ANALISIS POLA PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN
PERKEMBANGAN WILAYAH DI KOTA BEKASI
CITRA LEONATARIS A14070023
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
RINGKASAN
CITRA LEONATARIS. Analisis Pola Perubahan Penggunaan Lahan dan Perkembangan Wilayah di Kota Bekasi. Dibimbing oleh SANTUN R.P. SITORUS dan DYAH RETNO PANUJU.
Pembangunan sangat diperlukan untuk kelanjutan hidup manusia. Kemajuan pembangunan di suatu wilayah sejalan dengan peningkatan jumlah pertumbuhan penduduk yang diiringi meningkatnya standar kualitas dan kuantitas kebutuhan hidup. Dampak dari peningkatan standar kualitas dan kuantitas hidup tersebut mengakibatkan peningkatan kebutuhan ketersediaan fasilitas. Untuk memenuhi kebutuhan pembangunan fasilitas tersebut terjadi proses perubahan penggunaan lahan yang merubah tata guna lahan.
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui pola perubahan penggunaan lahan Kota Bekasi Tahun 2003 dan 2010, (2) mengidentifikasi dan membandingkan pemanfaatan ruang saat ini dan alokasi ruang menurut RTRW Kota Bekasi periode 2000-2010, (3) mengkaji tingkat perkembangan wilayah Kota Bekasi tahun 2003 dan 2006, serta (4) mengetahui faktor-faktor perubahan penggunaan lahan. Analisis yang digunakan adalah analisis spasial pada citra untuk menentukan kelas penggunaan lahan dan menghitung luas perubahan penggunaan lahan, analisis skalogram untuk mengetahui tingkat perkembangan wilayah dengan menggunakan variabel jumlah fasilitas pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan sosial, analisis inkonsistensi pemanfaatan ruang untuk mengetahui penyimpangan penggunaan lahan dengan alokasi ruang yang telah ditetapkan oleh RTRW serta analisis regresi berganda (multiple regression) untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan di Kota Bekasi.
Penggunaan lahan terbangun di Kota Bekasi dari tahun 2003 sampai 2010 mengalami peningkatan cukup signifikan terkait dengan pembangunan fasilitas pendidikan, kawasan industri, permukiman tidak teratur, dan permukiman teratur dari semula sebesar 10.187,71 ha (47,15%) menjadi 12.061 ha (55,83%). Kondisi eksisting penggunaan lahan di Kota Bekasi tahun 2003 menunjukkan inkonsistensi dengan alokasi ruang dalam rencana tata ruang sebesar 301,35 ha dan tahun 2010 sebesar 377,41 ha. Proporsi penyimpangan terbesar dari luas pada RTRW pada tahun 2003 dan 2010 terjadi pada lahan yang dialokasikan sebagai taman/hutan kota menjadi ruang terbangun, lahan kosong, dan lahan pertanian. Tingkat perkembangan wilayah pada tahun 2003, didominasi oleh kelurahan yang memiliki tingkatan hirarki III sebesar 48% dan pada tahun 2006 meningkat dengan kelurahan yang berhirarki II sebesar 46%.
SUMMARY
CITRA LEONATARIS. An Analysis of Land Use Change Pattern and Regional Development in Bekasi City. Under supervision of SANTUN R.P. SITORUS and
DYAH RETNO PANUJU.
Development is necessary for human life. As a region is developed, the population along with standard of quality and quantity of life are also increasing. The influence of those increasings are lifting up facilities availability requiered. To fulfill the needs of development, land use change will be taken place.
The objectives of the study are: (1) to observe changing pattern of land use of Bekasi city in 2003 and 2010, (2) to identify land use inconsistencies based on allocation space of Regional Spatial Plan (RTRW) period of 2000-2010, (3) to identify regional development of Bekasi city in 2003 and 2006, and (4) to determine the factors influence of land use change. Methods used include spatial, inconcistency, skalogram, and multiple regression analyses. Spatial analysis is usedon the image to determine land use classification and calculate the hectarage of land use change, skalogram analysis to determine the level of regional development by using variables including number of educational, economic, health, and social facilities. Inconsistency analysis was to determine deviations of land use by spatial, and multiple regression analysis was to determine the factors influencing land use change in Bekasi City.
Built up area of Bekasi in 2003-2010 had increased significantly. It correlated to development of education facilities, industrial area, disordered and ordered settlements from 10.187,71 ha (47.5%) became 12.061 ha (55.83%). Inconsistence of allocation and empirical land use of Bekasi was 301,35 ha in 2003 increased to 377,41 ha in 2010. Greatest proportion of inconsistence of empirical land uses compare to Regional Spatial Plan in 2003 and 2010 occurred on allocation for garden city became built up area, open space, and agricultural land. Level of Regional development in 2003 was dominated by villages with 3rd hierarchy (48% ), and in 2006 by 2nd hierarchy (46%).
ANALISIS POLA PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN
PERKEMBANGAN WILAYAH DI KOTA BEKASI
CITRA LEONATARIS
A14070023
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
Pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
Judul Skripsi : Analisis Pola Perubahan Penggunaan Lahan dan Perkembangan Wilayah di Kota Bekasi
Nama Mahasiswa : Citra Leonataris
Nomor Pokok : A14070023
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus Dyah Retno Panuju,SP. MSi NIP. 19490721 197302 1 001 NIP. 19710412 199702 2005
Mengetahui,
Ketua Departemen
Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc. NIP. 1962113 198703 1003
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Citra Leonataris ini
dilahirkan di Muara Bungo pada tanggal 1 Agustus
1989, sebagai putri pertama dari pasangan Sandi
Endang Nata dan Eko Ristuti. Penulis mengawali
pendidikan formal di TK Pertiwi Narogong Bekasi
Timur, SD Islam An-Nur Narogong pada tahun 1995,
kemudian pada tahun 2000 pindah di SD Negeri 101 Muara Bungo dan
menyelesaikan pendidikan pada tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis
diterima di SLTP Negeri 1 Muara Bungo hingga lulus pada tahun 2004, dan pada
tahun 2007 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Muara Bungo. Pada tahun yang
sama, penulis diterima menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur
USMI.
Selama menjadi mahasiswa penulis aktif menjadi pengurus pada
Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah (HMIT) mulai tahun 2008 hingga 2010 sebagai
staf divisi Pengembangan Sumberdaya Manusia (PSDM) dan staf divisi Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. Pada tahun yang sama penulis juga tergabung ke
dalam Biro Lingkungan Hidup Azimuth dan aktif di Organisasi Mahasiswa
Daerah HIMAJA (Himpunan Mahasiswa Jambi). Penulis juga aktif didalam
berbagai kepanitiaan antara lain Kejuaraan Tenis Meja Nasional Bogor City
Series V IPB sebagai bendahara umum, Seminar Nasional HMIT “Soil, Disaster,
and Remote Sensing” dan Soilidarity 2010.
Dalam kegiatan akademik, penulis berkesempatan menjadi asisten
praktikum untuk mata kuliah Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Sistem
Informasi Geografis, dan Pengantar Ilmu Tanah. Selain itu penulis juga
berkesempatan mengikuti Program Kreatif Mahasiswa yang lolos mendapatkan
dana dari DIKTI dalam bidang penelitian dan pengabdian masyarakat pada tahun
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah AWT atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Analisis Pola Perubahan Penggunaan Lahan dan Perkembangan Wilayah di Kota
Bekasi”.
Penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada Bapak Prof.
Dr. Ir. Santun R.P Sitorus dan Ibu Dyah Retno Panuju, SP, M.Si selaku
pembimbing skripsi yang senantiasa mengarahkan, memberikan bimbingan, saran,
kritik, nasihat, dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. Tak
lupa juga kepada Bapak Dr. Ir. Widiatmaka, DAA selaku dosen penguji yang
telah memberikan saran dan masukan dalam perbaikan skripsi ini.
Penulis menyadari dalam menyelesaikan skripsi ini tidak lepas dari
bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Kedua orang tua penulis papa Nata dan mama Eko, adik-adikku (Cakra,
Chandra, Chatur), dan seluruh keluarga besar atas segala doa yang tulus,
kasih sayang dan dukungannya yang tiada pernah henti.
2. BAPPEDA, Dinas Tata Ruang, dan Badan Kesatuan Bangsa Kota Bekasi
yang telah banyak membantu penulis dalam memperoleh data penelitian.
3. Seluruh dosen dan staff di Laboratorium Perencanaan dan Pengembangan
Wilayah yang telah banyak membantu dan memberikan dukungan kepada
penulis dalam menyelesaikan penelitian.
4. Teman-teman seperjuangan di Bagian Perencanaan Dan Pengembangan
Wilayah, Febriana, Lili, Siti, Astria, Anindita, Sisharyanto, dan Ufi.
Terima kasih atas bantuan dan motivasinya.
5. Saudara-saudara Soil 44 yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Terima
kasih atas kebersamaan dan kenangan-kenangan indah yang diberikan.
6. Teman-teman terbaik Rini D.K, Ika P.S, Adiz Ed-har, Ana, Zuzu, Nia,
Risty, Irin, dan seluruh penghuni Wisma Nabila-Dahlia. Terima kasih atas
waktu kebersamaan dan canda tawa saat suka dan duka.
8. Farid Ridwan, Angga, dan Rahmat Hadi. Terima kasih telah membantu
penulis dalam pengecekan lapang.
9. Semua pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan skripsi ini.
Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan semua
pihak yang membutuhkan. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan
dalam penulisan skripsi ini. Untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat
penulis harapkan.
Bogor, Maret 2012
DAFTAR ISI
2. 1 Wilayah dan Hirarki Wilayah ... 4
2. 2 Kota ... 5
2. 3 Lahan dan Penggunaan Lahan ... 6
2. 4 Perubahan Penggunaan Lahan ... 7
2. 5 Tata Ruang, Penataan Ruang, dan Pengendalian Ruang ... 8
2. 6 Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang ... 9
2.7 Tinjauan Studi-studi Terdahulu ... 10
III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN ... 12
3. 1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 12
3. 2 Jenis Data dan Sumber Data ... 13
3. 3 Metode Penelitian ... 13
3.3.1 Tahap Persiapan dan Pengumpulan Data ... 14
3.3.2 Tahap Analisis Data Peta dan Citra ... 15
3.3.3 Tahap Pengecekan Lapang ... 17
3.3.4 Tahap Analisis Statistika ... 19
3.3.4.1 Analisis Skalogram ... 19
3.3.4.2 Analisis Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang ... 20
3.3.4.3 Analisis Regresi Berganda (Multiple Regression) ... 21
IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 24
4.1 Keadaan Geografi ... 24
4.2 Administrasi Pemerintahan ... 24
4.4 Perekonomian ... 28
4.5 Penggunaan Lahan ... 29
4.5.1 Kawasan Tidak Terbangun/Ruang Hijau Kota ... 29
4.5.3 Perdagangan dan Jasa ... 29
4.5.4 Industri ... 30
4.5.5 Permukiman ... 30
4.5.6 Struktur Tata Ruang ... 31
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 33
5.1 Penggunaan Lahan di Kota Bekasi ... 33
5.2 Perubahan dan Pola Penggunaan Lahan di Kota Bekasi ... 39
5.2.1 Perubahan Penggunaan Lahan Kota Bekasi ... 39
5.2.2 Pola Perubahan Penggunaan Lahan 2003-2010 ... 43
5.2.2.1 Perubahan Penggunaan Lahan Permukiman Tidak Teratur ... 45
5.2.2.2 Perubahan Penggunaan Lahan Kebun Campuran ... 46
5.2.2.3 Perubahan Penggunaan Lahan Tanaman Pertanian Lahan Basah (TPLB) ... 47
5.2.2.4 Perubahan Penggunaan Lahan Tanaman Pertanian Lahan Kering (TPLK) ... 48
5.2.2.5 Perubahan Penggunaan Lahan Kosong ... 49
5.2.2.6 Perubahan Penggunaan Lahan Ruang Terbuka Hijau (RTH) ... 50
5.3 Penyimpangan Pemanfaatan Ruang di Kota Bekasi ... 51
5.4 Tingkat Perkembangan Wilayah di Kota Bekasi... 56
5.5 Keterkaitan Perubahan Luas Penggunaan Lahan dengan Perkembangan Wilayah ... 61
5.6 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perubahan Penggunaan Lahan ... 62
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 67
6.1 Kesimpulan ... 67
6.2 Saran ... 68
DAFTAR PUSTAKA ... 69
DAFTAR TABEL
Nomor Teks Halaman
1. Jenis Data Penelitian dan Sumbernya ... 13
2. Tujuan Penelitian, Jenis Data, Teknik Analisis Data, dan Keluaran ... 14
3. Paket Program untuk Analisis Data ... 14
4. Klasifikasi Penggunaan Lahan dan Kenampakan Obyek Pada Citra... 16
5 Variabel Fasilitas yang Digunakan dalam Analisis Skalogram ... 20
6. Variabel Untuk Analisis Regresi. ... 22
7. Kecamatan dan Kelurahan di Kota Bekasi... 25
8. Jumlah Penduduk Menurut kecamatan dan Jenis Kelamin di Kota Bekasi .... 27
9. Luas Penggunaan Lahan Tahun 2003, 2010, dan Perubahannya ... 40
10. Matriks Transisi Penggunaan Lahan Kota Bekasi Tahun 2003-2010 ... 44
11. Luas Perubahan Penggunaan Lahan Permukiman Tidak Teratur menjadi ... Penggunaan Lahan Lain (ha) Tahun 2003-2010 ... 45
12. Luas Perubahan Penggunaan Lahan Kebun Campuran menjadi Penggunaan Lahan Lain (ha) Tahun 2003-2010 ... 46
13. Luas Perubahan Penggunaan Lahan Tanaman Pertanian Lahan Basah Menjadi Penggunaan Lahan Lain (ha) Tahun 2003-2010... 47
14. Luas Perubahan Penggunaan Lahan Tanaman Pertanian Lahan Kering Menjadi Penggunaan Lahan Lain (ha) Tahun 2003-2010... 48
15. Luas Perubahan Penggunaan Lahan Kosong menjadi Penggunaan Lahan Lain (ha) Tahun 2003-2010 ... 49
16. Luas Perubahan Penggunaan Lahan Ruang Terbuka Hijau Tahun 2003-2010 ... 50
17. Alokasi Rencana Tata Ruang Kota Bekasi Tahun 2000-2010 ... 52
18. Luas dan Proporsi Total Inkonsistensi Kota Bekasi Tahun 2003 dan 2010 ... 53
19. Persentase Kelurahan Berdasarkan Hirarki Wilayah di Setiap Kecamatan. ... 58
DAFTAR GAMBAR
Nomor Teks Halaman
1. Peta Lokasi Penelitian ... 12
2. Titik Pengambilan Contoh Penggunaan Lahan ... 18
3. Diagram Alir Penelitian ... 23
4. Peta Administrasi Kota Bekasi ... 25
5. Dinamika Pertumbuhan Penduduk Tiap Kecamatan di Kota Bekasi ... 27
6. Grafik PDRB berdasarkan Harga Konstan ... 28
7. Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang Penggunaan Lahan Perumahan Teratur ... 33
8. Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang Penggunaan Lahan Permukiman Tidak Teratur ... 34
9. Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang Penggunaan Lahan Kawasan Industri ... 34
10. Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang Penggunaan Lahan Ruang Terbuka Hijau ... 35
11. Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang Penggunaan Lahan TPLB. ... 35
12. Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang Penggunaan Lahan TPLK. ... 36
13. Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang Penggunaan Lahan Kebun Campuran ... 36
14. Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang Penggunaan Lahan Kosong ... 37
15. Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang Penggunaan Lahan Fasilitas Pendidikan ... 37
16. Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang Penggunaan Lahan TPA ... 37
17. Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang Penggunaan Lahan Badan Air ... 38
18. Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang Penggunaan Lahan TPU ... 38
19. Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang Penggunaan Lahan Rumput/Semak/Ilalang ... 38
20. Peta Perubahan Penggunaan Lahan Kota Bekasi Tahun 2003-2010 ... 39
21. Luas Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2003-2010 ... 41
22. Peta Penggunaan Lahan Tahun 2003 ... 42
25. Peta Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Kota Bekasi Tahun 2003 ... 54
26. Peta Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Kota Bekasi Tahun 2010 ... 55
27. Peta Hirarki Wilayah Kota Bekasi Tahun 2003 ... 57
28. Peta Hirarki Wilayah Kota Bekasi Tahun 2006 ... 57
29. Laju Pertumbuhan Fasilitas di Kota Bekasi Tahun 2003 dan Tahun 2006 ... 60
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Teks Halaman
1. Hasil Analisis Skalogram Tahun 2003 ... 72 2. Hasil Analisis Skalogram Tahun 2006 ... 75 3. Matriks Logika Indikasi Konsistensi/Inkonsistensi Antara Arahan
Pemanfaatan Ruang (RTRW) Kota Bekasi dengan Penggunaan
Lahan Kota Bekasi Tahun 2003 dan Tahun 2010 ... 78 4. Titik Pengecekan Lapang ... 79 5. Hasil Analisis Regresi Berganda Terhadap Perubahan
Penggunaan Lahan TPLB Menjadi Lahan Terbangun ... 81 6. Hasil Analisis Regresi Berganda Terhadap Perubahan Penggunaan
Lahan TPLK Menjadi Lahan Terbangun ... 82 7. Hasil Analisis Regresi Berganda Terhadap Perubahan Penggunaan
Lahan Kebun Campuran Menjadi Lahan Terbangun ... 82 8. Hasil Analisis Regresi Berganda Terhadap Perubahan Penggunaan
I. PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Pembangunan sangat diperlukan untuk kelanjutan hidup manusia.
Kemajuan pembangunan di suatu wilayah sejalan dengan peningkatan jumlah
pertumbuhan penduduk yang diiringi meningkatnya standar kualitas dan kuantitas
kebutuhan hidup. Dampak dari peningkatan standar kualitas dan kuantitas hidup
tersebut mengakibatkan peningkatan kebutuhan ketersediaan fasilitas. Untuk
memenuhi kebutuhan pembangunan fasilitas tersebut terjadi proses perubahan
penggunaan lahan yang merubah tata guna lahan.
Penggunaan lahan akan mengarah pada jenis penggunaan yang
memberikan keuntungan paling tinggi. Pertumbuhan sektor pertanian di wilayah
Jabodetabek terus mengalami penurunan. Sektor pertanian merupakan sektor yang
tidak diminati untuk dijadikan sebagai aktivitas ekonomi bagi masyarakat di
Jabodetabek. Lahan-lahan pertanian banyak mengalami konversi akibat proses
suburbanisasi. Suburbanisasi yang diartikan sebagai proses terbentuknya
permukiman-permukiman baru dan kawasan-kawasan industri di pinggiran
wilayah perkotaan akibat perpindahan penduduk kota terindikasi telah terjadi di
Jakarta sejak awal tahun 1980 (Rustiadi dan Panuju, 1999).
Secara alami, dinamika perekonomian merangsang perkembangan wilayah,
salah satunya didorong oleh perkembangan industri. Alokasi ruang untuk industri
ditetapkan oleh pemerintah, baik lokasi maupun luasan areanya. Aktivitas industri
tersebut harus memiliki aksesibilitas yang mudah ditempuh misalnya berdekatan
dengan jalan tol dan jalan umum lainnya (Abbas, 2004).
Kota Bekasi merupakan salah satu hinterland Jakarta, selain Bogor, Depok, dan Tangerang. Wilayah ini telah banyak mengalami perubahan penggunaan
lahan. Menurut Maulida (2002), pada periode 1990-1998, laju perubahan
penggunaan lahan di Bekasi lebih tinggi dibandingkan dua suburban Jakarta
lainnya, yaitu Bogor dan Tangerang. Pertumbuhan penggunaan lahan untuk
bangunan semakin lama semakin bertambah yang disebabkan karena
Perubahan penggunaan lahan di Kota Bekasi merupakan dampak dari
pertumbuhan perekonomian yang pesat di Kota Jakarta. Pertumbuhan yang pesat
tersebut menyebabkan kebutuhan lahan untuk aktivitas ekonomi semakin
meningkat. Ketersediaan lahan yang terbatas di Kota Jakarta berdampak pada
perkembangan lahan terbangun yang meluas ke wilayah-wilayah hinterland.
Pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat menyebabkan
bertambahnya kebutuhan akan ruang. Di sisi lain luas lahan di suatu wilayah
tidak akan pernah bertambah. Perkembangan penduduk dan peningkatan
perekonomian kota mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk penggunaan
lahan perkotaan yang akan merubah tata ruang kota.
Menurut Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional, tata guna lahan (land use) adalah suatu upaya dalam merencanakan penggunaan lahan dalam suatu kawasan yang meliputi pembagian
wilayah untuk pengkhususan fungsi-fungsi tertentu, misalnya fungsi pemukiman,
perdagangan, industri, dan lain-lain. Penggunaan lahan di suatu wilayah sudah
diatur pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi/Kabupaten/Kota. Di
RTRW disajikan rencana-rencana tentang pemanfaatan ruang. Akan tetapi,
kondisi eksisting penggunaan lahan di suatu wilayah sering kali tidak sesuai
dengan rencana-rencana yang telah ditetapkan di dalam RTRW oleh Pemerintah
daerah setempat. Hal ini dinamakan dengan inkonsistensi pemanfaatan ruang.
Penyimpangan penataan ruang di Kota Bekasi dapat diidentifikasi dari
terjadinya inkonsistensi penggunaan lahan pada kondisi eksisting terhadap
kebijakan yang telah ditetapkan pada RTRW. Untuk itu diperlukan evaluasi
konsistensi tata ruang dan sistem monitoring penggunaan lahan lebih dari satu
titik tahun yang digunakan sebagai landasan dalam pengendalian tata ruang
wilayah.
1.2 Perumusan Masalah
Peningkatan jumlah penduduk serta peningkatan standar kualitas dan
kuantitas kebutuhan hidup manusia menyebabkan peningkatan terhadap
sedangkan lahan di Kota Bekasi terbatas. Hal ini menyebabkan perubahan
penggunaan lahan non terbangun menjadi lahan terbangun. Pemerintah Kota
Bekasi telah menetapkan alokasi ruang yang terdapat pada RTRW, namun sering
kali penggunaan lahan di lapang tidak mengikuti alokasi yang telah ditetapkan.
Hal ini dinamakan dengan penyimpangan atau inkonsistensi pemanfaatan ruang.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan pertanyaan
penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana persebaran perubahan penggunaan lahan di Kota Bekasi pada
tahun 2003 dan 2010?
2. Apakah kondisi eksisting penggunaan lahan pada tahun 2003 dan 2010
sudah sesuai dengan kebijakan RTRW 2000-2010 yang ditetapkan oleh
pemerintah?
3. Bagaimana tingkat perkembangan wilayah tahun 2003 dan 2006?
4. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi perubahan penggunaan
lahan di Kota Bekasi?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pola perubahan penggunaan lahan Kota Bekasi.
2. Mengidentifikasi dan membandingkan pemanfaatan ruang saat ini dengan
alokasi tata ruang Kota Bekasi.
3. Mengkaji tingkat perkembangan wilayah Kota Bekasi.
4. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya perubahan
penggunaan lahan.
1.4 Manfaat Penelitian
Memberikan informasi kepada pemerintah mengenai pola perubahan
penggunaan lahan dan inkonsistensi pemanfaatan ruang sebagai bahan
pertimbangan untuk melakukan evaluasi rencana tata ruang yang sudah dibuat
II . TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Wilayah dan Hirarki Wilayah
Secara yuridis, dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang, pengertian wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan
geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan
berdasarkan aspek administratif dan aspek fungsional. Menurut Rustiadi et al. (2009), wilayah didefinisikan sebagai suatu unit geografis dengan batas-batas
tertentu di mana komponen-komponen di dalamnya memiliki keterkaitan dan
hubungan fungsional satu dengan lainnya.
Suatu wilayah yang luas dapat mempunyai beberapa inti dengan hirarki
(orde) tertentu. Sub wilayah inti dengan hirarki yang lebih tinggi merupakan pusat
bagi beberapa sub wilayah inti dengan hirarki yang lebih rendah. Secara teoritis,
hirarki wilayah sebenarnya ditentukan oleh tingkat kapasitas pelayanan wilayah
secara totalitas yang tidak terbatas ditunjukkan oleh kapasitas infrastruktur
fisiknya saja tetapi juga kapasitas kelembagaan, sumberdaya manusia serta
kapasitas-kapasitas perekonomiannya (Rustiadi et al., 2009).
Secara fisik dan operasional, sumberdaya yang paling mudah dinilai dalam
penghitungan kapasitas pelayanan adalah sumberdaya buatan (sarana dan
prasarana pada pusat-pusat wilayah). Secara sederhana, kapasitas pelayanan
infrastruktur atau prasarana wilayah dapat diukur dari jumlah sarana pelayanan,
jumlah jenis sarana pelayanan yang ada, serta kualitas sarana pelayanan. Semakin
banyak jumlah dan jenis sarana pelayanan serta semakin tinggi aktivitas sosial
ekonomi mencerminkan kapasitas pusat wilayah yang tinggi yang berarti juga
menunjukkan hirarki pusat yang tinggi (Rustiadi et al., 2009).
Banyaknya jumlah sarana pelayanan dan jumlah jenis sarana pelayanan
berkorelasi kuat dengan jumlah penduduk di suatu wilayah. Pusat-pusat yang
berhirarki tinggi melayani pusat-pusat dengan hirarki yang lebih rendah di
dilayani oleh pusat yang berhirarki rendah sedangkan kegiatan-kegiatan yang
semakin kompleks dilayani oleh wilayah yang berhirarki tinggi.
2. 2 Kota
Kota adalah tempat dengan konsentrasi penduduk lebih padat dari
wilayah sekitarnya karena terjadi pemusatan kegiatan fungsional yang berkaitan
dengan kegiatan atau aktivitas penduduknya (Pontoh dan Kustiawan, 2009). Kota
sebagai pusat pelayanan selalu berinteraksi dengan wilayah sekitarnya. Dalam
konteks hubungan antara kota sebagai pusat pelayanan dan wilayah sekitarnya
sebagai hinterland maka terdapat empat kemungkinan sifat interaksi (Sadyohutomo, 2008). Sifat hubungan yang pertama adalah hubungan saling
menguntungkan. Kota berfungsi sebagai pasar dan rantai produk perdagangan dari
pedesaan. Hal ini berdampak positif bagi penduduk sekitar kota dalam
memperoleh pekerjaan. Migrasi penduduk desa bagi kota juga memberi manfaat,
yaitu penduduk desa ikut andil dalam menggerakan perekonomian kota.
Selain memberikan dampak positif (lapangan kerja dan pendapatan),
pembangunan di kota juga dapat merugikan ekonomi wilayah sekitar. Hal ini
menunjukkan sifat hubungan yang kedua yaitu hubungan yang merugikan desa.
Kondisi ini ditimbulkan akibat adanya ketimpangan dalam sistem ekonomi
desa-kota, yaitu nilai tukar yang tidak seimbang antara produk pedesaan dengan produk
perkotaan, surplus dari wilayah pedesaan banyak diserap ke kota, dan alokasi dana
pembangunan yang tidak seimbang antara desa dan kota.
Sifat hubungan desa-kota yang ketiga yaitu hubungan tidak
menguntungkan untuk pemerintah kota, tetapi menguntungkan desa. Pertumbuhan
penduduk kota dikarenakan pertumbuhan penduduk alami (kelahiran dikurangi
kematian) dan ditambah adanya migrasi penduduk desa-kota. Migrasi masuk kota
mengakibatkan beban kota meningkat dalam hal penyediaan prasarana dan utilitas
penduduk kota. Sementara itu, penduduk migrant tidak banyak menyumbangkan pendapatan bagi pemerintah kota, karena sebagian besar mereka bekerja di sektor
informal yang luput dari pajak. Hal ini menimbulkan masalah perkotaan, antara
lain munculnya pemukiman kumuh, pendudukan liar, beban prasarana kota yang
Sifat hubungan yang keempat yaitu interaksi yang saling merugikan kedua
belah pihak. Misalnya migrasi para petani muda ke kota karena tertarik gaya
hidup kota, tetapi tidak mempunyai keahlian di sektor perkotaan. Di kota merek
menjadi pengangguran atau pelaku tindak kriminal. Akibatnya desa kehilangan
tenaga produktif, sedangkan kota menanggung beban sosial pengangguran.
2. 3 Lahan dan Penggunaan Lahan
Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), lahan adalah suatu
lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi, dan vegetasi dimana
faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaannya. Termasuk di
dalamnya adalah akibat-akibat kegiatan manusia, baik pada masa lalu maupun
sekarang, seperti reklamasi daerah-daerah pantai, penebangan hutan, dan
akibat-akibat yang merugikan seperti erosi dan akumulasi garam. Faktor-faktor sosial
dan ekonomi secara murni tidak termasuk dalam konsep ini.
Penggunaan lahan diartikan sebagai setiap bentuk intervensi (campur
tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya
baik materiil dan spiritual (Arsyad, 2006). Barlowe (1978) membagi penggunaan
lahan menjadi 10 jenis, yaitu : (1) lahan pemukiman; (2) lahan industri dan
perdagangan; (3) lahan bercocok tanam; (4) lahan peternakan dan penggembalaan;
(5) lahan hutan ; (6) lahan mineral atau pertambangan; (7) lahan rekreasi; (8)
lahan pelayanan jasa; (9) lahan transportasi; dan (10) lahan tempat pembuangan.
Menurut Arsyad (2006) penggunaan lahan dibedakan ke dalam dua
kelompok, yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan non pertanian.
Penggunaan lahan pertanian dibedakan berdasarkan atas penyediaan air dan
komoditas yang diusahakan seperti penggunaan lahan tegalan, kebun kopi, kebun
karet, padang rumput, sawah, hutan lindung, hutan produksi, padang alang-alang,
dan lain sebagainya. Penggunaan lahan non pertanian dibagi berdasarkan atas
penggunaan kota dan desa (permukiman), industri, rekreasi, dan pertambangan.
Hampir setiap aktivitas manusia melibatkan penggunaan lahan dan karena
jumlah aktivitas manusia bertambah dengan cepat, maka lahan menjadi sumber
ekonomis, maupun terhadap perubahan lingkungan. Dengan demikian, membuat
keputusan tentang penggunaan lahan merupakan aktivitas politik, dan sangat
dipengaruhi keadaan sosial dan ekonomi (Sitorus, 2004).
2. 4 Perubahan Penggunaan Lahan
Perubahan penggunaan lahan adalah bertambahnya suatu penggunaan
lahan dari satu sisi penggunaan ke penggunaan yang lainnya diikuti dengan
berkurangnya tipe penggunaan lahan yang lain dari suatu waktu ke waktu
berikutnya, atau berubahnya fungsi suatu lahan pada kurun waktu yang berbeda.
(Wahyunto et al., 2001), dalam Wirustyastuko D (2010). Perubahan penggunaan lahan pada umumnya dapat diamati dengan menggunakan data spasial dari peta
penggunaan lahan pada titik tahun yang berbeda. Data penginderaan jauh seperti
citra satelit, radar, dan foto udara sangat berguna dalam pengamatan perubahan
penggunaan lahan.
Berdasarkan perubahan penggunaan lahan yang terjadi dalam periode
waktu tertentu dapat dibangun model perubahan penggunaan lahan yang mampu
memprediksi penggunaan lahan yang akan terjadi (Munibah, et al., 2006). Hal ini telah dilakukan oleh Munibah (2008) dengan membangun model perubahan
penggunaan lahan dengan pendekatan Cellular Automata (CA). Model ini menghasilkan peta prediksi penggunaan lahan di tahun 2018 dan 2030. Kemudian
dilanjutkan dengan melihat hubungan antara jumlah penduduk dengan luas lahan
pertanian dan luas lahan pemukiman, baik berdasarkan peta penggunaan lahan
aktual (2006) maupun prediksi (2018 dan 2030).
Proses perubahan penggunaan lahan umumnya bersifat irreversible (tidak dapat diubah). Contohnya, lahan sawah yang dikonversikan menjadi pemukiman
atau berbagai aktivitas urban sangat mempunyai kemungkinan yang kecil untuk
dikembalikan lagi menjadi lahan sawah. Perubahan penggunaan lahan yang paling
intensif adalah lahan sawah dan hutan yang dikonversi menjadi pemukiman
sebagai akibat dari pertambahan penduduk (Bappeda Kota Bogor, 2006). Secara
umum, struktur yang berkaitan dengan perubahan penggunaan lahan dapat
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu : (a) Struktur permintaan atau kebutuhan
teknologi yang berdampak pada produktifitas sumberdaya alam (Saefulhakim,
1999).
Menurut Kaiser dan Weiss, dalam Pontoh dan Sudrajat (2005) secara konsepsional proses perubahan penggunaan lahan di pinggir kota dipengaruhi
oleh : (1) Urban Interest, yaitu meningkatnya kebutuhan lahan kota, sehingga kawasan pinggir kota menjadi potensial dan guna lahan yang ada mulai bergeser;
(2) Posisi strategis dan dinamika kota menjadi bahan pertimbangan bagi
pengusaha untuk membeli dan mengembangkan lahan di perkotaan; (3) Mulai
diprogram untuk pembangunan, dibangun dan dihuni oleh penduduk.
2. 5 Tata Ruang, Penataan Ruang, dan Pengendalian Ruang
Menurut UU No. 26 Tahun 2007, tata ruang adalah wujud struktural dan
pola pemanfaatan ruang baik yang direncanakan maupun tidak, yang
menunjukkan adanya hirarki dan keterkaitan pemanfaatan ruang. Penataan ruang
adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya
untuk mewujudkan tertib tata ruang.
Dalam UU No. 26 Tahun 2007 pasal 3 dikemukakan bahwa
penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah
nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan
Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan:
a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan;
b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumberdaya alam dan sumber
daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan
c. terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif
terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
Pasal 7 UU No. 26 Tahun 2007 menjelaskan bahwa pengendalian
pemanfaatan ruang dilakukan melalui perizinan pemanfaatan ruang, pemberian
insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi. Pemanfaatan ruang yang tidak
tidak memiliki izin, dikenai sanksi administratif, sanksi pidana penjara, dan/atau
sanksi pidana denda.
Pemberian insentif dimaksudkan sebagai upaya untuk memberikan
imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang,
baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun oleh pemerintah daerah. Bentuk
insentif tersebut, antara lain berupa keringanan pajak, pembangunan prasarana dan
sarana (infrastruktur), pemberian kompensasi, kemudahan prosedur perizinan,
atau pemberian penghargaan. Disinsentif dimaksudkan sebagai perangkat untuk
mencegah, membatasi pertumbuhan, dan/atau mengurangi kegiatan yang tidak
sejalan dengan rencana tata ruang, antara lain berupa pengenaan pajak yang tinggi,
pembatasan penyediaan prasarana dan sarana, serta pengenaan kompensasi atau
penalti.
Pengenaan sanksi merupakan salah satu upaya pengendalian pemanfaatan
ruang, dimaksudkan sebagai perangkat tindakan penertiban atas pemanfaatan
ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan peraturan zonasi. Dalam
undang-undang ini pengenaan sanksi tidak hanya diberikan kepada pemanfaat
ruang yang tidak sesuai dengan ketentuan perizinan pemanfaatan ruang, tetapi
dikenakan pula kepada pejabat pemerintah yang berwenang yang menerbitkan izin
pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.
2. 6 Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang
Analisis inkonsistensi pemanfaatan ruang terhadap RTRW dilakukan
untuk mengetahui apakah pemanfaatan ruang sudah sesuai dengan RTRW yang
telah disusun sebagai dasar atau pedoman pelaksanaan pemanfaatan ruang.
Bentuk realisasi dari RTRW adalah pemanfaatan ruang yang terjadi di suatu
wilayah. Kompleksitas permasalahan dalam proses perkembangan wilayah dapat
menyebabkan terjadinya penyimpangan pemanfaatan ruang dari RTRW.
Dirjen Penataan Ruang (2003) menyatakan, bahwa inkonsistensi tata ruang
dapat disebabkan oleh permasalahan lain, yaitu :
1. Adanya ketidakseragaman standar peta (skala, legenda, notasi, sumber)
yang dapat menyebabkan kesulitan dalam pemberian perizinan dan evaluasi
2. Lemahnya fungsi otoritas, perangkat yang kurang memadai, dan sistem
kelembagaan yang memiliki wewenang dalam pengawasan dan
pengendalian pembangunan.
3. Belum efektifnya pemberdayaan masyarakat dalam pengawasan
pemanfaatan ruang. Hal ini disebabkan antara lain karena belum adanya
petunjuk teknis, operasional, dan peran serta masyarakat dalam penataan
ruang sebagai penjabaran dari PP No. 69/1996.
2.7 Tinjauan Studi-studi Terdahulu
Anjani (2010) dalam penelitiannya mengenai dinamika penggunaan lahan
dan penataan ruang di Kabupaten Bekasi mengemukakan bahwa pola konversi
terbesar terjadi pada peningkatan lahan terbangun (8790,24 ha) dan penurunan
TPLK (5457,9 ha). Dalam rencana tata ruang Kabupaten Bekasi banyak terjadi
perubahan yang dilatarbelakangi oleh adanya pemekaran wilayah. Penyimpangan
penggunaan lahan Kabupaten Bekasi terhadap alokasi ruang pada kurun waktu
1995-2000 terjadi pada kawasan pemukiman sebesar 13056,97 ha dan umumnya
terletak di bagian Utara Kabupaten Bekasi. Penyimpangan penggunaan lahan pada
kurun waktu 2006-2009 bervariasi hampir di seluruh bagian Kabupaten Bekasi.
Hasil penelitian dari Ruswandi et al. (2007) mendeskripsikan bahwa selama kurun waktu 10 tahun (1992-2002) telah terjadi konversi lahan pertanian
di Kabupaten Bandung Utara yang memiliki pola konsentris. Dalam hal ini
konversi terjadi mulai dari pusat kota kecamatan (sentral), kemudian bergerak ke
arah luar menjauh dari pusat kota. Mulyani (2010) melakukan penelitian di lokasi
yang sama mengenai penggunaan lahan dan pola perubahan penggunaan lahan
pada tahun 1998-2008. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan telah terjadi
peningkatan jenis penggunaan lahan terbangun sebesar 264 ha per tahun. Hal ini
mengindikasikan adanya penambahan pembangunan baik berupa fasilitas-fasilitas
umum maupun pemukiman penduduk.
Hasil penelitian dari Putri (2009) mengenai perubahan penggunaan lahan
pada tahun 1997 dan tahun 2007 di Kabupaten Tangerang, menunjukkan bahwa
Tangerang menunjukkan adanya pola konsentris yang dipengaruhi oleh jarak
terhadap pusat kegiatan, yaitu DKI Jakarta dan Kota Tangerang. Selain jarak
terhadap pusat kegiatan, jaringan jalan diduga juga mempengaruhi pola perubahan
penggunaan lahan di Kabupaten Tanggerang. Hal ini terlihat pada pola
memanjang perubahan penggunaan lahan dari arah Timur ke Barat di bagian
III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN
3. 1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Kota Bekasi (Gambar 1) dan analisis data
dilakukan di studio Bagian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah,
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor. Penelitian berlangsung dari bulan Februari 2011 sampai
Desember 2011.
3. 2 Jenis Data dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian dan sumbernya disajikan pada
Tabel 1. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder dari dua
periode waktu yang berbeda, yaitu tahun 2003 dan 2010. Data primer terdiri dari
citra Quickbird tahun 2003 dan 2010 dan data survei lapang. Data sekunder terdiri dari data PDRB, data Potensi Desa tahun 2003 dan 2006 yang meliputi data
jumlah fasilitas, aksesibilitas, dan data jumlah penduduk, peta batas administrasi
Kota Bekasi, peta RTRW Kota Bekasi tahun 2000-2010, serta beberapa peta
penunjang lainnya yang diperoleh dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
(BAPPEDA) Kota Bekasi dan Dinas Tata Ruang Kota Bekasi.
Tabel 1. Jenis Data Penelitian dan Sumbernya
No Data Sumber Data Keterangan
2. Peta Administrasi Kota Bekasi BAPPEDA Kota Bekasi Untuk mengetahui batas wilayah administrasi Kota Bekasi (kecamatan). 3. Citra Quickbird Kota Bekasi
Tahun 2003 dan 2010
Google Earth Untuk membuat peta
penggunaan lahan
berdasarkan eksisting tahun 2003 dan 2010.
4. Data jumlah dan jenis fasilitas (pendidikan, sosial, kesehatan,
Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap. Tahap-tahapan penelitian
secara umum terdiri dari (1) Tahap persiapan dan pengumpulan data, (2) Tahap
analisis citra, (3) Tahap pengecekan lapang, (4) Tahap analisis data, (5) Tahap
penyusunan skripsi. Tahapan-tahapan penelitian berdasarkan tujuan, jenis data,
teknik analisis data, dan keluaran disajikan pada Tabel 2. Keluaran yang
diharapkan dari penelitian ini adalah teridentifikasinya pola perubahan
penggunaan lahan di Kota Bekasi pada tahun 2003-2010, inkonsistensi
pemanfaatan ruang Kota Bekasi tahun 2003 dan 2010, tingkat perkembangan
Kota Bekasi. Program yang digunakan pada penelitian disajikan pada Tabel 3.
Program yang digunakan untuk mengolah data spasial adalah Arcview GIS 3.3
dan ArcGIS 9.3, sedangkan untuk mengolah data atribut menggunakan Statistica
8.0 dan Ms. Office Excel 2007.
Tabel 2. Tujuan Penelitian, Jenis Data, Teknik Analisis Data, dan Keluaran
No Tujuan Penelitian Jenis Data Teknik Analisis Keluaran
1 Mengidentifikasi dan
- Citra Quickbird 2010 -- Tabulasi data luas Digitasi Citra perubahan
Tabel 3. Paket Program untuk Analisis Data
No Perangkat Lunak Keterangan
1 Arcview GIS 3.3 Mengolah data spasial (Peta dan Citra)
2 Arc GIS 9.3 Mengolah data spasial (Peta dan Citra)
3 Statistica 8.0 Mengolah data statistika
4 M. Office Excel 2007 Tabulasi data
3.3.1 Tahap Persiapan dan Pengumpulan Data
serta pemilihan metode yang digunakan untuk analisis data. Data yang
dikumpulkan berupa data spasial dan data statistik. Unit terkecil wilayah yang
digunakan dalam analisis adalah desa/kelurahan. Data dikumpulkan dari berbagai
sumber terkait.
3.3.2 Tahap Analisis Data Peta dan Citra
Analisis citra dilakukan melalui interpretasi visual. Identifikasi obyek
merupakan bagian pokok dalam interpretasi citra yang mendasarkan pada
karakteristik citra. Karakteristik obyek yang tergambar pada citra digunakan untuk
mengenali obyek yang disebut interpretasi citra (Sutanto, 1994). Terdapat delapan
unsur interpretasi, yaitu :
1. Rona. Rona adalah tingkat kegelapan atau kecerahan obyek pada citra. Rona
dapat pula diartikan sebagai tingkatan dari hitam ke putih atau sebaliknya
(Sutanto, 1994).
2. Bentuk. Bentuk adalah kofigurasi atau kerangka suatu obyek (Lillesand dan
Kiefer, 1997).
3. Ukuran. Ukuran suatu obyek meliputi dimensi jarak, luas, tinggi, dan volume
(Sutanto, 1994).
4. Tekstur. Tekstur adalah frekuensi perubahan rona pada citra fotografi
(Lillesand dan Kiefer, 1979). Tekstur merupakan gabungan dari bentuk,
ukuran, pola, bayangan, dan ronanya.
5. Pola. Pola adalah hubungan spasial obyek (Lillesand dan Kiefer, 1979).
Pengulangan bentuk umum tertentu atau hubungan merupakan karakteristik
bagi banyak obyek alamiah dan akan memberikan suatu pola yang dapat
membantu interpreter untuk mengenali obyek tertentu.
6. Bayangan. Obyek yang tidak tertembus cahaya terpresentasikan sebagai suatu
daerah yang tidak terkena sinar secara langsung yang disebut dengan
bayangan. Bayangan bersifat menyembunyikan obyek yang terdapat di daerah
bayangan (Sutanto, 1994).
7. Situs. Situs adalah lokasi obyek dalam hubungannya dengan obyek lain, yang
dapat berguna untuk membantu pengenalan suatu obyek (Lillesand dan Kiefer,
8. Asosiasi. Asosiasi adalah keterkaitan antara obyek satu dengan obyek yang
lain (Sutanto, 1994)
Berdasarkan hasil interpretasi yang dilakukan dengan digitasi on screen dan pengamatan lapang, didapatkan beberapa penggunaan lahan, yaitu
perumahan teratur, pemukiman tidak teratur, kebun campuran, TPLB (Tanaman
Pertanian Lahan Basah), TPLK (Tanaman Pertanian Lahan Kering), kawasan
industri, RTH (Ruang Terbuka Hijau), fasilitas pendidikan, lahan kosong, TPU
(Tempat Pemakaman Umum), TPA (Tempat Pembuangan Akhir), badan air, dan
rumput,semak, ilalang. Uraian dari masing-masing ciri penggunaan lahan
disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Klasifikasi Penggunaan Lahan dan Kenampakan Obyek Pada Citra
Penggunaan Lahan Kenampakan Obyek Pada Citra
Perumahan Teratur Rona cerah, pola teratur, bentuk dan ukuran seragam. Rumah-rumah menghadap jalan sehingga dapat dilihat jaringan jalan yang sejajar dan teratur.
Permukiman Tidak Teratur Kenampakan yang bergerombol dengan vegetasi yang berada di sekitarnya, bentuk, ukuran, dan jarak antar rumah tidak seragam.
Rumput, Semak, dan Ilalang Memiliki rona yang cerah dan berwarna hijau muda dengan tekstur agak kasar sampai kasar dan pola yang tidak teratur.
Kawasan industri Berbentuk persegi memanjang dengan ukuran yang besar, serta memiliki rona cerah dan pola yang teratur.
Ruang Terbuka Hijau (RTH) Penggunaan lahan ini dikhususkan untuk jalur hijau jalan dan sempadan sungai. Memiliki tekstur yang agak kasar dengan pola yang teratur dan berasosiasi dengan jalan.
Tanaman Pertanian
Lahan Basah (TPLB)
Obyek ini memiliki bentuk petak-petak segi empat dan setiap petaknya dipisah oleh kenampakan garis pematang yang polanya teratur. Warna sawah terlihat hijau tua (untuk sawah yang berair atau baru tanam), hijau muda, hijau kebabu-abuan, serta coklat dengan tekstur halus hingga agak halus.
Tanaman Pertanian
Lahan Kering (TPLK)
Tanaman Pertanian Lahan Kering biasanya terdiri dari ladang dan tegalan. Pada citra quickbird terlihat berwarna hijau dan coklat dengan tekstur agak halus sampai kasar.
Kebun Campuran Kenampakannya dapat dilihat dari bentuknya yang bergerombol dengan pola yang tidak teratur dan memiliki warna hijau tua dengan tekstur yang agak kasar sampai kasar. Biasanya kebun berasosiasi dengan pemukiman tidak teratur.
Tabel 4. (Lanjutan)
Fasilitas Pendidikan Fasilitas pendidikan merupakan bangunan yang dapat dikenali berdasarkan bentuk, ukuran, dan asosiasi. Sebagai contoh sekolah yang biasanya berbentuk memanjang, menyiku atau membentuk huruf U. Sekolah berasosiasi dengan adanya lapangan olahraga dan apabila berada di daerah pemukiman ukurannya lebih besar dibandingkan dengan ukuran bangunan yang ada sekitarnya.
Tempat Pembuangan
Makam dikenali berdasarkan ukuran, tekstur dan situs. Ukuran kuburan pada citra quickbird terlihat kecil dengan jumlah yang banyak, serta papan nama berwarna putih. Obyek ini mempunyai tekstur kasar dan disekitarnya terlihat tumbuhan dengan pola tidak teratur.
Lahan Kosong Pada citra quickbird lahan kosong tampak dari pantulan tanahnya yang berwarna coklat. Lahan kosong ini biasanya adalah hasil dari konversi lahan non terbangun yang akan digunakan untuk perumahan, perdagangan dan jasa, serta industri.
Sumber : Sarbini (2008)
Hasil yang diperoleh dari analisis citra adalah peta penggunaan lahan pada
tahun 2003 dan 2010. Kedua peta penggunaan lahan tersebut dioverlay dengan peta RTRW periode 2000-2010 dan peta administrasi Kota Bekasi sehingga
diperoleh peta inkonsistensi pemanfaatan ruang Kota Bekasi.
3.3.3 Tahap Pengecekan Lapang
Tahap pengecekan lapang dilakukan sebanyak 4 kali pada bulan Januari
dan Februari 2012. Pengecekan lapang dilakukan untuk memperkuat hasil analisis
data dan interpretasi terutama dalam kaitannya dengan pengkoreksian peta
penggunaan lahan sementara, sehingga hasil akhir data yang diperoleh memiliki
tingkat akurasi dan ketelitian yang dibutuhkan pada proses analisis data penelitian.
Alat yang digunakan adalah GPS (Global Positioning System) untuk mengambil data-data penggunaan lahan aktual serta mengetahui kesesuaian antara koordinat
di peta dengan koordinat yang sebenarnya. Peta lokasi contoh pengamatan lapang
3.3.4 Tahap Analisis Data Atribut
Analisis data atribut yang dilakukan adalah analisis skalogram dan analisis
regresi berganda. Analisis skalogram dilakukan untuk mengetahui tingkat
perkembangan wilayah. Analisis regresi berganda dilakukan untuk mengetahui
faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan. Unit analisis
terkecil untuk proses analisis ini adalah kelurahan.
3.3.4.1Analisis Skalogram
Metode ini digunakan untuk menentukan hirarki pusat-pusat wilayah
penopang yang mendukung wilayah sebagai pusat pelayanan aktivitas.
Perkembangan suatu wilayah dapat dianalisis dengan mengidentifikasi jumlah dan
jenis fasilitas umum, industri, dan jumlah penduduknya. Analisis skalogram
digunakan untuk menentukan tingkat perkembangan wilayah.
Hirarki ditentukan berdasarkan jumlah unit dan jenis fasilitas. Unit
wilayah yang memiliki fasilitas dengan kuantitas yang lebih banyak dan jenis
yang lebih kompleks memiliki tingkat hirarki yang lebih tinggi. Hirarki tinggi
adalah wilayah yang memiliki jumlah unit dan jenis fasilitas yang paling banyak
dan beragam. Beberapa asumsi yang berlaku dalam analisis skalogram adalah
bahwa penduduk mempunyai kecenderungan untuk bergerombol di suatu lokasi
dengan kondisi fisik, sosial, dan ekonomi yang secara relatif terbaik untuk
komunitasnya. Pada Tabel 5 disajikan variabel data yang digunakan dalam
analisis skalogram.
Penentuan tingkat perkembangan wilayah di bagi menjadi tiga yaitu :
Hirarki I : Jika nilai Indeks Perkembangan Desa lebih besar dari nilai
Stdev dan Rata-rata ( IPD> ( Stdev+Average))
Hirarki II : Jika nilai Indeks Perkembangan Desa lebih besar sama dengan
rata-rata ( IPD>=Average )
Hirarki III : Jika nilai Indeks Perkembangan Desa lebih besar kecil dengan
Tabel. 5 Variabel Fasilitas yang Digunakan dalam Analisis Skalogram
3.3.4.2Analisis Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang
Analisis inkonsistensi pemanfaatan ruang dilakukan melalui overlay peta penggunaan lahan Kota Bekasi tahun 2003 dan 2010 dengan peta RTRW Kota
Bekasi dan peta administrasi Kota Bekasi. Hasil overlay tersebut adalah peta inkonsistensi tata ruang Kota Bekasi. Kriteria inkonsistensi didasarkan pada
matriks logik inkonsistensi yang tertera pada Lampiran 3 yang merupakan
modifikasi dari matriks logik Listiawan (2010). Matriks logik ini terdiri dari
tabulasi silang klasifikasi kelas peruntukan lahan pada RTRW Kota Bekasi dan
klasifikasi penggunaan lahan pada hasil digitasi citra berdasarkan penyempurnaan
dan penyesuaian dari matriks logik yang telah dikembangkan oleh penelitian
sebelumnya. Indikasi konsistensi dan inkonsistensi matriks logik antara arahan
pemanfaatan ruang dengan kondisi eksisting penggunaan lahan saat ini dilakukan
dengan melihat penyimpangan terhadap wilayah yang dialokasikan sebagai
kawasan lindung, tetapi kondisi eksistingnya adalah lahan terbangun. Hal tersebut
Kelompok Indeks Variabel yang digunakan Jumlah
variabel Fasilitas Ekonomi Jumlah Wartel/Kiospon/Warpostel/Warparpostel 9
Jumlah Warung Internet
Fasilitas Pendidikan Jumlah TK Negeri dan Swasta 5
Jumlah SD Negeri dan Swasta Jumlah SLTP Negeri dan Swasta
Jumlah SMU dan SMK Negeri dan Swasta Jumlah Akademi/PT Negeri dan yang sederajat
Fasilitas Kesehatan Jumlah Rumah Sakit 8
Jumlah Rumah Sakit Bersalin
Fasilitas Sosial Jumlah Tempat Peribadatan 1
dialokasikan sebagai lahan terbangun, tetapi kondisi eksistingnya masih
merupakan kawasan lindung, maka masih dianggap konsisten. Hal ini dikarenakan
program pemerintah setempat belum terlaksana untuk mendirikan lahan terbangun
di wilayah tersebut.
3.3.4.3Analisis Regresi Berganda (Multiple Regression)
Analisis regresi digunakan untuk membuat model pendugaan terhadap
nilai suatu parameter, dari parameter-parameter (peubah-penjelas) lain yang
diamati. Proses analisis regresi dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak
Statistica 8.0. Metode analisis yang digunakan adalah stepwise regression. Prinsip dasar stepwise regression adalah mengurangi banyaknya peubah di dalam persamaan dengan cara menyusupkan peubah satu demi satu sampai diperoleh
persamaan regresi yang paling baik.
Persamaan (model) yang akan dihasilkan adalah :
Y=A1X1+A2X2+…AnXn+
ε
Variabel-variabel respon yang digunakan dalam analisis regresi berganda
adalah perubahan luas dari TPLB ke lahan terbangun, perubahan luas TPLK
menjadi lahan terbangun, lahan kosong berubah ke lahan terbangun, kebun
campuran menjadi lahan terbangun sebagai peubah tujuan (variabel dependent) dari tutupan lahan tahun 2003 dan 2010 dalam satuan hektar. Pemilihan peubah
tujuan ini berdasarkan perubahan penggunaan lahan lain menjadi lahan terbangun
dengan luasan terbesar. Peubah penduga (variabel independent) terdiri dari laju pertambahan jumlah penduduk, laju pertambahan jumlah fasilitas (pendidikan,
ekonomi, sosial, kesehatan), rata-rata jarak aksesibilitas ke pusat fasilitas, luas
penggunaan lahan tahun 2003. Variabel untuk analisis regresi disajikan pada
Tabel 6. Variabel Untuk Analisis Regresi.
Peubah Tujuan (Y) Peubah Penduga (X)
Perubahan luas TPLB-lahan terbangun (Y1) Pertambahan penduduk (X1) Perubahan luas TPLK-lahan terbangun (Y2) Pertambahan fasilitas ekonomi (X2) Perubahan luas kebun campuran-lahan terbangun (Y3) Pertambahan fasilitas kesehatan (X3) Perubahan luas lahan kosong-lahan terbangun (Y4) Pertambahan fasilitas pendidikan (X4)
Pertambahan fasilitas sosial (X5)
Rata-rata jarak aksesibilitas ke fasilitas pendidikan (X6)
Rata-rata jarak aksesibilitas ke fasilitas kesehatan (X7)
Rata-rata jarak aksesibilitas ke fasilitas ekonomi (X8)
Rata-rata jarak askesibilitas ke fasilitas sosial (X9)
Jarak desa ke ibu kota kecamatan (X10)
Jarak desa ke ibu kota kabupaten/kota (X11)
Jarak desa ke desa terdekat (X12)
Alokasi RTRW untuk pertanian (X13) Alokasi RTRW untuk hutan kota (X14) Alokasi RTRW untuk lahan terbangun (X15) Luas lahan terbangun tahun 2003 (X16) Luas TPLB 2003 (X17)
Luas TPLK 2003 (X18)
IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Keadaan Geografi
Secara geografis Kota Bekasi berada pada posisi 106o48’28”–107o27’29” Bujur Timur dan 6o10’6”–6o30’6” Lintang Selatan. Letak Kota Bekasi yang sangat strategis merupakan keuntungan bagi Kota Bekasi terutama dari segi
komunikasi dan perhubungan. Kemudahan dan kelengkapan sarana dan prasarana
transportasi di Kota Bekasi menjadikan Kota Bekasi salah satu daerah
penyeimbang DKI Jakarta.
Kota Bekasi memiliki luas wilayah sekitar 210,49 km2, dengan Kecamatan Mustika Jaya sebagai wilayah yang terluas (24,73 km2) sedangkan Kecamatan Bekasi Timur sebagai wilayah terkecil (13,49 km2). Batas batas wilayah
administrasi yang mengelilingi wilayah Kota Bekasi adalah :
Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Bekasi
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan Kota Depok
Sebelah Barat berbatasan dengan Kota Jakarta Timur
Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bekasi
Wilayah Kota Bekasi dialiri 3 (tiga) sungai utama yaitu Sungai Cakung,
Sungai Bekasi dan Sungai Sunter, beserta anak-anak sungainya. Sungai Bekasi
mempunyai hulu di Sungai Cikeas yang berasal dari gunung pada ketinggian
kurang lebih 1.500 meter dari permukaan air. Secara umum Kota Bekasi
mempunyai iklim yang tergolong pada iklim kering dengan tingkat kelembaban
yang rendah. Kondisi lingkungan sehari-hari sangat panas. Hal ini terlebih
dipengaruhi oleh tata guna lahan yang meningkat terutama industri/perdagangan
dan permukiman. Temperatur harian berkisar antara 24 – 33° C.
4.2 Administrasi Pemerintahan
Pada tahun 2001, wilayah administrasi Kota Bekasi terbagi menjadi 10
kecamatan dengan 52 kelurahan. Sesuai dengan Perda Kota Bekasi No. 04 tahun
2004 tentang Pembentukan Wilayah Administrasi, Kota Bekasi mengalami
Gambar 4. Peta Administrasi Kota Bekasi
Setiap kecamatan memiliki jumlah kelurahan yang berbeda-beda.
Kecamatan Jati Asih dan Bekasi Utara masing-masing memiliki 6 kelurahan.
Kecamatan Pondok Gede, Jati Sampurna, Bekasi Selatan, dan Bekasi Barat
memiliki masing-masing 5 kelurahan. Kecamatan Pondok Melati, Bantar Gebang,
Mustika Jaya, Bekasi Timur, Rawalumbu, dan Medan Satria masing-masing
memiliki 4 kelurahan. Tabel 7 menunjukkan kecamatan dan kelurahan di Kota
Bekasi.
Tabel 7. Kecamatan dan Kelurahan di Kota Bekasi
No Kecamatan Kelurahan No Kecamatan Kelurahan
1 Pondok Gede Jati Bening Baru 7 Bekasi Selatan Jaka Mulya
Jati Cempaka Jaka Setia
Jati Waringin Pekayon Jaya
Jati Makmur Marga Jaya
Jati Bening Kayuringin Jaya
2 Jati Sampurna Jati Karya 8 Bekasi Barat Bintara Jaya
Jati Sampurna Jaka Sampurna
Jati Rangga Kranji
Jati Ranggon Bintara
Tabel 7. (Lanjutan)
No Kecamatan Kelurahan No Kecamatan Kelurahan
3 Jati Asih Jati Sari 9 Bekasi Utara Marga Mulya
4 Bantar Gebang Ciketing Udik 10 Medan Satria Harapan Mulya
Sumur Batu Kali Baru
5 Bekasi Timur Margahayu 11 Rawa Lumbu Bojong Menteng
Bekasi Jaya Bojong Rawalumbu
Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Bekasi (2010)
4.3 Kependudukan
Sejak awal tahun 2000-an pertumbuhan penduduk Kota Bekasi mengalami
sedikit penurunan dibandingkan periode tahun 1990-an. Pada awal tahun 1990-an
laju pertumbuhan penduduk Kota Bekasi sekitar 6,29% sedangkan pada awal
tahun 2000 menjadi 5,19%. Rata-rata laju pertumbuhan penduduk dari tahun 1999
sampai 2009 adalah 4,08%.
Penduduk Kota Bekasi Tahun 2009 sebanyak 2.319.518 jiwa terdiri dari
penduduk laki-laki sebanyak 1.157.418 jiwa dan perempuan 1.162.100 jiwa.
Jumlah penduduk ini tersebar di 12 kecamatan. Penyebaran tertinggi di
Kecamatan Bekasi Utara sebanyak 14,67% (340.224 jiwa), Bekasi Barat 12,69%
(294.342 jiwa), Bekasi Timur 11,48% (266.277 jiwa), dan penyebaran terendah
pada kecamatan Jati Sampurna sebesar 3,75% (86.936 jiwa). Tabel 8
menunjukkan jumlah penduduk menurut kecamatan dan jenis kelamin. Dinamika
Tabel 8. Jumlah Penduduk Menurut kecamatan dan Jenis Kelamin di Kota Bekasi
Kecamatan Laki-laki Perempuan Jumlah
Pondok Gede 115,013 116,376 231,389
Jati Sampurna 42,445 44,491 86,936
Pondok Melati 44,492 56,129 100,621
Jati Asih 98,573 84,888 183,461
Bantar Gebang 51,562 51,001 102,563
Mustika Jaya 68,771 71,280 140,051
Bekasi Timur 136,221 130,056 266,277
Rawa Lumbu 121,168 108,158 229,326
Bekasi Selatan 83,499 91,732 175,231
Bekasi Barat 143,061 151,281 294,342
Medan Satria 79,413 89,684 169,097
Bekasi Utara 173,200 167,024 340,224
Kota Bekasi 1,157,418 1,162,100 2,319,518
Sumber : BPS Kota Bekasi (2009)
Gambar 5. Dinamika Pertumbuhan Penduduk Tiap Kecamatan di Kota Bekasi
Pertumbuhan penduduk semua kecamatan di Kota Bekasi dari tahun 2005
sampai 2009 bersifat fluktuatif seperti terlihat pada Gambar 5. Kecamatan Pondok
Gede, Jati Sampurna, Bantar Gebang, Bekasi Barat, dan Medan Satria mengalami
peningkatan jumlah penduduk dari tahun 2005 sampai 2009. Kecamatan Pondok
Melati, Bekasi Timur, dan Bekasi Selatan mengalami peningkatan jumlah
2009. Kecamatan Jati Asih, Mustika Jaya, Rawa Lumbu, dan Bekasi Utara
mengalami penurunan jumlah penduduk pada tahun 2007 dan meningkat kembali
pada tahun 2009.
4.4 Perekonomian
Kota Bekasi yang dibentuk tahun 1997 sebelumnya merupakan bagian dari
Kabupaten Bekasi, dimana masing-masing wilayah tersebut memiliki potensi
perekonomian yang berbeda. Awalnya, kedua daerah tersebut memiliki
karakteristik perekonomian pada sektor industri. Namun dalam perkembangannya,
Kota Bekasi mengalami perubahan potensi perekonomian menjadi sektor
perdagangan dan jasa. Untuk mengetahui perkembangan ekonomi di suatu daerah
diperlukan suatu indikator ekonomi yaitu Produk Domestik Regional Bruto.
Rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Kota Bekasi dari tahun 2003 sampai
2009 adalah 4.5%. Dari data PDRB 2009, dua sektor dominan yang memberikan
kontribusi terbesar terhadap pembentukan PDRB Kota Bekasi yaitu sektor
industri pengolahan sebesar 43.39% dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran
sebesar 28.37%. Pertumbuhan ekonomi di Kota Bekasi dari berbagai sektor
pada periode 2003 hingga 2009 disajikan pada Gambar 6.
4.5 Penggunaan Lahan
4.5.1 Kawasan Tidak Terbangun/Ruang Hijau Kota
Kawasan atau ruang terbuka hijau adalah ruang dalam wilayah kota dalam
bentuk areas atau jalur dimana dalam pemanfaatannya lebih bersifat terbuka yang
pada dasarnya tanpa bangunan (taman kota, lapangan olahraga, jalur hijau, TPU,
pertanian, situ). Pemanfaatan ruang kawasan tidak terbangun/ruang hijau di Kota
Bekasi ditujukan untuk meningkatkan mutu lingkungan hidup perkotaan yang
nyaman, segar, indah, bersih dan sebagai fasilitas pengaman lingkungan
perkotaaan; serta menciptakan keserasian lingkungan alam dan lingkungan binaan
yang berguna untuk kepentingan masyarakat.
4.5.2 Pusat Pemerintahan Kota Bekasi dan Bangunan Umum
Fungsi utama kawasan pemerintahan adalah sebagai pusat pelayanan
pemerintahan kota dengan skala pelayanan kota/regional. Pengembangan kawasan
pusat pelayanan pemerintahan Kota Bekasi sebaiknya dilakukan dalam satu lokasi
yang saling berdekatan. Adapun lokasi yang potensial untuk dikembangkan
sebagai kawasan pusat pelayanan pemerintahan Kota Bekasi, adalah di Komplek
Kantor Walikota yang ada saat ini di JL. Kartini – Jl. Juanda dan di Komplek Perkantoran lama di Jl. Ahmad Yani, serta dikawasan lain yang sudah ada
kegiatan pelayanan pemerintahan kota. Keberadaan kompleks perkantoran lama di
Jl. Ahmad Yani perlu dibenahi dan ditata kembali (revitalisasi) untuk
mengoptimalkan ruang yang ada, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pusat
perkantoran dinas-dinas pemerintahan Kota Bekasi.
4.5.3 Perdagangan dan Jasa
Secara umum, kegiatan perdagangan dan jasa yang berkembang di Kota
Bekasi menempati lokasi di sepanjang jalan utama, baik itu jalan arteri maupun
jalan kolektor. Untuk kegiatan perdagangan dan jasa yang berkembang di pusat
kota, umumnya terpusat di sepanjang Jalan Juanda – Jalan Cut Mutia dan di koridor sepanjang Jalan A. Yani, serta di pusat perdagangan Pondok Gede
4.5.4 Industri
Alokasi lahan yang diperuntukkan bagi zona industri adalah di sebelah
Utara dan Selatan Kota Bekasi, yang sebagian besar berada di Kecamatan Medan
Satria, Kecamatan Bekasi Utara, Kecamatan Rawalumbu dan di Kecamatan
Bantargebang. Lokasi industri yang berada di zona industri ini umumnya tersebar
merata tidak terpusat di satu lokasi. Dengan demikian umumnya keberadaan
kegiatan industri bercampur dengan kegiatan lainnya, seperti permukiman atau
perdagangan dan jasa, sehingga apabila tidak ditangani dan dikontrol dengan
benar dapat mencemari lingkungan sekitarnya, baik berupa pencemaran suara,
udara (bau), ataupun limbah yang dihasilkan.
4.5.5 Permukiman
Tingginya tingkat investasi untuk pengembangan kegiatan permukiman
skala besar di wilayah Kota Bekasi, terutama di sebelah Utara dan Selatan, akan
merubah fungsi peruntukan dari kegiatan non terbangun menjadi daerah
terbangun. Selain itu, adanya kecenderungan perubahan fungsi kegiatan
permukiman di sepanjang jalan utama menjadi kegiatan bisnis akibat
perkembangan dan permintaan pasar menyebabkan pola pengembangan
permukiman di Kota Bekasi diarahkan pada kawasan-kawasan yang sesuai
peruntukannya dan diminati oleh investor.
Pola pengembangan kawasan permukiman skala besar di Kota Bekasi
sesuai RTRW Kota Bekasi 2000 – 2010 masih dilakukan dengan pola lingkungan hunian berimbang (1:3:6). Pada kenyataannya pola ini seringkali
tidak berjalan sebagaimana mestinya, karena jenis/tipe permukiman yang
dikembangkan sebagian besar tidak berada dalam satu lokasi kawasan yang sama,
tetapi dilakukan berpencar di beberapa lokasi. Untuk itu di masa mendatang
sebaiknya pola pengembangan permukiman lebih diarahkan pada pola
neighborhood unit. Pengembangan permukiman dengan konsep neighborhood unit ini diintegrasikan oleh sistem jaringan transportasi yang memadai, sehingga membentuk satu kesatuan yang saling terintegrasi dan saling mendukung antar
bersosialisasi dan berinteraksi satu dengan yang lainnya (Bappeda Kota Bekasi,
2009).
4.5.6 Struktur Tata Ruang
Rencana struktur ruang Kota Bekasi disusun untuk mewujudkan
keserasian dan keseimbangan pusat-pusat pelayanan serta mengefektifkan kinerja
sistem pusat-pusat tersebut agar dapat berkembang sesuai dengan peran dan
fungsinya dalam mendukung perkembangan Kota Bekasi dalam konteks yang
lebih luas. Rencana struktur ruang Kota Bekasi meliputi rencana pengembangan
sistem pusat pelayanan dan rencana sistem jaringan prasarana kota.
Sistem pusat pelayanan yang dikembangkan di Kota Bekasi merupakan
sistem hirarki pusat dengan spesialisasi kegiatan tertentu. Konsep ini diterapkan
dengan maksud untuk mempertegas fungsi dan peran masing-masing pusat
kegiatan yang saat ini telah berkembang akibat tuntutan posisi Kota Bekasi dalam
konteks regional.
Dalam perkembangannya seperti halnya sistem perkotaan di Bodetabek,
sistem perkotaan di Kota Bekasi tidak semuanya memiliki hirarki pelayanan yang
sama, tetapi terdapat perbedaan skala pelayanan sehingga sistem pusat pelayanan
Kota Bekasi direncanakan terdiri dari 1 (satu) Pusat Pelayanan Kota, 4 (empat)
Sub Pusat Pelayanan Kota dan 7 (tujuh) Pusat Pelayanan Lingkungan. Penetapan
Pusat Pelayanan Kota, yang berada di sebagian wilayah Kecamatan Medan Satria,
Bekasi Utara, Bekasi Timur, Rawalumbu, Bekasi Selatan, yang meliputi kawasan
Jalan Sudirman – Juanda - Cut Meutia - Achmad Yani dengan fungsi pusat pelayanan pemerintahan, kesehatan, pendidikan tinggi, pusat perdagangan, pusat
hiburan dan rekreasi. Penetapan sub pusat pelayanan kota, sebagai pusat
pelayanan ekonomi, sosial, dan administrasi yang melayani sub wilayah kota,
terdiri atas:
1. Sub-pusat pelayanan kota Pondokgede berada di sekitar Kelurahan
Jatiwaringin mencakup wilayah pelayanan Kelurahan Jati Cempaka,
Jatibening Baru, Jatibening, Jatiwaringin, Jatimakmur dengan fungsi
pusat pemerintahan, perdagangan skala grosir dan retail berkelompok,