1
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KURATOR TERHADAP TUNTUTAN HUKUM KREDITUR DALAM PENGURUSAN DAN PEMBERESAN
HARTA PAILIT
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat- Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana
Hukum
OLEH:
ABDUL REZA PRIMA TARIHORAN 100200380
DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2 SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat- Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana
Hukum
OLEH:
ABDUL REZA PRIMA TARIHORAN 100200293
DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI Disetujui Oleh
Ketua Departemen Hukum Ekonomi
Windha, S.H., M.Hum NIP:197501122005012002
Dosen Pembimbing I DosenPembimbing II
Prof.Dr.Bismar Nasution, S.H., M.H Windha, S.H., M.Hum
3
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
senantiasa memberikan harapan, semangat, kekuatan, kesabaran, dan bimbingan
selama proses penulisan skripsi ini sehingga dapat menyelesaikannya dengan baik.
Penulisan skripsi yang berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM BAGI
KURATOR TERHADAP TUNTUTAN HUKUM KREDITUR DALAM
PENGURUSAN DAN PEMBERESAN HARTA PAILIT” ini ditujukan untuk
memberikan informasi kepada para pembaca mengenai perlindungan hukum
terhadap kurator apabila menghadapi tuntutan hukum terutama dari kreditur. Selain
itu, penulisan skripsi ini juga ditujukan untuk memenuhi persyaratan dalam
mencapai gelar Sarjana Hukum (SH) di Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara.
Penulisan skripsi ini tidaklah terlepas dari ketidaksempurnaan, sehingga besar
harapan agar semua pihak dapat memberikan masukan berupa kritik dan saran yang
membangun demi menghasilkan sebuah karya ilmiah yang lebih baik dan lebih
sempurna lagi.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Pelaksana Tugas Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Subhilhar,
Ph.D
2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).
3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum. selaku Pembantu Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).
4
5. BapakDr. O.K. Saidin, S.H., M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
6. Ibu Windha, S.H., M.Hum. selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi dan
Dosen Pembimbing I, yang sudah menyediakan waktu dan membagi
pengetahuan berkenaan dengan skripsi yang dibahas, serta memberikan
kritik dan saran sehingga penulisan skripsi ini selesai tepat waktu.
7. Bapak Ramli Siregar, S.H., M.Hum selaku Sekretaris Jurusan Departemen
Hukum Ekonomi dan Dosen Pembimbing II, yang sudah menyediakan
waktu dan memberikan motivasi untuk dapat menyelesaikan skripsi ini,
serta memberikan kritik dan saran dalam penulisan skripsi ini.
8. Boy Laksamana, S.H., M.Hum selaku Dosen Wali atas segala bimbingan
dari awal hingga akhir masa studi.
9. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) atas
segala ilmu yang telah diberikan sejak awal perkuliahan hingga
terselesainya penulisan skripsi ini.
10. Seluruh pegawai/staff Fakultas Hukum USU atas bantuan dan kerja
samanya selama ini.
11. Orang tua penulis Hilman Tarihoran dan Hafni Siahaan yang telah
membesarkan, mendidik, memberikan kasih sayang, serta memberikan
dukungan yang luar biasa selama ini.
12. Kakak dan adik penulis: Novi Ashari Perdana Tarihoran dan Nanda Brilian
Hilm Tarihoran yang telah memberikan motivasi dan saran-saran kepada
penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
5
14. Kawan-kawan seperjuangan yang merupakan kawan akrab penulis, yaitu.
Charles Salim, Deny Mulia Ananda, S.H., Leonard Sinaga, S.H. Desi P,
S.H, Patty Purba, S.H, Raja Pasaribu dan Fahmi Marajuang SKM.
15. Adik-Adik kesayangan Dea Virtha Lazuana, Rifqi Umara, M. Hamyasa,
Nazarul Rifki Abrar, dan Oddie Ersya yang telah memberikan semangat dan
meminjamkan Laptop kepada penulis.
16. Keluarga Cemara, yaitu Fitri Purba, Indah Purba, Viani Harahap, Yessy
Silvya dan Aysia Ramadhani.
17. Abang-abang kesayangan Dikri Abdilanov, SKM, Dipo Satryo Suhendra,
SKM, dan Fauzy Ariansyah, SKM yang telah banyak membantu dan
menemani penulis.
18. Kawan-kawan lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Akhir kata, kiranya tulisan ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua
pihak yang berkepentingan, terutama dalam penerapan serta pengembangan ilmu
hukum di Indonesia.
Medan, Agustus 2015
Penulis,
vi DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………i
DAFTAR ISI……….. iv
ABSTRAK………...vi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang………....….1
B. Perumusan Masalah………..…6
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan………...7
D. Keaslian Penulisan………....8
E. Tinjauan Kepustakaan………...8
F. Metode Penelitian………....13
G. Sistematika Penulisan………...15
BAB II PENGURUSAN DAN PEMBERESAN HARTA PAILIT A. Persyaratan dan Prosedur Permohonan Pailit………...18
B. Akibat Hukum Kepailitan………...27
C. Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailitan………....41
BAB III RESIKO YANG DIHADAPI KURATOR DALAM PENGURUSAN DAN PEMBERES HARTA PAILIT A. Kode etik profesi kurator dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit………..………...56
B. Resiko yang dihadapi kurator dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit……….………..66
v
BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KURATOR TERHADAP
TUNTUTAN HUKUM KREDITUR DALAM PENGURUSAN
DAN PEMBERESAN HARTA PAILIT
A. Tuntutan yang di hadapi kurator dalam pengurusan dan
pemberesan harta pailit……….…………...79
B. Perlindungan hukum bagi kurator terhadap tuntutan hukum
kreditur dalam pengurusan dan pemberesan harta
pailit………..………..95
C. Perlawanan yang dapat dilakukan Kurator...100
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan………....108
B. Saran………..112
vi
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KURATOR TERHADAP TUNTUTAN HUKUM KREDITUR DALAM PENGURUSAN DAN PEMBERESAN
HARTA PAILIT
ABSTRAK
Abdul Reza Prima Tarihoran* Bismar Nasution**
Windha***
Kepailitan bukan hal yang baru dalam suatu kegiatan ekonomi khususnya dalam bidang usaha. Kurator berperan melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit dalam kepailitan. Pada saat melaksanakan tugas tidak jarang kurator mengalami hambatan-hambatan dalam melaksanakan tugasnya. Kurator memiliki kewenangan yang sangat luas dalam proses kepailitan, sehingga sering kali menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaannya, bahkan tidak jarang kurator dituntut oleh kreditur dalam proses penhurusan dan pemberesan harta pailit. Adapun permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini tentang tuntutan yang dihadapi kurator dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit, perlindungan hukum bagi kurator terhadap tntutan hukum kreditur dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit, serta perlawanan terhadap kurator.
Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah studi kepustakaan, dengan mengumpulkan, mempelajari, menganalisa, dan membandingkan buku-buku yang berhubungan dengan judul. Pengumpulan data dilakukan juga melalui media elektronik/internet. Selanjutnya, data dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif dimana data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis selanjutnya dianalisis secara kualitatif.
Kurator memiliki tugas dan kewenangan untuk melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit. kurator bertanggung jawab sepenuhnya atas harta debitur pailit. apabila terjadi kelalaian atau kesalahan kurator dapat saja di tuntut secara hukum oleh kreditur, debitur ataupun pihak ketiga. Seorang kreditur, dapat menuntut kurator adengan ancaman penggelapan harta pailit ataupun sanksi pidana lain yang dapat memberatkan kurator. hal ini tentu mengancam kurator yang bekerja dengan baik melakukan tugasnya dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit. selain itu, dalam Undang Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK dan PKPU) tidak disebutkan secara jelas mengenai perlindungan hukum bagi kurator dalam melaksanakan tugasnya.
Kata Kunci :Perlindungan Hukum, Kurator, Pailit.
*
Mahasiswa Fakultas Hukum USU
**Dosen Pembimbing I
vi
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KURATOR TERHADAP TUNTUTAN HUKUM KREDITUR DALAM PENGURUSAN DAN PEMBERESAN
HARTA PAILIT
ABSTRAK
Abdul Reza Prima Tarihoran* Bismar Nasution**
Windha***
Kepailitan bukan hal yang baru dalam suatu kegiatan ekonomi khususnya dalam bidang usaha. Kurator berperan melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit dalam kepailitan. Pada saat melaksanakan tugas tidak jarang kurator mengalami hambatan-hambatan dalam melaksanakan tugasnya. Kurator memiliki kewenangan yang sangat luas dalam proses kepailitan, sehingga sering kali menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaannya, bahkan tidak jarang kurator dituntut oleh kreditur dalam proses penhurusan dan pemberesan harta pailit. Adapun permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini tentang tuntutan yang dihadapi kurator dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit, perlindungan hukum bagi kurator terhadap tntutan hukum kreditur dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit, serta perlawanan terhadap kurator.
Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah studi kepustakaan, dengan mengumpulkan, mempelajari, menganalisa, dan membandingkan buku-buku yang berhubungan dengan judul. Pengumpulan data dilakukan juga melalui media elektronik/internet. Selanjutnya, data dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif dimana data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis selanjutnya dianalisis secara kualitatif.
Kurator memiliki tugas dan kewenangan untuk melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit. kurator bertanggung jawab sepenuhnya atas harta debitur pailit. apabila terjadi kelalaian atau kesalahan kurator dapat saja di tuntut secara hukum oleh kreditur, debitur ataupun pihak ketiga. Seorang kreditur, dapat menuntut kurator adengan ancaman penggelapan harta pailit ataupun sanksi pidana lain yang dapat memberatkan kurator. hal ini tentu mengancam kurator yang bekerja dengan baik melakukan tugasnya dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit. selain itu, dalam Undang Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK dan PKPU) tidak disebutkan secara jelas mengenai perlindungan hukum bagi kurator dalam melaksanakan tugasnya.
Kata Kunci :Perlindungan Hukum, Kurator, Pailit.
*
Mahasiswa Fakultas Hukum USU
**Dosen Pembimbing I
vii BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kepailitan bukan hal yang baru dalam suatu kegiatan ekonomi khususnya
dalam bidang usaha. Dalam mengadakan suatu transaksi bisnis antara debitur dan
kreditur kedua belah bihak di ikat oleh suatu perjanjian baik perjanjian pinjam
meminjam maupun utang piutang. Salah satu kewajiban dari debitur adalah
mengembalikan utangnya sebagai suatu prestasi yang harus dilakukan.
Permasalahan akan timbul apabila debitur mengalami kesulitan untuk
mengembalikan utangnya tersebut, dengan kata lain debitur berhenti membayar
utangnya.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut
KUHPerdata) Pasal 1338 ayat (1) menjelaskan sebuah asas yang cukup penting
dalam hukum perdata, dimana asas tersebut berkaitan dengan kegiatan pinjam
meminjam ataupun utang piutang. Asas tersebut berbunyi perjanjian yang telah
dibuat secara sah mengikat kedua belah pihak. Mengikat berarti para pihak
mempunyai hak dan kewajiban. Dengan demikian, bila para pihak tidak
memenuhi kewajiban apa yang telah disepakati, maka pihak yang tidak memenuhi
kewajibannya dapat dimintai pertanggungjawaban hukum. Konsekuensinya
adalah bagi pihak yang sudah melaksanakan kewajiban, mempunyai hak untuk
viii
Kegiatan pinjam meminjam atau utang piutang merupakan kegiatan yang
tidak asing dalam kegiatan ekonomi, apabila pihak yang berutang (debitur) tidak
dapat memenuhi kewajibannya, maka harta benda debitur menjadi jaminan bagi
semua debitur. Penyitaan (pembeslagaan) secara massal dilakukan agar aset
debitur dapat dibagi secara proporsional dalam membayar utang-utangnya. Sesuai
dengan ketentuan dalam Pasal 1131 KUHPerdata disebutkan, segala kebendaan
pihak yang berhutang baik yang bergerak, maupun tidak bergerak, baik yang
sudah ada maupun yang baru ada di kemudian hari menjadi tanggungan segala
perikatannya perseorangan. Selanjutnya, dalam Pasal 1132 KUHPerdata
disebutkan, kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang
yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi
menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing,
kecuali di antara para pihak yang berpiutang itu ada alasan yang sah untuk
didahulukan. Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata kiranya dapat dikemukakan oleh
para ahli hukum disebut sebagai dasar hukum dalam kepailitan.1
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UUK dan
PKPU) menyebutkan bahwa kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan
debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di
bawah pengawasan hakim pengawas. Dari pasal tersebut dapat dilihat, bahwa
kurator memiliki peran penting di dalam proses kepailitan, karena berwenang
dalam melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit demi kepentingan pihak
kreditur dan debitur pailit. Pelaksanaan pengurusan dan pemberesan atas harta
1
ix
pailit tersebut diserahkan kepada kurator yang diangkat oleh pengadilan, dengan
diawasi oleh hakim pengawas yang ditunjuk oleh hakim pengadilan. Berdasarkan
Pasal 16 UUK dan PKPU, terhitung sejak tanggal putusan pernyataan pailit
ditetapkan, maka kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau
pemberesan atas harta pailit, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi
atau peninjauan kembali.
Menurut UUK dan PKPU, jika ternyata kemudian putusan pernyataan
pailit tersebut dibatalkan oleh putusan kasasi atau peninjauan kembali, maka
segala perbuatan yang telah dilakukan oleh kurator sebelum atau pada tanggal
kurator menerima pemberitahuan tentang putusan pembatalan tetap sah dan
mengikat bagi debitur pailit.2 Tujuan utama kepailitan adalah pembagian
kekayaan debitur pailit oleh kurator kepada semua kreditur. Kepalitan
dimaksudkan untuk menghindari terjadinya sitaan terpisah atau eksekusi terpisah
oleh kreditur dan menggantikannya dengan mengadakan sitaan bersama, sehingga
kekayaan debitur dapat dibagikan kepada semua kreditur sesuai dengan hak
masing-masing.3
Seorang debitur dapat dinyatakan pailit apabila telah memenuhi
syarat-syarat kepailitan, yaitu:4
1. Debitur mempunyai dua atau lebih kreditur;
2
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja. Seri Hukum Bisnis Kepailitan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 62.
3
Imran Nating. Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 9.
4
x
2. Tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat
ditagih.
Kepalitan dimaksudkan untuk menghindari terjadinya sitaan terpisah atau
eksekusi terpisah oleh kreditur dan menggantikannya dengan mengadakan sitaan
bersama, sehingga kekayaan debitur dapat dibagikan kepada semua kreditur
sesuai dengan hak masing-masing. 5
Adanya pernyataan pailit mengakibatkan debitur pailit demi hukum
kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan
dalam kepailitan terhitung sejak tanggal kepailitan itu, termasuk juga untuk
kepentingan perhitungan hari pernyataannya itu sendiri.6 Pasal 69 ayat (1) UUK
dan PKPU, menerangkan bahwa kuratorlah yang berwenang melakukan
pengurusan dan pemberesan harta pailit. Dengan demikian, debitur kehilangan
hak menguasai harta yang masuk dalam kepailitan dan tidak kehilangan hak atas
harta kekayaan yang berada di luar kepailitan.7
Tentang harta pailit, lebih lanjut dalam Pasal 21 UUK dan PKPU
menerangkan bahwa harta pailit meliputi semua harta kekayaan debitur yang ada
pada saat pernyataan pailit diucapkan, serta semua kekayaan yang diperolehnya
selama kepailitan. Harta pailit adalah harta milik debitur yang dinyatakan pailit
berdasarkan keputusan pengadilan.8
5
Imran Nating. Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 9.
Kendati telah ditegaskan bahwa dengan
dijatuhkannya putusan kepailitan, harta kekayaan debitur pailit akan diurus dan
dikuasai kurator, namun tidak semua kekayaan debitur pailit diserahkan ke
6
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 24.
7
Imran Nating, Op.Cit., hlm. 45.
8
xi
kurator. Selain itu, hak-hak pribadi debitur yang tidak dapat menghasilkan
kekayaan, atau barang-barang milik pihak ketiga yang kebetulan berada di tangan
debitur pailit tidak dapat dikenakan eksekusi, misalnya hak pakai dan hak
mendiami rumah.
Kurator juga harus paham bahwa tugasnya tidak hanya untuk
menyelamatkan harta pailit yang berhasil dikumpulkannya untuk kemudian dibagi
kepada para kreditur, tetapi juga sedapat mungkin bisa meningkatkan nilai harta
pailit tersebut. Kemampuan kurator harus disertai dengan integritas. Integritas
berpedoman pada kebenaran dan keadilan serta keharusan untuk mentaati standar
profesi dan etika sesuai isi dan semangatnya. Integritas merupakan salah satu ciri
yang fundamental bagi pengakuan terhadap profesionalisme yang melandasi
kepercayaan publik serta patokan (benchmark) bagi anggota (kurator) dalam
menguji semua keputusan yang diambilnya.9 Integritas mengharuskan kurator
untuk antara lain bersikap jujur dan dapat dipercaya serta tidak mengorbankan
kepercayaan publik demi kepentingan pribadi. Integritas mengharuskan kurator
untuk bersikap objektif dan menjalankan profesinya secara cerdas dan saksama.10
Berdasarkan Pasal 69 ayat (2) UUK dan PKPU menegaskan bahwa
dalam melakukan tugasnya, kurator tidak memerlukan persetujuan dari organ
debitur/perseroan pailit, walaupun di luar kepailitan persetujuan tersebut
disyaratkan. Namun perlu diketahui, tugas kurator tidak mudah atau dapat
berjalan dengan mulus seperti yang telah ditentukan dalam UUK dan PKPU.
Persoalan yang dihadapi oleh kurator sering kali menghambat proses kinerja
kurator yang semestinya, seperti menghadapi debitur yang tidak dengan sukarela
9
Imran Nating, Op.Cit., hlm. 14.
10
xii
menjalankan putusan pengadilan, misalkan debitur tidak memberi akses data dan
informasi atas asetnya yang dinyatakan pailit.11
Kurator memiliki kewenangan yang sangat luas dalam proses kepailitan,
sehingga sering kali menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaannya, bahkan
tidak jarang kurator dituntut oleh kreditur dalam proses penhurusan dan
pemberesan harta pailit. Dalam Pasal 21 UUK dan PKPU menyebutkan kepailitan
meliputi seluruh kekayaan debitur pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan
serta segala sesuatu yang di peroleh selama kepailitan. Selain itu, dalam pasal 26
ayat (1) UUK dan PKPU menyebutkan tuntutan mengenai hak atau kewajiban
yang menyangkut harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap kurator.
Berdasarkan pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam pengurusan dan
pemberesan harta pailit seorang kurator dapat dituntut secara hukum oleh kreditur,
akan tetapi perlindungan bagi kurator terhadap tuntutan hukum tersebut tidak di
atur jelas dalam UUK dan PKPU.
Diperlukan seorang kurator yang
memiliki keahlian dan bertanggung jawab terhadap tugasnya, agar tercipta
kepastian hukum, terutama dalam hukum kepailita.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengurusan dan pemberesan harta pailit?
11
xiii
2. Bagaimankah resiko yang dihadapi kurator dalam pengurusan dan pemberesan
harta pailit dalam
3. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi kurator terhadap tuntutan hukum
kreditur dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit.
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Penulisan ini bertujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui proses-proses dalam pengurusan dan pemberesan harta
pailit.
2. Untuk mengetahui resiko-resiko yang akan dihadapi kurator dalam pengurusan
dan pemberesan harta pailit.
3. Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi kurator terhadap tuntutan hukum
kreditur dalam pengurusan dan pemberesan harta pilit.
Selain itu, penulisan skripsi ini juga ditujukan sebagai pemenuhan tugas
akhir dalam memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
Adapun manfaat penulisan yang diperoleh dari penulisan skripsi ini
adalah sebagai berikut :
1. Secara teoritis
Secara teoritis, pembahasan mengenai perlindungan hukum bagi
kurator terhadap tuntutan hukum kreditur dalam pengurusan dan
pemberesan harta pailit ini akan memberikan pemahaman dan pengetahuan
xiv
apa yang dihadapi kurator dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit,
serta bagaimana perlindungan hukum bagi kurator terhadap tuntutan hukum
kreditur dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit tersebut.
2. Secara praktis
Pembahasan ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi
praktisi dan masyarakat umum yang ingin mengetahui lebih jauh tentang
kepailitan dan kurator, khususnya tentang perlindungan hukum bagi kurator
terhadap tuntutan hukum kreditur dalam pengurusan dan pemberesan harta
pailit.
D. Keaslian Penulisan
Berdasarkan penelusuran yang telah dilakukan, baik dari hasil penelitian
yang masih ada maupun yang sedang dilakukan khususnya di lingkungan
Universitas Sumatera Utara, penelitian dengan judul “Perlindungan Hukum Bagi
Kurator Terhadap Tuntutan Hukum Kreditur Dalam Pengurusan dan Pemberesan
Harta Pailit” belum pernah dilakukan oleh peneliti lain sebelumnya. Sehubungan
dengan keaslian judul ini, peneliti telah melakukan pemeriksaan pada
perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk membuktikan
bahwa judul skripsi ini belum pernah diteliti oleh orang lain di lingkungan
universitas/perguruan tinggi lain dalam wilayah Republik Indonesia.
Apabila di kemudian hari, ternyata terdapat judul yang sama atau telah
ditulis orang lain dalam berbagai tingkat kesarjanaan sebelum skripsi ini dibuat,
xv E. Tinjauan Kepustakaan
Pengertian pailit dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti
bangkrut, jatuh untuk perusahaan.12 Sementara itu,dalam berbagai kepustakaan
dijabarkan pengertian kepailitan, antara lain dalam kamus hukum Fockema
Andreae, dikemukakan Faillissement (kepailitan). Kepailitan seorang debitur
adalah keadaan yang ditetapkan oleh pengadilan bahwa debitur telah berhenti
membayar utang-utangnya yang berakibat penyitaan umum atas harta kekayaan
dan pendapatannya demi kepentingan semua kreditur di bawah pengawasan
pengadilan.13 Pendapat senada di kemukakan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio
sebagai berikut, pailit berarti keadaan seorang debitur apabila ia telah
menghentikan pembayaran utang-utangnya. Suatu keadaan yang menghendaki
campur tangan hakim guna menjamin kepentingan bersama dari para
krediturnya.14
Pengaturan mengenai kepailitan mengacu pada Pasal 2 UUK dan PKPU
yang menyenbutkan:
Dari pengertian-pengertian tersebut di atas dapat dirumuskan
perngertian kepailitan adalah suatu sitaan dan eksekusi atas seluruh kekayaan si
debitur (orang-orang yang berutang) untuk kepentingan krediturnya (orang-orang
berpiutang).
1. Debitur yang menpunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas
sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan
12
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), edisi II Cet keempat, 1999.
13
Lihat Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae. Edisi Bahasa Indonesia, oleh Saleh Andiwinata, dkk, Binacipta, Bandung 1983.
14
xvi
pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun
atas permohonan satu atau lebih krediturnya.
2. Permohonan dapat juga diajukan oleh kejaksaan untuk kepentingan umum.
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) di atas menyatakan bahwa yang di maksud
dengan kreditur adalah kreditur konkuren, kreditur separatis dan kreditur preferen.
Kreditur konkuren (Unsecured Creditor) adalah kreditur yang harus berbagi
secara proporsional dari penjualan harta debitur. Dengan kata lain untuk jenis
kategori ini kedudukannya sama dengan kreditur yang lain. Kreditur preferen
(Secured Creditor) adalah krediur yang didahulukan dari kreditur lainnya untuk
pelunasan utang debitur, karena kreditur jenis ini mendapat hak istimewa yang
diberikan oleh undang-undang. kreditur separatis adalah kreditur pemegang hak
jaminan kebendaan. Hak kebendaan yang dimiliki oleh kreditur tersebut
memberikan hak untuk menjual secara lelang kebendaan yang dijaminkan
kepadanya dan selanjutnya memperoleh hasil penjualan kebendaan tersebut untuk
pelunasan piutang secara mendahului dari kreditur lainnya.15
Objek UUK dan PKPU adalah debitur, yaitu debitur yang tidak
membayar utang-utangnya kepada kreditur. Dalam Pasal 2 UUK dan PKPU
menyebutkan syarat-syarat seorang debitur dapat dinyatakan pailit, yaitu:
1. Debitur mempunyai dua kreditur atau tidak dapat membayar sedikitnya satu
utang yang telah jatuh waktu pembayaran.
2. Paling sedikit harus ada 2 (dua) kreditur (concurus creditorum).
3. Cukup satu utang telah jatuh waktu dan dapat ditagih
15
xvii
4. Debitur harus dalam keadaan insolvent, yaitu tidak membayar lebih dari 50%
utang-utangnya. Debitur harus telah berada dalam keadaan berhenti membayar
kepada para krediturnya, bukan sekedar tidak membayar kepada satu atau dua
orang kreditur saja.
Apabila seorang debitur telah memenuhi persyaratan-persyaratan tersebut
di atas maka permohonan pailit dapat diajukan ke pengadilan niaga. Pihak-pihak
yang dapat mengajukan permohonan pailit adalah kreditur, debitur itu sendiri,
Bank Indonesia, Meteri Keuangan, Badan Pengawas Pasar Modal/OJK dan jaksa
yang dilakukan demi kepentingan umum.
Setelah suatu permohonan pailit diterima dan kemudian diperiksa dan
diadili oleh majelis hakim pengadilan niaga maka pemeriksaan terhadap
permohonan tersebut dinyatakan selesai dengan dijatuhkannya putusan pailit oleh
pengadilan maka debitur kehilangan sebahagian haknya dalam mengurus harta
kekayaannya. Selanjutnya yang berwenang mengurus harta kekayaan debitur
adalah kurator. Menurut Pasal 70 UUK dan PKPU kurator adalah BHP atau orang
perorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan
harta debitur pailit di bawah pengawasan hakim pengawas.
Kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan pemberesan
harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan
tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali. Terhadap pengangkatan kurator,
apabila kreditur atau debitur tidak mengajukan usul pengangkatan kurator ke
pengadilan maka BHP bertindak sebagai kurator, namun apabila diangkat kurator
yang bukan BHP maka kurator tersebut harus independen dan tidak mempunyai
xviii
Seorang kurator perlu memilah kewenangan yang dimilikinya
berdasarkan undang-undang yaitu:
1. Kewenangan yang dapat dilaksanakan tanpa diperlukannya persetujuan dari
instansi atau pihak lain; dan
2. Kewenangan yang dapat dilaksanakan setelah memperoleh persetujuan dari
pihak lain dalam hal ini hakim pengawas.16
Kurator memiliki kewenangan dalam pengurusan dan pemberesan harta
pailit. dalam pelaksanaan pengurusan dan pemberesan harta pailit, kurator diawasi
oleh hakim pengawas. Dalam pengurusan harta pailit kurator harus:
1. Menginventarisasi harta kekayaan debitur pailit untuk kemudian menentukan
mana yang termasuk harta pailit dan mana yang bukan.
2. Menginventarisir harta kekayaan debitur Pailit untuk kemudian menentukan
mana yang masuk harta pailit, mana yang bukan, mengingat adanya
pengecualian yang diatur dalam undang-undang.
3. Membuat daftar kreditur dari debitur Pailit dengan menyebutkan sifat dan
jumlah utang debitur atau piutang kreditur beserta nama dan tempat tinggalnya.
4. Mengadakan verifikasi dari piutang kreditur dari debitur pailit dalam rapat
verifikasi yang dipimpin oleh Hakim Pengawas.
5. Membuat daftar pembayaran piutang pada kreditur sesuai peraturan hukum
yang berlaku (tingkatan para kreditur). Dalam hal pemberesan harta pailit dapat
terlihat bahwa tugas Kurator sangat berat karena Kurator bertanggung jawab
16
xix
atas kesalahan atau kelalaiannya dalam menjalankan tugas pengurusan dan/atau
pemberesan yang yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit.
Sehubungan dengan hal tersebut maka Kurator dapat digugat dan wajib
membayar ganti kerugian apabila karena kelalaiannya atau terutama karena
kesengajaannya telah menyebabkan harta pailit mengalami kerugian, dan dapat
dituntut secara pribadi. Kurator memiliki tanggung jawab yang besar dalam
menjalankan tugasnya, hal ini ditegaskan di dalam Pasal 72 UUK dan PKPU,
bahwa kurator bertanggung jawab atas kesalahan atau kelalaiannya dalam
melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan yang menyebabkan
kerugian terhadap harta pailit.
Perlindungan hukum terhadap kurator tidak diatur jelas dalam UUK dan
PKPU, akan tetapi berdasarkan Pasal 50 Kitab Undang Undang Hukum Pidana
(selanjutnya disebut KUHPidana) yang menyatakan barang siapa melakukan
perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak di pidana, dapat
dijadikan landasan perlindungan terhadap kurator yang menjalankan tugas sesuai
dengan ketentuan dan undang-undang yang berlaku.
F. Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan
analisis dan kontruksi yang dilakukan secara metodologi, sistematis dan
xx
adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten adalah tidak adanya hal-hal
yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.17
Adapun penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Spesifikasi penelitian
Pendekatan penelitian dalam menyusun skripsi ini adalah pendekatan
yuridis normatif, yaitu pendekatan dengan melakukan pengkajian dan analisa
terhadap perlindungan hukum bagi kurator terhadap tuntutan hukum kreditur
dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit oleh kurator yang ditinjau dari
UUK dan PKPU.
Sifat dari penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian
deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk melukiskan tentang suatu hal
tertentu dan pada saat tertentu18
2. Data penelitian
, sehingga pada skripsi ini menggambarkan dan
menguraikan keadaan ataupun fakta yang ada tentang hukum mengenai
perlindungan hukum bagi kurator terhadap tuntutan hukum kreditur dalam
pengurusan dan pemberesan harta pailit.
Materi dalam penelitian ini diambil dari data-data sekunder. Adapun
data-data sekunder yang dimaksud adalah :
a. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan yang terkait,
antara lain:
1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
17
Waluyo Bambang, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Edisi 1, Cet ke-3 (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), mengutip pendapat Soerjono Soekanto, hlm. 2.
18
xxi
3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan.
4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
danPenundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
5) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. M.01-HT.05. 10
Tahun 2005 tentang Pendaftaran Kurator dan Pengurus
b. Bahan hukum sekunder, berupa buku-buku yang berkaitan dengan judul
skripsi, artikel-artikel, hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, dan
sebagainya yang diperoleh melalui media-media cetak maupun media
elektronik.
c. Bahan hukum tersier, yaitu semua dokumen yang memberi
petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, seperti : jurnal ilmiah, kamus hukum, dan bahan-bahan lain yang
relevan dan dapat digunakan untuk melengkapi data yang dibutuhkan dalam
menyusun skripsi ini.
3. Teknik pengumpulan data
Pengumpulan data dari skripsi ini dilakukan melalui teknik studi
pustaka, yaitu mengumpulkan, mempelajari, menganalisa, dan membandingkan
buku-buku yang berhubungan dengan judul skripsi ini. Selain itu,
pengumpulan data dilakukan juga melalui media elektronik/internet.
4. Analisis data
Metode analisis data yang digunakan penulis adalah metode kualitatif
dimana data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis selanjutnya
dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan
xxii G. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini dibuat secara terperinci dan sistematis, agar
memberikan kemudahan bagi pembacanya dalam memahami makna dan
memperoleh manfaatnya. Keseluruhan sistematika ini merupakan kesatuan yang
saling berhubungan satu dengan yang lain. Adapun sistematika dalam penulisan
skripsi ini adalah :
BAB I PENDAHULUAN
Berisikan pendahuluan yang pada pokoknya menguraikan tentang
latar belakang pengangkatan judul skripsi, perumusan masalah yang
menjadi pokok pembahasan dalam bab pembahasan, tujuan dan
manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode
penelitian, dan diakhiri dengan sistematika penulisan.
BAB II PENGURUSAN DAN PEMBERESAN HARTA PAILIT
Berisikan tentang pengurusan dan pemberesan harta pailit, yang pada
pokoknya menguraikan tentang persyaratan dan prosedur permohonan
pailit, akibat hukum kepilitan, serta pengurusan dan pemberesan harta
pailit
BAB III RESIKO YANG DIHADAPI KURATOR DALAM PENGURUSAN
xxiii
Berisikan tentang resiko yang di hadapi kurator dalam pengurusan dan
pemberesan harta pailit, yang pada pokoknya menguraikan tentang
kode etik profesi kurator dalam pengurusan dan pemberesan harta
pailit, resiko yang dihadapi kurator dalam pengurusan dan pemberesan
harta pailit, serta hambatan yang dihadapi kurator dalam pengurusan
dan pemberesan harta pailit.
BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KURATOR TERHADAP
TUNTUTAN HUKUM KREDITUR DALAM PENGURUSAN DAN
PEMBERESAN HARTA PAILIT
Berisikan perlindungan hukum bagi kurator terhadap tuntutan hukum
kreditur dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit yang pada
pokoknya menguraikan tentang tuntutan yang dihadapi kurator dalam
pengurusan dan pemberesan harta pailit, perlindungan hukum bagi
kurator terhadap tntutan hukum kreditur dalam pengurusan dan
pemberesan harta pailit, serta perlawanan terhadap kurator.
BAB V PENUTUP
Berisikan bagian penutup yang sekaligus merupakan bab terakhir
dalam penulisan skripsi ini, dimana dikemukakan mengenai
kesimpulan dan saran yang berkaitan dengan pembahasan yang
xxv BAB II
PENGURUSAN DAN PEMBERESAN HARTA PAILIT
A. Persyaratan dan Prosedur Permohonan Pailit
1. Persyaratan permohonan pailit
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pengertian syarat
adalah janji (sebagai tuntutan atau permintaan yg harus dipenuhi).19
a. Pailit ditetapkan apabila debitur mempunyai dua kreditur atau lebih dan
tidak mampu menbayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu.
Syarat-syarat
kepailitan sangat penting dalam suatu proses kepailitan, karena bila tidak
memenuhi syarat maka permohonan tersebut tidak akan dikabulkan oleh
pengadilan niaga. Seperti yang telah disebutkan pada bab sebelumnya, ketentuan
dalam Pasal 1 ayat (2) UUK dan PKPU menyebutkan mengenai syarat-syarat
seorang dinyatakan pailit yaitu:
b. Paling sedikit ada 2 (dua) kreditur.
c. Ada utang. UUK dan PKPU tidak menentukan apa yang dimaksud dengan
utang. Dengan demikian para pihak yang terikat dengan suatu permohonan
19
xxvi
pernyataan pailit dapat berselisih pendapat mengenai ada atau tidaknya
utang.
d. Utang harus dalam keadaan telah jatuh waktu dan dapat ditagih.
e. Syarat cukup satu utang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. bunyi Pasal 2
ayat (2) UUK dan PKPU merupakan perubahan dari bunyi pasal 1 ayat (1)
Undang-Undang Kepailitan No. 4 Tahun 1998 dan
Faillissementsverordening Stb. 1905 No. 217 jo. S. 1906 No. 384 yang
merupakan peraturan terdahulu mengenai kepailitan dan PKPU.
f. Debitur harus dalam keadaan insolvent, yaitu tidak membayar lebih dari
50% utang-utangnya. Debitur harus telah berada dalam keadaan berhenti
membayar kepada krediturnya.
Pailit selalu dihubungkan dengan ketidakmampuan untuk membayar dari
seorang debitur atas utang-utangnya kepada kreditur yang telah jatuh waktu.
Menurut Pasal 1 angka 2 UUK dan PKPU pengertian debitur adalah orang yang
mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat
ditagih di muka pengadilan. Sedangkan pengertian kreditur menurut Pasal 1 angka
3 UUK dan PKPU adalah orang yang mempunya piutang karena perjanjian atau
undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan. Dengan kata lain debitur
adalah pihak yang memiliki utang terhadap kreditur dan kreditur adalah pihak
yang memiliki tagihan atau piutang terhadap debitur.20
Sebagai seorang yang mempunyai piutang, kreditur tentu saja mepunyai
hak untuk menagih utangnya kepada pihak debitur. Akan tetapi apabila pihak
debitur tidak mampu lagi untuk melunasi utang-utangnya maka kreditur dapat
20
xxvii
mengajukan permohonan pailit kepada pengadilan niaga. Sesuai dengan ketentuan
pasal 2 UUK dan PKPU, pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit
adalah:
a. Debitur sendiri
Undang-undang memungkinkan seorang debitur untuk mengajukan
permohonan pernyataan pailit atas dirinya sendiri. Jika debitur masih terikat
dalam pernikahan yang sah, permohonan hanya dapat diajukan atas
persetujuan suami atau istri yang menjadi pasangannya (Pasal 4 ayat (1)
UUK dan PKPU.
b. Seorang kreditur atau lebih (Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU)
Sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU, kreditur yang
dapat mengajukan permohonan pailit terhadap debiturnya adalah kreditur
konkuren, kreditur preferen ataupun kreditur separatis.
c. Kejaksaan (Pasal 2 ayat (2) UUK dan PKPU)
Permohonan pailit terhadap debitur juga dapat diajuakan oleh
kejaksaan demi kepentingan umum. Pengertian kepentingan umum adalah
kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas,
misalnya;
1) debiur melarikan diri;
2) debitur menggelapkan bagian dari harta kekayaan;
3) debitur mempunyai utang kepada BUMN atau badan usaha lain yang
xxviii
4) debitur mempunyai utang yang berasal dari penghimpunan dana dari
masyarakat luas;
5) debitur tidak beriktikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan
masalah utang piutang yang telah jatuh waktu; atau
6) dalam hal lainnya yang menurut kejaksaan merupakan kepentingan
umum dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2000 tentang
Permohonan Penyertaan Pailit untuk Kepentingan Umum, secara tegas
dinyatakan bahwa wewenang kejaksaan untuk mengajukan permohonan
pernyataan pailit adalah untuk dan atas nama kepentingan umum.
Kemudian Pasal 2 ayat (2) PP No. 17 Tahun 2000 tersebut
menyatakan bahwa kejaksaan dapat mengajukan permohonan pernyataan
pailit dengan alasan kepentingan umum, apabila:
1) Debitur mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar
sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.
2) Tidak ada pihak yang mengajukan permohonan pernyataan pailit.
d. Bank Indonesia
Permohonan pernyataan pailit terhadap bank hanya dapat diajukan
oleh Bank Indonesia berdasarkan penilaian kondisi keuangan dan kondisi
perbankan secara keseluruhan. UU No. 7 tahun 1992 yang telah diubah
dengan UU No. 10 tahun 1998 tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun
1992 tentang perbankan (selanjutnya disebut UU Perbankan) memberikan
definisi tentang bank sebagai berikut: Bank adalah badan usaha yang
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
bentuk-xxix
bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak (Pasal
1 butir 2 UU Perbankan).
e. Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam)
Permohonan pernyataan pailit terhadap perusahaan efek, bursa
efek, lembaga kliring dan penjamin, lembaga penyimpanan dan
penyelesaian hanya dapat diajukan oleh Bapepam. Ada beberapa istilah
yang diberikan definisi oleh UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modan
(selanjutnya disebut UUPM), antara lain:
1) Bursa efek adalah pihak yang menyelenggarakan dan menyediakan
sistem dan atau sarana untuk mempertemukan penawaran jual dan beli
efek pihak-pihak lain dengan tujuan memperdagangkan efek diantara
mereka (Pasal 1 butir 4 UUPM).
2) Lembaga kliring dan penjaminan adalah pihak yang menyelenggarakan
jasa kliring dan penjaminan transaksi bursa (Pasal 1 Butir 9 UUPM).
3) Lembaga penyimpanan dan penyelesaian adalah pihak yang
menyelenggarakan kegiatan kustodian, prusahaan efek dan pihak lain
(Pasal 1 butir 10 UUPM).
4) Perusahaan efek adalah pihak yang melakukan kegiatan usaha sebagai
penjamin emisi efek, perantara perdagangan efek, dan/atau manajer
investasi (Pasal 1 butir 21 UUPM).
f. Menteri Keuangan
Permohonan pernyataan pailit terhadap Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) yang bergerak dibidang kepentingan publik hanya dapat diajukan
xxx
terhadap perusahaan asuransi reasuransi, dana pensiun diajukan oleh
Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
2. Prosedur permohonan pailit
Pengertian prosedur menurut pendapat Mulyadi merupakan suatu urutan
kegiatan klerikal, biasanya melibatkan beberapa orang dalam suatu departemen
atau lebih yang dibuat untuk menjamin penanganan secara seragam transaksi
perusahaan yang terjadi berulang-ulang. Didalam suatu sistem, biasanya terdiri
dari beberapa prosedur dimana prosedur-prosedur itu saling terkait dan saling
mempengaruhi. Akibatnya jika terjadi perubahan maka salah satu prosedur, maka
akan mempengaruhi prosedur-prosedur yang lain. Dalam suatu proses kepailitan,
prosedur kepailitan dapat terjadi setelah dilakukan proses permohonan pailit.
Seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya yang dapat
melakukan permohonan pailit adalah debirut sendiri, seorang kreditur, kejaksaan,
Bank Indonesia, Bapepam dan Mentri Keuangan. Dalam mengajukan suatu
permohonan pailit, terdapat 4 (empat) tahapan yang harus di lakukan, yaitu:
a. Tahap pendaftaran permohonan pailit
Permohonan pernyataan pailit iajukan kepada ketua pengadilan
niaga yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan debitur. Jika
debiturnya meninggalkan wilayah negara Indonesia, permohonan
pernyataan pailit diajukan ke pengadilan niaga yang daerah hukumnya
meliputi tempat permohonan pernyataan kepailitan diajukan ke pengadilan
niaga yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum debitur.21
xxxi
Pemohon mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada ketua
pengadilan niaga melaui panitera. Panitera pengadilan niaga wajib
mendaftarkan permohonan tersebut pada tanggal permohonan yang
bersangkutan diajukan dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis
yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dengan tanggal yang
sama dengan tanggal pendaftaran.22
Sidang atas permohonan pernyataan pailit diselenggarakan dalam
jangka waktu paling lambat 20 hari setelah tanggal permohonan didaftarkan.
Namun atas permohonan dari debitur dan berdasarkan alasan yang cukup,
dapat ditunda persidangan paling lambat 25 hari terhitung sejak tanggal
permohonan didaftarkan.
Panitera segera mendaftar permohonan
tersebut pada hari itu juga dan kemudian menyampaikannya kepada ketua
pengadilan paling lambat 2 hari setelah permohonan didaftarkan.
Selanutnya, dalam waktu paling lambat 3 hari setelah tanggal permohonan
pernyataan pailit didaftarkan, pengadilan mempelajari permohonan tersebut
dan menerapkan hari sidang.
b. Tahap pemanggilan para pihak
Sebelum persidangan dimulai, pengadilan melalui juru sita
melakukan pemanggilan para pihak, antara lain: (1) wajib memanggil
debitur, dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh kreditur,
kejaksaan, Bank Indonesia, Bapepam atau Menteri Keuangan; (2) dapat
memanggil kreditur, dalam hal permohonan pernyataan pailit yang
dilakukan oleh debitur (voluntary petition) dan terdapat keraguan bahwa
22
xxxii
persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) UUK dan PKPU telah terpenuhi. Pemanggilan dilakukan oleh juru
sita dengan surat kilat tercatat paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum sidang
pemeriksaan pertama diselenggarakan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal
8 ayat (2) UUK dan PKPU.
c. Tahap persidangan atas permohonan pernyataan pailit
Dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah tanggal
permohonan pernyataan pailit didaftarkan, pengadilan mempelajari
permohonan dan menetapkan sidang. Sidang pemeriksaan atas permohonan
tersebut diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 hari setelah
tanggal permohonan didaftarkan. Pengadilan dapat menunda
penyelenggaraan sidang pemeriksaan sampai dengan paling lambat 25 hari
setelah tanggal permohonan didaftarkan dengan alasan atas permohonan
debitur dan berdasarkan alasan yang cukup seperti adanya surat dari dokter.
Pasal 10 ayat (1) UUK dan PKPU menyebutkan bahwa selama
putusan atas permohonan pernyataan pailit belum diucapkan setiap kreditur,
kejaksaan, Bank Indonesia, Bapepam, atau Menteri Keuaangan dapat
mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk; (1) meletakkan sita
jaminan terhadap sebagian atau seluruhnya kekayaan debitur; (2) menunjuk
kurator sementara untuk mengawasi pengelolaan usaha debitur dan
pembayaran kepada kreditur, pengalihan, atau penggunaan kekayaan debitur
xxxiii
Pengadilan hanya dapat mengabulkan permohonan tersebut apabila
hal tersebut diperlukan guna melindungi kepentingan kreditur (Pasal 10 ayat
(2) UUK dan PKPU). Dalam ayat (3) selanjutnya dikatakan bahwa dalam
hal permohonan meletakkan sita jaminan tersebut dikabulkan, maka
pengadilan dapat syarat agar kreditur pemohon memberikan jaminan yang
dianggap wajar oleh pengadilan. Dari penjelasan pasal 10 ayat (3) UUK dan
PKPU selanjutnya menjelaskan bahwa jaminan hanya diperlukan apabila
pemohonnya adalah kreditur, sedangkan jika Bank Indonesia, Bapepam, dan
Menteri Keuangan yang bertindak sebagai pemohon, jaminan tersebut tidak
diperlukan.23
d. Tahap putusan atas permohonan pailit
Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat
fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk
dinyatakan pailit telah terpenuhi. Yang dimaksud dengan fakta atau keadaan
yang terbukti secara sederhana adalah adanya fakta dua atau lebih kreditur
dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar, sedangkan
perbedaan besarnya jumlah utang yang dialihkan oleh pemohon pailit dan
termohon pailit tidak menghalangi dijatuhinya putusan pernyataan pailit.
Putusan pengadilan niaga atas permohonan pernyataan pailit harus
diucapkan paling lambat 60 hari setelah tanggal permohonan pernyataan
pailit didaftarkan. Waktu 60 hari (2 bulan) yang cukup singkat merupakan
suatu perwujudan atas asas peradilan yang bersifat cepat, murah, dan
sederhana. Pada undang-undang sebelumnya UU No. 4 Tahun 1998 Tentang
23
xxxiv
Kepailitan waktu yang ditetapkan lebih singkat yaitu 30 hari (1 bulan).
Dengan pertimbangan yang rasional maka, UUK dan PKPU memberikan
batasan 60 hari (2 bulan) dimana pengadilan wajib memberikan putusan
terhitung sejak tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan.
Putusan atas permohonan pernyataan pailit wajib diucapkan dalam
sidang terbuka untuk umum dan wajib memuat secara lengkap
pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut serta memuat pula:
1) Pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan
dan/atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk
mengadili; dan
2) Pertimbangan hukum dan pendapat yang berbeda dari hakim anggota
atau ketua majelis.
Salinan putusan pengadilan atas permohonan pernyataan pailit
wajib disampaikan oleh juru sita dengan surat kilat tercatata kepada debitur,
pihak yang mengajukan permohonan pailit, kurator, dan hakim pengawas
paling lambat 3 (tiga) hari setelah tanggal putusan atas permohonan
pernyataan pailit diucapkan.
B. Akibat Hukum Kepailitan
Kepailitan mengakibatkan seluruh kekayaan debitur serta segala sesuatu
yang diperoleh selama kepailitan berada dalam sitaan umum sejak putusan
xxxv
pengadilan, ada beberapa harta debitur yang diberikan pengecualian berdasarkan
Pasal 22 UUK dan PKPU yaitu:24
1. Benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh debitur sehubungan
dengan pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis yang dipergunakan
untuk kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang digunakan oleh
debitur dan keluarganya, yang terdapat ditempat itu.
2. Segala sesuatu yang diperoleh debitur dari pekerjaannya sendiri sebagai
penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiun, uang tunggu
atau uang tunjangan , sejauh yang ditentukan oleh hakim pengawas.
3. Uang yang diberikan kepada debitur untuk memenuhi kewajiban memberi
nafkah menurut undang-undang.
Tanggal putusan tersebut dihitung sejak pukul 00.00 waktu setempat.
Sejak tanggal putusan pailit itu diucapkan, debitur yang pailit demi hukum tidak
mempunyai kewenangan lagi untuk menguasai dan mengurus harta kekayannya.
Akantetapi debitur tidak sepenuhnya kehilangan hak untuk mengurus harta
kekayaannya, debitur hanya kehilangan haknya dalam lapangan hukum harta
kekayaan. Dengan katalain debitur hanya kehilangan haknya terhadap harta pailit
saja. Yang dimaksud dengan harta pailit adalah objek pailit yang ada setelah
adanya putusan pailit dan selama kuputusan pailit itu berlangsung.
Kepailitan juga dapat memberikan akibat terhadap pasangan suami istri.
Dalam hal suami atau istri yang dinyatakan pailit, istri atau suaminya berhak
mengambil kembali semua benda bergerak dan tidak bergerak yang merupakan
harta bawaan dari istri atau suami dan hartanya yang diperoleh masing-masing
24
xxxvi
sebagai hadiah atau warisan. Jika benda milik istri telah dijual oleh istri atau
suami dan harganya belum dibayar atau uang hasil penjualan belum tercampur
dalam harta pailit maka istri atau suami berhak mengambil kembali uang hasil
penjualan tersebut. Sedangkan akibat kepailitan terhadap seluruh perikatan yang
dibuat oleh debitur yang terbit sesudah putusan pailit, tidak lagi dapat dibayar dari
harta pailit, kecuali perikatan tersebut menguntungkan harta pailit. ketentuan ini
dimuat dalam Pasal 25 UUK dan PKPU.
Tuntutan mengenai hak atau kewajiban yang menyangkut harta pailit
harus diajukan oleh atau terhadap kurator. Dalam hal tuntutan tersebut diajukan
atau diteruskan oleh atau terhadap debitur pailit maka apabila tuntutan tersebut
mengakibatkan suatu penghukuman terhadap harta pailit (Pasal 26 UUK dan
PKPU). Selama berlangsungnya kepailitan, tuntutan untuk memperoleh
pemenuhan perikatan dari harta pailit yang ditujukan terhadap debitur pailit,
hanya dapat diajukan dengan mendaftarkannya untuk dicocokkan (Pasal 27 UUK
dan PKPU).
Pasal 41 ayat (1) UUK dan PKPU dinyatakan secara tegas bahwa untuk
kepentingan harta pailit, segala perbuatan hukum debitur yang telah dinyatakan
pailit, yang merugikan kreditur dan yang dilakukan sebelum putusan pernyataan
pailit diucapkan dapat dimintai pembatalankepada pengadilan. Sedangkan Pasal
42 UUK dan PKPU memberikan batasan yang jelas mengenai perbuatan hukum
debitur. Dari ketentuan kedua pasal tersebut, dapat diketahui bahwa sistem
pembuktian yang dipakai adalah sistem pembuktian terbalik, yang artinya beban
pembuktian terhadap perbuatan hukum debitur (sebelum putusan pernyataan
xxxvii
melakukan perbuatan hukum dengan debitur apabila perbuatan hukum debitur
tersebut dilakukan dalam jangka waktu satu tahun sebelum putusan pernyataan
pailit dan membawa kerugian bagi kepentingan kreditur.
Dengan kata lain, apabila kurator menilai bahwa ada perbuatan ada
perbuatan hukum tertentu dari debitur dengan pihak ketiga dalam jangka waktu
satu tahun sebelum putusan pernyataan pailit dimana perbuatan hukum tersebut
merugikan kepentingan kreditur, maka debitur dan pihak ketiga wajib
membuktikan bahwa perbuatan hukum tersebut wajib dilakukan oleh mereka dan
perbuatan hukum tersebut tidak merugikan harta pailit. sedangkan apabila
perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitur dengan pihak ketiga dilakukan
lebih dari satu tahun sebelum putusan pernyataan pailit, maka yang wajib
membuktikannya adalah kurator.
1. Akibat kepailitan terhadap perjanjian timbal balik
Subekti menerjemahkan istilah overeenkomst dari bahasa belanda
kedalam bahasa indonesia, yaitu “perjanjian”. Pasal 1313 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata) memberikan definisi perjanjian
yaitu suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap suatu orang lain atau lebih.25
25
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, cet. 33 (Jakarta: Pradnya Paramita, 2003), Pasal 1313.
Rumusan tersebut memberikan
konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak,
dimana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitur) dan pihak lainnya
xxxviii
terdiri dari satu orang atau lebih. Bahkan dengan berkembangnya ilmu hukum,
pihak tersebut dapat berupa satu atau lebih badan hukum.
Penjelasan mengenai perjanjian timbal balik dapat dilihat dari pasal 1314
KUHPerdata yaitu:
a. Satu perjanjian dibuat dengan Cuma-Cuma atau atas beban.
b. Suatu perjanjian dengan Cuma-Cuma adalah suatu perjanjian dengan mana
pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain,
tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.
c. Suatu perjanjian atas beban, adalah suatu perjanjian yang mewajibkan
masing-masing pihak memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak
berbuat sesuatu.
Dari rumusan pasal di atas dapat diketahui bahwa suatu perjanjian dapat
bersifat sepihak dan perjanjian yang bersifat timbal balik. Perjanjian yang bersifat
sepihak yaitu perjanjian dimana hanya ada satu pihak yang mempunyai kewajiban
atas prestasi terhadap pihak lain. Contohnya perjanjian hibah. Sedangkan
perjanjian yang bersifat timbal balik adalah suatu perjanjian di mana kedua belah
pihak saling berprestasi. Dalam perjanjian timbal balik (bilateral), selalu ada hak
dan kewajiban disatu pihak yang saling berhadapan dengan hak dan kewjiban
dipihak lain. Contohnya perjanjian jual beli, sewa-menyewa, perjanjian kerja, dan
lain lain.26
Pasal 36 ayat (1) UUK dan PKPU menentukan bahwa dalam hal pada
saat putusan pernyataan pailit diucapkan, terdapat perjanjian timbal balik yang
26
xxxix
belum atau baru sebagian dipenuhi, pihak yang mengadakan perjanjian dengan
debitur dapat meminta kepada kurator untuk memberikan kepastian tentang
kelanjutan pelaksanaan perjanjian tersebut dalam jangka waktu yang disepakati
oleh kurator dan pihak tersebut. Dalam hal kesepakatan mengenai jangka waktu
tersebut tidak tercapai, hakim pengawas menetapkan jangka waktu tersebut (Pasal
36 ayat (2) UUK dan Kepailitan). Apabila dalam jangka waktu tersebut, kurator
tidak memberikan jawaban atau tidak bersedia melanjutkan pelaksanaan
perjanjian tersebut maka perjanjian berakhir dan pihak dalam perjanjian tersebut
dapat menuntut ganti rugi dan diperlakukan sebagai kreditur konkuren (Pasal 36
ayat (2) UUK dan PKPU.
Apabila kurator menyatakan kesanggupannya atas pelaksanaan perjanjian
tersebut, kurator wajib memberikan jaminan atas kesanggupan untuk
melaksanakan perjanjian tersebut. Pelaksanaan perjanjian tersebut tidak meliputi
perjanjian yang prestasinya harus dilaksanakan sendiri oleh debitur. Contohnya
apabila debitur seorang pelukis atau penyanyi dimana kurator diwajibkan untuk
melukis atau bernyanyi dalam hal tersebut tidak mungkin bagi kurator untuk
melaksanakan perjanjian.27
2. Akibat kepailitan terhadap perjanjian hibah
Hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu
hidupnya dengan Cuma-Cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali,
menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima
penyerahan itu. Undang-undang tidak mengakui lain-lain hibah selain hibah-hibah
27
xl
di antara orang-orang yang masih hidup. Hibah diatur dalam Bab ke-10 mulai dari
Pasal 1666 sampai dengan Pasal 1693 KUHPerdata.
Dari pengertian tersebut dapat dilihat bahwa hibah merupakan perjanjian
sepihak. Dalam kaitannya dengan akibat hukum dari kepailitan terhadap
perjanjian hibah diatur dalam Pasal 43 dan Pasal 44 UUK dan PKPU. berdasarkan
kedua pasal tersebut dapat diketahui bahwa hibah yang dilakukan debitur pailit
yang akan mengakibatkan kerugian bagi kreditur dapat dimintai pembatalan
perjanjian hibah oleh kurator kepada pengadilan. Untuk melakukan pembatalan
perjanjian hibah tersebut perlu dibuktikan terlebih dahulu bahwa debitur
mengetahui perjanjian hibah tersebut mengakibatkan kerugian bagi kreditur.
3. Akibat kepailitan terhadap perjanjian sewa-menyewa
Sewa-menyewa adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu
mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak lain kenikmatan dari suatu
barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga, yang
oleh pihak tersebut belakangan itu disanggupi pembayarannya. Kaita akibat
kepailitan terhadap perjanjian sewa-menyewa dapat dilihat dari ketentuan dalam
Pasal 38 UUK dan PKPU. Ketentuan pasal tersebut menyebutkan bahwa dalam
hal debitur telah menyewa suatu benda (dalam hal ini debitur tidak bertindak
sebagai penyewa), maka baik kurator maupun pihak yang menyewakan barang
dapat menghentikan perjanjian sewa, dengan syarat harus ada pemberitahuan
penghentian yang dilakukan sebelum berakhirnya perjanjian sewa tersebut sesuai
xli
Jangka waktu pemberitahuan penghentian tersebut harus menurut
perjanjian atau kelaziman dalam jangka waktu adalah paling singkat 90 hari.
Dalam hal debitur telah membayar lunas uang sewa dimuka maka perjanjian sewa
tersebut tidak dapat dihemtikan lebih awal sebelum berakhirnya jangka waktu
yang telah dibayar uang sewa tersebut. Namun apabila uang sewa belum dibayar
atau belum lunas dibayar utang sewa debitur akan menjadi utang harta pailit
(Pasal 38 ayat (4) UUK dan PKPU) dengan demikian orang yang menyewakan
tersebut dapat menjadi kreditur konkuren.
4. Akibat kepailitan terhadap perjanjian dengan prestasi berupa penyerahan suatu
benda dagang
Apabila dalam perjanjian timbal balik telah diperjanjikan penyerahan
benda dengan yang biasa diperdagangkan dengan suatu jangka waktu, kemudian
pihak yang harus menyerahkan benda tersebut sebelum penyerahan dilaksanakan
dinyatakan pailit maka perjanjian menjadi hapus dengan diucapkannya putusan
pernyataan pailit, dan dalam hal pihak lawan dirugikan karena penghapusan maka
yang bersangkutan dapat mengajukan diri sebagai kreditur konkuren untuk
mendapat ganti rugi. Akan tetapi dalam hal harta pailit dirugikan karena
penghapusan perjanjian tersebut maka pihak lawan wajib membayar ganti rugi
tersebut..
5. Akibat kepailitan terhadap perjanjian kerja antara debitur pailit dengan pekerja
Penjelasan Pasal 39 ayat (1) UUK dan PKPU kepailitan menyatakan
bahwa ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja, kurator tetap berpedoman
pada peraturan perundang-undangan dibidang ketenagakerjaan. Berdasarkan Pasal
xlii
(selanjutnya disebut UUTK) pengertian tenaga kerja adalah setiap orang yang
mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk
emenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat.
Akibat kepailitan terhadap perjanjian kerja antara debitur pailit dengan
pekerja dapat berupa putusnya hubungan kerja antar debitur pailit dengan
pekerjanya. Dalam UUK dan PKPU hanya terdapat satu pasal yang membahas
mengenai hubungan kerja antara debitur pailit dengan pekerja, yaitu Pasal 39
UUK dan PKPU.dari pasal tersebut dapat diketahui bahwa pemutusan hubungan
kerja pada saat debitur pailit dapat berasal dari inisiatif pekerja ataupun dari
kurator yang mengurus harta debitur pailit dengan catatan bahwa pemberhentian
tersebut harus mengindahkan jangka waktu yang disetujui oleh kedua belah pihak
atau pemberitahuan paling singkat 45 hari sebelumnya. Pengaturan mengenai
pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh pekerja menurut UUTK dapat
dilihat dalam Pasal 156 UUTK.
Berdasarkan Pasal 165 UUK dan PKPU menyebutkan bahwa kurator
dapat melakukan pemutusan hubungan kerja antara debitur pailit dengan pekerja,
dengan demikian jika kurator melakukan pemutusan hubungan kerja maka kurator
harus memperhatikan hak-hak pekerja baik berupa uang pesangon, uang
penghargaan masa kerja maupun uang penggantian hak sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 156 UUK dan PKPU.
6. Akibat kepailitan terhadap hak jaminan dan hak istimewa
Sistem hukum jaminan indonesia mengenal 4 (empat) macam jaminan
xliii a. Hipotek
Hipotek diatur dalam Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232 Bab
XXI KUHPerdata, yang pada saat ini hanya diberlakukan untuk kapal laut
yang berukuran minimal 20 m2 dan sudah terdaftar di Syahbandar dan
pesawat terbang.
b. Gadai
Gadai diatur dalam Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160 Bab XX
KUHPerdata, yang diberlakukan terhadap benda-benda bergerak.
c. Hak tanggungan
Hak tanggungan diatur dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda Yang
Berkaitan Dengan Tanah, yang merupakan jaminan atas hak-hak atas tanah
tertentu berikut kebendaan yang melekat diatas tanah.
d. Fidusia
Hak fidusia diatur dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996
tentang Jaminan Fidusia, yang objek jaminannya berupa benda-benda yang
tidak dapat dijaminkan dengan gadai, hipotek, dan hak tanggungan.
Berdasarkan Pasal 55 UUK dan PKPU kepailitan ditentukan bahwa
setiap kreditur pemegang jaminan gadai, fidusia, hak tanggungan, hipotek,
atau hak anggunan atas kebendaan lainnya dapat mengeksekusi haknya
seolah-olah tidak terjadi kepailitan, kecuali dalam hal penagihan suatu
piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 dan 137 UUK dan PKPU,
xliv
penagihannya dan hanya untuk mengambil pelunasan dari jumlah yang
diakui dari penagihan tersebut.
7. Akibat kepailitan terhadap gugatan (tuntutan hukum)
Akibat kepailitan terhadap gugatan terbagi atas 2 (dua) bagian yaitu:
a. Dalam hal debitur pailit sebagai penggugat
Selama proses kepailitan berlangsung, debitur pailit yang
mengajukan gugatan/tuntutan hukum terhadap tergugat, maka atas
permohonan tergugat, perkara harus ditangguhkan untuk memberikan
kesempatan kepada tergugat untuk memanggil kurator untuk mengambil
alih perkara dalam jangka waktu yang ditentukan oleh hakim. Dalam hal
kurator tidak mengindahkan panggilan atau menolak mengambil alih
perkara tersebut, tergugat berhak memohon agar perkaranya digugurkan.
b. Dalam hal debitur pailit sebagai tergugat
Gugatan atau tuntutan hukum yang diajukan terhadap debitur
sebagai tergugat sejauh bertujuan untuk memperoleh pemenuhan kewajiban
dari harta pailit dan perkaranya sedang berjalan akan gugur demi hukum
dengan diucapkannya putusan pernyataan pailit (Pasal 29 UUK dan PKPU).
8. Akibat penyitaan terhadap penetapan penyitaan dan eksekusi pengadilan
Putusan pernyataan pailit berakibat pada segala penetapan pelaksanaan
pengadilan terhadap setiap bagian dari kekayaan debitur yang telah dimulai
sebelum kepailitan, harus dihentikan seketika itu tidak ada suatu putusan yang
dapat dilaksanakan. Debitur yang berada dalam penahanan (gijzeling) harus
xlv
Pasal 93 UUK dan PKPU. penahanan disini adalah penahanan perdata atau
gijzeling.Gijeling adalah suatu upaya paksa agar debitur memenuhi kewajibannya.
9. Akibat kepailitan terhadap perjumpaan utang (Kompensasi)
Penjumpaan utang adalah suatu cara untuk menghapuskan suatu
perikatan. Hal ini diatur dalam Pasal 1381 KUHPerdata. Pengertian penjumpaan
utang dapat dilihat dalam Pasal 1425 KUHPerdata yang menyebutkan
penjumpaan utang adalah jika dua orang saling berutang antara satu dengan yang
lain, maka terjadilah antara mereka suatu perjumpaan, dengan mana utang-utang
antara kedua orang tersebut akan dihapuskan.
Pasal 1426 KUHPerdata menyebutkan bahwa perjumpaan utang adalah
terjadi demi hukum, bahkan tanpa sepengetahuan orang-orang yang berutang, dan
kedua utang itu satu menghaouskan yang lain dan sebaliknya. Dalam kepailitan
dimungkinkan seorang melakukan penjumpaan utang dengan syarat-syarat yang
ditentukan oleh undang-undang. Pasal 51 UUK dan PKPU memberikan hak
kepada setiap orang yang mempunya utang atau piutang terhadap debitur pailit
untuk memohon diadakannya penjumpaan utang, apabila utang atau piutang
tersebut diterbitkan sebelum putusan permohonan pailit diucapkan, atau akibat
yang dilakukannya dengan debitur pailit sebelum putusan pernyataan pailit
diucapkan. Perjumpaan utang juga daoat dilakukan oleh setiap orang yang
memperoleh utang atau piutang sebagai akibat dari pengalihan suatu utang atau
piutang dari pihak ke tiga. Semua utang yang diambil alih setelah putusan
pernyataan pailit diucapkan tidak dapat dijumakan (Pasal 52 ayat (2) UUK dan
xlvi
10. Akibat kepailitan terhadap pengembalian benda yang merupakan bagian dari
harta debitur
Setiap orang yang telah menerima benda yang merupakan bagian dari
harta debitur yang tercakup dalam perbuatan hukum yang dibatalkan, harus
mengembalikan benda tersebut kepada kurator dan dilaporkan kepada hakim
pengawas. Dalam hal orang yang telah menerima benda tersebut tidak dapat
menerima benda yang telah diterima dalam keadaan semula wajib membayar
ganti rugi kepada harta pailit. hak pihak ketiga atas benda yang diperoleh dengan
itikad baik dan tidak dengan Cuma-Cuma, harus dilindungi.
11. Akibat kepailitan terhadap pembayaran dkepada debitur pailit
Pembayaran kepada debitur pailit dilakukan berdasarkan Pasal 50 UUK
dan PKPU yaitu:
a. Sesudah putusan pernyataan pailit diucapkan tetapi belim diumumkan
Apabila setiap orang membayar kepada debitur pailit untuk
memenuhi perikatan yang terbit sebelum putusan pernyataan pailit
diucapkan maka orang tersebut dibebaskan terhadap harta pailit sejauh
tidak dibuktikan bahwa yang bersangkutan mengetahui adanya putusan
pernyataan pailit tersebut.
b. Sesudah putusan pernyataan pailit diucapkan dan diumumkan
Apabila setiap orang membayar kepada debiur pailit untuk
memenuhi perikatan yang terbit sebelum putusan pernyataan pailit, maka
apabila orang yang membayar tersebut tidak dibebaskan dari harta pailit
xlvii
pen