• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh jenis umpan buatan terhadap hasil tangkapan bubu tali di perairan Kepulauan Seribu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh jenis umpan buatan terhadap hasil tangkapan bubu tali di perairan Kepulauan Seribu"

Copied!
215
0
0

Teks penuh

(1)

PENG

TAN

MAYO DEP

GARUH J

NGKAPAN

OR TEKNO PARTEME

FAKUL

JENIS UM

N BUBU

MI

OLOGI DA N PEMAN LTAS PERI INSTITU

MPAN BU

TALI DI

SERIB

IRA NURY

AN MANAJ NFAATAN IKANAN D UT PERTA

2011

UATAN T

PERAIR

BU

YAWATI

JEMEN PE SUMBERD DAN ILMU ANIAN BOG

1

TERHAD

RAN KEP

ERIKANAN DAYA PER U KELAUT

GOR

DAP HASI

PULAUAN

N TANGKA RIKANAN TAN

IL

N

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Pengaruh Jenis Umpan Buatan Terhadap Hasil Tangkapan Bubu Tali di Perairan Kepulauan Seribu adalah karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya ilmiah yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

(3)

© Hak cipta IPB, Tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1) Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber:

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(4)

ABSTRAK

MIRA NURYAWATI, C44070058. Pengaruh Jenis Umpan Buatan Terhadap Hasil Tangkapan Bubu Tali di Perairan Kepulauan Seribu. Dibimbing oleh ARI PURBAYANTO dan MOCHAMMAD RIYANTO.

Bubu tali merupakan alat tangkap yang dioperasikan tanpa mengganggu atau merusak terumbu karang. Pengoperasian bubu tali memerlukan umpan sebagai atraktan. Dari hasil penelitian sebelumnya didapatkan kombinasi umpan buatan diantaranya campuran arginin dan leusin (umpan buatan A) serta minyak ikan dan tepung ikan (umpan buatan B). Penelitian ini ditujukan untuk menganalisis hasil tangkapan bubu tali, menganalisis pengaruh umpan buatan terhadap hasil tangkapan bubu tali dan menentukan jenis umpan buatan yang efektif. Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimental di lapangan dengan menggunakan bubu sebanyak 12 unit dengan masing-masing 3 buah diberi perlakuan yaitu tanpa umpan, umpan alami, umpan buatan A, dan umpan buatan B. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan komposisi hasil tangkapan bubu tali terdiri dari 30 spesies yang digolongkan menjadi 15 famili. Famili terbanyak tertangkap diantaranya adalah Nemipteridae (63,65%), Mulidae (7,31%), Labridae (4,04%), dan Lutjanidae (3,65%). Jumlah hasil tangkapan terbanyak terdapat pada bubu tali yang diberi umpan buatan B (41%) yaitu sebanyak 213 ekor. Uji statistik menunjukkan bahwa umpan buatan A dan umpan buatan B memiliki pengaruh yang signifikan terhadap hasil tangkapan. Efektivitas penangkapan berdasarkan hasil tangkapan utama pada bubu tali dengan umpan buatan A dan umpan buatan B memiliki nilai efektivitas tertinggi (100%). Efektivitas penangkapan untuk famili Nemipteridae pada bubu tali diberi umpan buatan A memiliki nilai efektivitas yang cukup tinggi yaitu 63,33% dan pada umpan buatan B sebesar 70%. Efektivitas penangkapan untuk famili Serranidae, Lutjanidae dan Labridae pada semua perlakuan bubu dengan umpan mendapatkan nilai efektivitas yang rendah (< 50%).

(5)

PENGARUH JENIS UMPAN BUATAN TERHADAP HASIL

TANGKAPAN BUBU TALI DI PERAIRAN KEPULAUAN

SERIBU

MIRA NURYAWATI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada

Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Judul Skripsi : Pengaruh Jenis Umpan Buatan Terhadap Hasil Tangkapan Bubu Tali di Perairan Kepulauan Seribu

Nama : Mira Nuryawati

NRP : C44070058

Mayor : Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap

Disetujui:

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc. Mochammad Riyanto, S.Pi, M.Si. NIP: 19660121 199002 1 001 NIP: 19821025 200701 1 001

Diketahui:

Ketua Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan,

Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc. NIP: 19621223 198703 1 004

(7)

KATA PENGANTAR

Skripsi ini dibuat untuk memenuhi persyaratan guna mendapatkan gelar sarjana pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah Pengaruh Jenis Umpan Buatan Terhadap Hasil Tangkapan Bubu Tali di Perairan Kepulauan Seribu.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hasil tangkapan bubu tali, menganalisis pengaruh umpan terhadap hasil tangkapan bubu tali di Kepulauan Seribu, dan menentukan jenis umpan yang efektif dalam pengoperasian bubu tali di Kepulauan Seribu. Dengan penelitian ini diharapkan dapat membantu pengoperasian bubu tali sehingga terwujudnya perikanan tangkap yang berkelanjutan. Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada :

1. Prof.Dr.Ir Ari Purbayanto, M.Sc dan Mochammad Riyanto,S.Pi, M.Si sebagai komisi pembimbing atas saran dan bimbingan selama penyusunan skripsi ini: 2. Ir. Ronny Irawan Wahyu, M.Phil selaku dosen penguji tamu;

3. Dr.Ir. Mohammad Imron, M.Si selaku komisi pendidikan Departemen PSP; 4. Keluarga Bapak Jayadi dan Bapak Asep atas bantuan dan dukungan selama

penelitian di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu;

5. Keluargaku Bapak Suganda dan Ibu Ade serta kakakku Sandi, Rani dan Seni 6. Donny, Baskoro, Danang, Nova, Keristina, kak Didin, dan Satria yang telah

banyak membantu dan mendukung selama penelitian dan penyusunan skripsi; 7. Seluruh dosen dan staf Departemen PSP yang telah memberikan arahan dan

dukungan hingga terselesaikannya penulisan skripsi ini; dan

8. Rekan-rekan PSP 44 (Ade, Dudi, Reza, Ryan, Dede, Ibay, Baginda, Muklis, Leo, Willy, Wawan, Fadli, Anton, Haidir, Ndalu, Rusak, Sudi, Khaerul, Nado, Pram, Rois, Diki, Nooke, Daya, Fani, Vera, Via, Eneng, Lili, Nela, Wulan, Siro, Tri, Hana) dan adik-adik angkatan 45,46 untuk dukungan.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 8 Januari 1989 di Bandung, dari pasangan Bapak Suganda dan Ibu Ade Santiawati. Penulis adalah anak terakhir dari tiga bersaudara. Penulis telah menyelesaikan pendidikan formal di SMA Negeri 12 Bandung pada tahun 2007, pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) sebagai salah satu mahasiswi pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (PSP), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Teknologi Alat penangkapan Ikan (TAPI) pada tahun ajaran 2009/2010 – 2010/2011. Selama menjadi mahasiswa penulis aktif dalam berbagai organisasi diantaranya anggota KOPMA IPB (Koperasi Mahasiswa) periode 2007/2008, anggota KP2K BEM FPIK IPB periode 2008/2009, Staf Departemen Kewirausahaan HIMAFARIN periode 2008/2009, dan Ketua Departemen Kewirausahaan HIMAFARIN periode 2009/2010.

(9)

 

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR ... v

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 3

1.3 Manfaat ... 3

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Deskripsi Ikan Karang ... 4

2.2 Habitat Ikan Karang ... 4

2.3 Unit Penangkapan Ikan ... 6

2.3.1 Alat tangkap bubu ... 6

2.3.2 Nelayan ... 9

2.3.3 Armada penangkapan ... 10

2.4 Umpan ... 11

2.4.1 Jenis umpan ... 12

2.4.2 Ukuran dan bobot umpan ... 12

2.4.3 Posisi pemasangan umpan ... 12

2.5 Hasil Tangkapan Bubu ... 13

2.6 Metode Pengoperasian Bubu ... 13

2.7 Musim Penangkapan ... 14

2.8 Daerah Penangkapan Ikan ... 15

2.9 Efektivitas Penangkapan ... 16

3 METODOLOGI ... 17

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 17

3.2 Alat dan Bahan Penelitian ... 17

3.3 Metode Pengambilan Data ... 22

3.4 Metode Pengoperasian Bubu Tali ... 23

3.5 Analisis Data ... 25

3.5.1 Hasil tangkapan bubu tali ... 25

3.5.2 Pengaruh perbedaan umpan ... 25

3.5.3 Efektivitas penangkapan ikan dengan berbagai umpan .... 27

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN ... 28

4.1 Keadaan Geografis dan Perairan ... 28

4.2 Musim ... 29

4.3 Unit Penangkapan Ikan ... 29

4.3.1 Alat penangkapan ikan ... 29

4.3.2 Armada penangkapan ... 30

4.3.3 Nelayan ... 30

(10)

ii 

 

5.1 Hasil Tangkapan ... 34

5.1.1 Total hasil tangkapan ... 34

5.1.2 Proporsi hasil tangkapan utama dan hasil tangkapan sampingan pada bubu tali ... 35

5.2 Pengaruh Jenis Umpan Terhadap Hasil Tangkapan Bubu Tali ... 37

5.2.1 Pengaruh perbedaan jenis umpan terhadap hasil Tangkapan bubu tali ... 37

5.2.2 Jumlah hasil tangkapan pada bubu tali diberi umpan alami ... 38

5.2.3 Jumlah hasil tangkapan pada bubu tali diberi umpan buatan A ... 39

5.2.4 Jumlah hasil tangkapan pada bubu tali diberi umpan buatan B ... 40

5.3 Efektivitas Penangkapan Ikan Pada Bubu Tali ... 41

6 PEMBAHASAN ... 44

6.1 Komposisi Hasil Tangkapan ... 44

6.2 Pengaruh Jenis Umpan Terhadap Hasil Tangkapan Bubu Tali .... 47

6.3 Efektivitas Penangkapan Ikan Karang Konsumsi ... 49

7 KESIMPULAN DAN SARAN ... 52

7.1 Kesimpulan ... 52

7.2 Saran ... 52

DAFTAR PUSTAKA ... 53

(11)

iii 

 

1 Alat dan sarana yang digunakan selama penelitian ... 17

2 Bahan-bahan yang digunakan selama penelitian ... 19

3 Komposisi kimia umpan buatan A (berat total umpan 8 gr) ... 20

4 Komposisi umpan buatan dari bahan alami ... 21

5 Perhitungan efektivitas tangkapan dengan berbagai jenis umpan ... 27

6 Pulau-pulau yang termasuk dalam wilayah Kelurahan Pulau Panggang Kecamatan Kepulauan Seribu Utara ... 28

7 Jenis alat tangkap di Kelurahan Pulau Panggang pada tahun 2010 30 8 Data armada penangkapan di Kelurahan Pulau Panggang pada tahun 2010 ... 30

9 Data nelayan di Kelurahan Pulau Panggang pada tahun 2010 ... 31

10 Data produksi perikanan di Kabupaten Kepulauan Seribu pada tahun 2006 ... 31

(12)

iv 

 

1 Kontruksi bubu tali... 18

2 Proses pembuatan umpan buatan B ... 21

3 Proses pemasangan umpan... 24

4 Proses pengangkatan bubu ... 25

5 Komposisi jumlah hasil tangkapan total ... 34

6 Komposisi berat hasil tangkapan total ... 35

7 Perbandingan hasil tangkapan utama dan hasil tangkapan sampingan pada bubu tali ... 37

8 Perbandingan hasil tangkapan total setiap perlakuan ... 38

9 Komposisi hasil tangkapan bubu tali diberi umpan alami ... 39

10 Komposisi hasil tangkapan bubu tali diberi umpan buatan A ... 40

11 Komposisi hasil tangkapan bubu tali diberi umpan buatan B ... 41

12 Perbandingan efektivitas penangkapan seluruhnya tiap perlakuan ... 42

(13)

 

1 Lokasi penelitian dengan letak penanaman bubu tali ... 59

2 Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ... 60

3 Hasil tangkapan selama penelitian ... 62

4 Gambar hasil tangkapan ... 63

5 Jenis dan jumlah hasil tangkapan yang diperoleh pada tiap lokasi penangkapan setiap trip ... 69

6 Jumlah dan persentase spesies hasil tangkapan bubu tali seluruhnya .. 90

7 Jumlah dan persentase spesies total hasil tangkapan berdasarkan ke empat perlakuan ... 92

8 Jumlah dan persentase spesies hasil tangkapan bubu tali tanpa umpan 93 9 Jumlah dan persentase spesies hasil tangkapan bubu tali diberi umpan alami ... 94

10 Jumlah dan persentase spesies hasil tangkapan bubu tali diberi umpan buatan A ... 95

11 Jumlah dan persentase spesies hasil tangkapan bubu tali diberi umpan buatan B ... 96

12 Efektivitas setiap famili berdasarkan keempat perlakuan ... 97

13 Hasil Perhitungan Kolmogorov-Smirnov menggunakan SPSS ... 98

14 Hasil uji statistik menggunakan perhitungan KruskalWallis menggunakan SPSS ... 99

(14)

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang mencapai 17.508 pulau dengan luas lautnya sekitar 3,1 juta km2. Wilayah lautan yang luas tersebut menjadikan Indonesia mempunyai kekayaan dan keanekaragaman hayati terbesar di dunia, salah satunya adalah ekosistem terumbu karang. Terumbu karang merupakan ekosistem khas daerah tropis dengan pusat penyebaran di wilayah Indo-Pasifik. Diperkirakan luas terumbu karang yang terdapat di perairan Indonesia adalah lebih dari 60.000 km2, yang tersebar luas dari perairan Kawasan Barat Indonesia sampai Kawasan Timur Indonesia (Walters 1994 diacudalam Suharsono 1998).

Kepulauan Seribu merupakan salah satu wilayah di Jakarta yang memiliki kekayaan dan keanekaragaman hayati laut. Hampir seluruh daerahnya dikelilingi oleh perairan karang yang kaya akan berbagai jenis ikan. Pemanfaatan sumberdaya ikan menjadi sumber utama kehidupan sebagian besar masyarakatnya. Pemanfaatan sumberdaya ikan di Kepulauan Seribu yang terus meningkat tiap tahun berimplikasi pada penurunan produksi ikan karang. Kondisi terumbu karang Kepulauan Seribu sebanyak 30 persen rusak, hal ini berkontribusi terhadap penurunan produksi ikan (Anonim 2011).

Nelayan Kepulauan Seribu menangkap ikan menggunakan jaring payang, jaring insang dasar, jaring gebur (gillnet), bubu kecil, dan muroami (Pemerintah Provinsi DKI Jakarta 2010). Penangkapan ikan sekitar karang banyak menggunakan bubu. Bubu (pots) merupakan salah satu perangkap yang bersifat pasif menunggu ikan yang masuk dan terperangkap sehingga cocok dioperasikan di perairan karang. Hasil tangkapan bubu dalam keadaan hidup dengan tingkat kerusakan ikan yang rendah, sehingga memiliki nilai ekonomis cukup tinggi.

(15)

pengoperasian bubu ini tidak mengganggu karang hidup (Pramono 2006; Riyanto 2008).

Umpan merupakan salah satu faktor penting dalam menunjang keberhasilan suatu operasi penangkapan ikan, khususnya untuk alat tangkap pasif seperti bubu dan pancing (Subani dan Barus 1989). Pengoperasian bubu kerap kali dibantu dengan umpan. Adanya umpan pada bubu dapat mengoptimalkan hasil tangkapan bubu sehingga sesuai dengan target tangkapan. Umpan digunakan dalam pengoperasian bubu berfungsi sebagai pemikat (attractor) dengan tujuan agar ikan karang yang sifatnya bersembunyi pada terumbu karang dapat keluar dan tertarik untuk masuk ke dalam bubu (Riyanto 2008). Umpan dapat dikelompokan menjadi umpan alami (natural bait) dan umpan buatan (artificial bait). Umpan yang biasa dipakai oleh nelayan Kepulauan Seribu yaitu bulu babi dan ikan rucah (umpan alami). Penggunaan umpan alami secara terus menerus akan menyebabkan berkurangnya sumberdaya dan kelestariannya terancam.

Penelitian terkait dengan penggunaan umpan pada bubu yang telah dilakukan diantaranya adalah pengaruh penggunaan jenis umpan terhadap hasil tangkapan ikan karang pada bubu (trap) (Mawardi 2001), seleksi umpan bubu untuk meningkatkan hasil tangkapan keong macan di perairan Teluk Jakarta (Maulana 2003), perbandingan hasil tangkapan rajungan pada bubu lipat dengan menggunakan umpan yang berbeda (Ramdani 2007), efektivitas penangkapan ikan karang konsumsi menggunakan bubu dengan umpan yang berbeda di Kepulauan Seribu (Nugraha 2008), respons penciuman ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) terhadap umpan buatan (Riyanto 2008), respons penglihatan dan penciuman ikan kerapu terhadap umpan dalam efektivitas penangkapan (Fitri 2008).

(16)

1.2 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah:

1) Menganalisis hasil tangkapan bubu tali.

2) Menganalisis pengaruh umpan buatan terhadap hasil tangkapan bubu tali di Kepulauan Seribu.

3) Menentukan jenis umpan buatan yang efektif dalam pengoperasian bubu tali di Kepulauan Seribu.

1.3 Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi nelayan mengenai penggunaan umpan buatan (artificial bait) untuk meningkatkan efektivitas pengoperasian bubu tali. Memberikan informasi jenis – jenis sumberdaya ikan hasil tangkapan bubu tali dan informasi bagaimana bubu tali dioperasikan.

(17)

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Ikan Karang

Ikan karang merupakan organisme laut yang sangat mencolok di ekosistem terumbu karang, sehingga sering dijumpai dengan jumlah yang besar dan mengisi daerah terumbu karang maka dapat terlihat bahwa ikan ini merupakan penyokong hubungan yang ada di ekosistem terumbu (Nybakken 1992).

Metode pengelompokan ikan karang berdasarkan pada peranannya dalam ekosistem, yakni sebagai berikut (Anonim 2004):

(1) Ikan target

Ikan yang merupakan target untuk penangkapan atau lebih dikenal juga dengan ikan ekonomis penting atau ikan konsumsi seperti: Seranidae, Lutjanidae, Kyphosidae, Lethrinidae, Acanthuridae, Mulidae, Siganidae, Labridae (Chelinus, Himigymnus, Choerodon), dan Haemulidae;

(2) Ikan indikator

Sebagai ikan penentu untuk terumbu karang karena ikan ini erat hubungannya dengan kesuburan terumbu karang yaitu ikan famili Chaetodontidae (Kepe-kepe); dan

(3) Ikan lain (mayor family)

Ikan ini umumnya dalam jumlah banyak dan dijadikan ikan hias air laut (Pomacentridae, Caesionidae, Scaridae, Pomacanthidae, Labridae, Apogonidae, dan lain-lain).

2.2 Habitat Ikan Karang

Terumbu karang memiliki variasi habitat yang mempunyai komunitas berbeda (Sondita dan Bachtiar 2002). Berbagai variasi habitat yang ada pada terumbu karang adalah :

(1) Rataan terumbu (reef flat) (2) Tubir (reef slope)

(3) Goba (lagoon) (4) Gudus (reef cest)

(18)

yang sampai sekarang masih secara luas digunakan. Tipe terumbu karang tersebut adalah:

(1) Terumbu karang tepi (Fringing reefs)

Terumbu karang tepi atau karang penerus berkembang di mayoritas persisir pantai sari pulau-pulau besar. Perkembangannya bisa mencapai kedalaman 40 meter dengan pertumbuhan ke atas dan ke arah luar menuju laut lepas. Pada pantai yang curam, pertumbuhan terumbu jelas mengarah vertikal. Beberapa perairan karang yang memiliki terumbu karang tipe terumbu karang tepi adalah Bunaken (Sulawesi), Pulau Panaitan (Banten), dan Nusa Dua (Bali). (2) Terumbu karang penghalang (barrier reefs)

Terumbu karang ini terletak pada jarak yang relatif jauh dari pulau, sekitar 0,52 km ke arah laut lepas dengan dibatasi oleh perairan kedalaman hingga 75 meter. Umumnya karang penghalang tumbuh di sekitar pulau sangat besar atau benua dan membentuk gugusan pulau karang yang terputus-putus. Beberapa perairan karang yang memiliki terumbu karang tipe terumbu karang penghalang adalah Great Barrier Reef (Australia), Spermonde (Sulawesi Selatan), Bangan Kepulauan (Sulawesi Tengah).

(3) Terumbu karang cincin (atolls)

Terumbu karang yang berbentuk cincin yang mengelilingi batas-batas dari pulau vulkanik yang tenggelam sehingga tidak terdapat perbatasan dengan daratan. Menurut Darwin, terumbu karang cincin merupakan proses lanjutan dari terumbu karang penghalang, dengan kedalaman rata-rata 45 meter. Beberapa perairan karang yang memiliki terumbu karang tipe terumbu karang cincin adalah Taka Bone Rate (Sulawesi), Maratua (Kalimantan Selatan), Pualu Dana (NTT), Mapia (Papua).

Namun demikian, tidak semua terumbu karang yang ada di Indonesia bisa digolongkan ke dalam salah satu dari ketiga tipe di atas. Dengan demikian ada satu tipe terumbu karang lagi yaitu :

(4) Terumbu karang datar/gosong terumbu (patch reefs)

(19)

berkembang secara horizontal dan vertikal dengan kedalaman relatif dangkal. Beberapa perairan karang yang memiliki terumbu karang tipe gosong karang adalah Kepulauan Seribu (DKI Jakarta), Kepulauan Ujung Batu (Aceh).

2.3 Unit Penangkapan Ikan 2.3.1 Alat tangkap bubu

Menurut Brandt (1984), traps adalah salah satu alat tangkap menetap yang umumnya berbentuk kurungan, ikan dapat masuk dengan mudah tanpa ada paksaan tetapi sulit keluar atau meloloskan diri karena dihalangi dengan berbagai cara. Ditambahkan oleh Sainsburry (1982) bahwa pada dasarnya traps bersifat statis pada saat dioperasikan, sehingga efektivitas alat tergantung dari gerakan alat renang ikan.

Penyediaan tempat-tempat untuk bersembunyi maupun berlindung bagi ikan sebagai salah satu pikatan telah lama dipraktekkan orang. Pikatan biasanya digunakan dengan alat yang berbentuk perangkap. Pada prinsipnya ikan masuk ke dalam perangkap dimaksudkan sebagai tempat berlindung. Kontruksi alat dibuat sedemikian rupa, sehingga ikan yang telah masuk ke dalamnya tidak dapat melarikan diri (Gunarso 1988).

Slack dan Smith (2001) membedakan terminologi antara perangkap (trap) dengan bubu (pot). Perangkap merupakan alat tangkap yang bersifat pasif dan menetap, yang memudahkan ikan untuk masuk dan sulit untuk keluar. Pada beberapa konstruksi perangkap, terdapat bagian yang berfungsi mengarahkan ikan agar masuk ke dalam perangkap. Perangkap bersifat menetap sehingga tidak dapat dipindah-pindahkan karena konstruksi dan ukurannya yang besar. Beberapa macam perangkap diantaranya adalah sero, barrier atau penghadang yang terbuat dari tumpukan batu, fyke, dan lain-lain.

Secara umum, bubu terdiri dari mulut dan badan bubu. Adapun tempat umpan dan pintu khusus untuk mengeluarkan hasil tangkapan tidak terdapat pada setiap bubu. Slack dan Smith (2001) menyatakan bahwa bubu terdiri dari:

(1) Rangka

(20)

dari papan atau kayu (Brandt 1984). Di Kepulauan Seribu bubu untuk menangkap ikan karang menggunakan rangka yang terbuat dari bambu dan besi, bahkan untuk bubu tambun, hampir seluruhnya terbuat dari bambu (Susanti 2005).

(2) Badan

Badan pada bubu modern biasanya terbuat dari kawat, nylon, baja, bahkan plastik. Pemilihan material badan bubu tergantung dari kebudayaan atau kebiasaaan masyarakat setempat, kemampuan pembuat, ketersediaan material, dan biaya dalam pembuatan. Selain itu, pemilihan material tergantung pula pada target hasil tangkapan dan kondisi daerah penangkapan. Dibeberapa tempat masih dijumpai badan bubu yang terbuat dari anyaman rotan dan bambu.

(3) Mulut

Salah satu bentuk mulut pada bubu adalah corong. Lubang corong bagian dalam biasanya mengarah ke bawah dan dipersempit untuk menyulitkan ikan keluar dari bubu. Jumlah mulut bubu bervariasi ada yang hanya satu buah dan ada pula yang lebih dari satu.

(4) Tempat umpan

Tempat umpan pada umumnya terletak di dalam bubu. Umpan yang dicacah biasanya dibungkus menggunakan tempat umpan yang terbuat dari kawat atau plastik, sedangkan umpan yang tidak dicacah biasanya umpan tersebut hanya diikatkan pada tempat umpan dengan menggunakan kawat atau tali. Tempat umpan tidak terdapat pada semua jenis bubu, misalnya pada bubu gurita dan beberapa bubu ikan karang.

(5) Pintu untuk mengeluarkan hasil tangkapan (6) Pemberat

(21)

Pemasangannya didasarkan atas pengetahuan tentang lintasan-lintasan yang merupakan daerah ruaya ikan ataupun yang berhubungan erat dengan ruaya ikan ke arah pantai pada waktu-waktu tertentu (Gunarso 1985). Menurut Martasuganda (2003), ada beberapa alasan utama pemakaian bubu di suatu daerah penangkapan, yaitu:

(1) Adanya larangan pengoperasian alat tangkap selain bubu;

(2) Topografi daerah penangkapan yang tidak mendukung alat tangkap lain untuk dioperasikan;

(3) Kedalaman daerah penangkapan yang tidak memungkinkan alat tangkap lain untuk dioperasikan;

(4) Biaya pembuatan alat tangkap bubu murah;

(5) Pembuatan dan pengoperasian alat tangkap bubu tergolong mudah; (6) Hasil tangkapan dalam keadaan hidup;

(7) Kualitas hasil tangkapan baik;

(8) Hasil tangkapan umumnya bernilai ekonomis tinggi, dan pertimbangan lainnya.

Menurut Tiku (2004), ada beberapa alasan ikan atau hewan laut lainnya masuk ke dalam bubu, yaitu:

(1) Sifat dasar ikan atau hewan laut lainnya yang selalu mencari tempat untuk berlindung;

(2) Ikan atau hewan laut lainnya masuk karena tertarik oleh umpan yang berada di dalam perangkap;

(3) Ikan terkejut karena ditakuti sehingga mencari tempat berlindung; dan Ikan masuk karena digiring oleh nelayan.

Ciri khas bubu adalah mempunyai satu atau lebih catching chambers dan apabila ikan atau hewan laut lainnya sudah masuk, maka sukar bagi hewan tersebut untuk keluar. Jadi pada dasarnya alat ini dimodifikasi sedemikian rupa sehingga dapat mencegah atau mempersulit hewan tersebut untuk keluar (Tiku 2004). Letak dan bentuk mulut bubu disesuaikan dengan tingkah laku dan habitat ikan yang menjadi target hasil tangkapan.

(22)

(1) Sistem tunggal

Pada pengoperasian bubu dengan sistem tunggal, bubu dipasang satu per satu serta tidak hanyut di dasar perairan. Agar posisi bubu tepat ketika berada di dasar perairan, maka bubu tersebut biasanya diberi pemberat. Setiap bubu dilengkapi dengan pelampung tanda yang dihubungkan dengan tali. Menurut Martasuganda (2003), salah satu bubu yang dipasang dengan sistem tunggal adalah bubu pintur. Bubu ini dioperasikan di daerah pantai dengan target hasil tangkapan berupa kepiting dan udang. Susanti (2005) menambahkan selain bubu pintur, bubu yang dipasang dengan sistem tunggal adalah bubu tambun. Adapun target hasil tangkapan bubu tambun adalah ikan karang.

(2) Sistem rawai

Pengoperasian bubu dengan sistem rawai dilakukan dengan cara merangkai bubu yang satu dengan lainnya dengan menggunakan tali utama. Jarak antar bubu disesuaikan dengan kebutuhan dan jumlah bubu. Pemasangan bubu dengan sistem rawai diawali dengan menurunkan jangkar, tali pelampung, dan pelampung tanda. Kemudian dilanjutkan dengan penurunan tali utama dan bubu yang diikatkan pada tali tersebut. Selanjutnya bubu yang diikat pada tali utama diturunkan ke dalam perairan. Setelah seluruh bubu selesai diturunkan, lalu diikuti dengan penurunan jangkar dan pelampung tanda terakhir. Contoh bubu yang dipasang dengan sistem rawai adalah bubu rajungan (Prakoso 2005). Martasuganda (2003) menambahkan bahwa bubu paralon adalah salah satu jenis bubu yang dipasang dengan sistem rawai. Bubu ini dibuat dari paralon dengan diameter antara 10–15 cm dan panjang antara 60-80cm.

2.3.2 Nelayan

(23)

(1) Nelayan penuh

Nelayan penuh adalah nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan atau binatang air lainnya atau tanaman air lainnya.

(2) Nelayan sambilan utama

Nelayan sambilan utama adalah nelayan yang sebagian besar waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan atau binatang air lainnya atau tanaman air lainnya.

(3) Nelayan sambilan tambahan

Nelayan sambilan tambahan adalah nelayan yang sebagian kecil waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan penangkapan ikan atau binatang air lainnya atau tanaman air lainnya.

Dalam operasi penangkapan ikan menggunakan alat tangkap bubu, jumlah nelayan yang mengoperasikannya berbervariasi, sesuai dengan jenis bubu yang dioperasikan dan tingkat kesulitannya (Martasuganda 2003). Adapun untuk bubu tambun, pada umumnya bubu ini hanya dioperasikan oleh 1 orang nelayan (Susanti 2005; Pramono 2006; Riyanto 2008).

2.3.3 Armada penangkapan

Kapal merupakan alat yang berfungsi untuk membawa nelayan dan alat tangkap menuju fishing ground dan selanjutnya membawa nelayan, alat tangkap (jika dibawa kembali pulang), dan hasil tangkapan kembali menuju fishing base. Dalam perikanan bubu pada umumnya nelayan banyak yang menggunakan kapal kayu, namun ada pula yang menggunakan kapal dari bahan fiber. Besar kecilnya kapal yang digunakan tergantung alat tangkap dan daerah penangkapan ikannya. Kapal yang digunakan oleh nelayan bubu yang mengoperasikan bubu di daerah pantai biasanya memiliki panjang antara 5 – 6 m. Kapal ini hanya menggunakan mesin tempel. Sedangkan untuk kapal yang digunakan oleh bubu yang dioperasikan di lepas pantai pada umumnya berukuran lebih besar. Kapal ini memiliki panjang antara 18 – 40 m (Sainsbury 1996).

(24)

digunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan dan penelitian/eksplorasi perikanan. Slack dan Smith (2001) menjelaskan bahwa ukuran kapal yang dibutuhkan dalam operasi penangkapan ikan tergantung dengan jenis dan ukuran bubu yang digunakan, kondisi perairan, jarak menuju daerah penangkapan ikan, dan jumlah nelayan.

Kapal yang digunakan dalam pengoperasian bubu kawat atau bubu bambu di Pulau Sebesi adalah kapal kayu berdimensi LOA 7-9 m, lebar 0,5-1 m, dan tinggi (depth) 0,5-0,7 m. Kapal bubu ini menggunakan mesin motor tempel berkekuatan 5,5 PK (Adianto 2007). Menurut Pramono (2006) kapal yang digunakan oleh nelayan Pulau Panggang umumnya berukuran 5 GT. Jenis perahu ini umumnya mengunakan mesin inboard. Dimensi kapal tersebut mempunyai panjang total (LOA) 6-9 m, lebar 1,2-1,6 m, tinggi (depth) 0,6-1 m, dan tinggi (draft) 0,5-0,7 m. Mesin yang digunakan umumnya mesin diesel dengan kekuatan 5, 8, dan 13 PK. Kapal yang digunakan umumnya terbuat dari kayu mentruk, damar, dan meranti.

2.4 Umpan

Umpan merupakan salah satu bentuk rangsangan (stimulus) yang bersifat fisika dan kimia yang dapat memberikan respons bagi ikan-ikan tertentu pada proses penangkapan ikan. Umpan merupakan salah satu faktor yang memiliki pengaruh yang besar terhadap keberhasilan dalam usaha penangkapan, baik masalah jenis umpan, sifat, dan cara pemasangan (Sadhori 1985).

Menurut pendapat Hansen dan Reutter (2004) bahwa ikan predator (buas) yang memakan makanan yang tidak hidup (umpan) menggunakan sistem penciuman mereka untuk dapat merangsang makan dan dapat membedakan stimuli asam amino.

(25)

Menurut Djatikusumo (1975) diacu dalam Riyanto (2008), umpan yang baik harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

(1) Tahan lama (tidak cepat busuk);

(2) Mempunyai warna yang mengkilap sehingga mudah terlihat dan menarik bagi ikan yang menjadi tujuan penangkapan;

(3) Mempunyai bau yang spesifik sehingga merangsang ikan datang; (4) Harga terjangkau;

(5) Mempunyai ukuran memadai; dan

(6) Disenangi oleh ikan yang menjadi tujuan penangkapan. 2.4.1 Jenis umpan

Berdasarkan kondisinya, umpan dapat dibedakan sebagai umpan hidup (live bait) dan umpan mati (dead bait). Menurut penggunaannya, umpan dibedakan sebagai umpan yang dipasang pada alat tangkap dan umpan yang tidak dipasang pada alat tangkap. Adapun menurut sifat asalnya, umpan dibedakan sebagai umpan alami (natural bait) dan umpan buatan (artificial bait) (Leksono 1983). 2.4.2 Ukuran dan bobot umpan

Ukuran dan bobot umpan mempengaruhi hasil tangkapan. Karena menurut Gunarso (1985), indera penglihatan dan penciuman ikan merupakan indera yang digunakan dalam aktivitas keseharian ikan. Salah satunya adalah aktivitas makan. Semakin besar ukuran bobot umpan, maka akan semakin mudah terlihat oleh ikan dan semakin banyak bau yang dilepaskan oleh umpan. Sehingga ikan akan mudah untuk menemukan umpan tersebut. Umpan yang padat seperti ikan utuh, tulang hewan, biasanya diletakkan secara langsung pada bagian dalam bubu.

2.4.3 Posisi pemasangan umpan

(26)

2.5 Hasil Tangkapan Bubu

Jenis ikan yang menjadi hasil tangkapan bubu tergantung dari lokasi bubu itu dioperasikan. Menurut Riyanto (2008), hasil tangkapan dengan bubu tambun terdiri dari ikan kerapu (famili Serrenidae), kakatua (Scaridae), betok (Pomacentidae), serak (Nemipteridae), nori (Labridae), dan jenis ikan lainnya.

Tiyoso (1979) dalam Risamasu (2008) menyatakan bahwa fluktuasi hasil tangkapan bubu dapat terjadi karena beberapa alasan seperti :

(1) Migrasi perubahan harian, musiman maupun tahunan dari kelompok ikan; (2) Keragaman ukuran ikan dalam populasi;

(3) Tepat tidaknya penentuan tempat pemasangan bubu, karena alat tangakap ini bersifat pasif dan menetap.

Menurut Risamasu (2008) hasil tangakapan bubu dasar berupa ikan karang terutama family Pomacentridae, Chaeetodontidae, Siganidae, Serranidae, Scaridae, Achanthuridae, Lutjanidae, Labridae, dan jenis lainnya.

2.6 Metode Pengoperasian Bubu

Pengoperasian bubu dapat dilakukan secara tunggal (single trap) maupun dengan sistem rawai (longline trap). Pemasangan bubu dengan sistem tunggal biasanya digunakan untuk menangkap ikan karang maupun bubu yang dioperasikan perairan sekitar hutan-hutan bakau untuk menangkap kepiting bakau. Hal ini karena lokasi penangkapan yang tidak memungkinkan pemasangan bubu dengan sistem rawai. Pemasangan bubu dengan sistem rawai (longline trap) sering digunakan pada penangkapan rajungan. Menurut Pramono (2006) dan Riyanto (2008), metode pengoperasian bubu tambun adalah sebagai berikut: (1) Persiapan

(27)

(2) Pemasangan bubu (setting)

Pemasangan bubu dilakukan dengan cara ditimbun menggunakan batu karang, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati. Penambunan akan dihentikan jika bubu telah tertutupi oleh karang. Tahap akhir dari pemasangan bubu adalah pembuatan jalan ikan pada daerah sekitar mulut bubu.

(3) Perendaman bubu (soaking)

Perendaman bubu dilakukan kurang lebih selama 24 jam. (4) Pengangkatan bubu (hauling)

Proses pengangkatan bubu diawali dengan menyingkirkan batu karang yang digunakan untuk menimbun bubu. Pengangkatan bubu dibantu dengan alat “ganco” untuk memudahkan pada proses pengangkatan. Seletah diangkat, selanjutnya pintu bubu dibuka untuk mengeluarkan hasil tangkapan.

Metode pengoperasian bubu menurut FAO (1968) meliputi :

(1) Rigging atau tali-temali berupa pemasangan tali-temali terutama tali pelampung tanda;

(2) Baiting atau pemasangan umpan;

(3) Setting atau pemasangan bubu, keberhasilan penangkapan ikan sangat bergantung pada lokasi penempatan bubu dan posisi penempatan bergantung pada jenis ikan yang menjadi sasaran penangkapan;

(4) Soaking time atau lama perendaman bergantung pada tingkah laku dari ikan sasaran penangkapan dan daya tahan umpan. Pada saat ikan sangat aktif mencari makan, lama perendaman hanya membutuhkan beberapa menit;

(5) Hauling atau pengangkatan dilakukan secara manual maupun dengan bantuan mesin line hauler. Setelah bubu diangkat, hasil tangkapan dipindahkan di palkah atau keranjang yang telah disiapkan sebelumnya;

2.7 Musim Penangkapan

(28)

(2001), di perairan Indonesia khususnya Kepulauan Seribu kegiatan penangkapan dipengaruhi oleh 3 musim, yaitu:

(1) Musim Barat

Musim ini terjadi pada bulan Desember sampai pertengahan bulan Maret. Keadaan angin bervariasi dari arah Barat Daya sampai Barat Laut dengan kecepatan 720 knot. Dalam periode bulan Desember sampai Februari sering terjadi angin kencang dengan kecepatan lebih dari 20 knot, gelombang besar dan arus kuat, sehingga dalam bulan ini kegiatan nelayan nyaris terhenti. Keadaan alam yang buruk inilah salah satu penyebab hasil ikan laut pada akhir maupun awal tahun menurun. Alat tangkap yang memberikan hasil terbaik pada musim ini adalah payang, gill net, dan bagan.

(2) Musim Timur

Musim ini terjadi pada bulan Juni hingga September, angin bervariasi dari arah Timur Laut sampai Tenggara dengan kecepatan 715 knot. Keadaan ombak relatif sedang, sehingga semua alat penangkapan dapat bekerja dengan hasil tangkap cukup baik. Alat tangkap yang hasil tangkapannya baik adalah payang, gill net, muroami, bagan, dan bubu.

(3) Musim Pancaroba

Musim ini terjadi pada bulan April hingga Mei dan Oktober hingga November. Arah angin umumnya bervariasi dengan kecepatan lemah. Semua alat penangkapan dapat bekerja aktif dengan hasil cukup bagus, terutama alat tangkap gill net, muroami, payang, bagan, bubu, dan hand line.

2.8 Daerah Penangkapan Ikan

Daerah penangkapan ikan adalah semua tempat dimana ikan ada dan alat tangkap dapat dioperasikan (Djatikusumo 1975 diacu dalam Risamasu 2008). Penentuan daerah penangkapan untuk pengoperasian bubu tidak begitu rumit dan sedikit dipengaruhi oleh faktor oseanografi, hal terpenting dalam menentukan daerah penangkapan adalah keberadaan ikan dasar, kepiting, atau udang sebelum operasi penangkapan dilakukan (Martasuganda 2003). Menurut Sadhori (1985) ada empat syarat yang harus dipenuhi dalam menentukan daerah penangkapan ikan, yaitu:

(29)

(2) Ikan tersebut dapat ditangkap;

(3) Penangkapan dapat dilakukan secara kesinambungan; dan (4) Hasil tangkapan menguntungkan.

2.9 Efektivitas Penangkapan

Efektivitas adalah tingkat pencapaian hasil yang telah dicapai terhadap suatu tujuan. Efektivitas (Ef) sama dengan hasil yang telah dicapai atau telah didapatkan dibandingkan dengan tujuan yang telah ditetapkan dan dinyatakan dalam persen (Gibson et al. 1990). Suatu alat tangkap dapat dikatakan memiliki efektivitas tinggi jika alat tersebut dapat menangkap ikan yang sesuai dengan target operasi. Efektivitas alat tangkap adalah suatu kemampuan alat tangkap untuk mendapatkan hasil tangkapan yang optimum sesuai dengan tujuan penangkapan. Nilai efektivitas alat tangkap dapat dikatagorikan tiga, yaitu; apabila nilainya kurang dari 50 % dapat dikatakan alat tangkap tersebut efektivitasnya rendah, nilai 50%-80% dikatakan alat tangkap yang cukup efektivitasnya dan nilai 50%-80%-100% dikatakan alat tangkap yang efektivitasnya tinggi (Baskoro et al. 2006).

(30)

3 METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanaan selama 6 (enam) bulan dimulai dengan pembuatan

proposal pada September 2010, selanjutnya pengambilan data di lapangan yang

dilakukan pada bulan Oktober hingga November 2010. Pengolahan data dilakukan

pada bulan Desember 2010 hingga Februari 2011. Penyusunan Skripsi dilakukan

pada bulan Maret hingga April 2011.

Pengambilan data di lapangan dilaksanakan di Kepulauan Seribu, tepatnya

fishing base di Pulau Panggang dan daerah pengoperasiannya (fishing ground) di

perairan Pulau Semak Daun Kepulauan Seribu. Peta lokasi penelitian di perairan

Kepulauan Seribu disajikan pada Lampiran 1.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian

Alat dan sarana yang digunakan pada penelitian ini adalah timbangan, papan

pengukur ikan, kantong plastik, alat tulis, data sheet, buku identifikasi, software

SPSS 13, GPS, bubu, ganco, dan kapal. Keterangan alat dan sarana yang

digunakan selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Alat dan sarana yang digunakan selama penelitian

Peralatan/Sarana Penelitian Kegunaan

Timbangan Mengukur massa hasil tangkapan

Papan pengukur ikan (measuring board) Mengukur panjang hasil tangkapan

Kantong plastik Tempat hasil tangkapan

Alat tulis Membantu penulisan data

Data sheet Mencatan hasil tangkapan

Buku identifikasi Mengetahui jenis ikan

Software SPSS 13 Mengolah Data Hasil Tangkapan

GPS Menentukan Posisi

Bubu Menangkap ikan

Ganco Mengangkat bubu

Kapal Alat transportasi

Bubu yang digunakan pada penelitian ini adalah bubu tali yang umum

digunakan oleh nelayan setempat. Bubu ini dioperasikan pada kedalaman ± 30 m

pada perairan karang dalam. Pemasangan bubu dilakukan dengan sistem tunggal,

(31)

pemberat dengan bantuan tali sepanjang 30 m yang dihubungkan oleh pelampung

tanda.

Rangka bubu tali hampir sama dengan bubu tambun umumnya terbuat dari

bambu. Bambu tersebut dikelilingi oleh jaring yang terbuat dari PE (polyethilene)

dengan mata berukuran satu inci. Bubu tali memiliki dimensi

8 5 . Mulut bubu tali berbentuk menyerupai corong, bulat pada bagian luar dan mengecil ke bagian dalam. Lubang corong bagian dalam biasanya mengarah

ke bawah dan dipersempit untuk menyulitkan ikan keluar dari bubu. Jumlah mulut

bubu tali hanya satu buah. Konstruksi bubu tali selengkapnya dapat dilihat pada

Gambar 1.

Gambar 1 Konstruksi bubu tali. (a) Bubu tampak

35 

25  80 

50 

45 cm 35 cm

b  c

(b) Bubu tampak

Keterangan :  Panjang  : 100 cm  Lebar  : 80 cm  Tinggi  : 35 cm  Diameter mulut : 35 cm 

a : pemberat  b : mulut bubu 

c : tempat pemasangan umpan  : 1 inci 

(32)

Bubu tali yang digunakan pada penelitian ini adalah bubu baru. Pada saat

akan melakukan pengambilan data, bubu tali baru tersebut direndam di pinggir

Pulau Panggang selama 2 hari. Perendaman tersebut berfungsi untuk mengurangi

bau bubu baru, berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan ikan akan

menghindari bubu tersebut jika ada bau bubu baru. Bubu tali yang digunakan pada

penelitian ini berjumlah 12 unit. Pada setiap 3 unit bubu diberikan perlakuan yang

berbeda-beda yaitu tidak diberi umpan, diberi umpan alami, umpan buatan A, dan

umpan buatan B. Pemasangan bubu dibutuhkan waktu selama 1-1,5 jam dalam

satu kali trip. Pengangkatan bubu dilakukan selama 1,5-2 jam. Waktu perendaman

dilakukan selama 24 jam atau satu hari yaitu setelah melakukan hauling langsung

di setting kembali. Pada saat hauling digunakan alat bantu yaitu ganco atau

pengait yang berfungsi untuk mangkaitkan pelampung tanda.

Perahu yang digunakan dalam penelitian ini memiliki dimensi dengan

panjang total (LOA) 9 m, lebar 1,8 m, tinggi (depth) 1,2 m, dan tinggi dek (draft)

0,75 m. Perahu dengan ukuran 5 GT memakai mesin Yanmar dengan kekuatan 18

PK. Bahan-bahan lainnya yang digunakan pada saat penelitian disajikan pada

Tabel 2.

Tabel 2 Bahan-bahan yang digunakan selama penelitian

Jenis Umpan Bahan Kegunaan

Umpan Alami Bulu babi (

Diadema-setosum)

Umpan alami

Bantal raja (

Culcita-novaguineae)

Umpan alami

Umpan Buatan A Arginin A5006-100G Umpan buatan

Leusin L8000-100G Umpan buatan

CMC (Cellulose Metil

Carboxyl)

Media perekat arginin dan leusin

Pewarna makanan Memberi warna pada umpan

Air Pencampur

Umpan Buatan B Minyak ikan Mewakili amoniak dan asam lemak

Tepung ikan Mewakili asam lemak dan asam amino

Tepung terigu Stabilitator

Tepung tapioka Stabilitator

(33)

Pengoperasian bubu tali menggunakan umpan sebagai atraktan. Pada

penelitian ini diberi empat perlakuan berbeda-beda, satu perlakuan tanpa diberi

umpan guna menjadi pembanding, tiga perlakuan lainnya adalah sebagai berikut :

(1) Umpan Alami

Umpan alami adalah umpan yang berasal dari alam. Berdasarkan hasil

wawancara dengan nelayan disana, umpan alami yang biasa digunakan adalah

bulu babi dan bantal raja. Dari hasil penelitian Riyanto (2008) menyatakan

efektivitas penangkapan ikan kerapu dengan bubu tambun yang diberikan umpan

alami memiliki nilai sebesar 55,40%, yang berarti sudah cukup efektif karena

nilainya sudah diatas 50,00%.

(2) Umpan buatan A

Umpan buatan A yang dimaksud adalah umpan yang terbuat dari campuran

arginin dan leusin. Pada mamalia, arginin termasuk ke dalam asam amino

esensial. Asam amino ini merupakan asam amino yang paling umum, sedangkan

leusin paling banyak dijumpai pada kandungan protein yang diperlukan dalam

perkembangan dan pertumbuhan. Leusin berperan dalam menjaga perombakan

dan pembentukan protein otot. Penelitian Indrawatie (2010) mengenai pengujian

umpan buatan (arginin dan leusin) terhadap ikan kerapu pada skala laboraturium

menghasilkan formulasi umpan asam amino jenis arginin dan leusin. Bahan

tambahan pada pembuatan umpan buatan A ini adalah Cellulose Metil Carboxyl

(CMC) untuk merekatkan kedua asam amino serta pewarna makanan. Komposisi

arginin dan leusin dihitung terhadap 100 gr umpan. Namun dalam pengambilan

data umpan yang diujikan 8% dari 100 gr umpan. Komposisi kimia umpan buatan

yang diujikan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Komposisi kimia umpan buatan A (berat total umpan 8 gr)

Asam Amino Komposisi Kimia Umpan (gr)

Arginin 0,38 Leusin 0,42

(3) Umpan buatan B

Umpan buatan B adalah umpan yang didapatkan dari penelitian yang telah

dilakukan oleh peneliti sebelumnya menggunakan umpan minyak ikan dan tepung

(34)

tangkapan yang cukup banyak dan memiliki nilai efektivitas sebesar 44,60%

(Riyanto 2008). Menurut Riyanto (2008) formulasi umpan setengah alami yang

efektif dalam penangkapan ikan karang konsumsi adalah dengan kandungan

minyak ikan sebesar 35%. Komposisi bahan umpan setengah alami selengkapnya

dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Tabel komposisi umpan buatan dari bahan alami

No Komposisi Bahan Umpan setengah alami (gr)

1 Minyak Ikan 35

2 Tepung Ikan 1

3 Tepung Terigu 13

4 Tepung Tapioka 39

Total berat (gr) 100

Proses pembuatan umpan buatan B (umpan setengah alami) dimulai dengan

menimbang semua bahan yang diperlukan sesuai dengan takarannya,

mencampurkan bahan-bahan kering terlebih dahulu (tepung ikan, tepung terigu,

dan tepung tapioka) kemudian diaduk secara merata. Selanjutnya mencampurkan

bahan-bahan kering tersebut dengan minyak ikan dan air. Aduk adonan hingga

tercampur merata dan mulai mencetak bentuknya dan dibungkus dengan kain

kassa.

(35)

3.3 Metode Pengambilan Data

Data yang diperlukan dalam penelitian dibedakan menjadi dua yaitu data

primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang didapatkan dengan cara

mengambil langsung dari hasil penelitian. Data primer yang diambil adalah data

jenis, jumlah, dan berat hasil tangkapan. Berdasarkan hasil wawancara dengan

nelayan setempat data hasil tangkapan dipisahkan berdasarkan jenis hasil

tangkapan utama dan tangkapan sampingan. Hasil tangkapan utama merupakan

ikan yang memiliki nilai ekonomis tinggi sedangkan hasil tangkapan sampingan

memiliki nilai ekonomis rendah dan ukurannya tidak layak tangkap untuk ikan

hias.

Data sekunder adalah data yang didapatkan dari data hasil penelitian

terdahulu atau dari sumber-sumber dinas pertanian dan sejenisnya. Data sekunder

yang diambil adalah kondisi daerah penelitian, unit penangkapan ikan, daerah

penangkapan ikan, dan data produksi. Data sekunder yang diambil meliputi

keadaan umum daerah penelitian guna untuk menunjung atau sebagai

perbandingan data primer yang telah dilakukan secara langsung.

Metode pengambilan data pada penelitian ini adalah metode experimental

fishing, yaitu pengambilan data nya melalui kegiatan uji coba penangkapan ikan

di lapangan. Data didapatkan dengan cara melakukan operasi penangkapan ikan

dengan menggunakan 12 unit bubu. Pengoperasian bubu dilakukan dengan sistem

tunggal dengan jarak pemasangannya 1,5 m sampai 4 m (Hartsjuijker dan

Nicholson 1981; Parrish 1982; Luckhurst dan Ward 1985 diacu dalam Ferno dan

Olsen 1994). Pemasangan bubu dilakukan sebanyak 10 kali ulangan dengan

rincian sebagai berikut:

1. Trip ke-1, setting pada lokasi penempatan bubu.

2. Trip ke-2, hauling dan setting kembali pada masing-masing lokasi.

3. Trip ke-3, hauling dan setting kembali pada masing-masing lokasi.

4. Trip ke-4, hauling dan setting kembali pada masing-masing lokasi.

5. Trip ke-5, hauling dan setting kembali pada masing-masing lokasi.

6. Trip ke-6, hauling dan setting kembali pada masing-masing lokasi.

7. Trip ke-7 dan seterusnya sampai

(36)

3.4 Metode Pengoperasian Bubu Tali

Pengoperasian bubu tali di Kepulauan Seribu pada penelitian kali ini

dilakukan setiap hari 1 trip. Masing-masing trip diulang sebanyak 3 kali, sehingga

total ulangan adalah 30 kali. Pemasangan (setting) bubu tali dilakukan pada siang

hari, begitu pula saat pengangkatan (hauling) keesokan harinya pada saat siang

hari. Setelah pengangkatan (hauling) hasil tangkapan dicatat panjang dan

beratnya, lalu bubu tali diberi umpan dan dipasang (setting) kembali.

Tahap-tahap pengoperasian bubu tali diuraikan berikut ini :

(1) Persiapan

Tahap persiapan dalam pengoperasian bubu tali yang perlu dilakukan adalah

mempersiapkan alat tangkap, membuat umpan buatan, dan umpan alami,

mempersiapkan kapal/perahu, dan mempersiapkan perbekalan. Dalam

pembuatan umpan buatan dilakukan sehari sebelum operasi penangkapan dan

umpan tersebut dibungkus kain kassa. Persiapan alat tangkap meliputi

membuat rangka kontruksi bubu tali serta dipasang tali sepanjang 30 m dan

diberi pelampung tanda. Dibutuhkan juga alat bantu penangkapan yaitu ganco

dan ember untuk mengambil dan menangkap hasil tangkapan. Untuk

membedakan perlakuan bubu, maka bubu diberikan tanda (tagging). Persiapan

kapal perikanan meliputi pengisian bahan bakar dan pengecekan kondisi

kapal. Persiapan perbekalan pada saat menuju fishing ground adalah makan

dan minuman.

(2) Pemasangan umpan

Pada tahap ini umpan yang sudah dipersiapkan sebelumnya dipasang ke dalam

bubu pada saat alat tangkap akan dipasang (setting) di daerah fishing ground.

Umpan yang digunakan ada 3 macam yaitu umpan alami, umpan buatan A

dan umpan buatan B. Umpan alami yang digunakan adalah daging ikan bantal

raja yang dipotong-potong. Umpan buatan A dan umpan buatan B disimpan

pada mulut bubu dan diikat dengan kuat. Umpan yang dipasang disesuaikan

dengan tanda perlakuan yang ada di bubu tersebut. Proses pemasangan umpan

(37)

Gambar 3 Proses pemasangan umpan.

(3) Pemasangan bubu (setting)

Tahap pemasangan bubu dilakukan di perairan karang yang memiliki

kedalaman perairan maksimal 30 m dan tidak dipasang pada daerah alur

pelayaran. Setelah mendapatkan fishing ground yang tepat dengan mengikuti

kebiasaan nelayan, dalam kondisi kapal tetap menyala bubu dipasang dengan

kapal berjalan perlahan, bubu dilempar ke air dengan mengulur tali bubu

hingga pelampung tanda dilemparkan.

(4) Perendaman bubu (soaking)

Perendaman bubu tali ini dilakukan selama 24 jam atau seharian penuh. Bubu

tali ditinggalkan oleh nelayan tersebut hingga keesokan harinya.

(5) Pengangkatan bubu (hauling)

Tahap pengangkatan bubu dilakukan setelah perendaman selama 24 jam.

Nelayan mencari pelampung tanda dan mengaitnya menggunakan ganco. Pada

saat pengangkatan kapal dalam kondisi mati. Tali bubu di tarik secara

perlahan-lahan. Hingga bubu tali terangkat dan di simpan diatas kapal. Hasil

tangkapannya diambil dan dicatat. Proses pengangkatan bubu tali dapat dilihat

(38)

Gambar 4 Proses pengangkatan bubu.

3.5 Analisis Data

3.5.1 Hasil tangkapan bubu tali

Komposisi hasil tangkapan dilakukan untuk mengelompokan hasil

tangkapan ke dalam kelompok-kelompok (kelas) ukuran tertentu. Ukuran yang

digunakan untuk mengelompokan hasil tangkapan adalah ukuran berat dan

panjang total ikan.

3.5.2 Pengaruh perbedaan umpan

Data hasil tangkapan diuji dahulu kenormalannya dengan menggunakan uji

Kolmogorov-Smirnov. Jika asumsi kenormalan dan asumsi lainnya tidak terpenuhi

atau sukar untuk dipenuhi walaupun dalam berbagai upaya transformasi data telah

dilakukan, maka digunakan prosedur alternatif lainnya untuk mengetahui

pengaruh perbedaan umpan. Prosedur yang dapat digunakan adalah metode non

parametrik, karena metode ini tidak memperhatikan bentuk sebaran data dan

asumsi analisis ragamnya.

Uji Kruskal-Wallis, disebut juga uji H Kruskal Wallis, merupakan

(39)

menguji hipotesis nol Ho bahwa k contoh bebas itu berasal dari populasi yang

identik. Uji nonparametrik ini merupakan alternatif bagi uji F untuk pengujian

kesamaan beberapa nilai tengah (dalam analisis ragam bila ingin menghindari dari

asumsi bahwa contoh diambil dari populasi normal).

Hipotesis yang dibuat :

Ho: semua perlakuan pengaruhnya sama

H1: minimal ada perlakuan yang memberikan pengaruh yg berbeda.

Misalkan , , … , adalah ukuran contoh ke-i. Pertama-tama

gabungkan semua contoh dan susunlah . . . pengamatan itu dari

yang terkecil sampai yang terbesar, dan kemudian tentukan peringkatnya

masing-masing. Dalam hal ada beberapa nilai pengamatan yang sama, berikan peringkat

rata-ratanya. Lambangkan jumlah peringkat dalam contoh ke-i dengan Ri.

Selanjutnya perhatikan statistik

,

Jika uji Kruskal-Wallis menghasilkan penolakan Ho, secara alami akan

muncul pertanyaan populasi mana yang berbeda. Salah satu cara yang dapat

digunakan adalah menggunakan prosedur pembanding berganda yang disarankan

oleh Dunn. Pertama dapatkan rataan peringkat tiap contoh dan misalkan rataan

peringkat contoh ke-i dan rataan peringkat contoh ke-j.

Jika kita mempunyai contoh, maka akan ada k(k-1)/2 pasangan contoh yang

dapat dibandingkan.

Hipotesis yang dibuat:

: :

Kaidah keputusan :

jika , Tolak Ho (terima H1)

N = jumlah semua contoh

Untuk ukuran contoh-contoh sama,

(40)

3.5.3 Efektivitas penangkapan ikan dengan berbagai umpan

Pengukuran efektivitas umpan pada penangkapan ikan dengan bubu

dilakukan dengan cara menghitung bubu dengan umpan tertentu yang menangkap

ikan dengan jumlah total bubu yang digunakan. Menurut Riyanto 2008 metode

yang ditunjukan untuk mengukur efektivitas penggunaan umpan pada bubu untuk

menangkap ikan (Ef), yaitu banyaknya bubu yang menangkap ikan dengan

menggunakan umpan (Ku) dibandingkan terhadap total bubu yang digunakan (TB)

dinyatakan dalam persen. Perhitungan efektivitas tangkapan dengan menggunakan

berbagai jenis umpan disajikan pada Tabel 5.

%

Tabel 5 Perhitungan efektivitas tangkapan dengan berbagai jenis umpan

Tanpa umpan Umpan alami Umpan

Buatan A

Umpan Buatan B

Efektivitas total bubu berumpan

Jumlah bubu TB1 TB2 TB3 TB4 TBi

Bubu isi ikan Ku1 Ku2 Ku3 Ku4 Kui

Setting ke-1 Ku1-1/ TB1 Ku2-1/ TB2 Ku3-1/ TB3 Ku4-1/ TB4 Kui-1/ TBi-1

Setting ke-2 Ku1-2/ TB1 Ku2-2/ TB2 Ku3-1/ TB3 Ku4-1/ TB4 Kui-2/ TBi-2

Setting ke-3 Ku1-3/ TB1 Ku2-3/ TB2 Ku3-1/ TB3 Ku4-1/ TB4 Kui-1/ TBi-3

Setting ke-4 Ku1-4/ TB1 Ku2-4/ TB2 Ku3-1/ TB3 Ku4-1/ TB4 Kui-1/ TBi-4

Setting ke-n Ku1-n/ TB1 Ku2-n/ TB2 Ku3-1/ TB3 Ku4-1/ TB4 Kui-n/ TBi-n

Total setting Ku1-n/ TB1Ku2-n/ TB2Ku3-1/ TB3Ku4-1/ TB4 Kui-n/ TBi-n

Efektivitas rata-rata

∑(Ku1-n/ TB1)

×100/n

∑(Ku2-n/ TB2)

×100/n

∑(Ku3-n/TB3)

×100/n

∑(Ku4-n/TB4)

×100/n

∑(Kui-n/TBi-n)

×100/n

(41)

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1Keadaan Geografis dan Perairan

Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu adalah sebuah kabupaten administrasi di Provinsi DKI Jakarta dimana sebelumnya menjadi salah satu kecamatan di Kotamadya Jakarta Utara. Kabupaten Kepulauan Seribu meliputi dua kecamatan yaitu Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan.

Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor: 1986/2000 tanggal 27 Juli 2000, tentang Pemecahan, Pembentukan, Penetapan Batas, dan Nama Kelurahan di Kecamatan Kepulauan Seribu wilayah Kotamadya Jakarta Utara Provinsi DKI Jakarta sebagai berikut :

Luas wilayah Kelurahan Pulau Panggang 62,10 ha dengan batas-batas geografis:

• Sebelah Utara : 05’41’41”LS-05’41’41”LS

• Sebelah Selatan : 106’44’50”BT

• Sebelah Barat : 106’19’30”BT

• Sebelah Timur : 05’47’00”LS-05’45’14”LS

Adapun rincian pulau-pulau yang termasuk dalam wilayah Kelurahan Pulau Panggang Kecamatan Kepulauan Seribu Utara ditunjukkan pada Tabel 6. Tabel 6 Pulau-pulau yang termasuk dalam wilayah Kelurahan Pulau Panggang

Kecamatan Kepulauan Seribu Utara

No. Nama Pulau Luas Keterangan

Pulau Panggang Pulau Pramuka Pulau Karya Pulau Peniki

Pulau Kariang Bongkok Pulau Karang Congkak Pulau Kotok Besar Pulau Air Besar Pulau Gosong Sekati Pulau Semak Daun Pulau Gosong Pandan Pulau Opak Kecil Pulau Kotok Kecil

(42)

Berdasarkan SK. Gubernur DKI Jakarta tersebut, pulau yang terdapat di Kelurahan Pulau Panggang berjumlah 16 pulau namun akibat abrasi air laut sampai saat ini secara fisik berkurang menjadi 13 pulau.

Adapun batas-batas wilayah Kelurahan Pulau Panggang adalah sebagai berikut: 1) Sebelah Utara : berbatasan dengan wilayah perairan Kelurahan Pulau Kelapa; 2) Sebelah Selatan : berbatasan dengan wilayah perairan Kelurahan Pulau Tidung; 3) Sebelah Timur : berbatasan dengan wilayah perairan Laut Jawa;

4) Sebelah Barat : berbatasan dengan wilayah perairan Laut Jawa.

Pulau Semak Daun secara administrasi termasuk kedalam wilayah Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepualuan Seribu Utara, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu.

4.2Musim

Ketinggian tanah Pulau Panggang dari permukaan laut adalah 1 m. Kelembaban udara 79,4 Hg/mm, Kecepatan angin di Pulau Panggang 0-18 km/jam dan suhu udara rata-rata 27o-32oC. Tipe iklim pada sebelas pulau di Kepualuan Seribu adalah tropika panas dengan suhu maksimal 32oC dan suhu minimum 21,6oC. Pada bulan Maret, April, dan Mei keadaan cuaca di Kepulaun Seribu dalam kondisi baik. Curah hujan di Kepulauan Seribu berkisar 100-400 mm.

Musim yang terdapat di Kepulauan Seribu adalah musin barat dan musim timur. Pada musim barat, angin bertiup dari barat disertai dengan hujan lebat. Adapun pada musim timur, angin bertiup dari timur serta kering. Angin barat terjadi pada bulan Desember hingga Maret dan angin timur terjadi antara bulan Juni hingga September. Musim pancaroba terjadi antara bulan April hingga Mei dan Oktober hingga November. Kecepatan angin berkisar 7-20 knot, biasanya terjadi pada bulan Desember hingga Februari. Musim hujan di Kepulauan Seribu biasanya terjadi antara bulan November hingga April dengan jumlah hari hujan 10-20 hari/bulan.

4.3Unit Penangkapan Ikan 4.3.1 Alat penangkapan ikan

(43)

tangkap lain yang digunakan nelayan Kelurahan Pulau Panggang adalah jaring payang, jaring dasar, jaring gebur, bubu kecil, dan jaring muroami. Jenis alat tangkap di Kelurahan Pulau Panggang pada tahun 2010 selengkapnya disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Jenis alat tangkap di Kelurahan Pulau Panggang pada tahun 2010

No. Jenis Alat Jumlah Alat

1. Jaring Payang 22

2. Jaring Dasar 21

3. Jaring Gebur 100

4. Bubu Besar 200

5. Bubu Kecil 20

6. Pancing 532

7. Jaring muroami 10

Sumber: Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (2010) 4.3.2 Armada penangkapan

Data armada penangkapan yang dominan di Kelurahan Pulau Panggang adalah perahu motor sebanyak 417 unit. Jumlah armada penangkapan yang paling sedikit adalah perahu layar sebanyak 11 unit. Armada lain yang berada di Kelurahan Pulau Panggang adalah kapal motor, perahu dayung/sampan, dan speed boat. Data armada penangkapan di Kelurahan Pulau Panggang pada tahun 2010 selengkapnya disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Data armada penangkapan di Kelurahan Pulau Panggang pada tahun 2010

No. Jenis Sarana Jumlah

1. Kapal Motor 27

2. Perahu Motor 417

3. Perahu Layar 11

4. Perahu Dayung/Sampan 36

5. Speed Boat 13

Sumber: Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (2010) 4.3.3 Nelayan

(44)

Tabel 9 Data nelayan di Kelurahan Pulau Panggang pada tahun 2010

No Jenis Alat Jumlah Pemilik

1 Jaring Payang 20

2 Jaring Dasar 21

3 Jaring Gebur 10

4 Bubu Besar 17

5 Bubu Kecil 12

6 Pancing 444

7 Jaring Muroami 10

Sumber: Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (2010) 4.4Produksi Ikan

Produksi ikan dilihat dari sektor perikanan tangkap di Kabupaten Kepulauan Seribu cukup bervariasi. Menururt data dari Suku Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Kota Jakarta, pada tahun 2006 total produksi perikanan tangkap mencapai 2.734.725 kg. Produksi tersebut dihasilkan oleh nelayan dengan menggunakan beberapa alat tangkap seperti pancing, payang, bubu, jaring, muroami, dan alat tangkap lainnya. Data jumlah produksi perikanan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu pada tahun 2006 disajikan pada Tabel 10

Tabel 10 Data produksi perikanan di Kabupaten Kepulauan Seribu pada tahun 2006

No Jenis alat tangkap Jumlah produksi (kg) Persentase (%)

1. Pancing 915.000 33,46

2. Payang 1.058.400 38,70

3. Muroami 370.000 13,53

4. Bubu 287.000 10,49

5. Jaring 87.045 3,18

6. Lainnya 17.280 0,63

Jumlah 2.734.725

Sumber: Suku Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Kota Jakarta Utara (2006) Kontribusi terhadap produksi perikanan tangkap juga dihasilkan oleh alat tangkap lain. (bagan perahu, sero, dan lain-lain). Adapun alat tangkap jaring diantaranya adalah jaring dasar, jaring gebur, dan lain-lain.

4.5Daerah Penangkapan Ikan

(45)

Gosong Pandan, Pulau Gosong Keroya, Pulau Karya, Pulau Air, dan lain sebagainya. Sebagian besar wilayah tersebut merupakan daerah subur, karena wilayahnya merupakan daerah karang yang merupakan habitat berbagai jenis ikan karang. Selain daerah karang lokasi tersebut juga merupakan daerah padang lamun yang merupakan salah satu tempat bagi ikan karang untuk mencari makan.

Kondisi arus di perairan Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu mengikuti pola angin musim yang terjadi di Laut Jawa, dimana pada musim Barat arus bergerak ke arah timur, dan pada musim Timur arus bergerak ke arah Barat. Kecepatan arus rata-rata pada musim Barat adalah 0,3-0,5 m/s (Riyanto 2008; Fitri 2008).

(46)

5 HASIL PENELITIAN 5.1Hasil Tangkapan

5.1.1 Total hasil tangkapan

Hasil tangkapan bubu tali selama 10 kali operasi adalah 520 ekor dengan

berat seluruhnya sebesar 43,595 kg. Hasil tangkapan didapatkan 30 spesies dalam

15 famili, yaitu Serranidae (kerapu koko, kerapu karet, lodi), Nemipteridae (pasir,

serak, mata belo), Lutjanidae (lencam, kakap tanda, menggaru), Monachantidae

(kupas-kupas), Labridae (kenari terompet, pelo, nori item, kenari merah),

Pomacentridae (betok hitam, betok belang), Mulidae (janggut, kuniran), Siganidae

(kea-kea), Holocentridae (swanggi), Scorpaenidae (lepu ayam), Caesionidae (ekor

kuning), Chaetodontidae (strip 8, marmut, kepek-kepek monyong), Muraenidae

(belut laut), Xanthidae (kepiting), Diodontidae (buntal), dan ikan lainnya (poge,

kurisi, wakong cabe, ragan, beseng). Secara rinci hasil tangkapan yang diperoleh

beserta identifikasi spesies hasil tangkapan disajikan pada Lampiran 6.

Jumlah hasil tangkapan famili terbanyak adalah famili Nemipteridae yaitu

331 ekor (63,65%). Selanjutnya famili Mulidae sebanyak 38 ekor (7,31%), Famili

Labridae ditangkap sebanyak 21 ekor (4,04%), Lutjanidae sebanyak 19 ekor

(3,65%), Pomacentridae sebanyak 14 ekor (2,69%), Holocentridae sebanyak 13

ekor (2,50%), Serranidae sebanyak 10 ekor (1,92%), Chaetodontidae sebanyak 10

ekor (1,92%), Monachantidae, dan Muraenidae masing-masing sebanyak 6 ekor

(1,15%), Caesionidae sebanyak 5 ekor (0,96%), Xanthidae sebanyak 4 ekor

(0,77%), Scorpaenidae sebanyak 4 ekor (0,77%), Siganidae sebanyak 3 ekor

(0,58%), Diodontidae sebanyak 2 ekor (0,38%), dan ikan lainnya sebanyak 34

ekor (6,54%). Komposisi total berdasarkan jumlah hasil tangkapan disajikan pada

(47)
(48)
(49)

Tabel 11 Proporsi hasil tangkapan utama dan sampingan pada bubu tali

Hasil Tangkapan Total Persentase

Utama

Ikan Konsumsi

Serranidae 10 1,92

Nemipteridae 331 63,65 Pomacentridae 14 2,69

Lutjanidae 19 3,65

Labridae 21 4,04

Mulidae 38 7,31

Caesionidae 5 0,96

Siganidae 3 0,58

Xanthidae 4 0,77

Ikan Hias

Chaetodontidae 10 1,92 Scorpaenidae 4 0,77

Sub Total 459 88,27

Sampingan

Holocentridae 13 2,50

Muraenidae 6 1,15

Monachantidae 6 1,15

Diodontidae 2 0,38

Lainnya 34 6,54

Sub Total 61 11,73

TOTAL 520 100,00

Jumlah hasil tangkapan utama pada penelitian ini adalah 459 ekor (88,27%)

dan hasil tangkapan sampingan adalah 61 ekor (11,73%). Perbandingan hasil

tangkapan utama dan hasil tangkapan sampingan pada bubu tali disajikan pada

(50)
(51)
(52)
(53)
(54)
(55)

Gambar 12 Perbandingan efektivitas penangkapan seluruhnya tiap perlakuan.

Famili Serranidae, Nemipteridae, Lutjanidae, Labridae merupakan ikan

ekonomis penting dalam penelitian ini. Penangkapan pada perlakuan bubu tanpa

umpan memiliki nilai efektivitas tertinggi adalah famili Nemipteridae sebesar

26,67%, selanjutnya famili Lutjanidae adalah 16,67%, famili Labridae sebesar

6,67%, dan famili Serranidae memiliki nilai efektivitas sebesar 3,33%. Perlakuan

kedua yaitu bubu diberi umpan alami memiliki nilai efektivitas terhadap famili

Nemipteridae sebesar 73,33%, selanjutnya famili Serranidae memiliki nilai

efektivitasnya sebesar 10%, famili Lutjanidae sebesar 6,67%, dan famili Labridae

memiliki nilai efektivitas sebesar 3,33%.

Perlakuan ketiga yaitu bubu diberi umpan buatan A memiliki nilai

efektivitas terhadap famili Nemipteridae adalah 63,33%, famili Lutjanidae sebesar

10%, selanjutnya famili Serranidae dan famili Labridae memiliki nilai efektivitas

yang sama yaitu sebesar 6,67%. Perlakuan keempat yaitu bubu diberi umpan

buatan B memiliki nilai efektivitas terhadap famili Nemipteridae adalah 70%,

famili Labridae sebesar 30%, selanjutnya famili Serranidae dan famili Lutjanidae

memiliki nilai efektivitas yang sama yaitu sebesar 6,67%. Perbandingan nilai

efektivitas ikan ekonomis penting terhadap tiap perlakuan disajikan pada Gambar

13.

60±0,04

90±0,02

100±0,00 100±0,00

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120

tanpa umpan umpan alami umpan buatan A Umpan buatan B

Efektifitas

 

Pen

a

ngkapan

 

%

±

S

E

Jenis Umpan

(56)

Gambar 13 Perbandingan nilai efektivitas ikan ekonomis penting terhadap tiap perlakuan.

Gambar

Tabel 1 Alat dan sarana yang digunakan selama penelitian
Gambar 1 Konstruksi bubu tali. (a) Bubu tampak
Tabel 4 Tabel komposisi umpan buatan dari bahan alami
Gambar 3 Proses pemasangan umpan.  (3) Pemasangan bubu (setting)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukan bahwa perbedaan bubu bambu dan bubu paralon pada penelitian ini berpengaruh terhadap jumlah hasil tangkapan lobster (Cherax quadricarinatus) dimana

Berdasarkan tabel 5, dapat dilihat bahwa hasil tangkapan pada bubu lipat dengan menggunakan umpan katak waktu penangkapan malam hari ini meliputi ikan gabus ( Ophiocephalus striatus

Nilai efektivitas bubu tambun untuk menangkap famili Siganidae tertinggi pada bubu dengan umpan B (arginin dan leusin) sebesar 35,56 %, kemudian bubu.. Dari keempat nilai

Hasil analisis uji t menunjukan bahwa penggunaan umpan ikan layang dan usus ayam pada bubu kerucut memberikan hasil tangkapan rajungan yang sangat berbeda nyata,

Hal ini membuktikan bahwa tidak ada hubungan antara faktor perbedaan kontruksi bubu dan jenis umpan terhadap hasil tangkapan kepiting bakau, dapat dikatakan bahwa

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bubu gendang tipe B dan tipe A lebih baik daripada bubu konstruksi tradisional dimana hasil tangkapan ikan karang ekonomis

Pengambilan sampel ikan di sekitar terumbu karang buatan dilakukan dengan menggunakan bubu tambun yang terbuat dari bambu dengan ukuran panjang 70 cm, lebar 60 cm,

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh warna umpan buatan terhadap hasil tangkapan ikan dan mengidentifi- kasi jenis-jenis ikan yang tertangkap dengan