• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektifitas Vaksinasi Rabies pada Anjing yang Diimpor melalui Bandara Soekarno Hatta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efektifitas Vaksinasi Rabies pada Anjing yang Diimpor melalui Bandara Soekarno Hatta"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

EFEKTIFITAS

DIIMPOR M

IN

AS VAKSINASI RABIES PADA ANJI

MELALUI BANDARA SOEKARNO

MOCH. ARIEF CAHYONO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009

(2)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Efektifitas Vaksinasi pada Anjing yang Diimpor melalui Bandara Soekarno Hatta adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2009

Moch. Arief Cahyono

(3)

MOCH. ARIEF CAHYONO. Effectiveness of Rabies Vaccination on Dogs that Imported into Soekarno Hatta Airport. Under direction of DENNY W. LUKMAN, ZAHID ILYAS, and MARTHEN BM MALOLE.

Rabies is one of zoonotic diseases in the world. Number of rabies cases are very common and finished with the dead of animals and human after they showed any clinical symptoms. The case fatality rate is 100%. The main aim of this research is to study the correlation between antibody titer of rabies on dogs and cats which imported into Indonesia through Soekarno Hatta Airport and some factors influence the titer. Some blood samples were collected from all dogs which came from June 2007 until June 2008. The blood serums were tested in the reference laboratory of animal quarantine by ELISA test and the data was analyzed descriptively and using multivariate statistic. The result of this study showed that antibody titer of rabies were strongly influenced by subcutaneous application of vaccination, the dog age of above 6 month, the country status of endemic, and the dog was male. Those factors should be taken into account to develop the policy and requirements of dog importation due to the quarantine measures.

(4)

MOCH. ARIEF CAHYONO. Efektifitas Vaksinasi pada Anjing yang Diimpor melalui Bandara Soekarno Hatta. Dibimbing oleh DENNY W. LUKMAN, ZAHID ILYAS, dan MARTHEN B. M. MALOLE.

Rabies merupakan salah satu penyakit hewan tertua di dunia yang bersifat zoonosis. Kasus penyakit ini pada hewan maupun manusia selalu diakhiri dengan kematian. Akibatnya penyakit ini selalu menimbulkan rasa takut, kekuatiran serta keresahan yang mengganggu ketentraman bathin masyarakat. Pemerintah telah melakukan banyak hal untuk melakukan pemberantasan dan pencegahan penularan penyakit rabies. Telah banyak dana dan tenaga yang dikeluarkan untuk menangani penyakit yang zoonosis ini. Berbagai peraturan pemerintah dikeluarkan baik oleh Departemen Pertanian maupun departemen lain secara bersama-sama. Hingga saat ini beberapa daerah yang pernah terjadi wabah rabies belum juga dapat teratasi permasalahannya.

Pola perilaku masyarakat di daerah yang senang berburu dengan anjing, memelihara anjing secara liar (tidak terikat), ataupun enggan untuk dilakukan vaksinasi pada hewan peliharaannya merupakan salah satu kendala dalam pemberantasan rabies di Indonesia. Pada lain pihak, pengembangbiakan dan permintaan akan hewan peliharaan semakin tinggi sehingga menambah kompleks permasalahan pemberantasan rabies.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan melakukan kajian hubungan antara hasil pemeriksaan titer antibodi rabies dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya pada anjing yang diimpor melalui Bandara Soekarno Hatta.

Penelitian ini menggunakan disain studi lintas seksional dengan metode penelitian kualitatif. Setiap kasus dan kontrol diselidiki terhadap faktor risiko melalui data dan riwayat kesehatan hewan yang diperoleh dari lembar permohonan karantina, dokumen kesehatan yang disertakan bersama dengan hewan dari negara asal, serta lembar kartu status hewan saat dilakukan pemeriksaan di Instalasi Karantina Hewan. Setiap hewan dilakukan pengujian titer antibodi rabies dan dilakukan observasi selama 14 hari sesuai petunjuk teknis

dalam Surat Keputusan Kepala Badan Karantina Nomor

344.b/Kpts/PD.670.370/L/12/06.

Hasil pengujian dimasukkan dalam tabel yang dibuat dengan berdasarkan pengelompokan nilai hasil pengujian titer antibodi, yaitu protektif dan tidak protektif. Data hasil pengujian titer antibodi yang telah diperoleh akan dilakukan analisis secara statistik dengan umur, aplikasi vaksinasi, jarak waktu vaksinasi dengan pengukuran titer antibodi, ulangan vaksinasi, jenis kelamin, dan jenis vaksin guna mengetahui pengaruh masing-masing faktor terhadap titer antibodi. Hewan anjing yang masuk pada periode bulan Juni 2007–Juni 2008 sebanyak 607 ekor. Seluruh hewan yang diimpor tersebut dilakukan pengambilan darah dan dilakukan pengujian titer antibodi, sedangkan data klinis hewan dan keterangan pemilik dikumpulkan dalam lembar isian kuisioner.

(5)

vaksinasi yang berhubungan kuat terhadap titer antibodi adalah: aplikasi vaksinasi rabies dengan cara injeksi subkutan (SC), anjing telah berumur di atas 6 bulan, status negara asal hewan yang bersifat endemik, dan anjing berjenis kelamin jantan. Seluruh faktor akan berpengaruh dengan baik apabila berada pada kombinasi yang tepat.

Penelitian ini dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan tindakan karantina bagi petugas karantina dan Badan Karantina Pertanian untuk menetapkan aturan pemasukan HPR. Selain itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut efektifitas vaksinasi dengan memperhitungkan adanya faktor-faktor lain (jenis vaksin dari segi pembuatan, faktor ras anjing, faktor stres) yang belum teramati dalam penelitian ini dan dilakukan penelitian yang sama pada hewan kucing.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya

(7)

MELALUI BANDARA SOEKARNO HATTA

MOCH. ARIEF CAHYONO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Bandara Soekarno Hatta

Nama : Moch. Arief Cahyono

NIM : B251064154

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. drh. Denny Widaya Lukman, MSi Ketua

drh. Zahid Ilyas, MSi Anggota

Dr. drh. Marthen B. M. Malole Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dr. drh. Denny Widaya Lukman, MSi Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(10)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Salawat dan salam kita sampaikan kepada Junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW yang membawa kita kedalam alam rahmah dan cahaya iman dan islam. Amin. Penelitian ini berjudul “Efektifitas Vaksinasi pada Anjing yang Diimpor melalui Bandara Soekarno Hatta” yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2007 hingga Juni 2008 di Balai Besar Karantina Hewan Soekarno Hatta.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si., drh. Zahid Ilyas, M.Si., dan Dr. drh. Marthen BM. Malole, selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, pikiran, tenaga serta motivasi dalam membimbing menyelesaikan tesis, serta kepada Ibu drh. Surachmi Setyaningsih, PhD sebagai Penguji Luar Komisi yang telah memberikan masukan penyempurnaan tesis ini. Ucapan yang sama saya tujukan kepada Pimpinan Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Ketua dan staf Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH IPB, serta Ketua dan staf Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH IPB yang telah membantu proses pendidikan dan berlangsungnya penelitian.

Ucapan terima kasih dan penghargaan disampaikan kepada Bapak Ir. Syukur Iwantoro, MS. MBA. dan Bapak Ir. Hari Priyono, MSi., yang memberikan dukungan moral dan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pascasarjana, Bapak drh. Hadi Wardoko, MM., Bapak Indra Mulya S.Sos. M.Si sebagai Kepala Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno Hatta atas segala dukungannya bagi terselesaikannya tesis ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Kepala dan staf di Laboratorium Balai Besar Uji Standar Karantina Pertanian (BBUSKP) Jakarta, segenap staf Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno Hatta yang telah membantu selama pengumpulan dan pengujian sampel, turut serta membantu proses pendidikan, memberikan motivasi dan memberikan ijin. Penghargaan disampaikan pula kepada teman-teman seperjuangan Kelas Khusus Karantina Hewan (Rita, Edi, Risma, Duma, Nunung, Muji, Era, Tatit, Yoyok, Iswan, Endah, Maya, Melani, Arum),

Ungkapan terima kasih yang tak hingga juga disampaikan kepada istri tercinta, ananda Muh. Mirza Alviannur (inspirasi dan motivasi bagi ayah), Keluarga Besar Nachroedin Nitidisastro, ayahanda H. Candra Sosiawan, ibu dan adik-adikku, serta seluruh keluarga besar H. Abdul Bari atas segala doa, pengorbanan, semangat dan kasih sayang yang diberikan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk ilmu pengetahuan dan umat manusia, khususnya karantina hewan.

Jakarta, Januari 2009

(11)

Penulis dilahirkan di Pamekasan Madura pada tanggal 22 Maret 1979 dari Ayahanda H. Candra Sosiawan dan Ibunda Halimatus Sannah (Alm). Penulis merupakan anak pertama dari lima bersaudara.

(12)

Halaman

Pengobatan dan Pencegahan ... 13

Epidemiologi ... 13

Sejarah di Indonesia ... 14

Peranan Kesehatan Masyarakat ... 16

Vaksinasi Rabies ... 17

Respon Kekebalan terhadap Vaksin Rabies ... 18

Rute Vaksinasi ... 20

Pengaruh Umur terhadap Vaksinasi ... 21

Mekanisme Proteksi Rabies ... 22

Pengukuran Antibodi Rabies ... 22

Aturan Internasional tentang Importasi Hewan Kesayangan ... 24

BAHAN DAN METODE ... 28

Pengambilan Sampel Darah ... 32

(13)

xiii

Analisis Data ... 36

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 37

Pengumpulan Data Anjing Impor ... 37

Pengaruh Faktor Umur terhadap Titer Antibodi ... 38

Pengaruh Faktor Aplikasi Vaksinasi terhadap Titer Antibodi ... 39

Pengaruh Jarak Waktu Vaksinasi dengan Pengujian Serum Darah terhadap Titer Antibodi ... 41

Pengaruh Ulangan Vaksinasi terhadap Titer Antibodi ... 42

Pengaruh Status Negara Asal terhadap Titer Antibodi pada Anjing ... 44

Pengaruh Jenis Kelamin terhadap Titer Antibodi pada Anjing ... 45

Pengaruh Jenis Vaksin terhadap Titer Antibodi pada Anjing ... 47

Nilai OR faktor-faktor Efektifitas Vaksinasi terhadap Titer Antibodi ... 48

Pengaruh Faktor Lainnya terhadap Titer Antibodi ... 50

Tinjauan Efektifitas Vaksinasi Rabies bagi Kesehatan Masyarakat Veteriner ... 50

SIMPULAN DAN SARAN ... 55

DAFTAR PUSTAKA ... 56

(14)

xiv Halaman 1 Definisi operasional peubah penelitian ... 30

2 Kelompok faktor umur terhadap titer antibodi pada anjing yang

diimpor melalui Bandara Soekarno Hatta ... 38

3 Nilai OR dari faktor umur terhadap titer antibodi pada anjing yang

diimpor melalui Bandara Soekarno Hatta ... 39

4 Kelompok faktor aplikasi vaksinasi terhadap titer antibodi pada anjing

yang diimpor melalui Bandara Soekarno Hatta ... 40

5 Nilai OR dari faktor aplikasi vaksinasi terhadap titer antibodi pada

anjing yang diimpor melalui Bandara Soekarno Hatta ... 40

6 Kelompok faktor jarak waktu vaksinasi dengan pengujian serum darah terhadap titer antibodi pada anjing yang diimpor melalui Bandara

Soekarno Hatta ... 42

7 Nilai OR dari faktor jarak waktu vaksinasi dengan pengujian serum darah terhadap titer antibodi pada anjing yang diimpor melalui

Bandara Soekarno Hatta ... 42

8 Kelompok faktor ulangan vaksinasi terhadap titer antibodi pada anjing yang diimpor melalui Bandara Soekarno Hatta ... 43

9 Kelompok faktor status negara asal terhadap titer antibodi pada anjing

yang diimpor melalui Bandara Soekarno Hatta ... 44

10 Nilai OR dari faktor jarak waktu vaksinasi dengan pengujian serum darah terhadap titer antibodi pada anjing yang diimpor melalui

Bandara Soekarno Hatta ... 45

11 Kelompok faktor jenis kelamin terhadap titer antibodi pada anjing

yang diimpor melalui Bandara Soekarno Hatta ... 46

12 Nilai OR dari faktor jenis kelamin terhadap titer antibodi pada anjing

yang diimpor melalui Bandara Soekarno Hatta ... 46

13 Kelompok faktor jenis vaksin terhadap titer antibodi pada anjing yang

diimpor melalui bandara Soekarno Hatta ... 47

14 Nilai OR faktor-faktor vaksinasi dengan menggunakan analisis regresi multivariat terhadap titer antibodi pada anjing yang diimpor melalui

(15)

xiv Halaman

1 Struktur virus rabies ... 5

2 Potongan melintang struktur virus rabies ... 8

3 Kasus rabies pada manusia di Indonesia periode 2001-2006 ... 15

4 Kerangka disain penelitian ... 29

5 Pengambilan sampel darah pada hewan impor ... 33

6 Kit ELISA rabies pada sampel serum darah hewan ... 34

(16)

xvi Halaman 1 Daftar negara berdasarkan situasi penyakit Rabies menurut Wahid

Interface OIE 6 Oktober 2008 ... 60

2 Contoh lembar dokumen kesehatan hewan dari negara asal hewan ... 64

3 Contoh riwayat vaksinasi hewan ... 65

4 Contoh sertifikat kesehatan dari dokter hewan di negara asal hewan ... 66

5 Contoh dokumen Surat Persetujuan Pemasukan (import permit) yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian ... 67

6 Contoh dokumen sertifikat pelepasan (KH-12) karantina hewan bagi hewan yang telah diobservasi di Instalasi Karantina Hewan ... 68

7 Daftar vaksin rabies yang diijinkan dan diperdagangkan di Amerika Serikat tahun 2008 ... 69

(17)

Latar Belakang

Rabies merupakan salah satu penyakit hewan tertua di dunia yang bersifat zoonosis. Kasus penyakit ini pada hewan maupun manusia selalu diakhiri dengan kematian. Akibatnya penyakit ini selalu menimbulkan rasa takut, kekuatiran serta keresahan yang mengganggu ketentraman batin masyarakat.

Di Indonesia rabies sudah lama berjangkit di beberapa daerah. Sejak pencatatan penyakit hewan ini di Indonesia, daerah yang secara historis bebas adalah Nusa Tenggara Barat, Bali, Kepulauan Maluku, Irian Jaya dan Nusa Tenggara Timur. Namun pada akhir tahun 1997 Pulau Flores telah dinyatakan tertular dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 756/Kpts/TN 510/98 tanggal 8 September 1998.

Beberapa daerah lainnya di Indonesia selain daerah yang secara historis bebas rabies itu sampai akhir tahun 2006 masih dinyatakan sebagai daerah tertular kecuali Pulau Jawa. Pulau Jawa dibebaskan dari penyakit rabies secara bertahap, untuk Jawa Timur, Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta dinyatakan

bebas sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor

892/Kpts/TN/560/9/97. Selanjutnya, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 566/Kpts/PD/PD640/10/2004 Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Banten dan Jawa Barat dinyatakan bebas rabies. Namun pada tahun 2008 Menteri Pertanian melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor 1637/2008 tentang Pulau Bali dinyatakan berstatus wabah rabies (Kompas 2008). Tentunya hal ini menjadi suatu perhatian yang penting terutama dampaknya terhadap sektor pariwisata dan kesehatan manusia. Berkaitan juga dengan kejadian rabies di Bali tersebut, Menteri Pertanian mengeluarkan pula Peraturan Menteri Pertanian Nomor 1696/Kpts/PD.610/12/2008 tentang penetapan Propinsi Bali sebagai kawasan karantina penyakit anjing rabies.

(18)

departemen lain secara bersama-sama. Hingga saat ini beberapa daerah yang pernah terjadi wabah rabies belum juga dapat teratasi permasalahannya.

Pola perilaku masyarakat di daerah yang senang berburu dengan anjing, memelihara anjing secara liar (tidak terikat), ataupun tidak peduli untuk dilakukan vaksinasi pada hewan peliharaannya merupakan salah satu kendala dalam pemberantasan rabies di Indonesia. Di lain pihak, pengembangbiakan dan permintaan akan hewan peliharaan semakin tinggi sehingga menambah kompleks permasalahan pemberantasan rabies. Kewaspadaan terhadap penyebaran penyakit rabies tetap terus dilakukan untuk mempertahankan status bebas dari suatu daerah melalui salah satu diantaranya dengan pengawasan lalu lintas yang ketat terhadap anjing dan hewan penular rabies (HPR) lainnya maupun melakukan program vaksinasi pada daerah-daerah endemik rabies.

Peningkatan minat masyarakat pada hewan kesayangan di dalam negeri berakibat pula pada tingginya importasi anjing dari luar negeri, baik sebagai hewan indukan maupun peliharaan perseorangan. Hewan tersebut juga digunakan sebagai hewan perlombaan ataupun didatangkan pemerintah sebagai hewan organik atau untuk kepentingan militer.

Seperti halnya di Indonesia, negara-negara lain di dunia juga melakukan program pemberantasan dan pencegahan masuknya rabies dari luar daerah/negara, melalui vaksinasi, eliminasi hewan carrier, pembatasan lalu lintas, pengujian laboratorium yang teliti, dan karantina. Di pintu-pintu pemasukan dan

(19)

sebagai prosedur standar dalam upaya pencegahan masuk dan tersebarnya rabies ke wilayah Indonesia.

Salah satu cara untuk mencapai tujuan tersebut adalah melalui kajian yang seksama terhadap titer antibodi rabies pada hewan yang diimpor dari negara yang masih bebas rabies maupun yang endemik rabies. Titer antibodi rabies merupakan jaminan terhadap kebenaran sertifikat vaksinasi yang disertakan bersama hewan saat kedatangan. Hal ini dapat menggambarkan sukses atau tidaknya vaksinasi yang dilakukan di negara asal hewan. Aturan karantina ini merupakan salah satu kaidah epidemiologi terhadap hewan impor dan diharapkan negara pengekspor melakukan hal yang sama.

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan melakukan kajian hubungan antara hasil pemeriksaan titer antibodi rabies dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya pada anjing yang diimpor melalui Bandara Soekarno Hatta.

Manfaat Penelitian

Kegiatan ini akan memberikan manfaat antara lain :

1. Memberikan gambaran penanganan kesehatan hewan dari negara asal anjing yang datang ke Indonesia.

2. Memberikan informasi ilmiah tentang efektifitas vaksinasi yang telah

dilakukan terhadap hewan yang diimpor.

3. Memberikan informasi yang akurat bagi masyarakat tentang importasi HPR dari negara endemik rabies, terutama bagi institusi Badan Karantina Pertanian.

Permasalahan

1. Belum adanya data penelitian ilmiah yang dapat menggambarkan efektifitas vaksinasi rabies pada hewan yang diimpor dari luar negeri ke wilayah negara Indonesia.

(20)

Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah :

1. Ada kaitan antara faktor-faktor dalam penelitian ini dengan nilai titer antibodi pada anjing.

(21)

Etiologi

Lyssavirus, famili Rh

2003).

Rabies merupak setelah gejala klinis berakhir dengan kema dan transmitter, serta reservoirnya (Paez A,

ies dalam bahasa Indonesia disebut penyak nal dengan nama lyssa, tollwut, rage dan

phobia dikarenakan penderitanya cenderung penyakit infeksi akut yang disebabkan o

syaraf pusat dan bersifat menular kepada man oleh virus neurotropik yang termasuk ke

Rhabdoviridae (Paez A, Nunez C, Garcia1 C

akan penyakit viral ensefalomielitis yang sering is muncul (Ruprecht 2007). Penderita peny matian apabila hewan telah menunjukkan gejal apai 100% (case fatality rate 100%).

Gambar 1 Struktur virus rabies.

us rabies (RABV) terdiri atas berbagai spesies dapat saja menularkan lagi penyakit ini ke

Sebagian besar mamalia liar dapat tertular ra Laura ER 1993). Rabies muncul dalam dua

rabies tipe urban, dengan anjing peliharaan se erta rabies tipe silvatik dengan berbagai hew

(22)

Berdasarkan sifat dari antigen yang dimiliki virus, maka virus rabies dikelompokkan dalam 4 serotipe yaitu:

1. Serotipe 1, prototipe strain CVS, terdiri dari mayoritas strain liar dan strain laboratorium di beberapa region di dunia.

2. Serotipe 2, prototipe strain kelelawar lagon (Nigeria).

3. Serotipe 3, prototipe strain Mikola yang dapat diisolasi dari krosidura (shrew) dan manusia.

4. Serotipe 4, prototipe yang belum dapat diklasifikasikan dan diisolasi dari kuda Nigeria dan nyamuk Mansonia uniformis.

Saat ini terdapat dua serotipe tambahan virus rabies yang ada di dunia yaitu

Australianbat lyssa viruses dan European bat lyssa viruses 1 dan 2 (Murphy FA, Gibbs E.J, Horzinek MC dan Studdert MJ 1999). Perbedaan masing-masing serotipe ini dapat ditunjukkan dengan melakukan uji netralisasi dan cross protection test karena adanya glikoprotein yang berbeda.

Struktur Virus Rabies

Rhabdovirus merupakan virus RNA negative stranded yang berarti bahwa virus ini memiliki untai tunggal RNA dengan sifat tidak dapat berfungsi sebagai

messenger RNA (mRNA). Sesuai dengan namanya virus ini berbentuk batang dan pada salah satu bagian ujungnya melengkung sehingga sering dikatakan seperti bentuk peluru. Ukuran virus rabies adalah 100 nm hingga 400 nm namun ukuran

ini sering dijumpai bervariasi.

(23)

Virus rabies diketahui mempunyai lima protein yaitu:

1. Protein G (permukaan); bagian ini merupakan paku glikoprotein pada permukaan dan ada sebagai penjaga keseimbangan. Setiap virus mempunyai 1200 protein G. Protein G ini adalah protein transmembran dengan rangkaian N-terminal. Protein ini berikatan dengan reseptor seluler dan merupakan target dalam netralisasi antibodi. Penetrasi virus kedalam sitoplasma mengambil jalur endokrin dan tidak melewati membran plasma.

2. Protein M (matriks); merupakan protein membran perifer yang terlihat sebagai garis pada permukaan bagian dalam membran virus. Bagian ini menjadi jembatan antara membran atau protein G dengan nukleokapsid.

3. Nukleokapsid; bagian ini merupakan inti ribonukleoprotein infeksius virus rabies. Mempunyai struktur heliks yang berada didalam membran. Dengan mikroskop elektron dapat dilihat dalam inti ini terdapat 2 protein yaitu N (nukleoprotein) protein dan L (large) protein, serta NS (nonstruktural, dikenal juga sebagai P atau Polymerase).

Replikasi Virus Rabies

Dalam hal replikasi virus rabies diketahui mengalami beberapa tahapan (Anonim 2007), yaitu:

1. Berikatan (binding), reseptor untuk rhabdovirus secara pasti dapat teridentifikasi namun beberapa percobaan merujuk pada fosfolipid terutama

sekali pada fosfotidil serin sebagai molekul reseptor pada permukaan sel.

2. Transkripsi (transcription), pada mulanya polimerase yang membawa masuk virus membentuk 5 individual mRNA. RNA harus terbentuk sebelum proses sintesis protein virus lainnya dan virus yang terinfeksi harus disediakan enzim polimerase. Potongan untaian dari transkripsi virus ini adalah N, NS (P), M, G dan L dengan sintesis mRNA akan melemahkan ikatan masing-masing gen. 3. Replikasi (replication), polimerase merubah negative sense RNA virus menjadi

(24)

spesies dan mem

NA diterjemahkan secara bersamaan di da dipindahkan melalui badan golgi ke permuk in G akan menempel pada protein M secara be

negatif akan bersatu dengan N, L, dan nukleokapsid. Bagian ini akan bersatu dengan rmukaan membran plasma. Interaksi antara nu

ebabkan berubahnya susunan yang lebih awa nukleokapsid akan berkembang melalui memb

bar 2 Potongan melintang struktur virus rabies

hewan ditularkan ke manusia seringkali melalu kasus yang jarang terjadi, rabies dapat ditu a mata atau transplantasi atau transplantasi ja ditularkan melalui kontaminasi kelenjar air liur

osa yang terbuka atau karena luka.

(2007), infeksi rabies secara aerosol dapat me

exposure) rabies pada manusia. Hal ini diung usia terinfeksi virus secara aerosol setelah bera

(25)

kelelawar. Selain itu, dokter hewan dan petugas laboratorium dapat juga tertular rabies secara aerosol. Di Amerika Serikat, infeksi karena kontaminasi kelenjar air liur terjadi hanya 5 dari 154 (sebesar 3%) kasus yang dilaporkan dari tahun 1950 hingga 1980. Dari 5 kasus pada manusia ini, 4 diantaranya terinfeksi karena menghirup udara mengandung virus hidup yang tinggi.

Patogenesis

Virus ini pada dasarnya dapat menginfeksi berbagai jenis bentuk sel, namun yang paling utama terinfeksi adalah sel syaraf. Virus berikatan dengan syaraf ataupun sel otot pada titik inokulasi via reseptor nicotinic acetylcholine. Pada bagian ini virus akan tinggal cukup lama hingga beberapa bulan. Virus dapat juga bereplikasi pada sel otot pada titik terjadinya gigitan tanpa menunjukkan gejala klinis yang jelas. Hal ini disebut juga sebagai fase inkubasi penyakit.

Virus menyebar melalui akson dan berjalan dari syaraf perifer menuju sel syaraf tubuh, kemungkinan juga tercelup dalam sitoplasma (Jameson 2006). Setelah mengalami replikasi di sel syaraf utama tubuh, maka proses infeksi melalui pergerakan mundur akson dan transinaptik menyebar ke beberapa sel syaraf. Penyebaran transinaptik merupakan kemampuan virus untuk menggunakan percabangan sinapsis hingga menyebar pada susunan syaraf pusat (SSP). Virus akan mencapai dorsal akar ganglion dan medula spinalis, kemudian pada akhirnya akan mencapai otak.

Infeksi neuronal oleh virus rabies menyebabkan abnormalitas pada fungsi neotransmiter yang mempengaruhi serotonin, GABA, dan transmisi muscarinic acetylcoline. Beberapa sel didalam otak dapat terinfeksi oleh virus ini, antara lain serebelum, sel Purkinje, sel hipokampus dan pontine nuclei (fase prodromal). Infeksi pada otak menyebabkan terjadinya ensefalitis dan degenerasi neuron meskipun pada bagian lain virus hanya terlihat kecil sekali menyebabkan efek sitopatik. Keterlibatan otak menyebabkan koma hingga kematian.

(26)

pada gilirannya akan mengumpulkan virus didalam rongga mulut. Hal ini menjelaskan adanya virus didalam kelenjar air liur.

Soedijar dan Dharma (2005) menyatakan virus tidak saja dijumpai di SSP, namun dapat juga berada di kelenjar air liur, kelenjar air mata, glandula suprarenalis dan pankreas. Virus tidak diketemukan didalam darah, limpa, hati, kelenjar limfe, sumsum tulang atau kelenjar genitalia.

Banyak faktor yang mempengaruhi dan membedakan waktu onset simptom rabies muncul, namun yang paling penting adalah banyaknya partikel virus yang menginfeksi dan seberapa dekat gigitan dengan otak. Kondisi imun pasien juga sangat perlu untuk diperhatikan. Respon imun terhadap virus adalah lambat dan respon netralisasi yang baik baru akan muncul setelah virus mencapai otak sehingga akan menjadi terlambat bagi penderita untuk dapat mampu bertahan. Infeksi rabies bersifat almost always fatal, yang berarti kematian dan berdasarkan catatan ilmiah hanya 3 orang yang mampu selamat dari symtopmatic rabies.

Gejala Klinis

Virus rabies berada di titik terjadinya gigitan dan bergerak secara lambat melalui sel syaraf hingga mencapai waktu 3-8 minggu untuk mencapai otak. Pada kasus yang khusus dapat mencapai 12 bulan untuk dapat menginfeksi otak (Hines 2006). Kebanyakan hewan akan mengalami hanya satu tahap saja atau bahkan lebih hingga akhirnya mati. Hewan sigung (skunk) merupakan pengecualian karena dapat bertahan lama dan hidup sehat sebagai carrier virus rabies. Pada daerah endemik rabies, sebagian besar hewan terinfeksi tidak akan menunjukkan gejala klinis.

(27)

tampak pada fase ini. Anjing yang biasanya ramah akan nampak ketakutan atau agresif, dan begitu juga sebaliknya.

Pada bagian gigitan akan terasa gatal atau pedih bagi mereka, sehingga mereka akan cenderung sering menjilat dan menguatirkan lingkungan sekitarnya. Pada kucing fase ini akan lebih cepat terjadi apabila dibandingkan dengan anjing.

Fase furious. Saat virus telah memasuki sel syaraf perifer, virus akan bergerak melalui serat syaraf sensorik dan motorik menuju otak. Virus juga menyebar dari otak ke bagian tubuh yang lain termasuk juga pada kelenjar kelenjar air liur, hingga virus akan tampak berada didalam kelenjar air liur hewan. Setelah melalui fase prodromal, anjing akan melalui fase yang dtandai dengan sifat cepat marah apabila dirangsang dengan cahaya dan suara. Fase ini akan berlangsung selama 1-7 hari.

Hewan akan terlihat gelisah, agresif dan kuat. Biasanya dia akan menggigit jeruji kandangnya hingga melukai mulutnya sendiri. Anjing pada fase ini akan menjelajah dan berjalan kemana-mana dengan jarak yang jauh tanpa arah dan tujuan. Secepatnya hewan ini akan menjadi ataksia, goyah dan terjadi zeisure

hingga kemudian mati.

Fase dumb. Tahap ini kadang juga disebut dengan fase paralisis. Beberapa hewan mengalami fase ini setelah fase prodromal atau periode furious. Pada tahap ini syaraf di bagian kepala dan kerongkongan menjadi paralisis. Hewan akan mengeluarkan air liur, berjalan dengan mulut ternganga, dan tidak dapat

(28)

Diagnosa

Metode tradisional untuk mendiagnosa penyakit rabies adalah pemeriksaan laboratorium terhadap sampel otak hewan tersangka. Patologi dari infeksi rabies meliputi perubahan seluler berupa inflamasi otak (ensefalitis) dan medula spinalis (myelitis), pembuluh darah di sekitar otak akan dikelilingi oleh sel darah putih

(perivascular cuffing), seringkali inclusion bodies globular yang kemerahan (negri bodies) di dalam sel syaraf dua bagian otak, yaitu serebelum dan hipokampus (Hines 2006). Metode standar untuk pengujian antibodi rabies yang direkomendasikan WHO dan OIE adalah serum netralisasi (RFFIT, FAVN, dan TC/SN).

Diagnosa virus rabies pada hewan dapat pula dilakukan dengan menggunakan pewarnaan Seller. Uji ini merupakan uji yang relatif cepat dan murah tetapi kurang spesifik. Dengan uji ini dilakukan pemeriksaan negri bodi virus rabies yang berukuran 24-27 µm, terletak intrasitoplasmik dan bersifat asidofilik pada sel syaraf atau ganglion dari tanduk ammon, serebrum, dan serebelum.

Uji flourescent antibodies test (FAT) dapat digunakan untuk memperlihatkan virus rabies pada jaringan otak, cairan serebrosipnal, urin, kulit dan usapan kornea. Namun uji ini dapat muncul negatif apabila telah muncul antibodi. Pada hewan juga dapat dilakukan isolasi virus rabies dengan mengambil sampel dari saliva, cairan serebrospinal dan sedimen urin sebelum kematiannya.

Isolasi mungkin akan gagal dari jaringan otak dan material di atas 10-14 hari setelah sakit (pasca-kematian), dimana ada korelasinya dengan timbulnya antibodi netralisasi.

(29)

Pengobatan dan Pencegahan

Penyakit rabies hingga saat ini belum ditemukan pengobatan yang ampuh dan efektif, sehingga apabila terinfeksi virus ini maka akan diakhiri dengan kematian (almost always fatal). Apabila dijumpai anjing yang belum divaksinasi tergigit oleh hewan terinfeksi rabies disarankan agar segera dimusnahkan. Namun bila pemilik hewan keberatan untuk dimusnahkan, maka hewan tersebut harus divaksinasi rabies dan diisolasi selama 6 bulan sebelum akhirnya dilepaskan. Jika hewan yang tergigit pernah mengalami vaksinasi maka harus dengan segera divaksinasi ulang dan diobservasi secara tertutup selama 45 hari.

Pencegahan dapat dilakukan dengan mengikuti prosedur yang baik untuk menyikat dengan kuat dan melakukan desinfeksi pada bagian gigitan hewan, meskipun telah diketahui juga bahwa vaksinasi merupakan salah satu cara terbaik untuk mencegah rabies. Banyak negara di dunia mengharuskan dilakukannya vaksinasi rabies secara rutin pada hewan anjing. Jenis vaksin yang dapat digunakan saat ini sudah cukup beragam baik berupa live virus ataupun killed virus. Vaksin-vaksin ini bahkan dapat juga digunakan pada musang, kuda, sapi dan kambing dengan efek yang sama efektif dan baiknya seperti digunakan pada anjing, serta hampir selalu berhasil. Bagi manusia yang termasuk dalam golongan berisiko tinggi rabies disarankan supaya dilakukan vaksinasi secara rutin (Hines 2006).

Epidemiologi

Rabies telah dikenal kurang lebih 4000 tahun yang lalu. Saat ini rabies terdapat di seluruh dunia dengan beberapa negara termasuk dalam negara bebas rabies. Penyebaran virus rabies pada mamalia atau reservoar tergantung lokasi geografi. Di Amerika Utara, hewan liar termasuk raccoon, skunk, serigala dapat menjadi reservoar sementara, sedangkan di Eropa serigala dan kelelawar merupakan reservoar utama.

(30)

reservoar liar ke hewan bukan reservoar seperti kucing, monyet, kuda, sapi, domba dan kambing (CDC 2007).

Kira-kira di 100 negara, rabies enzootik pada hewan liar atau domestik mengancam 3 juta manusia yang berada di daerah tersebut. Prevalensi rabies bervariasi. Negara yang lebih banyak terkena penyakit ini adalah negara tropis berkembang termasuk diantaranya Asia, Afrika dan Amerika Latin, dimana terjadi kematian manusia lebih dari 99% setiap tahunnya. Menurut Belotto (2003), pada tahun 2001 kasus rabies pada hewan mencapai 12 486 kasus dengan jumlah 62% terjadi pada hewan liar. Selain itu lebih dari 15% terjadinya rabies pada manusia ditularkan lewat kelelawar. Kejadian ini terjadi baik di Amerika Latin (ditularkan lewat vampire bats) maupun Amerika Utara.

Strategi yang diterapkan untuk menghadapi wabah penyakit rabies di Amerika adalah dengan melakukan kampanye program vaksinasi secara massal pada anjing, menyediakan pelayanan vaksinasi rabies bagi manusia di unit-unit pelayanan kesehatan, surveilans epidemiologi, pendidikan kesehatan dan pengendalian wabah (Belotto et al. 2003).

Di beberapa negara industrialisasi, positif dilakukan dengan pemberian vaksin oral pada hewan liar atau vaksinasi parenteral pada hewan domestik. Pelaksanaan program vaksinasi ini mampu menurunkan angka kematian di negara industrialisasi. Walaupun UK ditetapkan sebagai negara bebas rabies, kematian pertama pada manusia akibat rabies ditemukan sejak tahun 1902 di Skotlandia,

serta pada tahun 2002 yang disebabkan oleh lyssavirus pada kelelawar tipe 2 (CDC 2007).

Sejarah di Indonesia

Penyakit rabies sudah dikenal di negara Indonesia semenjak berpuluh-puluh tahun yang lalu, baik pada manusia maupun pada hewan liar dan hewan peliharaan. Penyakit ini juga masih dianggap sebagai zoonosis nomor satu. Di Indonesia saat ini hanya anjing, kucing dan kera yang dikenal sebagai penyebar utama penyakit ini.

(31)

rabies pada manusia dilaporkan oleh E. de Haan, menyerang seorang anak di Desa Palimanan, Cirebon pada tahun 1894. Berdasarkan studi retrospektif, wabah rabies di Indonesia dimulai pada tahun 1884 di Jawa Barat; tahun 1953 terjadi wabah di Jawa Tengah; Jawa Timur; Sumatera Barat, kemudian tahun 1956 di Sumatera Utara. Selanjutnya, wabah rabies terjadi di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara tahun 1958; Sumatera Selatan tahun 1959; Lampung tahun 1969; Aceh tahun 1970; Jambi; DI Yogyakarta tahun 1971; DKI Jakarta; Bengkulu dan Sulawesi Tengah tahun 1972; Kalimantan Timur tahun 1974; Riau tahun 1975; Kalimantan Tengah tahun 1978; Kalimantan Selatan tahun 1981 dan Pulau Flores tahun 1997 (Barantan Deptan 2006; Soejoedono 2004). Di Indonesia, ada laporan mengenai 2 orang pemotong kayu di Sulawesi Utara yang meninggal karena rabies dalam 2 hari tanpa diketahui cara terpaparnya (Soedijar dan Dharma 2005).

Pada tahun 2006, jumlah kabupaten/kota terjangkit penyakit rabies sebanyak 199 kabupaten/kota dari 23 provinsi. Jumlah kasus gigitan hewan penular rabies (GHPR) sebanyak 13 929 orang. Jumlah kasus GHPR yang mendapat vaksin anti rabies (VAR) sebanyak 8 959 hewan. Jumlah kasus penyakit rabies yang menyebabkan kematian (lyssa) sebanyak 106 orang.

Kasus GHPR dari tahun 2001 sampai dengan 2004 cenderung naik, tetapi pada tahun 2005 dan 2006 menurun. Namun lyssa selama tahun 2001–2005 cenderung meningkat, seiring dengan terjadinya KLB penyakit rabies di Kalimantan Barat dan Maluku Utara, dan menurun lagi pada tahun 2006. Situasi

(32)

Gambar 3 Kasus rabies pada manusia di Indonesia periode 2001-2006 (Itjen Depkes 2006).

Peranan Kesehatan Masyarakat

Permasalahan yang dihadapi dalam program permberantasan penyakit rabies di Indonesia dan negara berkembang lainnya, terutama menyangkut program vaksinasi dan pendanaan yang terbatas dari pemerintah untuk surveilans. Pengetahuan masyarakat yang lemah tentang bahaya rabies menyebabkan masyarakat tidak mau peduliuntuk membiarkan hewannya divaksin oleh petugas kesehatan hewan atau secara sadar memvaksinasikan hewannya pada dokter

hewan. Kebiasaan masyarakat berburu babi hutan dengan menggunakan anjing menyebabkan adanya mitos yang kurang baik tentang vaksinasi. Selain itu masyarakat tidak terbiasa untuk mengikat anjingnya di tempat yang aman, sehingga mereka membiarkan anjing-anjing mereka bebas berkeliaran dan dapat berinteraksi dengan anjing yang mungkin terinfeksi.

Dalam kaitannya dengan tanggung jawab kesehatan masyarakat maka menurut National Assosiation of State Public Health Veterinarian atau NASPHV (2008) terdapat beberapa prinsip dalam pencegahan dan pengendalian penyakit rabies, antara lain:

(33)

2. Pencegahan rabies pada manusia dengan menerapkan vaksinasi bagi manusia yang berisiko tinggi terkena rabies ataupun pada masyarakat yang berada di daerah dengan risiko tinggi gigitan HPR.

3. Pengendalian pada hewan domestik. 4. Vaksinasi rabies pada hewan berisiko.

5. Mengadakan surveilans rabies secara aktif maupun pasif.

Vaksinasi Rabies

Saat ini dikenal terdapat dua jenis vaksin rabies yang digunakan pada hewan yaitu live vaccine dan killed vaccines. Umumnya vaksin yang digunakan saat ini adalah jenis killed vaccines. Menurut Schultz (2000), vaksinasi rabies memiliki durasi imunitas minimum kurang lebih selama 3 tahun dan estimasi proteksi relatif sebesar 85%. Vaksin rabies dikelompokkan dalam kelompok vaksin inti, dengan pengertian sebagai vaksin yang penting dan harus diberikan pada setiap anjing untuk vaksinasi. Termasuk dalam vaksin inti ini adalah canine distemper, canine parvovirus-2, canine adenovirus-2, dan rabies (Rynders 2005; Schultz 2000).

Program vaksinasi bagi vaksin inti ini adalah dilakukan pada umur 12 minggu atau lebih. Untuk vaksin rabies diharapkan dilakukan revaksinasi pada 1 tahun setelah vaksinasi dan diulang sekali lagi 3 tahun kemudian (Schultz 2000).

(34)

antigen, perbedaan strain virus, kerusakan vaksin, aplikasi vaksinasi yang kurang tepat, jadwal vaksinasi yang kurang tepat, variasi ras, imunosupresi atau imunodefisiensi, defisiensi nutrisi dan berada pada masa awal infeksi dapat berpengaruh terhadap kegagalan vaksinasi.

Untuk menyakinkan bahwa semua anakan anjing memperoleh imunitas yang baik, maka vaksin rabies diberikan pada umur 12 minggu atau lebih, diikuti dengan vaksinasi ulangan setelah 1 tahun atau setelah berumur 1 tahun, dan divaksin kembali setelah 3 tahun (interval 3 tahun). Pada daerah dengan risiko tinggi rabies, program vaksinasi harus dilakukan untuk memberikan imunitas pada hewan yang belum pernah divaksinasi atau yang pernah mendapat vaksinasi lebih dari 3 tahun. Hewan yang belum pernah divaksinasi akan memiliki risiko tinggi terinfeksi virus rabies bila dibandingkan dengan yang pernah mengalami vaksinasi.

Anjing yang datang/diimpor dapat membawa rabies bagi negara yang bebas penyakit rabies bila mereka dalam fase inkubasi penyakit dan ditransportasikan

selama fase prasimtomatik. Vaksinasi merupakan program yang

direkomendasikan untuk mencegah introduksi penyakit tersebut. Kurva antibodi netralisasi setelah vaksinasi dan boosters akan meningkat. Antibodi akan meningkat secara cepat setelah vaksinasi pertama kali, kemudian akan menurun dan meningkat kembali setelah dilakukan boosters untuk meningkatkan antibodi pada tingkat yang lebih tinggi dari sebelumnya hingga mencapai nilai antibodi

yang tinggi dan stabil (Aubert 2006).

Data yang diperoleh di Thailand dan Jawa menunjukkan titer antibodi netralisasi menurun secara cepat setelah mencapai 60 sampai 120 minggu post

vaksinasi pada level 5-25 tingkat lebih rendah dari nilai tertinggi titer. Titer akan mencapai tingkat yang tinggi apabila pemilik hewan melakukan vaksinasi beberapa kali secara rutin (Sasaki et al. dalam Aubert 2006).

Respon Kekebalan terhadap Vaksin Rabies

(35)

sama, yaitu antibody mediated immunity (imunitas yang diperantarai antibodi) atau disebut juga imunitas humoral, dan cell mediated immunity (imunitas yang diperantarai sel).

Imunitas humoral merupakan respon kekebalan yang diperantarai antibodi tidak melibatkan sel, melainkan hanya senyawa kimia yaitu antibodi. Antibodi ini dihasilkan sel limfosit B dan teraktivasi bila mengenali antigen yang terdapat pada permukaan sel patogen dengan bantuan sel limfosit T. Sel B akan memproduksi 5 jenis antibodi yaitu Ig A. Ig D, Ig E, Ig G dan Ig M (Tizard 2004). Sel B ini diproduksi di dalam sumsum tulang belakang. Terdapat tiga jenis sel limfosit B, yaitu sel B plasma, sel B memori dan sel B pembelah. Patogen akan mengaktivasi satu sel B membelah dengan cepat menjadi populasi sel yang besar. Semua sel baru tersebut identik atau klon dan mereka semua kemudian mensekresikan antibodi yang spesifik terhadap patogen tersebut. Respon tersebut adalah menyebabkan antigen saling melekat (aglutinasi), menstimulasi fagositosis oleh netrofil, berperan sebagai antitoksin dan menyebabkan pengendapan toksin bakteri, serta mencegah bakteri patogen melekat pada membran sel tubuh. Setelah infeksi berakhir sel B akan mati. Respon kekebalan ini tersebut dinamakan respon kekebalan primer. Respon kekebalan sejak masuknya antigen ke dalam tubuh membutuhkan waktu kurang lebih 14 hari untuk mencapai tingkat yang optimum, namun biasanya tidak tinggi dan cepat hilang.

Sel-sel B memori yang telah mengingat patogen yang menginfeksi, masih

tetap hidup untuk beberapa tahun dalam tubuh. Apabila patogen yang sama masuk atau menginfeksi kembali maka sel B tersebut akan merespon dengan cepat menghasilkan sel-sel B aktif dalam jumlah yang lebih besar lagi dan

semuanya memiliki kemampuan mensekresi antibodi yang spesifik

(immunological memory phenomenon). Respon kekebalan tersebut disebut dengan respon kekebalan sekunder dan merupakan respon kekebalan yang jauh lebih cepat dan efektif dibandingkan dengan respon kekebalan primer.

(36)

parasit multiseluler, fungi, sel-sel kanker dan dapat menyerang jaringan atau organ transplan yang dianggap benda asing. Sel limfosit T ini diproduksi oleh timus.

Sel limfosit T juga bereaksi terhadap antigen yang spesifik. Setiap antigen yang terdapat pada permukaan sel patogen akan menstimulasi sel limfosit untuk membelah membentuk klon. Beberapa klon akan menjadi sel-sel memori yang tetap bertahan dalam tubuh untuk menjadi respon kekebalan sekunder bila terjadi infeksi patogen yang sama. Klon yang lainnya akan berkembang menjadi salah satu dari tiga jenis sel T, yaitu sel T pembantu (helper T cell), sel T pembunuh (killer T cell), sel T sitotoksik (cytotoxic T cell) dan sel T supresor (suppresor T cell). Sel T pembantu mempunyai penanda permukaan (CD4) yang menjadi reseptor bagi virus HIV dan akan mengaktivasi sel B, sel Tc, dan makrofag menghasilkan protein sitokin/limfokin. Sel T sitotoksik (CD8) akan merespon terhadap infeksi virus dan tumor.

Vaksinasi rabies yang dilakukan pada anjing akan merangsang terbentuknya respon kekebalan dengan mengaktivasi limfosit. Antigen akan menginduksi sel T sitotoksik dan sel T pembantu meningkatkan kerja sel B untuk menghasilkan antibodi netralisasi terhadap virus (Kasempimolporn S, Hemachudha T, Khawplod P dan Manatsathit S 1991). Antibodi yang teraktivasi dengan adanya virus didalam vaksin adalah Ig M dan Ig G. Antibodi yang diproduksi sel B ini akan diukur dalam pengujian laboratorium dengan menggunakan FAVN maupun

dengan ELISA. Titer antibodi tersebut akan meningkat dengan cepat namun akan berbeda pada masing-masing individu (Kennedy et al. 2007).

Rute Vaksinasi

(37)

keuntungan injeksi IM ini dikurangi dengan vaksin yang mempunyai potensi tinggi dan penggunaan adjuvant vaksin yang membuat rasa sakit saat aplikasi.

Adjuvant membuat imunitas vaksin menjadi lebih panjang/lama.

Pengaruh Umur terhadap Vaksinasi

Menurut Aubert (2006), anjing berumur 11-16 minggu merespon lebih baik pada vaksin low egg passage (LEP) atau high egg passage (HEP) daripada anjing berumur 5-10 minggu dengan prosentase 81% berbanding 38%. Hubungan antara umur hewan dan proteksi terhadap rabies digambarkan dalam penelitian (Bunn dalam Aubert 2006) di laboratorium terhadap anak anjing berumur 3-5 bulan. Anjing berumur 3 bulan setelah vaksinasi dengan vaksin flury LEP menunjukkan 10/40 mempunyai titer di bawah 1/5.

Pengaruh umur pada respon antibodi netralisasi juga ditunjukkan pada penelitian di Thailand dengan mengelompokkan anjing ke dalam kelompok 3 minggu–3 bulan, 6-12 bulan, dan lebih dari 12 bulan. Titer antibodi dievaluasi setelah vaksinasi dan diperoleh hasil bahwa anjing yang lebih tua mempunyai respon lebih tinggi terhadap vaksinasi. Bahkan penelitian ini menyatakan bahwa respon superior pada anjing tua meningkatkan pula harapan hidup anjing dengan sistem imun yang kuat.

Keberadaan antibodi netralisasi spesifik pada anak anjing yang didapatkan melalui kolostrum menghalangi terbentuknya imunitas aktif pada anak. Menurut

penelitian Precausta yang diacu Aubert (2006), anak anjing yang belum divaksinasi pada umur 1 bulan mempunyai tingkat antibodi netralisasi yang sama dengan anakan berumur 7 bulan yang telah divaksinasi, sedangkan anak anjing berumur 1 bulan dan divaksinasi menunjukkan tingkat antibodi yang menurun secara kinetik sama dengan anakan lain yang belum divaksinasi pada kandang yang sama.

(38)

Mekanisme Proteksi Rabies

Menurut Soedijar dan Dharma (2005) manusia yang terinfeksi virus rabies akan memproteksi dirinya melalui reaksi antigen antibodi dan efek inhibisi dari interferon. Virus rabies dikenal mempunyai 2 antigen struktural yang utama, yaitu protein G dan antigen nukleoprotein (internal nucleoprotein). Protein G atau glikoprotein adalah satu-satunya antigen yang mampu menginduksi pembentukan antibodi penetralan virus, dan melindungi induk semang (host) terhadap tantangan virus berikutnya. Antigen nukleoprotein dapat pula menginduksi pembentukan antibodi seperti yang sering diperlihatkan dengan teknik fiksasi komplemen dan teknik presipitasi, namun tidak memiliki kemampuan menetralkan.

Virus rabies yang hidup dalam vaksin akan mampu menginduksi sel-sel tubuh dan membentuk interferon. Setelah dikeluarkan dari sel, interferon dapat diambil lagi oleh sel lain yang karenanya menjadi resisten terhadap infeksi virus sebagai kemungkinan dihasilkannya suatu translation inhibiting protein. Bagian yang penting dari interferon adalah dapat bertindak sebagai substansi terapeutik yang potensial sebagai obat antivirus universal. Interferon hanya aktif pada hasil spesies yang membuatnya, sehingga interferon untuk manusia hanya diperoleh dari sel-sel manusia saja.

Pengukuran Antibodi Rabies

Metode pengukuran antibodi dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu dengan

pengukuran kekebalan humoral dan kekebalan selular. Pengukuran antibodi humoral dapat dilakukan dengan uji haemoaglutinasi inhibition (HI). Uji ini dapat menjadi pilihan bagi laboratorium serologi yang mempunyai fasilitas terbatas. Namun untuk melakukan uji ini harus dimiliki terlebih dahulu standardisasi penetapan nilai protektif. Pada saat tertentu, selama dan sesudah suatu vaksinasi anti rabies penuh memberikan titer tertinggi 1/3125 dengan metode indirect flourescent antibody test (IFAT). Teknik ini memerlukan pengalaman dalam penentuan positif antibodi untuk menghindari positif palsu.

(39)

sensitifitas dan spesifisitas setinggi serum neutralization test (SNT). ELISA menunjukkan sensitifitas dan spesifisitas sebesar 64% dan 100% pada 30 sampel pada pengujian serum darah anjing di Thailand (Wattanapirom P, Pantsiri U, Wiriyakitja W, Prasertmek P dan Suradhat S 2008). Pada penelitian tersebut diperoleh kebanyakan jumlah negatif palsu terjadi pada sampel dengan titer antibodi dibawah 5 IU/ml dengan pengujian RFFIT . Titer antibodi protektif bagi hewan dan manusia dinyatakan dengan besaran 0.5 IU/ml bagi sampel individu atau 0.1 IU bagi serum sampel kelompok. WHO menyarankan untuk menggunakan mouse neutralization test (MNT) dan plaque reduction test (PRT) untuk pengukuran titer antibodi rabies.

Para peneliti saat ini memilih menggunakan metode rapid flourescent focus inhibition test (RFFIT) sebagai uji standar dalam pengukuran titer antibodi rabies (sesuai dengan OIE). Uji ini dikenal juga uji flourescent inhibition microtest

(FIMT) sebagai uji modifikasi dari RFFIT yang diaplikasikan dengan mikroplat, dimana semua uji tersebut memerlukan biakan jaringan.

Uji SNT merupakan uji yang paling spesifik bagi deteksi antibodi rabies. Uji ini memerlukan kemampuan laboratorium yang baik untuk menggunakan sel yang sensitif bagi pertumbuhan virus rabies serta menunjukkan adanya kerusakan sitopatik pada sel MNA (myel-neuroblastoma) setelah diinkubasi selama 3 hari. Titer 16 merupakan angka positif antibodi terhadap rabies dengan uji ini (Soedijar dan Dharma 2005).

Metode pengukuran antibodi rabies yang berikutnya adalah dengan pengukuran kekebalan selular. Uji sitotoksisitas akhir-akhir ini banyak digunakan untuk mengukur sitotoksisitas atau efek sitostatik antibodi atau sel efektor (limfosit). Limfosit sel T sitotoksik (Tc) adalah pemegang peranan penting dalam regulasi respon kebal. Oleh sebab itu ketepatan pengukuran sel T sitotoksik bagi manusia dan hewan sekarang ini banyak dilakukan dalam industri bioteknologi seperti imunoterapeutik pengobatan kanker, disorder autoimun, dan percobaan klinis lainnya.

(40)

telah diberi label dengan radioaktif (Cr51) kemudian diinokulasikan dengan limfosit pre- dan pasca-vaksinasi. Kemudian sensitisasi limfosit (Tc) dapat diketahui dengan cara pengukuran pelepasan zat radioaktif yang dihitung dengan

gamma counter (Soedijar dan Dharma 2005). Menurut Durr S et al. (2008) pengujian untuk mendeteksi virus rabies dapat dilakukan dengan menggunakan

direct rapid immunohistochemical test (dRIT). Penggunaan uji ini di Tanzania menunjukkan sensitifitas dan spesifisitas yang mencapai 100% dibandingkan dengan uji gold standart direct fluorescent antibody (DFA) sebagai uji yang direkomendasikan WHO (Durr S et al. 2008).

Aturan Internasional tentang Importasi Hewan Kesayangan

Secara umum lalu lintas hewan di dunia telah diatur secara rinci oleh OIE baik untuk ekspor maupun impor dengan mempertimbangkan faktor-faktor wilayah/negara dan kesehatan hewan. Pertimbangan faktor perdagangan dunia pun telah diatur secara khusus dalam Sanitary and Phytosanitary Agreement World Trade Organization (SPS Agreement WTO) bagi para anggotanya. Secara umum setiap hewan yang akan diberangkatkan dari satu negara ke negara yang lainnya harus dilengkapi dengan sertifikat kesehatan hewan yang dikeluarkan oleh dokter hewan berwenang di negara tersebut. Berkaitan dengan penyakit rabies, OIE (2007) telah mengatur importasi hewan dari negara yang bebas rabies mapun negara yang endemik rabies (Teresterial Animal Health Code 2007 Chapter 2.2.5). Secara rinci diuraikan sebagai berikut:

1. Hewan berasal dari negara yang bebas rabies. Hewan tersebut harus dilengkapi dengan International Veterinary Certificate yang dikeluarkan oleh dokter hewan berwenang di negara tersebut yang menyatakan bahwa hewan tidak menunjukkan gejala klinis rabies pada saat diberangkatkan, serta hewan telah berada di wilayah tersebut selama 6 bulan sebelum keberangkatan.

(41)

waktu tidak lebih dari satu tahun; digunakan vaksin rabies inaktif atau menggunakan vaksin rabies rekombinan dan ditandai dengan penggunaan tanda khusus (termasuk microchip); dilakukan pengujian titer antibodi rabies tidak lebih dari 3 bulan dan tidak kurang dari 24 jam sebelum diberangkatkan dengan menunjukkan hasil protektif minimum 0.5 IU/ml.

Pemerintah Indonesia melalui Badan Karantina Pertanian Departemen Pertanian juga menetapkan petunjuk teknis untuk importasi hewan kesayangan ini. Melalui Surat Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian Nomor 344.b/kpts/PD.670.370/L/12/06 tentang Petunjuk Teknis Persyaratan dan Tindakan Karantina Hewan terhadap Lalulintas Pemasukan Hewan Penular Rabies (anjing, kucing, kera, dan hewan sebangsanya) maka diberlakukan persyaratan karantina terhadap lalulintas pemasukan HPR dari luar negeri yang bebas rabies, yaitu:

1. Dari Luar Negeri

Dari negara bebas rabies sesuai dengan Lampiran Keputusan Menteri Pertanian Nomor 1096 Tahun 1999 yang dapat diperbaharui sesuai perkembangan status bebas rabies dunia.

2. Kelengkapan dokumen

a. Sertifikat kesehatan hewan yang diterbitkan oleh pejabat berwenang di negara asal dan negara transit;

b. Surat persetujuan pemasukan;

c. Paspor hewan atau surat keterangan identitas hewan dalam bahasa Inggris yang dikeluarkan oleh dokter hewan berwenang di negara asal yang memuat antara lain telah berada atau dipelihara sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan di negara asal sebelum diberangkatkan, dan hewan sekurang-kurangnya telah berumur 6 (enam) bulan serta tidak dalam keadaan bunting umur 6 (enam) minggu atau lebih, dan atau hewan tersebut tidak sedang menyusui pada saat diberangkatkan. Paspor hewan mencantumkan informasi sekurang-kurangnya jenis hewan, bangsa, jenis kelamin, warna bulu, umur/tanggal lahir dan penanda identitas; atau

(42)

pelabuhan/bandara pemasukan, maka pemilik atau kuasa pemilik harus menyediakan sendiri perangkat alat baca untuk microchip tersebut.

e. Hewan yang akan masuk ke wilayah/daerah bebas rabies di Indonesia diberangkatkan langsung dari negara bebas rabies. Apabila harus transit maka harus ada persetujuan dari Menteri Pertanian cq. Dirjen Peternakan dan otoritas veteriner di negara transit memberikan keterangan transit; f. Surat keterangan vaksinasi bagi negara yang melaksanakan vaksinasi, yang

menerangkan bahwa vaksinasi menggunakan vaksin inaktif, yang diberikan: - untuk hewan yang divaksinasi pertama kali (primer),

sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan dan tidak lebih dari 1 tahun sebelum diberangkatkan yang diberikan saat hewan berumur minimal 3 (tiga) bulan;

- untuk vaksinasi booster, sekurang-kurangnya 1 bulan atau tidak lebih dari 1 tahun sebelum diberangkatkan;

g. Surat keterangan hasil pemeriksaan titer antibodi dari negara asal. Pengujian titer antibodi tidak boleh dilakukan lebih lama dari 6 bulan setelah vaksinasi dari laboratorium yang telah diakreditasi.

Dari kedua peraturan tersebut terdapat perbedaan dalam hal persyaratan bagi pemasukan hewan dari negara yang belum bebas rabies, yaitu pemerintah Indonesia tidak menetapkan persyaratan bagi hewan yang berasal dari negara yang belum bebas rabies karena pemerintah melarang pemasukan HPR dari

negara yang belum bebas rabies, kecuali untuk hewan pameran, milik kedutaan besar negara sahabat dan hewan organik.

(43)

Bagi hewan dengan negara asal yang melakukan vaksinasi dengan vaksin inaktif, titer antibodi minimal 0.5 IU/ml (≥0,5 IU/ml). Bila kurang dari 0.5 IU/ml dilakukan vaksinasi ulang bagi hewan yang akan masuk ke wilayah bebas dengan vaksinasi (Pulau Jawa) atau wilayah endemis; sedangkan negara yang tidak melaksanakan vaksinasi, bila hewan akan masuk ke wilayah bebas dengan vaksinasi atau wilayah endemis maka wajib dilakukan vaksinasi. Untuk negara yang tidak melaksanakan vaksinasi, bila hewan akan masuk ke wilayah bebas tanpa kegiatan vaksinasi, maka tidak perlu divaksin atau titer antibodi nol (0).

(44)

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada periode waktu Juni 2007 sampai dengan Juni 2008 di Instalasi Karantina Hewan (IKH) Balai Besar Karantina Hewan Soekarno Hatta dan Laboratorium Balai Besar Uji Standar Karantina Pertanian.

Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan yaitu: biosafety cabinet class II, ELISA reader, ELISA washer, microplate dasar V, multichannel micropipet 20-200µl,

single microplate 5-50 µl, single microplate 20-200 µl, microplate dasar V (kit berjumlah 6 @ 16 well), konjugat 2.5 ml (tutup orange): protein A/peroksidase (konsentrasi 10x) konjugat diluent 50 ml, buffer peroxidase substrate 50 ml, kontrol negatif 2.5 ml (tutup hijau) dengan konsentrasi 10x, kontrol positif 2.5 ml (tutup merah) dengan konsentrasi 10x, sample diluent/SD 50 ml, wash solution 25 ml dan adesif film 6 film.

Metodologi

Penelitian adalah suatu proses mencari sesuatu secara sistematis dalam waktu yang relatif lama dengan menggunakan metode ilmiah serta aturan yang berlaku. Dalam proses penelitian ini ditunjukkan untuk mengetahui hubungan antara titer antibodi terhadap virus rabies dengan risiko masuknya penyakit rabies dari negara yang belum bebas dan telah bebas penyakit rabies. Konseptualisasi proses tersebut kemudian dituangkan menjadi suatu metode penelitian lengkap dengan pola analisis observasi serta pengumpulan data yang diperlukan untuk melukiskan keadaan tersebut.

(45)

Kerangka Studi

Penelitian ini menggunakan disain studi lintas seksional dengan metode penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif merupakan metode penelitian yang berlandaskan pada falsafah positifisme. Metode ini digunakan untuk meneliti populasi, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat kuantitatif/statistik dengan tujuan menguji hipotesis yang telah ditetapkan (Sugiyono 2006).

Studi ini dilaksanakan dengan menggunakan kajian lintas seksional. Kajian lintas seksional adalah suatu kajian observasional yang meneliti secara sekaligus faktor exposure dan penyakit tanpa arah dimensi penyelidikan tertentu (Budiharta dan Suardana 2007). Pemilihan kajian ini dengan dasar studi dilakukan pada satu titik waktu (periode waktu satu tahun). Keuntungan dilakukannya studi lintas seksional ini adalah:

1. Sampel dipilih secara acak dari populasi target.

2. Cukup valid untuk melihat pengaruh suatu faktor risiko terhadap penyakit. 3. Memungkinkan untuk generalisasi hasil studi karena pengambilan sampel

dilakukan pada populasi yang besar.

4. Memungkinkan untuk menyidik beberapa faktor penyebab potensial penyakit. Kajian ini akan memberikan potret pada satu saat tertentu atau periode tertentu. Kajian ini sangat baik untuk menguji hipotesis asosiasi antara penyakit dan faktor permanen (tidak akan berubah seumur hidup), misalnya umur, genetik

dan sebagainya pada inferensi yang bersifat kausal (Budiharta dan Suardana 2007).

Gambar 4 Kerangka disain penelitian. Independent

1. Antibodi protektif (positif)

2. Antibodi tidak protektif (negatif)

Dependent

Faktor: 1. Umur

2. Aplikasi vaksin 3. Jarak waktu vaksinasi

(46)

Setiap kelompok diselidiki terhadap faktor risiko melalui data dan riwayat kesehatan hewan yang diperoleh dari lembar permohonan karantina, dokumen kesehatan yang disertakan bersama dengan hewan dari negara asal, serta lembar kartu status hewan saat dilakukan pemeriksaan di IKH. Setiap hewan dilakukan pengujian titer antibodi rabies dan dilakukan observasi selama 14 hari sesuai petunjuk teknis Badan Karantina Pertanian Indonesia (Surat Keputusan Kepala Badan Karantina Nomor 344.b/Kpts/PD.670.370/L/12/06).

Hasil pengujian dimasukkan dalam tabel yang dibuat dengan berdasarkan pengelompokan nilai hasil pengujian titer antibodi, yaitu protektif dan tidak protektif. Data hasil pengujian titer antibodi yang telah diperoleh akan dilakukan analisis secara statistik chi square (X2) dengan umur, aplikasi vaksinasi, jarak waktu vaksinasi dengan pengukuran titer antibodi, ulangan vaksinasi, jenis kelamin, dan jenis vaksin guna mengetahui pengaruh masing-masing faktor terhadap titer antibodi. Uji statistik X2 digunakan untuk melihat hubungan antara faktor-faktor yang berpengaruh terhadap titer antibodi (Thrusfield 2005).

Tabel 1 Definisi operasional peubah penelitian

No Peubah Definisi operasional Skala

1. Titer antibodi Ordinal

Titer protektif (positif)

Merupakan kelompok hewan yang memiliki nilai titer antibodi rabies ≥0.6 EU/ml

2

Titer tidak protektif (negatif)

Merupakan Kelompok hewan yang memiliki nilai titer antibodi rabies <0.6 EU/ml

1

2. Faktor umur Ordinal

Umur <6 bulan

Adalah hewan yang berumur kurang dari 6 bulan saat diimpor ke Indonesia

1

Umur >6 bulan

Adalah hewan yang berumur lebih dari 6 bulan saat diimpor ke Indonesia

2

3. Cara aplikasi vaksin Ordinal

Injeksi

Intramuskular (IM)

Merupakan cara vaksinasi dengan melakukan injeksi vaksin pada otot

1

Injeksi Subkutaneus (SC)

Merupakan cara vaksinasi dengan melakukan injeksi vaksin pada jaringan dibawah

kulit/subkutis

(47)

No Peubah Definisi operasional Skala

4. Jarak waktu vaksinasi dengan pengujian Ordinal

x < 1 bulan Selisih waktu vaksinasi dengan waktu pengujian serum darah kurang dari 1 bulan

1

x > 1 bulan Selisih waktu vaksinasi dengan waktu pengujian serum darah lebih dari 1 bulan

2

5. Ulangan vaksinasi Ordinal

0 Hewan mendapatkan vaksinasi rabies

pertama kali

1

1 Hewan mendapat ulangan vaksinasi rabies

satu kali

2

≥2 Hewan mendapat ulangan vaksinasi rabies

dua kali atau lebih

3

6. Faktor status negara Ordinal

Negara bebas rabies (rabies free country)

Negara-negara yang tidak pernah dilaporkan terjadi kasus rabies, mempunyai system surveilans penyakit yang efektif, mempunyai aturan yang jelas dalam pencegahan dan pengendalian rabies, serta Negara yang dalam periode 2 tahun terakhir tidak terjadi kasus rabies pada manusia maupun spesies hewan.

1

Negara endemik rabies

Negara yang dilaporkan masih terjadi kasus rabies pada manusia maupun spesies hewan dalam periode waktu kurang dari 2 tahun.

2

7. Jenis Kelamin Ordinal

Jantan Hewan yang memiliki alat reproduksi jantan dan belum dikastrasi

1

Betina Hewan yang memiliki alat reproduksi betina dan belum disteril

2

8. Jenis vaksin Ordinal

Tunggal Vaksin dalam satu vial hanya berisi antigen rabies

2

Kombinasi Vaksin dalam satu vial berisi antigen rabies dan antigen lainnya.

1

Cara ukur Observasi dan pemeriksaan titer antibodi

Alat ukur 1. Data pemasukan hewan Balai Besar

Karantina Pertanian Soekarno Hatta (kuesioner pemilik)

(48)

Teknik Pengambilan Data

Penelitian ini dilakukan pada anjing yang berasal dari negara bebas rabies dan negara endemik rabies (menurut daftar Wahid Interface OIE tahun 2008) pada periode waktu Juni 2007-Juni 2008. Data yang akan digunakan adalah data primer dengan mengumpulkan data pengujian laboratorium titer antibodi di Laboratorium Balai Besar Uji Standar Karantina Pertanian. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui lembar permohonan karantina, dokumen kesehatan yang disertakan bersama dengan hewan dari negara asal, buku vaksinasi, dokumen karantina hewan serta lembar kartu status hewan saat dilakukan pemeriksaan di IKH.

Pengambilan Sampel Darah

Pengambilan sampel darah dilakukan pada setiap kedatangan anjing yang berasal dari luar negeri (sampel 100% hewan yang datang) baik yang berasal dari negara bebas rabies dan negara endemik rabies. Setiap anjing yang datang akan diistirahatkan terlebih dahulu selama 1-2 hari agar kondisi tubuhnya berada pada kondisi yang baik sebelum dilakukan pengambilan darah.

Pengambilan darah ditujukan untuk mendapatkan serum sebagai bahan untuk pemeriksaan kandungan antibodi rabies dari hewan yang telah divaksinasi. Darah anjing sebanyak 1-2 ml diambil dari Vena femoralis kaki belakang atau

(49)

Gambar 5 Pengambilan sampel darah pada hewan impor.

Pemeriksaan Laboratorium

Pada penelitian ini pemeriksaan titer antibodi terhadap virus rabies dilakukan dengan menggunakan metode ELISA. Metode ini merupakan salah satu metode yang direkomendasikan dalam Manual of Standards for Diagnostic Tests and Vaccines (OIE 2000). Metode ini cukup baik untuk digunakan sebagai pengujian cepat titer antibodi rabies.

(50)

Gambar 6 Kit ELISA rabies pada sampel serum darah hewan.

Uji ELISA merupakan alat uji yang baik guna melakukan screening secara cepat terhadap sampel serum hewan kesayangan. Uji ini telah digunakan secara rutin sebagai uji standar pemeriksaan serum darah hewan kesayangan di karantina pertanian Indonesia. Keuntungan uji ini adalah mampu menampilkan hasil yang lebih cepat apabila dibandingkan gold standard yang dapat mencapai 4 hari. Alat uji ini hanya membutuhkan waktu 4 jam hingga diperoleh hasil titer antibodi.

Pengujian laboratorium akan menggunakan diagnostic kit SERELISATM RABIES Ab Mono Indirect dengan sensitivitas 76.2% dan spesifisitas 97.2% (Cliquet et al. 2004). Prinsip kerja dari ELISA ini adalah berdasarkan atas ikatan antigen (Ag) coating di dasar sumur microplate dengan antibodi (Ab) dari serum dan konjugat yang ditandai adanya perubahan warna karena adanya penambahan substrat. Titer serum ditentukan berdasarkan atas optical density (OD) dalam bentuk equivalen unit terhadap serum standar OIE. Hasil titer yang protektif ditunjukkan dengan nilai ≥0.6 EU/ml yang nilainya ekuivalen dengan ≥0.5 IU/ml sebagai standar protektif titer antibodi menurut OIE, sedangkan sebaliknya akan dianggap tidak protektif.

Prosedur kerja ELISA rabies ini dilakukan pertama kali dengan mengeluarkan kit ELISA dari refrigerator, sampel dan serum standar OIE dari

Gambar

Gambar 1  Struktur virus rabies.
Gambar 3 Kasus rabies pada manusia di Indonesia periode 2001-2006 (Itjen Depkes 2006)
Gambar 4  Kerangka disain penelitian.
Tabel 1  Definisi operasional peubah penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan anugerah-Nya sehingga peuulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul &#34;Parasit pada

Penelusuran pengujian RT-PCR pada organ kuning telur dengan 3 macam primer, dilakukan pada 13 sampel negatif AI pada paru-paru dan trakhea yang telah diuji dengan primer