PENGARUH KOMISARIS INDEPENDEN, KOMITE MANAJEMEN RISIKO, REPUTASI AUDITOR DAN KONSENTRASI KEPEMILIKAN TERHADAP
PENGUNGKAPAN ENTERPRISE RISK MANAGEMENT (DIMENSI COSO ERM FRAMEWORK)
( Studi Empiris pada Perusahaan Nonfinancial yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode Tahun 2009-2011 )
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar
Sarjana Ekonomi
Oleh : Enesti Eka Putri NIM : 109082000200
JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. IDENTITAS PRIBADI
1. Nama : Enesti Eka Putri
2. Tempat & Tanggal Lahir : Sukoharjo, 19Agustus1991 3. Jenis Kelamin : Perempuan
4. Agama : Islam
5. Alamat : Jalan Cipulir II RT/RW. 009/004 No. 32, Cipulir, Kebayoran Lama, Jaksel
6. Telepon : 08999158330/ (021) 7267038
7. Email : miss_deyn@yahoo.com
II. PENDIDIKAN FORMAL
1997-2003 : SD Negeri 04 Kartasura Jateng 2003-2006 : SMP Negeri 2Surakarta Jateng 2006-2009 : SMK Muhammadiyah 09 Jakarta
2009-2013 : Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Ekonomi dan Bisnis Jurusan Akuntansi
III.PENGALAMAN ORGANISASI
1. Anggota ektrakurikuler Mading SMP Negeri 2 Surakarta
2. Anggota Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM) SMK Muhammadiyah 09
Jakarta periode 2006-2009
vii ABSTRACT
The purpose of this research is to determine the influences of independent commissioners, existence of risk management committee, auditor reputation and concentrated ownership toward Enterprise Risk Management (ERM) implementation in nonfinancial companies listed in Indonesia Stock Exchange from 2009 to 2011. The sampling method in this research is purposive sampling with 123 companies as population and 41 companies as samples. The ERM practice is measured based on ERM index, which considers the eight dimension of ERM by COSO framework.
This research uses multiple regression linear analysis method. The analysis technique used in this research is assumption classic test, the hypothesis F-statistic to test the effect together with the 5% confidence level and using the t-statistics for testing the partial regression coefficient. The result of this research that simultaneously independent commissioners, existence of risk management committee, auditor reputation and concentrated ownership (P = 0.000 < α = 0.05) had significant influence toward the disclosure of enterprise risk management by COSO ERM framework. While partially risk management committee, auditor reputation (P = 0.000 < α = 0.05)and concentrated ownership (P = 0.040 < α = 0.05) had significant influence toward the disclosure of enterprise risk management but independent commissioners (P = 0.855 > α = 0.05) did not have significant influence toward the disclosure of enterprise risk management.
viii ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh komisaris independen, keberadaan komite manajemen risiko, reputasi auditor dan konsentrasi kepemilikan terhadap implementasi manajemen risiko perusahaan (ERM) pada perusahaan nonfinansial yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2009-2011. Penelitian ini menggunakan metode purposive sampling dengan jumlah populasi sebesar 123 perusahaan dan sampel sebesar 41 perusahaan.
Penerapan ERM diukur berdasarkan indeks ERM dengan mempertimbangkan delapan dimensi COSO ERM framework. Teknik analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah uji asumsi klasik, uji hipotesis F-statistik untuk menguji pengaruh secara bersama-sama dengan tingkat kepercayaan 5% serta menggunakan t-statistik untuk menguji koefisien regresi parsial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara simultan komisaris independen, komite manajemen risiko, reputasi auditor dan konsentrasi kepemilikan (P = 0.000 < α = 0.05) berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan ERM dengan COSO ERM framework. Sementara secara parsial komite manajemen risiko, reputasi auditor (P = 0.000 < α = 0.05) dan konsentrasi kepemilikan (P = 0.040 < α = 0.05) berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan ERM, sedangkan komisaris independen (P = 0.855 > α = 0.05) tidak berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan ERM.
ix
KATA PENGANTAR
Al ‘ilmu bilaa ‘amalin kaassyajarin bilaa tsamarin
Alhamdulillaahirabbil’aalamiin. Segala puji dan syukur hanya bagi ALLAH SWT yang telah melimpahkan segala rahmat dan kasih sayang-Nya kepada kita semua karena hanya dengan ridho-Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Komisaris Independen, Komite Manajemen Risiko, Reputasi Auditor dan Konsentrasi Kepemilikan Terhadap Pengungkapan Enterprise Risk Management (ERM) Berdasarkan Dimensi COSO ERM Framework” (Studi Empiris Pada Perusahaan Nonfinansial Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia Periode Tahun 2009-2011) ini. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, selaku uswatun hasanah bagi setiap rangkaian kehidupan kita, beserta para sahabat, keluarga dan pengikutnya.
Dalam penulisan skripsi ini penulis tidak lepas dari berbagai hambatan dan rintangan, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang tulus kepada semua pihak yang telah membantu baik moril maupun materi dalam penyusunan skripsi ini kepada:
1. Keluargaku tercinta, Ayahanda dan Ibunda, Suparman dan Mariana, serta
adik-adikku, Lina, Tantri, Riffa dan Fattah, atas do’a, dukungan, kesabaran dan keikhlasan yang tidak henti-hentinya. Semoga kita dapat menjadi anak yang menjalani harapan setiap kedua orang tua yang ada di dunia ini. Amiiin. 2. Bapak Prof. Dr. Abdul Hamid, MS selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
x
4. Ibu Atiqah, SE, Ak, M.Si selaku Dosen Pembimbing II atas waktu yang telah
diluangkan untuk ilmu, bantuan dan motivasinya selama penyusunan skripsi ini
5. Ibu Dr. Rini, SE, Ak., M.Si selaku Ketua Jurusan Akuntansi Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 6. Bapak Hepy Prayudiawan, SE, Ak., MM selaku Sekretaris Jurusan Akuntansi
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus Dosen Penguji komprehensif penulis.
7. Ibu Rahmawati, SE., MM. selaku Dosen Penguji komprehensif penulis. 8. Bapak Yoghi Citra Pratama, M.Si. selaku Dosen Penguji komprehensif
penulis.
9. Bapak Ady Cahyadi, SE. selaku Dosen Pembimbing Akademik
10. Para Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis yang telah memberikan ilmu dan perhatiannya kepada para mahasiswanya tidak terkecuali penulis
11. Seluruh Staff Bagian Keuangan, Akademik, Jurusan dan Fakultas atas pelayanannya selama ini
12. Kawan-kawan Akuntansi E dan Audit B ’09
Semoga ALLAH SWT membalas semua kebaikan mereka serta ilmu, amal dan iman yang kita miliki dapat diterima di sisi-Nya. Akhirnya, dengan segala kerendahan hati, penulis mempersembahkan skripsi ini kelak dapat bermanfaat kepada semua pihak yang berkepentingan. Semoga ALLAH SWT senantiasa mengiringi setiap langkah kita. Amiiin yaa rabbal ‘aalamiin.
Jakarta, 8 Juli 2013
xi DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan Skripsi ... ii
Lembar Pengesahan Ujian Komprehensif ... iii
Lembar Pengesahan Ujian Skripsi ... iv
Surat Pernyataan Keaslian Skripsi ... v
Daftar Riwayat Hidup ... vi
Abstract ... vii
Abstrak ... viii
Kata Pengantar ... ix
Daftar Isi ... xi
Daftar Tabel ... xv
Daftar Gambar ... xvi
Daftar Lampiran ... xvii
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 19
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 20
1. Tujuan Penelitian ... 20
2. Manfaat Penelitian ... 20
a. Bagi Ilmu Pengetahuan ... 20
b. Bagi Perusahaan ... 21
c. Bagi Bagi Akuntan Publik ... 21
xii
e. Bagi Regulator…….. ………. 21
BABII. TINJAUAN PUSTAKA…..………...………... 22
A. TinjauanLiteratur…...……………...……… 22
1. Agency Theory (TeoriKeagenan).……..…………...……….. 22
2. Signalling Theory….………..….….…...………... 26
3.Risiko (Risk)………….…..……….………... 27
4. Enterprise Risk Management (ERM)………….…...………. 28
5. ERM Framework……….. 31
6.Mekanisme Corporate Governance..……….. 35
7. Komisaris Independen………. 41
8. Risk Management Committee……….... 43
9. Reputasi Auditor ………. 36
10. Struktur Kepemilikan………. 46
11. Konsentrasi Kepemilikan……… 48
B. Keterkaitan Antar Variabel dan Perumusan Hipotesis…... 56
1. Komisaris Independen dengan Pengungkapan ERM... 56
2. Risk Management Committee (RMC) dengan Pengungkapan ERM……….…... 58
3. Reputasi Auditor dengan Pengungkapan ERM……… 59
4.Konsentrasi Kepemilikan dengan Pengungkapan ERM... 60
xiii
C. Hasil-hasil Penelitian Terdahulu...………...………… 61
D. Kerangka Pemikiran…….……….……..………... 69
BABIII. METODOLOGI PENELITIAN.……….………... 70
A. Ruang Lingkup Penelitian………... 70
B. Metode Penentuan Sampel…...………... 70
C. Metode Pengumpulan Data…..………. 71
D. Metode Analisis Data.………... 72
1. Analisis Stasistik Deskriptif……..………... 73
2. Uji Asumsi Klasik…….………... 74
a. Uji Normalitas Data……….….…… 74
b. Uji Multikolonieritas……….……….…….. 77
c. Uji Heteroskedastisitas…………..………….…………. 78
d. Uji Autokorelasi ...……….…...……….…... 79
3. Analisis Regresi Berganda………...……...…… 81
4. Koefisien Determinasi………. 82
5. Pengujian Hipotesis………... 84
a. Pengujian secara Simultan (Uji F)……… 84
b. Pengujian secara Parsial (Uji t)..……….. 84
E. Operasional Variabel Penelitian……….……... 85
1. Variabel Dependen…..……….... 85
a. Pengungkapan ERM…………..………..…. 85
2. Variabel Independen………...……….……... 87
a. Komisaris Independen………..… 87
xiv
c. Reputasi Auditor………..………...………..…. 88
d. KonsentrasiKepemilikan………...…..…. 89
BAB IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN………...……….. 93
A. Gambaran Umum Objek Penelitian…………...…………..… 93
B. Hasil Analisis dan Pembahasan……… 95
1. Statistik Deskriptif……….... 95
2. Uji Asumsi Klasik………... 100
a. Uji Normalitas...………...……… 100
b. Uji Multikolonieritas……….... 105
c. Uji Heteroskedastisitas..………..………... 106
d. Uji Autokorelasi………..……. 108
3. Koefisien Determinasi.………. 110
4. Pengujian Hipotesis….………. 111
a. Pengujian secara Simultan (Uji F)..……….. 112
b. Pengujian secara Parsial (Uji t)……… 113
BAB V. PENUTUP………. 122
A. Kesimpulan………..…….... 122
B. Implikasi………...………... 123
C. Saran………... 125
DAFTAR PUSTAKA…………...……….….. 127
xv
DAFTAR TABEL
Nomor Keterangan Halaman
2.1 Penelitian Terdahulu 65
3.1 Definisi Operasional Variabel dan Indikatornya 91
4.1 Rincian Sampel Penelitian 93
4.2 Daftar Nama Perusahaan 94
4.3 Hasil Statistik Deskriptif 96
4.4 Daftar Perusahaan dengan RMC terpisah dari komite audit 99
4.5 Hasil Uji Skewnessdan Kurtosis 101
4.6 Uji Normalitas : Nilai Kolmogrov Smirnov 103
4.7 Uji Multikolinieritas 106
4.8 Uji Autokorelasi 108
4.9 Uji Autokorelasi Run Test 109
4.10 Uji Goodness of Fit 110
4.11 Uji Simultan (F test) 112
xvi
DAFTAR GAMBAR
Nomor Keterangan Halaman
2.1 Operasionalisasi kerangka kerja dan proses manajemen risiko 30
2.2 Infrastruktur Manajemen Risiko 31
2.3 COSO ERM Framework 32
2.4 Kerangka Pemikiran 69
4.1 Uji Normalitas: Grafik Normal Plot 104
4.2 Uji Normalitas: Grafik Histogram 104
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Keterangan Halaman
1. Dimensi Pengungkapan ERM 134
2. Data Sampel Penelitian 140
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Isu mengenai risk management berkembang dengan pesat seiring dengan
meningkatnya jumlah perusahaan yang mulai mengungkapkan keberadaan
Risk Management Committee sebagai salah satu bentuk nyata adanya
Enterprise Risk Management. Tetapi di lain pihak, banyak perusahaan yang
belum mengetahui pentingnya manajemen risiko perusahaan. Manajemen
risiko perusahaan atau Enterprise Risk Management (ERM) merupakan suatu
strategi yang digunakan untuk mengevaluasi dan mengelola semua risiko
dalam perusahaan. Pendekatan terhadap pengelolaan risiko organisasi sering
disebut dengan manajemen risiko.
Manajemen risiko adalah salah satu disiplin yang menjadi popular
menjelang akhir abad ke dua puluh. Disiplin ini mengajak untuk secara logis,
konsisten dan sistematis melakukan pendekatan terhadap ketidakpastian masa
depan, sehingga memungkinkan kita untuk secara lebih hati-hati (prudent) dan
produktif menghindari hal-hal yang tidak berguna karena membuang sumber
daya secara tidak perlu dan mencegah hal-hal yang merugikan atau bahkan
meraup dan mengejar hal-hal yang bermanfaat. Ini semua dilakukan lebih dari
sekedar berdasarkan keyakinan dan keberuntungan, karena dalam mengelola
masa depan, kita harus mulai dengan mempelajari kemungkinan terjadinya
2 (consequences). Hal ini ditunjang dengan kemampuan untuk mempelajari dan
lebih memahami apa yang menjadi penyebab terjadinya peristiwa (source of
risk) tersebut. Karena bila dasarnya hanya keberuntungan, maka manajemen
risiko menjadi tidak ada artinya, dan bahkan mengaburkan suatu kebenaran
dan sekaligus memisahkan makna penyebab dari suatu peristiwa (Komite
Nasional Kebijakan Governance, 2011).
Krisis keuangan global pada tahun 2008 menimbulkan banyak
perdebatan mengenai pentingnya good corporate governance. Kegagalan
dalam penerapan good corporate governance telah dibahas dalam Sarbanes
Oxley Act yang selanjutnya menekankan pentingnya penerapan manajemen
risiko dalam perusahaan untuk mencegah terjadinya kecurangan pelaporan
keuangan. Penerapan manajemen risiko tersebut erat kaitannya dengan
pelaksanaan good corporate governance, yaitu prinsip transparansi yang
menuntut diterapkannya enterprise-wide risk management.
Beasley (2007) dalam Andarini dan Indira (2010) mengemukakan
bahwa lingkungan perusahaan yang berkembang pesat juga mengakibatkan
makin kompleksnya risiko bisnis yang harus dihadapi perusahaan. Berbagai
profil risiko yang dihadapi perusahaan saat ini berbeda dengan profil risiko
pada dekade sebelumnya. Perubahan teknologi, globalisasi dan perkembangan
transaksi bisnis seperti hedging dan derivative menyebabkan makin tingginya
tantangan yang dihadapi perusahaan dalam mengelola risiko yang harus
dihadapinya. Akibatnya, untuk menghadapi segala tantangan tersebut,
3 suatu keharusan bagi perusahaan. Apabila dilaksanakan dengan efektif, sistem
manajemen risiko dapat menjadi sebuah kekuatan bagi pelaksanaan good
corporate governance.
Menurut Handayani dkk. (2006) dalam Restuningdiah (2010)
mekanisme corporate governance dapat mengawasi manajemen dan
pengambil keputusan, sehingga memudahkan untuk memaksimalkan nilai
perusahaan. Corporate Governance merupakan konsep yang didasarkan pada
teori keagenan dan diharapkan dapat berfungsi sebagai alat untuk memberikan
keyakinan kepada para investor bahwa mereka akan menerima return atas
dana yang telah mereka investasikan. GCG digunakan sebagai sistem dan
struktur yang mengatur hubungan antara manajemen dengan pemilik baik
mayoritas maupun minoritas suatu perusahaan dengan kata lain sebagai
bentuk perlindungan investor adanya perbedaan kepentingan pemegang saham
(principle) dengan pihak manajemen (agent). Penerapan corporate
governance menuntut adanya perlindungan yang kuat terhadap hak-hak
pemegang saham terutama pemegang saham minoritas.
Beberapa hal yang yang terkait dengan mekanisme corporate
governance adalah kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, peran
dewan komisaris (jumlah dewan komisaris serta independensi dewan
komisaris). Dechow, et al., (1996) dan Beasley (1996) menemukan hubungan
yang signifikan antara peran dewan komisaris dengan pelaporan keuangan.
4 mempengaruhi kemampuan mereka dalam memonitor proses pelaporan
keuangan.
Menurut Peasnell, et al.,(2005) dalam Restuningdiah (2010), dewan
komisaris dipercaya dapat memegang peranan penting dalam corporate
governance, terutama dalam memonitor manajemen puncak. Davidson, et al.,
(2005) dalam Restuningdiah (2010) menyatakan bahwa governance yang kuat
merupakan keseimbangan antara kinerja perusahaan dengan tingkat
pengawasan (level of monitoring) yang cukup. Beberapa hal yang terkait
dengan monitoring melalui mekanisme internal governance adalah dewan
komisaris independen, komite audit, fungsi audit internal dan pemilihan audit
eksternal.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kandungan informasi dalam
laporan keuangan menjadi salah satu isu penting dalam pasar modal
(Subiyantoro, 2006). Pasar modal yang efisien harus dapat memberikan
perlindungan kepada investor publik dari praktik bisnis yang tidak sehat (Suta,
2000). Perlindungan kepada investor publik dapat berupa pemberian informasi
dan fakta-fakta yang relevan mengenai perusahaan yang diatur melalui
peraturan pemerintah. Peraturan mengenai praktik pengungkapan informasi
perusahaan di Indonesia, khususnya yang bersifat wajib diatur oleh Bapepam
dan lembaga profesi. Selanjutnya, perusahaan dapat juga memberikan
pengungkapan yang bersifat sukarela (voluntary) sebagai tambahan
5 Pengungkapan laporan keuangan dapat mengurangi masalah keagenan
dengan cara menjembatani asimetri informasi yang terjadi antara manajemen
dengan pemegang saham. Banyaknya indikator yang diungkapkan dalam
laporan keuangan mampu meningkatkan nilai perusahaan. Perusahaan yang
telah mengungkapkan manajemen risiko dalam laporan tahunan perusahaan
memberikan sinyal positif bagi stakeholders bahwa perusahaan telah
menerapkan manajemen risiko sebagai salah satu aspek penting dalam tata
kelola perusahaan. Pandangan ini menunjukkan luas pengungkapan
perusahaan erat kaitannya dengan mekanisme untuk mengurangi asimetri
informasi guna menekan konflik kepentingan yang muncul akibat adanya
pemisahan kepemilikan dengan pengelolaan (Meliana Benardi, dkk., 2009).
Aspek pengawasan (monitoring) merupakan kunci penting demi
berjalannya sistem manajemen risiko perusahaan yang efektif. Dewan
komisaris berperan dalam mengawasi penerapan manajemen risiko untuk
memastikan perusahaan memiliki program manajemen risiko yang efektif
(Krus dan Orowitz, 2009) dalam Andarini dan Januarti (2010). Untuk
meringankan beban tanggung jawabnya yang begitu luas, dewan komisaris
dapat mendelegasikan tugas pengawasan risiko kepada komite pengawas
manajemen. Komite tersebut diharapkan dapat mendiskusikan kebijakan dan
panduan untuk mengatur proses manajemen risiko perusahaan (Krus dan
Orowitz, 2009). Menurut Subramaniam, et al., (2009) dalam Andarini dan
Januarti (2010), komite pengawas manajemen bisa merupakan komite audit
6 demikian tanggung jawab utama dari pengawasan manajemen risiko tetap di
tangan dewan komisaris secara penuh. Beberapa perusahaan masih
mendelegasikan tugas pengawasan risiko kepada komite auditnya (Beasley,
2007; Bates dan Leclerc, 2009; Krus dan Orowitz, 2009; COSO, 2009).
Namun, luasnya tanggung jawab dan tugas komite audit yang semakin berat
semakin menimbulkan keraguan mengenai kemampuannya untuk berfungsi
secara efektif (Harrison, 1987; Bates dan Leclerc, 2009). Tugas pengawasan
manajemen risiko membutuhkan pemahaman yang cukup mengenai struktur
dan operasi perusahaan secara keseluruhan beserta risiko-risiko yang terkait,
seperti risiko produk, risiko teknologi, risiko kredit, risiko peraturan, dan
sebagainya (Bates dan Leclerc, 2009). Alasan inilah yang menjadi landasan
beberapa perusahaan untuk menerapkan fungsi pengawasan tersebut pada
suatu komite pengawas manajemen yang terpisah dari audit dan berdiri
sendiri, yang secara khusus menangani peran pengawasan dan manajemen
risiko perusahaan, atau disebut dengan risk management committee (RMC).
Di Indonesia sendiri, perkembangan RMC mulai meningkat. Pemerintah
mulai memandatkan pembentukan RMC sebagai komite pengawas risiko pada
industri perbankan. Tetapi, berbeda dari industri perbankan dan finansial yang
diregulasi secara ketat, pembentukan RMC pada sektor industri lainnya di
Indonesia masih bersifat sukarela. Dalam sektor perbankan, istilah RMC
disebut sebagai Komite Pemantau Risiko melalui Peraturan Bank Indonesia
No.8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi
7 Aspek lain yang turut mendukung efektivitas penerapan manajemen
risiko perusahaan adalah auditor eksternal. Kualitas audit yang baik biasanya
berasal dari auditor skala besar. Auditor skala besar adalah auditor yang
bekerja sama dengan auditor internasional/luar negeri. Auditor skala besar
memiliki insentif lebih untuk mendeteksi dan melaporkan masalah kliennya
dan lebih memungkinkan mendeteksi praktik-praktik akuntansi yang masih
meragukan. Oleh karena itu, kualitas auditor dapat menjadi indikator yang
baik untuk meningkatkan nilai perusahaan. Auditor skala besar diyakini
mampu bekerja lebih profesional dan dapat mendeteksi adanya risiko-risiko
bisnis yang mungkin terjadi. Auditor yang berafiliasi dengan auditor
internasional juga memiliki reputasi yang lebih baik sehingga diharapkan
mampu mengurangi asimetri informasi.
Pemegang saham pengendali juga merupakan salah satu mekanisme tata
kelola internal jika terdapat satu atau lebih pemegang saham besar dalam
perusahaan. Desender (2010) berpendapat bahwa mungkin ada pengaruh
substitusi atau komplementer antara dimensi struktur kepemilikan (konsentrasi
/dispersi) dan dewan direksi dalam hal pemantauan manajerial. Pada struktur
kepemilikan yang lebih terkonsentrasi, investor besar memiliki insentif untuk
mengumpulkan informasi dan memantau manajemen secara langsung
(Shleifer dan Vishny, 1997), sehingga mereka tidak bergantung pada dewan
untuk masalah pemantauan. Selain itu, investor besar mampu memantau
kemampuan dewan, karena mereka memiliki akses informasi dan nilai yang
8 dalam menetapkan kebijakan perusahaan (Davies, 2002), memiliki beberapa
kemampuan untuk mempengaruhi voting dan mungkin mendapat perhatian
khusus dari manajemen (Useem, 1996). Oleh karena itu, pemegang saham
pengendali dapat memantau ketidaksinambungan manajerial yang terjadi
dalam perusahaan (Desender, 2010).
Isu mengenai ERM menjadi perdebatan banyak pihak terutama setelah
adanya krisis finansial global yang melanda Amerika Serikat pada tahun 2008.
Krisis ekonomi yang melanda Amerika Serikat terjadi akibat macetnya kredit
properti (subprime mortgage), sejenis kredit kepemilikan rumah (KPR) di
Indonesia. Hal tersebut diikuti dengan bangkrutnya lembaga-lembaga
keuangan di Amerika Serikat. Sebelum krisis, Alan Greenspan, selaku Ketua
The Fed, bank sentral Amerika Serikat, menerapkan suku bunga rendah pada
kisaran 1 hingga 2 persen. Yang menjadi masalah, lembaga keuangan pemberi
kredit pemilikan rumah (KPR) di Negeri Paman Sam itu banyak menyalurkan
kredit kepada penduduk yang sebenarnya tidak layak untuk mendapatkan
pembiayaan (Depkominfo, 2008:2).
Para lembaga penyalur kredit properti bersaing untuk mendapat
konsumen melalui penawaran produk kredit properti yang cukup bervariasi
tanpa mengenal secara mendalam karakteristik risiko serta melunakkan
ketentuan mendapatkan kredit properti. Di sisi lain, ketika kredit perumahan
disekuritisasi menjadi produk instrumen investasi derivatif bertingkat, maka
gelembung likuiditas makin besar. Produk sekuritas juga diperjualbelikan
9 turut mempengaruhi banyak lembaga keuangan dari berbagai penjuru dunia
(Depkominfo, 2008:4).
Kemudahan pemberian kredit terjadi justru ketika harga properti di AS
sedang naik. Pasar properti yang bergairah membuat spekulasi di sektor ini
meningkat. Kredit properti memberi suku bunga tetap selama tiga tahun yang
membuat banyak orang membeli rumah dan berharap bisa menjual dalam tiga
tahun sebelum suku bunga disesuaikan. Sementara, untuk memberikan kredit,
lembaga-lembaga itu umumnya meminjam dana jangka pendek dari pihak
lain, termasuk lembaga keuangan. Perusahaan pembiayaan kredit rumah juga
menjual surat utang (mirip subprime mortgage securities) kepada
lembaga-lembaga investasi dan investor di berbagai negara. Beberapa perusahaan
pembiayaan kredit rumah, seperti Fannie Mae & Freddie Mac mendapatkan
dana dengan menjual surat utang ke bank komersial, bank devisa, atau
perusahaan asuransi, diantaranya Lehman Brothers atau AIG (Depkominfo,
2008:2).
Pada tanggal 14 September 2008, Lehman Brothers, bank investasi
terbesar ke-4 di Amerika Serikat mengumumkan kebangkrutannya akibat
krisis solvabilitas/permodalan. Lehman Brothers yang telah berumur 158
tahun dan mampu bertahan dari beberapa krisis sebelumnya termasuk The
Great Depression, mengalami kesulitan menambah modal guna menutup
kerugian terkait eksposurnya terhadap unsecured debt termasuk subprime
mortgage di AS. Jatuhnya Lehman Brothers secara sederhana disebabkan oleh
10 perbankan menolak untuk melakukan transaksi dengan Lehman Brothers.
Penyebab jatuhnya Lehman Brothers hampir sama dengan yang menimpa
Nothern Rock di Inggris. Lehman Brothers yang merupakan salah satu bank
investasi terbesar di AS memiliki bisnis trading yang sangat kompleks,
memiliki eksposur sekuritas yang berisiko tinggi seperti sekuritas berbasis
kredit properti subprime dan segala produk turunannya.
Bangkrutnya Lehman Brothers pada awal September 2008 ditandai
oleh kondisi keuangan dengan utang yang mencapai sekitar 613 miliar dolar
AS dengan kreditur utama Mizuho Bank dan Citigroup HongKong. Untuk
meredam kepanikan investor, Lehman Brothers berusaha mengumumkan lebih
awal laporan keuangan triwulan III-2008 yang mencatat kerugian sekitar 3,9
miliar dolar AS dan akan menjual 55% aset unit pengelolaan investasi, serta
divestasi 25-30 miliar dolar AS kepemilikannya pada real estate komersial.
Namun upaya tersebut tidak berhasil, harga saham Lehman Brothers telah
jatuh hingga dinilai sebesar 29 sen dolar AS per lembar.
Lehman Brothers mengajukan petisi bangkrut kepada US Bankcruptcy
Court setelah upaya penyelamatan bank investasi yang berumur 158 tahun
tersebut gagal. Kebangkrutan Lehman menyebabkan sekitar 5000 tenaga kerja
di PHK. Kejatuhan Lehman ini juga memicu lonjakan persepsi risiko di pasar
keuangan global sehingga krisis kepercayaan antar pelaku pasar keuangan
memuncak dan likuiditas sulit diperoleh. Hal tersebut kembali memicu
11 menekan stabilitas nilai tukar dan pasar keuangan global (Bank Indonesia,
2009).
Kondisi keuangan global menghadapi tekanan yang berat disusul
dengan krisis keuangan Eropa setelah krisis keuangan Amerika Serikat pada
tahun 2008. Krisis keuangan Eropa berawal dari defisit anggaran pemerintah
yang semakin besar di negara-negara kawasan Eropa terutama negara-negara
lapisan pertama yaitu Yunani, Irlandia, dan Portugal. Sementara itu
melebarnya defisit anggaran pemerintah dibarengi dengan rasio hutang per
PDB yang menyebabkan kemampuan memperoleh pembiayaan defisit
terbatas. Tidak berfungsinya kebijakan moneter dalam kawasan Eropa,
terbatasnya ruang gerak fiskal, serta tidak terlihatnya upaya pemulihan,
mendorong perlambatan bahkan penurunan perekonomian pada beberapa
negara kawasan Eropa (Bappenas, 2011).
Krisis keuangan Eropa dikhawatirkan dapat melebar tidak hanya di
kawasan Eropa bahkan global. Proses perambatan krisis keuangan Eropa
diperkirakan bersumber dari sistem perbankan yang saling terkait dan
kompleks didalam kawasan Eropa maupun dengan luar kawasan Eropa seperti
Amerika dan Jepang. Dengan demikian, pada saat satu negara pada lapisan
pertama (Yunani, Irlandia, Portugal) mengalami default, maka akan
mempengaruhi perbankan negara lain terutama Perancis. Krisis global tidak
berpengaruh besar terhadap jalur perdagangan langsung (direct trade) antara
Indonesia dengan Eropa maupun dengan Amerika Serikat. Tetapi, jalur
12 Amerika akan terpengaruh melalui China. China yang merupakan importir
terbesar barang Indonesia diperkirakan akan mengurangi impornya
disebabkan permintaan negara-negara maju menurun terhadap barang China.
Dalam jangka waktu yang lebih panjang (menengah panjang), krisis global
diperkirakan akan memberi dampak yang besar pada sektor riil terutama
perdagangan terkait perlambatan perekonomian dunia terutama pada
negara-negara maju (Bappenas, 2011).
Beberapa risiko yang berpotensi muncul akibat melemahnya
perekonomian Amerika Serikat dan Uni Eropa adalah pelemahan permintaan
dari AS dan Uni Eropa, perebutan pasar perdagangan ke Asia, serta upaya
melakukan global rebalancing. Pelemahan permintaan dari negara Amerika
Serikat dan Uni Eropa akan berpotensi menurunkan ekspor Indonesia ke
kedua negara tersebut. Amerika Serikat dan Uni Eropa (terutama: Belanda,
Jerman, dan Inggris) merupakan mitra dagang utama Indonesia, dimana
pangsa pasar ekspor nonmigas ke kedua negara ini terlihat dalam trend yang
menurun dengan indeks intensitas perdagangan (trend intensity index) yang
tidak terlalu tinggi. Salah satu alternatif dari proses penyeimbangan global
(global rebalancing) adalah Amerika harus meningkatkan ekspornya (untuk
mengurangi defisit) dan negara-negara berkembang (seperti: China dan negara
Asia lainnya) harus mengurangi ekspornya. Proses ini tentunya akan
memberikan risiko terhadap penurunan kinerja ekspor Indonesia, terutama
karena Indonesia merupakan salah satu supplier bahan baku/bahan mentah ke
13 Kisah Lehman Brothers dan krisis finansial global yang melanda
Amerika Serikat dan Eropa memberikan pelajaran penting bagi semua institusi
keuangan untuk menjaga keseimbangan dalam pengelolaan risiko dan upaya
memaksimalkan keuntungan. Dalam hal pengelolaan aset, menjadi penting
untuk mendiversifikasikan jenis penempatan sehingga potensi risiko tidak
terkonsentrasi pada suatu jenis penempatan (Bank Indonesia, 2008).
Sementara itu, Lehman Brothers merupakan salah satu dari sekian
banyak perusahaan yang mengalami krisis finansial pada tahun 2008. Dengan
adanya krisis finansial tahun 2008, perusahaan di seluruh dunia menjadi lebih
menyadari pentingnya penerapan Enterprise Risk Management untuk
mewujudkan tata kelola perusahaan yang baik dan menjaga kesinambungan
(going concern) perusahaan, karena ERM diyakini memiliki peran penting
dalam efektivitas penerapan good corporate governance sebagai tata kelola
internal perusahaan. Selain itu, menjadi penting bagi perusahaan untuk lebih
mempertimbangkan situasi dan kondisi eksternal perusahaan selain tata kelola
internal yang baik.
Peristiwa yang dialami oleh Lehman Brothers memberikan bukti
bahwa perusahaan besar yang memiliki tata kelola internal perusahaan yang
baik dan mampu bertahan dari gejolak perekonomian dunia, belum menjadi
jaminan sepenuhnya bahwa perusahaan telah menerapkan manajemen risiko
untuk mengelola eksposur risiko yang mungkin terjadi. Pada era globalisasi
14 kompleks, tidak hanya risiko yang berasal dari internal perusahaan, tetapi juga
risiko yang berasal dari eksternal perusahaan.
Krisis keuangan global menyadarkan perusahaan dan lembaga
keuangan di seluruh dunia untuk lebih berhati-hati dalam mengelola risiko
keuangan, seperti risiko kredit, risiko mata uang asing, risiko tingkat suku
bunga, risiko likuiditas, risiko harga pasar dan risiko harga lainnya. Hal ini
juga tidak terkecuali bagi perusahaan-perusahaan non finansial, karena
perusahaan non finansial selain memiliki eksposur risiko yang tinggi terkait
keuangan tetapi juga risiko yang terkait dengan operasional perusahaan seperti
risiko reputasi; risiko persaingan usaha; risiko katastropik (bencana alam);
risiko harga komoditas; risiko produk; risiko biaya modal; risiko hukum dan
regulasi; risiko lingkungan sosial, politik dan budaya; serta risiko informasi
dan teknologi.
Mencermati hal di atas bahwa perusahaan non finansial juga memiliki
eksposur risiko yang tinggi terkait operasional perusahaan selain risiko
keuangan, membuat peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana penerapan
manajemen risiko pada perusahaan non finansial melalui pengungkapan pada
laporan tahunan perusahaan. Mengingat saat ini di Indonesia, pengungkapan
manajemen risiko hanya diwajibkan bagi perusahaan perbankan dan lembaga
keuangan, sedangkan bagi perusahaan non finansial masih bersifat voluntary
(sukarela).
Penelitian sebelumnya mengenai faktor-faktor yang berpengaruh pada
15 konsisten. Kleffner et al. (2003) menemukan bahwa adanya Chief Risk
Officer, jumlah dewan direksi, dan kepatuhan atas pedoman yang dikeluarkan
bursa efek merupakan kunci sukses penerapan ERM. Hasil penelitian Beasley
et al,. (2005) dan Desender (2007) menunjukkan bahwa keberadaan Chief Risk
Officer, komisaris independen, tipe auditor dan ukuran perusahaan
berpengaruh pada tingkat pengungkapan ERM. Penelitian lain juga
menunjukkan bahwa dewan direksi merupakan pihak yang berperan penting
dalam penerapan ERM (Lam, 2001; Walker et al., 2002).
Selain itu, sebagian besar penelitian terdahulu yang membahas
hubungan karakteristik dewan dan perusahaan terhadap keberadaan komite
hanya berfokus mengenai komite audit (Carson, 2002; Firth dan Rui, 2006;
Chen, et al., 2009), komite nominasi (Carson, 2002 dan Ruigrok, et al., 2006),
dan komite remunerasi (Carson, 2002). Carson (2002) menemukan hasil yang
berbeda pada keberadaan komite audit, komite remunerasi, dan komite
nominasi. Keberadaan komite audit ditemukan berhubungan positif dengan
auditor Big Six dan jumlah hubungan intercorporate komisaris dalam
perusahaan. Komite remunerasi berhubungan positif dengan auditor Big Six,
hubungan intercorporate dan tingkatan yang tinggi dari investasi institusional.
Sementara itu, keberadaan komite nominasi tidak berhubungan dengan auditor
Big Six, komisaris, maupun investor, namun berhubungan dengan ukuran
dewan dan leverage (Carson, 2002).
Penelitian Ruigrok, et al. (2006) menemukan bahwa perusahaan
16 dengan keragaman kebangsaaan dalam perusahaan yang lebih tinggi.
Selanjutnya, Firth dan Rui (2006) menunjukkan bahwa perusahaan dengan
kepemilikan saham terdispersi, proporsi komisaris independen yang lebih
tinggi, dan auditor eksternal non Big Five cenderung untuk mengadopsi
komite audit secara sukarela. Chen, et al. (2009) juga menemukan bahwa
faktor-faktor seperti leverage, ukuran perusahaan, ukuran dewan, proporsi
komisaris independen, dan CEO independen berhubungan positif dengan
pembentukan komite audit secara sukarela. Namun demikian, hasil penelitian
Andarini dan Indira (2010) menunjukkan bahwa komisaris independen,
ukuran dewan komisaris, reputasi auditor, kompleksitas, risiko pelaporan
keuangan dan leverage tidak berpengaruh terhadap keberadaan risk
management committee. Sedangkan ukuran perusahaan berhubungan positif
terhadap keberadaan risk management committee baik yang tergabung dengan
komite audit maupun terpisah dengan komite audit dan berdiri sendiri.
Penelitian mengenai Risk Management Committee oleh Restuningdiah
(2010) yang merupakan kelanjutan dari penelitian Davidson, et al., (2005)
menunjukkan bahwa mekanisme internal governance yang diproksi dengan
dewan komisaris independen, komite audit, fungsi audit internal dan risk
management committee tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. Hal ini
mengindikasikan bahwa mekanisme internal governance yang diharapkan
dapat mengatasi masalah keagenan terkait dengan manajemen laba (income
smoothing) belum merupakan jaminan sepenuhnya bagi perusahaan dalam
17 Penelitian selanjutnya juga mengangkat isu serupa mengenai pengaruh
Corporate Governance dan Konsentrasi Kepemilikan pada Pengungkapan
Enterprise Risk Management oleh Meisaroh dan Lucyanda (2011). Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh komisaris independen, ukuran
dewan komisaris, keberadaan RMC, reputasi auditor dan konsentrasi
kepemilikan dengan pengungkapan ERM yang diukur melalui dimensi COSO
ERM Framework dengan kriteria 108 pengungkapan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa komisaris independen dan ukuran dewan komisaris tidak
berpengaruh pada pengungkapan ERM. Sementara itu, keberadaan RMC,
reputasi auditor dan konsentrasi kepemilikan berpengaruh terhadap
pengungkapan ERM.
Penelitian mengenai ERM belum banyak dilakukan meskipun
perkembangan ERM telah berkembang pesat. Oleh karena itu, penelitian
mengenai ERM sangat menarik untuk dilakukan mengingat ERM merupakan
isu yang masih baru. Selain itu implementasi ERM erat kaitannya dengan
penerapan good corporate governance. Hal ini karena aspek pengawasan yang
dilakukan dewan komisaris, komite pengawas manajemen risiko, eksternal
auditor dan kepemilikan yang terkonsentrasi merupakan kunci penting
terlaksananya sistem manajemen risiko yang efektif.
Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari penelitian sebelumnya
yang mereplikasi variabel pengungkapan Enterprise Risk Management
18 Untuk membedakannya dengan penelitian sebelumnya, maka peneliti
melakukan beberapa perubahan diantaranya adalah:
1. Penelitian ini tidak mengikutsertakan variabel ukuran dewan komisaris
dalam penelitian Meisaroh dan Lucyanda (2011), karena variabel
komisaris independen yang menggunakan proksi proporsi komisaris
independen terhadap jumlah keseluruhan dewan komisaris telah
mencerminkan ukuran dewan komisaris seluruhnya.
2. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah perusahaan publik
yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) kecuali perusahaan sektor
keuangan pada periode 2009 hingga 2011. Sedangkan populasi yang
digunakan dalam penelitian Meisaroh dan Lucyanda (2011) adalah
perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada
tahun 2009.
3. Variabel Komite Manajemen Risiko dalam penelitian ini diukur dengan
variabel dummy dimana nilai satu diberikan untuk perusahaan yang
memiliki komite manajemen risiko terpisah dari komite audit dan berdiri
sendiri, sedangkan pada penelitian Meisaroh dan Lucyanda (2011) nilai
satu diberikan untuk perusahaan dengan komite manajemen risiko.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
karena adanya perbedaan dari beberapa hasil peneliti terdahulu. Maka penulis
19 Management (Dimensi COSO ERM Framework)” (Studi Empiris pada Perusahaan Nonfinancial yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode Tahun 2009-2011)
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dirumuskan di atas bahwa aspek
pengawasan merupakan salah satu kunci berjalannya sistem manajemen risiko
di perusahaan yang efektif dan penerapan enterprise risk management (ERM)
pada perusahaan tidak terlepas dari upaya untuk mewujudkan good corporate
governance, maka rumusan masalah yang hendak dikaji dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Apakah komisaris independen memiliki pengaruh yang signifikan secara
parsial terhadap pengungkapan Enterprise Risk Management (ERM)?
2. Apakah komite manajemen risiko (RMC) yang terpisah dari audit
memiliki pengaruh yang signifikan secara parsial terhadap pengungkapan
Enterprise Risk Management (ERM)?
3. Apakah reputasi auditor memiliki pengaruh yang signifikan secara parsial
terhadap pengungkapan Enterprise Risk Management (ERM)?
4. Apakah konsentrasi kepemilikan memiliki pengaruh yang signifikan
secara parsial terhadap pengungkapan Enterprise Risk Management
(ERM)?
5. Apakah komisaris independen, komite manajemen risiko, reputasi auditor
dan konsentrasi kepemilikan memiliki pengaruh yang signifikan secara
20 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah, penelitian ini bertujuan untuk
menemukan bukti empiris mengenai hal-hal sebagai berikut:
a. Menganalisis besarnya pengaruh komisaris independen secara parsial
terhadappengungkapan Enterprise Risk Management (ERM).
b. Menganalisis besarnya pengaruh keberadaan komite manajemen risiko
(RMC) yang terpisah dari audit secara parsial terhadap pengungkapan
Enterprise Risk Management (ERM).
c. Menganalisis besarnya pengaruh reputasi auditor secara parsial terhadap
pengungkapan Enterprise Risk Management (ERM).
d. Menganalisis besarnya pengaruh konsentrasi kepemilikan secara parsial
terhadap pengungkapan Enterprise Risk Management (ERM).
e. Menganalisis besarnya pengaruh komisaris independen, komite
manajemen risiko (RMC), reputasi auditor dan konsentrasi kepemilikan
secara simultan terhadap pengungkapan Enterprise Risk Management
(ERM).
2. Manfaat Penelitian
Adapun hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat
dan kontribusi sebagai berikut:
a. Bagi perkembangan ilmu pengetahuan
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
21 komisaris independen, komite manajemen risiko, reputasi auditor dan
konsentrasi kepemilikan terhadap pengungkapan ERM.
b. Bagi Manajemen Perusahaan
Dengan adanya penelitian ini diharapkan manajemen perusahaan lebih
transparan dalam mengungkapkan informasi mengenai perusahaan dan
menganalisis arti penting penerapan manajemen risiko oleh perusahaan
serta dalam rangka mewujudkan Good Corporate Governance.
c. Bagi profesi akuntan publik
Dengan adanya penelitian ini diharapkan akuntan publik lebih
memahami tentang penerapan manajemen risiko perusahaan sebagai
bahan pertimbangan dalam menilai efektivitas pengendalian internal
perusahaan dan memberikan opini audit yang sesuai.
d. Bagi Investor dan Analis Pasar Modal
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan
pertimbangan pada saat melakukan investasi dan memberikan kredit
dengan melihat bagaimana penerapan manajemen risiko yang dilakukan
oleh perusahaan.
e. Bagi Regulator (Pembuat Kebijakan)
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan
pertimbangan bagi pembuat regulasi yang berkaitan dengan arti penting
penerapan manajemen risiko bagi perusahaan nonfinancial di Indonesia
mengingat pengungkapan manajemen risiko perusahaan (ERM) masih
22 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Literatur 1. Agency Theory
Agency theory sering digunakan sebagai landasan dalam
penelitian-penelitian sebelumnya mengenai corporate governance, khususnya
tentang keberadaan komite yang diharapkan dapat memitigasi adanya
konflik antara agen dan prinsipal. Hal ini dikarenakan pentingnya aspek
pengawasan (monitoring) demi terwujudnya good corporate governance.
Teori agensi merupakan teori yang mendasari praktik bisnis perusahaan
yang telah dipakai selama ini. Teori ini menyatakan adanya hubungan
kerja antara pihak yang memberi wewenang (prinsipal) dengan pihak yang
menerima wewenang (agen) dalam bentuk sebuah kontrak kerjasama.
Fama dan Jensen (1983) dalam Meisaroh dan Lucyanda (2011)
menyatakan bahwa teori ini adalah serangkaian mekanisme untuk
menyatukan kepentingan pemegang saham dan manajer seperti adanya
mekanisme pengawasan internal oleh dewan komisaris dan komite audit
pengawasan dari pemegang saham mayoritas (Shleifer dan Vishny, 1986),
adanya pengendalian internal (Matsumura dan Tucker, 1992), serta
pengawasan eksternal yang dilakukan eksternal auditor atas laporan
23 diatas dirancang untuk memantau kinerja perusahaan dan diharapkan dapat
menjelaskan konflik keagenan yang terjadi.
Dalam teori agensi, baik principal maupun agent diasumsikan sebagai
orang-orang ekonomi yang rasional dan semata-mata termotivasi oleh
kepentingan pribadinya masing-masing. Dari situasi ini timbullah konflik
kepentingan antara principal dan agent.
Ada beberapa kemungkinan konflik dalam hubungan antara prinsipal
dengan agen (agency conflict), konflik yang timbul sebagai akibat dari
keinginan manajemen (agen) untuk melakukan tindakan yang sesuai
dengan kepentingannya yang dapat mengorbankan kepentingan pemegang
saham (prinsipal) untuk memperoleh return dan nilai jangka panjang
perusahaan. Jensen dan Meckling dalam Larasati (2009) yang berpendapat
bahwa agency conflict timbul pada berbagai hal sebagai berikut:
a. Moral-Hazard
Manajemen memilih investasi yang paling sesuai dengan kemampuan
dirinya dan bukan yang paling menguntungkan bagi perusahaan.
b. Earning Retention
Manajemen cenderung mempertahankan tingkat pendapatan
perusahaan yang stabil, sedangkan pemegang saham lebih menyukai
distribusi kas yang lebih tinggi melalui beberapa peluang investasi
24 c. Risk Aversion
Manajemen cenderung mengambil posisi aman untuk mereka sendiri
dalam mengambil keputusan investasi. Dalam hal ini, mereka akan
mengambil keputusan investasi yang sangat aman dan masih dalam
kemampuan manajer. Mereka akan menghindari keputusan investasi
yang dianggap menambah resiko bagi perusahaannya walaupun
mungkin hal itu bukan pilihan yang terbaik bagi perusahaan.
d. Time Horizon
Alijoyo dan Zaini (2004) dalam Setyarini (2011) menyatakan bahwa
manajemen cenderung hanya memperhatikan cashflow perusahaan
sejalan dengan waktu penugasan mereka. Hal ini dapat menimbulkan
bias dalam pengambilan keputusan yaitu berpihak pada proyek jangka
pendek dengan pengembalian akuntansi yang tinggi dan kurang atau
tidak berpihak pada proyek jangka panjang dengan pengembalian net
present value yang jauh lebih besar.
Masalah lain yang mungkin timbul dari hubungan keagenan ini yaitu
agen memiliki informasi yang lebih banyak dibandingkan dengan
prinsipal, sehingga menimbulkan adanya asimetri informasi yaitu kondisi
ketidakseimbangan perolehan informasi antara pihak manajemen sebagai
penyedia informasi dengan pihak pemegang saham dan stakeholder
sebagai pengguna informasi (Indrayati, 2010). Untuk meredam tindakan
para agent yang tidak sesuai dengan kepentingannya, principal memiliki
25 a. Mengawasi perilaku agent dengan mengadopsi fungsi audit dan
mekanisme corporate governance lain yang dapat meluruskan
kepentingan agent dengan kepentingan principal.
b. Menyediakan insentif kepegawaian yang menarik kepada agent dan
mengadakan struktur reward yang dapat membujuk para agent untuk
bertindak sesuai dengan kepentingan terbaik principal.
Secara umum, keberadaan komite-komite seperti komite audit,
komite nominasi, komite remunerasi, serta komite manajemen risiko.
merupakan mekanisme pengawasan internal di dalam perusahaan dan
keberadaan komite pengawas yang dibentuk oleh dewan komisaris
tersebut menyediakan kualitas pengawasan yang lebih baik dan menuntun
untuk menurunkan perilaku oportunistik yang dilakukan oleh manajer.
Komite-komite yang dibentuk oleh dewan komisaris tersebut diperkirakan
ada dalam situasi dimana biaya agensi tinggi, seperti leverage tinggi serta
kompleksitas dan ukuran perusahaan yang lebih besar (Subramaniam, et
al., 2009).
Firth dan Rui (2006) menyatakan teori agensi juga mengemukakan
bahwa moral hazard yang melekat dalam hubungan prinsipal dan agen
dapat menimbulkan biaya keagenan (agency cost). Komite audit
merupakan salah satu cara untuk mengurangi masalah biaya keagenan ini.
Komite audit yang efektif dapat meningkatkan kualitas dan kredibilitas
26 pekerjaan dewan direksi yang bertugas menjaga dan memajukan
kepentingan para pemegang saham.
2. Signalling Theory
Salah satu teori yang dapat melatarbelakangi masalah asimetri
informasi dalam pasar adalah signalling theory (Kartika, 2009). Teori
sinyal membahas mengenai dorongan perusahaan untuk memberikan
informasi kepada pihak eksternal. Teori sinyal muncul karena adanya
permasalahan asimetri informasi antara pihak manajemen dan pihak
eksternal. Oleh karena itu, untuk mengurangi asimetri informasi yang akan
terjadi perusahaan harus mengungkapkan informasi yang dimiliki, baik
informasi keuangan maupun informasi non keuangan (Setyarini, 2011).
Penggunaan signaling theory dalam praktik pengungkapan
perusahaan, secara umum menguntungkan bagi perusahaan untuk
mengungkapkan praktik corporate governance yang baik, sehingga dapat
menciptakan kualitas perusahaan yang baik dalam pasar (Subramaniam, et
al., 2009). Salah satu bentuk sinyal tentang kualitas perusahaan tersebut
adalah pembentukan komite, yang memberikan informasi bahwa
perusahaan tersebut lebih baik dalam segi pengawasan dibandingkan
dengan perusahaan lain (Andarini dan Indira, 2010).
Berdasarkan signalling theory, walaupun belum ada peraturan yang
memandatkan mengenai penerapan ERM secara khusus, tetapi perusahaan
27 menuju praktik good corporate governance dan dengan harapan dapat
meningkatkan reputasi serta nilai perusahaan.
3. Risiko (Risk)
Sonnidwiharsono (1996) dalam Setyarini (2011) menunjukkan
bahwa dari perspektif kegiatan usaha, pengaruh kegiatan usaha modern
khususnya dalam sektor industri bertambah kompleks. Bertambah
kompleksnya kegiatan usaha ini telah membawa pengaruh pula pada
kebutuhan untuk lebih memperhatikan risiko-risiko yang dihadapi
perusahaan. Menurut ISO Guide 73:2009 definisi 1.1 yang dimaksud
dengan risiko adalah dampak ketidakpastian pada sasaran (Komite
Nasional Kebijakan Governance, 2011).
Dalam konteks keterkaitan risiko dan proses organisasi, maka risiko
adalah sesuatu yang dapat mempengaruhi sasaran organisasi (Komite
Nasional Kebijakan Governance, 2011). Salah satu atribut risiko adalah
ketidakpastian, baik dari sesuatu yang sudah diketahui maupun dari
sesuatu yang belum diketahui. Dengan demikian strategi yang baik
haruslah juga memperhatikan risiko-risiko yang mungkin terjadi dalam
konteks eksternal organisasi maupun konteks internal organisasi dan
melakukan antisipasi perlakuan risiko bila memang risiko tersebut menjadi
kenyataan. Untuk risiko-risiko eksternal perlu diperhatikan antara lain
harapan dari tiap-tiap pemangku kepentingan terhadap organisasi yang bila
tidak dipenuhi akan menimbulkan konflik dan mempengaruhi pencapaian
28 perubahan situasi politik, ekonomi, sosial dan lainnya. Risiko juga dapat
mengakibatkan kehancuran organisasi, karena itu risiko penting untuk
dikelola. Risiko juga diyakini tidak dapat dihindari, oleh karena itu
pemahaman terhadap risiko merupakan suatu langkah untuk menentukan
prioritas strategi dan program dalam pencapaian tujuan organisasi
(Setyarini, 2011).
4. Enterprise Risk Management (ERM)
Manajemen risiko perusahaan merupakan suatu strategi yang
digunakan untuk tetap bertahan dalam lingkungan usaha yang kompetitif.
Pesatnya pertumbuhan ekonomi menjadikan ERM sebagai bagian penting
perusahaan dalam mempertahankan kinerja dan tingkat profitabilitas
perusahaan. Kesadaran yang tinggi terhadap manajemen risiko sebagian
besar sebagai akibat dari beberapa bencana yang dihadapi perusahaan dan
kegagalan bisnis yang tidak diharapkan (Walker, et al., 2009). Oleh karena
itu, setiap perusahaan membutuhkan Entreprise Risk Management (ERM)
untuk mengurangi dan menangani setiap risiko perusahaan yang mungkin
muncul. Elemen yang mendasari ERM, antara lain:
Komitmen Chief Executive Officer (CEO)
Kebijaksanaan risiko dan misi perusahaan
Laporan unit bisnis dan jajaran eksekutif
Pengembangan kerangka kerja (framework) risiko
Pengembangan bahasa risiko yang umum
29 Perangkat untuk memperkirakan risiko
Perangkat untuk melaporkan dan memonitor risiko
Keterkaitan risiko pada pihak-pihak yang sesuai dan bertanggung
jawab
Keterkaitan risiko dengan fungsi keuangan dan pendanaan
Identifikasi risiko dan perkiraan risiko ke strategi perusahaan yang
terintegrasi
Penerapan manajemen risiko juga bertujuan untuk mengidentifikasi
risiko perusahaan pada setiap kegiatan, serta mengukur dan mengatasinya
pada level toleransi tertentu (Meisaroh dan Lucyanda, 2011). Oleh karena
itu, struktur manajemen risiko yang tepat dapat membantu dalam
mengelola risiko bisnis secara lebih efektif dan mengungkapkan hasil
manajemen risiko kepada stakeholders organisasi (Subramaniam et al.,
2009 dalam Setyarini, 2011).
Menurut KNKG (2011), manajemen risiko adalah bagian terpadu
dari proses organisasi, maka proses manajemen risiko merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari manajemen umumnya dan harus masuk menjadi
bagian dari budaya organisasi, praktik terbaik organisasi, dan proses bisnis
organisasi. Dalam Pedoman Manajemen Risiko (KNKG, 2011), proses
manajemen risiko meliputi lima kegiatan, yaitu komunikasi dan konsultasi,
menentukan konteks, asesmen risiko, perlakuan risiko serta monitoring
dan review, sebagaimana ditunjukkan pada gambar 2.1 pada halaman
30 Gambar 2.1
Operasionalisasi kerangka kerja dan proses manajemen risiko
Sumber: diadopsi dari Broadleaf Capital International Pty, Ltd. (2008)
Menurut KNKG (2011), tidak terdapat model atau panduan baku
dalam penyusunan infrastruktur pengelolaan manajemen risiko. Hal yang
terpenting adalah kejelasan akuntabilitas dan tanggung jawab untuk
mendorong pelaksanaan manajemen risiko. Setiap organisasi harus
menyusun infrastruktur organisasi manajemen risiko sesuai dengan
31 infrastruktur manajemen risiko yang lebih tepat diaplikasikan pada
[image:48.595.169.488.213.413.2]organisasi yang cukup besar, dapat dilihat pada gambar 2.2 berikut:
Gambar 2.2
Infrastruktur Manajemen Risiko
Sumber: Pedoman Manajemen Risiko (diadopsi dari berbagai sumber oleh KNKG, 2011)
5. ERM Framework
Pada tahun 2004, COSO (Committee of Sponsoring Organization of
the Treadway Commission) menerbitkan Enterprise Risk
Management-Integrated Framework yang menggambarkan komponen-komponen
penting, prinsip dan konsep dari manajemen risiko perusahaan untuk
seluruh organisasi, tanpa memandang ukurannya. Definisi Enterprise Risk
Management menurut COSO, yaitu:
32 Definisi COSO mengandung makna bahwa ERM sebagai suatu
proses yang dipengaruhi manajemen perusahaan, yang diimplementasikan
dalam setiap strategi perusahaan dan dirancang untuk memberikan
keyakinan memadai agar dapat mencapai tujuan perusahaan. COSO
ERM-Intergrated Framework memberi gambaran secara garis besar sebuah
pendekatan untuk memahami risiko-risiko dan mengatasinya.
COSO ERM Framework terdiri dari delapan komponen yang harus
ada dan berjalan agar dapat dikatakan sebagai ERM efektif yang dapat
dilihat pada gambar 2.3 berikut:
Gambar 2.3 COSO ERM Framework
[image:49.595.220.479.394.656.2]33 a. Internal Environment
Komponen ini mencerminkan selera perusahaan terhadap risiko yang
dapat memberikan gambaran risiko dan pengendalian yang harus
didasari atau diketahui oleh seluruh jajaran perusahaan. Manajemen
bertanggung jawab dalam menetapkan sikap terhadap risiko kepada
seluruh jajaran dalam perusahaan sebagai guidelines. b. Objective Settings
Perusahaan perlu menetapkan tujuan-tujuan strategis secara luas dan
risiko yang dapat diterima. Strategic Objectives mencerminkan pilihan
manajemen mengenai bagaimana perusahaan meningkatkan nilai
perusahaan khususnya bagi pemegang saham. Selanjutnya, perusahaan
harus menetapkan juga risiko yang berkaitan dengan tujuan
perusahaan. Kategori objek tersebut, antara lain:
Strategi: tujuan akhir yang mendukung misi organisasi
Operasi: menggunakan sumber daya secara efektif dan efisien
Laporan Keuangan
Kepatuhan (compliance): sesuai dengan hukum dan regulasi yang
berlaku
c. Events Identification
Mengikuti konsep dari COSO Internal Control, manajemen harus
memiliki proses-proses yang dilakukan untuk mengidentifikasi
kejadian yang mempunyai pengaruh positif maupun negatif terhadap
34 ditoleransi, perusahaan dapat mempertimbangkan kejadian internal
atau eksternal yang dapat menjadi risiko baru atau malah mengurangi
risiko yang ada. Contoh kejadian-kejadian tersebut antara lain
perubahan lingkungan kompetisi dan tren sosial ekonomi.
d. Risk Assessments
Pada saat terdapat suatu kejadian yang merupakan suatu risiko,
manajemen perlu mempertimbangkan bagaimana dampak yang dapat
ditimbulkan dari kejadian tersebut terhadap ERM Objectives
perusahaan yang dilihat dari frekuensi dan seberapa besar pengaruh
kejadian tersebut.
e. Risk Responses
Manajemen harus menetapkan berbagai pilihan tanggapan (response)
terhadap risiko dan mempertimbangkan konsekuensinya melalui
intensitas dan besarnya pengaruh dari kejadian tersebut yang berkaitan
dengan toleransi risiko perusahaan. Tanggapan terhadap risiko yang
dapat dilakukan adalah:
1) Menghindari risiko (avoidance)
2) Mengurangi risiko (reduction)
3) Membagi risiko (sharing)
4) Menerima risiko (acceptance)
Penelaahan terhadap tanggapan atas risiko dan jaminan keyakinan
bahwa beberapa risk responses diambil dan diimplementasikan
35 f. Control Activities
Kebijakan dan prosedur harus ada untuk meyakinkan bahwa tanggapan
terhadap risiko yang memadai telah dilakukan. Control Activities harus
ada pada setiap level dan fungsi dalam perusahaan, termasuk approval,
authorizations, performance review, safety and security issues, dan
segregations of duties yang memadai.
g. Information and Communication
Informasi atas risiko yang berkaitan dengan perusahaan baik yang
berasal dari pihak luar ataupun pihak internal harus diidentifikasi,
diolah, dan dikomunikasikan kepada pihak-pihak yang mempunyai
kaitan dan tanggung jawab. Komunikasi yang efektif harus mengalir
ke seluruh level perusahaan dan juga ke pihak-pihak eksternal seperti
pelanggan, pemasok, pemerintah, maupun pemegang saham.
h. Monitoring
Prosedur yang terus-menerus dilakukan untuk mengawasi program
ERM dan kualitasnya dari waktu ke waktu.
6. Mekanisme Corporate Governance a. Pengertian Corporate Governance
Menurut Cadburry dalam Sutedi (2011), Good Corporate
Governance adalah prinsip yang mengarahkan dan mengendalikan
perusahaan agar mencapai keseimbangan antara kekuatan serta
36 kepada para shareholders khususnya, dan stakeholders pada
umumnya.
Kelompok negara maju Organization for Economic Co-operation
and Development (OECD) dalam Surya dan Yustiavandana (2008),
mendefinisikan Good Corporate Governance adalah:
“Sekumpulan hubungan antara pihak manajemen perusahaan,
board, pemegang saham, dan pihak lain yang mempunyai kepentingan dengan perusahaan. Corporate Governance juga mensyaratkan adanya struktur perangkat untuk mencapai tujuan dan pengawasan atas kinerja. Corporate governance yang baik dapat memberikan rangsangan bagi board dan manajemen untuk mencapai tujuan yang merupakan kepentingan perusahaan dan pemegang saham harus memfasilitasi pengawasan yang efektif sehingga mendorong perusahaan
menggunakan sumber daya dengan lebih efisien”.
Adapun Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor
KEP-177/M-MBU/2002 dalam Surya dan Yustiavandana (2008),
corporate governance adalah:
“Suatu proses dari struktur yang digunakan oleh organ BUMN
untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memerhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan perundangan dan nilai-nilai etika”.
Sedangkan menurut Price Waterhouse Coopers dalam Surya dan
Yustiavandana (2008).
37 Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa Good Corporate
Governance merupakan:
1) Suatu struktur yang mengatur pola hubungan harmonis tentang peran
dewan komisaris, Direksi, Pemegang Saham dan Para Stakeholder
lainnya.
2) Suatu sistem pengecekan dan pertimbangan kewenangan atas
pengendalian perusahaan yang dapat membatasi munculnya dua
peluang: pengelolaan yang salah dan penyalahgunaan aset
perusahaan.
3) Suatu proses yang transparan atas penentuan tujuan perusahaan,
pencapaian, berikut pengukuran kinerjanya.
b. Prinsip-prinsip Corporate Governance
Di Indonesia, dalam Code of Corporate Governance yang
diterbitkan oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG)
2006, terdapat 5 prinsip Corporate Governance (CG) yang harus
diterapkan oleh setiap perusahaan yaitu transparency, accountability,
responsibility, independency dan fairness.
1) Transparency (Transparansi)
Untuk menjaga objektivitas dalam menjalankan bisnisnya,
perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan
dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh para pemangku
kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk
38 peraturan perundang-undangan tetapi juga hal-hal yang penting
dalam pengambilan keputusan bagi pemegang saham, kreditur dan
pemangku kepentingan lainnya.
2) Accountability (Akuntabilitas)
Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara
transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara
benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan
tetap memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku
kepentingan lainnya. Akuntabilitas mer