• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Cybercrime Yang Ditinjau Dari Hukum Pidana Indonesia Dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Cybercrime Yang Ditinjau Dari Hukum Pidana Indonesia Dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBUKTIAN TERHADAP TINDAK PIDANA

CYBERCRIME

YANG DITINJAU DARI HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA

DAN UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2008 TENTANG

INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

090200411

SURYA PERDAMEN LINGGA

Departemen Hukum Pidana

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PEMBUKTIAN TERHADAP TINDAK PIDANA

CYBERCRIME

YANG DITINJAU DARI HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA

DAN UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2008 TENTANG

INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

090200411

SURYA PERDAMEN LINGGA

Departemen Hukum Pidana

Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Pidana

NIP. 195703261986011001 Dr. H.M. Hamdan, S.H., M.H

Dosen Pembimbing I

NIP. 196104081986011002 Madiasa Ablizar, S.H., M.S

Dosen Pembimbing II

NIP. 197003171998031001 Mohammad Ekaputra, S.H., M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul “Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Cybercrime Yang Ditinjau Dari Hukum Pidana Indonesia Dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik”.

Di dalam menyelesaikan skripsi ini, telah mendapatkan banyak dukungan, semangat, saran, motivasi dan doa dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. DR. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin, S.H., M.H., DFM., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak M. Husni, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(4)

6. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Bapak Madiasa Ablisar, S.H., M.S., selaku Dosen Pembimbing I penulis, yang telah memberikan pengarahan dalam proses pengerjaaan skripsi ini. Terima kasih atas bimbingan dan dukungan Bapak kepada penulis selama penulisan skripsi.

8. Bapak Mohammad Eka Putra, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II penulis, yang juga telah memberikan bimbingan dan dukungan selama proses pengerjaan skripsi ini.

9. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan motivasi dalam penulisan skripsi ini.

10.Seluruh staf dosen pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu khususnya dalam bidang hukum.

11.Kedua orang tua penulis Ayahanda Oloan Tua Partempuan, SH dan Ibunda Asliani Harahap, SH., MH, yang selalu memberikan dukungan baik secara moril maupun material sehingga terselesaikanya skripsi ini.

12.Kepada seluruh saudara abang Asra Maholi Lingga, SH, kakak Lita Yustitia Lingga, SH, adek Raja Sungkunen Lingga, adek Lawra Nciho Lingga, bibik, uda, papun, pun, sepupu Rachmad Azhar Kaloko, Shulih (wen), kak Rina yang terus memberikan dukungan dan semangat kepada Penulis.

(5)

14.Teman-teman stambuk 2009 dan Grup G yang telah mendukung dan memberikan motivasi kepada penulis selama masa perkuliahan sampai selesainya penulisan skripsi ini.

15.Seluruh teman-teman kak Ai, GMKK, Ilham, Dicky, Hejri, bang Ary, bang Aliong terimakasih atas dukungannya.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga penulisan skripsi ini masih memiliki banyak kekeliruan. Oleh karena itu penulis meminta maaf kepada pembaca skripsi ini karena keterbatasan pengetahuan dari penulis. Besar harapan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada kita semua dan semoga doa yang telah diberikan mendapatkan berkah dari Tuhan dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca dan perkembangan hukum di negara Republik Indonesia.

Medan, 14 April 2014 Hormat saya

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

ABSTRAK ... vi

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Keaslian Penulisan ... 9

E. Tinjauan Pustaka ... 11

1. Pengertian Pembuktian ... 11

2. Pengertian Tindak Pidana ... 13

3. Pengertian Tentang Hukum Acara Pidana ... 14

4. Pengertian Komputer ... 15

5. Pengertian Internet ... 16

6. Pengertian Mengenai Cybercrime ... 16

F. Metode Penelitian ... 26

G. Sistematika Penulisan ………. 30

BAB II : PENGATURAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA CYBERCRIME A. Pengaturan Hukum Pidana Tergadap Tindak Pidana Cybercrime ... 32

(7)

BAB III : PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA CYBERCRIME MENURUT HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA DAN UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

A. Alat Bukti Dalam Sistem Pembuktian Hukum Acara Pidana Indonesia ... 48 B. Pembuktian Alat Bukti Elektronik . ... 55 BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

(8)

ABSTRAK Surya Perdamen Lingga*) Madiasa Ablizar, S.H, M.S.**) Mohammad Ekaputra, S.H, M.Hum***)

Perkembangan teknologi informasi pada saat ini telah mengubah dunia ke era cyber dengan sarana internet yang menghadirkan cyberspace dengan realitas virtualnya menawarkan kepada manusia berbagai harapan dan kemudahan. Akan tetapi di balik itu, timbul persoalan berupa kejahatan yang dinamakan cybercrime, kejahatan ini tidak mengenal batas wilayah serta waktu kejadian karena korban dan pelaku sering berada di negara yang berbeda. Cybercrime dapat dilakukan melalui Internet serta sistem jaringan komputer sebagai sarana untuk melakukan kejahatan. Oleh sebab itu perlu diberlakukan suatu aturan untuk mengurangi tindak kejahatan yang terjadi di dunia maya (cybercrime) khususnya aturan pidana. Namun disamping hal tersebut untuk membuktikan kesalahan terhadap pelaku cybercrime, pembuktian tidak kalah pentingnya untuk menentukan dan meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dituduhkan.

Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, maka penulis melakukan penelitian mengenai Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Cybercrime Ditinjau Melalui Hukum Acara Pidana Indonesia dan Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam skripsi ini dibatasi dalam 2 (dua) permasalahan yaitu: Bagaimana pengaturan hukum pidana terhadap tindak pidana cybercrime ? dan Bagaimana pembuktian mengenai tindak pidana cybercrime menurut hukum acara pidana Indonesia dan Undang-undang No. 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik ? Permasalahan-permasalahan tersebut bertujuan untuk mengetahui dan memahami pengaturan hukum pidana serta pembuktian terhadap tindak pidana cybercrime. Adapun Metode Penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah Yuridis normatif, yaitu dengan mengkaji/menganalisis norma hukum berupa bahan-bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier agar dapat menjawab setiap permasalahan. Supaya penegakan hukum tidak hanya terbatas terhadap peningkatan kemampuan, sarana dan prasarana aparat penegak hukum tetapi juga diiringi kesadaran hukum masyarakat yang didukung dengan kerjasama dengan penyedia layanan internet. Dalam hal kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana cybercrime pada masa yang akan datang hendaknya berada dalam sistem hukum pidana yang berlaku saat ini, hal ini juga harus didukung dengan meningkatkan komitmen strategi/prioritas nasional terutama aparat penegak hukum dalam penanggulangan tindak pidana cybercrime.

Kata kunci : Cybercrime, Pengaturan Pidana dan Pembuktian

*) Mahasiswa Fakultas Hukum USU **) Dosen Pembimbing I

(9)

ABSTRAK Surya Perdamen Lingga*) Madiasa Ablizar, S.H, M.S.**) Mohammad Ekaputra, S.H, M.Hum***)

Perkembangan teknologi informasi pada saat ini telah mengubah dunia ke era cyber dengan sarana internet yang menghadirkan cyberspace dengan realitas virtualnya menawarkan kepada manusia berbagai harapan dan kemudahan. Akan tetapi di balik itu, timbul persoalan berupa kejahatan yang dinamakan cybercrime, kejahatan ini tidak mengenal batas wilayah serta waktu kejadian karena korban dan pelaku sering berada di negara yang berbeda. Cybercrime dapat dilakukan melalui Internet serta sistem jaringan komputer sebagai sarana untuk melakukan kejahatan. Oleh sebab itu perlu diberlakukan suatu aturan untuk mengurangi tindak kejahatan yang terjadi di dunia maya (cybercrime) khususnya aturan pidana. Namun disamping hal tersebut untuk membuktikan kesalahan terhadap pelaku cybercrime, pembuktian tidak kalah pentingnya untuk menentukan dan meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dituduhkan.

Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, maka penulis melakukan penelitian mengenai Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Cybercrime Ditinjau Melalui Hukum Acara Pidana Indonesia dan Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam skripsi ini dibatasi dalam 2 (dua) permasalahan yaitu: Bagaimana pengaturan hukum pidana terhadap tindak pidana cybercrime ? dan Bagaimana pembuktian mengenai tindak pidana cybercrime menurut hukum acara pidana Indonesia dan Undang-undang No. 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik ? Permasalahan-permasalahan tersebut bertujuan untuk mengetahui dan memahami pengaturan hukum pidana serta pembuktian terhadap tindak pidana cybercrime. Adapun Metode Penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah Yuridis normatif, yaitu dengan mengkaji/menganalisis norma hukum berupa bahan-bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier agar dapat menjawab setiap permasalahan. Supaya penegakan hukum tidak hanya terbatas terhadap peningkatan kemampuan, sarana dan prasarana aparat penegak hukum tetapi juga diiringi kesadaran hukum masyarakat yang didukung dengan kerjasama dengan penyedia layanan internet. Dalam hal kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana cybercrime pada masa yang akan datang hendaknya berada dalam sistem hukum pidana yang berlaku saat ini, hal ini juga harus didukung dengan meningkatkan komitmen strategi/prioritas nasional terutama aparat penegak hukum dalam penanggulangan tindak pidana cybercrime.

Kata kunci : Cybercrime, Pengaturan Pidana dan Pembuktian

*) Mahasiswa Fakultas Hukum USU **) Dosen Pembimbing I

(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peradaban dunia pada masa kini dicirikan dengan fenomena kemajuan teknologi informasi dan globalisasi yang berlangsung hampir di seluruh bidang kehidupan. Globalisasi pada dasarnya bermula dari awal abad ke-20, yakni pada saat terjadi revolusi transportasi dan elektronika yang menyebarluaskan dan mempercepat perdagangan antar bangsa.1 Teknologi Informasi (information technology) memegang peranan yang penting, baik dimasa kini maupun dimasa yang akan datang. Teknologi informasi diyakini membawa keuntungan dan kepentingan yang besar bagi Negara-negara di dunia. Setidaknya ada beberapa hal yang membuat teknologi informasi dianggap begitu penting dalam memacu pertumbuhan ekonomi dunia yakni:2

a. Teknologi informasi mendorong permintaan atas produk-produk teknologi informasi itu sendiri seperti komputer, modem, sarana untuk membangun jaringan internet dan sebagainya.

b. Memudahkan transaksi bisnis terutama bisnis keuangan di samping bisnis-bisnis umum lainnya.

1

Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi

Informasi, (Refika Aditama, Bandung: 2009), hlm. 1

2

Agus Raharjo, Cybercrime Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan

(11)

Kehadiran internet pada era globalisasi saat ini telah membuka cakrawala baru dalam kehidupan manusia. Internet merupakan sebuah ruang informasi dan komunikasi yang menjanjikan menembus batas-batas antarnegara dan mempercepat penyebaran dan pertukaran ilmu dan gagasan di kalangan ilmuwan dan cendikiawan diseluruh dunia. Internet membawa kita kepada ruang atau dunia baru yang tercipta yang dinamakan Cyberspace. Cyberspace adalah sebuah dunia komunikasi berbasis komputer (Computer Mediated Communication) yang menawarkan realitas virtual (virtual reality)3

Cyberspace menawarkan manusia untuk “hidup” dalam dunia alternatif. Sebuah dunia yang dapat mengambil alih dan menggantikan realitas yang ada, yang lebih menyenangkan dari kesenangan yang ada, yang lebih fantastis dari fantasi yang ada, yang lebih menggairahkan dari kegairahan yang ada. Cyberspace telah membawa masyarakat dalam berbagai sisi realitas baru yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya, yang penuh dengan harapan, kesenangan, kemudahan dan pengembaraan, seperti Chatting atau berbicara di dunia maya, ber-sosial media, berbelanja online, melakukan transaksi e-banking atau transaksi pada bank melalui internet dan lain-lain. Namun cyberspace yang memberi harapan akan kemudahan bertransisi di dunia tanpa batas itu ternyata tidak selamanya demikian karena dalam cyberspace juga terdapat sisi gelap yang perlu kita perhatikan yang dikarenakan oleh rasa keingintahuan pengguna internet menimbulkan kecemasan atas terjadinya penyimpangan atau penyalahgunaan

.

3

Virtual Reality adalah suatu teknologi yang membuat pengguna dapat berinteraksi

(12)

jaringan internet tersebut yang dikenal dengan istilah cybercrime atau kejahatan dunia maya yang telah menjadi perhatian dunia, terbukti dengan dijadikannya masalah cybercrime sebagai salah satu topik bahasan pada kongres PBB mengenai the prevention of crimeand the treatment of offender ke-8 tahun 1990 di Havana, Kuba dan Kongres ke-10 di Wina. Pada kongres ke-8 membahas tentang perlunya dilakukan usaha-usaha penanggulangan kejahatan yang berkaitan dengan komputer (computer related crime), sedangkan pada kongres ke-10 di Wina, cybercrime dijadikan sebagai topik bahasan tersendiri dengan judul Crime Related to Computer Network.

Tidak semua Negara di dunia memberikan perhatian yang besar terhadap cybercrime dan memiliki peraturan tersendiri untuk hal tersebut (kecuali Negara-negara maju dan beberapa Negara Berkembang). Hal ini disebabkan oleh tingkat kemajuan dan perhatian dari hukum terhadap teknologi seperti disinyalir oleh kongres PBB di Wina dengan ungkapan sebagai berikut:

Reason for the lack of attention to cybercrime may include relatively low

levels of participation in international electronic communications, low

levels of law enforcement experience and low estimations of damage to

society expected to occur from electronic crimes.

(13)

pengetahuan dalam hal memberantas kejahatan duniamaya yang menyebabkan berkembangnya tindak kejahatan di duniamaya itu sendiri).

Indonesia sebagai Negara Berkembang memang dipandang terlambat dalam hal mengikuti perkembangan teknologi informasi. Hal ini tidak lepas dari strategi pengembangan teknologi yang tidak tepat karena mengabaikan penelitian sains dan teknologi. Akibatnya, transfer teknologi dari Negara Industri Maju tidak diikuti dengan penguasaan teknologi itu sendiri yang mengantarkan Indonesia kepada Negara yang tidak mempunyai basis teknologi yang memadai dalam hal perlindungan untuk korban kejahatan dunia maya, seperti yang dikatakan oleh Muhammad Nur sebagai Negara Industri baru semu.

Tindak kejahatan dunia maya atau cybercrime yang paling banyak mendapat perhatian adalah tindakan yang dilakukan oleh cracker atau Hacker Hitam. Cracker atau Hacker hitam adalah sebutan untuk mereka yang melakukan kejahatan di dunia maya. Fenomena cracker dalam tahun-tahun terakhir ini memang mencemaskan. Apa yang dilakukan oleh cracker menurut Onno W. Purbo sangat mengganggu hak asasi manusia untuk memperoleh informasi, berkomunikasi dan hak untuk berpartisipasi dalam masyarakat informasi global tanpa dibatasi dimensi fisik, ruang, waktu dan institusi. Hukum perlu mengantisipasi hilangnya batas dimensi ruang, waktu dan tempat agar internet betul-betul bermanfaat.4

4

Ibid, hlm. 7

(14)

ruang untuk terjadinya tindak kejahatan di dunia maya. Sedangkan kejahatan itu sendiri telah ada dan muncul sejak permulaan zaman sampai sekarang dan juga akan terus ada hingga masa yang akan datang.

Kejahatan sebenarnya tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, tidak ada kejahatan tanpa ada masyarakat seperti ucapan Lacassagnebahwa masyarakat mempunyai penjahat sesuai dengan jasanya. Kejahatan merupakan salah satu bentuk perilaku manusia yang terus mengalami perkembangan dari masyarakat itu sendiri. Agar internet betul-betul dapat bermanfaat bagi pengembangan sarana aktivitas manusia, maka kegiatan yang menyangkut cyberspace harus dibentengi dengan adanya aturan hukum sehingga meminimalisir tindak kejahatan di duniamaya yang dilakukan oleh cracker atau hacker hitam. untuk itu tindak kejahatan seperti cracker, jika dipandang dari persoalan hukum dan kriminologi maka akan masuk kedalam kategori tindak kriminal.

(15)

pengetahuan sosial lain, maka dapat digunakan untuk mendiagnosa kesulitan-kesulitan yang dihadapi dan menimpa hukum.5

Kegiatan siber meskipun bersifat virtual dapat dikategorikan sebagai tindakan dan perbuatan hukum yang nyata. Secara yuridis dalam hal ruang siber sudah tidak pada tempatnya lagi untuk kategorikan sesuatu dengan ukuran dalam kualifikasi hukum konvensional untuk dijadikan obyek dan perbuatan, sebab jika cara ini yang ditempuh akan terlalu banyak kesulitan dan hal-hal yang lolos dari jerat hukum dikarenakan kegiatan siber adalah kegiatan virtual yang berdampak sangat nyata, meskipun alat buktinya bersifat elektronik.

Dengan demikian, subyek pelakunya harus dikualifikasikan pula sebagai orang yang telah melakukan perbuatan hukum secara nyata. Melihat fakta hukum sebagaimana yang ada pada saat ini, dampak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah disalahgunakan sebagai sarana kejahatan ini menjadi teramat penting untuk diantisipasi bagaimana kebijakan hukumnya, sehingga Cybercrime yang terjadi dapat dilakukan upaya penanggulangannya dengan hukum pidana, termasuk dalam hal ini adalah mengenai sistem pembuktiannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Dikatakan teramat penting karena dalam penegakan hukum pidana dasar pembenaran seseorang dapat dikatakan bersalah atau tidak melakukan

5

(16)

tindak pidana, di samping perbuatannya dapat dipersalahkan atas kekuatan Undang-undang yang telah ada sebelumnya (asas legalitas), juga perbuatan mana didukung oleh kekuatan bukti yang sah dan kepadanya dapat dipertanggungjawabkan (unsur kesalahan). Pemikiran demikian telah sesuai dengan penerapan asas legalitas dalam hukum pidana (KUHP) kita, yakni sebagaimana dirumuskan secara tegas dalam Pasal I ayat (1) KUHP "Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali" atau dalam istilah lain dapat dikenal,"tiada kesalahan yang dapat dihukum sebelum ada Undang-undang yang mengatur".6

Bertolak dari dasar pembenaran sebagaimana diuraikan di atas, bila dikaitkan dengan Cybercrime, maka unsur membuktikan dengan kekuatan alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana merupakan masalah yang tidak kalah pentingnya untuk diantisipasi di samping unsur kesalahan dan adanya perbuatan pidana. Akhirnya dengan melihat pentingnya persoalan pembuktikan dalam Cybercrime, skripsi ini hendak mendeskripsikan pembahasan dalam fokus masalah Pembuktian terhadap tindak pidana Cybercrime Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana Indonesia dan Undang-undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Oleh karena alasan-alasan tersebut di atas, bagaimana pembuktian-pembuktian dalam Cybercrime cukup sulit dilakukan mengingat, bahwa hukum di Indonesia yang mengatur masalah ini masih banyak cacat hukum yang

6

(17)

dapat dimanfaatkan oleh para pelaku Cybercrime untuk lepas dari proses pemidanaan.

B. Perumusan Masalah

Setelah mengetahui latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa pokok permasalahan, yaitu:

a. Bagaimanakah pengaturan hukum pidana terhadap tindak pidana cybercrime ?

b. Bagaimanakah Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Cybercrime Menurut Hukum Acara Pidana Indonesia serta Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan serta manfaat penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : a. Tujuan Penulisan.

Tulisan ini dibuat sebagai tugas akhir guna memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan merupakan sebuah karya ilmiah yang bermanfaat bagi perkembangan hukum di Indonesia khususnya bidang hukum yang mengatur tentang tindak pidana Cybercrime atau kejahatan di dunia maya. Sesuai permasalahan di atas, adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan hukum pidana terhadap tindak pidana cybercrime

(18)

b. Manfaat Penulisan

Adapun yang menjadi manfaat penulisan skripsi ini tidak dapat dipisahkan dari tujuan penulisan yang telah diuraikan di atas, yaitu:

1. Secara Teoritis

Penulis berharap penulisan skripsi ini akan menjadi bahan untuk penelitian lebih lanjut dalam bidang hukum pidana pada umumnya dan tentang Tindak Pidana Cybercrime pada khususnya, sehingga penulisan skripsi ini dapat menjadi bahan masukan bagi mahasiswa serta dapat memperluas dan menambah pengetahuan mengenai hukum pidana pada umumnya dan mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan Tindak Pidana Cybercrime pada khususnya.

2. Secara Praktis

Penulis berharap penulisan skripsi ini dapat menambah wawasan bagi pihak-pihak yang terkait dan sebagai masukan bagi masyarakat serta aparat penegak hukum khususnya kepolisian, agar tidak hanya mengacu kepada Kitab Undang-undang Hukum Pidana dalam menyelesaikan suatu kasus. Khususnya dibidang Cybercrime.

D. Keaslian penulisan

(19)

1. KEDUDUKAN BUKTI SURAT ELEKTRONIK (EMAIL) DARI PRESPEKTIF HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA. Yang ditulis oleh Sara Yoshepina Bangun (070200008) Alumni Deprtemen Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara. Kedudukan surat elektronik sebagai alat bukti memang tidak ada diatur di dalam KUHAP, akan tetapi beberapa Undang-undang khusus di luar KUHAP sudah mulai memperhitungkan kedudukan surat elektronik (email) sebagai alat bukti. Berdasarkan latar belakang di atas dalam pembahasannya, hanya membahas Surat Elektronik (e-mail) sebagai alat bukti dalam hal membuktikan suatu tindak pidana dunia maya (cybercrime).

2. KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA TEKNOLOGI INFORMASI DARI PERSPEKTIF UU NO. 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK. Yang ditulis oleh Tessa Yudistira (060200011) Alumni Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisannya, skripsi tersebut membahas tentang kebijakan hukum pidana yang dilihat melalui UU ITE dengan tujuan untuk mengetahui dan memahami kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana teknologi informasi (cybercrime) di Indonesia.

(20)

dunia maya dan sudah melalui pengesahan baik melalui perpustakaan dan pengesahaan oleh Kepala Jurusan Hukum Pidana di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulis memperoleh karya ilmiah ini berdasarkan literatur yang ada, baik dari perpustakaan, media massa cetak maupun elektronik dan ditambahkan pemikiran penulis. Skripsi ini adalah merupakan karya ilmiah penulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral maupun akademik.

E. Tinjauan Pustaka a. Pengertian Pembuktian

Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan Undang-undang “tidak cukup” membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa maka terdakwa “dibebaskan” dari hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebut dalam Pasal 184, terdakwa dinyatakan “bersalah” dan Kepadanya akan dijatuhkan hukuman.

(21)

pembuktian bersifat materiil sedangkan untuk Acara Perdata bersifat formil. Oleh karena itu jika dicurigai alat bukti itu dipalsukan, maka persidangan Acara Perdata akan dihentikan untuk menunggu diputus terlebih dahulu suatu kasus Pidana itu.7

Menurut Subekti, pembuktian adalah upaya meyakinkan Hakim akan hubungan hukum yang sebenarnya antara para pihak dalam berperkara, dalam hal ini antara bukti-bukti dengan tindak pidana yang didakwakan, dalam mengkonstruksikan hubungan hukum ini, masing-masing pihak menggunakan alat bukti untuk membuktikan dalil-dalilnya dan meyakinkan hakim akan kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan.

Salah satu contoh lemahnya Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana Indonesia adalah ketika dihadapkan pada kasus awal mula cybercrime di Indonesia yaitu kasus persengketaan antara Tjandra Sugiantoro dan PT. Mustika Ratu yang diawali dengan pendaftaran nama domain Mustika Ratu ke Network Solution Inc di Amerika Serikat. Pada saat itu Tjandra Sugiantoro menjabat sebagai Manajer Umum Pemasaran Internasional PT. Martina Bertho produsen jamu dan kosmetika Sari Ayu yang tidak lain adalah pesaing PT. Mustika Ratu dalam Industri jamu dan kosmetik yang dibebaskan dari jeratan hukum dikarenakan sukarnya untuk menemukan alat bukti pada saat itu

7

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Edisi Kedua,

(22)

menyebabkan sulit untuk menentukan kejahatan yang dituduhkan kepada Tjandra Sugianto.8

b. Pengertian Tindak Pidana

Tindak Pidana berasal dari suatu istilah dalam hukum belanda yaitu Straafbaar feit. Adapula yang mengistilahkan menjadi delict yang bahasa latinnya delictum. Hukum Pidana yang digunakan pada Negara-negara penganut Anglo Saxon menggunakan istilah tersebut dengan sebutan offens atau criminal act.

Menurut Pompe, perkataan “straafbaar feit” itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum. Simon merumuskan bahwa strafbaar feit adalah sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang dapat dipertanggung jawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. Alasan Simon bahwa strafbaar feit harus dirumuskan seperti yang diatas adalah dikarenaka sebagai berikut:9

1. Untuk adanya suatu strafbaar feit itu disyaratkan bahwa disitu harus terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan oleh

8

Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Op cit, hlm. 99

9

(23)

undang-undang, dimana pelanggaran yang dilarang atau kewajiban semacam itu telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum

2. Agar suatu tindakan itu dapat dihukum, maka tindakan tersebut harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan didalam undang-undang

3. Setiap strafbaar feit sebagai pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban menurut undang-undang itu, pada akikatnya merupakan suatu tindakan melawan hukum atau merupakan suatu “onrechtmatige handling”.

c. Pengertian tentang Hukum Acara Pidana

Simon mengatakan bahwa Hukum Acara Pidana adalah hukum pidana formil yang mengatur Negara melalui alat-alat atau organ perlengkapannya untuk bertindak dan menghukum para pelanggar hukum. Van Bamelen berpendapat bahwa Hukum Acara Pidana adalah ketentuan hukum yang mengatur cara bagaimana Negara dihadapi pada suatu kejadian yang menimbulkan persangkaan telah terjadi pelanggaran hukum pidana, dengan perantara alat-alat perlengkapan Negara mencari kebenaran untuk mendapatkan keputusan hakim mengenai perbuatan yang didakwakan dan bagaimana keputusan itu harus dilaksanakan. Van Bamelen juga mengemukakan tiga fungsi hukum acara pidana yaitu:

(24)

Dari ketiga fungsi tersebut, yang paling penting karena menjadi tumpuan kedua fungsi berikutnya adalah “mencari kebenaran” setelah menemukan kebenaran yang diperoleh dari alat bukti dan bahan bukti itulah hakim akan sampai kepada putusan (yang seharusnya adil dan tepat) dan kemudian akan dilaksanakan oleh jaksa.

d. Pengertian Komputer

yang telah dirumuskan. Kata komputer semula dipergunakan untuk menggambarkan orang yang perkerjaannya melakukan pe dengan atau tanpa alat bantu, tetapi arti kata ini kemudian dipindahkan kepada berhubungan dengan masala untuk banyak tugas yang tidak berhubungan denga Komputer dapat didefinisikan sebagai suatu peralatan elektronik yang terdiri dari beberapa komponen, yang dapat bekerja sama antara komponen satu dengan yang lain untuk menghasilkan suatu informasi berdasarkan program dan data yang ada. Adapun komponen komputer adalah meliputi : Layar Monitor, CPU, Keyboard, Mouse dan Printer (sebagai pelengkap). Tanpa printer komputer tetap dapat melakukan tugasnya sebagai pengolah data, namun sebatas terlihat dilayar monitor belum dalam bentuk print out (kertas).10

10

(25)

e. Pengertian Internet

Internet atau Inter Connection Network adalah merupakan jaringan komputer yang terhubung satu sama lain melalui media komunikasi, seperti kabel telepon, jaringan satelit ataupun gelombang frekuensi dan lain-lain yang menghubungkan antar Negara dan Benua yang berbasis Transmission Control Protocol/Internet Protocol (TCP/IP).11

f. Pengertian mengenai Cybercrime

Cybercrime adalah merupakan suatu tindak kejahatan yang dilakukan di dunia maya dan teknologi komputer sebagai alat kejahatan utamanya. Cybercrime memanfaatkan perkembangan teknologi komputer khususnya internet. Secara umum yang dimaksud dengan kejahatan komputer atau kejahatan didunia cyber adalah upaya untuk memasuki dan/atau menggunakan fasilitas komputer atau jaringan komputer tanpa izin dan melawan hukum dengan atau tanpa menyebabkan perubahan dan/atau kerusakan pada fasilitas komputer yang dimasuki atau digunakan tersebut.12

11

Josua Sitompul, Cyberspace Cybercrime Cyberlaw tinjauan Aspek Hukum Pidana,

(Tatanusa, Jakarta: 2012), hlm. 25

Indonesia dalam hal kejahatan dunia maya atau cybercrime sendiri pada saat ini sudah menempati presentase tertinggi didunia setelah Ukraina yang memiliki presentase tertinggi sebelumnya dibidang kejahatan dunia maya. Tindak pidana cybercrime yang paling sering terjadi di Indonesia adalah carding dan hacking. Carding adalah pembobolan kartu kredit sedangkan hacking adalah pengerusakan terhadap jaringan internet pihak lain dengan sengaja.

12

(26)

Namun Roy Suryo dalam seminarnya tentang “Komunikasi Mayantara” (Cyber Communication) mengatakan bahwa Indonesia dalam hal penggunaan Internet masih tergolong dalam kategori rendah, artinya jumlah pengguna internet dibandingkan dengan jumlah penduduk masih sangat sedikit dari sekitar 240.000.000 jiwa penduduknya hanya 3 sampai 4 juta jiwa yang benar-benar menggunakan internet.13

g. Hacking sebagai bentuk Cybercrime

Internet atau jaringan komputer yang besar sesungguhnya tidak mengganggu manusia, justru membantu manusia dalam mencapai tujuan-tujuan yang positif, seperti dalam bidang bisnis ada e-comerce atau e-trade, sebagai media pendidikan politik dan sebagainya. Factor manusia yang menggunakan internet dengan tujuan jahat yang membuat pemakai internet tidak nyaman. Manusia inilah yang didalam dunia cyber dinamakan hacker hitam/cracker.

Hacker secara harfiah berarti mencincang atau membacok, dalam arti luas adalah mereka yang menyusup atau melakukan perusakan melalui komputer. Hacker juga dapat didefenisikan sebagai orang-orang yang gemar mempelajari seluk-beluk sistem komputer dan bereksperimen dengannya. Penggunaan istilah hacker terus berkembang seiring dengan perkembangan internet, namun terjadi pembiasaan makna kata.

13

(27)

Hakcker yang masih menjunjung tinggi atau memiliki motivatsi yang sama dengan perintis mereka, hacker-hacker MIT disebut hacker topi putih (white hat hackers). Mereka masih memegang prinsip bahwa meng-hack adalah bertujuan untuk meningkatkan keamanan internet.

Hacker dalam pengertian yang kedua adalah mereka yang memanfaatkan kemampuan untuk melakukan kejahatan, baik pencurian nomor kartu kredit sampai perusakan situs atau website milik orang lain. Mereka selalu saling berperang antara hacker topi putih dengan mereka yang disebut cracker (hacker hitam). Akibat publikasi dari aksi-aksi hacker dari kedua kelompok tersebut diatas, maka muncullah kelompok hacker yang melakukan aksinya secara terang terangan dan cenderung menyombongkan diri apabila berhasil melakukan penyelundupan atau perusakan, Hacker demikian dinamakan Vandal Komputer atau Bogus Hacker.

Hacking yang dilakukan oleh hacker hitam pada intinya adalah unauthorized acces sebagai first crime. Setelah hacker dapat masuk kejaringan internet pihak lain, maka hacker dapat melakukan kejahatan lain seperti damage to data or computer espionage atau dapat juga mengirim virus pada e -mail orang lain yang akan menyebar apabila e-mail itu dibuka.14

Dapat disimpulkan, bahwa untuk menentukan apakah hacking itu merupakan kejahatan atau bukan maka harus dilihat dengan menggunakan pendekatan perspektif yang telah ditentukan secara umum. Penetapan suatu

14

(28)

perbuatan sebagai kejahatan atau bukan merupakan kewenangan dari pembentuk undang-undang, dalam hal ini Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Agar dapat disebut atau dikategorikan sebagai kejahatan, maka harus memenuhi beberapa karakteristik dari tindak pidana yaitu: 15

a. Bertentangan dengan atau merugikan kepentingan umum (a public wrong). Dilihat dari kriteria ini, maka tindakan hacking yang dilakukan oleh cracker sangat bertentangan dan merugikan kepentingan umum bahkan kepentingan pribadi. Seorang cracker menyerang situs yang menyediakan pelayanan publik atau menyediakan data-data yang diperuntukkan bagi publik sudah barang tentu merugikan pengakses yang hendak mengakses situs tersebut, dalam hal ini tidak hanya pemerintah atau perusahaan yang dirugikan (sebagai penyelenggara pelayanan umum) tetapi juga merugikan kepentingan pengakses. Demikian juga dengan situs yang dikelola secara pribadi, jika di-hack maka akan mengganggu kepentingan pemilik situs tersebut secara pribadi.

b. Bertentangan dengan moral masyarakat (a moral wrong).

Tidaklah mudah untuk menentukan dasar moral apa yang dipakai sebagai pertimbangan dalam memutuskan suatu perbuatan sebagai kejahatan atau tidak. Dalam hal ini dasar moral yang dapat diambilkan dari kehidupan sekitar atau dimana perbuatan itu ada atau terjadi (dalam arti kehidupan yang nyata) dan ketentuan-ketentuan moral yang dipakai atau dipergunakan dalam kehidupan para netizen (dalam hal ini adalah moral yang masyarakat

15

(29)

yang ada di cyberspace). Para netizen umumnya mengakui bahwa meng-hack sebuah situs merupakan tindakan yang tidak baik apalagi jika hacking itu dilakukan terhadap situs-situs pendidikan, penelitian dan pelayanan umum.

Jika ditinjau dari aspek kriminologi, maka untuk memahami tentang kejahatan hacking tidak cukup dengan hanya mempelajari dari sisi akibat berupa kerugian-kerugian yang diderita oleh para korban dan landasan aturan-aturan apa yang dipakai penguasa atau pembentuk undang-undang untuk menentukan suatu perbuatan sebagai kejahatan, melainkan dengan mempelajari dan meneliti sebab musabab dari kejahatan itu sendiri. Kejahatan merupakan fenomena sosial sebagai rangkaian dari keseluruhan proses-proses sosial, budaya, politik, ekonomi dan struktur yang ada didalam masyarakat. Dalam penjelasannya, kejahatan memiliki 3 (tiga) pandangan yaitu: 16

a. Secara praktis (partical interpretation)

Bahwa, kejahatan adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang melanggar ketentuan hukum atau peraturan perundang-undangan dan terhadap pelakunya dikenakan sanksi pidana.

b. Secara religius (religious interpretation)

Bahwa, kejahatan adalah suatu pengertian mengidentikkan jahat dengan dosa. Jahat dan dosa dalam arti religius itu merupakan sinonim. Berbuat jahat adalah dosa dan sebaliknya berbuat dosa adalah kejahatan.

16

Ediwarman, Nurmalawaty, Edi Yunara, Berlin Nainggolan, Rofiqoh, Monograf

(30)

c. Secara Yuridis (juridical interpretation)

Bahwa, kejahatan adalah suatu perbuatan yang melanggar hukum atau dilarang oleh undang-undang.

Dalam mengkonstruksi suatu tindakan hacking sebagai kejahatan terdapat beberapa tahapan. Tahap-tahap tersebut adalah sebagai berikut:

a. Mengumpulkan dan mempelajari informasi yang ada mengenai system operasi komputer atau jaringan komputer yang dipakai pada target sasaran. b. Menyusup atau mengakses jaringan komputer yang dipakai oleh target

sasaran.

c. Menjelajahi system komputer (dan mencari akses yang lebih tinggi). d. Membuat backdoor dan menghilangkan jejak.

Proses belajar menjadi seorang hacker atau cracker dalam persepektif atau pandangan kriminologi terutama dari teori differential association ataupun dalam perkembangannya yang disebut differential social organization dari Sutherland sudah menunjukkan bahwa orang yang belajar itu sedang mempelajari atau belajar menjadi seorang penjahat. Pada intinya untuk menjadi seorang penjahat di cyberspace harus melalui pembelajaran baik itu secara otodidak maupun dengan belajar pada ahlinya.17

8. Bentuk-Bentuk Cybercrime

Berdasarkan jenis aktifitas yang dilakukannya, Cybercrime dapat digolongkan menjadi beberapa jenis sebagai berikut:18

a. Unauthorized Access

17

Agus Raharjo, Op Cit, hlm. 175.

18

(31)

Merupakan kejahatan yang terjadi ketika seseorang memasuki suatu sistem jaringan komputer secara tidak sah, tanpa izin, atau tanpa sepengetahuan dari pemilik sistem jaringan komputer yang dimasukinya. Probing dan port merupakan contoh kejahatan ini yaitu mengintai server target yang akan dilakukan tindak kejahatan.

b. Illegal Contents

Merupakan kejahatan yang dilakukan dengan memasukkan data atau informasi ke internet tentang suatu hal yang tidak benar, tidak etis, dan dapat dianggap melanggar hukum atau menggangu ketertiban umum, contohnya adalah penyebaran pornografi.

c. Penyebaran virus secara sengaja

Penyebaran virus pada umumnya dilakukan dengan menggunakan e-mail. Sering kali orang yang sistem e-mailnya terkena virus tidak menyadari hal ini. Virus ini kemudian dikirimkan ke tempat lain melalui e-mailnya.

d. Data Forgery

Kejahatan jenis ini dilakukan dengan tujuan memalsukan data pada dokumen-dokumen penting yang ada di internet. Dokumen-dokumen ini biasanya dimiliki oleh institusi atau lembaga yang memiliki situs berbasis web database.

e. Cyber Espionage, Sabotage dan Extortion

(32)

merupakan jenis kejahatan yang dilakukan dengan membuat gangguan, perusakan atau penghancuran terhadap suatu data, program komputer atau sistem jaringan komputer yang terhubung dengan internet.

f. Cyberstalking

Kejahatan jenis ini dilakukan untuk mengganggu atau melecehkan seseorang dengan memanfaatkan komputer, misalnya menggunakan e-mail dan dilakukan berulang - ulang. Kejahatan tersebut menyerupai teror yang ditujukan kepada seseorang dengan memanfaatkan media internet. Hal itu bisa terjadi karena kemudahan dalam membuat email dengan alamat tertentu tanpa harus menyertakan identitas diri yang sebenarnya.

g. Carding

Carding merupakan kejahatan yang dilakukan untuk mencuri nomor kartu kredit milik orang lain dan digunakan dalam transaksi perdagangan di internet.

h. Hacking dan Cracker

(33)

Tindakan yang terakhir disebut sebagai DoS (Denial of Service). Dos attack merupakan serangan yang bertujuan melumpuhkan target (hang, crash) sehingga tidak dapat memberikan layanan.

i. Cybersquatting and Typosquatting

Cybersquatting merupakan kejahatan yang dilakukan dengan mendaftarkan domain nama perusahaan orang lain dan kemudian berusaha menjualnya kepada perusahaan tersebut dengan harga yang lebih mahal. Adapun typosquatting adalah kejahatan dengan membuat domain plesetan yaitu domain yang mirip dengan nama domain orang lain. Nama tersebut merupakan nama domain saingan perusahaan.

j. Hijacking

Hijacking merupakan kejahatan melakukan pembajakan hasil karya orang lain. Yang paling sering terjadi adalah Software Piracy (pembajakan perangkat lunak).

k. Cyber Teroris

Suatu tindakan Cybercrime termasuk Cyber Terorism jika mengancam pemer intah atau warganegara, termasuk cracking ke situs pemerintah atau militer.

9. Pengertian Alat Bukti menurut KUHAP dan Undang-undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Menurut Pasal 184 ayat (1) menyebutkan bahwa Alat Bukti yang sah ialah:19

19

Solahuddin, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Acara Pidana, & Perdata,

(34)

a. Keterangan Saksi. b. Keterangan Ahli. c. Surat.

d. Petunjuk.

e. Keterangan Terdakwa.

Sebagaimana yang disebutkan diatas, sudah menjelaskan bahwa Pasal 184 ayat (1) sudah menentukan alat bukti yang sah menurut Undang-undang. Diluar dari alat bukti itu, tidak dibenarkan untuk membuktikan kesalahan Terdakwa.

Yang dikatakan Alat Bukti menurut Undang-undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ada pada pasal 5 ayat (1) dan (2) yang menyebutkan antara lain:

(1). Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah.

(2). Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.

Pasal 44 Undang-undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyebutkan antaralain :20

a. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Perundang-undangan.

20

Gardien Mediatama, Undang – Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

(35)

b. Alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta pasal 5 ayat (1), (2) dan (3).

F. Metode Penelitian 1. Penelitian Normatif

Dalam penulisan skripsi, Penulis berusaha menemukan data-data dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang disebut juga dengan penelitan hukum doktrinal karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya kepada peraturan-peraturan yang tertulis dan bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum skunder dan bahan hukum tersier.

Dalam penelitian hukum normatif, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam ilmu penelitian digolongkan sebagai data yang mencakup:21

a) Bahan hukum primer

Bahan hukum primer ini adalah berbagai ketentuan dan peraturan perundang-undangan maupun undang-undang yang telah berlaku di Indonesia. Yang dalam penelitian ini bahan hukum primernya merupakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

b) Bahan hukum sekunder

Bahan hukum ini adalah bahan yang berkaitan dengan bahan hukum primer dan merupakan bahan pendukung dari bahan hukum primer. Dalam penelitian ini penulis mengambil bahan hukum sekunder dari studi kepustakaan, seperti mengumpulkan data dari library, literature.

21

(36)

c) Bahan hukum tersier

Merupakan bahan hukum pelengkap dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Dimana peneliti mendapatkannya melalui berbagai jurnal maupun arsip-arsip penelitian.

Penelitian hukum ini juga disebut sebagai penelitian kepustakaan atau studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak mengkaji literatur-literatur dan data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan yang berkaitan dengan judul skripsi, pendapat para ahli hukum terkait dan analisa kasus dalam dokumen-dokumen untuk memperjelas hasil penelitian. 22 Penelitian kepustakaan demikian dapat pula dikatakan sebagai lawan dari penelitian empiris (penelitian lapangan).23

22

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Universitas Indoneia (UI-PRESS), 1981, hlm.52

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu dengan pendekatan Undang-Undang terkait dengan Cybercrime yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang-undang terkait sperti undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Terorisme, Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-udang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

23

(37)

2. Penelitian Deskriptif

Dari sudut sifatnya, penelitian dapat ditinjau melalui berbagai sifat. Seperti:24

1. Penelitian yang bersifat eksploratif (penjajakan atau penjelajahan)

Penelitian ini bertujuan untuk memperdalam pengetahuan mengenai suatu gejala tertentu, atau untuk mendapatkan ide-ide baru mengenai suatu gejala itu.

2.Penelitian yang bersifat deskriptif

Penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat.

3. Penelitian yang bersifat eksplanatif (menerangkan)

Penelitian eksplanatif bertujuan menguji hipotesis-hipotesis tentang ada tidaknya hubungan sebab akibat antara berbagai variabel yang diteliti.

Dalam penulisan skripsi, penulis menggunakan penelitian yang bersifat deskriptif karena disini penulis menggambarkan sifat-sifat suatu individu yang bertujuan untuk menghubungkan antara suatu gejala dengan gejala lainnya dalam masyarakat dan dapat membentuk teoti-teori baru atau memperkuat teori yang sudah ada, serta dapat menggunakan data kualitatif dan kuantitatif.

3. Jenis Data

Dalam penelitian, lazimnya jenis data dibedakan antara:25

24

(38)

4. Data Primer

Yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama sekali. 5. Data Skunder

Yaitu data yang diperoleh melalui penelitian terhadap dokumen-dokumen, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, dan sebagainya. Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis menganalisis data berdasarkan pada bahan-bahan yang sudah tersedia baik diperpustakaan, media massa maupun media elektronik atau disebut data skunder. Karena pada dasarnya penulis menggunakan teknik pengumpulan data yang bersifat normatif dan Sumber data yang diperoleh penulis dalam penulisan skripsi ini antara lain, mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, dan seterusnya. Ciri-ciri umum dari data sekunder adalah:26

a. Pada umumnya data sekunder dalam keadaan siap terbuat dan dapat dipergunakan dengan segera

b. Baik bentuk maupun isi data sekunder, telah dibentuk dan diisi oleh peneliti-peneliti terdahulu, sehingga peneliti kemudian, tidak mempunyai pengawasan terhadap pengumpulan, pengolahan, analisa maupun konstruksi data

c. Tidak terbatas oleh waktu maupun tempat

Dari sudut tipe-tipenya, maka data sekunder dapat dibedakan antara:

25

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2004), hlm. 30

26

(39)

a. Data sekunder yang bersifat pribadi, yang antara lain mencakup: a. Dokumen pribadi, seperti surat-surat, buku harian, dan seterusnya b. Data pribadi yang tersimpan di lembaga dimana yang bersangkutan

pernah bekerja atau sedang bekerja. 2. Data sekunder yang bersifat publik:

a. Data arsip, yaitu data yang dapat dipergunakan untuk kepentingan ilmiah, oleh para ilmuwan

b. Data resmi pada instansi-instansi pemerintah, yang kadang-kadang tidak mudah untuk diperoleh oleh karena mungkin bersifat rahasia c. Data lain yang dipublikasikan, misalnya yurisprudensi Mahkamah

Agung. G. Sistematika Penulisan

Skripsi ini dibagi atas 4 (empat) bab, yang tiap bab dibagi pula beberapa sub bab yang disesuaikan dengan isi dan maksud dari penulisan skripsi ini. Hal ini dimaksud untuk menjalin hubungan yang serasi antar bab, sehingga dapat menjawab permasalahan secara benar, terarah, terperinci dan sistematis kemudian dapat dipertanggungjawabkan. Adapun sistematika penulisan skripsi ini secara singkat adalah sebagai berikut:

BAB I

PENDAHULUAN

(40)

BAB II

PENGATURAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA CYBERCRIME

Pada bab ini berisikan pembahasan tentang masalah pengaturan hukum pidana terhadap tindak pidana cybercrime yang memiliki 2 (dua) sub bab yaitu pengaturan hukum pidana terhadap tindak pidana cybercrime dan pengaturan hukum pidana terhadap tindak pidana cybercrime menurut Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

BAB III

PEMBUKTIAN MENGENAI TINDAK PIDANA CYBERCRIME MENURUT HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA DAN UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2008 TENTANG ITE

Pada bab ini berisikan pembahasan tentang masalah pembuktian mengenai tindak pidana cybercrime menurut hukum acara pidana Indonesia dan Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang memiliki 2 (dua) sub bab yaitu alat bukti dalam sistem pembuktian hukum acara pidana Indonesia dan pembuktian alat bukti elektronik.

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

(41)

BAB II

PENGATURAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA CYBERCRIME

A. Pengaturan hukum pidana terhadap tindak pidana cybercrime.

Dunia maya (cyberspace) adalah media yang tidak mengenal batas, baik batas-batas wilayah maupun batas kenegaraan. Kejahatan dalam dunia maya (cybercrime) dapat diartikan sebagai jenis kejahatan yang dilakukan dengan mempergunakan media internet sebagai alat untuk menjalankan aksinya, kejahatan ini (cybercrime) bisa dikatakan dilakukan tanpa ada kekerasan dan sedikit melibatkan kontak fisik dikarenakan memanfaatkan jaringan telematika (telekomunikasi, media dan informatika).27

Oleh karena kejahatan duniamaya (cybercrime) menggunakan teknologi dan jaringan internet sebagai alat bantunya, jelas bahwa tindak kejahatan dunia maya tersebut dapat dilakukan dimana saja, kapan saja serta berdampak kemana saja yang seakan-akan tidak memiliki batas (borderless). Keadaan seperti itu mengakibatkan pelaku kejahatan, korban, tempat terjadinya perbuatan pidana (locus delicti) serta akibat yang ditimbulkannya dapat terjadi dimana saja bahkan hingga melintasi antar Negara.28

Dalam mengantisipasi suatu tindak kejahatan sudah pasti harus melalui suatu penelitian yang akhirnya menghasilkan suatu peraturan dan selanjutnya harus dipatuhi oleh khalayak ramai, begitu pula dalam pembentukan tentang aturan Pidana dalam mengantisipasi suatu tindak kejahatan khususnya kejahatan

27

Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Op cit, hlm 20

28

(42)

dunia maya (Cybercrime). Oleh karena itu penulis mencoba mengidentifikasi bentuk-bentuk kejahatan yang berkaitan dengan teknologi dan jaringan internet dengan perundang-undangan pidana yang adakedalam delik-delik KUHP sebagai berikut:

1. Joycomputing, diartikan sebagai perbuatan seseorang yang mengunakan komputer secara tidak sah atau tanpa izin dan menggunakannya melampaui wewenang yang diberikan. Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pencurian (pasal 362 KUHP)

2. Hacking, diartikan sebagai suatu perbuatan penyambungan dengan cara menambah terminal komputer baru pada sistem jaringan komputer tanpa izin (dengan melawan hukum) dari pemilik sah jaringan komputer tersebut. Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana perbuatan tanpa wewenang masuk dengan memaksa kedalam rumah atau ruangan yang tertutup atau pekarangan atau tanpa haknya berjalan diatas tanah milik orang lain (pasal 167 dan pasal 551 KUHP)

(43)

4. Data Leakage, diartikan sebagai pembocoran data rahasia yang dilakukan dengan cara menulis data-data rahasia tersebut kedalam kode-kode tertentu sehingga data dapat dibawa keluar tanpa diketahui oleh pihak yang bertanggung jawab. Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana terhadap keamanan Negara (pasal 112, pasal 113 dan pasal 114 KUHP) dan tindak pidana membuka rahasia perusahaan atau kewajiban menyimpan rahasia profesi atau jabatan (pasal 322 dan pasal 323 KUHP) 5. Data diddling, diartikan sebagai suatu perbutan yang mengubah data valid

atau sah dengan cara yang tidak sah, yaitu dengan mengubah input data. Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pemalsuan surat pasal 236 KUHP)

6. Penyia-nyiaan data komputer, diartikan sebagai suatu perbuatan yang dilakukan dengan suatu kesengajaan untuk merusak atau menghancurkan media penyimpanan sejenis lainnya yang berisikan data atau program komputer, sehingga akibat perbuatan tersebut data atau program yang dimaksud menjadi tidak berfungsi lagi dan pekerjaan-pekerjaan yang melalui program komputer tidak dapat dilaksanakan. Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana perusakan barang (pasal 406 KUHP) 7. Pornografi di internet, diartikan sebagai perbuatan mempertontonkan,

(44)

diperlihatkan kepada anak yang masih dibawah umur dalam hal menyajikan bentuk-bentuk pornografi maka dikategorikan sebagai pelanggaran tentang kesopanan (pasal 533).

8. Penipuan melalui media internet, yaitu suatu perbuatan yang dilakukan dengan cara membuat suatu pemberitahuan palsu dan menyesatkan atau bertindak sebagai orang lain secara tidak sah dan melakukan penipuan melalui internet atau sms. Maka perbuatan itu masuk kedalam kategori tindak pidana penipuan yang diatur dalam Pasal 378 KUHP.

Menurut buku I KUHP, yurisdiksi penerapan hukum pidana meliputi keberlakuan hukum pidana menurut waktu dan menurut tempat. Keberlakuan hukum pidana menurut waktu diatur dalam pasal 1 ayat (1) dan (2) KUHP29. Didalam Bab I KUHP tersebut ditemukan asas “ruang berlakunya hukum pidana menurut waktu” yang terdiri atas asas mengenai berlakunya hukum pidana pada waktu delik terjadi atau dilakukan dan Pasal 1 ayat (1) dikenal dengan asas lex temporis delicti atau asas non-retroaktif, asas mengenai berlakunya hukum pidana pada waktu perubahan Undang-undang atau dalam masa transisi dimuat dalam Pasal 1 ayat (2) yang juga dikenal dengan asas retroaktif.30

Berdasarkan pengategorian tindak kejahatan dunia maya (cybercrime) kedalam delik-delik KUHP diatas, secara substansi Pasal-pasal dalam KUHP

29

Pasal 1 ayat (1): Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam Undang-undang, yang terlebih dahulu dari perbuatan itu.

Ayat (2): jikalau Undang-undang diubah, setelah perbuatan itu dilakukan, maka kepada tersangka dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya.

30

(45)

dapat saja diupayakan untuk mengakomodasikan modus kejahatan komputer, namun permasalahan yang sering kali muncul adalah relevansi Pasal-pasal tersebut dengan kejahatan yang berkembang sekarang khususnya kejahatan yang terjadi di dunia maya (cybercrime).

Jika melihat kepada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) terhadap tindak pidana di dunia maya (cybercrime) yang bersifat Transnasional,31 masih memiliki kekurangan dalam hal yurisdiksi32

Oleh sebab itu KUHP dikatakan masih memiliki kekurangan dikarenakan aturan berlakunya hanya sebatas territorial-nya saja atau tempat dimana berlakunya suatu aturan Pidana tersebut, karena berlakunya suatu Undang-undang pidana suatu Negara digantungkan kepada tempat di mana suatu perbuatan pidana dilakukan

karena perkembangan yang cepat dibidang ilmu dan teknologi telah mengakibatkan semakin tingginya mobilitas manusia baik secara nasional maupun internasional. Berhubung hampir setiap manusia adalah Warganegara dari suatu Negara yang berdaulat, maka peningkatan mobilitas manusia tersebut banyak menimbulkan masalah berkaitan dengan yurisdiksi ekstrateritorial suatu Negara.

33

31

Transnasional adalah suatu gebrakan sosial yang tumbuh dikarenakan meningkatnya interkonektifitas antar manusia diseluruh Dunia yang semakin memudarkan batas-batas antar Negara perkembangan telekomunikasi khususnya internet, migrasi penduduk dan terutama globalisasi yang menjadi pendorong perkembangan transnasionalisme ini.

. Melihat kepada prinsip nasional aktif dan nasional pasif, maka suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku baik di luar negeri maupun di dalam negeri harus melihat kepada status kewarganegaraannya dalam hal ini pelaku agar dapat dihukum sesuai dengan aturan yang berlaku kepadanya (prinsip nasional

32

Yurisdiksi adalah wilayah atau daerah tempat berlakunya suatu Undang-undang yang berdasarkan hukum.

33

(46)

aktif).34 Begitu juga kepada korban yang merasa dirugikan, menurut prinsip nasional pasif maka agar dapat diberikan perlindungan hukum kepada korban harus terlebih dahulu diketahui apakah status korban adalah warga Negara tempat terjadinya peristiwa pidana atau bukan. Setelah diketahui maka akan diberikan perlindungan hukum dan jika diketahui bahwa korban bukan merupakan warga Negara pada tempat peristiwa pidana yang terjadi kepadanya, maka korban harus kembali kepada Negara asalnya untuk meminta perlindungan hukum atas peristiwa pidana yang terjadi padanya (prinsip nasional pasif).35

Keberlakuan Undang-undang Pidana yang tercantum pada KUHP didasarkan pada asas-asas yang berlaku secara internasional, antara lain asas territorial, asas nasional aktif dan asas nasional pasif. Dalam perkembangan penerapannya, asas teritorialitas ini memiliki keterbatasan untuk menjerat seseorang yang melakukan tindak pidana diluar wilayah suatu Negara. Oleh karena itu, banyak Negara menambahkan asas lain agar perundang-undangan pidananya tetap berlaku dalam kondisi-kondisi yang tidak dapat dijangkau dengan asas teritorialitas, khususnya dalam kondisi dimana pelaku tidak dapat hadir dalam wilayah Negara yang bersangkutan. Asas ini dikenal dengan asas ekstrateritorial.

Asas ekstrateritorial ini diwujudkan dalam Pasal 4 KUHP dan Pasal 5 KUHP. Pasal 4 KUHP memuat asas nasional pasif tentang pemberlakuan Undang-undang pidana Indonesia kepada setiap orang baik warga Negara Indonesia maupun warga negara asing yang melakukan tindak pidana diluar

34

P.A.F Lamintang, Op cit, hlm. 90

35

(47)

wilayah hukum Indonesia namun melanggar kepentingan Indonesia, Pasal 5 KUHP mengandung asas nasionalitas aktif yaitu perundang-undangan pidana Indonesia berlaku kepada setiap warga Negara Indonesia dimanapun ia berada.

Namun begitu juga hukum pidana Indonesia telah mengalami perluasan dalam hal batas-batas keberlakuannya baik dalam negeri maupun luar negeri atau disebut ekstrateritorial dengan adanya dukungan dari Undang-undang yang mengatur tentang asas ekstrateritorial salah satunya yaitu Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Karena cyberspace adalah merupakan dunia virtual yang lokasinya sulit untuk ditemukan tetapi dapat dikunjungi oleh berjuta pengguna yang tersebar di seluruh dunia setiap saat.36

B. Pengaturan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Cybercrime yang Diatur Dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Seiring dengan berkembangnya teknologi informasi yang menyebabkan semakin beragamnya suatu tindak pidana khususnya di dunia maya atau lebih dikenal dengan sebutan cybercrime yang tidak sepenuhnya dapat dicegah dengan aturan pidana konvensional atau yang tertera pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) maka, rancangan pengaturan hukum mengenai cybercrime mulai dibahas sejak tahun 2003 oleh Kementrian Negara Komunikasi dan Informatika dan pada tanggal 21 April 2008 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) secara resmi disahkan.37

36

Josua sitompul, Op cit, hlm. 136

Dalam pemberlakuannya UU ITE

37

(48)

menganut asas ekstrateritorial yang dicantumkan dalam pasal 2 yang berbunyi “ Undang-Undang ini berlaku untuk setiap Orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia ”.38

Pasal tersebut diatas tidak hanya menjelaskan prinsip teritorialitas bahwa Undang-undang ini berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum dalam wilayah Indonesia, tetapi juga memperluas ruang lingkup pengaturan prinsip ekstrateritorial yang diatur dalam KUHP. Pasal 2 UU ITE memperluas cakupan asas ekstrateritorial nasionalitas dalam KUHP dengan menambahkan kepentingan-kepentingan Nasional baik asas nasionalitas pasif yang dijelaskan dalam pasal 4 KUHP maupun asas nasionalitas aktif yang dijelaskan dalam pasal 5 KUHP serta dilindungi berdasarkan UU ITE. Kepentingan Negara Indonesia yang diatur dalam Pasal 4 KUHP ialah sebagai berikut:

Ke-1. Salah satu kejahatan tersebut pasal-pasal: 104, 106, 107, 108, 110, 111 bis ke-1, 127 dan 131

Ke-2. Suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh Negara atau Bank, ataupun mengenai materai yang dikeluarkan dan merek yang digunakan olrh Pemerintah Indonesia

38

(49)

Ke-3. Pemalsuan surat hutang atau sertifikat hutang atas tanggungan Indonesia, atas tanggungan suatu Daerah atau bagian daerah Indonesia, termasuk pula pemalsuan talon, tanda dividen atau tanda bunga, yang mengikuti surat atau sertifikat itu, dan tanda yang dikeluarkan sebagai pengganti surat tersebut atau menggunakan surat-surat tersebut diatas, yang palsu atau dipalsukan, seolah-olah tulen tidak dipalsukan

Ke-4. Salah satu kejahatan yang tersebut dalam pasal-pasal 438, 444 sampai dengan pasal 446, tentang pembajakan laut dan pasal 447 tentang penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan pasal 479 huruf j tentang penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, pasal 479 huruf l, m, n dan o tentang kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil.39

Kepentingan nasional yang diperluas dalam UU ITE yaitu meliputi tetapi tidak terbatas pada perbuatan-perbuatan yang merugikan ekonomi nasional, perlindungan data strategis, harkat dan martabat bangsa, pertahanan dan keamanan Negara, kedaulatan Negara, warga Negara, serta badan hukum Indonesia. Maksudnya adalah, perbuatan pidana yang diatur dalam UU ITE jika dilakukan oleh warga Negara asing diluar wilayah hukum Indonesia dan memiliki akibat hukum diluar wilayah hukum Indonesia tetap dapat dipidana berdasarkan aturan UU ITE sepanjang perbuatan tersebut melanggar kepentingan nasional yang diatur dalam Undang-undang ini.

39

(50)

Sebagai contoh seorang Warga Negara Amerika Serikat memiliki akun di blogspot,40

Dalam hal ini, tidak hanya Negara Indonesia yang memiliki kepentingan atas perbuatan atau akibat tindak pidana, dan atas pelaku, tetapi juga Negara lain yang terkait. Meskipun warga Negara Amerika Serikat yang melakukan tindak pidana cyber berdasarkan Undang-undang Indonesia dari negaranya, belum tentu isi blog yang dimaksud merupakan tindak pidana di Negara Amerika Serikat dan belum tentu Negara bersangkutan akan menyerahkan warga negaranya untuk diproses di Indonesia.

dan ketika berada di negaranya, ia menuliskan dalam blog-nya informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu atau kelompok masyarakat yang ada di Indonesia. Dalam kasus tersebut, Warga Negara Amerika Serikat dapat dipidana berdasarkan pasal 28 ayat (2) UU ITE karena meskipun perbuatan penulisannya dilakukan di Amerika Serikat, tetapi memiliki akibat hukum untuk Indonesia mengingat blog-nya dapat dibaca di Indonesia dan targetnya adalah warga Negara Indonesia.

Namun, bentuk lain penerapan dari akibat perbuatan hukum yang dilarang hadir di wilayah Indonesia terdapat dalam pasal 37 UU ITE.41

40

Blogspot adalah merupakan suatu wadah yang terdapat di dunia maya yang berfungsi

sebagai catatan atau buku harian dan bisa saja digunakan untuk tempat berbisnis

Pasal ini ditujukan terhadap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 s.d. Pasal 36 diluar wilayah Indonesia terhadap Sistem Elektronik yang berada di wilayah yurisdiksi Indonesia. Dengan

01:09 wib

41

(51)

kata lain, yang menjadi objek tindak pidana dalam Pasal 27 s.d. Pasal 36 tersebut adalah Sistem Elektronik yang berada di Indonesia. Oleh karena itu, setiap orang yang melakukan perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam pasal 27 s.d. pasal 36 di luar Indonesia, sepanjang ditujukan kepada sistem elektronik Indonesia, dapat dipidana berdasarkan UU ITE. Hal tersebut merupakan maksud dari “memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UU ITE. Maka perbuatan yang dilakukan oleh Warga Negara Amerika Serikat yang telah membuat rasa kebencian atau permusuhan antar individu atau kelompok masyarakat Indonesia melalui sistem elektronik, dapat dikenai aturan Pidana.

Selain hal tersebut, unsur “ memiliki akibat hukum diwilayah hukum Indonesia “ juga dimaksudkan untuk memperluas asas nasionalitas aktif dan memperluas keberlakuan UU ITE. Berdasarkan pasal 2 UU ITE tersebut diatas ketentuan-ketentuan tindak Pidana dunia maya sebagaimana dimaksud dalam BAB VII tentang Perbuatan Yang Dilarang pasal 27 s/d pasal 37 UU ITE beserta ancaman-ancaman pidananya berlaku bagi:42

1. Orang (yaitu orang perseorangan, baik warga Negara Indonesia, warga Negara asing, maupun badan hukum) dalam wilayah Negara Indonesia, atau

2. Orang (WNI, WNA, badan hukum) diluar wilayah hukum Indonesia dan perbuatan tersebut:

a. Memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia, atau

b. Memliki akibat hukum diluar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.

42

(52)

Perumusan keberlakuan UU ITE dalam pasal 2 juga mengakomodir teori-teori locus delicti yang berlaku di Indonesia. Secara umum, teori locus delicti dalam ilmu hukum pidana dan yurisprudensi yang ada ialah:

a. Teori perbuatan materiil (leer van de lichamelijke daad)

Menurut teori ini, yang menjadi locus delicti ialah tempat dimana pelaku melakukan perbuatan-perbuatan yang kemudian dapat menimbulkan tindak pidana yang bersangkutan. Dengan kata lain, locus deilcti ialah tempat dimana perbuatan yang perlu ada supaya tindak pidana dapat terjadi. Dengan demikian, waktu dan tempat delik ialah sama. Kelemahannya ialah teori ini tidak membawa penyelesaian dalam hal delik materil

b. Teori alat yang dipergunakan (leer van het instrument)

Menurut teori alat yang dipergunakan, tempat tindak pidana dilakukan ialah ditempat alat yang dipergunakan pelaku menyelesaikan tindak pidana. Alat tersebut dianggap sebagai perpanjangan tangan dari pelaku, sehingga dimana alat tersebut bekerja disitu pula pelaku dianggap berada c. Teori akibat (leer van het gevolgt)

Menurut teori ini, lucos delicti ialah tempat akibat yang dilarang dari suatu tindak pidana muncul.

(53)

menyelesaikan permasalahan yang berhubungan dengan tindak pidana cybercrime. Perbuatan pidana yang diatur dalam UU ITE BAB VII tentang perbuatan yang dilarang, perbuatan-perbuatan tersebut dapat dikategorikan menjadi beberapa kelompok sabagai berikut:43

1. Tindak pidana yang berhubungan dengan aktivitas illegal, yaitu :

a. Distribusi atau penyebaran, transmisi, dapat diaksesnya konten illegal, yang terdiri dari:

• Kesusilaan44

• Perjudian45

• Penghinaan atau pencemaran nama baik46

• Pemerasan atau pengancaman47

• Berita bohong yang menyesatkan dan merugikan konsumen48

• Menimbulkan rasa kebencian berdasarkan SARA49

• Mengirimkan informasi yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.50

b. Dengan cara apapun melalui akses illegal51

c. Intersepsi illegal terhadap informasi atau dokumen elektronik dan system elektronik.52

2. Tindak pidana yang berhubungan dengan gangguan (interferensi), yaitu:

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hal di atas maka permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah apa sajakah perbuatan yang termasuk dalam tindak pidana berdasarkan Undang –

Untuk menjawab permasalahan yang ada, teori yang digunakan adalah menggunakan pendapat ahli hukum tentang keabsahan alat bukti elektronik dalam mengungkap tindak

Penelitian hukum ini berjudul: “KAJIAN TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PORNOGRAFI DI MEDIA SOSIAL DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008

Dalam bab ini akan membahas sekaligus menjawab permasalahan yang ada pada penelitian ini, yakni bagaimana Pengaturan antara Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Pidana Islam

Berdasarkan UUNo.11 Tahun 2008 Tentang ITE pengaturan tindak pidana hacking(meretas)dirumuskanpada Pasal 30 Ayat (1), (2) dan (3).Bahwa pada dasarnya tindak pidana

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENIPUAN MELALUI MEDIA ONLINE BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DIWILAYAH HUKUM

Adapun tindak pidana penipuan melalui pembayaran elektronik online dalam mewujudkan perlindungan hukum yaitu Pasal 378 KUHP yang mengatur mengenai tindak pidana penipuan, juga diatur

Permasalahan dalam tesis ini adalah bagaimana pengaturan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana narkotika, bagaimana perlindungan hukum terhadap anak pelaku tindak pidana