• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFEKTIVITAS VISUM ET REPERTUM DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "EFEKTIVITAS VISUM ET REPERTUM DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

EFEKTIVITASVISUM ET REPERTUMDALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN

Oleh

MERY SULISTIAWATI HUTAURUK

Tindak pidana perkosaan merupakan perbuatan yang melanggar norma kesopanan, agama, dan kesusilaan. Tindak pidana perkosaaan tidak hanya sulit dalam perumusannya saja, tetapi kesulitan utamanya adalah soal pembuktiannya diakui atau tidak, baik pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, maupun persidangan di pengadilan. Dalam menemukan bukti-bukti yang menyatakan benar atau tidak telah terjadi tindak pidana perkosaaan, maka dibutuhkan alat bukti visum et repertum yang dibuat oleh dokter ahli forensik berdasarkan atas sumpah jabatannya. Berdasarkan hal tersebut maka permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimanakah efektivitas visum et repertum dalam pembuktian tindak pidana perkosaan dan apakah yang menjadi faktor penghambat dari efektivitas

visum et repertumdalam pembuktian tindak pidana perkosaan tersebut.

Pendekatan masalah untuk membahsa permasalahan tersebut penulis melakukan penelitian dengan pendekatan yuridis empiris dan pendekatan yuridis normatif. Sumber data yang digunakan adalah data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari lapangan. Data sekunder adalah bahan-bahan hukum yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer. Data tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder dengan materi penulisan yang berasal dari kamus hukum.

(2)

Mery Sulistiawati H

Berdasarkan kesimpulan tersebut, penulis menyarankan agar setiap aparat penegak hukum lebih cermat dan tanggap dalam menemukan bukti-bukti yang menunjukkan adanya kekerasan atau ancaman kekerasan yang diterima oleh korban, serta lebih mengutamakan kepentingan korban perkosaan yang teleh mengalami penderitaan fisik maupun psikologis.

Berdasarkan penelitian, penulis menyarankan agar korban dari tindak pidana perkosaan hendaknya segera melaporkan tindak pidana yang ia alami kepada pihak penyidik tanpa rasa malu. Sebab jika cepat dilaporkan, maka hasil dari

visum et repertumdapat efektif sebagai alat bukti di persidangan.

(3)

EFEKTIVITASVISUM ET REPERTUMDALAM PEMBUKTIAN TINDAK

PIDANA PERKOSAAN

Oleh

Mery Sulistiawati Hutauruk

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG

(4)
(5)
(6)
(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 19 Mei 1993,

penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan

Bapak Bona Hutauruk dan Ibu Rachel Samosir.

Penulis memulai pendidikan Taman Kanak-kanak di TK Sejahtera

II Way Kandis pada tahun 1998-1999. Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan

ke Sekolah Dasar di SDS Sejahtera II Way Kandis pada tahun 1999-2005. Penulis

melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama di SMP Widya Dharma Way Kandis

pada tahun 2005-2008. Kemudian penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas

di SMAN 13 Bandar Lampung pada tahun 2008-2011.

Tahun 2011 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas

Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri

(SNMPTN). Penulis mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) selama 40 hari di Desa

(8)

PERSEMBAHAN

Kuucapkan puji Syukurku kehadirat Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan kasih karunia dan anugerahNya

kepadaku.

Sebagai perwujudan rasa kasih sayang, cinta, hormatku, dan tanda baktiku yang tulus dari hatiku terdalam

Aku mempersembahkan karya ini kepada:

Ayahku terhormat Bapak Bona Hutauruk yang telah mengajarkanku untuk tetap kuat dan bersyukur dalam

segala hal.

Mamaku tercinta Rachel Samosir

Yang telah memberikan dukungan dan doa serta harapan demi keberhasilanku kelak. Perempuan Tercantik yang pernah ada di dalam hidupku, wanita Terindah yang selalu

ada dihatiku selama-lamanya.

Kepada abangku yang ku kasihi

Junar Hasiholan Hutauruk dan Oberto Parlindungan Hutauruk (Alm)

Serta Keluarga besar yang selalu berdoa dan berharap demi keberhasilanku dalam meraih cita-cita.

(9)

✁ ✂ ✁

✄ ☎ ✆✝✞ ☎ ✟☎ ✠☎ ✡ ✝☛☎ ✞ ✠ ☞✞ ✌ ✌☞✍☎✡☎ ✎ ✡☎✞ ✍☎✆☎☛ ☎ ✞ ✟ ☞✏ ✑ ✡☎ ✒

☎ ✒☎✞ ✍ ✑✓☎ ✞ ✌.

✔ ✕✟ ✠☎ ✓ ✖3 : 18)

Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam

kesesakan, dan bertekunlah dalam doa!

(Roma 12 : 12)

Perubahan bukanlah perubahan sampai terjadi suatu

perubahan!

(10)

SANWACANA

Puji syukur selalu penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, atas berkat dan

karunia-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi dengan

judul “Efektivitas Visum Et Repertum dalam Pembuktian Tindak Pidana

Perkosaan” sebagai salah satu syarat mencapai gelar sarjana di Fakultas Hukum

Universitas Lampung.

Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan,

bantuan, petunjuk dan saran dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini Penulis

mengucapkan terima kasih yang tulus dari lubuk hati yang paling dalam kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum

Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung dan Dosen Pembimbing I

yang telah memberikan saran, nasehat, masukan, dan bantuan dalam

penulisan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

3. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing II yang telah

memberikan saran, nasehat, masukan dan bantuan dalam proses penulisan

skripsi ini sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

4. Bapak Eko Raharjo, S.H., M.H. selaku Dosen Pembahas I yang telah

memberikan nasehat, kritikan, masukkan dan saran dalam penulisan

(11)

5. Bapak Gunawan Jatmiko, selaku Dosen Pembahas II yang telah

memberikan nasehat, kritikan, masukkan dan saran dalam penulisan

skripsi ini.

6. Bapak Budiono, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik yang

senantiasa memberikan nasehat dan pengarahan selama penulis kuliah di

Fakultas Hukum Universitas Lampung.

7. Bapak Sutaji, S.H., M.H., Bapak Welly Dwi Saputra, S.H., M.H., Ibu

Supriyanti, S.H., dan Ibu Nikmah Rosidah, S.H., M.H. yang telah

memberikan izin penelitian, dan membantu dalam penelitian serta

penyediaan data untuk penyusunan skripsi ini.

8. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah

memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis selama kuliah di

Fakultas Hukum Universitas lampung, penulis ucapkan banyak terima

kasih.

9. Mbak Yanti, mbak Sri dan mbak Yani, Babeh Narto atas bantuan dan

fasilitas selama kuliah dan penyusunan skripsi.

10. Guru-guruku selama menduduki bangku Sekolah, TK Sejahtera II, SDS

Sejahtera II, SMP Widya Dharma, SMAN 13 Bandar Lampung. Penulis

ucapkan terimakasih atas ilmu, doa, motivasi dan kebaikan yang telah

ditanamkan.

11. Teristimewa untuk kedua orang tuaku tersayang Bapak Bona Hutauruk

dan Mamaku Rachel Samosir untuk doa, kasih sayang, dukungan,

motivasi, dan pengajaran yang telah kalian berikan dari aku kecil hingga

(12)

12. Kepada kedua saudara kandungku Abangku Junar Hasiholan Hutauruk dan

Oberto Parlindungan Hutauruk (alm) yang selalu memberikan motivasi

buatku dan memberi dukungan moril, kegembiraan, semangat, serta

materil yang diberikan.

13. Keluarga besarku yang selalu berdoa untukku serta dukungan dan

motivasinya.

14. Untuk temanku Marlina Siagian, Mona Angelina Sinaga, Wardiyanti

Sukmaya, Yuniar Ana Fitri, Tan Jessica Novia Hermanto, Very Susan,

Torang Alfontius, Ratih Julia, Brillian Unggul yang telah memberikan

kenangan indah di masa kuliah.

15. Untuk teman-teman Formahkris angkatan 2011, Kurniawan Manullang,

Yossafat Galang, Yonathan Aji, Bram Monang, Juna, Grace, Lasmaida,

Salamat, Try Gilbert, Yustinus, Mario, Erna, Prisca, Daniel Sitanggang,

David Pandapotan, Ferry, Dopdon, Nova Simbolon, Yonathan P.H. yang

telah memberikan kenangan yang luar biasa.

16. Senior di Formahkris, Kak Ivo, Kak Elsie, Kak Dede, Bang Tua, Bang

Edo, Bang Revan, Bang Waldi, Bang Daniel, Bang Timothy, Bang Verdy,

Bang Tommy, Kak Elfrida, Kak Sonya, Bang Rizal, Bang Saut, Bang

Ricko, Bang Sanggam, Bang Yoga, Bang Yuri, Bang Abram, Bang Ivo,

Bang Cio, Kak Ade Marbun, serta abang dan kakak lain yang tidak bisa

disebutkan, terima kasih untuk persahabatan serta pelayanannya.

17. Teman-teman Formahkris Angkatan 2012, 2013, dan 2014, Christina

Sidauruk, Ryan, Rio, Benny, Raymon, Anes, Meggy, Katherin, Elrenova,

(13)

Johan, Agustina Sagala, Firdaus, Ridho, Landoria, Fauyani, Febri,

Fernando, Dabe, Wafernanda, Rico, Biaton, Darwin serta adik-adik lain

yang tidak bisa disebutkan satu per satu, terima kasih untuk kekeluargaan

yang diberikan dalam wadah pelayanan Formahkris.

18. Teman-teman Mahasiswa Fakultas Hukum yang lain Aisyah, Lia

Nurjanah, Lia Aprilia, Natalia Katherine Sitompul, Miranti Dwi Saputri,

Syeh, Ivan Savero serta teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu

persatu terimakasih untuk bantuan, kebersamaan, kekompakan, canda tawa

selama mengerjakan tugas besar atau tugas harian, semoga selepas dari

perkuliahan ini kita masih tetap jalin komunikasi yang baik, tetap

semangat Viva Justicia Hukum Jaya.

19. Teman-teman di Komsel Atap, untuk Bang Marthin, Ko Andreas, Ko

Steven, Timo, Ko Ferdi, Ko Yoshoa, Priska Nong, Cathrine Nathania

terima kasih untuk doa, dukungan, canda tawa, dan kebersamaan yang

diberikan untuk melayani Tuhan.

20. Teman-teman di Team Tamborine, Ci Eva, Geby Femine, Priska Nong,

Cathrine, Friska Neng, Ci Dewi, Ci Fanny, Ci Nana, Bertha, Prince, Glory,

Irena, Grace, Naomi, Jessica, Dewi, Ina, Devi, terima kasih untuk

kebersamaannya yang telah diberikan dalam melayani Tuhan.

21. Teman-teman Kuliah Kerja Nyata (KKN), untuk Satria, Tama, Iksan,

Rendri, Fizi, Prisca, Mariam Ona, Wita, Mariyana, Dewi, Mona, Mei

terima kasih untuk kebersamaannya selama 40 (empatpuluh) hari.

22. Untuk Almamater Tercinta, Fakultas Hukum Universitas Lampung yang

(14)

orang yang lebih dewasa dalam berfikir dan bertindak. Serta semua pihak

yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Semoga Tuhan memberikan balasan atas bantuan dan dukungan yang telah

diberikan kepada penulis dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk

menambah wawasan keilmuan bagi pembaca pada umumnya dan bagi penulis

pada khususnya.

Bandar Lampung, April 2015

Penulis,

(15)

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 7

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 8

E. Sistematika Penulisan ... 12

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Efektivitas... 14

B. Visum Et Repertum... 15

1. PengertianVisum Et Repertum... 15

2. Jenis-JenisVisum Et Repertum... 17

C. Pembuktian dan Hukum Pembuktian ... 18

1. Pengertian Pembuktian ... 18

2. Pengertian Hukum Pembuktian ... 20

D. Pengertian Tindak Pidana Perkosaan ... 24

1. Pengertian Tindak Pidana... 24

2. Pengertian Perkosaan... 26

3. Jenis-Jenis Perkosaan ... 28

4. Dasar Hukum Tindak Pidana Perkosaan ... 29

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 31

B. Sumber dan Jenis Data ... 31

(16)

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 33

E. Analisis Data ... 35

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Narasumber... 36

B. EfektivitasVisum Et Repertumdalam Pembuktian Tindak Pidana Perkosaan... 38

C. Faktor-Faktor Penghambat dari EfektivitasVisum Et Repertumdalam Pembuktian Tindak Pidana Perkosaan ... 51

V. PENUTUP

A. Simpulan... 62

B. Saran ... 63

(17)

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Negara Republik Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila menunjukkan sikap

anti terhadap kejahatan yang di dalamnya terdapat ketentuan bagi warga negara

untuk dapat berbuat dan bertindak sebagai manusia yang berbudi luhur,

bertingkah laku baik, taat kepada ajaran agama, patuh pada hukum, dan bersikap

adil terhadap manusia. Pada kenyataannya, ditengah masyarakat sekarang ini

banyak yang menjadi penjahat dalam segala bentuk dan caranya untuk melakukan

kejahatan terutama pada tubuh dan jiwa, seperti pembunuhan, penganiayaan,

perkosaan, dan sebagainya. Saat ini tindak pidana perkosaan merupakan kejahatan

yang cukup mendapat perhatian dan meresahkan di kalangan masyarakat,

khususnya orang tua terhadap anak wanitanya karena selain dapat mengancam

keselamatan anak-anak wanita tersebut, dapat pula mempengaruhi proses

pertumbuhan ke arah kedewasaan seksual dini.

Tindak pidana perkosaan sebagaimana telah diketahui (yang dalam kenyataan

lebih banyak menimpa kaum wanita, remaja, dan dewasa) merupakan perbuatan

yang melanggar norma sosial yaitu kesopanan, agama, dan kesusilaan.1 Di

Indonesia, sebagian besar tindak pidana perkosaan terjadi pada wanita, ada yang

1

(18)

2

berpendapat bahwa wanita diperkosa karena penampilannya, seperti misalnya

berpakaian minim sehingga dapat memancing seseorang untuk melakukan tindak

pidana perkosaan. Sebenarnya tindak pidana perkosaan yang terjadi jauh lebih

banyak daripada yang dilaporkan ke penyidik dan diberitakan oleh media massa.

Kebanyakan kasus baru terbongkar setelah korban mengalami gejala fisik serius,

seperti pendarahan pada dubur atau vagina. Banyak jalan terjadinya perkosaan,

ada karena kebetulan bertemu, misalnya wanita itu meminta tumpangan

kendaraan, sehingga pemberi tumpangan mendapat kesempatan untuk

memperkosanya. Ada yang memang sudah kenal lama, bahkan telah berpacaran,

yang pada kesempatan tertentu laki-laki itu dengan kekerasan atau ancaman

kekerasan memaksa pacarnya untuk bersetubuh dengan dia, yang semula wanita

itu masih mempertahankan keperawanannya.

Pada tindak pidana ini, walaupun beratnya ancaman sanksi pidana yang telah

diatur di dalam KUHP tampaknya sudah tidak lagi terpikirkan oleh sipelaku.

Tindak pidana perkosaan tidak hanya sulit dalam perumusannya saja, tetapi

kesulitan utama yang sering muncul biasanya adalah soal pembuktian diakui atau

tidak, baik ditingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan ataupun persidangan di

pengadilan, sebab pembuktian tindak pidana perkosaan di pengadilan sangatlah

tergantung pada sejauh mana penyidik dan penuntut umum mampu menunjukkan

bukti-bukti yang menyatakan bahwa telah terjadi tindak pidana perkosaan.

Kesulitan pembuktian tersebut juga timbul karena korban kejahatan tidak segera

melaporkannya kepada penyidik yang umumnya dikarenakan dicekam rasa malu

bahkan ada yang melaporkannya setelah berbulan-bulan dan dalam keadaan

(19)

3

dilakukan serangkaian tindakan oleh penyidik untuk mendapatkan bukti-bukti

yang terkait dengan tindak pidana yang terjadi.

Usaha-usaha dalam memperoleh bukti-bukti yang diperlukan guna kepentingan

pemeriksaan suatu perkara pidana, seringkali para penegak hukum dihadapkan

pada suatu masalah atau hal-hal tertentu yang tidak dapat diselesaikan sendiri

olehnya dikarenakan masalah tersebut berada di luar kemampuan atau

keahliannya. Bantuan seorang ahli sangat penting diperlukan dalam rangka

mencari kebenaran materiil selengkap-lengkapnya bagi para penegak hukum

tersebut. Berdasarkan ketentuan Pasal 133 Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP), dinyatakan bahwa dalam hal penyidik untuk kepentingan

peradilan menangani seorang korban luka, keracunan, ataupun mati yang diduga

karena peristiwa tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan kepada ahli

kedokteran kehakiman atau dokter dan/atau ahli lainnya. Bukti tersebut berupa

keterangan medis yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan mengenai keadaan

kekerasan.

Adanya peranan dokter untuk membantu penyidik dalam memberikan keterangan

medis mengenai keadaan korban perkosaan merupakan suatu upaya untuk

mendapatkan bukti atau tanda pada diri korban yang dapat menunjukkan bahwa

telah benar terjadi suatu tindak pidana perkosaan. Keterangan dokter yang

dimaksudkan tersebut dituangkan secara tertulis dalam bentuk surat hasil

pemeriksaan medis yang disebut dengan visum et repertum.Visum bukanlah

istilah hukum melainkan visum itu sendiri merupakan istilah Kedokteran. Dapat

(20)

4

apa sebenarnya pengertian dan sampai sejauh mana kegunaan visum itu dalam

tindak pidana perkosaan. Pengertian visum et repertum dalam Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP) tidak ditemukan secara tegas, namun sebagai pedoman dapat dijelaskan

bahwa pengertian visum et repertum adalah:

Visum et repertum adalah laporan tertulis untuk peradilan yang dibuat oleh

dokter berdasarkan sumpah yang diucapkan pada waktu menerima jabatan dokter, memuat pemberitaan tentang segala hal (fakta) yang dilihat dan ditemukan pada benda bukti berupa tubuh manusia yang diperiksa dengan pengetahuan dan keterampilan yang sebaik-sebaiknya dan pendapat mengenai apa yang ditemukan sepanjang pemeriksaan tersebut”.2

KUHAP tidak menjelaskan istilah maupun pengertian dari visum et repertum

tetapi yang dapat ditemukan adalah keterangan ahli yaitu apa yang seorang ahli

nyatakan di sidang pengadilan, baik tulisan dalam bentuk laporan maupun lisan

yang diberikan langsung dipersidangan dimana keterangan ahli yang diberikan

dalam laporan itu telah mencakup di dalamnya visum et repertum. Visum et

repertum kemudian digunakan sebagai bukti yang sah secara hukum mengenai

keadaan terakhir dari korban penganiayaan, perkosaan, maupun korban yang

berakibat kematian dan dinyatakan oleh dokter setelah memeriksa korban.

Visum et repertum dikategorikan sebagai alat bukti surat sebagaimana tertulis di

dalam Pasal 187 huruf c KUHAP adalah sama dengan yang dimaksud dalam

penjelasan Pasal 186 KUHAP. Jika dikaitkan dengan Pasal 186 KUHAP, maka

alat bukti surat dapat berupa keterangan ahli yang dituangkan dalam bentuk

laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau

2

(21)

5

pekerjaan. Menurut ketentuan Hukum Acara Pidana di Indonesia, mengenai

permintaan bantuan tenaga ahli diatur dan disebutkan di dalam KUHAP.

Permintaan bantuan tenaga ahli pada tahap penyidikan disebutkan pada Pasal 120

ayat (1). Permintaan bantuan keterangan ahli pada tahap pemeriksaan

persidangan, terdapat pada Pasal 180 ayat (1). Mengenai keterangan ahli

sebagaimana disebutkan dalam kedua pasal KUHAP tersebut, diberikan

pengertiannya pada Pasal 1 butir ke-28 KUHAP, yang menentukan: “Keterangan

ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian

khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana

guna kepentingan pemeriksaan”.

Seorang hakim dalam menerapkan Pasal 285 KUHP terhadap pelaku perkosaan

tidak terlepas dari peranan visum et repertum yang dikeluarkan oleh dokter,

karena dapat menjadi dasar bagi hakim untuk menentukan berat ringannya

hukuman yang akan dijatuhkan terhadap si pelaku. Tujuan visum et repertum

adalah untuk memberikan kepada hakim (Majelis) suatu kenyataan akan

fakta-fakta dari bukti-bukti tersebut atas semua keadaan atau hal sebagaimana tertuang

dalam bagian pemberitaan agar hakim dapat mengambil putusannya dengan tepat

atas dasar kenyataan atau fakta-fakta tersebut, sehingga dapat menjadi pendukung

atas keyakinan hakim.3

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penulis tertarik untuk melakukan

penelitian dengan judul : “Efektifitas Visum Et Repertum dalam Pembuktian

Tindak Pidana Perkosaan”.

3

(22)

6

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Masalah yang akan diteliti oleh penulis tersebut agar dapat mempunyai penafsiran

yang jelas, maka perlu dirumuskan ke dalam suatu rumusan masalah, dapat

dipecahkan secara sistematis, dan dapat memberikan gambaran yang jelas.

Berdasarkan uraian dalam identifikasi dan latar belakang masalah, maka

perumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:

a. Bagaimanakah efektivitas visum et repertum dalam pembuktian tindak pidana

perkosaan?

b. Apakah yang menjadi faktor penghambat dari efektivitas visum et repertum

dalam pembuktian tindak pidana perkosaan?

2. Ruang Lingkup

Penelitian ini termasuk ke dalam ruang lingkup kajian hukum pidana khususnya

mengenai efektifitas visum et repertum dalam pembuktian tindak pidana

perkosaan yang diperlukan dalam proses pembuktian di persidangan. Ruang

lingkup penelitian ini dilakukan di wilayah hukum Pengadilan Negeri Tanjung

Karang dengan mewawancarai sejumlah narasumber yaitu, Polri, Jaksa, Hakim,

(23)

7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada pokok bahasan di atas maka tujuan penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui efektivitas visum et repertum dalam pembuktian tindak

pidana perkosaan.

b. Untuk mengetahui faktor-faktor enghambat dari efektivitas visum et repertum

dalam pembuktian tindak pidana perkosaan.

2. Kegunaan Penelitian

a. Kegunaan Teoritis

Hasil penelitian ini adalah untuk memberi pengetahuan dibidang hukum

pidana khususnya mengenai pemahaman teoritis tentang Ilmu Kedokteran

Forensik terhadap tindak pidana perkosaan.

b. Kegunaan Praktis

1. Untuk memberikan pengetahuan dan informasi yang bermanfaat bagi

masyarakat mengenai efektifitas visum et repertum dalam pembuktian

tindak pidana perkosaan.

2. Untuk mengetahui perkembangan dari ilmu kedokteran forensik dimana

pada saat ini semakin dibutuhkan ahli-ahli bagian forensik dalam

membantu meringankan tugas penyidik dalam memberikan keterangan

medis yang dituangkan secara tertulis dalam bentuk surat hasil

(24)

8

3. Untuk dipergunakan bagi para akademisi dan pihak-pihak yang

berkepentingan sebagai pedoman dalam melakukan proses beracara atau

penuntutan hukum dalam pelaksanaan penegakan hukum terhadap pelaku

tindak pidana perkosaan.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep khusus yang merupakan abstraksi dari

hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan mengadakan

identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.4

a. Teori Pembuktian

Pembuktian merupakan tahap yang paling menentukan dalam proses persidangan

pidana mengingat pada tahap pembuktian tersebut akan ditentukan terbukti

tidaknya seorang terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang

didakwakan penuntut umum. Pembuktian tersebut memerlukan alat-alat bukti

yang sah menurut hukum, dalam Pasal 184 KUHAP dijelaskan bahwa alat bukti

yang sah adalah:

a. Keterangan Saksi;

b. Keterangan Ahli;

c. Surat;

d. Petunjuk;

4

(25)

9

e. Keterangan Terdakwa.

Teori-teori pembuktian yang dikemukakan oleh Andi Hamzah sebagai berikut:

a. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Positif (Positief wettelijke Bewijs Theorie Sistem)

Sistem pembuktian berdasarkan alat bukti menurut undang-undang secara positif, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali.

b. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Negatif (Negatief wettelijke Bewijs Theorie Sistem)

Pembuktian yang selain menggunakan alat bukti yang dicantumkan di dalam undang-undang (KUHAP) juga menggunakan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat bukti tersebut.

c. Teori Pembuktian Hakim Melulu (Conviction Intime Teori)

Menurut teori ini dikemukakan bahwa alat bukti berupa pengakuan terdakwa sendiripun tidak selalu membuktikan kebenaran. Pengakuanpun kadang-kadang tidak menjamin terdakwa benar-benar telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Pembuktian ini dapat diartikan sebagai pembuktian berdasarkan keyakinan hakim belaka.

d. Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Atas Alasan yang Logis

(Laconviction Raisonnee)

Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya, keyakinan yang mana didasarkan pada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Teori ini disebut juga teori pembuktian bebas karena hakim bebas menyebutkan alasan-alasan keyakinannya.5

Membahas permasalahan dalam skripsi ini, penulis mengadakan

pendekatan-pendekatan dengan teori sistem pembuktian menurut undang-undang secara

negatif, sistem pembuktian negatief wettelijk terletak antara dua sistem

berhadap-hadapan, yaitu antara sistem pembuktian positif wettelijk dan sistem pembuktian

conviction intime. Artinya hakim hanya boleh menyatakan terdakwa bersalah

melakukan tindak pidana yang didakwakan apabila ia yakin dan keyakinannya

tersebut didasarkan kepada alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

5

(26)

10

Sistem negatif di dalamnya mengandung dua hal yang merupakan syarat untuk

membuktikan kesalahan terdakwa, yaitu:

a. Wettelijk, yaitu adanya alat bukti yang sah yang telah ditetapkan oleh

undang-undang.

b. Negatief, yaitu adanya keyakinan (nurani) dari hakim, yakni berdasarkan

bukti-bukti tersebut hakim meyakini kesalahan terdakwa tersebut didasarkan

kepada alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

Sistem pembuktian negatif diperkuat oleh prinsip “kebebasan kekuasaan

kehakiman”.

b. Teori Faktor-Faktor Penghambat

Teori yang digunakan dalam membahas factor-faktor penghambat dalam

penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto yaitu:

a. Faktor hukumnya sendiri

Terdapat beberapa asas dalam berlakunya undang-undang yang tujuannya adalah agar undang-undang tersebut mempunyai dampak positif. Artinya, agar undang-undang tersebut mencapai tujuannya secara efektif di dalam kehidupan masyarakat.

b. Faktor penegak hukum

Penegak hukum mempunyai kedudukan tertentu lazimnya dinamakan pemegang peranan (role occupan). Suatu hak sebenarnya wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas. c. Faktor sarana atau fasilitas

Penegak hukum tidak mungkin berlangsung lancar tanpa adanya faktor sarana atau fasilitas. Sarana dan fasilitas tersebut antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan seharusnya.

d. Faktor masyarakat

(27)

11

e. Faktor kebudayaan

Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianut) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari).6

2. Konseptual

Konseptual merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara

konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang berkaitan dengan istilah

yang teliti.7 Mempertajam dan merumuskan suatu definisi sesuai dengan konsep

judul maka perlu adanya suatu definisi untuk dijelaskan dalam penulisan ini.

Adapun pengertian dasar dan istilah-istilah yang akan dipergunakan dalam

penulisan penelitian ini sebagai berikut:

a. Efektivitas berasal dari kata efektif yang mengandung pengertian dicapainya

keberhasilan daam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.8

b. Visum et repertum adalah laporan tertulis untuk peradilan yang dibuat oleh

dokter berdasarkan sumpah yang diucapkan pada waktu menerima jabatan

dokter, memuat pemberitaan tentang segala hal (fakta) yang dilihat dan

ditemukan pada benda bukti berupa tubuh manusia yang diperiksa dengan

pengetahuan dan keterampilan yang sebaik-sebaiknya dan pendapat mengenai

apa yang ditemukan sepanjang pemeriksaan tersebut.9

6

Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum. Bandung: Bina Cipta, 1983, hlm.34-35, 40.

7

Soerjono Soekanto, Op.Cit., hlm. 132.

8

http://dilihatya.com/, diunduh pada tanggal 28-01-2015, 18:30.

9

(28)

12

c. Pembuktian adalah suatu perbuatan atau tindakan yang bertujuan untuk

meyakinkan hakim tentang kebenaran dari suatu keadaan atau peristiwa

berdasarkan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.10

d. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilakukan setiap orang/subjek hukum

yang berupa kesalahan dan bersifat melanggar hukum ataupun tidak sesuai

dengan perundang-undangan.11

e. Perkosaan adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual oleh seseorang

laki-laki terhadap seorang perempuan dengan cara menurut moral dan atau

hukum yang berlaku melanggar.12

E. Sistematika Penulisan

Memudahkan pemahaman pembaca terhadap penulisan dalam penelitian ini

secara keseluruhan, maka disajikan sistematika penulisan sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan secara garis besar mengenai latar belakang, permasalahan

dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis dan

konseptual, serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi telaah kepustakaan seperti: pengertian efektivitas, pengertian visum

et repertum dan jenis-jenis visum et repertum, pengertian pembuktian dan hukum

10

A. Karim Nasution, Masalah Hukum Pembuktian dalam Proses Pidana, Jakarta: Direktorat Kejaksaan Agung, 1976, hlm.26.

11

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni, 1986, hlm. 25.

12Ibid

(29)

13

pembuktian, pengertian tindak pidana, pengertian perkosaan, jenis-jenis

perkosaan, dan dasar hukum tindak pidana perkosaan.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini membahas tentang langkah-langkah atau cara-cara yang dipakai dalam

rangka pendekatan masalah, serta tentang uraian tentang sumber-sumber data,

pengumpulan data dan analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini merupakan hasil dari penelitian tentang berbagai hal yang menjadi

permasalahan dalam penelitian ini yang akan dijelaskan tentang efektivitas visum

et repertum dalam pembuktian terhadap tindak pidana perkosaan.

V. PENUTUP

Bab ini memuat kesimpulan dari kajian penelitian yang menjadi fokus bahasan

mengenai efektivitas visum et repertum dalam pembuktian tindak pidana

(30)

14

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Efektivitas

Efektivitas berasal dari kata efektif yang mengandung pengertian dicapainya

keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.13 Disebut efektif

apabila tercapai tujuan ataupun sasaran seperti yang teleh ditentukan. Efektivitas

selalu terkait dengan hubungan antara hasil yang diharapkan dengan hasil yang

sesungguhnya dicapai. Efektivitas merupakan daya pesan untuk mempengaruhi

atau tingkat kemampuan pesan-pesan untuk mempengaruhi, efektivitas bisa

diartikan sebagai suatu pengukuran akan tercapainya tujuan yang telah

direncanakan sebelumnya secara matang agar hasil yang diharapkan dapat

berjalan dengan baik. Kata efektivitas yaitu keefektifan diartikan sebagai

seseorang yang ditugasi untuk memantau.14

Efektivitas merupakan suatu ukuran yang memberikan gambaran seberapa jauh

target dapat tercapai. Hal ini menyatakan bahwa efektivitas merupakan suatu

ukuran yang memberikan gambaran seberapa jauh target yang telah ditetapkan

sebelumnya oleh lembaga atau organisasi dapat tercapai. Efektivitas sangat

penting peranannya di dalam setiap lembaga atau organisasi dan berguna untuk

melihat perkembangan dan kemajuan yang dicapai oleh suatu lembaga atau

organisasi itu sendiri. Setiap organisasi atau lembaga di dalam kegiatannya

13

http://dilihatya.com/, diunduh pada tanggal 28-01-2015, 18:30.

14

(31)

15

menginginkan adanya pencapaian tujuan. Pengertian efektivitas secara umum

menunjukkan sampai seberapa jauh tercapainya suatu tujuan yang terlebih dahulu

ditentukan.

B. Visum Et Repertum

1. Pengertian Visum Et Repertum

Visum et repertum adalah istilah yang dikenal dalam Ilmu Kedokteran Forensik,

biasanya dikenal dengan nama “visum”. Visum berasal dari bahasa Latin, bentuk

tunggalnya adalah “visa”. Dipandang dari arti etimologi atau tata bahasa, kata

“visum” atau “visa” berarti tanda melihat atau melihat yang artinya

penandatanganan dari barang bukti tentang segala sesuatu hal yang ditemukan,

disetujui, dan disahkan, sedangkan “repertum” berarti melapor yang artinya apa

yang telah didapat dari pemeriksaan dokter terhadap korban.15

Secara etimologi visum et repertum adalah apa yang dilihat dan diketemukan.

KUHAP tidak memberikan pengaturan secara eksplisit mengenai pengertian

visum et repertum. Satu-satunya ketentuan perundangan yang memberikan

pengertian mengenai visum et repertum yaitu Staatsblad Tahun 1937 Nomor 350.

Disebutkan dalam ketentuan Staatsblad tersebut bahwa: “Visum et repertum

adalah laporan tertulis untuk kepentingan peradilan (pro yustisia) atas permintaan

yang berwenang, yang dibuat oleh dokter, terhadap segala sesuatu yang dilihat

dan ditemukan pada pemeriksaan barang bukti, berdasarkan sumpah pada waktu

menerima jabatan, serta berdasarkan pengetahuannya yang sebaik-baiknya”.

15

(32)

16

R. Atang Ranoemihardja menjelaskan bahwa Ilmu Kedokteran Kehakiman atau

Ilmu Kedokteran Forensik adalah ilmu yang menggunakan pengetahuan Ilmu

Kedokteran untuk membantu peradilan baik dalam perkara pidana maupun dalam

perkara lain (perdata). Tujuan serta kewajiban Ilmu Kedokteran Kehakiman

adalah membantu kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman dalam menghadapi

kasus-kasus perkara yang hanya dapat dipecahkan dengan ilmu pengetahuan

kedokteran.16 Abdul Mun’im Idris memberikan pengertian visum et repertum

adalah suatu laporan tertulis dari dokter yang telah disumpah tentang apa yang

dilihat dan ditemukan pada barang bukti yang diperiksanya serta memuat pula

kesimpulan dari pemeriksaan tersebut guna kepentingan peradilan.17

Pemakaian istilah pada berbagai visum et repertum kadang berlainan, namun

maksudnya dapat dipahami, seperti: visum et repertum pertama bagi korban

hidup, yang terjadi oleh karena atau diakibatkan benda tumpul, benda tajam,

bahan kimia atau racun, obat pembasmi cair (basah, kering), tembakan senjata api

dari jarak dekat atau jauh, tenggelam, mencoba bunuh diri atau lainnya, sehingga

perlu diobati ataupun dirawat inap dirumah sakit. Hal dibuatkannya visum et

repertum akhir dari suatu hal atau peristiwa dan itu hanya boleh dibuat oleh

dokter atau dokter ahli yang mengobati atau menanganinya semula.

2. Jenis-Jenis Visum Et Repertum

16

R. Atang Ranoemihardja, Ilmu Kedokteran Kehakiman (Forensic Science), Bandung: Tarsito, Edisi Kedua, 1991, hlm. 18.

17

Abdul Mun’im Idris, Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik, Jakarta: Binarupa Aksara, 1997, hlm.

(33)

17

Sebagai suatu hasil pemeriksaan dokter terhadap barang bukti yang diperuntukkan

untuk kepentingan peradilan, visum et repertum digolongkan menurut obyek yang

diperiksa sebagai berikut:

a. Visum et repertum untuk orang hidup

Jenis ini dibedakan dalam:

1. Visum et repertum biasa, visum et repertum ini diberikan kepada pihak

peminta (penyidik) untuk korban yang tidak memerlukan perawatan lebih

lanjut.

1. Visum et repertum sementara, visum et repertum sementara diberikan

apabila korban memerlukan perawatan lebih lanjut karena belum dapat

membuat diagnosis dan derajat lukanya. Korban tersebut sembuh, maka

dibuatkan visum et repertum lanjutan.

2. Visum et repertum lanjutan, dalam hal ini korban tidak memerlukan

perawatan lebih lanjut karena sudah sembuh, pindah dirawat dokter lain,

atau meninggal dunia.

b. Visum et repertum untuk orang mati (jenazah)

Pada pembuatan visum et repertum ini, dalam hal korban mati maka penyidik

mengajukan permintaan tertulis kepada pihak Kedokteran Forensik untuk

dilakukan bedah mayat (outopsi).

1. Visum et repertum Tempat Kejadian Perkara (TKP). Visum ini dibuat setelah

dokter selesai melaksanakan pemeriksaan di TKP.

2. Visum et repertum penggalian jenazah. Visum ini dibuat setelah dokter

(34)

18

c. Visum et repertum kejahatan susila

Visum ini dibuat untuk kepentingan peradilan, dokter berkewajiban untuk

membuktikan adanya persetubuhan dan adanya kekerasan yang diancam

hukuman oleh KUHP.

d. Visum et repertum psikiatri

Visum et repertum psikiatri yaitu visum pada terdakwa yang pada saat

pemeriksaan di sidang pengadilan menunjukkan gejala-gejala penyakit jiwa.18

Keempat jenis visum tersebut dapat dibuat oleh dokter yang mampu, namun

sebaiknya untuk visum et repertum psikiarti dibuat oleh dokter spesialis psikiarti

yang bekerja dirumah sakit atau rumah sakit umum.

C. Pembuktian dan Hukum Pembuktian 1. Pengertian Pembuktian

Pembuktian berasal dari kata bukti yang artinya adalah usaha untuk membuktikan.

Kata membuktikan diartikan sebagai memperlihatkan bukti atau meyakinkan

dengan bukti, sedangkan kata pembuktian diartikan sebagai proses, perbuatan,

cara membuktikan, usaha menunjukkan benar atau salahnya si terdakwa dalam

sidang pengadilan.19 Pembuktian dalam KUHAP dapat diartikan sebagai suatu

upaya untuk mendapatkan keterangan-keterangan melalui alat-alat bukti dan

barang bukti guna memperoleh suatu keyakinan atas benar tidaknya perbuatan

pidana yang didakwakan serta dapat mengetahui ada tidaknya kesalahan pada diri

18

http//asiamaya.com/konsultasi_hukum/pidana/vis.htm, diunduh pada 25-10-2014, 11:23.

19

(35)

19

terdakwa.20 Menurut Bambang Poernomo pembuktian adalah suatu pembuktian

menurut hukum pada dasarnya merupakan proses untuk menentukan subtansi

atau hakekat adanya fakta-fakta yang diperoleh melalui ukuran yang layak

dengan pikiran yang logis terhadap fakta-fakta pada masa lalu yang tidak terang

menjadi fakta-fakta yang terang dalam hubungannya dengan perkara pidana.21

Berdasarkan praktik peradilan pidana, dalam perkembangannya dikenal empat

macam sistem atau teori pembuktian, antara lain:

a. Positief wettelijke Bewijs Theorie Sistem ini adalah sistem pembuktian

berdasarkan alat bukti menurut undang-undang secara positif. Dikatakan secara positif karena hanya didasarkan kepada undang-undang saja. Artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali.

b. Negatief wettelijke Bewijs Theorie Sistem atau teori pembuktian yang

berdasar undang-undang secara negatif adalah pembuktian yang selain menggunakan alat bukti yang dicantumkan didalam undang-undang juga menggunakan keyakinan hakim.

Walaupun menggunakan keyakinan hakim, namun keyakinan tersebut terbatas pada alat bukti yang tercantum dalam undang-undang. Dengan menggunakan alat bukti yang tercantum dalam undang-undang dan keyakinan hakim maka teori pembuktian ini sering disebut dengan pembuktian berganda.

c. Conviction Intime Teori, pembuktian ini dapat diartikan sebagai

pembuktian berdasarkan keyakinan hakim. Pada sistem ini lebih memberikan kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan suatu putusan. Dengan sistem ini pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam undang-undang. Artinya adalah jika dalam pertimbangan putusan hakim telah menganggap terbukti suatu perbuatan sesuai dengan keyakinannya, maka terdakwa dapat dijatuhi putusan. Keyakinan Hakim pada sistem ini adalah menentukan dan mengabaikan hal-hal lainnya jika tidak sesuai atau bertentangan dengan keyakinan hakim tersebut.

d. Laconviction Raisonnee, menurut teori ini seorang hakim dapat

memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya, keyakinan mana didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Jadi, putusan hakim dijatuhkan dengan suatu motivasi. Sistem

20

A. Karim Naasution, Op.Cit., hlm.77. 21

(36)

20

pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas, karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya.22

2. Pengertian Hukum Pembuktian

Hukum pembuktian adalah merupakan sebagian dari Hukum Acara Pidana yang

mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut

dalam pembuktian syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta

kewenangan hakim untuk menerima, menolak, dan menilai suatu pembuktian.23

Sumber-sumber hukum pembuktian adalah:

a. Undang-Undang

b. Doktrin atau ajaran

c. Yurisprudensi24

Pembuktian adalah suatu perbuatan atau tindakan yang bertujuan untuk

meyakinkan hakim tentang kebenaran dari suatu keadaan atau peristiwa

berdasarkan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang.25 Pembuktian

menurut Yahya Harahap adalah suatu rangkaian tata tertib yang harus diindahkan

dalam melangsungkan pertarungan dimuka hakim, antara kedua belah pihak yang

sedang mencari keadilan.26 Hukum pembuktian menurut Bambang Poernomo

adalah merupakan keseluruhan aturan atau peraturan perundang-undangan

mengenai setiap kejadian masa lalu yang relevan dengan persangkaan terhadap

22

Andi Hamzah, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Kedua), Sinar Grafika, Jakarta, hlm.

251-254.

A. Karim Nasution, Op.Cit., hlm.26.

26

(37)

21

orang yang diduga melakukan perbuatan pidana dan pengesahan setiap barang

bukti menurut ketentuan hukum yang berlaku untuk kepentingan peradilan dalam

perkara pidana.27

Berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat dijelaskan bahwa hukum

pembuktian merupakan seperangkat ketentuan yang mengatur mengenai proses

pembuktian, yang mana proses tersebut harus dilakukan di depan sidang

pengadilan. Alat bukti yang sah menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah:

a. Keterangan saksi

Saksi adalah orang yang dapat memberi keterangan guna kepentingan

penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia

dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri (Pasal 1 butir 27 KUHAP).

Keterangan saksi adalah salah satu bukti dalam peradilan pidana yang berupa

keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri,

ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari

pengetahuannya itu (Pasal 1 butir 27 KUHAP).

b. Keterangan ahli

Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki

keahlian khusus tentang hak yang diperlukan untuk membuat terang suatu

27

(38)

22

perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan (Pasal 1 butir 28 KUHAP).

Berdasarkan keterangan tersebut, maka lebih jelas lagi bahwa keterangan ahli

tidak dituntut suatu pendidikan formal tertentu tetapi juga meliputi seorang

yang ahli dan berpengalaman dalam suatu bidang tanpa pendidikan khusus.

Keterangan ahli mempunyai 2 (dua) kemungkinan, yaitu bisa sebagai alat

bukti keterangan ahli dan alat bukti surat.

c. Surat

Surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang

dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah

pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Surat menurut Pasal

187 KUHAP adalah berita acara, surat yang dibuat menurut ketentuan

peraturan perundang-undangan, surat keterangan dari seorang ahli, dan surat

lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat

pembuktian yang lain.

Terkait dengan penjelasan Pasal 186 KUHAP, maka alat bukti surat dapat

berupa keterangan ahli yang dituangkan dalam bentuk laporan dan dibuat

dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan.

Laporan tersebut itu mencakup di dalamnya visum et repertum, yang

sebenarnya telah ditentukan sebagai alat bukti yang sah dalam Staatsblad

(39)

23

mempunyai nilai jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang

lain.28

d. Petunjuk

Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena

persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan

tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana

dan siapa pelakunya (Pasal 188 ayat (1) KUHAP). Berbeda dengan alat bukti

yang lain, yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, dan keterangan

terdakwa maka alat bukti petunjuk diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan

keterangan terdakwa.

e. Keterangan terdakwa

Terdakwa ialah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa, dan diadili di

sidang pengadilan (Pasal 1 butir 15 KUHAP). Terdakwa adalah seorang yang

karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut

diduga sebagai pelaku tindak pidana (Pasal 1 butir 14 KUHAP). Keterangan

terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang

ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.

Pasal 183 KUHAP menyatakan bahwa pemidanaan dapat dijatuhkan hakim

apabila:

a. Terdapat sedikitnya 2 (dua) alat bukti yang sah.

28

(40)

24

b. Dua alat bukti tersebut menimbulkan keyakinan hakim tentang telah

terjadinya perbuatan pidana.

D. Tindak Pidana Perkosaan 1. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana adalah perbuatan yang dilakukan setiap orang/subjek hukum yang

berupa kesalahan dan bersifat melanggar hukum ataupun tidak sesuai dengan

perundang-undangan.29 Berikut adalah beberapa pendapat para sarjana mengenai

pengertian dari tindak pidana, yaitu:

a. Pompe

Pengertian tindak pidana menurut Pompe adalah sebagai berikut:

1. Definisi menurut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma yang

dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana unuk

mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.

2. Definisi menurut hukum positif adalah suatu kejadian (feit) yang oleh

peraturan undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat

dihukum.30

b. Vos

Tindak pidana adalah suatu kelakuan manusia diancam pidana oleh peraturan

perundang-undang, jadi suatu kelakuan yang pada umumnya dilarang dengan

ancaman pidana.31

29

Sudarto, Loc.cit.

30

Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana,Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 86.

31

(41)

25

c. Simons

Tindak pidana adalah suatu kelakuan (handeling) yang diancam dengan

pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan

dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab.32

d. Van Hamel

Menurut Van Hamel, pengertian tindak pidana merupakan kelakuan orang

yang dirumuskan dalam wet (undang-undang) yang bersifat melawan hukum

dan patut dipidana serta yang dilakukan dengan kesalahan.33

e. Moeljatno

Tindak pidana merupakan perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum,

larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi

barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.34

f. Wirjono Prodjodikoro

Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan

hukum pidana.35

Berdasarkan pengertian yang telah dikemukakan beberapa sarjana tersebut, maka

dapat diketahui bahwa tindak pidana adalah kelakuan (handeling) dari seseorang

yang diancam dengan pidana, bersifat melawan hukum, berhubungan dengan

kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab.

32

Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1987, hlm. 56.

33

Ibid.

34

Ibid, hlm. 54.

35

(42)

26

2. Pengertian Perkosaan

Perkosaan adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual oleh seseorang

laki-laki terhadap seorang perempuan dengan cara menurut moral dan/atau hukum

yang berlaku melanggar.36 Pengertian perkosaan di dalam KUHP, tertuang dalam

pasal 285 yang menentukan “barang siapa dengan kekerasan atau ancaman

kekerasan memaksa seorang wanita yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia,

diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua

belas tahun”.

Menurut pasal tersebut dapat dijelaskan bahwa:

a. Korban perkosaan harus seorang wanita, tanpa klasifikasi umur yang

signifikan. Seharusnya wanita dapat dibedakan atau dikategorikan sebagai

berikut:

1. Wanita belum dewasa yang masih perawan

2. Wanita dewasa yang masih perawan

3. Wanita yang sudah tidak perawan lagi

4. Wanita yang masih sedang bersuami37

b. Korban mengalami pemaksaan bersetubuh berupa kekerasan atau ancaman

kekerasan. Ini berarti tidak ada persetujuan dari pihak korban mengenai niat

dan tindakan perlakuan pelaku.

Perkembangan yang semakin maju dan meningkat pesat ini, dalam hal ini muncul

banyak penyimpangan khususnya perkosaan seperti bentuk pemaksaan

36

Sudarto, Loc.cit. 37

(43)

27

persetubuhan yang dimana bukan vagina (alat kelamin wanita) yang menjadi

target dalam perkosaan akan tetapi anus atau dubur (pembuangan kotoran

manusia) dapat menjadi target dari perkosaan yang antara lain sebagai berikut:

a. Perbuatan tidak hanya bersetubuh (memasukkan alat kelamin kedalam

vagina), akan tetapi juga :

1. Memasukkan alat kelamin kedalam anus atau mulut

2. Memasukkan suatu benda (bukan bagian tubuh laki-laki) kedalam

vagina atau mulut wanita.

b. Caranya tidak hanya dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, tetapi juga

dengan cara apapun diluar kehendak atau persetujuan korban.

c. Objeknya tidak hanya wanita dewasa yang sadar, tetapi wanita yang tidak

berdaya atau pingsan dan di bawah umur, juga tidak hanya terdapat wanita

yang tidak setuju (di luar kehendaknya), tetapi juga terhadap wanita yang

memberikan persetujuan karena dibawah ancaman, karena kekeliruan,

kesesatan, penipuan atau karena dibawah umur.38

Menurut R. Sugandhi, yang dimaksud dengan perkosaan adalah seorang pria

yang memaksa pada seorang wanita yang bukan isterinya untuk

melakukan persetubuhan dengannya dengan ancaman kekerasan, yang mana

diharuskan kemaluan pria telah masuk kedalam lubang kemaluan seorang wanita

kemudian mengeluarkan air mani. P.A.F. Lamintang dan Djisman

Samosir berpendapat bahwa perkosaan adalah perbuatan seseorang yang

dengan kekerasan memaksa seorang wanita untuk melakukan persetubuhan diluar

38

(44)

28

ikatan perkawinan dengan dirinya.39 Perkosaan merupakan suatu tindak kejahatan

yang pada umumya diatur dalam Pasal 285 KUHP, unsur-unsur yang terkandung

dalam pasal tersebut antara lain sebagai berikut:

a. “Barang siapa” merupakan suatu istilah orang yang melakukan.

b. “Dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan” yang artinya melakukan

kekuatan badan, dalam Pasal 89 KUHP disamakan dengan menggunakan

kekerasan yaitu membuat orang menjadi pingsan atau tidak berdaya.

c. “Memaksa seorangwanita yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia” yang

artinya seseorang wanita yang bukan isterinya mendapatkan pemaksaan

bersetubuh diluar ikatan perkawinan dari seorang laki-laki.

3. Jenis-Jenis Perkosaan

Jenis-jenis perkosaan yang dapat terjadi dalam masyarakat menurut Kalyanamitra

dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Sadistic rape

Perkosaan sadistic, artinya pada tipe ini seksualitas dan agresif berpadu dalam bentuk yang merusak. Pelaku perkosaan telah nampak menikmati kesenangan erotik bukan melalui hubungan seksnya, melainkan melalui serangan yang mengerikan atau alat kelamin dan tubuh korban.

b. Angea rape

Yakni penganiayaan seksual yang bercirikan seksualitas menjadi sarana untuk menyatakan dan melampiaskan perasaan geram dan marah yang tertahan. Disini tubuh korban seakan-akan merupakan objek terhadap siapa pelaku yang memproyeksikan pemecahan atas frutasi-frutasi, kelemahan, dan kekecewaan hidupnya.

c. Dononation rape

Yakni suatu perkosaan yang terjadi seketika pelaku mencoba untuk gigih atas kekuasaan dan superioritas terhadap korban. Tujuannya adalah penaklukan seksual, pelaku menyakiti korban namun tetep memiliki keinginan berhubungan seksual.

39

(45)

29

d. Seduktive rape

Suatu perkosaan yang terjadi pada situasi-situasi yang merangsang, yang tercipta oleh kedua belah pihak. Pada mulanya korban memutuskan bahwa keintiman personal harus dibatasi tidak sampai sejauh kesenggaman. Pelaku pada umumnya mempunyai keyakinan membutuhkan paksaan, oleh karena tanpa itu tak mempunyai rasa bersalah yang menyangkut seks.

e. Victim precipitatied rape

Yakni perkosaan yang terjadi (berlangsung) dengn menempatkan korban sebagai pencetusnya.

f. Exploitation rape

Perkosaan yang menunjukkan bahwa pada setiap kesempatan melakukan hubungan seksual yang diperoleh laki-laki dengan mengambil keuntungan yang berlawanan dengan posisi wanita yang bergantung padanya secara ekonomis dan sosial. Misalnya, istri yang diperkosa suaminya atau pembantu rumah tangga yang diperkosa majikannya, sedangkan pembantunya tidak mempersoalkan (mengadukan) kasusnya ini kepada pihak yang berwajib.40

4. Dasar Hukum Tindak Pidana Perkosaan

Tindak pidana perkosaan diatur dalam KUHP Bab XIV tentang Kejahatan

Kesusilaan dalam Pasal 285 KUHP yang menentukan:

“Barang siapa yang dengan kekerasan atau dengan ancaman memaksa

perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, karena perkosaan, di

pidana dengan pidana penjara selama-lamanya 12 (dua belas) tahun”.

Pasal 286 menentukan:

“Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar pernikahan, padahal

diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam

dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun”.

40Ibid

(46)

30

Pasal 287 menentukan:

(1) “Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar pernikahan,

padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum

15 (limabelas) tahun, atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belum

mampu kawin, diancam dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan)

tahun.

(2) “Penuntutan hanya dilakukan kalau ada pengaduan, kecuali kalau

umurnya perempuan itu belum sampai 12 (duabelas) tahun atau jika

(47)

31

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan

pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Diperlukan penelitian yang

merupakan suatu rencana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan yuridis

normatif (library research) yang dilakukan dengan cara mempelajari dan

menelaah buku-buku, bahan-bahan literatur yang menyangkut kaedah hukum,

doktrin-doktrin hukum, asas-asas hukum, dan sistem hukum yang terdapat dalam

permasalahan yaitu efektivitas visum et repertum dalam pembuktian tindak pidana

perkosaan.

Pendekatan yuridis empiris (field research) dilaksanakan dengan cara

memperoleh pemahaman hukum dalam kenyataannya (di lapangan) baik itu

melalui penilaian, pendapat, dan penafsiran subjektif dalam pengembangan

teori-teori dalam kerangka penemuan-penemuan ilmiah sehubungan dengan efektivitas

visum et repertum dalam pembuktian tindak pidana perkosaan.

B. Sumber dan Jenis Data

Data yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini bersumber pada dua jenis data,

(48)

32

a. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber pertama. Data

primer diperoleh dari studi lapangan yang berkaitan dengan pokok penulisan,

yang diperoleh melalui kegiatan wawancara (interview) langsung dengan

informan atau narasumber. Dalam hal ini dilakukan dengan cara observasi

dan wawancara di Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang, Kejaksaan

Negeri Bandar Lampung, dan Polresta Bandar Lampung.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan

dengan mempelajari literatur-literatur hal-hal yang bersifat teoritis,

pandangan-pandangan, konsep-konsep, doktrin serta karya ilmiah yang

berkaitan dengan permasalahan. Data sekunder dalam penulisan proposal ini

terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum

tersier.

a. Bahan hukum primer yaitu terdiri dari:

1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor

73 Tahun 1958 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP).

2) Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

b. Bahan hukum sekunder (secondary law material) yaitu bahan hukum yang

(49)

33

Bahan hukum sekunder diperoleh dengan cara studi dokumen,

mempelajari permasalahan dari buku-buku, literatur, makalah, artikel

koran, dan bahan–bahan lainnya yang berkaitan dengan materi, ditambah

lagi dengan pencarian data menggunakan internet.

c. Bahan hukum tersier (tertiary law material), yaitu bahan hukum yang

merupakan bahan atau data pendukung yang memberikan penjelasan

terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang berasal

dari literatur, buku-buku, media massa serta data-data lainnya.

C. Penentuan Narasumber

Narasumber yang dijadikan responden dalam penelitian ini sebagai berikut:

a. Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung : 1 orang

b. Hakim pada Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang : 1 orang

c. Penyidik Polri pada Polresta Bandar Lampung : 1 orang

d. Akademisi Fakultas Hukum Universitas Lampung : 1orang+

Jumlah : 4 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Langkah-langkah yang ditempuh oleh penulis dalam mengumpulkan data untuk

(50)

34

a. Studi Kepustakaan (Library Research)

Studi Kepustakaan adalah pengumpulan data yang diperoleh dengan cara

membaca, mengutip buku-buku, peraturan perundang-undangan yang berlaku

serta literatur yang berhubungan atau berkaitan dengan penulisan.

b. Studi Lapangan (Field Research)

Studi Lapangan adalah pengumpulan data yang diperoleh dengan cara

wawancara yang dilakukan langsung terhadap responden. Melakukan

wawancara dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan lisan yang

berkaitan dengan penulisan penelitian dan narasumber menjawab secara lisan

pula guna memperoleh keterangan atau jawaban yang diperlukan dalam

penelitian.

2. Prosedur Pengolahan Data

Data-data yang diperlukan dalam penulisan dikumpulkan dan diproses melalui

pengolahan data. Data yang diperoleh melalui studi kepustakaan dan wawancara

kemudian diolah dengan melakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

a. Editing, yaitu melakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan data, kejelasan,

dan kebenaran data untuk menentukan sesuai atau tidaknya serta perlu atau

tidaknya data tersebut terhadap permasalahan.

b. Sistematisasi, yaitu penyusunan dan penempatan data secara sistematis pada

masing-masing jenis dan pokok bahasan secara sistematis dengan tujuan agar

(51)

35

c. Klasifikasi data, yaitu pengolahan data dilakukan dengan cara

menggolongkan dan mengelompokkan data dengan tujuan untuk menyajikan

data secara sempurna, memudahkan pembahasan, dan analisis data.

E. Analisis Data

Proses analisis data merupakan usaha untuk menemukan jawaban atas pertanyaan

mengenai perihal di dalam rumusan masalah serta hal-hal yang diperoleh dari

suatu penelitian pendahuluan. Analisis data yang diperoleh dilakukan dengan

analisis secara kualitatif. Analisis secara kualitatif adalah analisis yang

dipergunakan dalam penelitian ini. Analisis secara kualitatif adalah tata cara

penelitian yang menghasilkan data deskriptif yaitu apa yang dinyatakan oleh

responden atau narasumber secara tertulis atau secara lisan dan perilaku yang

nyata. Kemudian dari hasil analisis tersebut ditarik kesimpulan secara induktif

yaitu suatu cara berpikir yang melihat pada realitas bersifat umum untuk

(52)

62

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dan pembahasan yang

diuraikan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Efektivitas visum et repertum dalam peembuktian tindak pidana perkosaan

cukup berguna dan bermanfaat, namun tetap diperlukan alat bukti lain untuk

menentukan benar atau tidaknya telah terjadi tindak pidana perkosaan serta

untuk membuktikan terbukti atau tidaknya tindak pidana perkosaan tersebut.

Visum et repertum hanya menentukan ada tidaknya suatu luka pada tubuh

korban tindak pidana perkosaan bukan menentukan pelaku dari tindak pidana

tersebut. Visum et repertum merupakan alat bukti yang bersifat bebas dan

tidak dapat berdiri sendiri. Artinya hakim dapat mengesampingkan alat bukti

visum et repertum. Seperti pada Pasal 183 KUHAP yang menyatakan bahwa

hakim dapat memutus suatu perkara pidana berdasarkan sedikitnya 2 (dua)

alat bukti yang sah. Dua alat bukti tersebut menimbulkan keyakinan hakim

tentang telah terjadinya perbuatan pidana.

2. Faktor-faktor yang menjadi penghambat dari efektivitas visum et repertum

dalam pembuktian tindak pidana perkosaan sebagai berikut:

Faktor hukumnya sendiri, rumusan Pasal 285 KUHP sudah benar dan baik,

tetapi di dalam praktek masih sulit untuk diakui atau tidaknya pembuktian

(53)

63

aparat penegak hukum dapat menentukan benar atau tidaknya telah terjadi

suatu tindak pidana perkosaan; Faktor sarana atau fasilitas, pembuatan visum

et repertum hanya bisa dilakukan di rumah sakit milik pemerintah saja

sehingga membuat korban tindak pidana perkosaan yang berad di daerah

mengalami kesulitan untuk menuju rumah sakit tersebut; Faktor masyarakat,

masyarakat kurang paham dan mengerti tentang arti visum et repertum yang

merupakan salah satu alat bukti dalam pembuktian tindak pidana perkosaan;

Faktor kebudayaan, yakni biaya pembuatan visum et repertum yang

ditanggung oleh korban, cara berpakaian korban, dan rasa malu korban.

B. Saran

Penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan oleh penulis guna untuk

mengetahui efektivitas visum et repertum dalam pembuktian tindak pidana

perkosaan tersebut, penulis memberikan saran guna untuk membuat efektivitas

visum et repertum dalam pembuktian tindak pidana perkosaan menjadi lebih baik,

yaitu:

1. Pihak penyidik dalam menangani kasus-kasus tindak pidana perkosaan

hendaknya lebih cermat dan pintar dalam mencari bukti-bukti atas kejadian

tersebut, terutama bukti-bukti yang menunjukkan adanya kekerasan atau

ancaman kekerasan yang diterima oleh korban sehingga pelaku dari tindak

pidana dapat dipidana sesuai dengan Pasal 285 KUHP. Aparat penegak

hukum juga sebaiknya lebih mengutamakan kepentingan korban perkosaan,

(54)

64

psikologis, serta dalam hal memperoleh keadilan terhadap kejahatan yang

dialaminya.

2. Korban dari tindak pidana perkosaan hendaknya segera melaporkan tindak

pidana perkosaan yang ia alami kepada pihak penyidik tanpa rasa malu.

Sebab jika cepat dilaporkan, maka hasil visum et repertum dapat efektif

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pemilihan alat kontrasepsi pada wanita usia subur yang bersuami yang mempunyai dukungan rendah namun pemilihan alat kontrasepsinya yang

Dengan demikian bila suatu sungai menerima limbah berupa senyawa organik atau limbah dalam jumlah yang sedikit atau dalam batas toleransi maka limbah tersebut akan dinetralisir oleh

Walaupun interaksi antara ruang, frekuensi, dan volume penyiraman tidak memberikan pengaruh terhadap tinggi tanaman, tetapi dengan uji Tukey (taraf 5%) menunjukkan bahwa pada

darah dengan bagian dari tinggi badan yang lebih spesifik.. seperti panjang kaki atau

Salah satu usaha untuk mewujudkan peningkatan penerimaan untuk pembangunan tersebut adalah dengan menggali sumber dana yang berasal dari dalam negeri, yaitu pajak.. Secara

Pemasakan Pencampuran II Mustard Pencampuran III Kuning telur Pencampuran IV Minyak zaitun, cuka apel Pengisian Jar Steril Mayonaise..  Minyak na*ati yang #ipakai yaitu minyak

dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan teknik deskripsi induktif yaitu metode-metodenya diawali dengan menjelaskan data basil penelitian yaitu data tentang praktek

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : (1) Apa makna istiqomah bagi santri Hamilil Qur’an dan (2) Apa faktor-faktor yang mempengaruhi istiqomah