DAYA TETAS dan MORTALITAS PADA TELUR
BURUNG PUYUH ( Coturnix – coturnix japonica )
SKRIPSI
JOSUA RONI SINAGA 030306018
IPT
DEPARTEMEN PETERNAKAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PENGUJIAN SUPLEMENTASI MINERAL ESENSIAL( Ca, P,
Na dan Cl ) DALAM RANSUM TERHADAP FERTILITAS,
DAYA TETAS dan MORTALITAS PADA TELUR
BURUNG PUYUH ( Coturnix – coturnix japonica )
SKRIPSI
JOSUA RONI SINAGA 030306018
IPT
Skripsi Merupakan Salah Satu Syarat Untuk Mendapatkan Gelar Sarjana di Departemen Peternakan Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara
DEPARTEMEN PETERNAKAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Judul Skripsi : Pengujian Suplementasi Mineral Esensial (Ca, P, Na dan Cl ) Dalam Ransum Terhadap Fertilitas, Daya Tetas dan Mortalitas pada Telur Burung Puyuh
( Coturnix – coturnix japonica )
Nama : Josua Roni Sinaga
Nim : 030306018
Departemen : Peternakan
Disetujui oleh : Komisi Pembimbing
( Ir. Iskandar Sembiring, MM. ) (Prof. Dr. Ir. Zulfikar Siregar, MP.) Ketua Anggota
Mengetahui Oleh :
( Prof. Dr. Ir. Zulfikar Siregar, MP. ) Ketua Departemen
ABSTRACT
Josua Roni Sinaga, 2009.,”The Effect of Minerals Essential Supplementation ( Ca, P, Na and Cl ) to Fertility, Hatchability and Mortality of Quail egg (Coturnix-coturnix japonica)”. Under Supervisor of Mr. Ir. Iskandar
Sembiring, MM. and Mr.Prof.Dr.Ir.Zulfikar Siregar, MP. as Cosupervisor.
This research was conducted at Biological Veterinery Laboratory in the Animal Science Departement of Agriculture Faculty of North Sumatera University, since 29 November 2008 up to 14 April 2009.
The purpose of this research is to test the effect of minerals (acid and alcalies builder) to fertility, hatchability and mortality of quail.
The method of this research is completely randomized design (CRD) with 9 treatment and 3 replications. Each replication consist of four quail. The treatment are: P1=feed without supplementation of minerals essential, P2=ration with 37.5g CaCO3 and 0.00035g Na2CO3, P3= ration with 75 CaCO3 and 0.00070g Na2CO3,
P4= ration with 10g (NH4)3PO4 and 0.00015g NH4Cl, P5= ration with 20g
(NH4)3PO4 and 0.00030g NH4Cl, P6= ration had washed by acid with 37.5g CaCO3
and 0.00035g Na2CO3, P7= ration had washed by acid with 75g CaCO3 and
0.00070g Na2CO3, P8= ration had washed by acid with 10g (NH4)3PO4 and
0.00015g NH4Cl, P9= ration had washed by acid with 20g (NH4)3PO4 and
0.00030g NH4Cl.
The result of this research indicated that the average of Fertility (%) is 86.67 with the highest fertility on P2 about 96.67 and the lowest on P1 was 80.00. The average of Hatchability (%) is 71.07 with the highest hatcability on P4 about 86.30 and the lowest one on P7 for 60.71. The average of Mortality (%) is 28.92 with the highest mortality on P7 about 39.29 and the lowest one on P4 for 13.70.
The conclution that the supplementation of minerals essential which is alcalies builder (Ca and Na) and minerals which is acid builder (P and Cl) is not influence to fertility, hatchability and mortality of qua il ( Coturnix-coturnix
ABSTRAK
Josua Roni Sinaga, 2009., “Pengujian Suplementasi Mineral Esensial (
Ca, P, Na dan Cl ) Dalam Ransum Terhadap Fertilitas, Daya Tetas dan Mortalitas pada telur Burung Puyuh (Coturnix-coturnix japonica)”. Dibimbing
oleh Bapak Ir. Iskandar Sembiring, MM. sebagai dosen pembimbing I dan Bapak Prof.Dr.Ir.Zulfikar Siregar, MP. sebagai dosen pembimbing II.
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biologi Ternak Departemen Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan mulai 29 November 2008 sampai 14 April 2009
Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh beberapa jenis mineral (pembentuk asam dan pembentuk basa) terhadap fertilitas, daya tetas dan mortalitas pada burung puyuh.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan 9 perlakuan dan 3 ulangan, dimana setiap ulangan terdiri dari 4 ekor burung puyuh. Perlakuan yang diteliti sebagai berikut P1= ransum Kontrol (produksi Chaoen Pokphand Indonesia), P2 = ransum P1 + 37,5 g CaCO3 +
Dari hasil penelitian diperoleh rataan fertilitas (%) sebesar 86.67 dengan fertilitas tertinggi pada perlakuan P2 sebesar 96,67 dan yang terendah pada perlakuan P1 sebesar 80.00. Rataan daya tetas (%) didapat sebesar 71.07 dengan daya tetas tertinggi pada perlakuan P4 sebesar 86,30 dan yang terendah pada perlakuan P7 sebesar 60,71. Rataan mortalitas (%) diperoleh sebesar 28.92 dengan mortalitas tertinggi pada perlakuan P7 sebesar 39,29 dan mortalitas terendah pada perlakuan P4 sebesar 13,70.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian suplementasi mineral
essensial pembentuk basa (Ca dan Na) dan mineral pembentuk asam (P dan Cl) dalam ransum burung puyuh tidak berpengaruh terhadap fertilitas, daya tetas dan
RIWAYAT HIDUP
Josua Roni Sinaga, dilahirkan pada 26 September 1985 di Kotamadya
Medan Sumatera Utara. Putra pertama dari lima bersaudara dari Ayahanda Pdt. E.M. Sinaga MA (alm ) dan Ibunda Pdt. L. Nadeak S.Th
Jenjang pendidikan formal yang pernah ditempuh saat ini:
Memasuki SD Swasta Samuel di Medan pada tahun 1992 dan menamatkannya pada tahun 1997, Memasuki SMP Negeri 29 di Medan pada tahun 1997 dan menamatkannya pada tahun 2000, Memasuki SMU Negeri 11 di Medan pada tahun 2000 dan menamatkannya pada tahun 2003, Memasuki Universitas Sumatera Utara Medan pada tahun 2003 melalui jalur SPMB di Fakultas Pertanian Departemen Peternakan.
Aktivitas yang pernah diikuti penulis selama aktif diperkuliahan:
KATA PENGANTAR
Penulis memanjatkan Puji Syukur kepada Tuhan yang Maha kuasa, atas kasih karunia-Nya dan anugrah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Adapun judul proposal ini adalah “ Pengujian Suplementasi Mineral
Esensial ( Ca, P, Na dan Cl ) Dalam Ransum Terhadap Fertilitas, Daya Tetas
dan Mortalitas telur Burung Puyuh (Coturnix – coturnix japonica) ” yang
merupakan salah satu syarat untuk Mendapatkan Gelar Sarjana di Departemen Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.
Terima kasih penulis ucapkan kepada bapak Ir. Iskandar Sembiring, MM. selaku Dosen pembimbing pertama dan Bapak Prof.Dr.Ir.Zulfikar Siregar, MP. selaku anggota pembimbing, atas bantuan yang diberikan dalam penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk perbaikan skripsi ini dikemudian hari. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua yang memerlukan.
Medan, Agustus 2009
DAFTAR ISI
DAFTAR LAMPIRAN ... viii
PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1
Tujuan Penelitian ... 2
Hipotesis Penelitian ... 3
Kegunaan Penelitian ... 3
TINJAUAN LITERATUR Burung Puyuh ... 4
Kebutuhan Nutrisi Burung Puyuh... 6
Mineral Esensial ... 10
Fungsi Mineral Essensial ... 12
Pelarut Asam ... 12
Kalsium ... 13
Natrium ... 14
Fosfor ... 15
Khlorida ... 15
Pengelolaan Penetasan ... 16
Telur tetas... 16
Pengambilan telur ... 16
Penyimpanan telur ... 16
Pemutaran telur ... 17
Penetasan dengan mesin tetas ... 17
Temperatur mesin tetas ... 18
Fertilitas ... 18
Daya tetas ... 19
Mortalitas embrio ... 19
BAHAN DAN METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian... 20
Bahan dan Alat Penelitian ... 20
Bahan ... 20
Alat ... 20
Metode Penelitian ... 21
Parameter Penelitian ... 22
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil ... 25
Pembahasan ... 28
Rekapitulasi Hasil Penelitian ... 35
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 36
Saran... 36
DAFTAR PUSTAKA... 37
DAFTAR TABEL
Kebutuhan zat-zat makanan dalam ransum burung puyuh
(Coturnix-coturnix japonica) untuk daerah tropis………
DAFTAR LAMPIRAN
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Data jumlah telur yang ditetaskan……… Data jumlah telur yang fertil……… Data jumlah telur yang tidak fertil………... Data jumlah telur yang menetas………... Data jumlah telur yang tidak menetas……….. Data bobot badan awal……….……… Hasil analisis mineral………... Kandungan nutrisi pada ransum puyuh……… Kadar mineral dalam bahan yang digunakan.………..
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Burung puyuh (quail) pada mulanya memang kurang mendapat perhatian dari peternak. Tetapi pada tahun 2002 pemerintah telah mencanangkan burung puyuh sebagai salah satu ternak alternatif penunjang peningkatan penyediaan protein hewani untuk masyarakat, barulah burung puyuh terangkat namanya. Peternak pun mulai bergairah untuk mengembangkan ternak ini.
Di Indonesia kini perkembangan budidaya burung puyuh sudah semakin pesat hal ini juga sangat mendorong pertumbuhan jumlah peternak burung puyuh di Indonesia yang saat ini berjumlah sekitar 47.000 peternak, baik sebagai usaha komersil maupun usaha sampingan. Semakin meluas dan meningkatnya perkembangan budidaya burung puyuh antara lain disebabkan kesadaran masyarakat akan kebutuhan protein hewani, serta diterapkannya teknologi modern tentang pemeliharaan unggas.
Jika dilihat dari sisi ekonominya, beternak puyuh merupakan sebuah usaha yang cukup baik untuk mendukung pertumbuhan ekonomi peternak burung puyuh, karena burung puyuh merupakan ternak penghasil daging dan telur, yang nilai gizinya sangat tinggi, karena nilai gizi telur dan daging burung puyuh yang tinggi membuat masyarakat mulai menyukai mengkonsumsi telur dan daging burung puyuh, dengan itu beternak puyuh mempunyai sisi ekonomi yang cukup menguntungkan.
dalam ransum juga perlu diperhatikan. Anggorodi (1985) menyatakan bahwa mineral sebagai zat makanan diperlukan tubuh sama halnya seperti asam amino, energi, vitamin dan asam lemak. Mineral digunakan untuk proses metabolisme dalam tubuh. Defisiensi suatu mineral jarang menyebabkan kematian tetapi berpengaruh langsung terhadap kesehatan ternak dan berdampak pada penurunan produksi telur sehingga dapat menyebabkan angka fertilitas yang rendah dan juga berakibat kepada tingginya angka mortalitas. Salah satu upaya yang diusahakan adalah dengan suplementasi mineral essensial makro yakni, Na, Ca, P dan Cl dalam ransum.
Khusus untuk usaha produksi telur, burung puyuh jantan harus diafkir karena dapat mengganggu ketenangan burung puyuh betina. Telur yang dihasilkan burung puyuh betina juga akan cepat rusak dan membusuk karena adanya embrio yang berasal dari puyuh jantan, lama pengaruh dari embrio ini berkisar 21 hari. Di samping itu juga akan menjadi beban karena pemborosan ransum. Tetapi dalam kondisi tertentu burung puyuh jantan juga sangat diperlukan, misalnya untuk menghasilkan telur yang bisa ditetaskan. Hanya saja keperluannya relatif sedikit (cukup dua sampai tiga ekor untuk sepuluh ekor betina ). Karena jumlah burung puyuh jantan yang diperlukan relatif sedikit mengakibatkan nilai jual burung puyuh jantan menjadi rendah dimata peternak, khususnya peternakan pengusaha telur.
Tujuan Penelitian
Hipotesis Penelitian
Suplementasi mineral esensial pembentuk basa dan mineral pembentuk asam dalam ransum burung puyuh berpengaruh terhadap fertilitas, daya tetas, mortalitas pada telur burung puyuh.
Kegunaan Penelitian
1. Sebagai bahan informasi bagi ilmu pengetahuan tentang penggunaan mineral pembentuk asam dan mineral pembentuk basa dalam ransum burung puyuh.
TINJAUAN LITERATUR
Burung puyuh
Dalam istilah asing, burung puyuh disebut quail yang merupakan sebangsa burung liar. Di Indonesia khususnya di Jawa burung puyuh disebut “gemak”. Burung puyuh merupakan salah satu jenis burung yang tidak dapat terbang, memiliki ukuran tubuh yang relatif kecil, memiliki kaki yang pendek, dapat diadu dan bersifat kanibal. Awalnya burung puyuh merupakan burung liar. Tahun 1870 di Amerika Serikat burung puyuh mulai diternakkan. Setelah masa itu, burung puyuh terus berkembang dan menyebar ke seluruh dunia. Di Indonesia, burung puyuh mulai dikenal dan di ternakkan pada akhir tahun 1979
(Agromedia, 2002).
Agromedia (2002) menyatakan bahwa klasifikasi burung puyuh sebagai berikut :
Kelas : Aves (bangsa burung), Ordo : Galiformes, Sub Ordo : Phasianoidae, Famili : Phasianidae, Sub Famili : Phasianidae, Genus : Coturnix, Species : Coturnix –
coturnix japonica.
Jenis burung puyuh yang biasa diternakkan adalah berasal dari jenis
Coturnix – coturnix japonica. Produktivitas telur burung puyuh ini mencapai 250
– 300 butir per tahun dengan berat rata – rata 10 gram per butir. Di samping telurnya burung puyuh juga dimanfaatkan daging dan kotorannya. Keunggulan lain dari burung puyuh adalah cara pemeliharaannya mudah, dapat diternakkan bersama hewan lain namun sangat rentan terhadap penyakit (Hartono, 2004).
Bobot rata – rata seekor burung puyuh Coturnix – coturnix japonica sekitar 150 gram. Burung puyuh betina akan mulai bertelur pada umur 41 hari. Puncak produksinya terjadi pada umur lima bulan dengan persentase bertelur rata – rata 76%. Diatas umur empat belas bulan, produktivitasnya akan menurun dengan persentase bertelur kurang dari 50%. Kemudian sama sekali berhenti bertelur saat berumur 2,5 tahun atau 30 bulan (Agromedia, 2002).
Dibanding dengan jenis burung puyuh lainnya, Coturnix – coturnix
japonica dapat menghasilkan telur sebanyak 250 – 300 butir per ekor selama
setahun. Betinanya mulai bertelur pada umur 41 hari. Tak heran apabila orang lebih memprioritaskan unggas ini untuk diternakkan karena kemampuannya untuk menghasilkan 3 – 4 generasi per tahun. Telurnya berwarna coklat tua, biru, putih dengan bintik – bintik hitam, coklat dan biru (Listiyowati dan Roospitasari, 2000).
Ciri burung puyuh (Coturnix – coturnix japonica) adalah bentuk badannya relatif lebih besar dari jenis burung puyuh lainnya. Panjang badan 19 cm, badan bulat, ekor pendek dan kuat, jari kaki empat buah, warna bulu coklat kehitaman, alis betina agak putih sedangkan panggul dan dada bergaris
(Nugroho dan Mayun, 1986).
Anak burung puyuh yang baru menetas dari telur disebut
Day old quail. Day old quail ini besarnya seukuran jari dengan berat 8 – 10 g dan
berbulu jarum halus. Day old quail yang sehat berbulu kuning mengembang, gerakannya lincah, besarnya seragam dan aktif mencari makan atau minum. Dalam dunia peternakan, periode pembesaran Day old quail disebut dengan periode
starter – grower (stargro) yang dilakukan hingga anak burung puyuh berumur
enam minggu (Sugiharto, 2005).
Kebutuhan Nutrisi Burung Puyuh
Protein dan Energi
Bila burung puyuh umur 0 – 5 minggu dianggap grower maka berdasarkan data pertumbuhan akan meningkat dengan kadar protein dalam ransum sampai 24%. Burung puyuh yang mendapat ransum dengan kadar protein 24% dengan energi metabolis 2600 Kkal/kg mempunyai konversi ransum yang sama dengan ransum yang mengandung protein 22% sedangkan energinya 2800 ME Kkal/ kg (Nugroho dan Mayun,1986).
Vitamin
Vitamin adalah senyawa organik yang harus selalu tersedia dalam jumlah sangat kecil untuk metabolisme jaringan normal. Kekurangan vitamin pada burung puyuh dapat menimbulkan kerugian. Sebagai misal ternak akan lebih mudah terserang penyakit,sehingga menurunkan produktivitas bahkan kematian
(Listiyowati dan Roospitasari, 2000).
Lemak dibutuhkan sebagai sumber asam – asam lemak esensial,sebagai karier vitamin – vitamin yang larut dalam lemak, sebagai sumber energi karena kadar energi lemak yang tinggi (Tillman et.al., 1991).
Air
Air dianggap sebagai salah satu zat makanan yang juga penting bagi ternak unggas . Air digolongkan sebagai unsur anorganik yang merupakan zat yang terpenting dari seluruh zat kimia yang ada dalam tubuh. Fungsi air sebagai bahan dasar dalam darah, sel dan cairan antar sel, sebagai alat untuk transpor zat – zat makanan, membantu kerja enzim dalam proses metabolisme, pengatur suhu tubuh, membantu keseimbangan dalam tubuh (Rizal, 2006).
Adapun kelebihan ternak puyuh dibandingkan dengan ternak unggas lainnya adalah ternak puyuh sangat mudah pemeliharaannya, tidak banyak memerlukan tenaga dan biaya yang banyak/besar; tidak banyak menyita tempat, dapat menampung anak puyuh 100 ekor/m2 berumur 1-10 hari dan 60 ekor/m2 untuk puyuh berumur diatas 10 hari ; cepat berkembangbiaknya, sehingga kebutuhan daging keluarga cepat terpenuhi ; disamping rasanya yang gurih seperti daging ayam dan entok, puyuh ini memiliki kadar/nilai gizi yang sangat tinggi ; dapat diusahakan sebagai usaha sambilan untuk tambahan penghasilan keluarga ; dapat dijadikan sebagai usaha komersil, apabila pemeliharaannya dalam jumlah yang banyak serta perawatannya yang baik dan dapat pula dijadikan mata pencaharian pokok (Sugiharto, 2005).
Kebutuhan zat – zat makanan dalam ransum burung puyuh dapat dilihat pada Tabel 2 :
Ransum yang dapat diberikan untuk burung puyuh terdiri dari beberapa bentuk, yaitu bentuk pellet, remah , dan tepung. Ransum terbaik adalah yang bentuk tepung , sebab burung puyuh yang mempunyai sifat usil dan sering mematuk kawannya akan mempunyai kesibukan lain dengan mematuk –matuk pakannya. Protein, karbohidrat, vitamin, mineral dan air mutlak harus tersedia dalam jumlah yang cukup. Kekurangan salah satu nutrien tersebut akan mengakibatkan kesehatan terganggu dan menurunnya produktivitas
(Listiyowati dan Roospitasari, 2000).
Anak burung puyuh yang baru berumur 0 – 3 minggu membutuhkan protein 25% dan energi metabolis 2900 kkal / kg ransum. Pada umur 3 – 5 minggu kadar proteinnya dikurangi menjadi 20% dan energi metabolis 2600 kkal / kg ransum. Burung puyuh dewasa yang berumur lebih dari 5 minggu kebutuhan energinya sama dengan umur 3 – 5 minggu. Sedangkan burung puyuh untuk pembibitan (sedang bertelur dan dewasa kelamin) tingkat proteinnya sebesar 18 – 20 %
(Listiyowati dan Roospitasari, 2000).
Jumlah ransum yang diberikan per hari menurut umur burung puyuh dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini :
Tabel 3. Kebutuhan ransum burung puyuh
Umur Burung puyuh Jumlah ransum yang diberikan (gram)
1 hari – 1 minggu 2
1 minggu – 2 minggu 4
2 minggu – 4 minggu 8
4 minggu – 5 minggu 13
5 minggu- 6 minggu 15
Diatas 6 minggu 17 – 19
Mineral Essensial
Yang dimaksud dengan mineral yaitu 96 unsur kimia seperti yang tercantum dalam Tabel periodik dan semuanya ada kemungkinan untuk menjadi mineral yang penting dalam makanan. Hanya 4% dari berat tubuh merupakan unsur – unsur anorganik. Dalam tubuh sebanyak lebih kurang 31 mineral telah dijumpai dalam jumlah yang dapat diukur, tetapi hanya 16 yang secara praktis dibutuhkan dalam makanan (Tillman et al., 1991).
Mineral – mineral terutama kalsium dan fosfor, berperan dalam pembentukan paruh dan tulang serta dalam konstraksi otot. Fungsi – fungsi yang lain menyangkut proses – proses biokimia, seperti mempertahankan gradien osmotik dan pertukaran ion, termasuk peranannya sebagai kofaktor dalam sistem enzim (Frandson, 1992).
Tambahan vitamin dan mineral sangat dibutuhkan oleh burung puyuh. Kekurangan konsumsi mineral merupakan salah satu penyebab penyakit yang diturunkan induk kepada anaknya. Kekurangan kalsium menyebabkan daya tetas menurun, kaki pendek dan tebal (besar), kedua sayap dan rahang bawah pendek, paruh dan kaki lunak, kepala depan menonjol, penimbunan cairan yang berlebihan (edema) pada leher dan abdomen menonjol ke luar. Fosfor berfungsi untuk mencegah kaki dan paruh lunak, daya tetas menurun, dan kematian yang tinggi pada hari ke – 14 sampai ke – 18 (Hartono, 2004).
umumnya diketemukan dalam kelompok anion. Ini adalah Klorida (Cl-), Iodida (I-), Fosfat (PO43-), Molybdat (MoO42-) dan Selenit (SeO3) (Wahju, 1988).
Kualitas yang menentukan nilai nutrisi suplemen adalah kandungan kalsium dan fosfor, kehalusan bagian dan bebas dari kotoran yang merugikan. Analisis suplemen yang biasa digunakan dalam penyusunan ransum aneka ternak unggas diperlihatkan dalam Tabel 4 berikut. Komposisi kimiawi suplemen tersebut bervariasi dengan kemurnian bahan mentahnya dan cara pengolahannya.
Tabel 4 : Analisis suplemen yang biasa digunakan dalam penyusunan ransum
Suplemen Ca P Na F Se
Fosfat yang fluornya dilarutkan 32 18 5,7 0,16 1,4
Fosfat, di kalsium 21 18,5 0,6 0,14 0,2
Kalsium karbonat 38 0 0,02 0 0
Kulit kerang 38 0 0,2 0,29 0
Natrium klorida 0 0 39,3 0 0
Tepung tulang 29 12,6 0,37 0,05 0
Sumber : Anggorodi (1995)
Secara umum peranan mineral adalah memelihara kondisi ionik dalam tubuh. Memelihara keseimbangan asam basa tubuh dalam hal ini tegantung pada ion Na+, K+, Ca++, Mg++, Cl-, PO43-, dan SO43-. Peranan mineral lain adalah memelihara tekanan osmotik cairan tubuh, menjaga kepekaan otot dan syaraf yang berperan pada penghantaran stimuli (Na+ dan K+) pada neuro muskuler (Mg++) dan pada otot dengan pengaruh kontraksinya (Ca++). Selain itu mineral juga berperan mengatur transport zat makanan dalam sel. Mengatur permeabilitas membran sel dan kofaktor enzim serta mengatur metabolisme (Widodo, 2002).
pernah dapat dipisahkan dari gerakan proton dan anion. Terdapat hubungan kompleks antara pH, tekanan listrik lintas membran dan perbedaan kadarnya (Widodo, 2002).
Fungsi mineral essensial
Menurut Widodo (2002) bahwa bahan makanan unggas sumber mineral terbesar berasal dari hewan, disamping sebagian kecil dari tumbuh – tumbuhan. Contoh yang dapat dikemukakan adalah tepung tulang, tepung kerang, dan tepung ikan. Ternak membutuhkan mineral antara lain untuk :
Memelihara kondisi ionik dalam tubuh, Memelihara keseimbangan asam basa tubuh ; Na+, K+, Ca++, Mg++, Cl-, PO4
3-, dan SO4
3-, Memelihara tekanan osmotik cairan tubuh, Menjaga kepekaan syaraf dan otot : Na+, K+, Ca++, Mg++, Mengatur trasport zat makanan dalam sel, Kofaktor enzim dan mengatur metabolisme.
Pelarut asam
Mineral dilarutkan dari bahan makanan dalam larutan asam hidroklorat lambung. Zat – zat mineral tersebut dibebaskan pula dari senyawa – senyawa organik yang dicerna oleh berbagai enzim (Anggorodi, 1995).
Penggunaan pelarut asam memiliki beberapa keuntungan dan telah dipelajari secara lebih luas dan mendalam. Kekuatan nisbi banyak asam telah ditentukan oleh banyak pelarut asam, dan urutan menurunnya kekuatan asam mineral yang agak kuat adalah : HClO4 > HBr > H2SO4 > HCl > HNO3
Sebagaimana dapat dilihat dalam liku daya hantar dalam gambar HClO4 jauh lebih kuat dibandingkan asam – asam lainnya (Day and Selbin, 1987).
Kalsium
Kalsium erat sekali hubungannya dengan pembentukan tulang. Kalsium juga sangat penting dalam pengaturan sejumlah besar aktivitas sel yang vital, fungsi syaraf dan otot, kerja hormon, pembekuan darah, motilitas seluler dan khusus pada ayam petelur berguna untuk pembentukan kerabang telur. Salah satu sumber kalsium adalah kalsium karbonat dengan kadar kalsium 40%.
Tabel 5. Sumber Kalsium
Sumber kalsium Kadar (%)
Tepung tulang
melalui memberan kerabang. Mineral lainnya yang dibutuhkan selama perkembangan embrional terdapat dalam telur. Apabila pakan induk defisiensi akan mineral maka berdampak pada fertilitas dari telur yang ditetaskan hal ini juga berpengaruh pada pembentukan embrio (Suprijatna dkk.,2005).
Bersamaan dengan unsur gizi yang lain, mineral ini juga sangat penting untuk kehidupan burung puyuh. Tanpa mineral yang cukup sesuai yang dibutuhkan maka produksi yang optimal tidak akan diperoleh. Kalsium dan fosfor itu sangat berperan bagi pembentukan tulang – tulang pada burung puyuh yang sedang bertumbuh dan berperan pada pembentukan kulit telur burung puyuh yang sedang berproduksi (Rasyaf,1993).
Kadar Ca yang tinggi dalam ransum dapat mengurangi absorbsi unsur-unsur seperti Mg dan Zn. Unsur Zn ini sangat berpengaruh dalam metabolisme DNA, RNA, protein. Defisiensi Zn pada semua hewan menyebabkan pertumbuhan terlambat sebagai akibat kurang dapat digunakannya protein dan sulfur. Selain itu defisiensi Zn dalam ransum mengakibatkan gangguan reproduksi pada hewan jantan karena Zn mempengaruhi pemasakan gonat. Defisiensi Zn ini diperhebat oleh adanya Ca yang tinggi dalam ransum (Tillman et al.,1991).
Natrium
Sodium atau natrium juga sering ditambahkan dalam ransum unggas. Penambahannya adalah dalam bentuk garam dapur (NaCl). Di samping itu penambahan sodium juga dalam bentuk Na2CO3 (sodium bikarbonat)
(Rizal, 2006).
Fosfor
Fosfor berfungsi sebagai pembentuk tulang, persenyawaan organik yaitu yang berfungsi dalam pembentukan senyawa organik dan sebagian besar metabolisme energi, karbohidrat, asam amino dan lemak, transportasi asam lemak dan bagian koenzim. Sehingga fosfor sebagai fosfat memegang peranan penting dalam struktur dan fungsi semua sel hidup. Beberapa sumber fosfor terdapat dalam Tabel 6 berikut ini :
Tabel 6. Sumber Fosfor
Sumber Fosfor Kadar (%)
Tepung tulang (bone meal) Fosfat batu (rock phosphat)
Fosfat batu (difluptinated rock phosphat )
14 14 18 Sumber : Widodo (2002).
Khlorida
Ion Cl merupakan anion yang utama di ekstra seluler yaitu sekitar 85% dari keseluruhan Cl dalam tubuh. Klorida terdapat dalam ikatan dengan Na dan hanya sejumlah kecil yang terikat secara longgar pada protein dan senyawa lain. Kurang dari 15% Cl dalam tubuh terdapat dalam intramuskuler. Klorida ion dengan mudah pindah dari cairan tubuh ke eritrosit atau yang disebut dengan ”Chloride
shift ” adalah merupakan mekanisme homeostatik untuk mengatur tekanan osmose
enzime amilase dan penyusun asam klorida dan getah lambung (Tillman et al., 1991).
Pengelolaan penetasan
Telur tetas
Agromedia (2002) menyatakan bahwa telur adalah suatu bentuk tempat penimbunan zat gizi seperti protein, karbohidrat, lemak, energi, vitamin, mineral dan air yang diperlukan untuk pertumbuhan embrio selama pengeraman. Untuk dapat ditetaskan telur – telur burung puyuh harus diseleksi. Memilih telur burung puyuh yang akan ditetaskan harus teliti, beberapa tips memilih telur burung puyuh yang baik untuk ditetaskan sebagai berikut :
Memilih telur yang bersih, halus dan rata, Memilih telur yang warnanya tidak terlalu pekat, Bintik di kulit telur harus jelas, Kulit telur tidak retak, Memilih telur yang baru, bukan telur yang sudah disimpan lebih dari 3 hari, Jika mau dijadikan khusus sebagai telur tetas setelah keluar dari burung puyuh, telur segera diambil dan dibersihkan.
Pengambilan telur
Sebaiknya telur yang akan ditetaskan berukuran normal yang beratnya 9 – 11 gram per butir. Ukuran normal tersebut dapat dicapai setelah induknya berumur 2,5 bulan. Dengan demikian pengambilan telur tetas burung puyuh dilaksanakan sejak induk berumur 2,5 – 8 bulan (Sugiharto, 2005).
Penyimpanan telur
hasil penelitian para ahli bahwa daya tetas telur yang disimpan selama 6 hari lebih tinggi dibandingkan dengan telur tetas disimpan lebih dari 7 hari. Telur yang disimpan terlalu lama, apalagi dalam kondisi lingkungan yang kurang baik, bisa
menyebabkan penurunan berat telur dan kantung udaranya semakin berkurang (Andrianto, 2005).
Pemutaran telur
Membalik atau memutar letaknya telur pada hari – hari tertentu selama periode penetasan perlu sekali dikerjakan. Gunanya adalah supaya telur mendapatkan panas yang merata. Selain itu juga untuk menjaga agar bibit tidak menempel pada kulit dalam fase permulaan penetasan dan untuk mencegah zat kuning telur dengan tenunan selaput pembungkus anak (allanthois) pada fase – fase berikutnya. Membalik telur dilakukan setiap hari mulai hari ketiga atau keempat sampai dua hari sebelum telur – telur menetas. Pemutaran telur sebaiknya dilaksanakan paling sedikit 3 kali atau lebih baik bila diputar sampai 5 atau 6 kali sehari dengan setengah putaran (Djanah, 1984).
Penetasan dengan mesin tetas
hygrometer) 30,6o C (87o F) sampai hari ke 14 setelah itu dinaikkan 32,2o C (90o F) sampai proses penetasan selesai (Nugroho dan Mayun, 1986).
Temperatur dalam Mesin Tetas
Dalam prakteknya temperatur dalam mesin tetas sering dibuat stabil sekitar 1030F (39,4oC) untuk semua penetasan telur unggas. Kelembaban dalam mesin tetas untuk penetasan telur berbagai jenis unggas relatif sama, yaitu sekitar 60 – 79%. Selama persiapan ventilasi atas mesin tetas ditutup sampai hari penetasan ke tiga (Suprijatna dkk, 2005).
Fertilitas
Fertilitas adalah persentase telur yang fertil dari seluruh telur yang digunakan dalam suatu penetasan. Nuryati dkk (2000) menyatakan bahwa agar telur dapat menetas menjadi anak, telur tersebut harus dalam keadaan fertil atau disebut dengan telur tetas. Telur tetas merupakan telur yang telah dibuahi sel jantan.
Fertilitas telur burung puyuh dipengaruhi oleh faktor – faktor sebagai berikut : Sperma, Pakan, Umur pembibit, Musim atau suhu, Sifat kawin pejantan, Waktu perkawinan, Produksi telur (Redaksi Agromedia, 2002).
Daya tetas
Suatu penelitian menunjukkan bahwa telur yang disimpan terlalu lama akan menurunkan daya tetasnya. Telur – telur yang disimpan daya tetasnya akan
menurun kira – kira 3 % tiap tambahan sehari. Telur yang disimpan dalam kantung plastik PVC (Polyvinylidene chloride) dapat tahan lebih lama, kira
– kira 13 sampai 21 hari dibandingkan telur yang tidak disimpan dalam kantung plastik PVC. Biasanya telur yang disimpan dalam kantung plastik ini daya tetasnya juga lebih tinggi dari pada telur yang disimpan dalam ruangan terbuka (Nugroho dan Mayun, 1986).
Mortalitas Embrio
Kematian embrio banyak terjadi dalam keadaan kritis selama waktu penetasan. Ada dua periode kritis pada masa penetasan : Selama tiga hari pertama dari masa penetasan, Pada masa burung puyuh akan menetas.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biologi Ternak Jln. Prof. Dr. A. Sofyan No.3 Departemen Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan, berada pada ketinggian 25 m dari permukaan laut. Penelitian berlangsung mulai 29 November 2008 – 14 April 2009
Bahan dan Alat Penelitian
Bahan
Burung puyuh umur 6 minggu sebanyak 108 ekor ( 81 ekor betina dan 27 ekor pejantan ) ( x BB : 147.32, ±Sd : 37.6 ), Telur burung puyuh sebanyak 270 butir, Air minum, Mineral yang digunakan yaitu : Na2CO3, CaCO3, NH4Cl,
(NH4)3PO4 , Vaksin New Castle Disease (NCD), Obat-obatan yaitu Neomedrill
dan tetraclhor, Vitamin seperti burung puyuh vit dan ciami, Desinfektan seperti rodalon, Kalium permanganat dan formalin sebagai bahan fumigasi , Ransum burung puyuh disusun menurut perlakuan, kecuali kontrol dipakai produksi P.T. Charoen Pokphand Indonesia, Asam hidroklorida (HCl) dengan konsentrasi 3% sebagai palarut mineral, Aquades sebagai pengencer asam
Alat
butir telur tetas serta peralatannya, Kardus , Alat – alat pembersih kandang, Alat tulis dan kalkulator
Metode Penelitian
Adapun rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan 9 perlakuan dan 3 ulangan, dimana setiap ulangan terdiri dari 4 ekor burung puyuh.
Perlakuan yang diteliti sebagai berikut :
P1 : Kontrol (pakan produksi Charoen Pokphand Indonesia), P2: P1 + 37,5 g CaCO3 + 0.00035 g Na2CO3, P3: P1 + 75 g CaCO3 + 0.00070 g Na2CO3, P4: P1
+ 10 g (NH4)3PO4+ 0,00015 g NH4Cl, P5 : P1 + 20 g (NH4)3PO4 + 0,00030 g
NH4Cl, P6 : P1 (telah dicuci dengan asam) + 37,5 g CaCO3 + 0.00035 g Na2CO3,
P7 : P1 (telah dicuci dengan asam) + 75 g CaCO3 + 0.00070 g Na2CO3, P8 : P1
(telah dicuci dengan asam) + 10 g (NH4)3PO4 + 0,00015 g NH4Cl, P9 : P1 (telah
dicuci dengan asam) + 20 g (NH4)3PO4 + 0,00030 g NH4Cl.
Denah pemeliharaan yang akan dilaksanakan sebagai berikut : P11 P21 P31 P41 P51 P61 P71 P81 P91
P12 P22 P32 P42 P52 P62 P72 P82 P92
P13 P23 P33 P43 P53 P63 P73 P83 P93
Banyaknya ulangan disesuaikan dengan rumus : t ( n – 1 ) > 15
9 ( n – 1 ) > 15 9 n > 24 n > 24/9
Model linier yang digunakan untuk rancangan acak lengkap ( RAL ) adalah :
Yij = µ + i + ∑ij
Dimana : i = 1,2,3,...t ( perlakuan ) j = 1,2,3,...n ( ulangan )
Yij = Hasil pengamatan pada perlakuan ke- i dan ulangan ke – j µ = Nilai tengah
i = Pengaruh perlakuan ke – i
∑ij = Pengaruh galat percobaan pada perlakuan ke – i, ulangan ke – j
Parameter penelitian
Fertilitas ( % )
Fertilitas dihitung dengan rumus sebagai berikut : Fertilitas = Jumlah telur tertunas ( fertil ) x 100 %
Jumlah telur yang ditetaskan
Daya tetas atau hatchabilitas ( % )
Daya tetas dihitung dengan rumus sebagai berikut : Daya tetas = Jumlah telur yang menetas x 100 %
Jumlah telur yang tertunas ( fertil )
Mortalitas ( % )
Mortalitas dihitung dengan rumus sebagai berikut : Mortalitas ( % ) = Jumlah ( telur yang fertil – telur yang menetas )
Burung puyuh sebanyak 108 ekor ( 81 ekor burung puyuh betina dan 27 ekor burung puyuh jantan ) dipelihara dalam kandang sebanyak 27 plot. Tiap plot
x 100 % Jumlah telur yang fertil
( sex ratio 3 : 1 ). Ransum dan air minum diberikan secara ad libitum sesuai dengan perlakuan.
Penyusunan Ransum
Ransum dibeli dari P.T. Charoen Pokphand Indonesia kemudian ransum dicuci dengan asam hidroklorida (HCl) 3% sebanyak 5L untuk menghilangkan mineral Na, Ca, P, Cl dalam ransum sebanyak 3kg. Setelah itu ransum dikeringkan di bawah sinar matahari sampai kering. Kemudian ransum ditambahkan dengan mineral yang akan digunakan sesuai dengan perlakuan yang diteliti.
Pengumpulan dan seleksi telur tetas
Pengumpulan telur dilakukan 2 x sehari yaitu pada pagi hari dan sore hari selama seminggu dan diseleksi sesuai dengan kriteria telur tetas yang telah ditentukan yakni : Bentuknya normal, tidak terlalu lonjong dan tidak terlalu bulat, kerabang telur bersih, tidak terlalu kasar, berat telur berkisar 9 – 11 gram.
Fumigasi telur tetas
Telur tetas yang kotor dibersihkan dengan cara melapnya dengan sedikit air hangat agar pori- pori telur tidak tersumbat.
Penetasan
Mesin tetas dan peralatannya sebelum digunakan terlebih dahulu dibersihkan dari kotoran yang melekat kemudian disemprot dengan rodalon,
terakhir dilakukan fumigasi dengan kekuatan single dosis yaitu 40 cc formalin : 20 cc KMnO4 ( perbandingan 2 : 1) tiap ukuran 2,8 m3 ruang
Temperatur mesin tetas distabilkan berkisar 1030F (39,40C) selama 24 jam sebelum digunakan. Nampan untuk menjaga kelembaban mesin tetas diisi dengan air kemudian telur tetas yang telah disusun berdasarkan label perlakuan dimasukkan kedalam mesin tetas dimana setiap perlakuan digunakan 10 butir telur.
Pemutaran telur tetas dilakukan sebanyak 3 x sehari mulai hari ke 3 sampai hari ke 14 berada dalam mesin tetas. Telur menetas pada hari ke 16.
Pengamatan dan Pengambilan Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Fertilitas
Pengertian fertilitas adalah persentase telur yang fertil dari seluruh telur yang digunakan dalam suatu periode penetasan. Fertilitas dihitung dengan cara membagikan jumlah telur yang tertunas (fertil) dengan jumlah telur yang ditetaskan dikali 100 %. Hasil analisis rata-rata fertilitas telur burung puyuh selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Rataan pengaruh suplementasi mineral esensial dalam ransum terhadap fetilitas telur burung puyuh selama penelitian (%)
Perlakuan Ulangan Total Rataan
1 2 3
P1 90 80 70 240 80
P2 100 90 100 290 96.67
P3 100 90 90 280 93.33
P4 100 90 90 280 93.33
P5 90 90 90 270 90
P6 90 80 80 250 83.33
P7 80 80 80 240 80
P8 90 70 80 240 80
P9 90 70 90 250 83.33
Total 830 740 770 2340 780
Rataan 92.22 82.22 85.55 260 86.67
Daya Tetas
Pengertian daya tetas adalah jumlah telur yang menetas dibagi dengan jumlah telur yang tertunas (fertil) dikali 100%. Hasil rataan daya tetas telur burung puyuh selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Rataan pengaruh suplementasi mineral esensial dalam ransum terhadap daya tetas telur burung puyuh selama penelitian (%).
Perlakuan Ulangan Total Rataan
1 2 3
P1 80 62.5 90 232.5 77.5
P2 80 70 71.43 221.43 73.81
P3 71.43 62.5 55.56 189.49 63.16
P4 70 88.89 100 258.89 86.3
P5 70 62.5 75 207.5 69.16
P6 75 62.5 75 212.5 70.83
P7 57.14 50 75 182.14 60.71
P8 62.5 71.43 62.5 196.43 65.48
P9 62.5 88.89 66.67 218.06 72.67
Total 628.57 619.21 671.16 1918.94 639.64 Rataan 69.84 68.8 74.57 213.21 71.07
Tabel 8 di atas menunjukkan bahwa persentase daya tetas tertinggi pada perlakuan P4 sebesar 86,30% dan yang terendah pada perlakuan P7 sebesar 60,71%. Dengan rataan daya tetas sebesar 71,07%.
Mortalitas
Tabel 9. Rataan pengaruh suplementasi mineral esensial dalam ransum terhadap mortalitas telur burung puyuh selama penelitian (%).
Perlakuan Ulangan Total Rataan
1 2 3
P1 20 37.5 10 67.5 22.5
P2 20 30 28.57 78.57 26.19
P3 28.57 37.5 44.44 110.51 36.84
P4 30 11.11 0 41.11 13.7
P5 30 37.5 25 92.5 30.83
P6 25 37.5 25 87.5 29.17
P7 42.86 50 25 117.86 39.29
P8 37.5 28.57 37.5 103.57 34.52
P9 37.5 11.11 33.33 81.94 27.31
Total 271.43 280.79 228.84 781.06 260.35
Rataan 30.16 31.2 25.43 86.78 28.93
Pembahasan
Fertilitas
Sidik ragam dari data rataan pengaruh suplementasi mineral esensial dalam ransum terhadap fertilitas telur burung puyuh selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Sidik ragam fertilitas telur burung puyuh selama penelitian
SK DB JK KT F.hit F.tabel
Perlk. 8 1066.67 133.333 2.571429tn 3.86 6.99 Galat 18 933.333 51.8519
Total 26 2000
KK = 8,3% tn = tidak nyata
Berdasarkan hasil sidik ragam di atas menunjukkan bahwa suplementasi mineral esensial dalam ransum berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap fertilitas telur burung puyuh selama periode penetasan. Walaupun dari Tabel 7 didapat angka fertilitas yang bervariasi namun setelah dilakukan sidik ragam memberikan hasil yang tidak nyata. Penelitian ini dikondisikan sedemikian rupa sehingga faktor-faktor yang lebih mempengaruhi fertilitas seperti nisbah kelamin atau sex
ratio, umur, musim dan suhu, sudah dihomogenkan. Dalam tiap plot diberikan
saluran reproduksi betina tidak terhambat pergerakannya untuk membuahi sel telur. Begitu juga dengan pencucian ransum tidak berpengaruh terhadap fertilitas. Hal ini terbukti dari beberapa perlakuan yang diteliti didapat hasil yang dapat dinyatakan sama.
Menurut Agromedia (2002) tinggi rendahnya persentase fertilitas telur burung puyuh ini dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain :Sperma, Ransum, Umur pembibit, Musim atau suhu, Sifat kawin pejantan, Waktu perkawinan, Produksi telur.
Berdasarkan hasil penelitian Chairani (2007) Fertilitas burung puyuh terbesar diperoleh dari P2 (P1 + 37,5 g CaCO3 + 0.00035 g Na2CO3 ) yaitu sebesar
96,67% dan terendah diperoleh dari P1 ( Pakan Kontrol produksi Charoen Pokphand Indonesia ) yaitu sebesar 73,33% dan rataan fertilitas telur seluruhnya yaitu 83,33 %. Menurut Charani (2007) Fertilitas telur dipengaruhi oleh defisiensi mineral ransum induk, jika induk mengalami defisiensi mineral maka fertilitas juga akan menurun karena kurangnya suplementasi makanan kepada embrio, dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Chairani (2007) menunjukkan hasil rataan fertilitas dibawah angka rataan fertilitas yaitu sebesar 86.67 %, hasil rataan fertilitas yang diperoleh lebih baik daripada hasil rataan yang diperoleh oleh Chairani (2007).
Daya Tetas
Untuk mengetahui pengaruh suplementasi mineral esensial dalam ransum terhadap daya tetas telur burung puyuh maka dilakukan sidik ragam yang dapat dilihat pada Tabel 14 berikut ini :
Tabel 14. Sidik ragam daya tetas telur burung puyuh selama penelitian
SK DB JK KT F.hit F.tabel
Perlk. 8 1464.17 183.022 1.644448tn 3.86 6.99 Galat 18 2003.34 111.297
Total 26 3467.51
KK = 14,84% tn = tidak nyata
mineral pembentuk basa pada level perlakuan P7 menurunkan daya tetas telur burung puyuh. Rendahnya daya tetas pada perlakuan P7 ini disebabkan oleh kadar Ca yang tinggi dalam pakan dapat mengurangi absorbsi unsur-unsur seperti Mg dan Zn. Tillman et al (1991) menyatakan bahwa antara unsur Ca dan Zn memiliki interaksi antagonis yaitu jika unsur Ca dalam ransum tinggi bisa mengakibatkan kurangnya absorpsi Zn. Unsur Zn ini sangat berpengaruh dalam metabolisme DNA, RNA, protein. Defisiensi Zn pada semua hewan menyebabkan pertumbuhan terlambat sebagai akibat kurang dapat digunakannya protein dan sulfur. Selain itu defisiensi Zn dalam ransum mengakibatkan gangguan reproduksi pada hewan jantan karena Zn mempengaruhi pemasakan gonat. Menurut Listiyowati dan Rospitasari (2002) bahwasannya sedikitnya protein ransum menyebabkan kecilnya kuning telur yang terbentuk sehingga menyebabkan kecilnya telur yang dihasilkan dan rendahnya daya tetas telur.
Berdasarkan hasil penelitian Chairani (2007) Daya tetas burung puyuh terbesar diperoleh dari P4 (P1 + 10 g (NH4)3PO4+ 0,00015 g NH4Cl) yaitu sebesar
86,30% dan terendah diperoleh dari P3 (P1 + 75 g CaCO3 + 0.00070 g Na2CO3 )
yaitu sebesar 60,37% dan rataan daya tetas telur seluruhnya yaitu 70,50 %. Menurut Charani (2007) Daya Tetas telur yang tinggi dipengaruhi oleh ransum yang diberi tambahkan mineral pembentuk asam. Sedangkan daya tetas telur puyuh semakin menurun jika level pemberian mineral pembentuk asam yang rendah.
sewaktu masa penetasan telur di mesin tetas ada 2 kali mati lampu tetapi hanya 1 jam dan 1,5 jam, hal ini dapat mengakibatkan telur tidak mendapatkan panas yang cukup dan kelembaban yang rendah yang sangat berpengaruh kepada daya tetas telur.
Mortalitas
Berdasarkan Tabel 9 rataan pengaruh suplementasi mineral esensial dalam ransum terhadap mortalitas telur burung puyuh didapat sidik ragam pada Tabel 15.
Tabel 15. Sidik ragam mortalitas telur burung puyuh selama penelitian
SK DB JK KT F.hit F.tabel
Perlk. 8 1464.2 183.02 1.6444tn 3.86 6.99
Galat 18 2003.3 111.3
Total 26 3467.5
KK = 36,46% tn = tidak nyata
Berdasarkan Tabel 13 di atas didapat hasil yang tidak nyata yang berarti mineral yang diberikan tidak berpengaruh terhadap mortalitas telur yang ditetaskan. Daya tetas adalah banyaknya jumlah Day old quail yang menetas sedangkan mortalitas adalah banyaknya jumlah telur fertil yang tidak menetas, jika mortalitas rendah maka daya tetas telur burung puyuh tinggi. Jika daya tetas memberikan hasil yang tidak nyata maka mortalitas dari telur yang ditetaskan juga memberikan hasil yang tidak nyata.
oleh karena itu pada suatu proses penetasan yang baik adalah bila daya tetasnya tinggi yang secara otomatis menyebabkan mortalitasnya rendah.
Faktor-faktor yang mempengaruhi mortalitas sama dengan faktor-faktor yang mempengaruhi daya tetas seperti lama penyimpanan telur dan
menejemen penetasan serta keadaan telur. Keadaan telur yang dimaksud sesuai dengan Agromedia (2002) adalah: Memilih telur yang bersih, halus dan rata, Memilih telur yang warnanya tidak terlalu pekat, Bintik di kulit telur harus jelas, Kulit telur tidak retak, Memilih telur yang baru, bukan telur yang sudah disimpan lebih dari lebih dari 3 hari, Jika mau dijadikan khusus sebagai telur tetas setelah keluar dari burung puyuh, telur segera diambil dan dibersihkan.
Menurut Andrianto (2005) beberapa hal yang menyebabkan tingginya mortalitas adalah: Kesalahan dalam perkawinan sehingga banyak telur yang tidak subur, Umur induk dan pejantan sudah terlalu tua, Penyimpanan telur tetas yang terlalu lama, Temperatur yang tidak sesuai selama penetasan, Pelaksanaan penetasan yang kotor dan mesin tetas yang kotor, Telur telah dicuci.
Tetapi faktor-faktor di atas tidak terjadi selama proses penetasan berlangsung dalam penelitian ini. Mortalitas yang tinggi lebih disebabkan oleh rendahnya daya tetas dari telur burung puyuh yang ditetaskan. Sugiharto (2005) menyatakan bahwa daya tetas adalah angka yang menunjukkan persentase (%) telur yang berhasil menetas dari jumlah telur yang tertunas. Dari pengertian ini diketahui bahwa mortalitas dalam suatu penetasan adalah angka yang menunjukkan persentase (%) telur tetas yang tidak menetas dari jumlah telur yang tertunas.
Kematian yang tinggi pada embrio pada umumnya disebabkan karena embrio tidak mampu berfungsi dengan baik, saat kritis itu antara lain pada perubahan posisi pada saat akan menetas. Atau saat anak burung puyuh mulai mematuki kulit kerabang telur untuk menetas, anak burung puyuh tak dapat memakai albumen yang tersisa, kegagalan absorbsi yolk sack saat – saat peralihan dari allanthois ke pernafasan dengan paru - paru. Hal ini benar adanya berdasarkan kejadian yang dialami sewaktu penetasan banyak anak puyuh yang tidak dapat keluar dari telur sehingga harus dibantu untuk memecahkan telurnya.
Berdasarkan hasil penelitian Chairani (2007) Mortalitas burung puyuh terbesar diperoleh dari P3 (P1 + 75 g CaCO3 + 0.00070 g Na2CO3 ) yaitu sebesar
39,63% dan terendah diperoleh dari P4 (P1 + 10 g (NH4)3PO4+ 0,00015 g NH4Cl)
yaitu sebesar 13,70% dan rataan Mortalitas telur seluruhnya yaitu 29,50 %. Menurut Chairani (2007) daya tetas yang rendah dikarenakan kurangnya absorbsi protein dalam ransum sehingga telur menjadi kecil dan daya tetasnya menjadi rendah dan secara otomatis Mortalitas semakin meningkat.
Nugroho (1981) menyatakan bahwa kematian embrio banyak terjadi dalam keadaan kritis selama waktu penetasan.
Rekapitulasi Hasil Penelitian
Hasil penelitian secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15. Rekapitulasi pengaruh suplementasi mineral esensial dalam ransum terhadap fertilitas, daya tetas dan mortalitas burung puyuh.
Perlakuan Fertilitas (%) Daya Tetas (%) Mortalitas (%)
P1
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Pemberian mineral pembentuk suasana basa (Ca dan Na) yaitu ( P2,P3,P6 dan P7 ) dan mineral pembentuk suasana asam (P dan Cl) yaitu ( P4,P5,P8 dan P9 ) dalam ransum burung puyuh tidak mempengaruhi fertilitas,
daya tetas, mortalitas burung puyuh (Coturnix-coturnix japonica) selama penelitian.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
A.U. Mani, I.I. Garndawa and B.A. Usman., 2003. Effects of Pre-Incubation
Storage on the Hatchability of Quail(Coturnix coturnix japonica) Eggs in the Sahel Region. Nigeria
Abidin, Z., 2003. Meningkatkan Produktivitas Puyuh si Kecil yang Penuh Potensi, Agromedia Pustaka, Jakarta.
Agromedia., 2002. Puyuh Si Mungil Yang Penuh Potensi, Agromedia Pustaka, Jakarta
Andrianto, T. T., 2005, Panduan Praktis Beternak Burung Burung puyuh, Absolut, Yogyakarta.
Anggorodi, H.R., 1995. Nutrisi Aneka Ternak Unggas. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Chairani, 2007. Pengujian Suplementasi Mineral Esensial Dalam Ransum
Terhadap Fertilitas, Daya Tetas, Mortalitas dan Perbandingan Jenis Kelamin Jantan dan Betina Burung Puyuh ( Coturnix – coturnix japonica ).
USU, Medan.
Day, C.M., and Selbin, J., diterjemahkan oleh Wisnu Susetyo. 1987, Kimia Anorganik Teori, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Djanah, D.J., 1984, Beternak Ayam dan Itik, Jasaguna, Jakarta.
Frandson, R.D., 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Penerjemah: Ir. B. Srigandono & Roen Praseno, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Hartono, T., 2004. Permasalahan Burung puyuh dan Solusinya. Penebar Swadaya,
Jakarta.
I. Seker, et al, 2004., Effect of parental Age dan Hatching Egg Weigth of Japanese
Quails on Hatchability and Chick Weigth. Firat University, Turkey.
Lee, T.K. et al, 1977., Singapore Journal Pri. Ind. 5(2) : 70-81,82-90,
Listiyowati, E., dan Roospitasari, K., 2000. Burung puyuh Tata Laksana Budidaya
Secara Komersial. Penebar Swadaya, Jakarta.
National Recearch Council, 1977., Nutrient Requirement of Poultry, National Academy of Sciences, Washington,DC.
North, M.O., 1978, Commercial Chicken Production Manual, The Avi Publishing Company Inc. USA.
Nugroho, dan Mayun, I.G.T., 1986. Beternak Burung Burung puyuh. Eka Offset, Semarang.
Nuryati, L., Sutarto, K., dan Hardjosworo, S.P., 2000, Sukses Menetaskan Telur, Penebar Swadaya, Jakarta.
Rasyaf, M., 1993. Memelihara Burung Burung puyuh. Kanisus, Yogyakarta.
Redaksi AgroMedia., 2002. Burung puyuh Si Mungil Penuh Potensi. AgroMedia Pustaka, Jakarta.
Rizal, Y., 2006. Ilmu Nutrisi Unggas. Andalas University Press, Padang.
Salisbury, G.W. dan Van De Mark, N. L., 1985, Fisiologi Reproduksi dan
Inseminasi Buatan Pada Sapi. Diterjemahkan oleh : R. Djanuar, Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.
Sugiharto, R.E., 2005, Meningkatkan Keuntungan Beternak Burung puyuh, Agromedia Pustaka, Jakarta.
Suprijatna, E., Atmomarsono, U. dan Kartasudjana, R., 2005. Ilmu Dasar Ternak
Unggas. Penebar Swadaya, Jakarta.
Suryo., 2001, Genetika, UGM Press, Yogyakarta.
Sutoyo, M.D., 1989, Petunjuk Praktis Beternak Burung puyuh, CV. Titik Terang, Jakarta.
Tillman, A.D., Hartadi H., Reksohadiprojo S., Prawirokusumo S., dan Lebdosoekojo S., 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. UGM Press, Yogyakarta.
Wahju, J., 1988. Ilmu Nutrisi Unggas. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Widodo, W., 2002, Nutrisi dan Ransum Unggas Kontekstual, Fakultas Peternakan
– Perikanan, Universitas Muhammaddiyah, Malang.
Lampiran 1. Data Jumlah telur yang di tetaskan
Lampiran 2. Data Jumlah telur yang fertil
Perlakuan Ulangan Total Rataan
1 2 3
Lampiran 3. Data Jumlah telur yang tidak fertil
Perlakuan Ulangan Total Rataan
1 2 3
Perlakuan Ulangan Total Rataan
Lampiran 5.
Dalam 1kg ransum dibutuhkan 0.15 mg Cl (Tabel 2.) = 0.00015 g Cl Maka, untuk mendapatkan 0.00015 g Cl diberikan NH4Clsebanyak:
= 1000 g x 0.00015 g = 0.0002 g NH4Cl 660 g
Ket: Ar Na = 23; Ar C = 12; Ar O = 16; Ar Ca = 40; Ar N = 14; Ar H = 1; Ar Cl =
Lampiran 6.
KANDUNGAN NUTRISI PADA PAKAN PUYUH MASA PERTUMBUHAN HINGGA MASA BERTELUR.
Kadar air maksimum 13,0%
Protein kasar maksimum 18,5-20,0%
Lemak kasar minimum 3,5%
Serat kasar maksimum 6,0%
Abu maksimum 10,0%
Calsium minimum 2,50%
Phospor minimum 0,69%