Hak Kekayaan Intelektual: Pengantar I Oleh: Edo Parikesit
Hak Atas Kekayaan Intelektual atau yang juga sering disebut dengan Hak Kekayaan Intelektual1 apabila diklasifikasikan termasuk dalam Hukum Perdata, yang merupakan salah satu kodifikasi hukum nasional. Jika diklasifikasikan lebih dalam lagi, terdapat pada bidang hukum perdata yang merupakan bagian hukum benda. Khusus mengenai hukum benda sendiri terdiri atas hak benda materil dan immateril2.
Selanjutnya Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights) dibagi lagi dalam beberapa bidang, yaitu Hak Cipta (copy rights)3 dan Hak Kekayaan Industri
(Industrial Property Rights). Hak Cipta sendiri merupakan hak eksklusif hasil pemikiran atau kreasi manusia yang berupa seni, sastra dan ilmu pengetahuan. Hak Cipta memiliki
perlindungan hukum yang sangat luas karena tidak hanya menyangkut perlindungan dalam lingkup nasional, namun juga menembus dinding-dinding negara.
Sama halnya seperti Hak Cipta, Hak Kekayaan Industri yang terdiri dari merek, paten, desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu, varietas tanaman dan rahasia dagang,
perlindungannya juga menembus dinding-dinding negara.
Dalam diskusi kali ini pokok bahasan utamanya adalah terpusat pada Hak Cipta saja.
Hak Cipta
Undang-undang tentang Hak Cipta yang saat ini berlaku di Indonesia adalah UU No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta.4 Dalam hal ini, Hak Cipta merupakan hak kebendaan yang dalam Bahasa Belanda disebut dengan zakelijk recht. Menurut Prof. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, rumusan tentang hak kebendaan yaitu: “hak mutlak atas suatu benda di mana hak itu memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda dan dapat dipertahankan terhadap siapapun juga”.5
Dalam tradisi common law system, obyek utama dari perlindungan Hak Cipta adalah ciptaan atau karya cipta. Hal ini didasari oleh rasionalitas ekonomi dari Hak Cipta itu sendiri untuk memberikan insentif kepada pencipta yang telah mengorbankan waktu, tenaga, dan biaya serta resiko kerugian dalam memasarkan ciptaannya.
1 Menurut Prof. Dr. Etty Susilowati, S.H., M.S., penghapusan kata “Atas” dalam Hak Atas Kekayaan Intelektual karena ambiguitas yang terdapat didalam kata “Atas”. Apabila ada kata “Atas” maka seharusnya ada kata “Bawah” pula.
2 H. OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Rajawali Pers, Depok, 2013, hlm. 4
3 Istilah “copy rights” biasa digunakan di dalam negara Anglo-Saxon sedangkan dalam negara Eropa Kontinental digunakan istilah “auto rights”. Namun dalam
perkembangannya negara-negara Eropa Kontinental mengikuti istilah dari negara Anglo-Saxon.
4 Perubahan atas UU No. 19 Tahun 2002.
Dengan latar belakang pemikiran itu, UU Hak Cipta lebih tepat jika dikatakan sebagai instrumen ekonomi, bukan instrumen hukum. Copyright dijabarkan dalam bentuk
pembatasan-pembatasan, yaitu apabila yang menjadi hak pencipta tidak boleh diambil atau dimanfaatkan oleh orang lain tanpa izin. Izin pemanfaatan dapat diberikan secara kasus demi kasus dan secara normatif dalam bentuk kebebasan masyarakat untuk memanfaatkan hak cipta tanpa dianggap sebagai pelanggar hak, konsep ini biasa disebut sebagai fair use atau
fair dealing.
Ketentuan mengenai pembatasan dikembangkan melalui logika ekonomi yaitu larangan untuk mengganggu kepentingan yang wajar dari pencipta. Hal ini diatur dalam
Article 9 (2)Bern Convention: “It shall be a matter for legislationin the countries of the Union to permit the reproduction in such works in certain special cases, provided that such reproduction does not conflict with a normal exploitation of the work and does not
unreasonably the legitimate interest of the auothor”.
Apa yang dimaksut dengan kepentingan yang wajar pada dasarnya adalah kepentingan ekonomi, yaitu kepentingan untuk menikmati manfaat yang melekat pada ciptaan. Berdasar hal tersebut, masyarakat dapat memanfaatkan ciptaan sepanjang tidak untuk kepentingan komersial.
Dalil lainnya dalam Konvensi Bern adalah pada Article 10 (3): “Where use is made of works in accordance with the preceding paragraphs of this Article, mention shall be made of the source, and of the name of the author if it appears thereon”. Adapun kewajiban untuk tetap menghormati Hak Moral yaitu dimanifestasikan dalam bentuk kewajiban untuk tetap mempertahankan keutuhan ciptaan.
Dengan kata lain, dilarang mengubah atau mengganti suatu ciptaan sehingga dapat mendistorsi martabat dan integritas pencipta. Meskipun tetap mengatur tentang Hak Moral, tetapi Common Law System tidak terlalu mementingkan tentang Hak Moral.6
Sedangkan untuk pengaturannya dalam negara Civil Law System, pencipta adalah subyek sekaligus obyek perlindungan Hak Cipta. Di kalangan negara-negara civil law, Hak Cipta ditumpukan kepada konsep kekayaan yang merupakan manifestasi dan eksistensi dari si pencipta. Karena itu maka hukum Hak Cipta menjadi sebuah instrumen hukum.
Model Civil Law System ini mensyaratkan harus adanya keaslian ciptaan (originality)
serta kreatifitas penciptanya (creativity). Berbeda dengan Common Law System , persyaratakn yang harus dipenuhi adalah hanyalah asal muasal ciptaan.
Hak Cipta ini, apabila kita bagi lebih lanjut, akan menjadi 2 sub yaitu Hak Moral dan Hak Ekonomi. Hak Moral merupakan perlindungan terhadap pencipta agar integritas pencipta ini tetap terjaga. Seperti pencantuman nama pencipta meskipun haknya telah diserahkan atau dialihkan kepada orang lain dan pelarangan terhadap perubahan ciptaan tersebut.
Hak Moral inilah pembeda yang paling esensial antara Hak Cipta dengan hak
kebendaan lain. Katakanlah Hak Milik Atas Tanah, ketika Hak Milik tersebut telah dialihkan (dijual atau dihibahkan) kepada pihak lain, maka nama pemilik terakhir ini dianggap sebagai pemegang hak tersebut.
Setelah itu terdapat Hak Ekonomi, dimana Hak Ekonomi ini merupakan hak yang paling dijaga dimanapun baik itu di negara-negara Common Law System ataupun Civil Law System. Jelas begitu karena seperti yang telah dijelaskan di awal tadi, bahwa perlindungan Hak Cipta ini diberikan untuk memberikan insentif kepada si pencipta.
Terakhir, Hak Cipta yang merupakan hak untuk melindungi pencipta terhadap Hak Moral dan Hak Ekonominya ini tidak serta merta bebas dari kritikan. Dalam sebuah tulisan yang dirilis di Amerika Serikat tentang Hak Cipta dijelaskan sebagai berikut: “The
newspaper you read this morning, the television you watched last night, the movie you are going to see this week end, the computer software you use to prepare your letters or send e-mail, the music you listen in the car on your way work: they are all copyrighted. Copyright permeates our lives...”7
Selanjutnya ditambahkan bahwa: For many people outside America (and many inside), materials aren’t distributed because of copyright laws, so it might be more relevant to explain copyright this way: “The newspaper you couldn’t get this morning, the television show you couldn’t get last night, the movie you can’t see this week end, the computer software you can’t use to prepare your letters or send e-mail, the music you can’t listen in the car on your way to work: they are all copyrighted. Copyright permeates your life...”
Sindiran tersebut diberikan karena dirasakan Hak Cipta telah melenceng dari arah tujuan semula, yaitu kesejahteraan umat manusia. Betapa tidak, masyarakat harus menerima batasan-batasan dari Hak Cipta yang melindungi produk yang dibelinya. Tidak boleh
mengcopy, tidak boleh menggandakan, tidak boleh menyewakan, apalagi untuk kepentingan komersial.
Hak Cipta bukan lagi sebuah karya yang hanya dibangun atas dasar cipta, rasa dan karsa, Hak Cipta ini bukan lagi sebuah ungkapan seni murni (pure art), tetapi justru lebih ddiwarnai oleh upaya komersialisasi bahkan tidak jarang untuk memaksimalisasi keuntungan.
Keadaan tersebut sebenarnya bertentangan dengan di Indonesia, yang pada mulanya sebuah karya cipta pada masa lalu dibangun dari filosofi, gotong-royong, komunal,
kebersamaan, tidak monopoli, tidak menonjolkan nama-nama pribadi, dst. Tetapi dalam perkembangannya saat ini dapat kita lihat sendiri bahwa justru kebanyakan karya cipta di Indonesia diupayakan untuk diregistrasi dengan nama pribadi, dengan maksud untuk mendapatkan hak pribadi.
Apabila hak pribadi itu telah diperolehnya, biasanya akan diikuti dengan melarang orang lain menggunakannya tanpa izin, yang berarti diikuti dengan hak monopoli. Sehingga
tren yang terjadi di Indonesia justru ke arah individualistik, monopolistik, bukan lagi komunal, kebersamaan.8