AKUNTABILITAS TIM PENGAMAT PEMASYARAKATAN
(TPP) PADA PELAKSANAAN PEMBINAAN NARAPIDANA
DALAM PRESPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 12
TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN
TESIS
Oleh
IRMAYANI
077005013/HK
S
E K O L A H
P A
S C
A S A R JA
NA
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
AKUNTABILITAS TIM PENGAMAT PEMASYARAKATAN
(TPP) PADA PELAKSANAAN PEMBINAAN NARAPIDANA
DALAM PRESPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 12
TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
IRMAYANI
07705013/HK
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis :
AKUNTABILITAS TIM PENGAMAT
PEMASYARAKATAN (TPP) PADA
PELAKSANAAN PEMBINAAN
NARAPIDANA DALAM PRESPEKTIF
UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN
1995 TENTANG PEMASYARAKATAN
Nama Mahasiswa : Irmayani
Nomor Pokok : 077005013
Program Studi : Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof.Dr. Bismar Nasution, SH, MH) Ketua
(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) A n g g o t a
(Dr. Sunarni, SH, M.Hum) A n g g o t a
Ketua Program Studi
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH)
Direktur
(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa, B., MSc)
Telah diuji pada
Tanggal 16 Juli 20
09PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua
:
Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH
Anggota
:
1. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS
2. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum
3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH
ABSTRAK
Sistem Pemasyarakatan bertujuan untuk mengembalikan Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai warga yang baik dan melindungi masyarakat terhadap kemungkinan diulangnya tindak pidana oleh Warga Binaan Pemasyarakatan, serta merupakan penerapan dan bagian yang tak terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Sistem pemasyarakatan Indonesia lebih ditekankan pada aspek pembinaan narapidana, anak didik pemasyarakatan yang mempunyai ciri-ciri
preventif, kuratif, rehabitatif dan edukatif. Pembinaan narapidana adalah sebuah
sistem, sebagai suatu sistem, maka pembinaan narapidana mempunyai beberapa kompenen yang bekerja saling berkaitan untuk mencapai suatu tujuan. Demi menjamin terselenggaranya hak-hak narapidana, selain diadakan Unit Pelaksana Teknis yaitu Lembaga Pemasyarakatan yang secara langsung melaksanakan pembinaan dan berdasarkan Pasal 45 Undang-Undang Nomor : 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan diadakan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan yang memberi saran dan pertimbangan kepada Menteri mengenai pelaksanaan sistem pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan memberi saran mengenai program pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan di setiap Unit Pelaksana Teknis yang berhubungan dengan tahap-tahap pembinaan dan kepentingan lain. Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) adalah Tim yang bertugas memberi pertimbangan kepada pimpinan dalam rangka tugas pengamatan terhadap pelaksanaan pembinaan narapidana, anak negara/sipil dan klien pemasyarakatan. Susunan anggota Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) diatur dalam Pasal 16 Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-Undangan Republik Indonesia Nomor :M.02.PR.08.03 Tahun 1999 tentang Pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan, tetapi dalam pelaksanaanya terdapat anggota di luar dari petugas pemasyarakatan tidak mengetahui akan perannya bahkan tidak tercantum dalam surat Keputusan Kepala Unit Pelaksana Tehnis sebagai anggota. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pembentukan Tim Pengamat Pemasyara katan (TPP), akuntabilatas dari keputusan yang dihasilkan dan hambatan-hambatan yang ditemui serta upaya yang dilakukan baik dari secara yuridis maupun non yuridis.
Pengamat Pemasyarakatan. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan penelitian kepustakaan dan studi lapangan serta melakukan wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara kepada Ketua Tim Pengamat Pemasyarakatan di tingkat Wilayah, Lembaga Pemasyarakatan Kls II A Wanita Medan dan Lembaga Pemasyarakatan Kls II B Lubuk Pakam. Analisa data dilakukan untuk menarik kesimpulan dari hasil penelitian dengan menggunakan metode normatif kualitatif.
Dalam Pasal 16 Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-Undangan Republik Indonesia Nomor :M.02.PR.08.03 Tahun 1999 tentang Pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan telah diatur secara jelas susunan anggota Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) yang menggambarkan adanya kerja sama dalam membangun manusia “Manusia Mandiri” yaitu : Masyarakat, Petugas Pemasyarakatan dan Narapidana. Namun demikian berdasarkan Pasal 17 dan Pasal 18 Keputusan Menteri tersebut dimungkinkan terjadinya perubahan susunan Tim Pengamat Pemasyarakatan , hal ini terjadi karena adanya perubahan struktur organisasi dan tata kerja, tingginya beban kerja yang disebabkan karena kondisi Over Kapasitas dan Sumber Daya Manusia dari anggota Tim Pengamat Pemasyarakatan. Adapun kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah : pembentukan Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 dan Keputusan Menteri Hukum dan Perundangan-Undangan Republik Indonesia Nomor : M.02.PR.08.03 Tahun 1999 tanggal 3 Desember 1999 tentang Pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan, Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai administrasi publik memiliki unsur-unsur akuntabilitas, transparansi, keterbukaan dan sesuai aturan hukum, berdasarkan peraturan perundangan-undangan yang ada bahwa dalam pelaksanaannya ditemui adanya hambatan kerja terutama dalam susunan anggota Tim Pengamat Pemasyarakatan yang berasal dari luar petugas pemasyarakatan. Untuk itu disarankan agar : dalam pelaksanaan pembentukannya tetap berdasarkan Pasal 16 Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-Undangan Republik Indonesia Nomor :M.02.PR.08.03 Tahun 1999 tentang Pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan, kepada seluruh anggota agar lebih memahami akan tugas dan fungsinya sebagai pelayan publik, dan diharapkan demi terwujudnya susunan anggota yang utuh pengaturannya dimasukan dalam Undang-Undang yang nantinya dapat mengikat semua pihak.
ABSTRACT
The Correctional System would be to return the inhabitants of Correctional as good individual into community and to protect the community against potential repeated criminal by the inhabitant of correctional system, and it was application and integral part of value contained in the Pancasila. The Correctional System of Indonesia was more emphasized on aspect of rehabilitation for inmates, the correctional inhabitants of preventive, curative, rehabilitative, and educative characteristics. The rehabilitation of inmates was a system, and as a system, the rehabilitation for inmates has several related components working accordingly to achieve a goal. For maintenance of inmates’ rights, in addition to Technical Implementing Unit, i.e., Correctional Institution directly conducting the rehabilitation and on basis of Chapter 45 of the Law No.12/1995 regarding the Correctional, the Correctional Consideration Board was also established to give some advise an consideration for Minister about implementation of correctional system, and Correctional supervising Team to give some advise about the rehabilitation program for Correctional inhabitants in each Technical Implementing Unit related to phases of rehabilitation and another interests. The Correctional Supervising Team was a team assigned some task to make consideration to leaders in supervision of rehabilitation implementation for inmates, state children/civil and clients of correctional system. The membership structure of Correctional Supervising Team was regulated in chapter 16 of Law Minister Decree and the Law of Republic of Indonesia No. : M.02.PR.08.03 /1999 regarding establishment of Correctional Consideration Board and Correctional Supervising Team, however in implementation there were some member external to correctional officials did not know their role, and even they were not listed in Decree of Chief technical Implementing Unit as member. The objective of this research would be to know the establishment of Correctional Supervising Team, accountability of decree produced and obstacles encountered and both juridical and non-juridical measures taken.
The analysis of data was conducted to draw the conclusion from the research result by using qualitative normative method.
In Chapter 16 of Law Minister Decree and the Law of Republic of Indonesia No.M.02.PR.08.03/1999 regarding the Establishment of Correctional Consideration Board and Correctional Supervising Team, it has regulated comprehensively the membership structure of Correctional Supervising Team describing the collaboration in building the “Independent Individual”, i.e., : Community, correctional officials, and Inmates. However, based on chapter 17 and chapter 18 of Minister Decree, there was a probability for change in structure of Correctional Supervising Team, this was due to a change in organization structure and work procedure, high caseload caused by overcapacity condition and human power quality of the Correctional Supervising Team. The conclusion drawn from this research was : The establishment of Correctional Supervising Team in basis of the Law No.12/1995 regarding the Correctional and Law Minister Decree and The Law of Republic of Indonesia No.M.02.PR.08.03/1999, date of December 3, 1999 regarding the establishment of Correctional Consideration Board and Correctional Supervising Team, the Correctional Supervising Team in implementing the tasks and functions as public administrative has elements of accountability, transparency, openness and regulation compliance. Based on the existing laws and regulation that in implementation, there were some obstacles of work particularly in membership structure of Correction Supervising Team external to correctional officials. Therefore it should be recommended : in the establishment it should be made through chapter 16 of Law Minister Decree and the Law of Republic of Indonesia No.M.02.PR.08.03/1999 regarding the Establishment of Correctional Consideration Board and Correctional Supervising Team, and all members should understand the task and functions as public servant, and for realization of comprehensive membership structure, the regulation should be included into the Law binding everyone.
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rahmat dan hikmatNya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul
“
Akuntabilitas Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) Pada Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Dalam PrespektifUndang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan’’.
Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar Magister Humaniora pada Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara di Medan.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan-keterbatasan kemampuan penulis. Untuk itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan berbagai kritik yang sehat dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak untuk perbaikan dikemudian hari.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya, penulis sampaikan kepada yang terhormat :
1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H,SpA(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara;
3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, Selaku Ketua Komisi Pembimbing beserta Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS dan Ibu Dr. Sunarmi, SH, M.Hum, selaku anggota Komisi Pembimbing dan Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH beserta Bapak Syafruddin S.Hasibuan, SH, MH selaku Dosen Penguji.
4. Menteri Hukum dan Hak Asasi Republik Indonesia dan Ketua Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
5. Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara dan Kepala Devisi Pemasyarakatan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara.
6. Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Lubuk Pakam dan para pejabat struktural.
yang selalu memberikan dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan perkuliahan dan tesis ini.
Akhirnya, semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi dunia pendidikan dan terutama bagi penulis sendiri dan semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa melimpahkan rahmat dan anugerahNya kepada kita semua. Amin.
Medan, Mei 2009 Penulis
RIWAYAT HIDUP
N a m a : IRMAYANI
Tempat/Tanggal.lahir : Magelang, 25 Januari 1970 Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil
Pendidikan : - Sekolah Dasar Negeri Nomor : 101884 Tanjung Morawa, Deli Serdang (Lulus Tahun 1982).
- Sekolah Menengah Pertama Negeri I Tanjung Morawa Deli Serdang (Lulus Tahun 1985).
- Sekolah Menengah Pekerjaan Sosial Negeri Medan (Lulus Tahun 1989).
- Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa Medan (Lulus Tahun 1999).
- Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (Lulus Tahun 2009).
DAFTAR ISI
Halaman
ABSRTAK ... i
ABSTRACT ... iii
KATA PENGANTAR... v
RIWAYAT HIDUP ... viii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
BAB.I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 15
C. Tujuan Penelitian ... 15
D. Manfaat Penelitian ... 16
E. Keaslian Penelitian... 16
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional... 17
G. Metode Penelitian ... 26
BAB. II PEMBENTUKAN TIM PENGAMAT PEMASYARAKATAN (TPP) PADA PELAKSANAAN PEMBINAAN NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN ... 30
A. Pemasyarakatan Sebagai Suatu Falsafah dan Tujuan Pidana Penjara... 30
B. Pelaksanaan Pembentukan dan Susunan Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) di Wilayah dan Daerah ... 37
1. Peraturan Pelaksana Pembentukan Tim Pengamat Pemasyarakatan ( TPP ) ... 38
C. Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) Dalam Pelaksanaan
Pembinaan Narapidana ... 56
BAB.III AKUNTABILITAS TIM PENGAMAT PEMASYARAKATAN (TPP) DALAM PELAKSANAAN PEMBINAAN NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN ... 64
A. Mekanisme Kerja Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) ... 64
B. Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) Sebagai Administrasi Publik... 71
C. Akuntabilitas Kinerja Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) ... 81
BAB.IV HAMBATAN-HAMBATAN KINERJA TIM PENGAMAT PEMASYARAKATAN (TPP) DAN UPAYA-UPAYA YANG DILAKUKAN DALAM MENANGGULANGINYA... 97
A. Hambatan-Hambatan Kinerja Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) Dalam Pelaksanaan Pembinaan ... 97
1. Hambatan Yuridis... 97
2. Hambatan Non Yuridis... 104
B. Upaya-Upaya Yang Dilakukan Dalam Menanggulangi Hambatan-Hambatan Yang Ada ... 109
1. Secara Yuridis ... 109
2. Secara Non Yuridis ... 111
BAB.V KESIMPULAN DAN SARAN ... 115
A. Kesimpulan ... 115
B. Saran ... 119
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
1 Daftar Narapidana Yang Mendapat Pembinaan Integrasi Di Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan
Hak Asasi Manusia Sumatera Utara ... 93
2 Daftar Narapidana Yang Mendapat Pembinaan Integrasi
Di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas II-A Medan ... 94
3 Daftar Narapidana Yang Mendapat Pembinaan Integrasi
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
I Susunan Tim Pengamat Pemasyarakatan di Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara
dan Bebarapa Unit Pelaksana Tehnis... 126
II Sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan Lembaga Pemasyarakatan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Modifikasi hukum Prancis yang dibuat pada tahun 1670 belum dikenal pidana penjara, terkecuali dalam arti tindakan penyanderaan dengan penebusan uang atau penggantian hukuman mati sebelum ditentukan keringanan hukuman dengan cara lain. Di sekitar abad ke-16 di Inggris terdapat pidana penjara dalam arti tindakan untuk melatih bekerja di Bridewell yang terkenal dengan nama Thirifless Poor bertempat di bekas istana Raja Edward VI tahun 1522. Kemudian setelah dikeluarkan
Act of 1630 dan Act of 1670 dikenal institusi pidana penjara yang narapidananya
dibina The House of Correction1.
Dari catatan sejarah pertumbuhan pidana yang dikenakan pada badan atau orang dapat diperoleh gambaran, bahwa pidana penjara diperkirakan dalam tahun-tahun permulaan abad ke-18 mulai tumbuh sebagai pidana baru yang berbentuk membatasi kebebasan bergerak, merampas kemerdekaan, menghilangkan kemerdekaan yang harus dirasakan sebagai derita selama menjalani pidana penjara bagi narapidana. Pidana penjara tersebut dijalankan menyangkut masalah stelsel yaitu :
1
1. Stelsel sel, pertama dilakukan di Philadelphia, di negara bagian Pensylvania Amerika Seikat. Sel adalah kamar kecil untuk seorang, jadi orang-orang terpenjara dipisahkan satu sama lain untuk menghindarkan penularan pengaruh jahat
2. Auburn Stelsel. Stelsel ini pertama kali dijalankan di Auburn (New York). Stelsel ini menimbulkan kesukaran-kesukaran, terutama dalam hal pemberian pekerjaan. 3. Stelsel Progressif. Salah satu pokok pikirannya adalah supaya peralihan dari
kemerdekaan kepada pidana penjara itu dirasakan betul-betul oleh terhukum, dan sebaliknya peralihan dari pidana penjara kepada pembebasan diadakan secara berangsur-angsur, sehingga terhukum dipersiapkan untuk mampu hidup dengan baik dalam masyarakat. Karena itulah maka menurut stelsel ini pidana penjara itu dimulai dengan suatu periode dikurung dalam sel selama beberapa bulan. Periode ini disusul oleh suatu periode bekerja bersama-sama di siang hari. Selama periode kedua ini terhukum dapat melalui beberapa tingkatan, berangsur-angsur semakin baik. Kemajuannya dalam tingkatan-tingkatan itu didapatnya dengan memperbaiki kelakuannya pula. Pada akhirnya dia bisa sampai dilepas dengan syarat.2
Perlakuan kepada pelanggar hukum di Indonesia yang disebut dengan sistem kepenjaraan sejak tanggal 27 April 1964 dirubah menjadi sistem pemasyarakatan. Sistem pemasyarakatan tersebut didahului oleh pidato pengukuhan Saharjo, untuk memperolah gelar Doktor Honoris Causa yang diberikan oleh Universitas Indonesia
2
pada tanggal 25 Juli 1963, di Istana Negara dengan judul Pohon Beringin
Pengayoman Hukum Pancasila Manipol Usdek,3 yang intinya adalah : tujuan pidana penjara di samping menimbulkan rasa derita pada terpidana karena dihilangkan kemerdekaan bergerak, membimbing terpidana agar bertobat, mendidik supaya ia menjadi seorang anggota masyarakat sosialis Indonesia yang berguna.
Bertolak dari pandangan Saharjo, tentang hukum sebagai pengayoman, hal ini membuka jalan perlakuan terhadap narapidana dengan cara
pemasyarakatan sebagai tujuan pidana penjara. Konsep pemasyarakatan tersebut kemudian disempurnakan oleh Keputusan Konferensi Dinas Para Pimpinan Kepenjaraan pada tanggal 27 April 1964 yang memutuskan bahwa pelaksanaan pidana penjara di Indonesia dilakukan dengan sistem pemasyarakatan. Suatu pernyataan selain sebagai arah tujuan, pidana penjara dapat juga menjadi cara untuk membimbing dan membina4, yang menghasilkan prinsip-prinsip untuk bimbingan dan pembinaan yaitu :
1. Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan bekal hidup sebagai warga yang baik dan berguna dalam masyarakat.
2. Penjatuhan pidana adalah bukan tindakan balas dendam dari negara.
3. Rasa tobat tidaklah dapat dicapai dengan menyiksa melainkan dengan bimbingan. 4. Negara tidak berhak membuat seseorang narapidana lebih buruk atau lebih jahat
dari pada sebelum ia masuk lembaga.
5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak narapidana harus dikenalkan kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat.
3
Simanjuntak, Politik dan Praktek Pemasyarakatan, (Jakarta : Buku Materi Kuliah Akademi Ilmu Pemasyarakatan, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia R.I Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pegawai, 2004), hlm. 96.
4
6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu atau hanya diperuntukan bagi kepentingan lembaga atau negara saja, pekerjaan yang diberikan harus ditunjukan untuk pembangunan negara.
7. Bimbingan dan didikan harus berdasar azas Pancasila.
8. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia meskipun ia telah tersesat tidak boleh ditujukan kepada narapidana bahwa itu penjahat.
9. Narapidana itu hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan.
10.Sarana fisik bangunan lembaga dewasa ini merupakan salah satu hambatan pelaksanaan sistem pemasyarakatan.5
Sistem Pemasyarakatan bertujuan untuk mengembalikan Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai warga yang baik dan juga bertujuan untuk melindungi masyarakat terhadap kemungkinan diulangnya tindak pidana oleh Warga Binaan Pemasyarakatan, serta merupakan penerapan dan bagian yang tak terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Sistem pemasyarakatan Indonesia lebih ditekankan pada aspek pembinaan narapidana, anak didik pemasyarakatan yang mempunyai ciri-ciri preventif, kuratif, rehabitatif dan edukatif. Pembinaan narapidana adalah sebuah sistem, sebagai suatu sistem, maka pembinaan narapidana mempunyai beberapa kompenen yang bekerja saling berkaitan untuk mencapai suatu tujuan. Sedikitnya ada empat belas kompenen yaitu : falsafah, dasar hukum, tujuan, pendekatan sistem, klasifikasi, pendekatan klasifikasi, perlakuan terhadap narapidana, orientasi pembinaan, sifat pembinaan, remisi, bentuk bangunan, narapidana, keluarga narapidana dan pembina/pemerintah.6
5
Ibid, hlm. 98. 6
Dalam sistem pemasyarakatan, narapidana, anak didik pemasyarakatan berhak mendapatkan pendidikan rohani dan jasmani serta dijamin hak-hak mereka untuk menjalankan ibadahnya, berhubungan dengan pihak luar baik keluarga maupun pihak lain, memperoleh informasi baik melalui media cetak maupun elektronik, memperoleh pendidikan yang layak dan lain sebagainya, untuk melaksanakan sistem pemasyarakatan tersebut, diperlukan juga keikutsertaan masyarakat, baik dengan mengadakan kerja sama dalam pembinaan maupun dengan sikap bersedia menerima kembali Warga Binaan Pemasyarakatan yang telah selesai menjalani pidananya. Pemasyarakatan sebagai suatu sistem pembinaan narapidana pada hakekatnya memandang narapidana sesuai fitrahnya, baik sebagai pribadi, anggota masyarakat, maupun sebagai makhluk Tuhan. Narapidana bukan semata-mata alat produksi atau
means of production yang dikaryakan untuk tujuan-tujuan komersial yang bersifat
profit oriented.7
Selanjutnya untuk menjamin terselenggaranya hak-hak narapidana tersebut, selain diadakan Unit Pelaksana Teknis yaitu Lembaga Pemasyarakatan yang secara langsung melaksanakan pembinaan, diadakan pula Balai Pertimbangan Pemasyarakatan yang memberi saran dan pertimbangan kepada Menteri mengenai pelaksanaan sistem pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan memberi
4) Petugas, dapat berupa Kepolisian, Pengacara, Petugas keagamaam, Petugas social, Petugas Pemasyarakatan/Rutan, Balai Bispa, Hakim Wasmat dan lain sebagainya
7
saran mengenai program pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan di setiap Unit Pelaksana Teknis yang berhubungan dengan :
1. Mapenaling (Masa Pengamatan, Penelitian dan Pengenalan lingkungan) 2. Pembinaan Tahap awal
3. Pembinaan Tahap lanjutan 4. Pembinaan Tahap akhir
5. Kepentingan lain misalnya pemindahan narapidana ke Lembaga Pemasyarakatan lain.
6. Hukuman disiplin bagi narapidana.8
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, merupakan landasan hukum yang menggantikan ketentuan-ketentuan lama dan perundang-undangan yang masih mendasarkan pada sistem kepenjaraan. Bab IV Pasal 45 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 menyebutkan :
(1) Menteri membentuk Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan.
(2) Balai Pertimbangan Pemasyarakatan bertugas memberi saran dan atau pertimbangan kepada Menteri.
(3) Balai Pertimbangan Pemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terdiri para ahli di bidang pemasyarakatan yang merupakan wakil instansi pemerintah terkait, badan non pemerintah dan perorangan lainnya.
(4) Tim Pengamat Pemasyarakatan yang terdiri dari pejabat-pejabat LAPAS,BAPAS atau pejabat terkait lainnya bertugas :
a. Memberi saran mengenai bentuk dan program pembinaan dan pembimbingan dalam melaksanakan sistem pemasyarakatan;
b. Membuat penilaian atas pelaksanaan program pembinaan dan pembimbingan; dan
c. Menerima keluhan dan pengaduan dari Warga Binaan Pemasyarakatan.
8
Betapa pentingnya pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan (BPP) yang bertugas memberikan saran dan pertimbangan kepada Menteri mengenai pelaksanaan sistem Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) di setiap Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan dalam proses pembinaan, karena di dalam Balai Pertimbangan Pemasyarakat (BPP) dan Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) terdapat keikutsertaan masyarakat dan instansi terkait lainnya misalnya : Lembaga Swadaya Masyarakat dan Hakim Pengawas dan Pengamat yang ikut membahas dan mengevaluasi pelaksanaan proses pembinaan. Hal ini diatur dengan Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan Republik Indonesia Nomor : M.02.PR.08.03 Tahun 1999 tentang Pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakat Dan Tim Pengamat Pemasyarakatan.
Pasal 13 , 14 dan 15 Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-Undangan Republik Indonesia Nomor : M.02.PR.08.03 Tahun 1999 tentang Pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan Dan Tim Pengamat Pemasyarakatan menyebutkan tugas pokok dan fungsi Tim Pengamat Pemasyarakan antara lain yaitu :
a. Memberikan saran mengenai bentuk, dan program pembinaan, pengamanan dan pembimbingan dalam melaksanakan sistem pemasyarakatan.
b. Membuat penilaian atas pelaksanaan program pembinaan, pengamanan dan pembimbingan; dan
c. Menerima keluhan dan pengaduan dari Warga Binaan Pemasyarakatan.
Untuk melaksanakan tugas tersebut Tim Pengamat Pemasyarakatan mempunyai fungsi :
a. Merencanakan dan melakukan persidangan-persidangan
1) Direktur Jenderal Pemasyarakatan bagi TPP Pusat 2) Kepala Kantor Wilayah bagi TPP Wilayah; dan 3) Kepala Unit Pelaksana Tehnis bagi TPP daerah
d. Melakukan pemantauan pelaksanaan pembinaan, pengamanan dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan atau perawatan tahanan.
Susunan Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) di Lembaga Pemasyarakatan, terdiri dari dari :
a. Seorang Ketua, biasanya dijabat Kabid Pembinaan/Kasi Binadik b. Seorang Sekretaris, biasanya Kasi Bimkemas/Kasubsi Bimkemas
c. Anggota Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) , biasanya 5(lima) orang atau 7 (Tujuh) orang, atau 9 (sembilan) orang atau 11 (sembelas) orang tergantung kepada luas tidaknya lingkup pekerjaan di Lembaga Pemasyarakatan yang bersangkutan. Jumlah Anggota Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) harus selalu ganjil, sebab sewaktu pengambilan putusan sidang harus pemungutan suara (voting). Anggota Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) juga diambil dari Kepala Balai Pemasyarakatan (BAPAS) yang diwakili seorang Penilik Kemasyarakatan (PK) dan seorang Hakim Pengawas dan Pengamat.9
Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Kalapas) tidak diperkenankan menjadi ketua atau anggota Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP). Sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) di Lembaga Pemasyarakatan sah, apabila dihadiri paling sedikit 2/3 dari jumlah anggota Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP).10
9
Pasal 282 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyebutkan jika dipandang perlu demi pendayagunaan pegamatan, hakim pengawas dan pengamat dapat membicarakan dengan Kepala Lembaga Pemasyarakatan tentang cara pembinaan narapidana tertentu.
10
Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) merupakan Tim yang sangat penting dan berperan dalam proses Pemasyarakatan Warga Binaan Pemasyarakatan termasuk Narapidana untuk kembali dan berintegrasi dengan masyarakat, karena di dalam Tim Pengamat Pemasyarakatan dapat dilihat adanya kerja sama antara masyarakat dan petugas Pemasyarakatan. Bila Tim Pengamat Pemasyarakatan telah melaksanakan tugas dan fungsinya maka masalah dalam proses pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatnya tidak terjadi paling tidak dapat diminimalisirkan, karena pada pelaksanaannya saat ini Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) sangat minim melaksanakan tugasnya dalam mempersiapkan program pembinaan, kecuali ada hal-hal khusus yang menguntungkan,11 termasuk susunan keanggotaan yang tidak sesuai dengan perundangan-undangan.12 Hal ini dapat dilihat antara lain dari susunan Tim Pengamat Pemasyarakatan di Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara, Lembaga Pemasyarakatan Kls II A Wanita Medan dan Lembaga Pemasyarakatan II B Lubuk Pakam. (terlampir)
11
S.Simanjuntak, loc. cit, hlm. 32-33, bahwa dalam pelaksanaan pembinaan peranan Bapas, terutama dalam pembuatan LITMAS. Dan penyusunan program pembinaan kurang dimanfaatkan. Disiplin Petugas Pemasyarakatan secara umum merosot, yang memunculkan akses buruk dalam praktek-praktek Pemasyarakatan. Tim Pengamat Pemasyarakatan, sangat minim melaksanakan tugasnya dalam mempersiapkan program pembinaan, kecuali ada hal-hal khusus yang menguntungkan dirinya.
12
Data pada lampiran tersebut menunjukkan bahwa pembentukan Tim Pengamat Pemasyarakatan di Tingkat Kantor Wilayah dan beberapa Lembaga Pemasyarakatan belum sesuai dengan Pasal 16 Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan Republik Indonesia Nomor : M.02.PR.08.03 Tahun 1999 tentang Pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan Dan Tim Pengamat Pemasyarakatan yang menyebutkan :
Susunan Keanggotaan TPP Wilayah, yaitu :
TPP Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Perundang-undangan tipe A terdiri dari :
1. Ketua merangkap anggota adalah Koordinator Urusan Pemasyarakatan 2. Sekretaris merangkap anggota adalah Kepala Bidang Pemasyarakatan 3. Anggota adalah :
a. Kepala Seksi Balai Pemasyarakatan b. Kepala Seksi Bindalapas
c. Kepala Balai Pemasyarakatan di tempat kedudukan Kantor Wilayah
d. Instansi terkait yang oleh Kepala Wilayah dipandang perlu dan perorangan atau badan yang berminat dalam bidang kemasyarakatan.13
TPP Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A, terdiri dari :
a. Ketua merangkap anggota adalah Kepala Seksi Bimbingan Narapidana /Anak Didik.
b. Sekretaris merangkap anggota adalah Kepala Seksi Bimbingan Kemasyarakatan dan Perawatan.
c. Anggota adalah :
1) Kepala Kesatuan Pengamanan Lapas
2) Kepala Seksi Administrasi Keamanan dan Tata Tertib 3) Kepala Seksi Kegiatan Kerja
4) Kepala Sub Seksi Registrasi
5) Kepala Sub Seksi Bimbingan Kerja dan Pengelolaan Hasil Kerja 6) Kepala Sub Seksi Perawatan
7) Kepala Sub Seksi Keamanan
13
8) Petugas Pembimbing Kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan 9) Hakim Pengawas dan Pengamat
10) Instansi terkait dengan Pembinaan WBP 11) Wali WBP
12) Badan dan atau perorangan yang berminat terhadap pembinaan.14 TPP Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B, terdiri dari :
a. Ketua merangkap anggota adalah Kepala Seksi Bimbingan Narapidana/Anak Didik dan Kegiatan Kerja
b. Sekretaris merangkap anggota adalah Kepala Seksi Registrasi dan Bimbingan Kemasyarakatan
c. Anggota adalah :
1) Kepala Kesatuan Pengamanan Lapas
2) Kepala Seksi Administrasi Keamanan dan Tata Tertib 3) Kepala Sub Seksi Perawatan
4) Kepala Sub Seksi Kegiatan Kerja 5) Kepala Sub Seksi Keamanan
6) Petugas Pembimbing Kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan 7) Hakim Pengawas dan Pengamat
8) Instansi terkait dengan Pembinaan WBP 9) Wali WBP
10) Badan atau perorangan yang berminat terhadap pembinaan.15
Penunjukan dan pengangkatan Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) diatur sebagai berikut :
1) Ketua, sekretaris dan anggota TPP Pusat ditunjuk dan diangkat berdasarkan Keputusan Menteri.
2) Ketua, sekretaris dan anggota TPP Wilayah ditunjuk dan diangkat berdasarkan Keputusan masing-masing Kepala Kantor Wilayah
3) Ketua, sekretaris dan anggota TPP Daerah ditunjuk dan diangkat berdasarkan Keputusan Kepala UPT Pemasyarakatan.16
14
Pasal 16 ayat (3) huruf (b) Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-Undangan R.I Nomor : M.02.PR.08.03 Tahun 1999 tentang Pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan.
15
Pasal 16 ayat (3) huruf (c) Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-Undangan R.I Nomor : M.02.PR.08.03 Tahun 1999 tentang Pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan.
16
Pasal 18 Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-Undangan R.I Nomor : M.02.PR.08.03 Tahun 1999 tentang Pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat
Melihat dari bunyi ketentuan tersebut diatas terlihat bahwa Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pemasyarakatan dapat membuat Keputusan sendiri tentang susunan Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) tanpa mempertimbangkan susunan anggota yang telah diatur dalam pasal sebelumnya. Hal ini bisa terjadi karena karena faktor keadaan (urgensi), misalnya Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) tetap harus melaksanakan tugasnya dalam membuat rekemondasi/keputusan dalam proses pembinaan integrasi yaitu pelaksanaan Asimilasi, pemberian Pembebasan Bersyarat (PB), Cuti Mengunjungi Keluarga (CMK) dan Cuti Bersyarat (CB). Sehingga dapat dilihat ketidakkonsistenan dalam Keputusan Menteri ini.
Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) sebagai pemberi rekomendasi pada pelaksanaan pembinaan mempunyai kedudukan yang sangat penting. Kedudukan tersebut sebenarnya merupakan suatu wadah, yang isinya adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban tadi merupakan peranan atau role17 dalam menjalankan tugas dan fungsinya bagi pembinaan
narapidana dalam Lembaga Pemasyarakatan. Dalam rangka menghadapi tuntutan-tuntutan masyarakat terutama dari narapidana, Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) harus dapat meununjukan gambaran suatu administrasi publik yang bercirikan kepemerintahan yang baik (Good Gavernance) yang mana keadilan (fairness) adalah salah satu ukuran normatifnya. Untuk dapat menciptakan keadilan, diperlukan
17
beberapa prasyarat yang saling terkait dan satu sama lain saling mempengaruhi, diantaranya adalah transparanasi (transparency), akuntabilitas (accountability), kepastian (predictability), dan partisipasi (participation).18 Hal ini dimaksudkan, walaupun hanya sebagai pemberi rekomendasi tetapi rekomendasi tersebut diambil dengan penuh rasa tanggung jawab dengan mengikuti proses dan tahapan pembinaan yang diatur dalam Pola Pembinaan Narapidana.19 Transparansi maksudnya proses pembuatan rekomendasi dilakukan secara jelas tanpa ada yang ditutupi. Persidangan yang dilaksanakan Tim Pengamat Pemasyarakatan harus jelas baik persyaratan administarasi dan persyaratan subtantifnya serta didukung oleh data yang akurat berdasarkan pengamatan dan penilaian. Diharapkan dengan adanya prinsip keterbukaan Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) dalam melaksanakan tugasnya memberi kesempatan yang sama kepada seluruh Warga Binaan Pemasyarakatan untuk dapat ikut dalam tahap-tahap pembinaan dan selanjutnya proses yang dilaksanakan dalam pembuatan rekomendasi dilaksanakan sesuai dengan aturan hukum (Rule of Law). Untuk menciptakan suatu suasana kehidupan masyarakat hukum yang mampu menegakkan kepastian hukum dan sekaligus mencerminkan rasa keadilan masyarakat, baik untuk kehidupan dalam Lembaga Pemasyarakatan maka diperlukan beberapa faktor, yaitu :
1). Adanya suatu perangkat hukum yang demokratis (aspiratif)
18
Adrian Sutedi, Prinsip Keterbukaan Dalam Pasar Modal, Restrukturisasi Perusahaan Dan Good Corporate Governance, (Jakarta : Cipta Jaya, 2006), hlm.205.
19
2). Adanya struktur birokrasi kelembagaan hukum yang efesien dan efektif serta transparan dan akuntabel.
3). Adanya aparat hukum dan profesi hukum yang profesional dan memiliki integritas moral yang tinggi.
4). Adanya budaya yang menghormati, taat dan menjunjung tinggi nilai-nilai hukum dan HAM (menegakkan supremasi hukum/ rule of law).20
Kondisi Over kapasitas dibeberapa Lembaga Pemasyarakatan yang terjadi dewasa ini membuat Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) dalam melaksanakan tugas dan fungsinya tidak berjalan secara maksimum. Persidangan yang dilaksanakan hanya yang bersifat urgensi saja, sehingga hal ini berdampak timbulnya anggapan bahwa Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) bekerja bagi hal-hal yang menguntungkan salah satu pihak saja.21 Di sini dibutuhkan Tim Pengamat Pemasyarakatan sebagai Administrasi publik. Administrasi publik yang ditunjukan tidak hanya dalam hal hasil kerja yaitu yang berhubungan dengan pelaksanaan pembinaan tetapi juga dalam susunan Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) tersebut.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang Akuntabilitas Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) pada pelaksanaan pembinaan Narapidana dalam Prespektif Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
20
Muchammad Zaidun, Tantangan dan Kendala Kepastian Hukum di Indonesia,Kapita Selekta, Penegakan Hukum di Indonesia, (Jakarta : Prestasi Pustaka, 2006), hlm.120.
21
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang sebagaimana dirumuskan diatas maka penulis merumuskan beberapa masalah sebagai berikut :
1. Apakah pembentukan Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) pada pelaksanaan pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Bagaimana akuntabilitas Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) dalam pelaksanaan pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan .
3. Bagaimanakah hambatan-hambatan kinerja Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) dan upaya-upaya apa yang dilakukan dalam menanggulanginya.
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui dan menganalisis pembentukan Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) pada pelaksanaan pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Untuk mengetahui akutabilitas Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) dalam
pelaksanaan pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan.
D. Manfaat Penelitian
Terjawabnya permasalahan-permasalahan yang dirumuskan serta tercapainya tujuan penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat baik dalam tataran akademis maupun dalam tataran praktisi, sehingga diharapkan penelitian ini bermanfaat baik dari sisi teoritis maupun dari sisi praktis :
a. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya Ilmu Hukum yang berkaitan dengan pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan dalam prespektif Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
b Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi Petugas Pemasyarakatan, Hakim dan masyarakat, sehingga dapat ikut berpartisipasi dalam pelaksanaan pembinaan Narapidana.
E. Keaslian Penelitian
peneliti lain sebelumnya, sehingga dapat dikatakan secara akademis keilmuan dapat dipertanggungjawabkan.
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional
1. Kerangka Teori
Akuntabilitas kinerja Tim Pengamat Pengamat Pemasyarakatan (TPP) sebagai wujud pertanggung-jawaban Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) dalam mencapai tujuan pembinaan narapidana perlu dilaksanakan dan dikembangkan dengan menggunakan sistem pelaporan yang mencakup indikator, metode, mekanisme dan tata cara pelaporan kinerja Tim Pengamat pemasyarakatan (TPP) pada setiap Unit Pelaksana Tehnis (UPT). Hans Kelsen menyebutkan konsep pertanggungjawaban hukum pada dasarnya terkait, namun tidak identik, dengan konsep kewajiban hukum. Seorang individu secara hukum diwajibkan untuk berperilaku dengan cara tertentu, jika perilakunya yang sebaliknya merupakan syarat diberlakukannya tindakan paksa. Tindakan paksa ini tidak mesti ditujukan terhadap individu lain yang terkait dengan individu pertama dengan cara yang ditetapkan oleh tatanan hukum. Individu yang diwajibkan dan yang bertanggung jawab tidaklah identik. Seorang individu diwajibkan atas perilaku yang berhukum, dan dia bertanggung jawab atas perilaku yang tidak berhukum.22
22
Tim Pengamat Pemasyarakartan (TPP) bertanggungjawab terhadap pelaksanaan pembinaan tetapi tidak bertanggungjawab terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh narapidana. Tahap-tahap pembinaan yang akan dilalui narapidana diperoleh berdasarkan rekomendasi hasil sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) sehingga narapidana tersebut memiliki kewajiban untuk memperoleh hak dibina melalui sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP). Pelanggaran yang dilakukan oleh narapidana yang mengakibatkan dicabutnya hak-hak tertentu narapidana bukan merupakan tanggungjawab dari Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP). Chairil Huda mengatakan : dapat dipertanggungjawabkan pembuat dalam hal ini berarti memenuhi syarat untuk dipertanggungjawabkan. Mengingat asas ‘tiada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan’, maka pembuat dapat dipertanggungjawabkan jika mempunyai kesalahan. Mampu bertanggung jawab adalah syarat kesalahan, sehingga bukan merupakan bagian dari kesalahan itu sendiri. Oleh karena itu, terhadap subjek hukum manusia, mampu bertanggung jawab merupakan unsur pertanggungjawaban pidana, sekaligus syarat adanya kesalahan.23
Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) selain sebagai pemberi rekomendasi juga menerima keluhan dari Warga Binaan Pemasyarakatan sehingga dapat juga dikatakan sebagai pelaksana administrasi publik. Dalam melaksanakan fungsi administrasi publik berarti harus berlandaskan pada prinsip pemerintahan yang baik (Good Governance) dengan penegakan hukum atau peraturan perundang-undangan
23
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
yang memuat prinsip-prinsip yang dapat mendukung pelaksanaan tugas Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP), agar kualitas pengelolaannya dapat mendorong jalannya fungsi utama pemerintah, sekaligus untuk menjaga kepercayaan masyarakat, dimana prinsip-prinsip tersebut harus berdasarkan pada keadilan, keterbukaan, pertanggungjawaban dan tanggungjawab.24
Dalam sistem Pemerintahan yang baik (Good Gavernance) menurut Grup Penasehat Bisnis Sektor Organization for Economic Coperation and Development (OECD) menetapkan empat prinsip umum good corporate governance, yaitu prinsip keadilan (fairness), keterbukaan (transparency), tanggungjawab (accountability) dan pertanggungjawaban (responsibility).25
Keadilan (fairness) adalah salah satu ukuran normatif yang sering dikaitkan dengan Good Governance. Untuk dapat menciptakan keadilan diperlukan beberapa prasyarat yang saling terkait dan satu sama lain saling mempengaruhi, diantaranya adalah :
a). Transparansi (transparency) b). Akuntabilitas (accountability) c). Kepastian (predictability)
24
Bismar Nasution, Peranan Birokrasi Dalam Mengupayakan Good Gavernance : Suatu Kajian Dari Pandangan Hukum dan Moral, Makalah disampaikan pada Diseminasi Policy Paper Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia ”Reformasi Hukum di Indonesia Melalui Prinsip-prinsip Good Gavernance”, yang diadakan oleh Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia bekerjasama dengan Program Studi Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sumateara Utara, tanggal 1-2 Oktober 2003, Medan, Sumatera Utara.
25
d). Partisipasi (participation).26
Tujuan hukum untuk melindungi kepentingan manusia dalam mempertahankan hak dan kewajibannya27. Hukum adalah tatanan yang sengaja dibuat oleh manusia dan secara sengaja pula dibebankan padanya28. Manusia ingin diikat dan ikatan itu dibuatnya sendiri, namun pada waktu yang sama ia berusaha untuk melepaskan diri dari ikatan yang dibuatnya sendiri itu, manakala dirasakan tidak cocok lagi. Sepanjang sejarahnya menusia meninggalkan jejak-jejak yang demikian, yaitu membangun dan mematuhi hukum (making the law) dan merobohkan hukum (breaking the law), kendati hukum itu dibuatnya sendiri, ternyata tidak mudah untuk hidup dengan hukum tersebut. Sejak hukum itu selesai dibuat, kehidupan tidak serta berjalan mulus, tetapi tetap penuh dengan gejolak dan patahan29.
Bekerjanya hukum tidak dapat dilepaskan dari pelayanan yang diberikan kepada masyarakat, hukum tidak bekerja menurut ukuran dan pertimbangannya sendiri melainkan dengan memikirkan dan mempertimbangkan apa yang baik dilakukan bagi masyarakat, sehingga muncul persoalan bagaimana membuat keputusan yang pada akhirnya bisa memberikan sumbangan terhadap efesiensi produksi masyarakatnya30, untuk menjalankan pekerjaan seperti itu, hukum membutuhkan suatu kekuatan pendorong. Hukum membutuhkan kekuasaan,
26
Adrian Sutedi, loc.cit. 27
Sudikno Mertokusumo, MetodePenemuan Hukum, Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti dan Berkeadilan, (Yogyakarta : UII Press, 2006), hlm. 2.
28
Satjipto Raharjo, Biarkan Hukum Mengalir, Catatan Kritis Tentang Pergaulan Manusia dan Hukum (Jakarta : Kompas, 2007), hlm. 7.
29
Ibid, hlm. 8. 30
kekuasaan memberikan kekuatan kepadanya untuk menjalan fungsi hukum, seperti misalnya sebagai kekuatan pengintregrasi atau pengkoordinasi proses-proses dalam masyarakat. Dapat dikatakan bahwa hukum tanpa kekuasaan akan tinggal sebagai keinginan-keinginan atau ide-ide belaka. Hukum membutuhkan kekuasaan, tetapi ia juga tidak bisa membiarkan kekuasaan itu menunggangi hukum31. Situasi konflik yang utama antara keduanya oleh karena kekuasaan dalam bentuknya yang paling murni tidak bisa menerima pembatasan-pembatasan, sebaliknya justru hukum itu bekerja dengan cara memberikan patokan-patokan tingkah laku dan karena itu memberikan pembatasan-pembatasan32. Hubungan hukum dengan kekuasaan dapat dirumuskan secara singkat oleh Muchtar Kusumaatmaja : “ Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman”33.
Banyak negara berkembang yang mencantumkan gagasan ideal negara hukum, The Rule of Law pada konstitusi yang dibuatnya, namun hal tersebut tidak menjadi jaminan. Di dalam pelaksanaannya ternyata banyak pihak yang tidak tunduk dan taat terhadap hukum.Seperti yang dikemukakan Jan Michiel Otto bahwa hanya ada sedikit “Kepastian hukum yang nyata” di negara-negara berkembang karena terdapat ketidaksesuaian aturan hukum dengan pelaksanaannya34.
Ketiadaan hukum yang efektif untuk memberikan kepastian hukum bagi masyarakat di negara berkembang, menimbulkan sikap frustasi, bahkan tidak sedikit
31 Ibid 32
Ibid 33
Ditulis kembali oleh Lili Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, (Bandung : Mandar Maju, 2002), hlm. 70.
34
yang kemudian bersikap apriori terhadap hukum. Kondisi ini telah diungkapkan oleh Jan Michiel Otto, bahwa hukum menjadi tidak efektif karena faktor-faktor secara yuridik dan non yuridik. Misalnya saja para penegak hukum negara-negara berkembang seringkali kesulitan dalam mencari dan menemukan aturan hukum mana yang berlaku dalam menghadapi situasi konkrit, begitupun dengan penerapan interprestasi yang digunakan. Faktor non-yuridik menjadi cukup penting untuk dipertimbangkan. Akibatnya, tidak ada kepastian hukum dalam aspek formil-yuridik35. Setidaknya ada tiga jenis faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kepastian hukum nyata, yaitu :
1. Aturan-aturan hukum itu sendiri
2. Instansi-Instansi yang membentuk dan menerapkan hukum
3. Lingkungan sosial yang lebih luas yaitu politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Hal pertama yang dibutuhkan untuk memahami daya pratikal dari hukum adalah pengetahuan hukum, penguasaan bahasa dan budaya yang besangkutan dan penguasaan atas ilmu pemerintahan dan politik. Pembentukan hukum di negara berkembang dihadapkan pada suatu pilihan yang cukup sulit. Meskipun seolah-olah ada “kontrak sosial” disetiap pembentukan hukum, namun dalam kenyataannya seringkali partisipasi masyarakat sangat minim36.
Dalam sistem Pemasyarakatan Indonesia terdapat 3 (tiga) pilar utama di dalam “Membangun Manusia Mandiri”. Ketiga pilar tersebut adalah:
35 Ibid 36
1. Masyarakat
2. Petugas Pemasyarakatan 3. Narapidana
Ketiga pilar tersebut harus saling terkait dan saling menjaga keseimbangan didalam memecahkan suatu permasalahan yang ada khususnya dalam melaksanakan pembinaan untuk membentuk “Manusia Mandiri” di Lembaga Pemasyarakatan. “The
more integral, balanced and interdependent the three are the better it is for the
society”37.
Sistem pemasyarakatan berasumsi bahwa Warga Binaan Pemasyarakatan (salah satunya narapidana) bukan saja obyek melainkan subyek. Sebagai manusia yang tidak berbeda dari manusia lainnya maka sewaktu-waktu ia dapat melakukan kesalahan atau kehilafan yang dapat dikenakan pidana, sehingga tidak harus diberantas. Yang harus diberantas adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan narapidana berbuat hal-hal yang bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama, atau kewajiban-kewajiban sosial lain yang dapat dikenakan pidana, oleh sebab itu eksistensi pemidanaan sebagai upaya untuk menyadarkan narapidana agar menyesali perbuatannya, dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik, taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan keaagamaan, sehingga tercipta kehidupan masyarakat yang aman, tertib dan damai.38
37
Adi Sujatno, Pencerahan Dibalik Penjara, (Jakarta : Warta Pemasyarakatan No.25 Tahun VIII-, Juni 2007), hlm. 26.
Sistem Pemasyarakatan juga beranggapan bahwa pada hakekatnya perbuatan pelanggaran hukum narapidana adalah cerminan dari adanya keretakan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan antara yang bersangkutan dengan masyarakat di sekitarnya. Hal ini berarti faktor penyebab terjadinya perbuatan melanggar hukum bertumpu kepada 3 aspek tersebut. Aspek hidup diartikan sebagai hubungan antara manusia dengan Pencipta-nya. Aspek kehidupan diartikan sebagai hubungan antara sesama manusia, sedangkan aspek penghidupan diartikan hubungan manusia dengan alam/lingkungannya. Oleh sebab itu tujuan Pemasyarakatan adalah pemulihan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan.39 Untuk mencapai tujuan tersebut maka dilaksanakanlah pembinaan narapidana, agar pembinaan tersebut dapat bermanfaat dan memiliki kepastian hukum, Tim Pengamat Pemasyarakatan(TPP) adalah tim yang membantu membantu pelaksanaan pembinaan dalam hal pengawasan dan pengamatan Warga Binaan Pemasyarakatan dalam Lembaga Pemasyarakatan
2. Landasan Konsepsional
Definisi operasional dari konsep-konsep yang dipergunakan adalah :
a. Akuntabilitas adalah adanya kewajiban bagi aparatur pemerintah untuk bertindak selaku penanggung jawab dan penanggung gugat atas segala tindakan dan kebijakan yang ditetapkan, atau dapat juga diartikan Akuntabilitas Kinerja adalah perwujudan kewajiban suatu instansi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan/kegagalan pelaksanaan misi organisasi
dalam mencapai tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang telah ditetapkan melalui alat pertanggungjawaban secara periodik40.
b. Tim Pengamat Pemasyarakatan adalah Tim yang bertugas memberikan saran mengenai program pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan41.
c. Pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, profesional, kesehatan jasmani dan rohani Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan42.
d. Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan43.
e. Prespektif adalah pengharapan, peninjauan , tinjauan44.
f. Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana.45
40
Lampiran Inpres R.I No.7 Tahun 1999 No.15 Juni 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.
41
Pasal 1 angka (2) Keputusan Menteri Hukum Dan Perundang-Undangan Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.03 Tahun 1999 tentang Pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan.
42
Pasal 1 angka (1) Peraturan Pemerintah republic Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan Dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.
43
Pasal 1 angka (7) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
44
Burhani MS dan Hasbi Lauwrens, Kamus Ilmiah Populer Edisi Milinium, (Jombang : Lintas Media, 2008).
45
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, artinya bahwa penelitian ini menggambarkan, menelaah dan menjelaskan secara analitis kinerja Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) dalam melaksanakan pembinaan narapidana. Pendekatan penelitian ini adalah penelitian hukum normatif46, yaitu dimaksudkan sebagai pendekatan terhadap masalah dengan melihat dari segi peraturan-peraturan yang berlaku oleh karena itu dilakukan penelitian kepustakaan.
2. Sumber Data
Adapun sumber data dalam penelitian ini terdiri data sekunder yang terdiri atas bahan hukum primer, sekunder dan tertier.
a. Bahan Hukum Primer.
Sebagai landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini diataranya adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan Warga Binaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-Undangan Republik Indonesia Nomor : M.02.PR.08.03 Tahun 1999 tentang
46
Pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti misalnya Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan, hasil-hasil penelitian serta penelitian yang relevan dengan penelitian ini.
c. Bahan Hukum Tertier
Bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder47 yang berupa kamus umum, kamus hukum, kamus ilmiah, majalah, surat kabar dan jurnal-jurnal hukum.
3. Tehnik Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah meliputi penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikian konseptual dan penelitian pendahuluan yang berhubungan dengan objek yang diteliti dapat berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah, selain itu untuk lebih mengetahui keadaan saat ini maka dilakukan studi lapangan dan melakukan wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) kepada informan yaitu :
47
a. Ketua Tim Pengamat Pemasyarakatan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara
b. Ketua Tim Pengamat Pemasyarakatan Lembaga Pemasyarakatan Wanita Medan
c. Ketua Tim Pengamat Pemasyarakatan Lembaga Pemasyarakatan Lubuk Pakam.
d. Petugas Pemasyarakatan e. Narapidana
4. Analisis Data
BAB II
PEMBENTUKAN TIM PENGAMAT PEMASYARAKATAN (TPP)
PADA PELAKSANAAN PEMBINAAN NARAPIDANA
DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN
A. Pemasyarakatan Sebagai Suatu Falsafah dan Tujuan Pidana Penjara
Embrio pemasyarakatan muncul pada tahun 1951 (melalui konferensi dinas kepenjaraan di Nusakambangan) yang berhasil menetapkan sistem kepenjaraan, antara lain mengenai seleksi serta diferensiasi, perawatan sosial narapidana, dan peningkatan pendidikan pegawai. Para pegawai harus berusaha dapat menjalankan perawatan sosial terhadap narapidana agar tidak terasing sama sekali dari masyarakat dan memanfaatkan bantuan dari perkumpulan sosial. Kemudian dilanjutkan pada konferensi yang sama tahun 1956 di Sarangan Jawa Timur yang menetapkan, bahwa pengertian prinsip pidana penjara adalah uapaya mengembalikan seseorang yang tersesat menjadi anggota masyarakat yang baik, sehingga perlu meningkatkan usaha-usaha kearah pendidikan, pekerjaan narapidana dan kegiatan rekreasi.48
Periode atau tahap dari pemasyarakatan selanjutnya dimulai sejak Sahardjo menyampaikan pidato penganugerahan gelar Doctor Honoris Causa tanggal 5 Juli 1963, dengan judul : ”Pohon Beringin Pengayoman Hukum Pancasila/Manipol
48
Usdek.” Adapun sebagian isi pidatonya yang menyangkut nasib terpidana di dalam penjara adalah sebagai berikut 49:
”Tujuan pidana penjara ialah pemasyarakatan dari rumusan ini terang, bahwa tidak saja masyarakat diayomi terhadap diulanginya perbuatan jahat oleh terpidana melainkan juga orang yang tersesat diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga yang berguna di dalam masyarakat. Dari pengayoman itu nyata, bahwa menjatuhi pidana tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan bimbingan, terpidana juga tidak di jatuhi pidana siksaan, melainkan pidana hilang kemerdekaan. Narapidana hanya dijatuhi pidana kehilangan kemerdekaan bergerak. Jadi perlu diusahakan supaya para narapidana mempunyai mata pencaharian, yaitu supaya di samping atau setelah mendapat didikan berangsur-angsur mendapatkan upah untuk pekerjaannya”.
Dilaksanakannya pidana penjara berdasarkan sistem pemasyarakatan, maka posisi sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia, di samping mengembalikan narapidana ke dalam masyarakat (reintegrasi sehat) mengandung pula pengertian yang lebih luas yaitu juga berfungsi pencegahan terhadap kejahatan. Dengan singkat tujuan pidana penjara adalah Pemasyarakatan. Sistem Pemasyarakatan mengharuskan dirubahnya penjara menjadi Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), dirubahnya sangkar menjadi sanggar karena hanya di dalam Sanggar Pengayoman Pembinaan terpidana
49
berdasarkan sistem Pemasyarakatan dan proses-proses pemasyarakatan dapat terwujud.50
Perlakuan terhadap narapidana berdasarkan sistem kepenjaraan, yang bercirikan balas dendam dan penjeraan dan institusi rumah penjara, sudah tidak sesuai lagi dengan alam kemerdekaan yang berlandaskan Pencasila, dengan suatu sistem perlakuan narapidana yaitu Sistem Pemasyarakatan yang berasaskan Pancasila dan bercirikan rehabilitatif, korektif, edukatif dan integratif. Hal ini sejalan dengan lahirnya pemikiran-pemikiran baru tentang fungsi pemidanaan, yang tidak lagi bersifat penjeraan tetapi telah berubah menjadi suatu usaha yang rehabilitatif dan reintegratif dengan tujuan agar narapidana menyadari kesalahannya, tidak mengulangi tindak pidana lagi dan dapat kembali menjadi warga masyarakat yang bertanggung jawab bagi diri, keluarga dan masyarakat serta berguna bagi nusa dan bangsanya. Untuk itu diperlukan adanya pemisahan antara tahanan dan narapidana, penggolongan/klasifikasi narapidana, lembaga/institusi wadah pembinaan, aspek pembinaan yang bercirikan preventif, kuratif, rehabilitatif dan edukatif yang berdasarkan kepada asas-asa pengayoman, persamaan perlakuan dan pelayanan, pendidikan, pembimbingan, penghormatan harkat dan martabat manusia, kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan dan terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu dalam masyarakat.51
50
Adi Sujatno, Negara Tanpa Penjara (Sebuah Renungan), (Jakarta : Montas Ad, 2002), hlm. 14.
51
Hakekat dari pada Sistem Kepenjaraan memang sangat berbeda dengan Sistem Pemasyarakatan. Sistem Kepenjaraan diwarnai oleh aliran klasik dalam hukum pidana dengan doktrinnya yang terkenal yakni Punishment should fit the
Crime, sedangkan Sistem Pemasyarakatan sejauh mungkin menginginkan apa yang
dinamakan Twin Track System, dalam hal mana individualisme pidana juga dipertimbangkan (Punishment should fit the Crime). 52
Lembaga Pemasyarakatan adalah salah satu institusi negara yang ditugaskan untuk menampung narapidana/anak didik yang telah dinyatakan oleh Hakim melalui putusannya, atau kadangkala dipakai juga untuk tempat pelaksanaan penahanan yang dilakukan oleh Polisi, Jaksa maupun Hakim. Proses penjatuhan hukuman/penahanan pada hakekatnya merupakan upaya paksa dalam rangka proses penegakan hukum yang bertujuan agar di dalam masyarakat terdapat suasana aman dan tertib yang berlandaskan keadilan dan terciptanya perlindungan hak asasi manusia.53
Menurut Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana dinyatakan bahwa tujuan pemidanaan adalah :
a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;
b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna;
52
Ibid, hlm.16. 53
c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;
d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.54
Disebutkan juga bahwa pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia.55
Narapidana bukanlah objek pembinaan, tetapi adalah subjek pembinaan, oleh karena tidaklah berbeda dari manusia lainnya yang sewaktu-waktu dapat berbuat salah, dan tidaklah tepat apabila selalu diasingkan dari masyarakat, tetapi justru harus dikenalkan kembali ke masyarakat, karena masyarakat adalah ajang hidup mereka, tempat satu kesatuan hidup, kehidupan dan penghidupannya, yang justru dapat menjadi manusia Indonesia seutuhnya, yang menyadari kesalahannya, memperbaiki diri dan tidak lagi mengulangi tindak pidana dan dapat diterima kembali oleh masyarakatnya. Dengan demikian keserasian, keselarasan dan keseimbangan hubungan antara petugas, narapidana dan masyarakat adalah pra-syarat tercapainya tujuan system Pemasyarakatan di Indonesia, dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana kejahatan.56
Sehubungan tujuan pidana untuk menyelesaikan konflik dan memulihkan keseimbangan hal itu telah dirumuskan pada Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru tahun 2004, semakin menunjukkan kedekatannya atau relevan dengan ide pemikiran Sahardjo. Di sini pidana tidak hanya membalaskan hukuman
54
Pasal 1 ayat (1) Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana. 55
Pasal 1 ayat (2) Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana 56
atau derita pada pelaku; serta mengasingkannya dari masyarakat, tetapi bertujuan agar masyarakat dapat menerima bekas narapidana. Dalam hal ini tujuan pemasyarakatan berpusat dan ditujukan kepada integritas hidup dan penghidupan narapidana yang menjadi bagian dari anggota masyarakat.57
Baharuddin Soerjobroto mengatakan: ”sifat kegotong-royongan di sini terlihat sebagai sesuatu yang aktif, dimana dalam prakteknya, sifat kegotong-royongan di dalam pemasyarakatan bertujuan untuk mengurangi konflik-konflik di masyarakat sehingga tercipta stabilitas sosial dan semua itu menjadi tanggung jawab bersama terlebih petugas pemasyarakatan selama proses pemasyarakatan berlangsung. Dengan demikian pemasyarakatan adalah pengejahwatahan dari keadilan terhadap perlakuan orang-orang yang melakukan tindak pidana.58
Salah satu bentuk perwujudan adanya kerja sama pada proses pembinaan narapidana dalam sistem pemasyarakatan yaitu dibentuknya Tim pembuat rekomendasi yang disebut dengan Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) baik di tingkat Pusat, Wilayah maupun di Daerah/Unit Pelaksana Tehnis. Hal ini dimulai pada tanggal 08 Februari 1965, dimana Kepala Direktorat Jenderal Pemasyarakatan mengeluarkan surat Edaran yang intinya menegaskan bahwa Pemasyarakatan adalah suatu proses yang wajib dilaksanakan dengan taat azas melalui pentahapan yang pasti dan jelas. Perkembangan pelaksanaan tugas pemasyarakatan dilaksanakan melalui evaluasi dari Dewan Pembina Pemasyarakatan (DPP). Dalam perkembangannya sejak tahun 1990 melalui Surat Keputusan Menteri Kehakiman tentang Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan Nomor : M.02-PK.04.10 Tahun 1990, Tanggal 10 April 1990 Dewan Pembina Pemasyarakatan diganti dengan nama Tim Pengamat
57
Petrus Pandjaitan & Samuel Kikilaitety, op.cit., hlm.116. 58
Pemasyarakatan (TPP). Hal ini dapat dilihat pada Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : M.02-PK.04.10 Tahun 1990 Tanggal 10 April 1990 Bab II angka 10 yang berbunyi :
”Tim Pengamat Pemasyarakatan yang selanjutnya disingkat TPP adalah Tim yang bertugas memberi pertimbangan kepada pimpinan dalam rangka tugas pengamatan terhadap pelaksanaan pembinaan narapidana, anak negara/sipil dan klien pemasyarakatan.”
Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) dapat dibedakan :
a. TPP tingkat Pusat yang berkedudukan di Direktorat Jenderal Pemasyarakatan b. TPP tingkat Wilayah yang berkedudukan di Kantor Wilayah Departemen
Kehakiman
c. TPP tingkat Daerah yang berkedudukan di Lembaga Pemasyarakatan/Rumah Tahanan Negara dan Balai Bispa.59
Pada Bab VII huruf J menyebutkan ”Pelaksana kegiatan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan masing-masing dibantu oleh sebuah tim yang disebut Tim Pengamat Pemasyarakatan Lapas, Tim Pengamat Pemasyarakatan Balai Bispa dan Tim Pengamat Pemasyarakatan Rutan selanjutnya disingkat TPP”.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menyebutkan pemasyarakatan adalah kegiatan melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan (narapidana) berdasarkan sistem, kelembagaan dan cara pembinaan
59
yang merupakan bagian akhir dari sistem pembinaan dalam tata peradilan pidana. Sebagai suatu sistem, keberhasilan pembinaan dalam konteks pelaksanaan sistem pemasyarakatan ditentukan salah satu peran Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Kalapas) sebagai pemimpin yang dibantu oleh Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) yang melakukan penilaian dan pengamatan sehingga menghasilkan suatu rekomendasi bagi pelaksanaan tahap-tahap/proses pembinaan selanjutnya.
B. Pelaksanaan Pembentukan Dan Susunan Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) di Wilayah dan Daerah
Kerja tim amat diperlukan karena dapat menciptakan sumber daya manusia yang luar biasa kuat, sebab berbagai talenta tergabung dan menjadi suatu kekuatan untuk mencapai tujuan. Kreatifitas dalam menyelesaikan berbagai hal yang membutuhkan kerja sama akan tercipta karena banyak pihak yang terlibat.60 Demikian pula dengan pelaksanaan pembinaan narapidana dalam sistem Pemasyarakatan, diperlukan sebuah Tim yang terdiri dari pihak-pihak yang berinteraksi langsung dengan narapidana sehingga dari Tim ini diharapkan dapat diperoleh hasil penilaian dan pengamatan berupa rekomendasi bagi pelaksanaan pembinaan selanjutnya.
60
1. Peraturan Pelaksana Pembentukan Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP)
Dalam Bab IV Pasal 45 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang berbunyi :
(1) Menteri membentuk Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan.
(2) Balai Pertimbangan Pemasyarakatan bertugas memberi saran dan pertimbangan kepada Menteri.
(3) Balai Pertimbangan Pemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terdiri dari para ahli di bidang pemasyarakatan yang merupakan wakil instansi pemerintah terkait, badan non pemerintah dan perorangan lainnya.
(4) Tim Pengamat Pemasyarakatan yang terdiri dari pejabat-pejabat LAPAS, BAPAS atau pejabat terkait lainnya bertugas :
a. Memberi saran mengenai bentuk dan program pembinaan dan pembimbingan dalam melaksanakan sistem pemasyrakatan.
b. Membuat penilaian atas pelaksanaan program pembinaan dan pembimbingan; dan
c. Menerima keluhan dan pengaduan dari Warga Binaan Pemasyarakatan
(5) Pembentukan, susunan, dan tata cara kerja Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Berdasarkan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan tersebut maka lahirlah Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-Undangan Republik Indonesia Nomor : M.02.PR.08.03 Tahun 1999 tentang Pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan, yang mengatur kedudukan, tugas dan Fungsi Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) antara lain berbunyi :
1. TPP Pusat berada di Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dan bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan.
3. TPP Daerah di UPT Pemasyarakatan dan bertanggungjawab kepada masing- masing kepada UPT Pemasyarakatan.61
Tugas pokok Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) adalah :
1. Memberikan saran mengenai bentuk , dan program pembinaan, pengamanan dan pembimbingan dalam melaksanakan sistem pemasyarakatan;
2. Membuat penilaian atas pelaksanaan program pembinaan, pengamanan dan pembimbingan; dan
3. Menerima keluhan dan pengaduan dari Warga Binaan Pemasyarakatan;62
Saran dan pertimbangan pengamatan yang dibuat oleh Tim Pengamatan Pemasyarakatan (TPP) merupakan rekomendasi bagi kepala dalam meyelesaikan masalah-masalah dan usulan pembinaan dengan tingkatan sebagai berikut :
1. TPP Pusat bertugas memberikan saran dan pertimbangan pengamatan kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan tentang masalah-masalah dan usulan pembinaan, pengamanan dan pembimbingan WBP yang diajukan oleh TPP Wilayah dalam hal :
a. Masalah-masalah penempatan dan pemindahan WBP;
b. Penyeselesaian masalah-masalah usul dari daerah tentang asimilasi, pembebasan bersyarat dan remisi;
c. Masalah-masalah lain yang dipandang perlu oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan.
2. TPP Wilayah bertugas memberi saran dan atau pertimbangan pengamatan kepada Kepala Kan