ABSTRAK
PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK CAMPURAN KOMPOS BAHAN ORGANIK, LIMBAH AGROINDUSTRI, DAN JENIS PENGEKSTRAK TERHADAP KANDUNGAN ASAM HUMAT DAN ASAM FULVAT PADA
TANAH ULTISOL
Oleh
Dwi Ayu Septa Nabila Putri 1, Dermiyati 2, Sarno 3
Tanah-tanah di Indonesia termasuk Sumatra pada umumnya merupakan jenis tanah Ultisol yang memiliki kandungan bahan organik rendah dan miskin unsur hara, hal ini menyebabkan produksi tanaman rendah jika tidak ditangani secara tepat. Salah satu upaya untuk meningkatkan kesuburan pada tanah Ultisol diperlukan penambahan bahan organik. Peranan bahan organik tanah berfungsi sebagai sumber unsur hara, terutama N, S, dan sebagian P serta unsur mikro. Selain itu bahan organik tanah berperan dalam meningkatkan kestabilan agregat, kapasitas menahan air, KTK, daya sangga tanah, serta menurunkan jerapan P oleh tanah.
Di Provinsi Lampung banyak dihasilkan limbah agroindustri seperti limbah kulit kopi, kulit kakao, jerami bekas media jamur, dan kepala udang. Limbah-limbah tersebut memiliki potensi sebagai bahan organik, namun jika tidak dimanfaatkan secara optimat dapat menjadi sumber pencemaran lingkungan. Untuk itu
diperlukan cara untuk mengubah limbah-limbah tersebut agar dapat digunakan sebagai pupuk organik, salah satu upaya yang dapat dilakukan melalui teknologi ekstraksi dengan menggunakan jenis pengekstrak yang sesuai.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengamati pengaruh pemberian ekstrak campuran kompos bahan organik dan jenis pengekstrak terhadap kandungan asam humat dan asam fulvat pada tanah Ultisol.
adalah jenis pengekstrak (E) yaitu E1 = Air destilata (H2O), E2 = Asam asetat (CH3COOH) 0,01 N. Data yang diperoleh dirata-ratakan berdasarkan
kelompoknya, kemudian diuji homogenistas dengan Uji Bartlett dan aditivitas dengan Uji Tukey. Selanjutnya dilakukan analisis ragam pada taraf nyata 5% dan perbedaan perlakuan diuji dengan uji BNT pada taraf 5%, serta untuk melihat hubungan antara kadar asam humat dan fulvat dengan pH, C-organik dan N-total dilakukan uji korelasi pada taraf 5%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan asam humat dan asam fulvat tanah dengan pemberian ekstrak campuran kompos bahan organik dengan semua jenis pengekstrak meningkat dari hari ke-0 sampai dengan hari ke-15, namun terjadi penurunan pada hari ke-30. Jenis pengekstrak asam asetat 0,01 N mampu meningkatkan kandungan asam humat dan asam fulvat lebih baik dibandingkan dengan pengekstrak air destilata. Kombinasi antara kascing dan jerami bekas media jamur baik dengan pengekstrak asam asetat maupun air destilata meningkatkan kadar asam humat dan asam fulvat dalan tanah lebih baik dibandingkan perlakuan lainnya pada hari ke-15. Pemberian ekstrak campuran kompos pupuk kandang dan jerami bekas media jamur dengan pengekstrak asam asetat 0,01 N lebih meningkatkan kadar asam humat dan asam fulvat
dibandingkan dengan ekstrak campuran lainnya. Terdapat korelasi antara kadar asam humat dan asam fulvat tanah dengan C-organik, N-total, dan pH dalam tanah.
PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK CAMPURAN KOMPOS BAHAN ORGANIK DAN JENIS PENGEKSTRAK TERHADAP KANDUNGAN
ASAM HUMAT DAN ASAM FULVAT PADA TANAH ULTISOL (Skripsi)
Oleh:
DWI AYU SEPTA NABILA PUTRI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
DAFTAR GAMBAR
Tabel Halaman Teks
1. Lintasan-lintasan pembentukan bahan humat di dalam tanah
selama proses pelapukan bahan organk ... 22 2. Grafik kadar asam humat tanah (%) dengan pemberian ekstrak
campuran kompos bahan organik dan limbah agroindustri yang
diekstrak dengan air destilata dan asam asetat 0.01 N ... 34
3. Grafik perubahan kadar asam fulvat tanah (%) dengan pemberian ekstrak campuran kompos bahan organik dan limbah agroindustri yang diekstrak dengan air destilata dan asam asetat
0.01 N ... 35
Lampiran
4. Grafik korelasi antara kadar asam humat dalam tanah (%) dan N-total tanah (%) pada perlakuan ekstrak campuran bahan
organik dengan pengekstrak air destilata ... 73 5. Grafik korelasi antara kadar asam humat dalam tanah (%)
dan pH tanah pada perlakuan ekstrak campuran bahan organik
dengan pengekstrak air destilata ... 73
6. Grafik korelasi antara kadar asam humat dalam tanah (%) dan C-organik tanah (%) pada perlakuan ekstrak campuran bahan
organik dengan pengekstrak air destilata ... 74
7. Grafik korelasi antara kadar asam humat dalam tanah (%) dan N-total tanah (%) pada perlakuan ekstrak campuran bahan
organik dengan pengekstrak asam asetat 0,01 N ... 74
8. Grafik korelasi antara kadar asam humat dalam tanah (%) dan pH tanah pada perlakuan ekstrak campuran bahan organik
x 9. Grafik korelasi antara kadar asam humat dalam tanah (%) dan
C-organik tanah (%) pada perlakuan ekstrak campuran bahan
organik dengan pengekstrak asam asetat 0,01 N ... 75
10.Grafik korelasi antara kadar asam fulvat dalam tanah (%) dan N-total tanah (%) pada perlakuan ekstrak campuran bahan
organik dengan pengekstrak air destilata ... 76
11.Grafik korelasi antara kadar asam fulvat dalam tanah (%) dan pH tanah pada perlakuan ekstrak campuran bahan organik
dengan pengekstrak air destilata ... 76
12.Grafik korelasi antara kadar asam fulvat dalam tanah (%) dan C-organik tanah (%) pada perlakuan ekstrak campuran bahan
organik dengan pengekstrak air destilata ... 77
13.Grafik korelasi antara kadar asam fulvat dalam tanah (%) dan N-total tanah (%) pada perlakuan ekstrak campuran bahan
organik dengan pengekstrak asam asetat 0.01 N ... 77
14.Grafik korelasi antara kadar asam fulvat dalam tanah (%) dan pH tanah pada perlakuan ekstrak campuran bahan organik
dengan pengekstrak asam asetat 0,01 N ... 78
15.Grafik korelasi antara kadar asam fulvat dalam tanah (%) dan C-organik tanah (%) pada perlakuan ekstrak campuran bahan
DAFTAR ISI
2.2Kompos Limbah Agroindustri dan Bahan organik ... 11
2.3Bahan Organik dan Proses Dekomposisinya ... 15
2.4Asam Humat dan Asam Fulvat ... 18
3.4.2 Pencampuran Limbah Bahan Organik ... 25
3.4.3 Ekstraksi Limbah Agroindustri dan Bahan Organik ... 26
3.4.4 Tata Pelaksanaan Penelitian ... 27
ii b. Uji Korelasi Antara Kadar Asam Humat dan Asam Fulvat
dengan pH, N-total, dan C-organik Tanah ... 38 c. Perubahan Sifat Kimia Tanah setelah Aplikasi Ekstrak
Campuran Kompos Bahan Organik dan Jenis Pengekstrak ... 39 4.2Pembahasan ... 41 V. SIMPULAN DAN SARAN ... 42 5.1Simpulan ... 43 5.2Saran ...
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ultisol merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran
luas mencapai 45.794.000 ha atau sekitar 25% dari total daratan Indonesia. Sebran
terluas terdapat di Kalimantan (21.938.000 ha), diikuti di Sumatra (9.469.000 ha),
Maluku dan Papua (8.859.000 ha), Sulawesi (4.303.000 ha), Jawa (1.172.000 ha),
dan Nusa Tenggara (53.000 ha) (Subagyo dkk., 2004) dan tanah ini berpotensi
untuk dijadikan sebagai lahan pertanian. Erosi merupakan salah satu kendala fisik
pada tanah tanah ini dan sangat merugikan karena dapat mengurangi kesuburan
tanah. Menurut Munir (1995), masalah utama dari tanah ultisol ini yaitu kapasits
tukar kation (KTK) rendah, kejenuhan basa (KB) rendah, tingkat kemasaman
tinggi, kejenuhan Al tinggi, kelarutan Fe dan Mn cukup tinggi, pencucian hara
yang intensif, miskin bahan organik, mineralogi tanah tua, peka erosi, serta
kekahatan unsur hara (Munir, 1995). Sebagai tambahan, tanah Ultisol adalah
tanah yang memiliki horizon argilik dengan kejenuhan basa <35% yang terus
menurun sesuai kedalaman tanah.
Untuk meningkatkan kesuburan pada tanah Ultisol diperlukan penambahan bahan
organik. Peranan bahan organik tanah berfungsi sebagai sumber unsur hara,
berperan dalam meningkatkan kestabilan agregat, kapasitas menahan air, KTK,
daya sangga tanah, serta menurunkan jerapan P oleh tanah (Sanchez, 1976 ;
Stevenson, 1982).
Salah satu upaya untuk meningkatkan bahan organik tanah adalah dengan penambahan pupuk organik, baik berupa limbah hasil pertanian, perkebunan maupun perairan. Pemberian bahan organik secara mentah (bullky) tidak efisien dari segi ekonomi, untuk itu perlu dilakukan pengomposan (Cahyono,1999). Pengomposan adalah dekomposisi alami dari bahan organik oleh mikroorganisme yang memerlukan udara (aerob) (Gaur, 1982).
Salah satu limbah perkebunan yang banyak dihasilkan adalah kulit kakao. Kulit
buah kakao dapat dimanfaatkan sebagai sumber hara bagi tanaman dalam bentuk
kompos, pakan ternak, produksi biogas dan sumber pektin. Sebagai bahan
organik, kulit kakao mempunyai komposisi hara dan senyawa yang sangat
potensial sebagai medium tumbuh tanaman (Spillane, 1995). Kadar air dan bahan
organik pada kakao sekitar 86%, pH 5,4 , N-total 1,30%, C-Organik 33,71%, P2O5
0,186%, K2O 5,5%, CaO 0,23% dan MgO 0,59% (Soedarsono dkk., 1997; Didiek
dan Yufnal, 2004). Namun demikian, kulit buah kakao sampai saat ini belum
banyak mendapatkan perhatian masyarakat atau perusahaan untuk dijadikan
pupuk organik.
Selain kulit buah kakao, kulit kopi (pulpa kopi) juga dapat digunakan sebagai
2,98%, fospor 0,18%, dan kalium 2,26% (Ditjen Perkebunan, 2010). kulit kopi
akan mengalami proses pelapukan karena adanya interaksi antara mikroorganisme
yang bekerja didalamnya. Proses pelapukan limbah kopi membutuhkan waktu
sekitar 4 minggu untuk dapat digunakan sebagai pupuk organik (Wibawa, 1996).
Kulit kopi memiliki kadar bahan organik dan unsur hara yang memungkinkan
untuk memperbaiki sifat tanah, akan tetapi kulit kopi belum dimanfaatkan secara
optimal oleh para petani.
Limbah udang berupa kulit dan kepala udang mengandung senyawa kimia khitin
dan khitosan merupakan limbah yang mudah didapat dan tersedia dalam jumlah
banyak, yang selama ini belum termanfaatkan secara optimal. Kepala udang
mengandung protein (25%-40%), kalsium karbonat (45%-50%), dan khitin
(15%-20%). Dengan adanya sifat-sifat khitin dan khitosan yang dihubungkan dengan
gugus amino dan hidroksil yang terkait, maka menyebabkan sifat polielektolit
kation sehingga dapat berperan sebagai penukar ion (ion exchanger) dan dapat
berperan sebagai absorben terhadap logam berat (Prasetyo, 2004). Karena
berperan sebagai penukar ion maka khitin dan khitosan dari limbah udang
berpotensi meningkatkan KTK dalam tanah sehingga secara tidak langsung dapat
meningkatkan asam humat dan asam fulvat dalam tanah.
Menurut Anas (1990) kascing mengandung lebih banyak mikroorganisme, dan
juga bahan anorganik dalam bentuk yang tersedia bagi tanaman dibandingkan
tanah itu sendiri. Kotoran cacing mengandung N-total sebesar 0,70% dan
perangsang tumbuh seperti giberelin 2,75%, sitokinin 1,05% dan auksin 3,80%
selain itu kascing mengandung enzim protase, amilase, lipase, selulase, dan
chitinase yang secara terus menerus mempengaruhi perombakan bahan organik
sekalipun telah dikeluarkan dari tubuh cacing. Selain mengandung hormon
perangsang, kascing juga mengandung asam humat. Zat-zat humat bersama-sama
dengan tanah liat berperan terhadap sejumlah reaksi kompleks baik secara
langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman
melalui pengaruhnya terhadap sejumlah proses-proses dalam tubuh tanaman.
Secara tidak langsung, zat humat dapat meningkatkan kesuburan tanah dengan
mengubah kondisi-kondisi fisik, kimia, dan biologi tanah (Mulat, 2003).
Penggunaan pupuk kandang sapi dikalangan petani telah banyak digunakan
karena pupuk kandang berperan dalam memperbaiki kapasitas menahan air,
memasok unsur hara dan menetralisir unsur beracun seperti Fe, Al, Mn, dan
logam berat lainnya serta dapat meningkatkan aktivitas mikroba dalam tanah
(Susanto, 2002). Pupuk kandang kotoran sapi yang matang secara alami
mengandung N-total sebesar 0,56%, dan C-organik sebesar 13,05% , selain itu
kotoran sapi mengandung nitrogen, fosfor, kalium, magnesium, belerang, dan
boron (Nurdiansyah, 2007).
diatas dalam rangka meningkatkan kesuburan tanah Ultisol. Ekstrak bahan organik yang diaplikasikan akan menjadi sumber hara bagi tanaman, secara tidak langsung penambahan ekstrak bahan organik ini akan meningkatkan proses dekomposisi oleh mikroorganisme (Susanto,2002), sehingga akan berdampak pada peningkatan kandungan asam humat dan asal fulvat dalam tanah sebagai salah satu indikator kesuburan tanah.
Pada prinsipnya, bahan metabolit dapat dipisahkan dari lapukan bahan organik dengan metode ekstraksi. Dalam melakukan ekstraksi dibutuhkan jenis pelarut yang tepat (Tsutsuki, 1993 dalam Tasia, 2009). Pada dosis yang terlalu rendah, pengaruh larutan hara tidak nyata, sedangkan pada dosis yang terlalu tinggi selain boros juga akan mengakibatkan tanaman mengalami plasmolisis, yaitu keluarnya cairan sel karena tarikan oleh larutan hara yang lebih pekat (Wijayani, 2000; Marsechener, 1986 dalam Wijayani dan Widodo, 2005). Karakteristik senyawa kimia pada bahan organik dapat dilakukan dengan menggunakan pengekstrak kimia (asam atau basa) atau air (Nugroho dkk, 1996).
campuran kompos bahan organik dengan jenis pengekstrak terhadap kandungan asam humat dan asam fulvat pada tanah ultisol.
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak
campuran kompos bahan organik dan jenis pengekstrak terhadap kandungan asam
humat dan asam fulvat pada tanah ultisol.
1.3 Kerangka Pemikiran
Pemberian bahan organik dapat meningkatkan jumlah dan aktivitas metabolisme organisme tanah serta meningkatkan kegiatan jasad mikro dalam membantu proses dekomposisi bahan organik. Menurut Myers (1994) dalam Sarno (2000), bahan organik dapat dibedakan menjadi bahan berkualitas tinggi dan berkualitas rendah. Bahan berkualitas tinggi adalah bahan organik yang memiliki C/N rendah, sehingga lebih cepat didekomposisi dan melepaskan unsur hara ke tanah.
Berdasarkan analisis awal C/N rasio bahan organik menunjukkan bahwa C/N rasio limbah jerami bekas media jamur merupakan bahan berkualitas tinggi dibandingkan limbah agroindustri lainnya seperti limbah kulit kopi, kulit kakao, dan kepala udang.
organik atau humus hasil dari dekomposisi serasah tanaman dan hewan terdiri dari
bagian yang berbentuk makro (20%), bahan humat (50%), dan bahan non humat
(30%) (Tsutsuki,1993). Bahan humat, berdasarkan kelarutannya dibedakan atas
asam humat yang larut dalam basa, asam fulvat yang larut dalam asam maupun
basa, dan humin yang tidak larut dalam asam maupun basa (Stevenson, 1982).
Bahan organik yang berupa sisa tanaman bila diberikan kedalam tanah lambat
laun akan melepaskan unsur hara atau terjadi immobolisasi pada tingkat awal
dekomposisi, tetapi dalam jangka panjang akan banyak menghasilkan humus
(Sarno, 2000). Menurut Sarno dkk. (1998) semakin tinggi populasi
mikroorganisme tanah pada sistem olah tanah konservasi mencerminkan semakin
tingginya aktivitas mikroorganisme dalam mendekomposisi dan mensintesis
kembali senyawa organik menjadi bahan humus tanah, akibatnya asam humat dan
asam fulvat meningkat. Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh
Wijaya (2007), mengatakan bahwa kandungan asam humat dan asam fulvat nyata
dipengaruhi oleh interaksi pengembalian bahan organik dan pola tumpang sari.
Hasil penelitian Jamilah (2003) menunjukan bahwa tanah yang diberi perlakuan
pupuk kandang kotoran sapi dan pupuk hijau (Glyricidia dan Cromolaena) dapat
meningkatkan kandungan asam humat dan asam fulvat dalam tanah tersebut.
Selain itu hasil penelitian Sarno (2000), pemberian pupuk kandang kotoran sapi
dapat meningkatkan asam humat dan asam fulvat dengan cepat karena pupuk
kandang telah menghasilkan asam humat dan asam fulvat hasil dekomposisi di
bila diaplikasikan kedalam tanah dibandingkan pupuk hijau. Penelitian lain yang
dilakukan Wahono (2000) tentang peningkatan asam humat dan asam fulvat,
menurutnya setelah 4 minggu pengembalian serasah tanaman kedalam tanah
menghasilkan asam humat sebesar 6,904% lebih tinggi tiga kali dibandingkan
tanpa pengembalian serasah dan kandungan asam fulvat sebesar 19,01% juga
lebih tinggi dibandingkan tanpa pengembalian serasah yang hanya mengandung
9,802%.
Pemberian kompos jerami padi secara bertahap dapat menambah kandungan bahan organik tanah dan lambat laun akan mengembalikan kesuburan tanah. Dari hasil penelitian Suryani (2007), kompos jerami padi banyak mengandung unsur hara nitrogen yang berpengaruh baik pada pertumbuhan tanaman jeruk. Penelitian lain menyatakan bahwa jerami padi yang telah dikomposkan mengandung 0,6% N, 0,25% P, 45% K, asam humat 55,89%, asam fulvat 18,19%, dan nisbah C/N 16,81 (Nusantara, 1999). Hasil Penelitian Handayani (2009), menunjukkan bahwa ekstrak- air kompos jerami padi memberikan pengaruh nyata terhadap tinggi tanaman cabai pada konsentrasi 70,4% dan jumlah daun pada konsentrasi 85,09%.
kesuburan tanah baik dari aspek kimia, fisika, dan biologi tanah (Arafah dkk., 2003).
Ekstraksi dengan air dapat menghindari kerusakan polimer metabolit yang
mengubah sifat dan prilaku reaktivitasnya seperti ekstraksi dengan
menggunakanasam kuat atau alkali (Lynch, 1983). Ekstraksi menggunakan asam
lemah dapat mengekstrak bahan organik hingga 55% (Stevenson, 1982). Hasil
penelitian Nugroho dkk. (1996) menunjukkan bahwa pemberian ekstrak air
kotoran sapi, kotoran ayam dan kotoran cacing tanah nyata meningkatkan
pertumbuhan bibit albasia.
1.4 Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
1. Kadar asam humat dan asam fulvat pada pemberian ekstrak campuran kompos bahan organik dengan jenis pengekstrak asam asetat 0,01 N lebih tinggi dibandingkan pengekstrak air destilata.
2. Kadar asam humat dan asam fulvat yang diekstrak dari campuran pukan dan jerami bekas media jamur lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak campuran lainnya.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanah Ultisol
Tanah Ultisol merupakan jenis tanah yang miskin akan unsur hara dan bersifat masam. Ciri morfologi yang penting pada Ultisol adalah adanya peningkatan fraksi liat dalam jumlah tertentu pada horizon seperti yang disyaratkan dalam Soil
Taxonomy (Soil Survey Staff 2003). Horizon tanah dengan peningkatan liat
tersebut dikenal sebagai horizon argilik. Horizon tersebut dapat dikenali dari fraksi liat hasil analisis di laboratorium maupun dari penampang profil tanah. Horizon argilik umumnya kaya akan Al sehingga peka terhadap perkembangan akar tanaman, yang menyebabkan akar tanaman tidak dapat menembus horizon ini dan hanya berkembang di atas horizon argilik (Soekardi dkk.,1993).
yang terdapat pada tanah ultisol juga sangat rendah. Akibatnya kandungan bahan organik pada tanah ultisol tersebut susah untuk terurai (Hardjowigeno, 1993; Munir 1996).
Kesuburan alami tanah ultisol umumnya terdapat pada horizon A yang tipis dengan kandungan bahan organik yang rendah. Unsur hara makro seperti fosfor dan kalium yang sering kahat, reaksi tanah masam hingga sangat masam, serta kejenuhan aluminium yang tinggi merupakan sifat-sifat tanah Ultisol yang sering menghambat pertumbuhan tanaman (Hardijowigeno, 1993). Untuk mengatasi masalah tersebut salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan penambahan bahan organik. Bahan organik dapat meningkatkan agregasi tanah, memperbaiki aerasi dan perkolasi, serta membuat struktur tanah menjadi lebih remah dan mudah diolah. Bahan organik tanah melalui fraksi-fraksinya mempunyai pengaruh nyata terhadap pergerakan dan pencucian hara. Penyediaan bahan organik dapat pula diusahakan melalui pertanaman lorong (alley cropping). Selain pangkasan tanaman dapat menjadi sumber bahan organik tanah, cara ini juga dapat
mengendalikan erosi (Cahyono, 1999).
2.2 Kompos Limbah Agroindustri dan Bahan Organik
ternak, juga sebagai bahan baku kompos/pupuk organik yang bagi petani merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam proses produksi karena merupakan investasi yang dapat dipergunakan pada kondisi krisis, juga berfungsi sebagai pengganti pupuk kandang (Darmono dan Panji, 1999).
Sebagai bahan organik, kulit buah kakao mempunyai komposisi hara dan senyawa yang sangat potensial sebagai medium tumbuh tanaman. Sebagai bahan organik, kulit buah kakao mempunyai komposisi hara dan senyawa yang sangat potensial sebagai medium tumbuh tanaman. Kandungan hara yang terdapat pada kulit kakao telah dijelaskan pada bab pendahuluan.
Selain limbah kulit buah kakao, limbah lain dari perkebunan adalah limbah kuit kopi. Limbah kulit buah kopi memiliki kadar bahan organik dan unsur hara yang memungkinkan untuk memperbaiki sifat tanah. Kulit buah kopi juga mengandung unsur Ca, Mg, Mn, Fe, Cu dan Zn. Dalam 1 ha areal pertanaman kopi akan
memproduksi limbah segar sekitar 1,8 ton setara dengan produksi limbah kering 630 kg (Ditjen Perkebunan, 2010).
kandungan bahan organik tanah dan mengembalikan kesuburan tanah (Handayani, 2009).
Selain sektor perkebunan Indonesia tercatat sebagai negara penghasil udang
terbesar ketiga di dunia, setiap tahunnya dihasilkan sekitar 0,08 juta ton. Sekitar
80%-90% dari jumlah tersebut udang diekspor dalam bentuk udang beku, tanpa
kepala dan kulit. Ekspor udang beku ke Jepang pada bulan november 2005
sebesar 3,903 ton. Limbah yang dihasilkan dari proses pengolahan udang bekisar
60%-70% dari berat udang (Krissetiana, 2004).
Limbah udang berupa kulit dan kepala udang mengandung senyawa kimia khitin
dan khitosan merupakan limbah yang mudah didapat dan tersedia dalam jumlah
banyak, yang selama ini belum termanfaatkan secara optimal. Kepala udang
mengandung protein (25%-40%), kalsium karbonat (45%-50%), dan khitin
(15%-20%). Dengan adanya sifat-sifat khitin dan khitosan yang dihubungkan dengan
gugus amino dan hidroksil yang terkait, maka menyebabkan sifat polielektolit
kation sehingga dapat berperan sebagai penukar ion (ion exchanger) dan dapat
berperan sebagai absorben terhadap logam berat (Prasetyo, 2004). Karena
berperan sebagai penukar ion maka khitin dan khitosan dari limbah udang
berpotensi meningkatkan KTK dalam tanah sehingga secara tidak langsung dapat
meningkatkan asam humat dan asam fulvat dalam tanah.
pupuk kandang sapi. Pupuk kandang sapi merupakan pupuk padat yang banyak mengandung air dan lendir. Pupuk kandang selain dapat menambah ketersediaan unsur-unsur hara bagi tanaman, juga mengembangkan kehidupan mikroorganisme di dalam tanah. Mikroorganisme berperan mengubah seresah dan sisa-sisa
tanaman menjadi humus, senyawa-senyawa tertentu disintesa menjadi bahan-bahan yang berguna bagi tanaman (Sutedjo, 2008). Pupuk kandang yang sudah siap digunakan apabila tidak terjadi lagi penguraian oleh mikroba. Ciri fisiknya yakni berwarna coklat kehitaman, cukup kering, tidak menggumpal dan tidak berbau menyengat. Ciri kimiawinya adalah C/N ratio kecil (bahan pembentuknya sudah tidak terlihat) dan temperaturnya relatif stabil (Pupuk kandang dapat diberikan sebagai pupuk dasar, yakni dengan cara menebarkan secara merata di seluruh lahan Yusuf (2009). Khusus bagi tanaman dalam pot, pupuk kandang diberikan sepertiga dari media dalam pot (Susanto, 2002).
Selain pupuk kandang, banyak para petani menggunakan kotoran cacing (kascing) sebagai pupuk organik. Kascing adalah bahan organik yang berasal dari cacing. Radian (1994) mengemukakan bahwa kascing adalah kotoran cacing tanah yang bercampur dengan tanah atau bahan lainnya yang merupakan pupuk organik yang kaya akan unsur hara dan kualitasnya lebih baik dibandingkan dengan pupuk organik jenis lain.
oleh tanaman (Nick, 2007). Menurut Scullion dan Malik (2007) stabilitas agregat tanah yang terbentuk cukup baik sebagai akibat tingginya karbohidrat dalam kascing Mulat (2003) mengemukakan hasil penelitian mengenai pengaruh kascing terhadap jumlah malai padi menunjukkan bahwa pupuk kotoran cacing
memberikan jumlah malai 2,5 – 3 kali lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa kotoran cacing. Menurut Nick (2008) kascing mengandung mikroba yang bermanfaat bagi tanaman. Aktivitas mikroba membantu dalam pembentukan struktur tanah agar stabil.
2.3 Bahan Organik dan Proses Dekomposisinya
Bahan organik tanah lebih mengacu pada bahan (sisa jaringan tanaman/hewan) yang telah mengalami perombakan atau dekomposisi baik sebagian atau
seluruhnya, yang telah mengalami humifikasi maupun yang belum. Bahan organik mencakup semua bahan yang berasal dari jaringan tanaman dan hewan, baik yang hidup maupun yang telah mati, pada berbagai tahapan dekomposisi (Sarno,1998). Kononova (1966) dan Schnitzer (1997) membagi bahan organik tanah menjadi 2 kelompok, yakni bahan yang telah terhumifikasi, yang disebut sebagai bahan Humat (humic substances) dan bahan yg tidak terhumifikasi, yang disebut sebagai bahan bukan Humat (non-humic substances). Kelompok pertama lebih dikenal sebagai “humus” yang merupakan hasil akhir proses dekomposisi bahan organik
bersifat stabil dan tahan terhadap proses biodegradasi. Humus terdiri atas fraksi asam humat, asam fulfat dan humin. Kelompok kedua meliputi senyawa-senyawa organik seperti karbohidrat, asam amino, peptida, lemak, lilin, lignin, asam
akibat adanya mikroorganisme tanah yang memanfaatkannya sebagai sumber energi dan karbon. Kandungan bahan organik tanah terutama ditentukan oleh kesetimbangan antara laju penghancuran dengan laju dekomposisinya (Tan, 1982).
Stevenson (1982) menyajikan proses dekomposisi BO dg urutan sbb:
1. Fase perombakan bahan organik segar. Proses ini akan merubah ukuran bahan menjadi lebih kecil.
2. Fase perombakan lanjutan, yang melibatkan kegiatan enzim mikroorganisme tanah. Fase ini dibagi lagi menjadi beberap tahapan:
a. Tahap awal dicirikan oleh kehilangan secara cepat bahan-bahan yang mudah terdekomposisi sabagi akibat pembafaatan BO sebagai sumber karbon dan energi oleh mikroorganisme tanah, terutama bakteri. Dihasilkan sejumlah senyawa sampingan (by products) seperti: NH3, H2S, CO2, asam organik dll.
b. Tahap tengah terbentuk senyawa organik tengahan/antara (intermediate
products) dan biomasa baru sel organisme)
c. Tahap akhir dicirikan oleh terjadinya dekomposisi secara berangsur bagian jaringan tanaman/hewan yang lebih resisten (mis: lignin). Peran fungi dan Actinomycetes pada tahap ini sangat dominan
Pengomposan adalah dekomposisi alami dari bahan organik oleh mikroorganisme yang memerlukan oksigen (aerob). Hasil pengomposan berupa kompos memiliki muatan negatif, dapat dikoagulasikan oleh kation-kation dan partikel tanah untuk membentuk agregat tanah. Dengan demikian, penambahan kompos dapat
memperbaiki struktur tanah sehingga akan memperbaiki pula aerasi, drainase, absorbsi panas, kemampuan daya serap tanah terhadap air serta berguna untuk mengendalikan erosi tanah (Gaur, 1982). Hasil dari pengomposan dikenal dengan nama kompos. Kompos didefinisikan sebagai campuran pupuk dari bahan
organik yang berasal dari tanaman atau hewan atau campuran keduanya yang telah melapuk sebagian dan dapat berisi senyawa-senyawa lain seperti abu, kapur dan bahan kimia lainnya sebagai bahan tambahan (Murbandono, 2001).
Penggunaan kompos sangat baik karena dapat memberikan manfaat baik bagi tanah maupun tanaman. Kompos dapat menggemburkan tanah, memperbaiki struktur dan porositas tanah, serta komposisi mikroorganisme tanah,
Kematangan kompos digunakan juga sebagai faktor yang mempengaruhi cepat aplikasinya ke tanaman. Kriteria kematangan kompos bervariasi tergantung bahan asal kompos, kondisi dan proses dekomposisi selama pengomposan. Gaur (1982) menyatakan bahwa ada beberapa parameter untuk menentukan kematangan kompos, yaitu: 1) karakteristik fisik, seperti suhu, warna, tekstur dan besarnya kelarutan dalam larutan natrium hidroksida atau natrium fosfat; 2) nisbah C/N, status dari kandungan hara tanaman, dan nilai kompos yang ditunjukkan oleh uji tanaman, 3) tidak berbau dan bebas dari patogen parasit dan biji
rumput-rumputan. Kematangan kompos menurutnya sangat berpengaruh terhadap mutu kompos. Kompos yang sudah matang akan memiliki kandungan bahan organik yang dapat didekomposisi dengan mudah, nisbah C/N yang rendah, tidak menyebarkan bau yang ofensif, kandungan kadar airnya memadai dan tidak mengandung unsur-unsur yang merugikan tanaman. Oleh sebab itu, kematangan kompos merupakan faktor utama dalam menentukan kelayakan mutu kompos.
2.4 Asam Humat dan Fulvat
mengandung struktur aromatik dan alifatik dan sebaian besar telah disubstitusi oleh oksigen yang mengandung gugus fungsional. Humin adalah senyawa humat yang tidak larut dalam berbagai nilai pH (dalam air, asam, dan alkali), humin mempunyai warna hitam. Konsentrasi asam humat dan asam fulvat pada seluruh tanah secara relatif lebih tingi daripada konsentrasi asam organik yang belum terhumifikasi, dengan demikian bahan humat merupakan komponen utama dari bahan organik tanah (Tan, 1995).
Menurut Schnitzer dan Huang (1997) komposisi elemen dan gugus fungsional asam humat dan asam fulvat yang dimurnikan dari ekstraks tanah dari berbagai pedologi yang berbeda-beda. Ia menyatakan bahwa kandungan C dan N asam humat lebih tinggi dari pada asam fulvat, sedangkan asam fulvat memiliki H, O yang lebih tinggi. Asam fulvat juga memiliki gugus-gugus fungsional yang lebih tingi dari asam humat tetapi memiliki bobot molekul lebih rendah. Asam fulvat memiliki bobot molekul lebih rendah, tetapi lebih teroksidasi dibandingkan dengan asam humat. Asam fulvat menandung sejumlah metabolit dan bahan-bahan muda yang tidak berasosiasi dengan koloid tanah. Banyak komponen yang terkandung dalam fraksinya menjadi subjek asimilasi cepat mikroba atau
dimineralisasi sehingga memberikan unsur bagi tanaman.
Dibandingkan asam humat, asam fulfat mengandun C dan N lebih rendah sementara kadar H dan O lebih tinggi.
2.5 Pembentukan Asam Humat dan Asam Fulvat
Menurut Kononova (1966) selama proses dekomposisi bahan organik di dalam tanah akan dihasilkan asam-asam organik dan pada tahap paling akhir akan terbentuk asam humat dan asam fulvat, asam-asam tersebut dikenal dengan humus. Asam humat dan asam fulvat dibentuk selama proses dekomposisi sisa tanaman yang mengandung senyawa phenolik dari lignin dan flavonoid sebagai unit struktur yan palin pentin untuk sintesis bahan humat (Martin dan Heider, 1969). Terbentuknya bahan humat ini sebagian besar terjadi melalui reaksi biokimia secara enzimatik dan sebagian lagi terbentuk melalui reaksi kimia non enzimatik (Kononova, 1966).
Dekomposisi dan humifikasi terjadi dan berlangsung secara simultan.
Karakteristik dari humifikasi yaitu (1) tanaman yang gugur dan tersisa merupakan fragmen yang kecil halus, (2) berwarna gelap, (3) ratio C/N lebih rendah, dan (4) kemudian ditransformasikan menjadi coklat kegelapan atau hitam dan amorfus. Dalam proses dekomposisi ternyata lignin yang telah dirombak oleh
Bahan Organik Transformasi oleh mikroorganisme
Gula Polifenol Hasil Dekomposisi Lignin termodifikasi
Asam Amino
Quinon Quinon 3 2
4 Bahan Humat 1
Gambar 1. Lintasan-lintasan pembentukan bahan humat di dalam tanah selama proses pelapukan bahan organk (Stavenson, 1982).
Senyawa-senyawa humat terbentuk melalui modifikasi lignin (lintasan 1), tetapi akhir-akhir ini sebagian besar penelitian menunjukan mekanisme yang
menyangkut quinon (lintasan 2 dan 3). Dan lintasan 4 menunjukan teori gula amino non enzimatik.
Sesuai dengan teori lignin (lintasan 1), lignin dimanfaatkan oleh mikroorganisme secara tidak lengkap dan residunya menjadi bagian dari humus. Modifikasi lignin meliputi hilangnya gugus metoksil (OCH3) dan menghasilkan hidroksi fenol serta oksidasi rantai samping alifatik membentuk gugus COOH. Bahan-bahan
termodifikasi ini selanjutnya mengalami perubahan-perubahan menghasilkan asam humat dan selanjutnya asam fulvat. Dalam lintasan 2, lignin masih
memainkan peranan penting dalam sintesis humus, tetapi caranya berbeda. Dalam hal ini asam-asam dan aldehid fenolik lepas dari lignin selama serangan mikroba, dan mengalami polimerisasi, baik ada maupun tidak ada senyawa amino,
III. METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 2010 hingga Oktober 2011. Ekstraksi, analisis sifat kimia ekstrak campuran bahan organik dan analisis kandungan asam humat dan asam fulvat dilakukan di Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
3.2 Alat dan Bahan
Bahan-bahan yang digunakan adalah tanah Ultisol di Politeknik Negeri Lampung, limbah kulit kakao, limbah kulit kopi, limbah jerami bekas media jamur, limbah kepala udang, pupuk kandang sapi (Pukan), kotoran cacing (Kascing), air
destilata, asam asetat 0,01 N, dan bahan-bahan kimia untuk analisis C-organik, N-total, asam humat dan asam fulvat tanah.
3.3 Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang disusun secara faktorial ( 8 x 2 ) dengan 3 kelompok, secara keseluruhan penelitian ini terdiri dari 48 satuan percobaan.
Faktor I : Ekstrak Campuran Bahan organi dan Limbah Agroindustri (O), yang terdiri dari :
O1 = Pupuk kandang + kulit kopi O2 = Pupuk kandang + kulit kakao
O3 = Pupuk kandang + jerami bekas media jamur O4 = Pupuk kandang + kepala udang
O5 = Kascing + kulit kopi O6 = Kascing + kulit kakao
O7 = Kascing + jerami bekas media jamur O8 = Kascing + kepala udang
Faktor II : Jenis Pengekastrak (E), yang terdiri dari : E1 = Air Destilata (H2O)
E2 = Asam Asetat (CH3COOH) 0,01 N
3.4 pelaksanaan penelitian
3.4.1 Cara Pengambilan Contoh Tanah
Contoh tanah yang digunakan pada penelitian ini berasal dari lahan yang belum pernah diolah yang hanya ditanami rumput di Politeknik Negeri Lampung. Pengambilan sampel tanah diawali dengan menentukan titik koordinat dengan menggunakan GPS (Geographic Positioning System) pada titik koordinat 050 21’ 19,7” LS dan 1050 13’ 41,5” BT. Contoh tanah dikelompokkan menjadi 3
berdasarkan kesuburan tanahnya contoh tanah diambil sebanyak 5 titik setiap ulangan, hingga kedalaman 20 cm disetiap titik. Kemudian contoh tanah yang diambil pada setiap titik dikompositkan berdasarkan ulangan. Selanjutnya contoh tanah lembab diayak degan menggunakan ayakan 2 mm. Tujuan dari pengayakan adalah untuk memisahkan tanah dari akar-akar halus tanaman, dan butiran-butiran tanah yang digunakan lebih halus. Sebagian contoh tanah di kering udarakan untuk dilakukan analisis pH, C-organik, dan N-total.
3.4.2 Pencampuran Limbah dan Bahan Organik
Masing-masing dari limbah agroindustri dipotong-potong hingga berukuran kecil (1-2 cm) kemudian dicampurkan dengan pupuk kandang atau kascing dengan perbandingan 2:1 dengan aplikasi 5 kg limbah agroindustri dicampurkan 2,5 kg bahan organik, kemudian campuran bahan organik dan limbah agroindustri
tersebut dimasukkan kedalam kantong pelastik hitam besar dan di inkubasi selama ± 2 minggu atau hingga C/N kurang dari 20. Setelah itu dilakukan ekstraksi terhadap campuran bahan organik dan limbah agroindustri tersebut. Proses dekomposisi masing-masing limbah agroindustri tidak terjadi secara bersamaan, sehingga di perlukan refrigenerator untuk menyimpan bahan-bahan yang telah mencapai C/N kurang dari 20.
3.4.3 Ekstraksi Limbah Agroindustri dan Bahan Organik
Ekstrak bahan organik dan limbah agroindustri dilakukan dengan sedikit memodifikasi metode yang dilakukan oleh Gogliotti, dkk. (2005). Campuran bahan organik diekstrak dengan menggunakan air destilata dan asam asetat (CH3COOH) 0,01 N, dengan perbandingan berdasarkan volume (B:E) 1:5 yaitu 20 gr limbah ditambahkan dengan 100 ml air destilata atau asam asetat 0,01 N untuk mendapatkan konsentrasi 100%. Campuran akan dikocok selama 2 x 24 jam dengan kecepatan 190rpm. Kemudian disentrifius selama 30 menit dengan
3.4.4 Tata Pelaksanaan Penelitian
Analisis tanah awal C-organik, N-total, dan pH tanah dilakukan pada sampel tanah yang diambil. Tanah yang diaplikasi sebanyak 3,26 kg berat basah, masing-masing dimasukkan kedalam polibag berlubang dan ditutup rapat kemudian simpan dalam ruangan dengan suhu kamar. Selanjutnya tanah dikondisikan pada kelembaban 75% kapasitas lapang dengan cara seminggu sekali ditimbang dan ditambahkan air bila diperlukan. Kadar air 75% kapasitas lapang karena kondisi tersebut yang paling optimum untuk proses dekomposisi bahan organik.
3.4.7 Pengamatan
1. Variabel Utama
Variabel utama yang diamati adalah kadar asam humat dan asam fulvat dengan metode ekstraksi wanatabe dan Kuatsuka pada hari ke-0, ke-7, ke-15, dan ke-30 setelah aplikasi
a. Analisis Asam Humat dan Fulvat
Endapan asam Humat dilarutkan kembali dengan NaOH 0,1 N dan tuangkan dalam labu ukur 25 ml dan tepatkan pada tanda tera.
b.Penetapan Larutan Standar
Sebanyak 437,5 mg sukrose dilarutkan dalam labu ukur 50 ml dengan air suling. Masing-masing sebanyak 1, 2, 3, 4, 5 ml dari larutan tersebut diambil dan
dimasukkan kedalam labu ukur 25 ml dan ditetapkan sampai tanda tera dengan air suling. Larutan ini disimpan didalam lemari es (refrigenerator) konsentrasi larutan yang digunakan 140, 280, 420, 560, dan 700 ppm C.
c. Penetapan Kadar C pada Asam Humat dan Asam Fulvat
Penetapan kadar C pada asam humat dan asam fulvat dilakukan dengan metode Tatsukawa (1966) sebagai berikut : dimasukkan 2 ml larutan contoh tanah ke dalam tabung reaksi, kemudian tambahkan 4 ml larutan K2CrO7 0,5 N dalam asam sulfat pekat dan segera aduk dengan menggunakan touch mixer. Setelah
2. Variabel Pendukung
Variabel pendukung yang diamati pada awal dan akhir penelitian adalah :
1. Analisis tanah awal (sebelum) perlakuan dan di akhir waktu inkubasi yaitu pH, C-organik, N-total, dan kadar air tanah.
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
a. Kandungan asam humat dan asam fulvat tanah dengan pemberian ekstrak campuran kompos bahan organik dengan semua jenis pengekstrak meningkat dari hari ke-0 sampai dengan hari ke-15, namun terjadi penurunan pada hari ke-30.
b. Jenis pengekstrak asam asetat 0,01 N mampu meningkatkan kandungan asam humat dan asam fulvat lebih baik dibandingkan dengan pengekstrak air destilata.
c. Kombinasi antara kascing dan jerami bekas media jamur baik dengan
pengekstrak asam asetat maupun air destilata meningkatkan kadar asam humat dan asam fulvat dalan tanah lebih baik dibandingkan perlakuan lainnya pada hari ke-15.
e. Terdapat korelasi antara kadar asam humat dan asam fulvat tanah dengan C-organik, N-total, dan pH dalam tanah.
5.2 Saran
1. Bila ingin menggunakan ekstrak campuran bahan organik dan limbah agroindustri sebagai pupuk organik sebaiknya digunakan pengekstrak asam asetat.
DAFTAR PUSTAKA
Agung, R., A. Nawawi, dan D. Hadi. 2005. Pengaruh Suhu, Jenis Pelarut, dan Waktu Ekstraksi terhadap Rendemen Total Senyawa Terekstrasi dalam Ekstrak Umbi Lapis Bawang Putih (Allium sativum L.). Abstrak.
http://bahan-alam.fa.itb.ac.id. Diakses tanggal 19 Mei 2010.
Anas, I. 1990. Metode Penelitian Cacing Tanah dan Nematoda. PAU-IPB. Bogor. Anggraini, N. 2012. Pengaruh Pemberian Ekstrak Ccampuran Bahan Organik dan
Limbah Agroindustri dengan Pengekstrak Akuades dan Asam Aetat terhadap Total Populasi Bakteri Tanah. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 83 hlm. (Belum dipublikasi).
Anggit, S. 2010. Pemanfaatan Jerami Padi dan Ampas Tahu Cair Sebagai Media Pertumbuhan Jamur Merang (volvariella volvaceae). Skripsi. Universitas Muhammadiyah. Surakarta.
Arafah dan M.P. Sirappa. 2003. Kajian Penggunaan Jerami dan pupuk N,P, dan K pada Lahan Sawah Irigasi. Http;/www.yahoo.com. Jurnal Tanah dan Lingkungan Vol 4 (1). BPPT Sulawesi Selatan. Diakses tanggal 29 Agustus 2010.
Atmodjo, A. 2003. Pengomposan Kulit Nanas Menggunakan Starter Mikroorganisme Efektif dan Bokashi dalam Kondisi pH Asam dan Netral.
Jurnal Biota. VII (3): 131-138.
Cahyono, P. 1999. Peranan Bahan Organik dalam Menjaga Kesuburan Tanah. Diambil dalam Majalah GEMA PT GGP. 21 hlm.
Darmono dan T. Panji. 1999. Penyediaan Kompos Kulit Buah Kakao Bebas
Phytophthora palmivora. Warta Penelitian Perkebunan. V (1). : 33-38.
Direktorat Perlindungan Perkebunan, Ditjen Perkebunan 2010. Pedoman Pemanfaatan Limbah dari Pembukaan Lahan. Error! Hyperlink reference not valid.. Diakses Tanggal 9 Oktober 2010.
Hakim, N., Y. Nyakpa, A.M. Lubis, S.G. Nugroho, R. Saul, A. Diha, B.H. Diha, dan H.H. Bailey. 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 488 hlm.
Handayani, E. O. 2009. Pengaruh Aplikasi Ekstrak-Air Kompos Jerami Padi pada Berbagai Konsentrasi Terhadap Pertumbuhan Tanaman Cabai (Capsicum
annum L.). Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 68 hlm.
Hardijowigeno. S., 1993. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akapress. Jakarta. Hariyanto. 2006. Pengaruh Residu Herbisida Diuron dan Residu Pupuk
Berkelanjutan Terhadap Populasi Mikroorganisme pada Tanah Ultisol Taman Bogo Lampung Timur. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 14 hlm.
Jamilah. 2003. Pengaruh Pemberian Bahan Organik yang Berasal dari Pupuk Kandang dan Berbagai Pupuk Hijau Terhadap Kandungan Asam humik dan Fulvik pada Tanah Ultisol. Skripsi. Universitas Sumatra Utara. 62 hlm. Juanda, M. E. 1995. Pengaruh Jenis Ekstrak-Air Bahan Organik Kotoran Sapi,
Kotoran Ayam, dan Kotoran Cacing Tanah serta Cara aplikasi melalui Bagian Akar dan Daun terhadap Pertumbuhan Bibit Tanaman Albisia (Albisia falcataria). Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 58 hlm. Organisms”. In: Soil Biotechnology. Microbiological factors in Crop productivity. J. M. Lynch, 1983. Blackwell scientific Pub., London. Pp.107-120.
Martin, J.P. dan K. Haider. 1986. Pengaruh koloid Mineral Terhadap Laju Pengembangan Karbon Organik Tanah Dalam : Interaksi Mineral Tanah
Dengan Bahan Organik Alami dan Mikroba. Diterjemahkan Oleh Didiek H.
Goenadi, 1987. Gadjah Mada University Press.
Munir. M., 1996. Tanah-Tanah Utama Indonesia. Penerbit Pustaka Jaya. Jakarta. Murbandono. 2001. Membuat Kompos. Penyebar Swadaya. Jakarta. 54 hlm. Nick, 2008. Pupuk Kascing Mencegah Pencemaran. /. Diakses 5 Oktober 2010.
http://keset.wordpress.com/2008/08/22/pupuk-kascing-mencegah-pencemaran.
Nugroho, S. G., S. Yusnaini, dan M. E. Juanda. 1996. Pengaruh Pemberian Ekstrak-Air Beberapa Jenis Bahan Organik Melalui Daun atau Tanah Terhadap Pertumbuhan Awal Bibit Albisia (Albisia falcataria). J. Tanah
Trop. 3 : 20-25.
Nurdiansyah. 2007. Pengaruh Pupuk Organik, Anorganik, serta Kombinasinya Terhadap Kandungan Asam Humat dan Asam Fulvat di Pertanaman Jagung Musim Tanam ke Delapan Pada Tanah Ultisol Taman Bogo Lampung Timur. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 64 hlm.
Nusantara, A. 1999. Limbah Pertanian. Informasi Penelitian Tanah, Air, Pupuk, dan Lahan (Serial Populer). Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. 12 lm.
Prasetyo, K. W. 2004. Pemanfaatan Limbah Cangkang Udang Sebagai Bahan Pengawet Kayu Ramah Lingkungan. http://justforeuis.blogspot.com/2010/
11/pemanfaatan-limbah-cangkang-udang.html. Diakses Tanggal 5 Oktober
2010.
Radian. 1994. Cara Pembuatan Kascing dan Peranannya dalam Meningkatkan Produktivitas Tanah. Topik Khusus. Program Pascasarjana. Universitas Padjajaran.
Sanchez, A.P. 1976. Properties and Management of Soil in the tropics. John Wiley and Sons, New York. 618.
Santi, R. 2005. Pengaruh Kompos Kulit Buah Kakao dan Kascing Terhadap Pertumbuhan Bibit Kakao (Theobroma cacao L.) Kultivar Upper Amazona Hybrid (AUH) Skripsi. Universitas Padjajaran. 78 hlm.
Sarno. 2000. Pembentukan Asam Humik dan Asam Fulvik Pada Kompos yang Berasal dari Berbagai Kombinasi Limbah Padat Agroindustri. J. Tanah Trop. 10:209-215
Schnitzer. M, and P. M Huang. 1997. Pengikatan Bahan Humat Oleh Koloid
Mineral Tanah. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Scullion, J. S. Neale and L. Philips. 2007. Earthworm Casting and Burrowing Activity in Conventional and Organic Grass-Arable Rotation. European J. of
Soil Biology. 43(1):216-221.
Soedarsono, Abdoellah, S., Aulistyowati,E.. 1997. Penebaran Kulit Buah Kakao Sebagai Sumber Bahan Organik Tanah dan Pengaruhnya terhadap Produksi Kakao. Pelita Perkebunan 13(2):90-99.
Soekardi, M., M.W. Retno, dan Hikmatullah. 1993. Inventarisasi dan
karakterisasi lahan alang-alang. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.
Badan Litbang Pertanian.
Soil Survey Staff. 2003. Keys to Soil Taxonomy. USDA, Natural Research Conservation Service. Ninth Edition. Washington D.C.
Suryani, A. 2007. Perbaikan Tanah Media Tanaman Jeruk dengan Berbagai Bahan Organik dalam Bentuk Kompos. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
http://bahan-alam.fa.itb.ac.id. Diakses tanggal 26 Juni 2011.
Susanto, R. 2002. Penerapan Pertanian Organik (Pemasyarakatan dan
Pengembangannya). Kanisius. Yogyakarta.
Spillane, J. 1995. Komoditi Kakao, Peranannya dalam Perekonomian Indonesia. Kanisius. Yogyakarta.
Stevenson, F. J. 1982. Humus Chemistry, Genesis. Compotition, and Reaktion. John Willey and Sons. New York. 443 pp.
Taisa, R. 2009. Pengaruh Aplikasi Ekstrak-Air Sampah Kota Melalui Daun Terhadap Pertumbuhan Tanaman Cabai (Capsicum annum L.). Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Tan. K. H. 1995. Dasar-Dasar Kimia Tanah. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Triesty, J. 2012. Pengaruh Pemberian Ekstrak Campuran Bahan Organik dan Limbah Agroindustri Terhadap Populasi dan Keanekaragaman Fungi Tanah.
Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 90 hlm. (Belum
dipublikasi).
Wibawa, A., 1996. Pengelolaan bahan organik di perkebunan kopi dan kakao.
Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. 12 (2): 120-128.
Wijaya, A. 2007. Pengaruh Pemberian Pupuk Kandang Kotoran Kambing dan Pupuk SP-36 Terhadap Kandungan Asam Humik dan Asam Fulvik pada Ultisol Dipertanaman Caisim (Brassica campestris var. Chinensis L.) di Tanjung Bintang Lampung Selatan. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 43 hlm.
Wijayani, A dan Widodo, W. 2005. Usaha Meningkatkan Beberapa Varietas Tomat dengan Sistem Budidaya Hidroponik. Jurnal Ilmu Pertanian. 12(1):77-83.