PENEGAKAN HUKUM OLEH PENYIDIK TNI AL DALAM
PENANGANAN TINDAK PIDANA ”ILLEGAL FISHING”
(STUDI PADA LANTAMAL I BELAWAN)
TESIS
Oleh
SAIFUL SIMANJUNTAK 087005057/HK
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2010
PENEGAKAN HUKUM OLEH PENYIDIK TNI AL DALAM
PENANGANAN TINDAK PIDANA ”ILLEGAL FISHING”
(STUDI PADA LANTAMAL I BELAWAN)
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
SAIFUL SIMANJUNTAK 087005057/HK
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2010
Judul Tesis : PENEGAKAN HUKUM OLEH PENYIDIK TNI AL DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA ”ILLEGAL
FISHING”(STUDI PADA LANTAMAL I BELAWAN)
Nama Mahasiswa : Saiful Simanjuntak Nomor Pokok : 087005057
Program Studi : Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) Ketua
(Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum) (Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM) Anggota Anggota
Ketua Program Studi Dekan Fakultas Hukum
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)
Tanggal lulus : 26 Juli 2010 elah diuji pada
ANITIA PENGUJI TESIS
etua : Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH
Anggota : 1. Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum
2. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM 3. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum
4. Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum T
Tanggal 26 Juli 2010
P
K
ABSTRAK
Negara Indonesia merupakan negara kepulauan (Archipelagic State) dengan jumlah pulau sebanyak 17.508 pulau dengan panjang pantai 81.000 km² yang terdiri dari 0,3 juta km² (5,17%) laut teritorial, 2,8 juta km² (48,28%) perairan kepulauan serta 2,7 juta km² (46,55%) Zona Ekonomi Eksklusif, sehingga menempatkan Indonesia pada posisi strategis dan memiliki potensi sumber daya perikanan yang besar. Kondisi strategis ini akan menarik bagi kapal-kapal asing untuk melakukan tindak pidana pencurian ikan (illegal fishing).
Secara teoritis, tindak pidana pencurian ikan (illegal fishing) adalah tindakan menangkap ikan dengan menggunakan Surat Penangkap Ikan (SPI) palsu, tidak dilengkapi dengan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), isi dokumen izin tidak sesuai dengan kapal dan jenis alat tangkapnya, menangkap jenis dan ukuran ikan yang dilarang. Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang perikanan, pencurian ikan (illegal fishing) adalah pencurian yang dilakukan karena menangkap ikan tanpa SIUP dan SIPI, menggunakan bahan peledak, bahan berbahaya lainnya yang mengakibatkan kerusakan dan kepunahan sumber daya ikan.
Penelitian ini didasarkan pada penelitian hukum normatif dengan melakukan pendekatan yuridis. Hasil penelitian menunjukan bahwa hubungan kerjasama antara penyidik tindak pidana perikanan yang terdiri atas PPNS Perikanan, Penyidik TNI AL dan Polri keberadaannya telah terwadahi dalam suatu badan dan forum koordinasi dengan tujuan untuk menjamin keseragaman, kepastian hukum, efektifitas dan efisiensi bagi penyidik dalam menangani perkara tindak pidana perikanan. Namun dalam perjalanannya sampai saat ini keberadaannya belum berjalan dengan baik, khususnya pada tataran level bawah. Penegakan hukum tindak pidana di bidang perikanan di wilayah Lantamal I sampai saat ini belum optimal, kondisi yang demikian disebabkan oleh beberapa faktor dan kendala antara lain Kualitas sumber daya manusia Perwira TNI AL sebagai aparat penegak hukum dan penyidik dari segi intelektual, moral dan dedikasi diakui masih kurang profesional, sarana dan prasarana yang dimiliki oleh TNI AL jauh dari memadai baik jumlah maupun tingkat modernisasi peralatan yang ada saat ini. Materi perundangan dan peraturan pelaksanaan yang mengatur tentang pengelolaan perikanan tidak konsisten, sehingga membawa pengaruh dalam pelaksaan penegakan hukum, komitmen Pemerintah serta tingkat kepedulian dan kesadaran hukum masyarakat masih relatif rendah dalam peran sertanya di bidang penegakan hukum tindak pidana perikanan, adanya keengganan para pelaku usaha di bidang perikanan untuk mematuhi dan memenuhi ketentuan yang berlaku dan hanya berpikir untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa menghiraukan dampak yang terjadi dari usaha yang dilakukan. Untuk itu perlu penegakan hukum dengan cara preventif, represif dan tindakan lainnya dalam upaya peningkatan sosial ekonomi masyarakat nelayan.
Kata Kunci: Penegakan Hukum “Illegal Fishing” oleh Penyidik TNI Angkatan Laut.
ABSTRACK
The Republic of Indonesia is an Archipelagic State with 17.508 island and coastline of 81,000 km², 0,3 millions km² (5,17%) of territorial water, 2.8 millions km² (48,28%) of archipelagic water and 2,7 millions km² (46,55%) of Exclusive Economic Zone which put Indonesia in a strategic position with a big potential fishery resources. This strategic condition will attract foreign fishing vessels to an illegal fishing.
Theoretically, illegal fishing is fishing activity under a fake fishing document (SIP), not equippedwith true fishing license (SIPI), the content of license are different from the type of vessel and fishing gear used and catching fish of prohibited kind and size. While according to Law No.31/2004 on Fishery, illegal fishing is a fishing activity done without SIUP and SIPI, using explosives and the other dangerous stuffs which can result in the destruction and extinction of fish resources.
This is a normative legal study with juridical approach. The result of this study showed that the cooperation between illegal fishing investigators comprising the staff of Ministry of Fishery (PPNS Perikanan) and the investigators from Indonesian Navy and Police has been accommodated in a coordinating body or forum to guarantee the standardization, legal certainty, effectiveness and efficiency of the investigators in handling the cases of illegal fishing. In fact, all of these have not yet well implemented, especially in a lower level. Up to now, law enforcement in terms of illegal fishing in the area of a Lantamal I (Naval Main Base I) in not optimal yet. This condition was caused by several factors and constrains such as the quality of human recources, for example, the Navy officers in their capacity as law upholders and investigators, in terms of intellectuality, moral and dedication, are still less professional and the number or modernization level of facilities and infrastucture currently owned by the Indonesian Navy are less adequate. The materials of legislation and implementation regulation regulating fishing management are not consistent that it brings an impact to the law upholding implementation, government´s commitment. The level of community´s care and awareness about law is still relatively low, in terms of their participation in upholding the law on illegal fishing. In addition, the young businessmen getting involved in fishing business are reluctant to obey and meet the existing regulations and they only think of how they can make big profit without thinking of the impact resulted from their business activities, how to prevent and repress the negative impact occurred and what action they should take to help improve the fishermen´s socio-economic life.
Key words: Law Upholding, Illegal fishing, Indonesian Navy Investigators
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan Yang
Maha Esa seru sekalian alam, atas segala nikmat yang telah diberikan kepada penulis
serta rahmat dan karunia-Nya yang senantiasa dilimpahkan kepada kita sekalian,
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas yang dibebankan berupa pembuatan
karya ilmiah berupa Tesis.
Penulisan laporan penelitian dengan judul ”Penegakan Hukum Oleh Penyidik
TNI AL Dalam Penanganan Tindak Pidana ”Illegal Fishing” (Studi pada Wilayah Lantamal I)” ini disusun guna memenuhi salah satu persyaratan dalam
mengikuti pendidikan program studi Magister Ilmu Hukum di Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada
semua pihak yang telah memberikan dorongan dan bimbingan sehingga penulis dapat
menyelesaikan Tesis ini.
Ucapan terimakasih ini penulis sampaikan kepada Yth :
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc(CTM), Sp.A(K), sebagai
Rektor Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan kepada
penulis untuk menyelesaikan pendidikan di Program Studi Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Laksamana Pertama TNI Syarif Husin, Komandan Pangkalan Utama TNI
AL I beserta jajarannya, yang telah memberikan kesempatan untuk melakukan
penelitian dan pengumpulan data yang diperlukan dalam penyelesaian Tesis ini;
3. Bapak Laksamana Pertama TNI Dr. Hari Utomo, SH, MH, Kepala Dinas
Pembinaan Hukum TNI Angkatan Laut, yang telah memberikan ijin dan
kesempatan kepada Penulis untuk mengikuti pendidikan Program Studi Magister
Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
4. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, selaku Ketua Program Studi Magister
Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
5. Bapak Prof. Dr. Suhaidi SH, MH, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum
sekaligus selaku Dosen Pembimbing Utama yang dengan penuh keiklasan dan
kesabaran telah membimbing dalam penulisan Tesis ini;
6. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, MHum, selaku Anggota Pembimbing yang
penuh keiklasan dan kesabaran telah membimbing dalam penulisan Tesis ini;
7. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM, selaku Pembantu Dekan II sekaligus
selaku Anggota Pembimbing yang dengan penuh keiklasan dan kesabaran telah
membimbing dalam penulisan Tesis ini;
8. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, SH, MHum, selaku Sekretaris Program Studi Magister Ilmu
Hukum sekaligus selaku Penguji, atas kesediaannya memberikan pengarahan dan
bimbingan serta saran demi sempurnanya Tesis.
9. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH, MHum selaku Penguji, atas kesediaannya
memberikan pengarahan dan bimbingan serta saran demi sempurnanya Tesis.
10.Seluruh staf dan dosen di program studi Magister Ilmu Hukum di Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan
wawasan serta membantu penulis dalam menyelesaikan Tesis ini;
11.Seluruh staf dan pegawai di Dinas Hukum Lantamal I Belawan terutama Mayor
Laut (KH) R. Johan Edi S sebagai Kasubdiskumlater Diskum Lantamal I yang
telah meluangkan waktu untuk diwawancarai dan memberikan data-data yang
sesuai dengan permasalahan yang ada di dalam penelitian penulis.
12.Partogi H Panggabean sebagai Kasi Penanganan Pelanggaran dan Penegakan
Hukum DKP Provinsi Sumut yang telah meluangkan waktu untuk diwawancarai
dan memberikan data-data yang sesuai dengan permasalahan yang ada di dalam
penelitian penulis.
13.Kompol J. Tondang sebagai Kasubbagrenmin Ditpolair Polda Sumut yang telah
meluangkan waktu untuk diwawancarai dan memberikan data-data yang sesuai
dengan permasalahan yang ada di dalam penelitian penulis.
14.Seluruh rekan-rekan mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum di Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak membantu dan mendorong
dalam penulisan Tesis ini;
15.Seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan Tesis ini, terima
kasih atas nasihat dan arahan yang berguna demi sempurnanya Tesis ini.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh keluarga penulis yang telah
memberikan bantuan, dorongan moril dan meteril kepada penulis terutama kepada
kedua orang tua penulis Ayahanda M.Justan Simanjuntak (Alm) dan Ibunda R.
Halimah br. Hutagaol, kepada mertua Bapak Walid Muslim dan Ibu Nirwana, serta
kepada istri tercinta Yesiana atas perhatian dan kasih sayang yang tulus yang telah
menemani dan memberikan kekuatan kepada penulis, serta kepada ananda tersayang
(Afif, Salvia) yang dengan keceriaannya telah memberikan inspirasi dan kekuatan
kepada penulis sehingga dapat membuat Tesis ini tepat pada waktunya. Tesis ini
penulis persembahkan kepada mereka sebagai bakti seorang anak, suami dan bapak.
”Tak ada gading yang tak retak”, penulis sangat menyadari bahwa Tesis ini
masih jauh dari kesempurnaan, baik bentuk, isi maupun penulisannya. Untuk itu
dengan segala kerendahan hati, penulis sangat mengharapkan adanya saran dan kritik
yang membangun dari semua pihak guna penyempurnaan penulisan Tesis ini,
sehingga pada akhirnya diharapkan dapat memberikan manfaat bagi perkembangan
ilmu pengetahuan, khususnya di bidang hukum.
Akhirnya, hanya kepada Allah SWT penulis berserah diri dan bersyukur atas
nikmat yang telah diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan Tesis ini.
Hanya kepadaNya lah penulis berdoa semoga membalas segala bantuan dan dorongan
dari seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan Tesis ini.
Amin.
Medan, Juli 2010 Penulis
Saiful Simanjuntak
RIWAYAT HIDUP
1. Nama : Saiful Simanjuntak
2. Tempat / Tgl. Lahir : Tebing Tinggi, 3 April 1971
3. Suku / Bangsa : Batak / Indonesia
4. Agama : Islam
5 Pekerjaan : TNI Angkatan Laut
6. Pendidikan :
a. Umum : SDN 102092 Tebing-Tinggi (Tahun 1982)
: SMP 1 Tebing-Tinggi (Tamat Tahun 1986)
: SMA Taman Siswa (Tamat Tahun 1990)
: S1 Ilmu Hukum UMSU Medan (Tamat Tahun 1996)
: S2 Ilmu Hukum USU Medan (Tamat Tahun 2010)
b. Militer : Sekolah Perwira Prajurit Karir Tahun 1997
: Pendidikan Spesialis Perwira Hukum Tahun 2004
: Pendidikan Lanjutan Perwira Tahun 2006
7. Istri : Yesiana
8. Anak : a. Fakhri Afif Simanjuntak
b. Salvia Florean Simanjuntak
9. Tanda – tanda Jasa yang dimiliki :
- SL. Kesetiaan VIII
10. Alamat : Komplek TNI AL Barakuda Blok AL. No. 43
Jl. Alumunium Raya Tanjung Mulia, Medan
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK …………..……….... i
ABSTRACT ……… ii
KATA PENGANTAR ………..……….. iii
RIWAYAT HIDUP ……… vii
DAFTAR ISI ……….. viii
DAFTAR TABEL ……….. xi
DAFTAR GAMBAR ……….. xii
DAFTAR SINGKATAN ……… xiii
BAB I : PENDAHULUAN ………..…… 1
A. Latar Belakang ……….…. 1
B. Perumusan Masalah ……….……. 8
C. Tujuan Penelitian ………... 8
D. Manfaat Penelitian ……….... 9
E. Keaslian Penulisan ……….... 9
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ……….. 10
1. Kerangka Teori ………... 10
2. Kerangka Konsepsi ……….. 12
G. Metode Penelitian ………... 15
BAB II : KEWENANGAN TNI AL SEBAGAI PENYIDIK DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA
ILLEGAL FISHING ... 22
A. Tindak Pidana di Bidang Perikanan ... 22
B. Modus Operandi Tindak Pidana Illegal Fishing ... 27
C. Contoh Kasus Kewenangan Penyidikan di Wilayah ZEEI .. 29
D. Kualifikasi Tindak Pidana Illegal Fishing dan Hukuman Pidana ... 31
E. Tugas Pokok, Jajaran dan Sarana Lantamal I ... 35
1. Tugas Pokok Lantamal I ... 35
2. Jajaran Lantamal I ... 38
3. Sarana Lantamal I ... 39
F. Dasar Kewenangan TNI AL Dalam Penegakan Hukum dan Penjagaan Keamanan di Wilayah Laut . ... 40
G. Kewenangan Penyidik Tindak Pidana Illegal Fishing ... 43
BAB III : HUBUNGAN KERJASAMA ANTAR PENYIDIK TINDAK PIDANA ILLEGAL FISHING ... 49
A. Wilayah Pengelolaan Perikanan ... 49
B. Kewenagan Daerah Dalam Pengelolaan Wilayah Laut ... 55
C. Kewenangan Perijinan ... 57
D. Proses Penegakan Hukum oleh Penyidik Lantamal I ... 58
E. Hasil Operasi Terhadap Tindak Pidana Illegal Fishing di Wilayah Lantamal I ... 66
F. Hubungan Kerjasama Antara Penyidik Tindak Pidana di Bidang Perikanan ... 66
BAB IV : HAMBATAN YANG DIHADAPI LANTAMAL I DALAM
PENANGANAN TINDAK PIDANA ILLEGAL FISHING .. 74
A. Penanganan Tindak Pidana di laut oleh KRI ... 74
B. Penanganan Tindak Pidana di laut oleh Penyidik Pangkalan. 87 C. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya IUU Fishing ... 103
D. Hambatan-hambatan dalam pelaksanaan Penegakan Hukum Tindak Pidana Illegal Fishing. ... 105
1. Hambatan Struktural ... 105
2. Hambatan dari Materi Perundang-undangan ... 111
3. Hambatan dari Masyarakat ... 124
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 128
A. Kesimpulan ... 128
B. Saran ... 131
DAFTAR PUSTAKA ... 133
DAFTAR TABEL
No Judul Halaman
1 Data Hasil Tangkapan Kapal Ikan di Diskum Lantamal I
Periode 2007, 2008 dan 2009... 66
2 Rincian Penahanan Berdasarkan Pasal 24-29 KUHAP... 109
3 Rincian Penahanan Berdasarkan Pasal 73-83 UU No. 31
Tahun 2004... 110
DAFTAR GAMBAR
No Judul Halaman
1
Sektor Operasi Keamanan Laut... 612 Sektor Operasi Patkor MSSP (Malacca Strait Sea Patrol). 62
3 Sektor Operasi Patkor Malindo (Malaysia Indonesia)... 63
4 Sektor Operasi Patkor Optima Malindo... 64
5 Sektor Operasi Patkor Indindo... 65
DAFTAR SINGKATAN
ABK : Anak Buah Kapal
Alutsista : Alat Utama Sistem Pertahanan Bakorkamla : Badan Koordinasi Keamanan Laut
GT : Gros Tonage
Guskamlabar : Gugus Keamanan Laut Wilayah Barat Guspurlabar : Gugus Tempur Laut Wilayah Barat IUU : Illegal, Unregulated, Unreported Fishing IPOA : International Plan of Action
KAL : Kapal Angkatan Laut
KIA : Kapal Ikan Asing
KII : Kapal Ikan Indonesia
Koarmabar : Komando Armada RI Kawasan Barat KRI : Kapal Perang Republik Indonesia Lanal : Pangkalan TNI Angkatan Laut
Lantamal : Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut Opskamla : Operasi Keamanan Laut
Patkamla : Patroli Keamanan Laut Patkor : Patroli Koordinasi Posal : Pos Pembantu TNI AL
PPNS : Penyidik Pegawai Negeri Sipil Satrad : Satuan Radar
SDI : Sumber Daya Ikan
SIB : Surat Ijin Berlayar
SIKPI : Surat Ijin Kapal Pengangkut Ikan SIPI : Surat Ijin Penangkapan Ikan SIUP : Surat Ijin Usaha Perikanan SLO : Surat Laik Operasi
SOP : Standart Operasional Prosedur
UNCLOS : United Nations Convention on The Law of The Sea WPP : Wilayah Pengelolaan Perikanan
ZEEI : Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
ABSTRAK
Negara Indonesia merupakan negara kepulauan (Archipelagic State) dengan jumlah pulau sebanyak 17.508 pulau dengan panjang pantai 81.000 km² yang terdiri dari 0,3 juta km² (5,17%) laut teritorial, 2,8 juta km² (48,28%) perairan kepulauan serta 2,7 juta km² (46,55%) Zona Ekonomi Eksklusif, sehingga menempatkan Indonesia pada posisi strategis dan memiliki potensi sumber daya perikanan yang besar. Kondisi strategis ini akan menarik bagi kapal-kapal asing untuk melakukan tindak pidana pencurian ikan (illegal fishing).
Secara teoritis, tindak pidana pencurian ikan (illegal fishing) adalah tindakan menangkap ikan dengan menggunakan Surat Penangkap Ikan (SPI) palsu, tidak dilengkapi dengan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), isi dokumen izin tidak sesuai dengan kapal dan jenis alat tangkapnya, menangkap jenis dan ukuran ikan yang dilarang. Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang perikanan, pencurian ikan (illegal fishing) adalah pencurian yang dilakukan karena menangkap ikan tanpa SIUP dan SIPI, menggunakan bahan peledak, bahan berbahaya lainnya yang mengakibatkan kerusakan dan kepunahan sumber daya ikan.
Penelitian ini didasarkan pada penelitian hukum normatif dengan melakukan pendekatan yuridis. Hasil penelitian menunjukan bahwa hubungan kerjasama antara penyidik tindak pidana perikanan yang terdiri atas PPNS Perikanan, Penyidik TNI AL dan Polri keberadaannya telah terwadahi dalam suatu badan dan forum koordinasi dengan tujuan untuk menjamin keseragaman, kepastian hukum, efektifitas dan efisiensi bagi penyidik dalam menangani perkara tindak pidana perikanan. Namun dalam perjalanannya sampai saat ini keberadaannya belum berjalan dengan baik, khususnya pada tataran level bawah. Penegakan hukum tindak pidana di bidang perikanan di wilayah Lantamal I sampai saat ini belum optimal, kondisi yang demikian disebabkan oleh beberapa faktor dan kendala antara lain Kualitas sumber daya manusia Perwira TNI AL sebagai aparat penegak hukum dan penyidik dari segi intelektual, moral dan dedikasi diakui masih kurang profesional, sarana dan prasarana yang dimiliki oleh TNI AL jauh dari memadai baik jumlah maupun tingkat modernisasi peralatan yang ada saat ini. Materi perundangan dan peraturan pelaksanaan yang mengatur tentang pengelolaan perikanan tidak konsisten, sehingga membawa pengaruh dalam pelaksaan penegakan hukum, komitmen Pemerintah serta tingkat kepedulian dan kesadaran hukum masyarakat masih relatif rendah dalam peran sertanya di bidang penegakan hukum tindak pidana perikanan, adanya keengganan para pelaku usaha di bidang perikanan untuk mematuhi dan memenuhi ketentuan yang berlaku dan hanya berpikir untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa menghiraukan dampak yang terjadi dari usaha yang dilakukan. Untuk itu perlu penegakan hukum dengan cara preventif, represif dan tindakan lainnya dalam upaya peningkatan sosial ekonomi masyarakat nelayan.
Kata Kunci: Penegakan Hukum “Illegal Fishing” oleh Penyidik TNI Angkatan Laut.
ABSTRACK
The Republic of Indonesia is an Archipelagic State with 17.508 island and coastline of 81,000 km², 0,3 millions km² (5,17%) of territorial water, 2.8 millions km² (48,28%) of archipelagic water and 2,7 millions km² (46,55%) of Exclusive Economic Zone which put Indonesia in a strategic position with a big potential fishery resources. This strategic condition will attract foreign fishing vessels to an illegal fishing.
Theoretically, illegal fishing is fishing activity under a fake fishing document (SIP), not equippedwith true fishing license (SIPI), the content of license are different from the type of vessel and fishing gear used and catching fish of prohibited kind and size. While according to Law No.31/2004 on Fishery, illegal fishing is a fishing activity done without SIUP and SIPI, using explosives and the other dangerous stuffs which can result in the destruction and extinction of fish resources.
This is a normative legal study with juridical approach. The result of this study showed that the cooperation between illegal fishing investigators comprising the staff of Ministry of Fishery (PPNS Perikanan) and the investigators from Indonesian Navy and Police has been accommodated in a coordinating body or forum to guarantee the standardization, legal certainty, effectiveness and efficiency of the investigators in handling the cases of illegal fishing. In fact, all of these have not yet well implemented, especially in a lower level. Up to now, law enforcement in terms of illegal fishing in the area of a Lantamal I (Naval Main Base I) in not optimal yet. This condition was caused by several factors and constrains such as the quality of human recources, for example, the Navy officers in their capacity as law upholders and investigators, in terms of intellectuality, moral and dedication, are still less professional and the number or modernization level of facilities and infrastucture currently owned by the Indonesian Navy are less adequate. The materials of legislation and implementation regulation regulating fishing management are not consistent that it brings an impact to the law upholding implementation, government´s commitment. The level of community´s care and awareness about law is still relatively low, in terms of their participation in upholding the law on illegal fishing. In addition, the young businessmen getting involved in fishing business are reluctant to obey and meet the existing regulations and they only think of how they can make big profit without thinking of the impact resulted from their business activities, how to prevent and repress the negative impact occurred and what action they should take to help improve the fishermen´s socio-economic life.
Key words: Law Upholding, Illegal fishing, Indonesian Navy Investigators
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia adalah negara kepulauan (Archipelagic State) yang berada
pada posisi silang dunia, diantara dua benua yaitu benua Asia-Australia dan diantara
dua samudera yaitu samudera Indonesia-Pasifik. Demikian pula dengan perbandingan
wilayah laut yang lebih luas dari pada wilayah daratannya. Wilayah darat dan laut
keseluruhannya adalah 5.193.250 km² yang terdiri dari 2.027.170 km² daratan dan
3.166.080 km² perairan1.
Pada tanggal 16 November 1994 Konvensi Hukum Laut 1982 (United Nations
Convention on the Law of the Sea) telah berlaku efektif (enter into force). Setelah
berlakunya Konvensi ini maka luas wilayah Indonesia bertambah menjadi 8.193.163
km², yang terdiri dari 2.027.087 km² daratan dan 6.166.163 km² lautan. Luas wilayah
laut Indonesia dapat dirinci menjadi 0,3 juta km² laut teritorial, 2,8 juta km² perairan
nusantara dan 2,7 km² Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.2
Laut yang secara alami telah menjadi lingkungan kehidupan memiliki empat
makna yang sangat strategis, yaitu : (1) Sebagai gudang sumber daya alam dan media
untuk mencari nafkah,(2) Sebagai pemersatu bangsa,(3) Sebagai media pertahanan
dan (4) Sebagai media perhubungan. Kita ketahui bersama bahwa dua pertiga lalu
1 Suhaidi, Perlindungan Terhadap Lingkungan Laut dari Pencemaran yang Bersumber dari
Kapal : Konsekwensi Penerapan Hak Pelayaran Internasional Melalui Perairan Indonesia, (Jakarta :
Penerbit Pustaka Bangsa Press, 2004) hlm. 2.
lintas perdagangan melalui laut. Dengan demikian, betapa besar manfaat laut bagi
kelangsungan perekonomian dunia. Apabila laut tidak aman, maka kelancaran
perekonomian negara-negara pengguna laut akan terganggu.3
Kekayaan SDA dan jasa-jasa lingkungan kelautan tersebut dapat kita daya
gunakan untuk kemajuan dan kemakmuran bangsa melalui sedikitnya 11 sektor
ekonomi kelautan : (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budi daya, (3) industri
pengelolaan hasil perikanan, (4) industri bioteknologi kelautan, (5) pertambangan dan
energi, (6) pariwisata bahari, (7) hutan mangrove, (8) perhubungan laut, (9) sumber
daya pulau-pulau kecil, (10) industri dan jasa maritim, dan (11) SDA non
konvensional. Secara keseluruhan, potensi nilai total ekonomi kesebelas sektor
kelautan diperkirakan mencapai USD 500 miliar (4.500 triliyun) per tahun.4
Lebih jauh lagi kegiatan illegal fishing di perairan Indonesia menyebabkan
kerugian negara rata-rata mencapai 4 sampai dengan 5 milyar (USD/tahun). Setiap
tahunnya sekitar 3.180 kapal nelayan asing beroperasi secara illegal di perairan
Indonesia, penyelundupan kayu berkisar Rp.6,6 trilyun per tahun, belum lagi
pencemaran laut yang sebenarnya mencapai jarak sepanjang 167.000 km. Isu utama
yang menonjol di Asia Pasifik yaitu sea piracy, trafficking in person (human
trafficking), terorisme di laut dan juga berhubungan dengan penyelundupan. Di
3 Slamet Soebiyanto, ”Keamanan Nasional ditinjau dari Perspektif Tugas TNI Angkatan Laut”,
Majalah Patriot, 2007, hlm. 10.
kawasan Asia Tenggara diperkirakan mencapai ribuan pucuk senjata pertahun, 80 %
kegiatan penyelundupan tersebut dilakukan melalui laut.5
TNI Angkatan Laut sebagai komponen utama pertahanan negara di laut
berkewajiban untuk menjaga kedaulatan negara dan integritas wilayah NKRI,
mempertahankan stabilitas keamanan di laut, melindungi sumber daya alam di laut
dari berbagai bentuk gangguan keamanan dan pelanggaran hukum di wilayah
perairan yurisdiksi nasional Indonesia. Konsepsi dasar terhadap perwujudan
keamanan di laut pada hakikatnya memiliki dua dimensi yaitu penegakan kedaulatan
dan penegakan keamanan yang saling berkaitan satu dengan lainnya.6
Dalam pasal 73 ayat (1) UU Nomor 45 tahun 2009, disebutkan bahwa ada tiga
instansi yang diberi wewenang sebagai penyidik (Perwira TNI AL, Penyidik
Kepolisian Negara, Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan) yang berkaitan dengan
proses perkara tindak pidana perikanan sampai dengan perkara dapat dilimpahkan ke
Kejaksaan. Hal ini tentunya dapat menimbulkan kerawanan adanya perbedaan
penafsiran peraturan perundang-undangan dan perbedaan pola penegakan hukum
diantara sesama aparat, bahkan timbul kekhawatiran akan adanya ketidak harmonisan
atau gesekan antar aparat dalam pelaksanaan operasi penegakan hukum dilaut7.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah dalam upaya pengamanan
laut, tetapi masih dipandang belum memadai dalam menjawab tantangan keamanan
5 Joko Sumaryono, ”Forum Koordinasi dan Konsultasi Operasi Keamanan Laut dan Penegakan
Hukum” , Majalah Patriot, 2007, hlm. 3.
6 Bernard Kent Sondakh, ”Pengamanan Wilayah Laut Indonesia”, Jurnal Hukum Internasional,
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta : 2004, hlm. 12.
7 M. Dandha, ”Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan”, Forum
laut yang ada. Sampai pada akhirnya pemerintah merasa perlu melakukan
upaya-upaya koordinasi berbagai pihak dalam upaya-upaya pengamanan laut Indonesia. Upaya
yang dilakukan oleh pemerintah di bawah pemerintahan Presiden Soesilo Bambang
Yudhoyono adalah dengan melakukan revitalisasi Badan Koordinasi Keamanan Laut
yang sudah ada sebelumnya untuk diatur kembali melalui instrument Peraturan
Presiden.8
Adanya perubahan tata pemerintahan dan perkembangan lingkungan strategis
saat ini perlu penataan kembali Bakorkamla untuk meningkatkan koordinasi antar
institusi/instansi pemerintah di bidang keamanan laut. Pada tahun 2003, melalui Kep.
Menkopolkam, Nomor Kep.05/Menko/Polkam/2/2003, dibentuk Kelompok Kerja
Perencanaan Pembangunan Keamanan dan Penegakan Hukum di Laut. Akhirnya
pada tanggal 29 Desember 2005, ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun
2005 tentang Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) yang menjadi dasar
hukum organisasi tersebut.9
Untuk menciptakan kondisi keamanan wilayah yang kondusif, Lantamal I
melaksanakan operasi kamla terbatas dengan Alutsista KAL/Patkamla yang tergelar
dijajaran, dalam rangka penegakan kedaulatan dan hukum serta melindungi sumber
sumber daya alam untuk kepentingan nasional maupun daerah10.
8 Begi Hersutanto, Problematika Sinergi dalam Grand Design Nasional Kebijakan Keamanan
Laut, (Jakarta : penerbit CSIS, 2007) hal. 1.
9 Ibid, hal. 2.
10 Sops Lantamal I Belawan, ”Laporan Bulanan Bid. Operasi dan Latihan Bulan Nopember
Pelaksanaan tugas pokok Lantamal I Belawan tentu mengacu pada tugas
pokok TNI Angkatan Laut yang diamanatkan dalam pasal 9 Undang-undang RI
Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia yaitu :
1. Melaksanakan tugas TNI matra laut di bidang pertahanan;
2. Menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi;
3. Melaksanakan tugas diplomasi Angkatan Laut dalam rangka mendukung kebijakan politik luar negeri yang ditetapkan oleh pemerintah;
4. Melaksanakan tugas dan pengembangan kekuatan matra laut; 5. Melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan laut.
Saat ini penyidik TNI AL secara konsisten telah menerapkan Undang-undang
Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun
2004 Tentang Perikanan dengan melaksanakan enforcement of law secara cepat dan
tuntas serta dapat menimbulkan efek jera bagi para pelakunya. Dalam proses
penyidikan di pangkalan TNI AL sesuai amanat Undang-undang telah menetapkan
owner, agen dan operator kapal sebagai tersangka. Hal ini dilakukan agar para
pemilik tidak lagi berlindung dibalik badan dan mengorbankan para Nakhoda dan
ABK kapal ikan. Penyidik TNI AL memang harus tunduk kepada otoritas yang
mengatur perijinan, meskipun selalu ditempatkan sebagai pemadam kebakaran dan
disalahkan bila ada penyelesaian kasus yang belum tuntas. Komitmen TNI AL tetap
tinggi untuk proaktif memberantas praktek illegal fishing11.
Beberapa permasalahan mendasar dalam illegal fishing antara lain
ketidakpastian dan ketidakjelasan hukum, birokrasi perijinan yang semrawut.
11 Leonard Marpaung,”Target Baru Illegal Fishing”, Forum Hukum, Volume 2 Nomor 2,
Ketidakpastian hukum dicirikan oleh beberapa hal seperti pemahaman yang berbeda
atas aturan yang ada, inkonsistensi dalam penerapan, diskriminasi dalam pelaksanaan
hukuman bagi kapal-kapal asing yang melanggar, persengkokolan antara pengusaha
lokal, pengusaha asing dan pihak peradilan. Peradilan terhadap pelanggarpun lambat,
berlarut-larut dan korup12.
Dalam UU Nomor 9 tahun 1985 maupun UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan sangat
jelas bahwa illegal fishing diganjar pidana penjara dan denda sepadan pelanggaran
yang dilakukan. Sanksi pidana penjara dan denda tidak diterapkan semestinya.
Ketidakjelasan lainnya adalah ganjaran/sanksi terhadap birokrasi perijinan dan
pengawas serta aparat penegak hukum di laut yang dengan sengaja melakukan
pungutan di luar ketentuan atau meloloskan pelanggar dengan kongkalikong13.
Illegal fishing dikenal dengan illegal, unregulated, unreported fishing tidak
hanya terjadi di Indonesia saja, beberapa negara kawasan Asia Pasifik mengakui
bahwa IUU Fishing menjadi musuh yang harus diberantas demi usaha perikanan
berkelanjutan14. Data-data kapal yang ditangkap oleh kapal perang, kesalahan mereka
sangat bervariasi antara lain transfer tanpa ijin, dokumen palsu, menangkap ikan
dengan jaring terlarang, menggunakan bahan peledak, ABK tidak disijil dan
12 Ibid
13 Ibid
14 Djoko Tribawono, ”Illegal Fishing Antara Dua Pilihan”, Dikutip dari
pelanggaran kemudahan khusus keimigrasian serta tenaga kerja asing yang tidak
memiliki ijin kerja.
Prosedur dan tata cara pemeriksaan tindak pidana di laut sebagai bagian dari
penegakan hukum di laut mempunyai ciri-ciri atau cara-cara yang khas dan
mengandung beberapa perbedaan dengan pemeriksaan tindak pidana di darat. Hal ini
disebabkan karena di laut terdapat bukan saja kepentingan nasional, akan tetapi
terdapat pula kepentingan-kepentingan internasional yang harus dihormati, seperti
hak lintas damai, hak lintas alur laut kepulauan, hak lintas transit, pemasangan kabel
laut serta perikanan tradisional negara tetangga.
Undang-undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-undang
Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan tidak mengatur pembagian kewenangan
secara tegas dan tidak pula mengatur mekanisme kerja yang pasti, sehingga ketiga
instansi tersebut menyatakan instansinya sama-sama berwenang dalam penegakan
hukum perikanan serta tanpa adanya keterpaduan sistem dalam pelaksanaannya.
Menurut Lufsiana, hal inilah yang disebut sebagai konflik kewenangan dalam
penegakan hukum perikanan. Konflik kewenangan seperti ini tidaklah
menguntungkan dan mencerminkan penegakan hukum terhadap tindak pidana
perikanan dipandang lemah dan tidak optimal, sehingga berdampak kepada kegiatan
penangkapan ikan secara tidak sah masih menunjukkan frekuensi yang cukup tinggi
dan tetap terus berlangsung. Untuk itu segera dicarikan solusinya, guna tercipta suatu
positif bagi para pelaku usaha dibidang perikanan yang pada akhirnya mampu
meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat15
.
B. Perumusan Masalah
Dengan latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana kewenangan penyidik TNI AL dalam penanganan tindak
pidana illegal fishing?
2. Bagaimana hubungan kerjasama antar aparat penyidik tindak pidana
illegal fishing?
3. Apa kendala dan faktor yang menghambat pelaksanaan penegakan hukum
dalam tindak pidana illegal fishing yang dilakukan oleh Penyidik TNI
Angkatan Laut di Lantamal I?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dan kegunaan penelitian dalam penulisan ini adalah :
1. Untuk mengetahui kewenangan TNI AL dalam penanganan tindak pidana
illegal fishing.
2. Untuk mengetahui hubungan kerjasama antar aparat penyidik tindak
pidana illegal fishing.
15 Lufsiana,”Konflik Kewenangan Penegakan Hukum Perikanan”, Dikutip dari
3. Untuk mengetahui kendala dan faktor yang menghambat pelaksanaan
penegakan hukum dalam tindak pidana illegal fishing yang dilakukan oleh
Penyidik TNI Angkatan Laut di Lantamal I.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penulisan yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Secara Teoritis
Diharapkan dapat berguna dan bermanfaat untuk pengembangan
teori-teori hukum atau ilmu pengetahuan hukum pidana dan hukum acara pidana
serta perbendaharaan pustaka ilmu hukum.
2. Secara Praktis
Dapat dijadikan bahan masukan bagi aparat penegak hukum di laut guna
menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi di lapangan.
E. Keaslian Penulisan
Didasarkan dari pemeriksaan yang dilakukan oleh penulis diperpustakaan
Universitas Sumatera Utara, dapat diketahui bahwa penelitian tentang ”Penegakan
Hukum Oleh Penyidik TNI AL dalam penanganan Tindak Pidana Illegal Fishing”
belum ada ditemukan judul penelitian yang sama persis, baik judul maupun
permasalahan yang sama. Jadi penelitian ini dikategorikan penelitian yang baru dan
keasliannya dapat dipertanggungjawabkan secara akademisi dan ilmiah sesuai dengan
etis dari proses menemukan kebenaran dan terbuka atas masukan dan saran-saran
yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan permasalahan.
F. Kerangka Teori dan konsepsi
1. Kerangka Teori
Dalam pembahasan mengenai Penegakan hukum oleh penyidik TNI AL
dalam penanganan tindak pidana illegal fishing, teori utama yang digunakan adalah
teori Lawrence M. Friedman, dalam bukunya Legal Culture and Social Development
mengenai sistem hukum. Dalam pandangannya tentang penegakan hukum, bahwa
untuk memahami efektif tidaknya hukum di dalam masyarakat, harus diperhatikan
komponen-komponen sistem hukum sebagai berikut :
1. Komponen Struktural dalam sistem hukum mencakup berbagai institusi,
bentuk serta proses yang diciptakan oleh sistem hukum tersebut dengan
berbagai macam fungsi untuk mendukung bekerjanya sistem hukum.
Salah satu lembaga tersebut adalah pengadilan. Dalam hubungan ini,
pembicaraan termasuk pula tentang struktur organisasi, landasan
bekerjanya hukum, kompetensi dan lain sebagainya.
2. Komponen Substantif, mencakup keluaran (output) dari sistem hukum,
apakah dalam bentuk peraturan, keputusan ataupun doktrin, sepanjang hal
3. Komponen Budaya (budaya hukum) adalah keseluruhan sikap dan
nilai-nilai serta tingkah laku yang menentukan bagaimana hukum tersebut
berlaku pada masyarakat.16
Menurut Koesnadi Hardjasoemantri penegakan hukum merupakan kewajiban
dari seluruh masyarakat dan untuk ini pemahaman tentang hak dan kewajiban
menjadi syarat mutlak. Masyarakat bukan penonton bagaimana hukum ditegakkan,
akan tetapi masyarakat ikut berperan dalam penegakan hukum17 Satjipto Rahardjo
mengatakan bahwa masalah penegakan hukum dalam dimensi sosial, tidak dapat
dipisahkan oleh :
1. Peranan faktor manusia yang menjalankan penegakan hukum itu.
2. Soal lingkungan proses penegakan hukum yang dikaitkan dengan
manusianya secara pribadi.
3. Penegak hukum sebagai suatu lembaga.18
Dalam hal penyidikan yang menjadi topik pembahasan dalam penulisan tesis
ini, yaitu mengenai penyidikan yang dilakukan oleh Perwira TNI Angkatan Laut
selaku penyidik terhadap perkara-perkara atau kasus-kasus tindak pidana perikanan
(illegal fishing) di perairan Lantamal I khususnya di laut ZEEI. Berdasarkan
ketentuan yang termuat dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana jo Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun
16 Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Perspektif, Teoretis dan Praktik (Bandung :
Penerbit PT. Alumni, 2008), hlm. 410.
17 Alvy Syahrin, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, (Jakarta : Penerbit PT.
Sofmedia, 2009) hlm. 7.
18 Siswanto Sunarso, Wawasan Penegakan Hukum di Indonesia, (Bandung : Penerbit Citra
1983 tentang Pelaksanaan KUHAP pasal 17 beserta penjelasannya menyebutkan
bahwa bagi penyidik dalam perairan Indonesia, zona tambahan, landas kontinen dan
zona ekonomi eksklusif Indonesia, penyidikan dilakukan oleh Perwira TNI AL dan
penyidik lainnya yang ditentukan oleh Undang-undang yang mengaturnya.
Undang-undang Nomor 5 Tahun1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia dalam pasal 14 ayat (1) yang memberikan kewenangan penyidikan kepada
Perwira TNI AL sedang hukum acaranya mengatur beberapa tindakan penyidikan
yang menyimpangi ketentuan yang diatur dalam KUHAP, misalnya pada pasal 13
ayat (1) bahwa batas waktu penangkapan di laut adalah 7 x 24 jam, selanjutnya pasal
14 ayat (3) mengenai kewenangan mengadili tindak pidana di ZEEI tidak mengenal
adanya asas locus delicti, tetapi berdasarkan daerah pelabuhan kapal disandarkan.
Sehingga Undang-undang ini merupakan pengkhususan dari KUHAP, atau dikenal
dengan asas hukum ”Lex Specialis derogat lex Generalis”.
2. Kerangka Konsepsi
Pengertian ”illegal fishing” dalam peraturan perundang-undangan yang ada
tidak secara eksplisit didefinisikan dengan tegas. Namun, terminologi illegal fishing
dapat dilihat dari pengertian secara harfiah yaitu dari bahasa Inggris. Dalam The
Contemporary English Indonesian Dictionary, ”illegal”19 artinya tidak sah, dilarang
atau bertentangan dengan hukum. “Fish”20 artinya ikan atau daging ikan dan
19 Peter Salim, The Contemporary English Indonesian Dictionary, Edisi Kedelapan Tahun
2002, (Jakarta : Penerbit Modern English Press) hlm. 925.
”fishing”21 artinya penangkapan ikan sebagai mata pencaharian atau tempat
menangkap ikan. Berdasarkan pengertian secara harfiah tersebut dapat dikatakan
bahwa ”illegal fishing” menurut bahasa berarti menangkap ikan atau kegiatan
perikanan yang dilakukan secara tidak sah. Menurut Divera Wicaksono sebagaimana
dikutip Lambok Silalahi bahwa illegal fishing adalah memakai Surat Izin
Penangkapan Ikan (SIPI) palsu, tidak dilengkapi dengan SIPI, isi dokumen izin tidak
sesuai dengan kapal dan jenis alat tangkapnya, menangkap ikan dengan jenis dan
ukuran yang dilarang22.
Penegakan hukum adalah merupakan usaha atau kegiatan negara berdasarkan
kedaulatan negara atau berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku, baik
aturan hukum nasional itu sendiri maupun aturan hukum internasional dapat
diindahkan oleh setiap orang dan atau badan-badan hukum, bahkan negara-negara
lain untuk memenuhi kepentingannya namun tidak sampai mengganggu kepentingan
pihak lain.23
Penegakan hukum dalam pengertian yustisial diartikan sebagai suatu proses
peradilan yang terdiri dari kegiatan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan di sidang pengadilan serta pelaksanaan putusan hakim, hal ini bertujuan
untuk menjamin ketertiban dan kepastian hukum. Berdasarkan pengertian yustisial
maka yang dimaksud dengan penegakan hukum di laut ialah suatu proses kegiatan
21 Ibid.
22 Lambok Silalahi, ”Tindak Pidana Pencurian Ikan (Illegal Fishing) di Perairan Pantai Timur
Sumatera Utara”,Tesis, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, (Medan : USU 2006), hlm. 58.
23 Sekolah Staf dan Komando TNI AL, ”Wawasan Nusantara”, Paket Instruksi, Jakarta, 2002,
dalam penyelesaian suatu perkara yang timbul sebagai akibat terjadinya pelanggaran
dilaut atas ketentuan hukum yang berlaku baik ketentuan hukum internasional
maupun nasional.24
Penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan diperairan yang
tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan
yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan,
menangani, mengolah dan/atau mengawetkannya.25
Kapal perikanan adalah kapal, perahu, atau alat apung lain yang digunakan
untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan,
pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan
penelitian/eksplorasi perikanan.26
Surat Izin Usaha Perikanan, yang selanjutnya disebut SIUP, adalah izin
tertulis yang harus dimiliki perusahaan perikanan untuk melakukan usaha perikanan
dengan menggunakan sarana produksi yang tercantum dalam izin tersebut.27
Surat Izin Penangkapan Ikan, yang selanjutnya disebut SIPI, adalah izin
tertulis yang harus dimiliki setiap kapal perikanan untuk melakukan penangkapan
ikan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari SIUP.28
24 Adi Susanto, “Hubungan antara Penegakan Hukum di Laut dan Ketahanan Nasional, Forum
Hukum, Volume 4, Nomor 4, 2007, hlm. 6.
25 Republik Indonesia,”Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan ”, Direktorat Jenderal Pengawasan
Sumberdaya Kelautan dan Perikanan, Jakarta, 2009, Pasal 1 titik 5
26 Ibid,Pasal 1 titik 9.
27 Ibid,Pasal 1 titik 16.
Surat Izin Kapal Pengangkutan Ikan, yang selanjutnya disebut SIKPI, adalah
izin tertulis yang harus dimiliki setiap kapal perikanan untuk melakukan
pengangkutan ikan.29
Pelabuhan Perikanan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan perairan di
sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan
kegiatan sistem bisnis perikanan yang digunakan sebagai tempat kapal perikanan
bersandar, berlabuh, dan/atau bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas
keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang perikanan.30
Wilayah Perairan Indonesia adalah laut territorial Indonesia, perairan
kepulauan dan perairan pedalaman.31
G. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis
normatif. Metode penelitian normatif disebut juga penelitian doktrinal
(doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik
yang tertulis di dalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum
yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by
the judge through judicial process) 32. Adapun sifat penelitian yang dilakukan
adalah deskriptif analitis. Tujuan penelitian deskriptif adalah menggambarkan
29 Ibid,Pasal 1 titik 18.
30 Ibid,Pasal 1 titik 23.
31Republik Indonesia, “Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia”.
32 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta : Penerbit
secara tepat, sifat individu, suatu gejala, keadaan atau kelompok tertentu33.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran secara menyeluruh dan
sistematis mengenai tindak pidana illegal fishing.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang undangan
(statute approach). Penelitian ini menggunakan pendekatan tersebut karena
menelaah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral
suatu penelitian34. Analisa hukum yang dihasilkan oleh suatu penelitian
hukum normatif yang menggunakan pendekatan perundang-undangan, akan
menghasilkan suatu penelitian yang akurat. Pendekatan tersebut melakukan
pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan peranan
TNI AL sebagai penyidik dalam penanganan tindak pidana illegal fishing.
3. Sumber Data Penelitian
a. Penelitian Kepustakaan, diperoleh dari :
1) Bahan Hukum Primer:
Bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan baik
hukum nasional maupun internasional yang berhubungan dengan
33 C.G.F. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke 20,
(Bandung : Penerbit Alumni, 1994), hlm. 89.
34 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Edisi Revisi, (Malang
penegakan hukum di laut khususnya tentang perikanan. Adapun
peraturan perundang-undangan yang dimaksud, misalnya:
a) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia;
b) Undang-undang Nomor 17 Tahun 1983 tentang Hukum Laut (United
Nations Convention On The Law Of The Sea) 1982;
c) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia;
d) Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan;
e) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan;
f) Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional
Indonesia;
g) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2007 tentang
Pengadilan Perikanan;
h) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.11/Men/ 2006
tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di bidang
Perikanan;
i) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Kep.04/
Men/2007 tentang Pembentukan Tim Teknis Penanganan Tindak
Pidana di bidang Perikanan;
j) Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor :
Penanganan Tindak Pidana di bidang Perikanan di Tingkat Propinsi,
Kabupaten dan Kota;
k) Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 1983 tanggal 17
Nopember 1983 tentang Penyelesaian kasus-kasus atau pelanggaran
tindak pidana di laut tanpa mengkwatirkan locus delicti;
l) Surat Keputusan Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
Nomor Skep/907/XII/1987 tanggal 23 Desember 1987 tentang
Pengangkatan Perwira TNI Angkatan Laut sebagai Penyidik35.
2) Bahan hukum sekunder:
Berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan
dokumen-dokumen resmi, meliputi buku-buku teks, kamus-kamus
hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar-komentar atas putusan
pengadilan. Bahan hukum sekunder terutama adalah buku teks karena
buku teks berisi mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan
pandangan-pandangan klasik para sarjana yang mempunyai klasifikasi
tinggi36.
3) Bahan hukum tersier:
35 Dinas Pembinaan Hukum Mabesal, “Kewenangan Perwira TNI AL Sebagai Penyidik”,
Jakarta, 2009, hlm. 3.
Berupa bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan
penjelasan terhadap bahan hukum sekunder seperti kamus umum, kamus
hukum, majalah dan jurnal ilmiah37.
b. Penelitian Lapangan
Penelitian lapangan dilaksanakan dalam upaya memperoleh
bahan-bahan langsung dari institusi yang berwenang dalam melakukan penyidikan
terhadap tindak pidana illegal fishing. Hal ini dilakukan karena tidak semua
bahan-bahan yang diperlukan dapat diperoleh atau tersedia di perpustakaan.
Untuk mendukung penelitian ini diperlukan data penunjang, maka
ditentukan pihak-pihak sebagai nara sumber sebagai berikut :
1. Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut (Lantamal 1) Belawan
2. Direktorat Kepolisian Perairan Polda Sumut di Belawan
3. Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Sumatera Utara
4. Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data ialah teknik atau cara yang dapat digunakan
oleh peneliti untuk mengumpulkan data. Metode atau teknik menunjuk suatu
kata yang abstrak dan tidak diwujudkan dalam benda, tetapi hanya dapat
dilihatkan penggunaannya melalui angket, pengamatan, ujian, dokumen dan
lainnya38.
37 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta : Penerbit UI-Press, 1990), hlm. 14.
Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini
dilakukan dengan cara :
a. Penelitian kepustakaan (Library Research)
Studi kepustakaan dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder
melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan,
literatur-literatur, tulisan-tulisan para pakar hukum, bahan kuliah dan
putusan-putusan pengadilan yang berkaitan dengan penelitian ini.
b. Penelitian Lapangan (Field Research)
Proses pengumpulan bahan-bahan melalui penelitian lapangan
dilakukan melalui wawancara dengan tanya jawab secara langsung
kepada nara sumber.
5. Analisis Data
Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data
ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan
tema dan dapat dirumuskan hipotesa kerja seperti yang disarankan oleh data39.
Analisis dimulai dengan pemeriksaan terhadap data yang terkumpul
dari wawancara, peraturan, karya ilmiah, pendapat ahli (doktrin) yang
berkaitan dengan judul penelitian dan laporan hasil penelitian lainnya untuk
mendukung data sekunder. Baik data primer maupun data sekunder dilakukan
39 Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi, (Bandung : Penerbit Remaja
analisis secara deskriptif, sehingga dapat menguraikan dan menggambarkan
BAB II
KEWENANGAN TNI AL SEBAGAI PENYIDIK DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA ILLEGAL FISHING
A. Tindak Pidana di Bidang Perikanan
Dalam ilmu hukum secara umum dikenal adanya hukum pidana umum dan
hukum pidana khusus. Dalam sistem hukum pidana di Indonesia dapat ditemukan
dalam pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi
sebagai berikut :
”Ketentuan – ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII Buku ini juga berlaku bagi perbuatan – perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lain diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain”
Berdasarkan ketentuan pasal 103 tersebut, maka yang dimaksud dengan:
1. Tindak Pidana Umum adalah semua tindak pidana yang tercantum dalam
KUHP dan semua undang-undang yang mengubah atau menambah
KUHP.
2. Tindak Pidana Khusus adalah semua tindak pidana yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan tertentu di luar KUHP.
Adanya tindak pidana umum dan tindak pidana khusus ini, maka dalam
penyelesaian perkaranya juga diatur dalam hukum acara umum dan hukum acara
khusus, sehingga dalam penerapan dan penegakan hukumnya dimuat acara tersendiri
sebagai ketentuan khusus (Lex Specialis)40.
40 Sukardi, Penyidikan Tindak Pidana Tertentu, Edisi Revisi, (Jakarta : Penerbit Restu Agung,
Wewenang penyidik dalam tindak pidana tertentu yang diatur secara khusus
oleh undang-undang tertentu dilakukan oleh penyidik, jaksa dan pejabat penyidik
yang berwenang lainnya yang ditunjuk berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Sehingga dengan demikian dapat diketahui bahwa tindak pidana perikanan termasuk
dalam katagori tindak pidana khusus.
1. Beberapa macam tindak pidana perikanan (IUU Fishing : Illegal,
Unregulated, Unreported Fishing) dapat dibedakan atas :
a. Illegal Fishing adalah kegiatan penangkapan ikan secara illegal di perairan wilayah atau ZEE suatu negara, tidak memiliki ijin dari negara pantai.
b. Unregulated Fishing adalah kegiatan penangkapan ikan di perairan wilayah atau ZEE suatu negara yang tidak mematuhi aturan yang berlaku di negara tersebut.
c. Unreported Fishing adalah kegiatan penangkapan ikan di perairan wilayah atau ZEE suatu negara yang tidak dilaporkan baik operasionalnya maupun data kapal dan hasil tangkapannya.41
2. Berdasarkan IPOA (International Plan Of Action) yaitu suatu organisasi
regional yang bergerak di bidang perencanaan dan pengelolaan perikanan,
memetakan jenis IUU Fishing sebagai berikut42 :
a. Kegiatan perikanan melanggar hukum (Illegal Fishing), yaitu kegiatan
penangkapan ikan :
1) Dilakukan oleh orang atau kapal asing pada suatu perairan yang
menjadi yurisdiksi suatu negara tanpa ijin dari negara tersebut atau
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
41 Aji Sularso,” Permasalahan IUU Fishing,”, Seminar, 2002.
42 Markas Besar TNI Angkatan Laut, “Peranan TNI Angkatan Laut Dalam Menanggulangi
2) Bertentangan dengan peraturan nasional yang berlaku atau kewajiban
internasional;
3) Dilakukan oleh kapal yang mengibarkan bendera suatu negara yang
menjadi anggota organisasi pengelolaan perikanan regional, tetapi
beroperasi tidak sesuai dengan ketentuan pelestarian dan pengelolaan
yang diterapkan oleh organisasi tersebut atau ketentuan hukum
internasional yang berlaku;
4) Penyebab Illegal Fishing, antara lain :
a) Meningkat dan tingginya permintaan ikan, baik didalam negeri maupun luar negeri;
b) Berkurang atau habisnya sumber daya ikan di negara lain; c) Lemahnya armada perikanan nasional;
d) Dokumen perijinan pendukung dikeluarkan oleh lebih dari satu instansi;
e) Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum di laut; f) Lemahnya tuntutan dan putusan pengadilan;
g) Belum adanya kesamaan visi aparat penegak hukum yang berkompeten di laut;
h) Lemahnya peraturan perundangan terutama mengenai ketentuan pidananya.
Kegiatan iIllegal fishing yang umum terjadi di perairan yurisdiksi
nasioal Indonesia, adalah :
1) Penangkapan ikan tanpa ijin;
2) Penangkapan ikan dengan menggunakan ijin palsu;
3) Penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap terlarang;
dan
b. Kegiatan perikanan yang tidak dilaporkan (Unreported Fishing), yaitu
kegiatan penangkapan ikan :
1) Tidak pernah dilaporkan atau dilaporkan secara tidak benar kepada
instansi yang berwenang, tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan nasional.
2) Dilakukan di area yang menjadi kompetensi organisasi pengelolaan
perikanan regional, namun tidak pernah dilaporkan atau dilaporkan
secara tidak benar, tidak sesuai dengan prosedur pelaporan dari
organisasi tersebut.
3) Penyebab Unreported Fishing, antara lain :
a) Lemahnya peraturan perundang-undangan; b) Lemahnya ketentuan sanksi dan pidana;
c) Belum sempurnanya sistem pengumpulan data hasil tangkapan angkutan ikan;
d) Belum ada kesadaran pengusaha terhadap pentingnya menyampaikan data hasil tangkapan/angkutan ikan;
e) Hasil tangkapan dan daerah tangkapan dianggap rahasia dan tidak untuk diketahui pihak lain;
f) Wilayah kepulauan menyebabkan banyak tempat pendaratan ikan yang sebagian besar tidak termonitor dan terkontrol;
g) Unit penangkapan dibawah 6 GT tidak diwajibkan memiliki IUP dan SIPI, sehingga tidak diwajibkan melaporkan data hasil tangkapannya; dan
h) Sebagian besar perusahaan yang memiliki armada penangkapan ikan mempunyai pelabuhan sendiri.
Kegiatan Unreported Fishing yang umum terjadi di perairan yurisdiksi
nasional Indonesia, adalah :
1) Penangkapan ikan yang tidak melaporkan hasil tangkapan yang
2) Penangkapan ikan yang langsung dibawa ke negara lain
(transhipment) di tengah laut.
c. Kegiatan perikanan yang tidak diatur (Unregulated Fishing), yaitu
kegiatan penangkapan ikan :
1) Suatu area atau stok ikan yang belum diterapkan ketentuan pelestarian
dan pengelolaan dan kegiatan penangkapan tersebut dilaksanakan
dengan cara yang tidak sesuai dengan tanggung jawab negara untuk
pelestarian dan pengelolaan sumber daya ikan sesuai hukum
internasional.
2) Area yang menjadi kewenangan organisasi pengelolaan perikanan
regional, yang dilakukan oleh kapal tanpa kewarganegaraan, atau yang
mengibarkan bendera suatu negara yang tidak menjadi anggota
organisasi tersebut, dengan cara yang tidak sesuai atau bertentangan
dengan ketentuan pelestarian dan pengelolaan dari organisasi tersebut.
3) Penyebab Unregulated Fishing, antara lain :
a) Potensi sumber daya ikan di perairan Indonesia masih dianggap memadai dan belum mencapai tingkat yang membahayakan;
b) Terfokus pada aturan yang sudah ada karena banyak permasalahan/kendala dalam pelaksanaan di lapangan;
c) Orientasi jangka pendek;
d) Beragamnya kondisi daerah perairan dan sumber daya ikan, dan e) Belum masuknya Indonesia menjadi anggota organisasi perikanan
internasional.
Kegiatan Unregulated Fishing di perairan yurisdiksi nasional
1) Mekanisme pencatatan data hasil tangkapan dari seluruh kegiatan penangkapan ikan yang ada;
2) Wilayah perairan-perairan yang diperbolehkan dan dilarang; dan 3) Pengaturan aktifitas sport fishing, kegiatan-kegiatan penangkapan
ikan menggunakan modifikasi dari alat tangkap ikan yang dilarang, seperti penggunaan jaring arad dan jaring apollo.
B. Modus Operandi Tindak Pidana Illegal Fishing.
Dari berbagai kasus tindak pidana illegal fishing selama ini modus operandi
yang dilakukan oleh kapal ikan asing maupun kapal ikan berbendera Indonesia eks
kapal ikan asing, antara lain43 :
1. Kapal Ikan Asing yaitu kapal murni berbendera asing melaksanakan
kegiatan penangkapan di perairan Indonesia tanpa dilengkapi dokumen dan
tidak pernah mendarat di pelabuhan perikanan Indonesia.
2. Kapal Ikan Indonesia eks KIA dengan dokumen aspal (asli tapi palsu) atau
tidak ada dokumen ijin.
3. Adanya Kapal Ikan Indonesia dengan dokumen aspal (pejabat yang
mengeluarkan bukan pejabat yang berwenang atau dokumen palsu).
4. Kapal Ikan Indonesia tanpa dilengkapi dokumen sama sekali artinya
menangkap ikan tanpa ijin.
5. Kapal Ikan Indonesia atau Kapal Ikan Asing melaksanakan kegiatan
penangkapan di perairan Indonesia yang menyalahi ketentuan alat tangkap
dan manipulasi hasil tangkapan atau ikan yang diangkut.
43 Koko P.Bhairawa, “Penataan Kebijakan Illegal Fishing”, Dikutip dari
Menurut Aji Sularso, berdasarkan hasil rekam VMS (Vessel Monitoring
System), rekam jejak (track record) kapal-kapal eks asing menunjukkan bahwa
modus utama adalah menyalahi fishing ground, transiphment ikan di laut (kapal
angkut posisinya dekat perbatasan ZEEI). Kapal-kapal asli Indonesia pada umumnya
menggunakan jaring sesuai ketentuan, penyimpangan alat tangkap sangat sedikit
ditemukan. Sebagian besar pelanggaran yang dilakukan adalah menyalahi fishing
ground44.
Lebih lanjut Aji mengatakan bahwa kegiatan IUU fishing oleh kapal asing dan
eks asing dilihat dari prspektif yang lebih luas dapat dikategorikan sebagai berikut :
1. Merupakan kejahatan lintas negara terorganisasi (trans national organized
crime).
2. Sangat mengganggu kedaulatan NKRI (terutama kedaulatan ekonomi).
3. Mematikan industri pengolahan ikan di Indonesia dan sebaliknya
menumbuh kembangkan industri pengolahan di negara lain.
4. Merusak kelestarian sumber daya ikan, karena intensitas IUU fishing
menyebabkan overfishing dan overcapacity.
C. Contoh Kasus Kewenangan Penyidikan di Wilayah ZEEI
Direktorat Kepolisian Perairan Polda Sumut dalam melakukan patroli
memergoki kapal ikan berbendera Malaysia yang dinakhodai oleh Mr. Chat
44 Aji Sularso, Overfishing, Overcapacity dan Illegal Fishing, (Jakarta : Penerbit Kementerian
berkewarganegaraan Thailand menangkap ikan diperairan Selat Malaka. Kapal yang
diketahui bernama KHF 1338 diperiksa kapal patroli Pol. 218 pada hari Rabu tanggal
3 Maret 2010 sekira pukul 18.00 wib pada posisi 04º 26' 061” LU - 099º 36' 441” BT
atau ± 41 myl Utara dari lampu Pulau Berhala Sumatera Utara perairan Selat Malaka
Indonesia. Setelah dilakukan pemeriksaan, kapal ikan KHF 1338 tidak memiliki ijin,
oleh karenanya Mr. Chat dan ABK serta kapal ikan KHF 1338 dibawa ke dermaga
Dit Polair Polda Sumut untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut45.
Kapal ikan KHF 1338 disangka melanggar pasal 93 ayat (2) UU No. 45
Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang
berbunyi:
“Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing melakukan penangkapan ikan di ZEEI yang tidak memiliki SIPI sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp 20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).”
Setelah dilakukan proses penyidikan oleh penyidik Polair Polda Sumut, maka
pada tanggal 23 Maret 2010 berkas perkara dilimpahkan ke Kejari Belawan.
Pada tanggal 25 Maret 2010, pihak kejaksaan menerbitkan P-18 dan P-19 dengan
petunjuk46:
“agar dimintakan keterangan ahli hukum pidana yang dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan berkenaan dengan apakah penyidik Polri berwenang melakukan penyidikan tindak pidana perikanan yang locus delictinya diwilayah Zona Ekonomi Eksklusuf Indonesia (ZEEI).”
45 Laporan Polisi Tentang Kejahatan/Pelanggaran yang Diketemukan Nomor :
LP/18/III/2010/SU/Polair Tanggal 4 Maret 2010
46 Surat P-19 dari Kepala Kejaksaan Negeri Belawan Nomor: B-825/N.2.26.4/Fd.2/03/2010
(Dalam hal penyidik Polri tidak berwenang melakukan penyidikan di ZEEI, maka perkara tersebut agar diserahkan kepada Penyidik TNI AL atau PPNS Perikanan untuk diproses lebih lanjut)
Sesuai petunjuk kejaksaan tersebut diatas, Dir pol Air Polda Sumut
menerbitkan surat pencabutan SPDP atas nama tersangka Mr. Chat dan selanjutnya
perkara tersebut diserahkan kepada penyidik TNI AL (Lantamal I Blw) untuk proses
lebih lanjut.
Dari uraian singkat kejadian diatas, penulis perlu menegaskan bahwa
kewenangan penyidikan di wilayah ZEEI adalah penyidik TNI AL dan PPNS
Perikanan sebagaimana diatur dalam Pasal 73 ayat (2) UU No. 45 Tahun 2010 yang
berbunyi:
“Selain penyidik TNI AL, Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana dibidang perikanan yang terjadi di ZEEI.”
Bahwa penyidik Polri terkesan memaksakan agar perkara tersebut disidik oleh
pihak Polri. Mereka berpendapat bahwa memang dalam pasal 73 ayat (2) itu tidak
dicantumkan penyidik Polri, tapi dalam pasal tersebut menetapkan penyidik lain yaitu
PPNS Perikanan berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana di bidang
perikanan yang terjadi di ZEEI. Sedangkan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)
dalam UU No. 8 Tahun 1997 tentang Kepolisian Republik Indonesia, Pasal 4 ayat (1)
disebutkan sebagai pengemban fungsi kepolisian, Polisi dibantu oleh Penyidik
Pegawai Negeri Sipil (PPNS), artinya Polisi itu bertugas pula sebagai koordinator