ANALISIS DAMPAK PEMBANGUNAN SEKTOR PERTANIAN
TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN DAN PERTUMBUHAN
EKONOMI DI PROVINSI ACEH
ANDRIAN TRI SASONGKO
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Analisis Dampak Pembangunan Sektor Pertanian Terhadap Tingkat Kemiskinan dan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Aceh adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013
ABSTRAK
ANDRIAN TRI SASONGKO. Analisis Dampak Pembangunan Sektor Pertanian Terhadap Tingkat Kemiskinan dan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Aceh. Dibimbing oleh YETI LIS PURNAMADEWI.
Aceh merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang sumber utama perekonomiannya berasal dari sektor pertanian yang terlihat dari kontribusi terhadap Produk Domestik Regional Bruto dan penyerapan tenaga kerja. Dalam 5 tahun terakhir Produk Domestik Regional Bruto sektor pertanian terus mengalami peningkatan akan tetapi tingkat kemiskinan di Provinsi Aceh masih relatif tinggi dan pertumbuhan ekonomi mengalami fluktuasi serta lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi nasional. Oleh karena itu tujuan penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi pembangunan sektor pertanian dan dampaknya terhadap tingkat kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Aceh. Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa data time series tahun 1993-2012 yang kemudian diolah dan dianalisis dengan menggunakan model ekonometrika persamaan simultan. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat hubungan antara output pertanian, tingkat kemiskinan, dan pertumbuhan ekonomi sehingga peningkatan pengeluaran pemerintah di sektor pertanian dapat menurunkan tingkat kemiskinan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Aceh.
Kata kunci : Pertanian, Kemiskinan, Pertumbuhan Ekonomi, Persamaan Simultan
ABSTRACT
ANDRIAN TRI SASONGKO. The Impact Analysis of Agricultural Development on Poverty and Economics Growth in The Province of Aceh. Supervised by YETI LIS PURNAMADEWI.
Aceh is one of the provinces in Indonesia which is the main source of the economy by the agricultural sector which is visible from the contribution to Gross Regional Domestic Product and labor absorption. In the last 5 years the agricultural sector Gross Regional Domestic Product continues to increase but the level of poverty in the province of Aceh are still relatively high and fluctuating economic growth as well as lower than the growth of the national economy. Therefore, the study aims to analyze the factors that influence the development of the agricultural sector and its impact on poverty and economic growth in the province of Aceh. This study uses secondary data with time series data type from 1993-2012 then processed and analyzed by using a simultaneous equation econometric models. The results showed that there is a relationship between agricultural output, poverty, and economic growth so that the increasing of government spending on the agricultural sector would reduce poverty and promote economic growth in the Province of Aceh.
ANALISIS DAMPAK PEMBANGUNAN SEKTOR PERTANIAN
TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN DAN PERTUMBUHAN
EKONOMI DI PROVINSI ACEH
ANDRIAN TRI SASONGKO
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Judul Skripsi : Analisis Dampak Pembangunan Sektor Pertanian Terhadap Tingkat Kemiskinan dan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Aceh Nama : Andrian Tri Sasongko
NIM : H14090025
Disetujui oleh
Dr. Yeti Lis Purnamadewi Pembimbing
Diketahui oleh
Dedi Budiman Hakim, Ph.D Ketua Departemen
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Dampak Pembangunan Sektor Pertanian Terhadap Tingkat Kemiskinan dan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Aceh”.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Yeti Lis Purnamadewi selaku dosen pembimbing, Bapak Dr. Muhammad Firdaus selaku dosen penguji utama, dan Bapak Dr. Muhammad Findi selaku dosen penguji komisi pendidikan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Badan Pusat Statistik Republik Indonesia dan Kementerian Keuangan yang telah menyediakan dan melayani penulis selama proses pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua dan keluarga penulis, yakni Bapak H. Basiran dan Ibu Hj. Djumiati, S.Pd serta kakak-kakak dari penulis, yakni Cahyo Priyo Pambudi, S.Kom dan Bayu Aji Prasetyo, SE atas segala doa dan dukungan yang selalu diberikan. Kepada Dwinda, Farah, Tiara, dan Adini sebagai teman satu bimbingan sekaligus teman diskusi dalam penulisan karya ilmiah ini. Kepada sahabat penulis Perdana, Galuh, Distia, Irman, Rangga, Niken, dan teman-teman Departemen Ilmu Ekonomi 46, serta seluruh pihak yang telah menyemangati dan selalu mendoakan yang terbaik bagi penulis.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2013
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 6
Tujuan Penelitian 6
Manfaat Penelitian 7
Ruang Lingkup Penelitian 7
TINJAUAN PUSTAKA
Teori Pertumbuhan Ekonomi : Kaitan antara Pembangunan
Sektor Pertanian dengan Pertumbuhan Ekonomi 7
Konsep Kemiskinan 10
Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan 11
Penelitian Terdahulu 13
Kerangka Pemikiran 15
Hipotesis Penelitian 16
METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data 16
Metode Analisis dan Pengolahan Data 16
Identifikasi, Validasi, dan Simulasi Model 18
Definisi Operasional 20
GAMBARAN UMUM
Kondisi Geografi 21
Kondisi Kemiskinan 23
Kondisi Pertumbuhan Ekonomi 24
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kajian Pembangunan Sektor Pertanian Provinsi Aceh 25 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Output Pertanian 29
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kemiskinan 30
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan Ekonomi 31 Dampak Pengeluaran Pemeritah di Sektor Pertanian Terhadap
Tingkat Kemiskinan dan Pertumbuhan Ekonomi 32
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan 34
Saran 34
DAFTAR PUSTAKA 35
LAMPIRAN 37
DAFTAR TABEL
1 Produk Domestik Regional Bruto atas harga tahun konstan 2000
menurut lapangan usaha (miliar rupiah) 2
2 Jumlah tenaga kerja menurut lapangan usaha Provinsi Aceh (jiwa) 3 3 Identifikasi model dari masing-masing persamaan 18 4 Faktor-faktor yang memengaruhi output pertanian 29
5 Faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan 30
6 Faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi 31 7 Nilai validasi variabel endogen pada persamaan simultan 33 8 Dampak peningkatan pengeluaran pemerintah di sektor pertanian
sebesar 30 % terhadap output pertanian, kemiskinan, dan
pertumbuhan ekonomi di Provinsi Aceh 33
DAFTAR GAMBAR
1 Persentase jumlah penduduk miskin menurut tempat tinggal
di Provinsi Aceh tahun 2012 4
2 Persentase tingkat kemiskinan provinsi-provinsi di Indonesia
tahun 2008 dan tahun 2012 5
3 Grafik fungsi produksi 10
4 Kurva U terbalik Kuznets (Inverted U curve hypothesis) 12
5 Kerangka pemikiran operasional 15
6 Pengeluaran pemerintah Provinsi Aceh di sektor pertanian tahun
2008-2012 20
7 Peta Provinsi Aceh 22
8 Persentase kemiskinan Provinsi Aceh dan Indonesia tahun 1993-2012 23 9 Laju PDRB Provinsi Aceh dan PDB Indonesia tahun 2003-2012 24 10 Rata-rata persentase luas lahan pertanian menurut penggunaan tahun
1993-2012 26
11 Rata-rata produktivitas komoditi unggulan subsektor tanaman pangan
tahun 2003-2012 27
12 Persentase luas lahan sawah menurut jenis pengairan tahun 2003-2012 28
DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil pendugaan faktor-faktor yang memengaruhi output pertanian 38 2 Hasil pendugaan faktor-faktor yang memengaruhi tingkat kemiskinan 39 3 Hasil pendugaan faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi 40
4 Nilai dasar simulasi 41
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang berarti negara yang mengandalkan sektor pertanian baik sebagai sumber mata pencaharian maupun sebagai penopang pembangunan. Sektor pertanian meliputi subsektor tanaman pangan, subsektor hortikultura, subsektor pekebunan, subsektor perikanan, subsektor peternakan, dan subsektor kehutanan. Pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat dominan dalam pendapatan masyarakat di Indonesia karena mayoritas penduduk Indonesia bekerja sebagai di sektor pertanian. Era globalisasi yang akan datang memberikan peluang bagi sektor pertanian untuk berkembang lebih cepat, tetapi sekaligus memberikan tantangan baru karena komoditas pertanian harus mempunyai keunggulan daya saing dan kemandirian produk pertanian sedemikian rupa sehingga produk pertanian mampu bersaing baik di pasar domestik maupun pasar internasional.
Seiring berkembangnya zaman, sektor pertanian mulai ditinggalkan dan beralih ke sektor non pertanian seperti sektor industri dan sektor jasa-jasa. Sektor pertanian sering dianggap hanya sebagai sektor pendukung bagi sektor-sektor non pertanian, selain itu sektor ini juga kurang mendapat perhatian secara serius dari pemerintah, mulai dari proteksi, kredit hingga kebijakan lain yang tidak satu pun menguntungkan bagi sektor pertanian. Padahal di banyak negara sektor pertanian merupakan prasyarat bagi pembangunan sektor non pertanian misalnya sektor industri, karena output yang dihasilkan dari sektor pertanian merupakan pasokan bahan baku untuk keperluan kegiatan produksi di sektor-sektor non pertanian, terutama industri pengolahan makanan dan minuman, tekstil, pakaian jadi, serta barang-barang dari kulit dan farmasi. Selain itu jika melihat kondisi di saat krisis tahun 1998 maka hanya sektor pertanian satu-satunya sektor yang mampu bertahan dan memiliki pertumbuhan positif serta masih mampu menyerap tenaga kerja, maka dari itu sudah seharusnya sektor pertanian ditempatkan pada posisi prioritas dalam perencanaan pembangunan nasional.
Pembangunan pertanian dianggap penting dalam pembangunan nasional karena pembangunan pertanian memiliki potensi yang cukup besar terkait dengan kontribusi terhadap perekonomian nasional. Menurut Jhingan (2000) terdapat beberapa bentuk kontribusi sektor pertanian terhadap pertumbuhan dan pembangunan nasional yaitu: (1) menyediakan surplus pangan yang semakin besar kepada penduduk yang kian meningkat, (2) meningkatkan permintaan akan produk industri dan dengan demikian mendorong keharusan diperluasnya sektor sekunder dan tersier, (3) menyediakan tambahan penghasilan devisa untuk impor barang-barang modal bagi pembangunan melalui ekspor hasil pertanian secara terus-menerus, dan (4) memperbaiki kesejahteraan penduduk desa.
berkelanjutan tanpa menimbulkan efek negatif terhadap kualitas lingkungan hidup, dan (3) dominan, yang bearti merupakan sektor andalan yang diukur dengan volume produksi, peyerapan tenaga kerja, dan pangsa pasar.
Salah satu provinsi di Indonesia yang mengandalkan sektor pertanian sebagai penopang perekonomian adalah Provinsi Aceh. Provinsi ini memiliki potensi yang cukup besar pada sektor pertanian karena didukung oleh kondisi lahan dan agroklimat yang cukup baik. Sektor pertanian mampu berkontribusi besar dalam pertumbuhan ekonomi Provinsi Aceh. Hal ini dapat dilihat dari share yang diberikan sektor pertanian terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Aceh.
mampu memengaruhi pertumbuhan ekonomi Provinsi Aceh, hal ini terlihat pada nilai total PDRB Provinsi Aceh yang mengalami fluktuasi dan nilai PDRB per kapita Provinsi Aceh yang lebih kecil dibandingkan dengan PDB per kapita Indonesia. PDRB per kapita Provinsi Aceh tahun 2008 sebesar 7 907 ribu rupiah, cenderung mengalami penurunan hingga pada tahun 2012 yaitu sebesar 7 795 ribu rupiah dengan rata-rata laju PDRB perkapita tahun 2008 sampai dengan 2012 sebesar -1.67 persen. Kondisi berbanding terbalik dengan PDB per kapita Indonesia yaitu di tahun 2008 sebesar 9 016 ribu rupiah, mengalami peningkatan setiap tahunnya hingga tahun 2012 yaitu sebesar 10 590 ribu rupiah dengan rata-rata laju PDB per kapita sebesar 4.18 persen. Tabel 1 memperlihatkan bahwa sektor pertanian Provinsi Aceh mempunyai kontribusi terbesar dalam pertumbuhan ekonomi, hal ini membuktikan bahwa sektor pertanian memiliki potensi yang besar terhadap perekonomian Provinsi Aceh.
Sektor pertanian merupakan motor penggerak perekonomian masyarakat Provinsi Aceh, selain itu sektor ini juga merupakan sumber pendapatan bagi masyarakat terutama masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah, dampak dari rendahnya pendidikan adalah adanya keterbatasan jenis pekerjaan yang bisa dilakukan. Berdasarkan karakteristik sektor pertanian yang tidak memerlukan tingkat pendidikan tinggi maka sektor ini merupakan sumber lapangan pekerjaan utama bagi kebanyakan orang. Penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian sangat mendominasi dibandingkan tenaga kerja di sektor lainnya, kondisi ini dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2 Jumlah tenaga kerja menurut lapangan usaha Provinsi Aceh (jiwa)
Tabel 2 menunjukan bahwa sektor pertanian mampu menyerap hampir setengah dari total tenaga kerja pada tahun 2008 yaitu 786 198 jiwa (48.47 persen) dari total tenaga kerja di Provinsi Aceh. Secara umum penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian mengalami fluktuatif yaitu meningkat pada tahun 2009 lalu turun pada tahun 2010, kemudian jumlah tenaga kerja di sektor pertanian meningkat kembali pada tahun 2012 dimana jumlah tenaga kerjanya sebesar 842 866 jiwa. Kondisi ini menunjukan bahwa sektor pertanian mampu menjadi penopang dalam perekonomian Provinsi Aceh khususnya dalam hal penyerapan tenaga kerja. Kondisi penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian di Provinsi Aceh berbanding terbalik dengan penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian di Indonesia. Tenaga kerja sektor pertanian Indonesia tahun 2008 sebesar 41 331 706 jiwa (40 persen) dari total tenaga kerja, penyerapan tenaga kerja pada sektor ini terus mengalami penurunan setiap tahunnya hingga tahun 2012 yaitu 38 882 134 jiwa (35 persen) dari total tenaga kerja Indonesia.
Sektor pertanian memiliki hubungan yang cukup erat dengan kemiskinan. Menurut BAPPENAS kemiskinan diartikan ketika seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (sandang, pangan dan papan) dan tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, dan air bersih) serta tidak adanya akses dalam lapangan kerja. Adanya keterbatasan terhadap ketersediaan lapangan kerja yang dialami oleh penduduk miskin berbanding terbalik dengan sektor pertanian yang mampu menyediakan lapangan kerja dalam jumlah yang besar, oleh karena itu terdapat hubungan di antara kemiskinan dan pertanian. Jumlah penduduk miskin di Provinsi Aceh pada tahun 2012 sebesar 909 000 jiwa dimana sekitar 171 800 jiwa tinggal di kota dan 737 200 jiwa tinggal di desa.
Sumber: BPS-RI, 2012 (diolah)
Gambar 1 Persentase jumlah penduduk miskin menurut tempat tinggal di Provinsi Aceh tahun 2012
Persentase jumlah penduduk miskin di Provinsi Aceh lebih banyak dialami di pedesaan yaitu sebesar 81.10 persen dibandingkan dengan di perkotaan yaitu sebesar 18.90 persen. Sebagian besar penduduk miskin di pedesaan pada umumnya bekerja di sektor pertanian. Pada tahun 2008 hingga 2012 rata-rata persentase masyarakat pedesaan di Provinsi Aceh yang bekerja pada sektor pertanian adalah sebesar 61.83 persen, sektor jasa 15.20 persen, sektor
18.90% 81.10%
perdagangan 11.84 persen, sektor bangunan 7.58 persen, sektor industri 4.07 persen selanjutnya sektor pengangkutan, sektor pertambangan, sektor keuangan, serta sektor listrik dan gas masing-masing sebesar 3.41 persen, 0.88 persen, 0.62 persen, dan 0.03 persen. Kondisi ini menunjukan bahwa sektor pertanian memiliki kaitan yang erat dengan pedesaan dan kemiskinan.
Tingkat kemiskinan di Provinsi Aceh masih tergolong tinggi. Tingkat kemiskinan yang tinggi akan berdampak buruk bagi perekonomian, selain itu kemiskinan yang tinggi juga memiliki pengaruh negatif baik dari sisi sosial maupun sisi ekonomi. Menurut Centre for Strategic and International Studies (CSIS) persoalan kemiskinan mengandung beberapa permasalah pokok antara lain masalah kerentanan, tertutupnya akses terhadap berbagai peluang kerja, tingginya tingkat ketergantungan, menimbulkan masalah ketidakpercayaaan, meningkatnya tindakan kriminalitas, rendahnya konsumsi yang akan mengganggu tingkat kecerdasan, terjadinya ekploitasi yang menuntut kerja keras dalam jam kerja panjang dengan imbalan rendah, rendahnya kualitas sumberdaya manusia yang berdampak pada rendahnya produktivitas, menurunkan kualitas lingkungan dan akhirnya berdampak pada terhambatnya pertumbuhan ekonomi bahkan dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi jika kemiskinan terjadi secara berkepanjangan serta dapat menimbulkan kematian.
Sumber: BPS-RI, 2012 (diolah)
Gambar 2 Persentase tingkat kemiskinan provinsi-provinsi di Indonesia tahun 2008 dan tahun 2012
Gambar 2 menunjukan bahwa persentase tingkat kemiskinan di Provinsi Aceh relatif tergolong tinggi. Persentase tingkat kemiskinan tahun 2008 sebesar 23.53 persen, kondisi ini masih jauh berada di atas persentase tingkat kemiskinan Indonesia yaitu 15.42 persen. Persentase tingkat kemiskinan Provinsi Aceh mengalami penurunan pada tahun 2012 yaitu 19.46 persen namun kondisi ini tetap berada jauh di atas persentase tingkat kemiskinan Indonesia yang juga mengalami
penurunan yaitu 11.96 persen. Sektor pertanian yang memiliki kaitan erat dengan kemiskinan diharapkan mampu mengatasi persoalan ini. Untuk itu perlu adanya peningkatan produktivitas pertanian melalui inovasi teknologi dan peningkatan investasi dalam meningkatkan pendapatan masyarakat pedesaan. Produksi pertanian yang meningkat akan menciptakan pasar bagi barang-barang industri. Peningkatan permintaan untuk barang-barang industri berdampak pada terjadinya transfer sumberdaya dari sektor pertanian, kemudian diikuti dengan pertumbuhan di sektor non pertanian dan pada akhirnya akan memicu meningkatnya pertumbuhan dan pembangunan ekonomi (Purnamadewi, 2010).
Rumusan Masalah
Sektor pertanian di Provinsi Aceh dalam 5 tahun terakhir dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan dengan rata-rata tingkat pertumbuhan sebesar 3.88 persen sebagaimana yang terlihat pada Tabel 1. Produk Domestik Regional Bruto sektor pertanian pada tahun 2008 sebesar 8 224 miliar rupiah meningkat menjadi 9 860 miliar rupiah pada tahun 2012. Di samping itu kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomi wilayah dalam kurun waktu tersebut juga terus mengalami peningkatan, dari 24.12 persen di tahun 2008 menjadi 26.94 persen di tahun 2012.
Namun demikian di sisi lain, di tahun 2008 sampai dengan 2012 pendapatan wilayah Provinsi ini mengalami fluktuasi dan pertumbuhan ekonominya relatif rendah. Pertumbuhan ekonomi di Provinsi Aceh dalam kurun waktu tersebut kurang dari 5 persen per tahun, lebih rendah dari rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional yang lebih dari 5 persen yang sebagaimana terlihat pada Gambar 9. Di samping itu, tingkat kemiskinan di Provinsi Aceh relatif tinggi. Persentase tingkat kemiskinan Provinsi Aceh tahun 2008 sebesar 23.53 persen lebih besar dibandingkan persentase tingkat kemiskinan Indonesia yaitu 15.42 persen. Pada tahun 2012 persentase tingkat kemiskinan di Provinsi Aceh mengalami penurunan menjadi 19.46 persen namun kondisi ini juga masih berada di atas persentase tingkat kemiskinan Indonesia yaitu sebesar 11.96 persen.
Sehubungan dengan pemaparan fakta dan data tersebut maka permasalahan pokok yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah:
1 Bagaimana kondisi pembangunan sektor pertanian di Provinsi Aceh ?
2 Faktor-faktor apa yang memengaruhi output pertanian, tingkat kemiskinan, dan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Aceh ?
3 Bagaimana dampak pengeluaran pemerintah di sektor pertanian terhadap output pertanian, tingkat kemiskinan, dan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Aceh ?
Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah: 1 Mengkaji pembangunan sektor pertanian di Provinsi Aceh.
3 Menganalisis dampak pengeluaran di sektor pertanian terhadap output pertanian, tingkat kemiskinan, dan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Aceh.
Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut:
1 Memberikan masukan bagi pemerintah Provinsi Aceh dalam mengelola kebijakan pembangunan khususnya yang berkaitan dengan pembangunan sektor pertanian.
2 Menjadi bahan acuan dan referensi bagi peneliti lain yang ingin meneliti lebih lanjut dan lebih mendalam tentang pertanian, kemiskinan, dan pertumbuhan ekonomi.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dalan penelitian ini adalah Provinsi Aceh dalam kurun waktu tahun 1993 sampai dengan 2012. Data yang digunakan pada penelitian ini seluruhnya menggunakan data pada tingkat provinsi. Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji kondisi pembangunan sektor pertanian, mengetahui fakor-faktor yang memengaruhi output pertanian, tingkat kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi, serta menganalisis dampak pengeluaran di sektor pertanian terhadap output pertanian, tingkat kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini menggunakan data sekunder dari Badan Pusat Statistik Republik Indonesia (BPS-RI), BPS Provinsi Aceh, dan Kementrian Keuangan.
TINJAUAN PUSTAKA
Teori Pertumbuhan Ekonomi : Kaitan antara Pembangunan Sektor Pertanian dengan Pertumbuhan Ekonomi
Menurut Tarigan (2005), pertumbuhan ekonomi wilayah adalah pertambahan pendapatan masyarakat yang terjadi di suatu wilayah, yaitu kenaikan seluruh nilai tambah yang terjadi di suatu daerah. Pertambahan pendapatan itu diukur dengan nilai riil, artinya dinyatakan dengan harga konstan. Menurut Boediono (1999), pertumbuhan ekonomi adalah suatu proses dari kenaikan output perkapita dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi disini meliputi tiga aspek, yaitu: (1) Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses yang berkembang atau berubah dari waktu ke waktu, (2) Pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan adanya kenaikan output perkapita, dalam hal ini ada dua aspek penting yaitu output total dan jumlah penduduk, dan (3) Pertumbuhan ekonomi dikaitkan dengan perspektif waktu, suatu perekonomian dikatakan tumbuh bila dalam jangka waktu yang cukup lama mengalami kenaikan output perkapita.
Adam Smith berpendapat bahwa faktor manusia sebagai sumber pertumbuhan ekonomi. Manusia dengan melakukan spesialisasi akan meningkatkan produktivitas, Smith bersama dengan Ricardo percaya bahwa batas dan pertumbuhan ekonomi adalah ketersediaan tanah. Tanah bagi kaum klasik merupakan faktor yang tetap. Kaum klasik juga yakin bahwa pertumbuhan ekonomi dapat berlangsung akibat adanya pembentukan akumulasi modal. Teori pertumbuhan ekonomi klasik berkembang menjadi teori neoklasik yang dipelopori oleh Harrod-Domar dan Robert Solow. Harror-Domar beranggapan modal harus dipakai secara efektif, karena pertumbuhan ekonomi sangat dipengaruhi oleh peranan pembentukan modal tersebut. Berdasarkan beberapa teori pertumbuhan ekonomi yang ada maka dapat diambil kesimpulan terdapat empat faktor pertumbuhan ekonomi yaitu sumber daya manusia (pendidikan, disiplin, motivasi), sumber daya alam (tanah, mineral, bahan bakar), pembentukan modal (mesin, pabrik, jalan), dan teknologi (sains, rekayasa, dan manajemen).
Model Solow dirancang untuk menunjukkan bagaimana pertumbuhan persediaan modal, pertumbuhan angkatan kerja, dan kemajuan teknologi berinteraksi dalam perekonomian, serta bagaimana pegaruhnya terhadap output barang dan jasa suatu negara secara keseluruhan. Penawaran barang dalam model Solow didasarkan pada fungsi produksi. Fungsi produksi merupakan hasil akhir dari proses atau aktivitas ekonomi dengan memanfaatkan beberapa masukan. Di bidang pertanian, untuk menghasilkan output maka digunakan beberapa faktor produksi sekaligus seperti tanah, bibit, pupuk, pestisida, tenaga kerja dan teknologi. Pembangunan sektor pertanian dalam penelitian ini diwujudkan dengan meningkatkan pengeluaran pada sektor pertanian, dimana pengeluaran ini merupakan bentuk investasi. Jika investasi di sektor pertanian yang dilakukan oleh pemerintah lebih besar dibandingkan dengan penyusutannya maka akan terjadi peningkatan akumulasi persediaan modal sehingga akan berdampak pada peningkatan pertumbuhan ekonomi dengan asumsi pertumbuhan investasi di sektor lainnya tetap sebagaimana terlihat pada Gambar 3. Kondisi ini dapat dijelaskan secara lebih rinci sebagai berikut:
Solow menyatakan bahwa output bergantung pada persediaan modal dan angkatan kerja:
Y = F(K,L)
Model Solow mengasumsikan bahwa fungsi produksi memiliki skala pengembalian konstan atau skala hasil konstan (constan return to scale). Fungsi produksi memiliki skala pengembalian yang konstan jika
zY = F(zK, zL)
dengan z bernilai positif. Jika modal dan tenaga kerja dikalikan dengan z maka output yang dihasilkan juga dikalikan dengan z. Fungsi produksi dengan pengembalian konstan digunakan untuk menganalisis seluruh variabel dalam perekonomian dengan dibandingkan jumlah tenaga kerja. Kemudian z = 1/L dimasukkan dalam persamaan di atas untuk mendapatkan
Y/L = F(K/L, 1)
beralasan untuk menyatakan seluruh variabel dalam istilah per pekerja. Jika seluruh variabel dilambangkan dengan huruf kecil dimana y = Y/L adalah output per pekerja dan k = K/L adalah modal per pekerja maka akan didapatkan fungsi produksi sebagai berikut:
y = f(k)
dimana f(k) didefinisikan sebagai F(k,1). Kemiringan dari fungsi produksi ini menunjukkan berapa banyaknya output tambahan yang dihasilkan seorang pekerja ketika mendapatkan satu unit modal tambahan. Angka yang diperoleh merupakan produk marjinal modal MPK, secara sistematis dapat ditulis sebagai berikut:
MPK = f(k + 1) – f(k)
Gambar 3 memperlihatkan ketika jumlah modal meningkat, kurva fungsi produksi menjadi lebih datar, yang mengindikasikan bahwa fungsi produksi mencerminkan produk marjinal modal yang kian menurun. Ketika k rendah, rata-rata pekerja hanya memiliki sedikit modal untuk bekerja, sehingga satu unit modal tambahan begitu berguna dan dapat memproduksi banyak output tambahan. Ketika k tinggi, rata-rata pekerja memiliki banyak modal, sehingga satu unit modal tambahan hanya sedikit meningkatkan produksi.
Permintaan terhadap barang dalam model Solow berasal dari konsumsi dan investasi, dengan kata lain output per pekerja merupakan konsumsi per pekerja (c) dan investasi per pekerja (i):
y = c + i
Persamaan ini adalah versi per pekerja dari identitas perhitungan pendapatan nasional untuk suatu perekonomian tanpa memasukan belanja pemerintah dan ekspor bersih karena diasumsikan perekonomian tertutup. Model Solow mengasumsikan bahwa setiap tahun orang menabung sebagian s dari pendapatan mereka dan mengkonsumsi sebagian (1-s) yang dinyatakan dalam fungsi konsumsi sederhana:
c = (1-s)y
di mana s tingkat tabungan yang bernilai antara nol dan satu. Kebijakan pemerintah secara potensial dapat memengaruhi tingkat tabungan nasional, sehingga salah satu tujuan disini adalah mencari berapa tingkat tabungan yang diinginkan. Untuk melihat apakah fungsi konsumsi berpengaruh terhadap investasi, substitusikan (1-s)y kepada c dalam identitas perhitungan pendapatan nasional:
y = (1-s)y + i
kemudian diubah lagi menjadi i = sy
persamaan ini menunjukan bahwa investasi sama dengan tabungan dan tingkat tabungan s juga merupakan bagian dari output yang menunjukan investasi. Jadi model solow memperkenalkan dua muatan utama yaitu fungsi produksi dan fungsi konsumsi, di mana fungsi produksi y = f(k) menentukan berapa produksi yang diproduksi perekonomian dan tingkat tabungan s menentukan alokasi output itu di antara konsumsi dan investasi.
Untuk memasukan depresiasi ke dalam model, maka diasumsikan bahwa sebagian tertentu dari persediaan modal menyusut setiap tahun. Dampak investasi dan depresiasi terhadap persediaan modal dapat dinyatakan sebagai berikut:
di mana k adalah perubahan persediaan modal antara satu tahun tertentu dengan tahun berikutnya. Karena investasi sama dengan sf(k), maka persamaan menjadi
k = sf(k) – k
semakin tinggi persediaan modal semakin besar jumlah output dan investasi, namun semakin tinggi persediaan modal semakin besar pula jumlah depresiasinya. f(k), sf(k),
f(k)
c sf(k)
i
k Sumber: Mankiw, 2006
Gambar 3 Kurva fungsi produksi
Konsep Kemiskinan
Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi kekurangan hal-hal yang biasa dimiliki seseorang seperti makanan, air minum, pakaian, dan tempat berlindung, hal-hal ini berhubungan erat dengan kualitas hidup. Kemiskinan kadang juga berarti tidak adanya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan yang mampu mengatasi masalah kemiskinan dan mendapatkan kehormatan yang layak sebagai warga negara.
Menurut Suryawati (2005), kemiskinan dapat dibedakan dalam empat pengertian antara lain:
1 Kemiskinan absolut adalah situasi dimana seseorang hanya dapat memenuhi makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal yang sangat diperlukan untuk mempertahankan tingkat kehidupan yang minimum.
2 Kemiskinan natural adalah keadaan kemiskinan yang dialami seseorang secara turun-temurun, kelompok masyarakat ini miskin karena tidak memiliki sumber daya yang memadai, baik sumber daya alam, sumber daya manusia, maupun sumber daya pembangunan lainnya sehingga mereka tidak dapat ikut serta aktif dalam pembangunan.
4 Kemiskinan kultural mengacu kepada sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh gaya hidup dan budayanya, mereka merasa sudah berkecukupan dan tidak merasa kekurangan. Kelompok masyarakat ini tidak mudah diajak berpartisipasi dalam pembangunan, tidak mudah melakukan perubahan, menolak mengikuti perkembangan, dan tidak mau berusaha untuk memperbaiki tingkat kehidupannya.
Kemiskinan dapat pula bersifat mutlak ataupun nisbi. Kemiskinan mutlak adalah apabila orang miskin tidak dapat mencukupi kebutuhan fisiknya seperti pangan, pakaian, dan tempat tinggal. Kemiskinan nisbi yaitu relatif terhadap orang yang lebih mampu dan berkaitan dengan kesenjangan. Di negara sedang berkembang banyak terdapat kemiskinan mutlak, banyak orang yang benar-benar kelaparan seperti di Sudan dan Somalia. Sedangkan di negara maju ada juga kemiskinan mutlak tapi sebagian besar adalah kemiskinan nisbi.
Menurut Bank Dunia penyebab dasar kemiskinan adalah kegagalan kepemilikan terutama tanah dan modal, terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan dasar, sarana dan prasarana, kebijakan pembangunan yang bias perkotaan dan bias sektor, adanya perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat dan sistem yang kurang mendukung, adanya perbedaan sumber daya manusia dan perbedaan antara sektor ekonomi, rendahnya produktivitas dalam masyarakat, budaya hidup yang dikaitkan dengan kemampuan seseorang mengelola sumber daya alam, tidak adanya tata pemerintahan yang bersih dan baik, pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan dan tidak berwawasan lingkungan. Bank dunia menggambarkan “sangat miskin” sebagai orang yang hidup dengan pendapatan kurang dari US $1 perhari dan “miskin” dengan pendapatan kurang dari US $2 perhari. Indonesia mengikuti ukuran garis kemiskinan yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yakni kebutuhan makanan dan minimum 2100 kalori per orang setiap hari.
Hubungan antara Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan
Menurut Lypsey dan Steiner (2005) terdapat tiga pendekatan yang dapat digunakan untuk mengukur pertumbuhan ekonomi yaitu: (1) Pendekatan nilai tambah, artinya penjumlahan dari semua nilai tambah, (2) Pendekatan pengeluaran, dan (3) Pendekatan penerimaan. Pendekatan yang digunakan untuk menghitung pertumbuhan ekonomi dalam penelitian ini adalah pendekatan penerimaan. Menghitung pertumbuhan ekonomi dengan pendekatan ini dapat dinotasikan dalam bentuk PDRB = sewa + upah + bunga + laba. Sewa adalah pendapatan pemilik faktor produksi tetap seperti tanah, upah untuk tenaga kerja, bunga untuk pemilik modal, dan laba untuk pengusaha. Peningkatan pendapatan yang terjadi khususnya pada penduduk miskin maka akan berdampak pada peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Terdapat beberapa alasan mengapa kebijakan yang ditujukan untuk mengurangi kemiskinan tidak harus memperlambat laju pertumbuhan antara lain : 1 Kemiskinan yang meluas menciptakan kondisi yang membuat kaum miskin tidak mempunyai akses terhadap pinjaman kredit dan tidak mampu membiayai pendidikan anaknya. Mereka beranggapan mempunyai banyak anak merupakan sumber keamanan keuangan di masa tuanya nanti, sehingga faktor ini menyebabkan pertumbuhan per kapita menjadi kecil.
2 Pendapatan rendah dan standar hidup buruk yang dialami oleh golongan miskin dapat menurunkan produktivitas ekonomi mereka dan akibatnya secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan perekonomian tumbuh lambat.
3 Peningkatan tingkat pendapatan golongan miskin akan mendorong kenaikan permintaan produk kebutuhan rumah tangga buatan lokal, sementara golongan kaya cenderung membelanjakan pendapatannya untuk barang-barang impor. Meningkatnya permintaan barang-barang-barang-barang lokal memberikan rangsangan lebih besar pada produksi lokal, memperbesar kesempatan kerja lokal dan menumbuhkan investasi lokal.
Berdasarkan pemaparan di atas maka pertumbuhan ekonomi yang cepat dan penanggulangan kemiskinan bukanlah tujuan yang saling bertentangan. Contoh di Negara Cina, dengan angka pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia Cina mampu menurunkan tingkat kemiskinan yang paling drastis. Oleh karena itu, kita dapat simpulkan bahwa pertumbuhan dan pengurangan kemiskinan merupakan dua tujuan yang bisa dicapai secara bersamaan (Todaro dan Smith, 2006).
Kuznets (1955) meneliti hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan pendapatan, hasilnya ada suatu hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan pendapatan, yang kemudian dikenal dengan hipotesis kurva U terbalik (Inverted U-curve Hypothesis).
Sumber: Todaro dan Smith, 2006
Gambar 4 Kurva U terbalik Kuznets (Inverted U-curve Hypothesis)
kemudian pada tahap menengah cenderung tidak berubah dan akhirnya menurun ketika negara tersebut sejahtera.
Terdapat beberapa argumen mengenai hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan yang mengatakan bahwa laju pertumbuhan yang tinggi tidak selalu memperburuk distribusi pendapatannya. Pada kenyatannya hubungan mengenai pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan distribusi pendapatan memiliki bentuk hubungan yang berbeda-beda di setiap negara, yang semuanya itu tergantung pada proses pembangunan yang dijalankan di masing-masing negara. Contohnya seperti Taiwan dan Korea Selatan, kedua negara tersebut mengalami laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan distribusi pendapatan rakyatnya mengalami perbaikan. Kondisi berbeda pada negara-negara seperti Meksiko dan Panama yang mengalami pertumbuhan ekonomi dengan cepat tetapi hal itu disertai dengan semakin memburuknya kondisi distribusi pendapatan. Di pihak lain, laju pertumbuhan yang rendah ternyata tidak selalu berkaitan dengan dengan perbaikan distribusi pendapatan contohya di negara-negara berkembang seperti India, Peru, dan Filipina. Negara-negara seperti Sri lanka, Kolombia, Kosta Rika, dan El Salvador mengalami laju pertumbuhan ekonomi yang sama rendahnya, namun mereka berhasil memperbaiki kesejahteraan ekonomi penduduknya yang berpendapatan rendah.
Pertumbuhan ekonomi tidak terdapat hubungan yang langsung dan positif terhadap tingkat perbaikan pemerataan. Hal ini mengacu pada karakter pertumbuhan ekonomi, yaitu bagaimana cara mencapainya, siapa yang berperan serta, sektor-sektor mana saja yang mendapat prioritas, lembaga-lembaga apa yang menyusun dan lain sebagainya yang menentukan apakah pertumbuhan ekonomi memengaruhi perbaikan taraf kehidupan masyarakat miskin atau tidak. Fakta-fakta yang ada menunjukan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi yang cepat tidak dengan sendirinya diikuti oleh perbaikan distribusi pendapatan bagi seluruh penduduk.
Penilitian Terdahulu
Arega D. Alene dan Ousmane Coulibaly (2008) dalam penelitian yang berjudul “The Impact of Agricultural Research on Productivity and Poverty in Sub-Saharan Africa” dengan menggunakan metode persamaan simultan. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah produktivitas pertanian, tenaga kerja, irigasi, alat-alat pertanian, PDB per kapita, lahan per tenaga kerja, pengeluaran pemerintah, investasi, jumlah penduduk desa, jumlah penduduk miskin serta dummy wilayah Afrika Barat dan Afrika Tengah. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa dengan melakukan pembangunan di sektor pertanian seperti melakukan riset penelitian dan pengembangan teknologi modern dapat meningkatkan pertumbuhan produktivitas yang ditunjukan oleh kenaikan pendapatan perkapita. Akibat adanya kenaikan pendapatan perkapita maka pada akhirnya secara signifikan akan berdampak pada penurunan tingkat kemiskinan.
dampak yang lebih besar terhadap faktor produksi tenaga kerja dan peningkatan pendapatan rumah tangga. Persentase penyerapan tenaga kerja terbesar untuk sektor pertanian terdapat pada sektor tanaman pangan. Berdasarkan skenario yang dilakukan Kalangi, injeksi penanaman modal pada sektor pertanian, agroindustri dan sektor produksi lainnya baik yang berasal dari dalam negeri maupun asing memberikan dampak yang positif bagi peningkatan faktorial, rumah tangga, sektor produksi itu sendiri maupun sektor produksi lainnya.
Penelitian yang dilakukan oleh Hermanto Siregar dan Dwi Wahyu Winarti (2006) yang berjudul “Dampak Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Penurunan Jumlah Penduduk Miskin” bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh serta dampak dari pertumbuhan ekonomi terhadap jumlah penduduk miskin Indonesia, hal ini dilakukan karena jumlah penduduk miskin akibat krisis belum berhasil dikurangi bahkan cenderung meningkat. Penelitian ini menggunakan data panel dan variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah kemiskinan, PDRB, tingkat inflasi, jumlah lulusan tingkat SMP, SMA, agrishare, industri share, dan dummy krisis. Kesimpulan dari penelitian adalah bahwa pertumbuhan ekonomi tidak hanya mampu mengurangi kemiskinan suatu daerah melainkan memiliki efek ke bawah (tickle down effect).
Dwi Muslianti (2011) dalam penelitian yang berjudul “Dampak Kebijakan Fiskal Daerah Terhadap Kemiskinan di Indonesia pada Masa Desentralisasi Fiskal”. Penelitian ini menggunakan persamaan simultan dengan metode 3sls. Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji kondisi kinerja dan faktor-faktor yang memengaruhi fiskal daerah, output daerah dan kemiskinan di Indonesia serta menganalisis skenario kebijakan fiskal daerah dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia. Hasil yang diperoleh dalam penelitian yaitu sebagian besar provinsi memiliki ketergantungan pada sektor pertanian yang terlihat dari relatif besarnya proporsi PDRB pertanian. Faktor-faktor yang memengaruhi fiskal daerah, output daerah dan kemiskinan adalah 1) penerimaan pajak dipengaruhi oleh jumlah penduduk miskin, PDRB, kesenjangan fiskal dan lag penerimaan pajak, 2) penerimaan BHPBP dipengaruhi oleh PDRB dan lag BHPBP, 3) PDRB dipengaruhi oleh tenaga kerja masing-masing sektor dan beberapa jenis pengeluaran daerah, dan 4) jumlah penduduk miskin dipengaruhi oleh distribusi pendapatan, PDRB masing-masing sektor, jumlah penduduk miskin dan lag jumlah penduduk miskin.
Kerangka Pemikiran
Sektor pertanian merupakan motor penggerak perekonomian Aceh karena sektor ini menjadi tumpuan masyarakat luas. Selain berkontribusi besar terhadap Produk Domestik Regional Bruto, sektor ini juga mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar. Sektor pertanian menjadi tumpuan masyarakat luas karena merupakan sumber pendapatan. Peningkatan output pertanian akan berdampak pada peningkatan pendapatan para petani atau masyarakat pedesaan yang sebagian besar merupakan penduduk miskin. Peningkatan tingkat pendapatan penduduk miskin akan mendorong kenaikan permintaan produk kebutuhan rumah tangga buatan lokal. Meningkatnya permintaan barang-barang lokal memberikan rangsangan lebih besar pada produksi lokal atau mendorong diperluasnya sektor sekunder dan tersier (non pertanian) sehingga berdampak pada peningkatan pertumbuhan ekonomi lokal.
Berdasarkan uraian di atas, maka dibuat model persamaan output pertanian, tingkat kemiskinan, dan pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini menggunakan model persamaan simultan untuk melihat dampak pengeluaran di sektor pertanian terhadap output pertanian, tingkat kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi. Secara grafis kerangka pemikiran operasional dapat digambarkan pada gambar 5.
Keterangan:
Menunjukan alur penelitian Tidak diteliti dalam penelitian Merupakan variabel endogen Merupakan variabel eksogen
Gambar 5 Kerangka pemikiran operasional
Total Belanja Pemerintah Ekspor
Jumlah Pengangguran Upah Minimum Provinsi
Kemiskinan Pertumbuhan Ekonomi
Lahan Pertanian Tenaga Kerja Pertanian Pengeluaran Sektor Pertanian Output Pertanian
Output Non Pertanian Sektor Non Pertanian Kontribusi Terhadap PDRB
Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Pertanian
Perekonomian
Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah jawaban sementara atau kesimpulan yang diambil untuk menjawab permasalahan yang diajukan dalam suatu penelitian yang kebenarannya harus diuji secara empiris. Berikut adalah hipotesis-hipotesisnya:
1 Tenaga kerja pertanian, luas lahan pertanian, dan pengeluaran pemerintah di sektor pertanian berpengaruh positif terhadap output pertanian.
2 Output pertanian dan upah minimum provinsi berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan sedangkan jumlah pengangguran berpengaruh positif terhadap tingkat kemiskinan.
3 Jumlah penduduk miskin berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi sedangkan total belanja pemerintah dan ekspor berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data sekunder dengan jenis data deret waktu (time series) periode tahun 1993 sampai dengan 2012. Data yang dikumpulkan yaitu berupa data PDRB sektor pertanian, jumlah tenaga kerja sektor pertanian, luas lahan pertanian, pengeluaran pemerintah di sektor pertanian, jumlah penduduk miskin, jumlah penganguran, upah minimum provinsi, total PDRB, total belanja pemerintah, dan ekspor. Data dikumpulkan dari Badan Pusat Statistik Republik Indonesia (BPS-RI), BPS Provinsi Aceh dan Kementrian Keuangan. Selain itu referensi diambil juga dari jurnal-jurnal, internet, dan perpustakaan IPB.
Metode Analisis dan Pengolahan Data
Data yang diperoleh dalam penelitian dianalisis secara deskriptif dan kuantitatif. Metode deskriptif adalah metode yang berkaitan dengan pengumpulan dan penyajian suatu gugus data sehingga memberikan informasi yang berguna. Metode ini digunakan untuk memberikan penjelasan mengenai perkembangan pembangunan sektor pertanian di Provinsi Aceh. Metode analisis data kuantitatif yaitu dengan membentuk perumusan model yang mempunyai hubungan antara output pertanian, kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi. Model analisis data yang digunakan adalah persamaan simultan. Data sekunder tersebut kemudian diolah dan dianalisis menggunakan komputer dengan program Microsoft Office Excel 2007 dan Statistical Analysis System (SAS) 9.1.3.
Persamaan Model Ekonometrika
pertumbuhan ekonomi. Model persamaan ini terdiri dari variabel endogen dan variabel eksogen.
Model Output Pertanian
Output pertanian pada tahun ke-t (YPt) diduga dipengaruhi oleh tenaga kerja
sektor pertanian (TKPt), luas lahan pertanian (LHPt), dan pengeluaran pemerintah
sektor pertanian (PPt).
Persamaan output pertanian dapat dirumuskan sebagai berikut : lnYPt = a0 + a1 lnTKPt + a2 lnLHPt + a3 lnPPt + u1
dimana:
YPt = Produk Domestik Regional Bruto sektor pertanian tahun ke-t
TKPt = Tenaga kerja sektor pertanian tahun ke-t
LHPt = Luas lahan pertanian tahun ke-t
PPt = Pengeluaran pemerintah sektor pertanian tahun ke-t
a0 = Intersep
ai = Koefisien regresi (i = 1,2,3)
u1 = Error Model Kemiskinan
Jumlah penduduk miskin tahun ke-t (POVt) diduga dipengaruhi oleh output
pertanian (YPt), jumlah pengangguran (UNt), dan upah minimum provinsi
(UMPt).
Persamaan tingkat kemiskinan dapat dirumuskan sebagai berikut : lnPOVt = b0 + b1 lnYPt + b2 lnUNt + b3 lnUMPt + u3
dimana:
POVt = Jumlah penduduk miskin tahun ke-t
YPt = Produk Domestik Regional Bruto sektor pertanian pada tahun ke-t
UNt = Jumlah pengangguran pada tahun ke-t
UMPt = Upah minimum provinsi pada tahun ke-t
b0 = Intersep
bi = Koefisien regresi (i = 1,2,3)
u3 = Error
Model Pertumbuhan Ekonomi
Produk Domestik Regional Bruto tahun ke-t (PDRBt) dipengaruhi oleh
jumlah penduduk miskin (POVt), belanja pemerintah (EXPt), dan ekspor (Xt).
Persamaan pertumbuhan ekonomi dapat dirumuskan sebagai berikut : lnPDRBt = c0 + c1 lnPOVt + c2 lnEXPt + c3 lnXt + u2
dimana:
PDRBt = Produk Domestik Regional Bruto tahun ke-t
POVt = Jumlah penduduk miskin pada tahun ke-t
EXPt = Belanja pemerintah tahun ke-t
Xt = Ekspor pada tahun ke-t
c0 = Intersep
ci = Koefisien regresi (i = 1,2,3)
Identifikasi Model
Menurut Koutsoyiannis (1977) suatu persamaan dapat dikatakan teridentifikasi apabila memenuhi syarat order condition. Kondisi order didasarkan atas kaidah penghitungan variabel-variabel yang dimasukan dan dikeluarkan dari suatu persamaan tertentu. Identifikasi model persamaan struktural berdasarkan order condition sebagai berikut:
(K–M) (G–1) dimana:
K = Jumlah total variabel dalam model (variabel endogen dan predetermined) M = Jumlah variabel dalam suatu persamaan
G = Jumlah persamaan dalam model
jika suatu persamaan menunjukan K-M > G-1, maka persamaan dalam model tersebut dinyatakan teridentifikasi secara berlebih (overidentified), jika K-M < G-1 maka persamaan dalam model tersebut dinyatakan tidak teridentifikasi (underidentified), dan jika K-M = G-1 maka persamaan dalam model tersebut dinyatakan teridentifikasi secara tepat (exactly identified). Hasil Identifikasi untuk setiap persamaan struktural haruslah exactly identified atau overidentified untuk dapat menduga parameter-parameternya.
Tabel 3 Identifikasi Model dari Masing-masing Persamaan Persamaan K M G K – M G - 1 Keterangan
YP 10 4 3 6 2 Overidentified
POV 10 4 3 6 2 Overidentified
PDRB 10 4 3 6 2 Overidentified
Keterangan: Data diolah, 2013
Berdasarkan hasil identifikasi model yang dilakukan, seluruh persamaan struktural yaitu output pertanian (YP), tingkat kemiskinan (POV), dan pertumbuhan ekonomi (PDRB) menunjukkan kondisi overidentified sehingga model dapat diidentifikasi. Pendugaan parameter dapat menggunakan dua metode yaitu metode ILS (Indirect Least Squares) jika persamaan struktural menunjukan exactly identified dan metode 2SLS (Two Stage least Squares) jika persamaan struktural menunjukan overidentified. Model dalam penelitian ini menggunakan metode 2SLS karena metode ini cukup toleran dalam kesalahan spesifikasi model, kesalahan dalam satu persamaan tidak ditransfer ke persamaan lain, selain itu metode ini cocok digunakan pada jumlah sampel yang sedikit serta dapat menghindari estimasi yang bias serta penduga yang tidak konsisten (Gujarati, 1999).
Untuk menguji apakah variabel-variabel bebas secara bersama-sama berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel terikat, dilakukan statistik uji-F. Jika nilai Fstatistik lebih besar dari Ftabel atau nilai p-value lebih kecil dari nilai
critical value (α) artinya minimal ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel terikat. Jika hasil nilai Fstatistik lebih kecil dari Ftabel atau nilai
Untuk menguji apakah masing-masing variabel bebas secara individual berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel terikat pada masing-masing persamaan digunakan statistik uji-t. Jika tstatistik lebih besar dari ttabel atau nilai
p-value lebih kecil dari nilai critical value (α) artinya bahwa variabel bebas ke-i secara parsial memengaruhi variabel terikat. Jika tstatistik lebih kecil dari ttabel atau
nilai p-value lebih besar dari nilai critical value (α) artinya bahwa variabel bebas ke-i secara parsial tidak memengaruhi variabel terikatnya (Djuanda, 2000).
Validasi Model
Tujuan validasi model adalah untuk mengetahui tingkat representasi model apabila dibandingkan dengan dunia nyata sebagai dasar untuk melakukan simulasi. Validasi dapat dilakukan dengan membandingkan nilai aktual dengan nilai dugaan dari penduga endogen. Terdapat berbagai uji validasi model, antara lain uji U-Theil (Theil’s Inequality Coefficient), Root Mean Squares Percent Error (RMSPE) dan Koefisien Determinasi (R2).
Statistik U-Theil’s dirumuskan sebagai berikut:
s = Nilai hasil simulasi dasar dari variabel observasi t
a = Nilai aktual variabel observasi
n = Jumlah periode observasi
nilai U-Theil’s berkisar antara 0 dan 1, dengan kriteria bahwa semakin kecil nilai U-Theil’s yang dihasilkan, maka semakin baik model tersebut.
Statistik Root Mean Squares Percent Error (RMSPE) dirumuskan sebagai berikut:
s = Nilai hasil simulasi dasar dari variabel observasi t
a = Nilai aktual variabel observasi
n = Jumlah periode observasi
model dinyatakan valid apabila nilai RMSPE berada di bawah 100. Sedangkan statistik Koefisien Determinasi (R2) dinyatakan valid apabila bernilai mendekati 1 (Pindyck dan Rubienfield, 1991).
Simulasi Model
simulasi model adalah suatu perubahan yang dilakukan di dalam model tanpa merubah sistem atau dunia nyata. Simulasi memiliki beberapa tujuan yaitu melakukan pengujian dan evaluasi terhadap model, mengevaluasi kebijakan pada masa lampau, dan membuat peramalan pada masa datang.
Analisis simulasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah meningkatkan pengeluaran pemerintah Provinsi Aceh di sektor pertanian sebesar 30 persen, hal ini didasarkan pada rata-rata pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian dalam 5 tahun terakhir yaitu meningkat sebesar 15 persen. Gambar 6 merupakan pengeluaran pemerintah Provinsi Aceh di sektor pertanian tahun 2008 sampai dengan tahun 2012.
Sumber: Kementerian Keuangan, 2012 (diolah) Keterangan: ( ) laju pengeluaran di sektor pertanian
Gambar 6 Pengeluaran pemerintah Provinsi Aceh di sektor pertanian tahun 2008-2012
Sektor Pertanian merupakan penyumbang terbesar bagi pertumbuhan ekonomi dan merupakan sumber mata pencaharian mayoritas bagi penduduk miskin di Provinsi Aceh, sehingga peningkatan pengeluaran sektor pertanian diharapkan dapat meningkatkan output pertanian dan menurunkan jumlah penduduk miskin serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Aceh.
Definisi Operasional
Variabel endogen adalah variabel yang nilainya tergantung pada nilai variabel lain yang merupakan konsekuensi dari perubahan yang terjadi pada variabel bebas. Variabel endogen dalam penelitian ini adalah output pertanian, tingkat kemiskinan, dan pertumbuhan ekonomi. Variabel eksogen merupakan variabel yang dimasukkan ke dalam penelitian untuk mengendalikan atau menghilangkan pengaruh tertentu pada model penelitian agar kesimpulan yang ditarik tidak bias atau salah persepsi. Definisi variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:
a Output pertanian adalah nilai PDRB sektor pertanian atas dasar harga konstan 2000 yang dinyatakan dalam juta rupiah.
b Tenaga kerja sektor pertanian adalah penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja di sektor pertanian yang dinyatakan dalam jiwa.
c Luas lahan pertanian adalah lahan pertanian sawah dan lahan pertanian bukan sawah (kebun, ladang dan lahan sementara yang belum dimanfaatkan) yang dinyatakan dalam hektar.
d Pengeluaran pemerintah sektor pertanian adalah alokasi belanja pemerintah di sektor pertanian yang dinyatakan dalam juta rupiah.
e Jumlah penduduk miskin adalah kondisi dimana seseorang tidak bisa memenuhi kebutuhan makanan minimum 2100 kalori per orang setiap hari yang dinyatakan dalam jiwa.
f Jumlah pengangguran adalah penduduk yang berumur 15 tahun ke atas yang termasuk angkatan kerja namun tidak mempunyai pekerjaan yang dinyatakan dalam jiwa.
g Upah minimum Provinsi adalah upah minimum yang berlaku untuk seluruh kabupaten/kota di suatu provinsi yang dinyatakan dalam rupiah.
h Pertumbuhan ekonomi adalah persentase PDRB atas dasar harga konstan 2000 yang dinyatakan dalam persen.
i Pendapatan Wilayah adalah nilai PDRB dari seluruh sektor atas dasar harga konstan 2000 yang dinyatakan dalam juta rupiah.
j Belanja pemerintah adalah total pengeluaran yang dilakukan pemerintah untuk keperluan pembangunan di suatu suatu wilayah yang dinyatakan dalam juta rupiah.
k Ekspor adalah proses transfer barang atau komoditas dari suatu wilayah ke wilayah lain yang dinyatakan dalam juta rupiah.
GAMBARAN UMUM
Kondisi Geografis
Provinsi Aceh terletak antara 01˚ - 06˚ Lintang Utara dan 94˚ - 98˚ Bujur Timur dengan ketinggian rata-rata 125 meter di atas permukaan laut dan Banda Aceh sebagai ibukota Provinsi. Batas-batas wilayah Provinsi Aceh yaitu:
- sebelah utara : Selat Malaka
- sebelah selatan : Provinsi Sumatera Utara - sebelah timur : Selat Malaka
- sebelah barat : Samudera Hindia
Gambar 7 Peta Provinsi Aceh
Penduduk merupakan salah satu syarat untuk membentuk suatu daerah. Suatu daerah akan maju apabila dapat memberdayakan penduduknya dengan benar, kondisi berbanding terbalik apabila jumlah penduduk yang banyak namun tidak diberdayakan secara maksimal sehingga dapat menghambat proses pembangunan. Jumlah penduduk Provinsi Aceh pada tahun 2011 sebanyak 4 597 308 jiwa, terdiri atas 2 300 441 jiwa laki-laki dan 2 968 967 jiwa perempuan. Kepadatan penduduk Provinsi Aceh pada tahun 2011 mencapai 81 orang/km2. Daerah terpadat adalah Kota Banda Aceh dengan rata-rata per kilometer wilayahnya dihuni oleh sekitar 4 069 jiwa. Kemudian Kota Lhokseumawe dan Kota Langsa masing-masing 1 141 jiwa/km2 dan 749 jiwa/km2, sebaliknya wilayah yang jarang pendudukya adalah Kabupaten Gayo yaitu 14 jiwa/km2. Pada tahun 2011 terdapat sebanyak 2 001 259 orang penduduk Aceh yang termasuk angkatan kerja, terdiri dari 1 251 527 laki-laki dan 749 732 perempuan. Sebanyak 1 852 473 orang yang bekerja dan pengangguran sebanyak 148 786 orang dengan tingkat pengangguran terbuka sebesar 7.43 persen, sedangkan yang tidak termasuk dalam angkatan kerja sebesar 943 561 orang, diantaranya mengurus rumah tangga berjumlah 597 730 orang dan yang bersekolah 345 831 orang.
Kondisi Tingkat Kemiskinan
Kemiskinan merupakan kondisi dimana seseorang tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya seperti kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik. Berlimpahnya sumber daya alam di Provinsi Aceh tidak menyebabkan angka pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi atau tingkat kemiskinan yang lebih rendah. Pada kenyataannya, kekayaan sumber daya alam justru menimbulkan konflik yang telah merusak provinsi ini selama beberapa dekade, menyebabkan terhambatnya pertumbuhan ekonomi, pemerintahan yang lemah, dan rendahnya tingkat pelayanan umum yang diberikan pemerintah kepada masyarakatnya, serta merupakan salah satu provinsi yang memiliki tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia.
Persentase kemiskinan di Provinsi Aceh dalam periode tahun 1993 sampai 1997 berjalan beriringan dengan persentase kemiskinan di Indonesia. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998 menyebabkan kenaikan persentase kemiskinan hampir diseluruh wilayah Indonesia tidak terkecuali Provinsi Aceh, dimana terjadi kenaikan persentase kemiskinan dari tahun 1997 yaitu 18.81 persen menjadi 19.40 persen pada tahun 1998.
Sumber: BPS-RI, 2012 (diolah)
Gambar 8 Persentase kemiskinan Provinsi Aceh dan Indonesia tahun 1993-2012 Krisis ekonomi yang terjadi di tahun 1998 berdampak sangat besar terhadap kondisi perekonomian Indonesia, dimana terjadi kenaikan persentase kemiskinan dari 17.74 persen manjadi 24.23 persen. Pasca krisis ekonomi berlalu, Indonesia perlahan mampu bangkit dan berhasil menekan tingkat kemiskinan hingga saat ini. Kondisi berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di Provinsi Aceh, dimana setelah terjadi krisis ekonomi tahun 1998 tingkat kemiskinan justru terus mengalami peningkatan dalam jumlah yang cukup besar bahkan jauh melebihi persentase kemiskinan Indonesia yaitu mencapai 29.83 persen pada tahun 2002 dan 29.76 persen pada tahun 2003. Tingginya tingkat kemiskinan di Provinsi Aceh disebabkan oleh konflik yang memuncak di tahun 2001 sehingga menyebabkan sekitar setengah juta orang mengungsi serta banyak orang terampil
dan berpendidikan meninggalkan provinsi ini. Selain itu kondisi diperparah dengan terjadinya gempa dan tsunami pada tahun 2004. Pasca tsunami yang terjadi, pemerintah Provinsi Aceh melakukan berbagai rekonstruksi secara besar-besaran sehingga pada tahun 2007 Provinsi ini mulai menunjukan kondisi yang cukup baik, hal ini diperlihatkan dengan terjadinya penurunan persentase kemiskinan, namun kondisi tersebut masih sangat jauh berada di atas tingkat kemiskinan Indonesia.
Kondisi Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian dalam suatu wilayah yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional. Adanya pertumbuhan ekonomi merupakan indikasi keberhasilan pembangunan ekonomi. Laju pertumbuhan ekonomi di Indonesia dalam periode tahun 2003 sampai dengan 2008 cenderung mengalami peningkatan. Kondisi berbanding terbalik dengan yang dialami Provinsi Aceh dimana laju pertumbuhan ekonomi cenderung turun dari tahun 2003 sampai dengan 2009, hal ini disebabkan oleh penurunan dalam jumlah yang cukup besar pada sektor pertambangan dan penggalian akibat produksi minyak dan gas alam yang menurun, sehingga provinsi ini mengalami pertumbuhan yang negatif. Selain itu kondisi tersebut makin diperburuk dengan adanya gempa dan tsunami yang terjadi pada akhir tahun 2004.
Pada awal tahun 2005 setelah terjadi gempa dan tsunami di Aceh, hampir semua sektor mengalami pertumbuhan negatif yang paling terimbas oleh kejadian tersebut adalah sektor pertambangan dan penggalian serta sektor industri pengolahan dimana pertumbuhan masing-masing adalah -24.06 persen dan -17.80 persen, di pihak lain sektor pengangkutan, konstruksi dan pertanian mengalami pertumbuhan yang positif yaitu masing-masing sebesar 3.67 persen, 0.92 persen, dan 6.06 persen.
Sumber: BPS Provinsi Aceh, 2012 (diolah)
Gambar 9 Laju PDRB Provinsi Aceh dan PDB Indonesia tahun 2003-2012
-15.00
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Provinsi Aceh telah mengalami tingkat laju pertumbuhan ekonomi yang sangat rendah dalam beberapa tahun terakhir. Secara umum dalam periode tahun 2003 sampai dengan 2009 Provinsi Aceh mengalami pertumbuhan ekonomi yang negatif, baru kemudian pada tahun 2010 sampai dengan 2012 laju pertumbuhan ekonomi mengalami pertumbuhan yang positif. Alasan pertumbuhan yang lambat tersebut adalah penurunan cadangan sumberdaya minyak dan gas, ketertinggalan sktruktural dan konflik yang berlangsung lama yang berdampak pada lemahnya kinerja pertumbuhan Provinsi Aceh, akibatnya Provinsi ini memiliki tingkat kemiskinan yang lebih tinggi dibandingkan hampir semua wilayah lain di Indonesia.
Banyaknya cadangan minyak dan gas bumi di pantai timur tidak menghasilkan tingkat kemiskinan yang lebih rendah di Provinsi Aceh melainkan meningkatkan tingkat kemiskinan, hal tersebut disebabkan konflik yang memperebutkan kekayaan sumberdaya minyak dan gas tersebut. Mengingat bahwa kemiskinan merupakan fenomena pedesaan, pertumbuhan yang memihak pada masyarakat miskin akan memerlukan peningkatan pertumbuhan sektor pertanian melalui peningkatan produktivitas petani, menghilangkan hambatan terhadap pertumbuhan di daerah-daerah pedesaan seperti kurangnya akses keuangan, perbaikan prasarana pedesaan dan akses petani ke pasar serta memfasilitasi pergerakan penduduk desa menuju kutub-kutub pertumbuhan di wilayah-wilayah perkotaan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kajian Pembangunan Sektor Pertanian Provinsi Aceh
Pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat dominan dalam pendapatan masyarakat Provinsi Aceh karena mayoritas penduduknya bekerja di sektor pertanian. Sektor pertanian meliputi subsektor tanaman pangan, subsektor hortikultura, subsektor perkebunan, subsektor perikanan, subsektor peternakan dan subsektor kehutanan. Kontribusi sektor pertanian terhadap perkonomian Provinsi Aceh menempati urutan pertama dari segi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Sektor ini juga menyerap hampir setengah dari total tenaga kerja. Hal ini menunjukan pentingnya sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi Aceh. Rencana pembangunan jangka menengah Provinsi Aceh tahun 2007 sampai dengan tahun 2012 di sektor pertanian sebagai berikut:
1 Meningkatkan produktivitas di seluruh subsektor pertanian dengan penerapan teknologi pertanian.
2 Memasok dan memasarkan penggunaan varietas unggul.
3 Membentuk unit pengolahan hasil panen dengan kapasitas modern yang bertujuan meningkatkan nilai tambah produk pertanian.
5 Peningkatan lahan budidaya pertanian melalui upaya intensifikasi, diversifikasi, optimalisasi indeks penanaman, dan rehabilitasi lahan-lahan yang terlantar.
6 Meningkatkan kualitas pengolahan hasil panen, membentuk sistem kelembagaan petani dan kemitraan usaha.
7 Melakukan perbaikan infrastruktur pertanian terutama jaringan irigasi, jalan usaha tani, saluran tambak, pelabuhan perikanan, dan balai pembibitan atau pembenihan.
Lahan pertanian menurut penggunaan terbagi menjadi dua, yaitu lahan pertanian sawah dan lahan pertanian bukan sawah. Lahan pertanian bukan sawah terdiri dari lahan kebun atau tegal, lahan ladang atau huma dan lahan yang sementara belum dimanfaatkan. Secara rata-rata luas lahan pertanian terbagi secara merata, artinya tidak ada lahan yang mendominasi dalam jumlah yang sangat besar. Persentase rata-rata luas lahan kebun atau tegal di Provinsi Aceh dari tahun 1993 hingga 2012 sebesar 32.54 persen, persentase untuk lahan sawah sebesar 25.66 persen, persentase untuk lahan sementara belum dimanfaatkan sebesar 22.18 persen, dan persentase untuk ladang atau huma sebesar 19.63 persen, kondisi ini dapat terlihat pada gambar 10.
Sumber: BPS-RI, 2012 (diolah)
Gambar 10 Rata-rata persentase luas lahan pertanian menurut penggunaan tahun 1993-2012
Sektor pertanian di Provinsi Aceh memiliki potensi yang tinggi untuk tumbuh pesat mengingat kekayaan alam yang dimiliki dan kondisi iklim yang cukup baik. Subsektor pertanian yang menjadi andalan di Provinsi Aceh adalah subsektor tanaman pangan, dimana sebagian besar masyarakatnya bekerja pada subsektor ini. Pada tahun 2011 persentase penduduk desa yang bekerja di subsektor tanaman pangan sebesar 75.10 persen, subsektor perkebunan 19.40 persen, subsektor peternakan 0.30 persen, subsektor perikanan 5.09 persen, dan lainnya 0.12 persen. Berbagai jenis komoditi yang termasuk ke dalam subsektor tanaman pangan antara lain padi, jagung, kedelai, kacang hijau, ubi kayu, ubi jalar, talas dan sebagainya. Komoditi unggulan pada subsektor tanaman pangan di Provinsi Aceh yaitu padi, jagung, dan kedelai.
tergolong rendah karena berada di bawah rata-rata produktivitas padi Indonesia yaitu sebesar 4.80 ton/hektar. Pada komoditi jagung, rata-rata produktivitas dalam periode tahun 2003 hingga tahun 2012 sebesar 3.40 ton/hektar, kondisi ini sama halnya dengan komoditi padi yaitu berada di bawah rata-rata produktivitas Indonesia yaitu sebesar 3.94 ton/hektar, namun untuk komoditi kedelai rata-rata produktivitas Provinsi Aceh berada di atas rata-rata produktivitas Indonesia yaitu 1.35 ton/hektar lebih besar dibandingkan 1.33 ton/hektar.
Sumber: BPS-RI, 2012 (diolah)
Gambar 11 Rata-rata produktivitas komoditi unggulan subsektor tanaman pangan tahun 2003-2012
Rendahnya produktivitas pertanian di Provinsi Aceh disebabkan oleh belum maksimalnya pemanfaatan potensi sumberdaya yang tersedia secara efektif dan efisien, disamping itu sarana dan prasarana penunjang juga belum memadai secara optimal, alih teknologi pertanian seperti penggunaan benih bermutu dan sistem kultur teknis belum merata, kelangkaan dan mahalnya sarana produksi seperti pupuk, pestisida dan alat mesin pertanian selain itu adanya serangan hama dan penyakit juga menjadi permasalahan serius dalam produksi pertanian serta penggunaan lahan pertanian yang belum optimal artinya masih banyak terdapat lahan pertanian yang tidak diusahakan.
Beberapa hambatan dalam pembangunan sektor pertanian di Provinsi Aceh yaitu tingginya alih fungsi lahan pertanian produktif menjadi lahan non pertanian seperti perumahan, pertokoan dan perkantoran. Adanya praktik penebangan hutan liar yang berpotensi meningkatkan frekuensi kekeringan dan banjir yang berujung pada kerusakan sistem irigasi serta erosi tanah sehingga berdampak pada penurunan produktivitas pertanian. Lemahnya kapasitas dan kelembagaan petani, kurangnya akses petani terhadap permodalan, belum optimalnya kinerja penyuluhan pertanian, belum adanya jaminan pemasaran dan hasil pengolahan, serta rendahnya upaya untuk meningkatkan nilai tambah hasil pertanian, selain itu sistem prasarana sumberdaya air seperti sungai, danau, rawa dan bendungan atau waduk masih belum dapat menjangkau ke seluruh wilayah di Provinsi Aceh.
Faktor yang memiliki peranan cukup penting untuk menghasilkan ouput pertanian adalah irigasi. Jaringan irigasi merupakan saluran dan bangunan yang