• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nilai-nilai Budaya Masyarakat Melayu Secanggang Pada Tradisi Ahoi : Kajian Antropologi Sastra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Nilai-nilai Budaya Masyarakat Melayu Secanggang Pada Tradisi Ahoi : Kajian Antropologi Sastra"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

NILAI-NILAI BUDAYA MASYARAKAT MELAYU LANGKAT DI SECANGGANG PADA TRADISIAHOI : KAJIAN ANTROPOLOGI SASTRA

SKRIPSI

DIKERJAKAN OLEH

NAMA : RINI SALSA BELLA HARDI NIM : 110702006

PROGRAMSTUDI BAHASA DAN SASTRA MELAYU DEPARTEMEN SASTRA DAERAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

ABSTRAK

(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberi rahmat, hidayah serta kekuatan sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi yang berjudul judul “

Nilai-nilai Budaya Masyarakat Melayu Secanggang Pada Tradisi Ahoi : Kajian Antropologi Sastra”. Adapun hasil penelitian ini penulis harapkan dapat menambah wawasan dan

pengetahuan terhadap kajian sastra dan budaya.

Terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak yang telah mendorong dan membimbing penulis, baik tenaga, pikiran, ide-ide, maupun pemikiran. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua yang tidak pernah berhenti memberikan semangat dan do’anya,

dosen-dosen pembimbing yang sudah menyediakan waktu nya dan teman-teman yang sudah banyak membantu memberikan semangat.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan untuk perbaikan-perbaikan ke depan.

Medan, Juni 2015

Penulis

Rini Salsa Bella Hardi Nim : 110702006

(4)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATAPENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iii

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 5

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Yang Relevan ... 6

2.2 Kosmologi Masyarakat Melayu Langkat- Secanggang ... 7

2.2.1 Letak Geografis Dan Sejarah Singkat Langkat- Secanggang ... 8

2.2.2 Adat Istiadat Masyarakat Melayu Langkat- Secanggang ... 17

2.3 Intelektual Kesusastraan Tradisi Melayu ... 18

2.4 Pelaksanaan Tradisi Ahoi ... 20

(5)

BAB III METODELOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian ... 33

3.2 Sumber Data ... 34

3.3 Instrumen Penelitian ... 34

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 35

3.4.1 Teknik Observasi ... 35

3.4.2 Teknik Kuesioner ... 36

3.4.3 Teknik Dokumentasi ... 37

3.5 Teknik Analisis Data ... 37

3.5.1 Reduksi Data ... 37

3.5.2 Sajian Data ... 38

3.5.3 Penarikan Kesimpulan ... 38

BAB IV SIKAP MASYARAKAT TERHADAP TRADISI AHOI 4.1 Latar Belakang Responden ... 39

4.2 Hakikat Hidup ... 41

4.3 Hakikat Kerja ... 43

4.4 Hakikat Waktu ... 46

(6)

4.6 Hakikat Sesama Manusia ... 49

BAB V ANALISIS DAN HASIL PEMBAHASAN 5.1 Analisis Teks... 56

5.2 Analisis Konteks ... 65

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 74

6.2 Saran ... 75

DAFTAR PUSTAKA ... 76

LAMPIRAN... 78

(7)

ABSTRAK

(8)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sastra adalah ungkapan pribadi manusia berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan menggunakan bahasa sebagai media.1Maka menempatkannya sebagai karya seni kreatif yang objeknya manusia dan kehidupan yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Pemaknaanya tergantung pada konteks, cara pandang, wilayah, geografi budaya, waktu, dan berbagai faktor lain. Oleh karena itu, sastra mempunyai ketergantungan dengan budaya dari suatu masyarakat atau seseorang yang melahirkan atau menciptanya.2

Pendapat di atas menjelaskan bahwa sastra berkaitan erat dengan manusia dan merupakan bagian dari kebudayaan. Bisa dilihat pada setiap teks karya sastra baik lisan maupun tulisan berkaitan dengan perilaku kehidupan dari pendukung suatu kebudayaan. Pada penelitian sastra sering juga menggunakan hubungan antara teks dan kehidupan dengan cara menerjemahkan setiap konteks yang ada di dalam suatu karya sastra.

Semua kebudayaan yang ada, teks dan konteksnya merupakan kajian sastra secara ilmiah. Tekstual memiliki kemampuan untuk menampung hampir semua pernyataan kegiatan manusia untuk memahami dirinya sendiri serta orang lain yang akhirnya melahirkan filsafat untuk memahami alam semesta dan akhirnya menciptakan ilmu pengetahuan dalam

1

Sumardjo dan Saini (1988:3) dalam buku Studi dan Pengkajian Sastra(Perkenalan Awal terhadap Ilmu sastra) 2

(9)

kebudayaan, tekstual merupakan bahasa yang tercipta dari proses kesusastraan yang digunakan untuk berkomunikasi atau menyampaiankan sebuah informasi.

Pada dasarnya karya sastra, khususnya karya sastra tradisi sangat bermanfaat bagi kehidupan, karena dapat memberi kesadaran kepada pembaca tentang realita kehidupan. Karya sastra tradisi dapat memberikan kegembiraan dan kepuasan batin. Dalam karya sastra tradisi merupakan gambaran berbudi pekerti dan prilaku berbudaya serta berbangsa.

Indonesia terdiri dari berbagai macam suku bangsa, bahasa, dan adat istiadat. Salah satu suku nya adalah Melayu, suku Melayu tidak hanya berada di Indonesia saja tetapi ada juga yang berada di kawasan Asia Tenggara, seperti Thailand bagian selatan (Pattani), Malaysia dan Brunei Darussalam.

Wilayah kebudayaan Melayu di Indonesia mencakup daerah Tamiang, Pesisir Timur Sumatera Utara, Riau, Kalimantan, dan Jambi. Khusus yang berada di daerah pesisir Timur Sumatra Utara, mereka berada di daerah Langkat, Deli Serdang, Asahan dan Labuhan Batu.

Kawasan-kawasan yang berada di daerah Pesisir Timur Sumatera Utara memiliki kesamaan dalam adat istiadatnya,misalnya tepung tawar, khitanan, perkawinan, jamu laut, dan dalam kegiatan pertanian yang akan menjadi pokok pembahasan dalam tulisan ini.

(10)

terbatas. Oleh karena itu , saat ini bila melakukannya susah mendapat penutur atau pawang. Hal ini lah yang membuat Tradisi Ahoi jarang dilaksanakan.3

Dahulu, pada kegiatan pertanian khususnya pertanian padi, masyarakat Melayu menggunakan pengiring ketika bekerja dan berfungsi sebagai hiburan. Hal itulah yang merupakan kesenian mereka yang disebut dengan Ahoi. Ahoi adalah sebuah lagu yang dinyanyikan oleh para petani ketika mengirik padi atau melepaskan gabah padi dari tangkainya dengan cara menginjak-injaknya. Ahoi biasanya dinyanyikan petani pada saat sedang mengirik padi pada waktu panen tiba. 4

Seiring dengan perkembangan zaman dengan masuknya teknologi-teknologi mesin yang dapat mempermudah kerja proses mengirik padi, maka kegiatan tradisi melepaskan gabah padi dari tangkainya dengan cara menginjak-nginjak, dan diikuti dengan kesenian Ahoi sudah mulai memudar.

Hal ini tidak boleh di biarkan terjadi, Tradisi Ahoi harus tetap dipertahankan karena tradisi ini dapat menggambarkan masyarakat Melayu yang riang gembira dinamis, dan senang bekerja sama.

Oleh karena itulah, penulis tertarik untuk meneliti tentang “Nilai-nilai Budaya

Masyarakat Melayu Langkat di Secanggang Pada Tradisi Ahoi ”.

3

Bapak Jumiran selaku ketua kelompok Petani di Desa Tanjung Ibus, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat, Tanggal 04 februari 2015, Pukul 13.00 wib.

4

(11)

1.2 Rumusan Masalah

Permasalahan yang akan dibicarakan dalam tulisan ini adalah pada intinya membahas nilai-nilai budaya pada masyarakat Melayu Secanggang pada Tradisi Ahoi, dan masyarakat yang dimaksud pada tradisi tersebut adalah masyarakat yang ada di daerah tempat terjadinya

Tradisi Ahoi tersebut. Dalam penelitian ini penulis akan menganalisis Tradisi Ahoi pada masyarakat Melayu Secanggang, melalui pendekatan Antropologi Sastra. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana sikap masyarakat secara umum terhadap TradisiAhoi ?

2. Bagaimana tahap pelaksanaan TradisiAhoi ?

3. Bagaimana nilai-nilai budaya masyarakat dalam TradisiAhoi ?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah :

1. Mendeskripsikan nilai-nilai budaya masyarakat Melayu Langkat di Secanggang terhadap

Tradisi Ahoi.

2. Mengangkat nilai-nilai budaya yang terdapat di dalam Tradisi Ahoi di daerah Secanggang agar masyarakat umum dapat mengetahui nilai-nilai yang berguna bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana penyajian Ahoi dalam kegiatan mengirik padi.

(12)
(13)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian yang Relevan

Dalam kajian ini penulis mengambil beberapa rujukan buku yang berkaitan dengan penelitian ini. Adapun buku yang saya gunakan sebagai rujukan adalah sebagai berikut :

“Nilai-nilai Budaya dalam Susatra Daerah Sulawesi Selatan” (Muhammad Sikki dkk,

1991) dalam buku ini penulis mengkaji tentang nilai-nilai budaya yang ada di sulawesi selatan dan melakukan pembinaan secara langsung maupun tidak langsung. Pembinaan secara langsung dilakukan dengan cara menginventarisasi dan mendokumentasi sejumlah sastra lisan yang masih tersebar luas di kalangan masyarakat. Pembinaan secara tidak langsung biasa terwujud dalam upacara-upacara adat atau dalam waktu senggang yang pada saat itu susastra biasa diperdengarkan. Menurut Sikki aspek-aspek budaya dalam susastra daerah Sulawesi selatan belum diteliti secara menyuluruh, oleh sebab itu beliau mengakaji Nilai-nilai Budaya yang ada di Daerah Sulawesi Selatan.5

Kemudian Titus Pekei dkk (2013) dalam bukunya yang berjudul “ Menggali Nilai Budaya Tradisi Lisan Dari Papua” dalam buku ini penulis membahas tentang sastra lisan atau

cerita rakyat yang ada di suku MEE dan menggali nilai-nilai budaya tradisi lisan suku MEE, yang bertujuan untuk menggali nilai budaya lisan agar pemerintah pusat di daerah tersebut mengetahui dan terutama masyarakat disana dan berusaha untuk menggali dalam usaha

5

(14)

memberantas kemiskinan dan pemiskinan nilai budaya lisan kedepan, mengangkat nilai-nilai budaya lisan, dan menyampaikan kepada generasi penerus.6

Sedangkan kajian penulis berbeda dengan kajian di atas, yaitu Nilai-nilai Budaya Masyarakat Melayu Secanggang Pada Tradisi Ahoi: Kajian Antopologi Sastra. Dalam kajian ini penulis mengkaji tentang bagaimana proses penyajian ataupun pelaksanaan dalam Tradisi Ahoi maupun fungsi dan tujuan tradisi ini. Penulis juga melakukan orientasi tentang nilai-nilai budaya masyarakat disana. Mengapa penulis mengkaji ini karena kurangnya pemahaman generasi penerus tentang tradisi ini dan juga ingin menggali dan mengangkat nilai-nilai budaya yang ada di dalamnya.

2.2 Kosmologi Masyarakat Melayu Langkat-Secanggang

Kosmologi merupakan ilmu yang mempelajari struktur dan sejarah alam semesta berskala besar. Secara khusus, ilmu ini berhubungan dengan asal mula dan evolusi dari suatu subjek.7

Kosmologi masyarakat Kabupaten Langkat merupakan masyarakat multi etnis yang beradab,rukun dan mufakat mejunjung tinggi adat istiadat dan budaya Melayu, taat beragama dan menjujung tinggi nilai kemanusiaan.

Sistem kepercayaan masyarakat Melayu Langkat-Secanggang mayoritas menganut agama Islam dan dalam sistem kehidupan masyarakatnya semua menyerap dari nilai-nilai Islam.

6

Titus Pekei, dkk dalam buku ( Menggali Nilai Budaya Tradisi Lisan dari Papua: kajian Cerita Rakyat Suku MEE,2013:22-23)

7

(15)

2.2.1 Letak Geografi dan Sejarah Singkat

a. Letak geografi daerah kabupaten Langkat terletak pada3o14’ dan 4o13’ lintang utara, serta 93o51’ dan 98o45’ Bujur Timur dengan batas-batas sebagai berikut:

1. Sebelah Utara berbatas dengan selat Malaka dan Prop. D.I.Aceh 2. Sebelah Selatan berbatas dengan Dati II Karo.

3. Sebelah Timur berbatas dengan Dati II Deli Serdang

4. Sebelah Barat berbatas dengan Dati D.I Aceh (Aceh Tengah)

b.Wilayah Kabupaten Langkat terletak antara : 3o 14` 00" - 4o 13` 00" Lintang Utara 97o 52` 00" - 98o 45` 00" Bujur Timur.Luas areal : 6.263,29 Km2 (626.326 Ha)

Letak di atas permukaan laut :

1. Kec. Babalan : 4 meter 2. Kec. Tanjung Pura : 4 meter 3. Kec. Binjai : 28 meter 4. Kec. Selesai : 30 meter 5. Kec. Salapian : 100 meter

6. Kec. Bahorok : 105 meter

Batas-batas :

1. Utara : Kabupaten Aceh Tamiang dan Sela Malaka 2. Timur : Kabupaten Deli Serdang

3. Selatan : Kabupaten Karo

(16)

c. Luas daerah menurut kecamatan :

No. Kecamatan Luas (Km2) Rasio terhadap Total (%)

1 Bahorok 884,79 14,13

2 Serapit 96,27 1,54

3 Salapian 280,78 4.48

4 Kutambaru 182,02 2,91

5 Sei. Bingei 331,75 5,30

6 Kuala 188,23 3,01

7 Selesai 148,60 2,37

8 Binjai 48,60 0,78

9 Stabat 85,25 1,36

10 Wampu 203,21 3,24

11 Batang Serangan 993,04 15,85 12 Sawit Seberang 264,06 4,22 13 Padang Tualang 281,38 4,49

14 Hinai 112,98 1,80

15 Secanggang 243,78 3,89

16 Tanjung Pura 165.78 2,65

17 Gebang 186,74 2,98

18 Babalan 110,99 1,77

19 Sei. Lepan 440,54 7,03

20 Brandan Barat 71,53 1,14

21 Besitang 557,67 8,90

(17)

23 Pematang Jaya 197,15 3,15

Jumlah 6263,29 100,00

d. Wilayah Kabupaten Langkat meliputi:

 Kawasan hutan lindung seluas +- 266.232 Ha (42,51 %) dan kawasan lahan budidaya

seluas +- 360.097 Ha (57,49 %).

 Kawasan hutan lindung terdiri dari kawasan pelestarian alam Taman Nasional

Gunung Leuser (TNGL) seluas +- 213.985 Ha.

 Kawasan Timur Laut seluas +- 9.520 Ha.

 Kawasan Penyangga seluas +- 7.600 Ha.

 Kawasan Hutan Bakau seluas +- 20.200 Ha dan kawasan lainnya +- 14.927 Ha.

e. Penduduk

Berdasarkan angka hasil Sensus Penduduk tahun 2000, penduduk kabupaten Langkat berjumlah 902.986 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk 1,14 persen pada periode 1990-2000 dan kepadatan penduduk sebesar 144,17 jiwa per km2. sedangkan tahun 1990 adalah sebesar 1,07 persen.8

8

(18)

F.Sejarah singkat Kabupaten Langkat

a. Masa Pemerintahan Belanda dan Jepang

Pada masa Pemerintahan Belanda, Kabupaten Langkat masih berstatus keresidenan dan kesultanan (kerajaan) dengan pimpinan pemerintahan yang disebut Residen dan berkedudukan di Binjai dengan Residennya Morry Agesten. Residen mempunyai wewenang mendampingi Sultan Langkat di bidang orang-orang asing saja sedangkan bagi orang-orang asli (pribumi) berada di tangan pemerintahan kesultanan Langkat. Kesultanan Langkat berturut-turut dijabat oleh :

1. Sultan Haji Musa Almahadamsyah 1865-1892

2. Sultan Tengku Abdul Aziz Abdul Jalik Rakhmatsyah 1893-1927 3. Sultan Mahmud 1927-1945/46

Di bawah pemerintahan kesultanan dan assisten Residen struktur pemerintahan disebut LUHAK dan di bawah luhak disebut Kejuruan (Raja kecil) dan Distrik, secara berjenjang disebut Penghulu Balai (Raja kecil Karo) yang berada di desa. Pemerintahan luhak dipimpin seorang Pangeran, pemerintahan kejuruan dipimpin seorang Datuk, pemerintahan distrik dipimpin seorang kepala distrik, dan untuk jabatan kepala kejuruan/datuk harus dipegang oleh penduduk asli yang pernah menjadi raja di daerahnya.

Pemerintahan Kesultanan di Langkat dibagi atas 3 (tiga) kepala Luhak

1. Luhak Langkat Hulu, yang berkedudukan di Binjai dipimpin oleh T. Pangeran Adil. Wilayah ini terdiri dari 3 kejuruan dan 2 distrik yaitu :

(19)

o Kejuruan Sei Bingai o Distrik Kwala o Distrik Salapian

2. Luhak Langkat Hilir, yang berkedudukan di Tanjung Pura dipimpin oleh Pangeran Tengku Jambak/T. Pangeran Ahmad. Wilayah ini mempunyai 2 kejuruan dan 4 distrik yaitu :

o Kejuruan Stabat o Kejuruan Bingei o Distrik Secanggang o Distrik Padang Tualang o Distrik Cempa

o Distrik Pantai Cermin

3. Luhak Teluk Haru, berkedudukan di Pangkalan Berandan dipimpin oleh Pangeran Tumenggung (Tengku Djakfar). Wilayah ini terdiri dari satu kejuruan dan dua distrik.

o Kejuruan Besitang meliputi Langkat Tamiang dan Salahaji. o Distrik Pulau Kampai

o Distrik Sei Lepan

(20)

b. Masa Kemerdekaan

Pada awal kemerdekaan Republik Indonesia, Sumatera dipimpin oleh seorang gubernur yaitu Mr. T. M. Hasan, sedangkan kabupaten Langkat tetap dengan status keresidenan dengan asisten residennya atau kepala pemerintahannya dijabat oleh Tengku Amir Hamzah, yang kemudian diganti oleh Adnan Nur Lubis dengan sebutan Bupati.

Pada tahun 1947-1949, terjadi agresi militer Belanda I, dan II, dan kabupaten Langkat terbagi dua, yaitu Pemerintahan Negara Sumatera Timur (NST) yang berkedudukan di Binjai dengan kepala Pemerintahannya Wan Umaruddin dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berkedudukan di Pangkalan Berandan, dipimpin oleh Tengku Ubaidulah. Berdasarkan PP No. 7 Tahun 1956 secara administratif kabupaten Langkat menjadi daerah otonom yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri dengan kepala daerahnya (Bupati) Netap Bukit.

Mengingat luas kabupaten Langkat, maka kabupaten Langkat dibagi menjadi 3 (tiga) kewedanan yaitu :

1. Kewedanan Langkat Hulu berkedudukan di Binjai

2. Kewedanan Langkat Hilir berkedudukan di Tanjung Pura 3. Kewedanan Teluk Haru berkedudukan di Pangkalan Berandan.

Pada tahun 1963 wilayah kewedanan dihapus sedangkan tugas-tugas administrasi pemerintahan langsung dibawah bupati serta assiten wedana (camat) sebagai perangkat akhir. Pada tahun 1965-1966 jabatan bupati kdh. Tingkat II Langkat dipegang oleh seorang Care Taher (Pak Wongso) dan selanjutnya oleh Sutikno yang pada waktu itu sebagai Dan Dim 0202 Langkat. Dan secara berturut-turut jabatan bupati kdh. Tingkat II Langkat dijabat oleh:

(21)

2. HM. Iscad Idris 1974 – 1979 3. R. Mulyadi 1979 – 1984

4. H. Marzuki Erman 1984 – 1989 5. H. Zulfirman Siregar 1989 – 1994 6. Drs. H. Zulkifli Harahap 1994 – 1998

7. H. Abdul Wahab Dalimunthe, SH 3-9-1998 s/d 20-2-1999 8. H. Syamsul Arifin, SE 1999-2009

9. Ngogesa Sitepu : 2009 s/d sekarang

Untuk melaksanakan pembangunan yang merata, kabupaten Langkat dibagi atas 3 wilayah pembangunan.

1. Wilayah pembangunan I (Langkat Hulu) meliputi

o Kecamatan Bahorok dengan 19 desa o Kecamatan Salapian dengan 22 desa o Kecamatan Kuala dengan 16 desa o Kecamatan Selesai dengan 13 desa o Kecamatan Binjai dengan 7 desa o Kecamatan Sei Bingai 15 desa

2. Wilayah pembangunan II (Langkat Hilir) meliput

o Kecamatan Stabat dengan 18 desa dan 1 kelurahan o Kecamatan Secanggang dengan 14 Desa

o Kecamatan Hinai dengan 12 desa

o Kecamatan Padang Tualang dengan 18 desa

o Kecamatan Tanjung Pura dengan 15 desa dan 1 kelurahan

(22)

o Kecamatan Gebang dengan 9 desa o Kecamatan Brandan Barat dengan 6 desa

o Kecamatan Sei Lepan dengan 5 desa dan 5 kelurahan o Kecamatan Babalan dengan 5 desa dan 3 kelurahan o Kecamatan Pangkalan Susu dengan 14 desa 2 kelurahan o Kecamatan Besitang dengan 8 desa dan 3 kelurahan

Tiap-tiap wilayah pembangunan dipimpin oleh seorang pembantu Bupati. Di samping itu dalam melaksanakan otonomi daerah kabupaten Langkat dibantu atas dinas-dinas otonom, instansi pusat baik departemen maupun non departemen yang kesemuanya merupakan pembantu-pembantu Bupati. Dalam melaksanakan kebijaksanaan pemerintahan dan pembangunan.9

Adapun tempat ataupun lokasi yang akan diteliti penulis yaitu di Kecamatan Secanggang, tepat nya di Desa Tanjung Ibus. Nama desa tersebut diambil dari pohon ibus yang hanya dibuat oleh masyarakat untuk membuat tikar dan pelepahnya untuk digunakan keperluan rumah tangga, seperti membuat gubuk, batangnya juga bisa dijadikan sebagai penyangga rumah penduduk. Tumbuhnya pohon ibus banyak dijumpai di Tanjung yang tanahnya menjurus ke anak sungai sehingga oleh masyarakat pada waktu itu kurang lebih 1940 dijadikan nama kampung Tanjung Ibus pada masa Kerajaan Lelawangsa.

Luas wilayah Desa Tanjung Ibus = 2.554 Ha

Jumlah penduduk Desa Tanjung Ibus (Desember 2009)

a. Laki-laki = 2.390 Jiwa

b. Perempuan = 2.290 Jiwa

9

(23)

Jumlah = 5.680 Jiwa

c. Jumlah Kepala (KK) = 1.120 KK

Sistem Kepercayaan Masyarakat di desa Tanjung Ibus mayoritas beragama Islam (100%) dengan keragaman suku antara lain : Melayu, Jawa, Sunda, Kalimantan dll.

Sistem Mata Pencaharian Masyarakat di desa Tanjung Ibus rata-rata memiliki pekerjaan sebagai buruh tani, petani, dan nelayan tradisional. Berikut data persentase Mata pencaharian penduduk :

- Buruh Tani 40 % - Petani 30% - Nelayan 20%10

2.2.2 Adat Istiadat Masyarakat Langkat-Secanggang

Masyarakat suku Melayu Langkat-Secanggang ini hampir seluruhnya memeluk agama Islam, yang telah berkembang di kalangan orang mereka sejak beberapa abad yang lalu. Agama Islam begitu kuat tumbuh dalam masyarakat, terlihat dari segala bentuk tradisi adat-istiadat dan budaya suku mereka banyak dipengaruhi unsur budaya Islam. Adapun adat istiadat upacara di dalam masyarakat tersebut yaitu : Upacara Perkawinan, Upacara Kelahiran, Upacara Turun ke Sawah/Ladang dan Upacara Menjamu Laut.11

Adat masyarakat Melayu Langkat- Secanggang terbagi atas 4 bagian yaitu :

1. Adat yang sebenarnya adat

10

Berdasarkan Data Adminisrasi Pemerintahan di Desa Tanjung Ibus, kecamatan Secanggang, kabupaten Langkat.

11

(24)

Adat ini merupakan yang paling utama dan tidak dapat dirubah sampai kapanpun dia merupakan harga mati bagi seluruh masyarakat Langkat- Secanggang, tidaklah bisa dikatakan dia orang Melayu apabila tidak melaksanakan adat tersebut.

2. Adat yang di adatkan

Adat ini adalah sebuah aturan yang telah disepakati dan diundangkan dalam tatanan adat Melayu dari zaman dahulu melalui sebuah pengkajian dan penelitian yang amat dalam dan sempurna oleh para orang tua dahulu.

3. Adat yang teradat

Adat ini merupakan adat yang sudah teradat dari zaman dahulu, dia dalah ragam budaya di beberapa daerah yang ada di Langkat-Secanggang yang tidak sama masing-masing daerah. Adat ini mengatur tatanan hidup bermasyarakat dalam suatu daerah dan interaksi antara satu suku dengan suku yang lainnya di daerah tersebut, kemudian disesuaikan dengan kultur daerah masing-masing.

4. Adat istiadat

Adat ini merupakan ragam adat dalam pelaksanaan silaturahmi, berkomunikasi, berintegrasi, bersosialisasi dalam masyarakat di daerah tersebut, seperti upacara-upacara adat yang telah disebutkan pada paragraf yang pertama.

2.3 Intelektual Kesusastraan tradisi Melayu

(25)

Bentuk-bentuk sastra lisan itu misalnya cerita penglipur lara, cerita jenaka, cerita nasihat, cerita binatang, mitos, legenda, cerita asal usul, dan lain-lain sebagainya. Bentuk-bentuk lain dari sastra lisan misalnya pantun, pepatah, seloka, pribahasa, menampakkan ciri-ciri akal budi dan kebijaksanaan orang Melayu dalam menangani segala sikap dan perilaku dalam kehidupan yang dihasilkan oleh proses pengintelektualan orang Melayu sepanjang zaman.

Sejarah besarnya perkembangan pusat-pusat keintelektualan dan kesusastraan Melayu yang tertulis awalnya pada masa kerajaan Sriwijaya sekitar tahun 650-1200, Sriwijaya merupakan pusat kebudayaan Melayu tertua yang memiliki peranan penting perkembangan keintelektualan dan kesusastraan Melayu tradisional. Walaupun karya-karya kesusastraan pada zaman ini umumnya ditulis dalam bahasa Sansekerta, namun terdapat juga bentuk penulisan dalam bahasa Melayu kuno seperti yang tercatat di atas batu-batu bersurat. Walau bagaimanapun, hasil kesusastraan yang bertulis di atas bahan-bahan yang lain tidak kedapatan atau ditemui.

Kebesaran kerajaan Sriwijaya secara langsung telah mengawali perkembangan hasil-hasil kesusastraan Melayu mengikuti tahap-tahap perkembangan kerajaan dan kemampuan pengarang-pengarangnya di istana-istana raja Melayu. Istana-istana raja Melayu merupakan pusat kegiatan keintelektualan dalam tamadun Melayu Islam. Setelah kerajaan Sriwijaya, muncul lah kerajaan Pasai sekitar tahun 1250-1524, pada zaman kerajaan Pasai kegiatan kesusasteraan pula lebih banyak dikaitkan dengan kegiatan kerajaan ini sebagai kerajaan Melayu yang pertama menerima dan memeluk agama Islam di Alam Melayu.

(26)

kesusastraan agama khususnya sastra kitab, riwayat hidup Nabi Muhammad, cerita nabi-nabi, para sahabat, pahlawan dan sejarah seperti Hikayat Raja-Raja Pasai. Namun, sastra lisan dan hasil karya pada zaman ini masih di pengaruhi ajaran agama Hindu yang masih tidak bergeser.

Kemudian perkembangan kesusatraan Melayu tidak berhenti di situ, beberapa kerajaan seperti Melaka sekitar tahun 1400-1511; diikuti kesusastraan zaman Johor 1528-1779; kesusastraan zaman Palembang sekitar tahun 1650-1824; kesusasteraan di Patani sekitar tahun 1500-1900; di Brunei bermula dengan pemerintahan sultan ketiganya yaitu Sultan Sharif Au (1425-143 2); dan di Riau sekitar tahun 1673 sehingga tahun 1911, ikut menyumbangkan karya-karya kesusastraan melalui cendikiawan kerajaannya.

Ciri-ciri keintelektualan dan kesusatraan Melayu memasuki abad ke-20 sehingga sekarang telah dipengaruhi oleh ideologi dan pemahaman barat yang membawa pengaruh sekularisme, nasionalisme, realisme, dan humanisme dalam cara berfikir dan pengungkapan orang-orang Melayu, lalu ditambah lagi dengan kembalinya pengaruh kebangkitan Islam yang di pelopori oleh Syeikh Muhammad Abduh (1849-1905), Mufti Mesir (1888-1889) yang bersama-sama dengan Jamaluddin Al-Afghani (1838-1897) telah mempelopori gerakan Islam yang terkenal dengan nama Gerakan Salafiah dan menerbitkan majalah-majalah yang menganjurkan pemahaman Islam di masa itu.12

2.4 Pelaksanaan Tradisi Ahoi

Dalam pelaksanaan Ahoi ini, biasanya dilakukan pada saat musim panen padi tiba di daerah Secanggang mereka menyebutnya Pesta panen padi. Tetapi tradisi ini sudah tidak

12

(27)

pernah lagi dilakukan oleh masyarakat di daerah tersebut , dikarenakan sudah masuknya alat-alat teknologi canggih yang dapat mempermudah masyarakat dalam mengerjakan lahan pertanian mereka salah satu nya sawah. Biasanya mereka menggunakan kerbau untuk membajak sawah sekarang sudah menggunakan alat traktor yang dapat dengan mudah dan cepat dalam membajak sawah. Musim panen ini terjadi dalam sekali setahun dikarenakan jenis padi yang berbuah setelah berumur 6 bulan, tetapi melihat kondisi cuaca sekarang yang tidak tentu dalam setahun bisa panen 3-4 kali yaitu pada bulan Februari, Oktober , November dan Desember.

Dahulu proses pemanen padi dilakukan oleh masyarakat secara bergotong royong, dari satu lahan pertanian kelahan pertanian yang lain. Hasil panen biasanya disimpan selama lebih kurang 10 hari di dalam lumbung tempat penyimpanan padi. Hal ini dilakukan agar batang padi lebih kering, sehingga pada saat proses mengirik padi lebih mudah dipisahkan dari batangnya.

Padi yang sudah dianggap kering dipindahkan ketempat mengerik. Disinilah pemilik padi mengundang para pemuda pemudi desa untuk sama-sama bergotong royong mengirik padi. Bukan hanya para pemuda yang mengirik padi tetapi di ikuti juga oleh para gadis-gadis yang tinggal di sekitar desa. Gadis-gadis biasanya terlibat dalam pekerjaan mengemping padi yang masih muda. Padi yang dijadikan emping biasanya padi yang masih memiliki kandungan air yang tinggi sehingga lebih mudah di tumbuk di dalam lesung untuk digonseng sehingga menjadi emping.

(28)

Pada saat tamu warga yang datang tersebut memberikan salam kepada tuan rumah dengan cara menyampaikan pantun, misalnya:

Ku tutuh dali baru kutebang

Ambil sebatang hamparan kain

Assalammualaikum kami yang datang

Apa gerangan hajat disini

Pantun di atas melambangkan bahwa para undangan yang datang menyampaikan salam kepada tuan rumah dan mengatakan bahwa mereka sudah datang dan apa yang hendak dilakukan di rumah si tuan rumah. Pantun tersebut pun dibalas tuan rumah, misalnya:

Bebirik batang bebirik

Batang bayam sandaran dulang

Mengirik kita mengirik

Kokok ayam kita pe pulang

Pantun tersebut menyatakan bahwa si tuan rumah mengharapkan bantuan para tamu untuk membantunya dalam mengirik padi hasil panen sawahnya. Dan setelah padi selesai di irik mereka pun bisa kembali ke rumah masing-masing.

(29)

Setelah menjelaskan maksud dan tujuan kegiatan tersebut disampaikan, maka kegiatan mengirik padi pun dimulai. Tangkai padi yang telah kering tersebut pun dihamparkan di atas tikar yang luasnya kira-kira 25 meter persegi. Jumlah padi yang diirik dalam sekali proses pengerikan adalah 4 sampai 5 karung goni tangkai padi.

Kegiatan mengirik ini dimulai pada pukul 7 malam dan berakhir pada waktu subuh tiba. Biasanya yang melakukan kegiatan mengirik adalah kaum pemuda, sedangkan kaum pemudi membantu mengemping padi untuk dijadikan makanan para pengerik. Semantara, para orang tua mengawasi anak-anak mereka sambil membuat lemang di luar.

Sambil mengirik, mulailah salah seorang dari pengirik menyanyikan sebuah pantun yang isinya ajakan kepada para pengirik lainnya agar bersemangat. Contoh pantun yang dinyanyikan adalah sebagai berikut :

Buka batang sembarang batang

Batang padi di atas pedang

Sesudah yang bernyanyi selesai menyanyikan sampiran patunnya, pengirik lainnya pun menyambut dengan meneriakkan “ E wak ahoi ahoi”. Kemudian si pengirik pun mengulang bait kedua dari sampiran tersebut dan disambut lagi oleh pengirik lain dengan sambutan “ E wak ahoi ahoi”.

Kemudian dilanjutkan lagi oleh si pengirik yang pertama bernyanyi dengan menyanyikan isi dari pantunnya tersebut yang terdiri dari dua bait, yaitu :

Maek kabar tuan yang datang

Mari mengirik sambil berdendang

Nyanyian tersebut pun disambut oleh pengirik lain dengan meneriakkan “ E wak ahoi

ahoi.” Kemudian bait kedua dari isi pantun dinyanyikan kembali oleh si pengirik yang

(30)

Tidak jauh dari tempat para pemuda mengirik padi, para wanita yang datang menyiapkan penganan buat para pemuda yang mengirik dengan cara membuat emping. Padi yang masih muda mereka gongseng dan setelah itu ditumbuk di dalam lumpang. Hasil tumbukan itu mereka campur dengan gula dan santan. Sambil mengemping mereka juga bernyanyi dan membalas pantun dari si pengirikan yang pertama. Contoh pantun dari seorang pemudi tersebut sebagai berikut :

Kalau tidak karena bulan

Lalu disambut lagi oleh seorang pemuda yang disebelah si pengirik yang pertama bernyanyi dengan pantun pula.

Kalau ada kaca di pintu Kaca lama kami pecahkan E...wak ahoii..ahoii.. Kalau ada kata begitu

Badan dan nyawa kami serahkan E..wak ahoii..ahoi..

Para wanita yang mendengarnya pun tersenyum tersipu-sipu dan salah seorang dari mereka pun menyambutnya dengan menyanyikan pantun juga :

Tiga petak tiga penjuru

(31)

Setelah semua bulir padi terlepas dari tangkainya, padi pun di bersihkan dari sisa-sisa tangkainya dan dimasukkan ke dalam karung. Ketika padi dimasukkan, para pengirik pun duduk beristirahat sambil menyanyikan teks sebagai berikut:

Allah halim sewa Allah Maimunnah silotan dona Warabikum tuan saridi Habibina saidina ali

Setelah itu nyanyian dilanjutkan dengan menyanyikan teks berupa pantun yang di setiap akhir baitnya disambut dengan teriakan ‘iak iak” sebagai berikut :

Kalau ada sumur di ladang (iak iak) Bolehlah kita menumpang mandi (iak iak) Bolehlah kita berjumpa lagi (iak iak)

Setelah padi selesai dimasukkan ke dalam karung, tangkai padi yang belum diirik pun diletakkan lagi ke atas tikar dan kegiatan mengirik pun dimulai kembali sambil menyanyikan

Ahoi dengan bentuk yang sama seperti sebelumnya. Demikianlah proses pelaksanaan nyanyian ahoi ketika mengirik padi pada masyarakat Melayu Secanggang.13

2.5 Pendekatan Antropologi Sastra

Antropologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu antrophos yang berarti manusia sedangkan logos ilmu, maka antropologi adalah suatu ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan manusia yang mencakup beberapa aspek dalam kehidupan. Sastra adalah suatu karya yang diciptakan manusia dalam bentuk tulisan, karya sastra itu bersifat imajinatif. Sebagai salah satu ilmu “social humaniora” Antropologi sastra jelas membahas tentang permasalahan manusia dalam kehidupan bermasyarakat dalam aspek-aspek kebudayaan.

13

(32)

Mengkaji tentang manusia berarti mengamati dan mempelajari manusia dari semua bentuk segi kehidupan tak terkecuali cara berpikir manusia. Jati diri yang menonjol pada diri manusia akan mencerminkan prilaku dan watak manusia. Manusia yang kognitif akan menciptakan kemudahan bagi diri sendiri dan orang lain bukan sebaliknya.14

Antropologi sastra adalah analisis interdisiplin terhadap karya sastra di dalamnya terkandung unsur-unsur Antroplogi. Dalam hubungan ini menjelaskan bahwa karya sastra menduduki posisi yang lebih berpengaruh, sebaliknya antropologi itu sendiri sebagai pelengkap. 15

Penggunaan teori Antropologi sastra sebagai metode pembahasan objek tidak terlepas dari adanya dukungan unsur-unsur lain dari teori, metode, teknik, dan berbagai peralatan, termasuk objek. Maka jelas, Antropologi Sastra adalah Ilmu yang mempelajari tentang karya sastra yang berhubungan dengan manusia dan dengan melihat pembagian antropologi menjadi dua macam, yaitu antropologi fisik dan antropologi nonfisik. Antropologi fisik merupakan ilmu yang mempelajari manusia sebagai badan, seperti dilakukan dalam bidang ilmu kedokteran. Sebaliknya, antropologi nonfisik memahami manusia sebagai badan halus, manusia secara rohaniah, termasuk masalah-masalah yang berkaitan dengan emosional dan intelektual. Namun seiring perkembangan sesudah tahun 1920-an antropologi non fisik inilah yang disebut sebagai antropologi budaya (kultural).16

Maka antropologi sastra dibicarakan dalam kaitannya dengan antropologi kultural (kebudayaan), dengan karya-karya yang dihasilkan oleh manusia, seperti: bahasa, religi, mitos,sejarah, hukum, adat-istiadat, karya sastra, dan karya seni. Dalam hubungannya dengan

14

Prof. Wan Syaifuddin dalam Skripsi Rendy Novrizal, S.s ( Jati Diri Masyarakat Melayu Serdang Dalam Tradisi Bela Diri Silat Lintau Di Kedatukan Batang Kuis ; Kajian Antropologi Sastra 2014, hal.9)

15

Nyoman Kutha Ratna, Antropologi sastra:peranan unsur-unsur kebudayaan dalam proses kreatif, 2012 : 52)

16

(33)

tiga macam bentuk kebudayan yang dihasilkan oleh manusia,yaitu: ide, kegiatan ataupun aktivitas, dan pencapaian, atas dasar pemikiran bahwa sistem kebudayaan suatu suku tersimpan didalam peninggalan manusia, maka, antropologi sastra merupakan metode yang sangat penting untuk mengetahui jati diri budaya pada suatu kelompok masyarakat.

Lahirnya model pendekatan antropologi sastra dikarenakan oleh ilmu antropologi dengan ilmu sastra sama-sama mempermasalahkan relevansi manusia dengan kebudayaannya, Aspek itulah yang menghubungkan batas-batas penelitian di antara antopologi dan sastra.

Menurut syaifuddin (2015:156) penelitian antropologi sastra adalah celah baru penelitian sastra. Penelitian yang mencoba menggabungkan dua disiplin ilmu , masih jarang diminati. Sesungguhnya banyak hal yang menarik dan dapat digali dari teori ini.

Maksudnya, peneliti sastra dapat mengungkap berbagai hal yang berhuhungan dengan kiasan-kiasan antropologis. Peneliti juga dapat lebih leluasa memadukan kedua bidang itu secara interdisipliner, karena baik sastra maupun antropologi sama-sama berbicara tentang manusia.17

Studi antropologi mulai berkembang awal abad ke-20 pada saat negara-negara kolonial, khususnya Inggris menaruh perhatian terhadap bangsa non-Eropah dalam rangka mengetahui sifat bangsa-bangsa yang dijajah. Dalam hal ini antropologi sastra ada kaitannya dengan studi orientalis. Atas dasar pertimbangan bahwa sistem kultural suatu bangsa tersimpan di dalam bahasa, maka jelas karya sastra merupakan sumber yang sangat penting.

Dalam ruang lingkup regional dan nasional jelas antropologi sastra perlu dibina dan dikembangkan. Polemik Kebudayaan tahun 1930-an yang dipicu oleh pikiran-pikiran Sutan

17

(34)

Takdir Alisyahbana tidak semata-mata heronentasi ke Barat, sebagaimana ditanggapi oleh kritikus dan budayawan yang lain. Sebaliknya, Polemik Kebudayaan bermaksud untuk menemukan pola-pola kebudayaan nasional, dasar-dasar berpikir yang dapat digunakan untuk mengembangkan model-model kesenian berikutnya, khususnya kesusastraan. Dengan memanfaatkan bahasa Indonesia yang secara definitif sudah mulai digunakan sejak Kebangkitan Nasional (1908), yang kemudian disahkan dalam Sumpah Pemuda (1928), karya sastra Indonesia modern diharapkan mampu menjadi wadah bagi aspirasi bangsa, baik intelektual maupun emosional. Sastra Indonesia modern yang pada dasarnya merupakan kelanjutan sastra Melayu, bersama-sama dengan sastra daerah lainnya diharapkan mampu untuk memberikan keseimbangan antara perkembangan teknologi dan perkembangan spritual. Meskipun karya sastra tersebut merupakan hasil imajinasi, tetapi perlu diketahui bahwa justru di dalam imajinasi itulah nilai-nilai antropologis ‘dipermain-mainkan’, di situlah lokus penelitian antropologi sastra (Ratna, 2004:352).18

Banyak hal dalam karya sastra yang memuat aspek-aspek etnografi kehidupan manusia dan sebaliknya tidak sedikit karya etnografi yang memuat kiasan-kiasan sastra. Jadi, penelitian sastra dapat menitik beratkan pada dua hal, yaitu Pertama, meneliti tulisan-tulisan etnografi yang berbau sastra untuk melihat estetikanya. Kedua, meneliti karya sastra dan sisi pandang etnografi, yaitu untuk melihat aspek-aspek budaya masyarakat.

Menurut Kleden (2004:356), refleksi kebudayaan harus selalu diadakan karena kebudayaan hanya dapat dikembangkan karena direfleksikan. Tanpa refleksi, bukan tidak rnungkin bahwa suatu masyarakat akan hanyut dalam semacam determinisme kebudayaan. Dalam pandangan kebudayaan yang deterministis kebudayaan dipandang hanya sebagai norma dan nilai yang tidak boleh digugat, dan bukannya juga produk- produk bersama yang

18

(35)

telah dihasilkan dan diciptakan, dan karena itu dapat selalu berubah dan diubah jika tidak sesuai lagi dengan keperluan pada saat ini. Sesuai kedudukannya sebagai kata benda kebudayaan harus kita hadapi dan kita terima, tetapi dalam kedudukannya sebagai kata kerja kebudayaan harus digarap dan diolah kembali. Salah satu unsur kebudayaan adalah sistem kepercayaan yang merupakan serangkaian pengetahuan manusia mengenai kosmologi, seperti makhluk halus, mitos, serta dunia nyata yang kompleks (Wallace, 1966:70).

Hoed (2007:122) menjelaskan bahwa setiap lapisan kebudayaan mengandung prinsip-prinsip supra individual dengan warga masyarakatnya yang masing-masing mempunyai benih otonomi individual. Benih-benih itu menjadi kuat dan mulai meninggalkan sebagian prinsip-prinsip supra individual dalam kebudayaan internasional atau global untuk membentuk kebudayaan baru.

Salah satu faktor yang mendorong perkembangan antropologi sastra adalah hakikat manusia sebagai animal symbolicum, yang menolak hakikat manusia sebagai animal rationale. Cassirer (1990:65) menyatakan bahwa sistem simbol mendahului

sistem berpikir, sebab pada dasarnya pikiran pun dinyatakan melalui simbol. Menurut teori ini, karakteristik yang menandai semua kegiatan manusia adalah proses simbolisme.

Sebagaimana dikatakan oleh Eliade (2002:12) bahwa pemikiran simbolik merupakan salah satu bagian mutlak manusia. Pemikiran simbolik adalab awal dan bahasa dan pemikiran deskriptif.

(36)

Di pihak lain, sesuai dengan pendapat Bloch, manusia adalah entitas historis, keberadaannya ditentukan oleh sejumlah faktor yang saling mempengaruhi, yaitu : a) hubungan manusia dengan alam sekitar, b) hubungan manusia dengan manusia yang lain, c) hubungan manusia dengan struktur dan institusi sosial, d) hubungan manusia dengan kebudayaan pada ruang dan waktu tertentu, dan f) manusia dan kesadaran religius atau para-religius (Ratna, 2004:351).19

Menurut Forde (Minsarwati, 2002:48), hubungan antara aktivitas manusia dengan alam dijembatani oleh pola-pola kebudayaan. Melalui kebudayaan ini manusia menyesuaikan diri dan memanfaatkan lingkungan demi kelangsungan hidupnya. Dalarn hal ini kebudayaan ditempatkan sebagai sistem aturan-aturan atau pola-pola untuk perilaku dan berupa pola kompleks nilai yang bersumber dari etika dan pandangan.

Pada umumnya penelitian antropologi sastra, menurut Bernard (Endraswara, 2008:109) lebih bersumber pada tiga hal, yaitu (a) manusia (b) artikel tentang (c) bibliografi dan ketiga sumber data ini sering dijadikan awal seorang peneliti sastra untuk mengungkap makna di balik karya sastra. Ketiga sumber data tersebut dipandang sebagai documentation resources. Hal ini memang patut dipahami karena karya sastra sebenarnya juga merupakan sumber informasi.20

Selanjutnya, antropologi sastra ini termasuk juga ke dalam pendekatan arketaipal, yaitu kajian karya sastra yang menekankan pada warisan budaya masa lalu. Warisan budaya tersebut dapat tercermin dalam karya-karya sastra klasik dan modern. Hal tersebut berhubungan dengan unsur-unsur mitos, legenda, dongeng, fantasi, dan sejarah dalam karya sastra. Satu lagi yang menjadi ilmu pendekatan ini ialah penelitian terhadap konsep kesadaran

19

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra : dan Strukiuralisme hingga Postrukturalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

20

(37)

kolektif dan primordial images yang terungkap dalam karya sastra. Dalam pengaplikasiannya seseorang dituntut dan budaya masyarakat.

Scott (Sikana, 2008:137), dalam buku teori klasiknya Five Approaches of Lzteraiy criticism menjelaskan arketaipal menjurus kepada pencarian simbol, ritual, dan unsurunsur tradisi dalam karya sastra. Arketaipal lebih bertumpu kepada analisis yang bersifat mengkaji manusia dengan tindak-tanduknya daripada mengkaji unsur estetik dan intrinsik karya. Oleh karena itu pendekatan ini berhubungan dengan psikologi manusia, sebab manusia dalam setiap zaman tidak terlepas dan tindakan-tindakan yang berbentuk budaya dan kesenian.

Jung (1875-1961) kelahiran Swiss adalah pelopor teori arketaipal. Jung juga merupakan psikiater. Teori ini merupakan lanjutan falsafah psikologis Jung. Lebih lanjut, Jung (Sikana, 2008:138) mengemukakan bahwa dalam diri manusia, terutama pengarang, memiliki suatu indera dan intuisi. Tanpa sadar, penceritaan terhadap sesuatu akan dilakukan secara turun-temurun. Jung juga menyebutkan bahwa manusia mempunyai persamaan pengalaman dan asas serta tidak berubah-ubah. Di samping itu, terdapat juga penyimpangan gaya hidup terhadap norma-norma yang berlaku dalam masyarakatnya.

(38)

dengan teori psikologi Jung. Dengan demikian, antropologi sastra dapat mengkajinya dalam bentuk paparan etnografi.21

21

(39)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Metode penelitian adalah suatu cara untuk mencari fakta-fakta ataupun kebenaran dengan cara mengumpulkan dan menganalisis data yang diperlukan untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Menyatakan bahwa metode penelitian adalah cara-cara ilmiah untuk mendapatkan data yang valid, dengan tujuan dapat ditemukan, dikembangkan dan dibuktikan, suatu pengetahuan tertentu sehingga pada gilirannya dapat digunakan untuk memahami, memecahkan, dan mengantisipasi masalah. Dalam hal ini menyimpulakan metode penelitian merupakan suatu proses mencari suatu kebenaran dengan cara mengumpulkan dan menganalisis data yang diperlukan sehingga dapat digunakan untuk suatu tujuan tertentu.22

Dengan demikian penelitian ini menggunakan Pendekatan Kualitatif Naturalistik, yaitu penelitian yang melakukan interaksi dengan subjek atau responden yang diteliti dengan kondisi apa adanya dan tidak di rekayasa agar data diperoleh merupakan fenomena yang asli dan alamiah (natural). Pendakatan Kualitatif Naturalistik menggunakan teknik pengumpulan data seperti observasi kuesioner (angket) dan dokumentasi.

22

(40)

3.2 Sumber Data

Sumber data penelitian terdiri dari data primer dan skunder. Data primer yaitu : sumber data manusia yaitu masyarkat yang bermukim di Desa Tanjung Ibus kecamatan Secanggang. Kedua, sumber data berupa suasana mencakup kehidupan sehari-hari, balai masyarakat, interaksi antara masyarakat sekitar dan tempat berkumpul/kerumunan yang berpotensi akan informasi tenntang penelitian.

Data skunder terdiri dari : pertama, hasil penelitian dan tugas akhir mahasiswa, kedua buku yang diterbitkan dan berkaitan dengan objek penelitian.

3.3 Instrumen Penelitian

Instrumen pengumpulan data adalah alat bantu yang dipilih dan digunakan oleh peneliti dalam kegiatannya mengumpulkan data agar kegiatan tersebut menjadi sistematis dan dipermudah olehnya. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa pengumpulan data dan instrumen penelitian merupakan alat yang digunakan untuk meneliti dan mengumpulkan data dan disajikan dalam bentuk sistematis guna memecahkan atau menguji suatu hipotesis.23

Sugiono (2007 : 26), menyebutkan peneliti dapat menjadi instrumen penelitian jika memiliki wawasan yang luas tentang yang diteliti dan mampu pula menciptakan rapport kepada setiap orang yang ada pada konteks sosial yang diteliti. Sugiono juga menyatakan peneliti juga dapat memilih cara memperoleh kejelasan data atau objek penelitian dengan caranya sendiri, seperti membuat daftar tanya. Namun, dalam menafsir jawaban harus berorientasi kepada kejujuran dan keilmuwannya. Artinya, dengan membuat daftar tanya bukan mengacu pada penelitian kuantitatif. Melainkan hanya untuk membuat opini dari informasi yang diperoleh melalui taburan jawaban.

23

(41)

Selain itu, cara lain dapat juga dilakukan dengan menciptakan sesuatu untuk membangun hubungan yang akrab dengan setiap orang yang ada pada konteks sosial. Dalam penelitian ini peneliti di samping menciptakan hubungan yang akrab juga menyediakan daftar tanya kepada masyarakat yang dianggap mempunyai pemahaman terhadap objek kajian.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini diperlukannya teknik ini sesuai dengan tujuannya teknik ini digunakan untuk mendapatkan informasi yang diperlukan, lalu pengumpulan data dilakukan dengan cara sebagai berikut :

3.4.1. Teknik Observasi

Observasi merupakan teknik pengumpulan data, dimana peneliti melakukan pengamatan secara langsung ke objek penelitian untuk melihat dari dekat kegiatan yang dilakukan.24

Teknik observasi digunakan untuk melihat dan mengamati perubahan fenomena-fenomena sosial yang tumbuh dan berkembang yang kemudian dapat dilakukan perubahan atas penilaian tersebut, bagi observaser untuk melihat objek peristiwa tertentu, sehingga mampu memisahkan antara yang diperlukan dengan yang tidak diperlukan.25

Peneliti menggunakan teknik observasi baik langsung maupun yang tidak langsung yang didasari beberapa alasan sebagai berikut:

1. Banyak gejala yang dapat diselidiki dengan observasi sehingga hasilnya akurat sulit dibantah.

2. Banyak objek yang hanya bersedia diambil datanya dengan cara observasi.

24

Riduwan. 2004. Metode Riset. Jakarta : Rineka Cipta

25

(42)

3. Kejadian yang sama hanya dapat diamati dan dicatat secara sama pula dengan memperbanyak observer.

4. Banyak kejadian yang dipandang kecil yang tidak dapat ditangkap oleh alat pengumpul data yang lain, ternyata sangat menentukan hasil penelitian justru diungkap oleh observasi.26

Berkaitan dengan jenis observasi yang digunakan peneliti memilih metode observasi langsung yaitu di Melayu Langkat kecamatan Secanggang tepatnya di Desa Tanjung Ibus, yang menjadi fokus observasi penelitian adalah nilai-nilai budaya masyarakat Melayu Langkat di Secanggang terhadap Tradisi Ahoi.

3.4.2. Teknik Kuesioner

Teknik ini berisi tentang beberapa pertanyaan yang akan diberikan kepada masyarakat selaku responden. Pertanyaan-pertanyaan yang ada bertujuan dengan memperoleh data tentang pandangan mereka terhadap Tradisi Ahoi serta penggunaanya dalam penelitian tersebut.

3.4.3. Teknik Dokumentasi

Mengemukakan pendapatnya mengenai dokumen, dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar atau karya-karya monumental dari seseorang. 27

Dalam metode penelitian ini, metode dokumentasi dilakukan dengan cara peneliti mengumpulkan data-data dalam bentuk pencatatan atau data-data tertulis yang ada di Desa Tanjung Ibus Kecamatan Secanggang.

26

Rachman,Studi Penelitian Observasi,Bandung, IPB PRESS, 2004 hal:80.

27

(43)

3.5 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan model analisis mengalir, yang meliputi tiga komponen, yaitu 1) reduksi data; 2) penyajian data; dan 3) penarikan simpulan (Verifikasi). Analisis model mengalir mempunyai tiga komponen yang saling terjalin dengan baik, yaitu sebelum, selama dan sesudah pelaksanaan pengumpulan data. 28 Penjelasannya sebagai berikut :

3.5.1 Reduksi data

Pada tahap ini data yang diperoleh dicatat dalam uraian yang terperinci. Dan data-data yang sudah dicatat tersebut, kemudian dilakukan penyederhanaan data. Data-data yang dipilih hanya data yang berkaitan dengan masalah yang akan dianalisis, dalam hal ini tentang nilai-nilai budaya masyarakat Melayu Langkat di Secanggang dalam Tradisi Ahoi. Informasi-informasi yang mengacu pada permasalahan itulah yang menjadi data dalam penelitian ini.

3.5.2 Sajian data

Pada tahap ini, data-data yang sudah diperoleh kemudian disusun secara teratur dan terperinci agar mudah dipahami. Data-data tersebut kemudian dianalisis sehingga diperoleh deskripsi tentang karakter masyarakat.

3.5.3 Penarikan kesimpulan (Verifikasi)

Pada tahap ini dibuat kesimpulan tentang hasil dan data yang diperoleh sejak awal penelitian. Kesimpulan ini masih memerlukan adanya verifikasi (penelitian kembali tentang kebenaran laporan) sehingga hasil yang diperoleh benar-benar sah. Beberapa komponen

28

(44)
(45)

BAB IV

SIKAP MASYARAKAT TERHADAP TRADISI AHOI

Pada bab ini peneliti akan menjelaskan tentang sikap masyarakat terhadap Tradisi Ahoi melalui persepsi hakikat kehidupan, hakikat kerja, hakikat waktu, hakikat alam, dan hakikat manusia. Sikap ini di deskripsikan berdasarkan daftar pertanyaan yang disampaikan dan di jawab oleh responden.

4.1 Latar Belakang Responden

(46)

Tingkat Pendidikan Responden

a. Tidak bersekolah b. Sekolah dasar

(47)
(48)
(49)

4.3 HAKIKAT KERJA

Soal Pilihan Jawaban

Sangat Setuju Setuju Kurang Setuju TidakSetuju

(50)
(51)

pawang

(52)

keterampilan organisasi dan adat yang berlaku di daerah tersebut. Dahulunya mereka sangat bergantung pada Tradisi Ahoi sebelum masuknya alat-alat teknologi sekarang ini.

4.4 HAKIKAT WAKTU

Soal

Pilihan Jawaban

Sangat Setuju Setuju Tidak Setuju Kurang Setuju

1.Penggunaan

(53)

4.5 HAKIKAT ALAM

Soal

Pilihan Jawaban

Sangat Setuju Setuju Tidak Setuju Kurang Setuju

(54)

dengan alam 5. Apakah Tradisi Ahoi berhubungan dengan kejadian alam yang ada di sekitar

0 13 5 2

6. Apakah Tradisi Ahoi dapat

mengurangi bencana alam

0 3 16 1

7. Apakah Tradisi Ahoi dapat menghindari marabahaya

11 2 7 0

(55)

4.6 HAKIKAT SESAMA MANUSIA

Soal

Pilihan Jawaban

Sangat Setuju Setuju Tidak Setuju Kurang Setuju

(56)

pengucapan individu

Hakekat manusia menurut pandangan Islam :

a. Manusia adalah mahluk ciptaan Allah SWT.

b. Kemandirian dan kebersamaan (Individualitas dan sosialitas)

c. Manusia merupakan mahluk yang terbatas.29

29

(57)

Menurut pendapat peneliti pada hakikat hubungan sesama manusia, masyarakat disana sangat menjunjung tinggi nilai kebersamaan seperti bergotong royong yang dapat mengeratkan hubungan masyarakat disana. Seperti halnya pada saat upacara Tradisi Ahoi dahulu dilaksanakan mereka saaling membantu satu sama lain dan menjaga keharmonisan masyarakat disana.

Orientasi Nilai Budaya Masyarakat

Konsep Dasar Orientasi Nilai Budaya

Masyarakat

Pandangan Peneliti

Hakikat hidup Pada dasar nya Tradisi Ahoi dapat merubah kehidupan masyarakat Secanggang ke arah yang lebih baik khususnya pada saat musim panen tiba.

Peneliti menyimpulkan dari hasil penelitian ini bahwa Tradisi Ahoi dapat merubah kehidupan masyarakat Secanggang ke arah yang lebih baik dan tidak terlepas dari Keridho’an Allah.

(58)

memahaminya. nantinya. Hakikat Waktu Pada saat sekarang ini

masyarakat Secanggang Tradisi Ahoi ini sudah tidak lagi dilakukan oleh

Hakikat Alam Masyarakat Secanggang mempercayai bahwa baik pula begitu juga dengan sebaliknya.

Hakikat Sesama Manusia

(59)

Dari 20 kuesioner yang telah di bagikan dari beberapa lapisan masyarakat yang dilihat dari jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, pekerjaan, suku, dan lamanya tinggal di daerah tersebut, masyarakat tidak semua mengetahui tentang Tradisi Ahoi ini khusus nya di kalangan pelajar sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas di karenakan kurangnya pengetahuan akan Tradisi Ahoi ini dari orang tua mereka.

Pada dasar nya Tradisi Ahoi dapat merubah kehidupan masyarakat Secanggang ke arah yang lebih baik khususnya pada saat musim panen tiba. Peneliti menyimpulkan dari hasil penelitian ini bahwa Tradisi Ahoi dapat merubah kehidupan masyarakat Secanggang ke arah yang lebih baik dan tidak terlepas dari Keridho’an Allah.

Pada hakikat kerja, masyarakat disana dalam menjalankan aktivitas sehari-hari mereka harus memahami dan mengetahui sistem pemerintahan , keterampilan organisasi dan adat yang berlaku di daerah tersebut. Dahulunya mereka sangat bergantung pada Tradisi Ahoi sebelum masuknya alat-alat teknologi sekarang ini. Masyarakat di daerah Secanggang dalam menjalankan aktivitas hariannya mereka memiliki kemahiran dalam bidang yang meraka tekuni misalnya menanam padi mereka harus benar-benar memahaminya. Peneliti menyimpulkan bahwa masyarakat Secanggang memiliki kemahiran dalam bidang yang mereka tekuni masing-masing karena dengan begitu mereka akan mendapatkan hasil yang memuaskan nantinya.

(60)

menyimpulkan bahwa masyarakat Secanggang dapat mewujudukkan kebersamaan dan keharmonisan di dalam sebuah Tradisi .

Pada hakikat waktu, pada saat sekarang ini masyarakat Secanggang sudah tidak melibatkan Tradisi Ahoi lagi pada aktivitas sehari-hari mereka. Tradisi ini juga tidak pernah lagi dilakukan oleh masyarakat. Peneliti menyimpulkan Tradisi Ahoi ini sudah tidak lagi dilakukan oleh masyarakat Secanggang di karenakan sudah masuk nya alat-alat teknologi yang dapat mempermudah mereka dalam melakukan pekerjaannya khususnya pada pertanian padi.

Pada hakikat alam, Masyarakat Secanggang mempercayai bahwa fenomena alam yang terjadi merupakan cerminan dari perilaku manusia. Peneliti menyimpulkan bahwa masyarakat Secanggang percaya setiap perbuatan yang baik maka akan mendapatkan hasil yang baik pula begitu juga dengan sebaliknya.

Pada hakikat hubungan sesama manusia, masyarakat disana sangat menjunjung tinggi nilai kebersamaan seperti bergotong royong yang dapat mengeratkan hubungan masyarakat disana. Seperti halnya pada saat upacara Tradisi Ahoi dahulu dilaksanakan mereka saaling membantu satu sama lain dan menjaga keharmonisan masyarakat disana.

Adapun tujuan penyajian Ahoi ditujukan kepada dua hal, pertama untuk manusia dan kedua untuk alam. Secara kronologis, Ahoi yang ditujukan kepada manusia dimulai dengan mengajak kerabat-kerabat untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan mengirik padi sehingga kegiatan tersebut menjadi lebih cepat selesai. Selain itu Ahoi juga mampu berfungsi sebagai media komunikasi verbal antara para pemuda dan pemudi yang terlibat di dalam kegiatan itu.

(61)
(62)

BAB V

ANALISIS DAN HASIL PEMBAHASAN

Analisis merupakan penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dsb) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya. 30 Adapun analisis dan pembahasan pada bab ini adalah nilai-nilai budaya pada masyarakat Melayu di Secanggang, nilai-nilai budaya merupakan nilai yang terdiri dari konsepsi – konsepsi yang hidup dalam alam fikiran sebahagian besar warga masyarakat mengenai hal – hal yang mereka anggap amat mulia. Sistem nilai yang

ada dalam suatu masyarakat dijadikan orientasi dan rujukan dalam bertindak. Oleh karena itu,

nilai budaya yang dimiliki seseorang mempengaruhinya dalam menentukan alternatif, cara-cara,

alat – alat, dan tujuan – tujuan pembuatan yang tersedia.31

5.1 ANALISIS TEKS

Adapun teks di dalam analisi ini adalah pantun yang di sampaikan oleh muda mudi pada saat mengerik padi di dalam Tradisi Ahoi. Berikut pantun yang disampaikan oleh warga atau tamu yang datang kepada tuan rumah :

Ku tutuh dali baru kutebang

30

KBBI (Kamus besar bahasa Indonesia) 31

Koentjaraningrat (1987:85) dalam skripsi Supsiloani: Analisa Nilai Budaya Masyarakat Dan Kaitannya Dalam Pembangunan Wilayah Di Kecamatan Raya Kabupaten Simalungun, 2008.USU e-Repository © 2008 32

(63)

Ambil sebatang Hamparan Kain

Assalammualikum kami yang datang

Apa gerangan hajat disisni

Pantun di atas melambangkan bahwa para undangan yang datang menyampaikan salam kepada tuan rumah dan mengatakan bahwa mereka sudah datang dan bertanya apa yang akan dilakukan di rumah si tuan rumah.

Kemudian pantun tersebut dibalas oleh tuan rumah :

Bebirik batang berbirik

Batang bayam sandaran dulang

Mengirik kita mengirik

Kokok ayam kita pe pulang

Pantun tersebut menyatakan bahwa si tuan rumah mengharapkan bantuan para tamu untuk membantunya dalam mengirik padi hasil panen sawahnya.

Pantun yang dinyanyikan pada saat mengirik padi :

Buka batang sembarang batang

Batang padi di atas pedang

Pantun tersebut menyatakan bahwa si tamu undangan datang bukan hanya untuk menghadiri undangan saja melainkan mereka datang untuk bersuk cita dengan si tuan rumah.

Sesudah yang bernyanyi selesai menyanyikan sampiran pantunnya, pengirik lainnya pun menyambut dengan meneriakkan “ E wak ahoi ahoi”. Kemudian si pengirik pun

mengulang bait kedua dari sampiran tersebut dan disambut lagi oleh pengirik lain dengan sambutan “ Ewak ahoi ahoi”.

(64)

Maek kabar tuan yang datang

Mari mengirik sambil berdendang

Pantun tersebut menyatakan kabar si pengirik yang pertama dan mengajak nya untuk sama-sama bernyanyi bersuka cita.

Nyanyian tersebut pun disambut oleh pengirik lain dengan meneriakkan “ E wak ahoi

ahoi.” Kemudian bait kedua dari isi pantun dinyanyikan kembali oleh si pengirik yang

pertama bernyanyi dan disambut lagi dengan teriakan “ E wak ahoi ahoi.”

Sambil mengemping mereka juga bernyanyi dan membalas pantun dariseorang pemudi tersebut sebagai berikut :

pantun dari seorang pemudi tersebut sebagai berikut :

Kalau tidak karena bulan

Pantun di atas menyatakan bahwa si tamu (pemudi/perempuan) datang karena mendapat undangan dari si tuan rumah.

Lalu disambut lagi oleh seorang pemuda yang disebelah si pengirik yang pertama bernyanyi dengan pantun pula.

Kalau ada kaca di pintu Kaca lama kami pecahkan E...wak ahoii..ahoii.. Kalau ada kata begitu

Badan dan nyawa kami serahkan E..wak ahoii..ahoi..

(65)

Para wanita yang mendengarnya pun tersenyum tersipu-sipu dan salah seorang dari mereka pun menyambutnya dengan menyanyikan pantun juga :

Tiga petak tiga penjuru

Pantun di atas menyatakan bahwa si tamu (pemudi / perempuan) mengatakan pantun tersebut untuk laki-laki yang berlesung pipit.

Ketika padi dimasukkan, para pengirik pun duduk beristirahat sambil menyanyikan teks sebagai berikut :

Allah halim sewa Allah Maimunnah silotan dona Warabikum tuan saridi Habibina saidina ali

Pantun di atas menyatakan puji dan syukur atas hasil panen yang sudah di dapat si tuan rumah.

Setelah itu nyanyian dilanjutkan dengan menyanyikan teks berupa pantun di setiap akhir baitnya disambut dengan terikkan “iak iak” sebagai berikut :

Kalau ada sumur di ladang (iak iak) Bolehlah kita menumpang mandi (iak iak)

Kalau ada umur yang panjang boleh kita berjumpa lagi (iak iak) Bolehlah kita berjumpa lagi (iak iak)

Pantun di atas menyatakan bahwa jika kita di beri kesehtan dan umur yang panjang maka kita akan berjumpa lagi.

Ewak ahoi ahoi” secara harfiah artinya menghimbau ataupun mengajak kaum

(66)

Bahasa

Bahasa merupakan sistem lambang bunyi yg arbitrer, yg digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. 33 Pada pantun Ahoi bahasa yang digunakan ialah bahasa Melayu dialek Langkat, berikut pantun yang menunjukkan bahasa Melayu dialek Langkat :

Bebirik batang berbirik

Batang bayam sandaran dulang

Mengirik kita mengirik

Kokok ayam kita pe pulang

Kata pe menunjukkan pantun ini menggunakan bahasa Melayu dialek Langkat.

Maek kabar tuan yang datang

Mari mengirik sambil berdendang

Kata maek menunjukkan pantun ini menggunakan bahasa Melayu dialek Langkat.

Gaya Bahasa

Gaya bahasa atau majas merupakan bahasa indah yang dipergunakan untuk meningkatkan kesan dengan jalan memperkenalkan serta memperbandingkan suatu benda dengan benda lain atau hal lain yang lebih umum.34

Pada pantun ini gaya bahasa yang digunakan yaitu jenis majas perbandingan, majas ini terdiri dari beberapa macam yaitu : alegori, alusio, simile, metafora, fabel, simbolik dan lain-lain. Dari beberapa macam jenis majas tersebut yang termasuk di dalam gaya bahasa pantun ahoi ialah majas simbolik yaitu melukiskan sesuatu dengan menggunakan simbol atau lambang untuk menyatakan maksud. Pantunya sebagai berikut :

Tiga petak tiga penjuru

33

KBBI (Kamus besar bahasa Indonesia) 34

(67)

Tiga ekor kumbang diapit

E..wak..ahooii...ahooii.

Pantun tidak padamu tertuju

Teruntuk jaka berlesung pipit

E...wak...ahooii....ahooii.

Kalau tidak karena bulan

Mana bintang meninggi hari

Jika tidak karena tuan

Mana kami datang kemari

Kalau ada kaca di pintu

Kaca lama lah kami pecahkan

Kalau ada kata begitu lah sayang

Badan dan nyawa kami serahkan

Bebirik lah batang bebirik

Batang bayam sandaran dulang

Mengirik kita mengirik

Kokok ayam kita pe pulang

Pantun Melayu memiliki ciri-ciri tersendiri. Ciri-ciri tersebut dapat dilihat berdasarkan dua aspek penting, yaitu aspek eksternal dan aspek internal.

Aspek eksternal adalah dari segi struktur dan seluruh ciri-ciri visual yang dapat dilihat dan didengar, yang termasuk dari hal-hal berikut ini :

1. Terdiri dari baris-baris yang sejajar dan berpasangan, 2,4,6,8,10, dan seterusnya. Tetapi yang paling umum adalah empat baris (kuatrin)

(68)

3. Adanya klimaks, yaitu perpanjangan atau kelebihan jumlah unit suku kata atau perkataan ada dua kuplet maksud.

4. Setiap stanza(Footnote) terbagi kepada dua unit. Yaitu sampiran dan maksud (isi); karena itu sebuah kuatrin mempunyai dua kuplet; satu kuplet sampiran dan satu kuplet maksud. 5. Adanya skema rima yang tetap, yaitu rima akhir a-b-a-b, dengan sedikit variasi a-a-a-a. Mungkin juga terdapat rima internal, atau rima pada 64perkataan- perkataan yang sejajar, tetapi tidak sebagai ciri penting. Selain rima, asonansi juga merupakan aspek yang dominan dalam pembentukan sebuah pantun.

6. Setiap stanza pantun, apakah itu dua, empat, enam, dan seterusnya, mengandung satu pikiran yang bulat dan lengkap. Sebuah stanza dipandang sebagai satu kesatuan.

Aspek-aspek internal adalah unsur-unsur yang hanya dapat dirasakan secara subjektif berdasar pengalaman dan pemahaman pendengar, termasuk :

7. Penggunaan lambang-lambang yang tertentu berdasarkan tanggapan dan dunia pandangan (world view) masyarakat.

8. Adanya hubungan makna antara pasangan pembayang dengan pasangan maksud, baik itu hubungan konkrit atau abstrak atau melalui lambang lambang.35

Berdasarkan ciri-ciri yang telah disebutkan di atas, maka penulis akan menganalisis struktur pantun yang menjadi teks dalam nyanyian ahoi dengan hasil sebagai berikut.

1. Pantun dalam nyanyian ahoi terdiri dari rangkap-rangkap yang berasingan. Setiap

rangkap terdiri empat baris (kuatrin).

Contoh dapat kita lihat pada pantun nomor 1:

Bebirik lah batang bebirik Baris 1

Batang bayam sandaran dulang Baris 2

35

(69)

Mengirik kita mengirik Baris 3

Kokok ayam kita pe pulang Baris 4

Selain pantun nomor 1, seluruh pantun-pantun lain yang dipakai dalam nyanyian ahoi ini terdiri dari empat baris (Kuatrin)

2. Setiap baris dalam pantun yang dinyanyikan dalam nyanyian ahoi mayoritas mengandung empat kata dasar. Contoh dapat kita lihat pada pantun nomor 3.

Kalau tidak karena bulan

Mana bintang meninggi hari

Jika tidak karena tuan

Mana kami datang kemari

3. Terdapat klimaks, yaitu perpanjangan atau kelebihan jumlah unit suku kata atau

perkataan ada dua kuplet maksud. Contohnya adalah pantun nomor 4

Kalau ada kaca di pintu

Kaca lama lah kami pecahkan

Kalau ada kata begitu lah sayang

Badan dan nyawa kami serahkan

4. Setiap stanza pantun dalam nyanyian ahoi terbagi kepada dua unit. Yaitu pembayang (sampiran) dan maksud (isi). Contohnya adalah pantun nomor 2 berikut.

Bukan batang sembarang batang

Batang padi di atas pedang

Maek kabar tuan yang datang

Mari mengirik sambil berdendang

Baris pertama dan kedua merupakan sampiran dan baris ketiga dan keempat merupakan isi.

Gambar

Gambar Alat-alat Yang Dipakai Untuk Mengirik Padi
Gambar Makanan dan Jenis Tumbuhan
Gambar Mengirik Padi dan Mengemping Padi

Referensi

Dokumen terkait

Penulisan tentang representasi tradisi berahoi pada masyarakat Melayu Langkat Sumatera Utara dimaksudkan untuk mengangkat kembali budaya lokal yang bercorak

Penelitian ini berjudul Jati Diri Masyarakat Melayu Serdang Dalam Tradisi Beladiri Silat Lintau Di Kedatukan Batang Kuis penelitian menggunakan metode yang bersifat

Penelitian ini berjudul Jati Diri Masyarakat Melayu Serdang Dalam Tradisi Beladiri Silat Lintau Di Kedatukan Batang Kuis penelitian menggunakan metode yang

Kedua , proses penanaman nilai-nilai budaya Melayu di kota Tanjungbalai ini tidak terlepas dari pengaruh tokoh-tokoh agama (ulama) yang saat itu menanamkan ajaran Islam pada

Hasil penelitian dalam nilai budaya dalam cerita rakyat masyarakat Melayu Kabupaten Mempawah di bagi menjadi 4 yaitu nilai budaya yang berhubungan dengan Tuhan memiliki 5 nilai

” Sinandong sebagai salah satu produk sastra lisan yang merupakan bagian dari tradisi lisan orang Melayu, hidup di dalam masyarakat Melayu di Tanjungbalai.. Sinandong ini

” Puisi Melayu lama terikat dengan corak tradisi yang telah diwujudkan dalam masyarakat mereka, namun orang Melayu masih bebas untuk mencipta atau mengolahkan

Penelitian ini membahas tentang bagaimana prosesi tradisi tedhak siten serta nilai budaya dan sosial yang terkandung dalam rangkaian tradisi tedhak siten yang dilakukan oleh masyarakat