• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor Risiko Kejadian Sistiserkosis pada Babi di Kabupaten Flores Timur Nusa Tenggara Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor Risiko Kejadian Sistiserkosis pada Babi di Kabupaten Flores Timur Nusa Tenggara Timur"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR RISIKO KEJADIAN SISTISERKOSIS

PADA BABI DI KABUPATEN FLORES TIMUR

NUSA TENGGARA TIMUR

UMI SITI AISYAH SALEH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Faktor Risiko Kejadian Sistiserkosis pada Babi di Kabupaten Flores Timur - Nusa Tenggara Timur adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2010

Umi Siti Aisyah Saleh

(3)

ABSTRACT

UMI SITI AISYAH SALEH. Risk Factors of Porcine Cysticercosis in Flores Timur District of Nusa Tenggara Timur Province. Under direction of A. WINNY SANJAYA and FADJAR SATRIJA

Nusa Tenggara Timur has been reported as an endemic area for taeniasis and cysticercosis in Indonesia. The purpose of this study was to know the prevalence and risk factors of cysticercosis in Flores Timur District. A total of 108 pigs in 10 slaughtering facilities located in three main islands of the district were inspected to determine the presence of cysticercus in the pigs. Cysticercus found in the postmortem examination was fixed with alcohol 70% and stained for morphologic al comparative examination. Information of potential risk factors such as farm management, sanitation and personal hygiene were obtained using questionnaires through personal interviews to 75 respondents. The result of this study showed that 17 (15.7%) of 108 pigs slaughtered were infected by

Cysticercus tenuicollis. No other form of cysticercus was found in the pigs. The most influential factors associated with the prevalence of cysticercosis were feed processing (OR= 14; 95% CI 2,7-72,7), sanitation of pig pen (OR= 5,8; 95% CI 1.0-32,2) and poor sanitation and personal hygiene (OR= 5,8; 95% CI 1,0-28,5).

(4)

RINGKASAN

UMI SITI AISYAH SALEH. Faktor Risiko Kejadian Sistiserkosis pada Babi di Kabupaten Flores Timur-Nusa Tenggara Timur. Dibimbing oleh A. WINNY SANJAYA dan FADJAR SATRIJA

Taeniasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh cacing pita (cestoda) dari genus Taenia. Sistiserkosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi larva dari Taenia sp. Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Kabupaten Flores Timur merupakan salah satu daerah endemis bagi taeniasis/sistiserkosis di Propinsi NTT. Melihat cukup tingginya tingkat konsumsi daging khususnya daging babi di Kabupaten Flores Timur serta peranan babi dalam transmisi taeniasis/sistiserkosis maka perlu dilakukan suatu studi untuk mengetahui tingkat kejadian sistiserkosis pada babi di Kabupaten Flores Timur serta hubungannya dengan aspek kesehatan masyarakat

Penelitian dilakukan dalam dua tahap dimana pada tahap pertama merupakan penelitian lapangan, pada tahap ini dilakukan pemeriksaan sistiserkus pada daging babi di TPH melalui meat inspection dan wawancara serta pengisian kuisioner. Tahap kedua dilakukan di laboratorium untuk identifikasi spesies sistiserkus serta analisis data. Sampel yang diambil berasal dari babi yang dipotong di beberapa Tempat Pemotongan Hewan di Kabupaten Flores Timur. Jumlah babi yang diperiksa mencapai 108 ekor yang berasal dari tiga pulau terbesar yang berada di wilayah Kabupaten Flores Timur. Sistiserkus yang ditemukan pada saat meat inspection dikoleksi kemudian disimpan dalam larutan preservatif sampai dilakukan analisis laboratorium dengan pembuatan preparat skoleks untuk mengindentifikasi spesies. Identifikasi spesies berdasarkan bentuk kait, jumlah kait dan jumlah baris kait.

Data mengenai beberapa aspek kesehatan masyarakat yang diduga menjadi faktor risiko kejadian penyakit diteliti dengan melakukan wawancara serta pengisian kuisioner. Responden yang diwawancara adalah peternak tempat asal babi yang dipotong. Penekanan pada wawancara dan pengisian kuisioner adalah untuk memperoleh informasi mengenai sanitasi lingkungan, cara beternak dan cara pemberian pakan. Penentuan tingkat kejadian sisterserkosis pada daging babi ditentukan dengan menghitung “Point Prevalence Rate” yaitu proporsi penderita terhadap total hewan yang diteliti pada saat itu dikalikan 100%. Derajat asosiasi antara faktor risiko dengan kejadian penyakit akan dihitung melalui nilai odds ratio (OR) dengan uji statistik yang dipergunakan adalah regresi logistik.

(5)

Keseluruhan Tempat Pemotongan Hewan (TPH) dimana penelitian ini dilakukan kondisinya sangat memprihatinkan. Hampir semua TPH tidak memiliki bangunan permanen, fasilitas air bersih dan penerangan yang dipergunakanpun sangat terbatas, demikian juga dengan peralatan yang dimiliki. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap para pemilik TPH dan petugas diketahui rata-rata pemotongan di tiap TPH adalah 1-2 ekor per minggu kecuali pada hari-hari besar keagamaan, pemotongan dapat meningkat hingga mencapai 5 kali lipat. Rata-rata babi yang dipotong berasal dari dalam Kabupaten Flores Timur walaupun terkadang berasal dari kabupaten tetangga. Daging hasil pemotongan hanya dipasarkan dalam wilayah Kabupaten Flores Timur. Menurut para responden dalam empat tahun terakhir tidak pernah dilakukan pemeriksaan

antemortem maupun postmortem terhadap hewan yang akan dipotong. Seluruh responden juga menyatakan tidak pernah mendapatkan sosialisasi mengenai kesehatan dan keamanan daging serta penyakit-penyakit yang dapat ditularkan melalui daging ke manusia.

Sistem peternakan babi di Kabupaten Flores Timur rata-rata merupakan peternakan semi intensif. Babi umumnya dipelihara sebagai usaha sampingan untuk memperoleh pendapatan tambahan maupun sebagai persiapan guna memenuhi kebutuhan adat dalam upacara pernikahan, kematian maupun keagamaan. Pengamatan dan wawancara pada 75 responden peternak menunjukkan bahwa sebagian besar responden (97,3%) telah mengandangkan babinya dan 80% diantaranya cukup memperhatikan kebersihan kandangnya dengan membersihkan kandang minimal dua hari sekali dengan menggunakan air dan sabun. Babi diberikan pakan berupa sisa-sisa makanan dari rumah tangga maupun rumah makan yang dicampur dengan umbi-umbian dan daun-daunan yang telah dicincang (96%). Pakan ini biasanya dimasak terlebih dahulu (74,7%) walaupun ada beberapa peternak yang langsung memberikannya tanpa dimasak (25,3%).

Hasil analisis data menunjukkan bahwa faktor pengolahan pakan paling berpengaruh terhadap kejadian sistiserkosis dimana babi yang diberi pakan tanpa diolah (dimasak) terlebih dahulu mempunyai risiko 14 kali lebih besar terkena sistiserkosis bila dibandingkan dengan yang diberikan pakan yang telah diolah (dimasak). Faktor kebersihan kandang dan tempat pakan mempunyai nilai odds ratio sebesar 5,8 yang berarti bahwa babi dengan kondisi kandang dan tempat pakan yang jarang dibersihkan memiliki risiko 5,8 kali lebih besar terkena sistiserkosis bila dibandingkan dengan kandang dan tempat pakan yang rutin dibersihkan. Faktor sanitasi dan higiene personal mempengaruhi kejadian penyakit. Peternakan yang memiliki sanitasi dan higiene personal buruk erat hubungannya dengan kebersihan lingkungan, sistem pembuangan sampah dan kebiasaan mencuci tangan maka babi yang dipeliharanya memiliki risiko 5,5 kali lebih besar untuk terkena sistiserkosis

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB

(7)

FAKTOR RISIKO KEJADIAN SISTISERKOSIS

PADA BABI DI KABUPATEN FLORES TIMUR

NUSA TENGGARA TIMUR

UMI SITI AISYAH SALEH

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Kesehatan Masyar akat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Tesis : Faktor Risiko Kejadian Sistiserkosis pada Babi di Kabupaten Flores Timur - Nusa Tenggara Timur

Nama : Umi Siti Aisyah Saleh NRP : B251070031

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. drh. A. Winny K. Sanjaya, M.S. drh. Fadjar Satrija, M.Sc., Ph.D.

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. drh. Denny W. Lukman, M.Si. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2008 sampai September 2009 adalah Faktor Risiko Kejadian Sistiserkosis pada Babi di Kabupaten Flores Timur Nusa Tenggara Timur.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr. drh. A. Winny K. Sanjaya, M.S. selaku ketua komisi pembimbing dan drh. H. Fadjar Satrija, M.Sc., Ph.D. selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan yang terbaik demi terwujudnya karya ilmiah ini serta kepada drh. Chaerul Basri, M. Epid selaku penguji luar komisi yang telah memberikan banyak masukan guna kesempurnaan tesis ini.

Ungkapan terima kasih disampaikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Flores Timur yang telah menugaskan penulis untuk menempuh pendidikan pascasarjana, kepada Dr. drh. Denny W. Lukman, M.Si. selaku ketua program studi KMV SPS IPB beserta seluruh staf pengajar atas ilmu dan bimbingan selama penulis menempuh pendidikan. Terima kasih penulis sampaikan pada seluruh staf Laboratorium Kesmavet dan seluruh staf Laboratorium Helminthologi atas segenap bantuannya. Tidak lupa penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada ayah, ibu dan seluruh keluarga atas segala doa dan dukungannya, kepada teman teman khususnya drh. Elfa Zuraida, drh. Fetty Dinya Nurbara, M.Si., drh.Wahono Esthi Prasetyaningtyas, M.Si., drh. Siti Aisyah, drh. I Putu G. Yudhi Argentinia dan rekan-rekan dari KMV 08, IBH 07 dan BRP 07 atas seluruh bantuan dan dukungannya. Akhir kata, penulis ucapkan terima kasih kepada rekan-rekan di Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Peternakan Kabupaten Flores Timur terutama di Bidang Perlindungan Tanaman dan Kesehatan Hewan yang telah berbesar hati mendukung penulis. Ucapan terima kasih khusus penulis sampaikan kepada Bapak Anton Perami sekeluarga dan Bapak Viany K Tokan, SKH sekeluarga atas dukungannya selama penulis melakukan penelitian di lapangan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2010

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Larantuka-Flores Timur pada tanggal 26 Januari 1979 dari ayah H. Moh. Saleh Hasan, S.H. dan ibu Hj. Siti Hawiah Wulan Penulis merupakan putri keempat dari empat bersaudara. Penulis memulai jenjang sekolah pada tahun 1985 di SDN Percobaan Sabang Bandung, kemudian melanjutkan sekolah ke SMPN 2 Bandung. Setelah lulus SMPN, penulis melanjutkan pendidikan ke SMUN 1 Lubukpakam Sumatera Utara.

Tahun 1997 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Lubukpakam dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Program Studi Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan. Lulus sarjana pada tahun 2001, kemudian melanjutkan ke Program Pendidikan Dokter Hewan yang diselesaikan pada tahun 2003.

(12)

x

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi, Morfologi dan Daur Hidup Taenia Sp. ... 4

Daur Hidup ………... 6

Taeniasis dan Sistiserkosis pada Manusia ………... 8

Sistiserkosis pada Hewan Babi ………. 10

Diagnosa Taeniasis/Sistiserkosis ……….. 11

Faktor Risiko Sistiserkosis ………... 12

Pencegahan dan Pengobatan ………. 12

Situasi Kabupaten Flores Timur ………... 13

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ………... 15

Desain Penelitian ……….. 15

Pengambilan Sampel dan Pemeriksaan Daging ………... 15

Pembuatan Preparat ……….. 16

Wawancara dan Pengisian Kuisioner ………... 17

Analisis Data ………. 17

HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Kejadian Sistiserkosis pada Babi ……… 18

Manajemen Pemotongan Ternak ... 21

Manajemen Peternakan ... 23

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Sistiserkosis ... 26

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ………... 30

Saran ………. 30

DAFTAR PUSTAKA ………... 32

(13)

xi

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Studi kejadian sistiserkosis pada manusia di Indonesia ………. 9 2 Populasi ternak dan produksi daging di Kabupaten Flores Timur tahun

2008 ... 14 3 Tingkat kejadian sistiserkosis pada babi di Kabupaten Flores Timur .. 18 4 Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian sistiserkosis di Kabupaten

(14)

xii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Morfologi skoleks dan proglotid gravid dari T. hydatigena, T. solium

dan T. asiatica ………. 5

2 Daur hidup Taenia hydatigena ... 6

3 Daur hidup Taenia solium ... 7

4 Daerah tertular taeniasis/sistiserkosis ... 9

5 Daerah taeniasis di Indonesia ... 10

6 Lokasi dan jumlah pengambilan sampel ... 16

7 Kista yang ditemukan pada hati babi ... 19

8 Bentuk kait dan batil hisap Cysticercus tenuicollis ... 20

9 Situasi tempat pemotongan hewan babi di Kabupaten Flores Timur ... 22

10 Sistem dan kondisi perkandangan pada peternakan babi di Kabupaten Flores Timur ... 24

11 Situasi peternakan babi di Kabupaten Flores Timur ... 24

(15)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Kuisioner untuk peternak babi di Kabupaten Flores Timur ………….. 37 2 Kuisioner untuk tempat pemotongan hewan babi di Kabupaten Flores

Timur ... 40 3 Analisis data faktor resiko sistiserkosis dengan menggunakan metode

regresi logistik ... 41 4 Analisis hubungan antara kepemilikan anjing dengan kasus

(16)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Memelihara babi merupakan bagian dari budaya dan tradisi masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) termasuk di Kabupaten Flores Timur. Babi selain dipelihara untuk dijual maupun untuk dikonsumsi keluarga juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan upacara adat. Data dari Dinas Peternakan Propinsi NTT menunjukkan tingkat konsumsi daging termasuk daging babi di Propinsi NTT pada tahun 2006 mencapai 8,64 kg/kapita/thn, sedangkan tingkat konsumsi daging di Kabupaten Flores Timur mencapai 11,93 kg/kapita/thn (Bappeda & PM Kab. Flores Timur 2009; Disnak Propinsi NTT 2006).

Tingkat konsumsi daging yang cukup tinggi menunjukkan peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya mengkonsumsi protein hewani bagi kesehatan. Daging adalah salah satu pangan asal hewan yang mengandung zat gizi yang sangat baik untuk kesehatan dan pertumbuhan manusia namun berpotensi menularkan berbagai penyakit asal hewan kepada manusia. Beberapa zoonosis yang dapat ditularkan melalui bahan pangan asal hewan khususnya daging antara lain anthrax, trichinellosis dan taeniasis. Peningkatan konsumsi bahan pangan asal hewan perlu dibarengi dengan peningkatan jaminan keamanan pangan asal hewan yang merupakan salah satu tugas dan fungsi kesmavet. Kesmavet menurut Undang Undang no 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan adalah segala urusan yang berhubungan dengan hewan dan produk hewan yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kesehatan manusia. Tugas dan fungsi Kesmavet secara garis besar adalah menjamin keamanan dan kualitas produk-produk peternakan, serta mencegah terjadinya risiko bahaya akibat penyakit hewan/zoonosis dalam rangka menjamin kesehatan dan kesejahteraan masyarakat (Soejoedono 2004).

(17)

2

endemis bagi taeniasis di Propinsi NTT namun laporan tersebut tidak menyebutkan tingkat kejadian penyakit tersebut pada manusia (Depkes RI 2006).

Kabupaten Flores Timur adalah salah satu kabupaten yang berada di dalam wilayah Propinsi NTT tepatnya terletak di ujung timur Pulau Flores. Sektor peternakan yang paling berkembang di wilayah kabupaten ini adalah babi dengan populasi mencapai + 110.222 ekor (Bappeda & PM Kab. Flores Timur 2009). Babi yang dipelihara di kabupaten ini kebanyakan dikonsumsi masyarakat setempat atau dijual ke kabupaten-kabupaten di sekitar Flores Timur. Pemeliharaan babi di Kabupaten Flores Timur masih dilakukan secara tradisional. Peternak umumnya kurang memperhatikan kesehatan ternak serta kebersihan kandang. Pemotongan babi juga masih dilakukan di Tempat Pemotongan Hewan (TPH) yang fasilitasnya jauh dari standar yang ditetapkan. Terbatasnya sumber daya petugas untuk melakukan pemeriksaan ante mortem dan post mortem pada babi yang dipotong menjadikan kualitas daging yang dikonsumsi masyarakat masih belum sepenuhnya terjamin keamanannya.

Melihat cukup tingginya tingkat konsumsi daging khususnya daging babi di Kabupaten Flores Timur serta peranan babi dalam transmisi taeniasis/ sistiserkosis maka perlu dilakukan suatu studi untuk mengetahui tingkat kejadian sistiserkosis di Kabupaten Flores Timur serta hubungannya dengan aspek kesehatan masyarakat.

Tujuan Penelitian ini bertujuan

1. Mengetahui tingkat kejadian sistiserkosis pada babi yang dipotong di TPH Kabupaten Flores Timur.

(18)

3

Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi mengenai keberadaan sistiserkosis pada babi di Kabupaten Flores Timur, dan mengetahui faktor risiko kejadian penyakit sehingga dapat diambil langkah- langkah pencegahan dan pengendaliannya.

Hipotesis

1. Terdapat kasus sistiserkosis pada babi di Kabupaten Flores Timur.

(19)

4

TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi, Morfologi dan Daur Hidup Taenia sp.

Klasifikasi dan Morfologi

Taenia sp didalam klasifikasi taksonomi termasuk ke dalam kelas

Eucestoda, ordo Taeniidae, famili Taeniidae dan genus Taenia. Anggota dari genus Taenia mempunyai ciri antara lain memiliki rostelum dengan mahkota ganda dari kait-kait besar. Tubuhnya terdiri dari sepuluh sampai beberapa ratus segmen. Larvanya dikenal dengan sebutan sistiserkus yang biasanya terdapat pada mamalia baik golongan herbivora maupun omnivora dan kadang-kadang pada manusia sedangkan cacing dewasanya terdapat pada mamalia karnivora dan manusia (Levine 1994). Beberapa spesies yang termasuk ke dalam genus Taenia yang larvanya sering ditemukan pada babi adalah Taenia hydatigena, Taenia solium dan Taenia asiatica (Levine 1994; OIE 2008).

Taenia hydatigena merupakan cacing pita dengan induk semang definitifnya adalah anjing, srigala dan karnivora liar, sedangkan kistanya yang dikenal dengan sebutan Cysticercus tenuicollis ditemukan pada hati atau rongga peritoneum domba, kambing, sapi maupun babi. Panjang cacing dewasanya mencapai 3-5 m. Rostelumnya mempunyai 26-44 kait dan terdiri dari 2 baris, dengan panjang mencapai 170-220 µ m dan yang pendek 110-160 µm. Kista dari cacing ini berukuran cukup besar mencapai 1-7 cm dengan leher skoleks yang panjang (Levine 1994; OIE 2008).

Salah satu spesies cacing pita yang sering menimbulkan masalah pada kesehatan manusia adalah Taenia solium. Cacing ini telah diketahui menjadi parasit pada manusia sejak ratusan tahun yang lalu. Induk semang antara dari

Taenia solium adalah babi (Acha & Szyfres 2003; Soejoedono 2004). Cacing dewasa Taenia solium berada dalam usus halus manusia dengan panjang mencapai 3-5 m. Terdapat 22-32 kait dalam dua baris pada rostelum. Panjang proglotid gravid 10-12 mm dan lebar 5-6 mm, uterusnya mempunyai cabang pada masing-masing sisi. Setiap proglotid gravid dapat mengeluarkan 40.000 telur. Telur berbentuk bola dan berdiameter + 42 µ m (Levine 1994). Taenia solium

(20)

5

pada satu induk semang. Larva dari cacing ini dikenal sebagai Cysticercus cellulosae yang dapat ditemukan pada urat daging babi, anjing dan kadang-kadang manusia. Ukuran dan bentuk dari sistiserkus ini berbeda-beda tergantung pada lokasinya. Dalam daging umumnya sistiserkus ini berbentuk kantong elips semi transparan dengan panjang mencapai 5-20 mm dan lebar 5-10 mm. Sistiserkus berisi cairan dan didalamnya terdapat ‘invaginasi“ skoleks yang melekat pada membran internalnya melalui lehernya. Struktur dan morfologi dari skoleks pada sistiserkus menyerupai skoleks pada Taenia solium dewasa (Levine 1994; Pawlowski 2002).

Taenia asiatica merupakan cacing pita yang morfologinya sangat mirip dengan Taenia saginata. Cacing ini mula-mula ditemukan di Taiwan kemudian di beberapa negara Asia lainnya. Manusia merupakan induk semang definitif dari

Taenia asiatica sedangkan larvanya biasa ditemukan pada babi terutama pada organ hati. Sistiserkus dari Taenia asiatica mirip dengan sistiserkus dari Taenia solium walaupun ukurannya lebih kecil berbentuk agak bulat sampai lonjong, merupakan bentuk gelembung berwarna putih susu dengan kepala yang mengalami “invaginasi” ke dalam gelembung. Ukuran dari metacestoda ini 2,07-2,14 mm. Permukaan gelembung bagian luar mempunyai bentuk menyerupai kutil dan berdiameter 21,5-36,7 µm. Pada beberapa skoleks sistiserkus tersebut terdapat kait-kait yang telah rudimenter dengan jumlah antara 1-37 (Eom & Rim 1993; Dharmawan 1995; Puchades & Fuentes 2000).

Gambar 1 Morfologi skoleks (atas) dan proglotid gravid (bawah) dari T. hydatigena, T. solium dan T. Asiatica (Abuladze 1970;

Pawlowski 2002).

T. sollium

(21)

6

Daur Hidup

Daur hidup cacing pita (cestoda) umumnya memerlukan satu atau lebih induk semang antara. Stadium larva dari cacing cestoda berkembang biak di dalam tubuh induk semang antara apabila telur dari cacing cestoda termakan oleh induk semang antara tersebut. Induk semang defenitif akan terinfeksi oleh cacing apabila mengkonsumsi daging yang mengandung kista.

Taenia hydatigena

Siklus hidup dari Taenia hydatigena diawali apabila induk semang antaranya memakan telur ataupun proglotid gravid yang dikeluarkan bersama feses anjing. Embrio hexacanth akan keluar menembus dinding usus halus dan masuk ke dalam aliran darah lalu dibawa ke hati ataupun organ-organ lain yang menjadi tempat predileksinya. Sistiserkus yang terbentuk di organ-organ tersebut disebut Cysticercus tenuicollis. Setelah infeksi diperlukan waktu antara 2-4 minggu untuk kista ini bermigrasi ke dalam rongga peritonium. Sistiserkus kemudian menjadi matang pada hari ke 34-53. Anjing akan terinfeksi Taenia hydatigena apabila memakan daging atau organ yang mengandung sistiserkus (Gambar 2) (Soulsby 1982; Dharmawan 1990).

Gambar 2 Daur hidup Taenia hydatigena (Anonim 2008). Kista C. tenuicollis pada rongga

peritonium

(22)

7

Taenia solium

Daur hidup Taenia solium dimulai ketika cacing dewasa yang hidup pada usus manusia akan melepaskan segmen proglotidnya yang mengandung telur cacing dan keluar dari tubuh manusia melalui feses (Gambar 3).

Gambar 3 Daur hidup Taenia solium (Kraft 2007).

Telur yang dikeluarkan kemudian termakan oleh babi dan di dalam tubuh babi akan berkembang menjadi larva yang mendiami otot-otot babi terutama di daerah otot pengunyah, otot jantung, lidah, diafragma, kaki belakang dan otot-otot yang banyak bergerak. Apabila daging tercemar dan kista termakan (terutama dalam kondisi kurang masak) maka kista akan berkembang kembali menjadi cacing dewasa. Larva dari Taenia solium yaitu Cysticercus cellulose dapat juga berkembang di dalam berbagai organ tubuh manusia. Hal ini terjadi bila manusia secara tidak sengaja menelan telur berembrio melalui makanan/air yang tercemar oleh feses penderita taeniasis. Telur cacing juga dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui mekanisme autoinfeksi dimana penderita taeniasis akan menelan telur berembrio melalui tangannya yang tercemar feses (Soejoedono 2004; Kraft 2007).

Babi/manusia terinfeksi Kista pada daging babi

Proglotid yang mengandung telur ke luar lingkungan

lewat feses Manusia terinfeksi karena

makan daging berkista

(23)

8

Taenia asiatica

Pola daur hidup Taenia asiatica relatif sama dengan Taenia saginata. Perbedaan utama terletak pada induk semang antara dan tempat predileksi kistanya pada induk semang antara, jika pada Taenia saginata kistanya ditemukan pada urat daging sapi maka kista dari Taenia asiatica ditemukan pada hati babi (Eorn & Rim 1993; Dharmawan 1995).

Taeniasis dan Sistiserkosis pada Manusia

Taeniasis dan sistiserkosis yang disebabkan infeksi oleh Taenia solium

lebih banyak terjadi di negara berkembang dibandingkan negara maju. Hal ini disebabkan adanya perbedaan dalam tingkatan kesehatan lingkungan dan kesehatan pribadi dalam masyarakat maupun perbedaan dalam teknologi beternak babi. Di India, Cina, Asia Selatan dan Asia Tenggara, Taenia solium merupakan parasit penting untuk manusia (Acha & Szyfres 2003). Taeniasis/sistiserkosis juga menjadi reemerging disease di Amerika Serikat akibat datangnya para imigran yang berasal dari daerah endemis (Toledo et al. 1999).

Menurut Dorny et al. (2003) taeniasis/sistiserkosis merupakan masalah bagi kesehatan masyarakat terutama di negara berkembang dimana populasi babi dan tingkat konsumsi dagingnya tinggi serta rendahnya tingkat pendidikan, sarana dan prasarana kebersihan/kesehatan. Sutisna et al. (1999) menyatakan bahwa kurang intensifnya kegiatan pemeriksaan daging di daerah pedesaan juga mempengaruhi penyebaran dari penyakit ini.

Penderita taeniasis umumnya memperlihatkan gejala asimptomatis namun terkadang muncul gejala gangguan abdominal, diare, anorexia, indigesti dan konstipasi (John et al. 1992). Adanya larva Taenia solium di dalam organ manusia dikenal sebagai kasus sistiserkosis pada manusia. Gejala yang timbul antara lain epilepsi, hidrosephalus, gagal jantung, gangguan penglihatan, serta gangguan lainnya tergantung pada tempat predileksi dari larva ini (Soejoedono 2004).

(24)

9

Indonesia khususnya pada manusia (Tabel 1). Prevalensi sistiserkosis di berbagai daerah di Indonesia berkisar 2-56,9%.

Tabel 1 Studi kejadian sistiserkosis pada manusia di Indonesia

Gambar 4 Daerah tertular taeniasis/sistiserkosis (Depkes RI 2006).

No Tempat Prevalensi Literatur

1 Bali 13% Theis et al. 1994

2 Sumatera Utara 2% Simanjuntak et al. 1997, diacu dalam

Rajshekhar et al. 2003

3 Irian Jaya 48% Simanjuntak et al. 1997, diacu dalam

Rajshekhar et al. 2003

4 Papua 23,5-56,9% Salim et al. 2009

Daerah tertular

(25)

10

Gambar 5 Daerah taeniasis di Indonesia (Depkes RI 2006). Sistiserkosis pada Hewan Babi

Beberapa jenis sistiserkus yang sering ditemukan pada babi adalah

Cysticercus cellulose, Cysticercus tenuicollis dan kista Echinococcus. Infeksi ringan sistiserkosis pada babi tidak memperlihatkan dampak yang serius namun infeksi ini memiliki dampak ekonomis yaitu adanya penolakan daging pada pemeriksaan post mortem, baik sebagai daging untuk konsumsi lokal ataupun untuk diekspor sehingga merugikan baik untuk pemilik, ekonomi secara regional maupun nasional (Soejoedono 2004; Radfar et al. 2005). Kejadian sistiserkosis pada babi di Indonesia sendiri sudah dikenal sejak lama terutama di beberapa wilayah seperti Pulau Bali. Di Pulau Bali kasus sistiserkosis sering disebut dengan istilah “beberasan”. Penyakit ini pertama kali terindentifikasi di Pulau Bali oleh Le Courte pada tahun 1920 (Dharmawan 1990).

Data kejadian sistiserkosis pada ternak khususnya babi di Indonesia masih sangat terbatas. Studi Dharmawan (1990) pada babi yang dipotong di Rumah Potong Hewan (RPH) Denpasar menunjukkan tingkat prevalensi mencapai 16,5% untuk Cysticercus tenuicollis dan 0,12% untuk Cysticercus cellulosae.

Kab. Kar o, Simalungun, Taput , Nias, Pr op. Sumut

Kab. Lampung Tengah, Pr op.Lampung

Kab. Jembr ana, Gianyar , Kar angasem, Denpasar , Pr op.Bali

Kab Belu, TTS, Flor es Timur , Ende, Manggar ai, Sumba Timur , Kupang, Pr op. NTT

Kab. Manokwar i, Jayawijaya, Pr op. Ir ian J aya

(26)

11

Maitindom (2008) melakukan studi pada babi yang dijual di Pasar Jibama Kabupaten Jayawijaya Papua dengan tingkat prevalensi mencapai 77,1% untuk

Cysticercus cellulosae.

Diagnosa Taeniasis/Sistiserkosis

Berbagai metode telah dikembangkan untuk mendiagnosa taeniasis/sistiserkosis baik pada manusia maupun pada hewan. Beberapa uji serologis adalah enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) dan enzyme linked immunoelectrotransfer blot (EITB). Teknik EITB merupakan salah satu tes yang paling spesifik yang telah dikembangkan dimana tingkat spesifisitasnya mencapai 100% (Tsang et al. 1989, diacu dalam Dorny et al. 2003). Keuntungan dari penggunaan uji serologis antara lain adalah uji ini dapat dipergunakan untuk mendiagnosa penyakit pada hewan hidup serta relatif tidak mahal dan mudah dilakukan untuk sejumlah besar sampel serum (Dorny et al. 2003) namun diketahui kurang sensitif apabila diterapkan pada babi dengan tingkat infeksi rendah atau jumlah kista sedikit (Sciutto et al. 1998). Menurut OIE (2008) teknik ELISA dan EITB menunjukkan sensitivitas yang rendah pada babi-babi lokal yang terinfeksi oleh Taenia solium pada level rendah. Selain itu kekurangan dari uji-uji imunologis adalah kesalahan dalam menentukan hasil seropositif babi muda karena adanya maternal antibody yang diturunkan dari induk (Gonzalez et al. 1999, diacu dalam Dorny et al. 2003). Reaksi silang antara Cysticercus cellulose dan Cysticercus tenuicollis juga dapat terjadi (Dorny et al. 2003).

Metode non serologis yang sering digunakan dalam pemeriksaan sistiserkosis adalah palpasi lidah dan meat inspection. Teknik palpasi lidah banyak digunakan di Amerika Utara dan Afrika untuk mendeteksi sistiserkus dari

(27)

12

Faktor Risiko Sistiserkosis

Faktor risiko adalah variabel yang meningkatkan risiko terjadinya suatu penyakit atau infeksi (Sastroasmoro & Ismael 1995). Penelitian mengenai faktor risiko sistiserkosis pada babi terutama faktor risiko kejadian sistiserkosis solium

sudah banyak dilakukan di negara-negara lain. Penelitian yang dilakukan Mutua

et al. ( 2007) di Teso-Kenya menunjukkan bahwa di daerah tersebut faktor risiko bagi kejadian sistiserkosis solium adalah kepemilikan toilet/jamban. Menurut Edwards et al. (1997) kejadian sistiserkosis tenuicollis banyak dipengaruhi oleh adanya anjing yang berkeliaran di padang penggembalaan.

Faktor risiko kejadian sistiserkosis pada babi belum banyak di pelajari di Indonesia. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan hanya mengenai faktor risiko sistiserkosis pada manusia. Penelitian yang dilakukan di daerah Jayawijaya-Papua menunjukkan bahwa faktor kebiasaan mencuci tangan, jenis pekerjaan, frekuensi mandi, jenis sumber air bersih dan tempat buang air besar merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi sistiserkosis pada manusia di daerah tersebut (Purba et al. 2002).

Pencegahan dan Pengobatan

Pencegahan taeniasis/sistiserkosis dapat dilakukan melalui penerapan sanitasi dan higiene yang baik terutama pada populasi yang berisiko tinggi dikombinasikan dengan identifikasi dan pengobatan secara tuntas pada penderita taeniasis. Upaya peningkatan status ekonomi, sosial dan kesehatan pada masyarakat perlu dilakukan terutama di negara-negara berkembang yang endemis terhadap penyakit ini. Meat inspection yang baik dan benar merupakan cara kontrol penyebaran penyakit ini, selain itu perlu disosialisasikan bagi populasi berisiko untuk selalu memasak daging babi diatas suhu 60ºC ataupun membekukannya -5 ºC selama empat hari, -15 ºC selama tiga hari, atau -24 ºC selama satu hari yang dapat membunuh larva di dalam daging. Pencegahan melalui teknik vaksinasi sampai saat ini masih dikembangkan (John et al. 1992; Toledo et al. 1999; Acha & Szyfres 2003; Sarti & Rajshekhar 2003; OIE 2008).

(28)

13

Salah satu obat yang telah diuji efektivitasnya bagi sistiserkosis pada manusia ialah praziquantel (PZQ). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa obat ini dapat menyebabkan penurunan jumlah dan ukuran kista sistiserkus di dalam jaringan dengan efek samping yang ringan. Preparat oxfendazole terbukti menunjukkan efektifitas yang tinggi dalam mengatasi sistiserkosis bila diberikan secara single dosis sebanyak 30 mg/kgBB. Meskipun oxfendazole mampu membunuh sistiserkus yang ada di otot dan organ internal, obat ini tidak mampu membunuh kista yang ada di otak (John et al. 1992; OIE 2008).

Situasi Kabupaten Flores Timur

Kabupaten Flores Timur adalah sebuah kabupaten yang terletak di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Secara geografis Kabupaten Flores Timur terletak pada 80,04' LU; 80,40' LS; 123o,57 BT; 122o,38 BT. Secara administratif Flores Timur berbatasan dengan Kabupaten Lembata disebelah timur, Kabupaten Sikka di sebelah barat, Laut Flores disebelah utara, dan Laut Sawu disebelah selatan. Kabupaten Flores Timur adalah kabupaten kepulauan. Luas wilayah

mencapai ± 5.983,38 km2, yang terdiri dari laut ± 4.170,53 km2 dan darat ± 1.812,85 km2. Jumlah pulau di Kabupaten Flores Timur adalah 20 buah, dan

(29)

14

Tabel 2 Populasi ternak dan produksi daging di Kabupaten Flores Timur tahun 2008

( Bapeda & PM Kabupaten Flores Timur 2009)

Sektor peternakan di wilayah ini belum sepenuhnya dikembangkan secara optimal walaupun tingkat konsumsi daging diwilayah ini cukup tinggi mencapai 11,93 kg/kapita/thn dan memiliki luas lahan kering yang cukup besar yaitu mencapai ± 184.333 ha (Bappeda & PM Kab. Flores Timur 2009). Sistem peternakan yang diterapkan umumnya adalah semi intensif dimana ternak dipelihara sebagai mata pencaharian sampingan. Peternakan yang paling berkembang di wilayah ini adalah babi disusul oleh kambing dan sapi (Tabel 2).

No Jenis Ternak Jumlah

Populasi (ekor) Produksi Daging (kg)

1 Babi 110.222 3.967.992

2 Kambing 66.443 498.248

3 Sapi 1.783 52.554

4 Domba 1.214 9.105

5 Kuda 1.170 8.775

(30)

15

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2008 sampai Juli 2009 di sejumlah tempat pemotongan hewan (TPH) di Kabupaten Flores Timur. Penelitian dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama dilakukan di lapangan, pada tahap ini dilakukan pemeriksaan sistiserkus pada daging babi di TPH melalui meat inspection dan wawancara serta pengisian kuisioner. Tahap kedua untuk mengindentifikasi spesies dila kukan di laboratorium helmintologi bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan FKH-IPB.

Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain studi lintas seksional (cross sectional). Studi lintas seksional dapat digunakan untuk mempelajari hubungan antara variabel tergantung (efek) dan variabel bebas (faktor risiko) dengan melakukan pengukuran sesaat. Pengukuran variabel-variabel pada studi ini hanya dilakukan satu kali (Sastroasmoro & Ismael 1995).

Pengambilan Sampel dan Pemeriksaan Daging

Pengambilan Sampel

Sampel yang diperiksa adalah babi yang dipotong di beberapa Tempat Pemotongan Hewan di Kabupaten Flores Timur. Jumlah babi yang diperiksa adalah 108 ekor. Jumlah sampel dihitung berdasarkan metode penghitungan sampel untuk studi kohort/lintas seksional melalui aplikasi win episcope 2,0. Pengambilan sampel dilakukan di tiga pulau terbesar di wilayah Kabupaten Flores Timur. Jumlah TPH lokasi penelitian ditentukan secara proposional berdasarkan jumlah pemotongan di tiap pulau sedangkan jumlah sampel di tiap TPH ditentukan secara proposional berdasarkan jumlah pemotongan di tiap TPH. Pemeriksaan Daging (Meat Inspection)

Pemeriksaan daging post mortem (meat inspection) dilakukan dengan melakukan pengamatan secara teliti dan dilakukan sayatan di beberapa tempat yang diduga sebagai tempat predileksi dari sistiserkus seperti pada organ hati,

(31)

16

Gambar 6 Lokasi dan jumlah pengambilan sampel. Pembuatan Preparat

Sistiserkus yang ditemukan pada saat meat inspection dikoleksi kemudian disimpan dalam larutan relaksan (NaCl fisiologis) selama beberapa jam dan selanjutnya dimasukkan ke dalam larutan preservatif (alkohol 70%) sampai dilakukan analisis laboratorium dengan pembuatan preparat. Pembuatan preparat dilakukan dengan mengeluarkan skoleks dari kista dengan jalan menekan kista dengan menggunakan skalpel, kemudian skoleks tersebut dipotong. Hasil potongan skoleks yang didapatkan kembali ditipiskan dengan cara mengirisnya secara hati-hati dibawah mikroskop guna memperoleh sediaan setipis mungkin. Potongan skoleks tersebut kemudian dijernihkan dengan memasukan potongan tersebut ke dalam minyak cengkeh sampai terlihat transparan. Tahap selanjutnya adalah dehidrasi dimana preparat direndam didalam alkohol bertingkat berturut-turut mulai dari alkohol 50%, 70%, 80% dan terakhir alkohol absolut. Potongan skoleks selanjutnya akan dipress menggunakan kaca penjepit kemudian diletakkan di atas gelas objek lalu dimounting dengan perekat entelan dan ditutup dengan gelas penutup. Identifikasi spesies dilakukan melalui pengamatan dibawah mikroskop terutama dari bentuk kait, jumlah kait dan jumlah baris kait.

Daratan Flores n = 91, TPH =7

Pulau adonara n = 12, TPH =2

(32)

17

Wawancara dan Pengisian Kuisioner

Hubungan antara kejadian sistiserkosis dengan beberapa aspek kesehatan masyarakat yang diduga menjadi faktor risiko kejadian penyakit diteliti dengan melakukan wawancara serta pengisian kuisioner. Responden yang diwawancara adalah peternak tempat asal babi yang dipotong. Penekanan pada wawancara dan pengisian kuisioner adalah untuk memperoleh informasi mengenai sanitasi lingkungan, cara beternak, cara pemberian pakan dan cara pengolahan makanan. Wawancara juga dilakukan terhadap pengelola TPH untuk mendapat gambaran secara deskriptif mengenai jumlah pemotongan ternak, rantai pemasaran daging serta usaha menjaga kualitas dan keamanan daging.

Analisis Data

(33)

18

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tingkat Kejadian Sistiserkosis pada Babi

Penelitian dilakukan di sejumlah Tempat Pemotongan Hewan di Kabupaten Flores Timur. Selama kegiatan penelitian dilakukan pemeriksaan post mortem pada 108 ekor babi. Babi yang diperiksa terdiri dari 61 ekor babi jantan dan 47 ekor babi betina dengan kisaran umur 6 bulan-3 tahun dan berasal dari tiga pulau terbesar di wilayah Kabupaten Flores Timur (Tabel 3).

Penyembelihan babi terbanyak diperoleh dari daerah Flores daratan sebanyak 91 ekor, disusul oleh Pulau Adonara dan Pulau Solor masing masing sebanyak 12 dan 5 ekor. Daerah Flores Daratan merupakan daerah pusat pemerintahan dan pusat kegiatan ekonomi di Kabupaten Flores Timur sehingga tingkat konsumsi dagingnya pun lebih tinggi dibandingkan kedua pulau lainnya sehingga jumlah pemotongan jauh lebih banyak dibandingkan kedua pulau lainnya.

Tabel 3 Tingkat kejadian sistiserkosis pada babi di Kabupaten Flores Timur Pulau/Kecamatan Jumlah

(ekor)

Kasus Positif

(ekor) Prevalensi Pulau Flores Daratan

Kecamatan Larantuka 89 15

Kecamatan Ile Bura 1 0

Kecamatan Klubagolit 1 0

(34)

19

Gambar 7 Kista (A) yang ditemukan pada hati babi.

Berdasarkan hasil pemeriksaan post mortem ditemukan adanya kista/sistiserkus pada 17 ekor babi (15,7%) dengan prevalensi : Pulau Flores Daratan 16,5% terbanyak dari Kecamatan Larantuka, Pulau Adonara 16,7% (Kecamatan Adonara Barat dan Adonara Timur) sedangkan pada Pulau Solor tidak ditemukan adanya kasus sistiserkosis. Kista yang ditemukan berukuran antara 0,5-6,5 cm x 0,5-5 cm dengan lokasi pada organ hati dan omentum.

Hasil pengamatan mikroskopik preparat skoleks menunjukkan bahwa skoleks kista ini mempunyai rostelum yang dilengkapi dengan 2 baris kait berjumlah 29-32 kait dan dilengkapi empat buah sucker (alat pengisap). Berdasarkan pengamatan dari bentuk kait maka dapat dinyatakan bahwa jenis kista yang ditemukan adalah Cysticercus tenuicollis. Gambaran mikroskopis dari sistiserkus tersebut dapat dilihat pada gambar berikut ini :

(35)

20

Gambar 8. Bentuk kait (A) dan batil hisap (B) Cyticercus tenuicollis.

Tingkat kejadian sistiserkosis yang diakibatkan Cysticercus tenuicollis di Kabupaten Flores Timur (15,7%) mendekati tingkat kejadian sistiserkosis akibat

Cysticercus tenuicollis di Bali sebesar 16,5% (Dharmawan 1990). Cukup tingginya prevalensi Cysticercus tenuicollis di Kabupaten Flores Timur berhubungan dengan tingginya populasi anjing di Kabupaten tersebut yang pada tahun 2007 mencapai 14.895 ekor (Distannak Kab. Flores Timur 2008). Pada umumnya anjing-anjing ini dibiarkan bebas berkeliaran tanpa dikandangkan atau diikat. Anjing merupakan induk semang defenitif dari Taenia hydatigena yakni bentuk dewasa dari Cysticercus tenuicollis (Leviene 1994). Babi akan terinfeksi oleh Cysticercus tenuicollis apabila menelan makanan atau minuman yang tercemar oleh tinja anjing yang mengandung telur dari Taenia hydatigena. Secara normal infeksi dari Taenia hydatigena tidak menimbulkan dampak yang serius pada anjing namun larvanya (Cysticercus tenuicollis) dapat menimbulkan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada ternak (Radfar et al. 2005). Migrasi dari sistiserkus pada parenkhim hati dapat menimbulkan perdarahan, pembentukan jaringan ikat di sinusoid hati dan peritonitis (Senlik 2008). Sistiserkosis juga mempunyai dampak ekonomis akibat adanya pengafkiran dari daging maupun organ yang terinfeksi (Radfar et al. 2005). Manusia dapat juga menjadi induk semang antara Taenia hydatigena walaupun hal ini jarang sekali

A A

(36)

21

terjadi dan kemungkinan kasus ini pada manusia sering dikelirukan dengan infeksi dari kista Echinococcus sp. (Abduladze 1970).

Manajemen Pemotongan Ternak

Keseluruhan Tempat Pemotongan Hewan (TPH) dimana penelitian ini dilakukan kondisinya sangat memprihatinkan. Hampir semua TPH tidak memiliki bangunan permanen, fasilitas air bersih dan penerangan yang digunakan sangat terbatas, demikian juga dengan peralatan yang dimiliki. Kebanyakan ternak dipotong dalam keadaan terikat di atas tanah dengan hanya beralaskan daun pisang ataupun beberapa lembar seng. Proses pemisahan karkas dan jeroan dilakukan di tempat yang sama sehingga memungkinkan terjadinya pencemaran terhadap karkas (Gambar 9).

(37)

22

Gambar 9 Situasi tempat pemotongan hewan babi di Kabupaten Flores Timur. Tempat Pemotongan Hewan merupakan suatu tempat yang berfungsi sebagai tempat pelaksanaan pemotongan hewan dan sebagai tempat pengawasan dan pengendalian penyakit hewan (Deptan RI 2007). Persyaratan TPH/RPH yang baik antara lain adalah memiliki tempat atau bangunan khusus untuk pemotongan hewan yang dilengkapi dengan atap, lantai dan dinding. Tempat pemotongan Hewan juga harus memiliki kandang untuk menampung hewan sebelum pemotongan, persediaan air bersih yang cukup dan khusus untuk tempat pemotongan babi dilengkapi dengan air panas. Persyaratan lainnya adalah memiliki sumber cahaya yang memadai, meja atau alat penggantung daging agar daging tidak bersentuhan dengan lantai, terdapat saluran pembuangan sehingga lantai tidak digenangi air. Proses pemotongan di TPH harus diawasi oleh dokter

hewan/pemeriksa daging/petugas berwenang dari dinas peternakan (Deptan RI 2007).

Pemeriksaan antemortem adalah pemeriksaan kesehatan hewan potong sebelum disembelih sedangkan pemeriksaan postmortem adalah pemeriksaan jeroan, kepala dan karkas setelah disembelih. Kedua pemeriksaan ini harus dilakukan oleh petugas yang berwenang dalam hal ini adalah dokter hewan atau petugas lain yang memiliki pengetahuan dan keterampilan pemeriksaan

(38)

23

yang harus dilaksanakan untuk memastikan hewan dalam kondisi sehat dan layak untuk dipotong. Pemeriksaan postmortem bertujuan untuk menjamin daging yang dihasilkan aman dan layak dikonsumsi oleh masyarakat. Pemeriksaan

postmortem dalam hal ini berupa meat inspection dilakukan dalam tiga tahap yaitu pengamatan secara visual pada seluruh karkas dan organ, palpasi dan insisi bila diperlukan. (BSN 1999; Buncic 2006). Pemeriksaan antemortem dan postmortem

dapat mencegah distribusi daging yang tercemar agen penyakit dan beresiko menimbulkan penyakit pada manusia bahkan dapat mendeteksi adanya suatu penyakit pada populasi ternak (Edwards et al. 1997).

Manajemen Peternakan

Sistem Peternakan babi di Kabupaten Flores Timur rata-rata merupakan peternakan semi intensif. Ternak umumnya dipelihara sebagai usaha sampingan untuk memperoleh pendapatan tambahan maupun sebagai persiapan guna memenuhi kebutuhan adat dalam upacara pernikahan, kematian maupun keagamaan.

Pengamatan dan wawancara pada 75 responden peternak menunjukkan bahwa sebagian besar responden (97,3%) telah mengandangkan babinya dan 80% diantaranya cukup memperhatikan kebersihan kandangnya dengan membersihkan

(39)

24

Gambar 10 Sistem dan kondisi perkandangan pada peternakan babi di Kabupaten Flores Timur.

(40)

25

Pemeliharaan babi biasanya dilakukan di halaman rumah maupun di kebun. Ternak ditempatkan pada kandang semi permanen yang terbuat dari kayu dan bambu atau diikat pada tonggak kayu (Gambar 11). Sistem perkandangan yang diterapkan oleh para peternak babi di kabupaten Flores Timur biasa dipakai di

beberapa wilayah yang menerapkan sistem peternakan semi intensif. Menurut Williamson dan Payne (1993) beberapa tipe kandang sederhana yang

sering dipergunakan pada peternakan semi intensif antara lain:

- Kandang yang dibuat dari kayu atau bambu dengan atap alang-alang dan alas tanah. Rumput kering, jerami atau sekam digunakan sebagai litter. - Kandang dari kayu atau bambu dengan atap alang- alang dengan alas semen. - Kandang panggung, terbuat dari kayu atau bambu dengan atap alang-alang. Beberapa syarat dalam pembuatan kandang adalah kandang harus cukup mendapat sinar matahari dengan sistem pertukaran udara yang baik, lantai kandang bila terbuat dari semen harus dibuat sedikit miring dan tidak terlalu licin dan terdapat saluran untuk membuang kotoran (LPTP Koya Barat 1996).

Hasil wawancara menunjukkan biasanya babi diberikan pakan berupa sisa-sisa makanan dari rumah tangga maupun rumah makan yang dicampur dengan umbi-umbian dan daun-daunan yang telah dicincang (96%). Pakan ini biasanya dimasak terlebih dahulu (74,7%) walaupun ada beberapa petenak yang langsung memberikannya tanpa dimasak (25,3%). Babi merupakan hewan omnivora yang bisa memakan segala jenis makanan. Untuk pemeliharaan secara sederhana pada peternakan skala kecil biasanya babi diberikan makanan berupa campuran biji-bijian seperti jagung, beras, dedak padi ditambah umbi-umbian, daun-daunan serta sisa-sisa makanan restoran. Makanan sebaiknya diberikan 2-3 kali sehari,

sedangkan air disediakan secara tak terbatas dalam kandang (Williamson & Payne 1993).

(41)

26

nyata bagi para peternak. Peningkatan produksi dan mutu babi dapat dilakukan melalui usaha perbaikan pada tata laksana peternakan. Melalui manajemen peternakan yang baik maka ternak babi dapat menghasilkan keuntungan yang relatif cepat (LPTP Koya Barat 1996).

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Sistiserkosis

Beberapa faktor terkait manajemen peternakan, sanitasi lingkungan dan higiene personal yang diduga mempengaruhi kejadian sistiserkosis dipelajari melalui wawancara dan pengisian kuisioner serta pengamatan langsung di lapangan. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan metode regresi logistik untuk menentukan nilai odds ratio (OR). Odds ratio merupakan suatu ukuran dalam statistik yang sering digunakan untuk mengetahui seberapa besar kontribusi faktor-faktor terhadap frekuensi kejadian penyakit (Westergren

et al. 2001). Dari hasil analisis ternyata faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian sistiserkosis akibat Cysticercus tenuicollis di Kabupaten Flores Timur adalah pengolahan pakan, kebersihan kandang dan tempat pakan serta kebiasaan mencuci tangan (Tabel 4).

Tabel 4 Faktor – faktor yang mempengaruhi kejadian sistiserkosis di Kabupaten Flores Timur

(42)

27

kebersihan kandang dan tempat pakan mempunyai nilai odds ratio sebesar 5,8 yang berarti bahwa babi dengan kondisi kandang dan tempat pakannya jarang dibersihkan memiliki risiko 5,8 kali lebih besar terkena sistiserkosis bila dibandingkan dengan kandang dan tempat pakan yang rutin dibersihkan. Higiene personal peternak juga mempengaruhi kejadian penyakit. Babi yang dipelihara oleh peternak yang jarang mencuci tangan memiliki risiko 5,5 kali lebih besar terkena sistiserkosis dibanding babi yang dipelihara peternak yang rutin membersihkan tangannya.

Pakan babi di Kabupaten Flores Timur umumnya berupa sisa-sisa makanan rumah tangga ataupun restoran dicampurkan dengan umbi-umbian dan daun-daunan. Ternak yang diberikan pakan tanpa pengolahan (dimasak) mempunyai peluang lebih besar untuk terinfeksi sistiserkosis sebab kemungkinan adanya cemaran telur Taenia hydatigena yang dikeluarkan bersama feses anjing. Cemaran ini mungkin terjadi terutama pada umbi-umbian yang dijadikan sebagai bahan pakan. Secara umum telur dari Taenia sp dapat bertahan cukup lama di lingkungan sehingga berpotensi untuk mengkontaminasi bahan pakan. Babi yang diberikan pakan yang telah diolah/dimasak, kecil kemungkinannya untuk terinfeksi sebab walaupun ada cemaran telur cacing pada pakannya namun dengan adanya pemanasan maka telur cacing tersebut menjadi tidak infektif. Telur dari cacing pita biasanya akan rusak pada pemanasan 100 ºC (Gajadhar et al. 2006). Banyaknya populasi anjing yang berkeliaran membuat kontaminasi telur Taenia hydatigena juga terjadi di sekitar lingkungan rumah dan kandang sehingga buruknya kebersihan kandang dan tempat pakan meningkatkan potensi babi untuk terinfeksi Cysticercus tenuicollis. Edwards et al. (1997) mengemukakan bahwa beberapa faktor seperti adanya anjing yang berkeliaran di padang penggembalaan, ternak yang tidak dikandangkan merupakan faktor yang signifikan menyebabkan adanya pengafkiran pada organ hati di rumah potong akibat dari infeksi

Cysticercus tenuicollis.

(43)

28

satu ekor bahkan dapat mencapai lebih dari lima ekor di dalam satu rumah, akibatnya apabila penerapan sanitasi dan higiene personal dari keluarga peternak tersebut kurang baik maka ia dapat menjadi perantara penularan sistiserkosis pada babi yang dipelihara misalnya saja melalui tangan yang terkontaminasi oleh telur cacing dari anjing peliharaan.

Hasil wawancara menunjukkan 82,6% responden memelihara anjing dengan jumlah kepemilikan bervariasi antara 1-4 ekor. Analisis data dengan menggunakan uji Chi-Square menunjukkan tid ak ada hubungan antara jumlah kepemilikan anjing pada peternak dengan kejadian sistiserkosis pada babi yang ia pelihara. Fakta ini tidak mengherankan bila melihat sistem pemeliharaan anjing di Flores Timur. Di daerah ini anjing umumnya dibiarkan berkeliaran tanpa diikat/dikandangkan. Babi yang dipelihara oleh peternak yang tidak memiliki anjing dapat tertular sistiserkosis melalui anjing- anjing yang dipelihara oleh masyarakat disekitar peternakan tersebut. Siklus dari Taenia hydatigena terus berlanjut akibat banyaknya anjing yang berkeliaran di sekitar TPH. Anjing-anjing ini akan terinfeksi Taenia hydatigena bila memakan sisa-sisa pemotongan yang tidak dibuang dengan baik.

(44)

29

Gambar 12. Kepemilikan toilet/jamban dan sumber air bersih.

Sistem pemeliharaan hewan yang baik dan benar perlu lebih disosialisasikan pada masyarakat setempat seperti pemberian obat cacing secara rutin pada anjing dan ternak peliharaan. Pendidikan kesehatan masyarakat terutama terkait dengan sanitasi dan higiene personal juga perlu ditingkatkan sehingga faktor resiko dari penyebaran sistiserkosis akibat Cysticercus tenuicollis

(45)

30

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Tingkat kejadian sistiserkosis tenuicollis pada babi yang dipotong di TPH di Kabupaten Flores Timur mencapai 15,7% dengan prevalensi di Pulau Flores Daratan 16,5% dan Pulau Adonara 16,6% sedangkan di Pulau Solor tidak ditemukan sistiserkosis.

2. Tidak ditemukan adanya sistiserkosis akibat infeksi larva cacing Taenia sollium dan Taenia asiatica pada babi yang dipotong di TPH di Kabupaten Flores Tim ur.

3. Manajemen pemotongan hewan dan manajemen peternakan babi di Kabupaten Flores Timur belum memenuhi persyaratan dan kondisi yang ideal baik dari segi sarana dan prasarana maupun penerapan sanitasi dan higiene sehingga masih perlu dilakukan banyak perbaikan.

4. Faktor – faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian sistiserkosis tersebut adalah pemberian pakan tanpa dimasak (OR: 14,0), kandang dan tempat pakan yang kotor (OR: 5,8) serta kebiasaan mencuci tangan (OR: 5,5).

Saran

1. Melakukan pengendalian dan pencegahan sistiserkosis tenuicollis melalui pengendalian populasi anjing yang berkeliaran dan pemberian obat cacing secara rutin pada anjing.

2. Memperbaiki manajemen peternakan babi khususnya dalam hal pengolahan pakan serta peningkatan kebersihan kandang dan tempat pakan untuk mencegah kejadian sistiserkosis.

3. Membangun tempat pemotongan hewan babi yang memenuhi standar serta penyediaan tenaga terlatih guna pemeriksaan antemortem dan postmortem

untuk menjamin kesehatan dan keamanan daging babi yang dikonsumsi oleh masyarakat.

(46)

31

(47)

32

DAFTAR PUSTAKA

Abuladze KI. 1970. Taeniata of Animals and Man and Diseases Caused by Them. Raveh M and Storter A, penerjemah; Isserof A, editor. Jerusalem: Keter Pr.

Acha PN, Szyfres B. 2003. Zoonosis and Communicable Diseases Common to Man and Animals.Volume III: Parasitoses. Ed Ke-3. Washingthon DC: Pan American Health Organization.

[Anonim]. 2008. Kabupaten Flores Timur. http%3A//id.wikipedia.org/ wiki/Kabupaten_Flores_Timur [30/04/2008].

[Anonim]. 2008. The epidemiology of helminth parasites. www. Ilri.org/ Fulldocs/X5492e/x5492e04.gif [12/11/2008].

Ballweber LR. 2001. Veterinary Parasitology. Woburn: Butterworth-Heinemann.

[Bappeda & PM Kab. Flores Timur] Badan Perencanaan Daerah dan Penanaman Modal Kabupaten Flores Timur. 2009. Profil Daerah Kabupaten Flores Timur Tahun 2009. Larantuka: Badan Perencanaan Daerah dan Penanaman Modal Kabupaten Flores Timur.

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1999. Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-6159-1999 tentang Rumah Pemotongan Hewan. Jakarta: Badan

Standarisasi Nasional.

Buncic S. 2006. Integrated Food Safety and Veterinary Public Health. Oxfordshire: CABI.

Dharmawan NS. 1990. Tingkat kejadian sistiserkosis menurut metode pemeriksaan kesehatan babi di Rumah Potong Hewan Denpasar [tesis]. Bogor: Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Dharmawan NS. 1995. Pelacakan terhadap kehadiran Taenia saginata taiwensis

di Bali melalui kajian parasitologi dan serologi [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

[Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2005. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

(48)

33

[Disnak Propinsi NTT] Dinas Peternakan Propinsi Nusa Tenggara Timur. 2006. Data Pembangunan Peternakan di NTT Tahun 2006. Kupang: Dinas Peternakan Propinsi Nusa Tenggara Timur.

[Distannak Kab. Flores Timur] Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Peternakan Kabupaten Flores Timur. 2008. Laporan Penanganan dan Penanggulangan Rabies di Kabupaten Flores Timur Tahun 2007. Larantuka: Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Peternakan Kabupaten Flores Timur.

[Distannak Kab. Flores Timur] Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Peternakan Kabupaten Flores Timur. 2009. Laporan Tahunan Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Peternakan Kabupaten Flores Timur Tahun 2008. Larantuka: Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Peternakan Kabupaten Flores Timur.

Dorny P, Brandt J, Zoli A, Geerts S. 2003. Immunodiagnostic tools for human and porcine cysticercosis. ActaTrop 87:79-/86.

Edwards DS, Johnston AM, Mead GC. 1997. Meat Inspection: an Overview of present practices and future trends. Vet J 154:135-147.

Eom KS, Rim HJ . 1993. Morphologic descriptions of Taenia asiatica sp.

Korean J Parasitol 31:1-/6.

Flores SV, Rodea GB, Biol AF, Schantz PM. 2001. Hygiene and restraint of pig associated with absence of Taenia solium cysticercosis in rural community of Mexico. Salud Publica Mexico 43:574-576.

Gajadhar AA, Scandrett WB, Forbes LB. 2006 .Overview of food and water borne zoonotic parasites at the farm level. Rev Sci Tech Off Int Epiz 25:595-606.

Gonzalez AE et al. 1999. Persistence of passively transferred antibodies in porcine

Taenia solium cysticercosis, the cysticercosis working group in Peru. Vet Parasitol 86:113-118.

John DT, Markell EK, Voge M. 1992. Medical Parasitology. Ozmat S, editor. Philadelphia: W.B. Saunders.

Kraft R. 2007. Cysticercosis: an emerging parasitic disease. Am Fam Physician

76:91-96.

Levine ND. 1994. Parasitologi Veteriner. Ashadi G, penerjemah; Wardiarto, editor. Yogyakarta: Gajah Mada University Pr. Terjemahan dari: Textbook Veterinary Parasitology.

(49)

34

Maitindom FD. 2008. Studi kejadian sistiserkosis pada babi yang dijual di Pasar Jibama Kabupaten Jayawijaya Papua [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Mutua FK et al. 2007. Palpable lingual cysts, a possible indicator of porcine cysticercosis, in Teso District, Western Kenya. J Swine Health Prod

5:206-212.

[OIE] Organization International Epizootic. 2008. Cysticercosis. http://www. oie.int /eng/normes/mmanual/ [19/04/2008].

Pawlowski Z. 2002. Taenia solium: basic biology and transmission. Di dalam: Singh G, Prabhakar S, editor. Taenia solium Cysticercosis from Basic to Clinical Science. New York: CABI.

Puchades MT, Fuentes MV. 2000. The asian taenia and the possibility of cysticercosis. Korean J Parasitol 38:1-/7.

Purba W et al. 2002. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian sistiserkosis pada penduduk Kecamatan Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Propinsi Papua tahun 2002. Makara 7:56-62.

Radfar MH, Tajalli S, Jalaljadesh M. 2005. Prevalence and morphological of

Cysticercus tenuicollis (Taenia hydatigena cysticerci) from sheep and goats in Iran. Vet Arhiv 75:469-476.

Rajshekhar V et al. 2006. Taenia solium taeniosis/cysticercosis in Asia: epidemiology, impact and issues. Acta Trop 87:53-60.

Salim L, Ang A, Handali S, Tsang VCW. 2009. Seroepidemiologic survey of cysticercosis-taeniasis in four central highland districs of Papua Indonesia.

Am J Trop Med Hyg 80: 384-388.

Sarti E, Rajshekhar V. 2003. Measures for the prevention and control of Taenia solium taeniosis and cysticercosis. Acta Trop 87:137-143.

Sastroasmoro S, Ismael S. 1995. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta: Binarupa Aksara.

Sciutto E et al. 1998. Limitations of current diagnostic procedures for the diagnosis of Taenia solium cysticercosis in rural pigs. Vet Parasitol 79: 299-313. [terhubung berkala].www.sciencedirect.com [26 Okt 2009].

Senlik B. 2008. Influence of host breed, sex and age on the prevalence and intensity of Cysticercus tenuicollis in sheep. J Anim Vet Adv 7:548-551.

(50)

35

Soejoedono RR. 2004. Zoonosis. Laboratorium Kesmavet Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet Fakultas Kedokteran Hewan. Bogor: Institut Pertanian Bogor (tidak diterbitkan).

Soulsby EJL. 1982. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animals. London: Bailliere Tindal.

Sutisna P et al. 1999. Community prevalence study of taeniasis and cysticercosis in Bali, Indonesia. Trop Med Int Health 4:288-294.

Swan RA, Hawkins CD. 1984. Epidemiology and Preventive Veterinary Medicine. Perth: School of Veterinary Studies Murdoch University.

Theis JH et al. 1994. Detection by immunoblot assay of antibodies to Taenia solium cysticerci in sera from residents of rural communities and from epileptic patients in Bali, Indonesia. Se Asian J Trop Med 25:464-468 [terhubung berkala].www.labmeting.com [26 Okt 2009].

Toledo A et al. 1999. Towards a Taenia solium cysticercosis vaccine: an epitope shared by Taenia crassiceps and Taenia solium protects mice against experimental cysticercosis. Infect Immun 5:2522-/2530.

Tsang VC, Brand JA, Boyer AE. 1989. An enzyme- linked immunoelectrotransfer blot assay and glycoprotein antigens for diagnosing human cysticercosis (Taenia solium). J Infect Dis 59:50-59.

Westergren A et al. 2001. Odds ratio. J Clin Nurs 10:257-/269.

(51)

36

(52)

37

Lampiran 1 Kuisioner untuk peternak babi di Kabupaten Flores Timur

Peternak KUISIONER PENELITIAN

Tanggal Wawancara : I. Data Responden

II. Manajemen Peternakan (Umum) 1. Jumlah ternak babi yang dimiliki

a. 1-5 ekor b. 5-10 ekor c. > 10 ekor

2. Selain babi, hewan/ternak apalagi yang dipelihara

a. Sapi

b.

Kambing/domba c. Unggas (ayam/bebek) d. Lainnya (sebutkan)...

3. Apakah babi dipelihara didekat rumah

a. Ya b. Tidak (sebutkan dimana)...

4. Apakah babi yang dipelihara dikandangkan

a. Ya b. Tidak

II.1 Manajemen Peternakan Intensif 1. Sistem Perkandangan

a. Kandang permanen b. Kandang semipermanen

2. Kebersihan kandang dan tempat pakan (Metode Pembersihan :………) a. Dibersihkan setiap

hari b. Dibersihkan 2-3 hari sekali

c. Dibersihkan > 3 hari sekali

3. Pakan yang diberikan a.

Konsentrat b. Daun dan umbi-umbian

c. Sisa-sisa makanan Rumah Tangga/Restoran

4. Apakah pakan yang diberikan kepada ternak sebelumnya diolah/dimasak

(53)

38

II.2 Manajemen Peternakan Extensif

1. Apakah area pemeliharaan ternak dengan lingkungan sekitarnya memiliki pagar pemisah

a. Ya b. Tidak

2. Jika tidak terdapat pagar pemisah sejauh mana biasanya ternak tersebut berkeliaran a. < 50 m b. > 50 m

3. Jika dipelihara disekitar rumah, apakah ternak tersebut dibiarkan secara bebas keluar rumah

a. Ya b. Tidak

4. Apakah ternak tersebut memiliki tempat pakan khusus

a. Ya b. Tidak

5. Pakan yang diberikan b. Daun dan umbi-umbian a. Konsentrat

c. Sisa-sisa makanan Rumah Tangga/Restoran

6. Apakah pakan yang diberikan kepada ternak sebelumnya diolah/dimasak

a. Ya b. Tidak

III. Sanitasi Lingkungan dan Hygiene personal

1. Apakah Rumah Tangga tersebut memiliki toilet/jamban

a. Ya b. Tidak

2. Jenis Toilet/jamban yang dimiliki

a. Permanen b. Semi permanen c. Darurat

(lubangsementara) 3. Apakah Jarak antara septic tank dari sumber air lebih dari 10 m

a. ya b. Tidak

4. Apabila tidak terdapat toilet/jamban keluarga, dimanakah anggota keluarga melakukan defekasi

a. Kebun b. Sungai

c. Tempat lainnya (sebutkan)...

5. Apakah keluarga tersebut memiliki sumber air bersih

(54)

39

6. Jenis sumber air bersih yang dimiliki

a. Sumur b. PDAM c. Lainnya (sebutkan)...

7. Apabila tidak memiliki sumber air bersih sendiri dari manakah diperoleh air untuk keperluan sehari-hari

a. Sumur desa b. Sungai c. Lainnya (sebutkan)...

8. Apakah keluarga/lingkungan tersebut memiliki tempat pembuangan sampah

a. Ya b. Tidak

9. Apakah tempat pembuangan sampah tersebut dapat dimasuki oleh ternak/hewan piaraan

a. Ya b. Tidak

10. Kebiasaan mencuci tangan sebelum makan/mengolah makanan dengan sabun

a. Ya b. Tidak

IV. Kebiasaan konsumsi daging babi

1. Apakah dikeluarga tersebut terbiasa mengkonsumsi daging babi

a. Ya b. Tidak

2. Apakah anggota keluarga senang/biasa mengkonsumsi daging secara mentah/ setengah matang

a. Ya b. Tidak

3. Bagaimana biasanya daging tersebut diolah

a. Dibakar b. Direbus c. Digoreng d. Lainnya (sebutkan)...

4. Daging yang dikonsumsi biasanya diperoleh dari a. Pasar b. Hasil pemotongan

sendiri

c. Lainnya (sebutkan)...

5. Apabila babi dipotong di rumah apakah dilakukan pemeriksaan oleh petugas berwenang

(55)

40

Lampiran 2 Kuisioner untuk tempat pemotongan hewan babi di Kabupaten Flores Timur

II. Data seputar Tempat Pemotongan Hewan

1. Berapa jumlah rata-rata ternak yang dipotong per minggu ...

2. Darimanakah asal ternak yang dipotong………..

3. Apakah dilakukan pemeriksaan terhadap ternak sebelum dan sesudah dipotong...

4. Jika ditemukan suatu kelainan atau keanehan pada daging/organ apa yang dilakukan pada bagian tersebut………

5. Apakah anda mengetahui/ mengenal adanya penyakit yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia melalui daging (jika ya sebutkan contohnya)...

6. Dimana daging hasil pemotongan biasa dipasarkan...

7. Apakah anda mengetahui adanya Peraturan Daerah terkait masalah pemotongan ternak untuk konsumsi umum...

8. Setujukah anda jika suatu saat diwajibkan melakukan melakukan pemotongan di tempat yang telah disiapkan oleh pemerintah daerah (jika tidak berikan alasannya)...

9. Apakakah anda setuju dengan adanya retribusi pemotongan ternak (jika tidak sebutkan alasannya)

10. Apa saran/harapan anda kepada pemda/instansi terkait, untuk meningkatkan kualitas dan keamanan daging yang dikonsumsi masyarakat...

(56)

41

Lampiran 3 Analisis data faktor risiko sistiserkosis dengan menggunakan metode regresi logistik

Ringkasan Model

Langkah -2 log Likelihood R2 Cox & Snell R2 Nagelkerke

1 45, 681a ,370 ,562

Uji Hosmer dan Lemeshow

(57)

42

Lampiran 4 Analisis hubungan antara kepemilikan anjing dengan kasus sistiserkosis pada babi dengan menggunakan uji Chi-Square

Gambar

Gambar 1  Morfologi skoleks (atas) dan proglotid gravid (bawah) dari                          T
Gambar 2  Daur hidup Taenia hydatigena (Anonim  2008).
Gambar 3   Daur hidup Taenia solium (Kraft   2007).
Tabel 1  Studi kejadian sistiserkosis pada manusia di Indonesia
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh Pemberian Ekstrak Biji Pinang (Areca catechu L.) Terhadap Mortalitas Telur Keong Mas (Pomacea canaliculata Lamarck). Dari perlakuan ternyata ekstrak biji

a) Melakukan studi kepustakaan tentang tata kelola teknologi informasi, sistem,helpdesk, COBIT 5. b) Menyatakan domain dan proses yang digunakan yaitu EDM02. c)

pelayanan - Ceramah - Diskusi kelas - Keaktifan dikelas - Pemahaman materi 10 Mahasiswa dapat memahami dan menjelaskan kembali kemampuan pemerintah dalam kerjasama

Jika sudah memiliki banyak Friends yang Tertarget, lakukanlah branding dengan membuat status- status Tips / informasi yang meyakinkan mereka bahwa Anda Expert di bidang tersebut

Contoh Praktis Dan Kisah-Kisah Pentingnya Memilih Nama Dalam Membangun Kepribadian Anak Sisi positif nama baik. Abdurrahman Ibn

Rumah Sakit Daerah adalah rumah sakit “Mardi Waluyo” milik Pemerintah Kota Blitar yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan kepada masyarakat untuk semua jenis penyakit

1) Kecukupan modal berpengaruh positif signifikan terhadap profitabilitas. Semakin tinggi CAR maka semakin baik kemampuan bank tersebut untuk menanggung risiko

Apabila dibandingkan dengan ikan pelagis (teleostei) maka ikan pelagis memiliki persentase tiap bagian otak hampir sama dengan ikan karang (ikan kerapu dan ikan