bidang, yaitu desentralisasi di bidang
desentralisasi di bidang ekonomi. Desentralisasi fiskal merupakan desentralisasi
di bidang keuangan yang diwujudkan dengan pembagian wewenang untuk
mengurus keuangan daerah (anggaran daerah) dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah. Sinaga dan Siregar (2005) mengartikan desentralisasi fiskal
sebagai pendelegasian kewenangan dan tanggung jawab fiskal dari pemerintah
pusat ke pemerintah daerah.
Mardiasmo (2009) menyebutkan bahwa tujuan desentralisasi fiskal adalah
untuk (1) mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah serta antar daerah; (2) meningkatkan kualitas pelayanan publik, sehingga
tidak terjadi kesenjangan pelayanan pubik antar daerah; (3) meningkatkan
efisiensi pemanfaatan sumber daya nasional; dan (4) mendukung kesinambungan
fiskal dalam kebijakan ekonomi makro. Sebagai konsekuaensi dari adanya
desentralisasi fiskal, maka daerah memerlukan sumber pembiayaan yang cukup
untuk membiayai keperluan penyelenggaraan pemerintahannya. Sumber
pembiayaan tersebut dapat berasal dari pendapatan asli daerah (PAD), Dana
Perimbangan dari pemerintah pusat, ataupun pendapatan lainnya.
2.1.3.1. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Sesuai Undang-Undang Nomor 33/2004, PAD adalah pendapatan yang
diperoleh daerah, yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. PAD merupakan sumber pembiayaan yang
berasal dari pajak daerah, retribusi daerah, keuntungan bersih perusahaan daerah,
dan sumber PAD lainnya yang sah. Sumber PAD lain-lain yang sah terdiri atas:
pendapatan bunga; (4) keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang
asing; dan (5) komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan
dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah.
Sesuai tujuan awal pelaksanaan otonomi daerah, yaitu untuk
meningkatkan kemandirian daerah, maka PAD diharapkan dapat menjadi sumber
pendapatan utama dari suatu wilayah. Untuk itu, pemerintah daerah diberikan
kewenangan untuk meningkatan PAD setiap daerah yang dipimpinnya.
Kewenangan tersebut berupa kebebasan pemungutan pajak/retribusi, sistem
transfer, dan pemberian kewenangan untuk melakukan pinjaman (Sinaga dan
Siregar, 2005). Namun, dalam upaya peningkatan PAD tersebut, setiap daerah
dilarang untuk: (1) menetapkan peraturan daerah tentang pendapatan yang dapat
menyebabkan biaya ekonomi menjadi tinggi; dan (2) menetapkan peraturan
daerah tentang pendapatan yang menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas
barang dan jasa antar daerah, dan kegiatan impor/ekspor.
2.1.3.2. Dana Perimbangan
Hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah ditunjukkan
dengan adanya Dana Perimbangan yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah. Menurut Undang-Undang Nomor 33/2004, Dana Perimbangan
adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada
daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi. Dana Perimbangan ini bertujuan untuk mengurangi
ketidakmampuan daerah dalam membiayai kebutuhan pengeluarannya. Dana
(DAK), serta Dana Bagi Hasil (DBH) yang berasal dari pajak dan sumber daya
alam.
1. Dana Alokasi Umum (DAU)
Sesuai Undang-Undang Nomor 33/2004, DAU merupakan dana yang
bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan untuk pemerataan
kemampuan keuangan daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi. Sesuai dengan laporan desentralisasi yang ditulis oleh
Percik (2007), DAU adalah hibah (block grant) dan merupakan sumber utama
anggaran pemerintah daerah, di mana jumlahnya sekitar 80 persen dari total
pendapatan kabupaten/kota dan sekitar 30 persen untuk tingkat provinsi.
DAU dialokasikan untuk setiap daerah berdasarkan celah fiskal dan
alokasi dasar masing-masing daerah (persamaan 2.1). Celah fiskal merupakan
selisih antara kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal daerah. Sementara alokasi
dasar dihitung berdasarkan banyaknya jumlah PNS di suatu daerah.
DAU = Alokasi Dasar (AD) + Celah Fiskal (CF) ... (2.1)
Keterangan:
AD = Gaji PNS daerah
CF = Kebutuhan fiskal – kapasitas fiskal
Besarnya jumlah celah fiskal akan memengaruhi jumlah alokasi DAU
yang diperoleh suatu daerah. Daerah yang memiliki nilai celah fiskal sama dengan
nol menerima DAU sebesar alokasi dasar. Daerah yang memiliki nilai celah fiskal
negatif dan nilai negatif tersebut lebih kecil dari alokasi dasar, maka DAU yang
daerah yang memiliki nilai celah fiskal negatif dan nilai negatif tersebut sama atau
lebih besar dari alokasi dasar tidak menerima DAU. Secara singkatnya, semakin
besar pendapatan yang dihasilkan suatu daerah untuk membiayai pengeluarannya
maka akan semakin kecil DAU yang diterima oleh daerah tersebut.
Daerah yang telah mampu membiayai pengeluaran daerahnya berarti
daerah tersebut merupakan daerah yang mandiri. Hal ini sesuai tujuan dari
pemekaran daerah yang ditulis dalam PP No. 78 tahun 2007, yaitu untuk
meningkatkan kemandirian daerah. Daerah yang mendapatkan alokasi DAU yang
terus menurun setiap tahunnya menunjukkan bahwa daerah tersebut telah berhasil
meningkatkan kemandirian serta pelaksanaan pemekarannya telah sesuai dengan
tujuan awal dari otonomi daerah.
2. Dana Alokasi Khusus (DAK)
DAK merupakan dana alokasi penyeimbang untuk membiayai kegiatan
yang berhubungan dengan prioritas nasional atau kebutuhan khusus yang tidak
bisa dimasukkan ke dalam DAU. Menurut Rosidin (2010) kebutuhan khusus
tersebut terdiri atas: (1) kebutuhan yang tidak bisa diperkirakan dengan
menggunakan rumus alokasi umum; dan (2) kebutuhan yang merupakan
komitmen yang berasal dari prioritas nasional.
Pembagian DAK diprioritaskan bagi pemerintah-pemerintah daerah yang
mempunyai kapasitas keuangan lebih rendah dari rata-rata. Berdasarkan penelitian
PSKN FH UNPAD (2009), DAK berbeda dengan Dana Perimbangan lainnya.
DAK tidak ditentukan berdasarkan presentase tertentu, melainkan sudah
disebutkan bahwa kebutuhan khusus mencakup pelayanan dasar bagi masyarakat.
Selain itu, perbedaan DAK dan Dana Perimbangan lainnya terletak pada
penggunaannya, dimana tujuan penggunaan DAK sudah ditentukan misalnya
untuk dana reboisasi.
3. Dana Bagi Hasil (DBH)
Komponen DBH menurut Undang-Undang Nomor 33/2004 terdiri atas
pembagian beberapa jenis pajak yang berasal dari pusat dan hasil pengelolaan
sumber daya alam. Pajak pusat yang menjadi sumber DBH adalah dari pajak bumi
dan bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB),
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 mengenai Wajib Pajak Orang
Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21. Penerimaan sumber daya alam yang
menjadi sumber DBH berasal dari enam bidang sumber daya alam yaitu:
kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi,
pertambangan gas bumi, dan pertambangan panas bumi (PSKN FH UNPAD,
2009). DBH umumnya digunakan oleh daerah untuk membangun infrastruktur
dan fasilitas umum di daerah.
2.2. Tinjauan Empiris
Evaluasi efektivitas pelaksanaan pemekaran wilayah yang telah
berlangsung semenjak disahkannya Undang-Undang Nomor 22/1999 telah
dilaksanakan oleh Kementerian Dalam Negeri (KEMDAGRI). Pelaksanaan
evaluasi ini dimulai pada tahun 2010 dan perhitungannya selesai pada bulan April
2011. Evaluasi ini dilakukan terhadap DOB yang telah mekar lebih dari tiga
akan dilihat dari evaluasi ini, yaitu kesejahteraan masyarakat, good governance,
pelayanan publik, dan daya saing. Evaluasi ini dilakukan dengan menyebarkan
kuesioner kepada setiap daerah yang akan dievaluasi kemudian perhitungannya
dilakukan dengan metode indeksasi. Dari hasil perhitungan didapatkan peringkat
urutan DOB kabupaten dan kota. Perbedaan evaluasi yang dilakukan oleh
KEMDAGRI dan penelitian ini terletak pada usia DOB yang dianalisis. Pada
penelitian ini usia DOB yang di analisis adalah lima tahun, sehingga jumlah DOB
yang dianalisis lebih sedikit. Metode evaluasi yang dilakukan juga berbeda,
KEMDAGRI melakukan evaluasi menggunakan data primer dan sekunder
mengenai kesejahteraan masyarakat, good governance, pelayanan publik, dan
daya saing, sementara penelitian ini menggunakan data sekunder untuk
menganalisis kinerja ekonomi DOB.
Penelitian yang dilakukan oleh BAPPENAS (2008) bekerja sama dengan
UNDP berjudul Studi Evaluasi Dampak Pemekaran Wilayah tahun 2001-2007
merupakan acuan utama dalam penelitian ini. Metode evaluasi yang digunakan
adalah analisis kualitatif dan kuantitatif untuk mengevaluasi kinerja dan kondisi
DOB. Terdapat empat hal yang dievaluasi, yaitu kinerja ekonomi, keuangan
pemerintah, pelayanan publik, dan aparat pemerintah. Hasil evaluasi yang
didapatkan adalah setelah lima tahun pemekaran DOB yang menjadi sampel
memiliki kondisi yang tidak lebih baik dari daerah induknya. Hal ini digambarkan
dengan kondisi DOB yang tetap berada di bawah daerah induk. Dari keempat hal
yang dievaluasi oleh BAPPENAS dan UNDP, hanya kinerja ekonomi yang akan
penelitian ini. Pemilihan kinerja ekonomi didasarkan atas ketersediaan data untuk
seluruh kabupaten/kota yang telah memekarkan diri.
Santosa dan Rahayu (2005) menganalisis mengenai PAD dan faktor-faktor
yang memengaruhinya dalam upaya pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten
Kediri. Dalam penelitian ini, PAD menjadi indikator untuk menganalisis
kemandirian daerah. Penelitian dilakukan menggunakan alat analisis regresi
berganda dengan data time series dari tahun 1989 hingga tahun 2002. Dari
penelitian ini didapatkan hasil faktor-faktor yang memengaruhi PAD adalah
pengeluaran pembagunan, jumlah penduduk, dan PDRB. Perbedaan penelitian
Santosa dan Rahayu dengan penelitian ini yaitu Santosa dan Rahayu
menggunakan PAD sebagai variabel dependen, sebab PAD menggambarkan
kemandirian daerah, sementara dalam penelitian ini PAD digunakan sebagai
variabel independen, sehingga dapat dilihat bagaimana pengaruh kemandirian
daerah terhadap keberhasilan pemekaran.
Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini sama dengan penelitian
Santosa dan Rahayu (2005) yaitu regresi berganda. Namun terdapat perbedaan
data yang digunakan, yaitu bukan menggunakan data time series, melainkan data
cross section, sebab terdapat perbedaan tahun pemekaran dari setiap
kabupaten/kota yang mekar sehingga akan sulit apabila menggunakan data time
series. Selain itu, sesuai dengan tujuan dari penelitian ini yaitu untuk melihat
bagaimana kinerja daerah-daerah yang telah memekarkan diri lebih dari lima
tahun, sehingga dengan merata-ratakan data maka akan terlihat mana saja daerah
untuk beberapa variabel independen tidak digunakan data rata-rata selama lima
tahun awal pemekaran, melainkan menggunakan data pada tahun ke lima.
Variabel-variabel tersebut adalah PAD, DAU, dan IPM. Hal ini disebabkan
adanya keterbatasan data dari beberapa kabupaten.
2.3. Kerangka Pemikiran
Pemekaran wilayah sudah berlangsung semenjak disahkannya
Undang-Undang Nomor 22/1999 dan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor. 25/1999. Semenjak saat itu
pula telah terjadi banyak pemekaran baik itu pemekaran provinsi, kabupaten,
maupun kota. Namun ternyata banyak pemekaran yang dinyatakan kurang
berhasil terutama pada pemekaran kabupaten dan kota. Sehingga penelitian ini
dilakukan untuk membuktikan keberhasilan pemekaran kabupaten/kota
berdasarkan kinerja perekonomian yang dilakukan dengan metode indeksasi.
Pemekaran wilayah yang terjadi umumnya bertujuan untuk meningkatkan
kemandirian daerah dan mengatasi masalah rentang kendali yang menyebabkan
adanya ketidakmerataan pelayanan publik. Sehingga diharapkan setelah
dilakukannya pemekaran, kondisi DOB dapat lebih baik dibandingkan dengan
kondisi DOB apabila masih bergabung dengan daerah induknya. Namun untuk
membandingkan dengan kondisi DOB apabila masih bergabung dengan daerah
induk sulit untuk dilakukan sebab datanya tidak tersedia. Sehingga penentuan
keberhasilan dilakukan dengan membandingkan kondisi DOB dan daerah induk
pada tahun yang sama, dengan asumsi DOB akan berhasil dalam pemekarannya
(dari sisi ekonomi) jika kondisi perekonomiannya lebih baik dari daerah
Kondisi DOB dan daerah induk dilihat melalui nilai IKE masing-masing
daerah, sehingga didapatkan IKE daerah induk dan IKE DOB. DOB yang berhasil
dalam lima tahun awal pemekarannya adalah DOB yang memiliki nilai IKE yang
lebih besar dibandingkan IKE daerah induknya. Setelah diketahui apakah suatu
daerah berhasil atau tidak dan didapatkan nilai selisih IKE DOB dan daerah induk
(sebagai variabel dependen), maka dapat dilihat faktor apa saja yang
memengaruhi keberhasilan menggunakan metode analisis regresi berganda.
Secara sistematis kerangka pemikiran dapat dijelaskan dalam Gambar 2.4.
Gambar 2.4. Kerangka Pemikiran
Keterangan:
: Metode yang digunakan
2.4. Hipotesis
Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian dan kerangka pemikiran,
maka hipotesis dari penelitian ini adalah:
1. PDRB per kapita memiliki pengaruh yang positif terhadap keberhasilan
pemekaran wilayah, sebab PDRB per kapita menunjukkan tingkat
kesejahteraan suatu masyarakat, sejauh tingkat kemerataannya cukup merata.
Peningkatan kesejahteraan masyarakat ini merupakan salah satu tujuan dari
pemekaran.
2. PAD memiliki pengaruh yang positif terhadap keberhasilan pemekaran
wilayah, sebab PAD menunjukkan kemandirian daerah. Semakin tinggi
persentase PAD terhadap pemasukan daerah maka wilayah tersebut semakin
mandiri. Hal ini merupakan tujuan dari otonomi daerah.
3. DAU memiliki hubungan yang negatif terhadap keberhasilan pemekaran
wilayah sebab DAU menunjukkan mampu tidaknya sebuah daerah membiayai
pengeluaran daerahnya. Daerah yang semakin mampu membiayai
pengeluarannya, maka daerah tersebut akan mendapatkan DAU yang semakin
kecil. Hal ini berarti daerah tersebut telah berhasil dalam pelaksanaan
pemekaran wilayahnya.
4. IPM memiliki pengaruh yang positif terhadap keberhasilan pemekaran
wilayah. semakin tinggi nilai IPM, maka akan semakin tinggi kemampuan
dasar dari setiap penduduk. Selanjutnya peningkatan ini akan berdampak pada
meningkatnya produktivitas dari masyarakat, kemudian berlanjut pada
5. Angka kemiskinan memiliki hubungan yang negatif dengan keberhasilan
pemekaran wlayah, sebab semakin besar jumlah penduduk miskin berarti
semakin banyak jumlah penduduk yang tidak produktif, sehingga
ketergantungan DOB terhadap pemerintah pusat akan bertambah.
6. DOB yang berbentuk kota akan lebih berhasil dibandingkan DOB yang
berbentuk kabupaten. Hal ini sesuai dengan karakteristik kota yang secara
Penelitian dilakukan terhadap semua kabupaten/kota di Indonesia yang merupakan daerah hasil pemekaran semenjak dikeluarkannya Undang-Undang No. 22 tahun 1999 dan Undang-Undang No. 25 tahun 1999. Daerah yang dianalisis adalah daerah yang mekar pada tahun 1999 hingga tahun 2003, sebab telah melaksanankan otonomi daerah lebih dari lima tahun. Pemilihan waktu lima tahun ini didasari atas terlaksananya Rencana Pembagunan Jangka Menengah (RJPM) pada awal pemerintahan DOB, sehingga dapat dilakukan analisis terhadap keberhasilan pelaksanakan pemekaran. Selain itu, data yang dibutuhkan dari setiap daerah yang dianalisis sudah tersedia. Penilaian keberhasilan dilihat melalui selisih kinerja perekonomian setiap DOB dengan daerah induknya. Pengumpulan data dilakukan pada awal Maret hingga pertengahan April 2011.
3.2. Jenis dan Sumber Data
Data-data tersebut diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS). Selain itu digunakan pula data APBD yang didapatkan dari DJPK Kementrian Keuangan.
3.3. Metode Analisis Data
Penelitian ini menggunakan teknik analisis deskriptif, metode indeksasi, dan model analisis regresi berganda. Teknik analisis deskriptif untuk memberikan gambaran awal mengenai DOB. Metode indeksasi digunakan dalam penentuan keberhasilan pemekaran dengan bantuan program Ms. Excel. Penentuan faktor-faktor penentu keberhasilan digunakan model analisis regresi berganda dengan metode Ordinary Least Square (OLS) menggunakan program Eviews 6.
3.3.1. Analisis Deskriptif
Analisis ini bertujuan untuk memberikan gambaran awal mengenai keberhasilan pemekaran, IKE, PDRB per kapita, PAD, Dana Perimbangan, IPM, dan angka kemiskinan di setiap DOB yang dianalisis. Selain itu dilihat pula pengaruh perbedaan jenis pemekaran kabupaten dan kota, dengan membandingkan besarnya nilai variabel-variabel yang dianalisis dikedua jenis pemekaran tersebut. Selain itu, pada beberapa variabel dilihat perbedaan dari kabupaten dan kota yang memiliki urutan IKE tertinggi dan terendah, sehingga dapat dilihat apakah terdapat perbedaan yang signifikan terhadap daerah-daerah tersebut.
3.3.2. Metode Indeksasi
... (3.2)
... (3.1)
pemekaran wilayah, juga digunakan oleh BPS dalam menentukan nilai IPM. Adanya variabel yang kompleks dan kondisi yang berbeda antardaerah mengharuskan dilakukan standarisasi data. Dilakukannya standarisasi data membuat data yang dihasilkan berada dalam range nol sampai satu, sehingga saat membandingkan antara daerah induk dengan DOB menjadi semakin mudah. Keuntungan dari digunakannya metode ini yaitu cukup mudah untuk dilakukan dan tidak membutuhkan peralatan dan keahlian khusus, sebab hanya menggunakan operasi matematika sederhana. Metode perhitungan yang digunakan untuk menstandarisasi data adalah:
′
Dimana:
′ = Nilai Kabupaten ke-i untuk variabel ke-j, yang terstandardisasi
= Nilai data asal kabupaten ke-i untuk variabel ke-j
= nilai minimum variabel ke-j
= nilai maksimum variabel ke-j
Dari hasil standardisasi data tersebut kemudian dihitung rata-rata pada masing-masing kelompok variabel. Untuk mendapatkan hasil Indeks Kinerja Ekonomi (IKE) di setiap daerah yang terdiri atas beberapa variabel, maka seluruh variabel akan dirata-ratakan dengan mengunakan rumus:
... (3.3)
... (3.4)
Dimana:
Indeks = indeks yang akan dihitung untuk daerah ke-i
, = indeks variabel ke-n untuk daerah ke-i = jumlah variabel
Dalam penyusunan indeks kinerja ekonomi perlu diperhatikan konsistensi dari setiap variabel yang digunakan, artinya setiap variabel yang digunakan adalah searah. Sehingga apabila terdapat variabel yang berbeda arahnya perlu dilakukan penyesuaian dengan reverse index, yaitu dengan menggunakan rumus:
Dimana:
, = riverse index variabel untuk daerah ke-i
Variabel yang akan digunakan untuk menghitung IKE adalah PDRB berdasarkan harga berlaku, PDRB per Kapita, rasio PDRB kabupaten terhadap PDRB provinsi, dan persentase kemiskinan. Semua variabel kecuali persentase kemiskinan memiliki pengaruh yang positif terhadap IKE, sehingga nilai IKE dapat diperoleh dengan rumus:
IKE 4
Dimana:
IKE = indeks kinerja ekonomi untuk daerah i
= indeks variabel PDRB berdasarkan harga berlaku untuk daerah ke-i
= indeks variabel Rasio PDRB kabupaten/kota terhadap PDRB propinsi untuk daerah ke-i
= rivers indeks variabel persentase kemiskinan untuk daerah ke-i Berdasarkan hasil perhitungan IKE terhadap daerah induk dan DOB, maka dapat dilihat tingkat keberhasilan dari pemekaran wilayah. Keberhasilan ini didapatkan dengan menghitung selisih antara IKE DOB dengan IKE daerah induk. Jika selisihnya adalah positif, maka DOB telah berhasil dalam pemekaran, namun jika selisihnya adalah negatif, maka DOB belum berhasil dalam pemekaran.
3.3.2. Analisis Regresi Berganda
Model persamaan regresi berganda mengenai faktor-faktor yang memengaruhi pemekaran wilayah dirumuskan dari berbagai literatur mengenai pemekaran wilayah. Metode pendugaan yang digunakan dalam analisis ini adalah Ordinary Least Square (OLS). Pemilihan metode analisis ini didasari kemudahan dalam penggunaannya dan model yang dihasilkan cukup menjawab tujuan yang ingin dicapai (Juanda, 2009). Variabel yang digunakan dalam analisis ini adalah Indeks Kinerja Ekonomi (IKE) sebagai variabel dependen dan yang menjadi variabel independennya adalah PDRB per kapita, PAD, DAU, IPM, angka kemiskinan, dan dummy jenis pemekaran kabupaten atau kota. Secara umum persamaan regresi berganda dapat dirumuskan sebagai berikut:
... (3.5) Dimana :
= PDRB per kapita (juta rupiah) = Pendapatan asli daerah (juta rupiah) DAU = Dana Alokasi Umum (juta rupiah) IPM = Indeks Pembangunan Manusia
= Jumlah penduduk penduduk miskin (jiwa)
= Dummy jenis pemekaran (0 jika pemekaran kabupaten, dan 1 jika pemekaran kota)
= Konstanta (intercept)
= Parameter yang diduga (n = 1,2,…,5)
= daerah ke-i
= random error
PDRB per kapita digunakan untuk melihat tingkat kesejahteraan suatu masyarakat. PAD digunakan untuk menunjukkan kemandirian daerah. DAU menunjukkan ketergantungan suatu daerah terhadap pembiayaan yang berasal dari pusat. Penggunaan data DAU berdasarkan persentase terhadap dana perimbangan, dimana DAU memiliki persentase terbesar dibandingkan jenis dana perimbangan lainnya. Angka kemiskinan menunjukkan seberapa besar jumlah penduduk yang tidak produktif.
3.3.3. Pengujian Model dan Hipotesis
3.3.3.1. Pengujian Kesesuaian Model (Goodness of Fit)
Semakin mendekati satu nilai R2 maka semakin baik model yang dibuat. Jika nilai R2 sama dengan nol (R2 = 0), hal ini berarti variabel dependen tidak dapat diterangkan oleh variabel independennya, atau dengan kata lain tidak ada hubungan antara variabel dependen dan variabel independen. Jika nilai R2 sama dengan satu (R2 = 1), maka variabel dependen dapat dijelaskan oleh variabel independennya secara sempurna.
Namun nilai R2 yang tinggi tidak selalu membuktikan bahwa kualitas dari suatu model sudah baik. Hal ini umumnya terjadi pada analisis time series, dimana dalam setiap variabelnya cenderung mengalami kenaikan seiring berjalannya waktu, sehingga akan menghasilkan nilai R2 yang cukup tinggi. Tetapi dalam analisis cross section nilai R2 cenderung rendah, karena tidak terlalu terpengaruh oleh kenaikan variabel setiap tahunnya. Secara umum R2 dapat dihitung menggunakan rumus:
R2 = RSS/TSS ... (3.6) Dimana :
RSS = Jumlah kuadrat residual (Ressidual Sum Square) TSS = Jumlah kuadrat total (Total Sum Square)
3.3.3.2. Pengujian Asumsi Model
nyatanya, maka peubah bebas berpengaruh signifikan terhadap variabel terikatnya.
Suatu variabel yang digunakan dalam sebuah model memerlukan adanya pengujian asumsi yang terdapat pada metode OLS. Hal ini dimaksudkan agar estimasi variabel penduga yang digunakan bersifat BLUE (Best, Linear, Unbiased, Estimation), sehingga didapatkan kebenaran suatu model dalam penelitian. Adapun uji asumsi yang dilakukan terdiri atas uji multikolinearitas, uji heteroskedastisitas, dan uji autokorelasi.
1. Uji Normalitas
Firdaus (2004) menyebutkan bahwa uji normalitas merupakan salah satu asumsi statistik dimana error term terdistribusi secara normal. Model regresi seperti itu disebut model regresi linear normal klasik. Regresi normal klasik mengasumsikan bahwa setiap i didistribusikan secara normal dengan:
Rata-rata : E ( i) = 0 ... (3.7)
Varians : E ( i) = ... (3.8)
Cov ( i, j) : E ( i, j) = 0 i≠j ... (3.9)
Asumsi ini secara ringkas dapat dinyatakan:
i ~ N (0, ... (3.10)
Di mana ~ berarti “didistribusikan sebagai” dan N berarti “distribusi normal”. Angka dalam tanda kurung menunjukkan rata-rata i = 0 dan varians i = . Perlu