• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PELAKSANAAN GOOD GOVERNANCE DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI KOTA BANDAR LAMPUNG (STUDI KASUS DI BUKIT SUKAMENANTI, KECAMATAN KEDATON, BANDAR LAMPUNG)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS PELAKSANAAN GOOD GOVERNANCE DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI KOTA BANDAR LAMPUNG (STUDI KASUS DI BUKIT SUKAMENANTI, KECAMATAN KEDATON, BANDAR LAMPUNG)"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

ANALYSIS OF GOOD GOVERNANCE IMPLEMENTATION ON ENVIRONMENTAL MANAGEMENT IN KOTA BANDAR LAMPUNG (CASE STUDY ON BUKIT SUKAMENANTI, KECAMATAN KEDATON,

BANDAR LAMPUNG)

By

MUHAMAD FAIZAL

The development of Kota Bandar Lampung resulted in

various environmental issues. One of them is the hills destruction caused by mining, including Bukit Sukamenanti, Kecamatan Kedaton, Bandar Lampung. A paradigm shift from government towards governance makes the state or the government is not the only actor in solving environmental problems but also the private sector and civil society.

This study emphasizes on the application of the principles of good

governance by the respective stakeholders in environmental

management in Sukamenanti Hill, Kedaton District, Bandar Lampung. In uncovering this problem researcher use the principles of good governance expressed by Sedarmayanti. This research is a descriptive study with qualitative approach. Data were collected through interviews, observation and documentation. Data analysis was performed with data reduction, data presentation and conclusion/verification.

In this research showed that on the principle of accountability Management and Environmental Control Agency (BPPLH) Bandar Lampung’s accountability to the public remains low. On the principle of transparency, access and public scrutiny of environmental management policies are still low, although already there is a mechanism of checks and balances between the BPPLH and Commission III of DPRD Bandar Lampung. On the principle of participation already found the involvement of communities and NGOs in solving the problems in Sukamenanti Hill. On the principle of the rule of law is still not found an adequate policy regarding hill management in Bandar Lampung. It can be concluded that the application of the principles of good governance by the respective stakeholders is still not good.

(2)

ABSTRAK

ANALISIS PELAKSANAAN GOOD GOVERNANCE DALAM

PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI KOTA BANDAR LAMPUNG (STUDI KASUS DI BUKIT SUKAMENANTI, KECAMATAN KEDATON,

BANDAR LAMPUNG)

Oleh

MUHAMAD FAIZAL

Perkembangan Kota Bandar Lampung mengakibatkan munculnya berbagai permasalahan lingkungan hidup. Salah satunya adalah perusakan bukit akibat penambangan, termasuk Bukit Sukamenanti, Kecamatan Kedaton, Bandar Lampung. Perubahan paradigma dari government menuju governance menjadikan negara atau pemerintah bukanlah satu-satunya aktor dalam penyelesaian permasalahan lingkungan hidup melainkan juga swasta dan masyarakat madani.

Penelitian ini menitik beratkan penerapan prinsip-prinsip good governance oleh masing-masing pemangku kepentingan (stakeholders) dalam pengelolaan lingkungan hidup di Bukit Sukamenanti, Kecamatan Kedaton, Kota Bandar Lampung. Dalam mengungkap permasalahan ini peneliti menggunakan prinsip good governance yang diungkapkan oleh Sedarmayanti. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Data dikumpulkan melalui wawancara, observasi dan dokumentasi. Analisis data dilakukan dengan reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan/verifikasi.

Dalam penelitian ini diketahui bahwa pada prinsip akuntabilitas pertanggungjawaban Badan Pengelolaan dan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPPLH) Kota Bandar Lampung kepada publik masih rendah. Pada prinsip transparansi akses dan pengawasan masyarakat terhadap kebijakan pengelolaan lingkungan hidup masih rendah, meskipun sudah terdapat mekanisme check and balance antara BPPLH dengan Komisi III DPRD Kota Bandar Lampung. Pada prinsip partisipasi sudah terdapat keterlibatan dari masyarakat dan LSM dalam penyelesaian permasalahan di Bukit Sukamenanti. Pada prinsip supremasi hukum masih belum terdapat kebijakan pengelolaan bukit di Bandar Lampung yang memadai. Dapat disimpulkan bahwa penerapan prinsip-prinsip good governance oleh masing-masing pemangku kepentingan (stakeholders) masih kurang baik

(3)

ANALISIS PELAKSANAAN

GOOD GOVERNANCE

DALAM

PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI KOTA BANDAR LAMPUNG

(

Studi Kasus di Bukit Sukamenanti, Kecamatan Kedaton,

Bandar Lampung

)

Oleh:

MUHAMAD FAIZAL

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar

SARJANA ADMINISTRASI NEGARA

Pada

Jurusan Ilmu Administrasi Negara

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)

ANALISIS PELAKSANAAN

GOOD GOVERNANCE

DALAM

PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI KOTA BANDAR LAMPUNG

(

Studi Kasus di Bukit Sukamenanti, Kecamatan Kedaton,

Bandar Lampung

)

(Skripsi)

Oleh

MUHAMAD FAIZAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)

DAFTAR BAGAN

Bagan Halaman

(6)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

Gambar 1 Kondisi Bukit Sukamenanti ... 54

Gambar 2 Kondisi Situs BPPLH Kota Bandar Lampung ... 84

Gambar 3 Bagian Situs BPPLH Yang Tidak Dapat Diakses ... 85

Gambar 4 Kondisi Situs Walhi Lampung ... 85

Gambar 5 Walhi Memberikan Bantuan Advokasi Kepada Masyarakat ... 90

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR BAGAN DAFTAR GAMBAR

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Good Governance ... 10

1. Konsep Good Governance ... 10

2. Pengertian Good Governance ... 13

3. Aktor-aktor Good Governance ... 14

4. Prinsip-prinsip Good Governance ... 19

5. Pentingnya menegakkan Tata Pemerintahan Yang Baik (Good Governance) ... 26

B. Tinjauan Tentang Lingkungan Hidup ... 30

1. Pengertian Lingkungan Hidup ... 30

2. Isu-isu Lingkungan Hidup ... 32

3. Dasar Hukum Lingkungan Hidup ... 34

4. Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan ... 35

C. Kerangka Pikir ... 37

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Dan Tipe Penelitian ... 40

B. Fokus Penelitian ... 41

C. Lokasi Penelitian ... 43

D. Teknik Pengumpulan Data ... 44

E. Analisis Data ... 46

(8)

B. Gambaran Umum Badan Pengelolaaan dan Pengendalian Lingkungan

Hidup (BPPLH) Bandar Lampung ... 55

C. Gambaran Umum Walhi Daerah Lampung ... 69

V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 72

1. Akuntabilitas ... 73

2. Transparansi ... 81

3. Partisipasi ... 86

4. Supremasi Hukum Aparat Birokrasi ... 91

B. Pembahasan ... 96

1. Akuntabilitas ... 96

2. Transparansi ... 100

3. Partisipasi ... 102

4. Supremasi Hukum Aparat Birokrasi ... 104

VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 106

B. Saran ... 107

(9)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

(10)
(11)
(12)

“Barang siapa menempuh jalan untuk

mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan

baginya jalan ke surga.”

- H.R Muslim

“The greatest threat to our planet is the belief

that someone else will save it.”

- Robert Swan

“Waktu terbaik untuk menanam pohon

adalah 20 tahun yang lalu. Waktu terbaik

berikutnya adalah hari ini.”

- Pepatah Cina

"It does not matter to me how strong or smart

one is. It only matters what one can do."

- M’aiq the Liar

“Tak ada yang lebih memuaskan dari jerih

payah yang membuahkan hasil.”

(13)

PERSEMBAHAN

Segala puji bagi Allah SWT tuhan semesta alam karena atas curahan rahmat, dan nikmat sehat jasmani serta rohani, dapat ku selesaikan karyaku ini.

Shalawat serta salam selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, yang membawa peradaban dunia dari zaman jahiliyah menjadi zaman yang terang.

Kupersembahkan hasil karyaku ini untuk:

Ayah dan Ibuku tercinta

Yang selalu mengupayakan yang terbaik bagi anak-anaknya, sehingga terkadang melupakan kebutuhan diri sendiri. Yang selalu mendukung dan mendoakan anak-anaknya agar suatu hari anak-anak-anaknya bisa menjadi orang yang sukses dan berguna

bagi keluarga, bangsa, negara dan agama.

Kedua Adik kembarku tersayang

Yang selalu menjadi sumber motivasi, semoga abangmu ini mampu menjadi teladan yang baik bagi kalian.

Teman-temanku tersayang

Baik yang ada didekatku maupun yang terpisah jarak, terimakasih untuk inspirasi, motivasi maupun keceriaan yang kalian hadirkan.

(14)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Muhamad Faizal, lahir di

Bandar Lampung pada tanggal 17 Februari 1994. Penulis

merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari

pasangan Bapak Didik Susianto dan Ibu Fauziah Alhadad.

Penulis mengawali jenjang pendidikan dari Taman

Kanak-Kanak Padjajaran Bandar Lampung pada tahun

1998-1999. Setelah itu penulis melanjutkan pendidikan di SD Negeri 2 Kedamaian

dan lulus pada tahun 2005. Selanjutnya penulis melanjutkan bersekolah di SMP

Negeri 2 Bandar Lampung dan lulus pada tahun 2008. Kemudian penulis

melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 2 Bandar Lampung dan lulus pada tahun

2011. Pada tahun 2011 penulis diterima sebagai mahasiswa pada jurusan Ilmu

Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung

melalui jalur SNMPTN Undangan.

Semasa menjalani pendidikan SMP dan SMA, penulis aktif dalam kegiatan

kesiswaan seperti OSIS dan Pramuka. Diantaranya penulis pernah menjadi Wakil

Ketua OSIS SMA Negeri 2 Bandar Lampung tahun 2009. Penulis juga pernah

mewakili kontingen Indonesia dalam kegiatan kepramukaan seperti Jamboree Johor

(15)

SANWACANA

Alhamdulillahirrabil’alamin segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang

telah melimpahkan rahmat, hidayah serta karunia-Nya kepada penulis sehingga

skripsi ini dapat terselesaikan. Tak lupa shalawat serta salam senantiasa tercurah

kepada Nabi Besar Muhammad SAW, manusia yang telah membawa perubahan

besar bagi kehidupan manusia hingga akhir zaman. Atas segala kehendak dan kuasa

Allah SWT, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul:

”Analisis Pelaksanaan Good Governance Dalam Pengelolaan Lingkungan

Hidup di Kota Bandar Lampung (Studi Kasus di Bukit Sukamenanti,

Kecamatan Kedaton, Bandar Lampung)”, sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Administrasi Negara (SAN) pada Jurusan Ilmu

Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas

Lampung.

Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini karena

keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang peneliti miliki. Pada kesempatan

ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang setulusnya kepada pihak-pihak

yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini antara lain :

1. Bapak Dr. Bambang Utoyo, M.Si selaku pembimbing utama penulis yang

(16)

2. Ibu Devi Yulianti, S.AN. MA selaku pembimbing pembantu penulis yang

telah meluangkan waktu, tenaga, fikiran, bimbingan, pengarahan, saran

serta masukan yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini.

3. Bapak Dr. Noverman Duadji, M.Si. selaku dosen pembahas penulis yang

telah memberikan kritik, saran, dan masukan yang baik kepada penulis

dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak Simon Sumanjoyo H, S.A.N., M.A.P selaku dosen pembimbing

akademik penulis. Terima kasih atas arahan dan bimbingannya selama

penulis menjadi mahasiswa.

5. Bapak Dr.Dedy Hermawan, S.Sos.,M.Si selaku ketua jurusan Ilmu

Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Lampung.

6. Bapak Drs. Hi. Agus Hadiawan, M.Si, selaku dekan Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

7. Seluruh dosen Ilmu Administrasi Negara, terimakasih atas segala ilmu yang

telah peneliti peroleh selama proses perkuliahan semuga dapat menjadi

bekal yang berharga dalam kehidupan penulis ke depannya.

8. Ibu Nur selaku Staf Administrasi yang banyak membantu kelancaran

adminstrasi skripsi ini.

9. Pihak Badan Pengelolaan dan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPPLH)

(17)

warga Bukit Sukamenanti, Kecamatan Kedaton, Kota Bandar Lampung

yang terlibat dalam penyusunan skripsi ini.

10.Keluargaku tercinta, ayah dan ibuku serta kedua adikku yang selalu

memberi dukungan motivasi serta doa kepada penulis.

11.Viona Yelitasari yang selalu memberikan semangat dan dukungan kepada

penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

12.Muhammad Al-Rizki Ashar Maulana yang telah menjadi sahabat penulis

sejak menempuh SMP.

13.Terima kasih untuk sahabat-sahabat penulis Novi, Toto, Ahmed, Rosyid,

Deni, Fredy, Panggo, Yori, Rendy, Ade, Rinanda, Ade, Coco, David, Iksan,

Rio, Novia, Silvia, Ratu, Feby, Pebie, Ludfiana, Tami, Ekky, Popo, Tiwi,

Esa, Alisa, Yana, Iid, Ninda, Raras, Lili, Juzna, Leli, Ayu, Kristi, Lisa, Eka,

Kiyo, Danisa, Intan, Jenny, Farah, Farrah, Cindy serta seluruh angkatan

ANTI MAPIA.

14.Terima kasih untuk Geng Gembul, Rindy, Fatma, Vetty, Dara dan Shanti

yang telah memberi dukungan dan semangat kepada penulis.

15.Seluruh keluarga besar mahasiswa Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

16.Seluruh pihak yang telah membantu selama penulisan dan penyusunan

(18)

bagi kita semua. Amin.

Bandarlampung, 15 Desember 2015 Penulis

(19)
(20)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pertambahan jumlah penduduk memerlukan peningkatan bahan pangan, papan,

dan sandang demi kesejahteraan manusia. Untuk mewujudkan kesejahteraan

tersebut, dilakukan pembangunan di segala sektor. Siagian (2005:28)

menyebutkan bahwa percepatan laju pembangunan khususnya bidang ekonomi

berdampak pada terjadinya perubahan kegiatan dan struktur perekonomian dari

yang semula mengandalkan sektor pertanian berubah ke sektor industri. Pada

dasawarsa terakhir ini pembangunan dan industri yang kurang terencana mulai

menimbulkan berbagai kekhawatiran berkenaan dengan masalah kelestarian alam

dan masalah lingkungan. Keberhasilan pembangunan ekonomi dapat berpengaruh

pada meningkatnya kesejahteraan masyarakat yang berarti secara tidak langsung

akan ikut meningkatnya daya beli masyarakat dalam memenuhi berbagai

kebutuhan hidup, tetapi disisi lain ternyata juga menimbulkan pencemaran serta

kerusakan lingkungan seperti pencemaran udara yang dihasilkan oleh limbah

industri jumlahnya dari waktu ke waktu terus bertambah.

Sesuai dengan ketentuan pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan pasal 2 ayat (3) UU

Pokok Agraria, penguasaan negara atas bumi air dan kekayaan alam yang

(21)

sebesar-2

besarnya bagi kesejahteraan warga negara guna menuju tatanan masyarakat yang

adil dan makmur. Berdasarkan UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan

dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, mengamanatkan pemanfaaatan kekayaan

alam harus memerhatikan kelestarian lingkungan hidup sehingga pemanfaatannya

dapat di lanjutkan oleh generasi yang akan datang. Oleh sebab itu diperlukan

upaya dari berbagai pihak untuk mencapainya.

Mulyana dan Caturiani (2012:545) menjelaskan berkembangnya Kota Bandar

Lampung memunculkan permasalahan akibat perkembangan yang tidak sesuai

dengan tata ruang yang telah direncanakan dalam tata ruang Kota Bandar

Lampung seperti kawasan yang berubah fungsi dari kawasan konservasi menjadi

pusat pertokoan dan pemukiman. Kawasan konservasi sebagai tempat yang

dilindungi menjadi rusak dikarenakan aktivitas pertambangan yang dilakukan di

daearah tersebut tanpa memperhatikan aspek lingkungan tetapi lebih berorientasi

kepada keuntungan atau laba.

Kota Bandar Lampung sebagai Ibu Kota Provinsi Lampung idealnya bisa menjadi

percontohan bagi daerah lain di Provinsi Lampung, akan tetapi dalam pengelolaan

lingkungan lingkungan hidup belum berhasil, dimana kawasan konservasi di Kota

Bandar Lampung telah mengalami kerusakan yang cukup parah. Dengan

demikian dibutuhkan dukungan peran serta masyarakat dan stakeholder supaya

kelestarian kawasan konservasi tetap terjaga, mengingat banyak akibat yang

ditimbulkan karena rusaknya lingkungan hidup seperti dapat menimbulkan

(22)

Salah satu kawasan konservasi yang mengalami perusakan adalah bukit. Bukit

adalah suatu bentuk wilayah bentang alam yang memiliki permukaan tanah yang

lebih tinggi dari permukaan tanah di sekelilingnya namun dengan ketinggian

relatif rendah dibandingkan dengan gunung. Hal yang membedakan antara bukit

dengan gunung adalah bukit memiliki ketinggian maksimal 2000 kaki atau 600

meter diatas permukaan laut. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Whittow

(1984:352):

’’Some authorities regard eminences above 600 m (2,000 ft) as mountains, those below being referred to as hill".

Salah satu permasalahan lingkungan hidup di Kota Bandar Lampung adalah

banyaknya bukit yang rusak dieksploitasi. Dari data Wahana Lingkungan Hidup

(Walhi) Lampung, pada tahun 2008, tercatat ada 33 bukit, tetapi pada tahun 2014

hanya tersisa 11 bukit di Bandar Lampung. Artinya, dalam kurun waktu enam

tahun 22 atau sekitar 66% bukit di Bandar Lampung hilang akibat perusakan dan

penambangan. Sesuai berita dari antaralampung.com, salah satu bukit tersebut

ialah bukit Sukamenanti, Kelurahan Sukamenanti, Kecamatan Kedaton, Bandar

Lampung. Di daerah tersebut masih ditemukan lima titik penambangan di sekitar

bukit (http://www.antaralampung.com, diakses pada 11 Januari 2015).

Tabel 1 Data Bukit di Bandar Lampung

No. Nama Bukit Lokasi Bukit

1. Gunung Kunyit Kel. Bumi Waras, Kec. Bumi Waras 2. Gunung Mastur Kel. Perwata, Kec. Teluk Betung Timur 3. Gunung Bakung Kel. Sukamaju, Kec. Teluk Betung Timur 4. Gunung Sulah Kel. Gunung Sulah, Kec. Way Halim 5. Gunung Celegi Kel. Sukarame II, Kec. Teluk Betung Barat 6. Gunung Perahu Kel. Sidodadi, Kec. Kedaton

(23)

4

No. Nama Bukit Lokasi Bukit

8. Gunung Cecepoh Kel. Negeri Olok Gading, Kec. Teluk Betung Barat

9. Gunung Sari Kel. Gunung Sari, Kec. Enggal

10. Gunung Palu Kel. Negeri Olok Gading, Kec. Teluk Betung Barat

11. Gunung Depok Kel. Keteguhan, Kec. Teluk Betung Timur 12. Gunung Kucing Kel. Segalamider, Kec. Langkapura 13. Gunung Banten Kel. Sidodadi, Kec. Kedaton

14. Gunung Sukajawa Kel. Sukajawa, Kec. Tanjung Karang Barat 15. Bukit Serampok, Jaha &

Lereng

Kel. Srengsem, Panjang Selatan, dan Pidada, Kec. Panjang

16. Bukit Asam Kel. Way Lunik, Kec. Panjang 17. Bukit Pidada Kel. Way Laga, Kec. Sukabumi

18. Bukit Balau Kel. Way Gubak, Kel. Campang Raya, Kec. Sukabumi

19. Gugusan Bukit Hatta Kel. Sukamaju, Kec.Teluk Betung Timur 20. Bukit Cepagoh Kel. Negeri Olok Gading, Kec.Teluk Betung

Barat

21. Bukit Kaliawi Kel. Kaliawi, Kec.Tanjung Karang Pusat 22. Bukit Palapa I Kel. Durian Payung, Kec.Tanjung Karang Pusat 23. Bukit Palapa II Kel. Durian Payung, Kec.Tanjung Karang Pusat 24. Bukit Pasir Gintung Kel. Pasir Gintung dan Penengahan Kec.

Kedaton, Kec. Tanjung Karang Pusat & Kel. Sukajawa, Kec. Tanjung Karang Barat 25. Bukit Kaki G. Betung Kel. Beringin Raya, Kec. Kemiling

26. Bukit Sukadana Ham Kel. Sukadana Ham, Kec.Tanjung Karang Barat 27. Bukit Susunan Baru Kel. Susunan Baru, Kec.Tanjung Karang Barat 28. Bukit Sukamenanti Kel. Sukamenanti, Kec. Kedaton

29. Bukit Kelutum Kel. Kota Baru, Kec.Tanjung Karang Timur 30. Bukit Randu Kel. Kebun Jeruk, Kec.Tanjung Karang Timur 31. Bukit Langgar Kel. Campang Raya, Kec. Sukabumi

32. Bukit Camang Timur Kel. Tanjung Gading, Kec. Kedamaian 33. Bukit Camang Barat Kel. Tanjung Gading, Kec. Kedamaian

Sumber: Bukit di Bandar Lampung, Badan Pengelolaan dan Pengendalian Lingkungan Hidup Kota Bandar Lampung, 2014

Menurut Badan Pengelolaan dan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPPLH) Kota

Bandar Lampung, penggerusan bukit ini bertentangan dengan Peraturan Daerah

Kota Bandar Lampung No. 10 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah

Tahun 2011-2030 yang melarang penggerusan bukit dan gunung dalam rangka

(24)

disebutkan bahwa bukit merupakan wilayah konservasi baru dan merupakan

kawasan lindung, sehingga penggerusan merupakan hal yang ilegal.

Bukit, sebagai kawasan lindung apabila digali akan menimbulkan berbagai

dampak buruk. Kawasan yang digali umumnya lebih rawan bencana longsor,

terutama dimusim hujan. Penggalian juga berakibat ekosistem alami bukit

menjadi terganggu bahkan rusak. Di samping dampak lingkungan, pengakuan

warga setempat dan observasi awal menunjukkan kendaraan pengangkut batu

mengakibatkan kondisi jalan disekitar bukit mengalami kerusakan, selain itu juga

jalan sekitar menjadi berdebu dan dapat mengganggu pernapasan.

Berdasarkan pengamatan peneliti, permasalahan yang terjadi di Bukit

Sukamenanti, Kedaton adalah adanya keinginan dari sebagian warga untuk

melakukan penambangan di bukit tersebut dengan mengajukan usulan

pengelolaan kepada BPPLH. Hal ini dikarenakan izin pengelolaan bukit yang

lama telah habis masa berlakunya sejak 5 Oktober 2012, sementara BPPLH tidak

bersedia menindaklanjuti perizinan dikarenakan larangan penambangan bukit di

Kota Bandar Lampung.

Berdasarkan wawancara awal peneliti dengan warga sekitar, alasan warga untuk

melakukan penambangan di Bukit Sukamenanti karena menjadi penambang

merupakan satu-satunya keahlian dari banyak warga sekitar bukit, dan merupakan

satu-satunya profesi yang dimiliki. Alasan lain yang diungkapkan warga adalah

aktivitas penambangan di Bukit Sukamenanti sudah dilakukan sejak tahun

(25)

6

profesi penambang. Selain itu, dari pemilik lahan penambangan ada keinginan

untuk melakukan pembukaan lahan untuk dijadikan perumahan.

Permasalahan ini tentunya perlu untuk mendapatkan perhatian. Disatu sisi, bukit

sebagai kawasan lindung dan konservasi baru, maka perlu untuk mendapatkan

perlindungan untuk mencegah terjadinya kerusakan. Hal ini dikarenakan

lingkungan hidup merupakan kebutuhan masyarakat luas, bahkan merupakan hak.

Menanggapi itu, secara khusus pemerintah telah mengeluarkan peraturan terkait

pelestarian bukit, seperti Peraturan Daerah Kota Madya Daerah Tingkat II Bandar

Lampung Nomor 7 Tahun 1988 tentang Ketentuan Pengelolaan serta Pengaturan

Penggunaan Lereng, Bukit, Gunung dalam Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II

Bandar Lampung dan Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 10 Tahun

2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandar Lampung

Tahun 2011-2030. Sementara disisi lain, tidak dapat dipungkiri bahwa banyak

warga yang bermatapencaharian sebagai penambang bukit. Pemerintah tidak bisa

begitu saja menghentikan pekerjaan warga tanpa memberikan solusi.

Kenyataannya, warga yang menggantungkan hidup sebagai penambang di Bukit

Sukamenanti menuntut untuk mendapat perizinan dengan alasan Bukit

Sukamenanti merupakan penghasilan warga sekitar. Sebanyak 170 orang

bergantung penghasilannya dari menambang batu di Bukit Sukamenanti. Disisi

lain, Walhi Lampung selaku organisasi lingkungan hidup, menentang

penggerusan bukit yang terjadi di Bandar Lampung, khususnya Bukit

Sukamenanti karena dapat berakibat terhadap kerusakan lingkungan dan potensi

bencana alam. Selain itu, Walhi juga mendesak Pemerintah Kota Bandar

(26)

Perubahan paradigma dari government menuju governance menjadikan negara

atau pemerintah bukanlah satu-satunya aktor dalam penyelesaian permasalahan

lingkungan hidup. Aktor atau domain yang terlibat dalam good governance

meliputi: negara atau pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat madani atau civil

society. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bertanggung jawab baru

tercapai bila dalam penerapan otoritas politik, ekonomi dan administrasi ketiga

unsur tersebut memiliki jaringan dan interaksi yang setara dan sinerjik.

Pelaksanaan good governance juga harus memiliki prinsip-prinsip yang jelas.

Sedarmayanti menyebutkan prinsip utama unsur good governance yakni

akuntabilitas (pertanggunggugatan) politik, transparansi (keterbukaan), partisipasi

(melibatkan masyarakat terutama aspirasinya) dan supremasi hukum aparat

birokrasi. Dengan terpenuhinya prinsip good governance dalam penyelenggaraan

pemerintahan negara dan pembangunan nasional Indonesia, diharapkan upaya

penataan kehidupan sosial, ekonomi, dan politik akan terwujud mantap sejalan

perkembangan peradaban masyarakat madani (Sedarmayanti, 2009:289).

Dari penjelasan masalah di atas, peneliti tertarik untuk membahas keterlibatan

para pemangku kepentingan (stakeholder) dalam mencegah perusakan bukit di

Bandar Lampung, dengan judul: Analisis Pelaksanaan Good Governance Dalam

Pengelolaan Lingkungan Hidup Di Kota Bandar Lampung (Studi Kasus Di

Bukit Sukamenanti, Kecamatan Kedaton, Bandar Lampung). Peneliti merasa

perlu untuk membahas bagaimana masing-masing pemangku kepentingan

(stakeholder) dalam menjalankan prinsip-prinsip good governance. Ini

dikarenakan, penyelesaian masalah publik tidak hanya urusan pemerintah saja,

(27)

8

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka permasalahan yang

dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimanakah penerapan prinsip-prinsip good

governance oleh masing-masing pemangku kepentingan (stakeholders) dalam

pengelolaan lingkungan hidup di Bukit Sukamenanti, Kecamatan Kedaton, Kota

Bandar Lampung?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan pokok yang terdapat dalam penelitian ini, maka tujuan

peneliti adalah untuk menganalisis penerapan prinsip-prinsip good governance

oleh masing-masing pemangku kepentingan (stakeholders) dalam pengelolaan

lingkungan hidup di Bukit Sukamenanti, Kecamatan Kedaton, Kota Bandar

Lampung.

D. Manfaat Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah dikemukakan di

atas maka manfaat penelitian ini adalah:

1) Secara Teoritis

Bagi penulis penelitian ini bermanfaat untuk melatih dan mengembangkan

ilmu yang didapat dalam perkuliahan jurusan ilmu Administrasi Negara,

khususnya bidang kajian Governance and Partnership dan Kebijakan Tata

(28)

2) Secara Praktis

Hasil penelitian ini digunakan sebagai rujukan solusi bagi instansi terkait

seperti Pemerintah Daerah Kota Bandar Lampung, BPPLH Kota Bandar

Lampung dan LSM terkait sehingga dapat bermanfaat untuk mencegah

(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Good Governance

1. Konsep Good Governance

Kata governance dan government sering disalah artikan dan digunakan secara

tumpang tindih. Rewansyah (2010:80) menjelaskan bahwa meskipun antara dua

kata tersebut terdapat hubungan yang erat, tetapi pengertian yang terkandung

dalam kata governance jauh lebih luas dari kata government meskipun kata

asalnya sama, yaitu to govern. Padanan kata governance dalam Bahasa Indonesia

adalah penabdiran, berarti: pemerintahan, pengelolaan. Dasar kata dari penabdiran

adalah tadbir, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai: perihal

mengurus atau mengatur (memimpin, mengelola); pemerintahan; administrasi

negara (publik). Penabdir berarti: penyelenggara, pengurus, dan pengelola. Dalam

bahasa Indonesia umumnya kata government diterjemahkan sebagai pemerintah

atau sama maknanya dengan penabdir, namun kata penabdiran kurang familiar

ditelinga masyarakat.

Pemerintah atau government dalam bahasa Inggris diartikan sebagai: “the

authoritative direction and administration of the affairs of men/women in nation,

state, city, etc.” Atau dalam bahasa Indonesia berarti: “pengarahan dan

administrasi yang berwenang atas kegiatan orang-orang dalam sebuah negara,

(30)

Sedangkan istilah “kepemerintahan” atau dalam bahasa Inggris: ‘‘Governance“

yaitu: ’’the act, fact, manner of governing,” berarti: “tindakan, fakta, pola, dan

kegiatan atau penyelenggaraan pemerintahan.” Dengan demikian “governance”

adalah suatu kegiatan (proses), sebagaimana dikemukakan oleh Kooiman dalam

Sedarmayanti (2009:273) bahwa governance lebih merupakan:

“Serangkaian proses interaksi sosial politik antara pemerintahan dengan masyarakat dalam berbagai bidang yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat dalam intervensi pemerintah atas kepentingan-kepentingan tersebut.”

United Nations Development Program (UNDP) dalam dokumen kebijakannya

yang berjudul “Governance for sustainable human development”, seperti dikutip

oleh Sedarmayanti (2004:3) mendefinisikan kepemerintahan (governance) sebagai

berikut:

“Governance is exercise of economic, political, and administrative author to manage a country’s affair at all levels and means by which states promote social cohesion, integration, and ensure the well being of their population.”

Kepemerintahan adalah pelaksanaan kewenangan/kekuasaan di bidang ekonomi,

politik dan administratif untuk mengelola berbagai urusan negara pada setiap

tingkatannya dan merupakan instrumen kebijakan negara untuk mendorong

terciptanya kondisi kesejahteraan intergritas, dan kohesivitas sosial dalam

masyarakat.

UNESCAP (2009:1) mendefinisikan governance sebagai:

Governance means the process of decision-making and the process by

(31)

12

Tata kelola (governance) merupakan proses pengambilan keputusan dan proses

dengan mana keputusan tersebut akan diimplementasikan (atau tidak

diimplementasikan).

Sedarmayanti (2009: 274) menjelaskan arti good dalam kepemerintahan yang baik

(good governance) mengandung pemahaman:

a. Nilai yang menjunjung tinggi keinginan/kehendak rakyat dan nilai yang dapat

meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan, kemandirian,

pembangunan berkelanjutan, dan keadilan sosial.

b. Aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif, efisien dalam pelaksanaan

tugas untuk mencapai tujuan.

Menurut UNDP dalam Rewansyah (2010:85), ada tiga model good governance,

yaitu:

a. Kepemerintahan Politik (Political Governance) yang mengacu pada

proses-proses pembuatan berbagai keputusan untuk perumusan kebijakan strategis

(policy strategy formulation);

b. Kepemerintahan Ekonomi (Economic Governance) yang mengacu pada

proses pembuatan kebijakan (policy making proceses) yang memfasilitasi

kegiatan ekonomi dalam negeri dan interaksi diantara para pelaku ekonomi.

Kepemerintahan ekonomi ini memiliki implikasi terhadap masalah

pemerataan, penurunan kemiskinan, dan peningkaan kualitas hidup.

c. Kepemerintahan Administratif (Administrative Governance) yang mengacu

(32)

2. Pengertian Good Governance

Sedarmayanti (2003:2) menyatakan bahwa good governance merupakan proses

penyelenggaraan kekuasaan Negara dalam melaksanakan penyediaan publik

goods and service. Untuk mewujudkan kepemerintahan yang baik (good

governance) salah satu unsur yang harus terpenuhi adalah adanya komitmen dari

semua anggota dalam satuan organisasi/lembaga dalam mewujudkan

kepemerintahan yang bersih, mengedepankan dan mempertimbangkan

unsur-unsur efektivitas, efisiensi dan ekonomis dalam memberikan layanan prima

kepada publik.

Terdapat beberapa pendapat tentang pengertian good governance. OECD dan

World Bank dalam Sedarmayanti (2009:273) mengartikan good governance:

“Penyelenggaraan manajemen pembangunan solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi yang langka, dan pencegahan korupsi secara politik dan administratif, menjalankan disiplin anggaran serta menjalankan kerangka kerja politik dan hukum bagi tumbuhnya aktivitas kewiraswastaan.”

United Nations Development Program (UNDP) dalam dokumen kebijakannya

yang berjudul “Governance for sustainable human development”, (1997),

mendefinisikan good governance sebagai

“Hubungan yang sinergis dan konstruktif di antara negara, sektor swasta dan masyarakat.”

Pendapat lain, yaitu menurut Lembaga Administrasi Negara (2000) dalam

Sedarmayanti (2009:276) menyimpulkan bahwa wujud Good Governance

(33)

14

“Penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dengan bertanggungjawab, serta efektif dan efisien, dengan menjaga “kesinergian” interaksi yang konstruktif diantara domain-domain negara, sektor swasta, dan masyarakat.”

Menurut Santosa dalam Rewansyah (2010:91), sebuah goverrnance dikatakan

baik (good and sound) apabila sumberdaya dan masalah-masalah publik dikelola

secara efektif dan efisien dan merupakan respons terhadap kebutuhan masyarakat.

Sementara itu, Keraf dalam Rewansyah (2010:91) mengartikan good governance

sebagai:

“Keberadaan dan berfungsinya beberapa perangkat kelembagaan publik sedemikian rupa sehingga memungkinkan kepentingan masyarakat bisa terjamin dengan baik.”

Dari pendapat-pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan

good governance adalah penyelenggaraan kekuasaan negara dan administrasi

yang melibatkan aktor pemerintah, swasta dan masyarakat guna mewujudkan

kepemerintahan yang bersih, efektif dan efisien.

3. Aktor-aktor Good Governance

Good governance melibatkan banyak pelaku (multi stakeholders) baik dari

pemerintah maupun di luar pemerintah. Jika menggunakan model tiga bagian

(three part model) dari Cohen dan Arato yang dikutip oleh Rewansyah (2010:100)

untuk memahami ranah praktik sosial, maka terdapat tiga pelaku yang bisa

diidentifikasi, yakni negara (masyarakat politik), korporasi (masyarakat ekonomi)

dan masyarakat sipil. Jika menggunakan model empat ranah praktik sosial seperti

(34)

ditemukan empat kelompok pelaku yakni negara, masyarakat politik, korporasi

ekonomi dan masyarakat sipil. Rochman dalam Rewansyah (2010:100) merinci

pelaku-pelaku good governance yakni negara, organisasi politik, organisasi

non-pemerinah, kelompok bisnis dan komunitas masyarakat.

Sedarmayanti (2009:280) menjelaskan aktor-aktor good governance sebagai

berikut:

a) Negara atau pemerintah, konsepsi kepemerintahan pada dasarnya adalah

kegiatan-kegiatan kenegaraan, tetapi labih jauh dari itu melibatkan pula

sektor swasta dan kelembagaan masayarakat madani. Negara sebagai salah

satu unsur governance, di dalamnya termasuk lembaga politik dan

lembaga sektor publik. Peran pemerintah melalui kebijakan publiknya

sangat penting dalam memfasilitasi terjadinya mekanisme pasar yang

benar sehingga penyimpangan yang terjadi di dalam pasar dapat dihindari.

b) Sektor swasta, pelaku sektor swasta mencakup perusahaan swasta yang

aktif dalam interaksi dalam sistem pasar, seperti industri pengolahan

perdagangan, perbankan, koperasi termasuk kegiatan sektor informal.

c) Masyarakat madani atau civil society kelompok masyarakat dalam konteks

kenegaraan pada dasarnya berada diantara atau di tengah-tengah antara

pemerintah dan perseorangan, yang mencakup baik perseorangan maupun

kelompok masyarakat yang berinteraksi secara sosial, politik dan ekonomi.

Rewansyah (2010:101) menjelaskan, meskipun pelaku-pelaku good governance

ini memiliki ideologi yang berbeda-beda dimana negara (pemerintah) adalah

(35)

16

madani adalah demokrasi dan kebebasan, tetapi mereka harus dapat bekerja sama

(berkolaborasi), bukan hanya untuk mencapai tujuan masing-masing melainkan

untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, tujuan kehidupan berbangsa bernegara,

yaitu membentuk masyarakat bangsa yang adil dan sejahtera.

Effendi (2005:2) menjabarkan, penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan

bertanggung jawab baru tercapai bila dalam penerapan otoritas politik, ekonomi

dan administrasi ketiga unsur tersebut memiliki jaringan dan interaksi yang setara

dan sinerjik. Interaksi dan kemitraan seperti itu biasanya baru dapat berkembang

subur bila ada kepercayaan (trust), transparansi, partisipasi, serta tata aturan yang

jelas dan pasti, Good governance yang sehat juga akan berkembang sehat dibawah

kepemimpinan yang berwibawa dan memiliki visi yang jelas.

Bagan 1. Hubungan Tiga Aktor dalam Governance

Sumber: Sedarmayanti (2009:280) Reformasi Administrasi Publik, Reformasi Birokrasi, dan Kepemimpinan masa Depan

Budiati (2012:51) menjelaskan, Good governance hanya bermakna bila

keberadaannya ditopang oleh lembaga yang melibatkan kepentingan publik

(pilar-pilar good governanace). Jenis lembaga tersebut dan perannya adalah sebagai

berikut:

NEGARA

MASYARAKAT
(36)

a) Negara

1) Menciptakan kondisi politik, ekonomi, dan sosial yang stabil;

2) Membuat peraturan yang efektif dan berkeadilan;

3) Menyediakan public service yang efektif dan akuntabel;

4) Menegakkan HAM;

5) Melindungi lingkungan hidup;

6) Mengurus standar kesehatan dan standar keselamatan publik.

b) Sektor swasta

1) Menjalankan industri;

2) Menciptakan lapangan kerja;

3) Menyediakan insentif bagi karyawan;

4) Meningkatkan standar kehidupan masyarakat;

5) Memelihara lingkungan hidup;

6) Menaati peraturan

7) Melakukan transfer ilmu pengetahuan dan teknologi pada masyarakat;

8) Menyediakan kredit bagi pengembangan UKM.

c) Masyarakat madani:

1. Manjaga agar hak-hak masyarakat terlindungi;

2. Mempengaruhi kebijakan;

3. Berfungsi sebagai sarana Checks and balances pemerintah;

4. Mengawasi penyalahgunaan kewenangan sosial pemerintah;

5. Mengembangkan SDM;

(37)

18

Ketiga lembaga di atas merupakan pendukung utama dalam terciptanya good

governance. Sistem pemerintahan yang baik dapat diwujudkan apabila terciptanya

sinergi antara pemerintah, swasta dan masyrakat dalam mewujudkan

pembangunan yang berkelanjutan. Negara harus mampu menciptakan suatu

kondisi yang kondusif bagi terselenggaranya suatu pemerintahan yang baik.

Adanya perbaikan mengenai sistem politik, sistem pemerintahan dan lebih

memperhatikan pelayanan publik. Kondisi seperti ini dapat menarik minat

kalangan swasta untuk berkembang lagi. Jika usaha swasta ini meningkat maka

pengangguran dapat teratasi dengan adanya investasi di negeri ini. Dan

masyarakat harus lebih kritis terhadap pemerintah mengenai apa yang dilakukan

dalam pembangunan ini.

Dari penjelasan diatas, beberapa ahli memiliki pendapat yang berbeda mengenai

aktor yang terlibat dalam pelaksanaan good governance, namun dalam penelitian

ini menggunakan model tiga bagian (three part model) dari Cohen dan Arato

dimana terdapat tiga pelaku yang bisa diidentifikasi, yakni negara (masyarakat

politik), korporasi (masyarakat ekonomi) dan masyarakat sipil. Dalam penelitian

ini negara diwakili oleh Pemerintah Kota Bandar Lampung, khususnya BPPLH

Kota Bandar Lampung, korporasi atau swasta diwakili oleh pemilik lahan

penambangan di Bukit Sukamenanti, dan masyarakat diwakili oleh LSM, yaitu

(38)

4. Prinsip-prinsip Good Governance

Prinsip atau asas disini adalah padanan kata principles (Inggris) atau beginsel

(Belanda) diartikan sebagai “an accepted or professed rule of action or conduct”

atau “a basic law, axiom, or doctrine” atau “basic knowledge or conceptual

foundations”. Rewansyah (2010:94) menjelaskan bahwa prinsip-prinsip

kepemerintahan yang baik dapat diibaratkan rambu lalu lintas, marka jalan, peta

jalan dan pedoman perjalanan. Prinsip-prinsip diperlukan untuk mempelancar

hubungan pemerintahan (lalu lintas urusan pemerintahan antara pemerintah

dengan yang diperintah atau warga masyarakat. Jika dianalogikan dengan traffic

management, diperlukan rambu-rambu, marka jaln dan sebagai pedoman

perjalanan yang wajib ditaati oleh setiap pengguna jalan, dengan segala

enforcement-nya, agar setiap orang tiba tepat waktu di tujuan dengan selamat

sentosa. Prinsip-prinsip pemerintahan bersifat normatif, bersumber dari sistem

nilai dan etika pemerintahan yang menjadi pegangan penyelenggara dalam

menjalankan pemerintahan.

Ada beberapa pendapat mengenai prinsip-prinsip good governance, UNDP dalam

Sedarmayanti (2004:5) mengemukakan bahwa karakteristik atau prinsip-prinsip

yamg harus dianut dan dikembangkan dalam praktek penyelenggaraan

kepemerintahan yang baik, adalah meliputi:

a) Partisipasi (Participation), setiap orang atau setiap warga masyarakat, baik

laki-laki maupun perempuan harus memiliki hak suara yang sama dalam

proses pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui

(39)

masing-20

masing. Partisipasi yang luas ini perlu dibangun dalam suatu tatanan

kebebasan berserikat dan berpendapat, serta kebebasan untuk

berpartisiapsi secara konstruktif.

b) Aturan Hukum (Rule of Law): kerangka aturan hukum dan

perundang-undangan haruslah berkeadilan, ditegakkan, dan dipatuhi secara utuh

(impartially), terutama aturan hukum tentang Hak-hak asasi manusia.

c) Transparansi (Transparency): Transparansi harus dibangun dalam

kerangka kebebasan aliran informasi. Berbagai proses, kelembagaan, dan

informasi harus dapat diakses secara bebas oleh mereka yang

membutuhkannya, dari informasinya harus dapat disediakan secara

memadai dan mudah dimengerti, sehingga dapat digunakan sebagai alat

monitoring dan evaluasi.

d) Daya tanggap (Responsiveness): setiap institusi dan prosesnya harus

diarahkan pada upaya untuk melayani berbagai pihak yang berkepentingan

(Stakeholders);

e) Berorientasi Konsensus (Consensus Orientation): pemerintahan yang baik

(good governance) akan bertindak sebagai penengah (mediator) bagi

berbagai kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus atau

kesepakatan yang terbaik bagi kepentingan masing-masing pihak, dan jika

dimungkinkan juga dapat diberlakukan terhadap berbagai kebijakan dan

prosedur yang akan ditetapkan pemerintah;

f) Berkeadilan (Equity): pemerintahan yang baik akan memberikan

kesempatan yang sama baik terhadap laki-laki maupun perempuan dalam

(40)

g) Efektivitas dan Efesiensi (Effectiveness and Efficiency): setiap proses

kegiatan dan kelembagaan diarahkan untuk menghasilkan sesuatu yang

benar-benar sesuai dengan kebutuhan melalui pemanfaatan yang

sebaik-baiknya berbagai sumber-sumber yang tersedia;

h) Akuntabilitas (Accountabilty): para pengambil keputusan (decision

makers) dalam organisasi sector public (pemerintah), swasta, dan

masyarakat madani memiliki pertanggungjawaban (akuntabilitas) kepada

publik (masyarakat umum), sebagaimana halnya kepada para pemilik

(stakeholders). Pertanggungjawaban tersebut berbeda-beda, tergantung

apakah jenis keputusan organisasi itu bersifat internal atau bersifat

eksternal;

i) Bervisi Strategis (Strategic Vision): para pemimpin dan masyarakat

memiliki persepktif yang luas dan jangka panjang tentang

penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) dan

pembangunan manusia (human development). Bersamaan dengan

dirasakannya kebutuhan untuk pembangunan tersebut. Mereka juga

memahami aspek-aspek histori, cultural, dan kompleksitas yang mendasari

perspektif mereka;

Berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang

Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, yang dikutip oleh

Rewansyah (2010:99)menetapkan tujuh asas penyelenggaraan negara yang baik,

(41)

22

a) Asas Kepastian Hukum, yaitu asas yang mengutamakan landasan

peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap

kebijakan penyelenggaraan negara.

b) Asas tertib penyelenggaraan negara, yaitu asas yang mengutamakan

keteraturan, keserasian dan keseimbangan dalam pengendalian dan

penyelenggaraan negara.

c) Asas Kepentingan umum, yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan

umum dengan yang aspiratif, akomodatif dan selektif.

d) Asas keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat

untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif

tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan

perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara.

e) Asas proporsionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan

antara hak dan kewajiban penyelenggara negara.

f) Asas profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang

berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

g) Asas akuntabilitas, yaitu asas dimana setiap kegiatan dan hasil akhir dari

kegiatan penyelengaraan negara harus dapat dipertanggungjawabkan

kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi

negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

(42)

Pendapat lain oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN) (2003) dalam

Sedarmayanti (2009:287) mengungkapkan prinsip-prinsip good governance antara

lain yaitu akuntabilitas, transparansi, kesetaraan, supremasi hukum, keadilan,

partisipasi, desentralisasi, kebersamaan, profesionalitas, cepat tanggap, efektif dan

efisien, dan berdaya saing.

Mustopadidjaja dalam Sedarmayanti (2009:284) mengatakan prinsip-prinsip

good governance adalah demokrasi dan pemberdayaan, pelayanan, transparansi

dan akuntabiiltas, partisipasi, kemitraan, desentralisasi, dan konsistensi kebijakan

dan kepastian hukum.

Sedarmayanti (2009:289) menyebutkan bahwa ada empat prinsip utama dalam

pelaksanaan good governance, yaitu:

a) Akuntabilitas (pertanggunggugatan) politik, terdiri dari:

Pertama, pertanggunggugatan politik, yakni adanya mekanisme

penggantian pejabat atau penguasa secara berkala, tidak ada usaha

membangun monoloyalitas secara sistematis, dan adanya definisi dan

penanganan yang jelas terhadap pelanggaran kekuasaan di bawah

kerangka penegakkan hukum.

Kedua, pertanggunggugatan publik, yakni adanya pembatasan dan

pertanggungjawaban tugas yang jelas. Akuntabilitas merujuk pada

pengembangan rasa tanggung jawab publik bagi pengambil keputusan di

pemerintahahan, sektor privat dan organisasi kemasyarakatan sebagaimana

halnya kepada pemilik (stakeholder). Khusus dalam birokrasi,

(43)

24

mengontrol kinerja kualitas, inefisiensi, dan perusakan sumber daya, serta

transparansi manajemen keuangan, pengadaan, akunting, dan dari

pengumpulan sumber daya.

b) Transparansi (keterbukaan) dapat dilihat dari 3 aspek: (1) adanya

kebijakan terbuka terhadap pengawasan, (2) adanya akses informasi

sehingga masyarakat dapat menjangkau setiap segi kebijakan pemerintah,

(3) berlakunya prinsip check and balance antar lembaga eksekutif dan

legislatif. Tujuan transparansi membangun rasa saling percaya antara

pemerintah dengan publik dimana pemerintah harus memberi informasi

akurat bagi publik yang membutuhkan. Terutama informasi handal

berkaitan masalah hukum, peraturan, dan hasil yang dicapai dalam proses

pemerintahan, adanya mekanisme yang memungkinkan masyarakat

mengakses informasi yang relevan, adanya peraturan yang mengatur

kewajiban pemerintah daerah menyediakan informasi kepada masyarakat,

serta menumbuhkan budaya di tengah masyarakat untuk mengkritisi

kebijakan yang dihasilkan pemerintah daerah.

c) Partisipasi (melibatkan masyarakat terutama aspirasinya) dalam

pengambilan kebijakan atau formulasi rencana yang dibuat pemerintah,

juga dilihat pada keterlibatan masyarakat dalam implementasi berbagai

lebijakan dan rencana pemerintah, termasuk pengawasan dan evaluasi.

Keterlibatan dimaksud bukan dalam prinsip terwakilinya aspirasi

masyarakat melalui wakil di DPR melainkan keterlibatan secara langsung

(44)

Terutama memberi kebebasan kepada rakyat untuk berkumpul,

berorganisasi, dan berpartisipasi aktif dalam menentukan masa depan.

d) Supremasi hukum aparat birokrasi, berarti ada kejelasan dan

prediktabilitas birokrasi terhadap sektor swasta, dan dari segi masyarakat

sipil berarti ada kerangka hukum yang diperlukan untuk menjamin hak

warga negara dalam menegakkan pertanggunggugatan pemerintah.

Persyaratan konsep supremasi hukum adalah:

1) Supremasi hukum: setiap tindakan negara harus dilandasi hukum

bukan didasarkan pada tindakan sepihak dengan kekuasaan yang

dimiliki.

2) Kepastian hukum: disamping erat kaitannya dengan rule of law juga

mensyaratkan adanya jaminan bahwa masalah diatur secara jelas,

tegas dan tidak duplikatif, serta bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang lainnya.

3) Hukum yang responsif: hukum harus mampu menyerap aspirasi

masyarakat luas dan mampu mengakomodasi kebutuhan masyarakat

dan bukan dibuat untuk kepentingan segelintir elit.

4) Penegakkan hukum yang konsisten dan nondiskriminatif: upaya yang

mensyaratkan adanya sanksi, mekanisme menjalankan sanksi, serta

sumber daya manusia/penegak hukum yang memiliki integritas.

5) Independensi peradilan: yakni prinsip yang melekatkan efektivitas

(45)

26

Jumlah komponen ataupun prinsip yang melandasi tata pemerintahan yang baik

sangat bervariasi dari satu institusi ke institusi lain, dari satu pakar ke pakar

lainnya. Dalam penelitian ini, peneliti memutuskan untuk menyederhanakan

prinsip-prinsip yang ada untuk digunakan sebagai fokus penelitian ini berdasarkan

empat prinsip utama good governance seperti diungkapkan Sedarmayanti, yaitu

akuntabilitas, transparansi, partisipasi dan supremasi hukum. Peneliti memilih

prinsip yang dikemukakan oleh Sedarmayanti dikarenakan prinsip-prinsip tersebut

merupakan generalisasi dari prinsip-prinsip yang diungkapkan ahli dan lembaga

lain. Selain itu, prinsip-prinsip tersebut dipilih dikarenakan kesesuiannya dengan

kondisi lapangan yang akan diteliti.

5. Pentingnya menegakkan Tata Pemerintahan Yang Baik (Good Governance)

Pentingnya penerapan Good Governance di beberapa negara sudah mulai meluas

pada tahun 1980, dan di Indonesia Good Governance mulai dikenal secara lebih

dalam pada tahun 1990 sebagai wacana penting yang muncul dalam berbagai

pembahasan, diskusi, penelitian, dan seminar, baik di lingkungan pemerintah,

dunia usaha swasta, dan masyarakat termasuk di lingkungan para akademisi.

Sejak terjadinya krisis moneter dan krisis kepercayaan yang mengakibatkan

perubahan dramatis pada tahun 1998, Indonesia telah memulai berbagai inisiatif

yang dirancang untuk mempromosikan Good Governance, akuntabilitas dan

partisipasi yang lebih luas. Perancangan ini sebagai awal yang penting dalam

menyebarluaskan gagasan yang mengarah pada perbaikan governance dan

demokrasi di Indonesia. Good Governance dipandang sebagai paradigma baru dan

(46)

Desentralisasi berpotensi menciptakan transparansi dan akuntabilitas dan bisa

menjadi modal untuk menumbuhkan demokrasi lokal. Akan tetapi, kenyataannya

kebijakan desentralisasi di dalamnya tidak otomatis mengandung prinsip tata

kelola pemerintahan yang baik. Terselenggaranya pemerintahan yang efektif dan

lebih demokratis menuntut adanya paraktek kepemerintahan lokal yang lebih baik

yang membuka peran serta masyarakat. Pemerintahan lokal memiliki peluang

besar untuk mendorong demokratisasi, karena proses desentralisasi lebih

memungkinkan adanya pemerintahan yang lebih responsif, representatif, dan

akuntabel.

Desentralisasi harus simultan membawa penguatan kapasitas institusi lokal dan

membangun sistem pemerintahan yang responsif, artinya tidak hanya memperkuat

pemerinthan lokal saja, tetapi juga memastikan bagaimana pemerintah dapat

menjalankan fungsi pelayanan publiknya secara akuntabel. Potensi demokratisnya

desentralisasi sangat mungkin tercapai apabila terdapat institusionalisasi peran

serta masyarakat di tingkat lokal. Karena kalau tidak, maka pemerintah telah

terdesentralisasi, dapat mengakibatkan kalangan elit lokal yang mendapatkan

kekuasaan baru, akan lebih berpotensi mendapatkan keuntungan untuk dirinya

sendiri. Oleh sebab itu masyarakat harus secara sistematis ikut terlibat dalam

proses perumusan kebijakan, pengambilan keputusan, dan evaluasi program.

Isu Governance mulai memasuki arena perdepatan pembangunan di Indonesia

didorong oleh adanya dinamika yang menuntut perubahan, baik di lingkungan

pemerintah dunia usaha swasta maupun masyarakat. Peran pemerintah sebagai

pembangun maupun penyedia jasa pelayanan dan infrastuktur akan bergeser

(47)

28

pihak lain di komunitas dan sektor swasta ikut untuk aktif melakukan upaya

tersebut.

Keterbatasan dan kelemahan pemerintah serta perkembangan lingkungan global

berujung pada ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah sekaligus

menunjukan adanya gejala kegagalan pemerintah dalam mengelola pembangunan

nasional di berbagai sektor. Kegagalan pemerintah dipicu pula oleh penyala

gunaan wewenang aparatur pemerintah, sentralistik, top-down, selforiented,

monopolistik, tidak efektif dan tidak efisien, represif dan kurang peka terhadap

aspirasi masyarakat yang mendorong suburnya praktik korupsi, kolusi, dan

nepotisme (KKN). Variabel ini berkembang dalam pola interaksi antara

pemerintah dengan swasta dan masyarakat sehingga terbentuk pola

kepemerintahan yang buruk. Pemerintah yang baik dan bersih pada umumnya

terjadi pada masyarakat yang memiliki kontrol sosial efektif yang merupakan ciri

masyarakat demokratis di mana kekuasaan pemerintahannya terbatas dan tidak

bisa bertindak sewenang-wenang dan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Realitas tersebut mengakibatkan perubahan paradigma hubungan antara

pemerintah, swasta dan masyarakat, yaitu bagaimana melakukan perubahan cara

pengelolaan jalannya pemerintahan dan pembangunan di satu sisi dan sisi lain

berkaitan dengan berbagai upaya menangani apa yang harus diatur. Diharapkan

terjadi pergeseran dari pemerintah (government) menjadi pemerintahan

(governance).

Setelah era reformasi diawali dengan pergantian kepemimpinan nasional dari

(48)

Megawati Soekarnoputri, pemerintah mulai memiliki komitmen melakukan

perubahan paradigma dan government ke governance.

Tiga hal yang melatar belakangi munculnya good governance, yaitu:

1. Muncul fenomena yang disebut Samuel P. Hutington sebagai “gelombang

demokratisasi berskala global”. Gelombang ini mulanya muncul di Korea

Selatan dan di beberapa negara Amerika Latin yang menenggelamkan

politik birokratik otoriter pada dasawarsa tahun 1980-an dan berikutnya

menyapu bersih sosialisme di eropa pada awal dasawarsa tahun 1990-an.

2. Terjadinya kehancuran antara sistematik berbagai dasar institusional bagi

proses pengelolaan distribusi sumber ekonomi pada sebagian besar

masyarakat dunia ketiga. Institusi bisnis dan politik yang seharusnya

memiliki prinsip pengelolaan berbeda telah berubah menjadi sekutu dan

melipat gandakan tumbuhnya kronisme. Transparansi, akuntabilitas publik

dan alokasi berbagai sumber ekonomi gagal berkembang dalam dunia

bisnis.

3. Terakumulasinya kegagalan struktural adjusment program yang

diprakarsai IMF dan bank dunia. Program ini memiliki dan menganut

asumsi dasar bahwa negara merupakan satu-satunya lembaga penghambat

proses terjadinya globalisasi ekonomi.

Pada era reformasi, pemerintah (legislatif dan sekutif) berhasil menyelesaikan 3

produk perundang-undangan yang mengundang wajah sistem pemerintahan di

(49)

30

Pertama, Undang-ndang Nomor 22 tahun 1999, mengatur pelaksanaan Otonomi

daerah, dengan fokus utama pada pemberian wewenang lebih besar kepada daerah

kabupaten dan kota dalam mengelola pemerintahan dan pembangunan.

Kedua, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999, mengatur pelaksanaan

Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, dengan fokus utama

pada pengalokasian dana dan wewenang untuk mengelolanya yang lebih besar

kepada daerah kabupaten/kota.

Ketiga, Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999, mengatur pelaksanaan

pemerintahan yang baik, dengan fokus pada upaya menghilangkan korupsi,

kolusi, nepotisme (KKN) dalam pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan,

baik di daerah maupun di pusat. (Sedarmayanti, 2009:270-272)

B. Tinjauan Tentang Lingkungan Hidup

1. Pengertian Lingkungan Hidup

Soemarwoto (1983:42) mengartikan lingkungan hidup sebagai ruang yang

ditempati suatu makhluk hidup bersama dengan benda hidup dan tak hidup

didalamnnya. Sumaatmadja (2003) mendefinisikan lingkungan atau lingkungan

hidup adalah segala apa saja (benda, kondisi, situasi) yang ada di sekeliling

makhluk hidup, yang berpengaruh terhadap kehidupan (sifat, pertumbuhan,

persebaran) makhluk hidup yang bersangkutan.

Sementara, Soemartono (2004) mengartikan lingkungan hidup sebagai ruang di

mana baik makhluk hidup maupun tak hidup berada dalam satu kesatuan, dan

(50)

kelangsungan kehidupan makhluk hidup tersebut, khususnya manusia. Sedangkan

Siahaan (2004) mengartikannya sebagai semua benda, daya dan kondisi yang

terdapat dalam suatu tempat atau ruang tempat manusia atau makhluk hidup

berada dan dapat mempengaruhi hidupnya.

Menurut Pasal 1 butir (1) Undang-undang No 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,

“Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.”

Menurut Soemarwoto (1983:43) sifat lingkungan hidup ditentukan oleh

bermacam-macam faktor.

• Pertama, oleh jenis dan jumlah masing-masing jenis unsur lingkungan hidup

tersebut. Dengan mudah dapat kita lihat, suatu lingkungan hidup dengan 10

orang manusia, seekor anjing, tiga ekor burung perkutut, sebatang pohon

kelapa dan sebuah bukit batu akan berbeda sifatnya dari lingkungan hidup yang

sama besarnya tetapi hanya ada seorang manusia, 10 ekor anjing, tertutup

rimbun oleh pohon bambu dan rata tidak berbukit batu. Dalam golongan jenis

unsur lingkungan hidup termasuk pula zat kimia.

• Kedua, hubungan atau interaksi antara unsur dalam lingkungan hidup itu.

Misalnya, dalam suatu ruangan terdapat delapan buah kursi, empat buah meja

dan empat buah pot dengan tanaman kuping gajah. Dalam ruangan itu delapan

kursi diletakan sepanjang satu dinding, dengan sebuah meja di muka setiap dua

(51)

32

dua kursi dengan sebuah meja diletakan di tengah-tengah masing-masing

dinding dan sebuah pot di masing-masing sudut.

Hal serupa berlaku juga untuk hubungan atau interaksi sosial dalam hal

unsur-unsur itu terdiri atas benda hidup yang mobil, yaitu manusia dan hewan.

Dengan demikian lingkungan hidup tidak saja menyangkut komponen biofisik,

melainkan juga hubungan sosial budaya manusia.

• Ketiga, kelakuan atau kondisi unsur lingkungan hidup. Misalnya, suatu kota

yang penduduknya aktif dan bekerja keras merupakan lingkungan hidup yang

berbeda dari sebuah kota yang serupa, tetapi penduduknya santai dan malas.

Demikian pula suatu daerah dengan lahan yang landai dan subur merupakan

lingkungan yang berbeda dari daerah dengan lahan yang berlereng dan tererosi.

Keempat, faktor non-materil suhu, cahaya dan kebisingan. Kita dapat dengan

mudah merasakan ini. Suatu lingkungan yang panas, silau dan bising sangatlah

berbeda dengan lingkungan yang sejuk, cahaya yang cukup, tapi tidak silau dan

tenang.

2. Isu-isu Lingkungan Hidup

a) Isu Lingkungan Hidup Nasional

Dalam bukunya, Budiati (2012:16) menyebutkan masalah-masalah yang

paling serius mengancam kemajuan pembangunan berkelanjutan di

Indonesia ialah sebagai berikut:

1) Dorongan yang keliru yang menghambat penggunaan sumber daya

(52)

daya alam mendorong terjadinya pengurasan sumber saya akibat

penggunaan terus menerus.

2) Persepsi masyarakat tentang masalah lingkungan dan prioritas

pembangunan pemerintah. Nilai-nilai lingkungan masih belum

tertanam dengan kuat sehingga mereka kurang menghargai sumber

daya alam dan pelayanan lingkungan, padahal partisipasi dalam

pengambilan keputusan merupakan unsur penting dalam

penyelenggaraan tata pemerintah yang baik.

3) Manfaat sosial, lingkungan dan ekonomi, risiko dan biaya

langkah-langkah alternatif pembangunan. Peningkatan pemanfaatan batubara

berskala besar untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada

impor minyak dapat menimbulkan dampak negatif yang signifikan

terkait kandungan sulfur yang tinggi dan dampak potensial terhadap

hutan akibat pembukaan lahan.

b) Isu Lingkungan Hidup Lokal

Kemudian, Budiati (2012:18) menjabarkan isu-isu lingkungan hidup lokal,

yaitu sebagai berikut:

1) Kesenjangan antara kebijakan dan praktik setelah desentralisasi

memperlambat perbaikan yang signifikan pada kualitas lingkungan.

Meskipun adanya investasi yang besar pada kebijakan lingkungan dan

pengembangan kepegawaian, pelaksanaan peraturan dan prosedur di

(53)

34

penafsiran-penafsiran baru mengenai peraturan yang ada atau

berupaya mencari prosedur peraturan yang seluruhnya baru.

2) Tantangan sumber daya alam terus terjadi dan menjadi lebih rumit

setelah desentralisasi. Sektor kehutanan yang memiliki peranan

penting dalam mendukung perekonomian dan mata pencaharian

masyarakat pedesaan dalam menyediakan pelayanan lingkungan,

tetapi sumber daya ini belum dikelola secara berkelanjutan. Untuk itu

diperlukan visi baru oleh pemerintah untuk memperbaiki situasi ini.

3) Isu kelembagaan lingkungan di daerah. Jenis kelembagaan urusan

lingkungan hidup didaerah hendaknya berbentuk kantor atau badan.

Kemudian diharapkan daerah untuk tidak menggabung urusan

lingkungan hidup dengan urusan lain. Penataan struktur organisasi

perlu memenuhi standar sumber daya manusia yang memadai.

3. Dasar Hukum Lingkungan Hidup

Erwin (2008:4) menjelaskan bahwa hukum lingkungan hidup internasional

diawali oleh Konfrensi PBB tentang lingkungan hidup manusia yang diadakan di

Stockholm tanggal 5-16 Juni 1972 sebagai awal kebangkitan modern yang

ditandai perkembangan berarti bersifat menyeluruh dan menjalar ke berbagi

pelosok dunia dalam bidang lingkungan hidup. Konfrensi itu dihadiri 113

negara dan beberapa puluh peninjau serta telah menghasilkan Deklarasi

(54)

aksi lingkungan hidup manusia, hingga dalam suatu resolusi khusus,

konfrensi menetapkan tanggal 5 Juni sebagi hari lingkungan hidup sedunia.

Di Indonesia permasalahan lingkungan hidup diatur oleh Undang- undang No 4

Tahun 1982 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang kemudian diubah

menjadi Undang-undang No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan

Hidup dan di ikuti dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No 27 Tahun

1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan Peraturan

Pemerintah No 85 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan

Beracun, kemudian disempurnakan oleh Undang-undang No 32 Tahun 2009

tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Budiati (2012:1) menjabarkan, secara regulatif, kebijakan untuk mengaplikasikan

dan mengembangkan filosofi, konsep, paradigma, dan praktik good governance

dalam bidang lingkungan hidup diatur dalam dua ketentuan perundang-undangan,

yakni Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 yang telah diperbaharui dengan

Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan

Lingkungan Hidup dan Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah. Dalam dua undang-undang tersebut tersurat bahwa, upaya mewujudkan

prinsip-prinsip kebijakan pembangunan bidang lingkungan hidup dilakukan

dengan asas dekonsentrasi dan desentrlisasi.

4. Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan

World Commission on Environment and Development (WCED) (dalam laporan

“Our Common Future”, 1987) mendefinisikan pembangunan berkelanjutan

(55)

36

“Suatu strategi pemanfaatan ekosistem alamiah serta segenap sumber daya yang ada di dalamnya sedemikian rupa, sehingga kapasitas fungsionalnya untuk memberikan manfaat bagi kehidupan manusia tidak terancam atau rusak”.

Dalam ketentuan pasal 1 ayat 3 Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan:

“Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.”

Ignas Kleden dalam Soedjatmoko (1992:xv) mengartikan pembangunan

berkelanjutan sebagai:

“Pembangunan yang disatu pihak mengacu pada pemanfaatan sumber alam maupun sumber daya manusia secara optimal, dan dilain pihak memelihara keseimbangan optimal diantara berbagai tuntutan yang saling bertentangan terhadap sumber-sumber daya tersebut.”

Emil Salim dalam Soedjatmoko (1992:3) mendefinisikan:

“Pembangunan berwawasan lingkungan adalah suatu proses pembangunan yang mengoptimalkan manfaat dari sumber daya alam dan sumber daya manusia, dengan menyerasikan sumber alam dengan

manusia dalam pembangunan.”

Menurut Arya Utama (2008:9), pembangunan berkelanjutan adalah:

(56)

Jadi, dapat disimpulkan bahwa pembangunan berwawasan lingkungan adalah

pembangunan berkelanjutan yang mengoptimalkan manfaat sumber daya alam

dan sumber daya manusia dengan cara menserasikan aktivitas manusia dengan

kemampuan sumber daya alam untuk menopangnya.

C. Kerangka Pikir

Mulyana dan Caturiani (2012:545) menjelaskan berkembangnya Kota Bandar

Lampung memunculkan permasalahan akibat perkembangan yang tidak sesuai

dengan tata ruang yang telah direncanakan dalam tata ruang Kota Bandar

Lampung seperti kawasan yang berubah fungsi dari kawasan konservasi menjadi

pusat pertokoan dan pemukiman. Kawasan konservasi sebagai tempat yang

dilindungi menjadi rusak dikarenakan aktivitas pertambangan yang dilakukan di

daearah tersebut tanpa memperhatikan aspek lingkungan tetapi lebih berorientasi

kepada keuntungan atau laba.

Salah satu permasalahan lingkungan hidup di Kota Bandar Lampung adalah

banyaknya bukit di Bandar Lampung yang rusak dieksploitasi. Dari data Wahana

Lingkungan Hidup (Walhi) Lampung. Pada tahun 2008, tercatat ada 33 bukit,

namun pada tahun 2014 hanya tersisa 11 bukit di Bandar Lampung. Itu artinya,

dalam kurun waktu enam tahun 22 bukit di Bandar Lampung hilang akibat

perusakan dan penambangan. Salah satu bukit tersebut ialah bukit Sukamenanti,

Kelurahan Sukamenanti, Kecamatan Kedaton, Bandar Lampung. Di daerah

(57)

38

Se

Gambar

Tabel 1 Data Bukit di Bandar Lampung
Tabel 2 Data Informan
Tabel 3 Daftar Dokumen yang Berkaitan dengan Penelitian
Gambar 1 Kondisi Bukit Sukamenanti

Referensi

Dokumen terkait

Steroids, synthetic drugs that encourage the development of striated muscles, are associated to testosterone.. Since their invention in 1930, more than 100 known steroids have

Kesimpulan Tugas Akhir ini adalah sensor kompas dapat bekerja secara akurat, radio frekuensi YS-1020UB dapat bekerja dengan baik dan dapat menerima maupun

menetapkan daya tampung beban pencemaran; melakukan inventarisasi dan identifikasi sumber pencemar; menetapkan persyaratan air limbah untuk aplikasi pada tanah; menetapkan

Di awal artikel ini saya sudah mengatakan bahwa anda bisa juga download scripts yang bisa Anda import ke mikrotik berdasarkan kategori domain (misalnya, Situs Social Media,

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka kesimpulan yang diperoleh adalah: 1) Aplikasi ini diciptakan sebagai alat bantu yang dapat dimanfaatkan oleh para

Perhitungan harga pokok produk per satuan disini menjadi salah satu unsur yang penting dan perlu diperhatikan untuk mengetahui pengaruh yang ditimbulkan dari bahan baku yang hilang

hasilkan oleh artikulator ujung lidah dan titik artikulasi lengkung kaki gigi. Udara yang keluar mengalami gesekan sehingga kontoid itu disebut juga bunyi desis. Udara yang keluar

Berdasarkan hasil penelitian, terungkap bahwa program Gerakan Makassar Gemar Membaca (GMGM) sangat disambut baik oleh masyarakat kota Makassar khusunya kelurahan baru, hanya saja