• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan Ketentuan Pidana Mengenai Kebebasan Berserikat Pekerja / Buruh Dari Perspektif Uu No. 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja / Serikat Buruh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Penerapan Ketentuan Pidana Mengenai Kebebasan Berserikat Pekerja / Buruh Dari Perspektif Uu No. 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja / Serikat Buruh"

Copied!
143
0
0

Teks penuh

(1)

PENERAPAN KETENTUAN PIDANA MENGENAI KEBEBASAN BERSERIKAT PEKERJA / BURUH DARI PERSPEKTIF UU NO. 21

TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA / SERIKAT BURUH (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 2014 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan

Mahkamah Agung No. 1038 K/Pid.Sus/2009)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH:

ROLAS PUTRI FEBRIYANI

110200115

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PENERAPAN KETENTUAN PIDANA MENGENAI KEBEBASAN BERSERIKAT PEKERJA / BURUH DARI PERSPEKTIF UU NO. 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA / SERIKAT BURUH

(Studi Putusan Mahkamah Agung No. 2014 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung No. 1038 K/Pid.Sus/2009)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH:

NIM : 110200115 ROLAS PUTRI FEBRIYANI

Departemen Hukum Pidana

Mengetahui,

Ketua Departemen Hukum Pidana

NIP. 195703261986011001 Dr.M.Hamdan,S.H.,M.H.

Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,

Prof. Dr. Alvi Syahrin,S.H.,MS

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas

kasih dan penyertaanNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi

ini tepat pada waktunya. Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan

untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara, Medan. Adapun judul skripsi yang diangkat penulis adalah “Penerapan

Ketentuan Pidana Mengenai Kebebasan Berserikat Pekerja/Buruh Dari

Perspektif UU No. 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh

(Studi Putusan Mahkamah Agung No. 2014 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan

Mahkamah Agung No. 1038 K/Pid.Sus/2009)”. Skripsi ini menjelaskan

kebijakan hukum pidana yang dikeluarkan pemerintah sebagai salah satu cara

melindungi kedudukan pekerja/buruh dianggap lebih rendah dari pada pengusaha

dan untuk menanggulangi tindak pidana di bidang ketenagakerjaan di Indonesia,

menerangkan bagaimana perlindungan terhadap pekerja/buruh yang dilarang

pengusaha untuk melakukan hak asasinya yaitu membentuk serikat pekerja/buruh,

dan menjelaskan bagaimana kebijakan pemerintah menanggulangi tindak pidana

kebebasan berserikat pekerja/buruh.

Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis banyak menghadapi tantangan

dan hambatan, namun berkat motivasi, dukungan, dan doa pihak-pihak terkait,

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan maksimal, sesuai dengan

(4)

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof.Dr.Runtung Sitepu,S.H.,M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof.Dr.Budiman Ginting,S.H.,M.Hum selaku Pembantu Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Syafruddin Hasibuan,S.H.,M.H.,DFM selaku Pembantu Dekan II

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Dr.O.K.Saidin,S.H.,M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Sumater Utara;

5. Bapak Armansyah,S.H.,M.Hum selaku Dosen Pembimbing Akademik yang

banyak memberikan bimbingan dan masukan selama masa perkuliahan

penulis;

6. Bapak Dr.Hamdan,S.H.,M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

7. Ibu Liza Erwina,S.H.,M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

8. Bapak Prof.Dr.Alvi Syahrin,S.H.,M.Hum selaku Dosen Pembimbing I yang

telah membimbing, mengarahkan, dan memotivasi penulis;

9. Ibu Rafiqoh Lubis,S.H.,M.Hum selaku Dosen Pembimbing II atas kesabaran

selama proses bimbingan dan telah banyak berkorban waktu, tenaga, dan

(5)

10.Seluruh dosen yang ada di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,

khususnya dosen Departemen Hukum Pidana yang telah mengajarkan dan

memberikan ilmunya kepada penulis selama masa perkuliahan;

11.Orangtuaku tercinta, Drs. Monang Sihombing dan Madonna Novalensyah

Nadeak,S.E, terima kasih telah merawat dan membimbing penulis dengan

cinta kasih. Terima kasih untuk motivasi, nasihat, dukungan baik moril

maupun materil, dan doa yang tidak pernah terputus untuk kelancaran

perkuliahan sampai penulisan skripsi penulis;

12.Oppungtercinta, Op.Putri, terima kasih untuk doa dan motivasi yang selalu

diberikan kepada penulis;

13.Adik-adikku tercinta, Culbert Ferdinand Gabe, Joshua Benhard Christianto

Toruan, dan Suryani Putri Millenia, terima kasih untuk doa dan semangat

kalian, semoga ini menjadi motivasi supaya jauh lebih baik dari kakak,

semangat adik-adikku;

14.Bp.pudan dan Inangpudan, Amangboru dan Bou Sheren, Freddy Lumbanraja,

Kevin Lumbanraja, terima kasih untuk doa, dukungan, dan motivasi yang

senantiasa diberikan kepada penulis;

15.Seluruh keluarga besar Sihombing dan Nadeak yang telah mendukung dan

mendoakan penulis;

16.Sahabat-sahabat terkasih, Kiki Ayu Lestari Tambunan, Margaretha Siahaan,

Nesya Yulya, Agnestesia Rizky, dan Anisa Kusumawardhani, terima kasih

(6)

perkuliahan kita, terima kasih untuk dukungan dan motivasi kalian. Kalian

luar biasa, semoga sukses dan semakin hits, salam bootylicious;

17.Monica Winata, Chrissila Jessica, dan Selviana Elisa Sitanggang, sahabat

penulis dari SD sampai dengan saat ini. Terima kasih untuk dukungan dan

doa kalian, akhirnya kita berkumpul lagi, yeay! Sukses untuk kita semua;

18.Mega J.V. Hutabarat, Franciska Manalu, Elisabeth Trision, Sheren

Octaviona, dan seluruh naposo di HKBP Maranatha Rawalumbu, terima

kasih untuk dukungan kalian semua.

19.Ari Pareme Simanullang, terima kasih untuk moment-moment perjuangan

penulisan skripsi kita yang luar biasa, untuk saling mendukung dan

memotivasi, saling membantu di kala susah, dan saling menemani sampai

matahari terbit dan ayam berkokok. Sukses terus, ditunggu di Jakarta!

20.Kristy Emelia Pasaribu, Dyah Putri A.F.Simbolon, Sheila Wiyasih Elang,

Fadhel Muhammad, ‘koko’ Vincent, Isaac Sahala, Algrant Ginting, Dheo

Michael, terima kasih untuk kebersamaan yang luar biasa, dukungan dan

semangat dari kalian, hidup Gang Bang!

21.Rekan-rekan yang turut mendukung penulis, Hendra Leonardo Manurung,

Norman C. Sinaga, Togar Albertus Nainggolan, Guntur Soekarno Gultom,

Tung Asido Malau, Jhon Perdana Purba, Poltak Sijabat, Eko P. Nainggolan,

Tulus P. Nababan, Jaka Lumbanraja, Devi ‘ubi’ Sinaga, Novlyana Damanik,

Naomi Tri Yuristia, Lindi Nainggolan, Dedy Rumahorbo, dan teman-teman

(7)

22.Kakak-abang yang turut mendukung penulis dari proses perkuliahan sampai

penulisan skripsi, Kak Merty Pasaribu, Kak Sela Sinaga, Kak Defina

Simangunsong, Kak Loli, Kak Tata, Kak Desi, Kak Arimbi Sinaga, Bang

Nimrot Sihombing, Bang Oude Silalahi, Bang Hotman Aruan,Bang Jendy

Nababan, Bang Ricky Aritonang, Bang Daniel ‘cobra’, Bang Togi Sihite,

Bang Hardy Pakpahan, Bang Andre, Bang Chandra, Bang Putra, Bang Je,

Bang Paruhum Purba, Bang Jeffri, Bang Alberth Rumahorbo.

23.Harmonika 16; Devita, Rika, Kak Nuri, Kak Siska, Mega, Prima, Kak Fitri,

Tetty, Tasya, Desi, dan Mondang, terima kasih untuk dukungan kalian, untuk

suasana rumah yang pasti akan selalu dirindukan. Terima kasih sudah

menjadi rumah kedua, sukses untuk kita semua.

24.Saudara-saudaraku di Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), terima

kasih untuk persaudaraan yang saling mendukung dan memotivasi, Ut Omnes

Unum Sint.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan masih

jauh dari sempurna karena keterbatasan penulis, sehingga dengan rendah hati

penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca.

Akhir kata, semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Medan, 12 April 2015

(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... vi

ABSTRAK ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penulisan ... 8

E. Keaslian Penulisan ... 9

F. Tinjauan Kepustakaan 1. Tindak Pidana dan Unsur-unsur Tindak Pidana ... 10

2. Kebijakan Penanggulangan Kejahatan ... 19

3. Pengertian Pekerja/Buruh dan Kebebasan Berserikat Pekerja/Buruh ... 25

G. Metode Penelitian ... 29

H. Sistematika Penulisan ... 31

(9)

B. Tindak Pidana di Bidang Ketenagakerjaan dalam Peraturan

Perundang-undangan di Indonesia ... 39

B.1. Tindak Pidana di Bidang Ketenagakerjaan Menurut UU

No. 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja ... 41

B.2. Tindak Pidana di Bidang Ketenagakerjaan Menurut UU

No. 7 Tahun 1981 Tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan

Di Perusahaan ... 42

B.3. Tindak Pidana di Bidang Ketenagakerjaan Menurut UU

No. 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja

(Jamsostek) ... 44

B.4. Tindak Pidana di Bidang Ketenagakerjaan Menurut UU

No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan ... 50

B.5. Tindak Pidana di Bidang Ketenagakerjaan Menurut

UU No. 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan

Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar

Negeri ... 63

BAB III PENERAPAN KETENTUAN PIDANA MENGENAI KEBEBASAN

BERSERIKAT PEKERJA/BURUH DARI PERSPEKTIF UU NO. 21

TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH

(Studi Putusan Mahkamah Agung No. 2014 K/Pid.Sus/2012 dan

Putusan Mahkamah Agung No. 1038 K/Pid.Sus/2009)

A. Kebijakan Hukum Pidana Mengenai Kebebasan Berserikat

Pekerja/Buruh Dari Perspektif UU No. 21 Tahun 2000 Tentang

(10)

B. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Perburuhan ... 80

C. Kasus C.1. Putusan Mahkamah Agung No. 2014 K/Pid.Sus/2012 C.1.1. Kronologis ... 97

C.1.2. Dakwaan ... 102

C.1.3. Tuntutan Pidana ... 102

C.1.4. Putusan Pengadilan Negeri ... 105

C.1.5. Putusan Pengadilan Tinggi ... 107

C.1.6. Putusan Mahkamah Agung ... 110

C.2. Putusan Mahkamah Agung No. 1038 K/Pid.Sus/2009 C.2.1. Kronologis ... 110

C.2.2. Dakwaan ... 112

C.2.3. Tuntutan Pidana ... 112

C.2.4. Putusan Pengadilan Negeri ... 113

C.2.5. Putusan Pengadilan Tinggi ... 114

C.2.6. Putusan Mahkamah Agung ... 115

D. Analisis Kasus ... 115

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 123

(11)

ABSTRAKSI

Rolas Putri Febriyani1 Alvi Syahrin2 Rafiqoh Lubis3

1

Mahasiswa Fakultas Hukum USU

2

Dosen Pembimbing I, Staf Pengajar di Fakultas Hukum USU

3

Dosen Pembimbing II, Staf Pengajar di Fakultas Hukum USU

Lemahnya kedudukan pekerja/buruh dalam dunia kerja mengakibatkan timbulnya sikap sewenang-wenang para pengusaha terhadap pekerja/buruh. Salah satu cara untuk menghindari kesewenangan pengusaha maka pekerja/buruh memiliki hak asasi untuk membentuk suatu organisasi yaitu serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan tempat pekerja/buruh bekerja. Namun, tidak semua pengusaha menyetujui dibentuknya serikat pekerja/serikat buruh, pengusaha mencoba membatalkan terbentuknya serikat pekerja/serikat buruh dengan cara Pemutusan Hubungan Kerja, mutasi, membayar upah rendah, maupun melakukan intimidasi terhadap pekerja/buruh yang tergabung dalam serikat pekerja/serikat buruh. Berdasarkan pokok pemikiran diatas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yaitu bagaimana kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana di bidang ketenagakerjaan di Indonesia dan bagaimana penerapan ketentuan pidana mengenai tindak pidana kebebasan berserikat pekerja/buruh menurut UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis normatif yang menitikberatkan pada data sekunder, yaitu penelitian yang ditujukan pada peraturan-peraturan tertulis yang berlaku dan kebijakan hukum pidana yang diterapkan terhadap tindak pidana kebebasan berserikat pekerja/buruh. Analisis data yang digunakan adalah metode analisis kualitatif.

(12)

ABSTRAKSI

Rolas Putri Febriyani1 Alvi Syahrin2 Rafiqoh Lubis3

1

Mahasiswa Fakultas Hukum USU

2

Dosen Pembimbing I, Staf Pengajar di Fakultas Hukum USU

3

Dosen Pembimbing II, Staf Pengajar di Fakultas Hukum USU

Lemahnya kedudukan pekerja/buruh dalam dunia kerja mengakibatkan timbulnya sikap sewenang-wenang para pengusaha terhadap pekerja/buruh. Salah satu cara untuk menghindari kesewenangan pengusaha maka pekerja/buruh memiliki hak asasi untuk membentuk suatu organisasi yaitu serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan tempat pekerja/buruh bekerja. Namun, tidak semua pengusaha menyetujui dibentuknya serikat pekerja/serikat buruh, pengusaha mencoba membatalkan terbentuknya serikat pekerja/serikat buruh dengan cara Pemutusan Hubungan Kerja, mutasi, membayar upah rendah, maupun melakukan intimidasi terhadap pekerja/buruh yang tergabung dalam serikat pekerja/serikat buruh. Berdasarkan pokok pemikiran diatas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yaitu bagaimana kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana di bidang ketenagakerjaan di Indonesia dan bagaimana penerapan ketentuan pidana mengenai tindak pidana kebebasan berserikat pekerja/buruh menurut UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis normatif yang menitikberatkan pada data sekunder, yaitu penelitian yang ditujukan pada peraturan-peraturan tertulis yang berlaku dan kebijakan hukum pidana yang diterapkan terhadap tindak pidana kebebasan berserikat pekerja/buruh. Analisis data yang digunakan adalah metode analisis kualitatif.

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia sebagaimana hakekatnya, sebagai perorangan atau individu,

cenderung memiliki keinginan untuk berkumpul dengan individu lainnya, atau

dapat dikatakan terdapat kecenderungan untuk membentuk suatu kelompok.

Aristoteles menamakan manusia sebagai zoon politicon (makhluk sosial).

Sebagaimana makhluk sosial, manusia selalu membutuhkan kehadiran sesamanya.

Tidak ada manusia yang dapat hidup sendiri karena berkumpul dengan sesamanya

merupakan suatu kebutuhan.4

Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan

lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang5

Tenaga kerja sebagai makhluk sosial pasti memiliki keinginan untuk

berkumpul atau berkelompok atau berserikat dengan tenaga kerja yang lain.

Tenaga kerja merupakan salah satu dari empat faktor produksi dalam perusahaan , telah

menjadi landasan hukum bahwa setiap warga negara Indonesia bebas untuk

berserikat dan berkumpul. Berserikat dan berkumpul merupakan hak dasar warga

negara Indonesia sehingga negara, pemerintah, atau siapapun tidak dapat

menghilangkan hak dasar ataupun menghalang-halangi orang yang ingin

berserikat dan berkumpul.

4

Asri Wijayanti, Sinkronisasi Hukum Perburuhan terhadap Konvensi ILO-Analisis

Kebebasan Berserikat dan Penghapusan Kerja Paksa di Indonesia, Bandung: Karya Putra Darwati, 2012, hal.98

5

(14)

yang merupakan tempat terjadinya produksi. Sebagai salah satu faktor produksi,

tenaga kerja atau yang lebih dikenal dengan pekerja atau buruh, memiliki hak-hak

yang sudah selayaknya mereka terima dari perusahaan tempat mereka bekerja,

salah satunya adalah dengan berkumpul dengan sesama pekerja/buruh atau

membentuk suatu kelompok dengan pekerja/buruh.

Kelompok tenaga kerja dibentuk karena adanya persamaan status,

persamaan tempat bekerja, ataupun persamaan tujuan di antara mereka sehingga

membentuk kelompok tenaga kerja akan lebih memudahkan mereka untuk

berinteraksi dan menjadi wadah untuk bertukar informasi sesama tenaga kerja.

Pekerja/buruh sebagai Warga Negara Indonesia mempunyai persamaan

kedudukan dalam hukum, hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan

yang layak, mengeluarkan pendapat, berkumpul dalam suatu organisasi, serta

mendirikan dan menjadi anggota serikat buruh.6

Pada faktanya, masih banyak pekerja/buruh yang di abaikan hak-haknya

oleh perusahaan. Seperti kasus yang terjadi pada PT. Tolutug Marindo Pratama,

tidak menerapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) kepada karyawannya. PT.

Tolutug Marindo Pratama hanya membayar upah karyawannya Rp 1.000.000,- per

bulan, jauh dibawah UMP Provinsi Sulawesi Utara tahun 2013 sebesar Rp Pekerja/buruh wajib diberikan

perhatian dan perlindungan hukum dalam kegiatannya, hal ini disebabkan masih

lemahnya kedudukan pekerja/buruh serta untuk menghindari tidak diberikannya

hak-hak pekerja/buruh oleh para pengusaha dan menghindari perlakuan

semena-mena kepada para pekerja.

6

Zaeni Asyhadie, Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, Jakarta:

(15)

1.550.000,-7. Terdapat pula kasus penahanan ijazah yang dialami oleh mantan

karyawati PT. Phoster Mukakuning, Marlena (24 tahun), yang melaporkan ijazah

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) miliknya yang hilang ketika ditahan oleh

penyalurnya, PT. Cipta Perdana Perkasa.8Dari kasus-kasus tersebut, dapat dilihat

bahwa pekerja/buruh tidak memiliki kuasa atau kekuatan untuk melawan

pengusaha atau aturan perusahaan yang merugikan pekerja/buruh, maka negara

memiliki kewajiban untukmemperhatikan dan melindungi para pekerja/buruh dari

ketidakadilan dan kesewenangan para pengusaha. Padahal pekerja/buruh

merupakan mitra kerja pengusaha yang sangat penting dalam proses produksi

dalam rangka meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya,

menjamin kelangsungan perusahaan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Indonesia pada umumnya.9

Kehadiran organisasi pekerja dimaksudkan untuk memperjuangkan hak

dan kepentingan pekerja, sehingga tidak diperlakukan sewenang-wenang Pada dasarnya pekerja/buruh mempunyai kekuatan untuk menghilangkan

permasalahan seperti rendahnya pengupahan, buruknya kondisi pelayanan

kesehatan, keselamatan kerja dan sebagainya. Tetapi secara individual pekerja

tidak mampu untuk berjuang atas hak-haknya melawan pengusaha dalam

perusahaan tempatnya bekerja akibat pengaruh kekuasan yang lebih besar yang

dimiliki oleh pengusaha.Maka dari itu yang dibutuhkan oleh pekerja/buruh adalah

membentuk organisasi pekerja.

9

(16)

olehpihak pengusaha.10

UU No.21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh secara

spesifik mengatur mengenai kebebasan berserikat buruh/pekerja, Pasal 5

dikatakan bahwa:“Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota

serikat pekerja/serikat buruh”. Hak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh

merupakan hak asasi pekerja/buruh yang sebelumnya telah dijamin dalam Pasal

28 UUD 1945.

Terkait pada Pasal 28 dan Pasal 28E UUD 1945 mengenai

kemerdekaan dan kebebasan berkumpul dan berserikat serta melihat lemahnya

kedudukan pekerja/buruh di dunia kerja, makapada akhirnya pemerintah

mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang berfungsi melindungi hak

asasi pekerja/buruh dalam hal membentuk organisasi pekerja yang lebih sering

disebut dengan Serikat Pekerja/Serikat Buruh yaitu dengan mengeluarkan

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 131).

11

Serikat pekerja/serikat buruh merupakan hak yang melekat bagi

pekerja/buruh, mereka dapat membentuk atau masuk dalam serikat pekerja yang

ada di perusahaan tempat bekerja tanpa intervensi atau pengaruh dari pihak

manapun, seperti yang tertulis dalam UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh yaitu

serikat pekerja/serikat buruh dibentuk atas kehendak bebas pekerja/buruh tanpa

ada tekanan atau campur tangan pihak manapun.12

10

Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014,

hal. 49. 11

Zaeni Asyhadie, Op.cit, hal. 20.

Hal tersebut juga disebutkan

12

(17)

dalam Pasal 2 Konvensi ILO No. 87 Tahun 1948: “Para pekerja dan pengusaha,

tanpa perbedaan apapun, berhak untuk mendirikan dan menurut aturan organisasi

masing-masing, bergabung dengan organisasi-organisasi lain atas pilihan mereka

sendiri tanpa pengaruh pihak lain”.13Hak berserikat itu ada, untuk menjamin

jalannya dan berfungsinya organisasi buruh dalam membela anggotanya, berguna

untuk pemenuhan hak pekerja/buruh.14

TURC (Trade Union Right Center, Pusat Studi dan Advokasi Hak-hak

Serikat Buruh) pernah menangani beberapa kasus yang ditengarai sarat dengan

kepentingan untuk menyingkirkan kebebasan berserikat. Hampir sebagian besar

kasus yang ditangani TURC memiliki pola yang sama, yakni PHK (Pemutusan

Hubungan Kerja) ataupun mutasi terhadap pengurus serikat pekerja/serikat buruh.

Seperti kasus PHK PT. Bridgestone Tyre Indonesia terhadap Machmud Permana,

dkk. Machmud dan ketiga rekannya adalah pengurus serikat pekerja di perusahaan

itu. Mereka dipecat setelah mempertanyakan kenaikan upah pada tahun 2002

seperti yang tertuang dalam Perjanjian Kerja Bersama. Terdapat pula perkara

Bambang, wartawan harian Kompas yang dipecat karena dianggap melakukan

tindakan indisipliner lantaran tidak bersedia dimutasi ke Ambon. Bambang adalah

Sekretaris Perkumpulan Karyawan Kompas yang sempat mempertanyakan

dibentuk atas kehendak bebas pekerja/buruh tanpa tekanan atau campur tangan pengusaha, pemerintah, partai politik, dan pihak manapun”.

13

Konvensi ILO (International Labour Organitation) No.87 Tahun 1948 Tentang

Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi. Konvensi ini diratifikasi pada tanggal 9 Juni 1998.

14

Asri Wijayanti, Op.cit, hal. 104. Dalam hal ini yang dimaksud dengan “membela

(18)

kepemilikan saham kolektif karyawan sebesar 20 persen, serta kasus PHK

terhadap Mirisnu Viddiana, ia adalah Ketua Serikat Pegawai Bank Mandiri. Ia

dipecat karena dianggap bertanggung jawab atas aksi unjuk rasa ribuan pegawai

bank pelat merah di hari libur.15

Pengusaha yang terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak

pidana menghalangi terbentuknya serikat pekerja/serikat buruh seperti yang

tercantum pada Pasal 28 Undang-Undang No.21 Tahun 2000 tentang Serikat

Pekerja/Serikat Buruh, yaitu: “Siapapun dilarang menghalang-halangi atau

memaksa pekerja/buruh untuk membentuk, menjadi pengurus atau tidak menjadi

pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota dan/atau menjalankan atau

tidak menjalankan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh dengan cara: melakukan

pemutusan hubungan kerja, memberhentikan sementara, menurunkan jabatan,

atau melakukan mutasi; tidak membayar atau mengurangi upah pekerja/buruh; Berdasarkan kasus tersebut maka kehadiran serikat pekerja/serikat buruh

merupakan hal yang penting sebagai wadah untuk mewakili dan menyalurkan

aspirasi pekerja serta dalam memperjuangkan hak-haknya, serta untuk mencapai

persamaan di hadapan hukum dengan pengusaha dalam melakukan perundingan.

Namun faktanya, tidak semua perusahaan di Indonesia menghendaki terbentuknya

serikat pekerja/ buruh di perusahaannya, selain dikondisikan untuk tidak

mengorganisir basis massanya, dengan berbagai dalih pengusaha bisa

menjatuhkan sanksi, bahkan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK),

untuk menghilangkan aktivis serikat pekerja/buruh.

(19)

melakukan intimidasi dalam bentuk apapun; melakukan kampanye anti

pembentukan serikat pekerja/serikat buruh”, akan dikenakan sanksi pidana berupa

pidana penjara dan/atau pidana denda. Masalah penerapan ketentuan pidana inilah

yang akan menjadi fokus pembahasan dalam penulisan skripsi ini, dimana akan

dianalisis 2 kasus pelanggaran kebebasan berserikat pekerja/buruh yang dilakukan

oleh pengusaha, yang pada akhirnya Majelis Hakim menjatuhkan vonis berupa

pidana penjara dan pidana denda kepada pengusaha tersebut. Oleh karena itu

penulis tertarik untuk membahas masalah kebebasan berserikat pekerja/buruh

sehingga tulisan ini diberi judul “PENERAPAN KETENTUAN PIDANA

MENGENAI KEBEBASAN BERSERIKAT PEKERJA / BURUH DARI

PERSPEKTIF UU NO.21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA /

SERIKAT BURUH (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 2014 K/Pid.Sus/2012

dan Putusan Mahkamah Agung No. 1038 K/Pid.Sus/2009)”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka dapat

dirumuskan permasalahan dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana di bidang

ketenagakerjaan di Indonesia?

2. Bagaimanakah penerapan ketentuan pidana mengenai tindak pidana

kebebasan berserikat pekerja/buruh menurut UU No. 21 Tahun 2000 tentang

Serikat Pekerja/Serikat Buruh (Studi Putusan Mahkamah Agung No.2014

(20)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian dirumuskan secara deklaratif dan merupakan

pernyataan-pernyataan tentang apa yang hendak dicapai dari suatu penelitian.16

1. Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana di

bidang ketenagakerjaan di Indonesia. Adapun tujuan penelitian ini adalah :

2. Untuk mengetahui penerapan ketentuan pidana mengenai tindak

pidana kebebasan berserikat pekerja/buruh menurut UU No. 21 Tahun

2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

D. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat penulisan yang diharapkan dari penulisan ini adalah

sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Diharapkan skripsi ini dapat memberi manfaat bagi pengembangan ilmu

pengetahuan terkhusus ilmu hukum pidana, serta dapat menjadi bahan

bacaaan yang memberikan gambaran mengenai penerapan ketentuan

pidana terhadap tindak pidana kebebasan berserikat pekerja/buruh

menurut UU No.21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

2. Manfaat Praktis

Diharapkan skripsi ini dapat memberikan masukan kepada para penegak

hukum dalam memberantas tindak pidana kebebasan berserikat

pekerja/buruh serta memberikan informasi kepada para pengusaha,

16

(21)

masyarakat (terkhusus untuk pekerja/buruh), dan mahasiswamengenai

salah satu hak dasar pekerja/buruh yaitu bebas membentuk serikat

pekerja/serikat buruh serta mengenai penerapan ketentuan pidana

terhadap tindak pidana kebebasan berserikat pekerja/buruh.

E. Keaslian Penulisan

Karya ilmiah ini adalah asli karya penulis sendiri, setelah ditelusuri

seluruh daftar skripsi di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara dan arsip yang ada di Departemen Hukum Pidana, tidak ada yang

melakukan penelitian mengenai permasalahan yang sama. Dengan demikian,

karya ilmiah berjudul “Penerapan Ketentuan Pidana Mengenai Kebebasan

Berserikat Pekerja/Buruh Dari Perspektif UU No.21 Tahun 2000 Tentang Serikat

Pekerja/Serikat Buruh (Studi Putusan Mahkamah Agung No.2014 K/Pid.Sus/2012

dan Putusan Mahkamah Agung No.1038 K/Pid.Sus/2009” merupakan karya asli

penulis dan bukan hasil ciptaan orang lain atau hasil meniru karya ilmiah orang

lain. Karya ilmiah ini dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral maupun

ilmiah apabila dikemudian hari ditemukan adanya kesamaan judul dan

permasalahan.

F. Tinjauan Kepustakaan

(22)

Istilah tindak pidana pada hakikatnya merupakan istilah yang berasal dari

terjemahan kata strafbaarfeit dalam bahasa Belanda.17 Walaupun istilah ini

terdapat dalam WvS Belanda, dengan demikian juga WvS Hindia Belanda

(KUHP), tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan

strafbaarfeit itu.18Perkataan “feit” itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti

berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau “een gedeelte van de wekelijkheid”,

sedang “feit” berarti “dapat dihukum” hingga secara harafiah perkataan

“strafbaarfeit” itu dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan

yang dapat dihukum”.19

Strafbaarfeit, terdiri dari tiga kata, yakni straf, baar, dan feit. Dari tujuh

istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari strafbaar feit itu, ternyata straf

diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Perkataan baar diterjemahkan dengan

dapat dan boleh. Sementara itu, untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak,

peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan. Secara literlijk, kata “straf” artinya

pidana, “baar” artinya dapat atau boleh dan “feit” adalah perbuatan.20

Kata strafbaarfeit kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.

Beberapa kata yang digunakan untuk menterjemahkan kata strafbaarfeit oleh

sarjana-sarjana Indonesia antara lain: tindak pidana, delict, perbuatan pidana.21

17

Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan,

Malang: UMM Press, 2009, hal. 101 18

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grarafindo Persada, 2002,

hal.67 19

P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya

Bakti, 1997, hal.181 20

Adami Chazawi, Op.Cit., hal.69

21

Tongat, Op.Cit., hal.101

(23)

istilah untuk menunjukkan pada pengertian kata strafbaarfeit. Beberapa istilah

yang digunakan dalam undang-undang tersebut antara lain:

1. Peristiwa Pidana, istilah ini antara lain digunakan dalam Undang-Undang

Dasar Sementara (UUDS) tahun 1950 khususnya dalam Pasal 14.

2. Perbuatan Pidana, istilah ini digunakan dalam Undang-Undang Nomor1

Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara untuk menyelenggarakan

kesatuan susunan, kekuasaan, dan acara pengadilan-pengadilan sipil.

3. Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, istilah ini digunakan dalam

Undang-Undang Darurat Nomor 2 Tahun 1951 tentang Perubahan

Ordonantie Tijdelijke Byzondere Strafbepalingen.

4. Hal yang diancam dengan hukum, istilah ini digunakan dalam

Undang-Undang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 tentang Penyelesaian Perselisihan

Perburuhan.

5. Tindak Pidana, istilah ini digunakan dalam berbagai undang-undang,

misalnya Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1953 tentang

Pemilihan Umum, Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1953 tentang

Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, dan

Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1953 tentang Kewajiban Kerja Bakti

dalam rangka pemasyarakatan bagi terpidana karena melakukan tindak

pidana yang merupakan kejahatan.22

Mengenai definisi strafbaarfeit dapat dilihat beberapa pendapat para ahli,

yakni:

22

Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana,

(24)

1. VOS, delik adalah feit yang dinyatakan dapat dihukum oleh undang-undang.

2. Van Hamel, delik adalah suatu serangan atau suatu ancaman terhadap

hak-hak orang lain.

3. Simons, delik adalah suatu tindakan melanggar hukum telah dilakukan

dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh Undang-Undang telah

dinyatakan sebagai suatu perbuatan/tindakan yang dapat dihukum.23

Teguh Prasetyo, dalam bukunya berjudul Hukum Pidana, mengatakan

bahwa biasanya tindak pidana disinonimkan dengan delik, yang berasal dari

bahasa Latin yakni kata delictum. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

tercantum sebagai berikut: “Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan

hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang tindak

pidana.”24

Moeljatno yang menggunakan istilah perbuatan pidana sebagai salinan

kata strafbaarfeit mengatakan, bahwa untuk melihat apakah istilah perbuatan

pidana dapat disamakan dengan istilah strafbaarfeit perlu diketahui apa arti

strafbaarfeit itu sendiri. Menurut Simons, strafbaarfeit dapat diartikan sebagai

kelakuan yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang

berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu

bertanggung jawab. Sementaramenurut Van Hammel, strafbaarfeit adalah

kelakuan orang yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang

patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.25

23

Ibid, hal.37 24

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012,

hal.47 25

(25)

Menurut Moeljatno, perbuatan pidana hanya mencakup perbuatan saja,

sebagaimana dikatakannya bahwa, “perbuatan pidana hanya menunjuk kepada

sifatnya perbuatan saja, yaitu sifat dilarang dengan ancaman dengan pidana kalau

dilanggar”. Dari sudut pandang Moeljatno, unsur pelaku dan hal-hal yang

berkenaan dengannya seperti kesalahan dan mampu bertanggung jawab, tidak

boleh dimasukkan ke dalam definisi perbuatan pidana; melainkan merupakan

bagian dari unsur yang lain, yaitu unsur pertanggungjawaban pidana.26 Hal ini

menurut Moeljatno, berbeda dengan istilah strafbaarfeit yang selain memuat atau

mencakup pengertian perbuatan pidana sekaligus juga memuat pengertian

kesalahan. 27

1. Untuk istilah peristiwa pidana, perkataan peristiwa menggambarkan hal

yang konkret (padahal strafbaarfeit sebenarnya abstrak) yang

menunjukkan pada kejadian tertentu, misalnya matinya orang, yang tidak

penting dalam hukum pidana. Kematian itu baru penting jika peristiwa

matinya orang dihubungkan dengan atau diakibatkan oleh kelakuan orang

lain.

Moeljatno, di samping mengemukakan istilah yang tepat yakni perbuatan

pidana juga menyatakan bahwa istilah peristiwa pidana dan istilah tindak pidana

merupakan suatu istilah yang tidak tepat, dengan alasan sebagai berikut:

2. Sementara itu, pada istilah tindak pidana, perkataan “Tindak” tidak

menunjukkan pada hal abstrak seperti perbuatan, tapi sama dengan

perkataan peristiwa yang juga menyatakan keadaan konkret, seperti

26

Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Jakarta: Raja

Grafindo Indonesia, 2013, hal.58 27

(26)

kelakuan, gerak-gerik atau sikap jasmani, yang lebih dikenal dengan

tindak-tanduk, tindakan, dan bertindak.28

Terkait penggunaan berbagai istilah tersebut pada hakikatnya tidak

menjadi persoalan, sepanjang penggunaannya disesuaikan dengan konteksnya dan

dipahami maknanya.29

1. Pandangan Monistis

Berdasarkan pendapat para sarjana tersebut maka secara doctrinal, dalam

hukum pidana dikenal adanya dua pandangan tentang perbuatan pidana, yaitu

pandangan monistis dan pandangan dualistis.

Pandangan monistis adalah suatu pandangan yang melihat

keseluruhan syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat

dari perbuatan30 atau dapat disebut juga sebagai pandangan monisme,

yang tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatan dengan

unsur-unsur mengenai diri orangnya.31

Penganut monistis tidak secara tegas antara unsur tindak pidana

dengan syarat untuk dapat dipidananya pelaku. Paham monistis ini tidak

membedakan antara unsur tindak pidana dengan syarat untuk dapatnya

dipidana. Syarat dipidananya itu juga masuk dalam dan menjadi unsur

tindak pidana. Aliran ini memandang bahwa strafbaarfeit tidak dapat

dipisahkan dengan orangnya, selalu dibayangkan bahwa dalam

strafbaarfeit selalu adanya si pembuat (orangnya) yang dipidana. Oleh

28

Adami Chazawi, Op.Cit., hal.72.

29

Tongat, Op.Cit., hal.102. 30

Ibid, hal.105. 31

(27)

karena itu, unsur-unsur mengenai diri orangnya tidak dipisah dengan unsur

mengenai perbuatan. Semuanya menjadi unsur tindak pidana. Unsur tindak

pidana (pada perbuatan) dengan syarat dipidana (pada orang) tidak dipisah

sebagaimana paham dualisme.32

2. Pandangan Dualistis

Menurut pandangan dualistis dalam tindak pidana hanya dicakup

criminal act (perbuatan yang dilarang), dan criminal

responbility(pertanggungjawaban pidana/kesalahan) tidak menjadi unsur

tindak pidana. Menurut pandangan ini, untuk adanya pidana tidak cukup

hanya apabila telah terjadi tindak pidana, tetapi dipersyaratkan juga

adanya kesalahan/pertanggungjawaban pidana.33

Kemampuan bertanggung jawab melekat pada orangnya, dan tidak

pada perbuatannya, yang sebenarnya dari sudut pengertian abstrak yang

artinya memandang tindak pidana itu tanpa menghubungkannya dengan

(adanya) pembuatnya atau dapat dipidana pembuatnya. Dari pandangan

demikian, kemampuan bertanggung jawab bukanlah menjadi unsur tindak

pidana. Hal ini tampak secara jelas dengan dirumuskannya dua alasan

tentang ketidakmampuan bertanggung jawab dalam Pasal 44 KUHP34

32

Ibid, hal.76. 33

Tongat, Op.Cit., hal.106. 34

Pasal 44 KUHP: (1) Barangsiapa mengerjakan sesuatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal tidak boleh dihukum. (2) Jika nyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal maka hakim boleh memerintahkan menempatkan dia di rumah sakit gila selama-lamanya satu tahun untuk diperiksa.

(28)

untuk memidana seseorang, pelaku tindak pidana disyaratkan bahwa orang

itu harus mempunyai kemampuan pertanggungjawaban pidana.35

Terhadap kedua aliran tersebut maka akan timbul pertanyaan aliran mana

yang benar dan mana yang salah. Soedarto berpendapat, sama benarnya dan tidak

perlu dipertentangkan. Perbedaan itu ada karena didasarkan pada sudut pandang

yang berbeda.36

Setelah mengetahui definisi dan pengertian yang lebih mendalam dari

tindak pidana itu sendiri, maka di dalam tindak pidana terdapat unsur-unsur tindak

pidana. Simons menyebutkan adanya unsur objektif dan unsur subjektif dari

tindak pidana (strafbaar feit).37

Unsur-unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku

atau yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk ke dalamnya yaitu

segala sesuatu yang terkandung dalam hatinya. Sedang yang dimaksud dengan

unsur-unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan

keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku

itu harus dilakukan.38

1. Unsur Objektif

Unsur yang terdapat di luar si pelaku. Terdiri dari:

a. Sifat melanggar hukum atau melawan hukum.

b. Kualitas dari si pelaku, misalnya “Keadaan sebagai seorang pegawai

negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau

35

Adami Chazawi, Op.Cit., hal 74.

36

Ibid, hal.76. 37

Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Op.Cit., hal.39.

38

(29)

“keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan

terbatas” di dalam kejahatan menurut Pasal 396 KUHP.

c. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab

dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.39

Sedangkan unsur-unsur pokok dari unsur objektif terdiri dari:

1. Perbuatan manusia berupa:

a. Act yakni perbuatan aktif yang juga ada pakar yang menyebut

perbuatan positif.

b. Omission yakni tidak aktif berbuat. Hal ini karena tidak aktif.

Sebagian pakar menyebut dengan perbuatan negatif. Dengan

perkataan lain ialah membiarkan, mendiamkan.

2. Akibat (result) perbuatan manusia

Hal ini erat hubungan dengan cousaliteit yang akan diuraikan

kemudian. Akibat dimaksud adalah membahayakan atau

merusak/menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan

oleh hukum, misalnya: nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik/harta

benda, kehormatan, dan lain sebagainya.

3. Keadaan (the circumstences)

Pada umumnya keadaan-keadaan ini dibedakan antara:

a. Keadaan pada saat perbuatan dilakukan

b. Keadaan setelah perbuatan melawan hukum

4. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum

39

(30)

Sifat dapat dihukum ini berkenaan dengan alasan-alasan yang

membebaskan dari hukuman. Sifat melawan hukum adalah

bertentangan dengan hukum yakni berkenaan dengan larangan atau

perintah.40

2. Unsur Subjektif

Unsur yang terdapat dari dalam diri si pelaku. Terdiri dari:

a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa).

b. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti

yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP.

c. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya

di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan,

pemalsuan, dan lain-lain.

d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang

misalnya terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340

KUHP.

e. Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat dalam

rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.41

Buku II KUHP memuat rumusan-rumusan perihal tindak pidana tertentu

yang masuk dalam kelompok kejahatan, dan Buku III memuat pelanggaran. Dari

rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP itu, dapat diketahui adanya

11 unsur tindak pidana, yaitu:

a. Unsur tingkah laku;

40

Leden Marpaung, Unsur-Unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum (Delik), Jakarta:

Sinar Grafika, 1991, hal.7. 41

(31)

b. Unsur melawan hukum;

c. Unsur kesalahan;

d. Unsur akibat konstitutif;

e. Unsur keadaan yang menyertai;

f. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dianut pidana;

g. Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana;

h. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana;

i. Unsur objek hukum tindak pidana;

j. Unsur kualitas subjek hukum tindak pidana;

k. Unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana.

Dari 11 unsur itu, diantaranya dua unsur, yakni kesalahan dan melawan

hukum yang termasuk unsur subjektif, sedangkan selebihnya berupa unsur

objektif.42

2. Kebijakan Penanggulangan Kejahatan

Kebijakan penanggulangan kejahatan dalam bahasa Hoefnagels disebut

Criminal Policy. Istilah ini agaknya kurang pas kalau diterjemahkan dalam

bahasa Indonesia sebagai “kebijakan kriminal”43

Istilah “kebijakan” dalam tulisan ini diambil dari istilah “policy” (Inggris)

atau “politiek” (Belanda). Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah

“kebijakan hukum pidana” dapat pula disebut dengan istilah “politik hukum

pidana”. Dalam kepustakaan asing istilah “politik hukum pidana” ini sering

42

Adami Chazawi, Op.Cit., hal.81.

43

Mahmud Mulyadi, Criminal Policy; Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal

(32)

dikenal dengan berbagai istilah, antara lain “penal policy”, “criminal law

policy” atau “strafrechtspolitiek”.44

Politik Kriminal atau criminal policy, menurut Marc Ancel, dapat

diberikan pengertian sebagai the rational organization of the control of crime by

society. Definisi tersebut tidak berbeda dengan pandangan G. Peter Hoefnagels

yang menyatakan, criminal policy is the rational organization of the social

reaction to crime. Hal ini berarti, politik kriminal dapat dirumuskan sebagai suatu

usaha yang rasional dari masyarakat dalam penanggulangan tindak pidana.45

a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan

keadaan dan situasi pada suatu saat

Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik

hukum maupun dari politik kriminal. Menurut Sudarto, “Politik Hukum” adalah:

b. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk

menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa

digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat

dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.46

Bertolak dari pengertian demikian, Sudarto selanjutnya menyatakan,

bahwa melaksanakan “politik hukum pidana” berarti mengadakan pemilihan

untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti

memenuhi syarat keadilan dan daya guna.47

44

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Konsep

KUHP Baru, Jakarta: Kencana Media Grup, 2008, hal.22. 45

Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah, Politik Hukum Pidana; Kajian

Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hal.13. 46

Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hal.22.

47

(33)

Sudarto pernah mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal,

yaitu:

a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi

dasardari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;

b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum,

termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi; dan

c. Dalam arti paling luas (yang beliau ambil dari Jorgen Jespen), ialah

keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan

badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma

sentral dari masyarakat.48

Menurut Solly Lubis, politik hukum adalah kebijakan politik yang

menentukan peraturan hukum apa yang seharusnya berlaku mengatur berbagai hal

kehidupan bermasyarakat dan bernegara.49

Dilihat sebagai bagian dari politik hukum, maka politik hukum pidana

mengandung arti, bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan

suatu perundang-undangan pidana yang baik. Pengertian demikian terlihat pula

dalam definisi “penal policy” dari Marc Ancel yang telah dikemukakan pada

uraian pendahuluan yang secara singkat dapat dinyatakan sebagai “suatu ilmu

sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif

dirumuskan secara lebih baik”.Usaha dan kebijakan untuk membuat hukum

pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan

penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga

48

Ibid, hal.1 49

(34)

merupakan bagian dari politik kriminal. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut

politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian “kebijakan

penanggulan kejahatan dengan hukum pidana”50

Kebijakan penanggulangan kejahatan dapat dilakukan melalui dua

pendekatan, yaitu pendekatan penal (penerapan hukum pidana) dan pendekatan

nonpenal (pendekatan di luar hukum pidana).51

a. Penerapan hukum pidana (criminal law application),

Pada dasarnya penal policy lebih

menitikberatkan pada tindakan represif setelah terjadinya suatu tindak pidana,

sedangkan non-penal policy lebih menekankan pada tindakan preventif sebelum

terjadinya suatu tindak pidana.

Menurut G.P. Hoefnagels, upaya penanggulangan kejahatan dapat

ditempuh dengan :

b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment), dan

c. Memengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan

lewat mass media (influencing views of society on crime and

punishment/mass media).52

Dalam pembagian G.P. Hoefnagels di atas, upaya-upaya yang disebut

dalam butir (b) dan (c) dapat dimasukkan dalam kelompok upaya nonpenal.

Dilihat dari sudut politik kriminal, kebijakan paling strategis melalui

sarana nonpenal karena bersifat lebih preventif53

50

Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hal 23

51

Mahmud Mulyadi, Op.Cit, hal.51

52

Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hal.40

53

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam

Penanggulangan Kejahatan, Jakarta: Kencana, 2007, hal.78

, sasaran utamanya adalah

(35)

pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak

langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan. Pernyataan

diatas juga didukung oleh berbagai hasil dari Kongres PBB tentang The

Prevention of Crime and the Treatment of Offenders.54

Kondisi sosial yang ditengarai sebagai faktor penyebab timbulnya

kejahatan, seperti yang dikemukakan di atas adalah masalah-masalah yang sulit

dipecahkan bila hanya mengandalkan pendekatan penal semata. Oleh karena

itulah, pemecahan masalah di atas harus didukung oleh pendekatan non penal

berupa kebijakan sosial dan pencegahan kejahatan berbasiskan masyarakat.55

Kebijakan sosial pada dasarnya adalah kebijakan atau upaya-upaya

rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Jadi indentik dengan

kebijakan atau perencanaan pembangunan nasional yang meliputi berbagai aspek

yang cukup luas dari pembangunan. Penanganan atau kebijakan berbagai aspek

pembangunan ini sangat penting karena disinyalir dalam berbagai Kongres PBB

(mengenai The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders).56

Kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana

hukum pidana (penal policy) dikenal dengan istilah “kebijakan hukum pidana”

atau “politik hukum pidana”. Marc Ancel berpendapat, kebijakan hukum pidana

(penal policy) merupakan ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan praktis

untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan

54

Mahmud Mulyadi, Op.Cit., hal 55

55

Ibid, hal.57 56

(36)

untuk memberi pedoman kepada pembuat undang-undang, pengadilan yang

menerapkan undang-undang, dan kepada para pelaksana putusan pengadilan.57

Terhadap kaitan ini, Barda Nawawi Arief menyatakan, kebijakan untuk

membuat peraturan perundang-undangan pidana yang baik tidak dapat dipisahkan

dari tujuan penanggulangan kejahatan. Menurut Barda Nawawi Arief, kebijakan

penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana, pada hakikatnya merupakan

bagian dari kebijakan penegakan hukum (khususnya hukum pidana). Oleh karena

itu, politik hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penanggulangan

kejahatan lewat pembuatan peraturan perundang-undangan pidana yang

merupakan bagian integral dari politik sosial.58

a. Tahap formulasi atau kebijakan legislatif;

Pada hakikatnya kebijakan hukum pidana (penal policy) dapat

difungsionalisasikan dan dioperasionalisasikan melalui beberapa tahap yaitu:

b. Tahap aplikasi atau kebijakan yudikatif;

c. Tahap eksekutif atau kebijakan administratif.

Tahap formulasi atau kebijakan legislatif dapat dikatakan sebagai tahap

perencanaan dan perumusan peraturan perundang-undangan pidana. Tahap

aplikasi atau kebijakan yudikatif merupakan tahap penerapan dari ketentuan

peraturan perundang-undangan pidana yang telah dilanggar. Tahap eksekusi atau

kebijakan administratif adalah tahap pelaksanaan dari putusan pengadilan atas

perbuatan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.59

3. Pengertian Pekerja/Buruh dan Kebebasan Berserikat Pekerja/Buruh

57

Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Op.Cit, hal.18

58

Ibid, hal.19 59

(37)

Istilah buruh sangat populer dalam dunia perburuhan/ketenagakerjaan,

selain istilah ini sudah dipergunakan sejak lama bahkan mulai dari zaman

penjajahan Belanda juga karena peraturan perundang-undangan yang lama

(sebelum Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan)

menggunakan istilah buruh. Pada zaman penjajahan Belanda yang dimaksudkan

dengan buruh adalah pekerja kasar seperti kuli, tukang, mandor yang melakukan

pekerjaan kasar, orang-orang ini disebutnya sebagai “Blue Collar”.60

Setelah bangsa Indonesia merdeka tidak lagi mengenal perbedaan antara

buruh halus dan buruh kasar, semua orang yang bekerja disektor swasta baik pada

orang maupun badan hukum disebut buruh. Hal ini disebutkan dalam Pasal 1 ayat

(1a) Undang-Undang No.22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan

Perburuhan yakni buruh adalah “barangsiapa yang bekerja pada majikan dengan

menerima upah”. Dalam perkembangan hukum perburuhan di Indonesia, istilah

buruh diupayakan untuk diganti dengan istilah pekerja, sebagaimana diusulkan

pemerintah (Depnaker) pada kongres FBSI II Tahun 1985. Alasan pemerintah

karena istilah buruh kurang sesuai dengan kepribadian bangsa, buruh lebih

cenderung menunjuk pada golongan yang selalu ditekan dan berada dibawah

pihak lain yakni majikan. Karena itu lebih tepat jika menyebutkannya diganti

dengan istilah pekerja. Istilah pekerja juga sesuai dengan penjelasan Pasal 2 UUD

1945 yang menyebutkan golongan-golongan adalah badan-badan seperti

Koperasi, Serikat Pekerja dan lain-lain badan kolektif.61

60

Lalu Husni, Op.Cit, hal.45 61

(38)

Dengan diundangkannya UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

istilah pekerja digandengkan dengan istilah buruh sehingga menjadi istilah

pekerja/buruh. Menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, pekerja/buruh

adalah “Setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam

bentuk lain” (Pasal 1 angka 2).62

a. Setiap orang yang bekerja (angkatan kerja maupun bukan angkatan kerja

tetapi harus bekerja)

Dari pengertian tersebut dapat dilihat beberapa

unsur yang melekat dari istilah pekerja/buruh yaitu:

b. Menerima upah atau imbalan sebagai balas jasa atas pelaksanaan

pekerjaan tersebut.63

Perumusan yang umum, yang terdapat dalam Undang-Undang tentang

Penyelesaian Perselisihan Perburuhan tahun 1957 adalah bahwaburuh adalah

“barangsiapa bekerja pada majikan dengan menerima upah.”64

Perluasan arti kata buruh secara umum, tidak hanya terbatas pada

seseorang yang belum bekerja pada orang lain (magang, murid) atau seseorang

yang melakukan pekerjaan tetapi tidak dalam hubungan kerja (pemborong

pekerjaan) sebagai dimaksud dalam Undang-Undang Kecelakaan, tetapi juga

meliputi mereka yang karena sesuatu tidak melakukan pekerjaan (para

Menurut

Undang-Undang Kecelakaan tahun 1947 buruh ialah “Tiap orang yang bekerja pada

majikan di perusahaan yang diwajibkan memberi tunjangan, dengan menerima

upah.”

62

Zaeni Asyhadie, Op.Cit., hal.19.

63

Agusmidah, Dinamika Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Medan: USU Press, 2010,

hal.6. 64

(39)

pengangguran) atau karena usia tinggi tidak mampu lagi melakukan pekerjaan

(pensiun).65Walaupun perumusannya agak berlain-lainan, pada dasarnya memuat

unsur yang sama, yaitu seseorang yang bekerja pada orang lain atau badan dengan

menerima upah.66

Sebagai implementasi dari amanat ketentuan Pasal 28 UUD 1945 tentang

kebebasan berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun

tulisan yang ditetapkan dengan undang-undang, maka pemerintah telah

meratifikasi konvensi Organisasi Perburuhan Internasional No.98 dengan

Undang-Undang No.18 Tahun 1956 mengenai Dasar-Dasar hak Berorganisasi dan

Berunding Bersama.67

Pada rentang waktu yang cukup lama, melihat perlunya payung hukum

terhadap perlindungan hak pekerja/buruh mengenai pembentukan serikat

pekerja/serikat buruh maka pada akhirnya pemerintah berhasil menetapkan

Undang-Undang No.21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.Serikat

Pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk

pekerja/buruh, baik di perusahaan maupun diluar perusahaan, yang bersifat bebas,

terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan,

membela, serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta

meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya (Pasal 1 angka 17

65

Ibid, hal.37 66

Ibid, hal.36 67

(40)

Undang-Undang No.23 Tahun 2003, jo Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No.21

Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh).68

a. Bebas, maksudnya bahwa sebagai organisasi dalam melaksanakan hak dan

kewajibannya serikat pekerja/serikat buruh, federasi, dan konfederasi

serikat pekerja/serikat buruh tidak di bawah pengaruh dan tekanan dari

pihak lain.

Dari pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa suatu serikat

pekerja/serikat buruh harus mengandung sifat-sifat bebas, terbuka, mandiri,

demokratis, dan bertanggung jawab (Pasal 3 UU No. 21 Tahun 2000).

b. Terbuka, bahwa serikat pekerja/serikat buruh, federasi, dan konfederasi

serikat pekerja/serikat buruh dalam menerima anggota dan atau

memperjuangkan pekerja/buruh tidak membedakan aliran politik, agama,

suka bangsa, dan jenis kelamin.

c. Mandiri, bahwa dalam mendirikan, menjalankan, dan mengembangkan

organisasi ditentukan oleh kekuatan sendiri, tidak dikendalikan oleh pihak

lain di luar organisasi.

d. Demokratis, bahwa dalam pembentukan organisasi, pemilihan pengurus,

memperjuangkan, dan melaksanakan hak dan kewajiban organisasi

dilakukan sesuai dengan prinsip demokrasi.

e. Bertanggung jawab, bahwa hak dalam mencapai tujuan dan melaksanakan

kewajibannya serikat pekerja/serikat buruh, federasi, dan konfederasi

68

Zaeni Asyhadie, Op.Cit., hal.20. Pengertian serikat pekerja/serikat buruh dapat juga

(41)

serikat pekerja/serikat buurh bertanggung jawab kepada anggota,

masyarakat, dan negara.69

Undang-Undang No.21 Tahun 2000 membagi serikat pekerja/serikat buruh

itu menjadi serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan dan serikat pekerja/serikat

buruh di luar perusahaan. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang

No.21 Tahun 2000, serikat pekerja/buruh di perusahaan adalah serikat

pekerja/serikat buruh yang didirikan oleh para pekerja/buruh di satu perusahaan

atau di beberapa perusahaan. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 3

Undang-Undang No.21 Tahun 2000, serikat pekerja/serikat buruh di luar perusahaan

adalah serikat pekerja/serikat buruh yang didirikan oleh pekerja/buruh yang

bekerja di luar perusahaan.70

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum

normatif (yuridis normatif). Metode penelitian hukum jenis ini juga biasa disebut

sebagai penelitian hukum doktriner atau penelitian perpustakaan. Dinamakan

penelitian hukum doktiner dikarenakan penelitian ini hanya ditujukan pada

peraturan-peraturan tertulis sehingga penelitian ini sangat erat hubungannya pada

perpustakaan karena akan membutuhkan data-data yang bersifat sekunder pada

perpustakaan.

69

Penjelasan Pasal 3 UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

70

(42)

Penelitian hukum yuridis normatif dilakukan dengan melakukan analisis

terhadap permasalahan melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta

mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.

2. Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data

sekunder tersebut meliputi:

a. Bahan hukum primer yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat dan

diterapkan oleh pihak-pihak yang berwenang yaitu berupa peraturan

perundang-undangan seperti UU No.1 Tahun 1970 tentang Keselamatan

Kerja, UU No.7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di

Perusahaan, UU No.3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja

(Jamsostek), UU No.21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat

Buruh, UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No.39

Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja

Indonesia di Luar Negeri, Undang-Undang Dasar 1945, Konvensi ILO,

dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

b. Bahan hukum sekunder yaitu semua dokumen atau bahan yang memberi

informasi dan penjelasan mengenai bahan hukum primer, antara lain

Putusan Mahkamah Agung No. 2014 K/Pid.Sus/2012, Putusan Mahkamah

Agung No. 1038 K/Pid.Sus/2009, buku-buku, jurnal, makalah, surat kabar,

internet, dan lainnya yang berkaitan dengan masalah penelitian.

(43)

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan melakukan studi

kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang digunakan dengan cara

meneliti bahan pustaka atau literatur yang berkaitan dengan permasalahan skripsi

seperti buku-buku, artikel, makalah, dan berita yang diperoleh dari internet

dengan tujuan untuk memperoleh bahan-bahan yang berkenaan dengan tindak

pidana kebebasan berserikat pekerja/buruh.

4. Analisis Data

Secara umum terdapat 2 (dua) metode analisis data yaitu metode kualitatif

dan metode kuantitaif. Analisis data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini

adalah analisis data kualitatif yaitu apa yang diperoleh dari penelitian dipelajari

secara menyeluruh untuk mendapatkan jawaban dari permasalahan dalam skripsi

ini.

H. Sistematika Penulisan

Secara sistematis, skripsi ini terbagi menjadi 4 (empat) bab dan tiap bab

dibagi atas beberapa sub bab, yang dapat diperinci sebagai berikut:

BAB I :Bab Pendahuluan yang terdiri atas Latar Belakang, Perumusan

Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penulisan, Keaslian

Penulisan, Tinjauan Kepustakaan (yang terdiri atas 3 (tiga) sub bab

yaitu Tindak Pidana dan Unsur-Unsur Tindak Pidana, Kebijakan

Penanggulangan Kejahatan, serta Pengertian Pekerja/Buruh dan

Kebebasan Berserikat Pekerja/Buruh), Metode Penelitian, dan

(44)

BAB II :Bab ini membahas mengenai kebijakan hukum pidana terhadap

tindak pidana di bidang ketenagakerjaan. Dalam bab ini diuraikan

pula mengenai kebijakan hukum pidana sebagai salah satu upaya

penanggulangan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan serta

menginventariskan berbagai tindak pidana di bidang

ketenagakerjaan yang terdapat dalam 5 (lima) undang-undang yang

terkait ketenagakerjaan.

BAB III :Bab ini membahas mengenai penerapan ketentuan

pidanamengenai kebebasan berserikat pekerja/buruh dari perspektif

UU No.21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Bab

ini diuraikan menjadi 3 (tiga) subbab yaitu membahas mengenai

kebijakan hukum pidana mengenai kebebasan berserikat

pekerja/buruh dari perspektif UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh,

dibahas pula mengenai mekanisme penyelesaian sengketa

perburuhan,serta menganalisis 2 (dua) putusan Mahkamah Agung

mengenai kasus kebebasan berserikat pekerja/buruh.

BAB IV :Bab ini terdiri atas 2 (dua) sub bab yaitu kesimpulan dan saran.

Sub bab kesimpulan berisi mengenai kesimpulan terhadap bab-bab

yang telah dibahas sebelumnya secara keseluruhan dan sub bab

saran berisi mengenai saran yang diberikan penulis terhadap

(45)

BAB II

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA DI BIDANG KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA

A. Kebijakan Hukum Pidana Sebagai Salah Satu Upaya Penanggulangan Tindak Pidana di Bidang Ketenagakerjaan

Kejahatan atau tindak kriminil merupakan salah satu bentuk dari “perilaku

menyimpang” yang selalu ada dan melekat pada tiap bentuk masyarakat; tidak ada

masyarakat yang sepi dari kejahatan. Menurut Saparinah Sadli, perilaku

menyimpang itu merupakan suatu ancaman yang nyata atau ancaman terhadap

norma-norma sosial yang mendasari kehidupan atau keteraturan sosial; dapat

menimbulkan ketegangan individu maupun ketegangan-ketegangan sosial, dan

merupakan ancaman riil atau potensiil bagi berlangsungnya ketertiban sosial.

Terhadap masalah kemanusiaan dan masalah kemasyarakatan yang tertua ini telah

banyak usaha-usaha penanggulangan yang dilakukan dalam berbagai cara. Salah

satu usaha pencegahan dan pengendalian kejahatan itu ialah menggunakan hukum

pidana dengan sanksinya yang berupa pidana.71

Agusmidah berpendapat bahwa politik hukum yang dimaksud meliputi

dua dimensi yaitu yang pertama, politik hukum diartikan sebagai alasan dasar dari

diadakannya suatu peraturan perundang-undangan, disebut juga sebagai

‘kebijakan dasar’ (basic policy), yang kedua, politik hukum diartikan

71

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: PT.

(46)

sebagaitujuan atau alasan yang muncul dibalik pemberlakuan suatu peraturan

perundang-undangan, disebut juga ‘kebijakan pemberlakuan’ (enacment policy).72

Kebijakan dasar dalam Hukum Ketenagakerjaan adalah melindungi pihak

yang lemah, dalam hal ini pekerja/buruh, dari kesewenang-wenangan

majikan/pengusaha yang dapat timbul dalam hubungan kerja dengan tujuan

memberikan perlindungan hukum dan mewujudkan keadilan sosial. Timbulnya

hukum ketenagakerjaan dikarenakan adanya ketidaksetaraan posisi tawar yang

terdapat dalam hubungan ketenagakerjaan (antara pekerja/buruh dengan

pengusaha/majikan), dengan alasan itu pula dapat dilihat tujuan utama hukum

ketenagakerjaan adalah agar dapat meniadakan ketimpangan hubungan diantara

keduanya. Untuk mencapai tujuan hukum pada umumnya, yaitu keadilan,

kemanfaatan, dan kepastian hukum, maka diperlukan proses pembentukan dan

pelaksanaan hukum agar sesuai dengan tujuan tersebut, untuk itu diperlukan

politik hukum. Dalam hal ini politik hukum sebagai kebijakan dasar juga

dimaksudkan sebagai sarana dalam rangka mewujudkan pembinaan hukum

nasional. Akan tetapi, menurut Sunaryati Hartono, hukum bukan merupakan suatu

tujuan melainkan hanya merupakan jembatan yang akan membawa kepada ide

yang dicita-citakan, ide yang di cita-citakan itu tidak lain merupakan tujuan

hukum itu sendiri yaitu keadilan, kemanfaatan, dn kepastian hukum. Dalam usaha

untuk mewujudkan pembinaan hukum nasional, politik hukum menentukan

hukum yang seharusnya berlaku mengatur berbagai hal kehidupan dengan

72

Agusmidah, Dilematika Hukum Ketenagakerjaan Tinjauan Politik Hukum, Jakarta: PT.

(47)

kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yang sering diistilahkan dengan

kebijakan hukum (legal policy).73

Pemerintah (negara) harus mampu memposisikan dirinya sebagai regulator

yang bijak melalui saran pembentukan dan pelaksanaan Hukum Ketenagakerjaan,

dikarenakan hukum ketenagakerjaan akan menjadi sarana untuk menjalankan

kebijakan pemerintah di bidang ketenagakerjaan itu sendiri.74

Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana, sebagai salah satu

upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan

penegakan hukum. Di samping itu, karena tujuannya adalah untuk mencapai

kesejahteraan masyarakat pada umumnya, maka kebijakan penegakan hukum itu

pun termasuk dalam bidang kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional

untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.75

Marc Ancel pernah mengatakan, bahwa “modern criminal science” terdiri

dari tiga komponen “Criminology”, “Criminal Law” dan “Penal Policy”.

Dikemukakan olehnya, bahwa “Penal Policy” adalah suatu ilmu sekaligus seni

yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan

hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak

hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang

menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana

putusan pengadilan.76

73

Ibid, hal.2-3. Pendapat Sunaryati Hartono juga dapat dilihat dalam bukunya Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, hal.1.

74

Ibid, hal.12 75

Ibid.

76

Barda Nawawi Arief, Op.Cit. hal. 19

Perhatian kriminologi terhadap masalah kebijakan

(48)

kongres-kongres internasional mengenai kriminologi (International Congress on

Criminology)77

Penggunaan sarana penal (hukum pidana) dalam kebijakan kriminal

memiliki dua masalah sentral yaitu perbuatan apa yang sebenarnya dijadikan

tindak pidana dan sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si

pelanggar. Masalah sentral yang pertama sering disebut dengan kriminalisasi.

Menurut Soerjono Soekanto, kriminalisasi merupakan tindakan atau penetapan

penguasa mengenai perbuatan-perbuatan tertentu yang oleh masyarakat atau

golongan-golongan masyarakat dianggap sebagai perbuatan yang dapat dipidana

menjadi perbuatan pidana atau membuat suatu perbuatan menjadi perbuatan

kriminal dan karena itu dapat dipidana oleh pemerintah dengan cara kerja atas

namanya.78

Sudarto berpendapat bahwa dalam menghadapi ma

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini terbatas pada variabel yang digunakan yaitu hanya profitabilitas, ukuran perusahaan, kompleksitas operasi perusahaan dan reputasi KAP

Suaka Margasatwa Lamandau (Kabupaten Kotawaringin Barat dan Kabupaten.. Bengkayang), Taman Nasional Gunung Palung (Kabupaten Kayong Utara dan Kabupaten.. Ketapang), Taman

Selanjutnya untuk memberikan gambaran arah dan sasaran yang jelas serta sebagaimana pedoman dan tolok ukur kinerja Pengadilan Negeri Yogyakarta diselaraskan dengan arah

Sehingga untuk menyelesaikan model tersebut harus menggunakan metode numerik yaitu metode Runge-Kutta-Fehlberg (RKF45), dikarenakan model tersebut berupa sistem

Hasil penelitian tentang produk KPR Muamalat iB Pembelian yang dilakukan di Bank Muamalat Indonesia (BMI) Cabang Pembantu Salatiga diantaranya: 1) Syarat pembiayaan di BMI yaitu

Lupiyoadi (2001:134) mendefinisikan Pelanggan adalah seorang individu yang secara continue dan berulang kali datang ke tempat yang sama untuk

Data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data yang berhubungan dengan variabel independen yaitu modal usaha, pengalaman berwirausaha, dan inovasi produk

Penelitian korelasional merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara dua variabel atau beberapa variabel.. Penelitian tidak menuntut