ABSTRAK
EFEKTIVITASVISUM ET REPERTUMDALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN
Oleh
MERY SULISTIAWATI HUTAURUK
Tindak pidana perkosaan merupakan perbuatan yang melanggar norma kesopanan, agama, dan kesusilaan. Tindak pidana perkosaaan tidak hanya sulit dalam perumusannya saja, tetapi kesulitan utamanya adalah soal pembuktiannya diakui atau tidak, baik pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, maupun persidangan di pengadilan. Dalam menemukan bukti-bukti yang menyatakan benar atau tidak telah terjadi tindak pidana perkosaaan, maka dibutuhkan alat bukti visum et repertum yang dibuat oleh dokter ahli forensik berdasarkan atas sumpah jabatannya. Berdasarkan hal tersebut maka permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimanakah efektivitas visum et repertum dalam pembuktian tindak pidana perkosaan dan apakah yang menjadi faktor penghambat dari efektivitas
visum et repertumdalam pembuktian tindak pidana perkosaan tersebut.
Pendekatan masalah untuk membahsa permasalahan tersebut penulis melakukan penelitian dengan pendekatan yuridis empiris dan pendekatan yuridis normatif. Sumber data yang digunakan adalah data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari lapangan. Data sekunder adalah bahan-bahan hukum yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer. Data tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder dengan materi penulisan yang berasal dari kamus hukum.
Mery Sulistiawati H
Berdasarkan kesimpulan tersebut, penulis menyarankan agar setiap aparat penegak hukum lebih cermat dan tanggap dalam menemukan bukti-bukti yang menunjukkan adanya kekerasan atau ancaman kekerasan yang diterima oleh korban, serta lebih mengutamakan kepentingan korban perkosaan yang teleh mengalami penderitaan fisik maupun psikologis.
Berdasarkan penelitian, penulis menyarankan agar korban dari tindak pidana perkosaan hendaknya segera melaporkan tindak pidana yang ia alami kepada pihak penyidik tanpa rasa malu. Sebab jika cepat dilaporkan, maka hasil dari
visum et repertumdapat efektif sebagai alat bukti di persidangan.
EFEKTIVITASVISUM ET REPERTUMDALAM PEMBUKTIAN TINDAK
PIDANA PERKOSAAN
Oleh
Mery Sulistiawati Hutauruk
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum
Pada
Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung
UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 19 Mei 1993,
penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan
Bapak Bona Hutauruk dan Ibu Rachel Samosir.
Penulis memulai pendidikan Taman Kanak-kanak di TK Sejahtera
II Way Kandis pada tahun 1998-1999. Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan
ke Sekolah Dasar di SDS Sejahtera II Way Kandis pada tahun 1999-2005. Penulis
melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama di SMP Widya Dharma Way Kandis
pada tahun 2005-2008. Kemudian penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas
di SMAN 13 Bandar Lampung pada tahun 2008-2011.
Tahun 2011 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas
Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri
(SNMPTN). Penulis mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) selama 40 hari di Desa
PERSEMBAHAN
Kuucapkan puji Syukurku kehadirat Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan kasih karunia dan anugerahNya
kepadaku.
Sebagai perwujudan rasa kasih sayang, cinta, hormatku, dan tanda baktiku yang tulus dari hatiku terdalam
Aku mempersembahkan karya ini kepada:
Ayahku terhormat Bapak Bona Hutauruk yang telah mengajarkanku untuk tetap kuat dan bersyukur dalam
segala hal.
Mamaku tercinta Rachel Samosir
Yang telah memberikan dukungan dan doa serta harapan demi keberhasilanku kelak. Perempuan Tercantik yang pernah ada di dalam hidupku, wanita Terindah yang selalu
ada dihatiku selama-lamanya.
Kepada abangku yang ku kasihi
Junar Hasiholan Hutauruk dan Oberto Parlindungan Hutauruk (Alm)
Serta Keluarga besar yang selalu berdoa dan berharap demi keberhasilanku dalam meraih cita-cita.
✁ ✂ ✁
✄ ☎ ✆✝✞ ☎ ✟☎ ✠☎ ✡ ✝☛☎ ✞ ✠ ☞✞ ✌ ✌☞✍☎✡☎ ✎ ✡☎✞ ✍☎✆☎☛ ☎ ✞ ✟ ☞✏ ✑ ✡☎ ✒
☎ ✒☎✞ ✍ ✑✓☎ ✞ ✌.
✔ ✕✟ ✠☎ ✓ ✖3 : 18)
Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam
kesesakan, dan bertekunlah dalam doa!
(Roma 12 : 12)
Perubahan bukanlah perubahan sampai terjadi suatu
perubahan!
SANWACANA
Puji syukur selalu penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, atas berkat dan
karunia-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi dengan
judul “Efektivitas Visum Et Repertum dalam Pembuktian Tindak Pidana
Perkosaan” sebagai salah satu syarat mencapai gelar sarjana di Fakultas Hukum
Universitas Lampung.
Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan,
bantuan, petunjuk dan saran dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini Penulis
mengucapkan terima kasih yang tulus dari lubuk hati yang paling dalam kepada:
1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Lampung.
2. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum
Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung dan Dosen Pembimbing I
yang telah memberikan saran, nasehat, masukan, dan bantuan dalam
penulisan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
3. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing II yang telah
memberikan saran, nasehat, masukan dan bantuan dalam proses penulisan
skripsi ini sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
4. Bapak Eko Raharjo, S.H., M.H. selaku Dosen Pembahas I yang telah
memberikan nasehat, kritikan, masukkan dan saran dalam penulisan
5. Bapak Gunawan Jatmiko, selaku Dosen Pembahas II yang telah
memberikan nasehat, kritikan, masukkan dan saran dalam penulisan
skripsi ini.
6. Bapak Budiono, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik yang
senantiasa memberikan nasehat dan pengarahan selama penulis kuliah di
Fakultas Hukum Universitas Lampung.
7. Bapak Sutaji, S.H., M.H., Bapak Welly Dwi Saputra, S.H., M.H., Ibu
Supriyanti, S.H., dan Ibu Nikmah Rosidah, S.H., M.H. yang telah
memberikan izin penelitian, dan membantu dalam penelitian serta
penyediaan data untuk penyusunan skripsi ini.
8. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah
memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis selama kuliah di
Fakultas Hukum Universitas lampung, penulis ucapkan banyak terima
kasih.
9. Mbak Yanti, mbak Sri dan mbak Yani, Babeh Narto atas bantuan dan
fasilitas selama kuliah dan penyusunan skripsi.
10. Guru-guruku selama menduduki bangku Sekolah, TK Sejahtera II, SDS
Sejahtera II, SMP Widya Dharma, SMAN 13 Bandar Lampung. Penulis
ucapkan terimakasih atas ilmu, doa, motivasi dan kebaikan yang telah
ditanamkan.
11. Teristimewa untuk kedua orang tuaku tersayang Bapak Bona Hutauruk
dan Mamaku Rachel Samosir untuk doa, kasih sayang, dukungan,
motivasi, dan pengajaran yang telah kalian berikan dari aku kecil hingga
12. Kepada kedua saudara kandungku Abangku Junar Hasiholan Hutauruk dan
Oberto Parlindungan Hutauruk (alm) yang selalu memberikan motivasi
buatku dan memberi dukungan moril, kegembiraan, semangat, serta
materil yang diberikan.
13. Keluarga besarku yang selalu berdoa untukku serta dukungan dan
motivasinya.
14. Untuk temanku Marlina Siagian, Mona Angelina Sinaga, Wardiyanti
Sukmaya, Yuniar Ana Fitri, Tan Jessica Novia Hermanto, Very Susan,
Torang Alfontius, Ratih Julia, Brillian Unggul yang telah memberikan
kenangan indah di masa kuliah.
15. Untuk teman-teman Formahkris angkatan 2011, Kurniawan Manullang,
Yossafat Galang, Yonathan Aji, Bram Monang, Juna, Grace, Lasmaida,
Salamat, Try Gilbert, Yustinus, Mario, Erna, Prisca, Daniel Sitanggang,
David Pandapotan, Ferry, Dopdon, Nova Simbolon, Yonathan P.H. yang
telah memberikan kenangan yang luar biasa.
16. Senior di Formahkris, Kak Ivo, Kak Elsie, Kak Dede, Bang Tua, Bang
Edo, Bang Revan, Bang Waldi, Bang Daniel, Bang Timothy, Bang Verdy,
Bang Tommy, Kak Elfrida, Kak Sonya, Bang Rizal, Bang Saut, Bang
Ricko, Bang Sanggam, Bang Yoga, Bang Yuri, Bang Abram, Bang Ivo,
Bang Cio, Kak Ade Marbun, serta abang dan kakak lain yang tidak bisa
disebutkan, terima kasih untuk persahabatan serta pelayanannya.
17. Teman-teman Formahkris Angkatan 2012, 2013, dan 2014, Christina
Sidauruk, Ryan, Rio, Benny, Raymon, Anes, Meggy, Katherin, Elrenova,
Johan, Agustina Sagala, Firdaus, Ridho, Landoria, Fauyani, Febri,
Fernando, Dabe, Wafernanda, Rico, Biaton, Darwin serta adik-adik lain
yang tidak bisa disebutkan satu per satu, terima kasih untuk kekeluargaan
yang diberikan dalam wadah pelayanan Formahkris.
18. Teman-teman Mahasiswa Fakultas Hukum yang lain Aisyah, Lia
Nurjanah, Lia Aprilia, Natalia Katherine Sitompul, Miranti Dwi Saputri,
Syeh, Ivan Savero serta teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu
persatu terimakasih untuk bantuan, kebersamaan, kekompakan, canda tawa
selama mengerjakan tugas besar atau tugas harian, semoga selepas dari
perkuliahan ini kita masih tetap jalin komunikasi yang baik, tetap
semangat Viva Justicia Hukum Jaya.
19. Teman-teman di Komsel Atap, untuk Bang Marthin, Ko Andreas, Ko
Steven, Timo, Ko Ferdi, Ko Yoshoa, Priska Nong, Cathrine Nathania
terima kasih untuk doa, dukungan, canda tawa, dan kebersamaan yang
diberikan untuk melayani Tuhan.
20. Teman-teman di Team Tamborine, Ci Eva, Geby Femine, Priska Nong,
Cathrine, Friska Neng, Ci Dewi, Ci Fanny, Ci Nana, Bertha, Prince, Glory,
Irena, Grace, Naomi, Jessica, Dewi, Ina, Devi, terima kasih untuk
kebersamaannya yang telah diberikan dalam melayani Tuhan.
21. Teman-teman Kuliah Kerja Nyata (KKN), untuk Satria, Tama, Iksan,
Rendri, Fizi, Prisca, Mariam Ona, Wita, Mariyana, Dewi, Mona, Mei
terima kasih untuk kebersamaannya selama 40 (empatpuluh) hari.
22. Untuk Almamater Tercinta, Fakultas Hukum Universitas Lampung yang
orang yang lebih dewasa dalam berfikir dan bertindak. Serta semua pihak
yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Semoga Tuhan memberikan balasan atas bantuan dan dukungan yang telah
diberikan kepada penulis dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk
menambah wawasan keilmuan bagi pembaca pada umumnya dan bagi penulis
pada khususnya.
Bandar Lampung, April 2015
Penulis,
DAFTAR ISI
Halaman
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 6
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 7
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 8
E. Sistematika Penulisan ... 12
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Efektivitas... 14
B. Visum Et Repertum... 15
1. PengertianVisum Et Repertum... 15
2. Jenis-JenisVisum Et Repertum... 17
C. Pembuktian dan Hukum Pembuktian ... 18
1. Pengertian Pembuktian ... 18
2. Pengertian Hukum Pembuktian ... 20
D. Pengertian Tindak Pidana Perkosaan ... 24
1. Pengertian Tindak Pidana... 24
2. Pengertian Perkosaan... 26
3. Jenis-Jenis Perkosaan ... 28
4. Dasar Hukum Tindak Pidana Perkosaan ... 29
III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 31
B. Sumber dan Jenis Data ... 31
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 33
E. Analisis Data ... 35
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Narasumber... 36
B. EfektivitasVisum Et Repertumdalam Pembuktian Tindak Pidana Perkosaan... 38
C. Faktor-Faktor Penghambat dari EfektivitasVisum Et Repertumdalam Pembuktian Tindak Pidana Perkosaan ... 51
V. PENUTUP
A. Simpulan... 62
B. Saran ... 63
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara Republik Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila menunjukkan sikap
anti terhadap kejahatan yang di dalamnya terdapat ketentuan bagi warga negara
untuk dapat berbuat dan bertindak sebagai manusia yang berbudi luhur,
bertingkah laku baik, taat kepada ajaran agama, patuh pada hukum, dan bersikap
adil terhadap manusia. Pada kenyataannya, ditengah masyarakat sekarang ini
banyak yang menjadi penjahat dalam segala bentuk dan caranya untuk melakukan
kejahatan terutama pada tubuh dan jiwa, seperti pembunuhan, penganiayaan,
perkosaan, dan sebagainya. Saat ini tindak pidana perkosaan merupakan kejahatan
yang cukup mendapat perhatian dan meresahkan di kalangan masyarakat,
khususnya orang tua terhadap anak wanitanya karena selain dapat mengancam
keselamatan anak-anak wanita tersebut, dapat pula mempengaruhi proses
pertumbuhan ke arah kedewasaan seksual dini.
Tindak pidana perkosaan sebagaimana telah diketahui (yang dalam kenyataan
lebih banyak menimpa kaum wanita, remaja, dan dewasa) merupakan perbuatan
yang melanggar norma sosial yaitu kesopanan, agama, dan kesusilaan.1 Di
Indonesia, sebagian besar tindak pidana perkosaan terjadi pada wanita, ada yang
1
2
berpendapat bahwa wanita diperkosa karena penampilannya, seperti misalnya
berpakaian minim sehingga dapat memancing seseorang untuk melakukan tindak
pidana perkosaan. Sebenarnya tindak pidana perkosaan yang terjadi jauh lebih
banyak daripada yang dilaporkan ke penyidik dan diberitakan oleh media massa.
Kebanyakan kasus baru terbongkar setelah korban mengalami gejala fisik serius,
seperti pendarahan pada dubur atau vagina. Banyak jalan terjadinya perkosaan,
ada karena kebetulan bertemu, misalnya wanita itu meminta tumpangan
kendaraan, sehingga pemberi tumpangan mendapat kesempatan untuk
memperkosanya. Ada yang memang sudah kenal lama, bahkan telah berpacaran,
yang pada kesempatan tertentu laki-laki itu dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa pacarnya untuk bersetubuh dengan dia, yang semula wanita
itu masih mempertahankan keperawanannya.
Pada tindak pidana ini, walaupun beratnya ancaman sanksi pidana yang telah
diatur di dalam KUHP tampaknya sudah tidak lagi terpikirkan oleh sipelaku.
Tindak pidana perkosaan tidak hanya sulit dalam perumusannya saja, tetapi
kesulitan utama yang sering muncul biasanya adalah soal pembuktian diakui atau
tidak, baik ditingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan ataupun persidangan di
pengadilan, sebab pembuktian tindak pidana perkosaan di pengadilan sangatlah
tergantung pada sejauh mana penyidik dan penuntut umum mampu menunjukkan
bukti-bukti yang menyatakan bahwa telah terjadi tindak pidana perkosaan.
Kesulitan pembuktian tersebut juga timbul karena korban kejahatan tidak segera
melaporkannya kepada penyidik yang umumnya dikarenakan dicekam rasa malu
bahkan ada yang melaporkannya setelah berbulan-bulan dan dalam keadaan
3
dilakukan serangkaian tindakan oleh penyidik untuk mendapatkan bukti-bukti
yang terkait dengan tindak pidana yang terjadi.
Usaha-usaha dalam memperoleh bukti-bukti yang diperlukan guna kepentingan
pemeriksaan suatu perkara pidana, seringkali para penegak hukum dihadapkan
pada suatu masalah atau hal-hal tertentu yang tidak dapat diselesaikan sendiri
olehnya dikarenakan masalah tersebut berada di luar kemampuan atau
keahliannya. Bantuan seorang ahli sangat penting diperlukan dalam rangka
mencari kebenaran materiil selengkap-lengkapnya bagi para penegak hukum
tersebut. Berdasarkan ketentuan Pasal 133 Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP), dinyatakan bahwa dalam hal penyidik untuk kepentingan
peradilan menangani seorang korban luka, keracunan, ataupun mati yang diduga
karena peristiwa tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan kepada ahli
kedokteran kehakiman atau dokter dan/atau ahli lainnya. Bukti tersebut berupa
keterangan medis yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan mengenai keadaan
kekerasan.
Adanya peranan dokter untuk membantu penyidik dalam memberikan keterangan
medis mengenai keadaan korban perkosaan merupakan suatu upaya untuk
mendapatkan bukti atau tanda pada diri korban yang dapat menunjukkan bahwa
telah benar terjadi suatu tindak pidana perkosaan. Keterangan dokter yang
dimaksudkan tersebut dituangkan secara tertulis dalam bentuk surat hasil
pemeriksaan medis yang disebut dengan visum et repertum.Visum bukanlah
istilah hukum melainkan visum itu sendiri merupakan istilah Kedokteran. Dapat
4
apa sebenarnya pengertian dan sampai sejauh mana kegunaan visum itu dalam
tindak pidana perkosaan. Pengertian visum et repertum dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) tidak ditemukan secara tegas, namun sebagai pedoman dapat dijelaskan
bahwa pengertian visum et repertum adalah:
“Visum et repertum adalah laporan tertulis untuk peradilan yang dibuat oleh
dokter berdasarkan sumpah yang diucapkan pada waktu menerima jabatan dokter, memuat pemberitaan tentang segala hal (fakta) yang dilihat dan ditemukan pada benda bukti berupa tubuh manusia yang diperiksa dengan pengetahuan dan keterampilan yang sebaik-sebaiknya dan pendapat mengenai apa yang ditemukan sepanjang pemeriksaan tersebut”.2
KUHAP tidak menjelaskan istilah maupun pengertian dari visum et repertum
tetapi yang dapat ditemukan adalah keterangan ahli yaitu apa yang seorang ahli
nyatakan di sidang pengadilan, baik tulisan dalam bentuk laporan maupun lisan
yang diberikan langsung dipersidangan dimana keterangan ahli yang diberikan
dalam laporan itu telah mencakup di dalamnya visum et repertum. Visum et
repertum kemudian digunakan sebagai bukti yang sah secara hukum mengenai
keadaan terakhir dari korban penganiayaan, perkosaan, maupun korban yang
berakibat kematian dan dinyatakan oleh dokter setelah memeriksa korban.
Visum et repertum dikategorikan sebagai alat bukti surat sebagaimana tertulis di
dalam Pasal 187 huruf c KUHAP adalah sama dengan yang dimaksud dalam
penjelasan Pasal 186 KUHAP. Jika dikaitkan dengan Pasal 186 KUHAP, maka
alat bukti surat dapat berupa keterangan ahli yang dituangkan dalam bentuk
laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau
2
5
pekerjaan. Menurut ketentuan Hukum Acara Pidana di Indonesia, mengenai
permintaan bantuan tenaga ahli diatur dan disebutkan di dalam KUHAP.
Permintaan bantuan tenaga ahli pada tahap penyidikan disebutkan pada Pasal 120
ayat (1). Permintaan bantuan keterangan ahli pada tahap pemeriksaan
persidangan, terdapat pada Pasal 180 ayat (1). Mengenai keterangan ahli
sebagaimana disebutkan dalam kedua pasal KUHAP tersebut, diberikan
pengertiannya pada Pasal 1 butir ke-28 KUHAP, yang menentukan: “Keterangan
ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian
khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana
guna kepentingan pemeriksaan”.
Seorang hakim dalam menerapkan Pasal 285 KUHP terhadap pelaku perkosaan
tidak terlepas dari peranan visum et repertum yang dikeluarkan oleh dokter,
karena dapat menjadi dasar bagi hakim untuk menentukan berat ringannya
hukuman yang akan dijatuhkan terhadap si pelaku. Tujuan visum et repertum
adalah untuk memberikan kepada hakim (Majelis) suatu kenyataan akan
fakta-fakta dari bukti-bukti tersebut atas semua keadaan atau hal sebagaimana tertuang
dalam bagian pemberitaan agar hakim dapat mengambil putusannya dengan tepat
atas dasar kenyataan atau fakta-fakta tersebut, sehingga dapat menjadi pendukung
atas keyakinan hakim.3
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul : “Efektifitas Visum Et Repertum dalam Pembuktian
Tindak Pidana Perkosaan”.
3
6
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Masalah yang akan diteliti oleh penulis tersebut agar dapat mempunyai penafsiran
yang jelas, maka perlu dirumuskan ke dalam suatu rumusan masalah, dapat
dipecahkan secara sistematis, dan dapat memberikan gambaran yang jelas.
Berdasarkan uraian dalam identifikasi dan latar belakang masalah, maka
perumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:
a. Bagaimanakah efektivitas visum et repertum dalam pembuktian tindak pidana
perkosaan?
b. Apakah yang menjadi faktor penghambat dari efektivitas visum et repertum
dalam pembuktian tindak pidana perkosaan?
2. Ruang Lingkup
Penelitian ini termasuk ke dalam ruang lingkup kajian hukum pidana khususnya
mengenai efektifitas visum et repertum dalam pembuktian tindak pidana
perkosaan yang diperlukan dalam proses pembuktian di persidangan. Ruang
lingkup penelitian ini dilakukan di wilayah hukum Pengadilan Negeri Tanjung
Karang dengan mewawancarai sejumlah narasumber yaitu, Polri, Jaksa, Hakim,
7
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada pokok bahasan di atas maka tujuan penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui efektivitas visum et repertum dalam pembuktian tindak
pidana perkosaan.
b. Untuk mengetahui faktor-faktor enghambat dari efektivitas visum et repertum
dalam pembuktian tindak pidana perkosaan.
2. Kegunaan Penelitian
a. Kegunaan Teoritis
Hasil penelitian ini adalah untuk memberi pengetahuan dibidang hukum
pidana khususnya mengenai pemahaman teoritis tentang Ilmu Kedokteran
Forensik terhadap tindak pidana perkosaan.
b. Kegunaan Praktis
1. Untuk memberikan pengetahuan dan informasi yang bermanfaat bagi
masyarakat mengenai efektifitas visum et repertum dalam pembuktian
tindak pidana perkosaan.
2. Untuk mengetahui perkembangan dari ilmu kedokteran forensik dimana
pada saat ini semakin dibutuhkan ahli-ahli bagian forensik dalam
membantu meringankan tugas penyidik dalam memberikan keterangan
medis yang dituangkan secara tertulis dalam bentuk surat hasil
8
3. Untuk dipergunakan bagi para akademisi dan pihak-pihak yang
berkepentingan sebagai pedoman dalam melakukan proses beracara atau
penuntutan hukum dalam pelaksanaan penegakan hukum terhadap pelaku
tindak pidana perkosaan.
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis adalah konsep-konsep khusus yang merupakan abstraksi dari
hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan mengadakan
identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.4
a. Teori Pembuktian
Pembuktian merupakan tahap yang paling menentukan dalam proses persidangan
pidana mengingat pada tahap pembuktian tersebut akan ditentukan terbukti
tidaknya seorang terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang
didakwakan penuntut umum. Pembuktian tersebut memerlukan alat-alat bukti
yang sah menurut hukum, dalam Pasal 184 KUHAP dijelaskan bahwa alat bukti
yang sah adalah:
a. Keterangan Saksi;
b. Keterangan Ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
4
9
e. Keterangan Terdakwa.
Teori-teori pembuktian yang dikemukakan oleh Andi Hamzah sebagai berikut:
a. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Positif (Positief wettelijke Bewijs Theorie Sistem)
Sistem pembuktian berdasarkan alat bukti menurut undang-undang secara positif, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali.
b. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Negatif (Negatief wettelijke Bewijs Theorie Sistem)
Pembuktian yang selain menggunakan alat bukti yang dicantumkan di dalam undang-undang (KUHAP) juga menggunakan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat bukti tersebut.
c. Teori Pembuktian Hakim Melulu (Conviction Intime Teori)
Menurut teori ini dikemukakan bahwa alat bukti berupa pengakuan terdakwa sendiripun tidak selalu membuktikan kebenaran. Pengakuanpun kadang-kadang tidak menjamin terdakwa benar-benar telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Pembuktian ini dapat diartikan sebagai pembuktian berdasarkan keyakinan hakim belaka.
d. Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Atas Alasan yang Logis
(Laconviction Raisonnee)
Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya, keyakinan yang mana didasarkan pada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Teori ini disebut juga teori pembuktian bebas karena hakim bebas menyebutkan alasan-alasan keyakinannya.5
Membahas permasalahan dalam skripsi ini, penulis mengadakan
pendekatan-pendekatan dengan teori sistem pembuktian menurut undang-undang secara
negatif, sistem pembuktian negatief wettelijk terletak antara dua sistem
berhadap-hadapan, yaitu antara sistem pembuktian positif wettelijk dan sistem pembuktian
conviction intime. Artinya hakim hanya boleh menyatakan terdakwa bersalah
melakukan tindak pidana yang didakwakan apabila ia yakin dan keyakinannya
tersebut didasarkan kepada alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
5
10
Sistem negatif di dalamnya mengandung dua hal yang merupakan syarat untuk
membuktikan kesalahan terdakwa, yaitu:
a. Wettelijk, yaitu adanya alat bukti yang sah yang telah ditetapkan oleh
undang-undang.
b. Negatief, yaitu adanya keyakinan (nurani) dari hakim, yakni berdasarkan
bukti-bukti tersebut hakim meyakini kesalahan terdakwa tersebut didasarkan
kepada alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Sistem pembuktian negatif diperkuat oleh prinsip “kebebasan kekuasaan
kehakiman”.
b. Teori Faktor-Faktor Penghambat
Teori yang digunakan dalam membahas factor-faktor penghambat dalam
penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto yaitu:
a. Faktor hukumnya sendiri
Terdapat beberapa asas dalam berlakunya undang-undang yang tujuannya adalah agar undang-undang tersebut mempunyai dampak positif. Artinya, agar undang-undang tersebut mencapai tujuannya secara efektif di dalam kehidupan masyarakat.
b. Faktor penegak hukum
Penegak hukum mempunyai kedudukan tertentu lazimnya dinamakan pemegang peranan (role occupan). Suatu hak sebenarnya wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas. c. Faktor sarana atau fasilitas
Penegak hukum tidak mungkin berlangsung lancar tanpa adanya faktor sarana atau fasilitas. Sarana dan fasilitas tersebut antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan seharusnya.
d. Faktor masyarakat
11
e. Faktor kebudayaan
Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianut) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari).6
2. Konseptual
Konseptual merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara
konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang berkaitan dengan istilah
yang teliti.7 Mempertajam dan merumuskan suatu definisi sesuai dengan konsep
judul maka perlu adanya suatu definisi untuk dijelaskan dalam penulisan ini.
Adapun pengertian dasar dan istilah-istilah yang akan dipergunakan dalam
penulisan penelitian ini sebagai berikut:
a. Efektivitas berasal dari kata efektif yang mengandung pengertian dicapainya
keberhasilan daam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.8
b. Visum et repertum adalah laporan tertulis untuk peradilan yang dibuat oleh
dokter berdasarkan sumpah yang diucapkan pada waktu menerima jabatan
dokter, memuat pemberitaan tentang segala hal (fakta) yang dilihat dan
ditemukan pada benda bukti berupa tubuh manusia yang diperiksa dengan
pengetahuan dan keterampilan yang sebaik-sebaiknya dan pendapat mengenai
apa yang ditemukan sepanjang pemeriksaan tersebut.9
6
Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum. Bandung: Bina Cipta, 1983, hlm.34-35, 40.
7
Soerjono Soekanto, Op.Cit., hlm. 132.
8
http://dilihatya.com/, diunduh pada tanggal 28-01-2015, 18:30.
9
12
c. Pembuktian adalah suatu perbuatan atau tindakan yang bertujuan untuk
meyakinkan hakim tentang kebenaran dari suatu keadaan atau peristiwa
berdasarkan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.10
d. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilakukan setiap orang/subjek hukum
yang berupa kesalahan dan bersifat melanggar hukum ataupun tidak sesuai
dengan perundang-undangan.11
e. Perkosaan adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual oleh seseorang
laki-laki terhadap seorang perempuan dengan cara menurut moral dan atau
hukum yang berlaku melanggar.12
E. Sistematika Penulisan
Memudahkan pemahaman pembaca terhadap penulisan dalam penelitian ini
secara keseluruhan, maka disajikan sistematika penulisan sebagai berikut:
I. PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan secara garis besar mengenai latar belakang, permasalahan
dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis dan
konseptual, serta sistematika penulisan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi telaah kepustakaan seperti: pengertian efektivitas, pengertian visum
et repertum dan jenis-jenis visum et repertum, pengertian pembuktian dan hukum
10
A. Karim Nasution, Masalah Hukum Pembuktian dalam Proses Pidana, Jakarta: Direktorat Kejaksaan Agung, 1976, hlm.26.
11
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni, 1986, hlm. 25.
12Ibid
13
pembuktian, pengertian tindak pidana, pengertian perkosaan, jenis-jenis
perkosaan, dan dasar hukum tindak pidana perkosaan.
III. METODE PENELITIAN
Bab ini membahas tentang langkah-langkah atau cara-cara yang dipakai dalam
rangka pendekatan masalah, serta tentang uraian tentang sumber-sumber data,
pengumpulan data dan analisis data.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini merupakan hasil dari penelitian tentang berbagai hal yang menjadi
permasalahan dalam penelitian ini yang akan dijelaskan tentang efektivitas visum
et repertum dalam pembuktian terhadap tindak pidana perkosaan.
V. PENUTUP
Bab ini memuat kesimpulan dari kajian penelitian yang menjadi fokus bahasan
mengenai efektivitas visum et repertum dalam pembuktian tindak pidana
14
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Efektivitas
Efektivitas berasal dari kata efektif yang mengandung pengertian dicapainya
keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.13 Disebut efektif
apabila tercapai tujuan ataupun sasaran seperti yang teleh ditentukan. Efektivitas
selalu terkait dengan hubungan antara hasil yang diharapkan dengan hasil yang
sesungguhnya dicapai. Efektivitas merupakan daya pesan untuk mempengaruhi
atau tingkat kemampuan pesan-pesan untuk mempengaruhi, efektivitas bisa
diartikan sebagai suatu pengukuran akan tercapainya tujuan yang telah
direncanakan sebelumnya secara matang agar hasil yang diharapkan dapat
berjalan dengan baik. Kata efektivitas yaitu keefektifan diartikan sebagai
seseorang yang ditugasi untuk memantau.14
Efektivitas merupakan suatu ukuran yang memberikan gambaran seberapa jauh
target dapat tercapai. Hal ini menyatakan bahwa efektivitas merupakan suatu
ukuran yang memberikan gambaran seberapa jauh target yang telah ditetapkan
sebelumnya oleh lembaga atau organisasi dapat tercapai. Efektivitas sangat
penting peranannya di dalam setiap lembaga atau organisasi dan berguna untuk
melihat perkembangan dan kemajuan yang dicapai oleh suatu lembaga atau
organisasi itu sendiri. Setiap organisasi atau lembaga di dalam kegiatannya
13
http://dilihatya.com/, diunduh pada tanggal 28-01-2015, 18:30.
14
15
menginginkan adanya pencapaian tujuan. Pengertian efektivitas secara umum
menunjukkan sampai seberapa jauh tercapainya suatu tujuan yang terlebih dahulu
ditentukan.
B. Visum Et Repertum
1. Pengertian Visum Et Repertum
Visum et repertum adalah istilah yang dikenal dalam Ilmu Kedokteran Forensik,
biasanya dikenal dengan nama “visum”. Visum berasal dari bahasa Latin, bentuk
tunggalnya adalah “visa”. Dipandang dari arti etimologi atau tata bahasa, kata
“visum” atau “visa” berarti tanda melihat atau melihat yang artinya
penandatanganan dari barang bukti tentang segala sesuatu hal yang ditemukan,
disetujui, dan disahkan, sedangkan “repertum” berarti melapor yang artinya apa
yang telah didapat dari pemeriksaan dokter terhadap korban.15
Secara etimologi visum et repertum adalah apa yang dilihat dan diketemukan.
KUHAP tidak memberikan pengaturan secara eksplisit mengenai pengertian
visum et repertum. Satu-satunya ketentuan perundangan yang memberikan
pengertian mengenai visum et repertum yaitu Staatsblad Tahun 1937 Nomor 350.
Disebutkan dalam ketentuan Staatsblad tersebut bahwa: “Visum et repertum
adalah laporan tertulis untuk kepentingan peradilan (pro yustisia) atas permintaan
yang berwenang, yang dibuat oleh dokter, terhadap segala sesuatu yang dilihat
dan ditemukan pada pemeriksaan barang bukti, berdasarkan sumpah pada waktu
menerima jabatan, serta berdasarkan pengetahuannya yang sebaik-baiknya”.
15
16
R. Atang Ranoemihardja menjelaskan bahwa Ilmu Kedokteran Kehakiman atau
Ilmu Kedokteran Forensik adalah ilmu yang menggunakan pengetahuan Ilmu
Kedokteran untuk membantu peradilan baik dalam perkara pidana maupun dalam
perkara lain (perdata). Tujuan serta kewajiban Ilmu Kedokteran Kehakiman
adalah membantu kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman dalam menghadapi
kasus-kasus perkara yang hanya dapat dipecahkan dengan ilmu pengetahuan
kedokteran.16 Abdul Mun’im Idris memberikan pengertian visum et repertum
adalah suatu laporan tertulis dari dokter yang telah disumpah tentang apa yang
dilihat dan ditemukan pada barang bukti yang diperiksanya serta memuat pula
kesimpulan dari pemeriksaan tersebut guna kepentingan peradilan.17
Pemakaian istilah pada berbagai visum et repertum kadang berlainan, namun
maksudnya dapat dipahami, seperti: visum et repertum pertama bagi korban
hidup, yang terjadi oleh karena atau diakibatkan benda tumpul, benda tajam,
bahan kimia atau racun, obat pembasmi cair (basah, kering), tembakan senjata api
dari jarak dekat atau jauh, tenggelam, mencoba bunuh diri atau lainnya, sehingga
perlu diobati ataupun dirawat inap dirumah sakit. Hal dibuatkannya visum et
repertum akhir dari suatu hal atau peristiwa dan itu hanya boleh dibuat oleh
dokter atau dokter ahli yang mengobati atau menanganinya semula.
2. Jenis-Jenis Visum Et Repertum
16
R. Atang Ranoemihardja, Ilmu Kedokteran Kehakiman (Forensic Science), Bandung: Tarsito, Edisi Kedua, 1991, hlm. 18.
17
Abdul Mun’im Idris, Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik, Jakarta: Binarupa Aksara, 1997, hlm.
17
Sebagai suatu hasil pemeriksaan dokter terhadap barang bukti yang diperuntukkan
untuk kepentingan peradilan, visum et repertum digolongkan menurut obyek yang
diperiksa sebagai berikut:
a. Visum et repertum untuk orang hidup
Jenis ini dibedakan dalam:
1. Visum et repertum biasa, visum et repertum ini diberikan kepada pihak
peminta (penyidik) untuk korban yang tidak memerlukan perawatan lebih
lanjut.
1. Visum et repertum sementara, visum et repertum sementara diberikan
apabila korban memerlukan perawatan lebih lanjut karena belum dapat
membuat diagnosis dan derajat lukanya. Korban tersebut sembuh, maka
dibuatkan visum et repertum lanjutan.
2. Visum et repertum lanjutan, dalam hal ini korban tidak memerlukan
perawatan lebih lanjut karena sudah sembuh, pindah dirawat dokter lain,
atau meninggal dunia.
b. Visum et repertum untuk orang mati (jenazah)
Pada pembuatan visum et repertum ini, dalam hal korban mati maka penyidik
mengajukan permintaan tertulis kepada pihak Kedokteran Forensik untuk
dilakukan bedah mayat (outopsi).
1. Visum et repertum Tempat Kejadian Perkara (TKP). Visum ini dibuat setelah
dokter selesai melaksanakan pemeriksaan di TKP.
2. Visum et repertum penggalian jenazah. Visum ini dibuat setelah dokter
18
c. Visum et repertum kejahatan susila
Visum ini dibuat untuk kepentingan peradilan, dokter berkewajiban untuk
membuktikan adanya persetubuhan dan adanya kekerasan yang diancam
hukuman oleh KUHP.
d. Visum et repertum psikiatri
Visum et repertum psikiatri yaitu visum pada terdakwa yang pada saat
pemeriksaan di sidang pengadilan menunjukkan gejala-gejala penyakit jiwa.18
Keempat jenis visum tersebut dapat dibuat oleh dokter yang mampu, namun
sebaiknya untuk visum et repertum psikiarti dibuat oleh dokter spesialis psikiarti
yang bekerja dirumah sakit atau rumah sakit umum.
C. Pembuktian dan Hukum Pembuktian 1. Pengertian Pembuktian
Pembuktian berasal dari kata bukti yang artinya adalah usaha untuk membuktikan.
Kata membuktikan diartikan sebagai memperlihatkan bukti atau meyakinkan
dengan bukti, sedangkan kata pembuktian diartikan sebagai proses, perbuatan,
cara membuktikan, usaha menunjukkan benar atau salahnya si terdakwa dalam
sidang pengadilan.19 Pembuktian dalam KUHAP dapat diartikan sebagai suatu
upaya untuk mendapatkan keterangan-keterangan melalui alat-alat bukti dan
barang bukti guna memperoleh suatu keyakinan atas benar tidaknya perbuatan
pidana yang didakwakan serta dapat mengetahui ada tidaknya kesalahan pada diri
18
http//asiamaya.com/konsultasi_hukum/pidana/vis.htm, diunduh pada 25-10-2014, 11:23.
19
19
terdakwa.20 Menurut Bambang Poernomo pembuktian adalah suatu pembuktian
menurut hukum pada dasarnya merupakan proses untuk menentukan subtansi
atau hakekat adanya fakta-fakta yang diperoleh melalui ukuran yang layak
dengan pikiran yang logis terhadap fakta-fakta pada masa lalu yang tidak terang
menjadi fakta-fakta yang terang dalam hubungannya dengan perkara pidana.21
Berdasarkan praktik peradilan pidana, dalam perkembangannya dikenal empat
macam sistem atau teori pembuktian, antara lain:
a. Positief wettelijke Bewijs Theorie Sistem ini adalah sistem pembuktian
berdasarkan alat bukti menurut undang-undang secara positif. Dikatakan secara positif karena hanya didasarkan kepada undang-undang saja. Artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali.
b. Negatief wettelijke Bewijs Theorie Sistem atau teori pembuktian yang
berdasar undang-undang secara negatif adalah pembuktian yang selain menggunakan alat bukti yang dicantumkan didalam undang-undang juga menggunakan keyakinan hakim.
Walaupun menggunakan keyakinan hakim, namun keyakinan tersebut terbatas pada alat bukti yang tercantum dalam undang-undang. Dengan menggunakan alat bukti yang tercantum dalam undang-undang dan keyakinan hakim maka teori pembuktian ini sering disebut dengan pembuktian berganda.
c. Conviction Intime Teori, pembuktian ini dapat diartikan sebagai
pembuktian berdasarkan keyakinan hakim. Pada sistem ini lebih memberikan kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan suatu putusan. Dengan sistem ini pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam undang-undang. Artinya adalah jika dalam pertimbangan putusan hakim telah menganggap terbukti suatu perbuatan sesuai dengan keyakinannya, maka terdakwa dapat dijatuhi putusan. Keyakinan Hakim pada sistem ini adalah menentukan dan mengabaikan hal-hal lainnya jika tidak sesuai atau bertentangan dengan keyakinan hakim tersebut.
d. Laconviction Raisonnee, menurut teori ini seorang hakim dapat
memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya, keyakinan mana didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Jadi, putusan hakim dijatuhkan dengan suatu motivasi. Sistem
20
A. Karim Naasution, Op.Cit., hlm.77. 21
20
pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas, karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya.22
2. Pengertian Hukum Pembuktian
Hukum pembuktian adalah merupakan sebagian dari Hukum Acara Pidana yang
mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut
dalam pembuktian syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta
kewenangan hakim untuk menerima, menolak, dan menilai suatu pembuktian.23
Sumber-sumber hukum pembuktian adalah:
a. Undang-Undang
b. Doktrin atau ajaran
c. Yurisprudensi24
Pembuktian adalah suatu perbuatan atau tindakan yang bertujuan untuk
meyakinkan hakim tentang kebenaran dari suatu keadaan atau peristiwa
berdasarkan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang.25 Pembuktian
menurut Yahya Harahap adalah suatu rangkaian tata tertib yang harus diindahkan
dalam melangsungkan pertarungan dimuka hakim, antara kedua belah pihak yang
sedang mencari keadilan.26 Hukum pembuktian menurut Bambang Poernomo
adalah merupakan keseluruhan aturan atau peraturan perundang-undangan
mengenai setiap kejadian masa lalu yang relevan dengan persangkaan terhadap
22
Andi Hamzah, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Kedua), Sinar Grafika, Jakarta, hlm.
251-254.
A. Karim Nasution, Op.Cit., hlm.26.
26
21
orang yang diduga melakukan perbuatan pidana dan pengesahan setiap barang
bukti menurut ketentuan hukum yang berlaku untuk kepentingan peradilan dalam
perkara pidana.27
Berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat dijelaskan bahwa hukum
pembuktian merupakan seperangkat ketentuan yang mengatur mengenai proses
pembuktian, yang mana proses tersebut harus dilakukan di depan sidang
pengadilan. Alat bukti yang sah menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah:
a. Keterangan saksi
Saksi adalah orang yang dapat memberi keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia
dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri (Pasal 1 butir 27 KUHAP).
Keterangan saksi adalah salah satu bukti dalam peradilan pidana yang berupa
keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri,
ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari
pengetahuannya itu (Pasal 1 butir 27 KUHAP).
b. Keterangan ahli
Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki
keahlian khusus tentang hak yang diperlukan untuk membuat terang suatu
27
22
perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan (Pasal 1 butir 28 KUHAP).
Berdasarkan keterangan tersebut, maka lebih jelas lagi bahwa keterangan ahli
tidak dituntut suatu pendidikan formal tertentu tetapi juga meliputi seorang
yang ahli dan berpengalaman dalam suatu bidang tanpa pendidikan khusus.
Keterangan ahli mempunyai 2 (dua) kemungkinan, yaitu bisa sebagai alat
bukti keterangan ahli dan alat bukti surat.
c. Surat
Surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang
dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah
pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Surat menurut Pasal
187 KUHAP adalah berita acara, surat yang dibuat menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan, surat keterangan dari seorang ahli, dan surat
lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat
pembuktian yang lain.
Terkait dengan penjelasan Pasal 186 KUHAP, maka alat bukti surat dapat
berupa keterangan ahli yang dituangkan dalam bentuk laporan dan dibuat
dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan.
Laporan tersebut itu mencakup di dalamnya visum et repertum, yang
sebenarnya telah ditentukan sebagai alat bukti yang sah dalam Staatsblad
23
mempunyai nilai jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang
lain.28
d. Petunjuk
Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena
persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan
tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana
dan siapa pelakunya (Pasal 188 ayat (1) KUHAP). Berbeda dengan alat bukti
yang lain, yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, dan keterangan
terdakwa maka alat bukti petunjuk diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan
keterangan terdakwa.
e. Keterangan terdakwa
Terdakwa ialah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa, dan diadili di
sidang pengadilan (Pasal 1 butir 15 KUHAP). Terdakwa adalah seorang yang
karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut
diduga sebagai pelaku tindak pidana (Pasal 1 butir 14 KUHAP). Keterangan
terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang
ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.
Pasal 183 KUHAP menyatakan bahwa pemidanaan dapat dijatuhkan hakim
apabila:
a. Terdapat sedikitnya 2 (dua) alat bukti yang sah.
28
24
b. Dua alat bukti tersebut menimbulkan keyakinan hakim tentang telah
terjadinya perbuatan pidana.
D. Tindak Pidana Perkosaan 1. Pengertian Tindak Pidana
Tindak pidana adalah perbuatan yang dilakukan setiap orang/subjek hukum yang
berupa kesalahan dan bersifat melanggar hukum ataupun tidak sesuai dengan
perundang-undangan.29 Berikut adalah beberapa pendapat para sarjana mengenai
pengertian dari tindak pidana, yaitu:
a. Pompe
Pengertian tindak pidana menurut Pompe adalah sebagai berikut:
1. Definisi menurut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma yang
dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana unuk
mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.
2. Definisi menurut hukum positif adalah suatu kejadian (feit) yang oleh
peraturan undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat
dihukum.30
b. Vos
Tindak pidana adalah suatu kelakuan manusia diancam pidana oleh peraturan
perundang-undang, jadi suatu kelakuan yang pada umumnya dilarang dengan
ancaman pidana.31
29
Sudarto, Loc.cit.
30
Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana,Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 86.
31
25
c. Simons
Tindak pidana adalah suatu kelakuan (handeling) yang diancam dengan
pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan
dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab.32
d. Van Hamel
Menurut Van Hamel, pengertian tindak pidana merupakan kelakuan orang
yang dirumuskan dalam wet (undang-undang) yang bersifat melawan hukum
dan patut dipidana serta yang dilakukan dengan kesalahan.33
e. Moeljatno
Tindak pidana merupakan perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum,
larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi
barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.34
f. Wirjono Prodjodikoro
Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan
hukum pidana.35
Berdasarkan pengertian yang telah dikemukakan beberapa sarjana tersebut, maka
dapat diketahui bahwa tindak pidana adalah kelakuan (handeling) dari seseorang
yang diancam dengan pidana, bersifat melawan hukum, berhubungan dengan
kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab.
32
Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1987, hlm. 56.
33
Ibid.
34
Ibid, hlm. 54.
35
26
2. Pengertian Perkosaan
Perkosaan adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual oleh seseorang
laki-laki terhadap seorang perempuan dengan cara menurut moral dan/atau hukum
yang berlaku melanggar.36 Pengertian perkosaan di dalam KUHP, tertuang dalam
pasal 285 yang menentukan “barang siapa dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa seorang wanita yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia,
diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua
belas tahun”.
Menurut pasal tersebut dapat dijelaskan bahwa:
a. Korban perkosaan harus seorang wanita, tanpa klasifikasi umur yang
signifikan. Seharusnya wanita dapat dibedakan atau dikategorikan sebagai
berikut:
1. Wanita belum dewasa yang masih perawan
2. Wanita dewasa yang masih perawan
3. Wanita yang sudah tidak perawan lagi
4. Wanita yang masih sedang bersuami37
b. Korban mengalami pemaksaan bersetubuh berupa kekerasan atau ancaman
kekerasan. Ini berarti tidak ada persetujuan dari pihak korban mengenai niat
dan tindakan perlakuan pelaku.
Perkembangan yang semakin maju dan meningkat pesat ini, dalam hal ini muncul
banyak penyimpangan khususnya perkosaan seperti bentuk pemaksaan
36
Sudarto, Loc.cit. 37
27
persetubuhan yang dimana bukan vagina (alat kelamin wanita) yang menjadi
target dalam perkosaan akan tetapi anus atau dubur (pembuangan kotoran
manusia) dapat menjadi target dari perkosaan yang antara lain sebagai berikut:
a. Perbuatan tidak hanya bersetubuh (memasukkan alat kelamin kedalam
vagina), akan tetapi juga :
1. Memasukkan alat kelamin kedalam anus atau mulut
2. Memasukkan suatu benda (bukan bagian tubuh laki-laki) kedalam
vagina atau mulut wanita.
b. Caranya tidak hanya dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, tetapi juga
dengan cara apapun diluar kehendak atau persetujuan korban.
c. Objeknya tidak hanya wanita dewasa yang sadar, tetapi wanita yang tidak
berdaya atau pingsan dan di bawah umur, juga tidak hanya terdapat wanita
yang tidak setuju (di luar kehendaknya), tetapi juga terhadap wanita yang
memberikan persetujuan karena dibawah ancaman, karena kekeliruan,
kesesatan, penipuan atau karena dibawah umur.38
Menurut R. Sugandhi, yang dimaksud dengan perkosaan adalah seorang pria
yang memaksa pada seorang wanita yang bukan isterinya untuk
melakukan persetubuhan dengannya dengan ancaman kekerasan, yang mana
diharuskan kemaluan pria telah masuk kedalam lubang kemaluan seorang wanita
kemudian mengeluarkan air mani. P.A.F. Lamintang dan Djisman
Samosir berpendapat bahwa perkosaan adalah perbuatan seseorang yang
dengan kekerasan memaksa seorang wanita untuk melakukan persetubuhan diluar
38
28
ikatan perkawinan dengan dirinya.39 Perkosaan merupakan suatu tindak kejahatan
yang pada umumya diatur dalam Pasal 285 KUHP, unsur-unsur yang terkandung
dalam pasal tersebut antara lain sebagai berikut:
a. “Barang siapa” merupakan suatu istilah orang yang melakukan.
b. “Dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan” yang artinya melakukan
kekuatan badan, dalam Pasal 89 KUHP disamakan dengan menggunakan
kekerasan yaitu membuat orang menjadi pingsan atau tidak berdaya.
c. “Memaksa seorangwanita yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia” yang
artinya seseorang wanita yang bukan isterinya mendapatkan pemaksaan
bersetubuh diluar ikatan perkawinan dari seorang laki-laki.
3. Jenis-Jenis Perkosaan
Jenis-jenis perkosaan yang dapat terjadi dalam masyarakat menurut Kalyanamitra
dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Sadistic rape
Perkosaan sadistic, artinya pada tipe ini seksualitas dan agresif berpadu dalam bentuk yang merusak. Pelaku perkosaan telah nampak menikmati kesenangan erotik bukan melalui hubungan seksnya, melainkan melalui serangan yang mengerikan atau alat kelamin dan tubuh korban.
b. Angea rape
Yakni penganiayaan seksual yang bercirikan seksualitas menjadi sarana untuk menyatakan dan melampiaskan perasaan geram dan marah yang tertahan. Disini tubuh korban seakan-akan merupakan objek terhadap siapa pelaku yang memproyeksikan pemecahan atas frutasi-frutasi, kelemahan, dan kekecewaan hidupnya.
c. Dononation rape
Yakni suatu perkosaan yang terjadi seketika pelaku mencoba untuk gigih atas kekuasaan dan superioritas terhadap korban. Tujuannya adalah penaklukan seksual, pelaku menyakiti korban namun tetep memiliki keinginan berhubungan seksual.
39
29
d. Seduktive rape
Suatu perkosaan yang terjadi pada situasi-situasi yang merangsang, yang tercipta oleh kedua belah pihak. Pada mulanya korban memutuskan bahwa keintiman personal harus dibatasi tidak sampai sejauh kesenggaman. Pelaku pada umumnya mempunyai keyakinan membutuhkan paksaan, oleh karena tanpa itu tak mempunyai rasa bersalah yang menyangkut seks.
e. Victim precipitatied rape
Yakni perkosaan yang terjadi (berlangsung) dengn menempatkan korban sebagai pencetusnya.
f. Exploitation rape
Perkosaan yang menunjukkan bahwa pada setiap kesempatan melakukan hubungan seksual yang diperoleh laki-laki dengan mengambil keuntungan yang berlawanan dengan posisi wanita yang bergantung padanya secara ekonomis dan sosial. Misalnya, istri yang diperkosa suaminya atau pembantu rumah tangga yang diperkosa majikannya, sedangkan pembantunya tidak mempersoalkan (mengadukan) kasusnya ini kepada pihak yang berwajib.40
4. Dasar Hukum Tindak Pidana Perkosaan
Tindak pidana perkosaan diatur dalam KUHP Bab XIV tentang Kejahatan
Kesusilaan dalam Pasal 285 KUHP yang menentukan:
“Barang siapa yang dengan kekerasan atau dengan ancaman memaksa
perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, karena perkosaan, di
pidana dengan pidana penjara selama-lamanya 12 (dua belas) tahun”.
Pasal 286 menentukan:
“Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar pernikahan, padahal
diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam
dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun”.
40Ibid
30
Pasal 287 menentukan:
(1) “Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar pernikahan,
padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum
15 (limabelas) tahun, atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belum
mampu kawin, diancam dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan)
tahun.
(2) “Penuntutan hanya dilakukan kalau ada pengaduan, kecuali kalau
umurnya perempuan itu belum sampai 12 (duabelas) tahun atau jika
31
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Diperlukan penelitian yang
merupakan suatu rencana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan yuridis
normatif (library research) yang dilakukan dengan cara mempelajari dan
menelaah buku-buku, bahan-bahan literatur yang menyangkut kaedah hukum,
doktrin-doktrin hukum, asas-asas hukum, dan sistem hukum yang terdapat dalam
permasalahan yaitu efektivitas visum et repertum dalam pembuktian tindak pidana
perkosaan.
Pendekatan yuridis empiris (field research) dilaksanakan dengan cara
memperoleh pemahaman hukum dalam kenyataannya (di lapangan) baik itu
melalui penilaian, pendapat, dan penafsiran subjektif dalam pengembangan
teori-teori dalam kerangka penemuan-penemuan ilmiah sehubungan dengan efektivitas
visum et repertum dalam pembuktian tindak pidana perkosaan.
B. Sumber dan Jenis Data
Data yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini bersumber pada dua jenis data,
32
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber pertama. Data
primer diperoleh dari studi lapangan yang berkaitan dengan pokok penulisan,
yang diperoleh melalui kegiatan wawancara (interview) langsung dengan
informan atau narasumber. Dalam hal ini dilakukan dengan cara observasi
dan wawancara di Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang, Kejaksaan
Negeri Bandar Lampung, dan Polresta Bandar Lampung.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan
dengan mempelajari literatur-literatur hal-hal yang bersifat teoritis,
pandangan-pandangan, konsep-konsep, doktrin serta karya ilmiah yang
berkaitan dengan permasalahan. Data sekunder dalam penulisan proposal ini
terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum
tersier.
a. Bahan hukum primer yaitu terdiri dari:
1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor
73 Tahun 1958 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP).
2) Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
b. Bahan hukum sekunder (secondary law material) yaitu bahan hukum yang
33
Bahan hukum sekunder diperoleh dengan cara studi dokumen,
mempelajari permasalahan dari buku-buku, literatur, makalah, artikel
koran, dan bahan–bahan lainnya yang berkaitan dengan materi, ditambah
lagi dengan pencarian data menggunakan internet.
c. Bahan hukum tersier (tertiary law material), yaitu bahan hukum yang
merupakan bahan atau data pendukung yang memberikan penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang berasal
dari literatur, buku-buku, media massa serta data-data lainnya.
C. Penentuan Narasumber
Narasumber yang dijadikan responden dalam penelitian ini sebagai berikut:
a. Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung : 1 orang
b. Hakim pada Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang : 1 orang
c. Penyidik Polri pada Polresta Bandar Lampung : 1 orang
d. Akademisi Fakultas Hukum Universitas Lampung : 1orang+
Jumlah : 4 orang
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
1. Prosedur Pengumpulan Data
Langkah-langkah yang ditempuh oleh penulis dalam mengumpulkan data untuk
34
a. Studi Kepustakaan (Library Research)
Studi Kepustakaan adalah pengumpulan data yang diperoleh dengan cara
membaca, mengutip buku-buku, peraturan perundang-undangan yang berlaku
serta literatur yang berhubungan atau berkaitan dengan penulisan.
b. Studi Lapangan (Field Research)
Studi Lapangan adalah pengumpulan data yang diperoleh dengan cara
wawancara yang dilakukan langsung terhadap responden. Melakukan
wawancara dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan lisan yang
berkaitan dengan penulisan penelitian dan narasumber menjawab secara lisan
pula guna memperoleh keterangan atau jawaban yang diperlukan dalam
penelitian.
2. Prosedur Pengolahan Data
Data-data yang diperlukan dalam penulisan dikumpulkan dan diproses melalui
pengolahan data. Data yang diperoleh melalui studi kepustakaan dan wawancara
kemudian diolah dengan melakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
a. Editing, yaitu melakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan data, kejelasan,
dan kebenaran data untuk menentukan sesuai atau tidaknya serta perlu atau
tidaknya data tersebut terhadap permasalahan.
b. Sistematisasi, yaitu penyusunan dan penempatan data secara sistematis pada
masing-masing jenis dan pokok bahasan secara sistematis dengan tujuan agar
35
c. Klasifikasi data, yaitu pengolahan data dilakukan dengan cara
menggolongkan dan mengelompokkan data dengan tujuan untuk menyajikan
data secara sempurna, memudahkan pembahasan, dan analisis data.
E. Analisis Data
Proses analisis data merupakan usaha untuk menemukan jawaban atas pertanyaan
mengenai perihal di dalam rumusan masalah serta hal-hal yang diperoleh dari
suatu penelitian pendahuluan. Analisis data yang diperoleh dilakukan dengan
analisis secara kualitatif. Analisis secara kualitatif adalah analisis yang
dipergunakan dalam penelitian ini. Analisis secara kualitatif adalah tata cara
penelitian yang menghasilkan data deskriptif yaitu apa yang dinyatakan oleh
responden atau narasumber secara tertulis atau secara lisan dan perilaku yang
nyata. Kemudian dari hasil analisis tersebut ditarik kesimpulan secara induktif
yaitu suatu cara berpikir yang melihat pada realitas bersifat umum untuk
62
V. PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dan pembahasan yang
diuraikan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Efektivitas visum et repertum dalam peembuktian tindak pidana perkosaan
cukup berguna dan bermanfaat, namun tetap diperlukan alat bukti lain untuk
menentukan benar atau tidaknya telah terjadi tindak pidana perkosaan serta
untuk membuktikan terbukti atau tidaknya tindak pidana perkosaan tersebut.
Visum et repertum hanya menentukan ada tidaknya suatu luka pada tubuh
korban tindak pidana perkosaan bukan menentukan pelaku dari tindak pidana
tersebut. Visum et repertum merupakan alat bukti yang bersifat bebas dan
tidak dapat berdiri sendiri. Artinya hakim dapat mengesampingkan alat bukti
visum et repertum. Seperti pada Pasal 183 KUHAP yang menyatakan bahwa
hakim dapat memutus suatu perkara pidana berdasarkan sedikitnya 2 (dua)
alat bukti yang sah. Dua alat bukti tersebut menimbulkan keyakinan hakim
tentang telah terjadinya perbuatan pidana.
2. Faktor-faktor yang menjadi penghambat dari efektivitas visum et repertum
dalam pembuktian tindak pidana perkosaan sebagai berikut:
Faktor hukumnya sendiri, rumusan Pasal 285 KUHP sudah benar dan baik,
tetapi di dalam praktek masih sulit untuk diakui atau tidaknya pembuktian
63
aparat penegak hukum dapat menentukan benar atau tidaknya telah terjadi
suatu tindak pidana perkosaan; Faktor sarana atau fasilitas, pembuatan visum
et repertum hanya bisa dilakukan di rumah sakit milik pemerintah saja
sehingga membuat korban tindak pidana perkosaan yang berad di daerah
mengalami kesulitan untuk menuju rumah sakit tersebut; Faktor masyarakat,
masyarakat kurang paham dan mengerti tentang arti visum et repertum yang
merupakan salah satu alat bukti dalam pembuktian tindak pidana perkosaan;
Faktor kebudayaan, yakni biaya pembuatan visum et repertum yang
ditanggung oleh korban, cara berpakaian korban, dan rasa malu korban.
B. Saran
Penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan oleh penulis guna untuk
mengetahui efektivitas visum et repertum dalam pembuktian tindak pidana
perkosaan tersebut, penulis memberikan saran guna untuk membuat efektivitas
visum et repertum dalam pembuktian tindak pidana perkosaan menjadi lebih baik,
yaitu:
1. Pihak penyidik dalam menangani kasus-kasus tindak pidana perkosaan
hendaknya lebih cermat dan pintar dalam mencari bukti-bukti atas kejadian
tersebut, terutama bukti-bukti yang menunjukkan adanya kekerasan atau
ancaman kekerasan yang diterima oleh korban sehingga pelaku dari tindak
pidana dapat dipidana sesuai dengan Pasal 285 KUHP. Aparat penegak
hukum juga sebaiknya lebih mengutamakan kepentingan korban perkosaan,
64
psikologis, serta dalam hal memperoleh keadilan terhadap kejahatan yang
dialaminya.
2. Korban dari tindak pidana perkosaan hendaknya segera melaporkan tindak
pidana perkosaan yang ia alami kepada pihak penyidik tanpa rasa malu.
Sebab jika cepat dilaporkan, maka hasil visum et repertum dapat efektif