• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan Kesepian antara Remaja Panti Asuhan dan Remaja yang Tinggal dengan Keluarga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perbedaan Kesepian antara Remaja Panti Asuhan dan Remaja yang Tinggal dengan Keluarga"

Copied!
153
0
0

Teks penuh

(1)

KELUARGA

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan

Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

MASSITA OZAR

071301058

FAKULTAS PSIKOLOGI

(2)

PERBEDAAN KESEPIAN ANTARA REMAJA PANTI

ASUHAN DAN REMAJA YANG TINGGAL DENGAN

KELUARGA

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan

Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

MASSITA OZAR

071301058

FAKULTAS PSIKOLOGI

(3)

SKRIPSI

PERBEDAAN KESEPIAN ANTARA REMAJA PANTI

ASUHAN DAN REMAJA YANG TINGGAL DENGAN

KELUARGA

Dipersiapkan dan disusun oleh :

MASSITA OZAR

071301058

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal Agustus 2012

Mengesahkan, Dekan Fakultas Psikologi

Prof. Dr. Irmawati, psikolog NIP. 195301311980032001

Tim Penguji

1. Rahma Yurliani, M. Psi Penguji I

NIP. 198107232006042004 Merangkap pembimbing

2. Elvi Andriani Yusuf, M. Si, psikolog Penguji II NIP. 196405232000032001

(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya

bahwa skripsi saya yang berjudul:

Perbedaan kesepian antara remaja panti asuhan

dan remaja yang tinggal dengan keluarga

adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar

kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari

hasil karya orang lain yang telah ditulis sumbernya secara jelas sesuai dengan

norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi

ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera

Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Agustus 2012

MASSITA OZAR

(5)

Perbedaan Kesepian antara Remaja Panti Asuhan dan Remaja yang Tinggal dengan Keluarga

Massita Ozar dan Rahma Yurliani

ABSTRAK

Kesepian merupakan reaksi kognitif dan afektif individu terhadap ancaman dari hubungan sosial, ketidaknyamanan yang dirasakan individu akibat menjalin hubungan yang sedikit dan tidak memuaskan dari hubungan yang diharapkan. Respon individu dalam mengalami kesepian ditunjukkan melalui tiga dimensi berbeda, yakni affective dimension, cognitive dimension, dan

interpersonal situations or context. Kesepian lebih sering terjadi pada masa remaja ketika remaja berusaha membentuk hubungan kelekatan dengan orang lain selain orangtua, yaitu dengan teman sebaya. Peran keluarga terutama orangtua berkontribusi terhadap kompetensi perilaku dan sosial yang baik sehingga remaja akan terhindar dari kesepian. Kesepian tidak hanya dialami oleh remaja yang tinggal dengan keluarga tetapi juga pada remaja di panti asuhan. Keterbatasan jumlah pengasuh sebagai pengganti orangtua membuat anak panti asuhan tidak mendapatkan perhatian dan kasih sayang sepenuhnya. Hal tersebut menyebabkan remaja panti asuhan lebih rentan terhadap munculnya kesepian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kesepian antara remaja panti asuhan dan remaja yang tinggal dengan keluarga.

Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik cluster random sampling, dan jumlah subjek sebanyak 150 orang yang berusia 12-15 tahun. Alat ukur yang digunakan berupa skala kesepian yang disusun berdasarkan dimensi kesepian yang dikemukakan oleh Hymel, Tarulli, Hayden Thomson, dan Terrell-Deutsch (dalam Roternberg & Hymel, 2008) yaitu affective dimension, cognitive dimension, dan interpersonal context. Hasil analisa uji coba aitem menggunakan korelasi Pearson dan reliabilitas Alpha Cronbach menunjukkan koefisien aitem total sebesar 0.916. Terdapat 41 aitem yang lolos dari 60 aitem yang diuji coba.

Hasil analisa data penelitian menggunakan independent sample t-test

(6)

The Difference of Loneliness between Adolescent who Lived in The Orphanage

and Live with the Family

Massita Ozar dan Rahma Yurliani

ABSTRACT

Loneliness is an individual's cognitive and affective reactions to threats to social relationships, the subjective discomfort he or she feels when having fewer and less satisfying relationships than he or she desires. Individual response to experience loneliness shown through three different dimensions, the affective dimension, cognitive dimension, and interpersonal situations or context. Loneliness more frequent during adolescence when strives to achieve attachment to others beside their parents. The role of the family, especially the parents contribute to social competence and good behavior so that adolescents will avoid loneliness. Loneliness is not only experienced by adolescents who live with the family but also occurs in orphanage. The limited number of caregivers as surrogate parents make the orphans did not get the attention and love fully. This causes orphans more susceptible to the emergence of loneliness. This study aims to determine the difference of loneliness between the adolescents who lived in the orphanages and adolescents who live with the family.

The sample was chosen using cluster random sampling, and subject were 150 in aged 12-15 years old. Measurement tool used in this research was loneliness scale according to dimensions of loneliness proposed by Hymel, Tarulli, Hayden Thomson, dan Terrell-Deutsch (Rotenberg & Hymel, 2008) that were affective dimension, cognitive dimension, and interpersonal context. The results of tryout analysis using Pearson correlation and Alpha Cronbach reliability showed item total coefficient r= 0.916. There were 41 items passed from 60 items that include in tryout.

The results of data analysis using independent sample t-test showed that t=3.196 and p=0.002 (p<0.05), that concluded there was a difference of loneliness between adolescent who lived in the orphanages and who live with the family. The results of the three-dimensional analysis of the data showed that loneliness between adolescents who live in the orphanage and adolescents who live with the family were different each dimension with p=0.010 on the cognitive dimension; p=0.000 on the affective dimension; p=0.019 on the interpersonal context. Affective dimensions, comprising the emotional experiences of loneliness, significantly shows differences between the two samples.

(7)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah

memberikan karunia dan rahmat-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan

skripsi untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana jenjang

Strata satu (S1) di Fakultas Psikologi Sumatera Utara dengan judul “Perbedaan Kesepian antara Remaja Panti Asuhan dan Remaja yang Tinggal dengan

Keluarga”.

Peneliti menyadari bahwa tanpa bantuan pihak lain maka peneliti tidak

mampu menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu pada kesempatan ini, peneliti

ingin menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada kedua

orangtua, dr. H. Ozar Sanuddin SpPK(K) dan Hj. Rosnidar Lubis, yang tidak lelah

mendoakan dan memberi semangat kepada peneliti hingga skripsi ini dapat selesai

dengan baik. Peneliti juga ingin menyampaikan terima kasih yang tulus kepada

semua pihak yang telah turut membantu penyelesaian skripsi ini. Ucapan terima

kasih peneliti tujukan kepada :

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, M.Si., Psikolog, selaku Dekan Fakultas Psikologi

USU, beserta Pembantu Dekan I, II, dan III Fakultas Psikologi USU.

2. Ibu Rahma Yurliani, M.Psi., Psikolog, selaku dosen pembimbing yang telah

sabar dalam membimbing peneliti, atas bimbingan, nasehat, saran, dan waktu

yang diluangkan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan

(8)

3. Ibu Elvi Andriani Yusuf, M.Si., psikolog, selaku dosen penguji II dan Ibu Ika

Sari Dewi, S.Psi., psikolog selaku dosen penguji III yang telah bersedia

meluangkan waktunya untuk menguji skripsi ini.

4. Bapak Ari Widiyanta, M.Psi., psikolog selaku dosen pembimbing akademik

yang telah bersedia untuk membimbing peneliti dan memberikan masukan

dalam bidang akademik pada setiap semester perjalanan kuliah peneliti

sehingga dapat memberikan hasil yang terbaik.

5. Ibu Rahmi Putri Rangkuti, M. Psi. Terima kasih atas segala kebaikan ibu.

6. Kepada Pimpinan Panti Asuhan Al-Jam’iyatul Washliyah, Pimpinan Panti Asuhan Bani Adam AS’ serta Kepala Sekolah SMP Muhammadiyah 57 Medan yang bersedia mengijinkan dan membantu peneliti dalam pengambilan

data.

7. Seluruh dosen di Fakultas Psikologi USU yang telah memberikan ilmu

wawasan dan pengetahuan yang sangat berharga kepada peneliti, dan seluruh

pegawai di Fakultas Psikologi USU yang setia membantu peneliti

menyediakan segala keperluan selama perkuliahan.

8. Teman-teman dekat yang terus mendukung, memberi semangat, dan ikut

membantu sehingga skripsi ini dapat selesai. Untuk Nana Zahara Siregar,

Ridya Tyastiti, Zulfadilah Nasution, Khairiah Mulia Rahma, Kiki Fatmala

Sari, Nuzulia Rahmati, Vety Dazefa, Nur Shadrina, atas semangat dan

(9)

9. Kakak dan Abang peneliti, Bania Maulina, Lucia Aktalina, Ferry Irawan, dan

Maulana Ozar. Terima kasih atas setiap dukungan dan bantuannya serta

memberi semangat peneliti untuk terus berusaha dan tidak putus asa.

10.Teman-teman angkatan 2007 yang tidak bisa disebutkan namanya satu-persatu

atas kebersamaan yang menyenangkan. Terima kasih atas dukungan dan

semangatnya.

11.Semua orang yang telah membantu peneliti dalam penyelesaian skripsi ini,

yang tidak dapat peneliti sebutkan satu-persatu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh

karena itu penulis sangat mengharapkan masukan dan saran yang membangun

untuk mencapai yang lebih baik lagi. Peneliti berharap kiranya skripsi ini dapat

bermanfaat bagi berbagai pihak.

Medan, Agustus 2012

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II LANDASAN TEORI ... 14

A. Kesepian ... 14

1. Definisi Kesepian ... 14

2. Dampak Kesepian ... 15

3. Dimensi Kesepian ... 16

(11)

B. Panti Asuhan ... 25

1. Definisi Panti Asuhan ... 25

2. Peran Panti Asuhan ... 26

3. Tujuan Panti Asuhan ... 27

C. Keluarga ... 29

D. Remaja... 31

1. Definisi Remaja ... 31

2. Tugas Perkembangan Remaja ... 33

3. Perkembangan Sosial Remaja ... 34

E. Perbedaan Kesepian antara Remaja Panti Asuhan dan Remaja yang Tinggal dengan Keluraga ... 36

E. Hipotesa... 42

BAB III METODE PENELITIAN... 43

A. Identifikasi Variabel ... 43

B. Defenisi Operasional Variabel Penelitian ... 43

1. Kesepian ... 43

2. Remaja Panti Asuhan dan Remaja yang Tinggal dengan Keluarga ... 44

C. Subjek Penelitian ... 45

1. Populasi dan Sampel ... 45

2. Metode Pengambilan Sampel ... 46

D. Alat Ukur yang Digunakan ... 47

(12)

2. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 49

E. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 52

1. Tahap Persiapan Penelitian ... 52

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 54

3. Tahap Pengolahan Data... 54

F. Metode Analisa Data ... 54

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ... 56

A. Gambaran Umum Subjek Penelitian ... 56

1. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 56

2. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 57

B. Hasil Penelitian ... 58

1. Uji Asumsi ... 58

a. Uji Normalitas ... 58

b. Uji Homogenitas ... 59

2. Hasil Utama Penelitian ... 60

a. Uji Hipotesa Penelitian ... 60

b. Kategorisasi Data Penelitian ... 63

C. Pembahasan ... 65

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 71

A. Kesimpulan ... 71

B. Saran ... 72

1. Saran Metodologis ... 72

(13)
(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Blueprint Aitem Skala Kesepian Sebelum Uji Coba ... 50

Tabel 2 Blueprint Aitem Skala Kesepian Setelah Uji Coba... 51

Tabel 3 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 57

Tabel 4 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 57

Tabel 5 Hasil Uji Normalitas Skala Kesepian ... 59

Tabel 6 Hasil Uji Homogenitas Skala Kesepian ... 60

Tabel 7 Gambaran Skor Kesepian ... 61

Tabel 8 Hasil Perhitungan Uji t Skala Kesepian ... 61

Tabel 9 Hasil Analisa Kesepian tiap Dimensi ... 62

Tabel 10 Deskripsi Skor Empirik dan Hipotetik Skala Kesepian ... 64

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Data Mentah Hasil Uji Coba Skala Kesepian ... 80

Lampiran 2 Hasil Analisa Aitem Uji Coba Skala Kesepian ... 88

Lampiran 3 Data Mentah Subjek Penelitian Skala Kesepian ... 104

Lampiran 4 Hasil Uji Skala Kesepian ... 113

Lampiran 5 Skala Kesepian Sebelum Uji Coba ... 117

Lampiran 6 Skala Kesepian ... 127

(16)

Perbedaan Kesepian antara Remaja Panti Asuhan dan Remaja yang Tinggal dengan Keluarga

Massita Ozar dan Rahma Yurliani

ABSTRAK

Kesepian merupakan reaksi kognitif dan afektif individu terhadap ancaman dari hubungan sosial, ketidaknyamanan yang dirasakan individu akibat menjalin hubungan yang sedikit dan tidak memuaskan dari hubungan yang diharapkan. Respon individu dalam mengalami kesepian ditunjukkan melalui tiga dimensi berbeda, yakni affective dimension, cognitive dimension, dan

interpersonal situations or context. Kesepian lebih sering terjadi pada masa remaja ketika remaja berusaha membentuk hubungan kelekatan dengan orang lain selain orangtua, yaitu dengan teman sebaya. Peran keluarga terutama orangtua berkontribusi terhadap kompetensi perilaku dan sosial yang baik sehingga remaja akan terhindar dari kesepian. Kesepian tidak hanya dialami oleh remaja yang tinggal dengan keluarga tetapi juga pada remaja di panti asuhan. Keterbatasan jumlah pengasuh sebagai pengganti orangtua membuat anak panti asuhan tidak mendapatkan perhatian dan kasih sayang sepenuhnya. Hal tersebut menyebabkan remaja panti asuhan lebih rentan terhadap munculnya kesepian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kesepian antara remaja panti asuhan dan remaja yang tinggal dengan keluarga.

Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik cluster random sampling, dan jumlah subjek sebanyak 150 orang yang berusia 12-15 tahun. Alat ukur yang digunakan berupa skala kesepian yang disusun berdasarkan dimensi kesepian yang dikemukakan oleh Hymel, Tarulli, Hayden Thomson, dan Terrell-Deutsch (dalam Roternberg & Hymel, 2008) yaitu affective dimension, cognitive dimension, dan interpersonal context. Hasil analisa uji coba aitem menggunakan korelasi Pearson dan reliabilitas Alpha Cronbach menunjukkan koefisien aitem total sebesar 0.916. Terdapat 41 aitem yang lolos dari 60 aitem yang diuji coba.

Hasil analisa data penelitian menggunakan independent sample t-test

(17)

The Difference of Loneliness between Adolescent who Lived in The Orphanage

and Live with the Family

Massita Ozar dan Rahma Yurliani

ABSTRACT

Loneliness is an individual's cognitive and affective reactions to threats to social relationships, the subjective discomfort he or she feels when having fewer and less satisfying relationships than he or she desires. Individual response to experience loneliness shown through three different dimensions, the affective dimension, cognitive dimension, and interpersonal situations or context. Loneliness more frequent during adolescence when strives to achieve attachment to others beside their parents. The role of the family, especially the parents contribute to social competence and good behavior so that adolescents will avoid loneliness. Loneliness is not only experienced by adolescents who live with the family but also occurs in orphanage. The limited number of caregivers as surrogate parents make the orphans did not get the attention and love fully. This causes orphans more susceptible to the emergence of loneliness. This study aims to determine the difference of loneliness between the adolescents who lived in the orphanages and adolescents who live with the family.

The sample was chosen using cluster random sampling, and subject were 150 in aged 12-15 years old. Measurement tool used in this research was loneliness scale according to dimensions of loneliness proposed by Hymel, Tarulli, Hayden Thomson, dan Terrell-Deutsch (Rotenberg & Hymel, 2008) that were affective dimension, cognitive dimension, and interpersonal context. The results of tryout analysis using Pearson correlation and Alpha Cronbach reliability showed item total coefficient r= 0.916. There were 41 items passed from 60 items that include in tryout.

The results of data analysis using independent sample t-test showed that t=3.196 and p=0.002 (p<0.05), that concluded there was a difference of loneliness between adolescent who lived in the orphanages and who live with the family. The results of the three-dimensional analysis of the data showed that loneliness between adolescents who live in the orphanage and adolescents who live with the family were different each dimension with p=0.010 on the cognitive dimension; p=0.000 on the affective dimension; p=0.019 on the interpersonal context. Affective dimensions, comprising the emotional experiences of loneliness, significantly shows differences between the two samples.

(18)

A. Latar Belakang

Masa remaja merupakan salah satu periode perkembangan yang dialami

oleh setiap individu. Remaja secara psikologis merupakan masa transisi dari masa

kanak-kanak menuju dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan

sosial. Pada masa transisi ini, remaja dipandang dari dua sisi yang berlainan. Pada

satu sisi remaja ingin menjadi seorang yang mandiri tanpa bantuan orangtua,

namun di sisi lain remaja masih membutuhkan bantuan dari orangtua (Santrock,

2003).

Remaja yang berada pada masa peralihan antara masa kanak-kanak dan

masa dewasa menyebabkan statusnya menjadi agak kabur. Baik bagi dirinya

sendiri maupun lingkungannya. Masa remaja biasanya memiliki energi yang

besar, emosi yang kurang terkendali, dan pengendalian diri belum sempurna,

sehingga remaja sering mengalami perasaan tidak aman, tidak tenang, dan

khawatir kesepian (Ali & Asrori, 2004).

Remaja juga mengalami perubahan hubungan dalam perkembangan sosial,

yaitu mulai memisahkan diri dari orangtua menuju pada keintiman dengan

teman-teman sebaya. Perubahan hubungan tersebut memerlukan suatu kesinambungan.

Perubahan memisahkan diri dari orangtua tanpa disertai perubahan hubungan

remaja menuju teman sebaya akan mengakibatkan remaja mengalami kesepian

(19)

Uruk dan Demir (2003) bahwa peran keluarga terutama orangtua dan peran teman

sebaya dapat memprediksi kesepian pada remaja. Remaja yang bermasalah

dengan orangtua dan remaja yang tidak memiliki teman atau sahabat sebagai

tempat untuk berbagi dapat menyebabkan kesepian pada dirinya.

Salah satu tugas perkembangan masa remaja menurut Hurlock (1999)

adalah membina hubungan dengan teman sebaya. Apabila hubungan tersebut

tidak seperti yang diharapkan oleh remaja akan menyebabkan timbulnya perasaan

kesepian. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Maryati (2007)

yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara penerimaan

teman sebaya dengan kesepian pada remaja, dimana semakin negatif penerimaan

teman sebaya maka kesepian akan semakin tinggi.

Interaksi dengan teman sebaya membuat remaja dapat belajar mengenai

hubungan timbal balik, menggali prinsip-prinsip kejujuran dan keadilan, serta

dapat meneliti minat dan pandangan teman sebaya untuk mempermudah remaja

menyesuaikan dirinya pada aktivitas teman sebaya (Santrock, 2003). Selain itu,

dengan adanya interaksi yang akrab dengan teman sebaya, remaja menjalin

persahabatan yang dapat meningkatkan harga diri dan kemampuan sosialnya

(Kelly & Hansen dalam Desmita, 2005). Namun selain meningkatkan harga diri

serta penyesuaian sosial pada remaja, interaksi dengan teman sebaya juga dapat

memberikan dampak negatif bagi perkembangan remaja salah satunya adalah

penolakan atau tidak diperhatikan oleh teman sebaya dapat mengakibatkan remaja

(20)

Masyarakat seringkali menganggap bahwa kesepian banyak dialami oleh

individu pada kelompok usia lanjut. Tetapi hasil penelitian yang dilakukan oleh

Parlee (dalam Sears, Freedman, dan Peplau, 2009) menunjukkan bahwa dari

40.000 individu, yang seringkali merasa kesepian adalah individu pada kelompok

usia remaja yaitu sebanyak 79%. Di sisi lain kelompok individu yang berusia di

atas 55 tahun hanya sebanyak 37%.

Brennan dan Sullivan mengatakan bahwa kesepian lebih intens dan sering

terjadi selama masa remaja dibandingkan masa anak-anak dan dewasa. Weiss

(1973) juga menekankan bahwa kesepian hanya mungkin terjadi pada masa

remaja ketika remaja berusaha membentuk hubungan kelekatan dengan orang lain

disamping orangtua, yaitu dengan teman sebaya (dalam Rotenberg & Hymel,

2008). Hal ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Cheng dan

Furnham (2002) bahwa salah satu penyebab munculnya perasaan kesepian pada

remaja adalah kualitas dan kuantitas hubungan remaja dengan teman sebaya.

Kesepian pada remaja terjadi karena ketidaksesuaian antara hubungan sosial yang

diharapkan dengan hubungan sosial yang didapat.

Menurut Weiss (dalam Rotenberg & Hymel, 2008) remaja mengalami

kesepian dalam kehidupannya baik secara emosional maupun sosial. Masa remaja

merupakan masa transisi yang sebagian waktunya dihabiskan bersama teman

sebaya. Selama masa transisi ini, remaja memiliki kepuasan yang rendah dengan

orangtua sebagai figur kelekatan dan mulai mencari figur kelekatan dalam

(21)

Remaja mengalami kesulitan dalam mengatasi kesepian karena hal

tersebut merupakan pengalaman pertama remaja dalam mengubah hubungan yang

lekat dengan orangtua kepada hubungan dengan orang lain. Mijuskovic (dalam

Rice, 2008) mengungkapkan bahwa sejumlah faktor dapat memberi kontribusi

terhadap kesepian yang dialami remaja yaitu adanya rasa kebebasan yang semakin

meningkat karena lingkup pergaulan remaja semakin luas, pencarian identitas diri,

ketidakjelasan siapa diri remaja dan tujuan hidup yang hendak dicapai, status yang

tidak jelas di masyarakat karena remaja tidak dapat disebut sebagai anak-anak lagi

dan belum tepat disebut sebagai orang dewasa, serta tanggung jawab yang lebih

besar.

Remaja seringkali mendiskripsikan kesepian yang dialami sebagai

kekosongan, kebosanan, dan keterasingan. Remaja lebih sering merasa kesepian

ketika merasa ditolak, terasing, dan tidak mampu memiliki peran dalam

lingkungannya. Kesepian yang dirasakan adalah karena belum terbentuknya

keintiman baru yang berakibat remaja tidak mempunyai hubungan interpersonal

yang intim (Rice, 2008).

Rook dan Wood (dalam Rotenberg & Hymel, 2008) mengatakan bahwa

keadaan spesifik dimana terjadi ketidakpuasan terhadap suatu hubungan sosial

akan menimbulkan perasaan kesepian. Kesepian terjadi ketika kebutuhan sosial

tidak terpenuhi. Pengasingan, penolakan, ketiadaan hubungan yang mendalam,

dijauhi karena tidak satupun yang menyukai, akan membuat individu frustrasi dan

(22)

Kesepian dapat timbul karena kejadian-kejadian atau perubahan yang

terjadi secara tiba-tiba dalam kehidupan individu. Perubahan yang terjadi dalam

kehidupan individu ini terbagi menjadi dua tipe yaitu perubahan dalam hubungan

sosial individu dan perubahan pada kebutuhan sosial individu atau perubahan

keinginan. Perubahan hubungan sosial yang dapat menimbulkan kesepian seperti

berpisah secara fisik dengan orang yang dicintai seperti kematian, perceraian,

berakhirnya hubungan dengan teman, pindahnya tempat tinggal, keluar dari

sekolah, serta memasuki suatu komunitas baru (Sears dkk, 2009). Selain itu,

perubahan pada kebutuhan sosial atau perubahan keinginan individu dapat

menyebabkan kesepian. Individu memiliki keinginan atau kebutuhan dalam

kehidupan sosialnya. Namun jika individu tidak dapat memenuhi kebutuhan

dalam hubungan sosialnya, individu tersebut akan mengalami kesepian.

Lingkungan yang paling dekat dan paling berpengaruh bagi remaja adalah

keluarga. Keluarga sebagai tempat pertama kali bagi remaja dalam menyerap

norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku untuk dijadikan bagian dari

kepribadiannya (Sarwono, 2002). Penelitian yang dilakukan oleh Johnson dkk

(2001) menunjukkan bahwa kekohesivitasan keluarga merupakan hal yang dapat

menyebabkan remaja mengalami kesepian. Sejalan dengan penelitian Roux (2008)

yang mengatakan bahwa sikap remaja terhadap orang tua merupakan prediktor

munculnya kesepian pada remaja.

Keluarga khususnya orangtua memiliki pengaruh yang besar dalam upaya

menuntun remaja mengatasi berbagai permasalahan hidup yang dihadapi,

(23)

kepentingan remaja (Hardinge & Shryrock, 2002). Hal tersebut didukung oleh

penelitian yang dilakukan oleh Park Seon Young dan Doh Hyun Sim (1997) yang

mengatakan bahwa fungsi keluarga secara signifikan berhubungan dengan

kesepian pada remaja. Remaja akan memiliki tingkat kesepian yang tinggi jika

terjadi konflik dalam keluarga.

Keluarga merupakan lingkungan primer bagi individu dari sejak lahir

sampai ia meninggalkan rumah untuk membentuk keluarga sendiri. Peran

keluarga yang tepat akan memiliki kontribusi terhadap kompetensi perilaku dan

sosial yang baik sehingga remaja akan terhindar dari kesepian. Penelitian yang

dilakukan Yu dkk (2005) menyimpulkan bahwa peran dasar keluarga adalah

menyediakan lingkungan yang sehat untuk setiap anggota keluarga dalam rangka

mencapai perkembangan fisik, psikologi, dan sosial yang baik.

Interaksi antara orangtua dengan anak merupakan hal yang mendasar dan

sangat penting. Interaksi individu dengan orangtua memiliki dampak yang cukup

besar terhadap interaksinya dengan orang lain (Baron & Byrne, 2006). Youniss

dan Smollar (dalam Agustiani, 2006) mengatakan bahwa hubungan antara anak

dengan teman sebaya merupakan refleksi dari hubungan antara orangtua dan anak.

Kenyataan di lapangan menunjukkan tidak semua remaja tinggal dalam

keluarga. Banyak remaja yang hidup terpisah dari keluarganya dan menjalani

kehidupan bersama dengan orang lain, seperti harus tinggal di panti asuhan. Panti

asuhan sendiri dianggap masyarakat secara umum memiliki sisi negatif dan

positif. Sisi negatifnya adalah anggapan umum yang menyatakan bahwa

(24)

yang panjang akan meningkatkan resiko terkena psikopatologi serius dalam

kehidupannya mendatang. Anggapan ini berkembang sebuah generalisasi secara

mutlak bahwa lembaga sosial selalu berbahaya dan harus dihindari selama masih

ada pilihan lain. Sisi positifnya menurut masyarakat bahwa anak-anak akan lebih

terpenuhi kebutuhannya di panti asuhan, jadi hal itu adalah untuk kebaikan anak

itu sendiri (Knudsen, 2001).

Santrock (2003) mengatakan bahwa pengalaman dini akan penolakan dari

orangtua pada masa kanak-kanak, kehilangan hubungan kasih sayang dari

orangtua karena peristiwa kematian atau perceraian, dan hubungan yang buruk

dengan orangtua dapat menyebabkan remaja lebih peka terhadap kesepian. Hal

tersebut terjadi pada anak panti asuhan. Rice (2008) juga menjelaskan bahwa

remaja yang kehilangan dukungan dari orangtua akan mengalami perasaan

ditinggalkan atau sendirian bahkan dapat pula sampai merasa tertolak, tidak

dihargai, tidak diakui, serta remaja merasa tidak mendapatkan perhatian yang

dibutuhkan dari orangtua. Bahkan lebih jauh dijelaskan pula bahwa peran

dukungan orangtua juga mempengaruhi kemampuan remaja untuk membangun

hubungan yang bermakna dengan orang lain. Remaja akan kesulitan membangun

hubungan yang baik dengan teman sebaya jika tidak pernah mengalami hubungan

yang bermakna dengan orangtua.

Hubungan sosial individu dimulai sejak individu berada di lingkungan

rumah bersama keluarganya. Pengalaman hubungan sosial yang sangat mendalam

adalah melalui sentuhan ibu kepada anaknya. Perasaan senang akan hubungan ini

(25)

mengasihinya. Gangguan tingkah laku yang terjadi pada anak yang selama

hidupnya berada di rumah titipan atau panti asuhan merupakan contoh akibat

kurangnya kebutuhan akan kasih sayang dan sentuhan lembut seorang ibu. Pada

anak panti asuhan atau yatim piatu tidak ada kesempatan untuk menikmati kasih

sayang ayah atau ibu (Ali & Asrori, 2004).

Groza (2011) mengatakan bahwa panti asuhan dapat berdampak terhadap

perkembangan kognitif, emosi, sosial, dan fisik anak selama beberapa periode

tertentu. Anak yang tinggal di panti asuhan dapat mengalami masalah emosional

dan perilaku, seperti agresif, perilaku antisosial, dan menyebabkan mereka kurang

memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai dunia luar.

Pada kenyataannya pola pengasuhan di panti asuhan sangat tidak

memuaskan (Kordi, 2011). Kebanyakan panti asuhan fokusnya ditujukan untuk

memenuhi kebutuhan kolektif, khususnya kebutuhan materi sehari-hari. Tetapi

kebutuhan emosional anak tidak dipertimbangkan. Ketika anak-anak memasuki

panti asuhan, mereka diharapkan untuk tinggal sampai lulus dari SMA kecuali

jika melanggar peraturan.

Anak panti asuhan terutama di negara-negara berkembang cenderung

mengalami kesepian (Bruno, 2000). Kesepian pada anak panti asuhan terjadi

karena anak membutuhkan kasih sayang tetapi tidak mendapatkannya. Anak

kurang mendapatkan kasih sayang dan perhatian alamiah yang diberikan secara

spontan oleh kebanyakan orangtua. Anak panti asuhan mudah sakit dan tingkat

kematian mereka di atas rata-rata. Hal tersebut terjadi akibat sistem kekebalan

(26)

Remaja panti asuhan dengan keterbatasan jumlah pengasuh dan kurangnya

peran pengasuh sebagai pengganti orangtua, bisa saja mengalami kesepian pada

dirinya. Seperti yang dikatakan oleh Roternberg dan Hymel (2008) bahwa

kesepian pada remaja disebabkan karena kurangnya kasih sayang dari orangtua

dan kurangnya perhatian dan dorongan ibu terhadap hubungan antara anak dengan

teman sebaya. Anak panti asuhan dengan keterbatasan jumlah pengasuh dan

kurangnya peran pengasuh sebagai pengganti orangtua harus berbagi perhatian

dan kasih sayang kepada seluruh anak panti asuhan. Sedikitnya pengasuh

menyebabkan sedikit pula perhatian dan dorongan terhadap hubungan anak

dengan teman sebaya, yang akhirnya berakibat pada perasaan kesepian. Hal

tersebut diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Sudarman (2010)

terhadap seorang remaja panti asuhan putri berusia 17 tahun bahwa remaja panti

asuhan mengalami kesepian karena kurangnya peran pengasuh dalam

menggantikan peran orangtua.

Menurut Sudarman (2010) terdapat tiga bentuk kesepian yang dialami oleh

remaja panti asuhan. Remaja panti asuhan mengalami kesepian karena tidak ada

teman berbagi pikiran dan merasa kurang percaya terhadap orang lain. Remaja

panti asuhan merasa malu dan minder, kemudian menarik diri atau enggan

mengambil resiko dalam situasi-situasi sosial. Kesepian yang ketiga yaitu dimana

remaja merasa sedih dan iri karena tidak memiliki orangtua.

Pada remaja panti asuhan, peran orangtua digantikan oleh pengurus panti.

Namun penggantian peran tersebut tidak sepenuhnya dirasakan remaja panti

(27)

menjadikan remaja panti asuhan merasakan kesedihan mendalam, merasa

terbuang, perasaan malu, tertekan, kesepian, tidak percaya diri, dan lebih parah

dapat berakibat remaja menjadi stres bahkan depresi (Janiati, 2011).

Hingga saat ini keadaan dan kondisi anak-anak yang dipelihara dalam

suatu lembaga atau panti asuhan belum mendapatkan kehidupan layak seperti

yang diharapkan. Hal tersebut disebabkan oleh banyak hal termasuk diantaranya

karena jumlah pengasuhan di panti asuhan masih sangat minim. Penelitian Purba

(2009) terhadap 21 anak asuh berusia 12-15 tahun di Yayasan SOS Kinderdorf

Medan menunjukkan bahwa anak-anak asuh tersebut belum mampu untuk

bersosialisasi dengan baik karena masih banyak ditemukan kekurangan dalam

pelayanan yang diberikan yaitu pengasuh yang belum mampu memberikan

pengasuhan yang baik terhadap semua anak asuh. Kemampuan bersosialisasi yang

buruk akan mengakibatkan berkembangnya perasaan kesepian. Menurut Sears

(2009) remaja yang tidak mampu menciptakan kehidupan sosial yang memuaskan

dan mempunyai penilaian yang buruk tentang dirinya akan menyebabkan

timbulnya perasaan kesepian.

Berdasarkan berbagai penjelasan di atas mengenai pengaruh orangtua dan

teman sebaya terhadap tingkat kesepian pada remaja, maka peneliti ingin melihat

perbedaan kesepian antara remaja panti asuhan dan remaja yang tinggal dengan

keluarga. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian komparasi kuantitatif.

Melalui penelitian ini akan diperoleh data mengenai perbedaan kesepian antara

(28)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka diperoleh rumusan masalah

sebagai berikut:

1. Apakah terdapat perbedaan kesepian antara remaja panti asuhan dan remaja

yang tinggal dengan keluarga

2. Apakah terdapat perbedaan kesepian antara remaja panti asuhan dan remaja

yang tinggal dengan keluarga berdasarkan dimensi-dimensi kesepian

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan kesepian antara

remaja panti asuhan dan remaja yang tinggal dengan keluarga.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik yang bersifat

teoritis maupun praktis.

1. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wacana dalam bidang

psikologi khususnya bidang psikologi perkembangan sehingga dapat

memperkaya wacana yang membahas tentang perbedaan kesepian antara

(29)

2. Manfaat praktis

a. Bagi remaja

Memberikan informasi kepada remaja dalam mengatasi kesepian

serta menyadari pentingnya berinteraksi dengan orang lain agar dapat

menjalani kehidupan yang baik dalam lingkungan keluarga maupun

di panti asuhan.

b. Bagi orangtua

Memberikan informasi kepada orangtua untuk selalu berinteraksi dan

menjalin komunikasi yang baik dengan anak agar anak merasa

diterima dan memiliki kemampuan untuk menjalin hubungan

interpersonal dengan orang lain.

c. Bagi Pihak Panti Asuhan

Memberikan informasi kepada pihak panti asuhan dalam usaha

meningkatkan kualitas dan kuantitas sumber daya yang ada sebagai

bentuk peningkatan kualitas hidup penghuni panti asuhan.

d. Bagi peneliti lain

Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan rujukan atau

referensi untuk penelitian lebih lanjut yang berhubungan dengan

(30)

E. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dari proposal penelitian ini adalah :

Bab I : Pendahuluan

Bab ini menjelaskan tentang latar belakang masalah penelitian,

pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika

penulisan.

Bab II : Landasan Teori

Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan

masalah. Teori-teori yang dinyatakan adalah teori-teori mengenai

kesepian, panti asuhan, keluarga, remaja, serta perbedaan kesepian

antara remaja panti asuhan dan remaja yang tinggal dengan keluarga.

Bab III : Metode Penelitian

Pada bab ini dijelaskan mengenai identifikasi variabel penelitian, definisi

operasional variabel penelitian, populasi dan metode pengambilan

sampel, instrumen yang digunakan, prosedur pelaksanaan penelitian, dan

metode analisa data.

Bab IV : Analisa Data dan Pembahasan

Pada bab ini berisi uraian singkat hasil penelitian, interpretasi data, serta

pembahasannya.

Bab V : Kesimpulan dan Saran

Pada bab ini memuat kesimpulan dan saran dari penelitian yang telah

(31)

A. Kesepian

1. Definisi Kesepian

Rotenberg, Peplau and Perlman mendefinisikan kesepian sebagai reaksi

kognitif dan afektif individu terhadap ancaman dari hubungan sosial. Komponen

kognitif yakni kesenjangan antara hubungan sosial yang diharapkan dengan

hubungan sosial yang telah terjalin, baik secara kualitas maupun kuantitas.

Komponen afektif yakni pengalaman emosi negatif individu seperti kehilangan,

kesendirian, dan disorientasi (dalam Rotenberg & Hymel, 2008). Sejalan dengan

Archibald, Bartholomew, dan Marx (dalam Baron & Byrne, 2006) yang

mengatakan bahwa kesepian merupakan reaksi emosional dan kognitif individu

akibat memiliki suatu hubungan yang sedikit dan tidak memuaskan dari hubungan

yang diharapkan.

Perlman dan Peplau (dalam Taylor et al., 2000) mendefinisikan kesepian

sebagai ketidaknyamanan yang dirasakan individu ketika hubungan sosial yang

ada kurang secara kuantitas dan kualitas. Secara kuantitas berarti individu tidak

memiliki/sedikit memiliki teman yang diharapkan, sedangkan secara kualitas

berarti individu merasa hubungan yang diperoleh kurang memuaskan dari yang

diharapkan. Sejalan dengan De Jong Gierveld (dalam Miller dan Perlman, 2009)

yang mengartikan kesepian sebagai perasaan yang tidak menyenangkan,

(32)

dengan hubungan yang didapat. Miller dan Perlman (2009) mengatakan bahwa

jika hubungan satu individu dengan individu lain cukup dangkal, ada

kemungkinan individu tersebut menjadi kesepian bahkan jika ia memiliki banyak

teman di facebook.

Bruno (2000) mengartikan kesepian sebagai suatu keadaan mental dan

emosional yang terutama dicirikan oleh adanya perasaan-perasaan terasing dan

kurangnya hubungan yang bermakna dengan orang lain. Sedangkan Feldman

(1995) mendefinisikan kesepian sebagai ketidakmampuan individu menjalin suatu

hubungan yang diinginkan, tingkat hubungan yang telah terjalin tidak sesuai

dengan tingkat hubungan yang diinginkan.

Berdasarkan beberapa pengertian kesepian di atas, dapat disimpulkan

bahwa kesepian merupakan reaksi kognitif dan afektif individu terhadap ancaman

dari hubungan sosial, ketidaknyamanan yang dirasakan individu akibat menjalin

hubungan yang sedikit dan tidak memuaskan dari hubungan yang diharapkan.

2. Dampak Kesepian

Kesepian pada umumnya akan menimbulkan berbagai dampak pada

individu yang mengalaminya, antara lain:

a. Tingkat perasaan kesepian yang mendalam akan berhubungan dengan

berbagai masalah personal, seperti depresi, pemakaian alkohol dan

obat-obatan, penyakit fisik dan bahkan resiko kematian (Taylor,

(33)

b. Kesepian akan disertai oleh berbagai emosi negatif, seperti depresi,

kekhawatiran, ketidakpuasan, dan menyalahkan diri sendiri

(Anderson et al dalam Baron & Byrne, 2006).

c. Orang yang mengalami kesepian dapat tenggelam dalam kepasifan

yang menyedihkan, menangis, tidur, minum, makan, memakai obat

penenang dan menonton televisi tanpa tujuan (Deaux, Dane, &

Wrightsman, 1993).

3. Dimensi Kesepian

Hymel, Tarulli, Hayden Thomson, dan Terrell-Deutsch mengatakan bahwa

secara spesifik, respon anak dalam merasakan dan mengalami kesepian

ditunjukkan melalui tiga dimensi berbeda, yaitu affective dimension, cognitive

dimension, dan set of interpersonal situations or context (dalam Rotenberg dan

Hymel, 2008).

a. Affective Dimension

Yaitu mencerminkan karakter emosional dari kesepian. Ekspresi anak pada

dimensi afektif kesepian dilihat melalui dua cara, yaitu pola emosional

atau afektif secara eksplisit dan pola ekspresi metafora. Dalam hal ini,

anak mendeskripsikan kesepian pada pola emosi spesifik, khususnya

kesedihan dan kebosanan. Seperti, “Saya bosan dan tidak memiliki teman

(34)

Respon-respon tersebut menggambarkan kesadaran anak terhadap

perasaan kesepian. Sedangkan pola metafora misalnya, “Perasaan Saya

hampa” atau “Saya merasa seperti disudutkan”.

b. Cognitive Dimension

Yaitu penekanan pada penilaian anak terhadap ketentuan atau syarat suatu

hubungan. Anak menginterpretasikan hubungan interpersonal dipandang

dari segi implikasinya mengenai tersedianya berbagai bentuk dukungan.

Tujuh tipe dukungan pada deskripsi anak mengenai ketentuan suatu

hubungan, yaitu:

1) Companionship

Umumnya, anak mendefinisikan kesepian dalam hal ketiadaan

hubungan yang dekat untuk berbicara dan beraktivitas bersama.

2) Inclusion

Ketika ketiadaan kedekatan atau persahabatan diinterpretasikan

sebagai hasil dari tindakan negatif teman sebaya ataupun anggota

keluarga, anak meragukan keanggotaannya dalam kelompok yang

lebih besar. Dalam hal ini, penilaian anak lebih kepada kebutuhan akan

keterlibatan dan diterima dalam kelompok yang lebih besar. Sebagai

contoh, “Saya ingin bergabung dalam kelompok namun tidak ada yang mau menerima” dan “Saya bukan bagian dari kelompok”, serta “Ingin

(35)

3) Emotional Support

Yaitu tidak adanya hubungan mendalam dimana saling berbagi

masalah pribadi dan tidak adanya seseorang yang dapat dipercaya.

Seperti, “Jika Saya memiliki masalah, tidak ada seorangpun yang dapat ditemui” atau “Saya tidak memiliki teman dekat untuk curhat”.

4) Affection

Yaitu merasa tidak dicintai atau disukai. Anak yang kesepian akan

mengatakan, “Tidak seorangpun yang menyukai Saya” atau “Tidak

memiliki orang yang benar-benar menyukai Saya”. 5) Reliable Alliance

Yaitu harapan akan kesetiaan dan kepercayaan dalam suatu hubungan

dekat. Seperti, “Merasa teman dekat meninggalkan Saya dan pergi ke

kelompok lain”atau “Dia gagal untuk berada di samping Saya”. 6) Enhancement of Worth

Yaitu pengakuan dari orang lain mengenai suatu hal. Seperti, “Saya

memiliki sesuatu yang sangat menarik, namun tidak seorangpun yang

mau mendengarnya”.

7) Opportunities for Nurturance

Yaitu anak menyatakan bahwa suatu hubungan memberikan suatu

(36)

c. Interpersonal Situations or Context

Yaitu identifikasi delapan konteks berbeda yang menggambarkan situasi

interpersonal khusus berhubungan dengan perasaan kesepian anak, yaitu:

1) Loss

Anak sering mengatakan kehilangan kedekatan akan figur penting

sebagai sumber kesepian. Anak berbicara tentang situasi yang

mengubah aksesnya terhadap figur penting tersebut, yang tidak

mungkin diperolehnya lagi atau membatasinya. Misalnya: “Ketika peliharaan Saya mati, Saya merasa kesepian karena Saya selalu

bermain dengannya”. 2) Dislocation

Anak mendeskripsikan situasi yang menekankan pemindahannya

menuju lingkungan baru sebagai penyebab kesepian. Sebagai

pendatang baru, mereka berhadapan dengan tugas mengintegrasikan

diri kedalam kelompok sosial baru terutama kelompok teman sebaya.

Anak mengidentifikasi situasi ini sebagai sumber potensial kesepian.

3) Temporary Absence

Anak merasa kesepian karena situasi-situasi umum, dimana untuk

sementara waktu terpisah dari figur penting. Seperti orangtua yang

sibuk, sendirian di rumah, ditinggal teman yang pergi liburan. Anak

biasanya menunjukkan perasaan bosan karena situasi ini. Mereka

(37)

dapat diajak beraktivitas bersama. Misalnya : “Semua teman Saya

pergi berlibur dan tidak ada seorangpun yang dapat diajak bermain”. 4) Conflict

Situasi dimana kesepian terjadi karena pertengkaran dengan teman

sebaya, saudara kandung, dan orangtua. Konflik dipandang sebagai

perubahan hubungan timbal balik antara orang-orang yang terlibat.

Konflik dapat menyebabkan stres karena terjadi antar individu dan

menghasilkan kekacauan pada hubungan positif yang sebelumnya

terjalin. Seringkali anak mendeskripsikan pertengkaran dengan teman

berubah menjadi konflik dirinya dengan kelompok yang lebih besar.

Misalnya: “Setiap orang berbalik menyerang Saya” atau “Saya

berseteru dengan seorang teman, namun semua teman berada

dipihaknya”. 5) Rejection

Penolakan diungkapkan secara verbal dan nonverbal serta dalam

bentuk serangan fisik atau ancaman. Setiap tindakan langsung

diarahkan pada anak yang menjadi target. Anak biasanya ditolak oleh

teman sebaya termasuk teman dekat. Terkadang, alasan penolakan

tidak jelas dan tidak diketahui. Misalnya: “Ketika Saya duduk disamping teman-teman yang sedang makan siang, mereka langsung

(38)

6) Broken Loyalties

Ketidaksetiaan diuraikan dalam dua tipe situasi. Pertama dan yang

paling sering terjadi, ketika suatu hubungan terputus karena merasa

ditinggalkan oleh teman. Hubungan tersebut tidak dapat lagi

memberikan dukungan sosial dan emosional yang diharapkan. Kedua,

ketika tiga orang anak membentuk suatu kelompok dan kecenderungan

dua orang anak yang selalu berpasangan dan meninggalkan satu

temannya. Misalnya: “Teman dekat Saya pergi dengan teman yang lain

dan Saya merasa ditinggalkan”. 7) Exclusion

Kesepian yang berhubungan dengan situasi dimana anak merasa

dirinya ditinggalkan atau tidak diikutsertakan dalam aktivitas

kelompok atau keluarga. Tidak jelas apakah orang lain berniat untuk

tidak melibatkannya, tetapi anak percaya bahwa dia merasa

ditinggalkan. Misalnya: “Ketika Saya ingin bermain dengan

sekelompok teman yang sedang bermain, mereka menolak keinginan

Saya”.

8) Being Ignored

Situasi dimana anak merasa bahwa mereka diabaikan, tidak

diperhatikan, khususnya oleh figur yang dianggap penting. Anak

merasa ide, pendapat, kebutuhan, dsb tidak cukup penting untuk

menarik perhatian. Sebagai hasil dari pengabaian, anak merasa

(39)

orang lain atau percaya tidak diterima. Misalnya: “Ketika Saya berbicara, tidak ada yang mau mendengarkannya”.

4. Faktor-Faktor Penyebab Kesepian

Faktor-faktor yang menyebabkan remaja mengalami kesepian adalah:

a. Genetic Predispotition

Baron dan Byrne (2006) mengungkapkan bahwa individu yang memiliki

kombinasi gen yang hampir sama memiliki kesamaan pula dalam

pengalaman kesepian yang dialami. Kesamaan tersebut terjadi karena

kombinasi gen menghasilkan karakteristik kepribadian tertentu yang ada

dalam diri individu dan mempengaruhi pengalaman kesepian yang terjadi.

b. Kepribadian

Rice (2008) mengemukakan beberapa faktor kepribadian yang dapat

menyebabkan remaja mengalami kesepian antara lain citra diri yang

negatif, rendah diri, menutup diri terhadap orang lain, peka terhadap

penolakan, mengalami depresi dan gangguan emosional, serta tidak

mampu untuk mempercayai orang lain.

c. Hubungan Remaja dengan Orangtua

Pengalaman dini akan penolakan dari orangtua pada masa kanak-kanak,

kehilangan hubungan kasih sayang dari orangtua karena peristiwa

kematian atau perceraian, dan hubungan yang buruk dengan orangtua

dapat menyebabkan individu lebih peka terhadap kesepian. Rice (2008)

(40)

mengalami perasaan ditinggalkan atau sendirian bahkan dapat pula sampai

merasa tertolak, tidak dihargai atau tidak diakui, remaja merasa tidak

mendapatkan perhatian yang dibutuhkan dari orangtua. Tanpa adanya

dukungan dari orangtua maka remaja akan mengalami kesulitan untuk

membangun hubungan yang bermakna dengan orang lain.

d. Hubungan Remaja dengan Teman Sebaya

Sears dkk (2009) menyatakan bahwa kesepian terjadi karena remaja

mengalami kondisi yang menyebabkan terpisah dari orang lain yaitu teman

sebaya. Remaja mulai memisahkan diri dari orangtua dan memiliki

kebutuhan untuk intim dengan teman-teman sebaya. Apabila kebutuhan

tersebut tidak terpenuhi maka remaja akan mengalami kesepian (Monks,

1998).

e. Tuntutan Lingkungan

Individu yang kesepian sering kali merasa terjebak dalam beban kewajiban

yang dimiliki dalam hubungan sosial. Tuntutan yang dialami remaja

berbeda dengan individu pada umumnya. Tuntutan-tuntutan tersebut dapat

menyebabkan remaja mengalami perasaan kesepian. Seperti remaja

dituntut untuk melakukan tanggung jawab yang makin besar, penerimaan

sebagai anggota dari kelompok yang sangat dikagumi oleh remaja lain,

remaja yang sendirian dan tidak punya teman dekat lawan jenis, prestasi

(41)

Secara umum, beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya

perasaaan kesepian pada diri remaja (Rice, 2008), yaitu:

a. Berpisah dan pengasingan dari orang tua

b. Keluarga yang pecah atau tidak rukun

c. Kemampuan kognitif yang mengarah kepada kesadaran diri

d. Pencarian identitas diri

e. Perjuangan untuk mencapai tujuan bermakna

f. Status kecil remaja dalam masyarakat

g. Individualisme yang kompetitif dan mengarah kepada perasaan gagal

dan penolakan

h. Harapan berlebihan akan popularitas

i. Harga diri yang rendah, pesimistis yang kuat berkaitan dengan

disukai/diterima atau tidak oleh orang lain

j. Aspirasi pendidikan dan pekerjaan yang rendah, apatis dan tidak

bertujuan, lingkaran kegagalan, dan menarik diri.

k. Sifat pemalu

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang

dapat menyebabkan kesepian adalah faktor kepribadian atau karakteristik

(42)

B. Panti Asuhan

1. Definisi Panti Asuhan

Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan Nasional, 2001)

mendefinisikan panti asuhan sebagai rumah tempat memelihara dan merawat anak

yatim piatu dan sebagainya. Sedangkan menurut buku Petunjuk Teknis

Pelaksanaan Penyantunan dan Pengetahuan Anak Melalui Panti Asuhan Anak,

“Panti Asuhan adalah suatu lembaga usaha kesejahteraan sosial yang mempunyai tanggung jawab untuk memberikan pelayanan kesejahteraan sosial kepada anak

terlantar serta melaksanakan pelayanan pengganti, atau perwalian anak dalam

memenuhi kebutuhan fisik, mental dan sosial kepada anak asuh sehingga

memperoleh kesempatan yang luas, tepat dan memadai bagi perkembangan

kepribadiannya sesuai dengan yang diharapkan sebagai bagian dari generasi

penerus cita-cita bangsa, sebagai insan yang akan turut serta aktif di dalam bidang

pembangunan nasional” (Depsos RI, 1986 dalam LPPM UNS, 2009).

Menurut Badan Pembinaan Koordinasi dan Pengawasan Kegiatan

(BPKPK), definisi dari panti asuhan adalah suatu lembaga untuk mengasuh

anak-anak, menjaga dan memberikan bimbingan dari pimpinan kepada anak dengan

tujuan agar mereka dapat menjadi manusia dewasa yang cakap dan berguna serta

bertanggung jawab atas dirinya dan terhadap masyarakat kelak di kemudian hari.

Panti asuhan dapat pula dikatakan atau berfungsi sebagai pengganti keluarga dan

pimpinan panti asuhan sebagai pengganti orang tua; sehubungan dengan orang tua

anak tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya dalam mendidik dan mengasuh

(43)

2. Peran Panti Asuhan

Berdasarkan hasil penelitian dalam LPPM UNS (2009) peranan panti

asuhan bukan hanya menyantuni akan tetapi juga berfungsi sebagai pengganti

orang tua yang tidak mampu melaksanakan tugasnya sebagaimana mestinya.

Selain itu panti asuhan juga memberikan pelayanan dengan cara membantu dan

membimbing mereka ke arah pengembangan pribadi yang wajar dan kemampuan

ketrampilan kerja, sehingga mereka menjadi anggota masyarakat yang dapat

hidup layak dan penuh tanggung jawab terhadap dirinya, keluarga dan

masyarakat. Umumnya anak-anak yang tinggal di panti asuhan adalah:

a. Anak yatim, piatu dan yatim piatu terlantar

b. Anak terlantar yang keluarganya mengalami perpecahan, sehingga

tidak memungkinkan anak dapat berkembang secara wajar baik

jasmani,rohani maupun sosial

c. Anak terlantar yang keluarganya dalam waktu relatif lama tidak

mampu melaksanakan fungsi dan peranan sosialnya secara wajar.

Penyebab keterlantaran ini antara lain salah satu atau kedua orangtuanya

meninggal sehingga tidak ada yang merawat. Dengan demikian yang bertempat

tinggal di dalam panti asuhan berasal dari latar belakang ekonomi yang

berbeda-beda yang akan membentuk lingkungan masyarakat yang baru. Panti asuhan baik

yang diselenggarakan oleh negara maupun yayasan dimaksudkan sebagai tempat

bernaung bagi anak-anak terlantar dalam pertumbuhan dan perkembangannya

yang mengalami berbagai macam gangguan sosial, baik bersifat intrinsik yaitu

(44)

luar dari anak, seperti orang tua tunggal, perpecahan dalam keluarga, kemiskinan

dan lain sebagainya sehingga anak menjadi terlantar.

Panti asuhan memberikan pelayanan pemeliharaan baik secara fisik,

mental maupun sosial. Namun secara lebih lanjut, kondisi mental dan sosial anak

asuh menjadi perhatian khusus. Dengan visinya yang ingin membentuk manusia

secara utuh dengan cara memanusiakan manusia, panti asuhan mencoba untuk

membentuk anak asuhnya dalam menghadapi stereotif masyarakat yang

memandang bahwa anak panti asuhan memiliki kelas yang lebih rendah dan

minder ini coba untuk diatasi panti asuhan ini melalui para pengasuh. Peranan

seorang pengasuh, mencerminkan tanggung jawab pengasuh untuk menghidupkan

seluruh sumber daya yang ada di panti asuhan. Pada umumnya panti asuhan

memberikan penanaman nilai-nilai kepercayaan diri agar bisa menerima kondisi

dirinya dan mengatasi rasa minder dan rendah dirinya.

3. Tujuan Panti Asuhan

Tujuan panti asuhan menurut Departemen Sosial Republik Indonesia

(1989) yaitu :

a. Panti asuhan memberikan pelayanan yang berdasarkan pada profesi

pekerja sosial kepada anak terlantar dengan cara membantu dan

membimbing mereka ke arah perkembangan pribadi yang wajar serta

mempunyai keterampilan kerja, sehingga mereka menjadi anggota

masyarakat yang dapat hidup layak dan penuh tanggung jawab, baik

(45)

b. Tujuan penyelenggaraan pelayanan kesejahteraan sosial anak di panti

asuhan adalah terbentuknya manusia-manusia yang berkepribadian matang

dan berdedikasi, mempunyai keterampilan kerja yang mampu menopang

hidupnya dan hidup keluarganya. Dari uraian di atas dapat disimpulkan

bahwa tujuan panti asuhan adalah memberikan pelayanan, bimbingan dan

keterampilan kepada anak asuh agar menjadi manusia yang berkualitas.

Remaja panti asuhan berpotensi mengalami kesepian. Mereka tidak

memiliki orangtua yang memberikan kasih sayang, perhatian, dan dorongan dalam

berhubungan dan berinteraksi dengan orang lain. Rotenberg dan Hymel (2008)

mengatakan bahwa kurangnya kasih sayang dan perhatian dari orangtua

merupakan salah satu hal yang dapat menyebabkan anak mengalami kesepian.

Remaja panti asuhan memang memiliki pengasuh sebagai pengganti orangtua.

Namun keterbatasan jumlah pengasuh yang harus memperhatikan sejumlah anak

panti asuhan membuat anak panti asuhan tidak mendapatkan perhatian dan kasih

sayang sepenuhnya.

Sudarman (2010) menjelaskan bahwa terdapat tiga bentuk kesepian yang

dialami remaja panti asuhan. Pertama adalah kesepian kognitif, dimana remaja

panti asuhan tidak memiliki teman untuk berbagi pikiran dan kurangnya rasa

percaya diri terhadap orang lain. Kedua adalah kesepian perilaku, yaitu merasa

malu, minder, menarik diri, serta enggan mengambil resiko dalam situasi-situasi

sosial. Yang terakhir adalah kesepian emosional, yaitu perasaan sedih akibat tidak

(46)

Terdapat dua faktor yang mempengaruhi kesepian pada remaja panti

asuhan (Sudarman, 2010), yaitu:

1. Faktor Psikologis

- Terbatasnya hubungan remaja dengan orang lain

- Adanya masalah krisis dalam diri seseorang dan kegagalan

- Kurangnya rasa percaya diri

- Kepribadian yang tidak sesuai dengan lingkungan

- Ketakutan menanggung resiko sosial

2. Faktor Sosial

- Sulit memahami nilai-nilai yang berlaku dalam lingkungan

- Sulit berinteraksi dengan keluarga

C. Keluarga

Keluarga menurut Pudjigjogyanti (1988) adalah sekelompok orang yang

diikat oleh perkawinan atau darah, biasanya meliputi ayah, ibu dan anak. Keluarga

sebagai kelompok sosial terkecil dalam masyarakat, terbentuk berdasarkan

pernikahan yang terdiri dari seorang suami (ayah), istri (ibu) dan anak-anak

mereka. Keluarga tetap merupakan bagian penting bagi anak, sebab anggota

keluarga merupakan lingkungan pertama anak dan orang yang paling penting

selama tahun awal (Hurlock, 1999).

Fungsi keluarga menurut Pudjigjogyanti (1988), yaitu :

1. Keluarga berfungsi sebagai tempat pendidikan informal, tempat

(47)

kemampuan-kemampuan dasar yang dimilikinya, sehingga mencapai prestasi sesuai

dengan kemampuan dasar yang dimiliki dan memperlihatkan

perubahan perilaku dalam berbagai aspek seperti yang diharapkan atau

direncanakan.

2. Keluarga berfungsi sebagai tempat untuk menanamkan aspek sosial

agar bisa menjadi anggota masyarakat yang mampu berinteraksi dan

menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial.

Keluarga merupakan tempat awal kehidupan anak, lingkungan anak

tumbuh dimana terdapat hubungan dengan orang-orang yang dekat dan berarti

bagi anak. Jika anak-anak tumbuh dalam lingkungan rumah yang lebih banyak

berisi kebahagiaan maka anak akan cenderung mempunyai kesempatan untuk

menjadi anak yang bahagia. Hubungan yang tidak rukun dengan orangtua atau

saudara akan lebih banyak menimbulkan kemarahan dan kecemburuan sehingga

emosi ini akan cenderung menguasai anak di rumah. Orangtua yang melindungi

anak secara berlebihan akan menimbulkan rasa takut yang dominan pada anak

(Jahja, 2011).

Keluarga mempunyai peranan yang sangat penting bagi proses sosialisasi

anak karena keluarga merupakan tempat awal kontak anak dalam anggota

keluarga (ibu dan bapak) pada tahun-tahun pertama kehidupan anak. Fungsi

keluarga yang sangat penting diantaranya sebagai wadah sosialisasi bagi

anak-anak. Keluarga merupakan suatu sistem interaksi antara individu secara timbal

balik. Hubungan orangtua-anak pada tahap awal membentuk cara dasar untuk

(48)

mempengaruhi tahap selanjutnya dalam perkembangan dan semua hubungan

setelahnya misalnya, dengan teman sebaya, dengan guru, dan dengan kekasih

(Santrock, 2007).

Keluarga memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan

anak karena keluarga merupakan lembaga pertama dalam kehidupan anak, tempat

anak belajar menyatakan diri sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial,

seorang individupun membutuhkan kehadiran individu lain dalam hidupnya.

Keluarga merupakan bagian terpenting dari jaringan sosial remaja sekaligus

sebagai lingkungan pertama remaja selama tahun-tahun formatif awal untuk

memperoleh pengalaman sosial dini, yang berperan penting dalam menentukan

hubungan sosial di masa depan dan juga perilakunya terhadap orang lain. Ketika

interaksi antara anak dan orangtua selalu diwarnai dengan sikap saling memberi

dan menerima, mendengarkan dan didengarkan, maka akan cenderung

mengakibatkan kompetensi interpersonal yang adekuat pada anak terutama karena

interaksinya diwarnai dengan kehangatan (Santrock, 2007).

D. Remaja

1. Definisi Remaja

Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin adolescere (kata

bendanya, adolescentia yang berarti remaja) yag berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Istilah adolescence (dari bahasa Inggris) yang dipergunakan saat ini mempunyai arti yang cukup luas mencakup kematangan mental,

(49)

mengatakan bahwa masa remaja adalah usia dimana individu mulai berintegrasi

dengan masyarakat dewasa. Individu tidak lagi merasa di bawah tingkat

orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama,

sekurang-kurangnya dalam masalah hak, integrasi dalam masyarakat, mempunyai banyak

aspek afektif, kurang lebih berhubungan dengan masa puber, termasuk

didalamnya juga perubahan intelektual yang mencolok, transfomasi yang khas

dari cara berpikir remaja memungkinkan untuk mencapai integrasi dalam

hubungan sosial orang dewasa.

Definisi remaja tidak hanya melibatkan pertimbangan mengenai usia

namun juga pengaruh sosio-historis. Mempertimbangkan konteks sosio-historis,

Santrock (2007) mendefinisikan masa remaja (adolescence) sebagai periode

transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang

melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan sosioemosional. Tugas

pokok remaja adalah mempersiapkan diri memasuki masa dewasa.

Awal masa remaja berlangsung kira-kira dari usia 13 tahun sampai 16

tahun atau 17 tahun, dan akhir masa remaja bermula dari usia 16 atau 17 tahun

sampai 18 tahun, yaitu usia matang secara hukum. Dengan demikian akhir masa

remaja merupakan periode yang sangat singkat (Hurlock, 1999). Sedangkan

Konopka (dalam Agustiani, 2006) secara umum membagi masa remaja menjadi

tiga bagian yaitu:

a. Masa remaja awal (12-15 tahun)

Pada masa ini individu mulai meninggalkan peran sebagai anak-anak dan

(50)

tergantung pada orang tua. Fokus dari tahap ini adalah penerimaan

terhadap bentuk dan kondisi fisik serta adanya konformitas yang kuat

dengan teman sebaya.

b. Masa remaja pertengahan (15-19 tahun)

Masa ini ditandai dengan berkembangnya kemampuan berpikir yang baru.

Pada masa ini teman sebaya masih berperan penting namun individu sudah

lebih mampu mengarahkan diri sendiri. Remaja juga mulai

mengembangkan kematangan tingkah laku, belajar mengendalikan

impulsivitas, dan membuat keputusan-keputusan awal yang berkaitan

dengan sekolah dan pekerjaan yang ingin dicapai. Selain itu penerimaan

dari lawan jenis menjadi penting bagi individu.

c. Masa remaja akhir (19-22 tahun)

Masa ini ditandai oleh persiapan akhir untuk memasuki peran-peran orang

dewasa. Remaja pada masa ini memiliki kinginan yang kuat untuk

diterima dalam kelompok teman sebaya dan orang dewasa. Pada tahap ini

remaja menjadi lebih matang.

2. Tugas Perkembangan Remaja

Tugas-tugas perkembangan yakni tugas-tugas atau kewajiban yang harus

dilalui oleh setiap individu sesuai dengan tahap perkembangan individu itu

sendiri. Pada masa remaja terdapat tugas-tugas perkembangan yang sebaiknya

dipenuhi. Menurut Hurlock (1999) semua tugas pekembangan pada masa remaja

(51)

dan mengadakan persiapan untuk menghadapi masa dewasa. Tugas perkembangan

masa remaja menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1999) yaitu:

a. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya

baik pria maupun wanita

b. Mencapai peran sosial pria dan wanita

c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif

d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab

e. Mencapai kemandirian emosional dari orangtua dan orang-orang dewasa

lainnya

f. Mempersiapkan karir ekonomi

g. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga

h. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk

berperilaku –mengembangkan ideologi

3. Perkembangan Sosial Remaja

Selama masa remaja terjadi perubahan-perubahan yang dramatis, baik

dalam segi fisik maupun kognitif. Perubahan-perubahan tersebut berpengaruh

besar terhadap perubahan dalam perkembangan sosial remaja itu sendiri (Desmita,

2005). Perkembangan sosial pada remaja merupakan salah satu tugas yang paling

sulit karena hal tersebut berhubungan dengan penyesuaian sosial mereka. Remaja

juga harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam hubungan yang

sebelumnya belum pernah ada dan harus menyesuaikan diri dengan orang dewasa

(52)

sosialisasi dewasa, remaja juga harus membuat banyak penyesuaian baru yaitu

penyesuaian diri dengan pengaruh kelompok sebaya, perubahan dalam perilaku

sosial, nilai-nilai baru dalam seleksi persahabatan, nilai-nilai baru dalam

dukungan dan penolakan sosial, serta nilai-nilai baru dalam seleksi pemimpin

(Hurlock, 1999).

Perkembangan kehidupan sosial remaja juga ditandai dengan gejala

meningkatnya pengaruh teman sebaya dalam kehidupan remaja itu sendiri.

Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk berhubungan atau bergaul dengan

teman-teman sebaya (Desmita, 2005). Remaja memiliki kebutuhan yang kuat

untuk disukai dan diterima teman sebaya atau kelompok. Remaja akan merasa

senang apabila diterima kelompok, dan sebaliknya mereka akan merasa sangat

tertekan dan cemas apabila dikeluarkan dan diremehkan oleh teman-teman

sebayanya (Santrock, 2007).

Dukungan orangtua berpengaruh terhadap perkembangan sosial remaja.

Tanpa adanya dukungan dari orangtua maka rema

Gambar

Tabel 1 Blueprint Aitem Skala Kesepian Sebelum Uji Coba .....................
Tabel 2
figur penting
Tabel 3. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia
+7

Referensi

Dokumen terkait

ini memperl:ust 1;eberad.aan p~ometri Fano dengan tetap man,qasumsikan rmpat akaioala. parla gwis yang sarna.. Mimekin dalam ha1 ini pembacx dapat memikirkan

Berdasarkan hasil uji penelitian yang dilakukan, menunjukkan bahwa variabel produk, harga, lokasi, promosi berpengaruh positif namun tidak signifikan terhadap keputusan

Keputusan Bersama antara Kepala Desa Sungai Ajung Kecamatan Batang Lupar Kabupaten Kapuas Hulu dan Kepala Desa Lanjak Deras Kecamatan Batang Lupar Kabupaten Kapuas Hulu Nomor 1

Sedangkan pada model pembelajaran kooperatif tipe tutor sebaya, peserta didik hanya mendapatkan satu tujuan pembelajaran dalam kelompoknya masing- masing sehingga

Citra yang diinput dari webca m dengan fungsi capture dalam library OpenCV diubah men jadi c itra abu-abu setelah mengala mi proses scaling, dilanjutkan ekualisasi

Meskipun dalam penelitian ini produk dana pihak ketiga dan fasilitas tidak berpengaruh terhadap minat investasi masyarakat, namun sebaiknya Bank Sumut Syariah KCP

Tes untuk mengetahui peningkatan kemampuan menulis siswa selama pembelajaran yang diberikan di setiap akhir tindakan (siklus). Hasil kemampuan akhir siswa dapat pula sebagai

Untuk memantau angka lempeng sediaan uji yang telah diinokulasi, gunakan media agar yang sama seperti media untuk biakan awal mikroba yang bersangkutan, Jika tersedia inaktivator