• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor Faktor Penentu Keberhasilan Penangkaran Cucak Rawa (Pycnonotus Zeylanicus Gmelin, 1789)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor Faktor Penentu Keberhasilan Penangkaran Cucak Rawa (Pycnonotus Zeylanicus Gmelin, 1789)"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR-FAKTOR PENENTU KEBERHASILAN

PENANGKARAN CUCAK RAWA

(

Pycnonotus zeylanicus

Gmelin, 1789)

DINI AYU LESTARI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Faktor-Faktor Penentu Keberhasilan Penangkaran Cucak Rawa (Pycnonotus zeylanicus Gmelin, 1789) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2017

Dini Ayu Lestari

(4)

RINGKASAN

DINI AYU LESTARI. Faktor-Faktor Penentu Keberhasilan Penangkaran Cucak Rawa (Pycnonotus zeylanicus Gmelin, 1789). Dibimbing oleh BURHANUDDIN MAS’UD dan JARWADI BUDI HERNOWO.

Burung cucak rawa (Pycnonotus zeylanicus) tergolong dalam famili

Pycnonotidae dan ordo Passeriformes yang marak diperdagangkan di Indonesia. Salah satu upaya konservasi yang dapat dilakukan dalam meningkatkan populasinya di luar habitat alaminya adalah melalui penangkaran. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis manajemen penangkaran, menganalisis dan mensintesis variabel penentu keberhasilan penangkaran, menentukan model keberhasilan penangkaran, serta menganalisis tipologi penangkar cucak rawa yang berhasil. Penelitian dilakukan pada sepuluh penangkaran yang berada di Kabupaten Bogor dan Depok. Waktu pelaksanaan penelitian adalah Mei sampai dengan Juli 2015. Pengumpurlan data dilakukan dengan cara pengamatan langsung, pengukuran, dan wawancara terhadap pemilik dan animal keeper. Variabel penentu keberhasilan penangkaran dianalisis dengan analisis komponen utama (Principle Component Analysis). Analisis regresi komponen utama dengan metode stepwise

yang diolah dengan bantuan software SPSS (IBM SPSS Statistics 22) digunakan untuk menganalisis model keberhasilan penangkaran cucak rawa.

Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa manajemen penangkaran yang telah dilakukan antara lain manajemen kandang, pakan, kesehatan dan perawatan, serta reproduksi. Manajemen yang telah dilakukan tersebut telah sesuai untuk memenuhi kebutuhan hidup dan perkembangbiakan cucak rawa di penangkaran. Variabel penentu keberhasilan penangkaran cucak rawa yaitu lama waktu menangkarkan, jumlah induk produktif, daya tetas telur, modal, biaya operasional, dan curahan waktu perawatan. Model keberhasilan penangkaran cucak rawa terdiri atas dua

model, yakni model kelahiran dan kematian. Model kelahiran adalah Y1 = 64.700 + 57.480 PC1 yang berarti bahwa semakin lama menangkarkan,

semakin banyak jumlah induk produktif, dan semakin tinggi daya tetas telur maka semakin besar kelahiran. Model kematian yakni Y2 = 19.100 – 4.238 PC2. Model ini menjelaskan bahwa semakin besar biaya operasioanal dan modal yang dikeluarkan serta semakin lama curahan waktu perawatan dapat menekan kematian. Tipologi penangkar cucak rawa terbagi ke dalam tiga tipologi, yakni penangkar yang berhasil, penangkar cukup berhasil, dan penangkar belum berhasil. Karakteristik kunci yang menentukan tipologi tersebut, antara lain jumlah induk produktif, daya tetas telur, biaya operasional, modal, dan curahan waktu perawatan. Berdasarkan hasil analisis finansial, usaha penangkaran cucak rawa layak untuk dijalankan. Nilai NPV, BCR, IRR, PBP, dan BEP pada tingkat suku bunga 5% dan 30% berturut-turut adalah Rp2.631.732.785, 16, 51.77%, 0.27 tahun = 3 bulan, Rp17.446.422.

(5)

SUMMARY

DINI AYU LESTARI. Determinings Factor of Breeding Success of Straw-Headed Bulbul (Pycnonotus zeylanicus Gmelin, 1789). Supervised by BURHANUDDIN MAS’UD and JARWADI BUDI HERNOWO.

Straw-headed bulbul (Pycnonotus zeylanicus) which belongs to the family of

Pycnonotidae and order of Passeriformes is excessively traded in Indonesia. Thus, captive breeding is one of conservation efforts to be done in improving the bird population outside its natural habitat. This study was aimed to analyze the management of captive breeding, to analyze and synthesize the determinant variable of breeding success, to determine the model of breeding success, and to analyze typology of successful breeders of straw-headed bulbul. The study was conducted in ten captive breeding areas located in Bogor and Depok from May to July 2015. Data collecting was carried out through direct observation, measurement, and interview with the bird’s owner and animal keeper. Determinant variables of breeding success were analyzed using the Principle Component Analysis. Further, regression analysis of the main component of straw-headed bulbul was done by the stepwise method which was processed using SPSS (IBM SPSS Statistics 22) to analyze the model of success breeding of straw-headed bulbul.

The result of this study showed that the captive breeding management which has been done, included the management of cages, feed, health and treatment as well as reproduction, has already appropriate in meeting the needs of living and breeding of straw-headed bulbul in captive breeding area. Determinant variables of the breeding success of straw-headed bulbul were the duration of captive breeding, the number of productive mother bird, egg hatching, capital, operating cost, and treatment time period. The breeding success model of straw-headed bulbul consists

of two models, namely model of birth and model of death. The model of birth, Y1 = 64,700 + 57,480 PC1, means that the longer the time period of captive

breeding, the more the number of productive mother bird, the higher the hatchability

of eggs, and the higher the birth rate. Moreover, the model of death, that is Y2 = 19,100 - 4,238 PC2 explains that higher operating and capital cost spent and

longer time period of treatment are able to suppress the death rate. Typology straw-headed bulbul breeders in captivity is divided into three typologies, they are

the successful breeder, quite successful breeders, and breeders have not succeeded. The key characteristics that determine the typology, including the number of productive mother bird, egg hatching, operating cost, capital, and treatment time period. The results of the financial analysis indicates that straw-headed bulbul breeding feasible. NPV, BCR, IRR, PBP, and BEP are the interest rate of 5% and 30% respectively are Rp2.631.732.785, 16, 51.77%, 0.27 year = 3 month, Rp17.446.422.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Konservasi Biodiversitas Tropika

FAKTOR-FAKTOR PENENTU KEBERHASILAN

PENANGKARAN CUCAK RAWA

(

Pycnonotus zeylanicus

Gmelin, 1789)

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2017

(8)

(9)
(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika, Fakultas Kehutanan, IPB. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah Faktor-Faktor Penentu Keberhasilan Penangkaran Cucak Rawa (Pycnonotus Zeylanicus Gmelin, 1789).

Karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik karena tidak luput dari dukungan berbagai pihak baik secara langsung ataupun tidak langsung. Penghargaan dan terima kasih diberikan kepada Bapak Dr Ir Burhanuddin Mas’ud, MS dan Dr Ir Jarwadi Budi Hernowo, MScF sebagai dosen pembimbing yang dengan sepenuh hati mendukung dan senantiasa memberikan kritik dan saran. Terima kasih juga disampaikan kepada Dr Drh Chairunisa, MSi selaku dosen moderator pada seminar hasil penelitian ini. Disampaikan juga terima kasih kepada Bapak Prof Dr M Bismark, MS selaku penguji luar komisi pembimbing atas kesediannya menguji pada ujian tesis dan Ibu Dr Ir Siti Badriyah Rushayati, MSi selaku ketua sidang pada ujian tesis. Penghargaan dan terima kasih juga disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) atas beasiswa Magister yang telah diberikan dan diucapkan juga terima kasih kepada Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), Kementerian Keuangan Republik Indonesia karena telah memberikan dukungan finansial dalam penelitian ini.

Diucapkan juga terima kasih kepada Bapak Prasetyo Hardiono, Ibu Tri Ruspiyani, Lucky Indah Setyani, Anniza Dian Pertiwi, Bapak Dr Agus Djoko Ismanto, MSc dan keluarga, Ibu Novie Dwi Lestari dan keluarga, serta keluarga besar yang selalu bermurah hati untuk mendoakan dan mendukung penulis selama menempuh pendidikan dan mencari ilmu pengetahuan. Penghargaan penulis juga sampaikan kepada seluruh staf pengelola penangkaran tempat pengambilan data karena telah mengizinkan melakukan penelitian dan membantu selama pengumpulan data karya ilmiah ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Nurul Rahayu, sahabatku 274, Ami, Dayang, Estu, Saqinah, teman-teman

we are legend, KVT, IPB Press, KSHE 47, dan pihak-pihak lain yang telah berpartisipasi dalam mensukseskan karya ilmiah ini secara tidak langsung yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Bogor, Februari 2017

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 4

Kerangka Pemikiran 4

2 TINJAUAN PUSTAKA 6

Bioekologi Cucak Rawa 6

Teknik Penangkaran 7

Aspek Ekonomi 11

Aspek Sosial 12

3 METODE 12

Lokasi dan Waktu Penelitian 12

Objek Penelitian 13

Alat dan Instrumen 13

Jenis dan Metode Pengumpulan Data 13

Analisis Data 17

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 24

Manajemen Penangkaran Cucak Rawa 24

Faktor Dominan yang Menentukan Keberhasilan Penangkaran 42

Model Keberhasilan Penangkaran 48

Tipologi Penangkar Cucak Rawa 52

Analisis Kelayakan Finansial 55

5 SIMPULAN DAN SARAN 56

Simpulan 56

Saran 56

6 DAFTAR PUSTAKA 57

LAMPIRAN 63

(12)

DAFTAR TABEL

1 Faktor pembeda cucak rawa jantan dan betina 10

2 Jenis dan metode pengumpulan data keberhasilan penangkaran 13 3 Analisis kuantitatif aspek pakan dan reproduksi 17 4 Penerapan manajemen penangkaran dan hasil penangkarannya di setiap unit penangkaran contoh sebagai lokasi penelitian 25 5 Jenis, ukuran, dan konstruksi kandang cucak rawa 27 6 Kelemahan dan kelebihan bahan penyusun dinding kandang

cucak rawa 28

7 Kelemahan dan kelebihan bahan penyusun alas kandang (litter)

cucak rawa 29

8 Fasilitas kandang cucak rawa 32

9 Jumlah konsumsi pisang kepok, jangkrik, dan pur di kandang

reproduksi cucak rawa 36

10 Kandungan gizi pakan cucak rawa 37

11 Jenis penyakit dan/atau gejala yang pernah diderita cucak rawa

di penangkaran 40

12 Hasil uji Kaiser-Meyer-Olkin (KMO) dan Barlett Test pada

analisis PCA 42

13 Hasil pengujian MSA (Measure of Sampling Adequacy) 43

14 Nilai akar ciri (eigenvalues) 43

15 Faktor dominan yang berkontribusi terhadap keberhasilan

penangkaran 44

16 Biaya biaya operasional per bulan dan modal/investasi

setiap penangkaran 46

17 Hasil analisis regresi komponen utama pada model kelahiran

cucak rawa 48

18 Hasil pengujian asumsi klasik model kelahiran cucak rawa 49 19 Hasil analisis regresi komponen utama pada model kematian

cucak rawa 51

20 Hasil pengujian asumsi klasik model kematian cucak rawa 51

21 Tipologi penangka cucak rawa yang berhasil 53

22 Tabel analisis kelayakan finansial usaha penangkaran cucak rawa 55

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pikir penelitian 5

2 Pasangan cucak rawa; a) jantan, b) betina 10

3 Jenis-jenis kandang cucak rawa; a) kandang reproduksi, b) kandang pembesaran (sangkar), dan c) kandang/kotak inkubator 30 4 Ilustrasi kandang cucak rawa; a) kandang reproduksi, b) kandang pembesaran (sangkar), dan c) kandang/kotak inkubator 31 5 Sangkar cucak rawa; a) sangkar sabut kelapa, b) sangkar ijuk

(13)

6 Kandang pemandian cucak rawa; a) foto kandang pemandian,

b) ilustrasi kandang pemandian 34

7 Rata-rata suhu (°C) dan kelembapan (%) pada kandang

reproduksi cucak rawa 35

8 Jenis-jenis pakan cucak rawa; a) jangkrik, b) pisang kepok, c) pur,

d) bubur pur pakan anak cucak rawa 36

9 Kegiatan perawatan cucak rawa; a) membersihkan kandang dan fasilitas di dalamnya, b) memberikan pakan dan minum, c) memandikan cucak rawa yang terdapat di kandang

pembesaran (sangkar) 39

10 Feses burung berordo Passeriformes (Serinus canaria)

yang mengandung Escherichia coli 40

11 Tonic treasure 41

12 Telur cucak rawa 42

13 Sturktur anatomi bagian dalam telinga burung 50

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil analisis PCA 64

2 Hasil analisis regresi komponen utama dan pengujian model

kelahiran cucak rawa 66

3 Hasil analisis regresi komponen utama dan pengujian model

kematian cucak rawa 68

4 Perhitungan biaya operasional per bulan dan modal penentu tipologi

penangkar cucak rawa 70

(14)
(15)

1

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Burung cucak rawa (Pycnonotus zeylanicus Gmelin, 1789) termasuk ke dalam famili Pycnonotidae dan pada umumnya dikenal dengan nama merbah atau cucak-cucakan. Menurut Iswantoro (2008), famili burung ini tergolong ke dalam burung pengicau yang memiliki suara merdu dan beranekaragam. Holmes (1995) dalam Bird Life International (2001) menjelaskan bahwa populasi cucak rawa mengalami penurunan tajam dan saat ini cucak rawa telah menjadi satwa peliharaan di Indonesia. Cucak rawa merupakan jenis burung yang sangat digemari penggemar burung karena suaranya sehingga marak diperdagangkan (Supriyadi 2008).

Collar et al. (1994) dalam MacKinnon et al. (2010) mengelompokkan cucak rawa ke dalam status rentan (vulnerable). International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) versi 3.1 tahun 2014 menetapkan cucak rawa ke dalam status rentan (vulnerable). Convention on International Trade in Endangered Species of wild fauna and flora (CITES) pada tahun 1998 memasukkan cucak rawa ke dalam daftar Appendix II, yaitu jenis burung yang perlu diatur dan dibatasi dalam perdagangannya serta perdagangannya hanya diperbolehkan dari hasil penangkaran (breeding) (Iswantoro 2008). Gunarso et al. (2009) menambahkan bahwa cucak rawa termasuk ke dalam satwa yang tidak dilindungi di Indonesia, tetapi diperlukan upaya konservasi dan pelarangan perburuan cucak rawa di habitat alaminya.

Salah satu upaya konservasi yang dapat dilakukan dalam meningkatkan populasi cucak rawa di luar habitat alaminya yakni melalui penangkaran. Peraturan Dirjen PHKA No. 05 Tahun 2014 menjelaskan penangkaran adalah adalah upaya perbanyakan melalui pengembangbiakan dan pembesaran satwa liar dengan tetap memperhatikan kemurnian jenisnya. Berdasarkan pengertian tersebut, suatu penangkaran dapat dikatakan berhasil jika mampu mengembangbiakkan satwa yang ditangkarkan sehingga produktivitasnya meningkat.

Penangkaran cucak rawa tidak sebanyak dengan penangkaran burung lainnya karena cucak rawa sangat sensitif terhadap gangguan. Cucak rawa mudah terkena stres akibat gangguan atau aktivitas manusia sehingga sulit untuk ditangkarkan. Mas’ud (2002) menjelaskan bahwa cucak rawa yang mengerami telurnya harus dijauhkan dari berbagai gangguan karena apabila terganggu, induk cucak rawa tidak akan mengerami telurnya.

Ratnawati (2012) menjelaskan bahwa kegiatan penangkaran memerlukan penilaian keberhasilan yang bertujuan untuk mengetahui kesesuaian setiap kegiatan-kegiatan penangkaran yang telah dilakukan. Tujuan lain penilaian keberhasilan penangkaran yakni memperbaiki sistem pengelolaan penangkaran dan juga menjadi persyaratan dalam pengajuan perpanjangan izin usaha penangkaran setiap lima tahun (Ditjen PHKA 2001). Keberhasilan manajemen penangkaran satwa liar merupakan resultan dari banyak faktor yang terkait dengan penguasaan dan penerapan aspek teknis pengelolaan penangkaran yang baik, efektif, dan efisien (Masy’ud 2001 dalamRatnawati 2012).

(16)

2

aspek pada teknis penangkaran, yakni aspek perkandangan, aspek pakan, aspek perawatan kesehatan, dan aspek reproduksi.

Kesesuaian kandang penting untuk diperhatikan karena menunjang keberhasilan kegiatan penangkaran. Kesesuaian kandang meliputi jenis kandang, jumlah kandang, bahan penyusun kandang, fasilitas di dalam kandang, perawatan kandang, serta suhu dan kelembapan kandang (Azis 2013).

Faktor penentu lain yang penting untuk diteliti adalah pakan. Pakan merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan penangkaran satwa liar. Surung (2008) menjelaskan bahwa pakan adalah faktor pembatas (limiting factor) untuk jaminan keberlanjutan hidup dan perkembangbiakan satwa yang bernilai 70‒80% dari biaya produksi.

Aspek perawatan kesehatan penting untuk diperhatikan. Bebas dari rasa sakit, luka dan penyakit merupakan upaya pengelola penangkaran dalam merawat kesehatan dan mencegah kemungkinan satwa sakit atau menderita luka-luka (Eccleston 2009; Balaa dan Marie 2006). Menurut Setio dan Takandjandji (2007), kunci keberhasilan penangkaran adalah reproduksi karena dapat meningkatkan populasi dan produktivitas satwa yang ditangkarkan. Oleh karena itu, aspek reproduksi dilibatkan dalam penelitian ini.

Burung berkicau tidak hanya dipandang sebagai simbol keindahan seperti suara, warna, dan gerak-geriknya, melainkan menjadi komoditas yang bernilai ekonomi karena dapat diperdagangkan (Supriyadi 2008). Suatu usaha tidak akan dapat berjalan secara berkelanjutan tanpa adanya modal atau dana. Pertimbangan aspek ekonomi dalam suatu usaha perlu dilakukan untuk melihat secara detail gambaran modal atau investasi yang diperlukan untuk menunjang berlangsungnya suatu usaha dan mengidentifikasi biaya operasional yang dikeluarkan.

Faktor lain yang perlu dipertimbangkan untuk menunjang keberhasilan penangkaran adalah aspek sosial. Pentingnya peubah sosial masyarakat dalam kegiatan pelestarian ditunjukkan oleh hasil penelitian Purnamasari (2014) bahwa aspek sosial berkorelasi dengan keberhasilan penangkaran jalak bali di Desa Sumberklampok, Bali.

Sejauh ini penelitian mengenai cucak rawa hanya mengkaji aspek teknik penangkaran saja (Lestari 2014). Belum ada penelitian yang membahas mengenai faktor penentu keberhasilan penangkaran cucak rawa. Berdasarkan pemikiran tersebut, diperlukan penelitian mengenai faktor-faktor penentu keberhasilan penangkaran cucak rawa.

Perumusan Masalah

(17)

3 hasil penelitian Lestari (2014) yakni berupa analisis faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilan penangkaran cucak rawa.

Peraturan Dirjen PHKA No. 05 Tahun 2014 menjelaskan penangkaran adalah adalah upaya perbanyakan melalui pengembangbiakan dan pembesaran satwa liar dengan tetap memperhatikan kemurnian jenisnya. Menurut PP No. 8 Tahun 1999 dan Thohari et al. (2011) penangkaran adalah suatu kegiatan untuk mengembangbiakkan satwa liar dengan tujuan memperbanyak populasi agar menghindari kepunahan, tetapi tetap memertahankan kemurnian genetik sehingga kelestarian dan keberadaan jenis satwa dapat dipertahankan di habitat alaminya serta dalam rangka memanfaatkan satwa liar secara optimal.

Penangkaran cucak rawa memberikan manfaat ekologi dan ekonomi. Manfaat ekologi penangkaran cucak rawa yakni dapat ikut melestarikan populasi cucak rawa melalui upaya perkembangbiakan dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya. Sementara itu, manfaat ekonomi penangkaran cucak rawa adalah menjadi sumber penghasilan, baik sebagai penghasilan alternatif atau utama penangkar. Faktor-faktor penentu keberhasilan penangkaran perlu dikaji agar diketahui faktor kunci penentu keberhasilan penangkaran cucak rawa sehingga manfaat penangkaran cucak rawa dapat dicapai secara optimum dan berkelanjutan, serta kegiatan penangkaran dapat berjalan secara efektif dan efisien.

Keberhasilan suatu unit manajemen penangkaran satwa liar pada dasarnya dipengaruhi banyak faktor yang terkait dengan penguasaan dan penerapan aspek pengelolaan penangkaran yang baik dan handal (Masy’ud 2001 dalam Ratnawati 2012). Hasil analisis faktor-faktor penentu keberhasilan penangkaran diharapkan dapat menjadi bahan rekomendasi dalam meningkatkan keberhasilan penangkaran cucak rawa. Berdasarkan uraian tersebut, rumusan masalah penelitian ini sebagai berikut.

1. Bagaimana manajemen penangkaran cucak rawa pada masing-masing lokasi penelitian?

2. Faktor apakah yang menjadi penentu keberhasilan penangkaran cucak rawa? 3. Bagaimana model keberhasilan penangkaran cucak rawa?

4. Bagaimana tipologi penangkar cucak rawa yang berhasil?

5. Bagaimana analisis kelayakan finansial usaha penangkaran cucak rawa?

Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini sebagai berikut.

1. Menganalisis manajemen penangkaran cucak rawa pada masing-masing lokasi penelitian.

2. Menganalisis dan mensintesis faktor dominan penentu keberhasilan penangkaran cucak rawa.

3. Menentukan model keberhasilan penangkaran cucak rawa. 4. Menentukan tipologi penangkar cucak rawa yang berhasil.

(18)

4

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi suatu rekomendasi dan evaluasi dalam upaya meningkatkan keberhasilan pelestarian cucak rawa secara eksitu.

Kerangka Pemikiran

Cucak rawa marak diperdagangkan karena suaranya yang merdu. Nilai ekonomi cucak rawa cukup tinggi di kalangan penangkar cucak rawa. Menurut PP No. 7 Tahun 1999, pengelolaan satwa liar secara eksitu bertujuan meneyelamatkan sumber daya genetik dan meningkatkan populasinya dengan tetap mempertahankan kemurnian genetiknya. Penangkaran cucak rawa merupakan salah satu bagian dari konservasi keanekaragaman hayati di dalam menunjang pelestarian populasi cucak rawa melalui pengembangbiakan atau perbanyakan populasi cucak rawa di luar habitat alaminya (secara eksitu).

Hasil pengamatan pendahuluan di beberapa lokasi penangkaran cucak rawa menunjukkan ada penangkaran yang telah berhasil mengembangbiakkan cucak rawa yang ditangkarkan, tetapi ada juga yang tidak atau belum berhasil. Tingkat keberhasilan tersebut juga berbeda-beda. Perbedaan tersebut diduga karena terkait dengan perbedaan aspek teknis penangkaran, disamping karena stres akibat gangguan dari berbagai faktor termasuk aktivitas manusia di sekitar lokasi penangkaran. Mas’ud (2002) menjelaskan bahwa induk cucak rawa yang sedang mengerami telurnya harus dihindarkan dari berbagai gangguan karena dapat menyebabkan induknya tidak ingin meneruskan pengeraman telurnya bahkan dapat membuang telurnya, sehingga gagal berkembangbiak.

Ada banyak faktor yang diduga kuat sebagai penentu keberhasilan penangkaran satwa termasuk penangkaran cucak rawa, baik yang terkait dengan aspek teknis penangkaran seperti kandang dan fasilitas pendukungnya, pakan, kesehatan dan sanitasi lingkungan, maupun yang terkait dengan aspek ekonomi seperti permodalan dan biaya pemeliharaan, serta aspek sosial yang terkait dengan kapasitas pengetahuan dan keterampilan pengelola penangkarannya. Ratnawati (2012) juga menjelaskan bahwa keberhasilan penangkaran ditentukan oleh banyak faktor, diantaranya faktor teknis penangkaran, ekonomi, dan sosial.

Sejauh ini kajian tentang penangkaran cucak rawa lebih banyak ditekankan pada penerapan aspek teknis penangkaran, sedangkan kajian yang terkait dengan faktor penentu keberhasilan penangkarannya yang mengintegrasikan faktor teknis, sosial, dan ekonomi belum banyak dilakukan. Selain itu juga, belum ada informasi yang memberikan gambaran tentang model keberhasilan penangkaran cucak rawa. Berdasarkan hal tersebut, diperlukan penelitian mengenai keberhasilan penangkaran cucak rawa meliputi faktor penentu dan model keberhasilan penangkaran cucak rawa serta tipologi penangkar cucak rawa yang berhasil.

(19)

5 Untuk dapat menentukan model yang baik, diperlukan ketepatan dalam pemilihan variabel-variabel, baik variabel terikat (dependent) dan variabel bebas (independent). Pemilihan variabel terikat dan bebas didasarkan atas studi literatur, studi pendahuluan, dan pendapat para ahli penangkaran satwa liar. Penelitian ini menggunakan beberapa variabel yang merupakan keterwakilan dari beberapa aspek, antara lain teknis penangkaran, aspek ekonomi, dan aspek sosial (Gambar 1).

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian

:: Ruang lingkup penelitian

Peraturan Dirjen PHKA No 5 tahun 2014 menjelaskan bahwa tujuan penangkaran untuk mengembangbiakan satwa yang ditangkarkan

Masalah

Tidak semua penangkaran berhasil menangkarkan cucak rawa karena cucak rawa sensitif terhadap gangguan

Reasearch question

Bagaimana keberhasilan penangkaran cucak rawa?

Biologis

Fakta

Faktor-faktor yang memengaruhi

Aspek sosial Aspek ekonomi

Teknis penangkaran

Peubah yang paling berpengaruh (dominan)

Keberhasilan penangkaran

(20)

6

2

TINJAUAN PUSTAKA

Bioekologi Cucak Rawa Taksonomi

Burung cucak rawa dalam Bahasa Inggris dikenal sebagai straw-headed bulbul (Shepherd et al. 2013). Masyarakat Medan menyebut burung ini dengan sebutan barau-barau, sedangkan di Lampung cucak rawa disebut baro-baro (Iswantoro 2008; Sudrajad 1999). Selain itu juga, di Maluku burung tersebut dikenal dengan nama burung siang (Sudrajad 1999) (Gambar 1).

Klasifikasi dan sistematika cucak rawa adalah sebagai berikut. Kerajaan : Animalia

Filum : Chordata Sub-Filum : Vertebrata

Kelas : Aves

Ordo : Passeriformes Famili : Pycnonotidae Genus : Pycnonotus

Spesies : Pycnonotus zeylanicus Gmelin, 1789

Cucak rawa memilik lima jenis burung berdasarkan daerah aslanya. Jenis-jenis tersebut diantaranya cucak rawa asal Medan, Aceh, Lampung, Sumatera Selatan, Jambi, dan Riau, serta Kalimantan (Turut 1999).

Habitat dan penyebaran

Menurut Alikodra (2002), habitat satwa liar merupakan suatu kesatuan dari faktor fisik maupun biotik yang digunakan untuk memenuhi semua kebutuhan hidupnya. Habitat alami cucak rawa adalah di daerah yang berawa, bersemak, atau disekitar hutan yang banyak ditumbuhi pepohonan yang tinggi dan rimbun serta dekat dengan sumber air yang jernih (Turut 1999; Sudrajad 1999). Pendapat ini diperkuat dengan hasil penelitian Fishpool dan Tobias (2005) dalam Shepherd et al. (2013) yang menyatakan bahwa habitat utama cucak rawa berada di hutan dan

(21)

7 semak belukar dengan ketinggian rendah, serta paling sering dijumpai berada di dekat sungai dan badan air yang terbuka. Mas’ud (2002) menambahkan bahwa cucak rawa dapat hidup di daerah dataran rendah sampai ketinggian sekitar 1 050 mdpl. Cucak rawa lebih sering dijumpai di pohon-pohon bakau dan di tebing daerah pekapuran, tetapi tidak dapat ditemukan di daerah perbukitan.

Penyebaran cucak rawa umumnya berada di wilayah Semananjung Malaya (Sabah dan Serawak), Pulau Sumatera, Pulau Nias, Pulau Kalimantan, dan Pulau Jawa (Iswantoro 2008; Turut 1999). Pada awalnya penyebaran cucak rawa hingga Mynmar Selatan, Thailand Selatan, Semenanjung Malaysia dan Singapura, serta Indonesia, yakni Pulau Kalimantan (kecuali Kalimantan Selatan, Pulau Jawa, dan Pulau Sumatera (Shepherd et al. 2013).

Karakteristik bioekologis

Cucak rawa merupakan jenis burung arboreal karena menghuni pohon-pohon yang lebat dan rimbun dengan ketinggian pohon mencapai 60 meter serta hidupnya berkelompok (Turut 1999). Sudrajad (1999) menjelaskan bahwa walaupun cucak rawa hidup berkelompok, tetapi ketika mencari makan mereka soliter (sendiri-sendiri). Mas’ud (2002) menambahkan bahwa cucak rawa termasuk jenis arboreal sempurna (hidup di atas pohon), tidak pernah terlihat di tanah. Sistem sosial cucak rawa terbagi menjadi dua kelompok yakni kelompok kecil dan kelompok besar. Kelompok kecil terdiri dari 3‒5 ekor, yang umumnya terdiri dari sepasang induk dan anakannya, sedangkan kelompok besar yakni berjumlah 5‒6 ekor.

Cucak rawa produktif ketika berumur 3‒4 tahun (Turut 1999). Jumlah telur yang dihasilkan oleh cucak rawa rata-rata 2 butir, walaupun terkadang ada yang menghasilkan 3 butir setiap musim kawin. Menurut Mas’ud (2002) cucak rawa berkembangbiak pada bulan Januari, Maret, Mei, Juni, Agustus, dan Oktober. Masa pengeraman telur selama 12‒14 hari yang dilakukan cucak rawa (Sudrajad 1999). Menurut Iswantoro (2008), pada masa pengeraman cucak rawa menjadi sensitif dan agresif sehingga pengelola penangkaran harus menjauhkannya dari suara gaduh dan gangguan-gangguan predator misalnya kucing, tikus, burung lain, dan lalu lalang manusia.

Cucak rawa pada saat musim berkembangbiak mulai menyusun sarang yang

berbentuk seperti cawan dengan diameter kurang lebih 10 cm dan kedalaman 2.5 cm. Komponen penyusun sarang tersebut antara lain tumbuhan yang menjalar

dengan dedauanan kecil agak tebal, dijalin dengan berlembar-lembar batang merambat tanpa daun. Sarang tersebut diletakkan di semak-semak atau pohon yang rendah dengan ketinggian 1.5‒4.5 m dari permukaan tanah (Mas’ud 2002).

Teknik Penangkaran Aspek perkandangan

(22)

8

memerlukan kombinasi lingkungan yang tepat untuk dapat mempertahankan hidupnya. Berdasarkan hal tersebut, kandang cucak rawa perlu dilengkapi fasilitas kandang untuk memenuhi kehidupannya seperti di habitat alaminya.

Kandang berkaitan dengan salah satu komponen kesejahteraan satwa yakni komponen bebas dari ketidaknyaman lingkungan. Eccleston (2009) menyatakan bahwa komponen bebas dari rasa tidak nyaman yaitu tersedianya kondisi lingkungan yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan hidup dan perkembangbiakan satwa di penangkaran. Menurut Peraturan Ditjen PHKA No P.9/VI-SET/2011, komponen bebas dari ketidaknyamanan lingkungan merupakan komponen yang disebabkan oleh cuaca yang tidak sesuai dengan habitat jenis satwa. Bebas mengekspresikan tingkah laku alamiah merupakan komponen kesejahteraan yang erat kaitannya dengan ketersediaan kandang yang memadai untuk memenuhi kebutuhan biologis dan aktivitas harian satwa (Balaa dan Marie 2006). Oleh karena itu, diperlukan fasilitas kandang yang dapat memnuhi kebutuhan cucak rawa di penangkaran sehingga cucak rawa dapat berkembangbiak dengan maksimal karena prinsip-prinsip kesejahteraan satwa terpenuhi dengan baik.

Menurut Mas’ud (2002), hal yang perlu diperhatikan dalam membuat kandang penangkaran cucak rawa yakni ukuran dan konstruksi kandang, sarana pendukung di dalam kandang, serta kondisi lingkungan kandang. Lestari (2014) menjelaskan bahwa penangkaran cucak rawa di Mega Bird and Orchid Farm

memiliki tiga jenis kandang cucak rawa yang masing-masing memiliki fungsi yang berbeda-beda, yakni kandang reproduksi, kandang pembesaran, dan kandang inkubator. Kandang reproduksi berfungsi sebagai tempat perkawinan indukan dan tempat berlangsungnya proses reproduksi serta terkadang diperuntukan untuk proses menjodohkan cucak rawa. Ukuran minimal kandang reproduksi cucak rawa yang ideal dalam memberikan ruang gerak adalah 2 m x 1.5 m x 2.5 m. Kandang reproduksi cucak rawa terletak dibagian dalam dan lebih tertutup jika dibandingkan kandang lainnya. Fasilitas kandang reproduksi di antaranya tempat pakan, tempat minum, tempat mandi, tempat bertengger, pohon, dan tempat bersarang (Lestari 2014). Setio dan Takandjandji (2007) menambahkan bahwa diperlukan kandang yang di dalamnya dilengkapi fasilitas agar menyerupai habitat alami cucak rawa, yakni dengan cara menanam pohon-pohon pelindung di dalam kandang.

Suhu dan kelembapan di kandang reproduksi akan berpengaruh terhadap reproduksi cucak rawa. Decuypere dan Michels (1992) melaporkan bahwa temperatur merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam menentukan atau memengaruhi perkembangan embrio, lama tetas, daya tetas, dan pertumbuhan setelah menetas. Suhu dan kelembapan kandang reproduksi cucak rawa di penangkaran Mega Bird and Orchid Farm adalah berkisar antara 26.5‒31°C dengan kelembaban 85‒92% (Lestari 2014). Griffith et al. (2016) menjelaskan bahwa embrio pada telur burung berordo Passeriformes tidak berkembang dan mati pada suhu >40.5°C.

Kandang pembesaran (sangkar) diperuntukan untuk tempat pemeliharaan anakan yang berusia 1 bulan sampai <3 tahun. Fasilitas kandang pembesaran antara lain tempat pakan, tempat minum, dan tempat bertengger. Fungsi dari kandang inkubator adalah untuk memelihara piyik (sebutan anak cucak rawa berusia 0 bulan

(23)

9 Kandang/kotak inkubator digunakan untuk menghangatkan anak cucak rawa yang baru dilahirkan. Anak cucak rawa yang baru menetas setelah berusia 7 hari akan dipindahkan oleh animal keeper dari kandang reproduksi untuk di masukkan ke dalam kandang/kotak inkubator. Fasilitas yang disediakan penangkar pada kandang/kotak inkubator di antaranya sarang, lampu, kipas angin atau pengatur kelembapan (Lestari 2014).

Aspek pakan

Pakan merupakan salah satu komponen kesejahteraan satwa yang harus diperhatikan. Menurut Peraturan Ditjen PHKA No P.9/VI-SET/2011 satwa yang berada di luar habitat alaminya wajib dipenuhi mutu pakan dan minum dengan memperhatikan jenis, jumlah, serta frekuensi pemberian pakan dan minum, menu pakan, serta cara penyajian pakan bagi pemenuhan kebutuhan dasar satwa. Pakan yang diberikan kepada burung harus megandung enam zat makanan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yaitu karbohidrat, lemak, protein, vitamin, dan air (Widodo 1995). Hasil penelitian Haryoko (2008) menjelaskan bahwa kuantitas dan kualitas nutrisi yang cukup pada pakan diperlukan oleh tubuh burung untuk memenuhi kebutuhan hidup dan perkembangbiakannya. Hal ini berarti bahwa jika kebutuhan pakan cucak rawa di penangkaran terpenuhi, cucak rawa dapat hidup dan berkembangbiak dengan baik.

Menurut Turut (1999), cucak rawa di alam memakan jenis buah-buahan yang terdapat di hutan, seperti pisang, pepaya, ceri, dan jambu. Pakan hewani cucak rawa di alam berasal dari siput sungai, kumbang kecil, lebah penggerek, telur semut merah, rayap, belalang, dan cacing tanah (Mas’ud 2002). Lestari (2014) menjelaskan bahwa cucak rawa di penangkaran diberikan pakan berupa pepaya atau pisang kepok, pur, dan jangkrik.

Aspek kesehatan dan perawatan

Kesehatan merupakan salah satu faktor penting yang akan menentukan keberhasilan penangkaran cucak rawa. Bebas dari rasa sakit, luka, dan penyakit adalah upaya pengelola dalam merawat kesehatan satwa dan mencegah kemungkinan satwa jatuh sakit atau menderita luka-luka (Eccleston 2009; Balaa dan Marie 2006). Menurut Peraturan Ditjen PHKA No P.9/VI-SET/2011 bebas dari rasa sakit, luka, dan penyakit adalah apabila telah terpenuhinya kebutuhan satwa salah satunya yaitu perawatan kesehatan dari dokter hewan dan paramedik untuk mencegah serta mengobati luka dan penyakit yang diderita oleh satwa.

Eccleston (2009) menjelaskan bahwa bebas dari rasa takut dan tertekan adalah menjamin kondisi dan perlakuan satwa dengan baik untuk menghindari satwa dari ancaman takut, stress, dan kesusahan. Rasa takut dan stres pada satwa akan berpengaruh pada kehidupan satwa yang akan memengaruhi kesejahteraan mental dan fisik, pertumbuhan, serta kemampuan reproduksi satwa (Jones dan Waddington 1992). Draper dan Harris (2012) menyatakan bahwa untuk menghindari terjadinya stres pada satwa maka sebaiknya satwa terhindar dari kontak fisik dengan pengunjung.

(24)

10

kesehatan cucak rawa. Di samping itu juga, ventilasi udara dan sirkulasi udara di dalam kandang juga harus diperhatikan.

Aspek reproduksi

Menurut Setio dan Takandjandji (2007), reproduksi adalah kunci keberhasilan suatu penangkaran untuk meningkatkan populasi dan produktivitas satwa yang ditangkarkan. Pengetahuan mengenai cara membedakan jenis kelamin jantan dan betina cucak rawa sangat diperlukan untuk menunjang keberhasilan perkembangbiakannya. Apabila pengelola salah dalam menentukan jenis kelamin cucak rawa yang akan dijodohkan maka proses reproduksi tidak akan berhasil. Menurut Lestari (2014), pengelola penangkaran Mega Bird and Orchid Farm dapat membedakan burung cucak rawa jantan atau betina pada umur satu tahun dengan melihat suara, tingkah laku, dan bentuk morfologi (Tabel 1 dan Gambar 2).

Tabel 1 Faktor pembeda cucak rawa jantan dan betina

Faktor pembeda Jantan Betina

Suara Sangat keras dan nyaring Tidak keras dan cukup nyaring

Bentuk kepala

Agak bulat dan setelah dewasa tidak terdapat belahan bulu pada kepalanya

Agak pipih dan setelah dewasa tidak terdapat

belahan bulu pada kepalanya

Ekor Lebih panjang Lebih pendek

Bulu dada Warna hitam yang tidak jelas pada bulu dadanya

Warna hitam dan putih yang jelas

Gambar 2 Pasangan cucak rawa; a) jantan, b) betina Bulu dada

berwarna hitam keabu-abuan

Bulu dada berwarna hitam legam

Bulu dada berwarna hitam keabu-abuan

(25)

11 Setelah pengelola menentukan jenis kelamin cucak rawa, pengelola penangkaran melakukan proses penjodohan. Mas’ud (2002) menjelaskan terdapat dua tipe penjodohan cucak rawa yakni menjodohkan secara berkelompok di dalam kandang besar dan menjodohkan di dalam kandang soliter. Proses penpjodohan berhasil apabila terlihat ada pasangan cucak rawa yang saling tertarik. Hal ini ditandai dengan cucak rawa terlihat saling berdekatan, terlihat tenang, terbang berkejaran, serta terkadang terdengar kicauan dari jantan dan betina secara bergantian. Namun, apabila pasangan tidak cocok ditandai dengan adanya perkelahian diantara kedua pasangan (Lestari 2014).

Menurut Mas’ud (2002), cucak rawa menyusun sarang yang berbentuk cawan dengan diameter 10 cm dan kedalaman 2.5 cm. Sarang tersebut tersusun dari tumbuhan yang menjalar dengan dedaunan kecil agak tebal, dijalin dengan berlembar-lembar batang merambat tanpa daun. Macwhirter (2013) menjelaskan bahwa ordo Passeriformes membuat sarang dengan memanfaatkan sabut kelapa yang ada di hutan. Li et al. (2015) menambhakan bahwa cucak jambul atau cucak cambang merah (Pycnonotus jocosus) membuat sarang di alam bebas dengan memanfaatkan akar-akar yang halus atau daun rumput yang tipis yang dibentuk mangkuk

Menurut Mas’ud (2002), jumlah telur yang dihasilkan setiap musim kawin pada umumnya 2 butir. Telurnya berukuran 26.45 mm x 19.35 mm (cucak rawa kalimantan) dan 25.25 mm x 18.75 mm (cucak rawa sumatera). Bentuk telurnya seperti telur burung puyuh dengan ujung yang lebih tumpul serta warna dasarnya putih pucat dengan bercak-bercak berwarna abu-abu, cokelat, dan keunguan. Mas’ud (2002) dan Iswantoro (2008) mengatakan bahwa masa mengerami atau inkubasi telur cucak rawa berkisar 12‒14 hari.

Aspek Ekonomi

Ketersediaan finansial perlu dipertimbangkan untuk menunjang keberhasilan penangkaran cucak rawa karena ketersediaan dana merupakan faktor pembatas. Aspek ekonomi berkaitan dalam menentukan kebutuhan jumlah dana dan pengalokasiannya sehingga memberikan keuntungan bagi investor (Surahman 2010). Aspek finansial merupakan suatu gambaran yang bertujuan untuk menilai keberlanjutan suatu usaha dengan melihat beberapa indikator yakni modal usaha, keuntungan bersih, dan biaya operasional yang dikeluarkan.

Slamet (1985) dalamAmba (1998) dalam Puranamasari (2014) menyatakan bahwa partisipasi ditentukan oleh kemampuan, kemauan, dan kesempatan. Kemampuan dan kesempatan erat kaitannya dengan pendapatan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Madrie (1986) dalamAmba (1998) dalamPuranamasari (2014) bahwa besar pendapatan berkorelasi positif dengan kemampuan dan kesanggupan untuk berpartisipasi dalam suatu kegiatan.

(26)

12

Aspek Sosial

Peran peubah masyarakat dalam upaya pelestarian suatu spesies perlu diteliti lebih lanjut. Pentingnya peubah sosial masyarakat dalam kegiatan pelestarian ditunjukkan oleh hasil penelitian Syarif (2010) yang mendapatkan adanya korelasi positif antara pertumbuhan tinggi pohon kedawung dan tingkat afeksi yang ditunjukkan oleh petani yang menanamnya. Hasil penelitian Purnamasari (2013) menunjukkan bahwa keberhasilan penangkaran jalak bali di Desa Sumberklampok berhubungan dengan keikutsertaan penangkar dalam organisasi penangkar, pengetahuan mengenai ekologi jalak bali, pengetahuan lokal mengenai keberadaan jalak bali di Desa Sumberklampok.

Menurut Purnamasari (2014) karakteristik sosial penangkar yang terukur secara kuantitatif penting untuk dikaji terkait dengan keberhasilan penangkaran. Peubah-peubah yang berkolerasi positif dengan kelahiran burung jalak bali di Desa Sumberklampok adalah pengetahuan lokal keberadaan jalak bali, modal yang dikeluarkan untuk memulai kegiatan penangkaran, lama menangkar dan pengetahuan mengenai jalak bali. Peubah frekuensi perawatan burung dan biaya operasional berkorelasi nyata dengan kematian burung (Purnamasari 2014). Kegiatan pelestarian dapat dipengaruhi oleh karakteristik internal manusia yang melakukannya dan juga tingkat kebutuhannya. Karakteristik internal merupakan karaktersitik individu atau ciri yang dimiliki seseorang yang berhubungan dengan aspek kehidupan dan lingkungannya (Sampson 1976 dalamRakhmat 2001). Lama menangkarkan cucak rawa

Menurut Purnamasari (2014) salah satu peubah yang berkolerasi positif dengan kelahiran burung jalak bali di Desa Sumberklampok adalah lama menangkarkan jalak bali. Berdasarkan hal tersebut, lama waktu menangkarkan berhubungan dengan pengetahuan yang dimilikinya. Zahid (1997) menambahkan bahwa pengetahuan adalah sekumpulan informasi yang dipahami dan diperoleh melalui proses belajar selama hidup dan dapat digunakan sewaktu-waktu sebagai alat penyesuaian diri sendiri maupun lingkungannya. Pengetahuan merupakan ingatan tentang hal-hal yang pernah dipelajari baik itu berbentuk fakta, kaidah, prinsip, ataupun metode (Winkel 1987) dalam Sujarwo (2004).

Curahan waktu dan frekuensi perawatan cucak rawa

Curahan waktu dan frekuesni perawatan cucak rawa berkaitan dengan perawatan dan pemeliharaan cucak rawa. Peubah frekuensi perawatan burung berkorelasi nyata dengan kematian burung (Purnamasari 2014).

3

METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

(27)

13 Objek Penelitian

Objek penelitian yang diamati adalah cucak rawa (Pycnonotus zeylanicus) dan sistem manajemen penangkarannya. Kriteria lokasi penangkaran yang menjadi objek penelitian adalah penangkaran yang telah berhasil menetaskan cucak rawa (mampu berkembangbiak) dan telah memperdagangkan satwa yang ditangkarkannya (generasi F2).

Alat dan Instrumen

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis, termometer dry-wet, timbangan digital, kamera, pita ukur. Sementara itu, instrumen yang digunakan dalam penelitian adalah panduan wawancara.

Jenis dan Metode Pengumpulan Data

Data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua yakni data primer dan data sekunder (Tabel 2).

Tabel 2 Jenis dan metode pengumpulan data keberhasilan penangkaran

Data yang diambil

Metode pengumpulan data

Pengamatan Pengukuran Wawancara Studi

pustaka

Data Primer

A. Teknik penangkaran

 Aspek perkandangan   

 Aspek pakan   

 Aspek perawatan kesehatan  

 Aspek reproduksi  

B. Aspek ekonomi

 Modal atau investasi 

 Biaya operasional/bulan 

C. Aspek sosial

 Lama waktu menangkarkan  

Data sekunder

Bioekologi 

Data primer

A.Teknik penangkaran

Data-data yang dikumpulkan untuk mengkaji teknik penangkaran cucak rawa sebagai berikut.

a) Aspek perkandangan, meliputi jenis, jumlah, bentuk, ukuran, dan konstruksi; fasilitas kandang; serta suhu dan kelembapan kandang. Data mengenai ukuran kandang dilakukan dengan cara mengukur panjang, lebar, dan tinggi kandang.

Pengukuran suhu dan kelembapan kandang dilakukan pada pukul 07.00‒08.00 WIB, 08.00‒09.00 WIB, 09.00‒10.00 WIB, 10.00‒11.00 WIB,

(28)

14

selama 7 hari pada masing-masing lokasi. Pengukuran suhu dan kelembapan dilakukan dengan cara menggantungkan termometer dry-wet di dalam kandang. Informasi mengenai jenis, bentuk, konstruksi, jumlah, dan fasilitas kandang dilakukan dengan cara pengamatan langsung dan wawancara dengan animal keeper.

b) Aspek pakan, meliputi jenis pakan dan jumlah konsumsi; kandungan gizi pakan; serta waktu pemberian, frekuensi, dan cara pemberian pakan. Pengamatan dan pengukuran jumlah konsumsi selama 7 hari dengan cara menimbang setiap jenis pakan yang diberikan pada pagi dan sore hari. Pengumpulan data mengenai jenis, waktu pemberian, frekuensi, dan cara pemberian pakan dilakukan dengan cara pengamatan langsung dan wawancara kepada animal keeper.

c) Aspek perawatan kesehatan, meliputi kegiatan dan curahan waktu perawatan; jenis penyakit, pencegahan, dan upaya pengobatan; serta jenis obat dan vitamin yang diberikan. Pengumpulan data mengenai aspek kesehatan dilakukan dengan cara pengamatan langsung dan wawancara kepada animal keeper.

d) Aspek reproduksi, meliputi pemilihan bibit, penentuan jenis kelamin, teknik pemasangan atau penjodohan dan seks rasio, peneluran, pengeraman, penetasan, pembesaran, persentase daya tetas telur, dan jumlah induk produktif. Pengumpulan data mengenai aspek reproduksi dilakukan dengan cara pengamatan langsung dan wawancara kepada animal keeper.

B. Aspek Ekonomi

Pengumpulan data aspek ekonomi dilakukan dengan wawancara kepada pemilik penangkaran cucak rawa. Data-data yang dikumpulkan untuk mengkaji aspek ekonomi, di antaranya:

a) Modal atau investasi, yakni jumlah dana yang dikeluarkan saat memulai kegiatan penangkaran.

b) Biaya operasional, yakni jumlah dana yang dikeluarkan untuk biaya operasional penangkaran setiap bulannya.

c) Kriteria kelayakan finansial, dilakukan dengan membuat asumsi-asumsi biaya dan pemasukan berdasarkan hasil pengamatan di lokasi penelitian. Analisis kelayakan finansial menggunakan tiga kriteria utama yakni net present value (NPV), net benefit cost ratio (Net B/C), dan internal rate of return (IRR)(Kadariah 1999), setelah itu dilakukan analisis break event point

(BEP). C.Aspek sosial

(29)

15 diperolehnya sehingga pengetahuan mengenai keberhasilan penangkaran tinggi semakin luas. Zahid (1997) menambahkan bahwa pengetahuan adalah sekumpulan informasi yang dipahami dan diperoleh melalui proses belajar selama hidup dan dapat digunakan sewaktu-waktu sebagai alat penyesuaian diri sendiri maupun lingkungannya.

Data yang diambil untuk menganalisis variabel dominan dan model keberhasilan penangkaran, antara lain variabel dependent (variabel terikat) dan variabel independent (variabel bebas). Berikut ini penjelasan mengenai dasar pemilihan variabel-variabel tersebut.

1. Variabel terikat (Y)

Variabel terikat (Y) adalah keberhasilan penangkaran cucak rawa yang dilihat dari dua aspek, yakni jumlah kelahiran burung (Y1) dan jumlah kematian burung (Y2).

a. Kelahiran burung (Y1)

Kelahiran burung merupakan jumlah kelahiran anakan pada setiap indukan selama satu tahun. Kelahiran burung merupakan indikator dalam menentukan keberhasilan penangkaran karena jumlah satwa yang ditangkarkan bertambah sehingga populasinya meningkat. Hal ini didukung oleh pendapat Setio dan Takandjandji (2007) bahwa reproduksi adalah kunci keberhasilan suatu penangkaran untuk meningkatkan populasi dan produktivitas satwa yang ditangkarkan.

b. Kematian burung (Y2)

Kematian burung yakni jumlah kematian burung (anakan dan indukan) selama satu tahun. Permenhut Nomor P.19/Menhut-II/2005 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar menjelaskan bahwa standar kualifikasi penangkaran dapat dilihat dari kemapuan reproduksi dan laju kematian. Variabel kematian burung dimasukkan dalam variabel keberhasilan penangkaran karena kematian burung berdampak pada jumlah populasi satwa yang ditangkarkan menjadi berkurang, sedangkan tujuan penangkaran untuk memperbanyak melalui pengembangbiakan.

2. Variabel bebas (X)

Variabel bebas (X) merupakan keterwakilan dari aspek teknik penangkaran, aspek ekonomi, dan aspek sosial. Variabel bebas aspek penangkaran adalah aspek pakan, aspek perawatan kesehatan, dan aspek reproduksi. Aspek perkandangan tidak dimasukkan ke dalam variabel bebas karena diwakilkan oleh modal/investasi. Modal yang dikeluarkan saat memulai kegiatan penangkaran akan memengaruhi kesesuaian kandang yang akan dibuat. Kesesuaian kandang tersebut, antara lain jenis kandang, jumlah kandang, bahan penyusun kandang, fasilitas di dalam kandang, perawatan kandang (Azis 2013). Variabel pada aspek ekonomi yang dimaksud adalah modal/investasi, sedangkan variabel dalam aspek sosial yakni lama menangkarkan. Variabel bebas (X) dalam penelitian ini sebagai berikut. a. Jumlah konsumsi jangkrik (X1)

(30)

16

jumlah dan frekuensi pemberian pakan dan minum, menu pakan, serta cara penyajian pakan bagi pemenuhan kebutuhan dasar satwa. Jangkrik merupakan pakan hewani yang diberikan pengelola untuk memenuhi kebutuhan protein hewan cucak rawa karena cucak rawa di alam mengonsumsi serangga. Pakan hewani cucak rawa di alam berasal dari siput sungai, kumbang kecil, lebah penggerek, telur semut merah, rayap, belalang, dan cacing tanah (Mas’ud 2002).

b. Jumlah konsumsi pisang (X2)

Dasar penetapan jumlah konsumsi pisang dalam penelitian ini karena cucak rawa merupakan burung yang termasuk ke dalam kelompok frugivora. Burung-burung pemakan buah (frugivora) yang kadang-kadang memakan serangga terdiri atas spesies yang umum dijumpai di berbagai tipe habitat hutan sekunder, seperti genus Megalaima, Macropygia, Ptilinopus, dan Pycnonotus (MacKinnon et al.

2000).

c. Curahan waktu perawatan (X3)

Curahan waktu perawatan cucak rawa adalah jumlah waktu per hari yang digunakan untuk merawat cucak rawa. Hal ini berkaitan dengan perawatan dan pemeliharaan cucak rawa. Curahan waktu perawatan berkaitan dengan kesehatan burung. Kesehatan merupakan salah satu faktor penting yang akan menentukan keberhasilan penangkaran burung cucak rawa. Bebas dari rasa sakit, luka, dan penyakit adalah upaya pengelola dalam merawat kesehatan satwa dan mencegah kemungkinan satwa jatuh sakit atau menderita luka-luka (Eccleston 2009; Balaa dan Marie 2006). Oleh karena itu, curahan waktu perawatan perlu dipertimbangkan dalam penelitian ini.

d. Jumlah induk produktif (X4)

Dasar pertimbangan melibatkan variabel ini karena jumlah induk produktif berkaitan dengan tingkat perkembangbiakan sehingga dapat memengaruhi jumlah telur yang dihasilkan. Burung pada umur produktif dengan kondisi pakan yang cukup, biasanya jumlah telurnya akan lebih banyak (Dhondt et al. 2000).

e. Daya tetas telur (X5)

Daya tetas adalah angka yang menunjukkan tinggi rendahnya kemampuan telur untuk menetas (Zulkarnain et al. 2015). Semakin banyak jumlah telur yang berhasil ditetaskan oleh induk cucak rawa maka semakin banyak populasi cucak rawa yang ditangkarkan. Permenhut Nomor P.19/Menhut-II/2005 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar menjelaskan bahwa keberhasilan suatu penangkaran dapat dilihat dari tingkat daya tetas telur. Oleh karena itu, daya tetas telur dipertimbangkan dalam penelitian ini.

f. Modal (X6)

(31)

17 reproduksi (Azis 2013). Oleh karena itu, variabel ini dipertimbangkan dalam menentukan keberhasilan penangkaran.

g. Biaya operasional per bulan (X7)

Biaya operasional yang dimaksud, yakni biaya variabel bebas serta biaya variabel tetap. Menurut Mas’ud (2010), biaya pemenuhan pakan satwa merupakan biaya terbesar dalam kegiatan penangkaran satwa. Surung (2008) menjelaskan bahwa pakan adalah faktor pembatas (limiting factor) untuk jaminan keberlanjutan hidup dan perkembangbiakan satwa yang bernilai 70‒80%.

h. Lama menangkarkan (X8)

Lama waktu menangkarkan dapat dikaitkan dengan pengetahuan yang dimilikinya. Zahid (1997) menambahkan bahwa pengetahuan adalah sekumpulan informasi yang dipahami dan diperoleh melalui proses belajar selama hidup dan dapat digunakan sewaktu-waktu sebagai alat penyesuaian diri sendiri maupun lingkungannya. Pengetahuan merupakan ingatan tentang hal-hal yang pernah dipelajari baik itu berbentuk fakta, kaidah, prinsip, ataupun metode (Winkel 1987 dalam Sujarwo 2004). Menurut Purnamasari (2014), salah satu peubah yang berkolerasi positif dengan kelahiran burung jalak bali di Desa Sumberklampok adalah lama menangkarkan jalak bali. Oleh karena itu, lama menangkarkan cucak rawa dimasukkan dalam penelitian ini.

Data sekunder

Data-data sekunder digunakan untuk mendukung penelitian yang diperoleh dari studi pustaka. Data yang diambil, meliputi habitat, perilaku, dan penyebaran cucak rawa.

Analisis Data Teknik penangkaran

Data mengenai teknik penangkaran dianalisis secara deskriptif dengan ilustrasi berupa gambar dan tabel. Di samping itu juga, dilakukan analisis kuantitatif, yakni aspek pakan dan reproduksi (Tabel 3).

Tabel 3 Analisis kuantitatif aspek pakan dan reproduksi

Jumlah konsumsi pakan Persentase daya tetas telur

JK = B-b

Keterangan:

JK = jumlah konsumsi

B = berat pakan sebelum diberikan B = berat pakan sisa

DT = x %

Keterangan:

DT = presentase daya tetas telur

a= Σ telur yang berhasil menetas

(32)

18

Faktor dominan penentu keberhasilan penangkaran

Penentuan faktor dominan yang berkontribusi terhadap keberhasilan penangkaran cucak rawa dianalisis menggunakan analisis komponen utama

(PCA-principle componenet analysis). Variabel yang dianalisis dengan PCA, antara lain X1= jumlah konsumsi jangkrik; X2= jumlah konsumsi pisang; X3= curahan waktu perawatan; X4= jumlah induk produktif ; X5= daya tetas telur; X6= modal; X7= biaya operasional per bulan; X8= lama menangkarkan cucak rawa.

Analisis komponen utama menyederhanakan variabel bebas dan menghilangkan korelasi antara variabel bebas tersebut, tetapi tetap mewakili informasi dari variabel bebas yang asli (Iriawan dan Astuti 2006). Selanjutnya, variabel baru ini dinamakan komponen utama (principle componenet). Beberapa aspek yang perlu diperhatikan pada analisis komponen utama sebagai berikut.

1. Kaiser-meyer-olkin (KMO) dan barlett test (BT)

Pengujian untuk melihat analisis faktor layak atau tidak layak dengan melakukan uji Kaiser-Meyer-Olkin (KMO). Apabila nilai KMO berkisar antara 0.5 sampai dengan 1, analisis faktor layak digunakan. Namun, jika nilai KMO kurang dari 0.5, analisis faktor tidak layak dilakukan. Sementara itu, pengujian BT digunakan untuk menguji apakah benar variabel-variabel yang dilibatkan berkorelasi. Jika nilai signifikansi BT<0.05, terdapat korelasi antar variabel bebas (X) sehingga analisis PCA dapat dilanjutkan ke tahap berikutnya. Berikut hipotesis BT.

2. Measure of sampling adequay (MSA)

Untuk melihat korelasi antarvariabel bebas (X1, X2, X3, X4, X5, X6, X7, X8), dapat diperhatikan Tabel Anti-Image Matrices. Nilai yang diperhatikan adalah MSA (Measure of Sampling Adequacy). Nilai MSA ditunjukkan pada baris Anti Image Correlation dengan tanda "a".Nilai MSA berkisar antara 0 hingga 1 dengan ketentuan sebagai berikut (Santoso 2002).

1. MSA = 1, artinya variabel dapat diprediksi tanpa kesalahan oleh variabel yang lain.

2. MSA > 0.5, artinya variabel masih bisa diprediksi dan bisa dianalisis lebih lanjut. 3. MSA < 0.5, artinya variabel tidak bisa diprediksi dan tidak bisa dianalisis lebih

lanjut atau dikeluarkan dari variabel lainnya.

Apabila terdapat variabel yang memiliki nilai MSA <0.5, variabel tersebut dikeluarkan (keluarkan variabel yang memiliki nilai MSA terkecil dahulu jika ada dua variabel yang memilki nila MSA <0.5). Kemudian, ulangi pengujian Kaiser-Meyer-Olkin (KMO), Barlett Test, dan MSA sampai variabel-variabel yang diujikan memiliki nilai MSA >0.5. Tujuannya untuk diketahui variabel yang dapat diproses lebih lanjut dan variabel yang harus dikeluarkan karena tidak memiliki korelasi (Santoso dan Tjiptono 2001).

Setelah analisis KMO, Barlett Test, dan MSA dilakukan, akan terbentuk variabel-variabel yang digunakan untuk uji lanjut. Uji lanjut yang dilakukan yakni menentukan nilai akar ciri (eigenvalue). Pengujian ini digunakan untuk menentukan komponen utama (principle component-PC) yang mewakili variabel bebas dengan melihat besarnya proporsi varian (keragaman) yang dijelaskan. Eigenvalue

(33)

19

component-PC) dalam menghitung varian (keragaman) dari variabel yang dianalisis. Susunan eigenvalue selalu diurutkan dari yang terbesar sampai yang terkecil dengan kriteria bahwa angka eigenvalue di bawah 1 tidak digunakan dalam menghitung jumlah faktor yang terbentuk (Santoso 2002).

Model keberhasilan penangkaran

Setelah komponen baru terbentuk dari hasil PCA, komponen-komponen tersebut menjadi variabel bebas baru yang akan diregresikan atau dianalisis

pengaruhnya terhadap variabel tidak bebas (Y1= kelahiran burung dan Y2= kematian burung) dengan menggunakan analisis regresi komponen utama.

Analisis regresi komponen utama merupakan teknik analisis regresi yang dikombinasikan dengan hasil analisis komponen utama, artinya analisis komponen utama dijadikan sebagai tahap analisis.

Analisis regresi komponen utama menggunakan metode stepwise yang diolah dengan bantuan software SPSS (IBM SPSS Statistics 22) sehingga akan menghasilkan model keberhasilan penangkaran cucak rawa. Metode ini memiliki keunggulan karena model yang dihasilkan tidak memiliki masalah multikolinearitas, artinya tidak ada hubungan diantara variabel bebas dalam penelitian ini sehingga model yang dihasilkan tidak bias (Iriawan dan Astuti 2006).

Keberhasilan penangkaran cucak rawa dilihat dari kelahiran dan kematian burung yang ditangkarkan. Peubah yang menajdi variabel terikat (dependent) yakni keberhasilan penangkaran (Y), sedangkan peubah bebas (independent) adalah variabel baru yang dinamakan komponen utama atau principle component (PC) atau fakor baru (F).

Persamaan yang digunakan adalah :

Model kelahiran burung : Y1 = b0 + b1F1+ b2F2 + ... + bnFn + ε Model kematian burung : Y2 = b0 + b1F1+ b2F2 + ... + bnFn + ε Keterangan :

Y1 = jumlah kelahiran burung Y2 = jumlah kematian burung b1, b2, bn = Koefisien

F1, F2, Fn = faktor baru yang terbentuk (variabel komponen utama)

ε = Error

Menurut Santoso (2002), model regresi yang sudah terbentuk perlu dilakukan uji kelayakan model (goodness of fit model), yakni dengan melakukan uji keterandalan model (uji F), uji koefisien regresi (uji t), dan uji koefisien determinasi. Di samping itu juga, diperlukan uji asumsi klasik agar model regresi tidak bias atau Blue (Best Linear Unbiased Estimator). Uji asumsi klasik antara lain uji normalitas, uji heteroskedastisitas, uji autokorelasi, dan uji multikolinearitas (Santoso 2002). Uji kelayakan model

1. Uji keterandalan model (uji F)

(34)

20

F hit

=

Keterangan :

β 1 = Koefisien regresi

sβi = Standar eror dari variabel bebas Uji F dilakukan untuk menganalisis pengaruh variabel bebas secara bersama-sama terhadap variabel terikat. Prosedur pengujian uji ini menurut Ramanathan (1997) sebagai berikut.

/ k− G/ n−

Keterangan: JKK = jumlah kuadrat untuk nilai tengah kolom; JKG = jumlah kuadrat galat; n = jumlah sampel; k = jumlah peubah.

Hipotesis yang digunakan yaitu: H0 = β1 = β2 = β3 = … β = 0 H1 = β1 = β2 = β3 = … β ≠ 0

Jika �ℎ�� < �� � , terima H0 yang artinya secara serentak variabel (Xi) tidak berpengaruh nyata terhadap (Y). Jika �ℎ�� > �� �, terima H1 yang artinya variabel (Xi) secara serentak berpengaruh nyata terhadap (Y). Pengujian juga dapat diilakukan dengan melihat nilai probabilitasnya. Jika nilai probabilitas (asymptotic significance) <0.05, artinya variabel (Xi) secara serentak berpengaruh nyata terhadap (Y).

2. Uji koefisien regresi (Uji t)

Uji t dalam regresi dimaksudkan untuk menguji apakah parameter (koefisien regresi dan konstanta) yang diduga untuk mengestimasi persamaan/model regresi merupakan parameter yang tepat atau belum. Hal ini berarti bahawa apakah parameter tersebut mampu menjelaskan perilaku variabel bebas dalam memengaruhi variabel terikatnya. Parameter yang diestimasi dalam regresi linier, meliputi intersep (konstanta) dan slope (koefisien dalam persamaan linier).

Ramanathan (1997) menjelaskan bahwa uji t digunakan untuk mengetahui masing-masing variabel bebas yang berpengaruh terhadap variabel terikatnya. Prosedur pengujian uji statistik sebagai berikut (Ramanathan 1997).

H0 : βi = 0 atau variabel bebas tidak berpengaruh nyata terhadap variabel terikat H1 : βi ≠ 0 atau variabel bebas berpengaruh nyata terhadap variabel terikat.

� − s��

Jika �ℎ��(�− ) < ��/2 maka H0 diterima, artinya variabel bebas (Xi) tidak berpengaruh nyata terhadap (Y). Jika �ℎ��(�− ) > ��/2 , terima H1 artinya variabel bebas (Xi) berpengaruh nyata terhadap (Y). Pengujian juga dapat diilakukan dengan melihat nilai probabilitasnya. Jika nilai probabilitas (asymptotic significance) <0.05, artinya artinya variabel bebas (Xi) berpengaruh nyata terhadap (Y).

3. Nilai determinasi

Nilai determinasi yakni menguji keragaman yang digunakan untuk melihat sejauh mana besar keragaman yang dapat dijelaskan oleh variabel bebas terhadap variabel terikat yaitu melihat seberapa kuat variabel yang dimasukkan ke dalam model dapat menerangkan model (Iriawan dan Astuti 2006). Berdasarkan hal

(35)

21

R2 =

tersebut, dapat dijelaskan bahwa seberapa besar kemampuan variabel bebas (independen) dalam menjelaskan variabel terikat (dependen). Menurut Santoso (2002), nilai determinasi yang digunakan adalah nilai Adjusted R-Square karena variabel bebas lebih dari satu, sedangkan R-Square digunakan pada saat variabel bebas hanya satu saja (regresi linier sederhana). Adjusted R Square adalah nilai R Square yang telah disesuaikan dan nilai ini selalu lebih kecil dari R Square (Santoso 2002). Rumus untuk menghitung nilai determinasi sebagai berikut.

Σ

Ŷ − Ȳ

Y − Ŷ

=

JKT

JKG

Keterangan:

JKT = jumlah kuadrat total JKG = jumlah kuadrat galat

Menurut Iriawan dan Astuti (2006), pedoman untuk memberikan interpretasi koefisien korelasi, yakni 0,00‒0,199 berarti sangat rendah, 0,20‒0,399 berarti rendah, 0,40‒0,599 berarti sedang, 0,60‒0,799 berarti kuat, dan 0,80‒1,000 berarti sangat kuat.

Uji asumsi klasik 1. Uji normalitas

Uji normalitas diperlukan untuk mengetahui apakah error term dari data atau observasi mendekati sebaran normal atau tidak. Jika mendekati normal maka dapat dikatakan sah. Jika data jauh dari normal maka dapat dilakukan beberapa langkah yaitu melakukan transformasi data, melakukan trimming data outliers, atau menambah data observasi. Transformasi dapat dilakukan ke dalam bentuk logaritma natural, akar kuadrat, atau invers.

Pembuktian untuk meyakini data telah mendekati sebaran normal perlu dilakukan dengan uji Kolmogorov-Smirnov. Pengambilan keputusan berdasarkan kriteria pengujian sebagai berikut (Santoso 2002).

Jika nilai signifikansi (Sig.) >0.05, data terdistribusi normal

Jika nilai signifikansi (Sig.) <0.05, data tidak terdistribusi normal 2. Uji heteroskedastisitas

Uji heteroskedastisitas bertujuan menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variansi dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain. Jika variansi dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain tetap (ragam galat konstan dalam setiap amatan) disebut homoskedastisitas dan jika berbeda disebut heteroskedastisitas. Model regresi yang baik adalah yang homoskedastisitas atau yang tidak terjadi heteroskedastisitas.

(36)

22

Dasar analisis uji heteroskedastisitas sebagai berikut (Ghozali 2005):

1. Jika ada pola tertentu, seperti titik-titik yang ada membentuk pola tertentu yang teratur (bergelombang, melebar kemudian menyempit), maka mengindikasikan telah terjadi heteroskedastisitas.

2. Jika tidak ada pola yang jelas, serta titik-titik menyebar di atas dan di bawah angka nol pada sumbu Y, maka tidak terjadi heteroskedastisitas.

Pembuktian untuk meyakini data merupakan homoskedastisitas atau heteroskedastisitas dapat dilakukan juga uji glejser. Dasar pengambilan keputusan sebagai berikut (Ghozali 2005).

 Tidak terjadi heteroskedastisitas, jika nilai T hitung lebih kecil dari T tabel dan nilai signifikansi >0.05.

 Terjadi heteroskedastisitas, jika nilai T hitung lebih besar dari T tabel dan nilai signifikansi <0.05.

3. Uji Autokorelasi

Uji autokorelasi dilakukan untuk melihat apakah terdapat hubungan diantara galat dalam persamaan regresi yang diperoleh. Autokorelasi cenderung akan mengestimasi standar error lebih kecil daripada nilai sebenarnya sehingga nilai

statistic-t akan lebih besar. Uji yang digunakan untuk mendeteksi autokorelasi adalah uji DW (Durbin Watson test). Nilai statistik DW berada diantara 1.4 dan 2.4 maka menunjukkan tidak ada autokorelasi (Santoso 2002).

4. Uji Multikolinearitas

Pengujian ini untuk mengetahui apakah antar variabel bebas dalam persamaan regresi tersebut tidak saling berkorelasi. Model dengan banyak peubah sering terjadi masalah multikolinier yaitu terjadinya korelasi yang kuat antar peubah-peubah bebas. Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi diantara variabel independen. Masalah tersebut dapat dilihat langsung melalui nilai

Varian Inflation Factor (VIF) yang dihasilkan. Jika nilai VIF <10, tidak ada masalah multikolinearitas yang berarti bahwa model regresi sudah tepat (Iriawan dan Astuti 2006).

Tipologi penangkar cucak rawa

Definisi tipologi adalah pengklasifikasian atau pengelompokkan suatu objek berdasarkan kesamaan sifat-sifat dasar (Sulistiyono 2015). Beberapa penelitian mendefinisikan tipologi sebagai pengelompokan tipe tertentu berdasarkan variabel atau karakteristik yang dominan (utama) dan pemilihan faktor yang paling

mencirikan karakter objek (Valbuena et al. 2008; Lastini 2012; Niels en-Pincus et al. 2015). Tujuan penentuan tipologi usaha penangkar cucak

rawa yakni untuk menganalisis karakteristik/ciri penangkar cucak rawa yang berhasil. Faktor yang terbentuk dari hasil analisis komponen utama (PCA-principle componenet analysis) merupakan faktor yang paling dominan berpengaruh terhadap keberhasilan penangkaran sehingga digunakan sebagai dasar dalam merumuskan tipologi penangkar cucak rawa. Varibel-variabel dominan yang memengaruhi kelahiran dan kematian cucak rawa diurutkan berdasarkan persentase tertinggi dari hasil analisis PCA untuk menentukan tipologi penangkar cucak rawa yang berhasil. Di samping itu juga, penentuan tipologi ini berdasarkan Suprijatna

Gambar

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian
Gambar 1 Cucak rawa
Gambar 2 Pasangan cucak rawa; a) jantan, b) betina
Gambaran kondisi penerapan manajemen penangkaran dan hasil penangkarannya,
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk membahas permasalahan tersebut dalam skripsi ini dengan judul “ANALISIS FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA KEUANGAN

PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN EVERYONE IS A TEACHER HERE DISERTAI TUGAS SUPERITEM TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN BELIEF MATEMATIS SISWA SMP.

[r]

1) Teori tentang kenyamanan termal dan perancangan pasif. • Standar kenyamanan termal dari buku bangunan tropis, Georg Lippsmeyer. • Tindakan arsitektural yang bisa dilakukan

Hasil evaluasi akan menentukan kelanjutan kegiatan ke tahap berikutnya. Apabila terdapat perubahan yang signifikan dan tim evaluasi menganggap perlu dibuat proposal baru,

yang telah diteliti yaitu: hasil belajar siswa, aktivitas siswa selama pembelajaran dan aktivitas guru dalam mengajar di kelas terhadap Metode Sosiodrama pada

Pembelajaran kooperatif adalah jenis kerja kelompok termasuk bentuk- bentuk kegiatan yang dibimbing dan diarahkan oleh Guru. Pembelajaran kooperatif mengutamakan

 Untuk dapat digunakan pada web, file Macromedia Director MX 2004 harus disimpan dengan format file*.swf dan akan dapat dijalankan pada sembarang browser yang