• Tidak ada hasil yang ditemukan

Optimasi ELISA Tidak Langsung Untuk Memeriksa Keberadaan Antibodi Anti Schistosoma japonicum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Optimasi ELISA Tidak Langsung Untuk Memeriksa Keberadaan Antibodi Anti Schistosoma japonicum"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

OPTIMASI ELISA TIDAK LANGSUNG UNTUK

MEMERIKSA KEBERADAAN ANTIBODI ANTI

Schistosoma

japonicum

DG. NOOR SYAMIMI BINTI DAUD

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Optimasi ELISA Tidak Langsung Untuk Memeriksa Keberadaan Antibodi Anti Schistosoma japonicum adalah benar karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari Penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, November 2013

DG. Noor Syamimi binti Daud

(4)

ABSTRAK

DG NOOR SYAMIMI BINTI DAUD. Optimasi ELISA Tidak Langsung Untuk Memeriksa Keberadaan Antibodi Anti Schistosoma japonicum. Dibimbing oleh FADJAR SATRIJA dan SAMARANG

Schistosomiasis japonicum merupakan zoonosis yang endemik menyerang manusia dan hewan di sekitar lembah Besoa, lembah Napu dan danau Lindu di Sulawesi Tengah, Indonesia. Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) adalah teknik serodiagnosis yang sederhana, sensitif dan mudah digunakan untuk mendeteksi keberadaan antibodi pada penyakit parasitik. Penelitian ini bertujuan menentukan pengenceran serum yang optimal untuk memeriksa keberadaan antibodi anti Schistosoma japonicum pada manusia dengan pengujian ELISA tidak langsung. Sebanyak 30 serum sampel digunakan dalam penelitian ini, yaitu 15 sampel positif dan 15 sampel negatif. Pengujian dilakukan dengan membandingkan antara pengenceran 1:50 dan 1:100. Hasil penelitian menunjukkan sensitivitas uji, spesifisitas uji dan tingkat akurasi pada pengenceran 1:50 lebih besar dibanding pada pengenceran 1:100 yaitu sebesar 80%, 86.7% dan 83.33%. Hasil menunjukkan bahwa optimasi ELISA tidak langsung yang baik adalah pada pengenceran 1:50. Data hasil penelitian ini juga diharapkan dapat melengkapi hasil penelitian di lapangan sebelumnya.

Kata kunci:ELISA, Optimasi, Schistosoma japonicum

ABSTRACT

DG NOOR SYAMIMI BINTI DAUD. Optimization of Indirect ELISA For Detection Antibody Against Schistosoma japonicum. Supervised by FADJAR SATRIJA and SAMARANG

Schistosomiasis japonicum was endemic zoonoses that infected human and animals surrounding Besoa valley, Napu valley and Lindu lake in Central Sulawesi, Indonesia. Enzyme Linked Immunosobent Assay (ELISA) was a simple, sensitive, and rapid serodiagnostic technique, which had been widely used for detection antibodies in parasitic diseases. The aim of this study was to determine the optimal serum dilution for detection antibody against Schistosoma japonicum using indirect ELISA. Thirty samples of human serum were used in this research, which 15 samples of positive and 15 samples of negative. The test was compared between 1:50 and 1:100 dilutions. The result showed that the sensitivity 80%, specificity 86.7% and accuracy 83.33% were higher than the 1:100 dilution values. This showed that the best indirect ELISA optimization was the 1:50 dilution. The results were expected to be the complement of the previous study in the field.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Fakultas Kedokteran Hewan

OPTIMASI ELISA TIDAK LANGSUNG UNTUK

MEMERIKSA KEBERADAAN ANTIBODI ANTI

Schistosoma

japonicum

DG. NOOR SYAMIMI BINTI DAUD

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Optimasi ELISA Tidak Langsung Untuk Memeriksa Keberadaan Antibodi Anti Schistosoma japonicum

Nama : DG. Noor Syamimi Binti Daud NIM : B04088013

Disetujui oleh

drh. Fadjar Satrija, MSc, Ph.D

Pembimbing I

Samarang, SKM, M.Si Pembimbing II

Diketahui oleh

drh. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas izin dan segala karuniaNya, sehingga skripsi berjudul Optimasi ELISA Tidak Langsung Untuk Memeriksa Keberadaan Antibodi Anti Schistosoma japonicum ini berhasil diselesaikan. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (IPB).

Penghargaan dan ucapan terima kasih Penulis berikan kepada drh. Fadjar Satrija, MSc, Ph.D selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang juga merupakan Dosen Pembimbing Akademik dan Dr. drh. Sri Murtini, MSi atas segala perhatian, kesabaran, waktu, saran dan kritik yang diberikan selama penelitian dan proses penyusunan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga Penulis ucapkan kepada Samarang, SKM, M.Si selaku Pembimbing Anggota atas saran yang telah diberikan.

Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua tercinta yaitu Daud bin Hj Yusof dan DG. Rosnah binti AG. Sulaiman, adik-adik tersayang yaitu Mohd Amirul Izzuddin, DG. Noor Asyiqin, Mohd Nasrul Naqiuddin dan Mohd Syahmi Khairuddin serta keluarga besar di Bongawan Sabah Malaysia atas doa, cinta, kasih sayang, perhatian dan semangat yang telah diberikan kepada Penulis selama penyusunan skripsi dan perkuliahan di IPB.

Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada sahabat tersayang DK Farah Ana, Siti Nurhani dan Andi Nur Izzati yang banyak membantu dan memberikan semangat selama proses penelitian dan penyusunan skripsi.

Semoga skripsi ini memberikan manfaat kepada pembaca.

Bogor, November 2013

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

Manfaat Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) 2

Schistosoma japonicum 2

Infeksi Schistosoma japonicum pada Manusia 4

METODE 5

Waktu dan Tempat Penelitian 5

Metode Penelitian 5

Serum sampel 5

Inaktivasi serum 5

Prosedur penelitian 5

Prosedur analisis data 6

HASIL DAN PEMBAHASAN 7

SIMPULAN 10

DAFTAR PUSTAKA 10

(10)

DAFTAR TABEL

1 Nilai cut off uji ELISA 7

2 Standarisasi (pengenceran 1:50) berdasarkan

hasil pemeriksaan feses 8

3 Standarisasi (pengenceran 1:100) berdasarkan

hasil pemeriksaan feses 9

DAFTAR GAMBAR

1 Siklus hidup Schistosoma sp. 3

2 Rataan nilai absorbansi pengujian ELISA pada

pengenceran 1:50 7

3 Rataan nilai absorbansi pengujian ELISA pada

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Schistosomiasis atau bilharziasis merupakan penyakit parasitik disebabkan oleh cacing Trematoda yang dikenal sebagai cacing darah, menyerang beberapa Negara sedang berkembang di Afrika, Amerika Selatan, Timur Tengah, Asia Timur, dan Asia Tenggara termasuk Indonesia (Putrali et al. 1988). Tiga spesies utama cacing yang mengakibatkan penyakit pada manusia adalah Schistosoma haematobium, Schistosoma mansoni, dan Schistosoma japonicum (Gryseels et al. 2006).

Kasus schistosomiasis di Indonesia hanya ditemukan di daerah yang sangat terpencil di Sulawesi Tengah, yaitu di lembah Napu, Besoa dan dataran tinggi Lindu. Sapi, babi, anjing, kucing, kerbau, domba, rusa, kuda, tikus, dan celurut merupakan hewan yang bisa menjadi inang reservoar (Hadidjaja 1982). Sedangkan kasus pada manusia pertama kali dilaporkan oleh Tesch pada tahun 1937 di Desa Tomado (Muller dan Tesch 1937). Penelitian selanjutnya telah menemukan penyebabnya, yaitu cacing Schistosoma japonicum. Inang perantaranya baru ditemukan di daerah pesawahan pada tahun 1971 oleh Hadidjaja dan Davis, yaitu siput yang diidentifikasi sebagai subspesies dari

Oncomelania hupensis dan diberi nama Oncomelania hupensis lindoensis (Davis dan Carney 1973).

Schistosomiasis japonicum adalah zoonosis yang merupakan masalah terhadap kesehatan masyarakat. Pada umumnya manusia yang terinfeksi schistosomiasis adalah mereka yang mempunyai kebiasaan yang tidak terpisahkan dari air (Tjitra 1994). Gejala klinis yang pernah ditemukan pada manusia adalah tidak nafsu makan, demam, mual, disentri, pembengkakan limpa, pembengkakan hati, ascites, urtikaria, dan melena (Hadidjaja 1982).

Pengujian dengan Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dalam diagnosis virus endemik dan penyakit parasit di negara berkembang sudah banyak digunakan oleh Badan Kesehatan Dunia (Knapp et al. 1978). Teknik ELISA yang dipakai pada penelitian ini adalah Indirect ELISA (ELISA tidak langsung) deteksi antibodi. ELISA tidak langsung deteksi antibodi merupakan salah satu uji ELISA yang paling banyak dipakai dalam serodiagnosis penyakit parasit untuk mengukur adanya antibodi pada induk semang (Voller et al. 1978).

Tujuan Penelitian

(12)

2

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan menjadi acuan dalam dunia kedokteran manusia maupun kedokteran hewan untuk memeriksa keberadaan antibodi anti Schistosoma japonicum dengan pengujian ELISA.

TINJAUAN PUSTAKA

Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA)

ELISA adalah suatu uji serologis yang didasarkan pada pemakaian antigen dan antibodi yang dilabel dengan enzim sebagai konjugat secara immunologis dan aktivitas enzimatis (Sanchez-vizcanio dan Alvares 1987). Pengujian ELISA sangat baik digunakan untuk menetapkan diagnosa secara akurat karena memiliki spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi. ELISA juga merupakan uji serologis yang sederhana dan terpercaya dengan mekanisme yang mudah sehingga paling banyak digunakan (Awad et al. 2009).

ELISA memiliki beberapa macam konfigurasi yaitu ELISA langsung, ELISA tidak langsung, ELISA sandwich, ELISA penangkap antibodi, dan ELISA kompetitif. Penggunaanya pula harus disesuaikan dengan kepentingan penelitian yang dilakukan (Burgess 1995). Uji ini memiliki beberapa kelebihan, yaitu reagen yang dipergunakan lebih tahan lama serta uji yang dipergunakan sangat beragam, mulai dari uji yang paling sederhana hingga uji yang paling rumit (Voller dan Bidwell 1986).

ELISA memiliki beberapa kegunaan. Salah satunya adalah untuk mendeteksi antibodi di dalam serum sampel (Outteridge 1985). Penilaian terhadap hasil pengujian ELISA dapat dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif. Penilaian kualitatif dapat dibaca dengan melihat perubahan warna yang terjadi secara visual dan hasil dibedakan dari kontrol yang tidak berwarna (positif atau negatif). Sementara penilaian secara kuantitatif dilakukan dengan membaca perubahan warna yang terjadi menggunakan ELISA reader (Burgess 1995). Schistosoma japonicum

Karakteristik Schistosoma japonicum

(13)

3 Siklus hidup Schistosoma japonicum

Telur cacing Schistosoma japonicum dalam tinja manusia atau hewan akan menetas di lingkungan yang berair, lalu mengeluarkan larva yang disebut mirasidium. Masa hidup mirasidium sangat singkat. Mirasidium harus segera menemukan inang antaranya yaitu siput Oncomelania sp. Mirasidium yang tidak menemukan inang antaranya akan mati dalam waktu 12 jam. Mirasidium berenang dengan bantuan silia sehingga berhasil mendapatkan spesies siput yang cocok sebagai inang antaranya. Mirasidum yang berhasil menemukan inang antara akan melakukan penetrasi kedalam tubuh siput dan melakukan perubahan bentuk yang menyerupai kantung disebut sporokista. Sporokista akan memperbanyak diri secara aseksual di dalam tubuh siput dan menghasilkan ratusan serkaria. Serkaria lolos keluar dari siput, serkaria mampu menginfeksi manusia dan hewan yang rentan. Serkaria berenang menggunakan ekornya di lingkungan berair sampai menemukan inang definitif. Manusia atau hewan akan terinfeksi bila terjadi kontak dengan air yang mengandung serkaria.

Serkaria selanjutnya masuk kedalam tubuh manusia melalui kulit. Pada saat memasuki kulit manusia, serkaria melepaskan ekornya dan berubah menjadi sistosomula (cacing muda). Cacing ini menembus jaringan memasuki pembuluh darah lalu masuk kedalam jantung dan paru-paru serta masuk kedalam vena porta di sekitar hati. Cacing dewasa dalam vena porta akan berpasangan, cacing betina akan masuk kedalam celah/saluran (canalis ginecophoric) yang terdapat di sepanjang tubuh cacing jantan. Pada akhirnya pasangan-pasangan cacing S. japonicum akan berpindah ke tempat tujuan terakhir yaitu pembuluh darah usus kecil (vena mesenterika) yang juga merupakan habitatnya dan sekaligus tempat bertelur (Campbell 1996).

(14)

4

Infeksi Schistosomajaponicum pada manusia

Perlekatan dan penetrasi cacing dapat terjadi karena adanya struktur jaringan kulit dan jaringan dalam tubuh inang yang dapat dirusak setelah terjadi proses perlekatan. Tubuh inang memiliki alat pertahanan untuk melawan kehadiran cacing tersebut, yaitu sistem pertahanan kulit, sistem pertahanan seluler (fagosit), sistem pertahanan humoral (immunoglobulin, antibodi), dan sistem pertahanan jaringan khusus (fixed tissue phagocytes). Sistem pertahanan kulit terkait dengan proses perlekatan dan penetrasi. Kulit merupakan pintu masuk cacing yang utama, tetapi tidak semua bagian kulit dapat menjadi pintu masuk tergantung pada jenis dan struktur dari kulit (Soulsby 1982). Bagian kulit yang terbuka merupakan tempat masuknya larva cacing. Pada manusia pintu masuknya adalah pada bagian kerutan kulit. Bagian kulit yang menebal dan tegang menyebabkan larva kurang bebas untuk mengadakan penetrasi (Hadidjaja 1982). Cacing ini kemudian mengeluarkan enzim untuk memecah protein kulit sehingga serkaria dapat masuk ke dalam pembuluh darah.

Tingkat infeksi schistosomiasis pada manusia berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Perbedaan pola keterpaparan tersebut menunjukkan adanya perbedaan kehidupan sosial, ekonomi, dan perbedaan variasi ekologi dari satu daerah dengan daerah lainnya. Penderita schistosomiasis di lembah Napu terdiri dari semua golongan umur dengan jumlah penderita terbanyak pada golongan umur 10-19 tahun dan 30-39 tahun, yaitu mereka yang termasuk golongan umur produktif. Selain itu, terdapat juga keterkaitan hubungan antara infeksi dengan pekerjaan. Orang yang bekerja di sawah mempunyai resiko terinfeksi lebih besar dibandingkan anak-anak. Keterkaitan antara infeksi S. japonicum dan pekerjaan juga ditemukan di China (Carney et al. 1974). Ross et al. (2004) melaporkan bahwa di daerah danau Dongting China, infeksi Schistosoma

terjadi terutama pada laki-laki usia 18-49 tahun pada waktu menjelang sore hari saat memancing. Hasil penelitian yang berbeda pula ditemukan di Lembah Besoa Sulawesi Tengah, bahwa angka prevalensi yang tinggi terdapat pada usia 5-9 tahun 10-19 tahun (Renimanora et al. 1988).

Reaksi humoral pada dasarnya terbentuk pada organisme yang masuk ke peredaran darah. Produksi Immunoglobulin E (IgE) sangat meningkat pada infeksi cacing. Kenaikan IgE yang luar biasa memperlihatkan bahwa IgE merupakan parameter penting dalam sistem pertahanan tubuh. Rangsangan antigen spesifik untuk membentuk sel mastoid yang dilapisi IgE menyebabkan terjadinya eksudasi serum protein dengan konsentrasi antibodi protektif yang tinggi untuk semua kelas immunoglobulin dan dilepaskannya faktor kemotaktik eosinofil. Reaksi yang diperantai IgE berperan penting dalam penyembuhan dari infeksi, sedangkan resistensi pada individu yang telah divaksinasi lebih tergantung pada adanya antibodi IgG dan IgA. Kemampuan untuk mengatasi cacing tertentu dapat diarahkan kepada produksi limfokin sel T helper 1 seperti interferon dan sel T

(15)

5

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2013 bertempat di Laboratorium Terpadu, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Metode Penelitian

Serum Sampel

Serum positif diperoleh dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Samarang et al. (2013). Serum negatif diperoleh dari sukarelawan yang berasal dari Bogor dan tidak pernah mengunjungi wilayah Sulawesi Tengah. Sebanyak 30 serum manusia digunakan pada penelitian ini. Serum tersebut merupakan 15 serum manusia yang positif terinfeksi schistosomiasis dengan pemeriksaan tinja positif terdapat telur cacing. Sedangkan 15 serum lagi adalah manusia yang negatif schistosomiasis.

Inaktivasi serum

Serum sampel diinaktivasi dengan cara dipanaskan dalam penangas air pada suhu 56 °C selama 30 menit.

Prosedur ELISA

Pengujian ELISA terhadap serum sampel dilakukan dengan dua jenis pengenceran yang bertujuan untuk optimasi hasil kedua jenis pengenceran tersebut sehingga diketahui jenis pengenceran yang terbaik untuk mendeteksi antibodi anti Schistosoma japonicum. Pada microplate ELISA pertama menggunakan pengenceran 1:50 dan microplate ELISA kedua menggunakan pengenceran 1:100.

Antigen ekskretori sekretori Schistosoma japonicum dari penelitian

sebelumnya dengan konsentrasi 110 μg/ml diencerkan dalam larutan buffer bicarbonate dengan perbandingan 1:21, sehingga konsentrasi antigen yang

dicoatingkan adalah 5 μg/ml. Setiap sumur pada kedua-dua microplate diisi

dengan 100 μl antigen dan diinkubasi selama semalam pada suhu 4 °C.

Microplate yang telah diinkubasi dibilas sebanyak empat kali dengan 300 μl PBS tween 0,05% dan dikeringkan.

Tahap selanjutnya adalah blocking menggunakan Fetal Bovine Serum

(FBS) 2%. Setiap sumur diisi dengan 200 μl FBS 2% dan diinkubasi pada suhu

37 °C selama satu jam. Kemudian microplate yang telah diinkubasi dicuci

kembali dengan 300 μl PBS Tween 0,05% sebanyak empat kali dan dikeringkan.

Serum sampel diencerkan ke dalam larutan PBS dengan perbandingan 1:50 dan 1:100. Sampel kemudian dimasukkan ke dalam sumur sesuai lembar

kerja sebanyak 100 μl dan diinkubasi pada suhu 37 °C selama satu jam. Setiap

(16)

6

kontrol konjugat yang berisi PBS Tween 0,05%. Kemudian microplate dicuci

dengan 300 μl PBS Tween 0,05% sebanyak empat kali dan dikeringkan.

Konjugat antihuman yang telah diencerkan dengan pengenceran 1:5000 kemudian diisi pada setiap sumur lalu diinkubasi selama satu jam pada suhu 37 °C. Kemudian setiap sumur microplate dicuci kembali sebanyak empat kali dengan PBS Tween 0,05% lalu dikeringkan. Selanjutnya setiap sumur diisi dengan substrat TMB dalam keadaan gelap dan diinkubasi kembali pada suhu ruang selama 30 menit. Akhir sekali, pembacaan hasil ELISA dilakukan menggunakan ELISA reader dengan filter 655 nm.

Prosedur Analisis Data

Batas penentuan deteksi antibodi anti Schistosoma japonicum pada kedua pengenceran tersebut dilihat dari perbedaan nilai cut off masing-masing pengenceran. Cut off adalah batas nilai absorbansi positif dan negatif dari suatu pengujian. Perhitungan nilai cut off didapatkan dari rataan nilai absorbansi kontrol negatif yang ditambahkan dengan satu kali nilai standar deviasi (Ath 1995). Nilai positif merupakan nilai absorbansi hasil pengujian yang lebih besar dari nilai cut off. Sebaliknya nilai negatif merupakan nilai absorbansi hasil pengujian yang lebih kecil dari nilai cut off.

Penghitungan sensitivitas, spesifisitas dan akurasi menggunakan tabel 2x2 dan rumus seperti berikut (Mattjik dan Sumertajaya 2006):

Hasil Uji Positif Negatif

Positif a b

Negatif c d

(17)

7

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengujian ELISA tidak langsung terhadap serum sampel dilakukan dengan dua jenis pengenceran yaitu pengenceran 1:50 dan pengenceran 1:100. Sebanyak 30 serum sampel manusia digunakan dalam penelitian ini, yaitu 15 sampel positif dan 15 sampel positif. Optimasi ELISA tidak langsung dilakukan untuk memeriksa keberadaan antibodi anti Schistosoma japonicum pada serum.

Tabel 1 Nilai cut off uji ELISA

Berdasarkan Tabel 1, nilai cut off yang didapatkan pada pengujian ELISA tidak langsung dengan pengenceran 1:50 adalah hasil penjumlahan rataan nilai absorbansi kontrol negatif 0.112 dengan standar deviasi 0.026 yaitu sebesar 0.139. Nilai cut off yang diperoleh pada uji ELISA tidak langsung dengan pengenceran 1:100 adalah sebesar 0.197, yaitu hasil penjumlahan rataan nilai absorbansi kontrol negatif 0.162 dengan standar deviasi 0.035.

(18)

8

Sampel dinyatakan positif palsu bila nilai absorbansi lebih kecil dari nilai cut off

dan sebaliknya dinyatakan negatif palsu bila nilai absorbansi lebih besar dari nilai

cut off.

Gambar 3 Rataan nilai absorbansi pengujian ELISA pada pengenceran 1:100 Pada pengenceran 1:100 (Gambar 3), terdapat delapan dari 15 sampel positif menunjukkan hasil positif uji ELISA dan tujuh sampel hasil positif palsu. Sebanyak 12 dari 15 sampel negatif pemeriksaan feses menunjukkan hasil negatif uji ELISA dan tiga sampel hasil negatif palsu.

Penentuan spesifisitas dan sensitivitas uji ELISA tidak langsung yang telah dioptimasi untuk mendeteksi keberadaan antibodi anti Schistosoma japonicum dilakukan dengan menggunakan 30 serum sampel manusia yang diperoleh dari penelitan sebelumnya. Hasil pengujian ELISA tidak langsung untuk mendeteksi keberadaan antibodi anti Schistosoma japonicum dibandingkan dengan hasil pemeriksaan feses untuk menghitung spesifisitas dan sensitivitas uji dengan menggunakan tabel 2 x 2.

Tabel 2 Standarisasi (pengenceran 1:50) berdasarkan hasil pemeriksaan feses

(19)

9 Pada Tabel 2 terlihat bahwa pengujian ELISA tidak langsung dengan pengenceran 1:50 memiliki tingkat akurasi sebesar 83.33% dengan sensitivitas uji terhadap antibodi dalam serum sebesar 80% dan spesifisitas uji sebesar 86.7%. Pada Tabel 3 menunjukkan bahwa pengujian ELISA tidak langsung dengan pengenceran 1:100 memiliki tingkat akurasi sebesar 66.7% dengan sensitivitas uji sebesar 53.33% dan spesifisitas uji sebesar 80%.

Tabel 3Standarisasi (pengenceran 1:100) berdasarkan hasil pemeriksaan feses

Pemeriksaan

ELISA merupakan uji serologis yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi, membutuhkan sangat sedikit antigen dan penggunaannya mudah untuk menguji banyak sampel di laboratorium (Cruickshank dan Mackenzie 1981). Hasil yang diperoleh menunjukkan pengenceran 1:50 merupakan pengenceran yang optimal untuk memeriksa keberadaan antibodi anti Schistosoma japonicum

dengan ELISA tidak langsung. Pengenceran ini memiliki sensitivitas uji 80%, spesifisitas uji 86.7% dan tingkat akurasi 83.33% yang lebih tinggi dibanding pada pengenceran 1:100. Pengujian dengan pengenceran 1:50 juga memperlihatkan hasil positif palsu dan negatif palsu yang lebih sedikit.

Nilai yang diperoleh pada pengujian ELISA menggambarkan respon pembentukan antibodi. Namun nilai antibodi yang diperoleh tidak menunjukkan nilai titer antibodi. Penelitian ini menggunakan ELISA tidak langsung untuk mendeteksi antibodi terhadap Schistosoma japonicum. Positif palsu tidak dapat diketahui sejak awal karena pada ELISA hanya tampak sebagai perubahan warna substrat yang terbaca sebagai nilai absorbansi oleh ELISA reader. Menurut Tizard (2000), berdasarkan prinsipnya reaksi antibodi-antigen dapat dideteksi dengan penambahan konjugat dilabel sebagai enzim aktif yang bereaksi dengan substrat sehingga menghasilkan warna spesifik.

Beberapa hal yang dianggap kritis untuk menjamin hasil yang baik harus diperhatikan. Antara lain adalah suhu selama coating harus tetap, substrat harus dimasukkan pada microplate ELISA pada suhu kamar dan lamanya harus konstan serta larutan harus dalam keadaan segar. Selain itu dianjurkan selalu menggunakan microplate yang baru karena reaksi ELISA sangat sensitif. Apabila pemakaian microplate digunakan berulang kali, sisa-sisa reaksi terdahulu dapat mengacaukan reaksi (Partoutomo 1983).

(20)

10

SIMPULAN

Optimasi terbaik untuk memeriksa keberadaan antibodi anti Schistosoma japonicum dengan ELISA tidak langsung diperoleh dari pengenceran 1:50. Pengenceran 1:50 memiliki tingkat akurasi, sensitivitas uji dan spesifisitas uji paling besar dibandingkan pengenceran 1:100. Data hasil penelitian ini juga diharapkan dapat melengkapi hasil penelitian di lapangan sebelumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Ath G de. 1995. ELISA sebagai Proses Pengukuran: Beberapa Pertimbangan Statistik. Di dalam: Artama WT, penerjemah; Burgess GW, editor.

Teknologi ELISA dalam Diagnosis dan Penelitian. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: ELISA Technology in Diagnosis and Research.

Awad WS, Ibrahim AK, Salib FA. 2009. Using indirect ELISA to assess different antigens for the serodiagnosis of Fasciola gigantica infection in cattle, sheep, and donkeys. Res Vet Sci. 86:466-471.

[DPD CDC]. 2012. Schistosomiasis. [terhubung berkala]. http://www.cdc.gov/parasites/schistosomiasis/biology.html [2013 Juni 24] Burgess GW. 1995. Prinsip Dasar ELISA dan Variasi Konfigurasinya. Di dalam: Artama WT, penerjemah; Burgess GW, editor. Teknologi ELISA dalam Diagnosis dan Penelitian. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: ELISA Technology in Diagnosis and Research.

Campbell NA. 1996. Biology 4th ed. New York (US): The Benjamin/Cummings Publishing Co. INC.

Carney WP, Sjahrul M, Salludin, Putrall J. 1974. The Napu valley, a new Schistosomiasis area in Sulawesi, Indonesia. Southeast Asian J. Trop .

Med. Pub. Health . 5:246-251.

Cruickshank JK, Mckenzie C. 1981. Immunodiagnosis in parasitic disease.

Br. Med. J. 283:1349-1350.

Davis GM, Carney WP. 1973. Description of Oncomelania hupensis lindoensis: first intermediate host of Schistosoma japonicum in Sulawesi.

Proc. Acad. Nat. Sci. Philadelphia. 125:1-34.

Gryseels B, Polman K, Clerinz J, Kestens L. 2006. Human schistosomiasis.

Lancet . 368:1106-1118.

Hadidjaja P. 1982. Beberapa penelitian mengenai aspek biologik dan klinik schistosomiasis di Sulawesi Tengah, Indonesia [tesis]. Jakarta (ID): Universitas Indonesia.

Knapp E, Holubar K, Wick G. 1978. Immunofluorescence and related staining techniques . Elsevier/North Holland (NL): Biomedical Press. Mattjik AA, Sumertajaya Made. 2006. Perancangan Percobaan. Bogor (ID): IPB

(21)

11 Muller H, Tesch JW. 1937. Autochthone infectie met Schistosoma japonicum of

Celebes. Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch Indie. 77:2143. Outteridge PM. 1985. Veterinary Immunology. London (GB): Academic Press. Partoutomo S. 1983. Diagnose penyakit parasiter dengan ELISA. Wartazoa.

1(2):21-23.

Putrali J, Sjamsudin N, Sudomo M, Hadidjaja P. 1988. Schistosomiasis control by mass treatment using praziquantel in Indonesia. Maj. Parasitol. Indon. 2(1&2):25-32.

Renimanora, Arwati T, Indijati, Wardiyo. 1988. Prevalensi schistosomiasis menurut golongan umur dan peranan air bersih dan jamban keluarga terhadap penularan penyakit di 3 desa di Lembah Besoa, Sulawesi Tengah. [Abstrak]. Seminar Parasitologi Nasional V dan Kongres P4I IV. Bogor, Prospects and Challenges for the 21st Century. [Internet]. [Diunduh 2013 Juni 21]. Tersedia pada: http://cmr.asm.org/cgi/content/full/14/2/270. Samarang, MA Nurjana, S Chotijah, M Maksud, I Tolisetiawati, F Satrija, S

Murtini. 2013. Optimalisasi uji ELISA untuk mendeteksi antigen ES

Schistosoma japonicum pada penderita schistosomiasis di Napu Sulawesi Tengah. Laporan Penelitian Balai Penelitian dan Pengembangan P2B2 Donggala Sulawesi Tengah.

Sanchez-vizcain JM, Alvarez MC. 1987. Enzyme immunoassay techniques (ELISA) in animal and plant diseases 2nd Ed. Technical Series No.7. Office International Des Epizooties.

Soulsby EJL. 1982. Helminths, Arthopods, and Protozoa of Domesticated Animal Seventh Edition. London (GB): Bailliere Tindall.

Sudomo M. 1994. Ecology of schistosomiasis in Indonesia with certain aspects of control. Southeast Asian J. trop. Med. Pub. Health. 4:471.

Tizard IR. 2000. An Introduction to Veterinary Immunology 6th Ed. USA (US): W.B. Saunders Company.

Tjitra E. 1994. Penelitian-penelitian Schistosomiasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran. 96:31-36.

Voller A, Bidwell DE, Barlett A. 1978. The use of the enzyme-linked immunosorbent assay in the serology of viral and parasitic diseases. Scand.

J. Immunol. 8(7):125.

(22)

12

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Hospital Papar Sabah, Malaysia pada tanggal 6 Desember 1990 dari ayah Daud bin Yusof dan ibu DG Rosnah binti AG Sulaiman. Penulis merupakan anak pertama dari lima bersaudara.

Penulis memulai pendidikan di Prasekolah Sekolah Kebangsaan Pekan Bongawan pada tahun 1996. Kemudian Penulis melanjutkan pendidikan dasar di Sekolah Kebangsaan Pekan Bongawan pada tahun 1997 sehingga tahun 2002. Penulis selanjutnya meneruskan pendidikan menengah di Sekolah Menengah Kebangsaan Agama Limauan Kimanis, Sabah pada tahun 2003 dan lulus pada tahun 2008. Pada tahun yang sama, Penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Penerimaan Mahasiswa Warga Negara Asing pada program studi Kedokteran Hewan. Selama berkuliah di IPB, Penulis pernah aktif sebagai Exco Kebajikan Persatuan Kebangsaan Pelajar-pelajar Malaysia di Indonesia pada tahun 2011 sampai 2012.

Gambar

Gambar 1 Siklus hidup Schistosoma sp. (DPD CDC 2012)
Tabel 1 Nilai cut off uji ELISA
Tabel 2 Standarisasi (pengenceran 1:50) berdasarkan hasil pemeriksaan feses

Referensi

Dokumen terkait

Dari analisis data ditemukan beberapa hal pada atlet futsal SMPIT Thariq Bin Ziyad, diantaranya tingkat anxiety atlet futsal SMPIT Thariq Bin Ziyad pada saat mengikuti

Perlakuan hidrolisis asam pada fraksi air daun mengkudu dan batang brotowali dapat meningkatkan aktivitas penangkapan radikal DPPH yang ditunjukkan pada nilai

Dari hasil penelitian menerangkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara persepsi siswa terhadap kompetensi kepribadian konselor dengan minat siswa untuk

.alam karya ini %engarang lebih mengganti tem%at dengan %enggambaran yang indah& Kata'kata yang digunakan te%at dan sangat mudah diba(a sehingga %emba(a tidak

(Hlm. 135) Pada contoh lain, masih dalam plot perencanaan perampokan, dialog ini dilakukan oleh Dinah sebagai target hinaan dan Nihe, Sobri, serta Handai sebagai

TENAGA KERJA KUALIFIKASI JUMLAH WNI WNA Non Konstruksi Survei Seismik (Sieismic Data Acquisition). - Survei Data Seismic 2D

Terakhir, keempat adalah hipotesis yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan faktor penyebab turunnya ekspor (growth-reducing export hipothesis). Dari keempat

[r]