• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis Tentang Penentuan Unsur-Unsur Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering) Dalam UU No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Yuridis Tentang Penentuan Unsur-Unsur Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering) Dalam UU No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang"

Copied!
142
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISI YURIDIS TENTANG PENENTUAN UNSUR UNSUR

TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING)

DALAM UU NO. 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

TESIS Oleh :

FIRMAN HERMAWAN SIMORANGKIR 097005056

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

ANALISIS YURIDIS TENTANG PENENTUAN UNSUR UNSUR

TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING)

DALAM UU NO. 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

FIRMAN HERMAWAN SIMORANGKIR

097005056/Hk

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(3)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Tesis : ANALISI YURIDIS TENTANG PENENTUAN UNSUR UNSUR TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING) DALAM UU NO. 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

Nama Mahasiswa : Firman Hermawan Simorangkir Nomor Pokok : 097005056

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui : Komisi Pembimbing

(Prof. Dr.Bismar Nasution, SH.MH Ketua

)

(Prof. DR, Sunarmi, SH.M.Hum. Anggota

) (Dr. Mahmul Siregar, SH,M.Hum Anggota

)

Ketua Program Studi Ilmu Hukum

(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH

D e k a n

(4)

Telah diuji pada

Tanggal 13 Agustus 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH.,M.H Anggota : 1. Prof. Dr. Sunarmi, SH., M.Hum

(5)

ABSTRAK

Undang – Undang Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang memberikan penyempurnaan delik Tindak Pidana Pencucian Uang serta juga melengkapi dengan berbagai instrumen yang bertujuan untuk mengefektifkan penegakan hukum terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang.

Penelitian ini menfokuskan pada permasalahan , pertama, bagaimanakah pengaturan unsur-unsur pokok tindak pidana pencucian uang dalam UU Nomor. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, kedua , bagaimanakah proses pembuktian unsur-unsur tindak pidana pencucian uang dalam UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan ketiga, bagaimanakah hambatan-hambatan pembuktian unsur-unsur tindak pidana pencucian uang dalam UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan melakukan analisa secara kulitatif terhadap data data yuridis berupa peraturan perundang undangan maupun pendapat para ahli. Penarikan kesimpulan dilakukan secara induktif.

(6)

pembuktian yang diemban terdakwa sehingga profesionalisme aparat penegak hukum perlu utnuk ditingkatkan dalam menerapkan pembuktian terbalik ini.

Kata Kunci : Unsur

(7)

ABSTRACT

Law No. 10/2010 on Prevention and Eradication of Money Laundering Crime revamps the offense of money laundering crime and completes various instruments which are aimed to make law enforcement effective in eradicating money laundering crime. This research was focused on the problems as follows: first, about how the regulation of the basic elements of money laundering crime in Law No. 8/2010 on the Prevention and Eradication of Money Laundering Crime was; secondly, about how the process in proving the count of money laundering crime in Law No. 8/2010 was; and thirdly, about how the obstacles in proving the count of money laundering crime in Law No. 8/2010 on the Prevention and Eradication of Money Laundering Crime was.

This research used judicial formative method by conducting qualitative analysis on the secondary data which were comprised of legal provisions or experts’ opinion. The conclusions were drawn inductively.

The formulation of the count of money laundering crime, based on Articles 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9 and 10 of Law No. 8/2010, would make easier the investigation, prosecution, and examination of the money laundering crime because of the simple formulation of the violation of criminal law. The counts of the criminal act in Articles 3, 4, and 5 of Law No. 8/2010 were alternative so that the Prosecutor did not need to indict with double crime. This was more effective in making an indictment. Basically, Law No. 8/2010 is a legal system which was created to prevent repressively money laundering. The process of obtaining the proof used in Law No. 8/2010 on Money Laundering is reversal of the burden of proof in which the defendant in the trial is ordered by the judge to prove that the assets related to accusation do not come from a criminal act. The reversal of the burden of proof is applied because Law No. 8/2010 uses “follow the Money” approach which adopts civil forfeiture instrument. Therefore, the reversal of the burden of proof constitutes an applied instrument which is in line with the application of civil forfeiture in order to make easier the application of proof of money laundering crime. The obstacle found in the reversal of the burden of proof is that the Criminal Code in Indonesia imposes negative proof. Besides that, the reversal of the burden of proof is also easily subject to moral hazard of the law enforcement that uses his authority arbitrarily. Therefore, it is recommended that the defendant’s proof and the professionalism of the law enforcement in applying the reversal of the burden of proof should be improved.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena hanya dengan rahmat dan kasihNya, saya sebagai penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul Analisis Yuridis Tentang Penentuan Unsur-Unsur Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering) Dalam UU No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. Penulisan tesis ini masih kurang sempurna, dan dengan segala keterbatasan, penulis berharap kiranya penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi pembaca sekalian.

Ucapan adalah refleksi dari pikiran, dan tulisan adalah refleksi dari ucapan, namun tulisan memiliki keterbatasan menyampaikan pesan yang seharusya diucapkan. Ungkapan tersebut menyadarkan bahwa tulisan adalah sebuah karya yang tidak mampu mewakili keseluruhan pesan penulis yang seharusnya diketahui oleh pembaca. Atas dasar realita tersebut, oleh karenanya penulis dengan senang hati menerima saran dan kritikan yang bersifat konstruktif dan edukatif demi kesempurnaan penulisan tesis ini.

(9)

kesempatan yang baik ini, perkenankanlah dengan segala kerendahan hati penulis menghaturkan rasa terima kasih secara khusus kepada yang terhormat:

1. Bapak, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc, (CTM), SP.A(K), selaku Rektor atas kesempatan menjadi mahasiswa pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, MH, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas kesempatan menjadi mahasiswa pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. 3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, selaku Direktur Sekolah Pasca Sarjana

Universitas Sumatera Utara dan sekaligus sebagai Komisi Penguji penulis atas kesempatan yang telah diberikan untuk menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, selaku Komisi Pembimbing Utama Penulis.

5. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, SH, MHum selaku Komisi Pembimbing Kedua Penulis. 6. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, MHum selaku Komisi Pembimbing Ketiga

penulis.

7. Ibu Dr. Marlina, SH, MHum selaku Komisi Penguji Penulis.

(10)

kehidupan serta pengabdian tugasnya sebagai kalangan akademisi dan di akhirat kelak.

Selanjutnya penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada:

1. Ayahanda tercinta Ir. S. Simorangkir dan Ibunda termulia H. Br Simatupang. Dengan segenap jiwa dan lembut kasih sayangnya yang telah mengimaniku dengan kasihNya, mengajarkanku setiap hal terbaik, memberiku sepatu terkuat dan jiwa yang besar saatku jatuh lalu berdiri tegar, dan menuntunku menyongsong masa depan yang lebih baik. Merekalah yang telah menghantarkan penulis dalam usaha mencapai kemantapan hidup guna menjadi putra kebanggaan. Oleh karena itu penulis berdoa semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa memberikan perlindunganNya, memberikan kebahagiaan, kesehatan serta umur yang panjang. 2. Adik-adik tercinta Enda Noviyanti Simorangkir, S.E., Yolanda Evans

Simorangkir, dan Yulia Resa Simorangkir yang telah mendoakan penulis dalam menyelesaikan studi pada Program Studi Magister Ilmu Hukum, semoga senantiasa dalam lindungan Tuhan Yang Maha Kuasa dan senantiasa dimudahkan segala cita-citanya.

3. Rekan-rekan mahasiswa seperjuangan pada Program Studi magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Semua Pihak yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu.

(11)

bermanfaat bagi penulis dan bagi pembaca sekalian guna meluaskan dan mencerdaskan wawasan keilmuan.

Medan, Agustus 2011

Penulis

(12)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Firman Hermawan Simorangkir

Tempat/Tanggal Lahir : Sabang, 25 Oktober 1986

Jenis kelamin : Laki-laki

Agama : Kristen Protestan

Pekerjaan : Kejaksaan RI

Pendidikan : Sarjana Hukum

- SD Negeri No. 064017 Medan ( Lulus tahun 1998 )

- SMP Katholik BUDI MURNI-1 Medan ( Lulus tahun 2001 )

- SMA METHODIST-2 Medan ( Lulus tahun 2004 )

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... 1i

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

RIWAYAT HIDUP ... viii

DAFTAR ISI... ix

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 16

C. Tujuan Penelitian ... 16

D. Kegunaan Penelitian... 17

E. Keaslian Penelitian ... 18

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 19

1. Kerangka Teori ... 19

2. Landasan Konsepsional ... 27

G. Metode Penelitian ... 30

(14)

2. Metode Pendekatan ... 32

3. Alat Pengumpulan Data ... 33

4. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data ... 33

5. Analisa Data... ... 34

BAB II. : UNSUR UNSUR TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG BERDASARKAN UNDANG – UNDANG NO 8 TAHUN 2010…. 35 A. Tindak Pidana Pencucian Uang Secara Umum………. 35

1. Latar Belakang Anti Money Laundering………. 35

2. Faktor-Faktor Pendorong Maraknya Pencucian Uang………… 37

3. Tahapan dan Teknik Pencucian Uang……… 40

4. Metode Praktek Pencucian Uang………. 43

5. Dampak dan Kerugian Pencucian Uang……… 46

B. Perkembangan Pengaturan Anti Money Loundering di Indonesia 57 C. Dasar Yuridis Pembentukan UU No 8 Tahun 2010………. 64

D. Ketentuan – ketentuan pokok Dalam UU No 8 Tahun 2010……… 72

1. Pokok Pokok UU Tindak Pidana Pencucian Uang Tahun 2010…… 72

2. Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Asal…………. 87

3. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan……….. 91

(15)

BAB III : PROSES PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DALAM UU NO 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK

PIDANA PENCUCIAN UANG………..

A. Sistem Pembuktian……….. 112

B. Sistem Pembuktian Dalam KUHAP……… 119

C. Pengaturan Pembuktian Terbalik Dalam KUHAP……….. 120

D. Pengaturan Pembuktian Terbalik Dalam UU No 8 Tahun 2010…. 122 E. Proses Pembuktian Terbalik Dalam UU No 8 Tahun 2010………. 124

BAB IV : HAMBATAN PEMBUKTIAN UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG ……….. 127

A. Hambatan Pertentangan Asas Pembuktian Terbalik Dengan Asas Praduga Tidak Bersalah………. 127

B. Aspek Pembenaran Pemberlakukan Sistem Pembuktian Terbalik…. 130 C. Pembuktian Terbalik Sebagai Konsekuensi Penerapan Instrumen Perampasan Aset ………..….. 132

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN……… 145

A. Kesimpulan……….. 145

(16)

ABSTRAK

Undang – Undang Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang memberikan penyempurnaan delik Tindak Pidana Pencucian Uang serta juga melengkapi dengan berbagai instrumen yang bertujuan untuk mengefektifkan penegakan hukum terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang.

Penelitian ini menfokuskan pada permasalahan , pertama, bagaimanakah pengaturan unsur-unsur pokok tindak pidana pencucian uang dalam UU Nomor. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, kedua , bagaimanakah proses pembuktian unsur-unsur tindak pidana pencucian uang dalam UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan ketiga, bagaimanakah hambatan-hambatan pembuktian unsur-unsur tindak pidana pencucian uang dalam UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan melakukan analisa secara kulitatif terhadap data data yuridis berupa peraturan perundang undangan maupun pendapat para ahli. Penarikan kesimpulan dilakukan secara induktif.

(17)

pembuktian yang diemban terdakwa sehingga profesionalisme aparat penegak hukum perlu utnuk ditingkatkan dalam menerapkan pembuktian terbalik ini.

Kata Kunci : Unsur

(18)

ABSTRACT

Law No. 10/2010 on Prevention and Eradication of Money Laundering Crime revamps the offense of money laundering crime and completes various instruments which are aimed to make law enforcement effective in eradicating money laundering crime. This research was focused on the problems as follows: first, about how the regulation of the basic elements of money laundering crime in Law No. 8/2010 on the Prevention and Eradication of Money Laundering Crime was; secondly, about how the process in proving the count of money laundering crime in Law No. 8/2010 was; and thirdly, about how the obstacles in proving the count of money laundering crime in Law No. 8/2010 on the Prevention and Eradication of Money Laundering Crime was.

This research used judicial formative method by conducting qualitative analysis on the secondary data which were comprised of legal provisions or experts’ opinion. The conclusions were drawn inductively.

The formulation of the count of money laundering crime, based on Articles 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9 and 10 of Law No. 8/2010, would make easier the investigation, prosecution, and examination of the money laundering crime because of the simple formulation of the violation of criminal law. The counts of the criminal act in Articles 3, 4, and 5 of Law No. 8/2010 were alternative so that the Prosecutor did not need to indict with double crime. This was more effective in making an indictment. Basically, Law No. 8/2010 is a legal system which was created to prevent repressively money laundering. The process of obtaining the proof used in Law No. 8/2010 on Money Laundering is reversal of the burden of proof in which the defendant in the trial is ordered by the judge to prove that the assets related to accusation do not come from a criminal act. The reversal of the burden of proof is applied because Law No. 8/2010 uses “follow the Money” approach which adopts civil forfeiture instrument. Therefore, the reversal of the burden of proof constitutes an applied instrument which is in line with the application of civil forfeiture in order to make easier the application of proof of money laundering crime. The obstacle found in the reversal of the burden of proof is that the Criminal Code in Indonesia imposes negative proof. Besides that, the reversal of the burden of proof is also easily subject to moral hazard of the law enforcement that uses his authority arbitrarily. Therefore, it is recommended that the defendant’s proof and the professionalism of the law enforcement in applying the reversal of the burden of proof should be improved.

(19)

BAB I.

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Beberapa tahun belakangan ini, kecenderungan perkembangan ekonomi makro Indonesia menunjukkan perkembangan ke arah perbaikan khususnya di bidang moneter yang ditandai dengan stabilnya nilai tukar rupiah dan penurunan tingkat suku bunga. Namun demikian, dari sisi ekonomi mikro, pelaku pasar khususnya perbankan sebagai lembaga intermediasi. Hal ini diperparah dengan lambannya pertumbuhan di bidang investasi baik domestik maupun internasional. Kondisi ini mengakibatkan sektor riil belum bergerak sesuai yang diharapkan.1

Implikasi selanjutnya adalah rendahnya penyerapan tenaga kerja dan turunnya pendapatan perkapita masyarakat, yang berimplikasi pula pada permasalahan sosial kemasyarakatan seperti meningkatnya tindak pidana. Sebagian besar tindak pidana yang terjadi khususnya korupsi, illegal logging dan narkoba pada dasarnya bermotifkan ekonomi. Tanpa ada kepentingan ekonomi, tindak pidana tersebut tidak akan terjadi. Demikian pula halnya terorisme, aksi-aksi terorisme tidak mungkin dilakukan apabila tidak terdapat pendanaan untuk melaksanakan kegiatan tersebut.

1

Editorial Media Indonesia, “Kelonggaran Kredit”,

(20)

Seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih, mengakibatkan modus operandi kejahatan menjadi semakin canggih pula, mulai dari menggunakan telepon genggam hingga menggunakan fasilitas internet. Dapat dikatakan perkembangan teknologi mengakibatkan kejahatan menjadi semakin pesat.

Modus operandi kejahatan seperti ini, hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai status sosial menengah ke atas dalam masyarakat, bersikap dan bertingkah laku intelektual, sangat tenang, simpatik, dan terpelajar.2 Modus kejahatan seperti ini yang sejak beberapa waktu lalu mulai dikenal dengan istilah kejahatan “kerah putih” atau White Collar Crime. Karakteristik dari White Collar Crime menurut Hazel Croall (terjemahan) adalah:3

1. Tidak kasat mata (low visibility). 2. Sangat kompleks (complexity)

3. Ketidakjelasan pertanggung-jawaban pidana (diffusion of responsibility) 4. Ketidakjelasan korban (diffusion of victims).

5. Aturan hukum yang samar atau tidak jelas (ambiguous criminal law) 6. Sulit dideteksi dan dituntut (weak detection and prosecution).

Dapat dipastikan bahwa pada setiap kejahatan yang dilakukan, si pelaku sedapat mungkin berusaha untuk menghilangkan segala bukti yang dapat

2

Marulak Pardede, Masalah Money Laundering di Indonesia, editor L. Sumartini et.al.(Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM, 2001) hal. 2.

3

(21)

menyeretnya ke “meja hijau”. Begitu pula yang dilakukan oleh para pelaku kejahatan di bidang perekonomian yang merupakan salah satu bentuk kejahatan kerah putih.

Mereka selalu berusaha untuk menyembunyikan uang hasil kejahatannya agar tidak dapat ditemukan oleh aparat penegak hukum. Segala cara mereka lakukan agar uang tersebut tidak “tercium” sebagai uang haram.

Kegiatan untuk menyembunyikan asal usul uang hasil kejahatan mereka lakukan dengan melakukan “pencucian” terhadap uang tersebut. Hal yang seringkali dilakukan oleh para pelaku kejahatan ini ternyata sulit untuk dibuktikan, dan dikenal dengan istilah money laundering (pencucian uang).

Penegakan hukum Tindak Pidana Pencucian uang berbanding lurus dengan

perkembangan ekonomi nasional. Diasumsikan bahwa semakin meningkatnya

penegakan hukum TPPU akan berpengaruh positif terhadap perkembangan ekonomi

nasional. Dengan meningkatnya penegakan hukum ini, maka kepastian hukum,

ketertiban dan keadilan menjadi lebih baik serta tingkat kriminalitaspun menjadi

berkurang, dan pada gilirannya stabilitas maupun tingkat kepercayaan masyarakat

kepada sistem keuangan menjadi lebih baik. Bagi PJK yang merupakan salah satu

komponen dalam sistem keuangan, akan dapat memberikan manfaat maksimal

kepada pemegang saham, karyawan, masyarakat dan pemerintah. Bagi pemegang

saham dapat memperoleh keuntungan berupa deviden atau capital gain, sedangkan terhadap karyawan dapat meningkatkan penghasilan. Di sisi lain, masyarakat akan

memperoleh manfaat antara lain terbukanya lapangan kerja, secara optimal dapat

(22)

pembiayaan dan juga membantu memperlancar kegitan ekonomi lainnya. Sedangkan

bagi pemerintah, di samping memperoleh manfaat dari pengumpulan pajak untuk

membiayai pembangunan nasional, juga dapat membantu dalam melaksanakan

kebijakan moneter.4

Pencucian uang dimasukkan dalam kategori kejahatan, pertama kali dikenal di Amerika Serikat pada tahun 1930-an. Istilah “money laundering” ditujukan pertama kali pada tindakan mafia yang mempergunakan uang hasil kejahatan yang berasal dari pemerasan, penjualan ilegal minuman keras dan perjudian serta pelacuran, membeli perusahaan pencucian pakaian (laundramat). Pembelian ini bertujuan mencampur uang hasil kejahatan dengan bisnis yang bersih, untuk menyamarkannya.5

Al Capone melakukannya pada tahun 1930-an, yang pada waktu itu hanya dianggap sebagai perbuatan penyalahan pajak (tax evasion).6

Kriminalisasi terhadap pencucian uang telah dilakukan di Indonesia sejak awal tahun 2002 dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang kemudian diamandemen dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 dan terahir dengan Undang-undang nomor 8 tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Baru pada tahun 1986 di AS pencucian uang menjadi suatu perbuatan kriminal yang kemudian diikuti oleh berbagai negara.

4 DPR RI, Op.Cit. hal 25 5

Michael A. De Feo, “Depriving International Narcotics Traffickers and Other Organized Criminals of Illegal Proceeds and Combating Money Laundering”, Den. J. Int’l L & Pol’y, vol 18:3,

6

(23)

Alasan utama amandemen tersebut adalah sulitnya peraturan hukum dimaksud diterapkan, disamping karena adanya desakan dari The Financial Action Task Force (FATF).7

Sidang Pleno FATF tanggal 17 – 19 Februari 2010 di Abu Dhabi Uni Emirat Arab menempatkan Indonesia bersama 19 negara/yurisdiksi lain dalam kelompok negara/yurisdiksi yang masih memiliki kelemahan strategic, namun dianggap memiliki komitmen yang kuat untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ada. Dalam dokumen berjudul: Improving Global AML/CFT Compliance: On-Going Process disebutkan, bahwa kelemahan strategic Indonesia yang perlu segera diperbaiki adalah mengenai kriminalisasi pencucian uang dan pendanaan terorisme, penerapan pembekuan aset teroris serta penerapan instrumen-instrumen terkait dengan Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme Tahun 1999 yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006. 8

Selanjutnya, berdasarkan Surat Presiden FATF tanggal 2 Maret 2010, status Indonesia saat ini adalah dalam proses monitoring ICRG (International Cooperation Review Group). Indonesia diharapkan dapat melaksanakan komitmen sebagaimana

7 Financial Action Task Force (FATF) adalah badan antar-pemerintah yang tujuannya adalah

pengembangan dan promosi kebijakan nasional dan internasional untuk memerangi pencucian uang dan pendanaan teroris. Oleh karena itu FATF merupakan badan pembuatan kebijakan yang bekerja untuk menghasilkan kemauan politik yang diperlukan untuk membawa reformasi tentang legislatif dan peraturan di daerah-daerah. FATF telah menerbitkan 40 + 9 Rekomendasi dalam rangka memenuhi tujuan ini. http://www.fatf-gafi.org

8

(24)

telah disampaikan oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui surat Menteri Keuangan Republik Indonesia tanggal 8 Pebruari 2010. 9

Untuk mengatasi kelemahan strategic tersebut diatas, FATF meminta Indonesia untuk mengimplementasikan action plan yang telah dibuat sendiri oleh Indonesia antara lain dengan mengesahkan RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU pada Tahun 2010.

Kejahatan pencucian uang (money laundering) pada mulanya lebih berkaitan dengan kejahatan perdagangan narkoba. Kini kejahatan itu dihubungkan dengan proses atas uang hasil perbuatan kriminal secara umum dalam jumlah besar. Di beberapa negara, termasuk Indonesia, uang hasil korupsi termasuk kategori kriminal, maka pencucian uang dikaitkan pula dengan perbuatan korupsi.10

Pencucian uang telah menjadi mata rantai penting dalam kejahatan. Pelaku-pelaku kejahatan menyembunyikan hasil kejahatan dalam sistem keuangan atau dalam berbagai bentuk upaya lainnya. Tindakan menyembunyikan hasil kejahatan atau dana-dana yang diperoleh dari tindak pidana dimaksudkan untuk mengaburkan asal usul harta kekayaan11

Pada umumnya, pelaku tindak pidana pencucian uang berusaha agar harta kekayaan hasil tindak pidananya susah ditelusuri oleh aparat penegak hukum

9 ibid 10

Money Laundering & Kejahatan Perbankan , (Jakarta:Jala Permata, 2008), hal 3

11Ivan Yustiavandana, , Tindak Pidana Pencucian Uang di Pasar Modal, (Jakarta : Ghalia,

(25)

sehingga dengan leluasa memanfaatkan harta kekayaan tersebut baik untuk kegiatan yang sah maupun tidak sah.

Penelusuran harta kekayaan hasil tindak pidana pada umumnya dilakukan oleh lembaga keuangan melalui mekanisme baku yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Untuk dapat melakukan hal ini, lembaga keuangan memiliki peranan penting khususnya dalam menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa dan melaporkan Transaksi tertentu kepada otoritas (financial intelligence unit) sebagai bahan analisis yang untuk selanjutnya disampaikan kepada penyidik untuk proses hukum lebih lanjut.

Berkaitan dengan hal itu, lembaga keuangan bukan hanya berperan dalam membantu penegakan hukum tetapi juga menjaga dirinya dari berbagai risiko yaitu risiko operasional, hukum, terkonsentrasinya Transaksi, dan reputasi karena tidak lagi digunakan sebagai sarana dan sasaran oleh pelaku tindak pidana untuk mencuci uang hasil tindak pidana. Dengan pengelolaan risiko yang baik, lembaga keuangan akan mampu melaksanakan fungsinya secara baik sehingga pada gilirannya sistem keuangan menjadi lebih stabil dan terpercaya.

(26)

hukum, khususnya tindak pidana pencucian uang melalui pendekatan anti pencucian uang (anti-money laundering strategy). 12

Dengan pendekatan anti pencucian uang ini, pengungkapan tindak pidana dan pelakunya dilakukan melalui penelusuran transaksi keuangan atau aliran dana (follow the money). Penelusuran transaksi keuangan atau aliran dana merupakan cara yang paling mudah untuk memastikan terjadinya kejahatan, menemukan pelakunya, dan tempat dimana hasil kejahatan disembunyikan atau disamarkan. Pendekatan ini tidak terlepas dari pemikiran dan keyakinan bahwa hasil kejahatan (proceeds of crime) merupakan life-blood of the crime, artinya hasil kejahatan merupakan “darah” yang menghidupi tindak kejahatan itu sendiri sekaligus merupakan titik terlemah dari mata rantai kejahatan. 13

Dengan pendekatan follow the money ini, selain dapat menelusuri dan menyelamatkan aset hasil kejahatan untuk kepentingan negara, dalam beberapa kasus, aliran dana yang berhubungan dengan suatu transaksi keuangan dapat pula menghubungkan suatu kejahatan dengan pelaku utamanya (intellectual dader), dimana dengan pendekatan konvensional (follow the suspect) hal tersebut sulit untuk dilakukan.

Perjalanan + 8 (delapan) tahun UU Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2003, menunjukan adanya beberapa kelemahan

12

Yunus Husein, .Op.Cit. hal 1

(27)

(loopholes) dalam undang-undang itu sendiri sehingga menghambat efektifitas penegakan hukum melalui pendekatan anti pencucian uang sebagaimana diuraikan diatas. Salah satu kelemahan dimaksud antara lain 14

Kendala legislasi tersebut mengakibatkan tidak maksimalnya pendekatan anti pencucian uang dalam mendukung dan membantu upaya penegakan hukum atas tindak pidana asal (predicate crime) seperti tindak pidana korupsi, penyuapan, narkotika dan psikotropika, tindak pidana ekonomi (perbankan, pasar modal, perasuransian, pajak, kepabeanan, cukai dsb), serta tindak pidana terorisme.

kriminalisasi perbuatan pencucian uang yang multi interpretatif, banyaknya unsur yang harus dipenuhi atau dibuktikan sehingga menyulitkan dalam hal pembuktian

15

Lahirnya Undang – undang No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian uang adalah untuk memenuhi kepentingan nasional dan menyesuaikan standar internasional. Undang undang ini sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

14

Ibid, hal 4

15

(28)

Materi muatan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 , antara lain 16

Sampai dengan akhir bulan Maret 2010, PPATK telah menyampaikan Laporan Hasil Analisis (LHA) kepada penegak hukum sebanyak 1.184 LHA terkait dengan analisi dari 2.442 LTKM. Rinciannya, sebanyak 92% (atau 1094 LHA) diserahkan kepada Kepolisian dan 8% (atau 90 LHA) diberkan kepada Kejaksaan. Berdasarkan hasil analisis yang disampaikan kepada penegak hukum, tindak pidana Korupsi menjadi tindak pidana yang paling banyak yaitu sebanyak 486 HA dengan jumlah LTKM terkait sebanyak 1.030 LTKM. Diikuti oleh tindak pidana penipuan 357 LHA.

redefinisi pengertian hal yang terkait dengan tindak pidana pencucian uang dan penyempurnaan kriminalisasi tindak pidana pencucian uang.

17

Dari hasil pemantauan PPATK, sampai dengan akhir tahun 2009, hanya ada 26 (dua puluh enam) putusan terkait tindak pidana pencucian uang atau yang diputuskan oleh pengadilan dengan menggunakan UU-TPPU. Sebagian besar laporan PPATK yang ditindaklanjuti hingga ke pemeriksaan di sidang pengadilan akhirnya diputus dengan menggunakan UU lain terutama KUHP.18

Rumusan kriminalisasi perbuatan pencucian uang dinilai oleh berbagai kalangan baik praktisi maupun akademisi sebagai salah satu penyebab lemahnya penegakan hukum. Rumusan delik pencucian uang tersebut mengandung terlalu

16

Penjelasan UU No 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

17

Statistik Kepatuhan dan Hasil Analisis , PPATK, April 2010

(29)

banyak unsur yang harus dipenuhi atau dibuktikan. Selain itu, rumusan tersebut juga terkesan banyak duplikasi yang akhirnya menimbulkan kesulitan dalam hal pembuktian.

Pada UU TPPU nomor 25 Tahun 2003 rumusan delik untuk pelaku TPPU Aktif (Pasal 3) dibagi menjadi 7 (tujuh) jenis delik yang unsurnya hampir sama, sehingga tidak efisien untuk digunakan dalam rumusan surat dakwaan karena Penuntut Umum harus memilih rumusan delik dari huruf a sampai dengan huruf g, sedangkan pada UU No 8 Tahun 2010 hal ini hanya dirumuskan (Pasal 3 UU) dengan unsur yang bersifat alternatif, sehingga Penuntut Umum tidak perlu membuat dakwaan secara subsidier berlapis dari huruf a sampai dengan huruf g.19

Pada UU TPPU yang lalu hanya terdapat 2 delik yang murni merupakan TPPU, yaitu Pasal 3 dan Pasal 6, itupun rumusannya tidak ringkas (memberikan banyak pilihan) dan PU harus menentukan pilihan tersebut secara pasti, padahal fakta sesungghnya baru akan diungkap di persidangan. Sedangkan pada UU No 8 Tahun 2010, dirumuskan ketentuan delik baru yaitu pada Pasal 4 tentang tindakan penyembunyian kepemilikan atas harta kekayaan dari hasil kejahatan. Pasal 5 sebagaimana penyempurnaan Pasal 6 yang dirumuskan dalam 1 pasal dengan unsur delik yang alternatif sifatnya, sehingga akan memudahkan Penuntut Umum untuk menuntaskan penanganan perkara TPPU.20

19

Yunus Husein, Op. Cit hal 9

20

(30)

Penyempurnaan rumusan delik pencucian uang tersebut tetap mengacu pada standar internasional seperti Konvensi Wina 1988, Konvensi Palermo 2000, dan United Nations Model Law on Money Laundering and Proceed of Crime Bill 2003 (UN Model Law).21

Dalam penyidikan tindak pidana pencucian uang belum terdapat kesamaan persepsi antara polisi dan jaksa nampaknya masih terdapat kendala, misalnya berkaitan dengan pemaknaan unsur tindak pidana ini. Perbedaan tersebut antara lain berkaitan dengan tindakan polisi yang harus menyelidiki dan menyidik adanya unsur objektifinya atau actus area (unsur objektif). Kesulitan polisi terutama untuk mencari bukti yang berkaitan dengan mens areal dalam tindak pidana pencucian uang terutama Pasal 3 dan Pasal 6 yaitu knowledge (mengetahui atau patut menduga) dan

21 Dikualifikasikan sebagai “kejahatan serius” sesuai Pasal 2 huruf b Konvensi Palermo 2000

yang bunyinya sebagai berikut: “Serious crime shall mean conduct constituting an offence punishable by a maximum deprivation of liberty of at least four years or a more serious penalty”. United Nations Conventions Againts Transnational Organized Crime, 2000.

Kelompok organisasi kejahatan di Amerika Serikat mengakui bahwa kegiatan pencucian uang merupakan bisnis kriminal yang sangat menguntungkan. Namun untuk membuktikan tindak kejahatan pencucian uang tidaklah mudah dilakukan, sebab dalam kegiatan bisnis tersebut banyak pihak yang terkait yang lazim disebut “criminal class professional money launderers”. Mereka ini terdiri dari berbagai macam profesi mulai dari pegawai dan pengelola bank, akuntan, penasihat hukum, para penegak hukum, otoritas pengawas pasar keuangan, hingga anggota dari lembaga-lembaga resmi lainnya.

(31)

intended (bermaksud). Kedua unsur tersebut berkaitan dengan unsur terdakwa mengetahui bahwa dana tersebut berasal dari kejahatan dan terdakwa mengetahui tentang atau maksud untuk melakukan transaksi. Pembuktian ini pun sulit, mengetahui atau cukup menduga apalagi bermaksud untuk menyembunyikan hasil kejahatan, benar-benar harus didukung berbagai faktor.

Sistem pembuktian adalah pengaturan tentang macam-macam alat bukti yang boleh dipergunakan, penguraian alat bukti dan dengan cara-cara bagaimana alat-alat bukti itu dipergunakan dan cara bagaimana hakim harus membentuk keyakinannya.22

Setiap perbuatan kejahatan dalam kegiatannya apabila dilihat dari rumusan delik dalam hukum pidana maka perbuatan itu harus dapat dibuktikan, dalam rumusan delik menunjukan apa yang harus dibuktikan menurut hukum pidana, semua Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting acara pidana. Dalam hal ini pun hak asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya jika seseorang yang didakwakan dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim, padahal tidak benar. Untuk inilah maka hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil, berbeda dengan hukum acara perdata yang cukup puas dengan kebenaran formal.

22

(32)

yang tercantum dalam rumusan delik harus dibuktikan menurut aturan hukum pidana.23

Masing – masing unsur berdiri sendiri dan harus dibuktikan, berdiri sendiri diartikan antara unsur yang satu dengan yang lain tidak ada yang sama, sejenis atau mempunyai pengertian yang mirip atau sama artinya sehingga tidak bisa dikelompokkan.

Penelitian ini penting untuk dilakukan untuk dapat melakukan konstruksi hukum terhadap unsur unsur tindak pidana pencucian uang yang dirumuskan dalam UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Konstruksi hukum yang dirumuskan nantinya dapat menjadi referensi bagi penegakan hukum tindak pidana pencucian uang.

B. Permasalahan

1. Bagaimanakah pengaturan unsur-unsur pokok tindak pidana pencucian uang dalam UU Nomor. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang ?

2. Bagaimanakah proses pembuktian unsur-unsur tindak pidana pencucian uang dalam UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang ?

23

(33)

3. Bagaimanakah hambatan pembuktian unsur-unsur tindak pidana pencucian uang dalam UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang ?

C.Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan unsur unsur pokok tindak pidana pencucian uang dalam UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang .

2. Untuk mengetahui dan menganalisis proses pembuktian unsur unsur tindak pidana pencucian uang dalam UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis hambatan pembuktian unsur unsur tindak pidana pencucian uang dalam UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

D.Kegunaan Penelitian

Ada dua kegunaan yang dapat diperoleh dalam penelitian ini yaitu bersifat teoritis dan bersifat praktis.

a. Bersifat teoritis

(34)

dalam bidang hukum pidana mengenai tindak pidana pencucian uang . Serta lebih khusus lagi memberikan masukan terhadap kalangan akademisi dan praktisi dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dalam merumuskan suatu perbuatan merupakan tindak pidana pencucian uang.

b. Bersifat Praktis

Mengharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan/diterapkan oleh pengambil kebijakan dan para pelaksana/penegak hukum , khususnya penegakan hukum tindak pidana pencucian uang, dengan menerapkan konsep-konsep kebijakan hukum pidana dalam pemberantasan tindak pidana pencucian uang

E.Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran di Program Pasca Sarjana USU terdapat 10 judul yang membahas tindak pidana pencucian uang, namun tidak ada yang membahas unsur unsur tindak pidana pencucian uang . Selain itu juga dikarenakan masih barunya disahkan UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

(35)

F. Kerangka Teori dan Konsep 1. Kerangka Teori

Hukum merupakan suatu sistem yang dapat berperan dengan baik dan tidak pasif dimana hukum mampu dipakai di tengah masyarakat, jika instrumen pelaksanaannya dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan dalam bidang penegakan hukum. L.M. Friedman,24

R. Subekti,

bahwa hukum tersusun dari sub sistem hukum yang berupa substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Unsur sistem hukum ini sangat menentukan apakah suatu sistem hukum dapat berjalan dengan baik atau tidak. Substansi hukum menyangkut segala aspek-aspek pengaturan hukum atau peraturan perundang-undangan, struktur hukum lebih menekankan kepada kinerja aparatur hukum serta sarana dan prasarana hukum itu sendiri, sementara budaya hukum menyangkut perilaku masyarakatnya.

25

menjelaskan bahwa sistem hukum adalah suatu susunan atau tatanan yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil dari suatu pemikiran untuk mencapai suatu tujuan. Sementara itu, Sudikno Mertokusumo26

24

L.M. Friedman, The Legal System; A Social Science Persfective, (New York : Russel Sage Foundation, 1975), hal. 11.

mengatakan bahwa sistem hukum adalah suatu kesatuan

25

H. Ridwan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999), hal. 169.

(36)

yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut.

Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra,27

Hal ini menunjukkan sistem hukum sebagai suatu kompleksitas sistem yang membutuhkan kecermatan yang tajam untuk memahami keutuhan prosesnya.

lebih jauh mengatakan bahwa pada hakekatnya sistem hukum merupakan suatu kesatuan sistem besar yang tersusun atas sub-sub sistem yang kecil, yaitu sub sistem pendidikan, pembentukan hukum, penerapan hukum, dan lain-lain, yang hakekatnya merupakan sistem tersendiri pula.

Hukum dan penegakan hukum, menurut Soerjono Soekanto,28

Penelitian terhadap Analisis Yuridis Tentang Penentuan Unsur Unsur Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering) Dalam UU No. 8 Tahun 2010 akan menggunakan teori sistem diatas dalam membahas substansi hukum Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering) Dalam UU No. 8 Tahun 2010 yaitu dalam membahas permasalahan yang diajukan.

merupakan bagian faktor-faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan.

27 Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra,

Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Mandar Maju, 2003), hal. 151.

28

(37)

Unsur tindak pidana yang diatur dalam Undang Undang No 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang diharapkan akan dapat secara efektif menjerat pelaku tindak pidana pencucian uang dan mengamankan uang yang menjadi hasil dari kejahatan asal. Secara keseluruhan perbaikan terhadap unsur unsur tindak pidana ini berpengaruh terhadap sistem penegakan hukum yang tertuang dalam hukum acara.

Pembahasan mengenai substansi hukum UU No.8 Tahun 2010 akan mempergunakan ajaran hukum pidana sebagai teori yang akan menganalisis isi pasal pasal tindak pidana pencucian uang .Pembentuk Undang-Undang di Indonesia menggunakan istilah straafbaarfeit untuk menyebutkan nama tindak pidana. Dalam bahasa Belanda straafbaarfeit terdapat dua unsur pembentuk kata yaitu straafbaar dan feit. Perkataan feit dalan bahasa Belanda diartikan “sebagian dari kenyataan”, sedang straafbaar berarti dapat dihukum. Sehingga jika diartikan secara harafiah straafbaarfeit berarti sebagian dari kenyataan yang dapat dihukum Istilah-Istilah yang digunakan dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam literatur hukum sebagai terjemahan dari straafbarfeit adalah29

1) Tindak pidana, merupakan istilah resmi dalam perundangundangan

2) Peristiwa pidana 3) Delik

29

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, (Jakarta: PT. Raja Grafindo. Persada,

(38)

4) Pelanggaran pidana

5) Perbuatan yang boleh dihukum 6) Perbuatan yang dapat dihukum 7) Perbuatan pidana.

Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana, yang didefinisikan sebagai “ perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut”. Adapun Istilah perbuatan pidana lebih tepat, alasannya adalah :30

1) Perbuatannya dilarang (perbuatan manusia, yaitu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), artinya larangan itu ditujukan pada perbuatannya. Sedangkan ancaman pidananya ditujukan pada orangnya.

2) Larangan yang (ditujukan pada perbuatan) dengan ancaman pidana (yang ditujukan pada orang) mempunyai hubungan yang erat, dan oleh karena itu perbuatan (yang berupa keadaan atau kejadian yang ditimbulkan orang tadi, melanggar larangan) dengan orang yang menimbulkan perbuatan tadi ada hubungan erat pula.

3) Untuk menyatakan adanya hubungan yang erat itulah maka lebih tepat digunakan istilah perbuatan pidana, suatu pengertian abstrak yang menunjuk pada keadaan kongrit, yaitu: pertama adanya kejadian tertentu 30

(39)

(perbuatan) dan kedua orang yang berbuat atauyang menimbulkan kejadian itu.

Pandangan yang memisahkan antara perbuatan dan orang yang melakukan ini sering disebut pandangan dualisme, yang dianut pula oleh :31

1) Pompe, yang merumuskan bahwa suatu straafbarfeit itu sebenarnya adalah tidak lain dari pada suatu” tindakan yang menurut suatu rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum. 2) Vos, merumuskan straafbarfeit adalah suatu kelakuan manusia yang

diancam pidana oleh perturan perundang-undangan.

3) R. Tresna, walaupun menyatakan sangat sulit untuk merumuskan atau member definisi yang tepat perihal peristiwa pidana, namun beliau juga menarik definisi, yang menyatakan bahwa, “ peristiwa pidana itu adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan Undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman.

Selain pandangan dualisme ada pandangan lain yakni pandangan monisme yang tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatan dan diri orang, pandangan ini dianut oleh :32

31

Adami Chazawi, op. Cit , hal 72

32

(40)

1) J.E Jonkers yang merumuskan peristiwa pidana ialah perbuatan yang melawan hukum (wedrrechttelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.

2) Wirjono Projodikoro, menyatakan bahwa tindak pidana itu adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.

a. H.J.van Schravendijk, merumuskan perbuatan yang boleh dihukum adalah kelakuan orang yang begitu bertentangan dengan keinsyafan hukum sehingga kelakuan itu diancam dengan hukuman, asal dilakukan oleh seorang yang karena itu dapat dipersalahkan.

b. Simons, merumuskan strafbarfeit adalah suatu tindakan melanggar hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oleh seseorang yang dipertanggungjawabkan atas tindakannya yang dinyatakan sebagai dapat dihukum.

Menurut Moeljatno, unsur-unsur tindak pidana adalah: 1) Perbuatan

2) Yang dilarang (oleh aturan hukum) 3) Ancaman pidana (bagi yang melanggar)

(41)

ada perkecualian seperti Pasal 351 (penganiayaan). Unsur kesalahan dan melawan hukum kadang dicantumkan, dan tidak seringkali juga tidak dicantumkan. Dari rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP itu, maka dapat diketahui adanya 8 unsur tindak

pidana,yaitu :33 1) Unsur tingkah laku 2) Unsur melawan hukum 3) Unsur kesalahan 4) Unsur akibat konstitusi

5) Unsur keadaan yang menyertai

6) Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana 7) Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana 8) Unsur syarat untuk dapatnya dipidana.

Unsur tingkah laku yang termasuk di dalam unsur ini adalah tingkah laku aktif atau positif (handelen), atau juga disebut perbuatan materiil (materiel feit), misalnya: mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat palsu (Pasal 268 KUHP) dan tinkah laku pasif atau negative (natelen), misalnya: tidak memberikan pertolongan (Pasal 531 KUHP), membiarkan (Pasal 304 KUHP), tidak datang (Pasal 522 KUHP).34

33

Ibid , hal 81-111

34

(42)

Melawan hukum merupakan suatu sifat tercelanya atau terlarangnya dari suatu perbuatan, yang sifat tercela mana dapat bersumber pada undang-undang (melawan hukum formil) dan dapat bersumber pada masyarakat (melawan hukum materiil).35

Kesalahan (schuld) adalah unsur mengenai keadaan atau gambaran batin orang sebelum atau pada saat memulai perbuatan, karena itu unsur ini melekat pada diri pelaku dan bersifat subyektif.36

Kesalahan dalam hukum pidana berhubungan dengan pertanggungan jawab pidana yang terdiri dari kesengajaan (dolus) dan kelalaian (culpa).

Unsur akibat konstitusi ini terdapat pada tindak pidana materiil atau tindak pidana dimana akibat menjadi syarat selesainya tindak pidana, tindak pidana yang mengandung unsur akibat sebagai syarat pemberat pidana dan tindak pidana dimana akibat merupakan syarat dipidananaya pembuat. Unsur akibat sebagai syarat pemberat pidana karena bukan merupakan unsur pokok tindak pidana, artinya jika syarat ini tidak timbul, tidak terjadi percobaan, melainkan terjadi tindak pidana selesai, misalnya pada Pasal 288 KUHP jika akibat luka berat.37

35

Ibid, hal 86

36

Ibid, hal 90

37

(43)

Unsur keadaaan yang menyertai ini merupakan unsur tindak pidana yang berupa semua keadaan yang ada dan berlaku dalam mana perbuatan dilakukan. Unsur ini dalam kenyataan dapat:38

1) Mengenai cara melakukan perbuatan

2) Mengenai cara untuk dapat dilakukan perbuatan 3) Mengenai obyek tindak pidana

4) Mengenai subyek tindak pidana

5) Mengenai tempat dilakukannya tindak pidana 6) Mengenai waktu dilakukannya tindak pidana

Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana ini hanya terdapat dalam tindak pidana aduan. Tindak pidana aduan adalah tindak pidana yang hanya dapat dituntut pidana jika adanya pengaduaan dari yang berhak mengadu, misalnya: perzinaan ( Pasal 284 ayat 2 KUHP), penghinaan (Pasal 310-318 jo 319 KUHP).

Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana ini bukan merupakan unsur pokok tindak pidana yang bersangkutan, artinya tindak pidana tersebut dapat terjadi tanpa adanya unsur ini , misalnya: pada penganiayaan berat (Pasal 354 KUHP), kejahatan ini dapat terjadi (ayat (1)), walaupun akibat luka berat tidak terjadi(ayat 2). Luka berat hanya merupakan syarat saja untuk memperberat pidana.

38

(44)

Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana ini merupakan keadaan tertentu yang timbul setelah perbuatan dilakukan, yang menentukan untuk dapat dipidananya perbuatan. Artinya bila setelah perbutan dilakukan keadaan ini tidak timbul, terhadap perbuatan itu tidak bersifat melawan hukum dan karenanya si pembuat pidana tidak dapat dipidana.39

2. Kerangka Konsepsional

Penelitian ini akan menggunakan beberapa terminologi hukum pidana yang nantinya akan digunakan dalam uraian pembahasan. Definisi konsepsional ini untuk mempermudah dan mencegah terjadinya penafsiran yang berbeda terhadap pembahasan penelitian.

1. Tindak Pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.

2. Unsur-unsur tindak pidana (strafbaar feit) adalah :

• Perbuatan manusia (positif atau negative, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan).

• Diancam dengan pidana (statbaar gesteld) • Melawan hukum (onrechtmatig)

• Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand)

• Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatoaar person).

39

(45)

3. Hukum Pembuktian adalah pengaturan tentang macam-macam alat bukti yang boleh dipergunakan, penguraian alat bukti dan dengan cara-cara bagaimana alat-alat bukti itu dipergunakan dan cara bagaimana hakim harus membentuk keyakinannya

4. Pencucian Uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

5. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang selanjutnya disingkat PPATK adalah lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana Pencucian Uang.

6. Transaksi adalah seluruh kegiatan yang menimbulkan hak dan/atau kewajiban atau menyebabkan timbulnya hubungan hukum antara dua pihak atau lebih.

7. Transaksi Keuangan adalah Transaksi untuk melakukan atau menerima penempatan, penyetoran, penarikan, pemindahbukuan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, dan/atau penukaran atas sejumlah uang atau tindakan dan/atau kegiatan lain yang berhubungan dengan uang.

(46)

Pelapor sesuai dengan ketentuan Undang-Undang. Transaksi Keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana. Transaksi Keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh Pihak Pelapor karena melibatkan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana. 9. Transaksi Keuangan Tunai adalah Transaksi Keuangan yang dilakukan

dengan menggunakan uang kertas dan/atau uang logam.

10.Pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi Transaksi Keuangan Mencurigakan yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional untuk menilai dugaan adanya tindak pidana.

11.Hasil Pemeriksaan adalah penilaian akhir dari seluruh proses identifikasi masalah, analisis dan evaluasi Transaksi Keuangan Mencurigakan yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional yang disampaikan kepada penyidik.

12. Predicate crime adalah istilah yang digunakan untuk merujuk ke tindak pidana asal, baik yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung yang digunakan untuk memperoleh hasil tindak pidana berupa harta kekayaan yang berjumlah Rp. 500 juta atau lebih atau nilai yang setara yang akan dilakukan pencucian uang

(47)

1. Spesifikasi Penelitian.

Penelitian mengenai analisis yuridis tentang penentuan unsur unsur tindak pidana pencucian uang merupakan penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif meliputi :

(1) Penelitian terhadap asas-asas hukum (2) Penelitian terhadap sistematik hukum

(3) Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal (4) Perbandingan hukum

(5) Sejarah hukum.40

Penelitian hukum normatif ini akan mengkaji terhadap sistematika hukum dan taraf singkronisasi vertikal dan horizontal yang bertujuan untuk menemukan aturan-aturan hukum pada tindak pidana pencucian uang yang dapat memberikan penjelasan dan analisis yuridis tentang penentuan unsur unsur tindak pidana pencucian uang. Bertolak dari tujuan penelitian tersebut di atas, diharapkan dapat dipergunakan untuk menganalisis masalah yang telah diidentifikasi.

Penelitian ini dititikberatkan pada studi kepustakaan, sehingga data sekunder atau bahan pustaka lebih diutamakan dari data primer.

Data sekunder yang diteliti terdiri atas : 40

(48)

1. Bahan hukum primer41

(a) Peraturan Perundang-undangan yang berhubungan dengan Pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian uang.

yaitu bahan hukum yang mengikat, antara lain berupa :

(b) Putusan-putusan pengadilan atau yurisprudensi (c) Bahan hukum lainnya.

2. Badan Hukum Sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer antara lain berupa :

(a) Tulisan atau pendapat pakar hukum pidana mengenai asas-asas berlakunya hukum pidana dalam pencucian Uang.

(b) Tulisan atau pendapat pakar hukum pidana mengenai analisis yuridis tentang penentuan unsur unsur tindak pidana pencucian uang .

3. Bahan hukum tertier yang memberikan informasi lebih lanjut mengenai badan hukum primer dan bahan hukum sekunder antara lain:

(a) Kamus besar bahasa Indonesia (b) Ensiklopedi Indonesia

(c) Berbagai masalah hukum yang berkaitan dengan Tindak Pidana Pencucian uang.42

2. Metode Pendekatan.

41

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, ( Jakarta : UI Press, 1984) hal 52

42

(49)

Penelitian ini mempergunakan metode pendekatan yuridis normative, karena mengutamakan tinjauan dari segi peraturan hukum yang menyangkut analisis yuridis tentang penentuan unsur unsur tindak pidana pencucian uang. Metode pendekatan yuridis normatif dipergunakan dengan pertimbangan titik tolak penelitian adalah analisis terhadap peraturan perundang-undangan di bidang tindak pidana pencucian uang sebagai hukum positif di Indonesia. Di samping itu juga menggunakan pendekatan secara yuridis sosiologis, karena untuk melihat penerapan peraturan perundang-undangan di bidang tindak pidana pencucian uang sejauh mana penegkaan hukum tindak pidana pencucian uang dapat efektif di tegakkan.

3. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang dipergunakan di dalam penelitian ini adalah studi dokumen.Bahan pustaka dimaksud terdiri atas bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang khususnya yang menyangkut unsur unsur tindak pidanan pencucian uang.

Demikian pula dikaji bahan hukum sekunder berupa karya para ahli termasuk hasil penelitian. Untuk melengkapi bahan hukum tersebut ditunjang pula dengan badan hukum tertier seperti : kamus, ensiklopedia, jurnal, dan lain sebagainya.

(50)

Penelitian kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder, baik yang berupa badan hukum primer, badan hukum sekunder maupun badan hukum tertier. Sesuai dengan tipologi penelitian hukum normatif, data sekunder dengan bahan hukum dimaksud merupakan bahan utama dalam penelitian ini

Penelitian yang berkaitan dengan pendekatan yuridis normatif dimulai langkah awal adalah melakukan invetarisasi peraturan perundang-undangan di bidang tindak pencucian uang dan penentuan unsur unsur tindak pidana pencucian uang serta peraturan-peraturan lainnya.

Usaha untuk memperoleh peraturan perundang-undangan di bidang tindak pidana pencucian uang khusus mengenai unsur unsur tindak pidana pencucian uang didukung dengan penelaahan terlebih dahulu terhadap bahan hukum sekunder, berupa tulisan para ahli dan kebijakan hukum pidana. Cara tersebut ditunjang pula dengan bahan hukum tertier

(51)

5. Analisis Data

Analisa data yang akan dilakukan secara kualitatif.43

Data sekunder yang diperoleh dari penelitian tersebut dianalisis dengan cara kualitatif, data yang diperoleh dari bahan hukum yang berasal dari peraturan perundang-undangan di bidang tindak pidana pencucian uang untuk memperoleh gambaran mengenai status peraturan di bidang tindak pidana pencucian uang. Data tersebut kemudian dianalisis secara juridis untuk memperoleh gambaran mengenai peraturan perundang-undangan di bidang tindak pidana pencucian uang dan dan unsur unsur unsur tindak pidana pencucian uang.

Kegiatan ini diharapkan akan dapat memudahkan penulis dalam menganalisa permasalahan yang diajukan, menafsirkan dan kemudian menarik kesimpulan.

43

(52)

BAB II.

UNSUR UNSUR TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

BERDASARKAN UNDANG UNDANG NO 8 TAHUN 2010

A.

Tindak Pidana Pencucian Uang Secara Umum

1.

Pengertian Pencucian Uang

Pada saat ini, lebih dari sebelumnya, pencucian uang atau yang dalam istilah bahasa Inggrisnya disebut money laundering, sudah merupakan fenomena dunia dan merupakan tantangan bagi dunia internasional44

44

US Government, Secretary of The Treasury and Attorney General. The National Money Laundering Strategy 2000, Maret 2000, hal.6.

(53)

a. term used describe investment or other transfer of money flowing from racket steering, drugs transaction, and other illegal sources into legitimate channels

so that original sources cannot be traced45

b. to exchange or to invest money in such a way as to conceal that it come from illegal or improper sources

.

46

c. Sarah N. Welling mengemukakan bahwa: .

Money laundering is the process by which one conceals the existence, illegal sources, or illegal application of come, and than disguises that income to

make it appear legitimate“47

d. David Fraser mengemukakan bahwa: .

money laundering is quite simply the process through which “dirty” money (proceeds of crime), is washed through “clean” or legitimate sources and enterprises so that the “bad guys” may more safely enjoy their ill’gotten

gains48

e. Pamela H. Bucy mengemukakan bahwa: .

45

Black’s Law Dictionary

46

Webster Dictionary

47Sarah N. Welling,

Smurfs, Money Laundering, and The United States Criminal Federal Law.

Yang dimuat dalam: Jurnal Hukum Bisnis Volume 22 No. 3 Tahun 2003. hal.5.

48

33 David Fraser, Lawyers, Guns and Money, Economics and Ideology on The Money Trail.

(54)

money laundering is the concealment of the existence, nature or illegal source of illicit funds in such manner that the fund will appear legitimate

if discovered”49

Dari beberapa definisi dan penjelasan mengenai apa yang dimaksudkan dengan money laundering adalah tindakan-tindakan yang bertujuan untuk menyamarkan uang hasil tindak pidana sehingga seolah-olah dihasilkan secara halal. Atau untuk pengertian lebih jelasnya, money laundering adalah rangkaian kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang haram yaitu uang yang dihasilkan dari kejahatan, dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang tersebut dari pihak berwenang dengan cara memasukkan uang tersebut ke dalam sistem keuangan (financial system) sehingga kemudian uang tersebut dapat dikeluarkan dari sistem keuangan tersebut sebagai uang halal.

2. Sejarah Pencucian Uang

Masalah pencucian uang atau money laundering sebenarnya telah lama dikenal, yaitu semenjak tahun 1930. Munculnya istilah tersebut erat kaitannya dengan perusahan laundry (pencucian pakaian). Perusahaan ini dibeli oleh para mafia dan kriminal di Amerika Serikat dengan dana yang mereka peroleh dari kejahatannya.

49

(55)

Selanjutnya perusahaan laundry ini mereka pergunakan untuk menyembunyikan uang yang mereka hasilkan dari hasil kejahatan dan transaksi ilegal sehingga tampak seolah-olah berasal dari sumber yang halal50

The lifeblood of drug dealers, fraudsters, smugglers, kidnappers, arms dealers, terrorist, extortionist, and tax evaders, myth has it that the term was coined by Al Capone, who, like his arc rival George ‘Bugs’ Moran, used a string of coin operated Laundromats scatted around Chicago to disguise his revenue from gambling, prostitution, racketeering and violation of the Prohibition laws.”

. Berkenaan dengan sejarah istilah money laundering, Jeffry Robinson mengemukakan sebagai berikut:

51

Walaupun tampak meyakinkan, akan tetapi sebenarnya sampai saat ini tidak ada yang dapat memastikan kebenaran dari cerita di atas. “Pencucian uang” atau “money laundering” sebagai sebutan sebenarnya belum lama dipakai. Penggunaan istilah “money laundering” pertama kali dipergunakan di surat kabar dikaitkan dengan pemberitaan skandal Watergate di Amerika Serikat pada tahun 1973. Sedangkan penggunaan istilah tersebut dalam konteks pengadilan atau hukum muncul untuk pertama kalinya pada tahun 1982 dalam perkara US vs $4,255,625.39(82) 551 F Supp.314. Sejak saat itu, istilah tersebut telah diterima dan dipergunakan secara luas di seluruh dunia52.

50

N.H.T. Siahaan, Pencucian Uang Dan Kejahatan Perbankan, cet.1, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002), hal.6.

51 Jeffry Robinson,

The Laundryman. (Simon & Schuster, 1994). hal.3

52

(56)

3.

Latar Belakang Anti-Money Laundering

Di Indonesia, istilah “money laundering” diterjemahkan dengan “pencucian uang,” terjemahan tersebut dapat dilihat dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UUTPPU) yang kemudian direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 dan selanjutnya dicabut dan digantikan dengan UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yang merupakan anti-money laundering di Indonesia. Melalui UU PP TPPU itu money laundering telah dikategorikan sebagai kejahatan, baik yang dilakukan perseorangan maupun oleh korporasi.

Money laundering tersebut sering pula dikaitkan dengan “kejahatan kerah putih” (white collar crime), hal ini dapat dilihat dari pengamatan Harkristuti Harkrisnowo yang mengatakan adanya “kecenderungan penjahat kelas kakap untuk menyembunyikan asal usul uangnya ditengarai sudah menjadi bagian dari kehidupan dunia kejahatan.”53 Sejalan dengan hal itu Sutherland mengatakan bahwa konsep white collar crime adalah suatu “crime committed by a person of respectability and high social status in the course of his occupation.”54

Larangan money laundering sebagaimana diatur dalam UU PP TPPU tersebut dilatar belakangi dari kegiatan money laundering yang sangat berkaitan

53

Harkristuti Harkrisnowo, “Pemutihan Uang (Money Laundering) Sebagai Bagian Dari White Collar Crime,” makalah disampaikan pada Seminar mengenai Money Laundering, yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, Universitas Indonesia, Bank Indonesia dan South Carolina University, Medan, tanggal 28 Juli 2001, hal. 1.

54

(57)

dengan dana-dana yang sangat besar jumlahnya. Sementara itu, dana-dana yang berasal dari kegiatan money laundering itu sering disamarkan, dimana asal usul dana-dana tersebut disembunyikan melalui jasa-jasa, seperti jasa perbankan, asuransi, pasar modal dan instrumen dalam lalu lintas keuangan. Praktik money laundering yang demikian harus dilarang disebabkan meningkatnya Praktik money laundering dapat merugikan masyarakat dan negara. Dengan perkataan lain Praktik money laundering dapat mempengaruhi atau merusak stabilitas perekonomian nasional.

Setidak-tidaknya terdapat tiga alasan menurut pengamatan Guy Stessen dalam tulisannya “Money Laundering, A New International Law Enforcement Model” mempertanyakan mengapa money laundering diberantas dan dinyatakan sebagai tindak pidana.55

Pertama, karena pengaruh money laundering pada sistim keuangan dan ekonomi diyakini berdampak negatif bagi perekonomian dunia, misalnya dampak negatif terhadap efektifitas penggunaan sumber daya dan dana. Dengan adanya money laundering sumber daya dan dana banyak digunakan untuk kegiatan yang tidak sah dan dapat merugikan masyarakat, disamping itu dana-dana banyak yang kurang dimanfaatkan secara optimal, misalnya dengan melakukan “sterile investment” dalam bentuk property atau perhiasan yang mahal. Hal ini terjadi karena uang hasil tindak pidana terutama diinvestasikan pada negara-negara yang dirasakan

55 Guy Stessen, dalam Yunus Husein, “Upaya Penanganan Tindak Pidana Pencucian Uang

(58)

aman untuk mencuci uangnya, walaupun hasilnya lebih rendah. Uang hasil tindak pidana ini dapat saja beralih dari suatu negara yang perekonomiannya baik ke negara yang perekonomiannya kurang baik. Karena pengaruh negatifnya pada pasar finansial dan dampaknya dapat mengurangi kepercayaan publik terhadap sistem keuangan internasional, money laundering dapat mengakibatkan ketidakstabilan pada perekonomian internasional dan tindak pidana yang terorganisir yang melakukan pencucian uang dapat juga membuat ketidakstabilan pada ekonomi nasional. Fluktuasi yang tajam pada nilai tukar dan suku bunga mungkin juga merupakan akibat negatif dari pencucian uang. Dengan berbagai dampak negatif itu diyakini, bahwa money laundering dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dunia.

Kedua, dengan ditetapkannya money laundering sebagai tindak pidana akan lebih memudahkan bagi aparatur penegak hukum untuk menyita hasil tindak pidana yang kadangkala sulit untuk disita, misalnya aset yang susah dilacak atau sudah dipindahtangankan kepada pihak ketiga. Dengan cara ini pelarian uang hasil tindak pidana dapat dicegah. Dengan demikian pemberantasan tindak pidana sudah beralih orientasinya dari “menindak pelakunya” ke arah menyita “hasil tindak pidana”. Di banyak negara dengan menyatakan money laundering sebagai tindak pidana merupakan dasar bagi penegak hukum untuk mempidanakan pihak ketiga yang dianggap menghambat upaya penegakan hukum.

(59)

menyelidiki kasus pidana sampai kepada tokoh-tokoh yang ada dibelakangnya. Tokoh-tokoh ini sulit dilacak dan ditangkap karena pada umumnya mereka tidak kelihatan pada pelaksanaan suatu tindak pidana, tetapi banyak menikmati hasil-hasil tindak pidana tersebut.

Anti-money laundering yang diatur berbagai negara di dunia berkaitan dengan ketentuan United Nation Convention on Against Illicit Trafic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances of 1988, yang lahir 19 Desember 1988. Bahkan pengaturan anti-money laundering di berbagai negara tersebut hampir sama dengan United Nation Convention on Against Illicit Trafic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances of 1988 itu, oleh karena sebagian besar substansi pengaturannya diambil dari ketentuan-ketentuan UN Convention on Against Illicit Trafic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances of 1988tersebut.

Di Amerika Serikat, sebelum lahirnya United Nation Convention on Against Illicit Trafic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances of 1988itu, telah mempunyai berbagai ketentuan anti-money laundering, seperti The Bank Secrecy Act yang lahir tahun 1970, Money Laundering Central Act yang lahir tahun 1986. Selanjutnya, lahir The Annunzio Wylie Act dan Money Laundering Suppression Act yang lahir tahun 1994.56

56 Erman Rajagukguk, “Pencucian Uang: Suatu Studi Perbandingan Hukum,” makalah

disampaikan pada Lokakarya mengenai RUU Anti-Pencucian Uang (Money Laundering), diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, University of South Carolina dan Bank Indonesia, Surabaya, tanggal 21 Juli 2002, hal. 3. Lihat juga. Michael A. De

(60)

4. Faktor-Faktor Pendorong Maraknya Pencucian Uang

Kemajuan dan perkembangan teknologi yang telah tercapai memang telah mempermudah kehidupan manusia. Kemajuan teknologi di satu pihak telah membawa banyak dampak positif bagi pembangunan, namun di lain pihak kemajuan yang telah tercapai juga mengakibatkan munculnya berbagai masalah dan akibat negatif yang merugikan. Kemajuan justru seringkali menjadi lahan yang “subur” bagi berkembangnya kejahatan, khususnya kejahatan kerah putih atau white collar crime. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama di bidang komunikasi, permesinan, dan transportasi mempunyai dampak pada modus operandi suatu kejahatan.

Pada saat ini, banyak tindak pidana

Referensi

Dokumen terkait

Namun, diterapkannya sistem pembuktian terbalik terbatas dalam pemberantasan tindak pidana pencucian uang tidak serta merta dapat dilaksanakan secara optimal

Marcos Simaremare : Kegagalan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laudering)…, 2006 USU Repository © 2008... Marcos Simaremare : Kegagalan Pemberantasan Tindak

Di Indonesia pencucian uang berkembang pesat banyak tindak pidana pencucian uang di ikuti oleh tindak pidana korupsi atau dari uang haram lainnya. Penggunaan Undang-Undang

Adanya kerancuan mengenai masalah pembuktian tindak pidana asal dalam kaitannya dengan tindak pidana pencucian uang.Dalam Undang- Undang Tindak Pidana Pencucian Uang dinyatakan

Begitu pula yang telah diatur dalam Pasal 2 UU TPPU, bahwa tindak pidana pencucian uang merupakan hasil dari tindak pidana asal, tidak hanya tindak pidana

Modus pencucian uang yang dapat dilakukan untuk menyembunyikan uang dari hasil tindak pidana korupsi di Indonesia secara umum dilakukan adalah placement (upaya

Undang-undang Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan paradigma bahwa hasil dari kejahatan merupakan “blood of the crime”, dapat digunakan sebagai senjata

Bentuk penggabungan pertama didasarkan pada ketentuan Pasal 74, Pasal 75 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, dan pada ketentuan Pasal 6