• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUKUM ACARA PERDATA ASAS ASAS HUKUM ACAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "HUKUM ACARA PERDATA ASAS ASAS HUKUM ACAR"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

HUKUM ACARA PERDATA

ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERDATA

Hakim bersikap pasif – Inisiatif pihak-pihak berperkara bukan hakim, mengadili seluruh tuntutan dan bukan tidak menjatuhkan sesuatu yang tidak dituntut, yang dikejar kebenaran formil (berdasarkan bukti-bukti yang diajukan didepan persidangan tanpa harus disertai keyakinan hakim), Para pihak bebas untuk mengakhiri perkara mereka sendiri.

 Sidang Pengadilan Terbuka Untuk UmumMendengar kedua belah pihak

Tidak ada keharusan mewakilkan

Putusan harus disertai alasan-alasan - Putusan yang tidak lengkap atau kurang cukup

pertimbangannya merupakan alasan untuk kasasi dan putusan tersebut harus dibatalkan (MA tanggal 22-7-1970 Nomor 638 K/Sip/1969 dan tanggal 16-12-1970 Nomor 492 K/Sip/1970)

 Beracara perdata dikenakan biaya.

ISTILAH-ISTILAH

1. Lex Commissora: Syarat batal baik yang tegas dicantumkan atau tidak tegas dicantumkan dalam suatu perjanjian timbal balik apabila salah satu pihak lalai dalam perjanjian itu atau salah satu pihak tidak memenuhi janji; hal ini erat kaitannya dengan KUH Perdata pasal 1266.

2. Decisoir (Bld) adalah (sumpah) menentukan; hal ini diatur di dalam KUH.\ Perdata pasal 1929, Terdapat dua macam sumpah di muka hakim:

 Sumpah yang oleh pihak yang satu diperintahkan kepada pihak lain untuk menggantungkan putusan perkara pada nya; sumpah ini dinamakan sumpah pemutus;

 Sumpah yang oleh Hakim, karena jabatannya, diperintahkan kepada salah satu pihak.

3. Reconventie (Bld): Gugatan balasan. Dalam hal nya seseorang mendapatkan gugatan ia pun berhak memasukkan atau mengajukan gugatan balasan atau gugatan melawan; gugatan asli yang telah diajukan ke pengadilan kepada pihak yang mungkin akan mengadukan, gugatan balasan itu dinamakan: Conventis

4. Waarmerken: Pendaftaran akta-akta di bawah tangan pada notaris atasu pejabat-pejabat tertentu untuk mengesahkan isi dan tanda tangan/sidik jari si pembuat akta tersebut (lihat: pasal 1874 BW) 5. Naturalis Obligatio: (Lat), natuurlijke verbintenis (Bld), kewajiban-kewajiban atau utang-utang

yang permanen, ialah untuk selama-lamanya tidak bisa ditagih, misalkan karena kebelumdewasaan si berutang, ataupun karena terjadinya paksaan, kekhilafan (dwaling) atau penipuan.

Kewajiban-kewajiban moral tidak termasuk dalam apa yang disebut naturalis obligatio

6. Ruiling: tukar menukar ialah suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak saling mengikat dirinya untuk saling memberikan suatu barang secara timbal balik yang gantinya suatu barang lain (lihat: pasal 1541 BW)

(2)

8. Stuiting van een verjaring: Pengcegahan berlakunya daluwarsa; berlakunya daluwarsa dalam perkara perdata dapat dicegah dengan meminta kepada hakim, dalam perkara daluwarsa dapat dicegah dengan memberitahukan kepada orang yang dituntut tentang perbuatannya dan

pemberitahuan itu dilakukan menurut cara yang ditentukan dalam undang-undang umum (lihat: pasal 1978 s.d 1985 BW; pasal 80 KUHP)

9. Peninjauan Kembali: menurut undang-undang Mahkamah Agung (UU No.14 tahun 1985) Mahkamah Agung memeriksa dan memutuskan permohonan peninjauan kembali pada tingkat pertama da terakhir atas putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. alasan untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali adalah a.l. diketahuinya hal-hal baru (novum) yang dulu tidak diketahui sewaktu perkaranya diperiksa dan diputuskan oleh Pengadilan

10.Burgerlijk Wetboek: (BW), kita undang-undang hukum perdata, kitab undan-undang yang memuat hukum perdata yang terdiri 4 bagian:

 Tentang Orang

 Tentang Benda

 Perikatan

 Pembuktian dan daluwarsa

TINGKAT PEMERIKSAAN DI PENGADILAN

1. Tingkat pertama - Pengadilan Negeri ~ HIR (untuk Jawa & Madura) dan RBg (untuk luar Jawa & Madura).

2. Tingkat banding – Pengadilan Tinggi ~ UU No.20/1947 (untuk pemeriksaan ulangan Jawa & Madura) dan RBg (untuk luar Jawa & Madura).

3. Tingkat Kasasi – Mahkamah Agung ~ UU No.14/1985 tentang Mahkamah Agung.

SYARAT YANG HARUS DIPENUHI SURAT GUGATAN

1. Memuat kejadian materil yang menjadi dasar tuntutan secara lengkap (MA tgl 15-3-1970 Nomor 547 K/Sip/1972).

2. Tuntutan jelas (MA tgl 21-11-1970 Nomor 492 K/Sip/1970).

3. Mencantumkan pihak-pihak berperkara secara lengkap (MA tgl 13-5-1975 Nomor 151 /Sip/1975). 4. Khusus gugatan mengenai tanah harus menyebut dengan jelas letak, batas-batas dan ukuran tanah

(MA tgl 9-7-1973 Nomor 81 K/Sip/1971).

5. Surat Gugatan yang tidak sesuai dinyatakan tidak sempurna dan dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).

BENTUK INTERVENSI PIHAK KETIGA DALAM PERKARA PERDATA

1. Menyertai (voeging) – bersikap memihak kepada salah satu pihak berperkara. 2. Menengahi (tussenkomst) – bersikap membela kepentingan sendiri.

(3)

KUMULASI GUGATAN

1. Kumulasi Subjektif ~ Penggabungan dari subjeknya – syarat tuntutan-tutntutan memiliki koneksitas 2. Kumulasi Objektif ~ tidak diperkenankan Penggabungan pemeriksaan acara khusus dan acara biasa;

tuntutan yang berbeda wewenang relatifnya; dan tuntutan mengenai bezit dan tuntutan mengenai eigendom.

 Gugatan Perwakilan Kelompok (class action) ~ gugatan untuk diri sendiri sekaligus mewakili

kelompok yang memiliki fakta, dasar hukum dan tergugat yang sama – misalnya perkara pencemaran lingkungan – surat gugatanya diatur dalam Pasal 3 Peraturan MA Nomor 1/2002.

WEWENANG MENGADILI

1. Wewenang Mutlak (kompetensi absolut) ~ pengadilan memiliki wewenang perkara jenis tertentu dan tingkatan tertentu mutlak tidak bisa dilakukan oleh pengadilan lain.

2. Wewenang relatif (kompetensi relatif/nisbi) ~ wewenang mengadili Pengadilan Negeri berdasarkan daerah hukumnya.

3. Wewenang Nisbi Pengadilan Negeri dalam Pasal 118 HIR/142 RBg mengajukan gugatan kepada pengadilan negeri dalam daerah hukum :

 tempat tinggal tergugat

 jika tergugat lebih dari dua orang, dpilih salah satu tempat tinggal tergugat.

 jika tempat tinggal tergugat tidak diketahui diajukan pada tempat tinggal tergugat

 jika objek gugatan benda tetap (tidak bergerak) gugatan diajukan pada tempat benda tersebut terletak, atau jika terpisah daerah hukumnya dapat dipilih salah satu yang dikehendaki penggugat.

 jika sudah ditetapkan tempat berdasarka suatu akta

SITA JAMINAN

 Conservatoir beslaag - sita jaminan barang milik tergugat

 Revindicatoir beslag ~ sita jaminan barang milik penggugat

JAWABAN TERGUGAT : EKSEPSI

Eksepsi (tanggkisan) –tidak langsung mengenai pokok perkara –

(4)

Dengan demikian keberatan yang diajukan dalam bentuk eksepsi tidak ditujukan dan tidak menyinggung bantahan terhadap pokok perkara (verweer ten principale).

1. Eksepsi kompetensi

A. Tidak berwenang mengadili secara absolut

Kompetensi absolut berkaitan dengan kewenangan absolut 4 (empat) lingkungan pengadilan

(Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Agama, dan Peradilan Militer), Peradilan Khusus (Arbitrase, Pengadilan Niaga, dan lain-lain).

B. Tidak berwenang mengadili secara relative

Kompetensi relatif berkaitan dengan wilayah hukum dari suatu pengadilan dalam satu

lingkungan peradilan yang sama, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 118 Herziene Inlandsch Reglement (“HIR”)

 Menurut Pasal 134 HIR maupun Pasal 132 Reglement op de Rechsvordering (“Rv”), eksepsi

kewenangan absolut dapat diajukan oleh tergugat setiap saat selama proses pemeriksaan berlangsung di persidangan tingkat pertama sampai sebelum putusan dijatuhkan. Sedangkan menurut Pasal 125 ayat (2) dan Pasal 133 HIR eksepsi tentang kompetensi relatif diajukan bersamaan dengan pengajuan jawaban pertama terhadap materi pokok perkara. Tidak terpenuhinya syarat tersebut mengakibatkan hak tergugat untuk mengajukan eksepsi relatif menjadi gugur. Pasal 136 HIR memerintahkan hakim untuk memeriksa dan memutus terlebih dahulu pengajuan eksepsi kompetensi tersebut sebelum memeriksa pokok perkara. Penolakan atas eksepsi kompetensi dituangkan dalam bentuk putusan sela (Interlocutory), sedangkan pengabulan eksepsi kompetensi, dituangkan dalam bentuk bentuk

putusan akhir (Eind Vonnis). 2. Eksepsi syarat formil

a. Surat kuasa khusus tidak sah

Surat kuasa khusus dapat dinyatakan tidak sah karena sebab-sebab tertentu, misalnya suarat kuasa bersifat umum (Putusan Mahkamah Agung no.531 K/SIP/1973), surat kuasa tidak mewakili syarat formil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 HIR, surat kuasa dibuat bukan atas nama yang berwenang (Putusan Mahkamah Agung no. 10.K/N/1999).

b. Error in Persona

Suatu gugatan/permohonan dapat dianggap error in persona apabila diajukan oleh anak dibawah umur (Pasal 1330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”)), mereka yang berada dibawah pengampuan/curatele (Pasal 446 dan Pasal 452 KUH Perdata), seseorang yang tidak memiliki kedudukan hukum/legal standing untuk mengajukan gugatan (persona standi in judicio). c. Nebis in Idem

Nebis in Idem adalah sebuah perkara yang memiliki para pihak yang sama, obyek yang sama, dan materi pokok yang sama sehingga perkara tersebut tidak dapat diperiksa kembali.

d. Gugatan Prematur

Suatu gugatan/permohonan disebut prematur apabila ada faktor hukum yang menangguhkan adanya gugatan/permohonan tersebut, misalnya gugatan waris disebut prematur jika pewaris belum meninggal dunia.

e. Obscuur Libel

(5)

 hukum yang menjadi dasar gugatan,

 ketidakjelasan mengenai objek gugatan, misalnya dalam hal tanah tidak disebutkan luas atau letak atau batas dari tanah tersebut.

 petitum yang tidak jelas, atau

 terdapat kontradiksi antara posita dan petitum

Menurut Pasal 125 ayat (2) jo. Pasal 133 dan Pasal 136 HIR eksepsi lain dan eksepsi kompetensi relatif hanya dapat diajukan secara terbatas, yaitu pada jawaban pertama bersama sama dengan bantahan pokok perkara. Tidak terpenuhinya syarat tersebut mengakibatkan hak tergugat untuk mengajukan eksepsi menjadi gugur. Berdasarkan Pasal 136 HIR penyelesaian eksepsi lain diluar eksepsi kompetensi diperiksa dan diputus bersama-sama dengan pokok perkara. Dengan

demikian pertimbangan dan amar putusan mengenai eksepsi dan pokok perkara, dituangkan bersama secara keseluruhan dalam putusan akhir. Apabila eksepsi dikabulkan maka putusan bersifat negatif, sedangkan apabila eksepsi ditolak maka putusan bersifat positif berdasarkan pokok perkara.

JAWABAN YANG LANGSUNG MENGENAI POKOK PERKARA

A. konvensi (gugatan penggugat awal) B. rekonvensi

 Dalam hukum acara perdata gugatan rekonvensi ini dikenal dengan “gugatan balik”. Gugatan rekonvensi dapat diajukan untuk mengimbangi gugatan penggugat. Gugatan rekonvensi dapat diperiksa bersama-sama dengan gugatan konvensi sehingga akan menghemat biaya dan waktu, mempermudah acara pembuktian, dan menghindarkan putusan yang saling bertentangan satu sama lain.

 Pasal 132 huruf (a) Herziene Inlandsch Reglement (“HIR”) mendefinisikan rekonvensi adalah gugatan yang diajukan tergugat sebagai gugatan balasan terhadap gugatan yang diajukan penggugat kepadanya. Gugatan rekonvensi tersebut diajukan tergugat kepada Pengadilan Negeri, pada saat berlangsung proses pemeriksaan gugatan yang diajukan penggugat. Pasal 224 Reglement op de Rechsvordering (“Rv”) juga memberikan definisi atas gugatan rekonvensi. Gugatan rekonvensi adalah gugatan balik yang diajukan tergugat terhadap penggugat dalam suatu proses perkara yang sedang berjalan.

 Syarat materil gugatan rekonvensi berkaitan dengan intensitas hubungan antara materi gugatan konvensi dengan gugatan rekonvensi. Peraturan perundang-undangan tidak mengatur mengenai syarat materil gugatan rekonvensi. Ketentuan Pasal 132 huruf (a) HIR hanya berisi penegasan bahwa:

 tergugat dalam setiap perkara berhak mengajukan gugatan rekonvensi;

 tidak disyaratkan antara keduanya harus mempunyai hubungan erat atau koneksitas yang substansial.

 Walaupun tidak terdapat pengaturan mengenai syarat harus adanya koneksitas antara gugatan rekonvensi dengan konvensi, ternyata dalam prakteknya, pengadilan cenderung menerapkannya. Seolah-olah koneksitas merupakan syarat materil gugatan rekonvensi. Oleh karena itu, gugatan rekonvensi baru dianggap sah dan dapat diterima untuk diakumulasi dengan gugatan konvensi, apabila terpenuhi syarat:

(6)

 hubungan pertautan itu harus sangat erat, sehingga penyelesaiannya dapat dilakukan secara efektif dalam satu proses dan putusan.

 Salah satu tujuan pokok sistem rekonvensi adalah untuk menyederhanakan proses serta sekaligus untuk menghemat biaya dan waktu. Sehingga memperbolehkan pengajuan gugatan rekonvensi yang tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan gugatan rekonvensi, tidak akan menyederhanakan proses pemeriksaan karena memerlukan perlakuan khusus dan tersendiri. Oleh karena itu, agar tujuan yang diamanatkan dalam sistem rekonvensi ini (Pasal 132 huruf (a) HIR) tidak menyimpang dari arah yang dicita-citakan, sedapat mungkin gugatan rekonvensi mempunyai koneksitas yang substansial dan relevan dengan gugatan konvensi. Namun, prinsip ini tidak boleh mengurangi hak tergugat untuk mengajukan gugatan rekonvensi yang bersifat berdiri sendiri yang benar-benar terlepas kaitannya dengan gugatan konvensi.

 Pada dasarnya eksistensi gugatan rekonvensi tidak tergantung (asesor) pada gugatan konvensi dan dapat berdiri sendiri serta dapat diajukan secara terpisah dalam proses penyelesaian yang berbeda. Hanya secara eksepsional hukum memberikan hak kepada tergugat menggabungkan gugatan rekonvensi kedalam gugatan konvensi.

 Dalam hal terdapat hubungan erat atau koneksitas antara gugatan konvensi dengan rekonvensi, dan putusan yang dijatuhkan atas gugatan konvensi bersifat negatif yaitu gugatan tidak dapat diterima, dengan alasan gugatan mengandung cacat formil (eror in personal, obscuur libel, tidak berwenang mengadili, dan lain sebagainya), maka berakibat pada putusan rekonvensi asesor mengikuti putusan konvensi. Dengan demikian, oleh karena putusan konvensi menyatakan gugatan tidak dapat diterima, dengan sendirinya menurut hukum putusan rekonvensi juga harus dinyatakan tidak dapat diterima.

 Namun, dalam hal lain, apabila terdapat gugatan rekonvensi tidak mempunyai hubungan erat atau koneksitas dengan gugatan konvensi, kemudian gugatan konvensi dinyatakan tidak dapat diterima atas alasan cacat formil, maka gugatan rekonvensi tidak tunduk mengikuti putusan konvensi tersebut. Materi gugatan rekonvensi tetap dapat diperiksa dan diselesaikan, meskipun gugatan konvensi dinyatakan tidak dapat diterima, apabila secara objektif tidak terdapat hubungan atau koneksitas antara keduanya.

 Replik = jawaban penggugat terhadap jawaban tergugat

 Duplik = jawaban tergugat terhadap replik

Dalam hukum acara perdata, setiap orang dan/atau badan hukum yang digugat oleh

penggugat di pengadilan, disebut sebagai tergugat dan diberikan hak untuk mengajukan jawaban dan bantahan terhadap pokok perkara dalam gugatan penggugat tersebut.

Bantahan yaitu upaya tangkisan atau pembelaan yang diajukan tergugat terhadap pokok perkara. Pengertian ini dapat pula diartikan:

 Jawaban tergugat mengenai pokok perkara;

 Bantahan yang langsung ditujukan tergugat terhadap pokok perkara.

 Intisari (esensi) dari bantahan terhadap pokok perkara, berisi alasan dan penegasan yang sengaja dibuat dan dikemukakan tergugat, baik secara lisan maupun secara tulisan dengan maksud untuk menyanggah atau menyangkal kebenaran dalil gugatan yang dituangkan tergugat dalam jawabannya. Dengan kata lain, bantahan terhadap pokok perkara disampaikan dalam jawaban tergugat untuk menolak dalil gugatan penggugat.

(7)

 Berkaitan erat dengan isi jawaban, maka jawaban tergugat dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

HAL-HAL YANG TAK PERLU DIBUKTIKAN

 sesuatu yang diakui pihak lawan

 yang dilihat sendiri oleh hakim

 yang diketahui oleh umum (notoire feiten)

 yang diketahui oleh hakim karena pengetahuannya.

Beban pembuktian berdasarkan pedoman Pasal 163 HIR/Pasal 283 RBg/Pasal 1865 BW yaitu :

“yang megakui haknya atau mengatakan peristiwa untuk menegaskan haknya atau untuk membantah adanya hak orang lain, dia harus membuktikan”

ALAT-ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA (PASAL 164 HIR/PASAL 284 RBG/PASAL 1866 BW)

 Tulisan

 Saksi-saksi

 Persangkaan

 Pengakuan

 Sumpah

Putusan Pengadilan = pernyataan untuk menyelesaikan atau mengakhiri perkara perdata.

SUSUNAN DAN ISI PUTUSAN

1. Kepala Putusan ~ berbunyi : “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004).

2. Identitas pihak-pihak yang berperkara ~ identitas pihak penggugat, tergugat dan turut tergugat harus dimuat secara jelas

3. Pertimbangan (alasan-alasan) ~ Pertimbangan tentang duduk perkaranya (feitelijke gronden) dan Pertimbangan tentang hukumnya (rechtsgronden),

4. Amar Putusan (diktum) ~ jawaban terhadap petitum dalam gugatan penggugat.

UPAYA HUKUM MELAWAN PUTUSAN PENGADILAN

1. Perlawanan (Verzet) ~ objeknya putusan verstek – tenggang waktu pengajuan 14 hari.

(8)

3. Kasasi ~ objeknya Putusan Pengadilan Tinggi >> permohonan kasasi di daftarkan dan membayar biaya perkara ke panitera pengadilan negeri pada tingkat pertama (tenggang waktu 14 hari) dan penyampaian mememori kasasi oleh pemohon (tenggang waktu 7 hari >> pemberitahuan tertulis kepada pihak lawan (tenggang waktu 7 hari) -) – isi memori kasasi adalah memuat alasan-alasan bahwa judex facti tidak berwewenang dalam putusannya atau melampaui batas wewenangnya, lalai tidak memenuhi syarat-syarat peraturan perundang-undangan, atau judex fakti salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku.

4. Peninjauan Kembali ~ objek putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap – dasar pengajuan : apabila putusan didasarkan suatu kebohongan atau didasarkan bukti-bukti palsu; setelah perkara diputus ditemukan surat-surat bukti baru; dikabulkan sesuatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari yang dituntut; apabila sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa

dipertimbangkan sebab-sebabnya; apabila pihak-pihak yang sama mengenai sesuatu soal, dasar, pengadilan, atau tingkatan yang sama telah diberikan putusan yang bertentangan dengan satu sama lain; dan terdapat khehilafan hakim/seuatu kekeliruan yang nyata – tenggang waktu 180 hari (Pasal 67 UU Nomor 14/1985).

5. Derdenverjet ~ Perlawanan pihak ketiga bukan pihak dalam perkara yang merasa dirugikan misalnya terhadap sita eksekutorial (executoir beslag) diatur dalam Pasal 208 jo. Pasal 207 HIR/Pasal 228 jo. Pasal 227 RBg, dan perlawanan terhadap sita jaminan (conservatoir beslag) – diajukan kepengadilan negeri yang memeriksa perkara dengan membuat gugatan terhadap pihak-pihak yang berperkara.

PUTUSAN MA DALAM PEMERIKSAAN KASASI

 Pemohon kasasi tidak dapat diterima jika permohonan telah lewat waktu; tidak menyampaikan memori kasasi/memori kasasi terlambat disampaikan; dan belum mengajukan upaya hukum lain (verzet dan banding)

 Permohonan kasasi ditolak jika alasan-alasan kasasi dalam memori kasasi semata mata karena penilaian terhadap pembuktian (fakta-fakta) yang mana batas pemeriksaan mengenai pembuktian berakhir pada tingkat banding sedangkan hal tersebut bukan wewenang MA

 Permohonan Kasasi dikabulkan jika alasan-alasan permohonan kasasi dalam memori kasasi dibenarkan oleh MA, dan MA membatalkan putusan yang dimohonkan kasasi.

SURAT KUASA

Dalam Hukum Acara Perdata di Indonesia, apabila seseorang ingin mengajukan suatu gugatan perdata di pengadilan negeri mengenai permasalahan hukum yang berkaitan dengan pemenuhan prestasi dalam perjanjian atau pun perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang atau badan hukum terhadap dirinya, dan dia bermaksud menunjuk seorang atau lebih advokat sebagai penerima kuasanya dalam mewakili dan/atau memberikan bantuan hukum pada proses pemeriksaan perkara di persidangan, maka orang tersebut harus memberikan kuasa kepada advokat yang ditunjuk dalam bentuk Surat Kuasa Khusus yang dibuat dan ditandatangani serta diperuntukkan khusus untuk itu.

Hal pemberian Kuasa dengan Surat Kuasa Khusus yang demikian ini, berlaku pula bagi pihak yang digugat oleh pihak lain, yang pada akhirnya diwakili oleh seorang advokat sebagai penerima kuasa.

(9)

1. Kuasa secara Lisan;

 Kuasa ini dinyatakan secara lisan oleh Penggugat di hadapan Ketua Pengadilan Negeri, dan

pernyataan pemberian kuasa secara lisan tersebut dinyatakan dalam catatan gugatan yang dibuat oleh Ketua Pengadilan Negeri.

2. Kuasa yang ditunjuk dalam Surat Gugatan;

 Penggugat dalam surat gugatannya, dapat langsung mencantumkan dan menunjuk Kuasa Hukum yang dikehendakinya untuk mewakili dalam proses pemeriksaan perkara. Dalam praktek, cara penunjukan seperti itu tetap saja didasarkan atas Surat Kuasa Khusus yang telah dicantumkan dan dijelaskan pada surat gugatan.

3. Surat Kuasa Khusus.

 Pengertian dan definisi dari Surat Kuasa Khusus tidak di atur secara jelas dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) maupun HIR, akan tetapi dapat diikhtisarkan esensi dari Surat Kuasa Khusus yaitu : (i) yang meliputi pencantuman kata-kata “Khusus” dalam surat kuasa, (ii) yang berisikan pengurusan kepentingan tertentu pemberian kuasa yang dibuat dan ditandatangani khusus untuk itu. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 1795 KUH Perdata.

 Berkaitan dengan pengurusan perkara perdata di pengadilan negeri oleh seorang advokat sebagai penerima kuasa, maka hal-hal yang perlu diperhatikan oleh seorang Kuasa Hukum dalam pemberian Surat Kuasa Khusus adalah :

 Identitas para pihaknya;

 Pokok dan obyek sengketanya;

 Wilayah kewenangan pengadilan tempat gugatan diajukan;

 Penyebutan kata-kata “KHUSUS” dan klausul khususnya;

 Hak-hak penerima Kuasa, yaitu hak substitusi dan hak retensi;

 Tanggal dibuatnya Kuasa Khusus;

 Tanda tangan para pihaknya, sebagai persetujuan.

Perbedaa n

Surat Kuasa Khusus Surat Kuasa Umum

Dasar Hukum

Pasal 1795 KUH Perdata Pasal 1796 KUH Perdata

Judul Mencantumkan kata-kata “Surat Kuasa Khusus”

Mencantumkan kata-kata “Surat Kuasa Umum”

Isi Meliputi 1 (satu) kepentingan tertentu atau lebih dari pemberi kuasa yang diperinci mengenai hal-hal yang boleh dilakukan oleh penerima kuasa

Meliputi perbuatan- perbuatan segala pengurusan kepentingan dari pemberi kuasa, misalnya : memindah tangankan benda, meletakan Hak Tanggungan, membuat perdamaian.

LARANGAN MENGAJUKAN GUGATAN REKONVENSI

(10)

mencantumkan pengecualian, berupa larangan mengajukan gugatan rekonvensi terhadap gugatan konvensi dalam perkara tertentu.

 Larangan pengajuan gugatan rekonvensi yaitu:

1. Larangan mengajukan gugatan rekonvensi kepada diri orang yang bertindak berdasarkan status kualitas

 Larangan ini diatur dalam Pasal 132a ayat (1) ke 1 HIR yang tidak memperbolehkan pengajuan gugatan rekonvensi kepada diri pribadi penggugat, sedangkan dia tengah bertindak sebagai

penggugat mewakili kepentingan pemberi kuasa (principal). Contohnya A bertindak sebagai kuasa B mengajukan gugatan kepada C tentang sengketa hak milik tanah. A mempunyai utang kepada C. Dalam peristiwa semacam ini undang-undang melarang atau tidak membenarkan C mengajukan gugatan rekonvensi kepada A mengenai utang tersebut. Sengketa ini harus diajukan oleh C secara tersendiri kepada A melalui prosedur gugatan perdata biasa.

2. Larangan mengajukan gugatan rekonvensi di luar yurisdiksi Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara

 Larangan ini diatur dalam Pasal 132a ayat (1) ke 2 HIR, namun larangan dalam pasal ini hanya dapat diterapkan sepanjang mengenai pelanggaran yurisdiksi absolut, tetapi dapat ditolerir apabila yang dilanggar adalah kompetensi relatif. Contohnya, A menggugat B atas sengketa jual beli tanah. Terhadap gugatan tersebut, B mengajukan gugatan rekonvensi mengenai sengketa hibah. Tindakan B tersebut tidak dapat dibenarkan, karena sesuai dengan ketentuan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sengketa hibah bagi yang beragama Islam menjadi yurisdiksi absolut lingkungan peradilan agama.

Gugatan rekonvensi yang melanggar kompetensi relatif dapat dibenarkan demi tegaknya asas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Contohnya, A berdomisili di Bogor mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Bandung kepada B yang bertempat tinggal di Bandung. Dalam kasus tersebut, B dibenarkan mengajukan gugatan rekonvensi kepada A meskipun hal ini melanggar kompetensi relatif berdasar asas actor sequitur forum rei Pasal 118 ayat (1) HIR, yang menggariskan, gugatan harus

diajukan di daerah hukum Pengadilan Negeri tempat tinggal tergugat. Berarti secara konvensional, jika B hendak menggugat A sesuai dengan ketentuan Pasal 118 ayat (1) HIR, harus diajukan ke Pengadilan Negeri Bogor. Akan tetapi untuk tegaknya pelaksanaan sistem peradilan yang efektif dan efisien, B dibenarkan mengajukan gugatan rekonvensi di Pengadilan Negeri Bandung, meskipun terjadi pelanggaran yurisdiksi relatif.

3. Gugatan rekonvensi terhadap eksekusi

 Larangan gugatan rekonvensi yang menyangkut sengketa perlawanan terhadap eksekusi putusan, contohnya A mengajukan perlawanan terhadap eksekusi putusan peradilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Terhadap gugatan perlawanan tersebut, pihak terlawan tidak dibenarkan mengajukan gugatan rekonvensi. Alasan larangan tersebut, gugatan pelawan terhadap putusan eksekusi dianggap sebagai perkara yang sudah selesai diputus persengketaannya.

 Tetapi Pasal 379 Reglement op de Rechsvordering (“Rv”), menyatakan tata cara pemeriksaan

(11)

tetapi, apabila gugatan perlawanan berbentuk partay verzet yang sifat gugatannya murni mengenai sengketa eksekusi dilarang mengajukan gugatan rekonvensi.

4. Larangan mengajukan gugatan rekonvensi pada tingkat banding

 Larangan ini ditegaskan dalam Pasal 132 a ayat (2) HIR. Pasal 132 a ayat (2) HIR mengatur bahwa apabila dalam proses pemeriksaan tingkat pertama, yaitu di Pengadilan Negeri tidak diajukan gugatan rekonvensi, hal tersebut tidak dapat diajukan dalam tingkat banding di Pengadilan Tinggi. Sehubungan dengan larangan ini, apabila tergugat mempunyai tuntutan kepada penggugat, tetapi lalai mengajukannya sebagai gugatan rekonvensi pada saat proses pemeriksaan berlangsung di Pengadilan Negeri, jalan keluar yang harus ditempuh adalah dengan mengajukan gugatan perkara biasa.

5. Larangan mengajukan gugatan rekonvensi pada tingkat kasasi

 Tidak dijumpai ketentuan undang-undang yang melarang secara tegas pengajuan gugatan rekonvensi dalam tingkat kasasi. Dengan demikian, berdasarkan prinsip penafsiran a contrario boleh

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini diharapkan dapat membantu para pelaku pariwisata dan pemangku kepentingan, baik pemerintah maupun masyarakat dalam mengambil kebijakan yang dianggap

Komponen DSS Subsystems: Data management Dikelola oleh DBMS Model management Dikelola oleh MBMS User interface. Knowledge Management and organizational

Hipotesis nol yang diuji dalam penelitian ini sebagai berikut: (a) iklim organisasi sekolah tidak memiliki hubungan yang signiikan dengan kepuasan kerja guru SD Katolik di

[r]

Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang

Dengan demikian, MPR di masa yang akan datang tidak dapat lagi menerbitkan Ketetapan MPR yang bersifat mengatur (regaling), maka Ketetapan MPR yang selama Ini berada dalam tata

Muara dari semua itu yang merupakan harapan kita semua adalah terciptanya “Indonesia berdaulat secara politik, mandiri dalam bidang ekonomi

Semua variabel yang digunakan dalam penelitian ini (pendapatan permanen, pendapatan semen- tara, umur kepala rumah tangga, pendidikan kepala rumah tangga, jenis pekerjaan,