• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sanksi pidana sangatlah diperlukan, tidak dapat hidup sekarang maupun di masa yang akan datang tanpa pidana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Sanksi pidana sangatlah diperlukan, tidak dapat hidup sekarang maupun di masa yang akan datang tanpa pidana"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemberian sanksi pidana selalu direalisasikan dengan membina di Lembaga Pemasyarakatan. Ada anggapan yang menyatakan bahwa pelanggar hukum hanya dapat dibina jika diasingkan dari lingkungan sosial, serta pelanggar hukum dinyatakan sebagai individu yang telah rusak dalam segala-galanya sehingga tidak akan dapat diharapkan untuk bersikap ramah terhadap lingkungan sosialnya. Adanya pemahaman seperti itu merupakan suatu pembalasan yang dilegalisir oleh kenyataan dan kehendak masyarakat itu sendiri (stigma).1

Herbert L. Packer dalam bukunya The Limits of The Criminal Sanction

yang dikutip Barda Nawawi Arief membicarakan masalah sanksi pidana dalam penanggulangan kejahatan, menyebutkan bahwa:

1. Sanksi pidana sangatlah diperlukan, tidak dapat hidup sekarang maupun di masa yang akan datang tanpa pidana;

2. Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang sudah ada, yang dimiliki untuk menghadapi bahaya-bahaya besar dan bersifat segera; Sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama atau terbaik dan suatu ketika merupakan pengancam yang utama dari kebebasan manusia itu sendiri. Ia merupakan penjamin apabla dipergunakan secara hemat, cermat dan

1

(2)

secara manusiawi. Ia merupakan pengancam apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa.2

Sedangkan menurut Muladi, bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan individual dan sosial yang diakibatkan oleh tindak pidana. Hal ini terdiri atas seperangkat tujuan pemidanaan yang harus dipenuhi dengan tujuan yang merupakan titik berat harus bersifat kasuistis. Perangkat tujuan pemidanaan yang dimaksud terdiri atas:3

1. Pencegahan (umum dan khusus); 2. Perlindungan masyarakat;

3. Memelihara solidaritas masyarakat; 4. Pengimbalan/perimbangan.

Pengaruh langsung dari penjatuhan pidana itu jelas terhadap orang yang dikenai pidana. Tetapi pidana itu belum dirasakan sungguh-sungguh olehnya kalau sudah dilaksanakan secara efektif. Dengan pemidanaan di sini dikehendaki agar terpidana tidak melakukan tindak pidana lagi. Oleh karena itu, penjatuhan pidana menjadi alternatif dalam rangka mencegah perbuatan melanggar hukum, baik oleh individu maupun kelompok. Pemenjaraan dalam bentuk pengisolasian diri dalam tembok penjara, ternyata mengalami perubahan seiring dengan kemajuan peradaban suatu bangsa. Penghargaan terhadap citra manusia menjadi dasar utama memperlakukan si terpidana lebih manusiawi. Sehubungan dengan itu, pemberian sanksi pidana dengan membina narapidana di Lembaga

2

Barda Nawawi Arief, Kebijaksanaan Sanksi Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Makalah, (Semarang: Universitas Diponegoro, 1989), hal. 23.

3

(3)

Pemasyarakatan di Indonesia mengalami perubahan yang cukup berarti, khususnya tentang metode perlakuan terhadap narapidana itu sendiri.

Pemikiran mengenai fungsi pemidanaan menurut Indonesia yang menganut ideologi Pancasila tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang telah ditetapkan dengan suatu sistem perlakuan terhadap para pelanggar hukum di Indonesia yang dinamakan dengan sistem pemasyarakatan. Istilah pemasyarakatan untuk pertama kali disampaikan oleh Almarhum Bapak Sahardjo (Menteri Kehakiman pada saat itu) pada tanggal 5 Juli 1963 dalam pidato penganugerahan gelar Doctor Honoris Causa oleh Universitas Indonesia. Pemasyarakatan oleh beliau dinyatakan sebagai tujuan dari pidana penjara.4

Plato menyatakan bahwa tidak ada yang bisa mengubah nasib manusia kecuali dirinya sendiri.Dengan adanya suatu perubahan memungkinkan manusia mengenal dirinya sendiri. Proses pengenalan diri sendiri memerlukan tahap motivasi berupa tahap kelanjutan dari introspeksi. Dalam hal pemasyarakatan, Warga Binaan Pemasyarakatan diberikan motivasi untuk dirinya sendiri sehingga dapat memandang positif setiap kejadian. Dengan adanya motivasi diri yang berlangsung terus-menerus, maka akan menimbulkan suatu proses pengembangan diri dengan tahapan self development.5

Dengan adanya Undang Undang Pemasyarakatan ini maka makin kokoh usaha-usaha untuk mewujudkan visi sistem pemasyarakatan, sebagai tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara Pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali

4

Satu tahun kemudian, pada tanggal 27 April 1964 dalam Konferensi Jawatan Kepenjaraan yang dilaksanakan di Lembang Bandung, istilah pemasyarakatan dibakukan sebagai pengganti kepenjaraan. Pemasyarakatan dalam konferensi ini dinyatakan sebagai suatu system pembinaan terhadap para pelanggar hukum dan sebagai suatu pengejawantahan keadilan yang bertujuan untuk mencapai reintegrasi sosial atau pulihnya kesatuan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan Warga Binaan Pemasyarakatan di dalam masyarakat. Dalam perkembangan selanjutnya, pelaksanaan sistem pemasyarakatan semakin mantap dengan diundangkannya Undang Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

5

(4)

oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggungjawab.6 Pembinaan diatur secara khusus dari Pasal 5 sampai dengan Pasal 9 Undang Nomor 12 Tahun 1995. Jika dilihat Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan mengatur tentang pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan dilakukan di BAPAS. Selanjutnya dipertegas dengan Pasal 7ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 yang menyatakan bahwa pembinaan dan pembimbing Warga Binaan Pemasyarakatan diselenggarakan oleh Menteri dan dilaksanakan oleh petugas pemasyarakatan.7

Lembaga Pemasyarakatan sebagai ujung tombak pelaksanaan atas pengayoman merupakan tempat untuk mencapai tujuan tersebut di atas, melalui pendidikan, rehabilitasi dan reintegrasi. Sejalan dengan peran Lembaga Pemasyarakatan tersebut, maka tepatlah apabila Petugas Pemasyarakatan yang melaksanakan tugas pembinaan dan pengamanan Warga Binaan Pemasyarakatan dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan tersebut sebagai Pejabat Fungsional Penegak Hukum dan hal ini sesuai dengan Pasal 8 UUP yang menyatakan bahwa, .petugas pemasyarakatan adalah pejabat

6

Sahardjo yang dikenal sebagai tokoh pembaharu dalam dunia kepenjaraan, telah mengemukakan ide pemasyarakatan bagi terpidana. Alasannya: 1). Tiap orang adalah makhluk kemasyarakatan; 2) tidak ada orang yang hidup di luar masyarakat; 3) kemudian narapidana hanya dijatuhi hukuman kehilangan kemerdekaan bergerak. Jadi perlu diusahakan supaya tetap dapat mempunyai mata pencaharian.

7

(5)

fungsional penegak hukum yang melaksanakan tugas di bidang pembinaan, pembimbingan, dan pengamanan warga binaan.

Sistem Pemasyarakatan di samping bertujuan untuk mengembalikan Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai warga yang baik, juga bertujuan untuk melindungi masyarakat terhadap kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh Warga Binaan Pemasyarakatan, serta merupakan penerapan dan bagian yang tidak terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.8

Pelaksanakan sistem pemasyarakatan tersebut, diperlukan juga partisipasi atau keikutsertaan masyarakat, baik dengan mengadakan kerjasama dalam pembinaan maupun dengan sikap bersedia menerima kembali Warga Binaan Pemasyarakatan yang telah selesai menjalani pidananya.9

Namun demikian, setelah dirubahnya Sistem Kepenjaraan menjadi Sistem Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan ada hal-hal yang dapat dilihat sebagai suatu permasalahan yang bersifat umum apabila dilihat dari visi dan misi serta tujuan dari pemasyarakatan tersebut sebagai tempat pembinaan Narapidana dan agar keberadaan Narapidana tersebut dapat diterima kembali oleh masyarakat sewaktu bebas.

Lembaga Permasyarakatan merupakan salah satu komponen dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia yang bertugas melaksanakan pembinaan terhadap narapidana. Sistem Peradilan Pidana merupakan suatu sistem penegakan hukum sebagai upaya penanggulangan kejahatan. Sistem Peradilan Pidana terdiri dari 4

8

Adi Sujatno, Sistem Pemasyarakatan Indonesia Membangun Manusia Mandiri (Jakarta: Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan HAM RI, 2004), hal. 21.

9

(6)

komponen (sub sistem), yaitu sub sistem kepolisian, sub sistem kejaksaan, sub sistem pengadilan dan sub sistem lembaga pemasyarakatan.

Sistem Peradilan Pidana terbagi manjadi 3 tahap yaitu tahap sebelum sidang pengadilan (pra adjudikasi), tahap sidang pengadilan (adjudikasi), dan tahap setelah pengadilan (post adjudikasi). Dalam mekanisme Sistem Peradilan Pidana mensyaratkan adanya kerjasama antar sub sistem agar Sistem Peradilan Pidana dapat berjalan dengan baik. Keempat sub sistem dalam Sistem Peradilan Pidana mempunyai tugas yang berbeda-beda namun keempat sub sistem tersebut mempunyai tujuan yang sama dan mempunyai hubungan yang sangat erat. Apabila salah satu sub sistem ada yang tidak menjalankan tugas sebagaimana mestinya dapat mempengaruhi sistem secara keseluruhan.

Lembaga Permasyarakatan sebagai sub sistem yang paling akhir yang langsung berhadapan dengan narapidana untuk melaksanakan pembinaan, mempunyai posisi yang strategis dalam mewujudkan tujuan akhir dari Sistem Peradilan Pidana. Lembaga Permasyarakatan diharapkan mampu merealisasikan tujuan akhir Sistem Peradilan Pidana yaitu mencegah timbulnya kejahatan.

B. Permasalahan

Permasalahan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah peran lembaga pemasyarakatan dalam sistem peradilan pidana?

(7)

3. Bagaimanakah hambatan lembaga pemasyarakatan dalam mencapai tujuan sistem peradilan pidana?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan

a. Untuk mengetahui peran lembaga pemasyarakatan dalam sistem peradilan pidana

b. Untuk mengetahui hubungan lembaga pemasyarakatan di dalam sistem peradilan pidana

c. Untuk mengetahui hambatan lembaga pemasyarakatan dalam mencapai tujuan sistem peradilan pidana

2. Manfaat

a. Secara teoritis, diharapkan menjadi bahan masukan untuk perkembangan ilmu hukum pidana, khususnya mengenai bagaimana melaksanakan sistem pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan. b. Secara praktis

1) Masukan bagi pihak Lembaga Pemasyarakatan untuk mengevaluasi pelaksanaan sistem pemasyarakatan Lembaga Pemasyarakatan sesuai dengan berpedoman Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995.

(8)

faktor yang mendukung dalam mencapai keberhasilan sistem pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Binjai.

3) Masukan bagi Lembaga Pemasyarakatan dan instansi terkait untuk dapat mencari upaya penyelesaian dalam menghadapi kendala dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan.

D. Keaslian Penulisan

Penelitian mengenai “Kedudukan Lembaga Permasyarakatan (LP) Sebagai Sub Sistem Peradilan Pidana (SPP)” ini belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan-permasalahan yang sama. Dengan demikian penelitian ini merupakan penelitian yang baru dan asli sesuai dengan asas-asas keilmuan, yaitu jujur, rasional, objektif dan terbuka untuk kritikan-kritikan yang sifatnya membangun dengan topik dan permasalahan dalam penelitian ini. Semua ini merupakan implikasi pengetahuan dalam bentuk tulisan yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.

E. Tinjauan Kepustakaan

(9)

pembinaan. Didalam perjalanannya, bentuk pembinaan yang diterapkan bagi narapidana yang meliputi:10

1. Pembinaan berupa interaksi langsung sifatnya kekeluargaan antara pembina dan yang dibina;

2. Pembinaan yang bersifat persuasif, yaitu berusaha merubah tingkah laku melalui keteladanan;

3. Pembinaan berencana, terus-menerus dan sistematis;

4. Pembinaan kepribadian yang meliputi kesadaran beragama, barbangsa dan bernegara, intelektual, kecerdasan, kesadaran hukum, keterampilan, mental spiritual.

Pelaksanaan pidana penjara dengan menonjolkan aspek pembinaan di dalam lembaga, hingga saat ini mengalami hambatan. Hal ini antara lain disebabkan keterbatasan sarana fisik berupa bangunan penjara dan peralatan bengkel kerja yang masih memakai peninggalan kolonial Belanda; sarana personalia yaitu tenaga ahli yang profesional di bidang ilmu keperilakuan; sarana administrasi dan keuangan berupa terbatasnya dana peraturan dan perundang-undangan yang masih memakai reglemen penjara (Gestichten Reglemen 1917 No.708).11

Keterbatasan sarana dapat merupakan salah satu penghambat pembinaan narapidana seperti yang diharapkan. Oleh karenanya, sulit untuk menghasilkan pembinaan yang efektif, efisien serta berhasil guna. Hal ini cukup beralasan,

10

Departemen Kehakiman, Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan, 1990 11

(10)

mengingat tujuan sistem pemasyarakatan itu sangat ideal, sedangkan sarananya sangat terbatas. Akibatnya, setiap petugas akan mengalami kejenuhan dan berkhayal mengenai cita-cita pemasyarakatan. Masalah pembinaan terhadap narapidana tidak terlepas dengan pembicaraan masalah pidana, pemidanaan. Dalam pidana hal yang tidak kalah penting adalah berkaitan dengan masalah mengapa manusia melakukan perbuatan melanggar hukum. Dalam arti sebab-sebab timbulnya kejahatan dan apa perlunya sanksi hukum pidana diterapkan.

Menurut peneliti sampai saat ini meskipun perubahan dalam arti sifat, bentuk dan tujuan pidana, pidana tetap dianggap sebagai satu-satunya jawaban akhir dalam memberantas kejahatan, padahal pandangan ini tidaklah benar karena persoalannya bukan saja pengaruh pidana yang menakutkan atau membentuk penegak hukum yang profesional akan tetapi ada hal lain yang penting diperhatikan adalah adanya faktor motif timbulnya pelanggar-pelanggar hukum.12

J.E. Sahetapy dalam disertasinya, mengemukakan bahwa pemidanaan bertujuan “pembebasan” pidana harus dapat membebaskan si pelaku dari cara atau jalan yang keliru yang telah ditempuhnya. Maka membebaskan tidak identik dengan pengertian rehabilitasi atau reformasi. Makna membebaskan menghendaki agar si pelaku bukan saja harus dibebaskan dari alam pikiran yang jahat yang keliru, melainkan ia harus pula dibebaskan dari kenyataan sosial dimana ia terbelenggu.13

12

Oleh karena itu sampai saat ini belum dapat diberikan jawaban yang memuaskan mengapa orang melakukan kejahatan tertentu dan mengapa masih ada orang melakukan kejahatan yang sama setelah pelakunya dipidana mati.

13

(11)

Menurut Sahetapy tidak dapat disangkal bahwa dalam pengertian pidana tersimpul unsur-unsur penderitaan, tetapi penderitaan dalam tujuan membebaskan bukanlah semata-mata untuk penderitaan agar si pelaku menjadi takut atau merasa menderita akibat suatu pembalasan dendam melainkan derita itu harus dilihat sebagai obat atau sebagai kunci jalan keluar yang membebaskan dan yang memberikan kemungkinan bertobat dengan penuh keyakinan.14

Peter Hoefnagels mengemukakan tujuan pidana adalah untuk penyelesaian konflik (conflict resolution), mempengaruhi para pelanggar dan orang-orang lain ke arah perbuatan yang kurang lebih sesuai dengan hukum (influencing offenders and possibly other than offenders toward more or less law-conforming

behavior).15

Rijksen, membedakan antara dasar hukum dari pidana dan tujuan pidana. Dasar hukum dari pidana terletak pada pembalasan terhadap kesalahan yakni dari pembalasan itu terletak pembenaran dari wewenang pemerintah untuk memidana

(strafbevoegdheid van de overheid). Apakah penguasa juga akan menggunakan wewenang itu tergantung dari tujuan yang dikehendaki. Tujuan itu merupakan penegakan wibawa, penegakan norma, menakut-nakuti, mendamaikan, mempengaruhi tingkah laku dan menyelesaikan konflik.16

Selanjutnya Roeslan Saleh berpendapat bahwa pada hakekatnya ada dua poros yang menentukan garis hukum pidana yaitu; pertama dari segi prevensi yaitu bahwa hukum pidana adalah hukum sanksi, suatu upaya untuk dapat

14

Ibid, hal. 280. 15

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1998),hal. 21.

16

(12)

mempertahankan kelestarian hidup bersama dengan melakukan pencegahan kejahatan dan kedua dari segi pembalasan yaitu bahwa hukum pidana sekaligus merupakan pula penentuan hukum, merupakan koreksi dari dan reaksi atas sesuatu yang bersifat tidak hukum sehingga dapat dikatakan bahwa pidana adalah selaku merupakan perlindungan terhadap masyarakat dan pembalasan atas perbuatan tidak hukum.17

Memahami fungsi Lembaga Pemasyarakatan yang dilontarkan Sahardjo, sejak itu dipakai sistem pemasyarakatan sebagai metode dan pemasyarakatan sebagai proses. Dengan dipakainya sistem pemasyarakatan sebagai metode pembinaan narapidana, jelas terjadi perubahan fungsi Lembaga Pemasyarakatan yang tadinya sebagai tempat pembalasan berganti sebagai tempat pembinaan. Di dalam perjalanannya, bentuk pembinaan yang diterapkan bagi narapidana yang meliputi:18

1. Pembinaan berupa interaksi langsung sifatnya kekeluargaan antara pembina dan yang dibina;

2. Pembinaan yang bersifat persuasif, yaitu berusaha merubah tingkah laku melalui keteladanan;

3. Pembinaan berencana, terus-menerus dan sistematis;

4. Pembinaan kepribadian yang meliputi kesadaran beragama, barbangsa dan bernegara, intelektual, kecerdasan, kesadaran hukum, keterampilan, mental spiritual.

17

Disamping mengandung hal-hal lain yaitu bahwa pidana diharapkan sebagai sesuatu yang akan membawa kerukunan dan pidana adalah suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat diterima kembali dalam masyarakat.

18

(13)

Keterbatasan sarana dapat merupakan salah satu penghambat pembinaan narapidana seperti yang diharapkan. Oleh karenanya, sulit untuk menghasilkan pembinaan yang efektif, efisien serta berhasil guna. Hal ini cukup beralasan, mengingat tujuan sistem pemasyarakatan itu sangat ideal, sedangkan sarananya sangat terbatas. Akibatnya, setiap petugas akan mengalami kejenuhan mengenai cita-cita pemasyarakatan.

Richard D. Schwartz dan Jerome H. Skolnick, menyatakan sanksi pidana dimaksudkan untuk a) mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana (to prevent recidivism); b) mencegah orang lain melakukan perbuatan yang sama similar acts); c) menyediakan saluran untuk mewujudkan motif-motif balas (to provide a channel for the expression of realiatory motives).19

Selanjutnya Emile Durkheim mengatakan mengenai fungsi dari pidana adalah untuk menciptakan kemungkinan bagi pelepasan emosi-emosi yang ditimbulkan atau diguncangkan oleh adanya kejahatan (the function of punishment is to create a possibility for the release of emotion that are aroused by the time).20

Roger Hood berpendapat bahwa sasaran pidana disamping untuk mencegah terpidana atau pembuat potensial melakukan tindak pidana juga untuk, pertama memperkuat kembali nilai-nilai sosial (reinforcing social values), kedua menentramkan rasa takut masyarakat terhadap kejahatan (allaying public fear of crime).21

Ahli di bidang kepenjaraan (penolog) mengakui bahwa ada 3 (tiga) elemen pokok apabila tujuan pemasyarakatan tercapai, yaitu: 1) petugas; 2) narapidana;

19

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. cit, hal. 20. 20

Ibid, hal. 19. 21

(14)

dan 3) masyarakat. Dipertimbangkannya unsur masyarakat adalah sesuatu yang rasional dan tepat mengingat beberapa hal bahwa narapidana adalah anggota masyarakat yang telah melanggar hukum, serta narapidana juga nantinya setelah lepas menjalani hukuman kembali ke masyarakat.22

Sistem pemasyarakatan sebagai petunjuk arah pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan belum mencapai hasil yang memadai, dengan beberapa indikator:23

1. Narapidana yang melarikan diri dari Lembaga Pemasyarakatan. 2. Pelanggaran hak-hak narapidana.

3. Penolakan bekas narapidana oleh masyarakat.

4. Keterbatasan sarana maupun prasarana dalam mendukung pembinaan.

F. Metode Penelitian

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analistis, artinya bahwa penelitian ini termasuk lingkup penelitian yang menggambarkan, menelaah dan menjelaskan secara tepat serta menganalisa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kedudukan lembaga pemasyarakatan sebagai subsistem peradilan pidana.

Metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan

22

Hal ini berarti bahwa pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan dirasakan tidak mencukupi karena pembinaan hanya sebatas masa hukuman.

23

(15)

logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.24 Logika keilmuan yang juga dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri.

Dengan demikian penelitian ini meliputi penelitian terhadap sumber-sumber hukum, peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, dokumen-dokumen terkait dan beberapa buku tentang kedudukan lembaga pemasyarakatan sebagai subsistem peradilan pidana.

2. Sumber Data

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer adalah dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang.25 Dalam penelitian ini bahan hukum primer diperoleh melalui Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan, dan peraturan lain yang terkait.

b. Bahan Hukum Sekunder

Yaitu semua dokumen yang merupakan informasi, atau kajian yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu seminar-seminar, jurnal-jurnal hukum, majalah-majalah, koran-koran, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari internet.

24

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: UMM Press, 2007), hal. 57.

25

(16)

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun media elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan perundang-undangan.

4. Analisis Data

Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan, sedangkan metode induktif dilakukan dengan menerjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan topik skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan.

G. Sistematika Penulisan

BAB I: Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain

memuat Latar Belakang, Pokok Permasalahan, Tujuan dan

Manfaat Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode

Penelitian dan Sistematika Penulisan.

BAB II : Bab ini akan membahas peran lembaga pemasyarakatan dalam

(17)

peradilan pidana, fungsi dan tujuan sistem peradilan pidana, model

dan sistem peradilan pidana dan peranan lembaga pemasyarakatan

dalam sistem peradilan pidana.

BAB III: Bab ini akan membahas tentang hubungan lembaga

pemasyarakatan di dalam sistem peradilan pidana, yang mengulas

tentang lembaga pemasyarakatan, kedudukan lembaga

pemasyarakatan, dan hubungan lembaga pemasyarakatan di dalam

sistem peradilan pidana.

BAB IV: Bab ini akan dibahas tentang hambatan lembaga pemasyarakatan dalam mencapai tujuan sistem peradilan pidana, yang membahas dan menganalisa hubungan internal lembaga pemasyarakatan dengan sistem peradilan pidana dan hubungan eksternal lembaga pemasyarakatan dengan sistem peradilan pidana.

Referensi

Dokumen terkait

Aset diklasifikasikan menjadi Aset Lancar, Investasi, Aset Tetap, Piutang Jangka Panjang dan Aset Lainnya.. Catatan atas Laporan Keuangan | Penjelasan Pos-pos

Ulama Ḥanafiah berpendapat kadar nisab pencurian adalah satu dinar atau sepuluh dirham dan tidak boleh kurang dari itu.Dalam pandangan teori maṣlaḥah terhadap

Model hubungan Kiai-santri di Pesantren Daarul Fikri ada dua tipe: (1) pola hubungan guru dan murid adalah hubungan yang terjalin antara Kiai dan santri sebagaimana layaknya

penelitian ini, multiple regression analysis digunakan untuk menentukan determinan mana yang berkontribusi dalam pembentukan intensi menerapkan pola makan sehat pada mahasiswa kos

Metode penanganan kerusakan ruas jalan menuju akses wisata Pantai Tanjung Papuma yang dilakukan untuk memperbaiki tingkat layanan jalan menurut Bina Marga adalah

Untuk mendapatkan karakteristik shadowing yang terjadi pada kanal radio, nilai pathloss dari data hasil pengukuran yang telah dihasilkan sebelumnya dikurangi

Mengingat karakteristik berat badan yang labil, maka penggunaan indeks BB/U lebih menggambarkan status seseorang saat ini (current nutritional status) (Supariasa dkk, 2001).

Sementara dari uji Chi square yang menghubung- kan antara jenis kelamin, umur, pendidikan, pekerjaan, lama menderita DM, riwayat pengobatan DM, riwayat kontak TB riwayat merokok