• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penguatan Kelembagaan Lokal Pengelolaan Sumber Daya Alam Sumber Penghidupan Suku Mentawai Di Cagar Biosfer Pulau Siberut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penguatan Kelembagaan Lokal Pengelolaan Sumber Daya Alam Sumber Penghidupan Suku Mentawai Di Cagar Biosfer Pulau Siberut"

Copied!
177
0
0

Teks penuh

(1)

i

PENGUATAN KELEMBAGAAN LOKAL

PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

SUMBER PENGHIDUPAN SUKU MENTAWAI

DI CAGAR BIOSFER PULAU SIBERUT

FIFIN NOPIANSYAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

iii

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Penguatan Kelembagaan Lokal Pengelolaan Sumber Daya Alam Sumber Penghidupan Suku Mentawai di Cagar Biosfer Pulau Siberut adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)
(5)

v

RINGKASAN

FIFIN NOPIANSYAH. Penguatan Kelembagaan Lokal Pengelolaan Sumber Daya Alam Sumber Penghidupan Suku Mentawai di Cagar Biosfer Pulau Siberut. Dibimbing oleh SAMBAS BASUNI, Y. PURWANTO dan NANDI KOSMARYANDI .

Pemanfaatan sumber daya alam (SDA) untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia sudah terjadi sejak awal kehidupan manusia. SDA yang bersifat open access dapat dengan mudah terdegradasi, begitupula dengan kepemilikan komunal yang cenderung mengarah pada terjadinya “the tragedy of the commons” seperti yang dinyatakan Hardin pada tahun 1968. Sementara itu, dalam perkembangan ilmu kelembagaan selanjutnya ditemukan bahwa kepemilikan komunal dapat menghindari terjadinya “the tragedy of the commons”. Situasi ini ditunjukkan oleh penelitian Ostrom (1990) terhadap pranata sosial masyarakat-masyarakat yang dapat bertahan lama, bahwa di masyarakat-masyarakat tersebut terdapat berbagai kesepakatan bersama dalam bentuk hukum yang dihormati oleh seluruh anggota masyarakatnya. Salah satu masyarakat tradisional di Indonesia yang hidup secara komunal adalah Suku Mentawai yang bermukim di Cagar Biosfer Pulau Siberut (CBPS). Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan strategi penguatan kelembagaan lokal pengelolaan SDA sumber penghidupan Suku Mentawai di CBPS.

Penelitian dilakukan pada bulan Agustus 2014 hingga Mei 2015 di CBPS pada tiga desa, yakni Desa Matotonan, Desa Saibi Samukop, dan Desa Sagulubbek, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatera Barat. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif. Data dikumpulkan dengan metode studi dokumen, wawancara mendalam, dan pengamatan (observasi) terlibat. Data yang diperoleh dianalisis dengan mengunakan analisis deskriptif, analisis pengaruh dan kepentingan stakeholders, analisis keberlanjutan kelembagaan lokal, dan penelaahan isi peraturan perundang-undangan.

(6)

mempunyai kemampuan untuk mengelola SDA secara lestari. Namun, kelembagaan adat Suku Mentawai dalam mengelola SDA-nya belum mendapatkan pengakuan dari pemerintah. Sedangkan kelembagaan formal belum mampu mengelola SDA secara efektif dan efisien di CBPS, bahkan cenderung mengabaikan kelembagaan lokal. Selain aturan formal yang belum berkesesuaian dengan aturan informal, terdapat pula perubahan perilaku masyarakat Mentawai dalam mengelola SDA yang tidak berkesesuaian dengan aturan informal. Perubahan ini disebabkan oleh pengaruh ekonomi pasar, teknologi, dan penerapan kebijakan pemerintah daerah.

Dalam kelembagaan pengelolaan SDA di CBPS terdapat beberapa permasalahan, yaitu: (1) ketidak pastian hak kepemilikan/penguasaan lahan dan sumber daya di atasnya antara Suku Mentawai dengan pemerintah; (2) adanya pengalihan hak kepemilikan lahan uma yang bersifat komunal ke kepemilikan perseorangan melalui proses sertifikasi; dan (3) pengembangan budidaya padi sawah di ekosistem rawa sagu. Permasalahan-permasalahan ini berdampak pada keberlanjutan pemanfaatan SDA Suku Mentawai di CBPS.

Berdasarkan temuan penelitian, strategi penguatan kelembagaan lokal pengelolaan SDA sebagai sumber penghidupan Suku Mentawai di CBPS, sebagai berikut: pertama mengakui secara formal hak kepemilikan komunal masyarakat Mentawai di CBPS untuk mengelola SDA-nya. Pengakuan dilakukan di HP dan HL melalui penetapan Masyarakat Hukum Adat (MHA), dan membentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi serta Hutan Lindung (KPHP dan KPHL). Sedangkan, di HK dilakukan dengan merevisi zonasi TNS, dan menetapkan HSAW Teluk Saibi Sarabua sebagai salah satu jenis dari KPA atau KSA. Kedua, melibatkan masyarakat Mentawai dalam semua proses pengambilan keputusan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemantauan hingga evaluasi dalam aktivitas pengelolaan SDA di CBPS, termasuk mengkolaborasikan pengaturan blok/zona pengelolaan sebagai aturan operasional pada HK, HP, dan HL dengan ruang kehidupan dan fungsi lahan (tradisional) masyarakat Suku Mentawai, serta membentuk struktur pengorganisasian CBPS yang disepakati oleh stakeholders di CBPS.

(7)

vii

SUMMARY

FIFIN NOPIANSYAH. Strengthening Local Institutional of Natural Resources Management for Livelihood of Mentawai Tribe in Siberut Island Biosphere Reserve. Supervised by SAMBAS BASUNI, Y. PURWANTO and NANDI KOSMARYANDI.

Utilization of natural resources for the livelihood has been done since the beginning of human life. Natural resources are open access which can be easily degraded, it is similarly with communal ownership that is likely to the occurrence of "the tragedy of the commons" as stated by Hardin in 1968. Meanwhile, further development of institutional knowledge, it is found that communal ownership can avoid the occurrence of "the tragedy of the commons". This situation is shown by Ostrom (1990) that there are various agreements in the form of law which are respected by all members of society and it could be exist in the society for a long time. One of the traditional communities in Indonesia who live communally is Mentawai tribe who settled in Siberut Island Biosphere Reserve (CBPS). The objective of the study was to formulate strategies to local institutional strengthening of natural resources management for livelihood of the Mentawai tribe in CBPS.

We conducted the study in three villages, namely Matotonan, Saibi Samukop, and Sagulubbek, Mentawai Islands Regenncy, West Sumatra Province, Indonesia. We conducted the study from August 2014 to May 2015.We used a qualitative approach for the research. Data were collected by literature study, interview and observation. Data were analyzed by using descriptive analysis, stakeholders analysis for the influence and interests, local institutional sustainability analysis, and review the content of the legislations.

Forest and field are the main sources of livelihood of the Mentawai tribe in CBPS. Traditionally, Mentawai tribe has their own land tenure system. Currently, there are three regimes ownership land in CBPS; common property based on the uma property, private property and state property. Most of the land in CBPS (91.36 %) controlled by the state; in the form of conservation forest, production forest and protected forest.

(8)

informal rules, there are also changes of the behavior of the Mentawai people in managing the natural resources which do not comply with the informal rules. These changes caused by the influence of the market economy, technology, and implementation of local government policy.

In the institutional management of natural resources in CBPS there are several issues, namely: (1) uncertainty of land tenure and natural resources between Mentawai Tribe with government; (2) there is a transfer of land rights from communal ownership (Uma land) to private ownership through the certification process; (3) the development of rice cultivation in sago swamp ecosystem. These issues have an impact on the sustainable use of natural resources in the Mentawai Tribe in CBPS.

Based on our findings, the strategy of strengthening institutional local to management of natural resources as a source of livelihood in the Mentawai Tribe in CBPS, as follows: First; formally recognize the rights of communal ownership of the Mentawai Tribe in CBPS to manage their natural resources. The recognition should be done in production and protected forest through the determination of customary law communities (Masyarakat Hukum Adat), and forming the Management Units (KPHP and KPHL). Meanwhile, the recognition should be done in conservation forest through revising the zoning of Siberut National Park, and set the HSAW Teluk Saibi Sarabua as on of nature conservation area (both as a the KPA or as a the KSA in Indonensia term). The arrangement of blocks or zones as the operational rules in production forest, protected forest and conservation forest should be collaborated with life and traditional land use of Mentawai Tribe. Secondly, involving the Mentawai people in all decision-making processes, such as planning, implementation, monitoring and evaluation of activities in the management of natural resources in CBPS, and forming CBPS organizing structure that agreed by the stakeholders in CBPS.

(9)

ix

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)
(11)

xi

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

PENGUATAN KELEMBAGAAN LOKAL

PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

SUMBER PENGHIDUPAN SUKU MENTAWAI

DI CAGAR BIOSFER PULAU SIBERUT

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2017

(12)

Penguji Luar Komisi

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr Ir Bambang Supriyanto, MSc Dr Drs Satyawan Sunito

Penguji pada Sidang Promosi : Dr Ir Bambang Supriyanto, MSc Dr Drs Satyawan Sunito

(13)

xiii

Judul Disertasi : Penguatan Kelembagaan Lokal Pengelolaan Sumber Daya Alam Sumber Penghidupan Suku Mentawai di Cagar Biosfer Pulau Siberut

Nama : Fifin Nopiansyah

NIM : E361110081

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Sambas Basuni, MS. Ketua

Prof Dr Ir Y. Purwanto, DEA Anggota

Dr Ir Nandi Kosmaryandi, MSc Forest Trop Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Konservasi Biodiversitas Tropika,

Dr Ir Burhanuddin Masy‟ud, MS.

Dekan Sekolah Pascasarjana,

Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr

Tanggal Ujian Tertutup : 23 Januari 2017

(14)
(15)

xv

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2014 sampai Mei 2015 ini ialah penguatan kelembagaan lokal, dengan judul Penguatan Kelembagaan Lokal Pengelolaan Sumber Daya Alam Sumber Penghidupan Suku Mentawai di Cagar Biosfer Pulau Siberut.

Penghargaan dan terima kasih penulis sampaikan kepada:

1. Prof Dr Ir Sambas Basuni, MS, Prof Dr Ir Y. Purwanto, DEA, dan Dr Ir Nandi Kosmaryadi, MSc Forest Trop. selaku komisi pembimbing atas segala bimbingan dan arahan sehingga disertasi ini dapat diselesaikan.

2. Dr Ir Bambang Supriyanto, MSc dan Dr Drs Satyawan Sunito selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup dan terbuka atas review-nya terhadap disertasi ini.

3. Kepala Balai Taman Nasional Siberut beserta staf di Padang dan di SPTN Wilayah atas fasilitasi dan kerjasamanya.

4. Para narasumber di lapangan, Bapak Hasan Sagaileppak, Jon Effendi, Ajomar Satoko, Sai-Saik Sakeru Sakeru, Lauren Sagoilok, Alcide Sabulat, Jasmardi Satoleuru, Sudarmanto Satoleuru, Hariadi Sabulat, Nasir Satoleuru, Sulaiman, Dalen atas informasi dan pertemanannya.

5. Kepala Pusat Pendidikan dan Latihan Sumber Daya Manusia Lingkungan Hidup dan Kehutanan beserta staf atas kesempatan dan fasilitasinya selama menempuh studi.

6. Direktur Kawasan Konservasi, Kepala Subdit Pengendalian Pengelolaan

Kawasan Konservasi beserta staf atas bantuan dan kerjasamanya.

7. Ayahanda Almarhum H. Muhammad Ayib Kenawas, ibunda Hj. Siti Rohma, Ayunda Nesi Novita dan Urip Burlian, Kakanda Malhanzaldi dan Meisya Karyawati, Adinda Rispa Medya Sari dan Muhammad Tiara Budi, Adinda Luk Medi Pazli dan Rika Feranita yang senantiasa memberikan dukungan dan doa.

8. Mertua saya Bapak Zainul dan Ibu Miswarni, Adinda Liswar Hendri, Adinda Yudistira, dan Adinda Ade Saputra.

9. Istri dan anak saya tercinta Saridayani, Muhammad Gilbran Firdiansyah dan Lintang Madiniansyah atas kasih sayang, pengertian, dan dukungannya. 10.Sahabat saya N. Qomar (Pak Wo), Asvic H (Uni), Kaniwa B (Mami), Liza N

(Acil), Toto S (Akang), Toto Sri (Pak Le), Iing N (Abah), Tuah MB (Abang), A. Rosyid, Zeth P (Pak Ce), Alm. Hotnida S (Madam Hot), dan semua teman-teman S3 dan S2 atas dukungan dan kerjasamanya selama menempuh perkuliahan di SPs IPB.

(16)

Semoga segala bantuan dan dukungan yang telah diberikan mendapat pahala dari Allah Subhanahu Wata‟ala. Amin ya Robal Alamin. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat “Masura Bagata”.

(17)

xvii

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xix

DAFTAR GAMBAR xxi

DAFTAR LAMPIRAN xxii

DAFTAR ISTILAH xxiii

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Perumusan Masalah 5

1.3 Tujuan Penelitian 6

1.4 Manfaat Penelitian 7

1.5 Kerangka Teoritis 7

1.6 Kerangka Pikir 11

1.7 Kebaruan Penelitian 12

1.8 Struktur Penulisan 12

2 CAGAR BIOSFER PULAU SIBERUT

2.1 Karakteristik Biofisik Pulau Siberut 15

2.2 Status dan Fungsi Kawasan Hutan 18

2.3 Masyarakat Mentawai 19

2.4 Pengelolaan Cagar Biosfer di Cagar Biosfer Pulau Siberut 21

2.4.1 Area Inti 25

2.4.2 Zona Penyangga 27

2.4.3 Area Transisi 28

3 ASET-ASET PENGHIDUPAN SUKU MENTAWAI DI CAGAR BIOSFER PULAU SIBERUT

3.1 Pendahuluan 30

3.2 Metode 31

3.3 Hasil dan Pembahasan 32

3.3.1 Sumber Daya Manusia 32

3.3.2 Sumber Daya Alam 36

3.3.3 Infrastruktur 37

3.3.4 Sumber Daya Finansial 41

3.3.5 Organisasi Sosial 44

3.4 Simpulan 47

4 KEPEMILIKAN DAN PENGGUNAAN LAHAN SUKU MENTAWAI DI CAGAR BIOSFER PULAU SIBERUT

4.1 Pendahuluan 48

4.2 Metode 49

4.3 Hasil dan Pembahasan 50

4.3.1 Kepemilikan Lahan 50

4.3.2 Penggunaan Lahan 53

4.3.3 Transformasi Lahan 69

4.3.4 Strategi Penghidupan Masyarakat Mentawai di CBPS 71

(18)

5 STAKEHOLDERS DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM SUKU MENTAWAI DI CAGAR BIOSFER PULAU SIBERUT

5.1 Pendahuluan 73

5.2 Metode 73

5.3 Hasil dan Pembahasan 77

5.3.1 Identifikasi Stakeholders 77

5.3.2 Kategorisasi Stakeholders 79

5.3.3 Hubungan Antar Stakeholders 83

5.3.4 Partisipasi Stakeholders 86

5.3.5 Perilaku Stakeholders dalam Pengelolaan SDA 88

5.4 Simpulan 91

6 ATURAN INFORMAL DAN FORMAL DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DI CAGAR BIOSFER PULAU SIBERUT

6.1 Pendahuluan 92

6.2 Metode 92

6.3 Hasil dan Pembahasan 95

6.3.1 Aturan Informal 95

6.3.2 Aturan Formal 101

6.4 Simpulan 116

7 PEMBAHASAN UMUM: KEBERLANJUTAN DAN PENGUATAN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

7.1 Keberlanjutan Pengelolaan SDA 117

7.1.1 Sertifikasi Lahan Uma 118

7.1.2 Persawahan di Ekosistem Rawa Sagu 118

7.2 Keberlanjutan Kelembagaan Pengelolaan SDA 118 7.3 Strategi Penguatan Kelembagaan Pengelolaan SDA 121 7.3.1 Penguatan Hak Kepemilikan Masyarakat Siberut 121 7.3.2 Pelibatan Masyarakat dalam Proses Pengambilan Keputusan 126 8 SIMPULAN DAN SARAN

8.1 Simpulan 129

8.2 Saran 130

DAFTAR PUSTAKA 131

(19)

xix

DAFTAR TABEL

1.1 Pengetahuan dan kelembagaan lokal, suku, komunitas, daerah dan deskripsinya dalam mengelola SDA secara berkelanjutan di Indonesia

3

1.2 Perbandingan pandangan antara pemerintah dengan masyarakat lokal terhadap alam di kawasan konservasi

8 2.1 Sungai, lokasi, dan luasan daerah aliran sungai (DAS) di Pulau

Siberut

16 2.2 Luas Pulau Siberut berdasarkan fungsi lahan 19 2.3 Cagar biosfer di Indonesia hingga tahun 2016 22 2.4 Ekosistem utama di tiap zona di Cagar Biosfer Pulau Siberut 26 2.5 Perkiraan ukuran populasi primata endemik di Taman

Nasional Siberut

27 2.6 Desa di area transisi Cagar Biosfer Pulau Siberut 29 3.1 Jumlah penduduk Pulau Siberut dari tahun 1853-2014 33

3.2 Jumlah penduduk di lokasi penelitian 33

3.3 Jumlah penduduk dan komposisi usia di Cagar Biosfer Pulau Siberut

34 3.4 Komposisi penduduk berdasarkan tingkat pendidikan di Pulau

Siberut

35

3.5 Luasan tutupan lahan di Pulau Siberut 36

3.6 Infrastruktur umum di Desa Saibi Samukop, Matotonan, dan Sagulubbek

37 3.7 Bangunan fasilitas kesehatan di Pulau Siberut pada tahun 2013 38 3.8 Tenaga medis di Pulau Siberut pada tahun 2013 39 3.9 Pembangunan sarana dan prasarana di Desa Saibi Samukop,

Matotonan, dan Sagulubbek pada saat penelitian

44 3.10 Uma-uma di Muara Saibi, Desa Matotonan, dan Desa

Sagulubbek

45 3.11 Organisasi eksternal yang beraktivitas di Desa Saibi Samukop,

Matotonan, dan Sagulubbek

46 3.12 Ringkasan aset penghidupan masyarakat Siberut 45 4.1 Asal kepemilikan lahan di Suku Mentawai di Siberut 51 4.2 Jenis tanaman yang dibudidayakan masyarakat Siberut di

perladangan

55 4.3 Jenis tanaman komersil yang dibudidayakan masyarakat

Siberut

56 4.4 Perbandingan tumbuhan sagu dan padi di Pulau Siberut 60 4.5 Lima jenis tumbuhan tingkat pohon dengan indeks nilai

penting tertinggi di hutan sekitar desa di lokasi penelitian

62 4.6 Jenis rotan dan manfaat di Pulau Siberut 63

4.7 Produksi rotan dari Pulau Siberut 64

4.8 Satwa yang dijumpai dalam transek di lokasi penelitian 64 4.9 Burung bernilai komersil di Pulau Siberut 65 4.10 Daerah tujuan wisata bahari dan daratan serta prioritas

pengembangannya di Siberut

(20)

4.11 Perubahan perilaku masyarakat Siberut dalam pemanfaatan sumber daya alam

72 5.1 Ukuran kuantitatif terhadap kepentingan dan pengaruh

stakeholder

75 5.2 Stakeholder dalam pengelolaan sumber daya alam di Cagar

Biosfer Pulau Siberut

78 5.3 Tingkat kepentingan dan pengaruh stakeholders dalam

pengelolaan sumber daya alam di Cagar Biosfer Pulau Siberut 81 5.4 Actor-linkage dalam pengelolaan sumber daya alam di Cagar

Biosfer Pulau Siberut

84 5.5 Partisipasi stakeholder dalam pengelolaan Cagar Biosfer

Pulau Siberut

87 5.6 Pengaruh kelembagaan terhadap perilaku stakeholder dalam di

Cagar Biosfer Pulau Siberut

89

6.1 Kumpulan hak terkait dengan posisi 94

6.2 Jenis pelanggaran dan denda dalam pengelolaan sumber daya alam di Siberut

98 6.3 Karakteristik kelembagaan adat Mentawai dalam pengelolaan

sumber daya alam

100 6.4 Luas zona dan status/fungsi hutan di Cagar Biosfer Pulau

Siberut

102 6.5 Penataan blok Kesatuan Pengelolaan Hutan dan pemanfaatan

hutan

105 6.6 Perubahan zonasi kawasan Taman Nasional Siberut 106 6.7 Fungsi dan pedoman kegiatan di zona Taman Nasional Siberut 109 7.1 Gap antara aturan formal dengan informal dalam pengelolaan

sumber daya alam di Cagar Biosfer Pulau Siberut

119 7.2 Peluang penguatan kelembagaan informal masyarakat Siberut

dalam pengelolaan sumber daya alam

122 7.3 Akomodasi ruang kehidupan dan fungsi lahan masyarakat

(tradisional) Suku Mentawai dalam zonasi Taman Nasional Siberut

(21)

xxi

DAFTAR GAMBAR

1.1 Kerangka pikir penelitian Penguatan Kelembagaan Lokal Pengelolaan Sumber Daya Alam Sumber Penghidupan Suku Mentawai di Cagar Biosfer Pulau Siberut

13

2.1 Peta Kepulauan Mentawai 14

2.2 Transek Pulau Siberut 17

2.3 Fungsi dan sistem zonasi cagar biosfer 25

2.4 Peta zonasi Cagar Biosfer Pulau Siberut 25 3.1 Lokasi penelitian di Cagar Biosfer Pulau Siberut 32 3.2 Bagan skematis organisasi sosial tradisional di Siberut 45 4.1 Ladang baru/tinungglu dan ladang tua/pumonean 54 4.2 Ladang keladi/pugettekatdan ladang sagu/pusaguat 58

4.3 Persawahan di Pulau Siberut 69

4.4 Transformasi lahan menjadi lingkungan yang lebih khas dan bermanfaat bagi masyarakat Siberut

70 5.1 Kategorisasi stakeholder di CBPS menurut kepentingan dan

pengaruh

80 6.1 Peta zonasi Taman Nasional Siberut berdasarkan SK Dirjen

PHKA No. 14/ Kpts/DJ-V/2001

107 6.2 Peta zonasi Taman Nasional Siberut berdasarkan Keputusan

Dirjen PHKA No. 32/Kpts/VI-SET/2015

108 7.1 Forum Koordinasi dan Komunikasi Cagar Biosfer Pulau

Siberut

(22)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Desa dan dusun per kecamatan di Cagar Biosfer Pulau Siberut 138 2 Jenis tumbuhan dan satwa (liar dan budidaya) yang banyak

dikonsumsi masyarakat Siberut sebagai sumber pangan

140 3 Jenis tumbuhan yang dimanfaatkan masyarakat di ladang di

daerah Saibi Samukop

143 4 Jenis tumbuhan yang dimanfaatkan masyarakat di ladang di

daerah Matotonan

144 5 Jenis tumbuhan yang dimanfaatkan masyarakat di ladang di

daerah Sagulubbek

145 6 Jenis tumbuhan tingkat pohon di hutan di lokasi penelitian 146 7 Indeks nilai penting (INP) tumbuhan tingkat pohon di hutan

sekitar Desa Saibi Samukop

147 8 Indeks nilai penting (INP) tumbuhan tingkat pohon di hutan

sekitar Desa Matotonan

148 9 Indeks nilai penting (INP) tumbuhan tingkat pohon di hutan

sekitar Desa Sagulubbek

149 10 Nilai kepentingan dan pengaruhnya dalam pengelolaan sumber

daya alam di Cagar Biosfer Pulau Siberut

150 11 Bentuk organisasi pengelolaan beberapa Cagar Biosfer di

Indonesia

151 12 Hutan adat yang berikan pemerintah pada Acara Pencanangan

Pengakuan Hukum Adat Tahun 2016

152

(23)

xxiii

DAFTAR ISTILAH

Arat sabulungan : Kepercayaan tradisional Suku Mentawai Bajak : Saudara laki-laki kandung dari ayah Barasi : Perkampungan

Bat oinan : Sungai

Kei-kei : Pantangan yang harus dilakukan seseorang ketika acara/ritual adat berlangsung

Leleu : Hutan dan perbukitan yang berhutan Nusa : Pulau-pulau kecil dan daerah pantainya Puberakat : Persawahan

Pugettekat : Ladang keladi

Pumonean : Perladangan orang Mentawai atau perladangan tua yang merupakan kelanjutan dari tinungglu yang ekosistem hampir menyerupai hutan sekunder.

Pusaguat : Ladang sagu Punen/lia : Pesta/ritual adat

Sikebukat uma : Orang yang dituakan di dalam uma atau sering disebut sebagai kepala uma

Sipuuma : Anggota uma Sasareu : Pendatang Sibakat laggai/

Sibakat polak

: Pemilik lahan

Sikerei : Dukun yang mempunyai kemampuan pengobatan secara tradisional dan dipercaya dapat berkomunikasi dengan roh-roh yang tidak dapat dilihat oleh orang biasa

Sipasijago : Uma yang diberi kewenangan untuk menjaga lahan dan atau sumber daya milik uma lain

Sitoi : Orang atau kelompok masyarakat yang memanfaatkan lahan uma lain

Tinungglu : Ladang baru yang terbentuk setelah hutan ditebang, dibersihkan, dan ditanami.

Tulou : Denda yang harus dibayar ketika melanggar aturan adat Uma : Memiliki beberapa makna yakni sistem kekerabatan, rumah

(24)
(25)

xxv

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pemanfaatan sumber daya alam (SDA) untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia sudah ada sejak awal kehidupan manusia. Namun pemanfaatan yang berlebihan membuat kerusakan habitat dan kepunahan berbagai jenis tumbuhan dan satwa. Hilang dan rusaknya habitat satwa disebabkan oleh berbagai aktivitas manusia diantaranya konversi hutan alam untuk petanian tanaman pangan, perkebunan, tanaman industri, dan permukiman sebagai tuntutan pembangunan, pembalakan liar (illegal logging), perburuan liar, atau kebakaran hutan (Setyowati et al. 2008). Di Indonesia, terdapat lahan kritis sekitar 24,67 juta hektar dan sangat kritis sekitar 5,4 juta hektar, sedangkan laju kerusakan hutannya sekitar 700 ribu hektar per tahun (Kemenhut 2011). Kerusakan hutan yang masif ini perlu mendapat perhatian serius dari semua kalangan agar fungsi hutan sebagai penyangga sistem kehidupan manusia dapat berfungsi.

Berbagai aktivitas manusia yang memanfaatkan kawasan hutan secara berlebihan memunculkan respon masyarakat global untuk membentuk suatu kawasan yang dilindungi dalam rangka mengurangi dampak negatif perilaku manusia terhadap alam. Terkait pembentukan kawasan tersebut, The International Union for Conservation of Nature (IUCN) tahun 1994 mengkategorikan enam kawasan yang dilindungi berdasarkan dari tujuan dan sasaran pengelolaanya, yaitu: strict reserves, national park, nature monument, species management, protected land/sea scapes, managed resource (Davey 1998), sedangkan The United Nation Education Social and Cultural Organisation (UNESCO) mengembangkan sendiri suatu bentuk kawasan dilindungi yang disebut sebagai cagar biosfer. Konsep cagar biosfer ini berevolusi sebagai kategori yang terpisah dari berbagai jenis kawasan dilindungi yang dinyatakan oleh IUCN. Ishwaran et al. (2008) menyatakan bahwa cagar biosfer dianggap terpisah dari kawasan dilindungi lainnya karena lebih ditekankan pada tujuan pembangunan. Hal ini sesuai dengan pendapat Batisse (1993) yang menyatakan bahwa konsep cagar biosfer merupakan upaya internasional pertama yang dirancang untuk mengidentifikasi berbagai cara dan maksud untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dengan cara merekonsiliasikan pemanfaatan dengan perlindungan jangka panjang. UNESCO mendefinisikan cagar biosfer sebagai ekosistem daratan dan pesisir atau laut atau kombinasi lebih dari satu tipe ekosistem yang secara internasional diakui keberadaanya sebagai bagian dari Program Manusia dan Biosfer (MAB) dari UNESCO. Program MAB yang dicetuskan pada tahun 1968 mempunyai misi untuk meningkatkan dan mendemonstrasikan keserasian hubungan antara manusia dan alam melalui pendekatan ekosistem/bioregional (UNESCO 1996). Saat ini terdapat 669 cagar biosfer yang tersebar di 120 negara dan Indonesia memiliki 11 cagar biosfer.

(26)

2

Sumatera (WWF 1980). Alasan lain adalah kerentanan Pulau Siberut karena curah hujan yang tinggi dan secara geologis muda, bertanah lempung dengan tingginya runoff, serta lebih dari 45% tanah berkategori sensitivitas I dengan kemiringan lebih dari 25 persen (WWF 1980; PHPA 1995), juga keunikan kebudayaan tradisional Suku Mentawai di Pulau Siberut yang mampu mempertahankan alam dan lingkungannya selama berabad-abad serta tingginya ketergantungan dan keterkaitan masyarakat tersebut dengan sumber daya alamnya (BTNS 2010).

Keseimbangan hubungan antara manusia dan alam menjadi isu internasional yang penting hingga saat ini. IUCN pada Kongres Taman Sedunia (World Park Congress/WPC) ke empat tahun 1992 di Venezuela mulai mengadopsi gagasan tentang pentingnya keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi termasuk mendukung konsep cagar biosfer. Hasil Konferensi Internasional Cagar Biosfer di Seville, Spanyol, menghasilkan Seville Strategy yang menjadi konsep pengelolaan cagar biosfer juga menekankan pentingnya kearifan tradisional dan masyarakat lokal dalam pengelolaan cagar biosfer. Begitupula WPC ke lima tahun 2003 di Durban, Afrika Selatan, menghasilkan Durban Accord yang terkait dengan penghormatan hak-hak atas masyarakat asli, tradisional dan berpindah (indigenous, traditional and mobile people) yang berada dalam kawasan yang dilindungi. Sejalan dengan hal tersebut, pada tahun 2008 dilaksanakan Kongres Dunia Cagar Biosfer di Madrid, Spanyol, yang mengidentifikasi tiga tantangan utama dan serius yang harus diselesaikan oleh masyarakat dunia, salah satunya adalah hilangnya keanekaragaman hayati dan keragaman budaya yang cepat di berbagai belahan dunia dan berdampak pada kemampuan ekosistem untuk menyediakan layanan penting bagi kesejahteraan manusia (UNESCO 2008).

Strategi Seville memuat berbagai rekomendasi untuk mewujudkan pengelolaan cagar biosfer yang efektif. Upaya perlindungan yang dilakukan selain untuk melindungi keanekaragaman hayati juga untuk melindungi nilai-nilai budaya masyarakat. Hal ini termaktub dalam sasaran kedua, yakni menggunakan cagar biosfer sebagai model pengelolaan lahan dan pendekatan pembangunan berkelanjutan. Beberapa rekomendasi yang terkait dengan masyarakat lokal, diantaranya yakni melibatkan masyarakat sebagai stakeholders dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan dalam pengelolaan cagar biosfer, stakeholders memperoleh pembagian keuntungan yang adil dan merata dari pemanfaatan SDA, membangun mekanisme kelembagaan dan jaringan konsultasi lokal yang mengakomodir stakeholders di suatu situs cagar biosfer (UNESCO 1996).

(27)

3 mengelola dan memanfaatkan SDA dan lingkungan secara berkelanjutan. Kemampuan masyarakat lokal tersebut tidak terlepas dari sejumlah kearifan lokal yang teguh dipertahankan oleh segenap anggota masyarakatnya. Deskripsi lebih lanjut beberapa pengetahuan lokal dan kelembagaan lokal dalam mengelola SDA secara berkelanjutan di Indonesia disajikan pada Tabel 1.1. Bukan hanya di Indonesia, peran masyarakat lokal dalam pengelolaan SDA di berbagai negara seperti India, Nepal, dan beberapa negara bagian di Amerika Serikat telah mengubah paradigma dan mengevolusi pengelolaan hutan (David et al. 2003; Lynch dan Talbott 1995).

Tabel 1.1 Pengetahuan dan kelembagaan lokal, suku, komunitas, daerah dan deskripsinya dalam mengelola SDA secara berkelanjutan di Indonesia

Pengetahuan dan

Pronoto mongsoa Jawa Pengaturan waktu (musim) yang digunakan para petani pedesaan untuk mengolah lahan pertanian

Nyabuk gununga Jawa Sistem bercocok tanam dengan membuat teras sawah yang dibentuk menurut arah garis kontur

Mengelola hutana Karampuang, Sulawesi

Adanya norma adat dalam mengelola hutan, seperti tidak menyadap enau di kala senja dan petang hari karena akan mengganggu

kehidupan (aktivitas) hewan lain

Pikukuh karuhuna Baduy, Banten Mengelola SDA sesuai aturan adat, seperti tidak boleh menebang pohon secara

Aturan dalam pemanfaatan SDA agar terjaga keseimbang alam Menjaga halom Orang Rimba,

Jambi

Menjaga hutan sebagai tempat tinggal agar tidak rusak dan habis lingkungan yang dianugerahkan oleh Tuhan

Pumoneand Mentawai,

(28)

4

Kearifan masyarakat lokal dalam mengelola SDA dan lingkungannya tidak selalu sejalan dengan kebijakan pemerintah. Terdapat beberapa kebijakan pemerintah yang belum mendukung kelembagaan lokal, bahkan cenderung melemahkannya. Beberapa contoh kebijakan tersebut, seperti pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia yang cenderung membatasi akses masyarakat telah banyak menimbulkan sengketa dan konflik pengelolaan kawasan (Kosmaryandi 2012). Penyeragaman pembentukan desa termasuk program memukimkan (resetlement) masyarakat Mentawai dalam suatu wilayah di era 70-an y70-ang bertuju70-an memudahk70-an m70-anajemen kependuduk70-an, sebaliknya menek70-an budaya dan menghilangkan ciri khas kelembagaan lokal masyarakat Mentawai (Hernawati 2007). Pemberian izin pengusahaan hutan telah membatasi dan memarginalkan masyarakat lokal yang selama ini mengelola SDA mereka sendiri. Kekeliruan kebijakan ini telah mengabaikan keberadaan dan hak-hak masyarakat adat sebagai “pemilik” SDA secara turun temurun.

Beberapa program Pemerintah Indonesia dalam upaya menguatkan kelembagaan lokal dalam pengelolaan SDA dan lingkungannya, seperti Integrated Conservation and Development Project (ICDP) di Taman Nasional Kerinci Seblat dan Integrated Protected Area System (IPAS) di Taman Nasional Siberut dan Taman Wisata Alam Ruteng pada awal tahun 1990-an telah dilakukan. Orientasi program yang bersifat keproyekan membuat program-program ini tidak berkelanjutan dan belum dapat menguatkan kelembagaan masyarakat lokal. Selain pemerintah, beberapa lembaga swadaya masyarakat juga melaksanakan program untuk mengembangkan kelembagaan dan menyuarakan hak-hak masyarakat adat yang termarjinalkan, tetapi berbagai program tersebut belum dapat memberdayakan masyarakat lokal. Selain kebijakan pemerintah yang belum banyak mendukung kelembagaan masyarakat lokal, berbagai faktor eksternal, seperti meningkatnya jumlah penduduk, adanya teknologi modern, akulturasi dengan budaya luar, adanya pemodal besar, serta kemiskinan dan kesenjangan sosial di antara masyarakat menjadi tantangan bagi pengetahuan lokal (Suhartini 2009).

Beberapa penelitian untuk memperkuat kelembagaan lokal dalam mengelola SDA mereka sudah dilakukan. Penelitian Kosmaryandi et al. (2012) menunjukkan bahwa tata guna lahan tradisional dari masyarakat setempat dapat diamalgamasikan dengan sistem zonasi taman nasional untuk menghindari konflik pengelolaan. Partisipasi masyarakat setempat dapat menguatkan pengelolaan kawasan konservasi (Soekmadi 2002; Susetyo 2014). Partisipasi masyarakat setempat yang lebih besar dalam lembaga tata kelola sumber daya menunjukkan ke arah hasil yang lebih baik bagi keanekaragaman hayati dan penghidupan masyarakat (Ostrom dan Nagendra 2006). Selanjutnya, terjaminnya akses masyarakat lokal ke SDA mereka dapat meningkatkan ketahanan pangan bagi masyarakat miskin, khususnya anggota termiskin di kalangan masyarakat tersebut (Place 2009).

(29)

5 Susetyo 2014), tetapi belum pernah dilakukan di cagar biosfer di Indonesia. Cagar biosfer di Indonesia mempunyai karakteristik tersendiri karena bukan hanya terdiri atas kawasan konservasi, melainkan terdapat kawasan produksi dan kawasan fungsi lindung, areal penggunaan lain, serta lahan milik.

Hubungan yang selaras antara masyarakat setempat dengan pengelola kawasan hutan dalam mengelola SDA yang sama dapat dicapai melalui kepastian hak kepemilikan yang tepat atas SDA dan meningkatkan kapasitas masyarakat untuk membangun diri secara terus menerus. Penataan hak kepemilikan yang tepat dan peningkatan kapasitas masyarakat diyakini mendorong tindakan bersama dan rasa kepedulian masyarakat setempat untuk menjaga keberlanjutan SDA. Untuk itu, penelitian secara komprehensif antara kelembagaan formal dan informal dalam mengelola SDA penting dilakukan dalam rangka penguatan kelembagaan lokal. Prijono dan Pranarka (1996) menyatakan bahwa penguatan mengandung pengertian, yakni memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas, dan memberikan kemampuan atau keberdayaan ke pihak lain. Dengan demikian, penguatan kelembagaan lokal yang dimaksud disini adalah melimpahkan kewenangan pengelolaan SDA ke masyarakat setempat secara tepat melalui kelembagaan informal mereka. Harapannya adalah agar kelembagaan formal dan informal dapat saling melengkapi sehingga SDA di CBPS dapat berkelanjutan.

1.2 Perumusan Masalah

Salah satu kelembagaan lokal yang dikenal dalam mengelola SDA secara tradisional adalah kelembagaan Suku Mentawai di CBPS. Kelembagaan tersebut didasarkan pada kepercayaan tradisional mereka yang disebut arat sabulungan, yang mempercayai bahwa semua benda mempunyai jiwa/roh (simagre/bajou). Oleh karena itu, segala bentuk aktivitas masyarakat perlu menjaga harmonisasi semua jiwa/roh yang ada. Dalam menjaga harmonisasi tersebut, banyak tabu atau pantangan (kei-kei) yang harus dijalankan dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam mengelola SDA.

(30)

6

Sumber daya alam menjadi basis utama penopang kehidupan masyarakat Mentawai di CBPS. SDA yang penting di Pulau Siberut antara lain lahan, pohon penghasil kayu, sagu, gaharu, rotan, dan hewan ternak atau liar. Secara tradisional semua lahan dimiliki oleh uma (sistem kekerabatan) dari Suku Mentawai. Di atas lahan ini anggota uma (sipuuma) mengelola dan memanfaatkan SDA. Selain lahan, SDA yang penting adalah tumbuhan yang menjadi makanan pokok seperti sagu (Metroxylon sagu) dan keladi, tumbuhan yang dapat menghasilkan uang, seperti gaharu (Aquilaria malacensis), rotan manau (Calamus manan), dan pohon berkayu (jenis-jenis dari famili Dipterocarpaceae), selain itu tumbuhan yang bernilai budaya seperti durian (Durio sp), langsat (Aglaia sp), dan kelapa (Cocos nucifera). Hewan yang penting untuk memenuhi kebutuhan protein dan upacara adat, seperti babi dan ayam yang dikembangkan di pondok perladangan, serta satwa liar seperti primata dan rusa yang diburu di hutan (Walujo dan Supardijono 1997, BTNS 2010, Darmanto dan Setyowati 2012).

Pengelolaan SDA yang semula tradisional oleh masyarakat Mentawai, saat ini mulai mengalami perubahan. Kepemilikan lahan di Mentawai yang secara adat merupakan kepemilikan komunal, mulai dijual atau dipindah tangankan menjadi kepemilikan pribadi (Darmanto dan Setyowati 2012). Pembuatan keputusan atas pengelolaan SDA yang seharusnya dilakukan secara bersama melalui proses musyawarah, saat ini mulai diputuskan sepihak tanpa persetujuan semua anggota uma sehingga banyak menimbulkan konflik internal. Dalam memanfaatkan SDA, masyarakat mulai menerapkan praktik-praktik yang tidak ramah lingkungan, seperti penggunaan senapan angin dengan peluru beracun dalam perburuan satwa liar, penggunaan bahan kimia untuk menangkap ikan hingga penebangan mangrove dan pengambilan terumbu karang sebagai bahan bangunan (BTNS 2010).

Di sisi lain, beberapa program pemerintah tidak sejalan dengan kelembagaan lokal masyarakat Mentawai. Program pemerintah daerah untuk membangun persawahan sebagai bagian dari ketahanan pangan masyarakat bertolak belakang dengan pola hidup masyarakat Mentawai yang memanfaatkan sagu sebagai bahan makanan pokok, yang justru melemahkan ketahanan pangan masyarakat Mentawai (Simanjuntak 2012). Selanjutnya, orientasi pemerintah yang masih mengedepankan eksploitasi kayu untuk menghasilkan pendapatan daerah bertolak belakang dengan kondisi Pulau Siberut yang dikategorikan sebagai pulau kecil yang rentan secara ekologi, yang seharusnya dikelola dengan prinsip kehatian-hatian (BTNS 2010, Ismanto 2010, Darmanto dan Setyowati 2012).

Situasi di atas mengindikasikan mulai melemahnya kelembagaan Suku Mentawai dalam mengelola SDA di CBPS. Fenomena perubahan kelembagaan lokal tersebut menarik untuk dipahami, sehingga pertanyaan penelitian yang muncul adalah SDA apa saja yang kelembagaan lokalnya melemah, mengapa, dan bagaimana cara menguatkan kelembagaan lokal tersebut?

1.3 Tujuan Penelitian

(31)

7 Mentawai di CBPS. Untuk mencapai tujuan umum tersebut perlu dicapai tujuan khusus, yaitu:

1. Menganalisis SDA yang menjadi sumber penghidupan Suku Mentawai di CBPS.

2. Menganalisis situasi pengelolaan SDA di CBPS.

3. Menganalisis kepentingan, pengaruh, hubungan, partisipasi, dan perilaku stakeholders dalam pengelolaan SDA di CBPS.

4. Menganalisis aturan informal dan aturan formal dalam pengelolaan SDA di CBPS.

5. Menyintesis penguatan kelembagaan lokal Suku Mentawai dalam pengelolaan SDA di CBPS.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat praktis dari penelitian ini adalah menyediakan berbagai strategi penguatan kelembagaan pengelolaan SDA Suku Mentawai di CBPS yang berguna bagi pengambil keputusan dalam penyusunan kebijakan untuk Pulau Siberut. Secara teoritis penelitian diharapkan dapat menunjang pengembangan ilmu kelembagaan khususnya pengembangan kelembagaan lokal.

1.5 Kerangka Teoritis

Sumber daya alam di CBPS dapat dikategorikan sebagai sumber daya milik bersama atau common pool resources (CPRs). Istilah CPRs merujuk kepada suatu SDA, sumber daya buatan atau fasilitas yang bernilai yang tersedia bagi lebih dari satu orang dan merupakan objek yang cenderung terdegradasi sebagai akibat kecenderungan pemanfaatan yang berlebihan (Ostrom 1990). Menurut McKean (2000) menyatakan bahwa CPRs adalah sumber daya yang tersedia bagi siapa saja, sehingga sangat sulit untuk mengontrol sumber daya tersebut dan menyebabkan sumber daya menjadi sangat mudah terdegradasi. SDA yang bercirikan CPRs memiliki dua sifat utama, yaitu sifat substractibility yang merupakan kondisi dimana setiap pemanfaatan seseorang atas sumber daya akan mengurangi kemampuan atau jatah orang lain untuk memanfaatkan sumber daya tersebut sehingga sulit untuk membagi rata suatu sumber daya atau keuntungan dari sumber daya. Sifat ini mengindikasikan terjadinya persaingan (rivalness) dalam pemanfaatan sumber daya. Selanjutnya, sifat excludibility yang merupakan kondisi kesulitan untuk mengeluarkan pengguna lain dalam pemanfaatan sumber daya yang dimiliki seseorang, kelompok, atau lembaga. Sifat ini berkaitan dengan adanya biaya (cost) yang harus dikeluarkan untuk membatasi pihak lain dalam memanfaatkan (beneficiaries) dari suatu sumber daya. Tjitradjaja (2008) menyatakan bahwa pada CPRs dengan akses yang bebas (open access) melekat situasi ketiadaan jaminan kepastian.

(32)

8

yang tercantum dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup dinyatakan bahwa SDA adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya hayati dan non hayati yang secara keseluruhan membentuk kesatuan ekosistem. Dari dua cara pandang di atas terlihat penekanan arah pengelolaan SDA yang akan diambil oleh masing-masing pihak bila mempunyai kuasa atau kewenangan untuk mengelola suatu SDA.

Terkait dengan sudut pandang atau paradigma para pihak, terdapat pula perbedaan cara pandang antara pemerintah dengan masyarakat lokal terhadap SDA yang mempengaruhi keputusan mereka dalam mengelola SDA. Kondisi ini dapat dilihat dalam pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia. Setyowati et al. (2008) menyatakan bahwa dalam pengelolaan kawasan konservasi, pemerintah memandang alam sebagai sesuatu yang unik, dimanfaatkan terbatas dan penduduk di sekitar kawasan sebagai ancaman sehingga alokasi, akses dan kontrol terhadap alam perlu ditetapkan oleh negara yang berlandaskan ilmu pengetahuan modern, sementara masyarakat lokal berpandangan bahwa hutan merupakan hasil konstruksi sosial dan produk agraria sebagai hasil hubungan antara manusia dengan ekosistem atau institusinya, sehingga alokasi, akses dan kontrol terhadap alam ditetapkan oleh warganya berlandaskan pengetahuan lokal mereka. Perbandingan pandangan antara pemerintah dan masyarakat lokal terhadap alam di kawasan konservasi disajikan pada Tabel 1.2.

(33)

9 setempat. Akibatnya banyak konflik terjadi antara pengelola kawasan konservasi dengan masyarakat setempat (Darmanto 2011; Kosmaryandi 2012). Di sisi lain, terdapat banyak bukti keberhasilan masyarakat tradisional dalam melestarikan SDA dan lingkungannya berdasarkan pengetahuan lokal1 dan kearifan lokal2 yang mereka miliki (Basuni 2012). Hal ini sesuai dengan pendapat Ostrom (1990) yang menyatakan bahwa pengelolaan SDA melalui common property regimes dapat menghindari the tragedy of the commons. Hal ini ditunjukkan dari hasil penelitian Ostrom terhadap pranata sosial masyarakat yang dapat bertahan lama bahwa di masyarakat tersebut terdapat berbagai kesepakatan bersama dalam bentuk hukum yang dihormati oleh seluruh anggota masyarakatnya.

Pranata sosial yang dimaksud di atas adalah kelembagaan lokal di masyarakat. Kelembagaan merupakan seperangkat tata hubungan di antara masyarakat yang menegaskan hak-hak mereka, keterbukaan hak-hak dengan yang lain, hak-hak istimewa mereka, dan berbagai tanggung jawab mereka (Schmid 1987), sedangkan menurut Pakpahan (1989) kelembagaan adalah sistem organisasi dan kontrol terhadap sumber daya. Selanjutnya, North (1990) mendefinisikan kelembagaan sebagai aturan main, norma-norma, larangan-larangan, kontrak, dan sebagainya dalam mengatur dan mengendalikan perilaku individu dalam masyarakat atau organisasi.

Kelembagaan, sumber daya alam, sumber daya manusia, dan teknologi merupakan empat faktor penggerak pembangunan (Johnson 1985 dalam Pakpahan 1989). Keempat faktor tersebut merupakan syarat-syarat kecukupan (sufficient conditions) untuk mencapai kinerja pembangunan yang dikehendaki. Selanjutnya Pakpahan (1989) menjelaskan bahwa suatu kelembagaan dicirikan oleh tiga hal utama, yaitu hak kepemilikan (property right) yang merupakan sebuah paket dari hak yang mendefinisikan siapa pemilik hak, hak istimewa, dan batasan terhadap penggunaan SDA (Bromley 1991), batas yuridiksi (jurisdiction bounderies) yang menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam organisasi, serta aturan representasi (rules of representation) mengatur siapa yang berhak berpartisipasi terhadap apa dalam proses pengambilan keputusan. Ciri-ciri kelembagaan tersebut merupakan hal yang penting diamati untuk mengetahui melemahnya kelembagaan suatu SDA.

Sumber daya alam sangat terkait dengan hak kepemilikan termasuk hak tenurial (Larson 2013). Hak tenurial terhadap SDA merujuk pada hubungan sosial dan lembaga yang mengatur akses dan tata guna lahan dan sumber daya (von Benda-Beckman et al. 2006). Ostrom dan Schlager (1996) menyatakan dalam hak kepemilikan terdapat kumpulan hak (bundle of right), yaitu hak akses (access) atau hak untuk masuk ke area dan hanya menikmati manfaat non-konsumtif. Mereka yang memiliki hak tersebut disebut sebagai 'pendatang resmi (authorised entrants)'. Hak pemanfaatan (withdrawal) atau hak untuk memanen unit sumber daya. Mereka yang memiliki hak akses dan pemanfaatan disebut sebagai pengguna resmi (authorised user). Hak manajemen (management) atau hak untuk

1

Pengetahuan lokal adalah pengetahuan yang dikembangkan oleh suatu komunitas masyarakat selama berabad-abad. Pengetahuan lokal dikembangkan berdasarkan pengalaman, telah diuji penggunaannya selama berabad-abad, telah diadaptasikan dengan budaya dan lingkungan setempat, serta bersifat dinamis dan berubah-ubah (Mathias 1995 dalam Setyowati et al. 2008).

2

(34)

10

menentukan bagaimana, kapan dan dimana penggunaan konsumtif sumber daya dapat dilakukan, serta apakah dan bagaimana struktur sumber daya yang dapat diubah. Orang atau kelompok yang memiliki hak-hak ini dikenal sebagai claimants. Hak eksklusi (exclusion) atau hak untuk menentukan siapa yang akan memiliki hak akses dan bagaimana hak dimungkinkan untuk ditransfer. Mereka yang memiliki hak ini disebut proprietors. Hak alienation atau hak untuk menjual atau menyewakan salah satu atau kedua hal di atas. Orang atau kelompok yang memiliki hak ini disebut pemilik (owners). Selanjutnya Ostrom dan Schlager (1996) menyatakan bahwa hak kepemilikan yang didefinisikan dengan baik untuk eksis, maka pengguna sumber daya harus memiliki kedua hak pada tingkat operasional (access dan withdrawal), serta pilihan kolektif (management, exclusion, dan alienation) untukmengelola CPRs mereka.

Belum adanya pengakuan secara formal atas keberadaan wilayah-wilayah adat dan hak masyarakat adat dalam mengelola SDA-nya yang telah mereka kelola turun-temurun dapat melemahkan daya kontrol mereka terhadap SDA. Di sisi lain, kemampuan negara dalam mengelola SDA relatif terbatas, baik dalam hal sumber daya manusia maupun pendanaan, yang menyebabkan kontrol terhadap SDA menjadi lemah, sehingga SDA yang bersifat CPRs mudah terdegradasi karena terjadi open access. Sementara itu, penguasaan SDA oleh negara menyebabkan negara dapat memutuskan untuk mengalokasikan hak-hak eksploitasi atau menetapkan kawasan konservasi tanpa kesepakatan dengan masyarakat lokal (Kosmaryandi 2012).

Pengelolaan SDA tergantung pada batas yuridiksi kelembagaan yang ada. Batas yuridiksi ditentukan oleh paling tidak empat hal (Shaffer dan Schmid dalam Pakpahan 1989), yaitu perasaan sebagai satu komunitas, perasaan ini akan menentukan siapa yang berhak memanfaatkan SDA dan siapa yang tidak boleh. Homogenitas prefensi menentukan siapa yang berwenang dalam menentukan suatu keputusan. Skala ekonomi yang sangat terkait dengan biaya yang tepat dalam menyelesaikan permasalahan pengelolaan SDA. Selanjutnya, eksternalitas yang akan mendefinisikan siapa yang akan menanggung atas apa atau terhadap sesuatu. Eksternalitas sendiri diartikan sebagai dampak kegiatan atau konsumsi dari suatu pihak mempengaruhi utilitas pihak lain secara tidak diinginkan (Fauzi 2006).

Sumber daya alam yang dimiliki secara komunal dalam pengelolaannya secara bersama akan tunduk pada aksi kolektif, maka persoalan kepemimpinan, keterwakilan dan kewenangan menjadi bagian penting dalam proses pengambilan keputusan (Larson 2013). Dalam kelembagaan, hal ini terkait dengan aturan representasi, dimana proses pengambilan keputusan yang tepat dan partisipasi dalam proses pengambilan keputusan menjadi sangat penting. Aturan representasi akan menentukan jenis keputusan yang dibuat dan akan menentukan biaya transaksi (Pakpahan 1989), serta menjadi landasan bagi pembagian akses dan pendistribusian manfaat secara adil kepada anggota kelompok (Larson 2013).

(35)

11 bukan hanya satu individu atau kelompok, bahkan bukan hanya untuk satu tujuan sehingga pengelolaan SDA biasanya berhubungan dengan konflik kepentingan dari berbagai stakeholders. Oleh karena itu, sangat penting untuk memahami berbagai keterlibatan stakeholders dalam pengelolaan SDA (Reed et al. 2009). Freeman dan Reed (1983) mendefinisikan stakeholders sebagai kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh suatu pencapaian tujuan tertentu.

Pada dasarnya SDA dan lingkungan memiliki kapasitas daya dukung yang terbatas, untuk itu perspeksif Malthusian memandang pemanfaatan SDA perlu kehati-hatian. Untuk mencapai pengelolaan SDA yang berkelanjutan dibutuhkan sinergi yang baik antara fungsi ekonomi, ekologi, dan sosial (Sardjono 2004). Salah satu cara untuk menjamin keberlanjutan SDA dengan melakukan konservasi, yang menurut World Conservation Strategy tahun 1980 bahwa upaya konservasi diarahkan pada tiga tujuan pokok, yaitu memelihara proses-proses ekologi esensial dan sistem penyangga kehidupan, pelestarian keanekaragaman genetik, dan terjaminnya pemanfaatan spesies dan ekosistem secara lestari.

Kelembagaan lokal yang berada di suatu komunitas selalu berubah, dapat menguat maupun melemah, hal ini disebabkan karena kelembagaan bersifat dinamis (Hidayat 2007). Kelembagaan dikatakan kuat (more institutionalized) jika dapat berjalan dengan baik, dapat ditegakkan (well enforeced), dihormati (respected), dan efektif, tetapi jika menunjukan keadaan sebaliknya, maka kelembagaan dapat digolongkan sebagai kelembagaan yang melemah atau kurang melembaga (less institutioalized). Melemahnya kelembagaan lokal dalam pengelolaan suatu SDA dapat disebabkan oleh rendahnya kapasitas kelembagaan lokal tersebut akibat tekanan berbagai faktor eksternal, seperti aturan formal dan atau situasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Schimd (1987) bahwa rendahnya kapasitas kelembagaan menjadi akar penyebab ketidak mampuan sebuah organisasi untuk melakukan fungsinya secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan dalam rangka mendukung misi organisasi.

Kelembagaan lokal dalam mengelola SDA yang melemah perlu dikuatkan agar tujuan pengelolaan SDA yang berkelanjutan dapat diwujudkan. Penguatan sendiri mengandung dua pengertian, yaitu memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain, dan memberikan kemampuan atau keberdayaan (Prijono dan Pranarka 1996). Penguatan dimaknai juga sebagai upaya memberdayakan masyarakat lokal yang menjadi sebuah konsep pembangunan yang merangkum nilai-nilai sosial (Kartasasmita 2003). Pemberdayaan mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni berpusat pada masyarakat, partisipasi, menguatkan, dan keberlanjutan (Chambers 1995).

1.6 Kerangka Pikir

(36)

12

CBPS dengan karakteristik yang khas. Pengelolaan SDA oleh masyarakat tidak terlepas dari aturan informal (kelembagaan lokal) yang berlaku di masyarakat Mentawai, dan dipengaruhi pula oleh aturan formal (peraturan perundang-undangan) yang ada. Kombinasi antara situasi dan kelembagaan yang ada, membentuk perilaku dalam pengelolaan SDA yang berdampak pada ketiga aspek kelestarian, yaitu kelestarian ekologi, kelestarian ekonomi, dan kelestarian sosial. Perilaku dari masyarakat yang negatif, seperti tidak menanam kembali pohon yang ditebang setelah meramu hasil hutan atau menggunakan racun dalam menangkap ikan, akan merusak atau mengurangi nilai dari SDA. Demikian pula sebaliknya, perilaku masyarakat yang positif akan menjamin kelestarian SDA. Perilaku negatif dari masyarakat mengindikasikan ketidak mampuan atau melemahnya kelembagaan masyarakat dalam pengelolaan SDA, sehingga diperlukan penguatan kelembagan pengelolaan SDA di CBPS agar masyarakat Mentawai dapat memanfaatkan SDA sekarang dan generasi mendatang.

Dengan asumsi bahwa sumber daya alam, sumber daya manusia, dan teknologi tidak berubah selama proses penelitian, maka fokus peneliti dapat diarahkan pada perbaikan kelembagaan (Pakpahan 1989). Kerangka pikir penelitian penguatan kelembagaan pengelolaan SDA Suku Mentawai di CBPS disajikan pada Gambar 1.1.

1.7 Kebaruan (Novelty) Penelitian

Mengintegrasikan antara kelembagaan formal dan informal khususnya yang berbasis hak kepemilikan masyarakat setempat dalam pengelolaan sumber daya cagar biosfer di Indonesia. Temuan ini sangat penting untuk tata kelola sumber daya CBPS yang berkelanjutan, dan memperkuat teori kepemilikan bersama Ostrom yang menelaah tentang kepemilikan bersama tidak selalu menyebabkan pemanfataan sumber daya secara berlebihan karena adanya pranata sosial (kelembagaan) masyarakat setempat yang dilegitimasi oleh seluruh anggota masyarakatnya.

1.8 Struktur Penulisan

(37)

13

Kelestarian ekologi Kelestarian ekonomi Kelestarian sosial Perilaku stakeholders

dalam pengelolaan SDA

Stakeholder

SDA sumber penghidupan Suku Mentawai di CBPS

Penguatan kelembagaan Pengelolaan SDA Suku Mentawai di CBPS

Situasi SDA di CBPS

Aturan informal

Aturan formal

(38)

14

2

CAGAR BIOSFER PULAU SIBERUT

Kepulauan Mentawai banyak menarik perhatian para naturalis karena keterisolasian kepulauan ini dari daratan utama (Sumatera) sekitar setengah juta tahun yang lalu. Keterisolasian ini menjadikan pulau-pulau di Mentawai mempunyai keunikan flora, fauna, dan kebudayaan masyarakatnya. Kepulauan Mentawai terdiri dari empat pulau besar, yaitu Sipora, Pagai Utara, Pagai Selatan, dan Siberut. Pulau Siberut lebih menarik perhatian karena mempunyai hutan yang masih luas dibandingkan dengan ketiga pulau lain dan penduduknya masih menerapkan kebudayaan tradisional mereka.

Pulau Siberut memiliki luas sekitar 4 030 km² atau 403 000 ha3. Pulau ini merupakan pulau terbesar dari empat pulau di Kepulauan Mentawai yang terletak dilepas pantai barat Provinsi Sumatera Barat, Indonesia (Gambar 2.1). Pulau Siberut terletak antara 0º 80‟-2º 00‟ LS - 98º 60‟-99º 40‟ BT. Jarak antara Pulau Siberut dengan pulau utama (Sumatera) sekitar 155 km yang dipisahkan oleh Selat Mentawai. Secara administrasi kepemerintahan, Pulau Siberut termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Kepulauan Mentawai yang terdiri atas 5 kecamatan, 20 desa,

Gambar 2.1 Peta Kepulauan Mentawai

3

Luas Pulau Siberut berbeda dalam beberapa literatur, yaitu 4 030 km² (BTNS 2010), 3 858 km² (Dishut Kab. Kep. Mentawai 2013), dan 3 838 km² (BPS Kab. Kep. Mentawai 2014). Perbedaan ini dapat terjadi karena penggunaan alat dan peta yang berbeda.

P. Siberut

P. Sipora

P. Pagai Utara

(39)

15 dan 146 dusun (Lampiran 1). Kecamatan yang ada di Pulau Siberut, yaitu Siberut Utara beribukota di Muara Sikabaluan, Kecamatan Siberut Selatan beribukota di Muara Siberut, Kecamatan Siberut Barat beribukota di Betaet, Kecamatan Siberut Tengah beribukota di Saibi Samukop, dan Kecamatan Siberut Barat Daya beribukota di Teileleu.

2.1 Karakteristik Biofisik Pulau Siberut

Pulau Siberut beriklim khatulistiwa yang panas dan lembab dengan curah hujan yang tinggi dan tidak ada musim kemarau yang berkepanjangan. Rata-rata curah hujan per tahun sekitar 3 320 mm. Curah hujan paling lebat turun pada bulan April hingga Oktober, sedangkan bulan-bulan yang relatif kering pada Februari hingga Juni. Suhu dan kelembaban relatif konstan dengan kelembaban berkisar antara 81-85 %, sementara rata-rata suhu minimum dan maksimumnya adalah 22ºC dan 31ºC tiap harinya.

Pulau Siberut merupakan pulau sedimen yang didominasi oleh serpihan, endapan dan marmer berumur relatif muda. Terdapat beberapa daerah kecil yang terdiri atas konglomerasi pra-Miocene yang mengandung lapisan karang tipis (sista), kwarsa dan sedikit karang kapur yang mungkin terbentuk pada masa Miocene, serta beberapa batuan vulkanis yang bersebaran yang mungkin berasal dari ledakan gunung api di Sumatera pada masa Meiocene. Sebagian besar dari bentukan geologis muncul pada masa Pliocene, Pleistocene dan Holocen.

Topografi Pulau Siberut dicirikan mendatar hingga berbukit dengan puncak tertinggi 384 mdpl (meter di atas permukaan laut). Perbukitan tersebut memiliki variasi kemiringan lereng mulai dari kemiringan 25% hingga melebihi 75%. Daerah dataran umumnya berada pada kemiringan lereng 0-15% dengan ketinggian mulai dari 0-50 m.

Sistem pola aliran di Pulau Siberut menunjukkan sistem pola aliran yang komplek, umumnya membentuk pola aliran paralel sampai sub-trellis. Hal ini diakibatkan karena kondisi medan yang non-resisten, sehingga seringkali terjadi erosi yang menyebabkan perkembangan bentang lahan (landscape) yang terpotong-potong dan tidak rata dengan sungai dan aliran air, serta kondisi kawasan yang berbukit-bukit. Sistem pola aliran sungai di Pulau Siberut yang sangat rumit menyebabkan proses regenerasi hutan sangat lambat. Peranan hutan menjadi sangat penting mengingat fungsinya sebagai pengontrol hidrologi seluruh pulau. Ditinjau dari batuan dasar pembentuk tanah Pulau Siberut, umumnya berfraksi halus/debu atau berbentuk lempungan, mudah tererosi dan sifat infiltrasinya cenderung rendah. Bukti adanya erosi yang kuat terlihat dari kondisi air sungai yang menjadi keruh akibat adanya pengupasan pada lapisan atas tanah khususnya lapisan humus atau rombakan organik. Infiltrasi yang rendah terlihat dari respon aliran sungai yang kuat terhadap presipitasi. Pada saat terjadi hujan, air sungai akan cepat naik. Hal ini disebabkan air hujan tidak sempat meresap ke dalam tanah dan langsung mengalir menjadi air limpasan permukaan (run off), tetapi akan cepat turun beberapa saat setelah hujan berakhir.

(40)

16

semua hulu sungai besar ini berasal dari area inti CBPS (kawasan TNS). Sementara itu, sumber daya air dalam bentuk danau (danau gopgip) hanya terdapat di Siberut Barat Daya seluas 200 ha.

Tabel 2.1 Sungai, lokasi, dan luasan daerah aliran sungai (DAS) di Pulau Siberuta

Nama sungai Lokasi

(kecamatan) Luas DAS (ha) Nama sungai

Lokasi (kecamatan)

Luas DAS

(ha)

Buga Siberut Selatan 7 068 Cimpungan Siberut Utara 13 153 Tomiang Siberut Selatan 1 501 Siberut Selatan 4 998 Kalea Siberut Selatan 15 993 Simatalu Siberut Utara 35 547 Laplap Siberut Selatan 1 469 Siberut Selatan 6 059 Mabosoa Siberut Selatan 3 383 Gurukna Siberut Utara 3 190 Maileppet Siberut Selatan 1 197 Labuhan

Bajau

Siberut Utara 3 535

Makatowal Siberut Selatan 841 Murak Siberut Utara 7 396 Makerumonga Siberut Selatan 971 Puran Siberut Utara 1 274 Mangeungeu Siberut Selatan 6 180 Saibi Siberut Utara 2 158 Mapinang Siberut Selatan 3 287 Sigapokna Siberut Utara 1 265 Noinan Siberut Selatan 24 988 Sigep Siberut Utara 25 765 Pulau Masokut Siberut Selatan 1 661 Sikabaluan Siberut Utara 30 963 Putapiri Siberut Selatan 532 Sikamomui Siberut Utara 6 430 Sagulubek Siberut Selatan 14 332 Simalegi Siberut Utara 27 217 Saibi Siberut Selatan 19 647 Sirilogui Siberut Utara 5 389 Sarabua Siberut Selatan 5 673 Takungan Siberut Utara 13 526 Siberut Siberut Selatan 49 821 Tiniti Siberut Utara 3 281 Silotok Siberut Selatan 1 060 Tobekat Siberut Utara 10 553 Siribakbak Siberut Selatan 9 606

a

BPDAS Agam Kuantan (2011).

(41)

17

Gambar 2.2 Transek Pulau Siberut (Meyers 2003)

PHKA (1995) menyebutkan bahwa hutan-hutan di CBPS dikelompokkan dalam tujuh tipe ekosistem, yaitu: (1) hutan primer Dipterocarpaceae. Hutan ini berada di daerah tinggi dan berbukit-bukit. Tinggi kanopi hutan umumnya sekitar 40-50 m dengan tinggi pohon sekitar dapat mencapai 50 m. Jenis pohon yang dominan, yakni Dipterocarpus spp., Shorea spp., Vatica spp., dan Hopea spp, selain itu dapat ditemukan juga Palaquium sp. (Sapotaceae) dan Hydnocarpus sp.; (2) hutan primer campuran. Dijumpai pada lereng dan bukit yang lebih rendah di bawah hutan primer Dipterocarpaceae. Banyak jenis pohon terwakili tapi tidak ada yang dominan. Famili yang umum dijumpai, yakni Euphorbiaceae, Myristicaceae, Dilleniaceae, Dipterocarpaceae, dan Fabaceae; (3) hutan Dipterocarpaceae regenerasi bekas tebangan. Hutan tipe ini merupakan hutan bekas tebangan dari beberapa perusahaan kayu yang pernah beroperasi di CBPS. Beberapa daerah didominasi oleh tumbuhan pioneer, seperti Macaranga spp., Trema spp., dan Neolamarkis spp.; (4) hutan rawa air tawar. Pada tipe hutan ini tumbuhan tingkat pohonnya terbatas dan khusus, sering didominasi oleh Terminalia phellocarpa. Banyak terdapat di lembah dan di sekitar aliran sungai. Lahan basah dan paling luas berada di pantai timur. Tumbuhan didominasi oleh palem, rotan, pandan dan aroid; (5) hutan mangrove. Hutan ini dijumpai sepanjang garis pantai dan di pulau-pulau di pantai timur. Secara umum Rhizophora merupakan genus utama dan tersebar luas pada kelompok mangrove di Pulau Siberut; (6) hutan rawa sagu. Hutan ini banyak terdapat di lembah-lembah dan daerah yang tergenang; dan (7) hutan pantai. Hutan tipe ini dapat dijumpai sepanjang pantai barat Pulau Siberut. Jenis yang umum dijumpai, antara lain Casuarina equsetifolia, Baringtonia sp., Hibiscus tiliaceus, dan Pandanus sp.

(42)

18

endemik pada tingkat genus, jenis, dan subjenis. Di antara mamalia tersebut, kelompok primata menjadi perhatian utama karena bersifat endemik 100% untuk Pulau Siberut. Primata yang menjadi flagship tersebut, yaitu bilou (Hylobates klosii), bokkoi (Macaca siberu), joja (Presbitys potenziani), dan simakobu (Simias concolor). Selain itu, terdapat 173 jenis burung, 77 jenis herpetofauna, 120 jenis serangga, dan 32 jenis ikan air tawar (Nopiansyah et al. 2016).

Berdasarkan karakteristik pulau-pulau yang ada di Indonesia, Pulau Siberut dikategorikan sebagai ekosistem pulau kecil menurut kategori Kementerian Kelautan dan Perikanan, yaitu:

1. Pulau yang ukuran luasnya kurang atau sama dengan 10 000 km2, dengan jumlah penduduknya kurang atau sama dengan 200 000 orang. Pulau Siberut memiliki luas 4 030 km2 dengan jumlah penduduk sekitar 37 416 jiwa.

2. Secara ekologis terpisah dari pulau induknya (mainland island), memiliki batas fisik yang jelas, dan terpencil dari habitat pulau induk sehingga bersifat insular. Secara ekologis, Pulau Siberut telah terpisah dari Pulau Sumatera sebagai pulau induk selama lima ratus ribu tahun yang lalu, memiliki batas fisik yang jelas, dan bersifat insular karena terisolasi dari habitat pulau induk. 3. Mempunyai sejumlah besar jenis endemik dan keanekaragaman yang tipikal

dan bernilai tinggi. Pulau Siberut memiliki keanekaragaman jenis yang bersifat endemik dan empat jenis primatanya menjadi jenis flagship.

4. Daerah tangkapan air (catchment area) relatif kecil sehingga sebagian besar aliran air permukaan dan sedimen masuk ke laut. Pulau Siberut memiliki daerah tangkapan air yang relatif kecil akibat jenis tanahnya yang sebagian besar bertekstur liat. Sebagian besar air hujan langsung menjadi aliran air permukaan (run off) yang bersama dengan sedimen masuk ke laut.

5. Sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat pulau-pulau kecil bersifat khas dibandingkan dengan pulau induknya. Masyarakat Mentawai memiliki kekhasan sosial dan budaya yakni hidup dalam kelompok sosial berbasiskan pada uma. Uma merupakan satuan sosial maupun politik di masyarakat Mentawai yang egaliter. Secara ekonomi masyarakat masih tergantung dari perladangan (pumonean) dan hutan (leleu).

2.2 Status dan Fungsi Kawasan Hutan

(43)

19

Tabel 2.2 Luas Pulau Siberut berdasarkan fungsi lahana

Fungsi lahan Luas (ha) Persentase

Hutan Konservasi (KPA/KSA) 180 579.88 46.80

Hutan Lindung (HL) 3 906.07 1.01

Hutan Produksi Terbatas (HPT) - -

Hutan Produksi Tetap (HP) 119 045.34 30.85

Hutan Produksi Konversi (HPK) 48 972.69 12.69

Areal Penggunan Lain (APL) 33 343.44 8.64

Total 385 847.42 100

a

Dinas Kehutanan Kabupaten Kepulauan Mentawai (2013).

Tabel di atas menunjukkan bahwa fungsi hutan terluas adalah HK yang terdiri atas Taman Nasional Siberut (TNS) dan Hutan Suaka Alam dan Wisata (HSAW) Teluk Saibi Sarabua. Selanjutnya HP, yang saat ini sebahagian dari hutan tersebut di bagian utara Pulau Siberut dikelola oleh Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam (IUPHHK-HA) PT. Salaki Summa Sejahtera (PT. SSS) seluas 48 420 ha dan bagian tengah di terdapat IUPHHK- RE (restorasi) seluas 79 795 ha. HL banyak terdapat di pesisir pantai timur yang didominasi oleh hutan mangrove. APL digunakan untuk sarana dan prasarana ibukota kecamatan, desa dan dusun, permukiman, dan perladangan. Data tersebut memperlihatkan bahwa menurut aturan formal, ruang kelola (lahan/hutan milik) masyarakat Mentawai sangat kecil dibandingkan dengan lahan yang dikuasai oleh negara.

2.3 Masyarakat Mentawai

Asal usul orang Mentawai4 sampai saat ini masih belum jelas. Terdapat dua kelompok pendapat tentang asal usul ini, yaitu kelompok Duyvendak yang berpendapat bahwa orang Mentawai termasuk ras Proto-Melayu dan kelompok kedua berdasarkan pendapat Stibbe dan Graaff yang berpendapat bahwa orang Mentawai berasal dari Polinesia (Coronese 1986). Nenek moyang orang Mentawai pertama kali datang ke Pulau Siberut diperkirakan sekitar 3 000 tahun yang lalu. Kebudayaan orang Mentawai diperkirakan sezaman dengan kebudayaan Dongson di Asia Tenggara. Asumsi ini didasarkan dari pola hias benda-benda seni dari kayu yang coraknya mirip dengan corak benda-benda perunggu dari wilayah Dongson, seperti bentuk segitiga pada pola geometrik di nekara. Walaupun demikian, peradaban lama Suku Mentawai tidak mengenal logam. Kebudayaan Mentawai sarat dengan kebudayaan yang dikenal pada masa prasejarah dengan ditemukannya kapak batu di Pulau Siberut. Kebudayaan tradisional di Kepulauan Mentawai, baik dari segi teknologi, sosial, maupun religius masih menampakkan wujud neolitik atau zaman batu muda (Schefold 1991).

Menurut orang Mentawai, mereka satu keturunan yang berasal dari daerah Simatalu yang terletak di bagian Barat Pulau Siberut, kemudian menyebar ke

4

Gambar

Tabel 1.2  Perbandingan pandangan antara pemerintah dengan masyarakat lokal a
Gambar 1.1  Kerangka pikir penelitian Penguatan Kelembagaan Lokal
Tabel 2.1  Sungai, lokasi, dan luasan daerah aliran sungai (DAS) di Pulau Siberuta
Tabel 2.3  Cagar biosfer di Indonesia hingga tahun 2016
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kelompok tanduk gayor, leang, dan ngabendo tidak memiliki nilai yang berbeda nyata pada bobot badan, lingkar dada, panjang badan, tinggi pundak, lingkar skrotum, dan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh profitabilitas, leverage dan ukuran perusahaan berpengaruh terhadap praktek perataan laba pada Perusahaan

classroom blogging ini sebagai salah satu media pembelajaran yang dapat digunakan dalam kelas. Classroom blogging ini dapat akses dari luar sekolah selama di

Berdasarkan temuan dan simpulan penelitian tentang implementasi program Manajemen Berbasis Sekolah Pada Satuan Pendidikan Tingkat SLTP di Wilayah Perbatasan

Kelompok SONE sendiri dikenal sebagai kelompok fandom k- SRS ³ HNVNOXVLI´di kota Tegal ,selain itu mereka ingin membuat kesan dengan menyampaikan pesan nonverbal

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa Penelitian Tindakan Kelas adalah penelitian yang dilakukan guru secara sistematis dalam kegiatan belajar berupa sebuah

Di zaman modern ini, banyak beredar alat-alat yang canggih yang dapat mempermudah kehidupan dan kebutuhan hidup manusia. Begitu juga dalam hal ibadah seperti

Yang bertanda tangan dibawah ini saya, Niken Alyani, menyatakan bahwa skripsi dengan judul : Pengaruh Pelatihan Dan Lingkungan Kerja Terhadap Loyalitas Karyawan