• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Antara Jumlah Leukosit Pada Cairan Semen Dengan Motilitas Sperma Pada Pria Pasangan Infertil Di Rumah Sakit Adenin Adenan Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Antara Jumlah Leukosit Pada Cairan Semen Dengan Motilitas Sperma Pada Pria Pasangan Infertil Di Rumah Sakit Adenin Adenan Medan"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA JUMLAH LEUKOSIT PADA CAIRAN SEMEN DENGAN MOTILITAS SPERMA PADA PRIA PASANGAN INFERTIL

DI RUMAH SAKIT ADENIN ADENAN MEDAN

Oleh:

GRACE NOVIYANTHI S. 100100012

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

HUBUNGAN ANTARA JUMLAH LEUKOSIT PADA CAIRAN SEMEN DENGAN MOTILITAS SPERMA PADA PRIA PASANGAN INFERTIL

DI RUMAH SAKIT ADENIN ADENAN MEDAN

KARYA TULIS ILMIAH

Oleh:

GRACE NOVIYANTHI S. 100100012

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

LEMBAR PERSETUJUAN

Hubungan antara Jumlah Leukosit pada Cairan Semen dengan Motilitas Sperma pada Pria Pasangan Infertil di Rumah Sakit Adenin Adenan Medan

Nama : GRACE NOVIYANTHI S. NIM : 100100012

Pembimbing

(4)

ABSTRAK

Latar Belakang: Infertilitas merupakan masalah sistem reproduksi yang melanda seluruh dunia. Keadaan yang menyebabkan hal ini sangat multifaktorial dan masing-masing individu baik istri maupun suami memiliki peran yang sangat signifikan pada kejadian infertilitas ini. Menurut World Health Organization (WHO) 50% kejadian infertilitas dipengaruhi oleh faktor dari pria pasangan tersebut. Untuk melihat kelainan yang terjadi, maka dilakukan pemeriksaan analisis semen. Nilai motilitas sperma dan nilai leukosit sangat berperan penting dalam penentuan fertilitas pria.

Tujuan: Mengetahui hubungan jumlah leukosit pada cairan semen dengan motilitas sperma pada pria pasangan infertil di Rumah Sakit Adenin Adenan Medan.

Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan studi cross-sectional. Populasi sampel yang digunakan adalah pasien infertilitas yang memeriksakan sperma dengan metode analisa sperma manual di Rumah Sakit Adenin Adenan Medan dalam kurun waktu 1 April 2012 sampai 31 April 2013 dengan total sampel yang digunakan berjumlah 37 orang. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Juli sampai bulan September 2013. Data diperoleh dari rekam medis dan hasil pemeriksaan analisis semen dari sampel penelitian. Teknik pengolahan data secara computerized dengan program statistik.

Hasil: Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif antara jumlah leukosit dengan motilitas sperma yang progresif ( r= -0,135) namun tidak signifikan p=0,424 (p<0,05). Artinya adalah semakin tinggi jumlah leukosit maka akan semakin rendah motilitas sperma yang progresif (progressive motility).

Kesimpulan: Terdapat hubungan jumlah leukosit pada cairan semen dengan motilitas sperma .

(5)

ABSTRACT

Background : Infertility is a reproductive system problems that plagued the entire world. Circumstances that led to this are highly multifactorial and each individual both wife and husband have a very significant role in the incidence of this infertility . According to the World Health Organization ( WHO ) 50 % incidence of infertility is influenced by factors of the male partner . To see the difference that occurred , then we examined the semen analysis . Value of sperm motility and leukocyte values are important in determining male fertility .

Objective: To determine the relationship between leukocyte count in semen with sperm motility in men of infertile couples Adenine Adenan Hospital in Medan.

Methods : This study is observational analytic cross-sectional study . The population sample used was sperm of infertil patients that examined by the method of manual sperm analysis in Adenine Adenan Hospital in Medan during the period 1 April 2012 until 31 April 2013 with a total sample used was 37 people . The study was conducted in July to September 2013. Data were obtained from medical records and the results of semen analysis of the sample . Data is processed computerizedly using statistic program.

Results : This study shows that there is a negative relationship between the number of leukocytes with progressive sperm motility ( r = -0.135 ) but not significant p = 0.424 ( p < 0.05 ) . This means that the higher the number of leukocytes is the lower sperm progressive motility .

Conclusion : There is a relationship between leukocyte count in semen with sperm motility .

(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas kasih sayang dan bimbingan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis yang berjudul “Hubungan antara jumlah leukosit pada cairan semen dengan motilitas sperma pada pria pasangan infertil di Rumah Sakit Adenin Adenan Medan” sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat diharapkan untuk kesempurnaan dari kekurangan-kekurangan yang ada, sehingga karya tulis ini bisa bermanfaat.

Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu penulis dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini, terkhusus kepada :

1. Kedua orang tua dan saudara penulis yang telah memberi dorongan dan semangat untuk merampungkan karya tulis ilmiah ini.

2. dr. Ichwanul Adenin, Sp. OG(K), selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan masukan dan dengan kesungguhan hati membimbing penulis dalam penyelesaian karya tulis ilmiah ini.

3. dr. Richard Hutapea, Sp. KK(K) dan dr. Eka Roina Megawati, M.Kes, selaku dosen penguji yang telah banyak memberi masukan, baik kritik maupun saran yang semakin menyempurnakan karya tulis ilmiah ini.

4. Yayasan Karya Salemba Empat dan PT. Indofood Sukses Makmur Tbk. yang telah memberi dukungan moril dan materil untuk menyelesaikan penelitian ini. 5. Rekan penulis Sonia Anissa, Saryanta, M Rifqi Giffary, Randy Frans Fela, Siti

(7)

6. Rekan penulis senior maupun junior yang memberi penulis masukan dan dukungan moril dalam penulisan karya tulis ilmiah ini.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberikan rahmat karunia-Nya atas bantuan dan pengorbanan beliau kepada penulis. Akhir kata semoga karya tulis ilmiah ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, 09 Desember 2013

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

ABSTRAK ………... iii

ABSTRACT………... .... iv

KATA PENGANTAR………... .... v

DAFTAR ISI………... vi

DAFTAR GAMBAR………...viii

DAFTAR TABEL... ix

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Infertilitas pada Pria ... 4

2.1.1 Definisi Infertilitas ... 4

2.1.2 Tipe Infertilitas Pria ... 4

2.1.3 Faktor Penyebab Infertilitas Pria ... 5

2.1.4 Faktor Resiko Infertilitas Pria ... 6

2.1.5 Diagnosis Infertilitas Pria ... 9

2.2. Spermatogenesis, Semen dan Kelainan pada Sperma ... 16

2.2.1 Spermatogenesis ... 16

2.2.2 Semen ... 19

2.2.3 Kelainan pada Sperma ... 20

2.3. Leukosit ... 21

2.4. Hubungan antara Leukosit dengan Motilitas Sperma ... 23

BAB 3 KERANGKA KONSEP PENELITIAN ... 26

DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 26

3.1. Kerangka Konsep Penelitian ... 26

3.2. Defenisi Operasional ... 26

(9)

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 30

4.1. Rancangan Penelitian ... 30

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 30

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 30

4.3.1 Populasi Target ... 30

4.3.2 Populasi Terjangkau ... 30

4.3.3 Sampel Penelitian ... 30

4.4. Teknik Pengumpulan Data ... 31

4.5. Metode Analisis Data ... 31

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian ... 32

5.1.1 Deskripsi Penelitian ... 32

5.1.2 Karakteristik Sampel ... 32

5.2 Pembahasan ... 38

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 41

6.2 Saran ... 41

(10)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 2.1 Morfologi Sperma Normal……….. 13

Gambar 2.2 Spermatogenesis………. 15

Gambar 3.1 Kerangka konsep hubungan antara peningkatan jumlah leukosit dalam cairan semen dengan

(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 2.1 Gambaran Makroskopik Analisa Semen………... 11

Tabel 2.2 Klasifikasi Morfologi Sperma……….... 14

Tabel 2.3 Komposisi Semen Manusia………... 18

Tabel 2.4 Persentase Normal Sel Darah Putih………….……….. 21

Tabel 3.1 Definisi Operasional……….. 25

Tabel 5.1 Gambaran Karakteristik Pasien Infertilitas di Rumah Sakit Adenin Adenan, Medan selama

Periode 1 April 2012 sampai 31 April 2013... 32 Tabel 5.2 Distribusi Sampel Menurut Jumlah Sperma/ml

pada Hasil Pemeriksaan Analisis Semen

Pasien Infertilitas... 33 Tabel 5.3 Distribusi Sampel Menurut Jumlah Leukosit

pada Hasil Pemeriksaan Analisis Semen

Pasien Infertilitas... 33 Tabel 5.4 Distribusi Sampel menurut Motilitas Sperma

pada Hasil Pemeriksaan Analisis Semen Pasien

Infertilitas... 34 Tabel 5.5 Hasil Pengolahan Deskriptif Data Leukosit

dan Motilitas Sperma... 35 Tabel 5.6 Hasil Uji Korelasi Spearman antara

(12)

ABSTRAK

Latar Belakang: Infertilitas merupakan masalah sistem reproduksi yang melanda seluruh dunia. Keadaan yang menyebabkan hal ini sangat multifaktorial dan masing-masing individu baik istri maupun suami memiliki peran yang sangat signifikan pada kejadian infertilitas ini. Menurut World Health Organization (WHO) 50% kejadian infertilitas dipengaruhi oleh faktor dari pria pasangan tersebut. Untuk melihat kelainan yang terjadi, maka dilakukan pemeriksaan analisis semen. Nilai motilitas sperma dan nilai leukosit sangat berperan penting dalam penentuan fertilitas pria.

Tujuan: Mengetahui hubungan jumlah leukosit pada cairan semen dengan motilitas sperma pada pria pasangan infertil di Rumah Sakit Adenin Adenan Medan.

Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan studi cross-sectional. Populasi sampel yang digunakan adalah pasien infertilitas yang memeriksakan sperma dengan metode analisa sperma manual di Rumah Sakit Adenin Adenan Medan dalam kurun waktu 1 April 2012 sampai 31 April 2013 dengan total sampel yang digunakan berjumlah 37 orang. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Juli sampai bulan September 2013. Data diperoleh dari rekam medis dan hasil pemeriksaan analisis semen dari sampel penelitian. Teknik pengolahan data secara computerized dengan program statistik.

Hasil: Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif antara jumlah leukosit dengan motilitas sperma yang progresif ( r= -0,135) namun tidak signifikan p=0,424 (p<0,05). Artinya adalah semakin tinggi jumlah leukosit maka akan semakin rendah motilitas sperma yang progresif (progressive motility).

Kesimpulan: Terdapat hubungan jumlah leukosit pada cairan semen dengan motilitas sperma .

(13)

ABSTRACT

Background : Infertility is a reproductive system problems that plagued the entire world. Circumstances that led to this are highly multifactorial and each individual both wife and husband have a very significant role in the incidence of this infertility . According to the World Health Organization ( WHO ) 50 % incidence of infertility is influenced by factors of the male partner . To see the difference that occurred , then we examined the semen analysis . Value of sperm motility and leukocyte values are important in determining male fertility .

Objective: To determine the relationship between leukocyte count in semen with sperm motility in men of infertile couples Adenine Adenan Hospital in Medan.

Methods : This study is observational analytic cross-sectional study . The population sample used was sperm of infertil patients that examined by the method of manual sperm analysis in Adenine Adenan Hospital in Medan during the period 1 April 2012 until 31 April 2013 with a total sample used was 37 people . The study was conducted in July to September 2013. Data were obtained from medical records and the results of semen analysis of the sample . Data is processed computerizedly using statistic program.

Results : This study shows that there is a negative relationship between the number of leukocytes with progressive sperm motility ( r = -0.135 ) but not significant p = 0.424 ( p < 0.05 ) . This means that the higher the number of leukocytes is the lower sperm progressive motility .

Conclusion : There is a relationship between leukocyte count in semen with sperm motility .

(14)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Infertilitas merupakan suatu masalah sistem reproduksi yang melanda seluruh dunia. Menurut The International Committee for Monitoring Assisted Reproductive Technology (ICMART) dan World Health Organization (WHO) tahun 2009 menyebutkan definisi infertilitas secara klinis bahwa infertilitas merupakan suatu penyakit sistem reproduksi yang ditetapkan dengan adanya kegagalan mencapai kehamilan klinis setelah 12 bulan atau lebih melakukan hubungan seksual secara regular tanpa menggunakan alat kontrasepsi (Zegers et al., 2009). Pada tahun 2010, diperkirakan sebanyak 48,5 juta pasangan di dunia yang mengalami masalah infertilitas (Macarenhas et al., 2012). Infertilitas sangat tidak diinginkan oleh pasangan suami istri manapun yang mendambakan kehadiran anak dalam kehidupan keluarganya. Masing-masing individu dari pasangan suami istri memiliki peran yang signifikan dalam kejadian infertilitas ini (Aryoseto, 2009). Menurut World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa dari seluruh kasus infertilitas yang ada, sekitar 50% dipengaruhi oleh faktor dari pria pasangan tersebut (Singh dan Ashok, 2011).

Untuk kasus infertilitas, World Health Organization (WHO) telah menetapkan parameter standarisasi dalam pemeriksaan analisa sperma, yang menguraikan karakteristik spermatozoa yang normal. Standar WHO tersebut menetapkan bahwa motilitas sperma merupakan faktor yang berperan penting dalam penentuan spermatozoa yang normal (Singh dan Ashok, 2011).

(15)

Leukosit merupakan unit aktif dari sistem pertahanan tubuh manusia. Keberadaan leukosit dalam semen adalah hal fisiologis. Pada setiap ejakulat yang dikeluarkan, hampir selalu dapat ditemukan leukosit yang keluar melalui epididimis selain sebagai pertahanan tubuh juga memiliki peranan penting dalam sistem kekebalan dan fagositik sperma abnormal. Menurut World Health Organization (WHO) bila ditemukan jumlah leukosit yang meningkat hebat dengan jumlah lebih dari 1 juta leukosit permiliter dikatakan bahwa keadaan tersebut merupakan suatu kondisi yang disebut dengan leukositospermia (Aziz et al., 2004). Prevalensi leukositospermia sangat sering dijumpai pada pria infertil dan pada kondisi peradangan yang sangat berkorelasi dengan kualitas semen yaitu terganggunya motilitas sperma dan kapasitas fertilisasi in vitro serta mengakibatkan menurunnya transport dan ketahanan sperma pada saluran reproduksi wanita (Sharma et al.,2001).

Pengaruh keberadaan leukosit pada cairan semen dengan patogenesis infertilitas pada pria terkait dengan kualitas sperma masih kontroversial, meskipun insidensinya tinggi pada kasus-kasus infertilitas. Studi terbaru menunjukkan bahwa leukosit memiliki dampak yang negatif pada kualitas semen sebagai akibat dari kehadiran reactive oxygen spesies (ROS), yang diproduksi terutama oleh leukosit. Keberadaan reactive oxygen spesies (ROS) ini sangat berbahaya bagi spermatozoa. Sedangkan pada penelitian Tomlinson et al., tidak menemukan korelasi antara jumlah leukosit dalam cairan semen dengan penurunan kualitas sperma terutama pada motilitas sperma (Lackner et al., 2010). Oleh karena itu, dilakukan penelitian mengenai hal tersebut dengan tujuan untuk mengetahui hubungan jumlah leukosit pada cairan semen dengan motilitas sperma pada pasangan infertil di Rumah Sakit Adenin Adenan Medan.

1.2. Rumusan Masalah

(16)

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum:

Mengetahui hubungan jumlah leukosit dalam cairan semen dengan motilitas sperma pada pasangan infertil di Rumah Sakit Adenin Adenan Medan.

1.3.2 Tujuan Khusus:

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:

1. Mengetahui jumlah pasien infertil di Rumah Sakit Adenin Adenan Medan periode 1 April 2012 sampai 31 April 2013.

2. Mengetahui jumlah sperma pada berdasarkan hasil pemeriksaan analisis sperma pada pasien infertil di Rumah Sakit Adenin Adenan Medan.

3. Mengetahui jumlah leukosit berdasarkan hasil pemeriksaan analisis sperma pada pasien infertil di Rumah Sakit Adenin Adenan Medan.

4. Mengetahui persentase motilitas sperma berdasarkan hasil pemeriksaan analisis sperma pada pasien infertil di Rumah Sakit Adenin Adenan Medan.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sumbangan bukti dalam upaya menerangkan hubungan antara jumlah leukosit dengan motilitas sperma pada pasangan infertil. 2. Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi para klinisi (praktisi analisa

sperma).

3. Untuk memperkuat dugaan infertilitas pada pasien dengan diagnosa sementara infertilitas.

(17)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Infertilitas pada Pria 2.1.1 Definisi Infertilitas

Menurut the Practice Committee of the American Society for Reproductive Medicine (ASRM), infertilitas didefinisikan sebagai suatu kegagalan untuk mencapai kehamilan setelah satu tahun melakukan hubungan seksual secara regular tanpa menggunakan alat kontrasepsi (Wein et al., 2012). Sedangkan menurut The International Committee for Monitoring Assisted Reproductive Technology (ICMART) dan World Health Organization (WHO) tahun 2009 menyebutkan definisi infertilitas secara klinis bahwa infertilitas merupakan suatu penyakit sistem reproduksi yang ditetapkan dengan adanya kegagalan mencapai kehamilan klinis setelah 12 bulan atau lebih melakukan hubungan seksual secara regular tanpa menggunakan alat kontrasepsi (Zegers et al., 2009). Definisi klinis ini didesain sedemikian rupa untuk dapat mendeteksi sejak dini dan melakukan penatalaksanaan yang tepat pada kejadian infertilitas (Mascarenhas et al., 2012).

2.1.2 Tipe Infertilitas Pria

Secara garis besar infertilitas dapat dibagi dua yaitu ( Al-Haija, 2011) : 1. Infertilitas primer: merupakan suatu keadaan dimana pria (suami) tidak pernah

menghamili wanita (istri) meskipun telah melakukan hubungan seksual secara teratur selama >12 bulan secara teratur tanpa kontrasepsi.

2. Infertilitas sekunder: merupakan suatu keadaan dimana pria (suami) pernah menghamili wanita (istri) tetapi kemudian tidak mampu menghamili lagi wanita (istri) meskipun telah melakukan hubungan seksual secara teratur selama >12 bulan secara teratur tanpa kontrasepsi.

(18)

Tetapi jika durasinya sudah cukup lama artinya lebih dari 3 tahun, maka kemungkinan terdapat masalah biologis yang berat pada pasangan tersebut ( Al-Haija, 2011).

2.1.3 Faktor Penyebab Infertilitas Pria

Penyebab yang mendasari infertilitas pria dikelompokkan menjadi 3 faktor yaitu level pre testikular, testikular, dan post testikular (Tanagho dan Jack ed., 2008) :

1. Faktor pre testikular

Yaitu kondisi-kondisi di luar testis dan mempengaruhi proses spermatogenesis. Kelainan endokrin (hormonal). Kurang lebih 2% dari infertilitas pria disebabkan karena adanya kelainan endokrin antara lain berupa:

a) Kelainan hipotalamus: defisiensi gonadotropin (Sindrom Kallmann), defisiensi LH, defisiensi FSH, sindrom hipogonadotropik kongenital. Adanya kelainan pada hipotalamus menyebabkan tidak adanya sekresi hormonal yang berperan penting dalam spermatogenesis sehingga menginduksi keadaan infertil.

b) Kelainan hipofisis: insufisiensi hipofisis (tumor, proses infiltrat, operasi, radiasi), hiperprolaktinemia, hormon eksogen (kelebihan estrogen-androgen, kelebihan glukokortikoid, hipertirod dan hipotiroid) dan defisiensi hormon pertumbuhan (growth hormone) menyebabkan gangguan spermatogenesis.

2. Faktor testikular

1) Kelainan kromosom. Sebagai contoh pada penderita sindroma Klinefelter, terjadi penambahan kromosom X, testis tidak berfungsi dengan baik, sehingga spermatogenesis tidak terjadi.

2) Varikokel, yaitu terjadinya dilatasi dari pleksus pampiriformis vena skrotum yang mengakibatkan terjadinya gangguan vaskularisasi testis yang akan mengganggu proses spermatogenesis.

3) Gonadotoksin (radiasi, obat) 4) Adanya trauma, torsi, peradangan

(19)

7) Kriptorkismus. Hampir 9% infertilitas pria disebabkan karena kriptorkismus (testis tidak turun pada skrotum).

8) Idiopatik. Hampir 25%-50% infertilitas pria tidak teridentifikasi penyebabnya. 3. Faktor post testikular

Merupakan kelainan pada jalur reproduksi termasuk epididimis, vas deferens, dan duktus ejakulatorius.

1) Obstruksi traktus ejakulatorius: disebabkan karena adanya blokade kongenital, ketiadaan vas deferens kongenital (CAVD), obstruksi epididimis idiopatik, penyakit ginjal polikistik, blokade didapat (vasektomi, infeksi), blokade fungsional (perlukaan saraf simpatis, farmakologi)

2) Gangguan fungsi sperma atau motilitas: sindrom immotil silia, defek maturasi, infertilitas imunologik, infeksi).Pada reaksi imunologi, dapat ditemukan antibodi sperma pada semen pria fertil dan infertil.Imunologi didiagnosis menyebabkan infertilitas pria saat 50% atau lebih spermatozoa yang motil yang dilapisi oleh antibodi sperma.Antibodi sperma ditemukan pada 3-7% pria infertil dan antibodi ini dapat merusak fungsi sperma dan menyebabkan infertilitas pada beberapa pria (Al-Haija, 2011).

3) Gangguan koitus: impotensi, hipospadia, waktu dan frekuensi koitus.

2.1.4Faktor Resiko Infertilitas Pria

Berbagai hal telah diketahui menjadi faktor resiko infertilitas pria, yaitu: 1. Usia

Usia memegang peranan penting dalam fertilitas. Puncak umur kehamilan terjadi pada usia 34 tahun untuk pria dan wanita dan kemudian setelah usia 35 tahun akan menurun secara signifikan. Penelitian telah menunjukkan bahwa level testosteron darah akan menurun seiring bertambahnya usia dan resiko pria untuk menjadi infertil 2 kali lipat lebih besar pada usia di atas 35 tahun dibandingkan dengan pria di bawah 25 tahun dan 5 kali lipat pada usia di atas 45 tahun. Produksi hormon testosteron mulai menurun sekitar usia 40 tahun, perubahan kualitas sperma seiring dengan bertambahnya usia juga menurunkan volume semen, motilitas dan morfologi sperma normal (Al-Haija, 2011).

(20)

Beberapa studi menyebutkan bahwa terjadi penurunan fertilitas pada pria gemuk. Sebuah studi di Amerika Serikat menginvestigasi petani dan istri mereka menunjukkan bahwa peningkatan 10 kg berat badan dapat menurunkan fertilitas sekitar 10% dan efek terbesar pada pria dengan indeks massa tubuh (IMT) lebih dari 32. Hal ini disebabkan karena terjadi penurunan jumlah sperma motil normal secara signifikan pada pria tersebut (Al-Haija, 2011).

3. Alkohol

Alkohol merupakan substansi adiktif yang sangat berpengaruh pada fertilitas. Konsumsi alkohol dengan rentang antara konsumsi alkohol yang jarang hingga yang berat sangat berdampak pada kesehatan termasuk kegagalan fertilitas.Konsumsi alkohol dapat merusak aksi HPG dan berpengaruh pada spermatogenesis sehingga menurunkan kualitas sperma (Carrell ed., 2013).

4. Paparan dalam pekerjaan

Studi di Lebanon menunjukkan bahwa paparan lingkungan pekerjaan sangat berbahaya terhadap fisik dan bahan kimianya yang dihubungkan dengan peningkatan resiko infertilitas pria. Paparan senyawa organik saat bekerja dapat menurunkan jumlah sperma yang motil, sejumlah senyawa yang digunakan industri yang dapat menyebabkan efek samping pada sistem reproduksi pria yaitu karbon disulfida yang mempengaruhi kualitas semen.Riwayat terpapar glycol ether pada lingkungan kerja juga dapat menurunkan kualitas semen. Demikian juga halnya pada pekerja di bidang pertanian atau pabrik pestisida yang juga mengalami dampak negatif akibat paparan Dibromochloropropane (DBCP) dapat menyebabkan toksisitas testikular dan menurunkan produksi sperma. Paparan pada Ethylene Di-Bromide (EDB) juga menurunkan jumlah sperma dan meningkatkan jumlah sperma yang abnormal.Dichloro-Diptenyl-Trichloro-ethane (DDT) yang merupakan salah satu tipe pestisida juga dapat menurunkan fertilitas dan mengubah jumlah sperma (Al-Haija, 2011).

5. Olahraga

(21)

mempengaruhi kualitas parameter semen dan dapat menurunkan jumlah testosteron total (Al-Haija, 2011).

6. Merokok

Banyak penelitian yang menyelidiki pengaruh merokok terhadap infertilitas pria. Hasil penelitiannya masih kontroversial; beberapa penelitian menunjukkan bahwa merokok menyebabkan efek samping pada perburukan kualitas sperma terutama pada perokok berat, perbedaan itu didasarkan pada begitu besarnya level stress oksidatif semen pada perokok berat dibandingkan dengan perokok ringan maupun perokok pasif (Saleh et al., 2001). Namun studi di Singapura menemukan bahwa merokok memang meningkatkan resiko infertilitas dan tidak terdapat perbedaan yang menonjol antara perokok berat dan ringan. Di sisi lain, hasil yang kontras ditemukan pada penelitian lain yang menyatakan bahwa tidak terdapat efek signifikan antara merokok dengan infertilitas pria (Al-Haija, 2011).

7. Laptop dan telepon seluler

Pemaparan jangka panjang pada laptop dapat meningkatkan suhu skrotum dan berdampak negatif pada parameter sperma. Lebih lanjut, penggunaan telepon seluler juga berdampak negatif pada infertilitas pria yaitu menurunkan jumlah sperma yang hidup secara paralel pada setiap kali terpapar telepon seluler dan juga berhubungan dengan durasi menggunakan telepon seluler tersebut (Al-Haija, 2011). Studi terbaru juga menunjukkan hal yang serupa yaitu spermatozoa manusia bila terpapar oleh radiasi gelombang elektormagnetik dari telepon seluler selain dapat menurunkan jumlah sperma juga dapat menurunkan motilitas sperma dan meningkatkan stress oksidatif sperma (Vignera et al., 2012).

8. Stres

Hubungan antara stres dengan infertilitas juga diperhitungkan. Pria di bawah tekanan stres pada hasil pemeriksaan analisa semen menunjukkan terjadi penurunan yang signifikan pada parameter sperma (Al-Haija, 2011). Hal ini dikaitkan dengan penurunan level testosteron yang menyebabkan kegagalan spermatogenesis dan akhirnya berpengaruh pada jumlah, motilitas, dan morfologi sperma (Carrell ed., 2013).

(22)

Langkah yang paling penting dalam mendiagnosis pria infertil adalah melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik. Anamnesis mengenai riwayat infertilitas (durasi, kehamilan sebelumnya, evaluasi dan pengobatan fertilitas sebelumnya). Riwayat seksual juga sangat penting ditanyakan seperti fungsi ereksi, frekuensi dan waktu melakukan hubungan seksual dengan pasangannya. Riwayat intervensi medis sebelumnya juga tak kalah penting ditanyakan karena hal tersebut berkontribusi dalam penegakan diagnosis dari seperempat kasus infertilitas (Al-Haija, 2011).

Rekomendasi terbaru dalam menegakkan diagnosis infertilitas menurut Practice Committees of the American Urological Association and the American

Society for Reproductive Medicine menyebutkan bahwa perlu dilakukannya evaluasi infertilitas sebelum 1 tahun jika terdapat faktor resiko infertilitas pria seperti memiliki riwayat kriptorkrismus bilateral (Wein et al., 2012). Anamnesis juga mengenai riwayat peradangan seperti orchitis, waktu pubertas, riwayat keluarga yang mengalami infertilitas dan penyakit sistemik lainnya (Al-Haija, 2011).

Pemeriksaan fisik merupakan langkah yang kedua dalam mendiagnosis abnormalitas yang menyebabkan infertilitas pada pria, terdiri dari pemeriksaan fisik secara umum dan pemeriksaan genitalia. Pemeriksaan fisik secara umum seperti pengukuran tinggi, berat badan, dan tekanan darah yang akan memberikan informasi tentang penyakit sistemik. Distribusi rambut di tubuh juga memberikan indikasi produksi androgen, ukuran payudara juga perlu diinspeksi untuk mendeteksi ginekomasti (Al-Haija,2011). Hepatomegali pada pemeriksaan abdomen meningkatkan kecurigaan kejadian perubahan metabolisme hormon seks steroid (Wein et al., 2012).

(23)

testis normal adalah 4 x 3 cm atau volumenya 20 mL. Palpasi epididimis, korda spermatika penting dilakukan untuk menentukan apakah terdapat peradangan atau kelainan lain seperti varikokel yang juga merupakan salah satu bagian dari etiologi infertilitas pada pria. Pemeriksaan rektal juga sebaiknya dilakukan, untuk mengevaluasi prostat, apakah terdapat peradangan ataupun kista yang dapat menyumbat duktus ejakulatorius (Wein et al., 2012).

Setelah melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik maka perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut dalam menegakkan diagnosis infertilitas pada pria melalui pemeriksaan analisis semen. Analisis semen merupakan prediktor yang sangat penting dalam menentukan fertilitas pria. Analisis semen berguna untuk mengevaluasi variasi dari parameter termasuk karakteristik spermatozoa, plasma semen dan sel non-sperma (Wein et al., 2012).

Analisa karakteristik semen dapat diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu (Wein et al., 2012):

1. Pemeriksaan makroskopik:

(24)

Tabel 2.1 Gambaran Makroskopik Analisis Semen (WHO, 2010) Parameter Nilai

Normal

Abnormalitas Signifikansi Klinik

pH ≥ 7,2 Asam, <7,2 Dengan volume rendah

dan non koagulasi; adanya ketiadaan kongenital vas deferens bilateral, obstruksi duktus ejakulatorius, ejakulasi retrograde parsial. Koagulasi/ pengenceran Koagulasi dan pengenceran dalam 15-60 menit.

Tidak ada koagulasi dan pemanjangan pengenceran >60 menit.

Ketiadaan vesika seminalis kongenital.

Warna Putih keabu-abuan.

Kekuning-kuningan, merah kecoklatan.

Jaundice, karotenemia, obat, inflamasi vesika urinaria.

Viskositas ≤2cm >2cm Berhubungan dengan

motilitas yang rendah.

Volume ≥1,5 mL 0 (azoospermia) <1,5mL

(hypospermia)

Ejakulasi retrograde pengumpulan yang tidak lengkap, ejakulasi retrograde parsial, abstinensi seksual.

2. Pemeriksaan Mikroskopik

a. Aglutinasi sperma: Pemeriksaan ini dimulai dengan hapusan tebal dengan meletakkan semen pada slide yang ditutup oleh cover slip dan diamati pada pembesaran 1000x. Melalui metode ini, aglutinasi sperma, keberadaan sperma dan motilitas subjektif sperma dapat diamati. Dalam keadaan normal tidak ditemukan adanya aglutinasi dan jumlah leukosit ≤ 1 juta/mL serta tidak ditemukan adanya immature germ cell. Adanya adhesi sperma ke elemen non spema mengindikasikan adanya infeksi kelenjar aksesoris, adanya adhesi sperma-sperma mengindikasikan adanya antibodi antisperma sekunder .

(25)

Azoospermia (ketiadaan sperma) dapat disebabkan karena adanya gangguan saat spermatogenesis, disfungsi ejakulasi ataupun karena adanya obstruksi. Laboratorium WHO menetapkan batas toleransi jumlah sperma terendah yang masih dikatakan normal adalah ≥ 20juta sperma/mL atau jumlah sperma total ≥ 39 juta/ejakulasi (WHO, 2010).

c. Motilitas: Motilitas dikenali sebagai prediktor yang terpenting dalam aspek fungsional spermatozoa. Motilitas sperma merupakan refleksi perkembangan normal dan kematangan spermatozoa dalam epididimis. Menurut WHO tahun 2010, motilitas spermatozoa dikelompokkan menjadi sebagai berikut:

Progressive motility (PR): Spermatozoa bergerak bebas, baik lurus

maupun lingkaran besar, dalam kecepatan apapun.

Non-progressive motility (NP): semua jenis spermatozoa yang tidak

memiliki kriteria progresif, seperti berenang dalam lingakran kecil, ekor/ flagel yang sulit menggerakkan kepala, atau hanya ekor saja yang bergerak.

Immotility (IM): tidak bergerak sama sekali

(26)

d. Morfologi

Gambar 2.1 Struktur Morfologi Sperma Normal ( Guyton dan Hall, 2007)

(27)

Tabel 2.2 Klasifikasi Morfologi Sperma (Wein et al., 2012) World Health

Organization (WHO)

Kruger’s Strict Criteria

Kisaran referensi nomal ≥ 4% > 14% Kepala

Bentuk Oval Oval, pinggiran halus

Akrosom 40%-70% dari permukaan kepala

40%-70% dari permukaan kepala Ukuran Panjang 4-5, 5 mm, lebar

2, 5-3, 5 mm, P/l 1,5-1,72

Panjang 3-5mm Lebar 2-3 mm Vakuola <20% area kepala ≤ 1/4 area kepala Bagian tengah

Bentuk Lurus regular, melengkung aksial

Kurus, lurus regular, melengkung aksial

Ukuran <1/3 area kepala Lebar < 1mm, panjang 1,5 x kepala

Droplet sitoplasma

<1/3 area kepala <1/3 area kepala

Ekor

Tampilan Lebar Kurus , tidak melengkung Bentuk sama, tidak melengkung, lebih kurus dari bagian tengahnya

Panjang >45 mm 10 x kepala

e. Viabilitas: Standar nilai viabilitas normal dalah ≥ 58%. Bila sperma yang motil ditemukan kurang dari 58% sperma yang viabel, maka kemungkinan motilitas sperma akan menurun karena terdapat sperma yang mati (nekrospermia). Perlu dilakukan pemeriksaan viabilitas pada analisa sperma ini (WHO, 2010).

f. Sel non sperma: sel germinal yang immatur, sel epitel dan leukosit. Leukosit merupakan elemen sel non sperma yang sangat signifikan dan sering dijumpai pada pasien dengan infertilitas. WHO menyatakan bahwa bila level leukosit diatas 1 x 106 WBC/mL maka disebut dengan leukositospermia. Nilai normalnya adalah

(28)

2.2. Spermatogenesis, Semen dan Kelainan pada Sperma 2.2.1 Spermatogenesis

Gambar 2.2 Spermatogenesis (Guyton dan Hall, 2007)

(29)

mulai mengalami pembelahan mitosis, yang dimulai saat pubertas, dan terus berproliferasi dan berdiferensiasi melalui berbagai tahap perkembangan untuk membentuk sperma (Guyton dan Hall, 2007).

Spermatogenesis terjadi di tubulus seminiferus selama masa seksual aktif akibat stimulasi oleh hormon gonadotropin yang dihasilkan di hipofisis anterior, yang dimulai rata-rata pada umur 13 tahun dan terus berlanjut hampir di seluruh sisa kehidupan, namun sangat menurun pada usia tua (Guyton dan Hall, 2007).

Pada tahap pertama spermatogenesis, spermatogonia bermigrasi di antara sel- sel sertoli menuju lumen sentral tubulus seminiferus. Sel-sel sertoli ini sangat besar, dengan pembungkus sitoplasma yang berlebihan yang mengelilingi spermatogonia yang sedang berkembang sampai menuju bagian tengah lumen tubulus (Guyton dan Hall, 2007).

Proses berikutnya adalah pembelahan secara meiosis. Pada tahap ini spermatogonia yang melewati lapisan pertahanan masuk ke dalam lapisan sel Sertoli akan dimodifikasi secara berangsur-angsur dan membesar untuk membentuk spermatosit primer yang besar. Setiap spermatosit tersebut, selanjutnya mengalami pembelahan mitosis untuk membentuk dua spermatosit sekunder. Setelah beberapa hari, spermatosit sekunder ini juga membelah menjadi spermatid yang akhirnya dimodifikasi menjadi spermatozoa (sperma) (Guyton dan Hall, 2007).

Selama masa pergantian dari tahap spermatosit ke tahap spermatid, 46 kromosom spermatozoa (23 pasang kromosom) dibagi sehingga 23 kromosom diberikan ke satu spermatid dan 23 lainnya ke spermatid yang kedua (Sherwood, 2012). Keadaaan ini juga membagi gen kromosom sehingga hanya setengah karakteristik genetik bayi yang berasal dari ayah, sedangkan setengah sisanya diturunkan dari oosit yang berasal dari ibu. Keseluruhan proses spermatogenesis, dari spermatogonia menjadi spermatozoa, membutuhkan waktu sekitar 74 hari (Guyton dan Hall, 2007).

(30)

spermatozoa. Masing-masing spermatozoa terdiri atas kepala dan ekor. Kepala terdiri atas inti sel yang padat dengan hanya sedikit sitoplasma dan lapisan membran sel di sekeliling permukaannya. Di bagian luar, dua pertiga anterior kepala terdapat selubung tebal yang disebut akrosom yang terutama dibentuk oleh apparatus Golgi. Selubung ini mengandung sejumlah enzim yang serupa dengan enzim yang ditemukan pada lisosom dari sel-sel yang khas, meliputi hialuronidase (yang dapat mencerna filamen proteoglikan jaringan) dan enzim proteolitik yang sangat kuat (yang dapat mencerna protein). Enzim ini memainkan peranan penting sehingga memungkinkan sperma untuk memasuki ovum dan membuahinya (Guyton dan Hall, 2007).

Ekor sperma, yang disebut flagellum, memiliki tiga komponen utama yaitu (1) kerangka pusat yang secara keseluruhan disebut aksonema, yang memiliki struktur yang serupa dengan struktur silia yang terdapat pada permukaan sel tipe lain; (2) membran sel tipis yang menutupi aksonema; dan (3) sekelompok mitokondria yang mengelilngi aksonema di bagian proksimal ekor ( badan ekor) (Guyton dan Hall, 2007).

Gerakan maju-mundur ekor (gerakan flagella) memberikan motilitas sperma. Gerakan ini disebabkan oleh gerakan meluncur longitudinal secara ritmis di antara tubulus posterior dan anterior yang membentuk aksonema. Sperma yang normal bergerak dalam medium cair dengan kecepatan 1 sampai 4 mm/menit. Kecepatan ini akan memungkinkan sperma untuk bergerak melalui traktus genitalia wanita untuk mencapai ovum (Guyton dan Hall, 2007).

Proses selanjutnya setelah pembentukan sperma adalah pematangan sperma di epididimis. Setelah terbentuk di tubulus seminiferus, sperma membutuhkan waktu beberapa hari untuk melewati tubulus epididimis yang panjangnya 6 meter. Sperma yang bergerak dari tubulus seminiferus dan dari bagian awal epididimis adalah sperma yang belum motil, dan tidak dapat membuahi ovum. Akan tetapi, setelah sperma berada dalam epididimis selama 18-24 jam, sperma akan memiliki kemampuan motilitas (Guyton dan Hall, 2007).

(31)

berada di bagian utama ekor sperma. Protein ini tampaknya adalah suatu kanal

Ca2+ yang memungkinkan influx Ca2+ generalisata c-AMP. Selain itu, spermatozoa mengekspresikan reseptor olfaktorius, dan ovarium menghasilkan molekul mirip odoran. Bukti-bukti terkini mengisyaratkan bahwa berbagai molekul ini dan reseptornya saling berinteraksi, yang memperkuat gerakan spermatozoa ke arah ovarium (Ganong, 2008).

2.2.2 Semen

Cairan yang diejakulasikan pada saat orgasme, yakni semen (air mani), mengandung sperma dan sekret vesikula seminalis, prostat, kelenjar Cowper, dan mungkin kelenjar uretra (Tabel 2.3). Volume rerata per ejakulat adalah 2,5-3,5 mL setelah beberapa hari tidak dikeluarkan. Volume semen dan hitung sperma menurun cepat bila ejakulasi berkurang. Walaupun hanya diperlukan satu sperma untuk membuahi ovum, setiap milliliter semen normalnya mengandung 100 juta sperma. Lima puluh persen pria dengan hitung sperma 20-40 juta/mL dan pada dasarnya, semua pria dengan nilai hitung yang kurang dari 20 juta/mL dianggap mandul. Adanya banyak spermatozoa yang immotil atau cacat juga berkorelasi dengan infertilitas. Prostaglandin dalam semen, yang sebenarnya berasal dari vesikula seminalis, kadarnya cukup, namun fungsi turunan asam lemak in di dalam semen tidak diketahui (Ganong, 2008).

(32)
[image:32.595.117.532.129.432.2]

Tabel 2.3 Komposisi Semen Manusia (Ganong, 2008)

Warna : putih Berat jenis spesifik : 1,028

pH : 7,35-750

Hitung sperma : Rerata sekitar 100 juta/mL, dengan bentuk abnormal kurang dari 20% Komponen lain:

Fruktosa (1,5-6,5 mg/ml) Fosforilkolin, ergotionein

Asam askorbat, flavin , prostaglandin

Spermin Asam sitrat

Kolesterol, fosfolipid Fibrinolisin, fibrogenase Seng

Fosfatase asam

Fosfat Bikarbonat

Hialuronidase

2.2.3 Kelainan pada Sperma

Oligospermia idiopatik ditemukan bila konsentrasi sperma kurang dari 20 x106/mL tetapi lebih dari 10 x106/mL. Asthenospermia idiopatik pada kasus ini konsentrasi spermanya normal tetapi terdapat proporsi yang rendah dari spermatozoa dengan motilitas yang cepat. Teratozoospermia idiopatik ditemukan bila konsentrasi dan motilitas sperma normal tetapi morfologinya abnormal. Kriptozoospermia idiopatik didiagnosis bila tidak terdapat spermatozoa dalam sampel semen yang baru diambil, namun mulai terlihat beberapa spermatozoa setelah disentrifugasi (Al-Haija, 2011).

Azoospermia obstruktif didiagnosa bila semen adalah azoospermia (tidak terdapat sperma dalam semen) namun pada biopsi testis menunjukkan terdapat banyak komplemen spermatogenik dalam tubulus seminiferus (Al-Haija, 2011).

Terdapat banyak bukti kuat penyebab yang paling berperan dalam kejadian infertilitas pria seperti kanker testis, penurunan kualitas semen, andesensus

Dari vesikula seminalis

(membentuk 60% volume total)

Dari prostat (membentuk 20 % volume total)

(33)

testikularis, dan hipospadia akibat gangguan pemprograman embrional dan perkembangan gonad selama kehidupan masa janin (Al-Haija, 2011).

2.3. Leukosit

Leukosit merupakan unit yang aktif dari sistem pertahanan imun tubuh. Imunitas adalah kemampuan tubuh menahan atau menyingkirkan benda asing yang berpotensi merugikan atau sel yang abnormal. Leukosit dan turunan-turunannya, bersama dengan berbagai protein plasma, membentuk sistem imun, suatu sistem pertahanan internal yang mengenali dan menghancurkan atau menetralkan benda-benda dalam tubuh yang asing bagi “diri normal” (Sherwood, 2012).

Leukosit ini sebagian besar diproduksi di sumsum tulang (granulosit, monosit dan sedikit limfosit) dan sebagian lagi di jaringan limfe (limfosit dan sel-sel plasma). Setelah dibentuk, sel-sel-sel-sel ini diangkut dalam darah menuju berbagai bagian tubuh untuk digunakan. Manfaat sesungguhnya dari sel darah putih ialah sebagian besar diangkut secara khusus ke daerah yang terinfeksi dan mengalami peradangan serius. Jadi, sel-sel tersebut dapat menyediakan pertahanan yang cepat dan kuat terhadap agen-agen infeksius (Guyton dan Hall, 2007).

Terdapat enam macam sel darah putih yang secara normal ditemukan di dalam darah. Keenam sel tersebut adalah netrofil polimorfonuklear, basofil polimorfonuklear, eosinofil polimorfonuklear, monosit, limfosit dan kadang-kadang, sel plasma. Ketiga tipe pertama dari sel yaitu sel-sel polimorfonuklear, seluruhnya memiliki gambaran granular, sehingga sel-sel tersebut disebut granulosit (Guyton dan Hall, 2007).

(34)
[image:34.595.107.512.134.234.2]

Tabel 2.4 Persentase Normal Sel Darah Putih

Jenis-jenis leukosit Persentase sel

normal

Netrofil polimorfonuklear 62,0%

Eosinofil polimorfonuklear 2,3%

Basofil polimorfonuklear 0,4%

Monosit 5,3%

Limfosit 30,0%

Pembentukan sel darah putih dimulai dari diferensiasi dini dari sel stem hemopoietik pluripoten menjadi berbagai tipe sel stem committed. Sel-sel committed ini selain membentuk sel darah merah, juga membentuk sel darah putih. Dalam pembentukan leukosit terdapat dua tipe yaitu mielositik dan limfositik. Pembentukan leukosit tipe mielositik dimulai dengan sel muda yang berupa mieloblas sedangkan pembentukan leukosit tipe limfositik dimulai dengan sel muda yang berupa limfoblas (Guyton dan Hall, 2007).

Granulosit dan monosit hanya dibentuk di dalam sumsum tulang. Limfosit dan sel plasma diproduksi di berbagai jaringan limfogen, khususnya kelenjar limfe, limpa, timus, tonsil dan berbagai kantong jaringan limfoid dalam sumsum tulang dan plak Peyer di bawah epitel dinding usus (Guyton dan Hall, 2007).

Leukosit yang dibentuk di dalam sumsum tulang, terutama granulosit, disimpan dalam sumsum sampai sel-sel tersebut diperlukan dalam sirkulasi. Kemudian, bila kebutuhannya meningkat, beberapa faktor seperti sitokin-sitokin akan dilepaskan. Dalam keadaan normal, granulosit yang bersirkulasi dalam seluruh darah kira-kira tiga kali jumlah yang disimpan dalam sumsum. Jumlah ini sesuai dengan persediaan granulosit selama enam hari. Sedangkan limfosit sebagian besar akan disimpan dalam berbagai area jaringan limfoid kecuali pada sedikit limfosit yang secara temporer diangkut dalam darah (Guyton dan Hall, 2007).

(35)

terinfeksi, melakukan fungsinya, dan masuk dalam proses dimana sel-sel itu sendiri harus dimusnahkan (Guyton dan Hall, 2007).

Monosit memiliki masa edar yang singkat, yaitu 10-20 jam, berada di dalam darah sebelum berada dalam jaringan. Begitu masuk ke dalam jaringan, sel-sel ini membengkak sampai ukurannya yang sangat besar untuk menjadi makrofag jaringan. Dalam bentuk ini, sel-sel tersebut dapat hidup hingga berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Makrofag jaringan ini akan menjadi dasar bagi sistem makrofag jaringan yang merupakan sistem pertahanan lanjutan dalam jaringan untuk melawan infeksi (Guyton dan Hall, 2007).

Limfosit memasuki sistem sirkulasi secara kontinu, bersama dengan aliran limfe dari nodus limfe dan jaringan limfoid lainnya. Kemudian, setelah beberapa jam, limfosit keluar dari darah dan kembali ke jaringan dengan cara diapedesis. Dan selanjutnya memasuki limfe dan kembali ke darah lagi demikian seterusnya. Limfosit memiliki masa hidup berminggu-minggu, berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun, tetapi hal ini tergantung pada kebutuhan tubuh akan sel-sel tersebut (Guyton dan Hall, 2007).

2.4. Hubungan antara Leukosit dengan Motilitas Sperma

Leukosit terdapat dalam saluran reproduktif pria dan hampir selalu ditemukan pada pemeriksaan cairan sperma. Secara fisiologis, kebanyakan dari leukosit terebut berkumpul pada epididimis dan berfungsi untuk sistem imunitas dan proses fagositosis dari spermatozoa abnormal. Kadar jenis leukosit yaitu granulosit (50%-60%), makrofag (20%-30%) dan limfosit (2%-5%) (Aryoseto, 2009).

(36)

Batas jumlah leukosit yang apabila dilampaui akan mengganggu fertilitas masih sulit untuk ditentukan. Pengaruh sel-sel ini tergantung dari tempat dimana leukosit masuk semen, tipe leukosit, dan keadaan pengaktifan leukosit tersebut (Aryoseto, 2009).

Dikarenakan hanya jumlah sperma yang dihitung dalam pencacahan sperma, jumlah dari leukosit dapat dihitung secara relatif dengan jumlah sperma yang diketahui. Jika N adalah jumlah dari jenis sel yang dicacah dalam sebuah lapangan pandang sama dengan 100 sperma dan S adalah jumlah sperma dalam juta/mL, maka C jumlah sel yang dicacah dalam juta/mL dapat dihitung menggunakan rumus:

Contohnya: jika jumlah sel-sel leukosit yang dicacah adalah 10 per 100 sperma dan jumlah sperma adalah 120 x 106/mL, maka jumlah sel-sel leukosit adalah:

10 ×120×104

100 per milliliter = 12× 10

4

/mL

Nilai normal jumlah leukosit adalah kurang dari 1× 106/mL ( Lackner, et al., 2010).

Pengaruh leukosit pada motilitas sperma terdapat pada adanya sitokin-sitokin dan reactive oxygen species (ROS). Peningkatan konsentrasi dari leukosit dapat meningkatkan kadar kedua senyawa tersebut (Lui dan Cheng, 2007).

Peningkatan kadar sitokin dapat mengurangi beberapa produksi protein yang dibutuhkan untuk proses spermatogenesis. Beberapa sitokin-sitokin seperti TNF-α dan TGF-β3 yang bisa mengurangi produksi Ocludin yang dapat

mengurangi pembentukan spermatozoa dan Claudin yang menyebabkan tubulus seminiferus terisi banyak nucleated cell yang berkumpul (Lui dan Cheng, 2007).

Peningkatan jumlah leukosit dalam semen sangat erat hubungannya dengan reactive oxygen species (ROS). ROS itu sendiri merupakan produk normal metabolisme seluler, termasuk diantaranya adalah ion oksigen, radikal bebas dan peroksida. Tingkat produksi ROS oleh leukosit dilaporkan mencapai 1000 kali lebih besar dibandingkan dengan kapasitas spermatozoa yang ada (Tremellen,

(37)

2008). Dalam kondisi fisiologis, sel spermatozoa memproduksi ROS dalam jumlah yang kecil. Dalam jumlah yang kecil, ROS dibutuhkan untuk regulasi fungsi sperma, kapasitasi sperma dan reaksi akrosom. Sedangkan dalam jumlah yang besar ROS toksik terhadap sel normal dan menurunkan potensi fertilitas dari sperma (Nallella, et al., 2005).

ROS dapat menyebabkan infertilitas melalui dua mekanisme yaitu pertama, ROS merusak membran sperma yang dapat menurunkan motilitas sperma dan menurunkan kemampuan untuk bergabung dengan oosit. Kemudian yang kedua, ROS secara langsung merusak DNA sperma, yang dapat menyebabkan gangguan perkembangan embrio karena kerusakan DNA paternal dari sperma (Tremellen, 2008).

(38)

BAB 3

KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN

DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep Penelitian

[image:38.595.130.508.319.370.2]

Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah:

Gambar 3.1 Kerangka konsep hubungan antara jumlah leukosit dalam cairan semen dengan motilitas sperma yang rendah

3.2 Definisi Operasional Tabel 3.1 Definisi Operasional

Variabel Definisi Alat Ukur Cara Pengukuran Hasil Ukur Skala Ukur A. Infertilitas Ketidak mampuan seorang pria untuk menghamili wanita setelah 12 bulan atau lebih melakukan hubungan seksual secara regular tanpa menggunakan alat kontrasepsi Rekam medis Anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan analisis semen Infertil/ tidak infertil Ordinal B. Infertilitas primer Tidak pernah menghamili meskipun telah melakukan Rekam medis Anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan analisis semen Infertilitas primer/ sekunder Ordinal Jumlah leukosit dalam cairan semen

[image:38.595.108.558.488.757.2]
(39)

hubungan seksual secara teratur selama > 12 bulan tanpa kontrasepsi C. Infertilitas sekunder Pernah menghamili tetapi kemudian tidak mampu menhamili lagi meskipun telah melakukan hubungan seksual secara teratur > 12 bulan tanpa kontrasepsi Rekam medis Anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan analisis semen Infertilitas primer/ sekunder Ordinal D. Varikokel Kondisi varikosis pada vena-vena pampiri- formis yang membentuk benjolan-benjolan yang terasa seperti suatu “ sekantong cacing” tampak di bawah kulit skrotum disertai tarikan yang menetap dan nyeri skrotum. Rekam medis Anamnesis, Pemeriksaan fisik Vari-

kokel/ tidak ada kelainan Ordinal E. Hemato- Spermia Terdapatnya darah di dalam sperma Rekam medis Pemeriksaan makroskopik analisa semen Semen berwarna merah Rasio

Leukosit Sel darah putih yang terdapat pada ejakulat Rekam medis Pemeriksaan mikroskopik analisa semen. Jumlah dari leukosit dapat dihitung secara relatif dengan rumus:

Jika N adalah jumlah dari jenis sel yang dicacah

Kategori jumlah leukosit:

1. < 1,0 Juta/ml 2. >1,0 Juta/mL

Rasio

C = ���

(40)

dalam sebuah lapangan pandang sama dengan 100 sperma dan S adalah jumlah sperma, maka C jumlah sel yang dicacah. Konsen- trasi sperma Jumlah sperma per milliliter dalam total ejakulat Rekam medis Pencacahan jumlah sperma dengan memakai metode hemositomer pada kamar hitung newbauer improved. Pencacahan dilakukan oleh praktisi analisa sperma pada saat pemeriksaan analisis semen. Juta/mL. Motilitas sperma Persentasi pergerakan sperma progresif dalam ejakulat. Rekam medis Pemeriksaan mikroskopis analisa semen. Dilakukan oleh praktisi analisis semen. Persen (%), dengan penggolongan: •PR (Progressive

motility) •NP (

Non-Progressive Motility) •IM (Immotility)

Rasio Umur Rentang kehidupan yang diukur dengan tahun Rekam medis Tanggal dan tahun masuk RS Adenin Adenan dikurangi dengan tanggal dan tahun lahir pasien

Peng-

golongan umur: •26-30 tahun •31-35 tahun •36-40 tahun •41-45 tahun •46-50 tahun

Rasio

(41)
(42)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan studi cross-sectional (Sastroasmoro dan Sofyan, 2011). Penelitian ini dilakukan dengan satu kali pengamatan dan selanjutnya dilihat apakah terdapat hubungan antara peningkatan jumlah leukosit pada cairan semen dengan penurunan motilitas sperma.

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Adapun tempat dilakukannya penelitian ini adalah di Rumah Sakit Adenin Adenan, Medan. Waktu penelitian adalah pada bulan September 2013.

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1 Populasi Target

Populasi target adalah pasien infertilitas yang memeriksakan sperma dengan metode analisis semen manual.

4.3.2 Populasi Terjangkau

Populasi terjangkau adalah pasien infertilitas yang memeriksakan sperma dengan metode analisis semen manual di Rumah Sakit Adenin Adenan Medan dalam kurun waktu 1 April 2012 sampai 31 April 2013.

4.3.3 Sampel Penelitian

(43)

a) Kriteria inklusi

1. Pria dengan diagnosa sementara “infertilitas”

2. Memeriksakan sperma dengan metode analisis semen manual 3. Ditemukan leukosit dalam analisis semen

b) Kriteria eksklusi

1. Tidak ditemukan leukosit dalam analisis semen 2. Infertilitas karena azoospermia.

4.4. Teknik Pengumpulan Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari suatu berkas yang sudah ada dari suatu institusi. Data sekunder pada penelitian ini adalah rekam medis dan hasil pemeriksaan analisis semen dari sampel penelitian.

4.5. Metode Analisis Data

(44)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian 5.1.1 Deskripsi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Adenin Adenan di Jalan Sisingamangaraja No. 8 Medan, Sumatera Utara. Waktu pengambilan data sekunder yaitu data hasil pemeriksaan analisis semen dari laboratorium pemeriksaan semen Rumah Sakit Adenin Adenan Medan adalah tanggal 31 September 2013. Data yang diambil merupakan data hasil pemeriksaan analisis semen dan data rekam medis pasien yang pasangannya melakukan pemeriksaan analisis semen di Rumah Sakit Adenin Adenan Medan dari tanggal 1 April 2012 hingga 31 April 2013.

5.1.2. Karakteristik Sampel

(45)

5.1. Gambaran Karakteristik Pasien Infertilitas di Rumah Sakit Adenin Adenan, Medan selama Periode 1 April 2012 sampai 31 April 2013

Berdasarkan tabel 5.1., dari 37 sampel yang memenuhi kriteria inklusi yang melakukan pemeriksaan analisis semen di Rumah Sakit Adenin Adenan Medan, distribusi pasien paling banyak terdapat pada rentang usia 26-30 tahun dengan persentase sekitar 56,75% dan 54,05% diantaranya merupakan pasien dengan diagnosis infertilitas primer. Diikuti dengan pasien dengan rentang umur 30-35 tahun sebanyak 10 orang (27,03%) dengan keseluruhan pasien didiagnosa mengalami infertilitas primer. Dan pada rentang umur diatas 35 tahun angka tersebut cenderung semakin menurun dengan rata-rata perbandingan tipe infertilitas yang sama.

Berdasarkan data sekunder yang ada, juga tidak ditemukan pasien dengan riwayat varikokel, hematospermia atau yang memiliki riwayat infeksi sebelumnya dan tidak ditemukan penyebab dari kejadian infertilitas di Rumah Sakit Adenin Adenan Medan.

Umur (Tahun)

Infertilitas Primer (%)

Infertilitas Sekunder (%)

Total (%) 26-30 20 ( 54,05) 1 (2,7) 21(56,75)

30-35 10 ( 27,03) 0 (0) 10 (27,03)

36-40 0 (0) 2 (5,4) 2 (5,4)

41-45 2 (5,41) 1 (2,7) 3 (8,11)

46-50 1 (2,7) 0 (0) 1 (2,7)

(46)
[image:46.595.108.515.177.275.2]

Tabel 5.2. Distribusi Sampel Menurut Jumlah Sperma/ml pada Hasil Pemeriksaan Analisis Semen Pasien Infertilitas

Kategori Jumlah sperma/ml Jumlah Sampel %

A <5 juta 5 13,5

B 5-10 juta 4 10,8

C 11-15 juta 3 8,1

D 16-20 juta 5 13,5

E 21-50 juta 20 54,1

Total 37 100,0

Dapat dilihat pada tabel 5.2., konsentrasi sperma pada pasien infertilitas yang memeriksakan analisis semen sebagian besar memiliki nilai yang normal sesuai standar WHO (konsentrasi minimal sperma/ml=20 x 106 juta/ml).

Tabel 5.3. Distribusi Sampel Menurut Jumlah Leukosit pada Hasil Pemeriksaan Analisis Semen Pasien Infertilitas

Dari tabel 5.3. didapatkan bahwa tampak kadar leukosit pada hasil pemeriksaan analisis semen sebagian besar berada dalam kadar tidak normal yaitu diatas 1 juta leukosit/ml. Sehingga dapat dikatakan bahwa sebagian besar pasien yang memeriksakan analisis semen manual ini memiliki jumlah leukosit yang melebihi batas normal sehingga disebut dengan keadaan leukositospermia (> 1x 106 leukosit/ml).

Jumlah Leukosit (juta/ml) Jumlah Sampel %

<1 juta/ml 13 35,1

. >1 juta/ml 24 64,9

[image:46.595.106.511.428.486.2]
(47)
[image:47.595.114.511.161.659.2]

Tabel 5.4. Distribusi Sampel menurut Motilitas Sperma pada Hasil Pemeriksaan Analisis Semen Pasien Infertilitas

Kategori Motilitas (%) Jumlah Sampel Persentase Progressive Motility

0% 31 83,8

2% 1 2,7

5% 5 13,5

Non-Progressive Motility

10 % 15%

1 1

2,7 2,7

20% 2 5,4

25% 1 2,7

30% 4 10,8

35% 5 13,5

40% 8 21,6

42% 1 2,7

43% 1 2,7

45% 1 2,7

50% 11 29,7

55% 1 2,7

Immotility

45% 1 2,7

50% 11 29,7

55% 1 2,7

57% 1 2,7

58% 1 2,7

59% 1 2,7

60% 8 21,6

65% 5 13,5

70% 4 10,8

75% 1 2,7

80% 3 8,1

85% 3 8,1

(48)

Dari tabel 5.4., didapatkan bahwa nilai motilitas sperma yang progresif pada pemeriksaan analisis semen pasien infertilitas di Rumah Sakit Adenin Adenan (PR) tidak ada yang mencapai nilai normal menurut standar WHO tahun 2010 yaitu ≥ 32%. Dari 37 sampel yang ada, sebanyak 11 orang memiliki nilai persentase motilitas sperma non-progressive yaitu 50%. Data sperma yang immotil atau tidak bergerak sama sekali paling banyak terdistribusi pada kisaran 50%.

[image:48.595.107.516.363.538.2]

Berikut merupakan deskripsi data secara statistik yang menggambarkan tentang nilai data dari jumlah leukosit dan motilitas sperma (Tabel 5.5.).

Tabel 5.5. Hasil Pengolahan Deskriptif Data Leukosit dan Motilitas Sperma

N Min Maks Mean SD Normalitas

(Kolmogorov-Smirnov) Jumlah

leukosit

37 0,30 juta/ml

3.00 juta/ml 1,2270 juta/ml

0,75375 0,02

Progressive motility

37 0 % 5% 0,73 % 1,742 0,00

Non-Progressive motility

37 10% 55% 36,70% 10,151 0,61

Immotility 37 45% 85% 60,81% 10,427 0,06

Keterangan:

N : Jumlah sampel Min : Nilai minimum Maks : Nilai maksimum Mean : Nilai rata-rata SD : Standard Deviation

(49)
[image:49.595.107.487.236.416.2]

Hasil yang diperoleh sebagai berikut:

Tabel 5.6. Hasil Uji Korelasi Spearman antara Jumlah Leukosit dengan Motilitas Sperma

Jumlah Leukosit

Progressive motility Koefisien korelasi -0,135

Signifikansi 0,424

N 37

Non-Progressive motility Koefisien korelasi 0,060

Signifikansi 0,724

N 37

Immotility Koefisien korelasi -0,107

Signifikansi 0,528

N 37

Koefisien korelasi motilitas sperma yang progresif (progressive motility)

dengan jumlah leukosit pada pemeriksaan analisis semen adalah negatif ( r = -0,135) yang dapat diinterpretasikan bahwa terdapat hubungan terbalik antara

(50)

5.3. Pembahasan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya hubungan jumlah leukosit dengan motilitas sperma, yaitu bila dihubungkan dengan motilitas sperma yang progresif (progressive motility) maka hal ini berhubungan terbalik ( r = -0,135), dan bila dihubungkan dengan motilitas sperma yang tidak progresif ( non-progressive motility) maka keduanya berhubungan searah (r = 0,060), namun secara statistik tidak signifikan (p >0,05). Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa jumlah leukosit yang tinggi sangat mempengaruhi motilitas sperma. Sehingga saat jumlah leukosit tinggi, motilitas sperma menjadi rendah. Penelitian ini juga sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang menunjukkan adanya penurunan motilitas sperma terhadap kenaikan jumlah leukosit.

Pada penelitian Henkel menyebutkan bahwa terdapat korelasi yang bermakna antara peningkatan leukosit pada cairan semen dengan motilitas sperma. Hal ini disebabkan karena leukosit tersebut memproduksi reactive oxygen spesies (ROS) yang memiliki efek yang sangat berbahaya pada berbagai fungsi spermatozoa, termasuk pada motilitas sperma (Henkel, 2011).

Sejalan dengan hal tersebut, penelitian yang dilakukan oleh Moskovtsev juga mengindikasikan bahwa keadaan leukositospermia (> 1x 106 leukosit/ml) memiliki efek negatif yang signifikan pada parameter pemeriksaan semen standar, yaitu pada konsentrasi, morfologi dan yang paling utama adalah pada motilitas sperma (Moskovtsev et al., 2007).

Pada penelitian Aziz et al., juga memberikan kesimpulan yang sama bahwa terdapat korelasi positif yang signifikan antara peningkatan jumlah leukosit terutama pada keadaan leukositospermia dengan defek pada ekor sperma yang mempengaruhi kualitas motilitas dari sperma. Metode penelitian yang digunakan Aziz et al., menggunakan data primer, pemeriksaan analisa sperma standar (manual) dan konsentrasi leukosit seminal secara langsung (Aziz et al., 2004).

(51)

menyebabkan peningkatan sitokin-sitokin yang merupakan mediator radang yang dapat memicu stres oksidatif dan mengganggu proses spermiogenesis.

Peningkatan konsentrasi sitokin plasma seminal, termasuk interleukin-1 (IL-1), IL-2,IL-6 and tumor necrosis factor-alpha (TNF-α), berasosiasi dengan rendahnya kualitas sperma dan infertilitas pria. Terlebih lagi, terdapat bukti bahwa sitokin-sitokin tersebut berefek negatif terhadap spermatogenesis dan steroidogenesis. Interferon (IFN) berfungsi melindungi testis dari infeksi viral, tetapi juga memiliki efek langsung terhadap fisiologis testis. Transforming growth factor (TGF) keluarga dari sitokin (TGF-α dan -β) ditenggarai berkontribusi dalam perkembangan testis mamalia, termasuk sel Leydig dan tubulus. seminiferous, meskipun TGF-α1 pada testis manusia berasosiasi dengan fibrosis tubulus seminiferous, dan sebagai akibatnya, gangguan pada spermatogenesis. TGF-β juga berperan penting dalam immunoregulasi dan toleransi immunologi terhadap sel germinal dan sperma di traktus reproduksi pria (Widodo, 2009).

Mekanisme kedua adalah meningkatnya jumlah Reactive Oxygen Spesies (ROS) yang disebabkan oleh meningkatnya jumlah granulosit yang aktif. Studi terbaru yang dilakukan oleh Mupfiga dan Henkel, mengungkapkan bahwa konsentrasi leukosit dalam semen tidak hanya berkorelasi positif pada produksi ROS dalam ejakulat, tetapi juga pada produksi superoksida oleh sel sperma tersebut (r= 0.336; P=0.0098; n=60), kerusakan membran potensial mitokondria (r=0.465; P=0.043; n=20). Dalam kondisi fisiologis, spermatozoa memproduksi ROS dalam jumlah yang kecil. Dalam jumlah yang kecil, ROS dibutuhkan untuk regulasi fungsi sperma, kapasitasi sperma dan reaksi akrosom. Sedangkan dalam jumlah yang besar ROS toksik terhadap sel normal dan menurunkan potensi fertilitas dari sperma melalui kerusakan DNA dan apoptosis. Peningkatan ROS dapat menyebabkan gangguan pada proses spermatogenesis sehingga dapat menyebabkan adanya kelainan pada morfologi dari sel spermatozoa (Henkel, 2011).

(52)

berkemampuan membangkitkan ROS. Senyawa ini dapat menginduksi lipid peroksidase di dalam membran sel. Lipid peroksidase yang ada mengoksidasi lebih dari 60 % asam lemak tak jenuh yang terdapat pada membran plasma sel spermatozoa. Jika lipid peroksidase dalam jumlah yang banyak ditambahkan ke dalam suspensi sperma, akan menyebabkan kerusakan membran dan fungsi membran juga akan menyebabkan kerusakan DNA. Hal ini menyebabkan terjadinya agregasi sperma sehingga mempengaruhi motilitas sperma. Studi terbaru yang dilakukan oleh Khosrowbeygi and Zarghami menunjukkan bahwa sperma dari pasien asthenozoospermia, asthenoteratozoospermia, dan oligoasthenoteratozoospermia memiliki level asam lemak tak jenuh yang tinggi pada membran plasmanya dibandingkan pada laki-laki yang normozoospermia. Hal ini semakin mengindikasikan bahwa terjadi peningkatan oksidasi oleh lipid peroksidase dan stres oksidatif yang menyebabkan terjadinya disfungsi motilitas pada sperma pria infertil (Henkel, 2011).

(53)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Dari hasil uji statistik diketahui bahwa koefisien korelasi motilitas sperma yang progresif (progressive motility) dengan jumlah leukosit pada pemeriksaan analisis semen adalah negatif ( r = -0,135) dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan terbalik antara jumlah leukosit dengan motilitas sperma dengan kekuatan korelasi yang lemah namun secara statistik tidak signifikan p = 0,424

(p <0,05).

6.2. Saran

1. Perlu dilakukan pemeriksaan konsentrasi leukosit seminal dengan peralatan yang

lebih canggih sehingga dapat diperoleh hasil penghitungan jumlah leukosit yang

benar-benar akurat.

2. Pada setiap praktisi medis yang menangani pasien infertil untuk memperhatikan

kadar leukosit pada hasil pemeriksaan analisis semen yang ada, sehingga dapat

ditelusuri lebih lanjut faktor penyebab, dan faktor resiko apabila ditemukan jumlah

leukosit yang tinggi atau abnormal.

3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui hubungan yang kuat

antara tingginya jumlah leukosit dengan penurunan motilitas sperma pada skala yang

(54)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Haija, Rania Wasef Mostafa. 2011. Main Causes of Infertility among Men Treated at Razan Centers in West Bank:Retrospective Study. Thesis , An-Najah National University Faculty of Graduate Studies.

Aryoseto, Lukman. 2009. Hubungan antara Jumlah Leukosit dengan Morfologi Spermatozoa pada Pasien Infertilitas di Rumah Sakit Dokter Kariadi. Skripsi , Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Aziz N, Saleh RA., Sharma RK.., Lewis-Jones I., Esfandiari N. &Thomas AJ Jr. Agarwal A. 2004. Novel Association between Sperm Reactive Oxygen Species Production. Sperm Morphological Defects. and The Sperm Deformity Index. Fertil Steril, 81, pp. 349-354.

Berek. Jonathan S. 2007. Berek & Novak’s Gynecology. 14th Edition. Lipipincott Williams &Wilkins, 30, pp. 1186-1203.

Carrel. Douglas T. ed. 2013. Paternal Influences on Human Reproductive Success. New York. Cambridge University Press.

Ganong, W.F. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.Edisi 22. Jakarta. EGC

Guyton, AC. Hall JE. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.Edisi 11.Jakarta. EGC

Henkel, Ralf. 2011. Leukocytes and oxidative stress: dilemma for sperm function and male fertility. Asian Journal of Andrology (2011) 13, pp.43–52.

(55)

Lackner. Jakob E. Ashok Agarwal. Reda Mnafouz’ Stefan S du Plessis. & Georg Schatzi . 2010. The Association Between Leukocytes and Sperm Quality is Concentration Dependent. Reproductive Biology and Endocrinology. 8, pp. 12.

Lui WY, Cheng CY. 2007.Regulation of Cell Junction Dynamics by Cytokines in the Testis. Cytokine Growth Factor Rev, 18, pp. 299-311.

Mascarenhas. Maya N. et al.2012.National. Regional. and Global Trends in Infertility Prevalence Since 1990: A Systematic Analysis of 277 Health Surveys. PLOS Medicine.

Moskovtsev SI, Willis J, White J, Mullen JB. 2007Leukocytospermia: relationship to sperm deoxyribonucleic acid integrity in patients evaluated for male factor

infertility. Fertil Steril. 88, pp.737–740

Nallella KP.,Sharma RK., Allamaneni SSR.& Agarwal A. 2005. Identification of Male Factor Infertility Using a Novel Semen Quality Score and Reactive Oxygen

Spesies Levels. Clinics, 60, pp. 317-24.

Sabanegh., Edmund. Ashok Agarwal., Reecha Sharma., Dan French., Fnu Deepinder. & Alaa Hamada. 2011.The Natural History of Seminal Leukocytes in Men Seeking Infertility Evaluation; The Journal of Clinical Embriology, 14, pp. 25-29.

Saleh. Ramadan A., Ashok Aqarwal., Rakesh K Sharma., David R Nelson. & Anthony J Thomas. 2001.Effect of cigarette smoking on levels of seminal oxidative stress in infertile men: a prospective study. Presented at the 57th Annual Meeting of the American Society for Reproductive Medicine. Orlando, Florida. October 20–25.

(56)

Sharma, Rakesh K.., Fabio F., Pasqualott., David R., Nelson.Anthony J., Thomas JR. & Ashok Agarwal. 2001: Relationship Between Seminal White Blood Cell Counts and Oxidative Stress in Men Treated at an Infertility Clinic; Journal of

Andrology; 22( no. 4), pp. 575-583.

Sharma R., Pasqualotto FF.Neblson DR.,Thomas AJ Jr. &Agarwal A.2001. Relationship Between Seminal Whiteblood Cell Counts and Oxidative Stress in Men Treated at

an Infertility Clinic. J Androl. 22, pp. 575-83.

Shaqalaih. Ashraf Jaber.2007.Genetic Causes of Male Infertilityin Gaza Strip- Palestine:A Combined Cytogenetic and Y Chromosome Microdeletions Study.Thesis,The Islamic University – Gaza Deanery of Higher Education Faculty of Science Master of Biological Sciences Medical Technology.

Sherwood, Lauralee. 2012. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem.Edisi 6. Jakarta. EGC

Singh. Aspinder & Ashok Agarwal. 2011.The Role of Sperm Chromatin Integrity and DNA Damage on Male Infertility.The Open Reproductive Science Journal. 3, pp. 64-71.

Tanagho, Emil A., Jack. & W. McAninch.2008. Smith’s General Urology. New York. The Mc. Graw-Hill Companies.

Tremellen, Kleton. 2008. Oxidative Stress and Male Infertility-a Clinic Perspective. Human Reproduction Update. 14(3) pp.243-258.

Vignera. S LaEffects Of

The Exposure To Mobile Phones On Male Reproduction: A Review Of The

(57)

Gambar

Tabel 2.1 Gambaran Makroskopik Analisis Semen (WHO, 2010)
Gambar 2.1  Struktur Morfologi Sperma Normal ( Guyton dan Hall, 2007)
Tabel 2.2 Klasifikasi Morfologi Sperma (Wein et al., 2012)
Gambar 2.2 Spermatogenesis  (Guyton dan Hall, 2007)
+7

Referensi

Dokumen terkait