• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan Hutan Skala Kecil(Small Scale Forest Management)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengelolaan Hutan Skala Kecil(Small Scale Forest Management)"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

Karya Tulis

PENGELOLAAN HUTAN SKALA KECIL

(Small Scale Forest Management)

Oleh :

S A M S U R I NIP 132 259 570

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas penyusunan paper dengan judul “Pengelolaan Hutan Skala Kecil (Small Scale Forest Management)”.

Mengingat kondisi hutan alam di Indonesia yang terfragmentasi, maka paper ini mencoba menjelaskan tentang model pengelolaan hutan dalam skala kecil (luasannya), sebagai alternatife model pengelolaan hutan alam di Indonesia di masa mendatang.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam tulisan ini. Kritik dan saran sangat penulis harapkan bagi perbaikan di masa yang akan datang. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Januari 2009

(3)

DAFTAR ISI

B PENGELOLAAN HUTAN SKALA KECIL 4

1. Pengertian dan Definisi 4

2. Small Scale Forest (SSF) di Beberapa Negara 5

3. Pengelolaan “Small Scale Forest “ di Indonesia 6

Pengalokasian dan Distribusi Lahan Hutan Sistem Plasma dan Inti

10

10

4. Perencanaan Pengelolaan Small Scale Forest (SSF) 11

5. Pertimbangan Finansial Pengelolaan Small Scale Forest (SSF) 12

Daur Finansial Pengelolaan Small Scale Forest (SSF) Kelas Perusahaan Pengelolaan Small Scale Forest (SSF) Umur Ekonomis Tebang Habis Scale Forest (SSF) Tipe-tipe Penjualan Hasil Small Scale Forest (SSF) Ukuran Luas Panen Pengelolaan Small Scale Forest (SSF)

13

14

15

16

17

5. Monitoring Pengelolaan Small Scale Forest (SSF) 19

C PENUTUP 21

(4)

DAFTAR TABEL

No Text Hal

Tabel 1 Distribusi kepemilikan hutan berdasarkan rumah tangga di

Jepang pada tahun 1990

6

Tabel 2 Berbagai daur jenis tanaman kehutanan 14

Tabel 3 Nilai NPV, BCR dan IRR jenis tanaman yang dapat dijadikan tanaman pokok dalam SSF

(5)

DAFTAR GAMBAR

No Text Hal

(6)

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Hutan merupakan ekosistem kompleks yang dinamis, yang di dalamnya

berlangsung proses perubahan dan interaksi antar komponen ekosistem. Proses

perubahan dan interaksi ini diyakini sebagai suatu tahapan menuju keseimbangan

ekosistem hutan itu sendiri. Dengan adanya dinamika dalam ekosistem hutan,

maka menentukan metode pengelolaan harus senantiasa mengikuti perubahan

yang terjadi.

Jika pada saat sekarang sulit sekali menemukan luasan hutan yang kompak dalam

luasan yang besar, maka diperlukan suatu metode pengelolaan yang mungkin

berbeda dengan pada saat hutan masih luas. Dewasa ini hutan telah

ter-fragmentasi ke dalam luasan-luasan kecil dan tidak kompak; dari yang semula

satu areal konsesi hak pengusahaan hutan dengan luas ratusan ribu hektar

kompak; areal ijin pemanfaatan hutan menjadi lebih sempit dari puluhan sampai

ratusan hektar.

Ekstrimnya, di masa yang akan datang bukan tidak mungkin kita hanya

menemukan hutan yang kompak hanya dengan luasan puluhan hektar. Mengelola

hutan yang memiliki luas misalnya hanya 10 hektar mungkin mudah jika hanya

manfaat jasa hutan dan fungsi konservasi tanah. Namun akan menjadi tantangan

jika hutan dengan luasan tersebut harus dapat menghasilkan kayu secara kontinu.

Kondisi nyata inilah yang akan kita hadapi dalam mengelola hutan di masa yang

akan datang. Melalui tulisan ini akan dijelaskan gagasan, ide dan pemikiran

bagaimana mengelola hutan dalam skala kecil. Tentu saja masih disertakan

penjelasan tentang pengelolaan hutan yang telah diterapkan selama ini meliputi

kendala dan permasalahannya serta strategi mengatasinya.

2. Tujuan :

Adapun tujuan dari penyusunan tulisan ini adalah :

(7)

2. Menjelaskanperkembangan pengelolaan hutan skala kecill

3. Menggali dan mencari bentuk pengelolaan hutan dalam skala kecil ”Small

scale forest”

3. Metodologi

Penyusunan paper ini menggunakan metode studi pustaka, dan diskusi

mempertajam pembahasan materi dan teori. Analisis dilakukan dengan

mendiskripsikan dan membandingkan data-data serta informasi praktek

manajemen hutan.

B. PENGELOLAAN HUTAN SKALA KECIL

1. Pengertian dan Definisi

Small scale forest yang disingkat SSF didefinisikan sebagai hutan dengan luas

area lebih kurang 100 hectares (ha), dan dapat mencapai luasan maksimum 1000

hekktar dengan pertimbangan kepentingan nasional (The Ministry of Forestry and

the New Zealand Forest Research Institute, 1996)

Horison et al 2002 menyatakan bahwa SSF sering merujuk pada apa yang disebut

dengan pemilik kecil skala hutan. Philippines Mangaoang 2002 dalam Horison

et al 2002 disebutkan bahwa fokus manajemen hutan dan konservasi telah beralih

secara bertahap dari pengelolaan hutan komersial tinggi ke arah lebih berorientasi

pada pengeloaan hutan berorientasi masyarakat. Dan yang lebih baru, pergeseran

paradigma dalam pengelolaan hutan ke arah skala kecil, berbasis multiproduk, dan

berbasis masyarakat.

Di Eropa pergeseran pengelolaan SSF dimulai dengan munculnya demokrasi,

yang membawa implikasi terpecah-pecahnya kepemilikan lahan dalam skala

besar, dan pemerintah membagi lahan ke kepemilikan pribadi. SSF

(8)

berdasar pada seleksi jenis, sosial dan tujuan ekonomi pemilik kunci dan pasar

kehutanan. Penelitian-penelitian pun mulai diarahkan dari kehutanan skala besar

menjadi SSF (Horison et al 2002)

SSF dalam farm forestry di Autria didefinisikan sebagai pemilikan hutan pribadi

dengan luasan antara 1 sampai dengan 200 ha Sekot 2001 dalam Horison et al

2002. Pada umumnya SSF di Eropa memiliki biodiversity tinggi seperti di

Swedia, Norwegia dimana pemilik merupakan keluarga yang memiliki tradisi

mengelola hutan disamping aktivitas ekonomi mereka di bidang pertanian;

dengan luasan hutan milik pribadi berkisar antara 25 sampai dengan 40 ha.

Berbeda dengan di Jerman, Autria dan Swiss; sejumlah pemilik hutan

mempunyai luasan kurang dari 5 ha. Ada juga yang menyebut SSF sebagai

sepetak kayu yang umumnya komersial, seperti di negara Autralia.

Di Selandia Baru SSF oleh Bawden 2000 dalam Horison et al 2002, dinyatakan

juga harus diuji dari perspektif keuangan. Dalam perpektive ini termasuk

investor yang terlibat dalam perusahaan gabungan dan petani-petani yang

memiliki beberapa ratus hektar tegakan.

Departemen Kehutanan India menyatakan bahwa SSF adalah hutan atau

kumpulan tegakan yang berada di luas kawasan hutan, terutama

tanaman-tanaman di dalam hutan rakyat MOEF 1998 dalam Horison et al 2002.

Kelompok tanaman ini harus kompak dalam area lebih dari 0.1 ha di lahan milik

pribadi, yang diantara kelompok tanaman inilah dapat disebut sebagai SSF.

Sama halnya dengan di Philipina, SSF berasal dari andanya bantuan Bank Dunia

pada masyarakat untuk menanam pohon dalam rangka produksi, dan konservasi

tanaman pada lahan milik.

2. Small Scale Forest (SSF) di Beberapa Negara

Di Kanada hutan dimiliki dan atau dikelola oleh individu dengan Small Forest

(9)

hutan. Pemilik-pemilik hutan ini mengorganisasi diri dalam serikat-serikat kecil

melalui persetujuan individu maupun kelompok masyarakat. Sebagian besar

hutan di Kanada terpisah dalam luasan-luasan kecil dan tidak jarang berada di

tengah-tengah pemukiman dengan penduduk yang padat dengan banyak jalan,

jalan air, pertanian dan pengembangan perumahan.

Pemilik SSF mendominasi gambaran umum kepemilikan hutan dan hutan

negara, sehingga produk hutan domestik Jepang sebagian besar berasal dari

private forestland. Sebesar 57.9% luas hutan di Jepang merupakan hutan milik

pribadi dan sekitar 76% panen kayu berasal dari hutan milik pribadi Sebagian

besar hutan milik perseorangan luasannya kecil (Tabel 1), dengan mayoritas

pemilik adalah perusahaan dan hutan bersama masyarakat. Perusahan sebagai

pemilik mempunyai hutan dengan rata-rata luas 34.6 ha, sedangkan masyarakat

memiliki hutan dengan luas rata-rata sekitar 19.3 ha. Sebagian besar pemilik

hutan pribadi di Jepang sekitar 90% nya mempunyai areal dengan luas kurang

dari 2 ha (Ota, 2002)

Horison et al 2002 menyatakan terminologi SSF di AS jarang digunakan dan

sering tidak sesuai, terutama untuk kepemilikan hutan di atas 1000 ha; beberapa

negara bahkan menggunakan istilah ”family forestry” dan ”farm forestry” atau

hutan pribadi non industri. Sementera itu Horison dan Jay tahun 2000

menyatakan bahwa SSF diadopsi dari istilah hutan pribadi bukan industri, yang

dimiliki petani, individu-individu lain dan perusahaan yang tidak melakukan

penanaman tanaman. Terdapat sekitar 600.000 pemilik hutan dengan luas

(10)

Tabel 1. Distribusi kepemilikan hutan berdasarkan rumah tangga di Jepang pada tahun 1990

Jumlah pemilik Area

Kelas

Rumah Tangga % (ha) %

0.1-1 ha 1,452,255 57.89 560,797 8.31

1-5 ha Sumber : The Shrinking Profitability of Small-scale Forestry in Japan, Ota 2002

Negara-negara Eropa, misalnya Finlandia menyebut SSF dari istilah terminologi

hutan non industri, dimana lebih dari 600.000 keluarga di sana mengontrol sekitar

60% hutan di negara itu.

Di North Karelia yang disebut propinsi hutan di Eropa, pemilik hutan dibagi

hampir sama ke dalam 4 kategori yaitu hutan negara, hutan industri, hutan milik

petani dan milik pribadi non petani. Mendekati angka 20000 pemilik hutan

pribadi di propinsi ini. Petani dan pemilik pribadi non petani bersama-sama

memiliki lebih dari setengah lahan hutan, dan mereka sangat significan dalam

menyediakan kayu untuk industri secara tidak sama. Ukuran rata-rata sebuah

kepemilikan hutan adalah 38 ha dengan perkiraan tegakan persediaan kurang

(11)

3. Pengelolaan Small Scale Forest (SSF) di Indonesia

Kondisi hutan alam di Indonesia yang terfragmentasi memperlihatkan kenyataan

bahwa sangat sulit membuat sebuah unit manajemen utuh dan kompak dengan

tegakan hutan yang luas. Tegakan-tegakan yang ada, hanya ada dalam bentuk

luasan yang kecil sampai ratusan hektar bahkan mungkin hanya sampai puluhan

hektar saja.

Secara ekologis dan kepentingan social, hutan dengan luasan puluhan sampai

ratusan hektar tidak menjadi masalah. Akan tetapi yang perlu diperhatikan

adalah ketika hutan dengan luasan kecil ini harus memberikan hasil berupa kayu.

Undang-undang No 41 Tahun 1999 menyatakan bahwa berdasarkan status

kepemilikannya dikenal hutan negara dan hutan milik. Hutan negara adalah

kawasan hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak milik,

sedangkan hak milik adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak

milik, yang dalam penjelasan hutan milik ini lazim disebut dengan hutan rakyat.

Krisis ekonomi yang menghancurkan sebagian dunia usaha, ternyata tidak untuk

perekonomian masyarakat pertanian dan kehutanan. Bahkan di negara AS pun,

menurut Bliss 2003, pada saat perubahan kondisi sosial ekonomi global tak bisa

dihindari, hutan keluarga di AS sangat dibutuhkan keberadaanya.

Praktek pengelolaan hutan dalam luasan yang kecil sebenarnya telah ada sejak

lama di Indonesia. Sebuah keluarga misalnya pernah memiliki hutan jati dengan

luas puluhan hektar, bisa juga disebut dengan ”family forest”. Hutan-hutan yang

dimiliki tersebut tidak selalu kompak tetapi terpisah-pisah lokasinya, bahkan ada

juga yang hanya berupa tegakan sebagai pembatas tanah. Dalam

perkembangannya kemudian hutan-hutan yang demikian disebut juga hutan

rakyat.

Hutan rakyat didefinisikan sebagai hutan yang dibangun pada lahan milik atau

gabungan dari lahan milik yang ditanami pohon-pohon, yang pembinaannya dan

(12)

koperasi, dengan berpedoman kepada ketentuan yang digariskan oleh pemerintah

(Alrasyid 1979).

Beberapa negara di dunia telah melaksanakan pengelolaan hutan skala kecil dan

terbukti berhasil. Seperti pengalaman di Papua Nugini, Bolivia, Inggris dan

Brazil dapat dijadikan perbandingan jika ingin menerapkan pengelolaan hutan

skala kecil di Indonesia.

Melihat pengalaman penerapan system TPTI dalam pengelolaan hutan alam

yang tidak berhasil, perlu peninjauan ulang prinsip-prinsip system TPTI. Sistem

TPTI ini akan sulit diterapkan dalam hutan skala kecil, karena harus menebang

pohon dengan diameter tertentu dan meninggalkan sejumlah pohon tertentu.

Namun demikian keberadaan pengelolaan hutan dalam skala besar tetap

diperlukan, karena kehadirannya menjamin kontinuitas aliran income dari

penjualan kayu bagi pemilik hutan melalui pembelian hasil SSF; juga membantu

dalam pemeliharaan infrastruktur di daerah-daerah terpencil. Selain itu juga

dapat berperan dalam mengawali pembentukan kerjasama antara pemilik hutan

skala kecil (Hyttinen, 2002).

Seperti dalam penelitian yang dilakukan Purnomo et al di Gunung

Lumut-Indonesia tahun 2004, bahwa dalam sistem colaborative forest management

masih sangat memerlukan peran Pemerintah (Dinas Kehutanan Kabupaten) dan

perusahaan pemegang konsesi yang lebih luas dalam penyediaan permodalan,

peralatan berat dan infrastruktur jalan bagi masyarakat untuk mengakses hutan.

Colaborative forest management ini dilakukan melalui pemberian konsesi pada

masyarakat dengan aturan tersendiri misalnya dalam ijin pemungutan dan

pemanfaatan kayu.

Mengingat secara ekonomis, hutan skala kecil alam dengan system TPTI murni

sulit dilakukan; maka pengelolaan hutan skala kecil dapat dilakukan dengan

(13)

untuk mengelola ekosistemnya sendiri. Dengan demikian pilihan pembangunan

hutan skala kecil lebih layak dilakukan di hutan seumur.

Beberapa pertimbangan yang harus diperhatikan dalam mengelola hutan dalam

luasan kecil antara lain :

1. Ukuran luas minimal

Luasan minimal terkait dengan kekontinuan usaha pengelolaan hutan.

Misalnya jika pemilik hutan mengusahakan pohon dengan usia masak tebang

25 tahun, maka selama dalam jangka pengelolaan 25 tahun ini setipa

tahunnya harus memberikan hasil yang sama kepada pemilik.

Hasil yang diperoleh dalam satu tahun, minimal harus sama dengan jumlah

biaya yang dikeluarkan oleh pemilik hutan dalam mengelola tegakannya.

Biaya-biaya yang diperlukan dapat dikelompokkan ke dalam (1) biaya

pembangunan hutan, (2) biaya pemeliharaan hutan, (3) biaya pemanenan

hutan dan pengangkutan, (4) biaya manajemen, serta (4) pajak yang harus

dibayarkan kepada negara. Pembiayaan per unit luas akan lebih rendah jika

luas hutan yang dikelola lebih besar.

2. Metode pengaturan hasil

Dengan anggapan bahwa tegakan yang dikelola adalah berupa hutan

tanaman, maka metode pengaturan hasil yang digunakan adalah ettat luas

yang ditentukan dengan membagi luas hutan skala kecil dibagi dengan daur

tanaman pokoknya.

3. Metode pemanenan

Melihat pengalaman di Papua Nugini, maka sebaiknya pemanenan dilakukan

dengan membawa alat pengolah kayu gergajian ke dalam hutan, sehingga dari

segi ekonomis tidak perlu biaya angkut yang lebih besar. Selain itu secara

ekologis tidak terlalu banyak jumlah biomassa yang dikeluarkan dari dalam

(14)

Di desa-desa di sebagian wilayah P Jawa telah dikenal sawmill kecil yang

dapat berpindah-pindah lokasi. Demikian juga jika melihat cara kerja dari

para pelaku illegal loging sudah menggunakan metode ini. Dengan demikian

juga, kendala jauh dari perusahaan sawmill dapat diatasi dengan adanya

sawmill yang portable ini.

Distribusi dan Pengalokasian Lahan Hutan

Pada masanya, hutan-hutan dimiliki oleh penguasa sebuah negara terutama di

daratan Eropa. Seiring berubahnya waktu dan perkembangan sistem

pemerintahan dan tata pergaulan dunia, maka terjadi perubahan dalam

penguasaan lahan hutan. Seperti misalnya di negara-negara di Eropa dimana

pengelolaan SSF dimulai dengan munculnya demokrasi, yang membawa

implikasi terpecah-pecahnya kepemilikan lahan hutan dari skala besar, dan

pemerintah membagi lahan hutan ke kepemilikan pribadi (Horison et al, 2002).

Di Indonesia, pembagian tanah-tanah negara dilakukan dalam program

transmigrasi, dimana peserta diberikan tanah seluas 2.5 hektar dengan rumah dan

pekarangannnya, dengan ketentuan bahwa lahan tersebut dijadikan lahan

pertanian.

Kebijaksanaan ini, memiliki peluang berhasil untuk diterapkan dalam

pembangunan hutan skala kecil (SSF). Misalnya dalam program transmigrasi

satu wilayah, dimana pesertanya mendapatkan lahan untuk budidaya tanaman

kehutanan disebut dengan transmigrasi SSF.

Kepemilikan hutan keluarga sangat sesuai selain hutan rakyat, mengingat daur

jenis-jenis kayu bernilai cukup panjang, dengan harapan pengelolaan hutan

keluarga SSF akan dilanjutkan oleh keluarga. Dalam budaya masyarakat

Indonesia , etos dan semangat kerja akan besar jika kelak apa yang dihasilkan

akan dinikmati oleh generasi penerus keluarganya. Hal ini seperti di AS dimana

(15)

pertanian kakek neneknya, atau menebang kayu bakar di hutan keluarga, tetapi

sebagian masih tinggal (Bliss, 2002).

Sistem Plasma dan Inti

Jika di negara lain menerapkan pembagian hutan ke dalam skala kecil melalui

kepemilikan hutan, maka di Indonesia dapat dikatakan telah menerapkan prinsip

ini dalam manajemen perkebunan melalui sistem inti plasma, di mana

petani-petani kecil mengelola perkebunan dalam skala kecil dan kemudian bergabung

dalam suatu serikat untuk menjual produk perkebunannya. Pada umumnya

petani-petani kebun ini dibina oleh sebuah perusahaan perkebunan besar dan

sekaligus menampung produk petani-petani kecil tersebut.

Prinsip ini sebenarnya berpeluang diterapkan juga dalam model pengelolaan

hutan skala kecil, di mana pemiliki/pengelola hutan yang diberikan hak

mengusahakan hutan seluas 51 sebagai plasma. Pemerintah atau Badan Usaha

Milik Negara menjadi inti yang bertanggung jawab terhadap pembinaan dan

pembelian produk-produk dari hutan skala kecil. Metode ini juga bisa digunakan

sebagai cara untuk menanggulangi illegall loging yang selama ini disinyalir

menyebabkan kerusakan hutan.

Dalam program pemerataan penduduk di Indonesia selain untuk perluasan tahan

pertanian juga dapat digunakan untuk mengembangkan SSF di Indonesia.

Transmigrans hendaknya dijadikan plasma dalam model ini, yang berkumpul

menjadi satu inti misalnya dalam satu blok areal transmigrasi.

4. Perencanaan Pengelolan Small Scale Forest (SSF)

Pengelolaan hutan berharap dapat menanam dengan luasan yang sama setiap

tahunnya berisi tegakan dengan umur sama. Misalnya petani hutan memili areal

100 ha, dengan masa daur tanaman adalah 25 tahun, maka petani dapat

menanam dan memanen setiap tahunnya 2 ha. Selama masa penanaman dan

pemeliharaan tanaman ini (Gambar 1), petani harus mendapatkan insentif dari

(16)

Akan tetapi jika hutan sudah memberikan income (panen) maka pemerintah

tidak perlu lagi memberikan insentif (pendapatan) tapi cukup dengan

memberikan insentif berupa kemudahan-kemudahan yang lain.

Dalam kasus lain, misalnya apa yang sering ditemui di British Kolumbia,

kepemilikan hutan skala kecil dihubungkan dengan landscape hutan dalam skala

besar. Di beberapa wilayah hutan skala kecil menyediakan nilai jasa dan produk

lain seperti rekreasi, habitat hidupan liar dan pendapatan untuk masyarakat

setempat. Ukuran dan distribusi grografis hutan kecil membuat pemilik dan

pengelola menghadapi beberapa tantangan diantaranya ketergantungan

pendapatan terhadap hutan dalam jangka pendek, kesulitan dalam pemasokan

dan pemasaran produk hutan, dan paling penting adalah membangun kesadaran

untuk mengelola hutan dengan standar tinggi.

Gambar 1. Proses Pembangunan “Small Scale Forest” Sumber : Ministry of Forestry – New Zeland

5. Pertimbangan Finansial Pengelolaan Small Scale Forest (SSF)

Tahap kritis dalam pembangunan hutan skala kecil adalah seberapa luas “small

(17)

keputusan pertimbangan anggaran, praktik pengelolaan hutan, perencanaan

lingkungan dan perencanaan pengembangan pembiayaan dan pendapatan.

Luas minimum ”small scale forest” (Kasus di New Zelands) ditentukan dengan

pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :

o Luasan berapa hektar dapat menghasilkan pengembalian modal yang

diletakkan pada area perputaran atau dataran dekat dengan jalan yang

dibangun ?

o Pada beberapa lokasi yang sulit, lebih luas hutan (10 ha atau lebih) diperlukan

untuk memungkinkan dilaksanakannya pengelolaan biaya tinggi untuk

mendapatkan volume hasil yang lebih tinggi.

o Luasan yang lebih kecil tetapi dengan tegakan bernilai tinggi mungkin lebih

menghasilkan dibanding dengan perluasan hutan dengan nilai pulpwood dan

firewood yang rendah

o Jarak dari lokasi pengolahan kayu atau pelabuhan ekspor mungkin

berpengaruh pada skala ekonomis ukuran petak tegakan

o Yang terpenting adalah pada saat menanam pohon yang bernilai rendah untuk

bahan pulp, jarak yang pendek akan mereduksi biaya angkut sehingga kayu

akan bernilai lebih tinggi per hektarnya; sehingga walaupun kecil luasannya

dapat dipanen

Daur Finansial Pengelolaan Small Scale Forest (SSF)

Konsep daur dipakai untuk pengelolaan hutan seumur. Daur adalah suatu jangka

waktu antara pemanenan dan penebangan atau antara penanaman dan penanaman

berikutnya di tempat yang sama, yang ditentukan oleh jenis, hasil yang

diinginkan , nilai tanah, suku bunga usaha yang tersedia (Departemen

Kehutanan, 1992).

Sedangkan Osmaton 1968 dalam Suhendang 1999 menyatakan bahwa daur

merupakan faktor pengatur dalam pengusahaan hutan seumur. Daur dipakai

(18)

besar dalam penataan hutan apabila tegakan ditebang pada batas umur bawah

dari umur tebang atau dibiarkan tumbuh sampai tegakan berada di atas miskin

riap

Pada dasarnya daur yang digunakan adalah daur ekonomis/finansial karena lebih

sesuai dengan tujuan perusahaan Beberapa jenis tanaman dengan daur nya

masing-masing seperti dalam Tabel 2. Dalam tegakan seumur terdapat dua tipe

hasil tegakan yaitu hasil akhir (hasil utama) dan hasil antara (tebangan

penjarangan).

Tabel 2. Berbagai daur jenis tanaman kehutanan

No Jenis Tanaman Daur

Di Selandia Baru, penjarangan komersial pinus radiata pada umumnya ketika

volume kayu yang dihasilkan 0.25 – 0,35 m3 yaitu pada umur 11 sampai dengan

14 tahun. Penjarangan ini akan mengeluarkan pohon sebanyak 300 – 400

batang sehingga jumlah pohon yang tinggal sekitar 1100 pohon dari 1400-1500

pohon yang ditanam yang akan menghasilkan kayu perdagangan sekitar 0.12 m3.

Penjarangan kedua mengurangi pohon dari 1100 menjadi 400 pohon, dan

penjarangan ketiga pada umur 20 pohon akan tinggal 250 pohon per ha.

Pemanenan dapat dilakukan oleh pihak ketiga atau kotraktor yang khusus

(19)

merupakan alternatif terbaik, sehingga harga log yang dihasilkan tidak

dipengaruhi oleh fluktuasi harga pasar.

Kelas Perusahaan Smal Scale Forest (SSF)

Dalam mengelola hutan dengan luasan yang kecil sebaiknya pemilik menanam

jenis-jenis pohon yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Hal ini untuk mereduksi

besaran biaya tetap per meter kubik dari pemanenan kayu small scale forest.

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk memilih jenis tanaman yang paling

sesuai baik untuk hutan rakyat maupun hutan di perusahaan hutan jati di jawa.

Hasil analisis finansial yang dilakukan oleh Herawati pada tahun 2002 di Ciamis

Jawa Barat menunjukkan bahwa berdasarkan nilai NPV, BCR dan IRR pada

tingkat suku bunga 19 % tanaman yang sesuai seperti dalam tabel di bawah.

Tabel 3. Nilai NPV, BCR dan IRR jenis tanaman yang dapat dijadikan tanaman pokok dalam SSF (Sumber : Herawaty, 2001)

No Jenis NPV (Rp.) BCR (%) IRR (%)

1 Sengon 5.789.949 1.97 45

2 Mahoni 4.819.049 1.53 35

3 Jati 5.011.623 1.50 23

Sementara itu berdasarkan analisis hirarki menunjukkan bahwa di Ciamis Jawa

Barat tanaman mahoni, sengon dan jati merupakan pilihan yang menjadi

prioritas utama ditanam oleh masyarakat. Dengan demikian tanaman yang

dapat dipertimbangkan sebagai tanaman prioritas adalah jenis mahoni, sengon

dan jati. Jenis mahoni memiliki nilai ekonomis dan nilai lingkungan yang tinggi

dibanding dengan sengon dan jati.

Jenis tanaman lain yang dapat ditanam di SSF dan cepat dipanen adalah akasia.

Pada tahun 2002 Gunawan menyatakan bahwa berdasarkan analisis penentuan

daur finansial jenis akasia (Acacia Mangium) di KPH Bogor diperoleh produksi

(20)

pada saat itu Rp. 140.090,70, maka diperoleh pendapatan dari tebang habis

akasia sebesar Rp. 140.090,70 x 73.695 = Rp. 10.323.983.00 per hektar. Daur

9 tahun ini layak untuk tingkat suku bunga terendah 0% dan tertinggi 24%

(ditunjukkan oleh NPV dan BCR tertinggi). Dengan demikian maka

pengelolaan SSF sebaiknya menggunakan tanaman pokok mahoni dengan

pertimbangan selain daurnya lebih pendek dibanding jati, kualitas kayunya

hampir sama dengan kualitas kayu jati.

Umur Ekonomis Tebang Habis Small Scale Forest (SSF)

Pemanenan erat kaitannya dengan pengembalian modal pemilik hutan. Tidak

seperti jenis tanaman semusim, pemanenan tegakan lebih fleksible terhadap

waktu sehingga dapat menyesuaikan pada pasar dengan harga tinggi.

Pertumbuhan pohon tidak sama selama periode pertumbuhan yang dialaminya.

Sebagai contoh pinus radiata yang pertumbuhan tertingginya dicapai pada umur

20 sampai 25 tahun, dengan total volume potensial dua kali volume pada umur

sekitar 20 tahun dan 30 tahun. Sehingga sebaiknya pemanenan dilakukan pada

umur setelah 25 tahun dan sebelum 30 tahun sehingga tidak terjadi dapat

menghemat pembiayaan dan memaksimalkan keuntungan.

Tipe-tipe Penjualan Hasil Small Scale Forest (SSF)

Sebelum melaksanakan pemanenan diperlukan pemilihan cara penjualan.

Karena begitu kesepakatan jual beli disetujui, antara pemilik hutan dan pembeli

memiliki hak dan kewajiban terhadap hutan yang diperjualbelikan. Terdapat

tiga model penjualan tegakan yang dapat dipilih yaitu penjualan berdasarkan

blok tanaman, penjualan dalam volume kayu perdangan dan penjualan

(21)

Penjualan Blok

Tegakan dijual dalam bentuk luas blok tertentu. Diperlukan penguasaan

penaksiran nilai tegakan dalam metode penjualan ini. Penaksiran dapat

dilakukan oleh konsultan yang independent. Metode penjualan ini lebih

memudahkan bagi pemilik hutan karena dia tidak akan terlibat dalam proses

pemanenan secara langsung. Metode ini sangat sesuai untuk blok penebangan

yang relatif kecil.

Penjualan dalam Volume Kayu perdagangan

Penjualan model ini adalah tegakan kayu yang diperdagangkan yang dinyatakan

dalam ukuran meter kubik atau tonase (Capman dan Meyer 1947). Pembeli

bertanggung jawab dalam pemanenan kayu. Pembeli hanya akan mengeluarkan

kayu yang dapat diperdagangkan. Tingkat harga terkait erat dengan campuran

log yang berbeda dalam hutan begitu juga harga pemanenan dan pengangkutan

kayu. Hutan dengan proporsi kayu gergajian yang tingg lebih bernilai

dibanding dengan kayu bahan pulp.

Penjualan Kualitas Kayu

Penjualan ini sangat bergantung pada grade kayu itu sendiri, pada saat akan

dimuat ke truk dan diantar ke pabrik.

Ukuran Luas Panen Pengelolaan Small Scale Forest (SSF)

The Ministry of Forestry and New Zealand Logging Industry Research

Organisation tahun 1996 menyatakan bahwa pemanenan hutan skala kecil

memerlukan biaya tetap per meter kubik yang lebih besar dibandingkan dengan

hutan dengan luasan lebih besar. Biaya tetap ini diantaranya adalah

perencanaan, pembuatan jalam, pengangkutan peralatan ke lokasi panen. Biaya

tetap tidak proporional untuk luasan kurang dari 5 (lima) hektar secara

ekonomis cenderung lebih dari 10 hektar. Akan tetapi bisa saja dikompensasi

dengan menanam jenis dengan nilai jual yang tinggi. Jenis-jenis dengan nilai

jual yang tinggi antara lain adalah jati, mahoni, sonokeling, sonobrit dan kayu

(22)

Departemen Perdagangan dan Perindustrian RI Periode Juli sampai Desember

2004 mengeluarkan daftar harga perkiraan terhadap produk kayu bulat yang

diantaranya adalah kayu dari Perum Perhutani yaitu (1) kayu bulat jati dan sono

keling diameter > 30 cm dengan harga Rp. 745.000,-/m3; diameter 20 – 19 cm

dengan harga Rp. 485.000,-/ m3; diameter < 19 cm dengan harga Rp. 192.000,-

/ m3; (2) kayu rimba indah (mahoni dan sonobrit) diameter > 30 cm seharga Rp.

384.000,-/ m3; diameter 20 – 29 cm seharga Rp. 134.000,-/ m3 dan diameter <

19 cm seharga Rp. 82.000,-/ m3.

Berdasarkan tabel volume kayu mahoni yang dikeluarkan oleh Badan Penelitian

dan Pengembangan Kehutanan 1975, diketahui bahwa pada umur 40 tahun,

tanaman mahoni di lahan dengan klas bonita II akan menghasilkan kayu sebesar

262 m3/ha, dengan diameter rata-rata 35,1 cm. Jika pada tebangan akhir SSF

dengan kelas perusahaan mahoni, maka dalam satu hektar akan diperoleh hasil

262 m3/ha x Rp. 384.000,-/ m3 = Rp. 139.008.000, -/ha.

Potensi hutan alam yang hanya 179 m3/ha dan 72 m3/ha (hutan primer) per

hektar (Hinrichs, 2002), lebih kecil dibanding dengan SSF misalnya dengan

tegakan mahoni yang dapat dipanen sebesar 262 m3 per ha per tahun. Sehingga

sebenarnya jika menanaman pohon dengan nilai komersial tinggi akan

memungkinkan pengelolaan hutan dalam skala kecil. Berdasarkan hasil studi

analisis prioritas, analisis finansial dan panjang daur tanaman maka tanaman

mahoni layak dijadikan tanaman pokok dalam SSF. Untuk menentukan luas

minimalnya, didekati dengan menghitung biaya yang dikeluarkan pemilik hutan

setiap satu hektar per tahunnya sebagai berikut (berdasarkan pengalaman dan

pengetahuan penulis) :

1. Biaya pembuatan tanaman mahoni jarak tanam 3 m x 2 m (per ha)

- Penyediaan bibit sebanyak 1.666 @ Rp. 1.500,- = Rp.

2.499.000,-

- Pembersihan lahan dan penanaman = Rp. 3.000.000,-

(23)

3. Biaya manajemen per bulan = Rp. 6.000.000,-

4. Biaya pemanenan dan pengangkutan per ha = Rp. 52.000.000,-

5. Pajak (10 % x harga produk)

6. Pembayaraan bunga atas modal (19 %)

7. Keuntungan perusahaan (min 10 % biaya)

Total biaya 2.499.000 x a) + (3000000 x a) + (2500000 x a) + (6000000 x 12) +

(52000000 x a) + (0.1 x 38400 x 262 m3 x a ) + (0.19 x a x 104499000) , dimana

“a “ adalah luas penanaman dan pemanenan setiap tahunnya.

Jumlah biaya yang diperlukan minimal harus sama dengan jumlah penerimaan

dari pemanenan yaitu (384.400 x 262 m3 x luas panen), sementara biaya yang

diperlukan untuk mengelola 1 ha tegakan mahoni adalah Rp. 104.449.000,-.

Sehingga untuk memenuhi biaya dari penanaman sampai pemanenan ditambah

dengan bunga atas modal, keutungan dan pajak maka minimal dalam satu tahu

harus memanen mahoni seluas 1.05 hektar.

Dengan panen rata-rata kayu pertukangan sebanyak 262 m3 per ha tiap tahun

maka diperlukan luas minimal 1.059 ha pemanenan setiap tahunnya. Jika umur

pohon mahoni yang dapat dijadikan kayu pertukangan 40 tahun, maka luas

minimal hutan skala kecil yang harus dipunyai seorang pemilik/pengelola

sebesar 42,7 atau 43 hektar. Dengan demikian metode pengaturan hasil

pengaturan hasil yang digunakan adalah etat luas yaitu luas SSF dibagi daur

tanaman pokok.

6. Monitoring Pengelolaan Small Scale Forest (SSF)

Manajemen SSF di beberapa negara Eropa dan Australia memberikan dukungan

kepada pemilik SSF dalam bentuk insentiif dan grant. Agar dukungan ini dapat

menghasilkan pengelolaan hutan yang lestari perlu dilakukan monitoring dan

evaluasi. Dalam mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan pengelolaan SSF

perlu ditetapkan kriteria dan indikator. Higman dan Nussbaum 2002

(24)

Ukuran luas hutan

Tingkat eksploitasi

Kepentingan ekologis

Nilai lanskape

Kepentingan social

Kriteria-kriteria di atas disesuaikan dengan kondisi suatu Negara disesuaikan

dengan konsep “small forest” seperti misalnya ukuran luasnya berbeda-beda

antar negara. Misalnya ukuran luas hutan skala kecil berbagai Negara dibatasi

sebagai berikut :

Bolivia, hutan alam dataran rendah : 200 ha

Brazil, hutan tanaman : 50 ha.

United Kingdom: 10 ha

Perbedaan luas ini didasarkan pada luas kawasan hutan yang dimiliki, tipe hutan

dan system manajemen, demikian juga dengan batas yang digunakan untuk

tujuan lain, misalnya dukungan pemerintah atau persyaratan formal.

Tingkat pemanenan maksimum perlu dimasukkan ke dalam perhitungan praktik

pengelolaan “small forest”, dimana pemanenan hanya akan ekonomis untuk

membawa peralatan pemanenan jika sejumlah valume kayu akan dikeluarkan

atau tidak menguntungkan untuk pemanenan kayu dalam jumlah kecil, misalnya

dalam petak tebang yang sangat kecil. Petak tebang yang besar juga akan

memberikan resiko yang besar jika tidak dikelola dengan baik, sehingga untuk

berbagai kondisi dalam hutan skala kecil dapat membuat petak tebang sebesar 1

(satu) hektar.

Di beberapa negara luas hutan dalam jumlah besar dibagi ke dalam beberapa

kepemilikan kecil. Indonesia dapat dikatakan telah menerapkan prinsip ini

dalam manajemen perkebunan melalui system inti plasma, di mana petani-petani

kecil mengelola perkebunan dalam skala kecil dan kemudian bergabung dalam

(25)

petani-petani kebun ini dibina oleh sebuah perusahaan perkebunan besar dan sekaligus

menampung produk petani-petani kecil tersebut.

Di Papua Nugini telah menggunakan sawmill yang mudah dipindah-pindahkan

dari satu lokasi penebangan ke penebangan lain dan mampu disewa oleh

masyarakat sehingga memungkinan pemanenan hutan-hutan dalam skala kecil

yang dimiliki oleh masyarakat local. Small-scale saw milling mempunyai

beberapa keunggulan diantaranya :

- Tipe teknologi dapat digunakan oleh masyarakat desa

- Memberikan pengetahuan dan teknologi baru masyarakat

- Memberikan peluang bisnis dan lapangan kerja baru

- Hasil kayu gergajiannya dapat digunakan untuk proyek-proyek pembangunan

lain

- Pengoperasiannya mudah dan sesuai dengan kemampuan masyarakat

- Tingkat pemanenan tidak merusak lingkungan

Ikuo Ota 2002 menyebutkan bahwa Forest Stewardship Council (FSC)

merupakan salah satu lembaga yang memberikan sertifikasi lingkungan dalam

pengelolaan hutan. Beberapa perusahaan SSF di Jepang telah menerima sertifikat

lingkungan. Perusahaan ini mengelola hutan seluas 3300 ha dengan 200 pemilik

yang berbeda, utamanya pemilik SSF.

Di samping untuk mendapatkan sertifikasi bagi pengelola yang berhasil,

monitoring berfungsi untuk mengetahui kelemahan dan kekurangan yang dialami

oleh pengelola/pemilik. Penelitian terhadap keluarga petani salah satu kawasan

hutan di Jerman menunjukkan bahwa terjadi kekurangan penghasilan sehingga

masih memerlukan insentif dan subsidi dari pemerintah kepada pemilik/pengelola

hutan. Bantuan terhadap pemilik atau pengelola hutan dapat berupa subsidi

keuangan, dukungan teknis, mekanisasi sistem panen dan tenaga pedamping

(26)

bantuan dari pemerintah berdasarkan Basic Forestry Law 1964. Pemilik hutan

memperoleh subsidi sebesar 68 % biaya penanaman dan penjarangan pra

komersial. Dan setiap tahun pemerintah membayar sejumlah dana untuk

pendukung sarana jalan dan mesin-mesin untuk memajukan kawasan perdesaan (

Ota, 2002)

C. PENUTUP

Pengelolaan hutan dalam skala kecil memberikan peluang baru dalam membuka

lapangan kerja, sekaligus merupakan terobosan baru dalam mengelola hutan dan

merehabilitasi hutan dan lahan. Beberapa hal yang memerlukan kajian mendalam

misalnya adalah luas minimal SSF yang benar-benar layak secara ekonomi,

sosial dan ekologi di berbagai lokasi di Indonesia perlu diteliti lebih mendalam.

Tidak kalah pentingnya adalah membuat peraturan yang mengatur tentang

kepemilikan dan pengeloaan hutan skala kecil ini (SSF)

Ada pertanyaan yang harus dijawab dalam pembangunan SSF (Havsky , 2001)

yang antara lain adalah :

1. Jika SSF dalam pengertian berupa tutupan lahan di luar kawasan hutan yang

dimiliki masyarakat akan sulit melakukan identifikasi di lapangan

2. Akan terjadi kekurangan sistem dan mekanisme dalam mendukung

perubahan ke SSF (hutan milik pribadi) dalam jumlah yang besar

3. Karena ukuran luas SSF adalah kecil, dan terdapat banyak pemilik SSF maka

akan lambat dalam proses pembentukan perkumpulan guna memperlancar

tranfer dan pertukaran informasi teknologi pengelolaan

4. Para pemilik mungkin tidak cukup profesional dalam teknis pengelolaan,

kekurangan modal untuk mengelola hutannya

5. Jika pembagian lahan hutan (seperti di Eropa) dilakukan melalui transmigrasi,

(27)

6. Bagaimana mekanisme pemberian insentif dan subsidi terutama pada saat

pemilik./pengelola SSF belum dapat memanen baik pada penjarangan

maupun tebang akhir.

Namun demikian berdasarkan penelitian Havsky, 2001 di Republik Slovakia

menunjukkan bahwa hutan pribadi yang dimiliki individu mampu memberikan

income dan dari penjualan hasil kayunya. Di Indonesai SSF perlu diterapkan

dalam bentuk di antaranya hutan rakyat, manajemen kolaborasi maupun dengan

pembagian lahan hutan seperti di negara Eropa. Tentunya ini harus diimbangi

dengan adanya peraturan yang jelas, mengenai status kepemilikan lahan dan

(28)

DAFTAR PUSTAKA

Alrasyid. 1979. Pemilihan Jenis Tanaman Penghijauan untuk Pembangunan Hutan Rakyat. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.

Anonim. 1975. Tabel Tegakan Sepuluh Jenis Kayu Industri.

www.google.com/search. [22 Januari 2004]

Anonim. 1996. Establishing A Small Forest The Ministry of Forestry and the New Zealand Forest Research Institute Ltd.

Anonim. 1996. Harvesting A Small Forest The Ministry of Forestry and the New Zealand Forest Research Institute Ltd.

Skoupý A, Simon J, and Kulhavý J. 2002. Conditions and prospects of small-scale forest management in new countries of EU. Journal Small-scale Forest Economics, Management and Policy, 1(1): 1–11.

Bliss, JC. 2003. Sustaining Family Forests in Rural Landscapes: Rationale, Challenges, and an Illustration from Oregon, USA. Small-scale Forest Economics, Management and Policy, 2(1): 1-8, 2003

Brand H. 2002. The Economic Situation of Family-farm Enterprises in the Southern Black Forest. Small-scale Forest Economics, Management and Policy, 1(1): 13–24, 2002

Capman HH and Meyer WH. 1947. Forest Valuation with Emphasis on Basic Economic Principles. McGraw-Hill Book Company, Inc. New York and London.

Davis dan Jonshons. 1987. Forest Management. McGraw-Hill Book Company.

New York

Davis KP. 1966. Forest Management : Regulation and Valuation. McGraw-Hill Book Company. New York

Departeman Kehutanan Republik Indonesia. 1999. Undang-undang Kehutanan No 41 Tahun 1999.

Departemen Kehutanan. 1992. Manual Kehutanan. Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta

Departemen Perdagangan dan Perindustrian RI. 2004. Harga Patokan Untuk Perhitungan Provisi Sumber Daya (Psdh) Hutan Kayu Dan Rotan.

www.google.com/search [ 22 Januari 2004].

(29)

Gunawan, H. 2002. Analisis Penentuan Daur Finansial Kelas Perusahaan Acacia Mangium di KPH Bogor PT Perhutani Unit III Jawa Barat. Tesis pada Program Pasca Sarjana IPB. Tidak Dipublikasikan

Harrison SR, Herbohn JL and Niskanen AJ. 2002. Non-industrial, Smallholder, Small-scale and Family Forestry: What’s in a Name?. Journal Small-scale Forest Economics, Management and Policy, 1(1): 1–11.

Herawaty T. 2001. Pengembangan Sistem Pengambilan Keputusan dengan Kriteria Ganda dalam Penentuan Jenis Tanaman Hutan Rakyat. Tesis Pada Program Pasca Sarjana IPB. Tidak Diterbitkan

Higman S and Nussbaum R. 2002. How standards constrain the certification of small forest enterprises. Forest Research Programme . Oxford OX1 1st United Kingdom

Hyttinen P. 2002. Small Scale Forestry and Sustainable Rural Development IUFRO Occasional Paper No. 16 IUFRO – 110 Years : 13 – 16

Ilavsky J. 2001. Preparedness of Private Owners for the Management of Forests in The Slovak Republic. Di dalam Niscanen, A and Vayrynen, J. editor. Economic Sustainability of Small Scale Forest. International IUFRO Symposiom Forestry. EFI Proceeding No. 36 – 2001. Joensuu-Finland. European Forest Institut. hlm : 53 - 60

Jirikowski W. 2002. Example Of A Forest Anagement System In A Medium-Scale Forest Enterprise. http://www.fao.org/docrep/w3722E /w3722e00.HTM [20 Januari 2005]

Ota J. 2002. The Shrinking Profitability of Small-scale Forestry in Japan and Some Recent Policy Initiatives to Reverse the Trend. Journal Small-scale Forest Economics, Management and Policy, 1(1): 25–37.

Krisnawati. 2001. Pengaturan Hasil Hutan Tidak Seumur Dengan Pendekatan Dinamika Struktur Tegakan. Tesis pada Program Pasca Sarjana IPB. Tidak Dipublikasikan

Osmaton FC. 1968. The Management of Forest. Goerge Allen & Unwin Ltd. London

Papua New Guinea Small-scale sawmilling a good way forward. http://www.wrm.gov.uy/Papua New Guinea Small-scale sawmilling a good way forward.htm [13 Januari 2005]

Purnomo, H., Yasmi, Y., Prabu, R., Hakim, S., Javar, A and Suprihatin. 2002. Collaborative Modelling Management to Support Forest Management : Qualitative Systems Analysis at Lumut Mountain – Indonesia. Journal Small-scale Forest Economics, Management and Policy, 2(2): 259 - 272.

Suhendang E. 2002. Pengantar Ilmu Kehutanan. Yayasan Penerbit Fakultas

(30)

Suhendang E. 1993. Alternatif Metode Pengaturan Hasil pada Areal Bekas Tebangan Hutan Tidak Seumur. Makalah dalam Diskusi Ilmiah Kehutanan dalam Rangka Dies Natalis IPB ke-30. Bogor

Suhendang E, 1993, 1995 dan 1999. Pembentukan Hutan Normal tidak Seumur Sebagai Strategi Pembenahan Hutan Alam Produksi Menuju Pengelolaan Hutan Lestari Indonesia. Sebuah Analisis Konsepsional dalam Ilmu Manajemen Hutan. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap dalam Ilmu Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor

Suhendang E. 1985. Studi Model Struktur Tegakan Hutan Alam Tropika Dataran Rendah di Bengkunat Propinsi Daerah Tingkat I Lampung. Tesis pada Fakultas Pasca Sarjana IPB. Tidak Diterbitkan

Gambar

Tabel 2   Berbagai daur jenis tanaman kehutanan
Gambar 1   Proses Pembangunan “Small Scale Forest Management” 12
Tabel  1.  Distribusi kepemilikan hutan berdasarkan rumah tangga di Jepang pada tahun 1990
Gambar 1. Proses Pembangunan “Small Scale Forest” Sumber : Ministry of Forestry – New Zeland
+3

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil wawancara maka ditemukan beberapa dampak positif secara umum, yang muncul dalam implementasi jalur zonasi pada Penerimaan Peserta Didik Baru tingkat

Pada evaluasi struktur model level dua dengan koefisien acak diperoleh hanya variabel penjelas S 1 (pendidikan guru kelas) berpengaruh signifikan terhadap β 0jk

Dalam perancangan sistem monitoring menggunakan Nagios dengan NagiosQL yang menggunakan sistem operasi LINUX CentOS5.6 diperlukan adanya suatu server atau sebuah

Blind dan Patrick Ziltener dari Universitas Zurich menyatakan dalam Free Trade Live: Insights from the Switzerland - Japan Free Trade and Economic Partnership Agreement

Terpilhnya Ketua, wakil ketua, sekertaris, dan anggota 3 10-10-13 Kunjungan ke Dispora kabupaten Bangka Selatan Dispora Kabupaten Bangka Selatan Sharing terkait dengan

Relasi ini digunakan apabila terdapat dua atau lebih aktor melakukan hal yang sama (use case yang sama). Use case tersebut kemudian dipisahkan dan dihubungkan dengan

P SURABAYA 03-05-1977 III/b DOKTER SPESIALIS JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH RSUD Dr.. DEDI SUSILA, Sp.An.KMN L SURABAYA 20-03-1977 III/b ANESTESIOLOGI DAN

Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan desain alat olah limbah laboratorium pendidikan yang berbasis pada green techology , sehingga karakteristik limbah cair