• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akuntabilitas dan Transparansi Kepala Daerah dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Baik di Daerah (Studi Provinsi Sumatera Utara)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Akuntabilitas dan Transparansi Kepala Daerah dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Baik di Daerah (Studi Provinsi Sumatera Utara)"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

S K R I P S I

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

NIM : 080200281 FAJRI AKBAR

DEPARTEMEN HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(2)

2

AKUNTABILITAS DAN TRANSPARANSI KEPALA DAERAH

DALAM MEWUJUDKAN PEMERINTAHAN YANG BAIK

DI DAERAH (Studi Provinsi Sumatera Utara)

S K R I P S I

Diajukan Untuk Memenuhi dan Melengkapi

Syarat-syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

NIM : 080200281 FAJRI AKBAR

DEPARTEMEN HUKUM TATA NEGARA

Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Tata Negara

NIP. 195810071986011002

Armansyah, SH, M.Hum

Dosen Pembimbing I

Dosen Pembimbing II

Armansyah, SH, M.Hum

NIP. 1958100 71986011 002

NIP. 1972261 9980221001

Dr. Mirza Nasution, SH.M.Hum

(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME, yang telah memberikan rahmat serta perlindungan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Skripsi ini yang berjudul : “AKUNTABILITAS DAN TRANSPARANSI KEPALA DAERAH DALAM MEWUJUDKAN

PEMERINTAHAN YANG BAIK DI DAERAH (Studi Provinsi Sumatera

Utara)

Penulisan skripsi ini dimaksudkan sebagai salah satu persyaratan guna menyelesaikan studi pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Meskipun telah berusaha semaksimal mungkin, penulis yakin skripsi ini masih jauh dari sempurna dan harapan, oleh karena keterbatasan ilmu pengetahuan, waktu, tenaga serta literatur bacaan. Namun dengan ketekunan, tekad dan rasa ingin tahu dalam pengembangan ilmu pengetahuan, akhirnya penulis dapat menyelesaikannya.

Penulis menyadari, bahwa skripsi ini dapat terselesaikan berkat bantuan dari berbagai pihak. Segala bantuan, budi baik dan uluran tangan berbagai pihak yang telah penulis terima baik dalam studi maupun dari tahap persiapan penulis sampai skripsi ini terwujud tidak mungkin disebutkan seluruhnya.

Dari lubuk hati yang paling dalam, penulis sampaikan rasa hormat dan

bangga serta terima kasih yang tiada terhingga kepada kedua orang tuaku,

(4)

4

Rasa hormat dan terima kasih juga penulis sampaikan kepada pihak-pihak yang telah mendorong dan membantu, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara antara lain kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, MH selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Armansyah, SH, M.Hum selaku Ketua Jurusan Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dosen Pembimbing I, dalam penulisan skripsi ini yang telah tulus ikhlas meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam memberikan pengarahan, masukan-masukan serta kritik yang membangun selama proses penulisan skripsi ini.

3. Bapak Dr. Yusrin Nazib, SH, M.Hum selaku Sekretaris Jurusan Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. Mirza Nasution, SH, M.Hum selaku dosen pembimbing II dalam penulisan skripsi ini yang telah tulus ikhlas meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam memberikan pengarahan, masukan-masukan serta kritik yang membangun selama proses penulisan skripsi ini.

5. Kepada teman-teman angkatan 2008 yang telah memberikan banyak kenangan indah selama dalam masa perkuliahan, Gery M.B. Siahaan, Viza Fadillah, Ryan Ramadhan, Nur Riarti Batubara, Linda Sari Dewi Milala, M. Fachrul Rozi, Sefira, dan lain-lain.

(5)

Di sadarinya kekurangan sempurnaan penulisan skripsi ini, maka dengan kerendahan hati penulis menyambut masukan yang bermanfaat dari para pembaca sekalian untuk memberikan kritikan dan saran-saran yang membangun. Penulis berharap semoga penulisan skripsi ini dapat memberikan manfaat dan kontribusi positif bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan untuk perkembangan ilmu hukum tata negara pada khususnya.

Medan, Desember 2012 Penulis

(6)

6

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 11

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 12

D. Keaslian Penelitian ... 13

E. Tinjauan Kepustakaan ... 13

F. Metode Penelitian ... 18

G. Sistematika Penulisan ... 20

BAB II KEDUDUKAN DAN TUGAS KEPALA DAERAH DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU ... 22

A. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Pemerintahan Daerah 22 B. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pemerintahan Daerah 32 BAB III IMPLEMENTASI PRINSIP AKUNTABILITAS DAN TRANSPARANSI DALAM MEWUJUDKAN PEMERINTAHAN YANG BAIK DI PROVINSI SUMATERA UTARA ... 44

A. Implementasi prinsip akuntabilitas dalam pertanggungjawaban pemerintah daerah ... 44

B. Implementasi prinsip transparansi dalam pertanggungjawaban Pemerintah Daerah ... 53

(7)

BAB IV HAMBATAN YANG DIHADAPI DALAM IMPLEMENTASI PRINSIP AKUNTABILITAS DAN TRANSPARANSI

DALAM MEWUJUDKAN PEMERINTAHAN YANG

BAIK DI PROVINSI SUMATERA UTARA ... 61

A. Gambaran Umum Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara 61 B. Pertanggungjawaban Kepala Daerah Provinsi Sumatera Utara ... 71

C. Kendala yang dihadapi dalam Implementasi Akuntabilitas dan Transparansi dalam Pertanggungjawaban Pemerintah Daerah ... 86

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 92

A. Kesimpulan ... 92

B. Saran ... 93

(8)

8

AKUNTABILITAS DAN TRANSPARANSI KEPALA DAERAH DALAM MEWUJUDKAN PEMERINTAHAN YANG BAIK DI DAERAH

(Studi Propinsi Sumatera Utara)

NIM : 080200281 FAJRI AKBAR

Undang-undang pemerintah daerah lahir sebagai antisipasi pembaharuan dan penyempurnaan dari beberapa aturan yang melandasi pelaksanaan pemerintah didaerah yang sudah tidak antisifatif dalam perkembangan. Di sisi lain, undang-undang ini merupakan implementasi dari beberapa aturan mendasar, dengan tegas dan jelas memberikan batasan-batasan beberapa pengertian sebagai dasar pelaksanaan pemerintahan di daerah, antara lain memisahkan secara tegas fungsi dan peran pemerintah daerah dan DPRD, yang di satu sisi menempatkan kepala daerah beserta perangkat daerah otonom sebagai badan eksekutif daerah dan di sisi lainnya, DPRD sebagai badan legislatif daerah.

Penelitian ini menggunakan pendekatan secara normatif dan empiris. Mengacu pada tipologi penelitian menurut Soerjono Soekanto, studi pendekatan terhadap hukum yang normatif mengkonsepsikan hokum sebagai norma, kaidah, peraturan dan perundang–undangan yang berlaku pada suatu waktu dan temat tertentu sebagai produk dari suatu kekuasaan negara tertentu yang berdaulat

Dari hasil penelitian diperoleh bahwa Kedudukan dan tugas Gubernur Sumatera Utara Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, Kedudukan dan kekuasaan penyelenggaraan pemerintah daerah melakukan aktivitasnya tidak keluar dari kerangka Negara Kesatuan. Begitu pula pengelolaan daerah tentu tidak terlepas dari suatu sistem pengelolaan, termasuk subsistem yang menjadi pengelola sistemnya yang telah ditentukan aturan perundang-undangan. Alur pemikiran tersebut akhirnya akan berkait erat dengan model rekrutmen kepala daerah di masing-masing daerah.Implementasi akuntabilitas dan transparansi dalam pertanggungjawaban Pemerintah Daerah dilaksanakan dengan penyampaian Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah kepada masyarakat. Di Provinsi Sumatera Utara Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah disampaikan melalui media. Agar pembahasan LKPJ Kepala Daerah yang disampaikan kepada DPRD dapat lebih akuntabel dan transparan, maka DPRD dalam pembahasan ditingkat Panitia Khusus melakukan publik hearing (dengar pendapat) dengan berbagai unsur masyarakat yang ada di Provinsi Sumatera Utara yang terdiri dari para tokoh masyarakat, unsur LSM, unsur Organisasi Masyarakat, unsure Kepala Desa dan BPD, unsur wanita, pemuda, unsur perguruan tinggi untuk diminta tanggapan dan responya terhadap LKPJ Gubernur, baik terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah maupun terhadap implementasi APBD selama satu tahun anggaran yaitu pada tahun anggaran 2009. Kendala yang dihadapi dalam implementasi akuntabilitas dan transaparasi dalam pertangungjawaban pemerintah daerah yang dihadapi adalah ;Kurang adanya tanggapan dari masyarakat yang disampaikan langsung kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara terhadap Informasi LPPD yang telah dipublikasikan lewat media cetak dan elektronik yang ada.

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemerintah berusaha merevisi Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 di bawah pimpinan Presiden Habibie dikala itu, dengan menerbitkan UU No. 22/1999 sebagai landasan hukum pemerintahan daerah. Undang-undang ini berawal dari ketidakadilan dan ketimpangan hubungan yang terjadi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dan diharapkan UU No. 22 Tahun 1999 dapat mengakomodasikan perubahan paradigma pemerintahan dan dapat mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataaan dan keadilan, memperhatikan perbedaan potensi dan keanekaragaman, serta dapat mencegah terjadinya disintegrasi bangsa.1

Lahirnya undang-undang ini merupakan respons atas tuntutan masyarakat di era reformasi yang menghendaki pelaksanaan otonomi luas dengan prinsip-prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peningkatan peran serta masyarakat, diakuinya potensi dan keanekaragaman daerah, serta terciptanya kemandirian daerah.2

Undang-undang pemerintah daerah lahir sebagai antisipasi pembaharuan dan penyempurnaan dari beberapa aturan yang melandasi pelaksanaan pemerintah didaerah yang sudah tidak antisifatif dalam perkembangan. Di sisi lain, undang-undang ini merupakan implementasi dari beberapa aturan mendasar, dengan tegas

1

Agussalim Andi Gadjong, Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum. Bogor : Ghalia Indonesia, 2007, hal. 161

2

(10)

10

dan jelas memberikan batasan-batasan beberapa pengertian sebagai dasar pelaksanaan pemerintahan di daerah, antara lain memisahkan secara tegas fungsi dan peran pemerintah daerah dan DPRD, yang di satu sisi menempatkan kepala daerah beserta perangkat daerah otonom sebagai badan eksekutif daerah dan di sisi lainnya, DPRD sebagai badan legislatif daerah.3

Selanjutnya, di bawah pemerintahan Presiden Megawati yang telah melakukan evaluasi yang mendasar, maka diterbitkanlah UU No. 32 Tahun 2004 sebagai landasan hukum pemerintah daerah yang menggantikan UU No. 22 Tahun 999 karena dianggap tidak lagi sesuai setelah amandemen UUD 1945.4

Tahun 2005, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, dipilih secara langsung oleh rakyat. Peristiwa ini menandai babakan baru dalam sejarah politik daerah di Indonesia. Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung diatur dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah Pasal 56.5

Dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, telah memberikan kewenangan kepada Pemerintahan Daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, Dalam Pasal 56 ayat (1) dikatakan : “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.”

3

Penjelasan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah

4

Agussalim Andi Gadjong, Op. Cit., hal. 167

5

UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan hasil revisi UU No.22 Tahun 1999, yang secara final diputuskan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 29 September 2004.

(11)

keistimewaan dan kekhususan serta keragaman daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.6

Bagi Pemerintah LPPD dapat dijadikan salah satu bahan evaluasi untuk keperluan pembinaan terhadap pemerintah daerah. Dengan dilaksanakannya pemilihan langsung kepala daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 maka hubungan kerja Kepala Daerah dengan DPRD mengalami perubahan yang cukup mendasar dibandingkan ketika Kepala Daerah dipilih DPRD dan bertanggungjawab kepada DPRD. Pemilihan langsung kepala daerah telah menyebabkan adanya kesetaraan dan kemitraan hubungan antara kepala daerah yang menjalankan fungsi eksekutif dengan DPRD yang menjalankan fungsi legislatif dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah.

Untuk terwujudnya pelaksanaan otonomi daerah sejalan dengan upaya menciptakan pemerintahan yang bersih, bertanggungjawab serta mampu menjawab tuntutan perubahan secara efektif dan efisien sesuai dengan prinsip tata pemerintahan yang baik, maka Kepala Daerah wajib melaporkan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Laporan dimaksud dalam bentuk Laporan Penyelenggaran Pemerintahan Daerah (LPPD), Laporan Keterangan Pertaggungjawaban (LKPJ); dan Informasi LPPD.

7

6

UU 32 Tahun 2004 Pasal 27 ayat (2) dan (3)

7

(12)

12

Kondisi tersebut menjadi landasan terbentuknya hubungan checks and balances8

Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 adalah lahir dari sebuah sintesa UU No 22 Tahun 1999. Sebagaimana diketahui, salah satu masalah mendasar UU 22 Tahun 1999 adalah lemahnya pengawasan maupun check and balances. Kewenangan DPRD sangat besar, baik ketika memilih kepala daerah, maupun pertanggungawaban tahunan kepala daerah. Kewenangan DPRD itu dalam penerapan di lapangan sulit dikontrol dan kemudian menimbulkan penyimpangan-penyimpangan dan ketidakseimbangan kekuasaan. Mekanisme pemilihan Kepala Daerah dan Pertanggungjawaban Kepala Daerah yang menempatkan DPRD sebagai lembaga yang memilih dan menentukan ”nasib” penilaian laporan pertanggungjawaban Kepala Daerah banyak menimbulkan masalah serius terkait dengan kolusi dan suap. Beberapa contoh kasus memperlihatkan bahwa kewenangan DPRD untuk memilih Kepala Daerah dan menilai laporan pertanggungjawaban Kepala Daerah telah menimbulkan tawar-menawar politik

yang lebih seimbang antara kepala daerah dengan DPRD. Dalam kaitan hubungan tersebut maka kepala daerah berkewajiban menyampaikan LKPJ kepada DPRD. Sebagai kepala daerah hasil pilihan rakyat, maka kepala daerah tersebut berkewajiban pula untuk menginformasikan laporan penyelenggaran pemerintahan daerah yang telah dilaksanakan kepada masyarakat sebagai perwujudan adanya tranparansi dan akuntabilitas kepala daerah terhadap masyarakat.

8

Pasal 23 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Kepada Masyarakat

(13)

dengan berbagai imbalan baik itu berupa uang, benda, tanah, jabatan, dan motif balas budi lainnya.9

Penyempurnaan UU No. 22 Tahun 199 bertujuan untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan yang terdapat pada undang-undang tersebut, antara lain sebagaimana telah dikemukakan di atas dan merupakan konsekuensi perubahan dalam tatanan kenegaraan akibat di amandemen UUD 1945, serta guna mengantisipasi arus globalisasi, terutama berkaitan dengan peluang penanaman

Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah ditetapkan pada tanggal 7 Mei 1999 dan berlaku efektif sejak tahun 2000. Undang-undang ini dibuat untuk memenuhi tuntutan reformasi, yaitu mewujudkan suatu Indonesia baru, Indonesia yang lebih demokratis, lebih adil dan lebih sejahtera. Dengan berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 ini, hubungan antara pemerintah pusat dan daerah menjadi lebih desentralistis, dalam arti sebagian besar wewenang di bidang pemerintahan diserahkan kepada daerah.

Secara umum UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah ini telah banyak membawa kemajuan bagi daerah dan juga bagi peningkatkan kesejahteraan masyarakat karena pemerintah daerah diberi wewenang yang luas untuk mengelola kekayaan daerah guna dimanfaatkan bagi pembangunan daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat didaerah.

9

(14)

14

modal asing di daerah. Penyempurnan ini dilaksanakan melalui UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintaha Daerah.10

Dari sanalah kemudian UU No.32 Tahun 2004 mencoba mengembalikan hubungan kerja eksekutif dan legislatif yang setara dan bersifat kemitraan. DPRD dan Kepala Daerah sama-sama dipilih oleh rakyat. Sebagai eksekutif kepala daerah melaksanakan, dan DPRD sebagai legislatif membuat aturan. Kepala daerah melaksanakan program, sedangkan DPRD melakukan pengawasan. Mereka bersama-sama membuat budget, sehingga esensinya hak budget itu ada.11

Memang, dengan mekanisme pertanggungjawaban semacam itu akan menjadi masalah ketika ternyata kepala daerah terpilih kinerjanya buruk. Sementara menurut UU 32/2004, kepala daerah tidak bisa diberhentikan dengan Selain itu, kepala daerah juga membuat laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah ke instansi pemerintah diatasnya.

Namun demikian, esensinya, kepala daerah tidak bertangungjawab kepada pemerintah pusat, tetapi ke rakyat. Untuk itulah ketika membuat LKPJ, kepala daerah berkewajiban membuat IPPD (Informasi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah) kepada rakyat. Sementara akuntabilitas keuangannya dalam perhitungan anggaran akan diperiksa oleh BPK. Kalau BPK setuju, maka akan memberikan catatan tersebut ke DPRD, dan selanjutnya kalau DPRD setuju baru dibuat peraturan daerah terkait dengan LKPJ tersebut. Ini merupakan alur pertanggungjawaban dan sekaligus mekanisme hubungan kepala daerah dengan lembaga perwakilan yang ada di daerah; dalam hal ini DPRD.

10

Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas dengan Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2005, hal 1-3

11

Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

(15)

alasan kinerja, kecuali yang bersangkutan melakukan kriminal dan divonis bersalah oleh pengadilan. Made Suwandi menyebut hal ini sebagai resiko pemilihan langsung.12

Model akuntabilitas semacam ini, menurut Sutoro Eko, akan menimbulkan dampak buruk; pertama, Depdagri dibuat menjadi organ dan instrumen korporatisme negara (negara dalam negara) yang mempunyai kekuatan besar untuk mengendalikan daerah secara terpusat. Padahal, menurut skema desentralisasi, Depdagri mestinya menjadi mediator yang baik antara pusat dan daerah, bahkan harus menjadi ”pembela” agar otonomi daerah lebih kuat. Kedua, dalam konteks struktur-kultur politik yang masih birokratis dan klientelistik,

Jalan keluar yang paling efektif dalam kasus ini adalah mengembalikan kedaulatan kepada rakyat pada Pemiihan Kepala Daerah selanjutnya untuk lebih memilih Kepala Daerah yang lebih baik lagi. Dengan kata lain, meminjam pendapat Jimly Asshiddiqie, maka mekanisme LKPJ dan Pilkada adalah sebuah proses evolusioner dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang bersih, terbuka, dan bervisi kesejahteraan rakyat. Implikasi Pertanggungjawaban Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah. Kepala Daerah menurut UU No. 32 Tahun 2004 tidak bertanggungjawab ke samping kepada DPRD dan ke bawah kepada rakyat pemilih, melainkan bertanggungjawab ke atas (Gubernur bertanggungjawab ke Presiden melalui Mendagri, Bupati/Walikota bertanggungjawab ke Mendagri melalui Gubernur). Kepala Daerah cukup memberikan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD dan menyampaikan informasi kepada masyarakat.

12

(16)

16

akuntabilitas vertikal justru akan membuat kepala daerah kurang akuntabel dan responsif kepada masyarakat, melainkan akan lebih loyal (tunduk) pada kekuasaan di atasnya. Dalam praktik bisa jadi kepala daerah akan menghindar dari desakan rakyat dan akuntabilitas publik, sebab sudah merasa cukup menyampaikan pertanggungjawaban kepada pusat. Loyalitas vertikal dengan mudah akan dijadikan kepala daerah sebagai tameng atas tuntutan publik.

Oleh karena itulah, maka tidak akan mungkin terjadi sebuah implikasi hukum terhadap penolakan LKPJ Kepala Daerah yang dilakukan baik oleh DPRD maupun oleh masyarakat. Sebab meskipun DPRD berhak memberikan putusan terhadap LKPJ Kepala Daerah, namun putusan DPRD itu hanya bersifat rekomendasi yang implikasinya hanya berupa masukan-masukan kepada Kepala Daerah agar dimasa mendatang pemerintahan ditingkatkan dengan lebih baik lagi. Sementara akuntabilitas publik kepada Masyarakat melalui Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, hanyalah sebatas menginformasikan saja, masyarakat ternyata tidak memiliki mekanisme untuk menyatakan menerima atau menolak, yang bisa dilakukan hanya memberikan rekomendasi kepada DPRD terkait evaluasi jalannya pemerintahan melalui mekanisme public hearing atau agregasi dan aspirasi kepentingan yang biasa dilakukan oleh DPRD atau anggota DPRD dengan masyarakat.

Jika kemudian terjadi kasus penolakan terhadap LKPJ Kepala Daerah, maka secara yuridis penolakan tersebut tidak akan mempunyai implikasi hukum terhadap Kepala Daerah: Kepala Daerah tidak dapat diberhentikan ditengah masa jabatan karena ditolaknya LKPJ atau dituntut dimuka pengadilan karena

(17)

Penolakan LKPJ, atau dinyatakan tidak boleh mencalonkan diri kembali pada pemilihan Kepala Daerah selanjutnya, artinya meskipun LKPJ Kepala Daerah ini banyak mendapatkan kecaman dan penolakan, Kepala Daerah ini tetap saja bisa melenggang untuk mencalonkan diri kembali pada pemilihan selanjutnya.

Namun jika implikasi sosial dan politik yang dimaksud, hal itu bisa saja terjadi. Yang paling memungkinkan adalah dengan adanya penolakan LKPJ Kepala Daerah, terutama dari masyarakat, adalah pada saat sang Kepala Daerah mencalonkan diri kembali, maka sudah pasti akan kehilangan pendukung sebagai implikasi sosial dan politik terhadap penolakan LKPJ. Bukan hanya itu, integritas dan kapabilitas seorang Kepala Daerah yang LKPJ-nya ditolak akan mengalami kemerosotan, sehingga akan berimbas dalam hubungan sosial kemasyarakatan, terutama dengan konstituen pemilihnya.

Pemilihan langsung kepala daerah telah menyebabkan adanya kesetaraan dan kemitraan hubungan antara kepala daerah yang menjalankan fungsi eksekutif dengan DPRD yang menjalankan fungsi legislatif dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah. Kepala Daerah menurut UU No. 32 Tahun 2004 tidak bertanggungjawab ke samping kepada DPRD dan ke bawah kepada rakyat pemilih, melainkan bertanggungjawab ke atas (gubernur bertanggungjawab ke Presiden melalui Mendagri, Bupati/Walikota bertanggungjawab ke Mendagri melalui gubernur).

(18)

18

penolakan LKPJ Kepala Daerah yang dilakukan baik oleh DPRD maupun oleh masyarakat. Kepala Daerah tidak dapat diberhentikan ditengah masa jabatan karena ditolaknya LKPJ atau dituntut dimuka pengadilan karena Penolakan LKPJ, atau dinyatakan tidak boleh mencalonkan diri kembali pada pemilihan Kepala Daerah selanjutnya, artinya meskipun LKPJ Kepala Daerah ini banyak mendapatkan kecaman dan penolakan, Kepala Daerah ini tetap saja bisa mencalonkan diri kembali pada pemilihan selanjutnya.

Mekanisme hubungan kepala daerah dengan DPRD, dan akuntabilitas kepala daerah dalam sistem LKPJ perlu ditinjau ulang. Terutama untuk mengakomodir respons DPRD dan masyarakat terhadap LKPJ Kepala Daerah yang tidak memuaskan dan tidak menggambarkan kemajuan pemerintahan daerah. Kekurangan yang nampak dalam sistem akuntabilitas LKPJ yang tidak mengakomodir pertanggungjawaban dari sisi kinerja kepala daerah harus segera disempurnakan, sehingga DPRD dan masyarakat bisa memberikan penilaian terhadap LKPJ dilihat dari kinerja Kepala Daerah dan ada mekanisme hukum terhadap LKPJ dari sisi kinerja dan progress report.

Permasalahan akuntabilitas dan transparansi merupakan salah satu persoalan dalam pelaksanaan pemerintah daerah yang hingga saat ini terus dikaji pelaksanaanya oleh pemerintah. Hal ini menurut Yusuf Ateh Kepala Bidang Akuntabilitas Kantor Menteri Negera Pendayagunaan Aparatur Negara, karena hingga saat ini Pemerintah Indonesia juga belum menunjukan kemampuan pertanggungjawabannya, padahal salah satu ciri pemerintahan yang akuntabel adalah memiliki pengukuran, tujuan dan sasaran program yang diusulkan. Oleh

(19)

karena itu pula pemerintah akan lebih menekankan aspek akuntabilitas pemerintahan dalam reformasi birokrasi pemerintahan.13

Untuk mewujudkan pertanggung jawaban pemerintah terhadap warganya salah satu cara dilakukan dengan menggunakan prinsip transparansi (keterbukaan). Melalui transparansi penyelenggaraan pemerintahan, masyarakat diberikan kesempatan untuk mengetahui kebijakan yang akan dan telah diambil oleh pemerintah. Juga melalui transparansi penyelenggaraan pemerintahan tersebut, masyarakat dapat memberikan feedback atau outcomes terhadap kebijakan yang telah diambil oleh pemerintah.14

B. Perumusan Masalah

Dari uraian di atas, maka rumusan dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana Kedudukan dan tugas Gubernur Sumatera Utara menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004?

2. Bagaimana implementasi prinsip akuntabilitas dan transparansi dalam mewujudkan pemerintahan yang baik di Provinsi Sumatera Utara ?

3. Apa hambatan/kendala yang ditemui, dihadapi dalam implementasi prinsip akuntabilitas dan transparansi dalam mewujudkan pemerintahnan yang baik di Provinsi Sumatera Utara?

13

Kompas 2007

14

BKSI, “Mencari Format Dan Konsep Transparansi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah” Disajikan pada seminar “Menciptakan Transparansi Penyelenggaraan

Pemerintahan Daerah : Memberdayakan Momentum Reformasi”, Forum Inovasi dan

(20)

20

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah ;

a. Untuk mengetahui kedudukan dan tugas Gubernur Sumatera Utara Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004.

b. Untuk mengetahui implementasi prinsip akuntabilitas dan transparansi dalam mewujudkan pemerintahan yang baik di Provinsi Sumatera Utara.

c. Untuk mengetahui apa hambatan/kendala yang ditemui, dihadapi dalam implementasi prinsip akuntabilitas dan transparansi dalam mewujudkan pemerintahnan yang baik di Provinsi Sumatera Utara?

2. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian adalah manfaat yang didapatkan dari suatu penelitian, kontribusi yang diharapkan dari penelitian ini adalah

a. Kegunaan teoritis, penelitian ini diharapkan dapat mengidentifikasi Permasalahan pertanggungjawaban pemerintahan daerah guna mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik di daerah dan dan memberikan sumbangan pemikiran tentang persoalan pertanggung jawaban kepala daerah.

b. Kegunaan praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat membuka cakrawala pikir dan menjadi bahan sumbangan pemikiran bagi pemerintah baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah dalam

(21)

masalah implementasi akuntabilitas dan transparansi pertanggung jawaban pemerintah daerah

D. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian di lapangan dan perpustakaan Universitas Sumatera bahwa judul tentang transparansi belum pernah ada di perpustakaan Universitas Sumatera Utara, maka diketahui bahwa belum ada penelitian yang serupa dengan apa yang menjadi bidang dan ruang lingkup penelitian penulis ini, yaitu mengenai Akuntabilitas dan Transparansi Kepala Daerah Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Baik Di Daerah (Studi Provinsi Sumatera Utara). Oleh karena itu penulis berkeyakinan bahwa penelitian yang penulis lakukan ini jelas dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, karena senantiasa memperhatikan ketentuan-ketentuan atau etika penelitian yang harus dijunjung tinggi bagi peneliti atau akademisi

E. Tinjauan Kepustakaan

(22)

22

benar terpisah bahkan saling mempengaruhi.15

Pentingnya pembagian kekuasaan secara vertical yang melahirkan pemerintahan daerah tidak hanya ada di Indonesia, tetapi juga di negara–negara lain. Seperti yang dilukiskan oleh J.H Warren sebagaimana dikutip oleh Juanda

Dalam hubungan antar lembaga kekuasaan tersebut diatur dengan mekanisme cheq and balance, sedangkan pemecaran kekuasaan vertical melahirkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah otonom yang memikul hak desentralisasi.

16

Desentralisasi dan otonomi ini memberikan jaminan yang kuat bagi pelaksanaan demokrasi di negara yang menganut bentuk susunan Negara kesatuan. Menurut Bagir Manan, yang mendasar dalam pemberian otonomi bukan sekedar pemencaran penyelenggaraan pemerintahan, tetapi agar pemerintahan dapat efisien dan efektif. Otonomi adalah sebuah tatanan kenegaraan (straatsrechtelijke), bukan hanya tatanan administrasi negara (administratie frechtelijke). Sebagai tatanan kenegaraan otonomi berkaitan dengan dasar – dasar bernegara dan susunan organisasi negara.

, above everything, however, Local governmrnt is a fundamental institution

because of its educatve effect upon the mass of ordinary citizens) (di atas segalanyapun, pemerintahan daerah adalah suatu lembaga yang pokok karena memiliki pengaruh pembelajaran terhadap negaranya).

17

Karakteristik atau unsur utama penyelenggaraan kepemerintahan yang baik (good governance), menurut Bahatta dan Nisjar adalah adalah: akuntabilitas

15

Ismail Suny , Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Aksara Baru, Jakarta, 1986, hal. 15

16

Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah : Paang Surut Hubungan Kewenangan Antara DPRD dan Kepala Daerah, Alumni, Bandung, 2005, hal.16

17

Bagir Manan , Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomni Daerah, FSH UII Press, Yogyakarta, 2002, hal..24

(23)

(accountability), transparansi (transparacy), keterbukaan (openess), dan aturan hukum (rule of law) ditambah dengan kompetensi managemen (managemen competence) dan hak-hak asasi manusia (human right). Tidak jauh berbeda, Ganie Rahman dalam Joko Widodo18

Akuntabilitas publik adalah sesuatu yang menunjukkan seberapa besar tingkat kesesuaian ukuran atau standar penyelenggaraan penyusunan kebijakan publik dengan peraturan hukum dan perundang-undangan yang berlaku untuk organisasi publik yang bersangkutan. Pada dasarnya, setiap pengambilan

, menyebutkan ada empat unsur utama yaitu akuntabilitas (accountability), adanya kerangka hukum (rule of law), informasi dan transparansi. Sedangkan UNDP mengemukakan 9 (sembilan) karakteristik good governance meliputi Partisipasi (Participation), Aturan hukum (Rule of law) Transparansi (Transparency) Daya tangkap (responsiveness Berorientasi Konsensus (Consensus Orientation), Berkeadilan (Equity) Efektivitas dan efisien (Efektiveness and dan efisiency) Akuntabilitas (Accountability) dan Visi Strategi (Strategi Vision). Kriteria atau unsur–unsur yang dikemukakan tersebut, akuntabilitas dan transparansi merupakan dua kriteria pokok yang selalu ada dalam good governance. Akuntabilitas sebagai salah satu prinsip good governance dewasa ini boleh dikatakan sebagai harga mati yang harus dilakukan pemerintah. Akuntabilitas atau tanggunggugat lembaga eksekutif selain disebabkan oleh adanya tuntutan perkembangan paradigma good governance dan perkembangan demokratisasi juga karena kesadaran kritis masyarakat yang sudah mulai tumbuh subur.

18

(24)

24

kebijakan publik akan berdampak pada sekelompok orang atau seluruh masyarakat, baik dampak yang menguntungkan atau merugikan, maupun langsung atau tidak langsung. Oleh karena itu, penyusun kebijakan publik harus dapat mempertanggungjawabkan setiap kebijakan yangdiambilnya kepada.19

Kumorotomo memberikan pengertian bahwa akuntabilitas adalah pertanggungjawaban bawahan atas pemenuhan wewenang yang dilimpahkan kepadanya, sehingga akuntabilitas merupakan faktor di luar individu dan perasaan pribadinya.20

Keempat butir tujuan tersebut kemudian melalui keputusan-keputusan politik dirinci dan didefinisikan guna menciptakan kepastian hukum, cara dan alat mencapainya diatur lebih lanjut dalam UUD, aturan-aturan penyelenggaraan dan perintah-perintah pelaksanaanya secara hierarkis sampai pada tingkat operasional di lapangan. Pertanggungjawabanyapun bertingkat pula. Dengan demikian, menurut Taliziduhu Ndraha tolak ukur akuntabilitas adalah efektivitas, efisiensi

Pemerintah bertanggungjawab dalam hal pencapaian tujuan Negara yang telah ditetapkan secara konstitusional. Tujuan negara itu sendiri tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu :

………melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang ………

19

Dadang Solihin, Pengukuran Good Governance Index Sekretariat Tim Pengembangan Kebijakan Nasional Tata Kepemerintahan yang Baik – BAPPENAS, 2007

20

Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara, PT Raja Grafndo Persada, Jakarta, 1999, hal. 217

(25)

dan produktifitas pemerintahan berdasarkan standar yang telah ditetapkan., baik standar input, standar output standar throuhtput dan standar outcome.21

a. hak mencari, memperoleh dan memberikan informasi mengenai penyelenggaraan negara

Akuntabilitas sangat terkait dengan transparansi, dapat dikatakan tidak ada akuntabilitas tanpa adanya transparansi. Menurut penjelasan Pasal 3 angka 4 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negera yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi Nepotismen (KKN) transparansi diartikan sebagai asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara.

Dari pengertian tersebut dapat terlihat bahwa masyarakat berhak memperoleh informasi yang jujur dan benar tentang penyelenggaraan negara. Secara lebih jelas peran serta masyarakat ini ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pelaskanaan Peran Serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Negara, dikatakan bahwa peran serta masyarakat untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dilaksakan dalam bentuk ;

b. hak memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari penyelenggara negara c. hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggungjawab terhadap

kebijakan penyelenggaraan negara.

21

(26)

26

F. Metode Penelitian

1. Metode Pendekatan

Penelitian ini menggunakan pendekatan secara normatif dan empiris. Mengacu pada tipologi penelitian menurut Soerjono Soekanto, studi pendekatan terhadap hukum yang normatif mengkonsepsikan hokum sebagai norma, kaidah, peraturan dan perundang – undangan yang berlaku pada suatu waktu dan temat tertentu sebagai produk dari suatu kekuasaan negara tertentu yang berdaulat.22

2. Spesifikasi Penelitian

Permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah tentang implementasi prinsip akuntabilitas dan transparasi dalam peretanggungjawaban Pemerintah Daerah Untuk Mewujudkan Pemerintahan Yang Baik di daerah Daerah. Pendekanan normatif dimaksudkan untuk menggali dan mengkaji peraturan perundang-undangan sebagai dasar berpijak dalam meneliti dalam persoalan yang kemudian berdasarkan hal tersebut peneliti melihat secara empiris dalam praktek pelaksanaanya.

Berdasarkan judul peneitian yang telah dijabarkan dalam beberapa rumusan masalah dan dihubungkan dengan tujuan - tujuan yang ingin dicapai sebagaimana diuraikan di atas, maka spesifikasi penelitian ini termasuk dalam lingkungan penelitian deskriptif analitis. Dikatakan bersikap deskriptif karena merupakan suatu upaya untuk mendskripsikan (mengungkakan dan memaparkan) permasalahan akuntabilitas dan transaparasi dalam

22

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitiah Hukum, UI Press, Jakarta, 1982, hal.51

(27)

pertanggungajwaban pemda, yang selanjutnya akan dibahas dan dianalisa dengan berbagai teori dan pendapat sehingga akhirnya dapat diambil kesimpulan

3. Jenis dan Sumber data

Penelitian hukum yang bersifat normatif selalu menitikberatkan pada sumber data sekunder. Data Skunder pada penelitian dapat dibedakan menjadi bahan–bahan hukum primer, bahan-bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Dalam penelitian ini, bersumber dari data sekunder sebagai berikut ;

1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat seperti UUD 1945 dan konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia, dan berbagai peraturan perundangan tentang Pemerintahan Daerah

2) Bahan hukum sekunder, yang terdiri dari buku-buku literatur yang membahasa tentang good governance, akuntabilitas, transparasi dan Pemerintahan Daerah

3) Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk ataupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Hukum.

4. Metode Pengumpulan Data

(28)

28

dalam bentuk wawancara dengan beberapa narasumber yang berkompeten dengan masalah yang diteliti.

Metode pengumpulan data yang ditempuh dalam penelitian ini adalah ; Studi dokumenter, yakni penelitian terhadap berbagai data sekunder yang berkaitan dengan obyek penelitian

5. Analisa Data

Analisa data penelitian ini dilakukan simultan dengan menggunakan analisa kualitatif, yaitu data sekunder yang berupa teori, definisi dan substansinya dari beberapa literatur dan peraturan perundang undangan serta data primer yang diperoleh dari wawancara dianalisis dengan undang–undang, teori dan pendapat para pakar yang relevan sehingga didapat kesimpulan tentang implementasi prinsip akuntabilitas dan transaparasi dalam pertanggungjawaban pemerintah daerah.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini dilakukan dengan membagi menjadi 5 bab, dengan sistematika sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini akan membahas tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan metode penelitian dan sistematika penulisan.

(29)

BAB II KEDUDUKAN DAN TUGAS GUBERNUR SUMATERA UTARA MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

Berisikan mengenai Pemerintahan Daerah, Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

BAB III IMPLEMENTASI PRINSIP AKUNTABILITAS DAN

TRANSPARANSI DALAM MEWUJUDKAN PEMERINTAHAN YANG BAIK DI DAERAH

Pada bab ini membahas tentang konsep akuntabilitas dan transparansi dan implementasi akuntabilitas dan transparansi dalam mewujudkan pemerintah yang baik di daerah

BAB IV APA HAMBATAN/KENDALA YANG DITEMUI, DIHADAPI DALAM IMPLEMENTASI PRINSIP AKUNTABILITAS DAN TRANSPARANSI DALAM MEWUJUDKAN PEMERINTAHAN YANG BAIK DI PROVINSI SUMATERA UTARA

Bab ini akan membahas mengenai gambaran umum Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Pertanggungjawaban Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan Kendala yang dihadapi dalam implementasi akuntabilitas dan transparansi

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

(30)

22

BAB II

KEDUDUKAN DAN TUGAS KEPALA DAERAH DALAM PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU

A. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1999 Pemerintahan Daerah

Undang-Undang ini lahir dari akibat reformasi pelaksanaan pemerintahan di Indonesia, yang secara langsung menjawab harapan masyarakat (daerah) dalam merevisi Undang-Undang. No. 5 Tahun 1974 yang mengatur pelaksanaan pemerintah di daerah.

Prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah yang dijadikan pedoman dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 antara lain :

(a) Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah.

(b) Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggungjawab.

(c) Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan daerah kota, sedang otonomi daerah Provinsi merupakan otonomi yang terbatas23

Melalui Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 daerah diberi kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta

23

C.S.T Kansil dan Christine Kansil, Pemerintah Daerah Di Indonesia, (Jakarta: PT Sinar Grafika, 2008), hal. 79.

(31)

kewenangan bidang lain. Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan daerah kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja.

UU No. 22 Tahun 1999 memperpendek jangkauan asas dekonsentrasi yang dibatasi hanya sampai pemerintahan Provinsi. Pemerintahan Kabupaten dan Kota telah terbebas dari intervensi pusat yang sangat kuat melalui perangkapan jabatan Kepala Daerah Otonom (Local Self-government) dan Kepala Wilayah Administratif (Field Administration). Bupati dan Walikota adalah Kepala Daerah Otonom saja.

Sementara itu jabatan Kepala Wilayah pada kabupaten dan kota (dulu Kotamadya) sudah tidak dikenal lagi. Bupati dan Walikota dipilih secara mandiri oleh DPRD Kabupaten/Kota tanpa melibatkan pemerintah Provinsi maupun pemerintah pusat. Oleh karena itu, Bupati/Walikota harus bertanggungjawab kepada dan bisa diberhentikan oleh DPRD sebelum masa jabatannya usai. Sementara itu Pemerintahan Pusat (presiden) hanya diberi kekuasaan untuk ‘memberhentikan sementara’ seorang Bupati/Walikota jika dianggap membahayakan integrasi nasional.

(32)

24

“ketegangan” antara pusat dan daerah berkaitan dengan kebijakan Pusat yang dipandang tidak sesuai dengan aspirasi Daerah. Peraturan pelaksana dari Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang-Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 sampai saat menjelang diganti dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 belum juga dikeluarkan oleh Pemerintah, misalnya Peraturan Pemerintah tentang urusan otonomi untuk Kabupaten dan Kota. Tetapi Pemerintah justru mengeluarkan Keputusan Presiden No. 5 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan Pengakuan Kewenangan Kabupaten/Kota, yang kemudian ditindaklanjuti dengan menerbitkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 130-67. Kewenangan antara Pusat dan Daerah juga terjadi dalam hal interpretasi kewenangan antara Pusat dan Daerah. Hal itu terlihat antara lain dari dibatalkannya sejumlah Peraturan Daerah yang dipandang “bermasalah” oleh Pemerintah Pusat dengan alasan bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan lainnya.24

Daerah Kabupaten/Kota menganggap Daerah Provinsi bukan atasannya lagi sebagaimana dulu diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1974. Akibatnya, gubernur merasa kewenangannya banyak dipangkas terutama hilangnya kapasitas untuk mengontrol dan mengawasi perilaku Kepala Daerah di Kabupaten dan Kota yang selama ini dinikmati pada masa pemerintahan Orde Adanya penegasan dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 bahwa antara Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota tidak ada jenjang hierarki, telah pula menyebabkan hubungan antara keduanya menjadi tidak harmonis.

24

Ni”Matul Huda, Pengawasan Pusat Terhadap Daerah Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, (Yogyakarta: FH UII Press, 2007), hal. 58.

(33)

Baru. Padahal dalam Pasal 9 Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 ditegaskan bahwa kewenangan provinsi sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten/kota, serta kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya, termasuk juga kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan daerah kabupaten dan daerah kota. Kewenangan provinsi sebagai wilayah administrasi mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada gubernur selaku wakil pemerintah

Gubernur Sumatera Utara sebagai Kepala Daerah di Provinsi Sumatera Utara mempunyai tugas dan wewenang yang diatur dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 sebagai berikut ;

a. Mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana cita-cita

b. Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945;

c. Memegang teguh Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; d. Menghormati kedaulatan rakyat;

e. Menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan; f. Meningkatkan taraf kesejahteraan rakyat;

g. Memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat; dan

(34)

26

Pemilihan Kepala Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999. Sentralisasi politik orde baru yang dituangkat dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah, telah terbukti hanya berfungsi untuk menjadikan pemerintahan daerah sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat belaka.25

Affan Gaffar, salah seorang yang membidani lahirnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menyebutkan bahwa ada beberapa ciri khas yang membedakan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dengan undang-undang sebelumnya, antara lain:

Kontrol yang sangat keta ini misalnya terlihat pada proses pemilihan kepala daerah dan pembuatan peraturan daerah. Bahkan tidak jarang pemerintah pusat melalui kementerian dalam negeri mementahkan kembali aspirasi masyarakat di daerah menyangkut kedua hal tersebut. Belum lagi persoalan pembagian sumber daya alam yang tidak mencerminkan keadilan antara pemerintah pusat dan daerah. Kondisi semacam itulah yang kemudian terakumulasi dan mencapai puncaknya ketika orde baru jatuh. Hampir seluruh daerah merasa yang selama orde baru berkuasa merasa diperlakukan tidak adil, menuntut kemerdekaan. Derasnya arus reformasi telah membawa perubahan mendasar dalam penyelesaian gugatan ketidakadilan oleh daerah terhadap pemerintah pusat tersebut. Lahirnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menggantikan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 lebih memberikan keleluasaan menyelenggarakan pemerintahan daerahnya.

26

25

Dasril Radjab, Hukum Tata Negara Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2005, hal. 130.

26

Ahmad Nadir, Pilkada Langsung dan Masa Depan Demokrasi: Studi Atas Artikulasi Politik Nahdliyyin dan Dinamika Politik dalam Pilkada Langsung di Kab. Gresik, Jatim, Averroes Press, Malang, 2005, hal. 106-107

(35)

1. Adanya upaya untuk melakukan demokratisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, yaitu dengan memberikan kewenangan sepenuhnya kepada masyarakat di daerah melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk memilih kepala daerah dan membuat peraturan daerahnya sendiri. 2. Upaya mendekatkan pemerintah kepada rakyat dengan menitikberatkan

otonomi daerah pada kabupaten dan kota, tentunya dengan asumsi akan mempermudah masyarakat dalam memperoleh pelayanan (publik service). 3. Sistem otonomi luas dan nyata di semua bidang pemerintahan kecuali

yang menyangkut kebijaksanaan politik luar negeri, hankam, moneter dan fiscal, sistem peradilan dan agama

4. Tidak menggunakan sistem otonomi bertingkat yang diimplementasikan pada tidak dikenalnya lagi daerah Tingkat I dan II yang membawa konsekuensi Gubernur bukan lagi atasannya Bupati.

5. Penyerahan kewenangan kepada daerah kabupaten atau kota dilakukan bersamaan dengan penyerahan pembiayaan atas penyelenggaraan pemerintahan tersebut, selanjutnya hal ini diatur lebih lanjut dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

(36)

28

yang terjadi di dalam penentuan kebijakan-kebijakan publik di daerah, seperti Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Walikota dan wakilnya, pembuatan berbagai peraturan daerah dan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan daerah.27

Pasal 30 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menyebutkan bahwa setiap daerah dipimpin oleh seorang kepala daerah sebagai kepala eksekutif yang dibantu oleh seorang wakil kepala daerah. Kepala daerah provinsi disebut Gubernur yang karena jabatannya adalah juga sebagai wakil pemerintah. Dalam menjalankan tugas dan kewenangan sebagai kepala daerah, Gubernur bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi. Tata cara pelaksanaan pertanggungjawaban, ditetapkan dengan peraturan tata tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah. Dalam kedudukan sebagai wakil pemerintah, gubernur berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden. Dalam menjalankan tugas dan kewenangan selaku kepala daerah, Bupati/ Walikota bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota. Tata cara pelaksanaan pertanggungjawaban, ditetapkan dalam peraturan tata tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah. Pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah melalui pemilihan secara bersamaan. Calon kepala daerah dan wakil kepala daerah ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah melalui tahapan pencalonan dan pemilihan. Untuk pencalonan dan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala

27

Ibid

(37)

daerah, dibentuk panitia pemilihan. Ketua dan para wakil ketua panitia pemilihan merangkap sebagai anggota. Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah karena jabatannya adalah Sekretaris Panitia Pemilihan, tetapi bukan anggota.

Lebih detail tentang proses pilkada menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menyebutkan bahwa penyelenggaraan pilkada adalah panitia pemilihan yang pada dasarnya memiliki tugas pokok, yaitu melakukan pemeriksaan berkas identitas mengenai bakat calon berdasarkan persyaratan yang telah ditetapkan; melakukan kegiatan teknis pemilihan calon; dan menjadi penanggungjawab penyelenggaraan pemilihan. Bakal calon kepala daerah dan bakal calon wakil kepala daerah yang memenuhi persyaratan sesuai dengan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh panitia pemilihan, diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk ditetapkan sebagai calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah.28

Setiap fraksi melakukan kegiatan penyaringan pasangan bakal calon sesuai dengan syarat yang ditetapkan dalam Pasal 33. Setiap fraksi menetapkan pasangan bakal calon kepala daerah dan bakal calon wakil kepala daerah dan menyampaikannya dalam rapat paripurna kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dua fraksi atau lebih dapat bersama-sama mengajukan pasangan bakal calon kepala daerah dan bakal calon wakil kepala daerah. Dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, setiap fraksi atau beberapa fraksi memberikan penjelasan mengenai bakal calonnya. Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengundang bakal calon dimaksud untuk menjelaskan visi, misi,

28

(38)

30

serta rencana-rencana kebijakan apabila bakal calon dimaksud terpilih sebagai kepala daerah. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat melakukan Tanya jawab dengan para bakal calon. Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan pimpinan fraksi-fraksi melakukan penilaian atau kemampuan dan kepribadian para bakal calon dan melalui musyawarah atau pemungutan suara menetapkan sekurang-kurangnya dua pasang calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah yang akan dipilih satu pasang di antaranya oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Kemudian, nama-nama, calon gubernur dan calon wakil gubernur yang telah ditetapkan oleh pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dikonsultasikan dengan presiden.29

Nama-nama calon bupati dan calon wakil bupati serta calon walikota dan calon wakil walikota yang akan dipilih Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ditetapkan dengan keputusan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pemilihan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah dilaksanakan dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Apabila jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah belum mencapai kuorum, pimpinan rapat dapat menunda rapat paling lama satu jam. Apabila ketentuan tersebut belum tercapai, rapat paripurna diundur paling lama satu jam lagi dan selanjutnya pemilihan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah tetap dilaksanakan. Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilaksanakan secara langsung, bebas, rahasia, jujur dan adil. Setiap anggota

29

Ibid

(39)

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat memberikan suaranya kepada satu pasang calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah dari pasangan calon yang telah ditetapkan oleh pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah yang memperoleh suara terbanyak pada pemilihan, ditetapkan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan disahkan oleh Presiden. Kepala daerah mempunyai masa jabatan lima tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan. Kepala daerah dilantik oleh Presiden atau pejabat lain yang ditunjuk untuk bertindak atas nama Presiden Tentang Pemberhentian Kepala Daerah diatur bahwa Kepala Daerah berhenti atau diberhentikan karena:30

a. Meninggal dunia

b. Mengajukan berhenti atas permintaan sendiri

c. Berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat yang baru d. Tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 e. Melanggar sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam pasal 42 ayat (3) f. Melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 48

g. Mengalami krisis kepercayaan publik yang luas akibat kasus yang melibatkan tanggung jawabnya, dan keterangannya atas kasus itu ditolak oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Pemberhentian Kepala Daerah karena alasan-alasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 49 ditetapkan dengan Keputusan Dewan Perwakilan

30

(40)

32

Rakyat Daerah dan disahkan oleh presiden. Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah itu harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua pertiga dan jumlah anggota, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota yang hadir.

B. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

Dinamika pemerintahan daerah pasca amendemen UUD mengalami pasang-surut yang menjadi trend topik semua unsur, mulai dari bongkar-pasang undang-undang pemerintahan daerah, dinamika kontraksi, dan atau transaksi politik Pilkada, pemekaran daerah, komplik kebijakan publik, keluhan pelayanan terpadu, kemiskinan, kantibmas, korupsi anggaran, dan pengisian jabatan wakil dan terkini hubungan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah.

Pasal 18 UUD 1945, sebagai ground norm dari pemerintahan daerah secara tegas menyatakan: “Pemerintah provinsi, kota/kabupaten, mengatur, dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.” Penyelenggaraan pemerintahan daerah kemudian dilakukan berdasar prinsip otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.

Kedudukan dan kekuasaan penyelenggaraan pemerintah daerah melakukan aktivitasnya tidak keluar dari kerangka Negara Kesatuan. Begitu pula pengelolaan daerah tentu tidak terlepas dari suatu sistem pengelolaan, termasuk subsistem yang menjadi pengelola sistemnya yang telah ditentukan aturan perundang-undangan. Alur pemikiran tersebut akhirnya akan berkait erat dengan model rekrutmen kepala daerah di masing-masing daerah.

(41)

Pasal 18 ayat (4) menyatakan gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Dalam Pasal 18 UUD ini dapat ketahui tidak ada sama sekali menyebutkan keberadaan dari wakil kepala daerah.

Kedudukan wakil kepala daerah muncul dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyatakan setiap daerah dipimpin seorang kepala daerah dan di bantu oleh seorang wakil kepala daerah. Pemimpin daerah selain sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, juga merupakan pasangan pejabat publik yang terpilih berdasarkan political recruitmen atau model pemilihan (elections) yang bersifat langsung (direct) dan menjalankan amanah rakyat.

Oleh sebab itu, kedudukan kepala daerah dan wakil kepala daerah diibaratkan sebagai partner yang tidak terpisahkan, baik sebagai penjabat publik dalam hal pengelola maupun pemegang tampuk kepemimpinan di daerah. Kedua pejabat daerah sebagai simbol rakyat yang bertindak sebagai pelindung masyarakat daerah dan mewujudkan kepercayaan masyarakat.

(42)

34

Secara substansi persoalan krusial retaknya hubungan karena berkaitan dengan tugas dan kewenangan yang dimiliki wakil. Pasal 26 UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan tugas dari wakil kepala daerah adalah: a) Membantu kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah; b) Membantu kepala daerah dalam mengoordinasikan kegiatan instansi vertikal di daerah, menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil pengawasan, melaksanakan pemberdayaan perempuan dan pemuda serta mengupayakan pengembangan dan pelestarian sosial budaya dan lingkungan hidup; c) Memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan kabupaten dan kota bagi wakil kepala daerah provinsi; d) Memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan di wilayah kecamatan, kelurahan dan/atau desa bagi wakil kepala daerah kabupaten/kota; e) Memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintah daerah; f) Melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang diberikan kepala daerah; dan g) Melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala daerah berhalangan; h) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimasud pada ayat (1), wakil kepala daerah bertanggung jawab kepada kepala daerah; dan i) Wakil Kepala Daerah menggantikan Kepala Daerah sampai habis masa jabatannya apabila kepala daerah meninggal dunia, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama 6 (enam) bulan secara terus menerus dalam masa jabatannya.

(43)

Di dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 ditegaskan, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah. Pemerintahan daerah tersebut mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemerintah daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan Pemerintah dan dengan pemerintah daerah lainnya. Hubungan tersebut meliputi hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras. Hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya menimbulkan hubungan administrasi dan kewilayahan antar susun pemerintahan31

Penyelenggaran urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan. Pelaksanaan hubungan kewenangan antara Pemerintah dan pemerintah daerah Provinsi, kabupaten dan kota atau antar pemerintah daerah yang saling terkait, tergantung, dan sinergis sebagai satu sistem pemerintahan. Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana, serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan. Urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada gubernur disertai dengan pendanaan sesuai dengan urusan yang didekonsentrasikan.

31

(44)

36

Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah dibedakan atas urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah Provinsi merupakan urusan dalam skala Provinsi. Urusan pemerintahan Provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah kabupaten/kota merupakan urusan dalam skala kabupaten/kota. Urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Urusan pemerintahan tersebut antara lain, pertambangan, perikanan, pertanian, perkebunan, kehutanan, pariwisata.

Di dalam pasal 12 ditentukan, urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana, serta kepegawaian sesuai dengan urusan didesentralisasikan. Urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada gubernur disertai dengan pendanaan sesuai dengan urusan yang didekonsentrasikan.

Sisi lemah Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 adalah masalah kewenangan DPRD yang tidak lagi dapat berperan optimal seperti dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, karena sejumlah kewenangannya yang signifikan

(45)

telah direduksi sedemikian rupa sehingga kewenangan DPRD tidak beda jauh dari desain Undang-Undang No. 5 Tahun 197432

a. Memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD

DPRD selain tidak lagi memilih kepada daerah, juga tidak bisa minta pertanggungjawaban kepala daerah karena kepala daerah bertanggung jawab kepada pemerintah pusat (Presiden), kepada DPRD hanya menyampaikan keterangan pertanggungjawaban. Dengan demikian DPRD tidak lagi dapat leluasa mengkoreksi kebijakan kepala daerah yang bisa berakibat pemberhentian kepala daerah sebagaimana dulu dimungkinkan oleh Undang-Undang No. 22 Tahun 1999. Di sinilah terjadi distorsi sistem demokrasi langsung khususnya dalam pemberhentian kepala daerah

Gubernur Sumatera Utara sebagai Kepala Daerah di Provinsi Sumatera Utara mempunyai tugas dan wewenang yang diatur dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai berikut ;

b. Mengajukan rancangan Perda

c. Menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD

d. Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama e. Mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat menunjuk

kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundangan yang beralaku

32

(46)

38

f. Melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan

Sedangkan tugas Wakil Kepala Daerah diatur dalam Pasal 26 sebagai berikut;

a. Membantu kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah b. Membantu kepala daerah dalam mengoordinasikan kegiatan instansi vertikal

di daerah, menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil pengawasan aparat pengawasan, melaksanakan pemberdayaan perempuan dan pemuda serta mengupayakan pengembangan dan pelestarian social budaya dan lingkungan hidup

c. Memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan daerah

d. Melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainya yang diberikan oleh kepala daerah ; dan

e. Melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala daerah berhalangan.

Dalam melaksankan tugas dan wewenang, kepala daerah dan wakil kepala daerah juga mempunyai kewajiban yang diatur dalam Pasal 27 ayat (1)

a. Memegang teguh dan mengamalkan Pancasaila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta mempeertahankan keutuhan NKRI

b. Meningkatkan kesejahteraan rakyat

c. Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat.

(47)

d. Melaksanakan kehidupana demokrasi

e. Menaati dan menegakan seluruh peraturan perundang – undangan f. Menjaga etika dan norma dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah g. Memajukan dan mengembangkan daya saing daerah

h. Melaksanakan prinsip tata pemerintahan yang baik dan bersih

i. Melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan daerah

j. Menjalin hubungan kerja dengan seluruh instansi vertikal di daerah dan semua perangkat daerah

k. Menyampaiakan rencana strategis penyelenggaraan pemerintahan daerah di hadapan Rapat Paripurna DPRD

Selain mempuyai kewajiban sebagaima tersebut di atas sesuai Pasal 27 ayat (1) tersebut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dalam Pasal 27 ayat (2) mengatur bahwa kepala daerah juga mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah keapda Pemerintah, memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat. Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, kepala daerah dibantu oleh perangkat daerah. Sedangkan perangkat daerah menurut Pasal 120 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan dan keluruahan.

(48)

40

Pemerintah Daerah, maka Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dinyatakan tidak berlaku lagi. Perubahan yang paling signifikan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah mengenai pemilihan kepala daerah secara langsung. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 ini terdiri dari 240 pasal, dari 240 pasal tersebut, 63 pasal di antaranya mengatur tentang pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung, yaitu pasal 56 sampai dengan pasal 119. Dalam rangka mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat, sesuai tuntutan reformasi dan amandemen UUD 1945, undang-undang ini menganut sistem pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dengan memilih calon secara berpasangan. Calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Asas yang digunakan dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sama dengan asas pemilu sebagaimana diatur dalam undang-undang pemilu, yaitu asas langsung, umum, bebas dan rahasia (luber), serta jujur dan adil (jurdil).

Sistem pilkada dapat dibedakan dalam 2 jenis, yaitu pilkada langsung dan pilkada tidak langsung. Faktor utama yang membedakan kedua metoda tersebut adalah bagaimana partisipasi politik rakyat dilaksanakan atau diwujudkan. Tepatnya adalah metoda penggunaan suara yang berbeda Pilkada yang tidak memberi ruang bagi rakyat untuk menggunakan hak pilih aktif, yakni hak untuk memilih dan hak untuk dipilih, dapat disebut dengan pilkada tak langsung, seperti sistem pengangkatan dan/atau penunjukan oleh pemerintah pusat atau sistem pemilihan perwakilan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dalam sistem pengangkatan dan/atau penunjukan oleh pemerintah pusat, kedaulatan atau

(49)

suara rakyat diserahkan bulat-bulat kepada pejabat pusat, baik Presiden maupun Menteri Dalam Negeri. Dalam sistem pemilihan perwakilan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, kedaulatan rakyat atau suara rakyat diwakilkan kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Sebaliknya pilkada langsung selalu memberikan ruang bagi implementasi hak pilih aktif. Seluruh warga asal memenuhi syarat dapat menjadi pemilih dan mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Karena itulah, pilkada langsung sering disebut implementasi demokrasi partisipatoris, sedangkan pilkada tak langsung adalah implementasi demokrasi elitis.33

Cara paling efektif untuk membedakan pilkada langsung dan tak langsung adalah dengan melihat tahapan-tahapan kegiatan yang digunakan. Dalam pilkada tak langsung, partisipasi rakyat dalam tahapan-tahapan kegiatan sangat terbatas atau bahkan tidak ada sama sekali. Rakyat ditempatkan sebagai penonton proses pilkada yang hanya melibatkan elit. Rakyat sekadar menjadi objek politik, misalnya kasus dukung mendukung. Penonjolan peran dan partisipasi terletak pada elit politik, baik Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau pejabat pusat. Dalam pilkada langsung, keterlibatan rakyat dalam tahapan-tahapan kegiatan sangat terlihat jelas dan terbuka lebar. Rakyat merupakan subjek politik. Mereka menjadi pemilih, penyelenggara, pemantau dan bahkan pengawas. Oleh sebab itu, dalam pilkada langsung, selalu ada tahapan kegiatan pendaftaran pemilih, kampanye, pemungutan dan penghitungan suara, dan sebagainya.34

33

Ibid

34

(50)

42

Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah meliputi sebagai berikut:

a. Masa persiapan, meliputi:

1. Pemberitahuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kepada kepala daerah mengenai berakhirnya masa jabatan

2. Pemberitahuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kepada KPUD mengenai berakhirnya masa jabatan kepala daerah

3. Perencanaan, penyelenggaraan, meliputi penetapan tata cara dan jadwal tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah 4. Pembentukan panitia pengawas, PPK, PPS, dan KPPS

5. Pemberitahuan dan pendaftaran pemantau b. Tahapan pelaksanaan, meliputi:

1. Penetapan daftar pemilih

2. Pendaftaran dan penetapan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah 3. Kampanye

4. Pemungutan suara 5. Penghitungan suara

6. Penetapan pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah terpilih, pengesahan dan pelantikan.

Dari enam kegiatan tahap pelaksanaan tersebut, keterlibatan atau partisipasi masyarakat sebagai pemilih dan pemantau terlihat dalam penetapan daftar pemilih, kampanye, pencalonan, pemungutan suara, dan penghitungan suara. Hal itulah yang mencirikan bahwa pilkada berdasarkan Undang-undang

(51)
(52)

44

BAB III

IMPLEMENTASI PRINSIP AKUNTABILITAS DAN TRANSPARANSI

DALAM MEWUJUDKAN PEMERINTAHAN YANG BAIK

DI PROVINSI SUMATERA UTARA

A. Implementasi prinsip akuntabilitas dalam pertanggungjawaban

pemerintah daerah

Era otonomi daerah mengakibatkan bergesernya pusat–pusat kekuasaan dan meningkatnya operasionalisasi dan berbagai kegiatan yang semula banyak dilakukan di Pemerintah Pusat bergeser kepada Pemerintah Daerah. Konsekuensi logis pergeseran tersebut harus diiringi dengan meningkatnya good governance di daerah.35

Dengan dikeluarkanya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah mengubah mekanisme pertanggungjawaban Pemerintah Daerah. Mekanisme pertangggungjawaban yang digunakan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dianggap kurang mencermnkan adanya akuntabilitas dan transaparasi dalam pertanggungjawaban Pemerintah Daerah. Karena hal tersebut maka dalam Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintah

35

Sedarmayanti, 2003, Good Governance (Kepemerintahan Yang Baik) Dalam Rangka Otonomi Daerah. hal 23

Referensi

Dokumen terkait

Untuk wilayah sumatera, turunnya tingkat optimisme konsumen juga tergambar dari turunnya ITK di beberapa provinsi dimana ada tiga provinsi yang memiliki nilai indeks

Pembuatan mekanik alat solar dryer ini berfokus pada pengeringan yang cepat serta merata dan hasil akhir penjemuran yang diinginkan secara otomatis, dimana sistem bekerja

[r]

Bagi otoritas pemangku kebijakan perdagangan maupun pemangku kebijakan sektor perikanan di Indonesia, dengan adanya informasi yang diperoleh dari penelitian ini, diharapkan

Untuk mencapai tahapan ikhlas yang tertinggi ini bukan sesuatu yang mudah untuk diraih, tetapi setiap manusia harus berupaya dan berusaha agar dapat mencapainya,

Pendidik melaksanakan implementasi Pendidikan Karakter Bangsa (PKB) di sekolah. Pemerintah membuat kebijakan yang terus menguatkan pelaksanaan PKB dan

Nomor : 421.3/142/DS/SDN 02 CENTRE/CRP/2012 Kepada Lamp : - Yth. Wali Murid dari Sipat : Penting Rizki Hairun (Kelas V B) Prihal : PANGGILAN

Penjumlahan pada bilangan yang bernilai kecil dapat dilakukan dengan bantuan garis bilangan. Namun, untuk bilangan-bilangan yang bernilai besar, hal itu tidak dapat dilakukan.